BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Komitmen organisasional Komitmen organisasional merupakan satu keadaan dimana seorang karyawan memihak organisasi tertentu beserta tujuan-tujuannya dan adanya keinginan untuk mempertahankan keanggotaan dalam organisasi tersebut (Robbins dan Judge, 2008:100). Komitmen diawali dengan membangun hubungan antar individu, sehingga timbul kepedulian maka persiapan yang baik akan menumbuhkan pemahaman dan persepsi positif sehingga orang merasa dapat menerima (Parameswari, 2014). Menurut Porter (1974), komitmen organisasional memiliki keyakinan tentang kesediaan karyawan untuk bekerja secara maksimal untuk organisasi. Komitmen organisasional membentuk kesediaan karyawan agar dapat bekerja dengan maksimal untuk organisasi. Dengan tingginya rasa komitmen terhadap organisasi, maka karyawan dapat bekerja secara maksimal. Komitmen karyawan terhadap perusahaan ditunjukkan dengan keterlibatannya secara aktif dalam organisasi serta aktif dalam mencapai tujuan organisasi ( Shinta, 2013). Menurut Robbins dan Judge (2008:101) terdapat tiga dimensi komitmen organisasional yakni sebagai berikut: 1) Komitmen efektif (afective commitment) Adanya perasaan-perasaan emosional karyawan terhadap organisasi. Sebagai contoh, seorang karyawan memiliki rasa cinta terhadap
organisasinya, sehingga karyawan tersebut dapat menyelesaikan tugastugasnya dengan baik. 2) Komitmen kelanjutan (continuance commitment) Adanya nilai ekonomi yang dirasakan dari bertahannya karyawan tersebut pada suatu organisasi jika dibandingkan dengan meninggalkan organisasi tersebut. Seorang karyawan mungkin berkomitmen kepada seorang pemberi kerja karena ia dibayar tinggi dan merasa bahwa pengunduran diri dari perusahaan akan merugikan dan menghancurkan keluarganya. 3) Komitmen normatif (normative commitment) Menggambarkan perasaan keterkaitan untuk terus berada dalam organisai. Indikator ini dapat diukur dari persepsi responden mengenai rasa percaya terhadap nilai tetap setia terhadap perusahaan. Menurut Bramantara (2015) Komitmen organisasional dibagi menjadi dua yakni : 1) Komitmen kesikapan (attitudinal commitment) Komitmen sikap merupakan sikap atau kecenderungan yang menghubungkan individu dan organisasi yang dapat dipengaruhi oleh sifat-sifat pribadi, karakteristik pekerjaan, dan pengalaman kerja masa lalu
2) Komitmen keperilakuan (behavioral commitment) Komitmen keperilakuan sangat dipengaruhi oleh perilaku masa lalu individu dan biaya diinvestasikan dalam organisasi, dimana seorang individu dipaksa untuk tinggal di organisasi Menurut Luthans (2006:250), terdapat pedoman khusus untuk mengimplementasikan sistem manajemen yang mungkin membantu memecahkan masalah dan meningkatkan komitmen organisasional pada diri karyawan, yaitu: 1) Berkomitmen pada nilai utama manusia Dilakukan dengan membuat aturan tertulis, mempekerjakan manajer yang baik dan tepat, dan mempertahankan komunikasi. 2) Memperjelas dan mengkomunikasikan misi Memperjelas misi dan idiologi, berkharisma menggunakan praktek perekrutan berdasarkan nilai, menekan orientasi berdasarkan nilai stres dan pelatihan, serta membentuk tradisi. 3) Menjamin keadilan organisasi Memilki prosedur penyampaian keluhan yang komprehensif dan, menyediakan komunikasi dua arah 4) Menciptakan rasa komunitas Membangun homogenitas berdasarkan nilai, keadilan, menekankan kerjasama, link mendukung, dan kerja tim.
5) Mendukung perkembangan karyawan Memberikan pekerjaan menantang pada tahun pertama, memajukan dan memberdayakan, menyediakan aktifitas perkembangan dan menyediakan keamanan pada karyawan. 2.1.2 Dukungan Sosial Dukungan sosial merupakan dukungan yang diterima seseorang baik secara langsung maupun tidak langsung yang dapat membuatnya merasa dihargai dan memberikan efek positif bagi individu yang menerimanya. Menurut Lobburi et al. (2012), dukungan sosial dan dukungan organisasi dapat mempengaruhi kepuasan kerja dan hasil pekerjaan yang berhubungan dengan komitmen organisasional dan keinginan berpindah karyawan. Hal ini dikarenakan tujuan dukungan sosial bagi individu untuk saling membantu pada bidang sosial, untuk mengurangi ketidakpastian, kecemasan, dan stres ketika individu dihadapkan dengan masalah dan krisis. Dukungan organisasi yang dirasakan karyawan akan menyampaikan makna peduli dan perhatian untuk kesejahteraan karyawan. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Diahsari (2001:371) ( dalam Adinda, 2011) stres kerja menjadi bagian dari kehidupan individu dan organisasi. Sekecil apapun gejala stres kerja muncul, akan merugikan organisasi maupun karyawannya. Dukungan sosial yang dirasakan oleh karyawan merupakan proses interaksi sosial dan komunikasi dalam jaringan sosial yang bergantung pada berbagai jenis hubungan, seperti hubungan sosial, hubungan keluarga, dan hubungan kerja. Oleh karena itu, dalam masyarakat dengan ikatan sosial yang kuat dengan keluarga dan teman-teman, seperti dalam budaya kolektivis, faktor non-kerja (misalnya, keluarga
dan teman-teman, kekerabatan, dll) juga dapat mempengaruhi kepuasan kerja dan hasil kerja yang berkaitan dengan karyawan seperti komitmen organisasional dan turnover intention. Dalam menjelaskan konsep dukungan sosial, Weiss (1974) (dalam Cutrona & Russel, 1987) mengemukakan bahwa terdapat enam komponen dukungan sosial yakni : 1) Guidance Hubungan yang memungkinkan individu untuk memperoleh nasehat atau infomasi yang diperlukan. 2) Reliable Alliance Individu memperoleh jaminan bahwa ada seseorang yang dapat diandalkan bantuannya. 3) Reassurance of worth Individu mendapat pengakuan atas kemampuan, keahlian, dan penghargaan dari orang lain. Sumber dari fungsi sosial ini adalah hubungan ini biasanya adalah orang yang terlibat dalam lingkungan pekerjaan. 4) Opportunity of nurturance Suatu aspek penting dalam hubungan interpersonal adalah perasaan dibutuhkan oleh orang lain. Jenis dukungan sosial ini memungkinkan individu untuk memperoleh perasaan tersebut, yaitu perasaan bahwa orang lain tergantung padanya untuk memperoleh kesejahteraan.
5) Attachment Memungkinkan individu memperoleh rasa aman karena adanya kedekatan emosional. Sumber dukungan sosial ini paling sering adalah pasangan hidup, namun dapat pula diperoleh dari teman dekat ataupun dari lingkungan keluarga. Dan komponen ini bersifat afektif. 6) Social integration Individu memperoleh perasaan memiliki suatu kelompok yang memungkinkannya dapat membagi minat yang sama, perhatian, serta dapat melakukan aktifitas. Sumber dari dukungan sosial ini adalah kawan. Fungsi hubungan sosial seperti ini memungkinkan individu memperoleh rasa nyaman, aman, senang, serta rasa memiliki identitas diri. Oleh karena itu komponen ini juga bersifat afektif. Menurut Sarafino (2002) dukungan sosial dapat dibedakan dalam berbagai bentuk, yaitu: 1) Dukungan emosional Dukungan ini melibatkan ekspresi rasa simpati dan perhatian terhadap individu, sehingga individu tersebut merasa nyaman, dicintai dan diperhatikan. Dukungan ini meliputi perilaku seperti memberikan perhatian dan afeksi serta bersedia mendengarkan keluh kesah orang lain. 2) Dukungan penghargaan
Dukungan ini melibatkan ekspresi yang berupa pernyataan setuju dan penilaian positif terhadap ide-ide, perasaan dan performa orang lain. 3) Dukungan instrumental Bentuk dukungan ini melibatkan bantuan langsung, misalnya : berupa bantuan finansial atau bantuan dalam mengerjakan tugas-tugas tertentu. 4) Dukungan informasi Dukungan yang bersifat informasi ini dapat berupa saran, pengarahan dan umpan balik tentang bagaimana cara memecahkan persoalan. 2.1.3 Iklim Etika Menurut Cullen et al. (1993) (dalam Hua Yang et al., 2014) iklim etika merupakan salah satu jenis iklim dalam organisasi. Menurut Wirawan 2007 (dalam Carolina, 2012) iklim organisasi merupakan kualitas lingkungan internal organisasi yang secara relatif terus berlangsung, dialami oleh seluruh anggota organisasi, mempengaruhi perilaku mereka dan dapat dilukiskan dalam pengertian satu set karakteristik atau sifat organisasi. Dijelaskan lebih lanjut bahwa iklim organisasi merupakan suatu keadaan yang menggambarkan suatu lingkungan organisasi yang dirasakan oleh orang yang berada dalam organisasi tersebut. Dalam sebuah organisasi, subunit dan pekerjaan dapat terdiri dari berbagai jenis iklim termasuk salah satunya adalah iklim etika (Schneider dalam Schwepker, 2001). Sebagian besar manajer dalam organisasi non profit percaya bahwa kesuksesan organisasi berhubungan dengan etika (Schwepker, 2001).
Menurut Carolina (2012) iklim etika merupakan konsep yang berhubungan dengan perbuatan yang benar dan yang salah. Etika meyatakan apakah suatu prilaku sesuai dengan moral atau tidak. Sebagai sistem sosial, organisasi memiliki konsep etika baik tertulis (formal) maupun tidak tertulis (informal). Etika organisasi bersumber dari etika sosial, profesional, dan individu. Etika sosial merupakan nilai-nilai moral yang terbentuk dari budaya, kebiasaan, keyakinan, sistem hukum tertulis, dan sistem hukum tidak tertulis yang diterapkan dan dipatuhi oleh anggota masyarakat. Sedangkan etika profesional umumnya dikembangkan oleh organisasi profesi yang digunakan sebagai pedoman prilaku profesional anggotanya (Wirawan 2007, dalam Carolina, 2012). Iklim etika merupakan sebuah persepsi atau pandangan yang berlaku dalam praktik dan prosedur dalam organisasi yang memiliki pedoman etika. Iklim etika dapat dipandang sebagai salah satu komponen budaya organisasi secara keseluruhan atau iklim organisasi. Para peneliti menekankan pentingnya mempelajari iklim etika organisasi karena sangat berguna dalam mempengaruhi sikap dan perilaku karyawan dan pencapaian organisasi (Schwepker, 2001). Untuk membentuk iklim etika dan prilaku organisasi, beberapa instrumen digunakan seperti kode etik, kebijakan, program pendidikan formal dan pesan manajemen puncak yang memainkan peran penting dalam pembentukan dan pelestarian sebuah iklim etika organisasi (Schwepker, 2001). Menurut Schwepker (2001), terdapat tiga komponen pembentuk iklim etika dalam organisasi yaitu:
1) Kode etik (ethical codes) Kode etik dapat diartikan sebagai pola aturan, tata cara, tanda, pedoman etis, dalam melakukan suatu kegiatan atau pekerjaan. Kode etik merupakan pola aturan atau tata cara sebagai pedoman berperilaku. 2) Kebijakan organisasi (corporate policy) Kebijakan organisasi juga memiliki pengaruh terhadap kesempatan bagi individu untuk berperilaku tidak etis dan berdampak pada iklim etika organisasi. Menurut Hegarty dan Sims (dalam Carolina, 2012) tujuan perusahaan dan kebijakan yang diberikan dalam perusahaan dapat memberikan pengaruh signifikan terhadap keputusan manajer untuk berperilaku etis atau tidak etis. 3) Penghargaan dan sanksi (reward and punishment) Komponen terakhir yang membentuk iklim etika adalah penghargaan dan sanksi. Disiplin ataupun ancaman sanksi dapat mempengaruhi berperilaku etis. Namun, tidak adanya sanksi dapat membuat karyawan berperilaku tidak etis karena tidak ada efek jera bagi karyawan yang melakukan kesalahan. Adapun penghargaan dan sangsi yang dibahas terkait dengan top manajemen terhadap iklim etika, seperti seorang penyelia dapat mempengaruhi pemberian penghargaan dan sanksi (Schwepker, 2001). 2.1.4 Turnover intention Turnover karyawan merupakan pengunduran diri secara permanen baik sukarela maupun tidak sukarela dari suatu organisasi (Robbins, 2008:38).
Sementara itu Hartono (2002) menyatakan bahwa turnover itention merupakan kadar atau intensitas dari keinginan untuk keluar dari perusahaan. Dijelaskan lebih lanjut bahwa banyak alasan yang menyebabkan timbulnya turnover intention, salah satunya adalah keinginan untuk mendapatkan pekerjaan lebih baik. Turnover dapat diartikan sebagai aliran para karyawan yang masuk dan keluar perusahaan (Ronodipuro & Husnan, 1995:34). Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Fishbein dan Ajzen (1975) yakni Theory of Planned Behavior yang merupakan penyempurnaan dari Reason Action Theory menjelaskan bahwa perilaku turnover dapat diukur melalui intensi atau niat terhadap turnover mengacu pada Theory of Planned Behavior. Turnover intention. Studi ini itention adalah kecenderungan atau niat karyawan untuk berhenti bekerja dari pekerjaannya. Turnover itention mengacu pada evaluasi individu mengenai kelanjutan individu dengan organisasi dan belum diwujudkan dalam tindakan yang pasti untuk meninggalkan organisasi (Harsusdadikawati, 2005). Kumar et al., 2012 mengklafikasikan turnover itention kedalam dua bagian yaitu turnover itention yang tidak dapat dicegah dan turnover itention yang tidak diinginkan. Turnover itention yang tidak dapat dicegah misalnya karena penyakit, masalah keluarga atau umur pensiun, sedangkan turnover itention yang tidak diinginkan misalnya karena tidakmampuan karyawan dalam bekerja atau merasa tidak nyaman didalam organisasi atau perusahaan. Turnover itention yang tidak diinginkan pada karyawan dengan kompetensi tinggi dan berkualitas dapat terjadi karena adanya masalah dalam organisasi seperti kurangnya pengawasan, kurangnya
dukungan dari atasan atau sesama rekan kerja serta adanya konflik yang dirasakan individu. Jenis-jenis Turnover menurut Mathis dan Jackson (2000:125) Turnover fungsional dan turnover disfungsional. Turnover fungsional merupakan situasi dimana karyawan memiliki kinerja lebih rendah, kurang diandalkan, atau mereka yang menggangu rekan kerja meninggalkan organisasi. Sedangkan turnover disfungsional merupakan keadaan dimana karyawan yang penting bagi perusahaan dan memilki kinerja tinggi kemudian meninggalkan organisasi pada saat yang penting. Jenis jenis turnover intention berikutnya adalah Turnover yang tidak dikendalikan dan turnover yang dikendalikan. Turnover yang tidak dapat dikendalikan dapat muncul karena alasan diluar pengaruh pemberi kerja. Banyak alasan karyawan berhenti tidak dapat dikendalikan oleh organisasi misalnya, karyawan pindah dari daerah geografis, karyawan memutuskan untuk tinggal didaerah karena alasan keluarga, suami atau istri dipindahkan, karyawan adalah mahasiswa yang baru lulus dari perguruan tinggi. Sementara itu turnover yang dapat dikendalikan dapat muncul karena faktor yang dapat dipengaruhi oleh pemberi kerja. Dalam turnover yang dapat dikendalikan, organisasi lebih mampu memelihara karyawan apabila mereka menangani persoalan karyawan yang dapat menimbulkan turnover. Menurut Hartono, (2002:2) turnover Itention ditandai dengan berbagai hal yang menyangkut perilaku karyawan antara lain: pertama, absensi yang meningkat, karyawan yang memiliki keinginan untuk melakukan pindah kerja, biasanya ditandai dengan absensi yang semakin meningkat. Tingkat tanggung jawab
karyawan pada fase ini sangat kurang dibandingkan dengan sebelumnya. Kedua, mulai malas bekerja, karyawan yang memilki keinginan untuk melakukan pindah kerja, akan lebih malas bekerja karena orientasi karyawan ini bekerja ditempat lainnya yang dipandang lebih mensejahterakan karyawan tersebut. Ketiga, Peningkatan terhadap pelanggaran tata tertib kerja, berbagai macam pelanggaran terhadap tata tertib dalam lingkungan pekerjaan sering dilakukan karyawan yang akan melakukan turnover. Karyawan lebih sering meninggalkan tempat kerja saat jam kerja berlangsung, maupun berbagai bentuk pelanggaran lainnya. Keempat. keberanian untuk menentang atau protes kepada atasan, Karyawan yang memiliki keinginan untuk melakukan pindah kerja, akan lebih sering melakukan protes terhadap kebijakan-kebijakan perusahaan kepada atasan. Materi protes yang ditekankan seperti berhubungan dengan balas jasa atau aturan yang tidak sependapat dengan karyawan. Kelima, perilaku positif yang sangat berbeda dari biasanya. Hal ini berlaku untuk karyawan yang memiliki karakterisitik positif dan membangun perusahaan. Karyawan ini memiliki tanggung jawab yang tinggi serta loyalitas terhadap tugas yang diberikan dan jika perilaku positif karyawan ini meningkat serta berbeda dari biasanya justru menunjukkan karyawan yang memiliki niat untuk keluar dari perusahaan. 2.2 Hipotesis Penelitian Dari beberapa penelitian sebelumnya terkait dengan variabel-variabel yang diteliti dalam penelitian ini, dapat dirumuskan hipotesis penelitian berdasarkan hubungan antar variabel sebagai berikut.
2.2.1 Pengaruh komitmen organisasional terhadap turnover intention karyawan Komitmen organisasional memiliki dua sumber yang berbeda, komitmen kelanjutan dan komitmen afektif. Menurut Meyer dan Alenn (1993), dimensi berganda komitmen organisasional mempunyai hubungan yang berbeda terhadap turnover intention dan perilaku yang berkaitan dengan pekerjaan lainnya. Ahmed (2003) menyatakan bahwa komitmen organisasional berpengaruh negatif terhadap turnover intention. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Saqib (2014) bahwa komitmen organisasional yang tinggi akan mengakibatkan menurunnya turnover intention karyawan. Hal ini menunjukan bahwa komitmen organisasional berpengaruh negatif terhadap turnover intention. Menurut Khan (2014) komitmen organisasional yang rendah akan meningkatkan keinginan berpindah karyawan. Dengan demikian dapat diajukan hipotesis : H1: Komitmen organisasional berpengaruh negatif terhadap turnover intention 2.2.2 Pengaruh dukungan sosial sosial terhadap turnover intention karyawan Menurut Acker (2004) dukungan sosial dari atasan dan dari rekan kerja berpengaruh negatif terhadap keinginan berpindah karyawan. Thanacoody (2009) juga menyatakan bahwa konflik dalam keluarga dapat menyebabkan meningkatnya keinginan berpindah karyawan. Berarti, dukungan sosial berpengaruh negatif terhadap keinginan berpindah karyawan. Hal ini sejalan dengan penelitian Lobburi et al. (2012) yang juga mengemukakan bahwa dukungan sosial (atasan, rekan kerja,
kerabat dan teman-teman) berpengaruh negatif terhadap turnover intention. Dengan demikian dapat diajukan hipotesis : H2: Dukungan sosial berpengaruh negatif terhadap turnover intention 2.2.3 Pengaruh iklim etika terhadap turnover intention karyawan Dalam penelitian yang dilakukan Stewart (2011) terindikasi bahwa jika iklim etika tinggi, maka keinginan berpindah karyawan rendah. Begitupun sebaliknya, jika iklim etika karyawan rendah maka keinginan berpindah karyawan tinggi. Ini berarti iklim etika berpengaruh negatif terhadap turnover intention. Hasil penelitian Feng-Hua et al. (2014) juga menunjukkan bahwa iklim etika berpengaruh negatif terhadap turnover intention. Iklim organisasi menggambarkan suatu lingkungan organisasi yang dirasakan oleh orang-orang yang berada di dalam organisasi tersebut. Dalam praktiknya, iklim organisasi mampu mempengaruhi karyawan untuk menentukan keputusan karyawan untuk tetap ataupun meninggalkan organisasi. Seperti dalam penelitian Mulki et al. (2008) bahwa karyawan yang memiliki etika yang baik akan mendapatkan kepercayaan yang tinggi dari atasannya, sehingga terdapat kecendrungan menurunnya keinginan mereka untuk berpindah. Dengan demikian dapat diajukan hipotesis : H3: Iklim etika berpengaruh negatif terhadap turnover intention karyawan 2.3 Model Penelitian Turnover intention pada umumnya berdampak buruk bagi organisasi, terutama bagi karyawan yang memiliki kinerja yang baik. Turnover intention dapat dipengaruhi oleh beberapa variabel yakni, komitmen organisasional, dukungan
sosial, dan iklim etika. Berdasarkan hasil penelitian-penelitian sebelumnya model penelitian ini dapat ditunjukkan pada Gambar 2.1 Komitmen organisasional ( X1) Dukungan sosial (X2) Iklim etika (X3) H1 (- ) H2 (- ) H 3 (- ) Turnover intention (Y) Gambar 2.1 Model Penelitian