EFISIENSI DAN DAYA SAING USAHATANI HORTIKULTURA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB IV METODE PENELITIAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

III. METODE PENELITIAN. untuk mendapatkan data yang akan dianalisis sehubungan dengan tujuan

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV METODOLOGI PENELITIAN

EFISIENSI DAN DAYA SAING SISTEM USAHATANI PADI

III. METODE PENELITIAN

VIII. DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KEUNTUNGAN DAN DAYA SAING RUMPUT LAUT

DAYA SAING KEDELAI DI KECAMATAN GANDING KABUPATEN SUMENEP

ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS KEDELAI VS PENGUSAHAAN KEDELAI DI KABUPATEN LAMONGAN, JAWA TIMUR

ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF BERAS SOLOK ORGANIK Mardianto 1, Edi Firnando 2

ANALISIS DAYA SAING AGRIBISNIS BAWANG MERAH DI KABUPATEN PROBOLINGGO

ANALISIS DAYASAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS KENTANG

IV. METODE PENELITIAN

VI. ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH PADA USAHATANI JAMBU BIJI

VI. ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF USAHA PEMBENIHAN IKAN PATIN SIAM DEDDY FISH FARM

IV. METODE PENELITIAN. Kelurahan Kencana, Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor. Pemilihan lokasi

KERANGKA PEMIKIRAN. berupa derasnya arus liberalisasi perdagangan, otonomi daerah serta makin

ANALISIS DAYA SAING APEL JAWA TIMUR (Studi Kasus Apel Batu, Nongkojajar dan Poncokusumo)

III. METODOLOGI PENELITIAN. Konsep dasar dan definisi operasional ini mencakup pengertian yang. jagung per musim tanam yang, diukur dalam satuan ton.

sesuaian harga yang diterima dengan cost yang dikeluarkan. Apalagi saat ini,

IV. METODE PENELITIAN

III KERANGKA PEMIKIRAN

III METODE PENELITIAN. Daya saing adalah suatu konsep yang menyatakan kemampuan suatu produsen

Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Daya Saing Komoditas Kelapa di Kabupaten Flores Timur

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

Volume 12, Nomor 1, Hal ISSN Januari - Juni 2010

IV METODE PENELITIAN

METODE PENELITIAN. A. Metode Dasar Penelitian

III. METODE PENELITIAN

ANALISIS DAYA SAING DAN STRUKTUR PROTEKSI KOMODITAS PALAWIJA

VII. ANALISIS DAYA SAING USAHATANI JAGUNG

3.5 Teknik Pengumpulan data Pembatasan Masalah Definisi Operasional Metode Analisis Data

DAMPAK KEBIJAKAN PEMBATASAN IMPOR BAWANG MERAH TERHADAP USAHATANI BAWANG MERAH DI KABUPATEN PROBOLINGGO

METODE PENELITIAN. 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

VI. ANALISIS DAYASAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS BELIMBING DEWA DI KOTA DEPOK

METODOLOGI PENELITIAN

Jurnal Ekonomi Pembangunan Vol. 12 No. 2, Agustus 2007 Hal: namun sering harganya melambung tinggi, sehingga tidak terjangkau oleh nelayan. Pe

ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP JERUK SIAM

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

.SIMULASI KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP DAYA SAING TEMBAKAU MADURA. Kustiawati Ningsih

KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN DAMPAK KEBIJAKAN PENGURANGAN SUBSIDI INPUT TERHADAP PENGEMBANGAN KOMODITAS KENTANG DI KOTA BATU

ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITI PADI SAWAH DI KECAMATAN PERBAUNGAN KABUPATEN SERDANG BEDAGAI ABSTRACT

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan tujuan penelitian dan hasil analisis, maka pada penelitian ini

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Performa Dayasaing Komoditas Padi. Commodities Rice Competitiveness Performance. Benny Rachman

ANALISIS DAYA SAING KOMODITAS KELAPA DI KABUPATEN FLORES TIMUR

III. METODE PENELITIAN. Definisi operasional dan konsep dasar ini mencakup semua pengertian yang

VII. DAMPAK PERUBAHAN KEBIJAKAN PEMERINTAH DAN FAKTOR LAINNYA TERHADAP KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF PADA USAHATANI JAMBU BIJI

ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP PRODUKSI KAKAO DI JAWA TIMUR

POLICY BRIEF DAYA SAING KOMODITAS PADI, JAGUNG, DAN KEDELAI DALAM KONTEKS PENCAPAIAN SWASEMBADA PANGAN. Dr. Adang Agustian

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Harga Gula Domestik

ANALISIS SENSITIVITAS

Jurnal Agribisnis dan Ekonomi Pertanian (Volume 3. No 2 Desember 2009)

KEUNGGULAN KOMPARATIF USAHATANI JAGUNG MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN DI PROVINSI NTT. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, 2

VIII. ANALISIS KEBIJAKAN ATAS PERUBAHAN HARGA OUTPUT/ INPUT, PENGELUARAN RISET JAGUNG DAN INFRASTRUKTUR JALAN

Pengkajian Daya Saing dan Dampak Kebijakan Terhadap Usahatani Padi dan Jeruk Lahan Gambut Kabupaten Barito Kuala Kalimantan Selatan

ANALISIS DAYA SAING USAHATANI KELAPA SAWIT DI KABUPATEN MUKOMUKO (STUDI KASUS DESA BUMI MULYA)

DAMPAK KEBIJAKAN KREDIT DAN SUBSIDI PUPUK TERHADAP KEUNTUNGAN USAHATANI PADI. I Made Tamba Ni Luh Pastini

Lampiran 1. Perhitungan Premium Nilai Tukar dan Nilai Tukar Bayangan Tahun 2009

IV. METODE PENELITIAN

DAFTAR TABEL. 1. Produksi manggis di Pulau Sumatera tahun Produksi manggis kabupaten di Provinsi Lampung tahun

III KERANGKA PEMIKIRAN

VII. DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KEUNTUNGAN DAN DAYA SAING LADA PUTIH

Analisis Daya Saing dan Dampak Kebijakan Terhadap Beras Organik Ekspor (Suatu Kasus di Gapoktan Simpatik Kabupaten Tasikmalaya)

MACAM-MACAM ANALISA USAHATANI

EFISIENSI DAN DAYASAING USAHATANI TEBU DAN TEMBAKAU DI JAWA TIMUR DAN JAWA TENGAH

TINJAUAN PUSTAKA. Budidaya tebu adalah proses pengelolaan lingkungan tumbuh tanaman

DAMPAK DEPRESIASI RUPIAH TERHADAP DAYA SAING DAN TINGKAT PROTEKSI KOMODITAS PADI DI KABUPATEN BADUNG

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pendekatan Penelitian Sistem Usaha Pertanian dan Agribisnis

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Faktor-Faktor Penting yang Memengaruhi Dayasaing Suatu Komoditas

ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF JERUK SIAM DI SENTRA PRODUKSI

III. KERANGKA PEMIKIRAN

14,3 13,1 11,1 8,9 27,4 26,4 4. 1,0 1,0 9,9 6. 7,0 15,6 16,1 6,5 6,2 8,5 8,3 10,0

Jurnal Agribisnis dan Ekonomi Pertanian (Volume 2. No 1 Juni 2008)

III. METODE PENELITIAN. peneliti menggunakan konsep dasar dan batasan oprasional sebagai berikut:

VII ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI JAGUNG MANIS

IV. METODE PENELITIAN. Fish Farm) dilaksanakan di lokasi usaha yang bersangkutan yaitu di daerah

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Studi Empiris Tentang Jeruk

ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF USAHATANI JAGUNG DAN PADI DI KABUPATEN BOLAANG MONGONDOW PROPINSI SULAWESI UTARA ZULKIFLI MANTAU

VII. ANALISIS DAMPAK PERUBAHAN KEBIJAKAN PADA USAHA PEMBENIHAN IKAN PATIN Kerangka Skenario Perubahan Harga Input dan Output

Oleh: Tobari dan Budi Dharmawan Fakultas Pertanian Unsoed Purwokerto (Diterima: 11 September 2004, disetujui: 21 September 2004)

PENENTUAN PRODUK UNGGULAN PADA KAWASAN MINAPOLITAN DI KABUPATEN GIANYAR

DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP PENGEMBANGAN USAHATANI BAWANG MERAH DI KECAMATAN BULAKAMBA KABUPATEN BREBES

VIII. KESIMPULAN DAN SARAN

ANALISIS DAYASAING KOMODITI TEMBAKAU RAKYAT DI KLATEN JAWA TENGAH PENDAHULUAN

SENSITIVITAS DAYA SAING JERUK LOKAL KABUPATEN JEMBER [SENSITIVITY OF JEMBER LOCAL CITRUS COMPETITIVENESS]

DAYA SAING JAGUNG, KETELA POHON, DAN KETELA RAMBAT PRODUKSI LAHAN KERING DI KECAMATAN KUBU, KABUPATEN KARANGASEM PROVINSI BALI

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Nilai PDB Hortikultura Berdasarkan Harga Berlaku Tahun (Milyar rupiah)

IX. KESIMPULAN DAN SARAN

ANALISIS DAYA SAING USAHATANI TEBU DI PROPINSI JAWA TIMUR

JIIA, VOLUME 1, No. 4, OKTOBER 2013

Lampiran 1. Syarat Mutu Lada Putih Mutu I dan Mutu II. binatang

III. METODE PENELITIAN. untuk mendapatkan dan menganalisis data sesuai dengan tujuan penelitian.

EMBRYO VOL. 7 NO. 2 DESEMBER 2010 ISSN

V. GAMBARAN UMUM KERAGAAN BAWANG MERAH Perkembangan Produksi Bawang Merah di Indonesia

ANALISIS DAYA SAING USAHA PEMBESARAN IKAN NILA PETANI PEMODAL KECIL DI KABUPATEN MUSI RAWAS

PENGEMBANGAN KAWASAN AGRIBISNIS PERBERASAN PROPINSI JAWA TENGAH SEBAGAI UPAYA MENJAGA KEDAULATAN PANGAN

Keunggulan Komparatif dan Kompetitif dalam Produksi Padi di Kabupaten Lampung Tengah Propinsi Lampung

Analisis Tingkat Keuntungan Usahatani Padi Sawah sebagai Dampak dari adanya Subsidi Pupuk di Kabupaten Tabanan

Transkripsi:

EFISIENSI DAN DAYA SAING USAHATANI HORTIKULTURA Handewi P.S. Rachman, Supriyati, Saptana, Benny Rachman Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Jl. A. Yani No. 70 Bogor 16161 ABSTRACT Objectives of the study are to analyze horticulture farming in terms of (1) economic and financial profitability, (2) competitiveness, (3) impacts of input-output price policy, and (4) policy implications to improve its efficiency. Method used was policy analysis matrix (PAM) based on farm household survey data from seven districts in Indonesia. Results of the study revealed that (1) farm business of shallot in Indramayu and Majalengka (West Java), chili and tomato in Agam (West Sumatera), and melon in Ngawi (East Java) were financially and economically profitable; (2) horticulture farm business in the study areas had competitive and comparative advantages; (3) regardless of changes by 24 59 percent in selling prices and yields for all commodities, the horticulture farm business were still able to reach the break even points. The study suggests (1) it is necessary to improve the marketing system including distribution of inputs and outputs of horticulture farming to enhance its efficiency and competitiveness; (2) encouraging more favorable business environment, such as credit facility, products standardization, and market information. Key words: competitiveness, efficiency, horticulture PENDAHULUAN Sebagai negara tropis, Indonesia memiliki kekayaan sumberdaya (resource endowment) khas tropis untuk menghasilkan berbagai produk pertanian tropis yang tidak dapat dihasilkan negara non-tropis. Di antara berbagai komoditas pertanian khas tropis yang potensial untuk dikembangkan di Indonesia dan memiliki prospek cerah pada masa mendatang sekaligus sebagai perolehan devisa adalah komoditas hortikultura, terutama sayuran dan buahbuahan. Permintaan komoditas sayuran dan buahbuahan pada 1996 sebesar 44,1 kg/kapita/tahun dan 24,5 kg/kapita/tahun, kemudian pada tahun 1999 masing-masing menjadi 48,2 kg/kapita/ tahun dan 18,6 kg/kapita/tahun (Susenas,1996-1999). Sementara itu, permintaan konsumen luar negeri dari segi volume dan nilai ekspor dari 608,2 ribu ton dengan nilai 137.574 (FOB US $ 000) untuk sayuran dan 369,9 ribu ton dengan nilai 232.227 (FOB US$ 000) untuk buah-buahan pada tahun 1996 menjadi 330,1 ribu ton senilai 85.958 (FOB US$ 000) untuk sayuran dan untuk buah-buahan sebesar 358 ribu ton dengan nilai 214.705 (FOB US$ 000) pada tahun 2000 (Departemen Pertanian, 2002). Permintaan pasar domestik maupun pasar internasional terhadap komoditas hortikultura di masa datang diperkirakan akan meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan tingkat pendapatan. Sejalan dengan liberalisasi perdagangan yang membawa implikasi semakin ketatnya persaingan pasar, diperlukan peningkatan efisiensi dalam upaya peningkatan daya saing. Di sisi lain, antisipasi terhadap kontinuitas pasokan produk baik dalam jumlah maupun mutu sesuai preferensi konsumen dan ketepatan waktu penyediaan juga merupakan unsur prioritas untuk dapat bersaing di pasar dunia. Namun liberalisasi perdagangan juga menimbulkan masalah jika komoditas yang diproduksi tidak mampu bersaing dengan negara lain. Oleh karena itu peningkatan daya saing merupakan tuntutan yang tidak bisa dihindari dalam pembangunan agribisnis hortikultura di masa mendatang (Irawan et al., 2001) Sejalan dengan arah perdagangan secara umum, pemerintah melakukan penyesuaian kebijakan harga input dan output sebagai respon terhadap tuntutan pasar yang semakin terbuka. Dihapuskannya subsidi pupuk dan pestisida, diberlakukannya tarif impor dan atau pajak ekspor pada beberapa komoditas perta- 50

nian diduga berpengaruh terhadap kinerja usahatani hortikultura dan pada gilirannya akan berpengaruh terhadap daya saing komoditas tersebut dalam perdagangan domestik dan kaitannya dengan optimasi pemanfaatan sumberdaya domestik maupun dalam persaingan di pasar internasional. Untuk mengantisipasi berbagai perubahan tersebut diperlukan kajian komprehensif terkait dengan efisiensi dan daya saing usahatani hortikultura. Berdasar latar belakang tersebut kajian berikut bertujuan untuk menganalisis: (1) profitabilitas finansial dan ekonomi komoditas hortikultura; (2) daya saing dan sensitivitas faktor utama terhadap kinerja kelayakan ekonomi usahatani hortikultura; (3) dampak kebijakan harga input dan output terhadap sistem usahatani hortikultura; dan (4) merumuskan rekomendasi kebijakan yang terkait dengan pengembangan komoditas hortikultura. METODOLOGI Lokasi Penelitian, Data dan Informasi Penelitian menggunakan data primer yang dikumpulkan melalui metode survei di enam kabupaten yang tersebar di empat provinsi yaitu Kabupaten Indramayu dan Majalengka (Jawa Barat), Klaten (Jawa Tengah), Ngawi dan Kediri (Jawa Timur), dan Agam (Sumatera Barat). Di masing-masing kabupaten dipilih empat desa merepresentasikan desa dengan luas lahan sawah dominan berdasar ketersediaan irigasi yaitu desa lahan sawah irigasi teknis (ketersediaan air baik), setengah teknis (ketersediaan air sedang), sederhana (ketersediaan air kurang) dan lahan sawah tadah hujan. Di setiap desa diwawancara 20 petani lahan sawah yang dipilih secara acak dan mewakili penguasaan lahan sempit, sedang dan luas relatif terhadap populasi petani lahan sawah di masing-masing desa. Data primer yang dikumpulkan mencakup penggunaan input, output yang dihasilkan, pemasaran dan kelembagaan yang terkait dengan penggunaan input maupun pemasaran output. Data dikumpulkan untuk MH 2000/2001 dan MK I dan MK II 2001. Selain data primer di tingkat petani, penelitian juga mengumpulkan informasi di tingkat lembaga (Dinas Lingkup Departemen Pertanian, Dolog, P.T. Pertani, P.T. Sang Hyang Seri, Puskud, KUD, pedagang sarana produksi dan pedagang output, Kelompok Tani) serta informan kunci di masing-masing lokasi penelitian mulai tingkat provinsi, kabupaten, kecamatan dan desa. Informasi yang dikumpulkan meliputi kebijakan dan program yang dilaksanakan masing-masing instansi terkait serta keragaan dan perkembangan usaha masing-masing pelaku yang terkait dengan pengembangan komoditas hortikultura di lokasi penelitian. Cakupan Komoditas Komoditas yang dianalisis dalam tulisan ini merupakan komoditas hortikultura dimana berdasar pengamatan lapang merupakan komoditas unggulan dan diperkirakan merupakan komoditas pesaing padi di lahan sawah pada masing-masing lokasi penelitian. Dalam hal ini komoditas yang dimaksud adalah bawang merah di Indramayu dan Majalengka, Jawa Barat; cabai merah di Kediri, Jawa Timur; cabai keriting dan tomat di Agam, Sumatera Barat serta melon di Ngawi, Jawa Timur. Metode Analisis Sesuai tujuan kajian, metode analisis yang sesuai untuk menjawab tujuan kajian adalah Policy Analysis Matrik (PAM). Sebelum matrik PAM disusun, tahap pertama dihitung tingkat keuntungan (profitabilitas) usahatani berdasarkan biaya input dan harga output baik secara finansial maupun ekonomi. Dengan perhitungan ini dapat diperoleh keuntungan baik finansial maupun ekonomi. Dampak kebijakan pemerintah diterapkan baik pada input, output maupun input dan output secara bersama dapat diketahui. Hasil analisis PAM memberikan informasi tentang profitabilitas daya saing (keunggulan kompetitif), efisiensi ekonomi (keunggulan komparatif) suatu komoditas dan dampak kebijakan pemerintah terhadap sistem komoditas tersebut. Tabel PAM disajikan pada Tabel 1. Nilai pada masing-masing sel dalam tabel PAM di atas untuk usahatani hortikultura diihitung dalam periode satu siklus produksi. Dari data pada tabel PAM di atas, kemudian dianalisis dengan berbagai indikator sebagai berikut : 51

Tabel 1. Tabel Policy Analysis Matrix (PAM) Uraian Penerimaan Biaya Input tradable Input non tradable Keuntungan Harga privat A B C D Harga sosial E F G H Divergensi I = A - E Sumber: Monke, E.A. and S.R. Pearson. 1989 J = B - F K = C - G L = I J K D - H Analisis Keuntungan a. Private Profitability (PP): D = A (B+C). Keuntungan privat merupakan indikator daya saing (competitiveness) dari sistem komoditas berdasarkan teknologi, nilai output, biaya input dan transfer kebijaksanaan yang ada. Apabila D>0, berarti sistem komoditas tersebut memperoleh profit di atas normal. Hal ini mempunyai implikasi bahwa komoditas tersebut mampu ekspansi, kecuali apabila sumberdaya terbatas atau adanya komoditas alternatif yang lebih menguntungkan. b. Social Profitability (SP): H = E (F+G). Keuntungan sosial merupakan indikator keunggulan komparatif (comparative advantage) atau efisiensi dari sistem komoditas pada kondisi tidak ada divergensi dan penerapan kebijaksanaan efisien, apabila H>0. Sebaliknya, bila H<0, berarti sistem komoditas tidak mampu bersaing tanpa bantuan atau intervensi pemerintah. Efisiensi Finansial dan Efisiensi a. Private Cost Ratio : PCR = C/(A B). PCR merupakan indikator profitabilitas privat yang menunjukkan kemampuan sistem untuk membayar biaya domestik dan tetap kompetitif. Sistem bersifat kompetitif jika PCR < 1. Semakin kecil nilai PCR berarti semakin kompetitif. b. Domestic Resource Cost Ratio :DRCR= G/ (E F). DRCR merupakan indikator keunggulan komparatif yang menunjukkan jumlah sumberdaya domestik yang dapat dihemat yang dapat dihemat untuk menghasilkan satu unit devisa. Sistem mempunyai keunggulan komparatif jika DRCR < 1. Semakin kecil nilai DRCR berarti semakin efisien dan mempunyai keunggulan komparatif makin tinggi. Dampak Kebijaksanaan Pemerintah Kebijaksanaan Output a. Output Transfer : OT = A E. Transfer output merupakan selisih antara penerimaan dihitung atas harga privat (finansial) dengan penerimaan dihitung berdasarkan harga sosial (bayangan). Jika nilai OT > 0 menunjukkan adanya transfer dari masyarakat (konsumen) ke produsen, demikian juga sebaliknya. b. Nominal Protection Coefficient on Output (NPCO) = A / E. NPCO merupakan tingkat proteksi pemerintah terhadap output domestik. Kebijakan bersifat protektif terhadap output jika nilai NPCO>1. Semakin besar nilai NPCO, berarti semakin tinggi tingkat proteksi pemerintah terhadap output. Kebijaksanaan Input a. Transfer Input : IT = B F. Transfer input adalah selisih antara biaya input yang dapat diperdagangkan pada harga privat dengan biaya input yang dapat diperdagangkan pada harga sosial. Nilai IT menunjukkan adanya kebijakan pemerintah yang diterapkan pada input tradable. Jika nilai IT >0 menunjukkan adanya transfer dari petani ke produsen input tradable. b. Nominal Protection Coefficient on Tradable Input: NPCI=B/F. NPCI merupakan indikator yang menunjukkan tingkat proteksi pemerintah terhadap harga input domestik. Kebijakan bersifat protektif terhadap input jika nilai NPCI<1, berarti ada kebijakan input tradable. C Transfer faktor : FT = C G. Transfer faktor merupakan nilai yang menunjukkan perbedaan harga privat dengan harga sosialnya yang diterima produsen untuk pembayaran faktor-faktor produksi yang tidak diperdagangkan. Jika nilai FT>0 berarti ada transfer 52

dari petani produsen kepada produsen input tradable, demikian sebaliknya. Kebijaksanaan Input-Output a. Effective Protection Coefficient : EPC = (A B)/(E F). EPC merupakan indikator yang menunjukkan tingkat proteksi simultan terhadap output dan input tradable. Kebijakan masih bersifat protektif jika nilai EPC>1. Semakin besar nilai EPC berarti semakin tinggi tingkat proteksi pemerintah terhadap komoditas domestik. b. Transfer Bersih: NT = D H. Transfer bersih merupakan selisih antara keuntungan bersih yang benar-benar diterima produsen (privat) dengan keuntungan bersih sosialnya. Nilai NT>0, menunjukkan tambahan surplus produsen yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang diterapkan pada input dan output. Demikian juga sebaliknya jika nilai NT lebih kecil dari nol. c. Profitability Coefficient : PC = D/H. Koefisien keuntungan adalah perbandingan antara keuntungan bersih yang benar-benar diterima produsen dengan keuntungan bersih sosialnya. Jika PC > 0, berarti secara keseluruhan kebijakan pemerintah memberikan insentif kepada produsen, demikian sebaliknya. d. Subsidy Ratio to Producer : SRP=L/E. Rasio subsidi produsen menunjukkan proporsi dari penerimaan total pada harga sosial yang diperlukan apabila subsidi yang digunakan sebagai satu-satunya kebijaksanaan untuk menggantikan seluruh kebijaksanaan komoditas dan ekonomi makro. SRP memungkinkan untuk membuat perbandingan tentang besarnya subsidi perekonomian bagi sistem komoditas pertanian. Nilai SRP juga dapat dipecah menjadi tiga untuk melihat secara terpisah dampak transfer pada output, input yang diperdagangkan dan faktor domestik. Apabila nilai SRP negatif menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah yang berlaku selama ini menyebabkan produsen mengeluarkan biaya produksi lebih besar dari biaya imbangan untuk berproduksi dan sebaliknya jika nilai SRP positif. Penentuan Input-output Fisik Input benih (bibit) bawang merah, cabai merah, cabai keriting, tomat, melon dan pupuk yang digunakan memakai satuan kg, sementara untuk pestisida adalah liter, dan untuk satuan luas lahan adalah hektar. Tenaga kerja keluarga dan tenaga kerja luar keluarga dikonversi ke hari kerja pria (HKP) dan dalam penelitian langsung dinilai ke dalam upah tenaga kerja (Rp/HK). Selanjutnya, untuk satuan output masing-masing diukur dalam bentuk segar. Pengalokasian Komponen Biaya Domestik dan Asing Dalam studi ini, pengalokasian komponen biaya ke dalam komponen biaya asing dan domestik memakai pendekatan langsung. Hal ini didasarkan atas kenyataan bahwa untuk input tradable, baik barang impor maupun produksi dalam negeri jika terjadi kekurangan permintaan dapat dipenuhi dari penawaran di pasar internasional. Pendekatan langsung mengasumsikan bahwa seluruh biaya input tradable, baik diimpor maupun produksi domestik dinilai sebagai komponen biaya asing. Pendekatan ini dipergunakan apabila tambahan permintaan input tradable baik barang yang diimpor maupun produksi domestik dapat dipengaruhi oleh perdagangan internasional. Dalam penelitian ini barang-barang yang diasumsikan 100 persen tradable goods adalah bibit dan produk bawang merah, pupuk urea, TSP, SP-36, KCL, ZA, NPK, Pupuk Alternatif, ZPT, PPC, dan pestisida. Sedangkan input yang diasumsikan 100 persen sebagai domestic factors adalah benih dan produk cabai merah, benih dan produk cabai keriting, benih dan output melon, benih dan produk tomat, nilai sewa lahan, tenaga kerja, pupuk kandang, pajak dan iuran air. Penentuan benih dan output cabai merah, cabai keriting, tomat dan melon diasumsikan 100 persen domestik mengingat dalam perdagangan internasional spesifikasi benih dan output komoditas tersebut tidak sesuai dengan spesifikasi komoditas yang ada di lokasi penelitian. Khusus untuk benih melon, petani di Ngawi umumnya menggunakan benih asal Thailand (impor) namun data ekspor-impor benih melon tidak tersedia, oleh karena itu dalam penelitian ini diasumsikan benih melon tidak diperdagangkan. Berdasarkan data yang tersedia pada komoditas-komoditas tersebut komponen asing hanya diperlakukan untuk faktor produksi pupuk. Secara rinci alokasi biaya komponen domestik dan asing disajikan dalam Tabel Lampiran 1. 53

Justifikasi Penentuan Harga Sosial Input dan Output 1. Harga sosial bawang merah di tingkat petani digunakan harga CIF (cost insurance and freight). Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa Indonesia sebagai negara netimportir bawang merah. Secara rinci perhitungan harga sosial bawang merah di tingkat petani dapat disimak pada Tabel Lampiran 2. 2. Untuk bibit bawang merah penentuan harga sosialnya digunakan harga CIF ditambah biaya (transpor dan penanganan) sampai ditingkat whole sale di ibukota provinsi. 3. Harga sosial cabai merah dan benih cabai merah, benih dan output cabai keriting, benih dan output tomat, maupun benih dan output melon dihitung dengan menggunakan harga aktual di tingkat petani pada masing-masing lokasi sesuai musim. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa data eksporimpor benih maupun output komoditas tersebut sesuai spesifikasi komoditas di lokasi penelitian tidak tersedia, dengan demikian dapat diasumsikan bahwa cabai merah, cabai keriting (dan benihnya), tomat dan benihnya serta melon dan benihnya tidak diperdagangkan, dengan kata lain produksinya hanya untuk konsumsi domestik. Dengan demikian harga sosial komoditas tersebut sama dengan harga privatnya. 4. Berdasarkan neraca perdagangan, pupuk (kecuali Urea), PPC dan ZPT adalah netimport. Oleh karena itu untuk menghitung harga sosial pupuk tersebut digunakan harga paritas CIF di pelabuhan Indonesia dengan menambahkan beberapa biaya (transpor dan penanganan) sampai di tingkat whole sale di ibukota provinsi. Sedangkan pupuk Urea diturunkan dari harga FOB negara asal ditambah biaya traspor dan penanganan sampai di whole sale. Secara rinci perhitungan harga sosial pupuk sampai di tingkat whole sale dapat disimak pada Tabel Lampiran 3-9 5. Harga sosial lahan didekati dengan nilai sewa lahan, hal ini dilandasi oleh: (a) mekanisme pasar lahan di pedesaan berjalan dengan baik; dan (b) sulitnya mencari opportunity cost of land pada MH. 6. Harga sosial tenaga kerja dihitung dengan menggunakan nilai upah aktual yang berlaku di masing-masing lokasi penelitian. Hal ini didasari pemikiran bahwa aksesibilitas lokasi sentra produksi padi umumnya memadai, sehingga mendorong berjalannya pasar tenaga kerja di pedesaan dan terintegrasinya pasar tenaga kerja, baik antar wilayah maupun antar sektor. 7. Sebagian besar petani padi akses terhadap BRI dan BRI Unit, maka tingkat suku bunga aktual menggunakan tingkat suku bunga KUPEDES BRI sebesar 2,5 persen/bulan, sehingga suku bunga aktualnya ditentukan 2.5 persen/bulan atau 30 persen/tahun, dengan tingkat inflasi 7 persen. Harga bayangan bunga modal dihitung dengan mengurangkan tingkat suku bunga aktual 30 persen dengan tingkat inflasi 7 persen, sehingga diperoleh harga bayangan bunga modal 23 persen pertahun atau 7,66 persen permusim tanam (4 bulan). 8. Harga bayangan nilai tukar rupiah terhadap dollar menggunakan aktual exchange rate, hal ini dilandasi pemikiran bahwa indonesia mengkuti regim nilai tukar bebas (floating exchange rate). Besarnya harga bayangan nilai tukar dihitung berdasarkan rata-rata nilai tukar musim tanam (MH 2000/01 dan MK 2001), besarnya nilai tukar rupiah terhadap dollar sebesar Rp 9 603/US$ untuk MH 2000/2001, untuk MK I 2001 sebesar Rp 11 143/US$ dan pada MK II 2001 sebesar Rp 9.786/ US$. Penentuan rata-rata nilai tukar untuk komoditas hortikultura sama dengan penentuan nilai tukar untuk komoditas padi. PROFITABILITAS USAHATANI HORTIKULTURA Profitabilitas Finansial Sesuai dengan pendekatan analisis, penyebaran komoditas yang dikaji berdasarkan peluang komoditas hortikultura sebagai komoditas kompetitor padi (komoditas unggulan) yang bersifat spesifik lokasi. Komoditas bawang merah merupakan komoditas unggulan di desa contoh irigasi teknis, Kabupaten Indramayu dan di desa contoh irigasi setengah teknis di Kabupaten Majalengka, (Jawa Barat). Komoditas cabai merah merupakan komoditas unggulan di desa contoh irigasi teknis, irigasi sederhana dan tadah hujan di Kabupaten Kediri 54

(Jawa Timur). Komoditas cabai keriting merupakan komoditas unggulan di Kabupaten Agam (Sumatera Barat) di desa contoh irigasi teknis, setengah teknis, sederhana dan tadah hujan. Di Kabupaten Agam, selain cabai keriting, tomat juga merupakan komoditas unggulan yang menyebar di desa contoh irigasi teknis, sederhana dan tadah hujan. Sementara itu, komoditas melon adalah komoditas unggulan di Kabupaten Ngawi (Jawa Timur) di desa contoh irigasi teknis, sederhana dan tadah hujan. Secara rinci profitabilitas finansial usahatani hortikultura menurut komoditas, lokasi, tipe irigasi dan musim disajikan pada Tabel 2 dan Tabel Lampiran 10 14. Usahatani Bawang Merah di Indramayu dan Majalengka Profitabilitas finansial (return to management) usahatani bawang merah di Indramayu menurut musim berkisar antara 28,0 35,6 persen dari penerimaan (secara nominal berkisar antara Rp 7,1 Rp 10,4 juta per ha), sementara di Majalengka berkisar antara 20.2 53.9 persen atau secara nominal antara Rp 3,0 Rp 13,6 juta per ha. Dari kajian yang sama (Rachman et al., 2002), menunjukkan bahwa tingkat profitabilitas usahatani padi pada lokasi dan musim yang sama lebih rendah, di Indramayu menurut musim berkisar antara 13,5 25,2 persen dari penerimaan (secara nominal berkisar antara Rp 0,7 Rp 1,5 juta per ha), sementara di Majalengka berkisar antara 9,7 19,6 persen atau antara Rp 0,51 Rp 1,1 juta per hektar. Tingkat profitabilitas bawang merah sangat dipengaruhi oleh tingkat produktivitas, harga produk dan biaya usahatani. Dari Tabel Lampiran 10 terlihat bahwa produktivitas bawang merah di Indramayu lebih tinggi (8,9 9,8 ton per ha) dibandingkan dengan Majalengka yang hanya berkisar antara 5 6,5 ton per ha. Khusus pada komoditas bawang merah, ada hubungan langsung antara tingkat penggunaan dan kualitas bibit dengan tingkat produktivitas. Temuan dari lapang juga menunjukkan hal yang sama, dimana tingkat penggunaan bibit di Majalengka lebih rendah dibandingkan tingkat penggunaan bibit di Indramayu sehingga terjadi perbedaan produktivitas. Menurut Adiyoga (1997), ada indikasi, hubungan yang masih bersifat increasing antara biaya produksi (jumlah input terutama bibit) dengan tingkat produktivitas bawang merah per hektar. Namun demikian, tingkat produktivitas bawang merah yang lebih tinggi ternyata tidak selalu diikuti dengan meningkatnya keuntungan usahatani, hal ini terlihat pada usahatani bawang merah di Majalengka MK II, meskipun tingkat produktivitas lebih rendah dibandingkan dengan tingkat produktivitas di Indramayu keuntungan yang diperoleh tertinggi dibandingkan dengan keuntungan pada lokasi dan musim yang lain. Biaya usahatani bawang merah di Indramayu berkisar Rp 18,5 20,5 juta per hektar, lebih tinggi dibandingkan dengan Majalengka yang berkisar antara Rp 11,6 Rp 12 juta per hektar. Rata-rata biaya produksi bawang merah di Indramayu adalah 70,4 persen dari total penerimaan, sementara di Majalengka pada MK I dan MK II masingmasing sebesar 80,5 persen dan 46,1 persen dari total penerimaan. Dari struktur biaya usahatani bawang merah, proporsi terbesar adalah biaya sarana produksi yang berkisar antara 21,6 34,5 persen dan biaya tenaga kerja antara 16,3 32,9 persen dari total penerimaan. Tingginya biaya sarana produksi, terutama disebabkan oleh tingginya harga bibit. Usahatani Cabai Merah di Kediri dan Cabai Keriting di Agam Komoditas cabai pada kajian ini dibedakan menjadi dua yaitu, cabai merah di Kediri dan cabai keriting di Agam. Profitabilitas finansial (return to management) usahatani cabai merah di Kediri menurut musim dan tipe irigasi berkisar antara 31,3 56,1 persen dari penerimaan (secara nominal berkisar antara Rp 5,2 Rp 12,9 juta per ha), sementara cabai keriting di Agam berkisar antara 37,8 53,6 persen atau secara nominal antara Rp 6,5 Rp 11,2 juta per hektar. Dibandingkan dengan usahatani padi pada lokasi dan musim yang sama (Rachman et al., 2002), terlihat bahwa tingkat profitabilitas usahatani cabai merah dan cabai keriting jauh lebih tinggi. Profitabilitas finansial usahatani padi di Kediri menurut musim dan tipe irigasi berkisar antara 15,6 26,6 persen dari penerimaan (secara nominal berkisar antara Rp 0,94 Rp 1,7 juta per ha), sementara di Agam berkisar antara 17,7 32,3 persen atau secara nominal antara Rp 0,72 Rp 1,5 juta per hektar. 55

Tabel 2. Tingkat Profitabilitas Finansial Komoditas Hortikultura di Kabupaten Terpilih, MH 2000/2001, MK I 2001 dan MK II 2001 Uraian Penerimaan Keuntungan Total Biaya (Rp) (Rp) (Rp) (%) 1) Bawang merah, Indramayu MH, 2000/2001 28.325.547 20.279.726 8.045.821 28,4 MK I, 2001 25.462.106 18.344.803 7.117.303 28,0 MK II, 2001 29.166.621 18.791.928 10.374.693 35,6 Bawang merah, Majalengka Sedang MK I, 2001 15.000.000 11.969.052 3.030.948 20,2 MK II, 2001 25.277.778 11.656.111 13.621.667 53,9 Cabai merah, Kediri MH, 2000/2001 26.218.784 13.088.829 13.129.955 50,1 MK I, 2001 24.990.000 12.941.528 12.048.472 48,2 MK II, 2001 17.155.013 11.781.910 5.373.103 31,3 MH, 2000/2001 18.388.398 8.467.060 9.921.338 54,0 MH, 2000/2001 22.059.702 9.681.815 12.377.887 56,1 MK I, 2001 21.563.325 10.603.798 10.959.527 50,8 Cabai keriting, Agam MH, 2000/2001 16.294.096 8.133.029 8.161.067 50,1 Sedang MK I, 2001 23.563.272 12.397.162 11.185.764 47,5 MK II, 2001 22.970.145 12.052.240 10.917.905 47,5 MK I, 2001 17.363.160 10.798.984 6.564.176 37,8 MK I, 2001 16.671.506 7.730.896 8.940.610 53,6 Tomat, Agam MK I, 2001 10.402.416 7.652.980 2.749.436 26,4 MK II, 2001 6.270.950 3.325.581 2.945.369 47,0 MH, 2000/2001 10.500.000 8.601.291 1.898.709 18,1 MK I, 2001 16.047.300 13.000.586 3.046.714 19,0 MK II, 2001 8.141.310 6.140.154 2.001.156 24,6 MK I, 2001 11.104.205 4.672.973 6.431.232 57,9 MK II, 2001 10.778.208 4.771.240 6.006.968 55,7 Melon, Ngawi MK I, 2001 71.563.982 33.181.210 38.382.772 53,6 MK II, 2001 61.882.392 39.747.511 22.134.881 35,8 MK I, 2001 55.543.320 35.948.014 19.595.306 35,3 MK II, 2001 52.071.008 39.578.169 12.492.839 24,0 MK I, 2001 34.667.100 24.381.575 10.285.525 29,7 MK II, 2001 23.998.000 17.135.159 6.862.841 28,6 Sumber: Data primer (Diolah) 56

Tabel Lampiran 11 menginformasikan bahwa tingkat produktivitas cabai merah berkisar antara 3,9 7,3 ton per hektar. Namun demikian, tingkat produktivitas cabai merah yang tinggi ternyata tidak selalu diikuti dengan meningkatnya keuntungan usahatani. Usahatani cabai merah di tadah hujan, meskipun tingkat produktivitas lebih rendah dibandingkan dengan tingkat produktivitas pada tipe irigasi teknis dan sederhana, namun keuntungan yang diperoleh hampir sama dibandingkan dengan keuntungan pada irigasi teknis. Seperti telah dikemukakan di atas bahwa keuntungan selain dipengaruhi oleh tingkat produktivitas juga dipengaruhi oleh harga dan biaya usahatani. Berbeda dengan usahatani cabai merah di Kediri, tingkat produktivitas cabai keriting di Agam relatif lebih rendah, berkisar antara 3,1 4,2 ton per hektar (Tabel Lampiran 12). Khusus untuk cabai keriting di Agam, terdapat perbedaan harga antar lokasi, dimana harga cabai keriting di desa irigasi ½ teknis relatif lebih mahal dibandingkan tipe desa lainnya. Fenomena ini hanya terbatas pada konsumen yang mengenal kualitas cabai desa ini. Walaupun ada segmentasi pasar namun sampai saat ini belum ada permasalahan dalam pemasaran karena tingkat produksi yang masih relatif kecil. Secara umum biaya usahatani cabai merah di Kediri berkisar antara Rp 8,6 13,3 juta per hektar, sementara biaya usahatani cabai keriting di Agam berkisar antara Rp 7,9 Rp 12,5 juta per hektar. Rata-rata biaya produksi cabai merah di Kediri adalah 52,3 persen dari total penerimaan, sementara ratarata biaya usahatani cabai keriting di Agam sebesar 54,2 persen dari total penerimaan. Dari struktur biaya usahatani cabai merah, proporsi terbesar adalah biaya tenaga kerja berkisar antara 15,1 22,6 persen dan biaya sarana produksi (bibit, pupuk, pestisida) yang mencapai 9,1 persen hingga 23,9 persen dari total penerimaan, kecuali pada desa tadah hujan MK II (dimana biaya sarana produksi lebih tinggi dari biaya tenaga kerja). Tingginya biaya sarana produksi pada kasus terakhir disebabkan karena tingginya biaya pupuk, baik kimia maupun pupuk lain. Hal ini diduga karena petani ingin memperoleh produktivitas yang lebih tinggi dengan menambah tingkat penggunaan pupuk, hasilnya terlihat bahwa produktivitas pada MK II lebih tinggi dibandingkan dengan MK I. Apabila dibedakan antara biaya domestic factors dan tradable inputs, biaya untuk domestic factors relatif lebih besar dibandingkan dengan biaya tradable inputs namun bervariasi antar lokasi dan antar musim. Pada komoditas cabai, hal ini dikarenakan tingginya biaya tenaga kerja. Proporsi biaya tenaga kerja pada usahatani cabai merah di desa irigasi berkisar antara 16,3 22,6 persen, di desa irigasi sederhana pada MH sebesar 17,2 persen, sementara di desa tadah hujan sebesar 22,6 persen pada MH dan 15,1 pada MK I. Pada komoditas cabai keriting, proporsi biaya tenaga kerja di desa irigasi setengah teknis, sederhana dan tadah hujan hampir sama, yaitu berkisar antara 20,9 24,5 persen, sementara di desa irigasi teknis relatif kecil hanya 13,6 persen. Usahatani Tomat di Agam Tomat merupakan komoditas unggulan kedua setelah cabai keriting di Kabupaten Agam, menyebar di semua desa contoh kecuali desa irigasi 1/2 teknis. Profitabilitas finansial (return to management) usahatani tomat di Agam menurut musim berkisar antara 18,1 57,9 persen dari penerimaan (secara nominal berkisar antara Rp 1,9 Rp 6,4 juta per hektar). Secara nominal, tingkat keuntungan usahatani tomat memang lebih rendah dibandingkan dengan usahatani cabai keriting, namun masih lebih tinggi dibandingkan dengan usahatani padi. Tabel Lampiran 13 terlihat bahwa produktivitas tomat di Agam berkisar antara 13,1 21,8 ton per hektar. Namun demikian, tingkat produktivitas tomat yang lebih tinggi ternyata tidak selalu diikuti dengan meningkatnya keuntungan usahatani, hal ini terlihat pada usaha tani tomat di desa irigasi teknis pada MK I. Tingkat keuntungan, selain dipengaruhi oleh tingkat produktivitas juga dipengaruhi oleh harga dan biaya usahatani. Kasus usahatani tomat di desa irigasi teknis menunjukkan bahwa harga tomat di lokasi ini lebih rendah dibandingkan dengan lokasi lain. Hal ini antara lain disebabkan oleh: (1) tingkat aksesibilitas desa yang kurang baik dibandingkan desa contoh lain, sehingga biaya transportasi relatif lebih tinggi dan pada akhirnya mengakibatkan harga yang diterima petani lebih rendah; dan (2) fluktuasi harga yang relatif tinggi dan bersifat harian, sehingga perbedaan waktu panen akan memberikan harga yang berbeda. 57

Secara umum biaya usahatani tomat di Agam sekitar 42,8 83,3 persen dari total penerimaan (sekitar Rp 18,7 20,5 juta per hektar). Dari struktur biaya usahatani tomat, proporsi terbesar adalah biaya tenaga kerja yang berkisar antara 19,6 37,3 persen dari total penerimaan. Tingginya biaya tenaga kerja disebabkan karena tingginya tingkat penggunaan tenaga kerja, hal ini mengindikasikan bahwa usahatani tomat merupakan usahatani yang padat tenaga kerja. Apabila dibedakan antara biaya domestic factors dan tradable inputs, biaya domestic factors lebih tinggi dibandingkan dengan biaya tradable inputs, penyebabnya adalah tingginya biaya tenaga kerja. Usahatani Melon di Ngawi Melon merupakan komoditas unggulan di Kabupaten Ngawi, tingkat profitabilitas finansial usahataninya bervariasi menurut desa contoh dan musim. Di desa irigasi teknis mencapai 53,6 persen (Rp 38,4 juta per hektar) pada MK I dan 35.8 persen (Rp 22,1 juta per hektar) pada MK II. Di desa irigasi sederhana berkisar antara 35,3 persen (Rp 19,6 juta per hektar) pada MK I dan 24,0 persen (Rp 12,5 juta per hektar) pada MK II, di desa tadah hujan mencapai 29,7 persen (Rp 10,3 juta per hektar) pada MK I dan 28,6 persen (Rp 6,9 juta per hektar) pada MK II. Terdapat variasi tingkat keuntungan menurut tipe irigasi, semakin baik ketersediaan air semakin tinggi pula tingkat keuntungan. Dari sisi produktivitas, juga terdapat indikasi korelasi positif antara tingkat produktivitas dengan ketersediaan air, atau tingkat produktivitas melon di desa irigasi teknis lebih tinggi dibandingkan dengan produktivitas dari desa irigasi sederhana dan tadah hujan (Tabel Lampiran 14). Secara umum biaya usahatani melon di Ngawi berkisar antara 17,1 39,7 persen dari total penerimaan (sekitar Rp 6,9 38,4 juta per hektar). Proporsi biaya usahatani terhadap total penerimaan di desa irigasi teknis berbeda antar musim, yaitu 46,4 persen pada MK I dan 64,2 persen pada MK II. Hal ini disebabkan adanya variasi penerimaan dan biaya antar musim. Dari struktur biaya usahatani melon, proporsi terbesar adalah biaya sarana produksi yang mencapai 31,6 persen dengan kisaran antara 21,1 38,5 persen dari total penerimaan, kecuali di desa irigasi sederhana pada MK II, dimana proporsi biaya tenaga kerja lebih besar dibandingkan biaya sarana produksi. Sementara itu, rataan proporsi biaya tenaga kerja sebesar 24,5 persen dengan variasi antara 16,0 33,5 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa usahatani melon merupakan usahatani yang padat modal dan juga padat tenaga kerja. Dibedakan antara biaya domestic factors dan tradable inputs, biaya domestic factors sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan biaya tradable inputs, walaupun secara rataan biaya sarana produksi lebih tinggi (kecuali di desa tadah hujan pada MK II). Namun, komponen biaya domestic factors selain biaya tenaga kerja adalah modal (biaya irigasi, pajak dan lainnya ditambah bunga modal) dan sewa lahan. Proporsi biaya modal berkisar antar 3,6 6,4 persen dari total penerimaan, sementara secara rataan perbedaan antara proporsi biaya sarana produksi dan tenaga kerja tidak terlalu besar, sehingga mengakibatkan biaya domestic factors lebih tinggi dibandingkan biaya tradable inputs. Profitabilitas Ekonomi Perhitungan profitabilitas ekonomi pada kajian ini didasarkan pada kondisi tidak ada kebijakan pemerintah dalam usahatani hortikultura atau tanpa adanya distorsi pasar, sehingga harga input-output yang berlaku mencerminkan harga sosial yang sebenarnya (social price). Analisis usahatani hortikultura dengan menggunakan harga ekonomi disajikan pada Tabel 3. Secara umum, profitabilitas ekonomi komoditas hortikultura lebih besar dari nol, berarti usahatani komoditas tersebut memperoleh keuntungan atas biaya normal yang dihitung berdasarkan harga sosial. Di antara lima komoditas hortikultura unggulan yang dikaji, secara rataan komoditas cabai merah di Kediri dan melon di Ngawi mempunyai tingkat keuntungan sosial lebih tinggi dibandingkan komoditas lainnya. Tingkat profitabilitas ekonomi usahatani bawang merah di Indramayu menurut musim berkisar antara 17,0 31,1 persen dari penerimaan (secara nominal berkisar antara Rp 3,9 Rp 7,9 juta per hektar), terendah pada MH dan tertinggi pada MK I. Sementara itu, tingkat profitabilitas ekonomi komoditas bawang merah di Majalengka sebesar 19,7 persen pada MK I dan 31,9 persen pada MK II. Dibandingkan dengan tingkat profitabilitas finansial, pada MK I maupun MK II profitabilitas ekonomi usahatani bawang merah di Majalengka lebih rendah. Hal ini disebabkan perbedaan harga sosial (Rp 2.827 dan Rp 2.479/kg) dan harga aktual (Rp 3.000 dan Rp 3.900/kg) yang tinggi. 58

Tabel 3. Tingkat Profitabilitas Ekonomi Komoditas Hortikultura di Kabupaten Terpilih, MH 2000/2001, MK I 2001 dan MK II 2001 Uraian Penerimaan Total Biaya Keuntungan (Rp) (Rp) (Rp) (%) 1) Bawang merah, Indramayu - MH, 2000/2001 22.833.396 18.962.208 3.871.188 17,0 - MK I, 2001 25.281.182 17.422.366 7.858.816 31,1 - MK II, 2001 24.338.463 17.634.086 6.704.378 27,5 Bawang merah. Majalengka Sedang - MK I, 2001 14.133.040 11.352.898 2.780.142 19,7 - MK II, 2001 16.069.452 10.941.300 5.128.152 31,9 Cabai merah, Kediri - MH, 2000/2001 26.218.784 12.473.010 13.745.774 52,4 - MK I, 2001 24.990.000 12.427.905 12.562.095 50,3 - MK II, 2001 17.155.013 11.405.535 5.749.478 33,5 - MH, 2000/2001 18.388.398 8.339.037 10.049.361 54,7 - MH, 2000/2001 22.059.702 9.113.693 12.946.009 58,7 - MK I, 2001 21.563.325 9.814.548 11.748.777 54,5 Cabai keriting, Agam - MH, 2000/2001 16.294.096 7.160.566 9.133.530 56,1 Sedang - MK I, 2001 23.563.272 11.484.166 12.079.106 51,3 - MK II, 2001 22.970.145 11.457.669 11.512.476 50,1 - MK I, 2001 17.363.160 10.070.900 7.292.260 42,0 - MK I, 2001 16.671.506 7.436.643 9.234.863 55,4 Tomat, Agam - MK I, 2001 10.402.416 7.146.968 3.255.448 31,3 - MK II, 2001 6.270.950 3.201.906 3.069.044 48,9 - MH, 2000/2001 10.500.000 7.759.063 2.740.937 26,1 - MK I, 2001 16.047.300 12.166.411 3.880.889 24,2 - MK II, 2001 8.141.310 5.739.634 2.401.676 29,5 - MK I, 2001 11.104.205 4.491.283 6.612.922 59,6 - MK II, 2001 10.778.208 4.518.265 6.259.943 58,1 Melon, Ngawi - MK I, 2001 71.563.982 30.803.797 40.760.185 57,0 - MK II, 2001 61.882.392 35.456.032 26.426.360 42,7 - MK I, 2001 55.543.320 33.387.007 22.156.313 39,9 - MK II, 2001 52.071.008 36.582.984 15.488.024 29,7 - MK I, 2001 34.667.100 22.891.083 11.776.017 34,0 - MK II, 2001 23.998.000 15.451.763 8.546.237 35,6 Sumber: Data primer (diolah) 59

Tingkat profitabilitas ekonomi usahatani cabai, baik cabai merah di Kediri maupun cabai keriting di Agam lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat profitabilitas finansial. Tingkat profitabilitas ekonomi usahatani cabai merah di Kediri berkisar antara 33,5 58,7 persen dari total penerimaan (Rp 5,7 Rp 13,7 juta per hektar), sedangkan profitabilitas finansial usahatani cabai merah berkisar antara 31,3 56,1 persen dari penerimaan (secara nominal berkisar antara Rp 5,2 Rp 12,9 juta per hektar). Sementara tingkat profitabilitas ekonomi usahatani cabai keriting di Agam berkisar antara 42,0 56,1 persen dari total penerimaan (Rp 7,3 Rp 12,1 juta per hektar) lebih tinggi dibandingkan tingkat keuntungan finansial yang berkisar antara 37,8 53,6 persen atau secara nominal antara Rp 6,5 Rp 11 juta per hektar. Tingkat profitabilitas ekonomi usahatani tomat di Agam berkisar antara 24,2 59,6 persen dari total penerimaan (Rp 2,4 Rp 6,6 juta per hektar) lebih tinggi dibandingkan dengan profitabilitas finansial yang berkisar antara 18,1 57,9 persen dari penerimaan (secara nominal berkisar antara Rp 1,9 Rp 6,4 juta per hektar). Sedangkan tingkat profitabilitas ekonomi usahatani melon di Ngawi berkisar antara 29,7 57,0 persen (Rp 11,8 Rp 40,8 juta per hektar) lebih tinggi dibandingkan dengan profitabilitas finansial yang berkisar antara 24,0 53,6 persen dari total penerimaan (Rp 6,9 Rp 38,4 juta per hektar). KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF Keunggulan Komparatif Bawang Merah. Hasil analisis PAM, menunjukkan bahwa pengusahaan bawang merah di Kabupaten Indramayu dan Majalengka, memiliki tingkat efisiensi ekonomi yang relatif tinggi, terutama untuk MK II. Hal ini tercermin dari nilai DRCR < 1. Di Kabupaten Indramayu koefisien DRCR berkisar 0,55 0,72, sementara di Kabupaten Majalengka pada MK I dan MK II masing-masing diperoleh nilai koefisien DRCR sebesar 0,71 dan 0,54 (Tabel 4). Dengan demikian, komoditas bawang merah di Kabupaten Indramayu (MH, MK I dan MK II) serta di Kabupaten Majalengka (MK I dan MK II) memiliki prospek untuk dikembangkan. Hal ini senada dengan hasil analisis yang dilakukan Saptana et al. (2001) di Kabupaten Brebes pada MH dan MK masing-masing diperoleh nilai koefisien DRCR sebesar 0.50 dan 0,34. Cabai Merah dan Cabai Keriting. Hasil analisis PAM yang disajikan pada Tabel 4 menunjukkan bahwa usahatani cabai merah di Kabupaten Kediri, dan cabai keriting di Kabupaten Agam, memiliki keunggulan komparatif yang ditunjukkan oleh besaran nilai koefisien DRCR <1. Di Kediri nilai koefisien DRCR berkisar antara 0,33 0,62. Kecenderungan yang sepola terlihat untuk usahatani cabai keriting di Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Di desa irigasi teknis pada MH diperoleh nilai koefisien DRCR sebesar 0.34, untuk desa irigasi ½ teknis pada MK I dan MK II masing-masing diperoleh nilai koefisien DRCR sebesar 0,41 dan 0,44, sedangkan untuk desa irigasi sederhana dan tadah hujan pada MK I masing-masing diperoleh nilai koefisien DRCR sebesar 0,50 dan 0,40. Sebagai pembanding hasil penelitian Saptana et al. (2001) untuk komoditas cabai merah di Kabupaten Brebes Jawa Tengah dan cabai keriting di Simalungun, Sumatera Utara pada MK masing-masing diperoleh nilai DRCR sebesar 0,26 dan 0,55. Dengan membandingkan indikator keunggulan komparatif tersebut, maka nampak bahwa dalam usahatani cabai merah di Kabupaten Kediri, Jawa Timur dan cabai kritingdi Kabupaten Agam, Sumatera Barat keduanya memiliki pola resistensi terhadap kebijakan pemerintah. Artinya, baik ada ataupun tidak ada kebijakan pemerintah, pengusahaan usahatani cabai merah dan cabai keriting di kedua lokasi penelitian layak dikembangkan. Tomat. Hasil analisis keunggulan komparatif usahatani tomat di Kabupaten Agam Sumatera Barat memberikan gambaran yang relatif sama. Di desa irigasi teknis pada MK I dan MK II masing-masing diperoleh nilai DRCR sebesar 0,62 dan 0,47, untuk desa irigasi sederhana pada MH, MK I dan MK II masing-masing diperoleh nilai koefisien DRCR sebesar 0,68; 0,69 dan 0,65, sedangkan untuk desa lahan sawah tadah hujan pada MK I dan MK II masing-masing diperoleh nilai koefisien DRCR sebesar 0,33 dan 0,35. Kenyataan ini menunjukkan bahwa secara ekonomi usahatani tomat di Kabupaten Agam, Sumatera Barat memiliki daya saing dan berpotensi dikembangkan. Melon. Hasil analisis keunggulan komparatif usahatani melon menurut tipe lahan dan 60

61

62

musim di tingkat petani di lokasi penelitian Kabupaten Ngawi, Jawa Timur dapat dilihat pada Tabel 4. Hasil analisis pada berbagai jenis lahan dan musim di Kabupaten Ngawi diperoleh nilai koefisien DRCR<1. Sebagai ilustrasi, untuk desa irigasi teknis pada MK I dan MK II masingmasing diperoleh nilai koefisien DRCR sebesar 0,30 dan 0,43. Sedangkan untuk desa irigasi sederhana pada MK I dan MK II masing-masing diperoleh nilai koefisien DRCR sebesar 0,45 dan 0,60. Sementara itu, hasil analisis keunggulan komparatif komoditas melon untuk lahan sawah tadah hujan pada MK I dan MK II, masing-masing diperoleh nilai koefisien DRCR sebesar 0,53 dan 0,47. Nilai DRCR yang berkisar antara 0,30 0,60 menunjukkan pengusahaan usahatani melon mempunyai keunggulan komparatif. Artinya untuk menghasilkan satu-satuan nilai tambah output pada harga sosial hanya diperlukan korbanan 0,30 0,60 satuan biaya sumberdaya domestik, sehingga akan lebih menguntungkan apabila pemenuhan kebutuhan melon di dalam negeri dipenuhi dari peningkatan produksi dalam negeri. Keunggulan Kompetitif Bawang Merah. Dari hasil analisis PAM, menunjukkan bahwa usahatani bawang merah di Indramayu pada MH, MK I dan MK II serta di Majalengka pada MK I dan MK II memiliki keunggulan kompetitif. Hal ini ditunjukkan oleh nilai koefisian PCR<1. Di Indramayu pada MH, MK I dan MK diperoleh nilai koefisien PCR masing-masing 0.57; 0.58; dan 0.47. Sementara itu di Majalengka pada MK I dan MK II masing-masing diperoleh nilai koefisien PCR 0.70 dan 0.31. Hasil tersebut masih sejalan dengan hasil analisis Saptana et al. (2001) di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah pada MH dan MK diperoleh nilai koefisien PCR masingmasing sebesar 0,503 dan 0,370 dan di Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara untuk MH dan MK nillai PCR sebesar 0,404 dan 0,786. Di kabupaten Indramayu indikator keunggulan kompetitif pada MK II sedikit lebih baik dibanding dengan MH dan MK I. Hal ini dapat dijelaskan bahwa pengusahaan bawang merah di persawahan pada MH tingkat risiko kegagalan panen akibat serangan hama dan penyakit terutama cendawan lebih tinggi. Disamping itu juga bahwa kondisi pasar input pada musim hujan, khususnya harga pupuk biasanya meningkat disebabkan permintaan yang tinggi terutama pupuk Urea. Apabila dibandingkan, keunggulan kompetitif di Kabupaten Indramayu lebih baik untuk MK I tetapi pada MK II Kabupaten Majalengka memiliki keunggulan kompetitif yang lebih baik. Hal ini antara lain disebabkan oleh: (a) Kabupaten Indramayu mempunyai aksesibilitas yang lebih baik untuk tujuan pasar ke pasar Induk Kramatjati dan dikenal sebagai salah satu sentra produksi bawang merah, sehingga panen pada MH dan MK I di Kabupaten Indramayu mempunyai jaringan pasar lebih luas; (b) Kondisi sarana dan prasarana (kios pupuk, pestisida dll) lebih mudah dijangkau, sehingga petani membayar harga input produksi sedikit lebih rendah; (c) Hasil analisis yang bersifat kebalikan untuk MK II berkaitan dengan produksi yang terbatas dan untuk hasil panen Kabupaten Majalengka relatif terserap di pasar lokal. Cabai Merah dan Cabai Keriting. Hasil analisis PAM pada Tabel 4 menunjukkan bahwa usahatani cabai merah di Kabupaten Kediri, Jawa Timur pada berbagai tipe irigasi dan musim memiliki keunggulan kompetitif, yang ditunjukkan oleh nilai koefisien PCR <1. Nilai PCR yang berkisar antara 0,33 0,62 menunjukkan bahwa komoditas cabai merah di Kabupaten Kediri memiliki keunggulan kompetitif, karena untuk menghasilkan nilai tambah satu-satuan output pada harga privat diperlukan 0,33 0,62 satuan sumberdaya domestik. Sebagai pembanding hasil penelitian Saptana et al. (2001) di Kabupaten Brebes Jawa Tengah untuk cabai merah pada MK diperoleh nilai koefisien PCR sebesar 0,232. Hasil analisis PAM pada Tabel 4 menunjukkan bahwa usahatani cabai keriting di Kabupaten Agam, Sumatera Barat memberikan gambaran yang relatif sama. Usahatani cabai keriting pada berbagai tipe irigasi dan musim memiliki keunggulan kompetitif, yang ditunjukkan oleh nilai koefisien PCR<1. Nilai PCR berkisar antara 0,37 0,53 menunjukkan bahwa komoditas cabai keriting di Kabupaten Agam memiliki keunggulan kompetitif, karena untuk menghasilkan satu-satuan nilai tambah output pada harga privat diperlukan biaya sumberdaya domestik 0,37 0,53 satuan. Sebagai pembanding hasil penelitian Saptana et al. (2001) di Kabupaten Simalungun Sumatera Utara untuk cabai keriting pada MH dan MK masing-masing 63

diperoleh nilai koefisien PCR sebesar 0,307 dan 0,461. Apabila dibandingkan antar lokasi, antar tipe lahan, dan antar musim maka secara umum dapat ditarik beberapa kesimpulan pokok sebagai berikut : (a) Usahatani cabai merah di Kabupaten Kediri dan cabai keriting di Kabupaten Agam memiliki keunggulan kompetitif yang hampir sama; (b) Meskipun kondisi sarana dan prasarana ekonomi di Kediri Jawa Timur lebih baik dibandingkan di Agam Sumatera Barat, sehingga petani di Kediri lebih mudah menjangkau pasar input dan output, namun permintaan output cabai keriting di Sumatera Barat secara tradisional cukup tinggi sehingga meskipun petani membayar harga input produksi sedikit lebih tinggi tetapi petani memperoleh harga output yang relatif tinggi; (c) Ketersediaan tenaga kerja di Kediri Jawa Timur lebih tinggi dibandingkan di Agam Sumatera Barat, sehingga upah tenaga kerja di Kediri relatif lebih rendah; (d) Kelembagaan dan mekanisme pasar tenaga kerja di Kediri Jawa Timur relatif lebih bersaing, sehingga tingkat upah lebih kompetitif dibandingkan di Agam Sumatera Barat. Tomat. Hasil analisis PAM pada Tabel 4 menunjukkan bahwa usahatani tomat di Kabupaten Agam, Sumatera Barat pada berbagai tipe irigasi dan musim memiliki keunggulan kopetitif, yang ditunjukkan oleh nilai koefisien PCR<1. Nilai PCR yang berkisar antara 0,34 0,76 menunjukkan bahwa komoditas tomat di Kabupaten Agam memiliki keunggulan kompetitif, karena untuk menghasilkan satu-satuan nilai tambah output pada harga privat diperlukan korbanan biaya sumberdaya domestik 0,34 0,76 satuan. Apabila dibandingkan antar tipe lahan dan antar musim, secara umum dapat dikemukakan beberapa hal berikut: (a) Usahatani tomat mempunyai keunggulan kompetitif justru pada lahan sawah tadah hujan, kemudian menyusul pada lahan irigasi teknis, dan terakhir pada lahan sawah irigasi sederhana, hal ini nampaknya sangat berkaitan dengan baik buruknya sistem drainase; (b) Jika dibandingkan antar musim maka secara umum keunggulan kompetitif yang dimiliki pada MK lebih baik dibandingkan pada MH, karena produktivitas tomat pada MH lebih rendah dan biaya tenaga kerja yang relatif tinggi dibanding pada MK. Melon. Hasil analisis keunggulan kompetitif usahatani melon di pedesaan contoh Ngawi diperoleh koefisien PCR<1 (Tabel 4). Untuk desa irigasi teknis pada MK I dan MK II masingmasing diperoleh nilai koefisien PCR 0,32 dan 0,48. Untuk desa irigasi sederhana pada MK I dan MK II masing-masing diperoleh nilai koefisien PCR sebesar 0,49 dan 0,66. Sementara itu, untuk lahan sawah tadah hujan pada MK I dan MK II masing-masing diperoleh nilai koefisien PCR sebesar 0,57 dan 0,53. Hasil analisis PCR yang berkisar antara 0,32-0,66 mengandung arti bahwa untuk menghasilkan satu-satuan nilai tambah output pada harga privat di perlukan 0,32 0,66 satuan. Usahatani melon di Ngawi memberikan keuntungan finansial yang relatif tinggi, namun dalam pengusahaannya membutuhkan modal yang cukup tinggi dan ketrampilan dalam teknik budidaya. Berdasarkan uraian di atas terlihat bahwa semua komoditas yang dianalisis memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif yang cukup tinggi baik untuk tujuan pasar domestik maupun ekspor. Tantangan yang dihadapi Indonesia adalah pasar ekspor komoditas hortikultura Indonesia yang tidak menunjukkan peningkatan yang signifikan dalam dekade terakhir. Hal ini diduga berkaitan dengan hal-hal berikut: (1) struktur penguasaan lahan petani yang relatif kecil sehingga sulit memenuhi kontinuitas pasokan dan kualitas produk sesuai tuntutan pasar dunia, dan (2) adanya distorsi di pasar input, hasil analisis menunjukkan petani harus membayar harga input 9 38 persen lebih mahal dari yang seharusnya yang menyebabkan biaya produksi menjadi lebih mahal, dan berakibat menurunkan daya saing di pasar dunia. Proteksi Input KEBIJAKAN INSENTIF Liberalisasi perdagangan dan keterbukaan pasar telah merasuk dalam pasar input pertanian, khususnya pupuk dan pestisida. Pada kondisi demikian secara teoritis harga pupuk dan pestisida domestik akan sama dengan harga di pasar internasional. Namun demikian, karena sistem pemasaran dan distribusi dari input pertanian tersebut belum sepenuhnya efisien menyebabkan adanya distorsi pasar. Hal ini terlihat dari fakta bahwa secara umum petani (hortikultura) membayar input tradable lebih mahal dari yang seharusnya dibayar (harga di pasar internasional). Fenomena tersebut terindikasikan oleh besarnya nilai Nominal 64

Protection Coefficient on Input (NPCI) besar dari satu (Tabel 4). lebih Bawang Merah. Untuk usahatani bawang merah di Indramayu dan Majalengka, petani membayar sekitar 8 11 persen tradable input lebih mahal dari yang seharusnya dibayar (Tabel 4). Relatif tingginya NPCI pada MH dan MK II pada usahatani bawang merah di Indramayu diduga akibat tingginya permintaan penggunaan input terutama pupuk urea, hal ini berpengaruh terhadap harga input di tingkat petani. Apabila dirinci menurut jenis input menunjukkan bahwa secara umum petani bawang merah di Indramayu dan Majalengka membayar masing-masing jenis input (pupuk) di MK I sedikit lebih rendah dibanding pada MH dan MK II. (Tabel 4). Fenomena ini selain disebabkan oleh tingginya permintaan pada MH yang menyebabkan harga relatif lebih tinggi, juga disebabkan pada MK I besaran nilai tukar rupiah pada periode MK I yang tinggi terhadap dolar. Untuk input bibit, petani bawang merah di Indramayu dan Majalengka membayar harga bibit sama dengan harga di pasar internasional. Sedangkan untuk input pupuk kimia secara keseluruhan, petani bawang merah di Indramayu dan Majalengka membayar harga sekitar 7 87 persen lebih mahal dari harga di pasar internasional, dengan urutan jenis pupuk yang dibayar lebih tinggi masing-masing adalah NPK, KCL, ZA, urea, dan SP-36, walaupun demikian khusus untuk pupuk SP-36 petani bawang merah di Indramayu dan di Majalengka pada MK I petani membayar lebih rendah masingmasing 7 dan 2 persen dari harga yang seharusnya dibayar (Tabel 4). Untuk jenis pupuk NPK secara umum petani bawang merah di Indramayu dan Majalengka membayar sekitar 36 87 persen lebih mahal dari yang seharusnya. Cabai Merah. Untuk usahatani cabai merah di Kabupaten Kediri, petani membayar tradable input antara 12 26 persen lebih mahal dari harga yang seharusnya petani bayar (Tabel 4). NPCI sebesar 1,12 terjadi di desa dengan irigasi baik pada MK I, sementara NPCI sebesar 1,26 terjadi di desa tadah hujan pada MH. Apabila dirinci menurut jenis input, untuk pupuk Urea petani harus membayar 4 24 lebih mahal dari yang seharusnya, kecuali di desa iriga teknis dan tadah hujan pada MK I, petani membayar 1 dan 3 persen lebih rendah dari harga internasional. Untuk SP-36 petani cabai merah di desa irigasi teknis di Kediri pada MH harus membayar 11 persen lebih mahal, namun pada MK I dan MK II di desa yang sama dan di desa tadah hujan pada MK I petani membayar 2 5 persen lebih murah dari harga yang seharusnya dibayar (Tabel 4). Diantara jenis pupuk yang digunakan, tranfer input tertinggi yang harus ditanggung petani cabai merah di Kediri adalah pupuk NPK, diikuti oleh pupuk KCL, ZA dan urea. Apabila dilihat antar musim, pola konsisten terlihat bahwa petani cabai merah di Kediri pada MK I relatif membayar input yang lebih rendah dibanding pada MH dan MK II, seperti halnya petani bawang merah di Indramayu dan Majalengka, Hal ini erat kaitannya dengan tingginya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika pada MK I. Cabai Keriting. Nilai NPCI untuk usahatani cabai keriting di Kabupaten Agam berkisar antara 1,18 1,27, hal ini mengindikasikan bahwa petani cabai keriting di Agam membayar antara 18 37 persen tradable input lebih mahal dari yang seharusnya (harga di pasar internasional). Untuk usahatani cabai keriting, desa irigasi teknis memiliki nilai NPCI tertinggi, sementara petani cabai keriting di tipe desa lainnya hanya membayar 18 22 persen lebih mahal dari harga di pasar internasional. Data pada Tabel 4 dan 5 menunjukkan koefisien dan nilai input transfer menurut jenis input. Terlihat bahwa petani cabai keriting di Agam secara umum membayar pupuk NPK paling tinggi dibanding jenis pupuk lainnya. Nilai transfer input untuk jenis pupuk NPK berkisar antara Rp 20 ribu sampai Rp 272 ribu. Sedangkan untuk total pupuk kimia besaran transfer input tersebut sekitar Rp 218 ribu sampai Rp 884 ribu. Tomat. Untuk usahatani tomat di Kabupaten Agam, nilai NPCI bervariasi menurut desa dan musim dengan besaran nilai antar 1,11 1,37. Petani di desa tadah hujan pada MK I membayar tradable input 11 persen lebih tinggi dari yang seharusnya, sementara petani di desa irigasi sederhana pada MK II harus membayar 37 persen lebih mahal dari harga input di pasar internasional. Rentannya usahatani tomat terhadap serangan hama penyakit mendorong petani menggunakan input pupuk dan pestisida lebih tinggi (permintaan tinggi), sehingga mengakibatkan harga lebih tinggi, dan hal ini diduga turut menentukan besaran biaya tradable input yang harus dibayar petani pada musim tertentu. 65