Tinjauan Kebijakan Moneter Agustus 2005

dokumen-dokumen yang mirip
1. Tinjauan Umum

Tinjauan Kebijakan Moneter September 2005

BANK INDONESIA. Telepon : (sirkulasi) Fax. : Website :

ANALISA TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan III

Tinjauan Kebijakan Moneter November 2005

3. Perkembangan dan Kebijakan Moneter Triwulan I-2007

BANK INDONESIA. Telepon : (sirkulasi) Fax. : Website :

3. Perkembangan dan Kebijakan Moneter Triwulan III-2005

3. Perkembangan dan Kebijakan Moneter Triwulan III-2006

TINJAUAN KEBIJAKAN MONETER

3. Perkembangan dan Kebijakan Moneter Triwulan IV-2006

3. Perkembangan dan Kebijakan Moneter Triwulan IV-2005

BANK INDONESIA. Telepon : (sirkulasi) Fax. : Website :

BANK INDONESIA. Telepon : (sirkulasi) Fax. : Website :

Tinjauan Kebijakan Moneter Februari 2006

PERKEMBANGAN MONETER, PERBANKAN DAN SISTEM PEMBAYARAN TRIWULAN III 2004

ANALISA TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran

ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan III

Tinjauan Kebijakan Moneter Maret 2006

Tinjauan Kebijakan Moneter Agustus 2006

3. Perkembangan dan Kebijakan Moneter Triwulan II-2006

Laporan Bulanan Ekonomi, Moneter, dan Perbankan Juni 2005

ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV

ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV

Ekonomi, Moneter dan Keuangan

Tinjauan Kebijakan Moneter November 2008

... BANK INDONESIA I N D O N E S I A B A N K

3. Perkembangan dan Kebijakan Moneter Triwulan IV-2007

Tinjauan Kebijakan Moneter Maret 2009

PERKEMBANGAN MONETER, PERBANKAN DAN SISTEM PEMBAYARAN TRIWULAN III 2003

BAB IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN

Ikhtisar. Kestabilan ekonomi relatif terjaga.

Ikhtisar. Perkembangan ekonomi masih membaik.

Ikhtisar. Sampai dengan akhir tahun 2004, kestabilan makroekonomi dapat terus dipertahankan. Perkembangan harga pada Desember mencatat inflasi.

Ikhtisar. Kinerja ekonomi Indonesia menunjukkan. perkembangan. yang membaik. Pada Februari,

BAB 1 PENDAHULUAN. Sistem Perbankan sebagai bagian dari sistem keuangan diharapkan dapat

PERKEMBANGAN MONETER, PERBANKAN DAN SISTEM PEMBAYARAN TRIWULAN I-2003

Ikhtisar. Kondisi eksternal masih kondusif dan permintaan domestik masih tinggi.

3. Perkembangan dan Kebijakan Moneter Triwulan I-2006

PERKEMBANGAN MONETER, PERBANKAN DAN SISTEM PEMBAYARAN TRIWULAN II 2004

Ikhtisar. Perkembangan ekonomi secara umum masih stabil.

Ikhtisar. Membaiknya kinerja ekonomi dalam negeri masih dapat dipertahankan.

PERKEMBANGAN MONETER, PERBANKAN DAN SISTEM PEMBAYARAN TRIWULAN I 2004

TINJAUAN KEBIJAKAN MONETER

Tinjauan Kebijakan Moneter September 2012

Ikhtisar. Indikator makroekonomi menunjukkan perkembangan yang stabil.

BAB IV GAMBARAN UMUM OBYEK PENELITIAN

Kinerja CARLISYA PRO SAFE

Ikhtisar. Perekonomian tahun 2003 relatif stabil dan membaik. Inflasi Desember 2003 menurun dibanding November...

Tinjauan Kebijakan Moneter Juni 2009

Tinjauan Kebijakan Moneter Juni 2006

Ikhtisar. Ekonomi diperkirakan tumbuh 5% (y-o-y). Perkembangan harga pada bulan Nopember mencatat inflasi.

Kinerja CARLISYA PRO MIXED

Tinjauan Kebijakan Moneter Februari 2012

Tinjauan Kebijakan Moneter Juni 2011

Tinjauan Kebijakan Moneter November 2009

Tinjauan Kebijakan Moneter Desember 2008

Ikhtisar. Perkembangan ekonomi ditandai oleh kenaikan kegiatan ekonomi. Laju inflasi Juli lebih rendah dari Juni...

Ikhtisar. Perkembangan makroekonomi masih sesuai dengan proyeksi awal tahun. Perkembangan harga mencatat deflasi. Nilai tukar rupiah stabil.

Ikhtisar. Perkembangan ekonomi sampai dengan Januari masih tetap stabil.

Tinjauan Kebijakan Moneter Maret 2013

Ringkasan eksekutif: Di tengah volatilitas dunia

Ikhtisar. Kondisi makro ekonomi dan moneter relatif stabil. Laju inflasi Juni lebih rendah dari Mei...

INDONESIA PADA GUBERNUR BANK PANITIA ANGGARAN SEMESTER

Kinerja CARLISYA PRO FIXED

PERKEMBANGAN DAN PROFIL RISIKO INDUSTRI JASA KEUANGAN FEBRUARI 2015

Tinjauan Kebijakan Moneter November 2012

Tinjauan Kebijakan Moneter Februari 2013

TINJAUAN KEBIJAKAN MONETER

PERKEMBANGAN MONETER, PERBANKAN DAN SISTEM PEMBAYARAN TRIWULAN IV 2003

TINJAUAN UMUM. Tim Penulis Analisis Triwulanan Bank Indonesia

Perkembangan Terkini Perekonomian Global dan Nasional serta Tantangan, dan Prospek Ekonomi ke Depan. Kantor Perwakilan BI Provinsi Kalimantan Timur

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA,

Uang Beredar (M2) dan Faktor yang Mempengar. aruhi. Nov. Okt. Grafik 1. Pertumbuhan PDB, Uang Beredar, Dana dan Kredit KOMPONEN UANG BEREDAR

aruhi Uang Beredar (M2) dan Faktor yang Memen

Uang Beredar (M2) dan Faktor yang Mempengar. aruhi

Kinerja CENTURY PRO FIXED

PERKEMBANGAN EKONOMI TERKINI, PROSPEK DAN RISIKO

meningkat % (yoy) Feb'15

LAPORAN KINERJA BULANAN - PANIN Rp CASH FUND

BAB I PENDAHULUAN. tantangan yang cukup berat. Kondisi perekonomian global yang kurang

Tinjauan Kebijakan Moneter

BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN

ANALISIS Perkembangan Indikator Ekonomi Ma kro Semester I 2007 Dan Prognosisi Semester II 2007

Inflasi mtm sedikit meningkat, BI Rate Akan Kembali Diturunkan

PERKEMBANGAN TERKINI, TANTANGAN, DAN PROSPEK EKONOMI INDONESIA

Tinjauan Kebijakan Moneter Januari 2013

LAPORAN KINERJA BULANAN - PANIN Rp CASH FUND

STATEMENT KEBIJAKAN MONETER

IV. KINERJA MONETER DAN SEKTOR RIIL DI INDONESIA Kinerja Moneter dan Perekonomian Indonesia

Uang Beredar (M2) dan Faktor yang Mempengaruhi

ANALISIS TRIWULANAN:

LAPORAN KINERJA BULANAN - PANIN Rp CASH FUND

Februari 2017 RESEARCH TEAM

aruhi Uang Beredar (M2) dan Faktor yang Mempengar

BAB I PENDAHULUAN. secara umum diukur dari pertumbuhan ekonomi negara tersebut. Hal ini disebabkan

Kondisi Perekonomian Indonesia

Tinjauan Kebijakan Moneter September 2009

BAB I PENDAHULUAN. berhubungan dengan penawaran (supply) dan permintaan (demand) dana jangka

I. PENDAHULUAN. aspek yang tidak terpisahkan dari perkembangan ekonomi negara terbuka. Keterbukaan ekonomi Indonesia akan membawa konsekuensi pada

Transkripsi:

Tinjauan Kebijakan Moneter Agustus 2005 Tinjauan Kebijakan Moneter (TKM) dipublikasikan secara bulanan oleh Bank Indonesia setelah Rapat Dewan Gubernur (RDG) pada setiap bulan Februari, Maret, Mei, Juni, Agustus, September, November, dan Desember. Laporan ini dimaksudkan sebagai media bagi Dewan Gubernur Bank Indonesia untuk memberikan penjelasan kepada masyarakat luas mengenai evaluasi kondisi moneter terkini atas asesmen dan prakiraan perekonomian Indonesia serta respon kebijakan moneter Bank Indonesia yang dipublikasikan dalam Laporan Kebijakan Moneter (LKM) secara triwulanan pada setiap bulan Januari, April, Juli, dan Oktober. Secara rinci, TKM menyampaikan hasil evaluasi atas perkembangan terkini mengenai inflasi, nilai tukar dan kondisi moneter selama bulan laporan, serta keputusan respon kebijakan moneter yang ditempuh Bank Indonesia. Dewan Gubernur Burhanuddin Abdullah Miranda S. Goeltom Maulana Ibrahim Maman H. Soemantri Bun Bunan E.J. Hutapea Aslim Tadjuddin Hartadi A. Sarwono Siti Ch. Fadjrijah Gubernur Deputi Gubernur Senior Deputi Gubernur Deputi Gubernur Deputi Gubernur Deputi Gubernur Deputi Gubernur Deputi Gubernur 1

Daftar Isi I. Statement Kebijakan Moneter... 3 II. Perkembangan dan Kebijakan Moneter... 4 Inflasi... 5 Nilai Tukar Rupiah... 7 Kebijakan Moneter... 9 Strategi Kebijakan... 10 Suku Bunga... 11 Dana, Kredit, dan Uang Beredar... 13 Pasar Modal... 15 Kondisi Perbankan... 17 III. Respon Kebijakan Moneter... 18 2

I. STATEMENT KEBIJAKAN MONETER Bank Indonesia melalui Rapat Dewan Gubernur (RDG) tanggal 9 Agustus 2005 memutuskan untuk menaikkan BI Rate sebesar 25 basis poin menjadi 8,75%. Kenaikan BI Rate dipandang perlu untuk memperkuat arah kebijakan moneter cenderung ketat yang telah ditempuh setelah mempertimbangkan perkembangan terkini dan prospek ekonomi moneter ke depan serta memperhatikan upaya pencapaian sasaran inflasi jangka menengah. Keputusan menaikkan tingkat BI Rate diambil berdasarkan dua pertimbangan pokok. Pertama, ekspektasi inflasi cenderung meningkat sejalan dengan kenaikan harga minyak dunia yang dapat meningkatkan administered prices dan pelemahan nilai tukar Rupiah. Kedua, meningkatnya risiko stabilitas makro ekonomi terkait dengan perkembangan faktor eksternal yaitu kenaikan suku bunga Fed, melemahnya mata uang dunia terhadap USD dan meningkatnya harga minyak. Penjelasan rinci mengenai evaluasi inflasi, nilai tukar, dan kondisi moneter terkini disajikan dalam Tinjauan Kebijakan Moneter (TKM) bulan Agustus 2005 ini. Kenaikan BI Rate tersebut juga dipandang masih dapat mendukung kelangsungan proses pemulihan ekonomi. Asesmen menyeluruh dan prakiraan perekonomian Indonesia untuk periode 2 (dua) tahun ke depan telah dibahas dalam RDG Juli 2005 yang hasilnya telah dipublikasikan dalam Laporan Kebijakan Moneter (LKM) Triwulan II-2005. Diantaranya telah disampaikan bahwa perekonomian Indonesia mengalami ekspansi yang cukup tinggi, didukung terutama oleh investasi, dan diperkirakan masih berada di bawah tingkat potensialnya. Akan tetapi kondisi neraca pembayaran mulai mengalami tekanan terutama akibat tingginya impor dibanding ekspor dan masih terbatasnya aliran modal asing ke Indonesia. Karena itu, sinergi kebijakan diperlukan untuk menjaga stabilitas makroekonomi dan kesinambungan pertumbuhan ekonomi. Dalam hal ini, perbaikan iklim investasi dan daya saing sangat diperlukan untuk mendorong investasi asing dan meningkatkan ekspor. Sementara itu, respon kebijakan moneter cenderung ketat diperlukan untuk mengatasi masih tingginya tekanan inflasi, khususnya yang bersumber dari meningkatnya ekspektasi inflasi dan melemahnya nilai tukar Rupiah. 3

Untuk mendukung implementasi BI Rate tersebut, upaya pengelolaan likuiditas di perbankan dan pasar keuangan terus dilakukan. Implementasi BI Rate dilakukan dengan instrumen Operasi Pasar Terbuka (OPT), yaitu melalui lelang mingguan SBI tenor 1 (satu) bulan. Pengelolaan likuiditas dengan FASBI serta instrumen FTO (Fine Tune Operation) juga terus dilakukan. Sementara itu, lelang bulanan SBI tenor 3 (tiga) bulan secara bertahap akan diarahkan untuk membentuk struktur suku bunga yang wajar di pasar keuangan. II. PERKEMBANGAN DAN KEBIJAKAN MONETER Sampai dengan bulan Juli 2005, tekanan terhadap kestabilan makroekonomi masih berlanjut seperti tercermin pada kenaikan inflasi dan melemahnya nilai tukar Rupiah. Inflasi IHK meningkat dibandingkan bulan sebelumnya, terutama terkait dengan meningkatnya harga volatile foods, masih tingginya administered prices, serta meningkatnya ekspektasi inflasi sejalan dengan kenaikan harga minyak dunia yang dapat meningkatkan administered prices dan pelemahan nilai tukar Rupiah. Sementara itu, tekanan terhadap depresiasi rupiah didorong oleh sentimen penguatan dolar AS secara global sehubungan dengan kenaikan suku bunga Fed, serta masih tingginya permintaan valas untuk impor dan pembayaran utang luar negeri di tengah terbatasnya pasokan valas karena belum kuatnya peningkatan ekspor dan aliran masuk modal asing. 4 Untuk mengendalikan tekanan inflasi dan sebagai langkah antisipatif terhadap tren meningkatnya inflasi ke depan, Bank Indonesia memutuskan untuk tetap melanjutkan kebijakan moneter cenderung ketat. Sesuai hasil keputusan RDG Juli 2005, BI Rate ditetapkan sebesar 8,50% untuk periode triwulan II-2005. Perubahan BI Rate dapat dilakukan dalam RDG bulan berikutnya apabila diperlukan. Hingga akhir bulan Juli 2005, tren kenaikan suku bunga instrumen moneter tersebut telah direspon oleh kenaikan indikator suku bunga lainnya walaupun dalam besaran yang berbeda-beda. Sejalan dengan tren peningkatan suku bunga, kondisi likuiditas perbankan yang tercermin pada uang primer mulai mengalami penurunan sementara likuiditas perekonomian yang tercermin pada perkembangan uang beredar (M2) cenderung stabil. Sementara itu, kinerja industri perbankan relatif membaik seperti tercermin dari meningkatnya intermediasi dan profitabilitas perbankan.

I n f l a s i (%) y-o-y (%) y-o-y 14 12 10 8 6 4 2 0-2 -4 IHK Int (exclusion) Administered Volatile Food 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 2003 2004 2005 Grafik 2.1. Inflasi IHK, Administered, Inti dan Volatile Foods Inflasi IHK bulan Juli 2005 mengalami peningkatan dibandingkan bulan sebelumnya. Inflasi IHK mencapai 7,84%(yoy), meningkat dibandingkan bulan Juni 2005 sebesar 7,42% (yoy). Secara kumulatif, inflasi dari Januari Juli tercatat sebesar 5,07%. Meningkatnya tekanan inflasi terutama bersumber dari tingginya inflasi volatile food yang mencapai 7,31% (yoy), dibandingkan dengan 5,16% pada bulan sebelumnya. Inflasi administered prices juga meningkat mencapai 11,79% (yoy) dari 11,57% pada bulan Juni 2005. Sementara itu, inflasi inti sedikit menurun namun masih pada level yang tinggi, yaitu sebesar 6,67% dibandingkan dengan 6,78% pada bulan sebelumnya. Dengan perkembangan tersebut, inflasi IHK masih berada di atas sasaran inflasi yang ditetapkan Pemerintah sebesar 6%±1% untuk tahun 2005. Inflasi volatile foods meningkat tajam terutama karena berkurangnya pasokan dan terganggunya distribusi barang dan jasa di sejumlah daerah. Inflasi volatile foods pada bulan Juli 2005 tercatat sebesar 2,43% (mtm) sehingga secara tahunan mencapai 7,31%, lebih tinggi dibanding bulan sebelumnya sebesar 5,16% (yoy). Hal ini terutama didorong oleh kenaikan harga beras dan beberapa bahan makanan lainnya seperti bumbubumbuan. Kenaikan harga tersebut diakibatkan oleh berkurangnya pasokan sehubungan dengan telah lewatnya masa panen raya, kelangkaan BBM di beberapa kota, dan gagal panen akibat kekeringan di sejumlah daerah. Rp/USD 10.500 10.000 9.500 9.000 8.500 8.000 Kurs (skala kiri) Inflasi IHK Inflasi Inti (exclusion) %, y-o-y 7.500 4 2002 2003 2004 2005 Grafik 2.2. Inflasi IHK, Inflasi Inti dan Nilai Tukar 16 14 12 10 8 6 Inflasi administered prices Juli 2005 kembali meningkat dan masih berada pada level yang tinggi. Inflasi administered prices meningkat dari 11,57% pada bulan Juni menjadi sebesar 11,79% (yoy) pada bulan laporan. Kenaikan inflasi administered prices pada bulan laporan terutama disebabkan oleh kenaikan harga minyak tanah akibat kelangkaan di beberapa daerah. Kenaikan harga minyak tanah tersebut telah memberikan sumbangan pada inflasi Juli 2005 sebesar 0,03%. Sementara itu, kenaikan Harga Jual Eceran (HJE) rokok sebesar 15% pada tanggal 1 Juli sudah diantisipasi oleh produsen rokok dengan menaikkan harga rokok di bulan Juni sehingga tidak lagi berdampak signifikan pada inflasi bulan Juli 2005. Sementara itu, inflasi inti masih relatif tinggi meskipun menurun dari bulan sebelumnya. Inflasi inti (core inflation) tercatat sebesar 6.67% (yoy) pada 5

bulan Juli, sedikit lebih rendah dari 6,78% pada bulan sebelumnya. Masih tingginya inflasi inti terutama karena meningkatnya ekspektasi inflasi masyarakat dan pengaruh langsung melemahnya nilai tukar Rupiah, sementara faktor output gap sejauh ini belum memberikan tekanan cukup berarti pada inflasi inti sejalan dengan kondisi ekonomi yang diperkirakan masih berada di bawah output potensialnya. Kenaikan administered prices, khususnya harga BBM pada bulan Februari 2005, telah mendorong peningkatan ekspektasi inflasi di masyarakat bahkan sejak akhir tahun 2004 ketika rencana kenaikan harga BBM tersebut tengah dibahas. Sejak itu, ekspektasi inflasi terus mengalami peningkatan dengan adanya kenaikan administered prices yang lain serta melemahnya nilai tukar rupiah. Meningkatnya ekspektasi inflasi terjadi baik pada konsumen maupun pedagang, seperti tercermin pada hasil Survei Ekspektasi Konsumen dan Survei Penjualan Eceran (Grafik 2.3 dan 2.4). Sementara itu, melemahnya Rupiah juga memberikan tekanan secara langsung pada inflasi inti, seperti tercermin pada beberapa indikator seperti perkembangan inflasi harga barang impor 1 dan inflasi Indeks Harga Perdagang Besar (IHPB) impor yang mengalami peningkatan. Namun demikian, sejauh ini dampak langsung depresiasi nilai tukar tersebut belum secara penuh berpengaruh kepada inflasi domestik mengingat relatif kecilnya pangsa barang impor dalam perhitungan inflasi dan belum sepenuhnya pass-through nilai tukar ditransmisikan ke inflasi. Ke depan, tekanan inflasi diperkirakan masih akan berlanjut dan cenderung lebih besar. Tekanan inflasi terutama berasal dari kemungkinan kenaikan administered prices lebih lanjut dan melemahnya nilai tukar rupiah, yang telah mendorong meningkatnya ekspektasi inflasi di masyarakat seperti tercermin pada hasil survei ekspektasi konsumen dan pedagang seperti dikemukakan di atas. Peningkatan ekspektasi inflasi ini juga tidak terlepas dari kenaikan harga minyak dunia yang dapat meningkatkan administered prices dan pelemahan nilai tukar Rupiah. Beberapa risiko tekanan inflasi dari sisi kenaikan administered prices terutama berkaitan dengan kenaikan harga BBM untuk industri dan rencana Pemerintah untuk menaikkan tarif listrik untuk sektor industri dan harga LPG. Sementara itu, risiko tekanan inflasi dari sisi melemahnya nilai tukar tidak terlepas dari meningkatnya risiko stabilitas makroekonomi Indonesia terkait dengan perkembangan faktor eksternal yaitu kenaikan suku bunga Fed, melemahnya mata uang dunia terhadap USD dan meningkatnya harga minyak. Indeks 170,0 160,0 150,0 140,0 130,0 120,0 110,0 100,0 Survei Konsumen - BI Ekspektasi harga 6 bl ke depan 90,0 2002 2003 2004 2005 Grafik 2.3. Survei Ekspektasi Konsumen Indeks 170 6 bulan yad 3 bulan yad 1 bulan yad 160 150 140 130 120 110 Survei Penjualan Eceran, BI 100 2002 2003 2004 2005 Grafik 2.4. Survei Penjualan Eceran 6 1 Berdasarkan informasi BPS dalam keranjang IHK terdapat 107 komoditas impor.

Nilai Tukar Rupiah Rp/USD 10.000 9.500 9.000 8.500 8.000 7.500 7.000 2003 2004 2005 Sumber : Bloomberg diolah Grafik 2.5. Perkembangan Nilai Tukar Rupiah % 5,0 4,5 4,0 3,5 3,0 2,5 2,0 1,5 1,0 0,5 0,0 Volatilitas Kurs Rp Rata-rata Volatilitas Grafik 2.6. Volatilitas Nilai Tukar Rupiah Indeks 105,0 102,5 100,0 97,5 95,0 92,5 90,0 87,5 85,0 9.810 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 2003 2004 2005 JPY Curncy THB Curncy IDR Curncy KRW Curncy PHP Curncy EUR Curncy Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul 2 0 0 5 Grafik 2.7. Perkembangan Nilai Tukar Beberapa Negara Pada bulan Juli 2005, tekanan terhadap melemahnya nilai tukar Rupiah masih berlanjut, meskipun dengan volatilitas yang relatif stabil. Secara ratarata nilai tukar rupiah mencapai Rp9.810/USD atau terdepresiasi sebesar 0.83% dibandingkan dengan bulan sebelumnya, sedangkan secara pointto-point mencapai Rp9.805/USD atau terdepresiasi 0,45% (Grafik 2.5). Secara kumulatif, rupiah dalam periode Januari-Juli 2005 mencapai ratarata Rp9.487/USD atau mengalami depresiasi sebesar 8% dari periode yang sama tahun 2004. Sementara itu, volatilitas Rupiah selama Juli 2005 relatif tetap, yaitu sebesar 0,85%, dibandingkan bulan sebelumnya sebesar 0,87% (Grafik 2.6). Melemahnya Rupiah tidak terlepas dari sentimen penguatan nilai tukar dolar AS terhadap hampir semua mata uang dunia. Meningkatnya tekanan inflasi akibat kenaikan harga minyak dunia telah mendorong bank sentral AS beberapa kali menaikkan suku bunga Fed dan diperkirakan dapat mencapai 4% hingga akhir tahun 2005. Di sejumlah negara, seperti Australia dan Selandia Baru, suku bunga instrumen moneter juga mengalami kenaikan untuk mengatasi peningkatan tekanan inflasi akibat kenaikan harga minyak dunia. Sementara di Uni Eropa dan Jepang, kenaikan suku bunga belum terlihat signifikan karena permasalahan struktural ekonomi dalam negeri masing-masing. Kondisi ini telah menyebabkan penyesuaian terhadap ketidakseimbangan ekonomi global lebih tercermin pada penguatan dolar AS dan pelemahan berbagai mata uang dunia, termasuk Rupiah (Grafik 2.7). Selain itu, kenaikan suku bunga Fed dan kenaikan harga minyak tersebut juga menimbulkan ketidakpastian pasar keuangan dunia sehingga mendorong investor global meningkatkan premi risiko bagi investasinya ke emerging markets, termasuk Indonesia. Kondisi eskternal yang kurang kondusif seperti ini serta kondisi iklim investasi di dalam negeri yang belum membaik telah mengakibatkan kenaikan premi risiko investasi di Indonesia, seperti tercermin pada tingginya yield spread antara obligasi Pemerintah Indonesia dengan US T-Notes (Grafik 2.8). Sementara itu, terjadinya revaluasi Yuan Cina dan Ringgit Malaysia sempat mengurangi tekanan depresiatif Rupiah meskipun cenderung berlangsung temporer. Tekanan terhadap nilai tukar Rupiah juga berasal dari masih tingginya ekses permintaan di pasar valas domestik. Permintaan valas di dalam negeri terus meningkat, di samping untuk pembayaran utang luar negeri swasta, juga 7

untuk kebutuhan impor akibat melonjaknya harga minyak dunia serta meningkatnya impor bahan baku dan barang modal sejalan dengan kuatnya ekspansi permintaan domestik. Selain Pertamina, tingginya permintaan valas terutama berasal dari korporasi, khususnya BUMN, otomotif, makanan, dan baja/logam (Grafik 2.9). Sementara itu, pasokan valas masih terbatas sehubungan dengan belum kuatnya peningkatan kinerja ekspor dan aliran masuk modal asing. Dengan kebijakan penyediaan valas untuk Pertamina dan BUMN tanggal 5 Juli 2005, tingginya ekses permintaan valas selama bulan Juli dapat ditekan sehingga menjadi sekitar USD 859 juta (Grafik 2.10). Aliran modal asing keluar yang terjadi pada bulan-bulan sebelumnya karena sentimen negatif global telah mulai mereda. Bahkan, pada bulan Juli 2005 mulai terjadi aliran modal masuk secara neto ke pasar valas domestik walaupun nilainya masih relatif kecil. Selama Juli 2005, kepemilikan asing pada SBI dan SUN meningkat, masing-masing sebesar Rp528 miliar (USD54 juta) dan Rp1.014 miliar (USD103 juta) sehingga menjadi Rp4,6 triliun (USD469 juta) dan Rp15,5 triliun (USD1,580 juta), sementara net beli saham oleh asing mencapai Rp1.342 miliar (USD137 juta). Sementara itu, implementasi Peraturan Bank Indonesia No. 7/14/PBI/ 2005 telah menurunkan penempatan asing dalam transaksi swap dari ratarata harian sebesar USD415 juta (Juni) menjadi hanya USD66 juta pada bulan Juli, bahkan posisinya pada akhir Juli 2005 menjadi nihil. Dari sisi suku bunga, kenaikan suku bunga di dalam negeri telah mendorong kenaikan covered interest rate differential menjadi sebesar 2,61% sehingga masih cukup menarik bagi penempatan dana di Indonesia oleh investor asing. % 8,0 7,5 7,0 6,5 6,0 5,5 5,0 4,5 4,0 3,5 US T. Note (jatuh tempo 2014) 30 11 22 2 13 24 5 16 27 7 18 29 8 19 9 20 3 14 25 5 16 27 8 19 30 10 21 2 13 24 Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul 2 0 0 4 2 0 0 5 Grafik 2.8. Yield Spread antara Obligasi Pemerintah Indonesia dengan US T-Notes Total, BUMN (Juta USD) 4.000 3.500 3.000 2.500 2.000 1.500 1.000 500 0 Global Bond R '14 (jatuh tempo 2014) Yield Spread (2014) TOTAL KORPORASI Telekomunikasi (IT) Migas (Excl. Pertamnia) Makanan Baja, Otomotif, Migas, Makanan, Telekomunikasi (Juta USD) 600 BUMN Baja/Logam 500 Otomotif 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 * 2 0 0 3 2 0 0 4 2 0 0 5 *) Data Sementara per 27 Juli Grafik 2.9. Perkembangan Nilai Tukar Rupiah 400 300 200 100 0 Juta USD Rp/USD 1.500 8.000 1.000 500 - (500) (1.000) Excess Supply 8.200 8.400 8.600 8.800 9.000 9.200 9.400 (1.500) Net S(+)/D(-) dari Pelaku LN Excess Demand 9.600 (2.000) Net S(+)/D(-) dari Pelaku DN 9.800 Rp/USD Net S(+)/D(-) Total Pelaku DN+LN (2.500) 10.000 Grafik 2.10. Volatilitas Nilai Tukar Rupiah 8

Kebijakan Moneter Strategi Kebijakan Triliun Rp (BEJ) 6,0 5,0 4,0 3,0 2,0 1,0 0,0-1,0 Kepemilikan Asing di SUN (skala kanan) Net Beli Asing di BEJ (skala kiri) Triliun Rp (SUN) 2003 2004 2005 Cat : Data Maret dan Mei untuk saham mengeluarkan nilai transaksi di hari ketika terjadi transaksi non-reguler HM Sampoerna. *) Data masih sementara Grafik 2.11. Penempatan Dana Asing pada SUN dan Saham Persen 4,00 3,00 2,00 1,00 0,00-1,00-2,00-3,00 Des-04 Jan-05 Feb-05 Mar-05 2,61-0,86-1,44 Apr-05 Mei-05 Jun-05 Jul-05 17,0 12,0-3,0 INDO PHILIP KOREA NEW ZAELAND Grafik 2.12. Covered Interest Rate Parity 7,0 2,0 2,95 Untuk mengendalikan tekanan inflasi dan sebagai langkah antisipatif terhadap tren peningkatan inflasi ke depan, kebijakan moneter cenderung ketat ( (tight bias) ) terus dilanjutkan. Kebijakan tersebut terutama diarahkan untuk mengendalikan tekanan inflasi yang berasal dari meningkatnya ekspektasi inflasi dan melemahnya nilai tukar, mengingat tekanan inflasi dari sisi output gap masih belum signifikan. Dalam kaitan ini, sejalan dengan langkah-langkah penguatan Inflation Targeting Framework (ITF) sejak Juli 2005, Bank Indonesia terus memperkuat sinyal kebijakan moneter melalui penetapan BI Rate sebesar 8,50% yang berlaku untuk triwulan III- 2005. Dalam kondisi tertentu, apabila diperlukan perubahan BI Rate dapat dimungkinkan pada RDG bulanan. Selama Juli 2005, penetapan BI Rate tersebut telah diimplementasikan dengan kenaikan suku bunga SBI tenor 1 bulan sebesar 24 bps sehingga menjadi 8,49%. Pengelolaan likuiditas dengan berbagai instrumen moneter lain, khususnya instrumen FTO (Fine Tune Operation), juga terus dilakukan untuk mendukung sinyal kebijakan moneter tersebut. Selain itu, upaya pengendalian inflasi juga dibarengi dengan penguatan koordinasi dengan Pemerintah melalui Tim Penetapan Sasaran, Pemantauan, dan Pengendalian Inflasi, khususnya untuk meminimalkan dampak kenaikan inflasi dari sisi administered prices dan volatile foods. Langkah-langkah stabilisasi nilai tukar rupiah terus ditingkatkan. Di samping untuk mengendalikan tekanan inflasi yang bersumber dari pelemahan nilai tukar, kebijakan tersebut juga mempertimbangkan besarnya dampak negatif pelemahan nilai tukar terhadap terjaganya stabilitas makroekonomi, kondisi fiskal, perkembangan keuangan perusahaan, dan kondisi ekonomi secara keseluruhan. Menyikapi hal ini, Pemerintah dan Bank Indonesia telah memperkuat koordinasi dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk stabilisasi nilai tukar rupiah. Di samping memperkuat sinyal kebijakan moneter, langkah-langkah stabilisasi nilai tukar juga dilakukan melalui sterilisasi valas yang cukup signifikan dan dengan manajemen permintaan valas BUMN, khususnya untuk pemenuhan kebutuhan impor PT. Pertamina, agar tidak menimbulkan tekanan yang berlebihan terhadap Rupiah di pasar. Disamping itu, Bank Indonesia pada tanggal 14 Juni 2005 telah mengeluarkan PBI 7/14/2005 tentang Pembatasan Transaksi Rupiah dan 9

Pemberian Kredit Valuta Asing oleh Bank yang berlaku efektif sejak 14 Juli 2005. Kebijakan ini ditempuh terutama untuk mengendalikan tekanan terhadap melemahnya rupiah dari arus modal asing jangka pendek (khususnya dalam bentuk swap beli) dan atau transaksi valas yang tidak mempunyai transaksi ekonomi yang mendasarinya (non-underlying transactions). Sinergi kebijakan diperlukan untuk menjaga stabilitas makroekonomi dan keberlanjutan pertumbuhan ekonomi. Langkah-langkah kebijakan moneter di atas merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kebijakan stabilisasi makroekonomi secara keseluruhan. Sebagaimana dijelaskan dalam Laporan Kebijakan Moneter (LKM) Triwulan II-2005, pola ekspansi ekonomi nasional telah menimbulkan tekanan pada kestabilan makroekonomi yang dapat mengganggu keberlanjutan pemulihan ekonomi nasional. Sementara investasi domestik telah mampu meningkatkan kapasitas produksi sehingga ekonomi diperkirakan masih berada di bawah tingkat output potensial, tekanan terhadap neraca pembayaran mulai meningkat akibat kurang mampunya ekspor dalam mengimbangi tingginya impor, sementara aliran modal asing secara neto khususnya dalam bentuk PMA dan investasi portofolio masih terbatas. Perkembangan ini telah menyebabkan meningkatnya tekanan terhadap nilai tukar Rupiah dari sisi fundamental di tengah sentimen negatif ekonomi keuangan global. Karena itu, perbaikan iklim investasi untuk mendorong investasi asing dan perbaikan daya saing untuk meningkatkan ekspor menjadi kunci bagi upaya untuk menjaga keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan stabilitas makroekonomi. Suku Bunga 10 Penerapan sinyal kebijakan moneter cenderung ketat telah diperkuat pula dengan kenaikan beberapa indikator suku bunga instrumen moneter. Seiring dengan penetapan BI Rate sebesar 8,50%, suku bunga SBI 1 bulan meningkat sebesar 24 bps dari 8,25% bulan Juni menjadi 8,49%. Demikian pula suku bunga SBI 3 bulan meningkat 40 bps dari 8,05% bulan Juni menjadi 8,45%. Untuk memperkuat sinyal peningkatan suku bunga BI Rate, suku bunga penjaminan deposito Rupiah 1, 3, 6, 12, 24 bulan juga telah dinaikkan masing-masing sebesar 24 bps menjadi masingmasing menjadi 8,05%, 8,10%, 8,15%, 8,30%, dan 8,50%. Suku bunga penjaminan deposito valas juga telah dinaikkan dan hingga Juli 2005 telah meningkat sebesar 25 bps menjadi 2,75%. Sementara itu, suku bunga FASBI masih sebesar 7,25%.

Persen 10,0 9,6 9,2 8,8 8,4 8,0 7,6 7,2 6,8 6,4 6,0 5,6 Persen 41 37 33 29 25 21 17 13 9 5 Depo1 < SBI1 SBI 1 bln Dep 1 WA SBI 3 < SBI 1 realignment 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 2003 2004 2005 SBI 1 bl KI KK Depo 1 bl KMK 11.00% 17.67% Grafik 2.13. Perkembangan Suku Bunga SBI, Deposito dan Kredit Jam.Dep.1 SBI 3 bln 7.32% 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Penetapan BI Rate masih direspon secara terbatas oleh suku bunga pasar uang. Selama Juli 2005, penetapan BI Rate telah direspon dengan kenaikan suku bunga pasar uang pada bank-bank besar, seperti tercermin pada kenaikan suku bunga JIBOR 1 bulan sebesar 39 bps dari 8,33% bulan Juni menjadi 8,71%. Akan tetapi, secara keseluruhan suku bunga PUAB O/N Rupiah masih menunjukkan penurunan, sebagaimana tampak dari penurunan RRT suku bunga PUAB O/N pagi dan sore masing-masing sebesar 166 bps dan 157 bps dari akhir bulan sebelumnya sehingga menjadi 5,29% (pagi) dan 3,63% (sore). Volatilitas suku bunga PUAB juga masih mengalami peningkatan. Perkembangan tersebut terutama disebabkan oleh masih relatif besarnya ekses likuiditas di pasar uang. Selain itu, kondisi pasar uang Indonesia yang masih tersegmentasi antara bankbank yang mengalami ekses likuiditas dengan bank-bank yang kekurangan likuiditas menyebabkan transmisi moneter dari BI Rate ke suku bunga pasar uang belum dapat berlangsung secara merata. Transmisi kenaikan suku bunga instrumen moneter lebih terlihat pada suku bunga simpanan pada perbankan. Suku bunga deposito 1 dan 3 bulan masing-masing meningkat 22 dan 16 bps sehingga pada akhir Juni 2005 tercatat sebesar 6,98% dan 7,19%. Di samping merespon kenaikan suku bunga SBI, kenaikan suku bunga deposito tersebut juga didorong oleh telah dinaikkannya suku bunga penjaminan. Sementara itu, masih besarnya ekses likuiditas perbankan menyebabkan respon suku bunga kredit terhadap kenaikan suku bunga deposito belum nampak kuat. Kenaikan suku bunga kredit tercatat pada suku bunga kredit modal kerja (KMK), yaitu sebesar 16 bps sehingga menjadi 13,36%. Sementara suku bunga kredit investasi (KI) dan kredit konsumsi (KK) masih cenderung menurun, masing-masing sebesar 3 bps dan 13 bps sehingga menjadi 13,65% dan 16,04%. Perkembangan tersebut mengakibatkan spread antara suku bunga deposito 1 bulan dengan kredit semakin menurun meskipun masih cukup besar, yaitu berkisar antara 6,4 9,1%. Dengan masih relatif besarnya net interest margin (NIM), yaitu berkisar antara 0,42-4,32%, ke depan suku bunga kredit diperkirakan masih belum akan meningkat secara berarti. 11

Dana, Kredit, dan Uang Beredar Peningkatan sinyal suku bunga melalui BI Rate yang direspon dengan kenaikan suku bunga deposito telah mendorong kenaikan simpanan masyarakat pada perbankan. Selain karena kenaikan suku bunga, peningkatan deposito pada perbankan terkait pula dengan perpindahan dana perorangan yang sebelumnya ditanamkan di reksa dana sejalan dengan mulai pahamnya pemilik dana akan risiko investasi. Kondisi ini tercermin pada kembalinya simpanan masyarakat dalam bentuk deposito yang mencapai Rp24,8 triliun pasca gejolak redemption reksa dana besarbesaran yang terjadi pada Maret sampai Juni. Dari sisi jangka waktu, sekitar 60% dari deposito ini masih ditanamkan dengan jangka waktu 1 bulan. Beberapa faktor yang menyebabkan kondisi tersebut adalah masih tingginya preferensi masyarakat akan likuiditas jangka pendek, ekspektasi masyarakat akan kenaikan suku bunga lebih lanjut, dan struktur suku bunga deposito perbankan yang masih mendatar (flat) untuk seluruh jangka waktu sehingga kurang memberi insentif bagi deposan untuk menempatkan dananya dalam jangka yang lebih panjang. (%, y-o-y) 35 30 Total DPK Giro 25 Tabungan Deposito 20 15 10 5 - (5) (10) (15) Des Feb Apr Jun Ags Okt Des Feb Apr Jun Ags Okt Des Feb Apr Jun Ags Okt Des Feb Apr Jun 2001 2002 2003 2004 2005 Sumber: DPNP Grafik 2.14. Pertumbuhan Dana Perbankan Sementara itu, kredit perbankan terus mengalami peningkatan. Sampai dengan Juni 2005 posisi kredit perbankan mencapai Rp622,6 triliun, meningkat sebesar 2,18% dibandingkan bulan sebelumnya atau sebesar 28,1% dari posisi Juni 2004 (Gambar 2.15). Demikian pula penyaluran kredit baru mencapai Rp 67 triliun atau sekitar 2 kali lipat dari periode Kredit Baru Tabel 2.1 Perkembangan Kredit Baru 2003 2003* 2004 2004* 2005* 2003 2004 2005* Miliar Rp % Jenis Penggunaan Kredit Modal Kerja 32.104 22.818 56.017 16.735 33.951 56 53 51 Kredit Investasi 15.142 12.061 19.737 7.578 10.103 26 19 15 Kredit Konsumsi 10.579 6.969 30.066 7.664 22.982 18 28 34 Sektor Ekonomi Pertanian 2.197 1.840 4.703 1.548 1.165 4 4 2 Pertambangan 348 200 2.737 548 1.759 1 3 3 Perindustrian 15.894 11.970 20.957 6.366 10.760 27 20 16 Listrik. Air dan Gas 1.172 1.166 698 47 2 1 0 Konstruksi 3.133 1.958 6.089 1.971 3.215 5 6 5 Perdagangan 14.180 10.180 16.625 6.421 14.224 25 16 21 Pengangkutan 2.238 1.799 4.728 1.195 2.685 4 4 4 Jasa Dunia Usaha 6.074 4.863 16.587 4.059 6.846 11 16 10 Jasa Sosial 598 369 1.646 852 2.257 1 2 3 Lainnya 11.992 7.503 31.049 8.972 24.038 21 29 36 UKM dan Non UKM Kredit UKM 24.953 18.197 47.043 14.870 31.483 43 44 47 Kredit Non UKM 32.872 23.651 58.776 17.107 35.554 57 56 53 Total 57.825 41.848 105.819 31.977 67.037 100 100 100 Persen 50 40 30 20 10 0-10 -20 Investasi Modal Kerja Konsumsi Jan Mar Mei Jul Sep Nov Jan Mar Mei Jul Sep Nov Jan Mar Mei Jul Sep Nov Jan Mar Mei 2002 2003 2004 2005 Grafik 2.15. Pertumbuhan Kredit Perbankan Total 12 *) Juni 2005

yang sama tahun sebelumnya. Sebagian besar penyaluran kredit tersebut dalam bentuk kredit modal kerja dan kredit konsumsi. Dilihat dari sektor ekonomi, pembiayaan terbesar dari kredit perbankan adalah untuk sektor perdagangan dan perindustrian. Sementara itu, penyaluran kredit untuk sektor usaha kecil menengah (UKM) mencapai Rp 31,5 triliun atau sebesar 47% dari total penyaluran kredit perbankan. Perkembangan tersebut menunjukkan peran penting perbankan dalam pembiayaan ekspansi ekonomi yang tengah berlangsung (Tabel 2.1). Y-oY, % 30 25 20 15 10 5 0 (5) (10) (15) 1 3 5 7 9 1 1 3 5 7 9 1 1 3 5 7 9 1 1 3 5 7 9 1 1 3 5 7 9 1 1 3 5 6 2000 2001 2002 2003 2004 2005 M1 Riil 6 per. Mov. Avg. (M1 Riil) 6 per. Mov. Avg. (Currency Riil) M2 Riil Currency Riil 6 per. Mov. Avg. (M2 Riil) Grafik 2.16. Perkembangan Likuiditas Perekonomian Seiring dengan meningkatnya kegiatan ekonomi, kondisi likuiditas perekonomian yang tercermin pada uang beredar dalam arti luas (M2) secara nominal juga meningkat. Pertumbuhan M2 pada Juni tercatat sebesar mencapai sebesar 10,11% menjadi Rp 1.073.7 triliun atau naik sebesar Rp 27,6 triliun dibandingkan posisi bulan sebelumnya. Dari sisi komponen, peningkatan tersebut disumbang oleh kenaikan M1 dan uang kuasi (deposito, tabungan, dan simpanan valas). Sementara dilihat dari faktor-faktor yang mempengaruhinya, peningkatan M2 disebabkan oleh adanya ekspansi net claims on Government (NCG), Claims to Business Sector (CBS), dan net other items (NOI). Meskipun demikian, secara riil kondisi likuiditas perekonomian masih tumbuh secara terbatas. Pertumbuhan riil M2 setelah dikeluarkan faktor nilai tukar tercatat sebesar 2,37%, atau masih di bawah pertumbuhan ekonomi. Kondisi ini menunjukkan bahwa tingginya ekses likuiditas di perbankan belum mampu diserap secara optimal untuk pembiayaan ekonomi, baik karena kondisi internal perbankan maupun permasalahan di sektor riil, meskipun penyaluran kredit perbankan telah meningkat pesat. Pasar Modal Pada akhir Juli Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Jakarta (BEJ) menunjukkan peningkatan. IHSG kembali mencatat rekor tertinggi baru yaitu level 1.187 pada tanggal 28 Juli sebelum ditutup pada level 1.182 pada akhir bulan, dibandingkan dengan posisi akhir bulan Juni yaitu pada level 1.136. Beberapa faktor eksternal yang memberikan sentimen positif terhadap kenaikan IHSG tersebut adalah turunnya harga minyak hingga dibawah USD60 per barel pada akhir Juli dan dinaikannya level investasi ekuitas Indonesia oleh salah satu perusahaan sekuritas ternama di AS Bear Stearns dan revaluasi Yuan. Sementara itu, faktor positif internal 13

antara lain adalah sikap investor yang melakukan pembelian secara selektif pada saham-saham berkapitalisasi besar. Naiknya indeks juga dibarengi oleh peningkatan volume dan nilai perdagangan saham di lantai bursa Jakarta. Dengan berbagai sentimen positif tersebut, kenaikan suku bunga instrumen moneter tidak berdampak besar pada kinerja pasar modal. Sinyal kenaikan BI rate telah mendorong peningkatan yield pada perdagangan Surat Utang Negara (SUN). Kondisi ini tercermin pada meningkatnya struktur yield pada semua tenor (Grafik 2.18). Di pasar sekunder, volume perdagangan SUN menurun dari bulan sebelumnya dengan investor melepas portfolio SUN-nya dan sebagian besar dialihkan ke dalam bentuk deposito atau saham. Kondisi tersebut diperkuat dengan adanya indikasi penjualan dalam jumlah besar yang dilakukan oleh investor retail serta besarnya minat investor pada pelaksanaan pembelian kembali SUN oleh Pemerintah yang memiliki jatuh tempo antara 1 Januari 2006 sampai dengan 31 Desember 2010. Di pasar perdana, sentimen peningkatan suku bunga juga berpengaruh pada peningkatan yield yang diminta investor. Pada pelaksanaan lelang SUN (reopening FR0031 berjangka 15 tahun dan lelang perdana FR0032 berjangka 5 tahun) pada 26 Juli 2005, tingginya yield yang diminta mengakibatkan tidak adanya pemenang dalam lelang tersebut. Pada lelang dengan total indikatif sebesar Rp2,0 triliun tersebut, yield yang masuk berkisar 11,87% - 13,25% untuk FR0031, sedangkan yield rata-rata tertimbang yang dimenangkan pada lelang seri yang sama pada bulan Juni adalah sebesar 11,59%. Yield yang diminta oleh investor dinilai terlalu mahal oleh Pemerintah, karena pada bulan akhir Juli yield seri FR0031 di pasar sekunder hanya berada pada level 11,73% atau pada kisaran harga 95 96. Sementara untuk seri FR0032, yield yang diminta investor berkisar 11,50% - 15,00%. Net Foreign (Miliar Rp) 1.500 1.300 IHSG 1.100 900 700 500 Net Foreign 300 100-100 -300-500 Jul Aug Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul 2004 2005 Grafik 2.17. IHSG dan Net Beli Asing IHSG 1.175 1.125 1.075 1.025 975 925 875 825 775 725 675 Pembiayaan ekonomi dari sektor keuangan domestik relatif besar, meskipun dengan akselerasi yang lebih rendah dari periode yang sama tahun sebelumnya. Sampai dengan Juli tercatat sebesar Rp9,5 triliun dana yang berhasil diserap melalui penerbitan obligasi oleh 19 korporasi (Rp8,9 triliun) dan Initial Public Offering (IPO) saham dari 4 korporasi senilai Rp0,5 triliun). Jumlah tersebut menurun dari periode yang sama tahun sebelumnya yang secara total tercatat mencapai Rp10,9 triliun yang terdiri dari penerbitan obligasi senilai Rp10,1 triliun dan saham Rp0,8 triliun. Penerbitan obligasi terutama dilakukan oleh korporasi yang bergerak di sektor keuangan (perusahaan pembiayaan dan perbankan) yang ditujukan YTM (%) 12 11 10 9 8 7 Des-04 Jan Feb Mar Apr Mei Grafik 2.18. Perkembangan Yield SUN Jun Maturity (thn) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Jul 14

untuk memperluas usaha (sekitar 40%) dan refinancing (sekitar 60%), sementara perusahan lain menggunakannya untuk pembiayaan proyek investasinya. Apabila ditambah dengan penyaluran kredit baru oleh perbankan, pembiayaan perekonomian secara keseluruhan ke sektor riil sampai dengan bulan Juli secara total tercatat mencapai Rp71,8 triliun. Kondisi Perbankan Kinerja perbankan pada bulan Juni 2005 secara umum membaik. Selain kenaikan Total Asset sebesar Rp 20 triliun sehingga menjadi Rp 1.345 triliun, perbaikan kinerja juga ditunjukkan oleh meningkatnya fungsi intermediasi perbankan, seperti tercermin pada kenaikan Dana Pihak Ketiga (DPK) dan jumlah kredit yang disalurkan. DPK meningkat sebesar Rp 24,4 triliun sehingga menjadi Rp 1.011,1 triliun, sementara posisi kredit meningkat sebesar Rp13,5 triliun sehingga menjadi Rp 664,3 triliun. Peningkatan fungsi intermediasi juga tercermin pada kenaikan Loan to Deposit Ratio (LDR) sebesar 0,2% sehingga menjadi 53,1% pada Juni 2005. Profitabilitas perbankan juga menunjukkan perbaikan, seperti tercermin pada kenaikan Net Interest Margin (NIM) sebesar 0,5% sehingga menjadi 6,1% pada Juni 2005. Sementara itu, kinerja permodalan dan kualitas kredit perbankan mengalami penurunan. Penurunan kinerja permodalan tercermin pada penurunan jumlah modal perbankan sebesar Rp2,6 triliun sehingga Tabel 2.2 Kondisi Umum Perbankan B a n k Des-02 Des-03 Jan-04 Des-04 Mar-05 Mei-05 Jun-05 Total Asset (triliun Rp) 1.112,2 1.068,4 1.157,2 1.272,0 1.280,6 1.325,0 1.345,0 DPK (triliun Rp) 835,8 902,3 889,1 963,0 959,3 986,7 1.011,1 Kredit (triliun Rp) 410,3 477,2 475,0 595,0 617,8 650,8 664,3 LDR (%) 38,4 43,2 40,1 50,0 51,3 52,9 53,1 CAR (%) 23,0 19,3 23,8 19,4 21,7 20,0 19,5 NPLs : - Gross (%) 8,1 8,2 8,2 5,8 5,6 7,3 7,4 - Net (%) 2,1 3,0 2,8 1,7 1,9 3,6 5,4 NIM (%) 4,0 3,2 5,2 6,3 6,0 5,6 6,1 Modal (triliun Rp) 93,0 110,8 117,9 118,6 126,7 117,2 114,3 15

menjadi Rp114,3 triliun pada Juni 2005 maupun penurunan tingkat Capital Adequacy Ratio(CAR) sebesar 0,5% sehingga menjadi 19,5% dari modal perbankan. Penurunan CAR ini tidak terlepas dari kenaikan jumlah kredit yang disalurkan perbankan untuk pembiayaan perekonomian. Di samping itu, penurunan CAR tersebut juga terkait dengan meningkatnya risiko kredit yang dihadapi perbankan, sebagaimana tercermin pada peningkatkan Non Performing Loan (NPL) secara neto sebesar 1,8% sehingga menjadi 5,4% dari total kredit perbankan selama Juni 2005. III. RESPON KEBIJAKAN MONETER Asesmen terkini terhadap kondisi moneter selama Juli 2005 seperti diuraikan di atas menunjukkan adanya indikasi yang kuat akan meningkatnya tekanan terhadap inflasi ke depan. Di samping meningkatnya ekspektasi inflasi di masyarakat, tekanan inflasi juga berkaitan dengan kenaikan harga minyak dunia yang dapat meningkatkan administered prices dan pelemahan nilai tukar Rupiah. Sementara itu, risiko stabilitas makroekonomi diperkirakan juga akan meningkat, terkait dengan perkembangan faktor eksternal yaitu kenaikan suku bunga Fed, melemahnya mata uang utama dunia terhadap USD, dan melonjaknya harga minyak dunia. 16 Bank Indonesia melalui Rapat Dewan Gubernur (RDG) tanggal 9 Agustus 2005 memutuskan untuk menaikkan BI Rate sebesar 25 basis poin menjadi 8,75%. Keputusan ini sejalan dengan langkah untuk memperkuat stance kebijakan moneter cenderung ketat (tight bias) setelah mempertimbangkan asesmen terkini kondisi moneter serta upaya pencapaian sasaran inflasi jangka menengah. Kenaikan BI Rate tersebut juga dipandang masih dapat mendukung kelangsungan proses pemulihan ekonomi. Secara operasional implementasi BI Rate dilakukan dengan instrumen OPT melalui lelang mingguan SBI tenor 1 (satu) bulan. Untuk mendukung implementasi BI Rate tersebut, upaya pengelolaan likuiditas di perbankan dan pasar keuangan terus dilakukan, antara lain dengan FASBI dan instrumen FTO (Fine Tune Operation). Selain itu, penggunaan sterilisasi valas secara terukur akan ditempuh sesuai kebutuhan untuk membantu penyerapan likuiditas sekaligus mengurangi volatilitas nilai tukar rupiah di pasar valas. Bank Indonesia juga akan terus menjalin koordinasi dengan Pemerintah dalam upaya menjaga kestabilan makroekonomi.

Indikator Terkini SEKTOR KEUANGAN SUKU BUNGA & SAHAM Suku bunga SBI 1 bln 1) Suku bunga SBI 3 bln 1) Suku bunga deposito 1 bln 2) Suku bunga deposito 3 bln 2) JIBOR satu minggu 2) BEJ Indeks 3) BESARAN MONETER (miliar Rp) Base Money M1(C+D) Uang Kartal (C) Uang giral (D) Broad Money (M2 = C+D+T) Uang kuasi (T) Uang kuasi (Rupiah) Deposito Tabungan Deposito (Valas) M2 - Rupiah Tagihan pada Dunia Usaha Kredit-Bank Umum H A R G A Inflasi bulanan (%) y-y % SEKTOR EKSTERNAL Rp/USD (akhir periode, nilai tengah) Ekspor Barang Non migas (f.o.b, juta USD) 4) Impor Barang Non migas (c & f, juta USD) 4) Net International Reserve (juta USD) INDIKATOR KUARTALAN Pertumbuhan PDB (% yoy) Konsumsi Investasi Ekspor Impor Des Des Jan Apr Mei 2 0 0 3 2 0 0 4 2 0 0 5 Jun 8,31 7,43 7,42 7,70 7,95 8,25 8,49 8,34 7,29 7,29 7,51 7,81 8,05 8,45 6,62 6,43 6,43 6,58 6,76 6,98 na 7,14 6,71 6,71 6,87 7,03 7,19 na 8,35 7,14 7,13 7,38 7,84 7,53 7,8 692 1.004 1.046 1.038 1062,95 1122,37 1182,3 166.474 199.446 183.747 182,863 189,23 198,42 193,587 223.799 253.818 248.174 247.586 151.393 161.616 na 94.542 109.265 101.789 102.815 104,08 104,91 112,009 129.257 144.553 146.385 144771 151289 161511 na 955.692 1.033.528 1.015.874 1.045.543 945.085 967.727 na 731.893 779.710 767.700 797.957 793.692 806.111 na 592.715 644.109 630.289 653.343 647.813 655.006 na 350.885 349.091 345.901 369.868 368.053 372541 na 241.830 295.018 284.388 283.475 279.760 282465 na 139.178 135.601 137.411 144.614 145.879 151105 na 816.514 897.927 878.463 900.929 799.206 816.622 na 466.826 615.802 612.852 653.788 674.573 687366 na 437.942 553.548 549.017 587.805 609.330 622602 na 0,94 1,04 1,43 0,34 0,21 0,5 0,78 5,06 6,4 7,32 8,12 7,40 7,42 7,84 8,465 9,270 9,167 9,568 9508 9761 9810 3.717 5.122 4.910 5200,9 5806,3 5218,5 na 2.335 3.591 2.938 3544 3695,1 3425,9 na 24,20 24,40 24,63 25,03 23,65 23,39 21,99 Tw. IV Tw. IV Tw. I 2 0 03 2 0 0 4 2 0 0 5 4,35 5,13 6,35 5,01 6,89 1,98 0,68 15,71 18,81 6,48 8,47 13,39 1,78 24,95 15,38 Jul * angka BPS berdasarkan tahun dasar 2000 r) revisi 1) minggu terakhir 2) rata 2 tertimbang 3) penutupan pada akhir periode 4) closed file Sumber : Bank Indonesia, kecuali data pasar modal (BAPEPAM), IHK, ekspor/impor dan PDB dari BPSw. I 2004*) 17

18 Tinjauan Kebijakan Moneter - Agustus 2005