IV. METODE PENELITIAN

dokumen-dokumen yang mirip
IV. METODE PENELITIAN

IV METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN. Kelurahan Kencana, Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor. Pemilihan lokasi

METODE PENELITIAN. A. Metode Dasar Penelitian

IV METODOLOGI PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN

METODE PENELITIAN. 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

BAB IV METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN. untuk mendapatkan data yang akan dianalisis sehubungan dengan tujuan

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

METODOLOGI PENELITIAN

VI. ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH PADA USAHATANI JAMBU BIJI

III. METODE PENELITIAN

Lampiran 1. Syarat Mutu Lada Putih Mutu I dan Mutu II. binatang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

III. METODOLOGI PENELITIAN. Konsep dasar dan definisi operasional ini mencakup pengertian yang. jagung per musim tanam yang, diukur dalam satuan ton.

ANALISIS DAYASAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS KENTANG

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III METODE PENELITIAN. Daya saing adalah suatu konsep yang menyatakan kemampuan suatu produsen

VIII. DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KEUNTUNGAN DAN DAYA SAING RUMPUT LAUT

VII. DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KEUNTUNGAN DAN DAYA SAING LADA PUTIH

VI. ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF USAHA PEMBENIHAN IKAN PATIN SIAM DEDDY FISH FARM

3.5 Teknik Pengumpulan data Pembatasan Masalah Definisi Operasional Metode Analisis Data

III KERANGKA PEMIKIRAN

VI. ANALISIS DAYASAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS BELIMBING DEWA DI KOTA DEPOK

ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP JERUK SIAM

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

KERANGKA PEMIKIRAN. berupa derasnya arus liberalisasi perdagangan, otonomi daerah serta makin

III KERANGKA PEMIKIRAN

DAYA SAING KEDELAI DI KECAMATAN GANDING KABUPATEN SUMENEP

Lampiran 1. Perhitungan Premium Nilai Tukar dan Nilai Tukar Bayangan Tahun 2009

METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian

ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF BERAS SOLOK ORGANIK Mardianto 1, Edi Firnando 2

IV. METODE PENELITIAN

Volume 12, Nomor 1, Hal ISSN Januari - Juni 2010

IV. METODE PENELITIAN. Fish Farm) dilaksanakan di lokasi usaha yang bersangkutan yaitu di daerah

sesuaian harga yang diterima dengan cost yang dikeluarkan. Apalagi saat ini,

Analisis Daya Saing dan Dampak Kebijakan Terhadap Beras Organik Ekspor (Suatu Kasus di Gapoktan Simpatik Kabupaten Tasikmalaya)

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan tujuan penelitian dan hasil analisis, maka pada penelitian ini

ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS KEDELAI VS PENGUSAHAAN KEDELAI DI KABUPATEN LAMONGAN, JAWA TIMUR

III. METODE PENELITIAN. peneliti menggunakan konsep dasar dan batasan oprasional sebagai berikut:

Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Daya Saing Komoditas Kelapa di Kabupaten Flores Timur

ANALISIS DAYA SAING APEL JAWA TIMUR (Studi Kasus Apel Batu, Nongkojajar dan Poncokusumo)

ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP PRODUKSI KAKAO DI JAWA TIMUR

III. METODE PENELITIAN. Definisi operasional dan konsep dasar ini mencakup semua pengertian yang

STUDI KELAYAKAN BISNIS ( Domestic Resource Cost )

Jurnal Ekonomi Pembangunan Vol. 12 No. 2, Agustus 2007 Hal: namun sering harganya melambung tinggi, sehingga tidak terjangkau oleh nelayan. Pe

VII. ANALISIS DAYA SAING USAHATANI JAGUNG

Pendapatan Rata-Rata Peternak Sapi Perah Per Ekor/Bulan

ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITI PADI SAWAH DI KECAMATAN PERBAUNGAN KABUPATEN SERDANG BEDAGAI ABSTRACT

ANALISIS SENSITIVITAS

.SIMULASI KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP DAYA SAING TEMBAKAU MADURA. Kustiawati Ningsih

Jurnal Agribisnis dan Ekonomi Pertanian (Volume 2. No 1 Juni 2008)

KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN DAMPAK KEBIJAKAN PENGURANGAN SUBSIDI INPUT TERHADAP PENGEMBANGAN KOMODITAS KENTANG DI KOTA BATU

ANALISIS DAYA SAING AGRIBISNIS BAWANG MERAH DI KABUPATEN PROBOLINGGO

Jurnal Agribisnis dan Ekonomi Pertanian (Volume 3. No 2 Desember 2009)

EFISIENSI DAN DAYA SAING SISTEM USAHATANI PADI

EFISIENSI DAN DAYA SAING USAHATANI HORTIKULTURA

MACAM-MACAM ANALISA USAHATANI

ANALISIS DAYA SAING USAHATANI KELAPA SAWIT DI KABUPATEN MUKOMUKO (STUDI KASUS DESA BUMI MULYA)

VII. DAMPAK PERUBAHAN KEBIJAKAN PEMERINTAH DAN FAKTOR LAINNYA TERHADAP KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF PADA USAHATANI JAMBU BIJI

Keunggulan Komparatif dan Kompetitif dalam Produksi Padi di Kabupaten Lampung Tengah Propinsi Lampung

ANALISIS DAYA SAING DAN STRUKTUR PROTEKSI KOMODITAS PALAWIJA

KEUNGGULAN KOMPARATIF KOMODITAS JAGUNG DI KABUPATEN KEDIRI

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Harga Gula Domestik

ANALYSIS ON COMPETITIVENESS OF ARABICA COFFEE IN NORTH TAPANULI (Case Study: Bahal Batu III Village, Siborong-borong Subdistrict)

DAYA SAING DAN PERAN PEMERINTAH DALAM MENINGKATKAN DAYA SAING KOMODITI KAKAO DI SULAWESI TENGAH

ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF KOMODITAS JAGUNG (Zea mays L.) DI KABUPATEN KEDIRI

ANALISIS DAYA SAING USAHA PEMBESARAN IKAN NILA PETANI PEMODAL KECIL DI KABUPATEN MUSI RAWAS

DAMPAK KEBIJAKAN KREDIT DAN SUBSIDI PUPUK TERHADAP KEUNTUNGAN USAHATANI PADI. I Made Tamba Ni Luh Pastini

Pengkajian Daya Saing dan Dampak Kebijakan Terhadap Usahatani Padi dan Jeruk Lahan Gambut Kabupaten Barito Kuala Kalimantan Selatan

DAMPAK KEBIJAKAN PEMBATASAN IMPOR BAWANG MERAH TERHADAP USAHATANI BAWANG MERAH DI KABUPATEN PROBOLINGGO

DAYA SAING USAHA TERNAK SAPI RAKYAT PADA KELOMPOK TANI DAN NON KELOMPOK TANI (suatu survey di Kelurahan Eka Jaya)

ANALISIS DAYA SAING KOMODITAS KELAPA DI KABUPATEN FLORES TIMUR

ANALISIS DAYA SAING USAHATANI KOPI ROBUSTA (COFFEA CANEPHORA) DI KABUPATEN REJANG LEBONG

VII. ANALISIS DAMPAK PERUBAHAN KEBIJAKAN PADA USAHA PEMBENIHAN IKAN PATIN Kerangka Skenario Perubahan Harga Input dan Output

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pendekatan Penelitian Sistem Usaha Pertanian dan Agribisnis

DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP PENGEMBANGAN USAHATANI BAWANG MERAH DI KECAMATAN BULAKAMBA KABUPATEN BREBES

VIII. ANALISIS KEBIJAKAN ATAS PERUBAHAN HARGA OUTPUT/ INPUT, PENGELUARAN RISET JAGUNG DAN INFRASTRUKTUR JALAN

JIIA, VOLUME 1 No. 3, JULI 2013

ANALISIS DAYASAING USAHATANI JAGUNG DI KABUPATEN BOLAANG MONGONDOW PROPINSI SULAWESI UTARA

DAYA SAING USAHATANI LADA DI LAMPUNG

KEUNGGULAN KOMPARATIF USAHATANI JAGUNG MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN DI PROVINSI NTT. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, 2

TINJAUAN PUSTAKA. Budidaya tebu adalah proses pengelolaan lingkungan tumbuh tanaman

III. METODE PENELITIAN. untuk mendapatkan dan menganalisis data sesuai dengan tujuan penelitian.

ANALISIS KEBIJAKAN KOPI ROBUSTA DALAM UPAYA MENINGKATKAN DAYA SAING DAN PENGUATAN REVITALISASI PERKEBUNAN

DAFTAR TABEL. 1. Produksi manggis di Pulau Sumatera tahun Produksi manggis kabupaten di Provinsi Lampung tahun

JIIA, VOLUME 1, No. 4, OKTOBER 2013

VIII. KESIMPULAN DAN SARAN

JIIA, VOLUME 1, No. 4, OKTOBER 2013

Analysis of Competitiveness and Marketing Channels Ikan Kembung ( Rastrelliger sp.) in Rembang Regency, Central Java Effect

SENSITIVITAS DAYA SAING JERUK LOKAL KABUPATEN JEMBER [SENSITIVITY OF JEMBER LOCAL CITRUS COMPETITIVENESS]

POLICY BRIEF DAYA SAING KOMODITAS PADI, JAGUNG, DAN KEDELAI DALAM KONTEKS PENCAPAIAN SWASEMBADA PANGAN. Dr. Adang Agustian

(The analysis of profitability, comparative advantage, competitive advantage and import policy impact on beef cattle fattening in west java)

Analisis Daya Saing Usahatani Jagung pada Lahan Kering di Kabupaten Tanah Laut Kalimantan Selatan

ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF USAHATANI JAGUNG DAN PADI DI KABUPATEN BOLAANG MONGONDOW PROPINSI SULAWESI UTARA ZULKIFLI MANTAU

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Studi Empiris Tentang Jeruk

DAMPAK DEPRESIASI RUPIAH TERHADAP DAYA SAING DAN TINGKAT PROTEKSI KOMODITAS PADI DI KABUPATEN BADUNG

DAYA SAING KACANG TANAH PRODUKSI KECAMATAN KUBU KABUPATEN KARANGASEM

Transkripsi:

51 IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di tiga tempat di Provinsi Bangka Belitung yaitu Kabupaten Bangka Selatan, Kabupaten Bangka Barat, dan Kabupaten Belitung. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan; (1) ketiga kabupaten tersebut merupakan sentra produksi lada putih terluas di Bangka Belitung, terlihat pada Lampiran 2, dan (2) ketiga kabupaten tersebut merupakan pilot project pengembangan lada putih ramah lingkungan dengan penerapan Good Agriculture Practices (GAP). Pelaksanaan pengambilan data untuk keperluan penelitian dilaksanakan pada Bulan Mei - Juni 2011. 4.2. Data dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder baik secara kualitatif maupun kuantitatif, yang terdiri dari data usahatani meliputi produksi, dan input fisik usahatani, harga input dan output, nilai tukar rupiah terhadap dolar, harga FOB dan CIF serta data perdagangan terutama ekspor - impor lada putih Indonesia maupun dunia. Data primer diperoleh melalui wawancara langsung dengan menggunakan daftar pertanyaan dalam bentuk pertanyaan terstruktur (kuesioner) yang diajukan ke responden (petani) dan eksportir. Sedangkan data sekunder tersebut diperoleh melalui studi pustaka (desk study) yang dipublikasikan oleh lembaga atau instansi seperti Dinas Pertanian, Perkebunan dan Peternakan Provinsi Bangka Belitung, Badan Pusat Statistik (BPS), AELI (Asosiasi Eksportir Lada Indonesia), IPC (International Pepper

52 Community), BPTP (Balai Pengkajian Tekhnologi Pertanian) Provinsi Bangka Belitung, Direktorat Jenderal Perkebunan, serta publikasi atau literatur lainnya yang terkait dengan penelitian seperti jurnal, skripsi, thesis dan disertasi. 4.3. Metode Pengumpulan Data Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode survey. Menurut Sinaga (2004), dalam metode survey, pengumpulan data dilakukan dari sebagian populasi p (sampling) yang dianggap mewakili keseluruhan ciri populasi yang hendak diketahui (representative). Pengambilan contoh (sampling) adalah suatu proses pemilihan bagian (contoh) yang representatif dari suatu populasi. Dalam penelitian ini, penentuan jumlah sampel dilakukan secara sengaja (purposive) yaitu sebanyak 9 orang petani, lembaga pemasaran dan satu orang eksportir lada putih, dengan pertimbangan yaitu : (1) keterbatasan informasi mengenai jumlah populasi p petani lada putih yang sudah menggunakan tiang panjat hidup, (2) petani sampel tersebut telah menggunakan tiang panjat hidup dalam kegiatan usahatani lada putih, (3) distribusi jumlah sampel meliputi; 2 orang petani di Kabupaten Bangka Selatan, 4 orang petani di Kabupaten Bangka Barat, dan 3 orang petani di Kabupaten Belitung, dan (4) keterbatasan populasi ini disebabkan karena teknologi (tiang panjat hidup) dengan konsep Good Agriculture Practices (GAP) lada putih baru mulai akan dikembangkan pada petani lada putih di Provinsi Bangka Belitung. 4.4. Metode Analisis Penelitian ini meliputi dampak kebijakan terhadap keuntungan dan daya saing lada putih, dilakukan dengan menggunakan metode Policy Analysis Matrix

53 (PAM) yang dikembangkan oleh Monke dan Pearson (1989). Asumsi yang digunakan dalam analisis PAM ini adalah : 1. Harga pasar adalah harga yang benar-benar diterima petani yang didalamnya terdapat kebijakan pemerintah (distorsi pasar) 2. Harga bayangan adalah harga pada kondisi pasar persaingan sempurna yang mewakili biaya imbangan sosial yang sesungguhnya. Pada kondisi tradable, harga bayangan adalah harga yang terjadi di pasar dunia 3. Output bersifat tradable sedangkan input dapat dipisah berdasarkan faktor asing (tradable) dan faktor domestik (nontradable) 4. Eksternalitas dianggap sama dengan nol dimana tahapan penyusunan tabel Policy Analysis Matrix (PAM) adalah sebagai berikut: 1. Penentuan komponen fisik untuk faktor input dan output secara lengkap dan aktivitas ekonomi produksi lada putih 2. Pemisahan seluruh biaya ke dalam komponen domestik dan asing. 3. Penentuan harga privat dan penaksiran harga bayangan input - output. 4. Tabulasi dan analisis indikator - indikator yang dihasilkan oleh PAM. 4.4.1. Penentuan Faktor Input dan Output Dalam penelitian ini, input yang digunakan adalah lahan (sewa lahan), benih atau bibit, tenaga kerja, pupuk organik (pupuk kandang), pupuk anorganik (urea, NPK atau SP36, KCL, dolomit atau kapur), obat-obatan, peralatan (cangkul, parang atau golok, arit dan sprayer), tiang panjat hidup (gamal dan dadap cangkring) dan input lainnya. Sedangkan yang dimaksud dengan output adalah butiran lada putih.

54 4.4.2. Penentuan Komponen Biaya Domestik dan Asing Penentuan komponen biaya domestik dan asing, menurut Monke dan Persoan (1989), terdapat dua pendekatan dalam mengalokasikan biaya ke dalam komponen biaya domestik dan asing, yaitu Pendekatan Langsung (Direct Approach) dan Pendekatan Total (Total Approach). Pendekatan langsung mengasumsikan seluruh biaya input yang dapat diperdagangkan (input tradable) baik impor maupun produksi dalam negeri dinilai sebagai komponen biaya asing dan dapat dipergunakan apabila tambahan permintaan input tradable tersebut dapat dipenuhi dari perdagangan internasional. Pada pendekatan total, setiap biaya input tradable dibagi ke dalam komponen biaya domestik dan asing, dan penambahan input tradable dapat dipenuhi dari produksi domestik jika input tersebut mempunyai kemungkinan untuk diproduksi di dalam negeri. Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini i menggunakan pendekatan total dalam mengalokasikan biaya kedalam komponen biaya input tradable dan non tradable. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Lampiran 3. 4.4.3. Penentuan Harga Privat dan Penaksiran Harga Bayangan Input dan Output Kedua faktor output dan input, baik yang merupakan komponen asing dan domestik kemudian dicari dalam bentuk harga privat dan harga bayangan. Gittinger (1986) mendefenisikan harga bayangan sebagai harga yang akan terjadi dalam suatu perekonomian apabila pasar dalam keadaan persaingan sempurna dan dalam kondisi keseimbangan. Sedangkan Squire Van der Tak dalam Gittinger (1986) mendefinisikan harga bayangan sebagai harga yang menggambarkan

55 peningkatan kesejahteraan dengan adanya perubahaan marjinal dalam persediaan komoditas dan faktor produksi. Alasan digunakannya harga bayangan dalam analisis ekonomi adalah : (1) harga privat tidak selalu mencerminkan apa yang sebenarnya diperoleh masyarakat melalui produksi yang dihasilkan oleh aktivitas tersebut, dan (2) harga privat tidak selalu mencerminkan apa yang sebenarnya dikorbankan seandainya sejumlah sumberdaya yang dipilih digunakan dalam aktivitas lain yang masih memungkinkan dimasyarakat (Gittinger, 1986) Harga dasar yang terjadi belum tentu dapat dipakai langsung dalam analisis ekonomi karena sering tidak mencerminkan biaya imbangan sosial (oppurtunity o cost). Suatu komoditas akan mempunyai biaya imbangan yang sama dengan biaya pasar jika berada pada pasar persaingan sempurna, sehingga untuk memperoleh suatu nilai yang mendekati nilai biaya imbangan sosial atau harga bayangan perlu dilakukan penyesuaian. Penentuan harga bayangan untuk komoditas yang sudah diperdagangkan dapat didekati dengan harga fob untuk yang diekspor dan cif untuk yang diimpor. Sementara untuk komoditas yang belum diperdagangkan, harga bayangan dapat didekati dari kesediaan konsumen untuk membayar (willingness to pay). 4.4.3.1. 4 Harga Bayangan Output Harga bayangan output yang digunakan dalam penelitian ini adalah border price (FOB) untuk ouput yang dieskpor. Lada putih merupakan output yang seluruhnya diekspor, sehingga penentuan harga bayangan output yang digunakan adalah FOB. Rumus perhitungan harga bayangan output adalah : Harga Bayangan Lada Putih = (FOB x SER) Biaya Tataniaga

56 4.4.3.2. Harga Bayangan Sarana Produksi dan Peralatan Pada dasarnya dalam menentukan harga bayangan sarana produksi dan peralatan yang termasuk komoditas tradable tidak berbeda dengan penentuan harga bayangan output. Harga bayangan ditentukan pada harga border price, sedang untuk input non tradable digunakan harga domestik, yang termasuk input tradable adalah pupuk, obat-obatan sedangkan bibit lada, lahan serta peralatan termasuk pada input non tradable. Harga bayangan untuk pupuk dan obat - obatan walau sudah diproduksi di dalam negeri namun sebagian bahan bakunya didatangkan dari impor, sehingga harga bayangan untuk pupuk dan obat - obatan cif (cost insurance and freight). Harga bayangan untuk peralatan digunakan harga pasar dengan pertimbangan tidak ada kebijakan pemerintah yang mengatur secara langsung, sehingga distorsi pasar yang terjadi amat kecil atau pasar mendekati pasar persaingan sempurna. 4.4.3.3. Harga Bayangan Tenaga Kerja Menurut Gittinger (1986), dalam pasar persaingan sempurna tingkat upah pasar mencerminkan nilai produktivitas marjinalnya. Untuk tenaga kerja terdidik, upah tenaga kerja bayangan sama dengan upah pasar (finansial), sedangkan tenaga kerja tidak terdidik dengan anggapan belum bekerja sesuai dengan tingkat produktivitasnya, maka harga bayangan upahnya disesuaikan terhadap harga upah finansialnya. Tenaga kerja yang digunakan petani dalam membantu usahanya adalah tenaga kerja tidak tetap dan umumnya juga tidak terdidik sehingga harga bayangan tenaga kerja tersebut menggunakan Rusastra dan Yusdja (1982) dan

57 Suryana (1980) dalam Novianti (2003) yaitu sebesar 80 persen dari tingkat upah yang berlaku di daerah penelitian. 4.4.3.4. Harga Bayangan Lahan Tanah atau lahan merupakan faktor produksi utama dan termasuk input non n tradable dalam usahatani atau usaha pertanian. Pada penelitian ini harga bayangan lahan ditentukan berdasarkan nilai sewa lahan yang berlaku. Hal ini senada dengan pendapat Gittinger (1986) mengemukakan bahwa harga bayangan lahan ditentukan berdasarkan nilai sewa lahan yang diperhitungkan pada tiap musim tanam yang berlaku di masing - masing tempat. 4.4.3.5. 4 Harga Bayangan Nilai Tukar Penetapan nilai tukar Rupiah didasarkan atas perkembangan nilai tukar mata uang asing yang menjadi acuan (US Dollar). Untuk menentukan harga bayangan nilai tukar digunakan formula yang telah dirumuskan oleh Squire Van der Tak dalam Gittinger (1986), bahwa penentuan harga bayangan nilai tukar mata uang ditentukan dengan menggunakan rumus : SER OER SCF dimana : SER : Nilai Tukar Bayangan (Rp/US $) OER : Nilai Tukar Resmi (Rp/US $) SCF : Faktor Konversi Standar Nilai faktor konversi standar yang merupakan rasio dari nilai impor dan ekspor ditambah pajaknya dapat ditentukan :

58 SCF Xt Mt ( Xt Txt) ( Mt Tmt) dimana : SCFt Xt Mt Txt Tmt : Faktor konversi standar untuk tahun ke-t : Nilai ekspor Indonesia untuk tahun ke-t (Rp) : Nilai impor Indonesia untuk tahun ke-t (Rp) : Penerimaan pemerintah dari pajak ekspor untuk tahun ke-t (Rp) : Penerimaan pemerintah dari pajak impor untuk tahun ke-t (Rp) Harga bayangan nilai tukar dihitung berdasarkan metode Square dan Van der Tak, yaitu besarnya nilai ekspor tahun 2010 (Xt) Rp. 157 732.6 milyar nilai impor (Mt) Rp. 135 606.1 milyar, pajak ekspor dan impor masing-masing Rp. 7 633.6 milyar dan Rp. 19 497.7 milyar (Badan Pusat Statistik, 2010). Pada akhirnya diperoleh nilai Shadow Exchange Rate (SER) sebesar Rp. 9 457, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Lampiran 4. Berdasarkan uraian diatas, maka secara ringkas metode penentuan harga bayangan dan komponen masing - masing input ditunjukan pada Lampiran 5. 4.4.4. Penentuan Biaya Tataniaga Biaya tataniaga yang dikeluarkan untuk menambah nilai atau kegunaan suatu barang, baik kegunaan tempat, bentuk dan waktu. Biaya tataniaga yang ada dalam penelitian ini yaitu biaya pengangkutan dan penanganan. Biaya pengangkutan merupakan biaya yang dikeluarkan untuk mengangkut barang dari produsen atau petani sempai ke pengumpul maupun eksportir, sedangkan biaya penanganan terdiri dan biaya pengemasan.

59 4.4.5. Analisis Indikator Matriks Kebijakan 1. Analisis Keuntungan Privat dan Keuntungan Sosial a. Private Profitability Keuntungan privat merupakan indikator daya saing (competitiveness) dari sistem st komoditas berdasarkan teknologi, nilai output, biaya input dan transfer kebijakan yang ada. Apabila D > 0 maka sistem komoditas itu memperoleh profit diatas normal yang mempunyai implikasi bahwa komoditas itu mampu berekspansi, kecuali apabila sumberdaya terbatas atau adanya komoditas alternatif yang lebih menguntungkan. b. Social Profitability Keuntungan sosial merupakan indikator keunggulan komparatif (comparative c advantage) atau efisiensi dari sistem komoditas pada kondisi tidak ada divergensi dan penerapan kebijakan efisien. Apabila H > 0 dan nilainya makin besar, berarti sistem komoditas makin efisien dan mempunyai keunggulan komparatif yang tinggi. Sebaliknya, bila H < 0, berarti sistem komoditas tidak mampu hidup tanpa bantuan atau intervensi pemerintah. Untuk komoditas tertentu, daerah yang mempunyai Social Profitability lebih besar akan memperoleh prioritas lebih tinggi untuk pengembangan komoditas tersebut. 2. Analisis Keunggulan Kompetitif dan Keunggulan Komparatif a. Private Cost Ratio PCR = (C/ (A - B)) Rasio Biaya Privat atau Private Cost Ratio (PCR=C/(A B)) adalah rasio biaya domestik terhadap nilai tambah dalam harga privat. Nilai Private Cost Ratio (PCR) mencerminkan berapa banyak sistem komoditas tersebut dapat

60 menghasilkan untuk membayar faktor domestik dan tetap dalam kondisi kompetitif yakni break event setelah membayar keuntungan normal (D= 0). Jelas perusahaan lebih menyukai D > 0 dan ini dapat diraih jika C < (A - B). Maka usaha penanganan biaya faktor domestik dan biaya input tradable adalah bertujuan untuk memaksimumkan profit. Dengan demikian PCR menunjukkan kemampuan sistem komoditas membiayai faktor domestik pada harga privat. Apabila nilai PCR < 1 dan makin kecil, berarti sistem komoditas tersebut mampu membiayai faktor domestiknya pada harga privat dan kemampuan itu meningkat. b. Domestic Resource Cost Ratio Rasio Biaya Sumberdaya Domestik atau Domestic Resource Cost Ratio (DRCR= G/(E-F)) adalah rasio biaya domestik terhadap nilai tambah dalam harga sosial. Nilai Domestic Resource Cost Ratio (DRCR) merupakan indikator kemampuan sisitem komoditas membiayai biaya faktor domestik pada harga sosial. Apabila Domestic Resource Cost Ratio lebih besar dari satu (DRCR > 1), berarti sistem komoditas tidak mampu hidup tanpa bantuan atau intervensi pemerintah. Kegiatan ini akan memboroskan sumberdaya domestik yang langka karena memproduksi komoditas dengan biaya sosial yang lebih besar daripada biaya impornya. Jika tidak ada pertimbangan lain, maka melakukan impor akan lebih efisien dibandingkan dengan memproduksi sendiri. Sebaliknya apabila nilai Domestic Resource Cost Ratio lebih kecil dari satu atau (DRCR<1) dan nilainya makin kecil berarti sistem komoditas makin efisien, mempunyai daya saing yang makin tinggi dan mampu hidup tanpa bantuan dan intervensi pemerintah serta mempunyai peluang ekspor yang makin besar. Dalam upaya meningkatkan laju

61 pertumbuhan ekonomi, komoditas dengan nilai Domestic Resource Cost Ratio lebih kecil akan memperoleh prioritas lebih tinggi dalam pengembangannya. 4.4.6. Dampak Kebijakan Pemerintah Hasil matriks kebijakan yaitu dari baris ketiga menunjukkan divergensi, dimana apabila terdapat perbedaan nilai dari baris pertama dan baris kedua mengindikasikan adanya intervensi atau kebijakan pemerintah sehingga pasar terdistorsi. Analisis dampak kebijakan meliputi kebijakan input, kebijakan output, dan kebijakan input - output secara keseluruhan. 1. Kebijakan Output a. Transfer Output Transfer Output (TO = A - E) merupakan selisih antara penerimaan yang dihitung atas harga privat (finansial) dengan penerimaan yang dihitung berdasarkan harga sosial (bayangan). Nilai output transfer menunjukkan terdapat kebijakan pemerintah yang dapat diterapkan pada output sehingga membuat harga output privat dan sosial berada. Nilai output transfer positif menunjukkan besarnya transfer (insentif) dari masyarakat (konsumen) terhadap produsen. Dengan kata lain masyarakat membeli dan produsen menerima dengan harga yang lebih tinggi dari harga yang seharusnya, begitu sebaliknya apabila output transfer bernilai negatif. b. Nominal Protection Coefficient on Tradable Output Koefisien Proteksi Output Nominal atau Nominal Protection Coefficient on Output (NPCO=A/E) merupakan indikator yang menunjukkan tingkat proteksi pemerintah terhadap output. Jika nilai Nominal Protection Coefficient on Output

62 lebih dari satu (NPCO > 1) berarti terjadi penambahan penerimaan akibat adanya kebijakan yang mempengaruhi harga output (efek divergensi). Sementara apabila nilai Nominal Protection Coefficient on Output (NPCO<1) kurang dari satu, maka yang terjadi adalah sebaliknya. 2. Kebijakan Input a. Transfer Input Transfer Input (TI = B - F) menunjukkan bahwa kebijakan input yang diharapkan pada input tradable menyebabkan terjadinya perbedaan antara biaya input tradable privat dan biaya input tradable sosial. Jika nilai transfer input positif (TI>O) menunjukkan harga sosial input asing yang lebih rendah. Akibatnya produsen harus membayar input lebih mahal. Sebaliknya jika transfer input kurang dari nol (TI<0), hal ini menunjukkan adanya subsidi pemerintah terhadap input asing, sehingga petani tidak membayar penuh korbanan sosial yang seharusnya dibayarkan b. Nominal Protection Coefficient on Tradable Input Koefisien Proteksi Input Nominal atau Nominal Protection Coefficient on Input (NPCI = B/F) merupakan indikator yang menunjukkan tingkat proteksi pemerintah terhadap harga input domestik. Apabila nilal NPCI kurang dari satu (NPCI<1) maka kebijakan pemerintah bersifat protektif terhadap input dan produsen menerima subsidi atas input asing tradable sehingga produsen dapat membeli dengan harga yang lebib rendah. Apabila nilai NPCI lebih dan satu (NPCI>1) maka terdapat proteksi terhadap produsen input asing tradable, yang

63 menyebabkan sektor yang menggunakan input tersebut akan dirugikan dengan tingginya biaya produksi. c. Transfer Factor Transfer Faktor (TF = C G) menunjukkan besarnya subsidi terhadap input non tradable. Jika nilai Transfer Faktor positif (TF > O) menunjukkan bahwa terjadi subsidi negatif pada input non tradable. Sedangkan jika nilai transfer faktor negatif, berarti terdapat subsidi positif pada input non tradable. 3. Kebijakan Input-Output a. Effective Protection Coefficient Koefisien Proteksi Efektif (EPC = (A-B)/(E-F) merupakan indikator dan dampak keseluruhan kebijakan input dan output terhadap sistem produksi komoditas dalam negeri. Nilai Effective Protection Coefficient (EPC) menggambarkan sejauh mana kebijakan pemerintah bersifat melindungi atau menghambat produksi domestik. Nilai Effective Protection Coefficient lebih dari satu (EPC>1) artinya adalah bahwa kebijakan melindungi produsen domestik secara efektif. b. Transfer Bersih Transfer Bersih (TB = D - H) merupakan selisih antara keuntungan bersih yang benar - benar diterima produsen dengan keuntungan bersih sosialnya. Nilai transfer bersih lebih besar dari nol (TB > 0), menunjukkan tambahan surplus produsen yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang diterapkan pada input dan output. Sebaliknya jika Transfer Bersih bernilai negatif.

64 c. Profitability Coefficient Profitability Coefficient (PC=D/H) merupakan pengaruh keseluruhan dari kebijakan yang menyebabkan keuntungan pnivat berbeda dengan keuntungan sosial dicerminkan oleh nilal koefisien keuntungan (PC). Jika nilai koefisien keuntungan (PC) lebih dari satu, maka yang terjadi adalah kebijakan pemerintah membuat keuntungan yang diterima oleh produsen lebih kecil bila dibandingkan tanpa adanya kebijakan d. Subsidy Ratio to Producer Nilai Rasio Subsidi bagi Produsen atau Subsidi Ratio to Producers (SRP = L/E) menunjukkan tingkat penambahan dan pengurangan penerimaan karena adanya kebijakan pemenintah. Nilai Subsidi Ratio to Producers (SRP) yang bernilai negatif berarti kebijakan pemenintah menyebabkan produsen mengeluarkan biaya produksi lebih besar dari biaya sosial untuk berproduksi 4.4.7. Analisis Sensitivitas Analisis sensivitas dilakukan untuk melihat bagaimana hasil analisis suatu aktivitas ekonomi bila terjadi perubahan terhadap input dan output. Perubahan ini dapat mempengaruhi struktur biaya dan penerimaan petani lada putih di Provinsi Bangka Belitung. Analisis sensitivitas bertujuan untuk mengetahui dampak simulasi kebijakan pemerintah terhadap keuntungan dan daya saing komoditas lada putih. Analisis sensivitas dalam penelitian ini adalah : 1. Penurunan harga lada putih sebesar 20 persen 2. Peningkatan harga pupuk sebesar 20 persen 3. Penurunan produksi 20 persen

65 Dasar pertimbangan dari analisis sensivitas (kepekaan) diatas sebagai berikut : 1. Harga lada putih dunia cukup fluktuatif dan sangat tergantung pada jumlah komoditas lada yang diperdagangkan dipasar dunia. Pergerakan harga lada domestik sekitar 20 persen sampai 30 persen, hal ini didasarkan trend perkembangan harga lada putih di Bangka Belitung. Pada tahun 2009 rata-rata harga lada putih sebesar Rp. 37 000 2 per kilogram dan pada tahun 2010 harga lada putih rata rata berkisar antara Rp. 47 000 sampai denga Rp. 50 000 3 per kilogram, serta tahun 2011 harga lada putih sebesar Rp. 67 000 4 per kilogram. Oleh karena itu, menarik untuk mengetahui perubahan keuntungan dan daya saing jika terjadi penurunan harga lada putih sebesar 20 persen. 2. Perubahan harga pupuk diakibatkan situasi yang tak terduga seperti terjadi kelangkaan pupuk pada saat musim tanam tiba atau pada saat waktu pemupukan. Kenaikan harga pupuk sebesar 20 persen lebih didasarkan pada perkembangan harga pupuk subsidi seperti TSP atau SP36 pada tahun 2009 sebesar Rp. 1 550, kemudian naik pada tahun 2010 sebesar Rp. 2 000 per kilogram dan pada tahun 2009, harga pupuk Urea sebesar Rp. 1 200 per kilogram, kemudian tahun 2010, harga pupuk urea mengalami kenaikan sebesar Rp. 1 600 per kilogram 5. Sedangkan untuk pupuk KCL merupakan pupuk non subsidi, sehingga harga pupuk tersebut berdasarkan pada kondisi pasar persaingan sempurna atau harga yang berlaku di daerah penelitian. Oleh 2 Dinas Pertanian, Perkebunan dan Peternakan, 2009. 3 Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi http://www.bappebti.go.id (Analisis Perkembangan harga komoditas, senin 2 Agustus 2010 diakses 25 April 2011. 4 Bangka Pos, edisi 26 April 2011 /bangka.tribunnews.com diakses 25 April 2011. 5 Asosiasi Produsen Pupuk Indonesia, /www.appi.or.id.

66 karena itu, menarik untuk mengetahui perubahan keuntungan dan daya saing jika terjadi kenaikan harga pupuk sebesar 20 persen. 3. Budidaya lada putih sangat tergantung dengan faktor internal dan eksternal. Faktor internal mencakup kemampuan manajerial petani dalam mengelola usahataninya dan faktor eksternal mencakup perubahan lingkungan seperti iklim dan cuaca yang mendukung kondisi tanaman lada putih. Kedua faktor tersebut sangat mempengaruhi kegiatan usahatani khususnya produksi lada putih di Bangka Belitung. Berdasarkan wawancara dengan petani lada putih di provinsi Bangka Belitung rata - rata penurunan produksi selama dua tahun terakhir antara 20 sampai dengan 30 persen. Penurunan ini, lebih disebabkan karena selama dua tahun terakhir terjadi perubahan lingkungan, yang menyebabkan terjadinya perubahan pola taman, waktu pemupukan, curah hujan dan intensitas sinar matahari yang berkurang. Oleh karena itu, menarik untuk mengetahui perubahan keuntungan dan daya saing jika terjadi penurunan produksi lada putih petani sebesar 20 persen.