PENGARUH STRES PELAPARAN DAN SUHU TINGGI TERHADAP INDUKSI EMBRIOGENESIS MIKROSPORA TEMBAKAU

dokumen-dokumen yang mirip
KAJIAN KARAKTER MORFOLOGI MIKROSPORA TEMBAKAU VIRGINIA YANG MENGALAMI CEKAMAN PELAPARAN DAN SUHU TINGGI SECARA IN VITRO

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 2,4-D terhadap induksi pembelahan sporofitik mikrospora anggrek bulan

INDUKSI EMBRIOGENESIS MIKROSPORA Nicotiana tabacum L. cv. Vorstenlanden DENGAN STRES PANAS DAN PELAPARAN

ABSTRACT. Key word: hormone 2,4-D, microspore, P. amabilis, sporofitik cleavage.

HASIL Hubungan ciri morfologi malai jantan dan stadia mikrospora

TINJAUAN PUSTAKA Morfologi Bunga Kedelai Induksi Androgenesis

PROPAGASI TUMBUHAN OBAT DENGAN KULTUR MIKROSPORA MEDICINAL PLANT PROPAGATION BY MICROSPORES CULTURE

HASIL. Rasio Panjang Panjang. Varietas

RINGKASAN. Induksi Pembelahan Sporofitik Mikrospora Anggrek Bulan (Phalaenopsis amabilis (L.) Bl.) dengan Perlakuan Hormon 2,4-D

INDUKSI PEMBELAHAN SPOROFITIK MIKROSPORA KEDELAI MELALUI KULTUR ANTERA PADA SISTEM MEDIA DUA LAPIS BUDIANA

DAFTAR PUSTAKA. Abidin.,Z Dasar-dasar pengetahuan zat pengatur tumbuh. Penerbit Angkasa. Bandung.

HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Kondisi Umum Percobaan

BAB I PENDAHULUAN. dan usaha komersil pada mulanya hanya dikenal di negara-negara maju, namun

Kultur Invitro untuk Tanaman Haploid Androgenik. Yushi Mardiana, SP, Msi Retno Dwi Andayani, SP, MP

BAB III METODE PENELITIAN. Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga. Untuk analisis sitologi

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan di Indonesia merupakan sumber plasma nutfah yang sangat potensial

Pengembangan Kultur Mikrospora pada Varietas Padi Ladang Lokal Asal Kendari

TINJAUAN PUSTAKA Kultur Jaringan Tanaman Eksplan

RESPONS EMBRIOGENESIS MIKROSPORA TANAMAN TEBU (Saccharum spp.) PADA SUHU DAN LAMA INKUBASI CABANG MALAI DI DALAM MEDIUM B

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 2.1 Brokoli (Brassica oleracea L. var. italica Plenck) Struktur morfologi brokoli berupa akar, tangkai, daun dan bunga (Gambar

INDUKSI HAPLOID Dianthus chinensis MELALUI ANDROGENESIS SECARA IN VITRO

PELATIHAN KULTUR JARINGAN ANGGREK TAHUN 2013 MATERI 4 BAHAN TANAM (EKSPLAN) DALAM METODE KULTUR JARINGAN. Oleh: Paramita Cahyaningrum Kuswandi, M.Sc.

REGENERASI EKSPLAN MELALUI ORGANOGENESIS DAN EMBRIOGENESIS SOMATIK

Induksi Tanaman Haploid dan Tanaman Bebas Penyakit

PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA KULTUR ANTHERA PEPAYA SECARA IN VITRO UNTUK MENGHASILKAN TANAMAN HAPLOID. Jenis Kegiatan PKM Artikel Ilmiah

BAB I PENDAHULUAN. terutama di negara-negara berkembang dan yang sedang berkembang baik di

PROSES PEMBENTUKAN BIJI PADA ANGIOSPERMAE

KULIAH DASAR BIOTEKNOLOGI

KULTUR JARINGAN TANAMAN

POKOK BAHASAN XIV. POLIEMBRIONI, APOMIKSIS DAN EMBRIOLOGI EKSPERIMENTAL

Topik VI. METODE BIOTEKNOLOGI TANAMAN

I. PENDAHULUAN. Anggrek bulan (Phalaenopsis amabilis (L.) Blume) merupakan jenis. pesona, bahkan menjadi penyumbang devisa bagi negara.

A. Deskripsi Mata Kuliah BI 517 Perkembangan Hewan dan Tumbuhan: S-1, 3 SKS, Semester 5

Kombinasi Embriogenesis Langsung dan Tak Langsung pada Perbanyakan Kopi Robusta. Reny Fauziah Oetami 1)

HASIL DAN PEMBAHASAN

INDUKSI KALUS EMBRIOGENIK PADA WORTEL (Daucus carota L.) MENGGUNAKAN 2,4-DICHLOROPHENOXYACETIC ACID (2,4-D)

INDUKSI TUNAS PISANG ROTAN [Musa sp. ( AA Group.)] DARI EKSPLAN BONGGOL ANAKAN DAN MERISTEM BUNGA SECARA IN VITRO

STUDI TAHAP PERKEMBANGAN KUNCUP BUNGA, MIKROSPORA DAN OVUL Dianthus chinensis L.

RESPON EKSPLAN EMBRIO DEWASA TIGA GENOTIPE GANDUM (Triticum aestivum) TERHADAP KONSENTRASI 2,4D DAN KONDISI INKUBASI SECARA IN VITRO

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Isi Materi Kuliah. Pengertian Kalus. Aplikasi Kultur Kalus. Kultur Kalus 6/30/2011

VI. KULTUR MIKROSPORA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Phalaenopsis amabilis (L.) Bl. adalah sebagai berikut:

KULTUR JARINGAN TUMBUHAN

PENINGKATAN PEMBENTUKAN EMBRIO SOMATIK PADA WORTEL (Daucus carota L) MENGGUNAKAN N6-benzylaminopurine (BAP)

BAB 1 TIPE KULTUR JARINGAN TANAMAN

PROPORSI MIKROSPORA UNINUKLEAT PADA EMPAT KLON TEBU (Saccharum spp.)

I. PENDAHULUAN. Kacang tanah (Arachis hipogea L.) merupakan salah satu komoditas pertanian

PERKEMBANGAN MIKROSPORA DAN INDUKSI PEMBELAHAN SPOROFITIK PADA KULTUR ANTERA KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq.) POPI SEPTIANI

TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Padi

I. PENDAHULUAN. menggunakan satu eksplan yang ditanam pada medium tertentu dapat

BIOTEKNOLOGI TERMINOLOGI DAN MACAM KULTUR JARINGAN

TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Padi

MIKROPROPAGASI TUMBUHAN

INDUKSI KALUS HAPLOID MELALUI KULTUR ANTERA PADA BEBERAPA SPESIES JERUK (Citrus sp) KAMSIA DORLIANA

IMPLEMENTASI PROSEDUR KULTUR SEBAR MIKROSPORA ANTERA CABAI (Capsicum annuum L.) DENGAN PERLAKUAN ANTIBIOTIK PADA KONDISI LOKAL DI BOGOR

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. digunakan mikrospora sebagai sumber eksplan. Mikrospora adalah serbuk sari

Embriogenesis somatik pada kultur in vitro daun kopi robusta (coffea canephora var. Robusta chev.)

PENGARUH UMUR FISIOLOGIS KECAMBAH BENIH SUMBER EKSPLAN

MORFOLOGI BUNGA YANG SESUAI BAGI KULTUR MIKROSPORA PADA TANAMAN JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.)

BAHAN AJAR DASAR-DASAR GENETIKA

I. PENDAHULUAN. Kacang tanah (Arachis hypogaea L.) merupakan salah satu tanaman palawija yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kedudukan kacang tanah dalam sistematika (taksonomi) tumbuhan

HIBRIDISASI SOMATIK MELALUI FUSI PROTOPLAS. Yushi Mardiana, SP, MSi Retno Dwi Andayani, SP, MP

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

INDUKSI ANDROGENESIS LEUNCA (Solanum nigrum L.) DENGAN PERLAKUAN CEKAMAN SUHU INKUBASI PADA KULTUR ANTERA SISTEM MEDIA DUA LAPIS DINA AGUSTIN

Perbaikan Varietas Padi melalui Kultur Anter

I. PENDAHULUAN. Masalah mengenai tebu yang hingga kini sering dihadapi adalah rendahnya

PROPORSI MIKROSPORA UNINUKLEAT PADA EMPAT KLON TEBU (Saccharum spp.)

3 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat

Teknik Kultur In Vitro Tanaman. Bab I : Pendahuluan 9/16/2012

BAB I PENDAHULUAN. jaman Romawi (Stephens, 2009). Brokoli masuk ke Indonesia sekitar 1970-an dan

ANALISIS HISTOLOGI EMBRIOGENESIS SOMATIK DARI APIKAL BUD KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq.) var. TENERA TESIS. Oleh

REGENERASI DAN UJI RESPON TOLERANSI TERHADAP NaCl PADA GANDUM (Triticum aestivum L.) GALUR R-036 DAN R-040

2012 FAKULTAS PERTANIAN DAN BISNIS UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Morfologi dan Agroekologi Tanaman Kacang Panjang. Kacang panjang merupakan tanaman sayuran polong yang hasilnya dipanen

I. PENDAHULUAN. Kacang tanah (Arachis hypogaea L.) memiliki peran strategis dalam pangan

Regenerasi Tanaman melalui Embriogenesis Somatik dan Beberapa Gen yang Mengendalikannya

Biologi, FMIPA, Universitas Indraprasta PGRI, Jl. Nangka 58 Jagakarsa-Jakarta Selatan 2

13/10/2012 PENDAHULUAN. REVIEW KULTUR JARINGAN CENDANA (Santalum album L.)

Staf pengajar PS Pemuliaan Tanaman, Jurusan BDP FP USU Medan

PEMBELAHAN SEL Adelya Desi Kurniawati, STP., MP., M.Sc.

LAPORAN HASIL PENELITIAN HIBAH BERSAING TAHUN PERTAMA (I) TAHUN ANGGARAN 2010

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 1.1 Pengaruh Pembentukan Kalus Pada Media MS Kombinasi ZPT BAP dan 2,4-D.

merangsang skutelum menghasilkan GA. GA dikirim ke sel-sel protein untuk membentuk enzim baru sebagai pelarut cadangan makanan.

LAPORAN PRAKTIKUM KULTUR JARINGAN TANAMAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

Aktivitas Polifenol Oksidase Kultur Antera Padi Setelah Praperlakuan Cekaman Manitol. Rusnani. Abstrak

I. PENDAHULUAN. Padi (Oryza sativa L.) adalah tanaman pangan utama sebagian besar penduduk

UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA FAKULTAS MIPA SILABI

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

METODE MEMPERTAHANKAN KUALITAS DAN KUANTITAS ASAM RIBONUKLEAT (RNA) TANAMAN M. REZEKI MUAMMAR

I. PENDAHULUAN. di dunia setelah gandum dan jagung. Padi merupakan tanaman pangan yang

BAB I PENDAHULUAN. ada didalam sel, pembelahan dan penduplikasian merupakan konsep terpenting

INDUKSI KERAGAMAN GENETIK DENGAN MUTAGEN SINAR GAMMA PADA NENAS SECARA IN VITRO ERNI SUMINAR

Induksi Kalus dan Optimasi Regenerasi Empat Varietas Padi melalui Kultur In Vitro

PEMANFAATAN METODE KULTUR ANTERA DALAM PEMULIAAN TANAMAN [THE USE OF ANTHER CULTURE METHOD IN PLANT BREEDING]

RESPONSIVITAS DAN KAPASITAS ANDROGENESIS BEBERAPA GENOTIPE CABAI DAN TERONG DALAM KULTUR ANTERA PADA MEDIA DUA-LAPIS SANDI YUDA PRATAMA

PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA PENINGKATAN VARIASI SOMAKLONAL TANAMAN KRISANTIMUM MELALUI INDUKSI KALUS. Jenis Kegiatan PKM Artikel Ilmiah

PEMBIBITAN KOPI PUSAT PENELITIAN KOPI DAN KAKAO INDONESIA

Transkripsi:

Jurnal Biologi XIV (1) : 1-6 ISSN : 1410 5292 PENGARUH STRES PELAPARAN DAN SUHU TINGGI TERHADAP INDUKSI EMBRIOGENESIS MIKROSPORA TEMBAKAU THE EFFECT OF STARVATION AND HEAT SHOCK TOWARDS EMBRYOGENESIS OF TOBACCO MICROSPORES Baiq Farhatul Wahidah Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi UIN Alauddin Makassar Email: baiqfarhatulwahidah@yahoo.com INTISARI Pengaruh kombinasi perlakuan pelaparan dan suhu tinggi (34 o C) terhadap proses induksi embriogenesis mikrospora tiga kultivar tembakau yaitu Nicotiana tabacum L. cv. Petit havana SR-1, N. tabacum cv. Vorstenlanden dan N. tabacum cv. Virginia telah dilaksanakan. Mikrospora diisolasi secara aseptik dari antera dengan maserasi kemudian disentrifugasi. Kultur dilakukan dalam medium pelaparan (medium B) yaitu medium tanpa sumber gula dan nitrogen selama 4, 6, dan 8 hari pada suhu 34 o C, kemudian disubkultur dengan medium embriogenesis (medium A2) dan diinkubasi pada suhu kamar (25 o C) dalam keadaan gelap. Stadium perkembangan mikrospora yang dikultur diusahakan relatif homogen yaitu mengandung stadium uninukleat akhir. Viabilitas dan perkembangan mikrospora diamati. Dilakukan pengecatan inti dengan menggunakan DAPI (4,6 diamidino-2-phenylindole) kemudian mikrospora yang sudah terwarnai diamati di bawah mikroskop fluorescen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa selama stres pelaparan dan suhu tinggi (34 o C), menyebabkan terjadinya perubahan struktur mikrospora menjadi 3 tipe mikrospora embriogenik. Tipe 1 memiliki ciri identik dengan stadium uninukleat akhir; tipe 2 telah terjadi fragmentasi vakuola dengan inti masih di tepi; serta tipe 3 inti yang terdapat dalam kantong sitoplasmik telah bergeser ke tengah. Pembelahan simetri merupakan pembelahan pertama yang terjadi pada mikrospora dalam medium embriogenesis yang ditemukan setelah 2 minggu masa inkubasi. Kemudian akan terbentuk struktur multiseluler pada minggu ke-4 untuk Nicotiana tabacum L. cv. Vorstenlanden dan N. tabacum cv. Virginia. Sedangkan pada N. tabacum cv. Petit havana SR-1 struktur multiseluler sudah ada yang terbentuk pada minggu ke-2. Phase selanjutnya, struktur multiseluler berkembang menjadi kalus pada N. tabacum cv. Vorstenlanden dan N. tabacum cv. Virginia. Sedangkan N. tabacum cv. Petit havana SR-1 struktur multiseluler akan berkembang menjadi struktur globuler. Kata kunci : Mikrospora, embriogenesis, pelaparan, stres suhu tinggi, Nicotiana tabacum L. cv. Petit havana SR-1, N. tabacum cv. Vorstenlanden, N. tabacum cv. Virginia ABSTRACT The effect of treatment combination of starvation and heat shock (34 o C) towards embryogenesis induction of microspores on three cultivars of Nicotiana tabacum L. cv. Petit havana SR-1, N. tabacum L. cv. Vorstenlanden, and N. tabacum L. cv. Virginia had been examined. The microspores were isolated aseptically from anthers by maceration and centrifugation. The culture was conducted in a starvation medium (B- Medium) without sugar and nitrogen source for 4, 6, 8 days at 34 o C. Then, they were subcultured on embryogenesis medium (A2 medium) and were incubated at 25 o C in dark. The development of cultivated microspores was relatively homogenous in which they contained of late uninucleate stage. The viability and microspores development were observed. The stain of nucleus was done using DAPI (4,6-diamindino-2-phenylindole) then the colored microspores were observed under the fluorescent microscope. During the starvation stress and heat shock (34 o C), the structure of microspores changed into 3 types of embryogenic microspore. Type 1 was indentical with late uninucleate stage; in type 2 the vacuole of microspore was fragmented in periphery position with the nucleus; and type 3 the nucleus found in a cytoplasmic pocket was shifted into centre position..the simetrical division was the first division occurred in embryogenesis stage of microspores. It was occurred on the three cultivars after the incubation period. Then it will form a multicellular structure in the fourth week of N. tabacum L. cv. Vorstenlanden and N. tabacum L. cv. Virginia. Meanwhile, for N. tabacum L. cv Petit havana SR-1 the multicellular structure was formed in the second week. In the next phase, the Naskah ini diterima tanggal 8 Februari 2010 disetujui tanggal 16 April 2010 1

Jurnal Biologi Volume XIV No.1 JUNI 2010 multicellular structure developed into callus for N. tabacum L. cv. Vorstenlanden and N. tabacum L. cv. Virginia. While, for N. tabacum L. cv. Petit havana SR-1 the multicellular structure developed into globular structure. Keywords: Microspore, embryogenesis, starvation, heat shock, Nicotiana tabacum L. cv. Petit havana SR-1, N. tabacum cv. Vorstenlanden, N. tabacum cv. Virginia PENDAHULUAN Tembakau merupakan komoditas unggulan Indonesia. Sampai saat ini Indonesia adalah salah satu negara yang memproduksi rokok dan cerutu dalam jumlah besar. Selain itu juga Indonesia mengekspor daun tembakau ke Eropa. Jumlah produksi tembakau di Indonesia mencapai 80.000 ton pertahun (www.mekarsari.com). Tingginya permintaan pasar menyebabkan Indonesia harus tetap meningkatkan produksi baik secara kuantitas maupun kualitas. Dari tahun ke tahun telah banyak dilakukan usaha untuk memperbaiki kualitas dan kuantitas tanaman melalui berbagai teknik pemuliaan tanaman. Kultur mikrospora adalah salah satu alternatif pemuliaan tanaman secara in vitro. Mikrospora merupakan stadium muda dalam tahap perkembangan polen (Bhojwani dan Bhatnagar, 1999). Secara normal, perkembangan mikrospora selanjutnya akan berdiferensiasi menjadi polen yang berperan sebagai alat reproduksi jantan pada tumbuhan. Dengan kata lain bila tidak ada persatuan antara alat reproduksi jantan dan alat reproduksi betina tidak akan terjadi individu baru sehingga mikrospora /pollen ini akan terbuang secara percuma. Padahal dalam setiap pohon tembakau mengandung ribuan mikrospora. Dengan kultur mikrospora, pollen dalam stadium muda ini bisa diinduksi menjadi embrio. Jika jumlah mikrospora dalam satu kuncup bunga adalah ribuan (satu antera paling tidak mengandung 300 mikrospora) maka dapat diduga jumlah planlet/individu baru yang dihasilkan dari kultur mikrospora tembakau ini. Selain itu keuntungan dari kultur mikrospora adalah dapat diketahui sifatsifat resesif yang muncul ketika dikulturkan yang tidak mudah ditemukan pada metode pemuliaan tanaman yang lain. Dengan adanya kelebihan-kelebihan kultur mikrospora tersebut, maka proses pemuliaan tanaman dapat dilakukan dengan mudah dan cepat. Sehingga kebutuhan akan tembakau berkualitas tinggi pada tahuntahun mendatang diharapkan dapat diatasi dengan kayanya sumber plasma nutfah dari kultur mikrospora ini. Prinsip dasar dari kultur mikrospora adalah menginduksi mikrospora yang bersifat embriogenik dengan cara membelokkan arah perkembangan gametofitik kearah sporofitik sehingga menghasilkan embrio yang bersifat haploid. Fenomena ini dikenal dengan nama embriogenesis mikrospora (Raghavan, 1997). Pada embrio yang bersifat haploid, proses penggandaan kromosom lebih lanjut dapat dilakukan sehingga dihasilkan tanaman yang bersifat double haploid (homozigot) dan sifat ini sangat penting dalam pemulian tanaman (Wattimena dan Mattjik, 1992). Perubahan jalur gametofitik ke arah sporofitik dapat diinduksi dengan mengaplikasikan beberapa perlakuan misalnya berupa stres pelaparan dan stres temperatur (dengan temperatur tinggi atau rendah) (Touraev et al., 1997). Stres berupa temperatur tinggi (30-35 o C ) telah terbukti meningkatkan respon androgenesis pada Brassica, Zea mays L, Triticum aestivum serta Oryza sativa L (Li et al., 1988;. Reddy et al., 1985). Gandum akan menunjukkan respon embriogenesis pada temperatur optimal 32 o C selama 6 hari (Li et al., 1988) dan pada suhu 33 o C yang dikombinasi pelaparan (Touraev et al., 1996). Metode yang sama sebelumnya diterapkan pada Oryza sativa (Ogawa et al., 1994). Sedangkan Brassica campestris menunjukkan respon embriogenesis pada temperatur 35 o C selama 3 hari. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh stres pelaparan dan suhu tinggi terhadap induksi embriogenesis pada mikrospora beberapa kultivar tembakau. MATERI DAN METODE Sumber Eksplan Sumber eksplan bunga yang digunakan berasal dari 3 kultivar tembakau yaitu N. tabacum L. cv. Petit havana SR-1, N. tabacum L. cv. Vorstenlanden, dan N. tabacum L. cv. Virginia. Ukuran kuncup bunga yang digunakan masing-masing: 8mm, 9mm, 10mm, 11mm. Pengadaan Eksplan Penanaman dan pemeliharaan tembakau dilakukan di lahan terbuka yang berlokasi di Bangun Tapan Yogyakarta. Bagian tanaman yang dijadikan eksplan adalah kuncup bunga yang didapatkan setelah tiga bulan masa tanam. Penentuan Stadium Perkembangan Mikrospora Mikrospora diisolasi dari antera, kemudian diamati di bawah mikroskop. Penentuan stadium perkembangan mikrospora dilakukan pada beberapa ukuran kuncup bunga yaitu 8-11mm yang dibagi menjadi 4 kelompok yaitu : 8mm, 9mm 10mm, dan 11 mm. Stadium yang diperlukan adalah stadium uninukleat akhir yang ditentukan atas dasar letak inti, jumlah inti dan vakuolisasi yang terjadi. Isolasi dan Kultur Mikrospora Proses isolasi dan kultur mikrospora dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan Fakultas Biologi UGM. Perlakuan stres diberikan pada mikrospora yang sudah 2

Pengaruh Stress Pelaparan dan Suhu Tinggi Terhadap Induksi Embriogenesis Mikrospora Tembakau [Baiq Farhatul Wahidah] diisolasi secara aseptik. Perlakuan yang diberikan berupa kombinasi stres pelaparan (medium B yang mengandung : KCl 1490mg/l, CaCl 2 147mg/l, MgSO 4 7H 2 O 250 mg/l, Manitol 54700mg/l, KH 2 PO 4 140mg/l ph 7) dan suhu 34 o C selama 4, 6, 8 hari selanjutnya dipindah ke medium embriogenesis (A2 yang mengandung : makronutrient, mikronutrient, vitamin B5, FeNaEDTA, MES 1950mg/l, glutamin 500mg/l dan maltosa 90000 mg/l dengan ph 6,2). Untuk melihat perkembangan inti dilakukan pewarnaan DAPI (4,6-diamidino-2- phenylindole). Pengecatan ini bisa dilakukan pada saat mikrospora masih segar, setelah perlakukan stres dan setelah di medium A2 (embriogenesis). Parameter Penelitian Pada penelitian ini diamati stadium perkembangan mikrospora yang meliputi mikrospora uninukleat awaltengah (UAT), uninukleat akhir (UA), dan binukleat (B). Juga dilakukan pengamatan perkembangan inti setelah perlakuan stres dan dihitung mikrospora uninukleat, binukleat asimetris (BA), binukleat simetris (BS). Viabilitas mikrospora sebelum dan sesudah perlakuan stres juga diamati dan ditentukan prosentase mikrospora embriogenik pada masing-masing perlakuan. Pengamatan juga dilakukan terhadap tipe mikrospora embriogenik yang diamati pada preparat segar, setelah perlakuan stres dan pada medium A2 dan jumlah proembrio/embrio yang terbentuk pada berbagai stadium perkembangan. Teknik Pengumpulan dan Analisis Data Pengumpulan data dilakukan secara deskripsi dan dengan menghitung rata-rata dan standar deviasi dari parameter penelitian. Selain itu dilakukan dokumentasi berupa pemotretan obyek penelitian pada preparat segar, preparat mikrospora yang sudah diberikan perlakuan stres pelaparan dan suhu 34 o C selama 4, 6 dan 8 hari, serta preparat mikrospora yang sudah menjadi embrio. Pengamatan dilakukan di bawah mikroskop cahaya dan fluorescens. HASIL Penetapan Stadium Perkembangan Mikrospora Penelitian dilakukan pada 4 kelompok bunga berdasarkan ukuran kuncup masing-masing : 8mm, 9mm, 10mm, 11mm. Berdasar hasil pengamatan dari keempat kelompok tersebut terlihat semakin panjang ukuran kuncup maka stadium mikrospora semakin dewasa. Stadium perkembangan pada penelitian ini ada 3 kelompok yaitu uninukleat awal-tengah (UAT), uninukleat akhir (UA) dan binukleat (B). Hasil pengamatan menunjukkan ada beberapa perbedaan persentase stadium perkembangan mikrospora pada keempat kelompok ukuran kuncup tersebut (Gambar 1). Persentase tertinggi mikrospora stadium uninukleat akhir adalah pada ukuran kuncup 10 mm. Gambar 1.Stadium perkembangan mikrospora pada berbagai ukuran kuncup. Gambar 2. Perkembangan mikrospora. (A) Mikrospora segar, 1 stadium Uninukleat Awal Tengah, 2. Uninukleat Akhir, 3. Binukleat, 4. Mikrospora yang mengalami plasmolisis; (B-D) Dengan Pengecatan DAPI posisi inti stadium Uninukleat Awal Tengah, Uninukleat Akhir, dan Binukleat; ig inti generatif, iv. Inti vegetatif; (E-G) Mikrospora embriogenik Tipe 1, 2, 3 yang terjadi setelah perlakuan stress; vk. Vakuola, hs helaian sitoplasmik (H-J) Pembelahan simetri dan asimetri serta posisi intinya; ps pembelahan simetri, pas pembelahan asimetri, ss sekat sel Perkembangan Mikrospora Setelah Perlakuan Stres Mikrospora yang diisolasi dan diberi perlakuan stres pelaparan dan suhu 34 o C mengalami perubahan baik viabilitas maupun perubahan secara morfologi dan sitologi (Gambar 2). Gambar 2. Perkembangan mikrospora. (A) Mikrospora segar, 1 stadium Uninukleat Awal-Tengah, 2. Uninukleat Akhir, 3. Binukleat, 4. Mikrospora yang mengalami plasmolisis; (B-D) Dengan Pengecatan DAPI posisi inti stadium Uninukleat Awal-Tengah, Uninukleat Akhir, dan Binukleat; ig inti generatif, iv. Inti vegetatif ;(E-G) Mikrospora embriogenik Tipe 1, 2, 3 yang terjadi setelah perlakuan stres; vk. Vakuola, hs helaian sitoplasmik (H-J) Pembelahan simetri dan asimetri serta posisi intinya; ps pembelahan simetri, pas pembelahan asimetri, ss sekat sel Dari hasil pengamatan morfologi mikrospora embriogenik dibagi menjadi 3 tipe (Indrianto et al., 2001) yaitu tipe 1, tipe 2, dan tipe 3. Mikrospora tipe 1 memiliki ciri yang identik dengan mikrospora fase uninukleat akhir dengan vakuola berukuran besar hampir memenuhi seluruh ruang sel, inti masih di tepi dekat dengan dinding sel. Selanjutnya vakuola mulai terfragmentasi karena terbentuknya strand sitoplasmik yang melewati vakuola dan menghubungkan sitoplasma perinuklear 3

Jurnal Biologi Volume XIV No.1 JUNI 2010 Gambar 3. Korelasi antara lama perlakuan stress dengan viabilitas dan tipe mikrospora embriogenik yang terbentuk Perkembangan Mikrospora Pada Medium Embriogenesis. Mikrospora yang telah mengalami perlakuan stres pelaparan dan suhu tinggi dipindah ke medium embryogenesis (A2) dengan tujuan untuk memberi kondisi yang tepat untuk perkembangan mikrospora embriogenik sehingga mampu menjadi embrio. Beberapa perubahan morfologi yang dapat diamati pada mikrospora embriogenik yang telah dipindah ke medium embriogenesis di antaranya berupa perkecambahan, dan juga tahap-tahap pembelahan sel (Gambar 4 dan 5). Gambar 4. Tahap-tahap pembelahan embrio pada medium embriogenesis; (A-C) tahap 2,3,4 sel dilihat dengan mikroskop cahaya; ss. Sekat sel; (D-F) pengamatan inti tahap 2,3,4 sel dengan pengecatan DAPI; is. Inti sel; (G) multiseluler/proembrio sedang keluar dari cangkangnya ; (H) proembrio yang telah keluar dari cangkangnya; (I) Struktur Globuler, (J-K) Struktur kalus PERKEMBANGAN MIKROSPORA PADA MEDIUM PROSENTASE 25 20 15 10 5 0 EMBRIOGENESIS 2 4 6 2 4 6 2 4 6 2 4 6 2 4 6 2 4 6 2 4 6 2 4 6 2 4 6 4 6 8 4 6 8 4 6 8 SRI VORSTEN VIRGINIA KULTIVAR DAN MINGGU PENGAMATAN Gambar 5. Perkembangan mikrospora pada medium embriogenesis dengan sitoplasma subcortical, inti masih ada dekat dinding sel mikrospora. Mikrospora yang berada dalam keadaan ini dikelompokkan dalam tipe 2. Inti kemudian bergerak ke pusat sel sehingga membentuk struktur seperti bintang (star like). Mikrospora ini dikelompokkan ke dalam tipe 3 (Indrianto et al., 2001). Gambar 3 menunjukkan korelasi antara lama stres (4, 6, 8 hari ) dengan viabilitas mikrospora. Viabilitas mikrospora setelah perlakuan stres mengalami penurunan. KECAMBAH MULTISEL 4SEL 3 SEL ASIMETRI SIMETRI PEMBAHASAN Stadium perkembangan sangat penting dalam menentukan keberhasilan induksi embriogenesis mikrospora. Embrio dalam jumlah banyak dapat diperoleh dari stadium yang responsif yaitu antera yang mengandung mikrospora pada stadum uninukleat akhir dan sebelum mitosis (Dunwell, 1996). Dalam penelitian ini terdapat korelasi antara ukuran panjang kuncup bunga dengan stadium perkembangan mikrospora. Stadium uninukleat awal-tengah memiliki ciri-ciri mikrospora berbentuk bulat dengan vakuola kecil-kecil. Dengan pengecatan DAPI kedudukan inti terletak ditengah. Pada stadium uninukleat akhir kedudukan inti makin ke pinggir dan ukuran vakuola semakin besar bahkan menempati sebagian besar volume sel. Sedangkan untuk stadium binukleat dicirikan dengan adanya 2 inti dalam mikrospora tersebut. Persentase tertinggi mikrospora stadium uninukleat akhir adalah pada ukuran kuncup 10 mm. Menurut Dunwell (1996) ukuran ini merupakan ukuran terbaik sebagai eksplan untuk induksi embriogenesis mikrospora. Touraev et al. (1995) pada Nicotiana tabacum L. cv Petit havana SR-1 menyebutkan stadium uninukleat awal berada pada fase G1, sedangkan stadium uninukleat akhir berada pada fase G2 dalam siklus sel. Tetapi menurut Indrianto et al. (2001) mikrospora pada stadium uninukleat akhir merupakan transisi antara Fase G1 dan S. Fase G1 merupakan periode presintesis DNA sedangkan fase S merupakan masa berlangsungnya sintesis DNA. Pada mikrospora yang 4

Pengaruh Stress Pelaparan dan Suhu Tinggi Terhadap Induksi Embriogenesis Mikrospora Tembakau [Baiq Farhatul Wahidah] diberi perlakuan stres ketika memasuki check point G1 yang berada di antara fase G1 dan S akan menghasilkan proses seluler yang berbeda dari proses alaminya. Dalam hal ini terjadi proses pembelokan arah perkembangan gametofitik ke arah sporofitik. Viabilitas mikrospora setelah perlakuan stres, mengalami penurunan. Hal ini disebabkan karena sebagian mikrospora tidak dapat bertahan hidup pada kondisi yang tidak normal yaitu suhu tinggi dan medium pelaparan. Selain berkurangnya viabilitas, mikrospora mengalami perubahan morfologi dan sitologi. Morfologi mikrospora embriogenik dibagi menjadi 3 tipe, yaitu tipe 1, tipe 2 dan tipe 3. Selama proses stres, mikrospora embrionik tipe 1 akan mengalami perubahan yaitu ukuran sel akan bertambah besar. Secara sitologi pada mikrospora embriogenik terjadi juga perubahan pada organel-organel yang lain yaitu terdapat granula amilum/ secara morfologi tampak lebih jernih, ukuran dan jumlah plastid berkurang, demikian juga mitokondria dan ribosom. Dari hasil pengamatan persentasi mikrospora tipe 1 umumnya paling banyak terdapat pada perlakuan 4 hari. Tetapi semakin lama durasi stres, persentase mikrospora tipe 1 makin berkurang ini disebabkan karena mikrospora tipe 1 berkembang menjadi tipe 2 dan kemudian tipe 3 (Indrianto et al., 2001). Untuk perlakuan 8 hari mikrospora tipe 1 satu sangat sedikit, tipe 2 paling banyak sedangkan tipe 3 cenderung berkurang. Makin berkurangnya mikrospora tipe 3 ini disebabkan karena mikrospora tersebut banyak mengalami kematian karena stres yang berkepanjangan. Seperti telah diuraikan sebelumnya bahwa semakin lama durasi stres maka viabilitas mikrospora semakin rendah. Selama proses induksi dan sebelum pembelahan sel terjadi reorganisasi pada sistem skeleton mikrospora. Tubulin-tubulin terakit menjadi filamen mikrotubul. Mikrotubul kemudian membentuk preprofase band (PPB). Diprediksikan PPB ini merupakan tempat terbentuknya dinding baru pada sel anakan hasil dari mitosis (Simmonds, 1999). Touraev et al. (1996) menyatakan bahwa mikrospora gandum/wheat yang sudah diisolasi menjadi mikrospora embriogenik dengan perlakuan suhu rendah, suhu tinggi, dan pelaparan setelah dipindah ke medium yang diperkaya dengan nutrient dan mengandung ovary muda akan membelah simetri dan memproduksi embrio fase globuler. Medium A2 diperkaya dengan maltosa. Maltosa didegradasi dengan lebih lambat sehingga mampu mempertahankan potensial osmotik medium (Raina dan Irfan, 1998). Dengan terbentuknya embrio dari mikrospora embriogenik merupakan indikasi keberhasilan perlakuan pelaparan dan suhu tinggi yang diberikan pada mikrospora. Tidak semua mikrospora viabel dapat langsung membelah ketika dipindahkan ke medium embriogenesis ini. Pada masing-masing perlakuan tetap ada yang gagal bahkan sel-selnya mengalami plasmolisis. Kematian sel ini bisa disebabkan oleh beberapa faktor antara lain: sentrifugasi yang lama atau terlalu tinggi kecepatannya menyebabkan sel pecah, selain itu bila sel mikrospora sudah mengalami plasmolisis pada minggu pertama perlakuan, ada kemungkinan perlakuan stres yang diberikan belum sempurna (untuk perlakuan dengan durasi singkat 4 hari). Tetapi terdapat kemungkinan sebaliknya yaitu bahwa pemberian yang berkepanjangan menyebabkan mikrospora tipe 3 terlambat dipindah ke medium embriogenesis (A2) sehingga sumber nutrisinya habis dan mikrospora tersebut mengalami kematian. Jalur perkembangan gametofitik selalu diawali dengan pembelahan asimetri yang menghasilkan 2 sel berukuran tidak sama besar yang disebut dengan sel vegetatif dan sel generatif. Sedangkan jalur perkembangan sporofitik ditandai dengan adanya pembelahan simetri yang menghasilkan sel berukuran sama besar. Hasil pengamatan menunjukkan pembelahan simetri umumnya sudah terjadi pada minggu kedua pengamatan. Pembelahan mitosis terus berlangsung selama mikrospora diinkubasi pada medium embriogenesis. Semakin banyak persentasenya sampai minggu keenam pengamatan. Selain pembelahan simetri ternyata pada medium embriogenesis ini juga masih ditemukan sel yang membelah asimetri meskipun persentasenya relatif lebih kecil dari pada pembelahan sismetri. Mikrospora tembakau yang diisolasi pada fase G1 akan mengalami replikasi DNA selama stres kemudian bertahan pada fase G2. Mikrospora yang diisolasi pada fase G2 maka akan mengalami mitosis selama praperlakuan pelaparan dan panas. Sel generatif akan tertahan pada fase G2 sedangkan sel vegetatif tidak mengalami sintetis DNA (Zarsky et al. 1992; Ferrie dan Keller, 1995; Raghavan, 1997). Bhojwani dan Bhatnagar (1999) memprediksikan ada 3 jalur dalam embriogeneis mikrospora yaitu (1) pembelahan simetri, kedua inti berperan dalam pembentukan embrio; (2) asimetri, inti vegetatif yang berperan dalam pembentukan embrio/pembelahan selanjutnya ; dan (3) asimetri, inti generatif yang berperan dalam pembentukan embrio/pembelahan selanjutnya. Fenomena 3 sel pada penelitian ini mungkin saja mikrospora tembakau menempuh jalur 2 atau 3. Sementara itu mikrospora yang telah membelah secara simetri kemudian membelah lagi menjadi 4 sel, 8 sel dan seterusnya sampai terbentuk struktur multiseluler (Indrianto et al., 2001). Hasil pengamatan menunjukkan adanya perbedaan waktu terbentuknya struktur multiseluler pada ketiga kultivar tembakau. Pembelahan sel menjadi struktur multiseluler pada N. tabacum L. cv. Vorstenlanden dan N. tabacum L. cv. Virginia baru terbentuk pada minggu ke 4 masa inkubasi, sedangkan pada N. tabacum L. cv. Petit havana SR-1 sudah terlihat pada minggu ke-2 masa inkubasi. Selain itu persentase mikrospora yang membelah membentuk struktur multiseluler pada 5

Jurnal Biologi Volume XIV No.1 JUNI 2010 N. tabacum cv. Petit havana SR-1 jauh lebih tinggi di bandingkan dua kultivar lainnya. Fenomena ini menunjukkan bahwa N. tabacum cv. Petit havana SR-1 lebih responsif untuk diinduksi. Pada perkembangan selanjutnya struktur multiseluler akan bertambah besar dan mendesak dinding mikrospora sehingga dinding pecah. Sebagai akibatnya struktur multiseluler terlepas dari dinding mikrospora atau dikenal dengan mikrospora keluar dari cangkangnya (Indrianto et al., 2001). Setelah keluar dari cangkang multiseluler akan mengalami pembelahan terus menerus dan melanjutkan perkembangannya seperti embrio zigotik yaitu akan membentuk struktur globuler, jantung dan torpedo (Toonen dan De Vries, 1996). Struktur globuler pada penelitian ini baru dihasilkan pada minggu ke 6 masa inkubasi pada medium embriogenesis. Perkembangan struktur multiseluler setelah keluar dari cangkangnya tidak semuanya akan terdiferensiasi secara sempurna. Untuk struktur multiseluler yang berasal dari mikrospora N. tabacum L. cv. Petit havana SR-1 umumnya setelah keluar dari cangkangnya akan membentuk protoderm dan selanjutnya berkembang menjadi globuler. Tetapi untuk struktur multiseluler yang berasal dari mikrospora N. tabacum L. cv. Vorstenlanden dan N. tabacum cv. Virginia setelah keluar dari cangkangnya akan membelah terus menerus tanpa membentuk protoderm dan pada akhirnya membentuk mikrokalus. Dari hasil pengamatan menunjukkan bahwa pada semua kultivar tembakau yang menjadi obyek penelitian struktur multiseluler paling banyak diproduksi dari mikrospora yang diberi perlakuan pelaparan dan suhu 34 o C selama 6 hari dan yang memiliki persentase mikrospora tipe 3 tertinggi. SIMPULAN Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah diuraikan di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa pengaruh perlakuan stres pelaparan dan suhu tinggi pada mikrospora tembakau adalah terjadinya perubahan struktural menjadi 3 tipe mikrospora embriogenik yaitu tipe 1, tipe 2, dan tipe 3. Mikrospora embrionik tipe 3 didapatkan paling banyak pada perlakuan selama 6 hari. Tahap perkembangan mikrospora embriogenik pada medium embryogenesis (A2) adalah terjadi pembelahan simetri pertama pada minggu ke-2 sampai ke-4 masa inkubasi. Perkembangan berlanjut sampai embrio stadium globuler pada N. tabacum L. cv. Petit havana SR-1 sedangkan pada N. tabacum L. cv Vorstenlanden dan N. tabacum L. cv. Virginia akan berkembang menjadi kalus. Nicotiana tabacum L. cv. Petit havana SR-1 adalah kultivar yang memberikan respon embriogenesis paling tinggi terhadap pengaruh stres pelaparan dan suhu tinggi. KEPUSTAKAAN Bhojwani, S.S. and S.P Bhatnagar. 1999. The Embriology of Angiosperm. New Delhi. Vicas Publishing Hause PVT LTD. Dunwell J.M. 1996. Microspore Culture. In Jain S.M; S.K. Sopory and R.E Veilleux (Eds). In Vitro Haploid Production in Higher Plants Vol I Fundamental Aspect in Method. Nederlands. Kluwer Academics Publishers. p:205-216 Ferrie, A.M.P., W.A. Keller. 1995. Microspore Culture For Haploid Plant Production in : Gamborg O.L. and Philips. G.C. (eds). Plant Cell, Tissue and Organ Culture Fundamental Methods. Heidelberg German. Springer verlag Berlin. Indrianto,A., I. Barinova, A. Touraev, E. Heberle Bors. 2001. Tracking Individual Wheat Microspores In vitro: Indentifikation of Embriogenic Microspores and Body Axis Formation in Embryo. Planta 212 : 163-174 Li H.K, A.Q. Javed, K.K. Kutty. 1988. The Influence of Different Temperature Treatments on Anthere Culture Response of Spring Wheat (Triticum aestivum L.). Plant Sci. 57: 55-61 Ogawa, T.F., Hiroyuki, Y. Ohkawa. 1994. Introduction of Cell Division of Isolated Pollen Grains by Sugar Starvation in Rice. Breeding Science 44 : 75-77 Raghavan, V. 1997. Molecular Embriology. Plant Molecular Biology. Cambridge University Press. New York. Raina, S.K., S.T. Irfan. 1998. High Frequency Embryogenesis and Plant Regeneration from Isolated Microspore of Indica Rice. Plant Cell Report. 17:957-962 Reddy V.S., S. Leelavanti, S.K. Sen. 1985. Influence of Genotipe and Culture Medium in Microspore Callus Induction and Green Plant Regeneration in Anthera of Oryza sativa. Physiol. Plant 63: 309-314 Simmonds, D.H. 1999. Role of Cytoskeleton in Microspore Development. PBI. Bulletin. Toonen. M.A.J., S.C. De Vries. 1996. Initiation of Somatic Embryo from Single Cells in : T.L. Wangand cuming (eds) Embryogenesis : The Generation of Plant. Bios Scientific Publishers. Pp. 173-189 Touraev, A., A. Indrianto, I. Wratschko, O. Vincente, E. Heberle- Bors. 1996. Eficient Microspore Embriogenesis in Wheat (Triticum aestivum L.) Induced by Starvation at High Temperature. Sex Plant Reprod 9: 209-215 Touraev, A, O. Vincente, E. Heberle Bors. 1997. Initiation of Microspore Embriogenesis by Stress. Trends Plant Sci 2: 285-303. Wattimena, GA, N.A. Mattjik. 1992. Pemuliaan Tanaman Secara Invitro. Depdikbud dirjen. Perguruan Tinggi PAU BIOTEK. ITB Zarsky,V, D. Garrido, L. Rihova, J. Tupy, O. Vicente, E. Heberle- Bors. 1992. Depression of the Cell Cycle by Starvation is Involved in The Induction of Tobacco Pollen Embryogenesis. Sexual Plant Reproduction 5. 189-194 6