Verifikasi Perhitungan Partial Wave untuk Hamburan!! n

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Verifikasi Perhitungan Partial Wave untuk Hamburan!! n"

Transkripsi

1 Verifikasi Perhitungan Partial Wave untuk Hamburan n L dy Mascow Abdullah, Imam Fachruddin, Agus Salam 1. Departemen Fisika, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia 2. Departemen Fisika, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia 3. Departemen Fisika, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia ldymascow@yahoo.com Abstrak Hamburan n dihitung dengan menggunakan teknik standar partial wave dan juga teknik tiga dimensi(3d). Hasil perhitungan partial wave dibandingkan terhadap hasil perhitungan 3D untuk mem-verifikasi konvergensi perhitungan partial wave. Observable yang dihitung yaitu penampang lintang diferensial, polarisasi, dan depolarisasi. Interaksi yang dipakai berdasarkan pertukaran meson dan hyperon sampai orde 2. Partial-Wave Calculation Verification for n Scaterring Abstract n scattering is calculated by applying the standar partial wave technique and a 3D technique. The partial-wave calculations are compared to the 3D calculations in order to verify the convergence of the partial-wave calculations. The observables being calculated are differential cross section, polarization, depolarization. Interactions being used is the one based on meson and hyperon exchange up to second order. Keywords: K+n Scattering, 3D technique, Partial-Wave technique Gambar 1: Kinematika hamburan Kaon-Nukleon dalam kerangka laboratorium (kiri) dan kerangka pusat massa (kanan)

2 Pendahuluan Metode hamburan merupakan salah satu cara yang digunakan dalam penelitian fisika nuklir dan partikel. Pada tahun , Ernest Rutherford bersama muridnya Hans Geiger dan ErnstMarsden melakukan eksperimen dengan menembakan partikel alpha ke sebuah lempeng tipis yang terbuat dari emas. Hasil pengamatan Rutherford bahwa partikel memiliki inti. Eksperimen Rutherford memulai bidang baru dalam fisika, yaitu fisika nuklir. Seiring berjalannya waktu, eksperimen dengan metode hamburan menggunakan teknologi yang semakin canggih membuat para fisikawan mendapatkan data yang semakin akurat. Penelitian fisika nuklir dan partikel baik dengan eksperimen maupun teori terus dikembangkan hingga saat ini untuk mengetahui stuktur dan sifat dari partikel-partikel tersebut [1]. Pada penelitian ini kami menghitung hamburan partikel kaon-nukleon (K+n). Hamburan K+n merupakan salah satu contoh hamburan elastik [2]. Pada saat reaksi berlangsung, struktur partikel tidak berubah [3]. Pada hamburan ini dengan energi rendah dapat ditinjau menggunakan mekanika kuantum nonrelativistik. Persamaan untuk menghitung hamburan ini yaitu persamaan Lipmann-Schwinger untuk matriks T. Teori Dasar Kinematika Dalam penelitian ini, kami menggunakan dua kerangka, yaitu kerangka laboratorium (Lab.) dan kerangka pusat massa (P.M.). Kami menyatakan adalah massa partikel satu yang merupakan massa proyektil dan adalah massa partikel dua yang merupakan massa target. Dalam kerangka Lab, adalah momentum awal partikel satu dan adalah momentum awal partikel dua. Dalam kerangka P.M, dimana momentum relatif awal adalah. Dalam keadaan akhir,kami menggunakan ʹ dan ʹ sebagai momentum akhir dalam kerangka Lab. dan p dalam kerangka P.M. Hubungan antara momentum dalam kerangka laboratorium dan momentum dalam kerangka pusat massa adalah sebagai berikut:

3 = (1) Pada keadaan awal, Kaon bergerak menuju Nukleon yang berada dalam keadaan diam relatif terhadap kerangka laboratorium. sehingga =0. Maka: = (2) dimana µ adalah massa tereduksi: = + (3) Energi total dalam kerangka pusat massa.. dan energi total dalam kerangka laboratorium "#. adalah: "#. = = + (4) = 2 = 2 (5) Hubungan antara energi total dalam kerangka pusat massa dengan energi total dalam kerangka laboratorium adalah: "#. =.. (6) Pada gambar 2.1 bagian kiri adalah skema hamburan di kerangka Lab. dan pada bagian kanan adalah skema hamburan di kerangka P.M. Dalam proses hamburan, proyektil datang dari arah sumbu-z dengan momentum = dan = dan hamburan tersebut terjadi pada bidang -

4 . Berikut adalah hubungan antara kedua sudut hamburan antara sudut hamburan kerangka laboratorium dengan sudut hamburan kerangka pusat massa:.. = "#. + arcsin "# "#. (7) dan sebaliknya: "#. = arctan "#.. "#.. + (8) Teknik Tiga Dimensi Keadaan Basis 3D Kami mulai dengan mendefinisikan suatu keadaan bebas yang terdiri dari bagian momentum dan bagian spin sebagai keadaan basis [4] = (9) Inilah yang dinamakan dengan dengan keadaan basis 3D dengan merupakan keadaan eigen (eigenstate) untuk operator spin-1/2 s yang terkuantisasi pada sumbu z, = = (10) Keadaan basis 3D memiliki sifat ortogonalitas, = = (11) dan relasi kelengkapan, = 1 (12) Elemen Matriks T Elemen matriks transisi pada keadaan basis 3D (9) didefinisikan sebagai berikut,, (, ) (13) yang memenuhi persamaan Lippmann-Schwinger dengan bentuk,

5 (, ) = (, ) + (, ) (, ) (14) dengan adalah free propagator, ( ) = lim 1 + " (15) dan adalah energi non-relativistik, = 2 (16) = 2 (17) mengingat =,, (, ) =, (, ) + lim (, ) + "# (, ) (18) Karena elemen matriks, invarian terhadap rotasi, bergantung pada dan tidak bergantung pada dan secara terpisah. Hal ini menunjukan bahwa dan mengarah kemanapun, nilai ( (, )) tidak berubah selama tidak berubah. Dengan = kami akan mendapatkan bahwa elemen matriks, (, ) memiliki sifat azimutal, yaitu dengan,(,, ) =,(,, ) + lim, (, ) = ( ), (,, ) (19) (, ) + "

6 x ( ), (,, ) (20) Bisa didefinisikan suatu ekspresi elemen matriks potensial (,,, ) berupa, (,,, ) = sehingga persamaan (20) dapat kami sederhanakan menjadi, (,, ) = (,, ) + 2 lim (, ) ( ) (21) + " x cos (,,, ) (,, ) (22) Kami juga dapat menentukan,,, yaitu (,, ) = ( ), (,, ) (23) Teknik Partial Wave Basis yang digunakan pada teknik Partial Wave adalah 1 2 ; " (24) Basis ini memiliki nilai momentum angular total J: = + dengan s = 1/2 dan nilai m adalah proyeksi pada sumbu-z Elemen matriks-t dan potensial pada basis gelombang parsial: 1 2 ; 1 2 ; " (25) 1 2 ; 1 2 ; " (26) Karena konservasi momentum angular total J, maka matriks-t dan potensial bersifat diagonal untuk nilai j dan m:

7 1 2 ; 1 2 ; " = ", (27) 1 2 ; 1 2 ; " = ", (28) dengan nilai ", dan ", ", = 1 2 ; " 1 2 ; " (29) ", = 1 2 ; " 1 2 ; " (30) Dengan demikian, persamaan Lippmann-Schwinger untuk matriks-t (??), pada basis gelombang parsial menjadi: ", = ", ; () 1 2 ; " = ", ; 1 2 ; 1 2 ; () 1 2 ; 1 2 ; 1 2 ; " (31) dengan menggunakan persamaan (28), ", = ", + ", 1 2 ; () 1 2 ; "

8 ", (32) Sekarang kami akan mencari propagator dalam basis gelombang parsial ; " Karena propagator tidak berpengaruh pada spin, maka kami bisa mengerjakan dengan cara menggunakan relasi kelengkapan sebagai berikut: Dengan memasukkan persamaan elemen matriks propagator (33) ke persamaan (32), menjadi: ", = ", + 2 lim ", + " ", (34) Persamaan (34) merupakan persamaan Lippmann-Schwinger untuk matriks-t pada basis gelombang parsial. Mengingat nilai j adalah bilang ganjil dikali 1/2, maka l l = 0 atau 1. Karena kekekalan parity hanya mengizinkan l l = 0 atau l = l. Dengan demikian, persamaan (34) menjadi, ", = ", + 2 lim ", + " ", (35) Untuk menghitung observable diperlukan,,. Elemen matriks,, bisa diperoleh dari elemen matriks partial wave ", dengan menggunakan relasi berikut:

9 ,, = " , (36) 1 2 ; ( ) 1 2 ; 0, (, 0) Besaran Spin (Spin Observables) Rumus umum untuk mencari besaran spin = 1 2 (4 ) " (,, ) (,, ) (37) dengan, = 0,1,2,3 (38) Persamaan (37) menghubungkan variasi polarisasi spin pada keadaan awal dan keadaan akhir, adalah matriks identitas 2 2 yang tidak terpolarisasi. sedangkan,, adalah operator spin Pauli. vektor satuan keadaan awal, = dengan vektor satuan untuk keadaan akhir, = = = (39) = = = (40) Besaran penampang lintang diferensial rata-rata spin (spin average differential cross section observables) dihitung dengan rumus, " = 1 2 (4 ) " (,, ) (,, )

10 = (4 ) (,, ) + (,, ) (41) Besaran lain yang dihitung adalah polarisasi Py yang dihitung ketika spin awal tidak terpolarisasi sedangkan keadaan akhir terpolarisasi kearah sumbu-y, maka menggunakan persamaan 1 (4 ) " (,, ) (,, ) 2 = 2 (4 ) " (,, ) (,, ) (42) Ketika spin awal dan spin setelah terhambur tidak terpolarisasi, besaran yang dihitung adalah depolarisasi 1 (4 ) " (,, ) (,, ) 2 = 1 (4 ) (,, ) (,, ) cos "# +2" (,, ) sin "# (43) 1 2 (4 ) " (,, ) (,, ) = 1 (4 ) (,, ) (,, ) sin "# 2" (,, ) cos "# (44) 1 2 (4 ) " (,, ) (,, ) = 1 (45) 1 2 (4 ) " (,, ) (,, ) = (46)

11 1 2 (4 ) " (,, ) (,, ) = (47) Isospin Kaon dan nukleon memiliki spin bernilai 1/2, maka isospin total τ bisa bernilai 0 atau bernilai 1. Untuk komponen z isospin total ν bernilai 1 atau bernilai -1, maka isospin total yang mungkin hanya τ = 1. Untuk ν bernilai 0, isospin total yang mungkin τ = 0 dan τ = 1. Untuk sistem K+p ν isospin yang mungkin bernilai 1, untuk sistem K0n dan K n ν isospin yang mungkin bernilai -1, sehingga yang mungkin hanya τ = 1. Untuk sistem K0p, K p dan K+n ν = 0, sehingga yang mungkin τ = 0 dan τ =1. Karena penelitian ini menggunakan partikel K+n maka isospin total yang digunakan bernilai 0. Pada elemen matriks (V maupun T) perlu dibubuhkan label τ dan ν. Begitu juga dengan ",,. " (, ) " ". (48) Elemen matriks T akhir, yaitu yang dipakai untuk menghitung observables, adalah yang memperhitungkan semua isospin total yang mungkin untuk nilai ν tertentu. Jadi, untuk menghitung observables ambil T-matrix elements (,, )yang didefinisikan sebagai berikut: Untuk ν = 1 atau ν = -1: Untuk ν = 0: (,, ) ; (,, ). (49) (,, ) = (,, ). (50) (,, ) = 1 2 (,, ) + " (,, ). (51) Hal yang sama juga berlaku untuk perhitungan menggunakan teknik partial wave.

12 Metode Penelitian Diagram Feynmann Diagram Feynman merepresentasikan lintasan partikel dari suatu proses interaksi,seperti hamburan. Lintasan partikel dapat berupa garis yang berlekuk atau yang lurus, tergantung jenis partikel apa yang berinteraksi. Dan sebuah titik dimana garis yang satu terhubung dengan garis yang lain disebut dengan verteks. Verteks merupakan simpul pertemuan dan interaksi antar partikel. Pada titik ini bisa terjadi pemancaran atau penyerapan partikel baru, pembelokan satu sama lain atau mengubah partikel[2]. Dalam penulisan diagram Feynman, bagian kiri merupakan kondisi awal sebelum tumbukan dan bagian kanan merupakan kondisi akhir setelah tumbukan. Sebuah bosonic propagator digambarkan oleh garis putus-putus. Sedangkan fermion propagator digambarkan oleh garis yang utuh[3]. Kami pilih model pertukaran meson dan hyperon untuk orde-dua yang terdapat pada [5]. Kami peroleh diagram feynman untuk model pertukaran meson dan hyperon yang ditunjukan pada gambar (2) Gambar 2: Diagram Feynman Pertukaran Meson a) Skalar, vektor ; b) pseudovektor, Pertukaran skalar meson () () = " " " " ( ) " ( ) ( ) (, )(, ) 1 + " " (52)

13 Pertukaran vektor meson ω dan ρ () () " " ( )" ( ) = (" + " ) 32 ( ) ( + ), (, ) ( + ) (, )(, ) + " + 2 " 1 + " (53) dengan faktor isospin τ1 τ2 untuk pertukuran ρ Pertukaran Baryon dan () () = "# "# ( ) (, )( )(, ) 32 ( ) 1 + " (54) dengan faktor isospin (1 + ) [5] untuk Γ = Λ Dan (3 ) [5] untuk Γ = Σ. Hasil dan Pembahasan Kami menampilkan hasil perhitungan penampang lintang difensial (differential cross section), polarisasi (polarization), depolarisasi (depolarization) untuk beberapa energi, yaitu 50 MeV, 100 MeV, 150 MeV, hingga 500 MeV dengan menggunakan beberapa teknik, yaitu teknik 3D dan teknik PW. Penampang Lintang Difensial Kami akan menampilkan data perhitungan penampang lintang difensial (differential cross section) menggunakan teknik 3D dan teknik PW. Data yang kami tampilkan menggunakan teknik 3D dan PW pada energi 50 MeV sampai 500 MeV dengan interval 50 MeV. Dari data tersebut, kami bisa melihat bahwa semakin besar nilai energi, grafik penampang lintang difensial (differential cross section) akan memiliki nilai (titik) puncak yang semakin tinggi dan pada sudut yang lebih kecil, jika energi semakin besar maka memiliki nilai yang lebih besar juga

14 kemungkinan terhamburnya proyektil pada sudut-sudut kecil. Penampang lintang difensial (differential cross section) akan mencapai konvergensi dengan momentum angular total yang berbeda-beda tiap energi. Kami menampilkan hasilnya pada tabel (1), Kami membandingkan hasil perhitungan menggunakan teknik 3D dan menggunakan teknik PW. Dari grafik tersebut terlihat bahwa nilai Penampang lintang difensial (differential cross section) 3D lebih besar dengan teknik PW yang ditunjukan oleh gambar (3) - (5). Berikut kami tampilkan data hasil perhitungan, Pada gambar (6), kami membandingkan hasil penampang lintang total terhadap energi

15 Polarisasi dan Depolarisasi Kami akan menampilkan data perhitungan penampang lintang difensial (differential cross section) menggunakan teknik 3D dan teknik PW. Data yang kami tampilkan menggunakan teknik 3D dan PW pada energi 50 MeV sampai 500 MeV dengan interval 50 MeV. Untuk polarisasi, semakin besar nilai energi, semakin besar nilai polarisasinya yang berarti kemungkinan partikel neutron terhambur searah sumbu-y dan grafik polarisasi (polarization) akan mengalami penurunan pada sudut yang semakin besar. Karena kemungkinan terhamburnya searah sumbu-y lebih besar pada sudut kecil. Grafik depolarisasi xx menggambarkan peluang terjadinya depolarisasi dari arah x (sebelum hamburan) ke arah x (setelah terhambur), sedangkan grafik depolarisasi zx menggambarkan peluang depolarisasi dari arah x ke arah z. Berikut kami menampilkan data perhitungan polarisasi yang ditunjukan pada gambar (7) - (9), depolarisasi bidang xx yang ditunjukan pada gambar (10) - (12)dan depolarisasi bidang zx yang ditunjukan pada gambar (13) dan (15). Grafik tersebut merupakan hasil dari perhitungan menggunakan teknik 3D dan teknik PW. Polarisasi akan mencapai konvergensi dengan momentum angular total yang berbedabeda tiap energi Kami menampilkan hasilnya pada tabel (2),

16 Depolarisasi XX akan mencapai konvergensi dengan momentum angular total yang berbeda-beda tiap energi. Kami menampilkan hasilnya pada tabel (3), Depolarisasi ZX akan mencapai konvergensi dengan momentum angular total yang berbeda-beda tiap energi. Kami menampilkan hasilnya pada tabel (4)

17

18 Kesimpulan dan Saran Kami mengerjakan persamaan Lippmann-Schwinger untuk matriks T dalam basis 3D dan basis PW. Lalu kami menghitung besaran seperti penampang lintang diferensial, polarisasi, dan depolarisasi. kami menyertakan form factor dalam perhitungan agar dalam perhitungan, mendapatkan hasil konvegen dengan jumlah np dan nx yang relatif sedikit. Semakin besar nilai energi semakin banyak juga jumlah np dan nx. Akan tetapi karena jumlah titik yang perlu ditambahkan pun relatif sedikit dan tidak memberikan pengaruh yang berarti pada efisiensi perhitungan numerik. Maka, perhitungan numerik tidak akan menjadi sangat jauh lebih lama jika kita menentukan np dan nx yang lebih banyak agar lebih konvergen dan grafik yang dihasilkan lebih halus. Semakin besar nilai energi, grafik penampang lintang difensial (differential cross section) akan memiliki nilai (titik) puncak yang semakin tinggi dan pada sudut yang lebih kecil, jika energi semakin besar maka memiliki nilai yang lebih besar juga kemungkinan terhamburnya proyektil pada sudut-sudut kecil.

19 Untuk polarisasi, semakin besar nilai energi, semakin besar nilai polarisasinya yang berarti kemungkinan partikel neutron terhambur searah sumbu-y dan grafik polarisasi (polarization) akan mengalami penurunan pada sudut yang semakin besar. Karena kemungkinan terhamburnya searah sumbu-y lebih besar pada sudut kecil. Sedangkan depolarisasi bidang XX dan bidang ZX, jika semakin besar nilai energi akan mengalami pergeseran fase. Perhitungan partial-wave dan perhitungan 3D semua nilai hampir sama. tetapi semakin besar nilai energi, kami membutuhkan nilai gelombang parsial yang lebih banyak untuk mencapai nilai yang konvergen. Pada energi sampai 500 MeV, perhitungan menggunakan teknik partial wave telah terverifikasi. DAFTAR ACUAN 1. Krane, K.S. (1988). Introductory Nuclear Physics. Wiley, New York. 2. Davydov, A.S., dan Haar, D.T. (1976). Quantum Mechanics. Pergamon Press, New York. 3. Glockle, W. (1983). The Quantum Mechanical Few-Body Problem. Springer Verlag, Berlin. 4. Fachruddin, I., dan Salam, A. (2013). KN scattering in 3D formulation. Few-Body Systems 54, 1625, DOI: /s Buttgen, R., Holinde, K., Muller-Groeling, A., Speth, J., dan Wyborny, P. (1989). A Meson Exchange Model for the K+N Interaction. Nuclear Physics A 506, A. Mueller-Groeling, K. Holinde, and J. Speth., 1990, Nuc. Phys. A5113, 557

Efek Relativistik Pada Hamburan K + n

Efek Relativistik Pada Hamburan K + n Efek Relativistik Pada Hamburan K + n Putu Adi Kusuma Yudha l, Dr. Agus Salam 2, Dr. Imam Fachruddin 3 1. Departemen Fisika, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia 2. Departemen Fisika, Universitas

Lebih terperinci

Hamburan Partikel Berspin-0 dan Berspin-! pada Energi Tinggi. Abstrak

Hamburan Partikel Berspin-0 dan Berspin-! pada Energi Tinggi. Abstrak Hamburan Partikel Berspin-0 dan Berspin- pada Energi Tinggi Muzakkiy Putra Muhammad Akhir Departemen Fisika, FMIPA, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia muzakkiy.putra@sci.ui.ac.id Abstrak Hamburan

Lebih terperinci

BAHASAN DAN RUJUKAN. Minggu ke- Pokok Bahasan Subpokok Bahasan

BAHASAN DAN RUJUKAN. Minggu ke- Pokok Bahasan Subpokok Bahasan BAHASAN DAN RUJUKAN Minggu ke- Pokok Bahasan Subpokok Bahasan 1 Pendahuluan a. gambaran sederhana b. definisi dan makna fisis penampang lintang hamburan c. penjelasan tentang perkuliahan (buku acuan, dll)

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Struktur atom Struktur atom merupakan satuan dasar materi yang terdiri dari inti atom beserta awan elektron bermuatan negatif yang mengelilinginya. Inti atom mengandung campuran

Lebih terperinci

FOTOPRODUKSI MESON-ETA PADA PROTON

FOTOPRODUKSI MESON-ETA PADA PROTON FOTOPRODUKSI MESON-ETA PADA PROTON Alhidayatuddiniyah T.W. Program Studi Informatika, Universitas Indraprasta PGRI alhida.dini@gmail.com Abstrak Telah diinvestigasi reaksi fotoproduksi γp ηp dengan tujuan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1.4. Hipotesis 1. Model penampang hamburan Galster dan Miller memiliki perbedaan mulai kisaran energi 0.3 sampai 1.0. 2. Model penampang hamburan Galster dan Miller memiliki kesamaan pada kisaran energi

Lebih terperinci

Agus Suroso. Pekan Kuliah. Mekanika. Semester 1,

Agus Suroso. Pekan Kuliah. Mekanika. Semester 1, Agus Suroso 14 Pekan Kuliah B Mekanika ( C a t a t a n K u l i a h F I 2 1 0 4 M e k a n i k a B ) Semester 1, 2017-2018 Sistem Partikel (2) 10 10 1 Gerak relatif pada sistem dua partikel 10 2 Tumbukan

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA MODEL PERTUKARAN HYPERON DAN SIGMA UNTUK HAMBURAN KAON-NUKLEON TESIS. Agus Jarwanto

UNIVERSITAS INDONESIA MODEL PERTUKARAN HYPERON DAN SIGMA UNTUK HAMBURAN KAON-NUKLEON TESIS. Agus Jarwanto UNIVERSITAS INDONESIA MODEL PERTUKARAN HYPERON DAN SIGMA UNTUK HAMBURAN KAON-NUKLEON TESIS Agus Jarwanto 07067655 UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM PROGRAM STUDI MAGISTER

Lebih terperinci

PERHITUNGAN PENAMPANG LINTANG DIFERENSIAL PROSES PRODUKSI HIPERON-SIGMA TAK BERMUATAN PADA HAMBURAN ELEKTRON-NETRON

PERHITUNGAN PENAMPANG LINTANG DIFERENSIAL PROSES PRODUKSI HIPERON-SIGMA TAK BERMUATAN PADA HAMBURAN ELEKTRON-NETRON PERHITUNGAN PENAMPANG LINTANG DIFERENSIAL PROSES PRODUKSI HIPERON-SIGMA TAK BERMUATAN PADA HAMBURAN ELEKTRON-NETRON TESIS Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister SIDIKRUBADI

Lebih terperinci

FOTOPRODUKSI η-meson PADA NUKLEON DENGAN MODEL ISOBAR

FOTOPRODUKSI η-meson PADA NUKLEON DENGAN MODEL ISOBAR FOTOPRODUKSI η-meson PADA NUKLEON DENGAN MODEL ISOBAR Maya Puspitasari Izaak 1, Agus Salam 1 1 Departemen Fisika, FMIPA-UI, Kampus UI Depok 16424 mayaizaak@yahoo.co.id, agussalam@yahoo.com Abstrak Telah

Lebih terperinci

KB.2 Fisika Molekul. Hal ini berarti bahwa rapat peluang untuk menemukan kedua konfigurasi tersebut di atas adalah sama, yaitu:

KB.2 Fisika Molekul. Hal ini berarti bahwa rapat peluang untuk menemukan kedua konfigurasi tersebut di atas adalah sama, yaitu: KB.2 Fisika Molekul 2.1 Prinsip Pauli. Konsep fungsi gelombang-fungsi gelombang simetri dan antisimetri berlaku untuk sistem yang mengandung partikel-partikel identik. Ada perbedaan yang fundamental antara

Lebih terperinci

SOAL LATIHAN PEMBINAAN JARAK JAUH IPhO 2017 PEKAN VIII

SOAL LATIHAN PEMBINAAN JARAK JAUH IPhO 2017 PEKAN VIII SOAL LATIHAN PEMBINAAN JARAK JAUH IPhO 2017 PEKAN VIII 1. Tumbukan dan peluruhan partikel relativistik Bagian A. Proton dan antiproton Sebuah antiproton dengan energi kinetik = 1,00 GeV menabrak proton

Lebih terperinci

EKSPERIMEN HAMBURAN RUTHERFORD

EKSPERIMEN HAMBURAN RUTHERFORD Laporan Praktikum Fisika Eksperimental Lanjut Laboratorium Radiasi PERCOBAAN R3 EKSPERIMEN HAMBURAN RUTHERFORD Dosen Pembina : Herlik Wibowo, S.Si, M.Si Septia Kholimatussa diah* (080913025), Mirza Andiana

Lebih terperinci

Setelah Anda mempelajari KB-1 di atas, simaklah dan hafalkan beberapa hal penting di. dapat dihitung sebagai beriktut: h δl l'

Setelah Anda mempelajari KB-1 di atas, simaklah dan hafalkan beberapa hal penting di. dapat dihitung sebagai beriktut: h δl l' Rangkuman: bawah ini! Setelah Anda mempelajari KB-1 di atas, simaklah dan hafalkan beberapa hal penting di 1. Elemen-elemen matrik L lm,l'm' = h l ( l +1) δ ll' L l m, l 'm' dapat dihitung sebagai beriktut:

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA.1 Atom Pion Atom pion sama seperti atom hidrogen hanya elektron nya diganti menjadi sebuah pion negatif. Partikel ini telah diteliti sekitar empat puluh tahun yang lalu, tetapi

Lebih terperinci

EFEK MESON σ PADA PERSAMAAN KEADAAN BINTANG NEUTRON

EFEK MESON σ PADA PERSAMAAN KEADAAN BINTANG NEUTRON DOI: doi.org/10.21009/0305020501 EFEK MESON σ PADA PERSAMAAN KEADAAN BINTANG NEUTRON Alrizal 1), A. Sulaksono 2) 1,2 Departemen Fisika FMIPA UI, Kampus UI Depok, 16424 1) alrizal91@gmail.com, 2) anto.sulaksono@sci.ui.ac.id

Lebih terperinci

LAMPIRAN. Hubungan antara koordinat kartesian dengan koordinat silinder:

LAMPIRAN. Hubungan antara koordinat kartesian dengan koordinat silinder: LAMPIRAN A.TRANSFORMASI KOORDINAT 1. Koordinat silinder Hubungan antara koordinat kartesian dengan koordinat silinder: Vector kedudukan adalah Jadi, kuadrat elemen panjang busur adalah: Maka: Misalkan

Lebih terperinci

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Dapat menambah informasi dan referensi mengenai interaksi nukleon-nukleon

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Dapat menambah informasi dan referensi mengenai interaksi nukleon-nukleon F. Manfaat Penelitian Adapun manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Dapat menambah informasi dan referensi mengenai interaksi nukleon-nukleon di dalam inti atom yang menggunakan potensial Yukawa. 2. Dapat

Lebih terperinci

DAFTAR SIMBOL. : permeabilitas magnetik. : suseptibilitas magnetik. : kecepatan cahaya dalam ruang hampa (m/s) : kecepatan cahaya dalam medium (m/s)

DAFTAR SIMBOL. : permeabilitas magnetik. : suseptibilitas magnetik. : kecepatan cahaya dalam ruang hampa (m/s) : kecepatan cahaya dalam medium (m/s) DAFTAR SIMBOL n κ α R μ m χ m c v F L q E B v F Ω ħ ω p K s k f α, β s-s V χ (0) : indeks bias : koefisien ekstinsi : koefisien absorpsi : reflektivitas : permeabilitas magnetik : suseptibilitas magnetik

Lebih terperinci

FUNGSI GELOMBANG DAN RAPAT PROBABILITAS PARTIKEL BEBAS 1D DENGAN MENGGUNAKAN METODE CRANK-NICOLSON

FUNGSI GELOMBANG DAN RAPAT PROBABILITAS PARTIKEL BEBAS 1D DENGAN MENGGUNAKAN METODE CRANK-NICOLSON FUNGSI GELOMBANG DAN RAPAT PROBABILITAS PARTIKEL BEBAS 1D DENGAN MENGGUNAKAN METODE CRANK-NICOLSON Rif ati Dina Handayani 1 ) Abstract: Suatu partikel yang bergerak dengan momentum p, menurut hipotesa

Lebih terperinci

Hamburan Partikel Ber-Spin 0 dan 1 2 Dalam Basis Momentum-Helicity

Hamburan Partikel Ber-Spin 0 dan 1 2 Dalam Basis Momentum-Helicity Hamburan Partikel Ber-Spin dan Dalam Basis Momentum-Helicity Skripsi diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sains oleh: Irga Abdulrahman 3336 Departemen Fisika Fakultas Matematika

Lebih terperinci

SOAL DAN PEMBAHASAN FINAL SESI I LIGA FISIKA PIF XIX TINGKAT SMA/MA SEDERAJAT PAKET 1

SOAL DAN PEMBAHASAN FINAL SESI I LIGA FISIKA PIF XIX TINGKAT SMA/MA SEDERAJAT PAKET 1 SOAL DAN PEMBAHASAN FINAL SESI I LIGA FISIKA PIF XIX TINGKAT SMA/MA SEDERAJAT PAKET 1 1. Terhadap koordinat x horizontal dan y vertikal, sebuah benda yang bergerak mengikuti gerak peluru mempunyai komponen-komponen

Lebih terperinci

BAB V MOMENTUM ANGULAR Pengukuran Simultan Beberapa Properti Dalam keadaan stasioner, momentum angular untuk elektron hidrogen adalah konstan.

BAB V MOMENTUM ANGULAR Pengukuran Simultan Beberapa Properti Dalam keadaan stasioner, momentum angular untuk elektron hidrogen adalah konstan. BAB V MOMENTUM ANGULAR Pengukuran Simultan Beberapa Properti Dalam keadaan stasioner, momentum angular untuk elektron hidrogen adalah konstan. Kriteria apa saa yang dapat digunakan untuk menentukan properti

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA STOPPING POWER PARTIKEL BERMUATAN DENGAN EFEK PENTALAN INTI SKRIPSI INDRIAS ROSMEIFINDA

UNIVERSITAS INDONESIA STOPPING POWER PARTIKEL BERMUATAN DENGAN EFEK PENTALAN INTI SKRIPSI INDRIAS ROSMEIFINDA UNIVERSITAS INDONESIA STOPPING POWER PARTIKEL BERMUATAN DENGAN EFEK PENTALAN INTI SKRIPSI INDRIAS ROSMEIFINDA 0906529905 FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM PROGRAM STUDI FISIKA DEPOK DESEMBER

Lebih terperinci

Dualisme Partikel Gelombang

Dualisme Partikel Gelombang Dualisme Partikel Gelombang Agus Suroso Fisika Teoretik Energi Tinggi dan Instrumentasi, Institut Teknologi Bandung agussuroso10.wordpress.com, agussuroso@fi.itb.ac.id 19 April 017 Pada pekan ke-10 kuliah

Lebih terperinci

FENOMENA HALO BERDASARKAN MODEL RELATIVISTIC MEAN FIELD (RMF)

FENOMENA HALO BERDASARKAN MODEL RELATIVISTIC MEAN FIELD (RMF) FENOMENA HALO BERDASARKAN MODEL RELATIVISTIC MEAN FIELD (RMF) A. M. Nugraha 1*), J. P. Diningrum 1 ), N. Liliani 1 ), T. Sumaryada 2 ), A. Sulaksono 1 ) 1 Departemen Fisika, FMIPA, Universitas Indonesia,

Lebih terperinci

MOMENTUM DAN IMPULS FISIKA 2 SKS PERTEMUAN KE-3

MOMENTUM DAN IMPULS FISIKA 2 SKS PERTEMUAN KE-3 MOMENTUM DAN IMPULS FISIKA 2 SKS PERTEMUAN KE-3 By: Ira Puspasari BESARAN-BESARAN PADA BENDA BERGERAK: Posisi Jarak Kecepatan Percepatan Waktu tempuh Energi kinetik Perpindahan Laju Gaya total besaran

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK SYMMETRIC NUCLEAR MATTER PADA TEMPERATUR NOL

KARAKTERISTIK SYMMETRIC NUCLEAR MATTER PADA TEMPERATUR NOL KARAKTERISTIK SYMMETRIC NUCLEAR MATTER PADA TEMPERATUR NOL Annisa Fitri 1, Anto Sulaksono 2 1,2 Departemen Fisika FMIPA UI, Kampus UI Depok, 16424 1 annisa.fitri11@sci.ui.ac.id 2 anto.sulaksono@sci.ui.ac.id

Lebih terperinci

Penentuan Fungsi Struktur Proton dari Proses Deep Inelastic Scattering e + p e + X dengan Menggunakan Model Quark - Parton

Penentuan Fungsi Struktur Proton dari Proses Deep Inelastic Scattering e + p e + X dengan Menggunakan Model Quark - Parton Penentuan Fungsi Struktur Proton dari Proses Deep Inelastic Scattering e + p e + X dengan Menggunakan Model Quark - Parton M.Fauzi M., T. Surungan, dan Bangsawan B.J. Departemen Fisika, Universitas Hasanuddin,

Lebih terperinci

HAMBURAN PARTIKEL BER-SPIN 1/2 DAN 3/2 DALAM BASIS MOMENTUM-HELISITAS SKRIPSI

HAMBURAN PARTIKEL BER-SPIN 1/2 DAN 3/2 DALAM BASIS MOMENTUM-HELISITAS SKRIPSI HAMBURAN PARTIKEL BER-SPIN 1/2 DAN 3/2 DALAM BASIS MOMENTUM-HELISITAS SKRIPSI Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Sains HAMDANI PASARIBU 030801048 DEPARTEMEN FISIKA

Lebih terperinci

CATATAN KULIAH ATOM, INTI DAN RADIOAKTIF. Diah Ayu Suci Kinasih Departemen Fisika Universitas Diponegoro Semarang 2016

CATATAN KULIAH ATOM, INTI DAN RADIOAKTIF. Diah Ayu Suci Kinasih Departemen Fisika Universitas Diponegoro Semarang 2016 CATATAN KULIAH ATOM, INTI DAN RADIOAKTIF Diah Ayu Suci Kinasih -24040115130099- Departemen Fisika Universitas Diponegoro Semarang 2016 FISIKA NUKLIR Atom, Inti dan Radioaktif 1. Pekembangan Teori Atom

Lebih terperinci

ENERGETIKA KESTABILAN INTI. Sulistyani, M.Si.

ENERGETIKA KESTABILAN INTI. Sulistyani, M.Si. ENERGETIKA KESTABILAN INTI Sulistyani, M.Si. Email: sulistyani@uny.ac.id PENDAHULUAN Apakah inti yang stabil itu? Apakah inti yang tidak stabil? Bagaimana menyatakan kestabilan U-238 berdasarkan reaksi

Lebih terperinci

Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 16, No. 2, Oktober 2015

Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 16, No. 2, Oktober 2015 Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 16, No., Oktober 15 Analisis Persamaan Dirac untuk Potensial Pöschl-Teller Trigonometrik dan Potensial Scarf Trigonometrik pada Kasus Spin Simetri Bagian Radial

Lebih terperinci

BAB IV PERBANDINGAN HASIL DAN ANALISA NUMERIK SPEKTRA EMISI NEUTRON DARI PENEMBAKAN HAMBURAN PROTON

BAB IV PERBANDINGAN HASIL DAN ANALISA NUMERIK SPEKTRA EMISI NEUTRON DARI PENEMBAKAN HAMBURAN PROTON , /. BAB IV PERBANDINGAN HASIL DAN ANALISA NUMERIK SPEKTRA EMISI NEUTRON DARI PENEMBAKAN HAMBURAN PROTON Pada tugas akhir ini dilakukan perhitungan ulang dari tugas akhir sebelumnya [1]. Adapun program

Lebih terperinci

Fisika Umum (MA 301) Topik hari ini. Fisika Atom & Inti

Fisika Umum (MA 301) Topik hari ini. Fisika Atom & Inti Fisika Umum (MA 301) Topik hari ini Fisika Atom & Inti 8/14/2007 Fisika Atom Model Awal Atom Model atom J.J. Thomson Bola bermuatan positif Muatan-muatan negatif (elektron)) yang sama banyak-nya menempel

Lebih terperinci

SATUAN ACARA PERKULIAHAN

SATUAN ACARA PERKULIAHAN Mata Kuliah : Fisika Kuantum Kode : SKS : 2 sks Semester : VIII/VII Nama Dosen : Drs. Iyon Suyana, M.Si Pustaka : Buku utama SATUAN ACARA PERKULIAHAN Standar Kompotensi : Menguasai pengetahuan yang mendalam

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Teori Relativitas Umum Einstein

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Teori Relativitas Umum Einstein BAB II DASAR TEORI Sebagaimana telah diketahui dalam kinematika relativistik, persamaanpersamaannya diturunkan dari dua postulat relativitas. Dua kerangka inersia yang bergerak relatif satu dengan yang

Lebih terperinci

APLIKASI BASIS L 2 LAGUERRE PADA INTERAKSI TOLAK MENOLAK ANTARA ATOM TARGET HIDROGEN DAN POSITRON. Ade S. Dwitama

APLIKASI BASIS L 2 LAGUERRE PADA INTERAKSI TOLAK MENOLAK ANTARA ATOM TARGET HIDROGEN DAN POSITRON. Ade S. Dwitama APLIKASI BASIS L 2 LAGUERRE PADA INTERAKSI TOLAK MENOLAK ANTARA ATOM TARGET HIDROGEN DAN POSITRON Ade S. Dwitama PROGRAM STUDI FISIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

SIFAT GELOMBANG PARTIKEL DAN PRINSIP KETIDAKPASTIAN. 39. Elektron, proton, dan elektron mempunyai sifat gelombang yang bisa

SIFAT GELOMBANG PARTIKEL DAN PRINSIP KETIDAKPASTIAN. 39. Elektron, proton, dan elektron mempunyai sifat gelombang yang bisa SIFAT GELOMBANG PARTIKEL DAN PRINSIP KETIDAKPASTIAN 39. Elektron, proton, dan elektron mempunyai sifat gelombang yang bisa diobservasi analog dengan foton. Panjang gelombang khas dari kebanyakan partikel

Lebih terperinci

Pendahuluan. Setelah mempelajari bab 1 ini, mahasiswa diharapkan

Pendahuluan. Setelah mempelajari bab 1 ini, mahasiswa diharapkan 1 Pendahuluan Tujuan perkuliahan Setelah mempelajari bab 1 ini, mahasiswa diharapkan 1. Mengetahui gambaran perkuliahan. Mengerti konsep dari satuan alamiah dan satuan-satuan dalam fisika partikel 1.1.

Lebih terperinci

PENGARUH PARAMETER PENTAL DAN ENERGI KINETIK PARTIKEL DATANG TERHADAP SUDUT HAMBURAN DAN TAMPANG LINTANG HAMBURAN SKRIPSI

PENGARUH PARAMETER PENTAL DAN ENERGI KINETIK PARTIKEL DATANG TERHADAP SUDUT HAMBURAN DAN TAMPANG LINTANG HAMBURAN SKRIPSI PENGARUH PARAMETER PENTAL DAN ENERGI KINETIK PARTIKEL DATANG TERHADAP SUDUT HAMBURAN DAN TAMPANG LINTANG HAMBURAN SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sains (S.Si)

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB TINJAUAN PUSTAKA. Definisi Gelombang dan klasifikasinya. Gelombang adalah suatu gangguan menjalar dalam suatu medium ataupun tanpa medium. Dalam klasifikasinya gelombang terbagi menjadi yaitu :. Gelombang

Lebih terperinci

Kontribusi keadaan akhir kaon-hyperon pada momen magnetik nukleon

Kontribusi keadaan akhir kaon-hyperon pada momen magnetik nukleon Kontribusi keadaan akhir kaon-hyperon pada momen magnetik nukleon Skripsi Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Fisika oleh: Suharyo Sumowidagdo NPM: 0394027051 Jurusan Fisika

Lebih terperinci

Program Studi Teknik Mesin S1

Program Studi Teknik Mesin S1 SATUAN ACARA PERKULIAHAN MATA KULIAH : KINEMATIKA DAN DINAMIKA TEKNIK KODE / SKS : IT042243 / 2 SKS Program Studi Teknik Mesin S1 Pokok Bahasan Pertemuan dan TIU 1 Pendahuluan memahami tentang pengertian

Lebih terperinci

Theory Indonesian (Indonesia) Sebelum kalian mengerjakan soal ini, bacalah terlebih dahulu Instruksi Umum yang ada pada amplop terpisah.

Theory Indonesian (Indonesia) Sebelum kalian mengerjakan soal ini, bacalah terlebih dahulu Instruksi Umum yang ada pada amplop terpisah. Q3-1 Large Hadron Collider (10 poin) Sebelum kalian mengerjakan soal ini, bacalah terlebih dahulu Instruksi Umum yang ada pada amplop terpisah. Pada soal ini, kita akan mendiskusikan mengenai fisika dari

Lebih terperinci

LATIHAN UJIAN NASIONAL

LATIHAN UJIAN NASIONAL LATIHAN UJIAN NASIONAL 1. Seorang siswa menghitung luas suatu lempengan logam kecil berbentuk persegi panjang. Siswa tersebut menggunakan mistar untuk mengukur panjang lempengan dan menggunakan jangka

Lebih terperinci

SP FISDAS I. acuan ) , skalar, arah ( ) searah dengan

SP FISDAS I. acuan ) , skalar, arah ( ) searah dengan SP FISDAS I Perihal : Matriks, pengulturan, dimensi, dan sebagainya. Bisa baca sendiri di tippler..!! KINEMATIKA : Gerak benda tanpa diketahui penyebabnya ( cabang dari ilmu mekanika ) DINAMIKA : Pengaruh

Lebih terperinci

BAB IV. METODE PENELITIAN

BAB IV. METODE PENELITIAN BAB V. ETODE PENELTAN Pada penelitian ini terbagi dalam dua kegiatan utama. Pertama pengukuran intensitas cahaya menggunakan metode eksperimen laboratorium. Kedua pengamatan implementasi perangkap cahaya

Lebih terperinci

Saat mempelajari gerak melingkar, kita telah membahas hubungan antara kecepatan sudut (ω) dan kecepatan linear (v) suatu benda

Saat mempelajari gerak melingkar, kita telah membahas hubungan antara kecepatan sudut (ω) dan kecepatan linear (v) suatu benda 1 Benda tegar Pada pembahasan mengenai kinematika, dinamika, usaha dan energi, hingga momentum linear, benda-benda yang bergerak selalu kita pandang sebagai benda titik. Benda yang berbentuk kotak misalnya,

Lebih terperinci

PERHITUNGAN CROSS SECTION HAMBURAN ELEKTRON-ATOM DENGAN MENGGUNAKAN ANALISIS GELOMBANG PARSIAL SKRIPSI TONI APRIANTO MANIK

PERHITUNGAN CROSS SECTION HAMBURAN ELEKTRON-ATOM DENGAN MENGGUNAKAN ANALISIS GELOMBANG PARSIAL SKRIPSI TONI APRIANTO MANIK PERHITUNGAN CROSS SECTION HAMBURAN ELEKTRON-ATOM DENGAN MENGGUNAKAN ANALISIS GELOMBANG PARSIAL SKRIPSI Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Sains TONI APRIANTO MANIK

Lebih terperinci

RENCANA PROGRAM KEGIATAN PERKULIAHAN SEMESTER (RPKPS)

RENCANA PROGRAM KEGIATAN PERKULIAHAN SEMESTER (RPKPS) RENCANA PROGRAM KEGIATAN PERKULIAHAN SEMESTER (RPKPS) Kode / Nama Mata Kuliah : E123101 / FISIKA DASAR 1 Revisi 3 Satuan Kredit Semester : 3 SKS Tgl revisi : 05 Januari 2012 Jml Jam kuliah dalam seminggu

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Potensial Coulomb untuk Partikel yang Bergerak Dalam bab ini, akan dikemukakan teori-teori yang mendukung penyelesaian pembahasan pengaruh koreksi relativistik potensial Coulomb

Lebih terperinci

PELURUHAN GAMMA ( ) dengan memancarkan foton (gelombang elektromagnetik) yang dikenal dengan sinar gamma ( ).

PELURUHAN GAMMA ( ) dengan memancarkan foton (gelombang elektromagnetik) yang dikenal dengan sinar gamma ( ). PELURUHAN GAMMA ( ) Peluruhan inti yang memancarkan sebuah partikel seperti partikel alfa atau beta, selalu meninggalkan inti pada keadaan tereksitasi. Seperti halnya atom, inti akan mencapai keadaan dasar

Lebih terperinci

Hamburan Kaon-Nukleon Dalam Model Pertukaran Hyperon

Hamburan Kaon-Nukleon Dalam Model Pertukaran Hyperon Hamburan Kaon-Nukleon Dalam Model Pertukaran Hyperon Skripsi diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sains Ryky Nelson 030300678 Departemen Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan

Lebih terperinci

PERHITUNGAN MASSA KLASIK SOLITON

PERHITUNGAN MASSA KLASIK SOLITON PERHITUNGAN MASSA KLASIK SOLITON ALHIDAYATUDDINIYAH T.W. alhida.dini@gmail.com Program Studi Teknik Informatika Fakultas Teknik, Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indraprasta PGRI Abstrak.

Lebih terperinci

BAB 3 DINAMIKA GERAK LURUS

BAB 3 DINAMIKA GERAK LURUS BAB 3 DINAMIKA GERAK LURUS A. TUJUAN PEMBELAJARAN 1. Menerapkan Hukum I Newton untuk menganalisis gaya-gaya pada benda 2. Menerapkan Hukum II Newton untuk menganalisis gerak objek 3. Menentukan pasangan

Lebih terperinci

Xpedia Fisika. Soal Fismod 2

Xpedia Fisika. Soal Fismod 2 Xpedia Fisika Soal Fismod Doc. Name: XPPHY050 Version: 013-04 halaman 1 01. Peluruhan mana yang menyebabkan jumlah neutron di inti berkurang sebanyak satu? 0. Peluruhan mana yang menyebabkan identitas

Lebih terperinci

BAB 3 DINAMIKA. Tujuan Pembelajaran. Bab 3 Dinamika

BAB 3 DINAMIKA. Tujuan Pembelajaran. Bab 3 Dinamika 25 BAB 3 DINAMIKA Tujuan Pembelajaran 1. Menerapkan Hukum I Newton untuk menganalisis gaya pada benda diam 2. Menerapkan Hukum II Newton untuk menganalisis gaya dan percepatan benda 3. Menentukan pasangan

Lebih terperinci

TUJUAN :Mahasiswa memahami konsep ilmu fisika, penerapan besaran dan satuan, pengukuran serta mekanika fisika.

TUJUAN :Mahasiswa memahami konsep ilmu fisika, penerapan besaran dan satuan, pengukuran serta mekanika fisika. MATA KULIAH : FISIKA DASAR TUJUAN :Mahasiswa memahami konsep ilmu fisika, penerapan besaran dan satuan, pengukuran serta mekanika fisika. POKOK BAHASAN: Pendahuluan Fisika, Pengukuran Dan Pengenalan Vektor

Lebih terperinci

3. ORBIT KEPLERIAN. AS 2201 Mekanika Benda Langit. Monday, February 17,

3. ORBIT KEPLERIAN. AS 2201 Mekanika Benda Langit. Monday, February 17, 3. ORBIT KEPLERIAN AS 2201 Mekanika Benda Langit 1 3.1 PENDAHULUAN Mekanika Newton pada mulanya dimanfaatkan untuk menentukan gerak orbit benda dalam Tatasurya. Misalkan Matahari bermassa M pada titik

Lebih terperinci

Operasi Eliminasi Gauss. Eliminasi Gauss adalah suatu cara mengoperasikan nilai-nilai di dalam

Operasi Eliminasi Gauss. Eliminasi Gauss adalah suatu cara mengoperasikan nilai-nilai di dalam Operasi Eliminasi Gauss Eliminasi Gauss adalah suatu cara mengoperasikan nilai-nilai di dalam matriks sehingga menjadi matriks yang lebih sederhana (ditemukan oleh Carl Friedrich Gauss). Caranya adalah

Lebih terperinci

PERUBAHAN FUNGSI GELOMBANG ELEKTRON PADA MULTIPLE SCATTERING UNTUK SUDUT HAMBUR NOL

PERUBAHAN FUNGSI GELOMBANG ELEKTRON PADA MULTIPLE SCATTERING UNTUK SUDUT HAMBUR NOL Berkala Fisika ISSN : 1410-9662 Vol. 17, No. 4, Oktober 2014, hal 145-150 PERUBAHAN FUNGSI GELOMBANG ELEKTRON PADA MULTIPLE SCATTERING UNTUK SUDUT HAMBUR NOL Taat Guswantoro *, Muhammad Nur dan Vincencius

Lebih terperinci

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM Program Studi : Pendidikan Fisika/Fisika Nama Mata Kuliah :Fisika Inti Kode

Lebih terperinci

16 Mei 2017 Waktu: 120 menit

16 Mei 2017 Waktu: 120 menit OLIMPIADE NASIONAL MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM PERGURUAN TINGGI 2017 (ONMIPA-PT) Tingkat Nasional Bidang Fisika: FISIKA MODERN & MEKANIKA KUANTUM (Tes 4) 16 Mei 2017 Waktu: 120 menit Petunjuk

Lebih terperinci

BAB IV OSILATOR HARMONIS

BAB IV OSILATOR HARMONIS Tinjauan Secara Mekanika Klasik BAB IV OSILATOR HARMONIS Osilator harmonis terjadi manakala sebuah partikel ditarik oleh gaya yang besarnya sebanding dengan perpindahan posisi partikel tersebut. F () =

Lebih terperinci

jadi olahragawan, jadi wartawan, jadi pengusaha, jadi anggota DPR, jadi menteri, atau mungkin juga jadi presiden. Bagi mereka itu pemahaman ilmu

jadi olahragawan, jadi wartawan, jadi pengusaha, jadi anggota DPR, jadi menteri, atau mungkin juga jadi presiden. Bagi mereka itu pemahaman ilmu ix K Tinjauan Mata Kuliah emajuan dalam bidang teknologi pengajaran rupanya berjalan sangat cepat. Kalau kita menengok hal itu lewat internet misalnya, sudah ada program yang dinamakan Visual Quantum Mechanics,

Lebih terperinci

PERHITUNGAN PENAMPANG HAMBURAN ELASTIK PADA REAKSI ep ep DENGAN DUA MACAM FAKTOR BENTUK : GALSTER DAN MILLER ADI AGUS KURNIAWAN

PERHITUNGAN PENAMPANG HAMBURAN ELASTIK PADA REAKSI ep ep DENGAN DUA MACAM FAKTOR BENTUK : GALSTER DAN MILLER ADI AGUS KURNIAWAN PERHITUNGAN PENAMPANG HAMBURAN ELASTIK PADA REAKSI ep ep DENGAN DUA MACAM FAKTOR BENTUK : DAN ADI AGUS KURNIAWAN DEPARTEMEN FISIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

CROSS SECTION REAKSI INTI. Sulistyani, M.Si.

CROSS SECTION REAKSI INTI. Sulistyani, M.Si. CROSS SECTION REAKSI INTI Sulistyani, M.Si. Email: sulistyani@uny.ac.id Tampang Lintang (Cross Section) Reaksi Nuklir Kemungkinan terjadinya reaksi nuklir disebut penampang lintang (σ) yang mempunyai dimensi

Lebih terperinci

PERHITUNGAN TAMPANG LINTANG DIFERENSIAL HAMBURAN ELASTIK ELEKTRON-ARGON PADA 10,4 EV DENGAN ANALISIS GELOMBANG PARSIAL

PERHITUNGAN TAMPANG LINTANG DIFERENSIAL HAMBURAN ELASTIK ELEKTRON-ARGON PADA 10,4 EV DENGAN ANALISIS GELOMBANG PARSIAL PERHITUNGAN TAMPANG LINTANG DIFERENSIAL HAMBURAN ELASTIK ELEKTRON-ARGON PADA 10,4 EV DENGAN ANALISIS GELOMBANG PARSIAL Paken Pandiangan (1), Suhartono (2), dan A. Arkundato (3) ( (1) PMIPA FKIP Universitas

Lebih terperinci

Oleh : Rahayu Dwi Harnum ( )

Oleh : Rahayu Dwi Harnum ( ) LAPORAN PRAKTIKUM EKSPERIMEN FISIKA II SPEKTRUM ATOM SODIUM Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Eksperimen Fisika II Dosen Pengampu : Drs. Parlindungan Sinaga, M.Si Oleh : Rahayu Dwi Harnum

Lebih terperinci

BAB 1 BESARAN VEKTOR. A. Representasi Besaran Vektor

BAB 1 BESARAN VEKTOR. A. Representasi Besaran Vektor BAB 1 BESARAN VEKTOR TUJUAN PEMBELAJARAN 1. Menjelaskan definisi vektor, dan representasinya dalam sistem koordinat cartesius 2. Menjumlahan vektor secara grafis dan matematis 3. Melakukan perkalian vektor

Lebih terperinci

BAB V PERAMBATAN GELOMBANG OPTIK PADA MEDIUM NONLINIER KERR

BAB V PERAMBATAN GELOMBANG OPTIK PADA MEDIUM NONLINIER KERR A V PERAMATAN GELOMANG OPTIK PADA MEDIUM NONLINIER KERR 5.. Pendahuluan erkas (beam) optik yang merambat pada medium linier mempunyai kecenderungan untuk menyebar karena adanya efek difraksi; lihat Gambar

Lebih terperinci

Inti Atom dan Penyusunnya. Sulistyani, M.Si.

Inti Atom dan Penyusunnya. Sulistyani, M.Si. Inti Atom dan Penyusunnya Sulistyani, M.Si. Email: sulistyani@uny.ac.id Eksperimen Marsden dan Geiger Pendahuluan Teori tentang atom pertama kali dikemukakan oleh Dalton bahwa atom bagian terkecil dari

Lebih terperinci

2. Deskripsi Statistik Sistem Partikel

2. Deskripsi Statistik Sistem Partikel . Deskripsi Statistik Sistem Partikel Formulasi statistik Interaksi antara sistem makroskopis.1. Formulasi Statistik Dalam menganalisis suatu sistem, kombinasikan: ide tentang statistik pengetahuan hukum-hukum

Lebih terperinci

Kaji Ulang Model Nilsson untuk Proton atau Neutron dengan Z, N 50

Kaji Ulang Model Nilsson untuk Proton atau Neutron dengan Z, N 50 Jurnal Fisika Indonesia Tri Sulistyani dan Candra Dewi Vol. 19 2015) No. 57 p.76-81 ARTIKEL RISET Kaji Ulang Model Nilsson untuk Proton atau Neutron dengan Z, N 50 Eko Tri Sulistyani * dan Nilam Candra

Lebih terperinci

BESARAN VEKTOR. Gb. 1.1 Vektor dan vektor

BESARAN VEKTOR. Gb. 1.1 Vektor dan vektor BAB 1 BESARAN VEKTOR Tujuan Pembelajaran 1. Menjelaskan definisi vektor, dan representasinya dalam sistem koordinat cartesius 2. Menjumlahkan vektor secara grafis dan dengan vektor komponen 3. Melakukan

Lebih terperinci

SIFAT-SIFAT INTI. PERTEMUAN KEEMPt

SIFAT-SIFAT INTI. PERTEMUAN KEEMPt SIFAT-SIFAT INTI PERTEMUAN KEEMPt Sifat-sifat inti atom Tidak Bergantung pada waktu: Muatan inti (electric charge) Massa inti (mass) Jari-jari (radius) Momentum sudut (angular momentum) Momen magnetik

Lebih terperinci

GERAK LURUS Kedudukan

GERAK LURUS Kedudukan GERAK LURUS Gerak merupakan perubahan posisi (kedudukan) suatu benda terhadap sebuah acuan tertentu. Perubahan letak benda dilihat dengan membandingkan letak benda tersebut terhadap suatu titik yang diangggap

Lebih terperinci

EFEK PAIRING PADA ISOTOP Sn (N>82) DALAM TEORI BCS MENGGUNAKAN SEMBILAN TINGKAT ENERGI

EFEK PAIRING PADA ISOTOP Sn (N>82) DALAM TEORI BCS MENGGUNAKAN SEMBILAN TINGKAT ENERGI EFEK PAIRING PADA ISOTOP Sn (N>82) DALAM TEORI BCS MENGGUNAKAN SEMBILAN TINGKAT ENERGI ALPI MAHISHA NUGRAHA alpi.mahisha@gmail.com Program Studi Teknik Informatika, Fakultas Teknik, Matematika dan Ilmu

Lebih terperinci

PENDAHULUAN RADIOAKTIVITAS TUJUAN

PENDAHULUAN RADIOAKTIVITAS TUJUAN PENDAHULUAN RADIOAKTIVITAS TUJUAN Maksud dan tujuan kuliah ini adalah memberikan dasar-dasar dari fenomena radiaktivitas serta sumber radioaktif Diharapkan agar dengan pengetahuan dasar ini kita akan mempunyai

Lebih terperinci

BINOVATIF LISTRIK DAN MAGNET. Hani Nurbiantoro Santosa, PhD.

BINOVATIF LISTRIK DAN MAGNET. Hani Nurbiantoro Santosa, PhD. BINOVATIF LISTRIK DAN MAGNET Hani Nurbiantoro Santosa, PhD hanisantosa@gmail.com 2 BAB 1 PENDAHULUAN Atom, Interaksi Fundamental, Syarat Matematika, Syarat Fisika, Muatan Listrik, Gaya Listrik, Pengertian

Lebih terperinci

SILABUS MATAKULIAH. Revisi : 3 Tanggal Berlaku : 02 Maret 2012

SILABUS MATAKULIAH. Revisi : 3 Tanggal Berlaku : 02 Maret 2012 SILABUS MATAKULIAH Revisi : 3 Tanggal Berlaku : 02 Maret 2012 A. Identitas 1. Nama Matakuliah : Fisika Dasar1 2. Program Studi : Teknik Industri 3. Fakultas : Teknik 4. Bobot sks : 3 SKS 5. Elemen Kompetensi

Lebih terperinci

BENDA TEGAR FISIKA DASAR (TEKNIK SISPIL) Mirza Satriawan. menu. Physics Dept. Gadjah Mada University Bulaksumur, Yogyakarta

BENDA TEGAR FISIKA DASAR (TEKNIK SISPIL) Mirza Satriawan. menu. Physics Dept. Gadjah Mada University Bulaksumur, Yogyakarta 1/36 FISIKA DASAR (TEKNIK SISPIL) BENDA TEGAR Mirza Satriawan Physics Dept. Gadjah Mada University Bulaksumur, Yogyakarta email: mirza@ugm.ac.id Rotasi Benda Tegar Benda tegar adalah sistem partikel yang

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. A. Kemagnetan Bahan. Secara garis besar, semua bahan dapat dikelompokkan ke dalam bahan magnet. seperti terlihat pada Gambar 2.

BAB II DASAR TEORI. A. Kemagnetan Bahan. Secara garis besar, semua bahan dapat dikelompokkan ke dalam bahan magnet. seperti terlihat pada Gambar 2. BAB II DASAR TEORI A. Kemagnetan Bahan Secara garis besar, semua bahan dapat dikelompokkan ke dalam bahan magnet seperti terlihat pada Gambar 2. Gambar 2: Diagram pengelompokan bahan magnet (Stancil &

Lebih terperinci

Reaksi nuklir 17 O + P

Reaksi nuklir 17 O + P Reaksi nuklir Jika partikel energi dari sebuah reaktor atau akselerator (atau bahkan dari sumber radioaktif) diperbolehkan untuk jatuh pada zat yang besar, ada kemungkinan terjadi reaksi nuklir. Reaksi

Lebih terperinci

ANALISIS VEKTOR. Aljabar Vektor. Operasi vektor

ANALISIS VEKTOR. Aljabar Vektor. Operasi vektor ANALISIS VEKTOR Aljabar Vektor Operasi vektor Besaran yang memiliki nilai dan arah disebut dengan vektor. Contohnya adalah perpindahan, kecepatan, percepatan, gaya, dan momentum. Sementara itu, besaran

Lebih terperinci

KAJIAN TAMPANG LINTANG HAMBURAN ELEKTRON DENGAN ION MELALUI TEORI HAMBURAN BERGANDA ( MULTIPLE SCATTERING THEORY)

KAJIAN TAMPANG LINTANG HAMBURAN ELEKTRON DENGAN ION MELALUI TEORI HAMBURAN BERGANDA ( MULTIPLE SCATTERING THEORY) Youngster Physics Journal ISSN : 2302-7371 Vol. 3, No. 4, Oktober 2014, Hal 351-356 KAJIAN TAMPANG LINTANG HAMBUAN ELEKTON DENGAN ION MELALUI TEOI HAMBUAN BEGANDA ( MULTIPLE SCATTEING THEOY) Nouval Khamdani,

Lebih terperinci

PELURUHAN SINAR GAMMA

PELURUHAN SINAR GAMMA PELURUHAN SINAR GAMMA Pendahuluan Radioaktivitas disebut juga peluruhan radioaktif, yaitu peristiwa terurainya beberapa inti atom tertentu secara spontan yang diikuti dengan pancaran partikel alfa (inti

Lebih terperinci

Prosiding Seminar Nasional Meneguhkan Peran Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat dalam Memuliakan Martabat Manusia

Prosiding Seminar Nasional Meneguhkan Peran Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat dalam Memuliakan Martabat Manusia ANALISIS SIFAT-SIFAT PION DALAM REAKSI INTI DALAM TERAPI PION R. Yosi Aprian Sari Jurusan Pendidikan Fisika FMIPA UNY; ryosia@uny.ac.id, 081578010933 Abstrak Pion dapat dihasilkan dari interaksi proton

Lebih terperinci

Dinamika. DlNAMIKA adalah ilmu gerak yang membicarakan gaya-gaya yang berhubungan dengan gerak-gerak yang diakibatkannya.

Dinamika. DlNAMIKA adalah ilmu gerak yang membicarakan gaya-gaya yang berhubungan dengan gerak-gerak yang diakibatkannya. Dinamika Page 1/11 Gaya Termasuk Vektor DlNAMIKA adalah ilmu gerak yang membicarakan gaya-gaya yang berhubungan dengan gerak-gerak yang diakibatkannya. GAYA TERMASUK VEKTOR, penjumlahan gaya = penjumlahan

Lebih terperinci

BAB 19 A T O M. A. Pendahuluan

BAB 19 A T O M. A. Pendahuluan BAB 19 A T O M A. Pendahuluan Pemikiran ke arah penemuan atom dan inti atom telah berkembang di setiap peradaban sejak manusia mengenal tulisan atau yang lebih dikenal sebagai zaman permulaan sejarah.

Lebih terperinci

Soal-Jawab Fisika Teori OSN 2013 Bandung, 4 September 2013

Soal-Jawab Fisika Teori OSN 2013 Bandung, 4 September 2013 Soal-Jawab Fisika Teori OSN 0 andung, 4 September 0. (7 poin) Dua manik-manik masing-masing bermassa m dan dianggap benda titik terletak di atas lingkaran kawat licin bermassa M dan berjari-jari. Kawat

Lebih terperinci

FONON I : GETARAN KRISTAL

FONON I : GETARAN KRISTAL MAKALAH FONON I : GETARAN KRISTAL Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pendahuluan Fisika Zat Padat Disusun Oleh: Nisa Isma Khaerani ( 3215096525 ) Dio Sudiarto ( 3215096529 ) Arif Setiyanto ( 3215096537

Lebih terperinci

PENDAHULUAN FISIKA KUANTUM. Asep Sutiadi (1974)/( )

PENDAHULUAN FISIKA KUANTUM. Asep Sutiadi (1974)/( ) PENDAHULUAN FISIKA KUANTUM FI363 / 3 sks Asep Sutiadi (1974)/(0008097002) TUJUAN PERKULIAHAN Selesai mengikuti mata kuliah ini mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan pada kondisi seperti apa suatu permasalahan

Lebih terperinci

PENYELESAIAN MASALAH STURM-LIOUVILLE DARI PERSAMAAN GELOMBANG SUARA DI BAWAH AIR DENGAN METODE BEDA HINGGA

PENYELESAIAN MASALAH STURM-LIOUVILLE DARI PERSAMAAN GELOMBANG SUARA DI BAWAH AIR DENGAN METODE BEDA HINGGA PENYELESAIAN MASALAH STURM-LIOUVILLE DARI PERSAMAAN GELOMBANG SUARA DI BAWAH AIR DENGAN METODE BEDA HINGGA oleh FIQIH SOFIANA M0109030 SKRIPSI ditulis dan diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan memperoleh

Lebih terperinci

PROTON DRIPLINE PADA ISOTON N = 28 DALAM MODEL RELATIVISTIC MEAN FIELD (RMF)

PROTON DRIPLINE PADA ISOTON N = 28 DALAM MODEL RELATIVISTIC MEAN FIELD (RMF) PROTON DRIPLINE PADA ISOTON N = 28 DALAM MODEL RELATIVISTIC MEAN FIELD (RMF) J. P. Diningrum *), A. M. Nugraha, N. Liliani, A. Sulaksono Departemen Fisika Murni dan Terapan, FMIPA, Universitas Indonesia,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Telah banyak model fisika partikel yang dikembangkan oleh fisikawan untuk mencoba menjelaskan keberadaan partikel-partikel elementer serta interaksi yang menyertainya.

Lebih terperinci

Dr. Ramadoni Syahputra Jurusan Teknik Elektro FT UMY

Dr. Ramadoni Syahputra Jurusan Teknik Elektro FT UMY SISTEM-SISTEM KOORDINAT Dr. Ramadoni Syahputra Jurusan Teknik Elektro FT UMY Sistem Koordinat Kartesian Dalam sistem koordinat Kartesian, terdapat tiga sumbu koordinat yaitu sumbu x, y, dan z. Suatu titik

Lebih terperinci

DERET FOURIER. n = bilangan asli (1,2,3,4,5,.) L = pertemuan titik. Bilangan-bilangan untuk,,,, disebut koefisien fourier dari f(x) dalam (-L,L)

DERET FOURIER. n = bilangan asli (1,2,3,4,5,.) L = pertemuan titik. Bilangan-bilangan untuk,,,, disebut koefisien fourier dari f(x) dalam (-L,L) DERET FOURIER Bila f adalah fungsi periodic yang berperioda p, maka f adalah fungsi periodic. Berperiode n, dimana n adalah bilangan asli positif (+). Untuk setiap bilangan asli positif fungsi yang didefinisikan

Lebih terperinci

INTERAKSI RADIASI DENGAN MATERI

INTERAKSI RADIASI DENGAN MATERI INTERAKSI RADIASI DENGAN MATERI Disusun Oleh : ERMAWATI UNIVERSITAS GUNADARMA JAKARTA 1999 1 ABSTRAK Dalam mendesain semua sistem nuklir, pelindung radiasi, generator isotop, sangat tergantung dari jalan

Lebih terperinci