Hamburan Partikel Berspin-0 dan Berspin-! pada Energi Tinggi. Abstrak

dokumen-dokumen yang mirip
Efek Relativistik Pada Hamburan K + n

Verifikasi Perhitungan Partial Wave untuk Hamburan!! n

BAHASAN DAN RUJUKAN. Minggu ke- Pokok Bahasan Subpokok Bahasan


UNIVERSITAS INDONESIA STOPPING POWER PARTIKEL BERMUATAN DENGAN EFEK PENTALAN INTI SKRIPSI INDRIAS ROSMEIFINDA

KARAKTERISTIK SYMMETRIC NUCLEAR MATTER PADA TEMPERATUR NOL

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Dapat menambah informasi dan referensi mengenai interaksi nukleon-nukleon

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

FOTOPRODUKSI MESON-ETA PADA PROTON

HAMBURAN PARTIKEL BER-SPIN 1/2 DAN 3/2 DALAM BASIS MOMENTUM-HELISITAS SKRIPSI

Pendahuluan. Setelah mempelajari bab 1 ini, mahasiswa diharapkan

Theory Indonesian (Indonesia) Sebelum kalian mengerjakan soal ini, bacalah terlebih dahulu Instruksi Umum yang ada pada amplop terpisah.

PENYELESAIAN PERSAMAAN SCHRODINGER TIGA DIMENSI UNTUK POTENSIAL NON-SENTRAL ECKART DAN MANNING- ROSEN MENGGUNAKAN METODE ITERASI ASIMTOTIK

PERHITUNGAN TAMPANG LINTANG DIFERENSIAL HAMBURAN ELASTIK ELEKTRON-ARGON PADA 10,4 EV DENGAN ANALISIS GELOMBANG PARSIAL

PERHITUNGAN PENAMPANG HAMBURAN ELASTIK PADA REAKSI ep ep DENGAN DUA MACAM FAKTOR BENTUK : GALSTER DAN MILLER ADI AGUS KURNIAWAN

PERHITUNGAN PENAMPANG LINTANG DIFERENSIAL PROSES PRODUKSI HIPERON-SIGMA TAK BERMUATAN PADA HAMBURAN ELEKTRON-NETRON

ANALISIS ENERGI, FUNGSI GELOMBANG, DAN INFORMASI SHANNON ENTROPI PARTIKEL BERSPIN-NOL UNTUK POTENSIAL PӦSCHL-TELLER TRIGONOMETRI DAN KRATZER

LAMPIRAN. Hubungan antara koordinat kartesian dengan koordinat silinder:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

FOTOPRODUKSI η-meson PADA NUKLEON DENGAN MODEL ISOBAR

EFEK PAIRING PADA ISOTOP Sn (N>82) DALAM TEORI BCS MENGGUNAKAN SEMBILAN TINGKAT ENERGI

EFEK MESON σ PADA PERSAMAAN KEADAAN BINTANG NEUTRON

Hamburan Partikel Ber-Spin 0 dan 1 2 Dalam Basis Momentum-Helicity

Penentuan Fungsi Struktur Proton dari Proses Deep Inelastic Scattering e + p e + X dengan Menggunakan Model Quark - Parton

PENYELESAIAN PERSAMAAN DIRAC UNTUK POTENSIAL ROSEN MORSE HIPERBOLIK DENGAN COULOMB LIKE TENSOR UNTUK SPIN SIMETRI MENGGUNAKAN METODE HIPERGEOMETRI

PERHITUNGAN MASSA KLASIK SOLITON

FENOMENA HALO BERDASARKAN MODEL RELATIVISTIC MEAN FIELD (RMF)

KAJIAN TAMPANG LINTANG HAMBURAN ELEKTRON DENGAN ION MELALUI TEORI HAMBURAN BERGANDA ( MULTIPLE SCATTERING THEORY)

BAB I PENDAHULUAN. akibat dari interaksi di antara penyusun inti tersebut. Penyusun inti meliputi

Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 16, No. 2, Oktober 2015

Disusun Oleh : DYAH AYU DIANAWATI M SKRIPSI. Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Sains

TINJAUAN KASUS PERSAMAAN GELOMBANG DIMENSI SATU DENGAN BERBAGAI NILAI AWAL DAN SYARAT BATAS

SOAL LATIHAN PEMBINAAN JARAK JAUH IPhO 2017 PEKAN VIII

Agus Suroso. Pekan Kuliah. Mekanika. Semester 1,

SIFAT GELOMBANG PARTIKEL DAN PRINSIP KETIDAKPASTIAN. 39. Elektron, proton, dan elektron mempunyai sifat gelombang yang bisa

ANALISIS ENERGI DAN FUNGSI GELOMBANG RELATIVISTIK PADA KASUS SPIN SIMETRI DAN PSEUDOSPIN SIMETRI UNTUK POTENSIAL ECKART DAN POTENSIAL MANNING

BAB IV OSILATOR HARMONIS

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

PERHITUNGAN ARAS-ARAS TENAGA PARTIKEL TUNGGAL INTI BOLA DENGAN POTENSIAL SAXON-WOODS

PROTON DRIPLINE PADA ISOTON N = 28 DALAM MODEL RELATIVISTIC MEAN FIELD (RMF)

KOMPUTASI NUMERIK GERAK PROYEKTIL DUA DIMENSI MEMPERHITUNGKAN GAYA HAMBATAN UDARA DENGAN METODE RUNGE-KUTTA4 DAN DIVISUALISASIKAN DI GUI MATLAB

LAPORAN PENELITIAN KAJIAN KOMPUTASI KUANTISASI SEMIKLASIK VIBRASI MOLEKULER SISTEM DIBAWAH PENGARUH POTENSIAL LENNARD-JONES (POTENSIAL 12-6)

KB.2 Fisika Molekul. Hal ini berarti bahwa rapat peluang untuk menemukan kedua konfigurasi tersebut di atas adalah sama, yaitu:

UNIVERSITAS INDONESIA MODEL PERTUKARAN HYPERON DAN SIGMA UNTUK HAMBURAN KAON-NUKLEON TESIS. Agus Jarwanto

SOLUSI PERSAMAAN DIRAC PADA KASUS SPIN SIMETRI UNTUK POTENSIAL SCARF TRIGONOMETRIK PLUS COULOMB LIKE TENSOR DENGAN METODE POLINOMIAL ROMANOVSKI

PERUBAHAN FUNGSI GELOMBANG ELEKTRON PADA MULTIPLE SCATTERING UNTUK SUDUT HAMBUR NOL

BAB V PERAMBATAN GELOMBANG OPTIK PADA MEDIUM NONLINIER KERR

Kata kunci: cermin Einstein, cermin Relativistik, foton, pemantulan cahaya.

OPTIMASI PARAMETER POTENSIAL NUKLIR BAGI REAKSI FUSI ANTAR INTI-INTI BERAT

SOLUSI PERSAMAAN DIRAC DENGAN PSEUDOSPIN SIMETRI UNTUK POTENSIAL ROSEN MORSE PLUS COULOMB LIKE TENSOR DENGAN MENGGUNAKAN METODE POLYNOMIAL ROMANOVSKI

Persamaan Dirac, Potensial Scarf Hiperbolik, Pseudospin symetri, Coulomb like tensor, metode Polynomial Romanovski PENDAHULUAN

BAB II PENGANTAR SOLUSI PERSOALAN FISIKA MENURUT PENDEKATAN ANALITIK DAN NUMERIK

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

BAB I Jenis Radiasi dan Interaksinya dengan Materi

FUNGSI GELOMBANG DAN RAPAT PROBABILITAS PARTIKEL BEBAS 1D DENGAN MENGGUNAKAN METODE CRANK-NICOLSON

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

PENGGUNAAN PARAMETRISASI BARU POTENSIAL WOODS- SAXON UNTUK PERHITUNGAN SPEKTRUM TENAGA INTI Pb 208

Fisika Umum (MA 301) Topik hari ini. Fisika Atom & Inti

POSITRON, Vol. VI, No. 2 (2016), Hal ISSN :

PERHITUNGAN TINGKAT ENERGI SUMUR POTENSIAL KEADAAN TERIKAT MELALUI PERSAMAAN SCHRODINGER MENGGUNAKAN METODE BEDA HINGGA

Chap. 8 Gas Bose Ideal

BAB IV PERBANDINGAN HASIL DAN ANALISA NUMERIK SPEKTRA EMISI NEUTRON DARI PENEMBAKAN HAMBURAN PROTON

BAB IV. METODE PENELITIAN

BINOVATIF LISTRIK DAN MAGNET. Hani Nurbiantoro Santosa, PhD.

BAB V MOMENTUM ANGULAR Pengukuran Simultan Beberapa Properti Dalam keadaan stasioner, momentum angular untuk elektron hidrogen adalah konstan.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

MOMENTUM DAN IMPULS FISIKA 2 SKS PERTEMUAN KE-3

PENYELESAIAN PERSAMAAN POISSON 2D DENGAN MENGGUNAKAN METODE GAUSS-SEIDEL DAN CONJUGATE GRADIENT

1.1 Latar Belakang dan Identifikasi Masalah

UNIVERSITAS INDONESIA LINTASAN BEBAS RATA-RATA NEUTRINO DI BINTANG QUARK SKRIPSI SAIPUDIN

Alpiana Hidayatulloh Dosen Tetap pada Fakultas Teknik UNTB

Penyelesaian Persamaan Poisson 2D dengan Menggunakan Metode Gauss-Seidel dan Conjugate Gradient

SOLUSI PERSAMAAN SCHRÖDINGER UNTUK KOMBINASI POTENSIAL HULTHEN DAN NON-SENTRAL POSCHL- TELLER DENGAN METODE NIKIFOROV-UVAROV

FUNGSI DELTA DIRAC. Marwan Wirianto 1) dan Wono Setya Budhi 2)

Dinamika Pertukaran Partikel Pada Interaksi Nukleon-Nukleon Dalam Potensial Lokal

JAWABAN ANALITIK SEBAGAI VALIDASI JAWABAN NUMERIK PADA MATA KULIAH FISIKA KOMPUTASI ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

Studi Pengaruh Variasi Bentuk Geometri Potensial Penghalang pada Kasus Difusi Plasma dengan Metode Particle-In-Cell (PIC)

BAB III OPERATOR 3.1 Pengertian Operator Dan Sifat-sifatnya

PENGANTAR MATEMATIKA TEKNIK 1. By : Suthami A

RENCANA PEMBELAJARAN SEMESTER(RPS) PROGRAM STUDI STATISTIKA

ANALISIS FUNGSI GELOMBANG DAN ENERGI PERSAMAAN DIRAC UNTUK POTENSIAL NON SENTRAL MENGGUNAKAN POLINOMIAL ROMANOVSKI

PERHITUNGAN CROSS SECTION HAMBURAN ELEKTRON-ATOM DENGAN MENGGUNAKAN ANALISIS GELOMBANG PARSIAL SKRIPSI TONI APRIANTO MANIK

ANALISIS DAN VISUALISASI PERSAMAAN KLEIN-GORDON PADA ELEKTRON DALAM SUMUR POTENSIAL DENGAN MENGGUNAKAN PROGRAM MATHEMATIC 10

KAJIAN BAURAN NEUTRINO TRI-BIMAKSIMAL- CABIBBO (TBC)

TUGAS KOMPUTASI SISTEM FISIS 2015/2016. Pendahuluan. Identitas Tugas. Disusun oleh : Latar Belakang. Tujuan

Kontribusi keadaan akhir kaon-hyperon pada momen magnetik nukleon

(2) dengan adalah komponen normal dari suatu kecepatan partikel yang berhubungan langsung dengan tekanan yang diakibatkan oleh suara dengan persamaan

ANALISIS SPEKTRUM ENERGI DAN FUNGSI GELOMBANG

FOURIER April 2013, Vol. 2, No. 1, PENYELESAIAN PERSAMAAN TELEGRAPH DAN SIMULASINYA. Abstract

BAB III APLIKASI METODE EULER PADA KAJIAN TENTANG GERAK Tujuan Instruksional Setelah mempelajari bab ini pembaca diharapkan dapat: 1.

Ayundyah Kesumawati. April 29, Prodi Statistika FMIPA-UII. Deret Tak Terhingga. Ayundyah. Barisan Tak Hingga. Deret Tak Terhingga

PENDAHULUAN FISIKA KUANTUM. Asep Sutiadi (1974)/( )

Ayundyah Kesumawati. April 29, Prodi Statistika FMIPA-UII. Uji Deret Positif. Ayundyah. Uji Integral. Uji Komparasi. Uji Rasio.

Bab II. Prinsip Fundamental Simulasi Monte Carlo

NOISE TERMS PADA SOLUSI DERET DEKOMPOSISI ADOMIAN DALAM MENYELESAIKAN PERSAMAAN DIFERENSIAL PARSIAL ABSTRACT

SOAL DAN PEMBAHASAN FINAL SESI I LIGA FISIKA PIF XIX TINGKAT SMA/MA SEDERAJAT PAKET 1

Created By Aristastory.Wordpress.com BAB I PENDAHULUAN. Teori sistem dinamik adalah bidang matematika terapan yang digunakan untuk

KEMAGNETAN. : Dr. Budi Mulyanti, MSi. Pertemuan ke-8

Transkripsi:

Hamburan Partikel Berspin-0 dan Berspin- pada Energi Tinggi Muzakkiy Putra Muhammad Akhir Departemen Fisika, FMIPA, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia muzakkiy.putra@sci.ui.ac.id Abstrak Hamburan partikel berspin 0 dan dikerjakan secara teoretis pada energi tinggi. Interaksi yang ditinjau adalah model pertukaran meson berbasis potensial Yukawa dengan penambahan suku spin orbit. Persamaan Lippmann-Schwinger untuk matriks T hingga beberapa suku hamburan ulang dan juga yang mengandung semua suku diselesaikan secara numerik dengan menggunakan teknik 3D. Penampang lintang diferensial serta besaran-besaran spin dihitung dari matriks T. Efek-efek proses hamburan ulang dan juga kinematika relativistik pada besaran-besaran tersebut ditunjukkan. Kata kunci: Hamburan, teknik 3D, kinematika relativistik, hamburan ulang. Abstract Scattering of Spin-0 and Spin- Particles at Higher Energies. Scattering of spin 0 and spin particles is calculated at higher energy. The interaction being considered is a meson exchange model based on Yukawa potential including spin orbit terms. Lippmann-Schwinger equation for T-matrix up to a few lowest order terms as well as one with full term is solved by means of a 3D technique. Differential cross section and spin observables are calculated from the T-matrix. Effects of rescattering process and relativistic kinematics on those observables is shown. Keywords:Scattering, 3D Technique, relativistic kinematics, rescattering. 1

1. Pendahuluan Bagi fisikawan di bidang few-body problem, hamburan partikel telah menjadi topik yang banyak diteliti. Proses hamburan bermula dengan bergeraknya dua partikel secara relatif satu tehadap yang lain dari arah yang saling berlawanan. Jarak antara dua partikel pada awalnya sangat besar dibandingkan dengan ukuran kedua partikel tersebut. Setelah bertumbukan, kedua partikel akan terhambur. Dari proses hamburan itu banyak fenomena fisis yang dapat dipelajari. Dengan meneliti hamburan partikel, kita dapat semakin baik memahami struktur subatomik hingga yang paling elementer serta interaksi yang terjadi. Hampir semua pengetahuan mengenai interaksi antar partikel didapat melalui fenomena hamburan. Sampai saat ini, masih banyak pertanyaan seputar interaksi antar partikel yang belum terjawab dengan sempurna, diantaranya mengenai interaksi kuat antar hadron. Sesungguhnya interaksi kuat terjadi antarquark yang merupakan partikel penyusun hadron. Namun, Interaksi kuat juga dapat ditinjau pada level hadron dengan model pertukaran meson (meson exchange model). Penelitian ini bertujuan untuk mengamati efek hamburan ulang dan kinematika relativistikpada hamburan partikel berspin-0 danberspin- dengan model pertukaran meson. Selanjutnya, penelitian ini bisa diaplikasikan pada hamburan kaon dan nukleon. Penampang lintang diferensial dan besaran-besaran spin dihitung dengan menyelesaikan persamaan Lippmann-Schwinger untuk matriks T. Teknik yang biasa digunakan fisikawan nuklir dalam menyelesaikannya adalah teknik gelombang parsial. Namun, pada energi tinggi, teknik gelombang parsial tidak lagi mudah direalisasikan karena sangat banyaknya jumlah momentum angular yang harus diperhitungkan untuk mencapai hasil yang konvergen. Untuk mengatasi masalah ini, diperkenalkan suatu teknik yang dinamakan dengan teknik tiga dimensi (3D) dengan menggunakan state vektor momentum sebagai basis tanpa harus menggunakan dekomposisi gelombang parsial. 2

2. Metode Hamburan partikel berspin-0 dan berspin- dimodelkan dengan pertukaran meson dan diamati pada energi tinggi secara teoretis dengan menyertakan faktor kinematika relativistik [1]. Potensial input yang digunakan berbasis pada potensial yukawa sebagai fungsi radial [2], dengan penambahan suku spin orbit sederhana. Sebagian parameter potensial kami tentukan dengan mengacu pada [3]. Persamaan Lippmann-Schwinger untuk matriks T hingga beberapa suku hamburan ulang (rescattering term) dan juga yang mengandung semua suku diselesaikan dengan menggunakan teknik 3D [4] secara numerik hingga dihasilkan matriks T. Penampang lintang diferensial dan besaran-besaran spin dihitung dari matriks ini. 3. Pembahasan Kami mengamati hamburan elastis dimana struktur internal partikel yang bertumbukan tidak berubah setelah terhambur. Hamburan partikel dapat diamati dalam dua kerangka acuan, yaitu laboratorium dan pusat massa. Pada eksperimen, hamburan dilakukan dalam kerangka acuan laboratorium sedangkan secara teoretis, perhitungan kinematika hamburan biasanya dilakukan dalam kerangka acuan pusat massa. Misalkan dan adalah massa partikel proyektil dan target. Besaran-besaran kinematik dalam kedua kerangka acuan tersebut dapat dihubungkan satu sama lain. Hubungan antara momentum dalam kedua kerangka acuan adalah =, (1) dengan adalah momentum relatif dalam kerangka acuan pusat massa, adalah momentum proyektil dalam kerangka acuan laboratorium, dan adalah massa tereduksi, = +. (2) 3

Hubungan energi dalam kerangka acuan pusat massa " dengan energi dalam kerangka acuan laboratorium "# adalah " =, (3) "# Sudut hambur dalam kedua kerangka acuan dapat dihubungkan dengan tan "# = sin " cos " +, (4) dimana"# adalah sudut hambur partikel proyektil dalam kerangka acuan laboratorium dan " adalah sudut hambur dalam kerangka acuan pusat massa. Seluruh informasi mengenai fenomena hamburan terkandung dalam suatu matriks yang dinamakan matriks-t yang didapat dengan menyelesaikan persamaan Lippmann-Schwinger untuk matriks-t [5, 9], = +, (5) dengan adalah potensial interaksi dan adalah free propagator, 1. (6) + " = lim Teknik yang biasa digunakan di dalam fisika nuklir untuk menyelesaikan persamaan Lippmann-Schwinger untuk matriks-t adalah teknik gelombang parsial. Teknik ini mengharuskan kita memperhitungkan setiap nilai momentum angular hingga perhitungan konvergen. Hal ini tidak menjadi masalah pada energi rendah sebab kita hanya memerlukan sedikit nilai momentum angular saja. Namun, pada energi tinggi, teknik gelombang parsial ini tidak lagi mudah direalisasikan karena sangat banyaknya jumlah momentum angular yang harus diperhitungkan untuk mencapai hasil yang konvergen. Untuk mengatasi masalah ini, kami menggunakan teknik tiga dimensi (3D)yang tanpa harus menggunakan dekomposisi gelombang parsial.keadaan basis teknik 3D terdiri dari bagian momentum dan bagian spin yang terkuantisasi pada arah z, =. (7) Basis ini memiliki sifat ortogonalitas = = (8) dan relasi kelengkapan = 1. (9) 4

Persamaan Lippmann-Schwinger untuk mtriks-t dalam basis 3D untuk sistem partikel berspin-0 dan berspin-½ adalah [4],,, =,, + 2 lim + " cos,,,,, (10) dengan relasi simetri,,, =,,,,, =,,,,,, =. (11),,,, Potensial input yang kami gunakan adalah potensial yukawa dengan penambahan suku spin orbit yang dalam ruang konfigurasi berbentuk, = +. (12) Dengan melakukan transformasi fourier, kita bisa mendapatkan bentuk potensial ini dalam ruang momentum,, = 1 ( ) + ( ) + 2 ( ) + 2. (13) + Kami mengasumsikan tiga meson yang mungkin dipertukarkan;,,. Parameter-parameter potensial kami dapatkan dengan membandingkan secara kasar dengan model interaksi melalui pertukaran meson dalam paper Buttgen [1], Besaran-besaran spin yang kami hitung dalam penelitian ini adalah penampang lintang diferensial spin rata-rata atau spin averaged differential cross section (I0) yang menyatakan peluang terjadinya hamburan atau luas efektif interaksi yang melibatkan spin, polarisasi arah y (Py) yang menggambarkan kemungkinan proses hamburan menyebabkan partikel yang terhambur terpolarisasi dari yang sebelumnya tidak terpolarisasi, dan depolarisasi x x (Dx x) serta depolarisasi z x (Dz x) yang memberikan informasi mengenai kemungkinan terjadinya perubahan arah polarisasi spin dari keadaan awal x ke keadaan akhir x atau z. Adapun depolarisasi y y bernilai 1, depolarisasi x z bernilai minus dari depolarisasi z x, sedangkan depolarisasi z z bernilai sama dengan depolarisasi x x. Seluruh besaran ini dapat dihitung dari matriks-t. 5

Tabel 3.1: Parameter-parameter potensial Meson (MeV) (MeV) (MeV/c 2 ) (MeV/c 2 ) 12,503-2,193-8,013 10,002 47,388 12,727 600,0 769,0 782,6 600,0 769,0 782,6 4. Hasil dan Diskusi Penelitian ini kami lakukan menggunakan metode numerik. Semua observable kami hitung menggunakan program Fortran 90 dan kami sajikan dalam bentuk grafik. Perhitungan observable menggunakan metode numerik membutuhkan sejumlah titik points dan bobot weight mengingat observable dihitung dari matriks-t yang berupa integral bola tiga dimensi pada ruang momentum. Kami menggunakan kuadratur Gauss-Legendre [6] dalam mencari points dan weights, sekaligus sebagai metode perhitungan integral. Penentuan jumlah titik, baik momentum ("), sudut ruang (" atau "), maupun sudut azimut (" atau "), sangat berpengaruh pada pencapaian konvergensi perhitungan secara numerik. Oleh karena itu, kami mencoba menentukan berapa jumlah titik (np, nx, dan nv) yang dinilai cukup untuk mendapatkan hasil yang konvergen. Kami melakukannya dalam dua tahap. Tahap pertama adalah ketika ekspresi potensial input yang kami gunakan tidak menyertakan faktor bentuk atau form factor, sedangkan tahap kedua menyertakan form factor. Ketika potensial input tanpa form factor, konvergensi sulit dicapai. Kami memandang bahwa susahnya konvergensi dikarenakan ekor potensial untuk momentum yang besar masih berpengaruh. Kami berkesimpulan bahwa untuk mengatasi masalah ini, struktur potensial harus memiliki form factor yang membatasi potensial bernilai signifikan hanya dalam range momentum terbatas. Kami membuktikannya dengan mencoba mencari konvergensi pada kondisi batas atas integrasi momentum bukan tak berhingga, melainkan hingga nilai momentum tertentu, misal 40 fm -1 dan 200 fm -1, Ternyata, konvergensi mudah dicapai. Selain karena masalah ekor potensial untuk momentum yang besar, sulitnya mencapai konvergensi juga disebabkan oleh suku spin-orbit ( ) pada potensial yukawa 6

yang mengandung momentum di numerator (pembilang). Konsekuensinya, potensial kernel tidak dapat turun (drop) dengan cepat. Kami membuktikannya dengan mencoba menghilangkan suku spin-orbit ini dalam struktur potensial yang kami gunakan ( = 0). Ternyata, konvergensi sangat mudah dicapai. Hal ini menguatkan kesimpulan kami bahwa potensial harus memiliki form factor. Hamburan dengan model interaksi pertukaran meson berlaku pada interaksi kuat, yaitu antar partikel hadron. Contoh sistem hamburan yang kami pilih adalah hamburan antara kaon dan proton (mengingat kaon adalah partikel berspin-0 dan proton adalah partikel berspin-½. model ini menganggap interaksi kuat terjadi pada level hadron dengan menganggap hadron sebagai partikel titik. Namun, pada kenyataannya kaon dan proton, serta partikel hadron yang lainnya, tersusun dari partikel yang lebih elementer lagi, yaitu quark. Artinya, di dalam kaon dan proton terdapat distribusi partikel bermuatan. Quantum Chromodynamics atau QCD adalah teori dasar yang menjelaskan interaksi kuat. Interaksi antar hadron sepenuhnya ditentukan oleh dinamika interaksi quark, sebagai partikel elementer yang berinteraksi kuat, dan gluon, sebagai partikel perantara interaksi kuat.sayangnya, pengetahuan kita mengenai mekanisme tersebut secara spesifik dan kuantitatif sangat terbatas. Selain itu, dalam fenomena fisika nuklir, interaksi kuat masih relevan ditinjau pada level hadron. Oleh karena itu model pertukaran meson sudah cukup mewakili, hanya saja perlu ditambahkan suatu faktor pada masing-masing verteks yang menggambarkan adanya reaksi multiquark yang kompleks, dinamakan dengan faktor bentuk atau form factor. Seperti yang dijelaskan pada Ref. [1], potensial yang mengandung form factor menggambarkan struktur di dalam hadron. Karena QCD sangat kompleks pada energi rendah, penurunan formula form factor sulit dilakukan. Oleh karena itu, form factor secara sederhana diparametrisasi mengarah pada reduksi ke pertukaran meson. Meskipun pada dasarnya form factor bergantung pada seluruh momentum-4 yang terlibat dalam verteks, form factor cukup dapat dibuat dengan bentuk yang sederhana bergantung hanya pada momentum-3 partikel yang dipertukarkan, yang pada penelitian ini adalah,,, = +. (14) 7

Tabel 4.1: Parameter-parameter cut-off Meson pp-meson (MeV/c 2 ) KK-meson (MeV/c 2 ) 1700 1400 1500 1400 2250 1250 Tabel 4.2: Parameter-parameter numerik Energi (MeV) np nx nv 100 6 12 10 500 8 16 10 1000 8 16 10 1500 10 20 10 2000 10 20 10 Untuk verteks KK-meson, bernilai 1 sedangkan untuk verteks pp-meson, bernilai satu atau dua tergantung meson yang dipertukarkan. parameterparameter cut-off ditentukan pada Tabel 4.1. Setelah menyertakan form factor, kami mendapatkan parameter numerik yang ditampilkan pada Tabel 4.2. Tampak bahwa untuk mencapai konvergensi, hanya dibutuhkan jumlah np, nx, dan nv yang relatif sangat kecil. Kami menduga, nilai np yang sangat mengejutkan (dengan batas dari nol sampai tak hingga hanya membutuhkan sedikit titik) dikarenakan meson yang dipertukarkan memiliki massa yang relatif menengah sampai besar (,, ), yang seluruhnya disertai form factor dengan parameter cut-off masing-masing. Lebih dari itu, pangkat pada form factor untuk dan bukan 1, melainkan 2, sehingga membuat potensial menjadi sangat shortrange. Dugaan ini kami uji dengan mengganti meson dengan meson yang massanya jauh lebih ringan, kurang dari sepertiga dari massa, tak lupa kami sesuaikan form factor dan parameter cut-off nya.. Hasilnya, konvergensi dicapai pada np=24. Ini menguatkan dugaan kami tersebut. Karena meson yang dipertukarkan merupakan meson berat, ekor potensial pada daerah momentum yang tinggi menjadi sangat teredam sehingga tidak diperlukan jumlah titik momentum yang besar. Mengenai nilai nx yang juga relatif sangat kecil, menurut kami, sebabnya adalah bentuk potensial yang sederhana (tipe Yukawa) yang memiliki struktur angular yang tidak rumit. Adapun mengenai nilai nv, penyebabnya adalah karena kami meringkas batas integrasi terhadap dari yang seharusnya nol hingga 2 menjadi hanya hingga /2 sehingga 10 titik kami rasa sangat cukup. 8

Terlihat bahwa nilai np dan nx meningkat sebanding dengan peningkatan energi. Nilai np yang semakin meningkat seiring dengan peningkatan energi disebabkan oleh potensial dan matriks-tyang dominan pada momentum on-shell dan sekitarnya. Ketika energi dinaikkan, momentum on-shell juga bergerak naik. Hal ini menyebabkan kerapatan gauss point juga melebar sehingga cukup rapat di daerah momentum on-shell yang makin meninggi sehingga dibutuhkan lebih banyak gauss point, yaitu np. Meskipun begitu, penambahan titik np yang dibutuhkan pun sedikit dan tidak memberikan pengaruh yang berarti pada lamanya perhitungan numerik. Kami melakukan pengecekan pada energi 10 GeV, jumlah np yang dibutuhkan hanya 24 titik. Pada grafik-grafik hasil yang ditampilkan, kami menggunakan np=12. Mengenai nx yang juga ikut meningkat, menurut kami, penyebabnya adalah bahwa dengan makin melebarnya daerah momentum yang dihitung, karena momentum on-shell bergerak naik, maka makin besar pula daerah yang perlu dihitung sifat angularnya. Plot grafik distribusi angular dengan jumlah nx yang sedikit akan menghasilkan grafik yang "patahpatah". Grafik akan semakin halus (smooth) jika titik-titik data cukup rapat. Maka, meskipun jumlah nx yang sedikit saja sudah cukup untuk memberikan hasil yang konvergen, grafik-grafik yang kami tampilkan di sini menggunakan jumlah nx yang jauh lebih besar. Meskipun demikian, interpolasi terhadap grafik dengan jumlah nx yang kecil pun dapat dilakukan. Selanjutnya kami tampilkan grafik hasil perhitungan seluruh observable untuk beberapa nilai energi, yaitu 500 MeV, 1000 MeV, 1500 MeV, dan 2000 MeV.(Gambar 4.1 4.4). Kami hanya menghitung hingga energi 2000 MeV agar hasil yang didapat realistis mengingat energi tertinggi yang dicapai eksperimen hamburan kaon-nukleon di dunia baru mencapai 2650 MeV. Terlihat bahwa semakin besar nilai energi, grafik penampang lintang diferensial akan memiliki titik (nilai) puncak yang semakin tinggi dan pada sudut yang lebih kecil. Artinya, probabilitas terhamburnya proyektil pada sudut-sudut kecil atau sudut-sudut maju (forward angles) semakin besar. Hal ini disebabkan ketika energi semakin tinggi, proyektil bergerak semakin cepat dan makin sulit dibelokkan sehingga sudut defleksi akibat interaksi yang terjadi semakin kecil. 9

Gambar 4.1. Penampang Lintang diferensial untuk beberapa nilai energi Gambar 4.2. Polarisasi untuk beberapa nilai energi Gambar 4.3. Depolarisasi x x untuk beberapa nilai energi Gambar 4.4. Depolarisasi z x untuk beberapa nilai energi Ketika partikel bergerak dengan energi tinggi, partikel tersebut dikatakan bergerak secara relativistik. Artinya, efek kinematika relativistik memiliki pengaruh yang tidak lagi bisa diabaikan. Efek ini muncul dari relasi energi dan momentum yang dikemukakan Einstein, = +, (15) serta transvormasi Lorentz () dari kerangka acuan laboratorium ke kerangka acuan pusat massa yang merupakan fungsi dari kecepatan kerangka acuan pusat massa relatif terhadap kerangka acuan laboratorium [7]. Berbekal momentum-4 dari masing-masing partikel dalam kerangka acuan laboratorium, Sehingga dalam kerangka acuan pusat massa, =,"#,, (16) =. (17) 10

Dengan adanya efek ini, hubungan antara momentum dalam kedua kerangka acuan menjadi, =, (18) dengan adalah massa invarian, + + 2. (19) Hubungan antara energi (kinetik) dalam kedua kerangka acuan menjadi,," = + + 2,"# + +, (20) dan hubungan antara sudut hambur dalam kedua kerangka acuan menjadi, tan "# = sin " cos " + = 1 1,", (21),". (22) Gambar 4.5. Penampang lintang diferensial energi 500 MeV Gambar 4.6. Polarisasi pada energi 500 MeV Gambar 4.7. Depolarisasi x xpada energi 500 MeV Gambar 4.8. Depolarisasi x xpada energi 500 MeV 11

Gambar 4.9. Penampang lintang diferensial energi 2000 MeV Gambar 4.10. Polarisasi pada energi 2000 MeV Gambar 4.11. Depolarisasi x x pada energi 2000 MeV Gambar 4.12. Depolarisasi z x pada energi 2000 MeV Gambar 4.13. Penampang lintang diferensial energi 10 MeV Gambar 4.14. Polarisasi pada energi 100 MeV 12

Gambar 4.15. Faktor ruang fase pada energi 500 MeV Gambar 4.16. Faktor matriks-t pada energi 500 MeV Gambar 4.17. Faktor ruang fase pada energi 2000 MeV Gambar 4.18. Faktor matriks-t pada energi 2000 MeV Gambar 4.19. Faktor ruang fase pada energi 10 MeV Gambar 4.20. Faktor ruang fase pada energi 100 MeV 13

Setelah menerapkan kinematika relativistik, kami kembali menghitung semua observable. Hasilnya kemudian kami bandingkan dengan perhitungan nonrelativistik (Gambar 4.5 4.12). Kami dapati bahwa efek kinematika relativistik sudah sangat signifikan pada energi 500 MeV untuk seluruh observable. Terdapat selisih nilai relativistik dan non-relativistik hingga 140% pada penampang lintang diferensial dalam kerangka acuan laboratorium untuk sudut kecil. Ketika energi semakin tinggi, efek relativistik makin signifikan. Pada energi 2000 MeV, perbedaan hasil perhitungan penampang lintang diferensial relativistik dan nonrelativistik dalam kerangka acuan laboratorium untuk sudut kecil sangat ekstrim hingga mencapai 900%. Melihat efek yang sudah sangat signifikan pada energi 500 MeV, kami menyelidiki pada energi berapa efek ini mulai muncul. Kami dapati bahwa untuk penampang lintang differensial, efek ini mulai terlihat pada energi 10 MeV (Gambar 4.13) dengan selisih perbedaan kurva relativistik dengan non-relativistik hingga 2,5%. Sedangkan pada polarisasi, efek ini mulai terlihat pada energi 100 MeV (Gambar 4.14). Pada penampang lintang differensial, Efek kinematika relativistik menaikkan tinggi puncak kurva non-relativistik dan menggeser kurva tersebut ke sudut yang lebih kecil. Hal ini akan semakin terlihat jelas ketika energi dinaikkan. Berbeda dengan polarisasi dan depolarisasi, efek kinematika relativistik cenderung hanya menggeser kurva non-relativistik ke sudut yang lebih kecil. Namun, ketika energi semakin tinggi, akan terlihat ada juga perbedaan ketinggian antara kedua kurva pada sudut-sudut tertentu. Untuk mengetahui lebih jauh mengenai efek kinematika relativistik pada penampang lintang differensial dalam kerangka acuan laboratorium, kami menghitung faktor komponen matriks-t (I 0 ) dan faktor ruang fase atau phase space (Π) dari penampang lintang diferensial tersebut. (Gambar 4.15 4.18). Kami juga menghitung I 0 pada energi 10 MeV (Gambar 4.19) dan Πpada energi 100 MeV (Gambar 4.20). Terlihat bahwa faktor ruang fase menaikkan tinggi puncak kurva non-relativitistik. Pada energi tinggi, efek kinematika relativistik menyebabkan momentum partikel melebihi massa diamnya sehingga besar energi relativitik bertambah dari energi non-relativistik. Hal inilah yang menyebabkan perbedaan ketinggian antara pucak kurva penampang lintang diferensial antara non-relativistik dengan relativistik. Perbedaan ketinggian tersebut makin 14

signifikan ketika energi makin tinggi karena momentum partikel makin melampaui massa diamnya. Di sisi lain, faktor komponen matriks-t menyebabkan kurva non-relativistik bergeser ke sudut yang lebih kecil. Hal ini sesuai dengan logika sederhana bahwa karena efek relativistik menambah besar energi nonrelativistik, partikel makin sulit dibelokkan. Sebenarnya, komponen matriks T juga menyebabkan kenaikan tinggi kurva non-relativistik, hanya saja pada energi rendah seperti 100 MeV, perbedaan ini tidak terlalu tampak jelas. Ketika energi semakin tinggi, seperti pada 2000 MeV, akan semakin jelas perbedaan tersebut. Terakhir, kami menyelidiki efek proses hamburan ulang atau rescattering process. Persamaan Lippmann-Schwinger untuk matriks-t dapat dinyatakan dalam deret tak hingga dari, = + + + + + (23) Mari kita sebut suku sebagai suku utama (leading term) atau suku aproksimasi Born pertama (1 st Born approximation), dan suku-suku setelahnya merupakan suku hamburan ulang (rescattering term), dengan suku merupakan suku hamburan ulang pertama (1 st rescattering term) atau suku aproksimasi Born kedua (2 nd Born approximation), suku merupakan suku hamburan ulang kedua (2 nd rescattering term) atau suku aproksimasi Born ketiga (3rd Born approximation), dan begitu pula selanjutnya. Walaupun interaksi kuat memiliki coupling constant yang nilainya lebih dari satu sehingga persamaan Lippmann-Scwhinger cenderung divergen, Struktur potensial yang kami gunakan juga memiliki komponen-komponen yang diharapkan bisa menjadikan persamaan tersebut konvergen seperti nilai momentum pada denominator dan form factor. Oleh karena itu, ada pertentangan antara besaran-besaran yang terkandung pada matriks-t. Besaran momentum pada bagian numerator dan coupling constant memperbesar nilai matriks-t sehingga cenderung menjadikannya divergen sedangkan suku form factor dan momentum pada bagian denominator memperkecil nilai matriks-t sehingga cenderung menjadikan deret tersebut konvergen. Diharapkan, pada suatu nilai energi dan suku tertentu, nilai-nilai yang menyebabkan matriks-t konvergen akan semakin dominan sehingga deret akan konvergen. Konsekuensinya, kita tidak perlu menghitung matriks-t secara keseluruhan, tetapi cukup hingga suku hamburan ulang kesekian saja sehingga 15

perhitungan diharapkan akan menjadi lebih efektif dan efisien.kami telah menghitung penampang lintang diferensial hingga kontribusi suku hamburan ulang keempat (4 th rescattering term) atau suku aproksimasi Born kelima (5 th Born approximation) untuk energi 2000 MeV (Gambar 4.21) kemudian kami bandingkan dengan hasil perhitungan keseluruhan (full term). Ternyata hasil yang didapatkan tidak konvergen. Bahkan, pada energi10000 MeV (Gambar 4.22) pun perhitungan masih belum konvergen. Tidak hanya itu, waktu yang dibutuhkan untuk menghasilkan data pun malah jauh lebih lama dibandingkan perhitungan matriks-t secara full term. Hal ini dikarenakan loop numerik yang dilakukan untuk menghitung matriks-t hingga suku aproksimasi Born keempat jauh lebih banyak sedangkan perhitungan full term hanya membutuhkan sedikit loop saja. Perhitungan yang kami harapkan seharusnya lebih efisien, ternyata sama sekali tidak efisien dari segala sisi. Meskipun begitu, kami melihat adanya pola yang semakin rapat dari garis-garis kurva ketika energi semakin tinggi. Mungkin saja pada energi yang jauh lebih tinggi dan pada suku aproksimasi born kesekian perhitungan akan konvergen. Namun, karena efisiensi justru makin tambah buruk, kami tidak melakukannya. Melihat hasil seperti ini, menghitung matriks T secara kesuluruhan menjadi satu-satunya pilihan. Tidak perlu khawatir tentang masalah efektifitas dan efisiensi, teknik 3D sendiri memang sudah dirancang sangat ampuh untuk perhitungan ini. Gambar 4.21 Penampang lintang diferensial energi 1000 MeV Gambar 4.22 Penampang lintang diferensial energi 10000 MeV 16

5. Kesimpulan Kami telah mengerjakan persamaan Lippmann-Schwinger untuk matriks-t dan menghitung observables pada energi tinggi menggunakan teknik 3D. Ketika struktur potensial tidak menyertakan form factor, konvergensi sulit dicapai. Setelah menyertakan form factor, konvergensi dengan mudah kami capai bahkan dengan jumlah np, nx, dan nv yang relatif sedikit. Semakin tinggi energi, dibutuhkan jumlah np dan nx yang lebih banyak. Namun, perhitungan numerik tidak akan menjadi sangat jauh lebih lama jika kita menentukan np dan nx yang lebih banyak agar lebih konvergen dan grafik yang dihasilkan lebih smooth.energi yang makin tinggi juga menyebabkan penampang lintang differensial menjadi dominan pada sudut-sudut kecil atau forward angle. Selain itu, efek relativistik juga semakin dominan. Efek relativistik menaikkan tinggi puncak kurva nonrelativistik dan menggesernya ke sudut yang lebih kecil. Penyebab kenaikan tinggi kurva didominasi oleh faktor komponen ruang fase sedangkan penyebab pergeseran kurva ke sudut yang lebih kecil didominasi oleh faktor matriks- T.Kami menduga bahwa ketika energi semakin tinggi, kita tidak perlu menghitung matriks-t secara full term, tetapi cukup hingga beberapa suku hamburan ulang (rescattering term) saja. Setelah menghitung hingga suku hamburan ulang keempat atau suku aproksimasi born kelima, ternyata konvergensi tidak atau belum tercapai. Bahkan perhitungan numerik menjadisangat jauh lebih lama dan tidak efisien. Menghitung matriks-t secara full term menjadi pilihan yang tepat dan teknik 3D sudah dirancang ampuh untuk perhitungan ini. Kami berharap ada pekerjaan lanjutan dari penelitian ini, yaitu dengan menggunakan struktur potensial yang lebih realistik dan melakukan fitting terhadap data eksperimen. Ucapan Terima Kasih Penulis bersyukur kepada Allah Azza wa Jalla atas nikmat tak terhitung yang telah Ia berikan, kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sebagai teladan, dan kepada Buya Muhammad Akhir dan Ummi Erni Setiawati, orang tua paling hebat di dunia. Kemudian penulis mengucapkan terima kasih yang kepada 17

Bapak Dr. Agus Salam dan Dr. Imam Fachruddin yang membimbing penulismengerjakan penelitian ini, kepada Bapak Prof. Dr. Terry Mart dan Dr. Anto Sulaksono atas diskusi-diskusi yang semakin menyempurnakan pengerjaan penelitian ini, Kepada Bapak Dr. LT. Handoko dan Kak Handhika Satria Ramadhan, Ph.D yang telah mengizinkan penulis menghuni lab Teoriminimal 9 jam dalam sehari dan 5 hari dalam sepekan, dan kepada teman-teman lab Teori dari seluruh angkatan, khususnya Ihda Husnayani sebagai partner yang baik dalam pengerjaan penelitian ini. Daftar Acuan [1] R. Buttgen, K. Holinde, A. Muller Groeling, J. Speth, and P. Wyborny, "A Meson Exchange Model for K + N Interaction", Nuclear Physics A506(1990) 586-614. [2] I. Fachruddin and A. Salam, "Scattering of a spin-1/2 particle off a spin-0 target in a simple three-dimensional basis", Few-Body Systems (2012), DOI: 10.1007 / s00601-012-0353-y. [3] I. Abdurachman and I. Fachruddin, "A formulation without partial wave decomposition for scattering of spin-1/2 and spin-0 particles", Mod. Phys. Lett. A24, 843, 2009. [4] R. A. Malfliet and J. A. Tjon, "Solution of the Faddeev equations for the triton problem using local two particle interactions", Nucl. Phys. A127, 161-168 (1969). [5] Glockle, The Quantum Mechanical Few-Body Problem, Springer Verlag, Berlin, 1983. [6] W. H. Press, et. al., Numerical Recipes in Fortran, Cambridge University Press, New York, 1992. [7] R. Fong and J. Sucher, J. Math. Phys. 5, 456 (1964). [8] Elster, Ch., Thomas, J.H., Glockle, W.: Few-Body Systems 24, 55-79, 1998. [9] Davydov A. S., Haar D. T., Quantum Mechanics, Pergamon Press, New York, 1976. 18