BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Sudaryanto dan Melania Swetika Rini*

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. ditunjukkan oleh besarnya tingkat pemanfaatan lahan untuk kawasan permukiman,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan kota sebagai pusat pemukiman, industri dan perdagangan

PENDAHULUAN. banyaknya daerah yang dulunya desa telah menjadi kota dan daerah yang

BAB 3 TINJAUAN WILAYAH

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

2016 KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU BERD ASARKAN JUMLAH PEND UD UK D I KECAMATAN JATINANGOR KABUPATEN SUMED ANG

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Jumlah penduduk yang terus meningkat membawa konsekuensi semakin

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Aplikasi Penginderaan Jauh Untuk Monitoring Perubahan Ruang Terbuka Hijau (Studi Kasus : Wilayah Barat Kabupaten Pasuruan)

BAB I PENDAHULUAN. sumberdaya lahan (Sitorus, 2011). Pertumbuhan dan perkembangan kota

I. PENDAHULUAN. Keberadaan ruang terbuka hijau saat ini mengalami penurunan yang

I. PENDAHULUAN. Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sumber daya lahan yang terdapat pada suatu wilayah, pada dasarnya

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

q Tujuan dari kegiatan ini diperolehnya peta penggunaan lahan yang up-to date Alat dan Bahan :

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

A JW Hatulesila. Analisis Spasial Ruang Terbuka Hijau (RTH) untuk Penanganan Perubahan Iklim di Kota Ambon. Abstrak

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Tabel 1.1 Tabel Jumlah Penduduk Kecamatan Banguntapan Tahun 2010 dan Tahun 2016

METODE PENELITIAN. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 9. Peta Orientasi Wilayah Kecamatan Beji, Kota Depok

Gambar 13. Citra ALOS AVNIR

BAB I PENDAHULUAN. kondisi penggunaan lahan dinamis, sehingga perlu terus dipantau. dilestarikan agar tidak terjadi kerusakan dan salah pemanfaatan.

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kota diartikan sebagai suatu sistem jaringan kehidupan manusia yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Perubahan Penggunaan Tanah Sebelum dan Sesudah Dibangun Jalan Tol Ulujami-Serpong Tahun di Kota Tangerang Selatan

TINJAUAN PUSTAKA. Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o o LU. (perhitungan luas menggunakan perangkat GIS).

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3Perubahan tutupan lahan Jakarta tahun 1989 dan 2002.

BAB I PENDAHULUAN. Pertambahan penduduk daerah perkotaan di negara-negara berkembang,

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. lahan terbangun yang secara ekonomi lebih memiliki nilai. yang bermanfaat untuk kesehatan (Joga dan Ismaun, 2011).

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1. Persebaran Lahan Produksi Kelapa Sawit di Indonesia Sumber : Badan Koordinasi dan Penanaman Modal

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Sudaryanto 1), Melania Swetika Rini 2) *

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :

Analisis Perubahan Lahan Tambak Di Kawasan Pesisir Kota Banda Aceh

ke segala arah dan melepaskan panas pada malam hari. cukup pesat. Luas wilayah kota Pematangsiantar adalah km 2 dan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5.1 Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Wilayah Pengembangan Tegallega pada Tahun

I. PENDAHULUAN. Lahan merupakan salah satu faktor yang penting bagi kehidupan manusia. Lahan

INVENTARISASI SERAPAN KARBON OLEH RUANG TERBUKA HIJAU DI KOTA MALANG, JAWA TIMUR

IV. METODOLOGI PENELITIAN

BAB III TINJAUAN WILAYAH YOGYAKARTA

SKRIPSI. Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Derajat Sarjana S-1 Program Studi Geografi

INFORMASI RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) DI PROVINSI JAMBI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Letak Geografis. 08º00'27" Lintang Selatan dan 110º12'34" - 110º31'08" Bujur Timur. Di

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

III. METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan kota seringkali menyebabkan terjadinya perubahan kondisi ekologis lingkungan perkotaan yang

BAB III: DATA DAN ANALISA PERENCANAAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB III TINJAUAN WILAYAH KABUPATEN SLEMAN

BAB I PENDAHULUAN. Tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis jacq) merupakan tanaman yang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB III METODE PENELITIAN

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Bantul terletak pada Lintang Selatan dan 110

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 5. A. IDENTIFIKASI CITRA PENGINDERAAN JAUH a. Identifikasi Fisik

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

1 BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Kondisi Fisiografi

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pendahuluan 1. Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga

PEMANFAATAN CITRA PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK KAJIAN PERUBAHAN PENGGUNAN LAHAN DI KECAMATAN UMBULHARJO KOTA YOGYAKARTA

PENDAHULUAN Latar Belakang

ANALISIS KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU KECAMATAN KOTA TENGAH KOTA GORONTALO. Sri Sutarni Arifin 1. Intisari

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. 18% dari luas wilayah DIY, terbentang di antara 110 o dan 110 o 33 00

Oleh: Ari August Bagastya Program Studi Pendidikan Geografi Universitas Negeri Yogyakarta. ABSTRAK

Tabel 3 Kecamatan dan luas wilayah di Kota Semarang (km 2 )

BAB III: GAMBARAN UMUM LOKASI STUDI

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

INVENTARISASI DAN PENENTUAN KEMAMPUAN SERAPAN EMISI CO2 OLEH RUANG TERBUKA HIJAU DI KABUPATEN SIDOARJO, JAWA TIMURM

BAB I PENDAHULUAN. penyedia fasilitas pelayanan bagi masyarakat. Lingkungan perkotaan merupakan

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi

BAB III TINJAUAN LOKASI Studio Foto Sewa di Kota Yogyakarta

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321


BAB III TINJAUAN WILAYAH

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Kota-kota di Indonesia saat ini berkembang sangat pesat, hal ini tidak terlepas dari pengaruh pertumbuhan penduduk sebagai dampak dari arus urbanisasi. Kenyataan tersebut tentu akan membebani kota-kota ke depan, karena semakin banyaknya penduduk yang tinggal di daerah perkotaan maka kebutuhan akan kawasan-kawasan hunian baru meningkat. Kawasan-kawasan hunian tersebut pada kenyataannya membutuhkan prasarana dan sarana dasar seperti, permukiman, jalan, fasilitas pendidikan, air bersih, sanitasi, persampahan, listrik, telekomunikasi dan sebagainya. Pemenuhan sarana dan prasarana di atas memerlukan lahan untuk pembangunan dan pengembangannya. Kebutuhan lahan yang semakin tinggi di kota menyebabkan tekanan atas lahan semakin tinggi. Samsoedin, et al., (2006) menyebutkan bahwa pembangunan infrastruktur perkotaan di Indonesia menunjukkan perencanaan yang kurang baik. Pembangunan gedung perkantoran, perbelanjaan, sekolah, perumahan, pabrik, dan sebagainya kurang memperhatikan aspek tata ruang kota. Kebutuhan akan pembangunan infrastruktur dan terbatasnya ketersediaan lahan tampaknya akan menjadi salah satu faktor terjadinya disintegrasi dalam pembangunan di perkotaan. Konsekuensi logis atas keadaan tersebut adalah menyempitnya lahan untuk ruang terbuka hijau (RTH). Pembangunan dan pengembangan kota cenderung mengarah pada penggunaan lahan untuk memenuhi kebutuhan dan meningkatkan pelayanan pada penduduk kota. Pembangunan tersebut dilakukan karena lebih memberikan keuntungan secara ekonomis dibandingkan dengan keberadaan vegetasi, sehingga posisi RTH dikesampingkan dan kadangkala RTH yang ada di perkotaan hanya mengisi lahanlahan sisa yang ada di perkotaan. Menurut Irwan (2005) pembangunan fisik yang ada di perkotaan setiap tahunnya mengalami peningkatan sehingga mengakibatkan semakin berkurangnya RTH di perkotaan dan bahkan mengalami kecenderungan gejala pembangunan antiruang di perkotaan. RTH merupakan aspek yang perlu diperhitungkan dan diprioritaskan dalam pembangunan di kawasan perkotaan, hal ini dimaksudkan supaya tidak terancam 1

eksistensinya. RTH mempunyai peranan yang penting dalam tata ruang kota karena manfaatnya yang besar untuk kenyamanan kota, kesehatan penduduk, masa depan kota beserta keberlangsungannya dan sekaligus sebagai penyedia oksigen. Menurut Fandeli (2004) RTH kota merupakan bagian dari penataan ruang perkotaan yang berfungsi sebagai kawasan lindung. Kawasan hijau kota terdiri atas pertamanan kota, kawasan hijau hutan kota, kawasan hijau rekreasi kota, kawasan hijau kegiatan olahraga, kawasan hijau pekarangan. RTH diklasifikasi berdasarkan status kawasan, bukan berdasarkan bentuk dan struktur vegetasinya. Menurut Undangundang R I No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dinyatakan bahwa proporsi RTH pada wilayah perkotaan paling sedikit 30% dari luas wilayah keseluruhan. Keberadaan undang-undang mengenai penataan ruang tersebut kenyataannya belum sepenuhnya menjadikan RTH sesuai dengan proporsi yang sudah ditetapkan. Permasalahan RTH yang terjadi bisa dilihat di beberapa kota besar yakni Jakarta, Semarang, Bandung dan Surabaya. Kondisi yang sangat memprihatinkan yang dialami Kota Jakarta yakni ketersediaan RTH hanya 9,8% dari luas wilayahnya (66.152 ha) (Kompas, tanggal 25 April 2011). Berkurangnya RTH ini dipicu oleh pesatnya perkembangan Kota Jakarta sebagai urban life. Kondisi RTH lebih memprihatinkan lagi terjadi pada Kota Semarang, luas RTH hanya menempati area seluas 7,5% dari luas wilayahnya (37.370, 39 ha) (Koran Tempo 12 Desember 2012). Berkurangnya RTH di Kota Semarang disebabkan oleh alih fungsi lahan yakni menjadi lahan industri antara tahun 2003-2007 sebanyak 9,45%, konversi RTH menjadi perumahan sebanyak 29,59% (Sri Hartini, Harintaka dan Istarno, 2008). Sementara menurut Ernady Syaodih dan Weisyaguna (2011) RTH di Kota Bandung menempati area seluas 1,678.27 ha (10,03%) dari luas wilayah (16,729 ha). Permasalahan utama dalam penaatan, pemeliharaan dan pengembangan RTH di Kota Bandung adalah minimnya sarana dan prasarana pemeliharaan, keterbatasan jumlah sumber daya manusia (SDM), khususnya petugas lapangan, mengingat luasnya Kota Bandung dan kompleksitas permasalahan di Kota Bandung. Di Kota Bandung telah terjadi konversi hutan lindung menjadi lahan permukiman sebanyak 12,9% pada tahun 2008. Fenomena lain terjadi di Kota Surabaya, dimana untuk luasan RTH baru mencapai 20,18% dari total luas wilayahnya yakni seluas 1.479,18 ha. Penyebab utama kurangnya RTH ini karena adanya pembangunan untuk sarana prasarana 2

penduduk sehingga RTH terkesampingkan peranannya (www.kompas.com, tanggal 24 Juli 2013 ). Gejala sebagaimana diuraikan di atas bahwa keberadaan RTH di kota seringkali tergeserkan oleh pembangunan fisik kota dan masih kurangnya luasan RTH, terjadi pula di kota-kota lainnya, oleh karena itu perlu dilakukan kajian penelitian serupa di daerah lain terkait dengan RTH. Permasalahan nyata terkait dengan RTH juga terjadi di Kota Yogyakarta, sehingga perlu dilakukan penelitian mengingat Yogyakarta menjadi kota tujuan wisata dan pendidikan dengan luas wilayah 32,5 Km 2 (3.250 ha) dan jumlah penduduk pada tahun 2009 sebesar 462.752 orang. Terjadi peningkatan jumlah penduduk pada tahun 2009 yaitu sebesar 1,27% (BPS DIY 2009). Konsekuensi dari pertambahan penduduk dan pemenuhan kebutuhan hunian adalah terjadinya perubahan penggunaan lahan. Penggunaan lahan untuk perumahan pada tahun 2009 mengalami peningkatan sebesar 1,981 ha sehingga jumlahnya mencapai 2.106,338 ha. Sementara lahan pertanian pada tahun 2009 seluas 130,029 ha dan mengalami pengurangan sebesar 4,023 ha. Terjadi konversi lahan pertanian ke non pertanian pada tahun 2009 sebesar 19,01% (BPN Kota Yogyakarta, 2009). Perubahan keruangan ini juga terjadi pada daerah pinggiran Kota Yogyakarta, dimana daerah tersebut secara fisik mempunyai ciri kekotaan. Kabupaten Bantul dan Sleman, pada tahun 2010 terjadi perubahan penggunaan lahan dari lahan pertanian menjadi lahan non pertanian. Terjadi kenaikan perubahan penggunaan lahan di Kabupaten Bantul, dari yang semula 39,419 ha naik menjadi 52,2708 ha (24,54%). Sementara di Kabupaten Sleman mengalami kenaikan sebesar 58,11% yakni dari 21,002 ha menjadi 50,225 ha. Berbeda dengan Kota Yogyakarta, terjadi perubahan penggunaan lahan yang relatif lebih kecil, yakni hanya 2,55% (dari 5,865 ha menjadi 6,0182 ha) (sumber: BPN Yogyakarta, 2012). Dinamika penduduk Kota Yogyakarta yang cukup tinggi mempengaruhi dinamika penggunaan lahan kota dan harus diantisipasi oleh pemerintah dengan berbagai langkah pembangunan. Penduduk kota yang tumbuh dengan cepat memerlukan tempat tinggal dan sarana pendukungnya. Dampak dari kebutuhan lahan untuk permukiman penduduk adalah konversi lahan pertanian, pekarangan, lahan 3

kosong, dan lain-lain yang pada umumnya berupa RTH. Antisipasi perlu dilakukan supaya perkembangan lahan non pertanian tidak mengurangi fungsi RTH. Salah satu dampak dari berkurangnya RTH di kawasan perkotaan adalah berkurangnya suplai oksigen karena salah satu fungsi RTH adalah mengubah karbondioksida menjadi oksigen. Jika penduduk yang terus tumbuh dengan jumlah yang semakin besar, tetapi tidak diimbangi oleh RTH yang mencukupi, maka penduduk kota akan merasa tidak nyaman. Jumlah oksigen yang dihasilkan oleh RTH dan jumlah oksigen yang dibutuhkan sangat penting diketahui guna menunjang kualitas hidup penduduk kota. Semakin banyak jumlah RTH berimplikasi pada jumlah oksigen yang dihasilkan menjadi bertambah banyak. Informasi mengenai oksigen yang dihasilkan oleh RTH tersebut dapat digunakan untuk mengetahui apakah RTH yang sudah ada dapat memenuhi kebutuhan oksigen saat ini dan tahuntahun yang akan datang atau belum. Untuk mengetahui kondisi RTH aktual secara cepat dan akurat pada kawasan perkotaan maka diperlukan teknologi penginderaan jauh dan Sistem Informasi Geografis (SIG). Citra penginderaan jauh membantu pengelolaan atau pengambil keputusan dibidang tata ruang kota, khususnya dalam pengelolaan RTH untuk menganalisis secara cepat dan akurat terhadap sebaran, luasan, dan model biofisik RTH. Data penginderaan jauh yang diintegrasikan dengan SIG berperan penting dalam perencanaan dan pengelolaan RTH yang aktual dan akurat. Indeks vegetasi MODIS menghasilkan informasi spasial dan perbandingan temporal dari kondisi vegetasi secara global sehingga dapat digunakan untuk kegiatan pemantauan kondisi vegetasi daratan dalam mendukung proses perkembangan, deteksi perubahan dan interpretasi biofisika. Permodelan dengan menggunakan SIG menawarkan suatu mekanisme yang mengintegrasikan berbagai jenis data (biofisik) yang digunakan dalam penelitian RTH. Monitoring kondisi RTH dalam satu decade dan prediksi ketercukupan luasan RTH berperan penting dalam menganalisis kondisi kesehatan masyarakat kota. Informasi kondisi RTH yang akurat dan aktual sangat dibutuhkan instansi terkait. Dalam penelitian ini citra yang akan digunakan adalah citra ALOS AVNIR- 2. Citra ALOS AVNIR-2 (Advanced Land Observing Satellite) adalah satelit milik Jepang yang merupakan satelit generasi lanjutan dari JERS-1 dan ADEOS yang 4

dilengkapi dengan teknologi yang lebih maju, untuk memberikan kontribusi bagi dunia penginderaan jauh, terutama bidang pemetaan, pengamatan tutupan lahan secara lebih presisi dan akurat. Citra ini memiliki resolusi spasial 10 meter (resolusi menengah) diharapkan dapat memberikan informasi yang akurat mengenai RTH meskipun belum diketahui tingkat akurasinya dalam menyadap informasi RTH di Kota Yogyakarta dan sekitarnya sesuai kebutuhan penelitian. Untuk dapat memperoleh informasi mengenai suplai oksigen yang dihasilkan oleh RTH diperlukan setidaknya data mengenai luasan dan jenis RTH di daerah penelitian. Perolehan informasi melalui interpretasi data citra ALOS AVNIR-2 diharapkan dapat digunakan sebagai pijakan dalam perhitungan suplai oksigen yang dihasilkan oleh vegetasi RTH, karena di daerah penelitian belum ada informasi yang memadai mengenai oksigen yang diproduksi RTH apakah terus memenuhi kebutuhan oksigen penduduk secara proporsional atau belum dan kalaupun suplainya kurang, tetapi belum diketahui seberapa kurangnya. Informasi tersebut dapat dijadikan dasar oleh pemerintah kota untuk menyusun program pengadaan RTH secara bertahap pada setiap tahunnya. Hal penting yang perlu diperhatikan dari eksistensi RTH adalah distribusinya, disamping keterpenuhan luasnya. Akan kurang optimal artinya jika luasan terpenuhi akan tetapi letaknya hanya terpusat di satu titik, untuk itu kajian tentang distribusi spasial eksistensi RTH ini penting dilakukan, disamping itu mengetahui jumlah luasan RTH yang tersebar di seluruh bagian kota juga dalam rangka mengetahui kondisi ideal RTH menurut pedoman. Informasi yang telah diperoleh dari hasil interpretasi citra, cek lapangan dan dukungan data sekunder dapat digunakan untuk mengetahui suplai oksigen yang dihasilkan oleh RTH aktual, untuk mengetahui kebutuhan oksigen dan untuk mendukung kualitas kehidupan penduduk Kota Yogyakarta dan sekitarnya. Informasi tersebut belum cukup untuk dijadikan acuan oleh pemerintah kota untuk menyusun rencana tata ruang kota, khususnya rencana penyediaan RTH, untuk itu perlu disusun estimasi kebutuhan RTH berdasarkan kebutuhan oksigen. 5

1.2. Rumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian a. Rumusan Masalah Peningkatan jumlah penduduk, kegiatan perekonomian, pengembangan dan pembangunan telah menyebabkan berbagai permasalahan dalam kawasan perkotaan. Pembangunan dan pengembangan kota cenderung mengarah pada pemanfaatan lahan untuk memenuhi kebutuhan dan meningkatkan pelayanan pada penduduk kota. Jika pemanfataan lahan tersebut di atas tidak memperhatikan daya dukung lingkungan atas berbagai sarana yang dibangun maka akan berdampak pada penurunan kualitas lingkungan. Pembangunan yang bersifat fisik di kawasan perkotaan seringkali berorientasi pada keuntungan ekonomi semata dan terkadang RTH semakin terkesampingkan. Apabila hal tersebut terjadi maka kebutuhan akan RTH akan semakin terancam eksistensinya dan semakin menyempit jumlahnya. RTH merupakan aspek penting dalam tata ruang kota dan kehidupan penduduk di kota karena manfaatnya yang besar untuk kenyamanan kota, kesehatan penduduk dan masa depan kota. Kecukupan RTH di wilayah perkotaan dirasa sangat penting, salah satu manfaat dari RTH adalah sebagai sumber penyedia oksigen. Sempitnya RTH di perkotaan akan berdampak pada kecilnya produksi oksigen yang dihasilkan. Dengan mengetahui jumlah oksigen yang dihasilkan oleh RTH tersebut, diharapkan dapat diketahui informasi mengenai kecukupan kebutuhan RTH di wilayah perkotaan. Untuk mengetahui informasi mengenai luas RTH yang ideal sesuai dengan pedoman, jumlah oksigen yang dihasilkan oleh RTH serta kebutuhan oksigen oleh konsumen maka diperlukan data penginderaan jauh berupa citra ALOS (Advanced Land Observing Satellite). Citra ALOS merupakan satelit jenis baru yang dimiliki oleh Jepang setelah dua satelit pendahulunya yaitu JERS-1 dan ADEOS. Satelit ALOS dengan sensor AVNIR-2 (Advanced Visible and Near Infrared Radiometer type-2) memiliki resolusi spasial 10 meter. Citra ini memiliki empat saluran (merah, hijau, biru dan inframerah dekat). Saluran inframerah dekat ini merupakan saluran yang peka terhadap vegetasi, sehingga bagus untuk kajian vegetasi. Penelitian mengenai RTH dengan memanfaatkan citra ALOS AVNIR-2 belum banyak dilakukan, oleh karena itu dalam penelitian ini akan mencoba mengkaji bagaimana kemampuan dan seberapa akurat citra tersebut dalam mengkaji informasi RTH 6

khususnya RTH di Kota Yogyakarta dan sekitarnya. Untuk keperluan kajian ini, citra ALOS AVNIR-2 belum dapat dipastikan tingkat akurasinya, oleh karena itu berdasarkan metode-metode tertentu dalam penelitian penginderaan jauh harus diketahui terlebih dahulu akurasinya, sebelum digunakan untuk analisis selanjutnya. Mengingat bahwa jumlah penduduk bersifat dinamis progresif, maka ketersediaan luas RTH harus pula dinamis progresif. Kecukupan luasan RTH menurut peraturan Undang-undang R.I No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang adalah sebesar 30% dari luas wilayah kota yang bersangkutan. Besarnya luasan RTH yang sebesar 30% dari luas wilayah tersebut belum tentu dapat mencukupi kebutuhan wilayah perkotaan yang memerlukanya untuk menciptakan suatu kondisi lingkungan yang nyaman, sehingga kebutuhan RTH dalam penelitian ini memperhitungkan kebutuhan oksigen bagi penduduk. Selain kebutuhan untuk penduduk, kebutuhan oksigen juga mempertimbangkan kebutuhan berdasarkan jumlah kendaraan bermotor, dan industri, sedangkan untuk mengetahui jumlah oksigen yang dihasilkan oleh RTH aktual melalui pendugaan besarnya biomasa. Dengan mengetahui jumlah oksigen yang dihasilkan oleh RTH aktual dan jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh konsumen, maka dapat diperkirakan apakah RTH yang ada sudah tercukupi atau belum keberadaannya. Adakalanya keberadaan RTH di suatu kota terpusat pada lokasi tertentu, sehingga bagian lain dari wilayah kota tidak dapat menikmati kebermanfaatan RTH secara optimal. Keberadaan RTH di wilayah Kota Yogyakarta dan sekitarnya perlu diperhatikan sehingga distribusinya dapat diketahui secara jelas dan berdasarkan peta tersebut selanjutnya pemerintah kota dapat mempertimbangkan lokasi RTH baru di bagian wilayah kota yang belum tercukupi kebutuhan RTHnya. Informasi yang telah diperoleh mengenai luasan, sebaran, suplai oksigen yang dihasilkan oleh RTH dan kesesuaian RTH berdasarkan kebutuhan oksigen merupakan informasi aktual, tetapi belum dapat memberikan informasi bagaimana kondisinya pada masa mendatang, oleh karena itu perlu dilakukan prediksi. Prediksi RTH yang dilakukan dalam penelitian ini adalah 10 tahunan atau 1 dekade. Hal ini ditetapkan atas dasar pertimbangan bahwa dalam periode tersebut terjadi berbagai macam perubahan kondisi biofisik yang dapat mempengaruhi kondisi RTH. Perubahan tersebut terjadi karena berbagai macam program pembangunan yang 7

dijalankan oleh pemerintah daerah selama 2 periode pemerintahan. Jadi penentuan waktu prediksi lebih didasarkan pada satuan periode pembangunan oleh pemerintah daerah. Dalam masa 1 periode pemerintahan atau 5 tahun secara teoretik tidak akan terjadi perubahan yang signifikan, tetapi dalam masa 2 periode akan lebih tampak perubahannya. Mengingat dalam 1 dekade terdapat 2 macam keputusan pemda yang terkait dengan RTH, yakni keputusan politik yang disebut peraturan daerah mengenai Rencana Umum Tata Ruang Wilayah (RTRW). Selanjutnya berdasarkan data yang telah diperoleh dapat disusun estimasi kebutuhan RTH dengan luas tertentu untuk memenuhi kebutuhan oksigen Kota Yogyakarta dan sekitarnya. b. Pertanyaan Penelitian Dari uraian permasalahan penelitian di atas maka dapat dirumuskan pertanyaan-pertanyaan yang terkait dengan penelitian, antara lain : 1. Bagaimana kemampuan citra ALOS AVNIR-2 dalam menyadap informasi RTH di Kota Yogyakarta dan sekitarnya, dilihat dari akurasinya? 2. Seberapa suplai oksigen yang dihasilkan oleh RTH aktual dan seberapa besar kebutuhan oksigen di Kota Yogyakarta dan sekitarnya? 3. Bagaimana distribusi spasial RTH di Kota Yogyakarta dan sekitarnya serta kesesuaiannya dengan pedoman berdasarkan luas wilayah? 4. Bagaimana estimasi kebutuhan RTH berdasarkan kebutuhan oksigen di Kota Yogyakarta dan sekitarnya pada tahun 2018? 1.3. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Mengkaji kemampuan citra ALOS AVNIR-2 untuk menyadap informasi RTH di Kota Yogyakarta dan sekitarnya dilihat dari akurasinya. 2. Memperoleh informasi tentang suplai oksigen yang dihasilkan oleh RTH aktual dan kebutuhan oksigen di Kota Yogyakarta dan sekitarnya. 3. Menyusun peta distribusi spasial RTH di Kota Yogyakarta dan sekitarnya serta kesesuaiannya dengan pedoman berdasarkan luas wilayah. 4. Menyusun estimasi kebutuhan RTH berdasarkan kebutuhan oksigen di Kota Yogyakarta dan sekitarnya pada tahun 2018. 8

1.4. Hasil yang Diharapkan Hasil yang diharapkan dalam penelitian ini antara lain: 1. Informasi citra ALOS AVNIR-2 dalam menyadap informasi RTH dilihat dari akurasinya. 2. Informasi suplai oksigen yang dihasilkan oleh RTH aktual dan kebutuhan oksigen di Kota Yogyakarta dan sekitarnya. 3. Peta distribusi spasial RTH di Kota Yogyakarta dan sekitarnya skala 1:100.000 dan kesesuaiannya dengan pedoman berdasarkan luas wilayah. 4. Rumusan estimasi kebutuhan RTH berdasarkan kebutuhan oksigen di Kota Yogyakarta dan sekitarnya pada tahun 2018. 1.5. Kegunaan Penelitian Berdasarkan tujuan yang telah dikemukantkan di atas, maka dalam melakukan penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan sebagai berikut: 1. Meningkatkan nilai terapan penginderaan jauh dan SIG dalam kajian tata ruang kota khususnya RTH dengan memanfaatkan citra resolusi sedang 2. Memberikan informasi mengenai suplai oksigen yang dihasilkan serta kebutuhan oksigen pada RTH kawasan perkotaan bagi pihak terkait dengan menggunakan penginderaan jauh dan SIG di Kota Yogyakarta dan sekitarnya. 3. Memberikan informasi kepada pemerintah Kota Yogyakarta dan sekitarnya mengenai karakteristik RTH Kawasan Perkotaan aktual dilihat dari aspek tingkat ketersediaan, pola distribusinya. 4. Memberikan informasi estimasi kebutuhan RTH berdasarkan kebutuhan oksigen di Kota Yogyakarta dan sekitarnya pada tahun 2018 sehingga dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam menyusun rencana tata ruang kota. 1.6. Keaslian Penelitian Penelitian mengenai kajian RTH dengan menggunakan citra penginderaan jauh sudah banyak dilakukan dan pada umumnya menggunakan citra Landsat, Quickbird, dan Ikonos, SPOT. Sebagaimana penelitian yang telah dilakukan oleh Septriana, et.al (2004) menggunakan citra Landsat TM. Ketersediaan oksigen dari data Citra Landsat TM diklasifikasikan menjadi hutan (pohon), semak belukar, sawah, dan kebun campuran. Penentuan luas hutan kota berdasarkan kebutuhan 9

oksigen menggunakan Metode Gerakis (Wissesa, 1988). Parameter yang digunakan untuk menghitung kebutuhan oksigen adalah layer penduduk, layer kendaraan bermotor, layer hewan ternak, layer industri, data kondisi biofisik (jumlah dan laju pertumbuhan penduduk, hewan ternak, kendaraan bermotor, industri besar). Sementara Assyfael, et al (2005) menggunakan citra Ikonos dan citra SPOT untuk mengetahui luas hutan kota berdasarkan kebutuhan oksigen. Perhitungan luas hutan kota berdasarkan kebutuhan oksigen menggunakan Metode Gerakis (Wissesa, 1988). Penentuan luas hutan kota dengan dengan mempertimbangkan data jumlah penduduk, jumlah ternak, jumlah kendaraan bermotor dan jumlah industri per kelurahan. Ketersediaan oksigen diperoleh dari pendugaan jumlah oksigen per satuan luas pada masing-masing tutupan lahan hijau yang diperoleh dari hasil klasifikasi. Penentuan kelas penutup lahan menggunakan interpretasi visual. Kelas-kelas penutupan lahan yang diperoleh dari interpretasi visual, yaitu pemukiman, jalan, sungai, tanah kosong, kebun, rumput, pohon dan sawah, juga ditentukan kelas tambahan, yaitu awan dan bayangan awan. Apriyanto (2010) menggunakan peta pre- disaster 2006 dari Unosat, peta RTH aktual 2006 hasil karya Ginting (2006) untuk mengetahui luas hutan kota. Luas hutan berdasarkan kebutuhan oksigen menggunakan Metode Gerakis (Fandeli, et al., 2004) dengan menggunakan data sekunder, kemudian untuk mengetahui jumlah oksigen yang dihasilkan oleh pohon menggunakan Metode Volumetrik. Pada perhitungan volume oksigen dipilih 9 spesies pohon terbanyak berdasarkan data dari Dinas Lingkungan Hidup. Ohira (2013) dalam penelitiannya untuk menghitung luas hutan kota berdasarkan kebutuhan oksigen menggunakan Metode Gerakis (Kunto, 1986 dalam Dahlan, 2003). Dalam menentukan tutupan hijau atau penggunaan lahan menggunaan transformasi NDVI dan SAVI. Perhitungan oksigen didasarkan pada luas masingmasing per penggunaan lahan dengan klasifikasi multispektral (Maximum Likelihood). Kelas-kelas penggunaan lahan yang diperoleh berupa RTH sawah, RTH lapangan rumput, RTH pohon/campuran, bangunan industri, bangunan permukiman atau campuran, tubuh air, jalan, lahan terbuka, lahan sawah basah. Yanua (2012) dalam perhitungan biomasa menggunakan parameter seperti ketebalan tajuk vegetasi, kerapatan tajuk vegetasi, persentase tutupan tajuk dan 10

persentase vegetasi bawah. Sementara dalam menentukan kelas tutupan hijau menggunakan transformasi NDVI dan estimasi oksigen yang dihasilkan berdasarkan jenis penggunaan lahan. Jenis penggunaan lahan vegetasi dibedakan menjadi RTH permukiman, RTH jalur hijau jalan, taman, hutan, sawah, kebun campuran dan semak belukar. Penelitian yang akan dilakukan ini memiliki perbedaan dengan penelitian terdahulu. Untuk mengetahui luas RTH yang ada di lokasi penelitian menggunakan hasil klasifikasi multispektral (Maximum Likelihood) yang dikombinasikan dengan berbagai indeks vegetasi. Adapun indeks vegetasi yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah Normalized Difference Vegetation Index (NDVI), EVI (Enhancement Vegetation Index), SAVI (Soil Adjusted Vegatation Index), MSAVI (Modified Soil Advanced Vegetation Index), GEMI (Global Environmental Modelling Index) dan ARVI (Atmospherically Resistant Vegetation Index). Penggunaan berbagai indeks vegetasi ini diharapkan mampu memberikan informasi kelas tutupan vegetasi (RTH) yang memiliki akurasi yang baik dari citra ALOS AVNIR-2. Analisis indeks vegetasi ini juga digunakan sebagai acuan dalam penentuan titik sampel yakni untuk modeling perhitungan biomasa dan sebagai uji akurasi. Penyediaan kebutuhan RTH dihitung berdasarkan kebutuhan oksigen dengan menggunakan metode Gerakis (Fandeli dan Muhammad, 2009). Perhitungan oksigen disamping untuk manusia maka perlu dipertimbangkan juga pendugaan oksigen berdasarkan jumlah kendaraan dan industri. Sementara untuk mengetahui jumlah oksigen yang dihasilkan oleh RTH dengan menggunakan besarnya jumlah biomasanya, yaitu persamaan allometrik (Brown, 1997) untuk menduga besar produksi oksigen pada vegetasi yang memiliki diameter at breast heigh (DBH). Terdapat persamaan dan perbedaan rencana penelitian ini dengan penelitian yang terdahulu. Kesamaan yang pada umumnya digunakan dalam perhitungan kebutuhan oksigen yakni menggunakan Metode Gerakis. Persamaan dan perbedaan penelitian yang akan dilakukan dengan yang sudah dilakukan disajikan pada Tabel 1.1 di bawah ini. 11

Tabel 1.1. Penelitian Sebelumnya dan Penelitian yang Dilakukan Pembanding Lokasi Penelitian Tujuan Jenis Data Variabel Penelitian Hasil yang Diharapkan Diana Septriana, Andry Indrawan, Endes Nurfilmarasa Dahlan, Dan I Nengah Surati Jaya, (2004) Kota Padang Mengetahui kebutuhan luas hutan kota Landsat TM tahun 2002, peta administrasi, peta tata guna lahan, Kebutuhan oksigen Luas hutan kota berdasarkan kebutuhan oksigen dan analisis pengembangan RTH Feber Antarius Ginting (2006) Kota Yogyakarta Membangun basisdata spasial lingkungan kota menggunakan SIG dan PJ Menyusun model agihan optimal RTH Kota Yogyakarta Menerapkan model agihan optimal RTH dalam bentuk peta Citra Quickbird, data sekunder, data lapangan Indeks kenyamanan, pencemaran udara, kebutuhan oksigen penduduk, RTH aktual, lahan potensial bagi RTH Model agihan optimal RTH kota, Peta agihan optimal RTH Kota Yogyakarta Muchammad Chusnan Apriyanto (2010) Kota Yogyakarta Menentukan konsumsi dan produksi kebutuhan oksigen, karbon, dan kebutuhan air di Kota Yogyakarta Peta pre- disaster 2006 dari Unosat, Peta RTH aktual 2006, peta administrasi, data Kebutuhan oksigen, karbon dan kebutuhan air dan prediksi Luas hutan kota dan prediksi luas hutan kota tahun 2010, kebutuhan oksigen, cadangan karbon dan kebutuhan air 12

sekunder luas hutan kota. R. Assyfael Lestari dan I Nengah Surati Jaya (2005) Ohira (2013) Kota Bogor Kota Surakarta 1. Mengetahui luas minimal hutan kota yang dibutuhkan serta distribusinya di Kota Bogor 2. Mengetahui lokasi pengembangan hutan kota. 1. Mengkaji efektifitas citra ALOS AVNIR-sebagai sumberdaya informasi yang update dapat digunakan untuk mengindentifikasi karakteristik ruang terbuka hijau kawasan perkotaan dan melakukan validasi terhadap hasil pengukuran 2. Menganalisa keseimbangan ruang tutupan hijau kawasan perkotaan dibeberapa tipe tutupan hijau. 3. Mengevaluasi kondisi iklim mikro Kota Surakarta. 4. Menganalisa kebutuhan Citra IKONOS rekaman tahun 2003 dan Citra SPOT rekaman tahun 2003 Citra ALOS AVNIR-2 Perekaman tahun 2009, Peta RBI, data sekunder, data lapangan Penutup lahan, Indeks Vegetasi (NDVI) Penutup/penggu naan lahan, Indeks kenyamanan,, kebutuhan oksigen penduduk, RTH aktual. Kebutuhan oksigen dan hutan kota per kelurahan tahun 2003 dan tahun 2020 Pengembangan Ruang Terbuka Hijau Kota Surakarta 13

Yanua Pristya Putri, 2012 Kecamatan Magelang Selatan dan identifikasi lokasi potensial Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan (RTHKP) Kota Surakarta. 1. menginterpretasi ruang hijau di Kecamatan Magelang Selatan dengan menggunakan citra WorldView-2 2. mengetahui keakurasian citra WorldView-2 dalam menginterpretasi penggunaan lahan vegetasi dan bukan vegetasi 3. mengestimasi volume oksigen yang dihasilkan ruang hijau di Kecamatan Magelang Selatan dengan citra WorldView-2 Citra WorldView-2 Perekaman Tahun 2012 Penggunaan lahan, ketebalan tajuk vegetasi, kerapatan vegetasi, persentase tutupan tajuk, persentase vegetasi bawah, estimasi oksigen tiap jenis penggunaan lahan 1. Distribusi ruang hijau menggunakan citra WorldView-2? 2. Akurasi citra WorldView-2 dalam membedakan lahan vegetasi dan bukan vegetasi 3. Estimasi volume oksigen yang dihasilkan ruang hijau di Kecamatan Magelang Selatan dengan menggunakan citra WorldView-2 14

Melania Swetika Rini (2015) Kota Yogyakarta dan sekitarnya 1. Mengkaji kemampuan citra ALOS AVNIR-2 untuk RTH di Kota Yogyakarta dan sekitarnya dilihat dari akurasinya. 2. Memperoleh informasi tentang suplai oksigen yang dihasilkan oleh RTH aktual dan kebutuhan oksigen di Kota Yogyakarta dan sekitarnya. 3. Menyusun peta distribusi spasial RTH di Kota Yogyakarta dan sekitarnya dan kesesuaiannya dengan pedoman berdasarkan luas wilayah. 4. Menyususun estimasi kebutuhan RTH berdasarkan kebutuhan oksigen di Kota Yogyakarta dan sekitarnya pada tahun 2018. Citra ALOS AVNIR- 2 tahun 2009, RBI digital Wilayah Kota Yogyakarta dan sekitarnya, data sekunder, data lapangan Penggunaan lahan, RTH aktual, kelas tutupan hijau kebutuhan oksigen. 1. Tingkat akurasi atau kemampuan citra ALOS AVNIR-2 dalam menyadap informasi RTH dilihat dari akurasinya, 2. Informasi suplai oksigen yang dihasilkan oleh RTH aktual dan kebutuhan oksigen di Kota Yogyakarta dan sekitarnya 3. Peta distribusi spasial RTH di Kota Yogyakarta dan sekitarnya skala 1:100.000 dan kesesuaiannya dengan pedoman berdasarkan luas wilayah. 4. Rumusan estimasi kebutuhan RTH berdasarkan kebutuhan oksigen di Kota Yogyakarta dan sekitarnya pada tahun 2018. 15

1.7 Kajian Penelitian 1.7.1 Kondisi Geografis Kajian daerah penelitian adalah Kota Yogyakarta dan sekitarnya yang terletak antara 110 0 24 19" - 110 0 28 53" Bujur Timur dan antara 07 0 49 26" - 07 0 15 24" Lintang Selatan. Adapun batas administratif Kota Yogyakarta adalah sebagai berikut: Batas Utara : Kabupaten Sleman Batas Selatan : Kabupaten Bantul Batas Timur : Kabupaten Bantul dan Sleman Batas Barat : Kabupaten Bantul dan Sleman Luas wilayah Kota Yogyakarta adalah 32,5 Km 2 (3.250 ha). Kota Yogyakarta terdiri dari 14 kecamatan, 45 kelurahan dan 616 RW. Kecamatan Umbulharjo merupakan kecamatan yang paling luas diantara kecamatan yang lainnya, yakni seluas 812 ha, sementara kecamatan yang tersempit adalah Kecamatan Pakualam (0,63 Km 2 ). Selain Kota Yogyakarta (sebagai wilayah kajian), penelitian ini juga mengambil beberapa kecamatan di pinggiran Kota Yogyakarta yang memiliki sifat kekotaan, yakni 3 kecamatan di Kabupaten Bantul dan 3 kecamatan di Kabupaten Sleman. Untuk lebih jelasnya lihat tabel 2.1 di bawah ini. Tabel 2.1. Wilayah Kajian untuk Pinggiran Kota Yogyakarta Kabupaten Kecamatan Kajian Luas Wilayah (km 2 ) Sleman Gamping 29,25 Mlati 28,55 Depok 35,55 Bantul Sewon 27,16 Kasihan 32,38 Banguntapan 28,48 Sumber : Kabupaten Bantul dan Kabupaten Sleman dalam Angka Tahun 2011 1.7.2. Topografi Kota Yogyakarta terletak di daerah dataran lereng aliran Merapi dengan kemiringan lahan yang relatif datar (antara 0-2 %) dan berada pada ketinggian rata- 16

rata 114 meter dari permukaan air laut (dpa). Sebagian wilayahnya yakni dengan luas 1.657 hektar terletak pada ketinggian kurang dari 100 meter dan luas wilayah 1.593 hektar berada pada ketinggian antara 100-199 meter dpa (Yogyakarta Dalam Angka 2012) 1.7.3 Keadaan Iklim Kota Yogyakarta beriklim tropis dengan memiliki dua musim yaitu, musim kemarau dan musim penghujan. Pada tahun 2011 rata-rata curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Januari yakni sebanyak 351,3 mm dan terendah terjadi pada bulan Juni sebesar 1,5 mm. Rata-rata hari hujan per bulan adalah 9,56 hari. Kelembaban udara rata-rata cukup tinggi. Kelembaban tertinggi terjadi pada bulan April sebesar 85% dan terendah terjadi pada bulan Agustus sebesar 67,3%. Tekanan udara rata-rata 995,83 mb dan suhu rata-rata 26 o C. Tahun 1.7.4 Penggunaan Lahan Penggunaan lahan di Kota Yogyakarta sebagian besar didominasi oleh perumahan/permukiman. Secara rinci pemanfaatan lahan Kota Yogyakarta dapat dilihat pada tabel 2.2 berikut ini. Perumahan (ha) Tabel 2.2. Pemanfaatan Lahan Kota Yogyakarta Tahun 2007-2011 Jasa (ha) Perusahaa n (ha) Industri (ha) Pertanian (ha) Lahan Kosong (ha) Lain- Lain (ha) Jumlah Total (ha) 2007 2.103,272 272,629 263,525 52,234 145,403 24,781 388,160 3.250 2008 2.103,982 274,021 272,109 52,234 137,593 21,246 388,160 3.250 2009 2.104,357 275,467 275,617 52,234 134,052 20,113 388,160 3.250 2010 2.106,338 275,562 277,565 52,234 130,029 20,041 388,160 3.250 2011 2.108,728 275,996 279,824 52,234 127,672 19,798 388,160 3.250 Sumber: BPS Kota Yogyakarta Tahun 2007-2011 Penggunaan lahan permukiman pada tahun 2011 sebesar (64,884%) telah melampaui kondisi optimal untuk peruntukan lahan, yang menurut (Odum, 1985 dalam Fandeli, 2004) lahan maksimal untuk perumahan sebesar 40%. Kebutuhan perumahan ini akan meningkat seiring dengan arus urbanisasi. Penambahan penduduk oleh arus urbanisasi menyebabkan ruang gerak penduduk menjadi sempit, udara yang bersih yang dinikmati oleh penduduk juga semakin sedikit. 17

Penggunaan lahan yang setiap tahunnya mengalami penurunan adalah penggunaan lahan untuk pertanian dan lahan kosong. 1.7.5. Penduduk Jumlah penduduk Kota Yogyakarta pada tahun 2011 adalah 490.550 jiwa (BPS Kota Yogyakarta 2011), dengan jumlah penduduk terbanyak ditempati oleh Kecamatan Umbulharjo (77.127 jiwa) dan penduduk paling sedikit berada di Kecamatan Pakualam (9.362 jiwa). Berikut ini adalah jumlah penduduk Kota Yogyakarta dari tahun 2005-2011. Tabel 3.1 Jumlah Penduduk Kota Yogyakarta Tahun 2005-2011 Tahun Jumlah Penduduk (Jiwa) Kepadatan Penduduk (Jiwa/km 2 ) 2005 435.236 13,391 2006 443.112 13,634 2007 451.118 13,880 2008 456.915 13,881 2009 462.752 14,238 2010 488.627 15,034 2011 490.550 15,093 Sumber: BPS DIY Sementara jumlah penduduk pada tahun 2011 untuk kecamatan yang juga menjadi kajian penelitian adalah sebagai berikut: Tabel 3.2 Jumlah Penduduk di Pinggiran Kota Yogyakarta Dalam Wilayah Kajian Tahun 2005-2011 Kabupaten Kecamatan Jumlah Penduduk 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Bantul Banguntapan 80.209 86.053 87.057 88.979 90.477 120.015 122.510 Sewon 77.679 78.142 78.453 79.984 81.151 104.368 105.701 Kasihan 79.424 80.159 80.354 85.343 91.849 110.871 112.708 Sleman Gamping 72.871 86.818 75.394 88.166 89.293 96.820 98.486 Mlati 72.318 90.214 75.213 91.450 92.601 101.031 102.812 Depok 118.872 180.243 121.411 182.151 184.407 181.490 182.705 Sumber : BPS DIY 1.7.6. Kondisi Ruang Terbuka Hijau Besarnya luasan RTH di Kota Yogyakarta ternyata masih belum memenuhi syarat sebagaimana yang telah ditentukan oleh Undang-undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Proporsi RTH pada wilayah perkotaan 18

besarnya 30%, yakni 20% untuk ruang terbuka publik dan 10% untuk ruang terbuka privat. Luasan RTH di Kota Yogyakarta masih kurang 12,83 % pada tahun 2010, artinya yang tersedia hanya 17,17% (total 557,90 ha) dari luas seluruh Kota Yogyakarta. (Badan Lingkungan Hidup Kota Yogyakarta tahun 2010). Dari 557, 90 ha RTH, wilayah yang memiliki RTH paling luas berada pada Kecamatan Umbulharjo, yakni sebesar 148,22 ha, sementara RTH paling rendah berada di Kecamatan Pakualaman (4,73 ha). RTH di wilayah perkotaan mempunyai peranan yang sangat penting untuk menjaga kualitas lingkungan hidup. Sebagai fungsi ekologis, peran RTH disini adalah sebagai menyerap karbon, yang merupakan salah satu zat polutan, kemudian mengubahnya menjadi oksigen dalam proses fotosintesis. Kendaraan bermotor dan kegiatan industri merupakan sumber polutan udara. Kendaraan bermotor mengasilkan gas CO2, NOx, HC, Sox dan Pb sementara kegiatan industri menggunakan bahan bakar fosil dan minyak menghasilkan gas Sox, HC dan asap. Walaupun sebagai sumber polutan, kendaraan bermotor dan industri dalam proses pembakaran membutuhan oksigen. Oksigen hasil fotosintesis inilah yang digunakan oleh kendaraan bermotor dan industri untuk aktivitas pembakaran bahan bakar fosil menjadi tenaga mekanik. Yang tidak kalah penting adalah manfaat oksigen bagi manusia untuk keberlangsungan hidupnya. Jumlah kendaraan yang mengalami peningkatan signifikan, banyaknya industri serta pertumbuhan penduduk menyebabkan permintaan akan kebutuhan oksigen juga bertambah. Tercatat dalam kurun waktu 10 tahun terakhir jumlah kendaraan bermotor di Kota Yogyakarta mengalami laju peningkatan secara cepat yakni sebesar 162.854 kendaraan dengan total kendaraannya sebesar 331.332 kendaraan (tahun 2010), (http://www.pustral.ugm.org/). Jumlah penduduk dilihat dari persentasenya juga mengalami kenaikan dari tahun 2005-2011 (lihat tabel 3.1 dan 3.2), sementara jumlah industri mengalami kenaikan yang tidak berarti (relatif tetap). Dari pemaparan di atas diketahui bahwa tidak hanya manusia yang membutuhkan oksigen untuk keberlangsungan hidup, tetapi kendaraan bermotor dan industri juga membutuhkan oksigen untuk proses pembakaran. Kebutuhan 19

oksigen yang semakin besar harus diimbangi dengan jumlah RTH yang ada agar terjadi keseimbangan antara oksigen yang dihasilkan dengan oksigen yang dibutuhkan. 20

Gambar 1.1. Peta Daerah Penelitian 21