BAB II KAJIAN TEORI. pada penulisan bab III. Materi yang diuraikan berisi tentang definisi, teorema, dan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II KAJIAN TEORI. syarat batas, deret fourier, metode separasi variabel, deret taylor dan metode beda

BAB II KAJIAN TEORI. dalam penulisan bab III. Materi yang diuraikan berisi tentang definisi, teorema,

BAB III PEMBAHASAN. dengan menggunakan penyelesaian analitik dan penyelesaian numerikdengan. motode beda hingga. Berikut ini penjelasan lebih lanjut.

BAB I PENDAHULUAN. pedoman untuk menyelesaikan permasalahan sehari-hari dan juga untuk

Solusi Problem Dirichlet pada Daerah Persegi dengan Metode Pemisahan Variabel

I. PENDAHULUAN. dan kotoran manusia atau kotoran binatang. Semua polutan tersebut masuk. ke dalam sungai dan langsung tercampur dengan air sungai.

BAB IV DERET FOURIER

PDP linear orde 2 Agus Yodi Gunawan

TINJAUAN KASUS PERSAMAAN GELOMBANG DIMENSI SATU DENGAN BERBAGAI NILAI AWAL DAN SYARAT BATAS

4. Deret Fourier pada Interval Sebarang dan Aplikasi

KONSEP DASAR PERSAMAAN DIFERENSIAL

DERET FOURIER DAN APLIKASINYA DALAM FISIKA

Memahami konsep dasar turunan fungsi dan mengaplikasikan turunan fungsi pada

MASALAH SYARAT BATAS (MSB)

MATERI 4 MATEMATIKA TEKNIK 1 DERET FOURIER

Pertemuan 1 dan 2 KONSEP DASAR PERSAMAAN DIFERENSIAL

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

TURUNAN. Ide awal turunan: Garis singgung. Kemiringan garis singgung di titik P: lim. Definisi

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN. analitik dengan metode variabel terpisah. Selanjutnya penyelesaian analitik dari

Memahami konsep dasar turunan fungsi dan menggunakan turunan fungsi pada

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

4. Deret Fourier pada Interval Sebarang dan Aplikasi

BAB 2 LANDASAN TEORI

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB 3 PERAMBATAN GELOMBANG MONOKROMATIK

II. TINJAUAN PUSTAKA ( ) ( ) ( ) Asalkan limit ini ada dan bukan atau. Jika limit ini memang ada, dikatakan ( ) ( ) ( ) ( )

KED INTEGRAL JUMLAH PERTEMUAN : 2 PERTEMUAN TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS: Materi : 7.1 Anti Turunan. 7.2 Sifat-sifat Integral Tak Tentu KALKULUS I

PROPOSAL TUGAS AKHIR PENGARUH JUMLAH SUKU FOURIER PADA PENDEKATAN POLAR UNTUK SISTEM GEOMETRI KARTESIAN OLEH : IRMA ISLAMIYAH

BAB II PERSAMAAN DIFERENSIAL BIASA

UJI KONVERGENSI. Januari Tim Dosen Kalkulus 2 TPB ITK

TINJAUAN PUSTAKA. Jika y = f(x) dengan f(x) adalah suatu fungsi yang terdiferensialkan terhadap

LIMIT FUNGSI. A. Menentukan Limit Fungsi Aljabar A.1. Limit x a Contoh A.1: Contoh A.2 : 2 4)

II. TINJAUAN PUSTAKA. Turunan fungsi f adalah fungsi lain f (dibaca f aksen ) yang nilainya pada ( ) ( ) ( )

BAB II LANDASAN TEORI. selanjutnya sebagai bahan acuan yang mendukung tujuan penulisan. Materi-materi

SATUAN ACARA PERKULIAHAN MATA KULIAH KALKULUS LANJUT A (S1 / TEKNIK INFORMATIKA ) KODE / SKS KD

BAB II LANDASAN TEORI. dalam penulisan skripsi ini. Teori-teori yang digunakan berupa definisi-definisi serta

BAB VIII PERSAMAAN DIFERENSIAL PARSIAL

Fungsi F disebut anti turunan (integral tak tentu) dari fungsi f pada himpunan D jika. F (x) = f(x) dx dan f (x) dinamakan integran.

Pertemuan Minggu ke Keterdiferensialan 2. Derivatif berarah dan gradien 3. Aturan rantai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Deret Fourier. (Pertemuan XI) Dr. AZ Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Brawijaya. Fungsi Genap dan Fungsi Ganjil

Aplikasi Persamaan Bessel Orde Nol Pada Persamaan Panas Dua dimensi

FUNGSI dan LIMIT. 1.1 Fungsi dan Grafiknya

PENGANTAR MATEMATIKA TEKNIK 1. By : Suthami A

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Dari contoh di atas fungsi yang tak diketahui dinyatakan dengan y dan dianggap

Prosiding Matematika ISSN:

TINJAUAN PUSTAKA. diketahui) dengan dua atau lebih peubah bebas dinamakan persamaan. Persamaan diferensial parsial memegang peranan penting di dalam

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB V PERSAMAAN LINEAR TINGKAT TINGGI (HIGHER ORDER LINEAR EQUATIONS) Persamaan linear tingkat tinggi menarik untuk dibahas dengan 2 alasan :

Sistem Hasil Kali Persamaan Diferensial Otonomus pada Bidang

Persamaan Diferensial Parsial CNH3C3

Kalkulus II. Diferensial dalam ruang berdimensi n

LIMIT DAN KEKONTINUAN

Persamaan Di erensial Orde-2

BAB II LANDASAN TEORI. Pada Bab Landasan Teori ini akan dibahas mengenai definisi-definisi, dan

KALKULUS INTEGRAL 2013

Asimtot.wordpress.com FUNGSI TRANSENDEN

I. Sistem Persamaan Diferensial Linier Orde 1 (Review)

5.1 Fungsi periodik, fungsi genap, fungsi ganjil

BAB III KONDUKSI ALIRAN STEDI - DIMENSI BANYAK

PENYELESAIAN PERSAMAAN PANAS DENGAN ANALITIK DAN METODE VOLUME HINGGA HALAMAN JUDUL TUGAS AKHIR SKRIPSI

BAB II LANDASAN TEORI

TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS

Bab 2 Fungsi Analitik

II LANDASAN TEORI. dengan, 1,2,3,, menyatakan koefisien deret pangkat dan menyatakan titik pusatnya.

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Pada bab ini akan diberikan landasan teori tentang optimasi, fungsi, turunan,

Pengantar Metode Perturbasi Bab 1. Pendahuluan

MODUL 1. Teori Bilangan MATERI PENYEGARAN KALKULUS

BAB I INTEGRAL TAK TENTU

II. LANDASAN TEORI ( ) =

BAB II LANDASAN TEORI. eigen dan vektor eigen, persamaan diferensial, sistem persamaan diferensial, titik

FUNGSI BESSEL. 1. PERSAMAAN DIFERENSIAL BESSEL Fungsi Bessel dibangun sebagai penyelesaian persamaan diferensial.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

MODUL MATEMATIKA II. Oleh: Dr. Eng. LILYA SUSANTI

Catatan Kuliah MA1123 Kalkulus Elementer I

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan bakteri, sedangkan dalam bidang teknik yaitu pemodelan

Kelompok Mata Kuliah : MKU Program Studi/Program : Pendidikan Teknik Elektro/S1 Status Mata Kuliah : Wajib Prasyarat : - : Aip Saripudin, M.T.

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Perumusan Masalah

Bil Riil. Bil Irasional. Bil Bulat - Bil Bulat 0 Bil Bulat + maka bentuk umum bilangan kompleks adalah

BAB VI. INTEGRAL TAK TENTU (ANTI TURUNAN)

Fungsi F disebut anti turunan (integral tak tentu) dari fungsi f pada himpunan D jika. F (x) = f(x) dx dan f (x) dinamakan integran.

Department of Mathematics FMIPAUNS

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan

Kelompok Mata Kuliah : MKU Program Studi/Program : Teknik Tenaga Elektrik/S1 Status Mata Kuliah : Wajib Prasyarat : - : Aip Saripudin, M.T.

I PENDAHULUAN II LANDASAN TEORI

Persamaan Diferensial Parsial CNH3C3

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tegak, perlu diketahui tentang materi-materi sebagai berikut.

Memahami definisi barisan tak hingga dan deret tak hingga, dan juga dapat menentukan

III PEMBAHASAN. 3.1 Analisis Metode. dan (2.52) masing-masing merupakan penyelesaian dari persamaan

LIMIT KED. Perhatikan fungsi di bawah ini:

Persamaan Diferensial Parsial CNH3C3

BAB I DASAR-DASAR PEMODELAN MATEMATIKA DENGAN PERSAMAAN DIFERENSIAL

II. TINJAUAN PUSTAKA. variabel x, sehingga nilai y bergantung pada nilai x. Adanya relasi kebergantungan

PERSAMAAN DIFERENSIAL I PERSAMAAN DIFERENSIAL BIASA

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB 4 KEKONSISTENAN PENDUGA DARI FUNGSI SEBARAN DAN FUNGSI KEPEKATAN WAKTU TUNGGU DARI PROSES POISSON PERIODIK DENGAN TREN FUNGSI PANGKAT

TINJAUAN KASUS PERSAMAAN PANAS DIMENSI SATU SECARA ANALITIK

Transkripsi:

BAB II KAJIAN TEORI Pada bab ini akan dibahas beberapa hal yang digunakan sebagai landasan pada penulisan bab III. Materi yang diuraikan berisi tentang definisi, teorema, dan beberapa kajian matematika, antara lain tentang Limit, Turunan, Turunan Fungsi Trigonometri dan Fungsi Hiperbolik, Aturan Rantai pada Turunan, Turunan Parsial, Persamaan Diferensial, Persamaan Diferensial Biasa, Persamaan Diferensial Parsial, Masalah Nilai Awal dan Syarat Batas, Masalah Sturm- Liouville dan Fungsi Eigen, Deret Fourier, Metode Separasi Variabel, dan Keadaan Steady State. A. Limit Pemikiran tentang limit yang menyatakan bahwa berarti bahwa selisih antara dan dapat dibuat sekecil mungkin dengan mensyaratkan bahwa cukup dekat, tetapi tidak sama dengan (Purcell, 2010). Definisi 2.1 Limit (Dale Varberg & Edwin J Purcell, 2010) Diberikan yang artinya untuk setiap yang nilainya sangat kecil, terdapat sedemikian sehingga dengan syarat atau dengan kata lain Sebagai ilustrasi dari definisi limit tersebut, perhatikan contoh berikut ini. 7

Contoh 2.2 Akan dibuktikan bahwa Analisis Pendahuluan: Akan ditentukan nilai dari, sebagai berikut sehingga Berdasarkan Persamaan (2.1) diperoleh nilai dari Bukti baku: Andaikan nilai dari, dan dipilih nilai dari, sehingga didapatkan 8

B. Turunan Konsep dasar dari turunan adalah perubahan suatu fungsi dalam sesaat. Gambar (2.1) berikut diilustrasikan tentang konsep dari turunan. Misalkan terdapat, dan dimana, serta. Berdasarkan Gambar (2.1) diperoleh Gambar (2.1) Ilustrasi Konsep Turunan Apabila nilai diperkecil mendekati nol, sehingga Persamaan (2.2) menjadi 9

Jika nilai limit ini ada, maka nilai limit tersebut disebut dengan turunan (perubahan nilai suatu fungsi sesaat) dari di. Definisi 2.3 Turunan (Dale Varberg & Edwin J Purcell, 2010) Turunan pertama fungsi dinotasikan dengan yang nilainya pada sebarang adalah dengan syarat nilai limit dari f(x) ada. Notasi dari turunan disimbolkan dengan notasi Leibniz atau notasi prima atau bisa dinotasikan sebagai atau. Sebagai ilustrasi dari definisi turunan tersebut, perhatikan contoh berikut ini. Contoh 2.4 Akan ditentukan turunan pertama dari. Menurut Definisi (2.3), sehingga Jadi, turunan pertama dari adalah 3. 10

C. Turunan Fungsi Trigonometri dan Hiperbolik Adapun aturan-aturan atau teorema pencarian turunan fungsi trigonometri adalah sebagai berikut. Teorema 2.5 Turunan Fungsi Sin (Dale Varberg & Edwin J Purcell, 2010) Jika, maka. Bukti: Berdasarkan Definisi (2.3), sehingga Terbukti. Teorema 2.6 Turunan Fungsi Cos (Dale Varberg & Edwin J Purcell, 2010) Jika, maka. Bukti: Berdasarkan Definisi (2.3), sehingga 11

Terbukti. Aturan-aturan atau teorema pencarian turunan fungsi hiperbolik adalah sebagai berikut. Bentuk lain dari, sementara. Teorema 2.7 Turunan Fungsi Sinh (Dale Varberg & Edwin J Purcell, 2010) Jika, maka. Bukti: Karena bentuk lain dari adalah, sehingga 12

Terbukti. Teorema 2.8 Turunan Fungsi Cosh (Dale Varberg & Edwin J Purcell, 2010) Jika, maka Bukti: Karena bentuk lain dari adalah, sehingga Terbukti. D. Aturan Rantai pada Turunan Sebelum membahas teorema aturan rantai pada turunan, perlu diketahui sifat dasar dari suatu turunan. Dalam hal ini akan ditunjukkan hubungan antara keberadaan turunan suatu fungsi pada titik terhadap kekontinuan suatu fungsi tersebut pada titik. Teorema 2.9 Kekontinuan Fungsi (Bartle, 2000) Jika mempunyai turunan pada maka kontinu pada. 13

Bukti: Diberikan interval, dan berlaku. Akan dibuktikan bahwa kontinu pada dengan menunjukkan bahwa mendekati ketika. Untuk setiap, sedangkan, sedemikian sehingga Karena ada, maka nilai limitnya ada. Sehingga diperoleh Karena selisih mendekati 0 ketika, dapat disumpulkan bahwa. Sehingga kontinu pada. Terbukti. Pernyataan-pernyataan berikut merupakan ringkasan dari hubungan antara kekontinuan dan turunan. (i) Jika suatu fungsi memiliki turunan pada, maka fungsi tersebut kontinu pada. Sehingga, turunan mengakibatkan kekontinuan. 14

(ii) Ada kemungkinan suatu fungsi kontinu pada, tetapi tidak memiliki turunan pada. Sehingga, kekontinuan tidak menjamin adanya turunan. Sebagai ilustrasi dari teorema kekontinuan tersebut, perhatikan contoh berikut ini. Contoh 2.10 Diberikan fungsi 1. untuk Merupakan fungsi yang memiliki turunan pada, sehingga fungsi tersebut kontinu pada. Karena jika diambil diperoleh. 2. untuk. Merupakan fungsi yang kontinu, tetapi tidak punya turunan pada. Karena untuk diperoleh, untuk dan untuk. Namun untuk nilai limitnya tidak terdefinisi. Sehingga fungsi tersebut tidak punya turunan pada. Aturan rantai dapat digunakan untuk mempermudah penurunan suatu fungsi komposit. Fungsi komposit merupakan suatu fungsi yang variabel bebasnya adalah suatu fungsi juga. 15

Teorema 2.11 Aturan Rantai pada Turunan (Dale Varberg & Edwin J Purcell, 2010) Misalkan dan. Jika g terdiferensiasikan di dan terdiferensiasikan di, maka fungsi komposit, yang didefinisikan oleh adalah terdiferensiasikan di dan yakni atau Bukti: Misalkan bahwa dan, bahwa terdiferensiasikan di dan bahwa terdiferensiasikan di Ketika diberikan pertambahan, terdapat pertambahan yang berkorespondensi dalam dan yang diberikan oleh Jadi, 16

Berdasarkan Teorema (2.9) yang menyatakan bahwa jika punya turunan di, maka kontinu di, sehingga. Hal tersebut mengakibatkan, mengingat merupakan fungsi atas. Oleh karena itu, Terbukti. Pada penulisan bab III, aturan rantai digunakan dalam proses pengubahan persamaan Laplace dari koordinat kartesius ke dalam koordinat polar. Sebagai ilustrasi dari teorema mengenai aturan rantai pada turunan tersebut, perhatikan contoh berikut ini. Contoh 2.12 Diberikan fungsi. Akan ditentukan turunan pertama dari fungsi sebagai berikut. Fungsi dapat dinyatakan sebagai dengan dan. Karena dan sehingga 17

Apabila menggunakan notasi Leibnitz, maka turunan dapat ditentukan sebagai berikut. Jika dimisalkan, dengan, maka dan. Sehingga E. Turunan Parsial Turunan parsial merupakan turunan dari sebuah fungsi dari beberapa variabel terhadap salah satu variabel bebasnya, dengan menganggap semua variabel bebas yang lainnya konstan (Spiegel, 1992). Definisi 2.13 Turunan Parsial (Spiegel, 1992) Misalkan suatu fungsi merupakan fungsi dari dua variabel dan, turunan parsial dari terhadap dan berturut-turut dinyatakan oleh dan, dengan definisi: serta jika limit-limit itu ada. 18

Andaikan bahwa adalah suatu fungsi dua variabel dan, dengan menganggap konstan, maka adalah fungsi satu variabel. Turunan fungsi di disebut turunan parsial terhadap di dan dinyatakan oleh. Jadi Dengan cara yang sama, turunan parsial terhadap di dinyatakan dengan dan diberikan oleh Sebagai ilustrasi dari definisi turunan parsial tersebut, perhatikan contoh berikut ini. Contoh 2.14 Akan ditentukan dan dari fungsi Menurut Definisi (2.13) sehingga diperoleh 19

dan F. Persamaan Diferensial Dalam bagian ini akan dijelaskan tentang persamaan diferensial. Definisi 2.15 Persamaan Diferensial (Ross, 1984) Persamaan diferensial adalah persamaan yang memuat turunan dari satu atau lebih variabel tak bebas terhadap satu atau lebih variabel bebas. 20

Berdasarkan banyaknya variabel bebas, persamaan diferensial dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu persamaan diferensial biasa dan persamaan diferensial parsial. Berikut diberikan definisi persamaan diferensial biasa dan persamaan diferensial parsial. Definisi 2.16 Persamaan Diferensial Biasa (Ross, 1984) Persamaan diferensial biasa adalah persamaan diferensial yang memuat turunan dari satu atau lebih variabel tak bebas terhadap satu variabel bebas. Definisi 2.17 Persamaan Diferensial Parsial (Ross, 1984) Persamaan diferensial parsial adalah persamaan diferensial yang memuat turunan dari satu atau lebih variabel tak bebas terhadap lebih dari satu variabel bebas. Persamaan diferensial biasa (PDB) dinotasikan dengan notasi Leibniz atau notasi prima, atau bisa juga dinotasikan dengan dinotasikan dengan. Persamaan diferensial parsial (PDP) untuk turunan pertama fungsi atas variabel tak bebas terhadap variabel bebas. Untuk turunan parsial kedua, ketiga dan seterusnya sampai turunan ke berturut-turut dinotasikan sebagai. Persamaan diferensial parsial juga bisa dinotasikan dengan untuk turunan kedua fungsi atas variabel tak bebas terhadap variabel bebas. Selanjutnya diberikan definisi order dan derajat persamaan diferensial. 21

Definisi 2.18 Order Persamaan Diferensial (Ross, 1984) Order persamaan diferensial adalah order tertinggi dari semua turunan yang terdapat pada persamaan diferensial tersebut. Definisi 2.19 Derajat Persamaan Diferensial (Ross, 1984) Derajat persamaan diferensial adalah pangkat tertinggi dari order tertinggi dari semua turunan pada persamaan diferensial. Sebagai ilustrasi dari definisi order dan derajat persamaan diferensial parsial tersebut, perhatikan contoh berikut ini. Contoh 2.20 Berikut ini contoh persamaan diferensial (1), merupakan persamaan diferensial biasa berorder 2 dan berderajat 1. (2), merupakan persamaan diferensial parsial berorder 2 dan berderajat 2. Berdasarkan hubungan antara variabel tak bebas dan turunan-turunannya, persamaan diferensial order dibagi menjadi dua yaitu persamaan diferensial linear dan persamaan diferensial non linear. Definisi 2.21 Persamaan Diferensial Linear (Ross, 1984) Persamaan diferensial linear order dengan variabel bebas dan variabel tak bebas dapat dinyatakan sebagai berikut 22

dengan. Persamaan diferensial dikatakan muncul dalam bentuk linear jika memenuhi syarat-syarat berikut ini: (i) (ii) derajat dari variabel tak bebas dan turunan-turunannya adalah satu tidak ada perkalian antara variabel tak bebas dengan turunan-turunannya dan perkalian antara turunan dengan turunannya (iii) tidak ada fungsi transenden dari variabel-variabel tak bebas. Persamaan diferensial yang tidak memenuhi syarat-syarat tersebut disebut persamaan diferensial non linear. Diberikan persamaan diferensial parsial linear order dengan satu variabel tak bebas dan dua variabel bebas dan yang terdefinisi pada domain didefinisikan sebagai berikut: dengan, dan fungsi dan konstanta yang diberikan dalam variabel dan. Definisi 2.22 Persamaan Diferensial Homogen (Humi, 1992) Persamaan (2.3) disebut persamaan diferensial homogen jika. 23

Contoh 2.23 Berikut ini contoh-contoh persamaan diferensial (1) (2) (3) (4) Contoh 2.23 (1) merupakan persamaan diferensial biasa, berorder enam, berderajat satu, linear, dan homogen. Contoh 2.23 (2) merupakan persamaan diferensial biasa, berorder tiga, berderajat dua, non linear, dan non homogen Contoh 2.23 (3) merupakan persamaan diferensial parsial, berorder tiga, berderajat satu, linear, dan homogen, Contoh 2.23 (4) merupakan persamaan diferensial biasa, berorder dua dan berderajat satu, non linear, dan homogen, Selanjutnya akan diberikan teorema mengenai prinsip superposisi yang berlaku untuk persamaan diferensial homogen berorder. Teorema 2.24 Prinsip Superposisi (Dennis G Zill, 2005) Jika berorde adalah penyelesaian dari persamaan diferensial homogen dari Persamaan (2.3) pada interval I, maka kombinasi linearnya adalah 24

dengan untuk adalah konstanta, juga penyelesaian dalam interval I. Bukti: Misalkan didefinisikan sebagai operator diferensial dan adalah penyelesaian dari persamaan diferensial homogen, sehingga Jika didefinisikan, maka linearitas dari adalah karena nilai dari maka Terbukti. Persamaan diferensial parsial linear order dua dengan variabel tak bebas dan variabel bebas dan, yang terdefinisi pada domain mempunyai bentuk umum sebagai berikut 25

Definisi 2.25 Klasifikasi Persamaan Diferensial Parsial (Humi, 1992) Persamaan diferensial (2.4) disebut (i) elliptik jika untuk semua (ii) parabolik jika untuk semua (iii) hiperbolik jika untuk semua Sebagai ilustrasi dari definisi klasifikasi persamaan diferensial parsial linear order dua tersebut, perhatikan contoh berikut ini. Contoh 2.26 Persamaan diferensial (1) Laplace merupakan persamaan diferensial elliptik, karena (2) Panas merupakan persamaan diferensial parabolik, karena (3) Gelombang merupakan persamaan diferensial hiperbolik, karena 26

G. Masalah Nilai Awal dan Syarat Batas Pada bagian ini akan dibahas mengenai pengertian Nilai Awal, Syarat Batas serta Masalah Nilai Awal dan Syarat Batas yang menyertai suatu persamaan diferensial parsial. Mengingat apabila persamaan diferensial diselesaikan, maka akan diperoleh suatu penyelesaian umum. Namun untuk memperoleh penyelesaian khusus diperlukan adanya nilai awal dan syarat batas. Menurut (Humi, 1992) yang dimaksud dengan nilai awal adalah kondisi yang harus dipenuhi pada awal waktu tertentu. Dalam hal ini persamaan Laplace merupakan persamaan yang tidak disertai dengan nilai awal, karena persamaan Laplace tidak bergantung pada waktu. Sebagai contoh dari pengertian nilai awal tersebut, diberikan suatu persamaan panas dengan nilai awal. Nilai awal menyatakan bahwa suhu pada posisi saat waktu adalah Syarat Batas adalah suatu syarat atau kondisi yang harus dipenuhi pada batas-batas domain terkait dengan ruang (Humi, 1992). Sebagai ilustrasi, diberikan suatu persamaan panas dengan syarat batas dan. Syarat batas menunjukkan bahwa suhu pada posisi saat waktu dipertahankan sebesar nol derajat, sedangkan menunjukkan bahwa perubahan suhu terhadap posisi saat waktu dipertahankan nol derajat. Selanjutnya akan diuraikan mengenai jenis-jenis syarat batas untuk persamaan diferensial parsial order dua. Diberikan domain dengan dan merupakan titik-titik batas. Bentuk umum syarat batas adalah 27

dan dengan sebarang konstanta. Dalam (Humi, 1992) syarat batas dikatakan (i) Dirichlet jika syarat batasnya memberikan nilai dari sebarang fungsi pada atau dapat ditulis dan dengan dan fungsi dalam variabel. (ii) Neumann jika syarat batasnya memberikan nilai turunan terhadap pada atau dapat ditulis dan dengan dan fungsi dalam variabel. (iii) Robin jika syarat batasnya memberikan relasi linear antara dengan pada atau dapat ditulis dan dengan sebarang konstanta serta dan fungsi dalam variabel. Sebagai ilustrasi mengenai jenis-jenis syarat batas tersebut, perhatikan contoh berikut ini. Contoh 2.27 Diberikan persamaan diferensial. Syarat batas (1) merupakan Syarat Batas Dirichlet. (2) merupakan Syarat Batas Neumann. (3) merupakan Syarat Batas Robin. 28

Selanjutnya akan diuraikan mengenai Masalah Nilai Awal dan Syarat Batas atau disingkat MNASB. Masalah yang bersesuaian dengan persamaan diferensial parsial akan rumit jika jumlah penyelesaian independen untuk persamaan tersebut adalah tak terbatas (Humi, 1992). Sehingga formulasi lengkap dari sistem fisik dalam hal persamaan diferensial parsial membutuhkan perhatian tidak hanya untuk persamaan yang mengatur sistem tetapi juga untuk perumusan yang benar dari kondisi batas maupun kondisi awal. Masalah nilai awal dan syarat batas adalah masalah yang terdiri dari suatu persamaan diferensial yang dilengkapi dengan nilai awal dan syarat batas. Kemudian jika masalah nilai awal dan syarat batas tersebut diselesaikan maka akan diperoleh penyelesaian khusus. Sebagai ilustrasi mengenai pengertian masalah nilai awal dan syarat batas tersebut, perhatikan contoh berikut ini. Contoh 2.28 Diberikan sebuah senar dengan panjang yang diikat pada kedua ujungnya. Kemudian senar tersebut dipetik. Pergerakan senar pertama kali (saat ) mempunyai fungsi posisi untuk, sehingga diperoleh nilai awal. Setelah dipetik, pergerakan di kedua ujung senar yang terikat pada dan dipertahankan nol untuk. Sehingga diperoleh syarat batas dan Jadi diperoleh Masalah Nilai Awal dan Syarat Batas sebagai berikut dengan nilai awal 29

dan syarat batas H. Masalah Sturm-Liouville dan Fungsi Eigen Definisi 2.29 Masalah Sturm-Liouville (Dean G. Duffy, 2003) Diberikan persamaan diferensial linear berorde 2 berikut ini dengan syarat batas Dalam hal ini nilai dari dan merupakan fungsi bilangan real atas sedangkan adalah suatu parameter. Nilai dari merupakan suatu konstanta real, sedangkan nilai dari dan merupakan suatu fungsi yang kontinu dan positif yang terletak pada interval Persamaan (2.5) disebut sebagai persamaan Sturm-Liouville dan bersama-sama dengan syarat batas pada Persamaan (2.6) dan (2.7), membentuk suatu Masalah Sturm- Liouville. Jika diperhatikan pada Persamaan (2.5), masalah tersebut mempunyai penyelesaian untuk setiap nilai yaitu,. Penyelesaian tersebut dinamakan dengan penyelesaian trivial. Tetapi akan diperoleh penyelesaian lain yang tak nol jika mengambil nilai tertentu, maka penyelesaian 30

tersebut dinamakan penyelesaian non trivial. Nilai yang bersesuaian dinamakan nilai eigen dan fungsinya disebut sebagai fungsi eigen. I. Persamaan Karakteristik Diberikan persamaan diferensial homogen berorder dua dengan variabel tak bebas dan variabel bebas yang terdefinisi pada domain sebagai berikut dengan dan merupakan suatu konstanta. Untuk memudahkan mencari penyelesaian Persamaan (2.8) diperlukan suatu persamaan karakteristik yang sepadan dengan persamaan tersebut. Persamaan karakteristik dapat diperoleh dengan melakukan subtitusi dan berturut-turut oleh dan. Sehingga dalam hal ini persamaan karakteristik yang sepadan dengan Persamaan (2.8) adalah Persamaan karakteristik yang diperoleh berupa persamaan pangkat biasa yang dapat diselesaikan dengan melakukan pemfaktoran sehingga diperoleh akarakar karakteristik. Secara umum, akar-akar karakteristik dari suatu persamaan diferensial linear homogen orde 2 menurut (Ross, 1984) dibedakan menjadi tiga, yaitu 1. Akar-akar karakteristik riil berbeda. Misalkan akar dari persamaan karakteristik pada Persamaan (2.9) adalah dan dengan, maka penyelesaian umum dari Persamaan (2.9) adalah 31

2. Akar-akar karakteristik riil kembar. Misalkan akar dari persamaan karakteristik pada Persamaan (2.9) suatu akar riil kembar yaitu, maka penyelesaian umum dari Persamaan (2.9) adalah 3. Akar-akar karakteristik bilangan kompleks. Misalkan akar dari persamaan karakteristik pada Persamaan (2.9) adalah dan, maka penyelesaian umum dari Persamaan (2.9) adalah Sebagai ilustrasi dari definisi persamaan karakteristik dan akar-akar karakteristik tersebut, perhatikan contoh berikut ini. Contoh 2.30 1. Akan ditentukan penyelesaian umum dari Persamaan karakteristik yang sepadan dengan Persamaan (2.13) adalah dan Karena diperoleh akar-akar karakteristik riil berbeda, sehingga berdasarkan Persamaan (2.10) diperoleh penyelesaian umum Persamaan (2.13) sebagai berikut 32

2. Akan ditentukan penyelesaian umum dari Persamaan karakteristik yang sepadan dengan Persamaan (2.14) adalah Karena diperoleh akar-akar karakteristik riil kembar, sehingga berdasarkan Persamaan (2.11) diperoleh penyelesaian umum Persamaan (2.13) sebagai berikut. J. Deret Fourier Pada bagian ini akan dibahas mengenai Deret Fourier. Definisi 2.31 Fungsi Periodik (Humi, 1992) Diberikan fungsi yang terdefinisi untuk setiap. Fungsi dikatakan periodik dengan periode jika, dengan Contoh 2.32 (1) Fungsi adalah fungsi yang periodik dengan periode 2. Sebab. (2) Fungsi adalah fungsi yang periodik dengan periode. Sebab Kemudian diberikan definisi Deret Fourier. 33

Definisi 2.33 Deret Fourier (Humi, 1992) Diberikan fungsi yang terdefinisi pada interval. Deret Fourier fungsi tersebut adalah dengan dan Contoh 2.34 Akan ditentukan Deret Fourier dari Berdasarkan Definisi (2.33) tentang Deret Fourier, sehingga diperoleh nilai dari 34

Jadi, Deret Fourier dari adalah (Mayer Humi & William B. Miller, 1992). Kemudian diberikan definisi fungsi genap dan fungsi ganjil. Definisi 2.35 Fungsi Genap dan Fungsi Ganjil (Humi, 1992) Diberikan fungsi terdefinisi pada interval. Fungsi dikatakan sebagai fungsi genap jika pada interval dan dikatakan sebagai fungsi ganjil jika pada interval. 35

Contoh 2.36 1. Fungsi merupakan fungsi ganjil, karena untuk setiap pada interval. 2. Fungsi merupakan fungsi genap, karena untuk setiap pada interval. 3. Fungsi bukan merupakan fungsi genap maupun fungsi ganjil karena cosinus. Kemudian dibahas mengenai Deret Fourier sinus dan Deret Fourier Teorema 2.37 Deret Fourier Sinus (Humi, 1992) Diberikan fungsi terdefinisi pada interval dan dapat diperluas sebagai fungsi ganjil pada interval Jika Deret Fourier dari ada, maka Deret Fourier tersebut berbentuk dengan 36

Bukti: Diketahui fungsi terdefinisi pada interval dan dapat diperluas sebagai fungsi ganjil pada interval Deret Fourier dari ada, sehingga Deret Fourier tersebut adalah dengan Dimisalkan, sehingga diperoleh 37

Karena merupakan fungsi ganjil dan merupakan fungsi genap, sehingga diperoleh dan 38

Karena merupakan fungsi ganjil dan merupakan fungsi ganjil, diperoleh Jadi terbukti bahwa Deret Fourier untuk adalah dengan Deret Fourier ini disebut Deret Fourier sinus fungsi. Contoh 2.38 Diberikan fungsi 39

Akan ditentukan Deret Fourier sinus untuk fungsi tersebut. Berdasarkan Teorema 2.37 maka Deret Fourier sinus dari fungsi adalah dengan Jadi, Deret Fourier dari adalah 40

Teorema 2.39 Deret Fourier Cosinus (Humi, 1992) Diberikan fungsi terdefinisi pada interval dan dapat diperluas sebagai fungsi genap pada interval Jika Deret Fourier dari ada, maka Deret Fourier tersebut berbentuk dengan Bukti : Diketahui fungsi terdefinisi pada interval dan dapat diperluas sebagai fungsi genap pada interval Deret Fourier dari ada, sehingga Deret Fourier tersebut adalah dengan 41

Dimisalkan, sehingga diperoleh karena merupakan fungsi genap, maka 42

Karena dan merupakan fungsi genap, sehingga diperoleh Jadi terbukti bahwa Deret Fourier untuk adalah dengan Torema 2.39 disebut juga deret Fourier cosinus. Deret Fourier ini disebut Deret Fourier cosinus fungsi. 43

Contoh 2.40 Diberikan fungsi Akan ditentukan Deret Fourier cosinus untuk fungsi tersebut. Berdasarkan Teorema 2.39 maka Deret Fourier cosinus dari fungsi adalah dengan dan 44

Jadi Deret Fourier cosinus dari fungsi adalah K. Metode Separasi Variabel Metode Separasi Variabel adalah metode untuk mencari penyelesaian persamaan diferensial dengan cara mengasumsikan penyelesaian tersebut merupakan perkalian dari fungsi-fungsi variabel bebas yang ada pada persamaan diferensial tersebut. Metode separasi variabel bertujuan untuk mereduksi persamaan diferensial parsial yang diberikan menjadi bentuk persamaan diferensial biasa. Dengan demikian persamaan diferensial parsial tersebut lebih mudah untuk dicari penyelesaiannya. 45

Diberikan persamaan diferensial linear homogen dengan variabel bebas dan, serta variabel tak bebas yang dilengkapi dengan syarat batas tertentu. Diasumsikan penyelesaian dari persamaan diferensial tersebut adalah Langkah-langkah penyelesaian persamaan diferensial tersebut dengan metode separasi variabel yaitu sebagai berikut (Humi, 1992): 1. Persamaan disubstitusi ke persamaan diferensial. 2. Hasil dari langkah (1) dibagi dengan. 3. Jika hasil dari langkah (2) dapat dinyatakan sebagai jumlahan suku-suku yang hanya tergantung dari dan suku-suku yang hanya tergantung dari, maka dengan konstanta pemisah atau akan didapat sistem dua persamaan diferensial biasa. 4. Gunakan syarat batas yang diberikan untuk menentukan syarat batas untuk persamaan diferensial biasa dari langkah (3). 5. Selesaikan persamaan diferensial (Masalah syarat Batas) hasil dari langkah (3) dan langkah (4). 6. Diperoleh, yang merupakan penyelesaian dari persamaan diferensial di atas. Kemudian dengan prinsip superposisi ditentukan penyelesaian umumnya. 7. Gunakan nilai awal yang diberikan, kemudian ditentukan penyelesaian Masalah Nilai Awal dan Syarat Batas. Contoh 2.41 Diberikan persamaan diferensial parsial 46

dengan syarat batas dan nilai awal Masalah Nilai Awal dan Syarat Batas (2.15) sampai (2.17) akan diselesaikan dengan menggunakan metode Separasi Variabel. Jika diasumsikan adalah penyelesaian dari MNASB di atas maka langkah-langkah penyelesaiannya sebagai berikut: 1. Persamaan disubstitusikan ke Persamaan (2.15) sehingga diperoleh 2. Persamaan (2.18) dibagi dengan sehingga diperoleh atau 3. Untuk mendapatkan dua persamaan diferensial biasa dari Persamaan (2.19), digunakan konstanta pemisah sehingga Dari Persamaan (2.20) diperoleh dua persamaan diferensial biasa yaitu 47

dan 4. Jika digunakan syarat batas (2.16) yaitu dengan pada persamaan maka diperoleh dan Berdasarkan Persamaan (2.20) disyaratkan, sehingga 5. Diperoleh Masalah Sturm-Liouville sebagai berikut. Selanjutnya dicari penyelesaian non trivial dari Masalah Sturm- Liouville (2.22a) dan (2.22b) yang dapat ditinjau menjadi tiga kemungkinan yaitu untuk dan. Kemungkinan 1 : Dari persamaan (2.22a) didapat, penyelesaiannya adalah, dengan A dan B konstanta sebarang. Jika digunakan syarat batas (2.22b) yaitu, maka diperoleh. Jadi untuk Masalah Syarat Batas (2.22a) dan (2.22b) mempunyai penyelesaian trivial. 48

Kemungkinan 2 : Persamaan (2.22a) mempunyai persamaan karakteristik Karena diketahui, persamaan karakteristiknya menjadi, dan akar-akar karakteristiknya adalah dan yang bernilai real. Penyelesaian Persamaan (2.22a) adalah dengan dan konstanta sebarang. Jika digunakan syarat batas (2.22b) yaitu, maka diperoleh dan Karena, sehingga. Penyelesaian Masalah Sturm- Liouville (2.22a) dan (2.22b) adalah penyelesaian trivial. Jadi untuk Masalah Syarat Batas (2.22a) dan (2.22b) mempunyai penyelesaian trivial. Kemungkinan 3 : 49

Persamaan (2.22a) mempunyai persamaan karakteristik. Karena diketahui, persamaan karakteristiknya menjadi, dan akar-akar karakteristiknya adalah bilangan kompleks dan. Penyelesaian Persamaan (2.22a) adalah dengan dan konstanta sebarang. Jika digunakan syarat batas (2.16b) yaitu, maka diperoleh dan Agar mempunyai penyelesaian non trivial diambil sehingga diperoleh Jadi untuk Masalah Sturm-Liouville (2.22a) dan (2.22b) mempunyai penyelesaian non trivial dengan Nilai Eigen dan konstanta sebarang, Jadi penyelesaian Masalah Sturm-Liouville (2.22a) dan (2.22b) adalah 50

dengan Nilai Eigen dan konstanta sebarang, Kemudian dicari penyelesaian untuk persamaan (2.21a). Telah diketahui bahwa sehingga diperoleh Persamaan (2.24) diintegralkan terhadap, sehingga diperoleh dengan. 51

6. Persamaan (2.23) dan (2.25) disubstitusi ke persamaan, sehingga diperoleh atau dengan Kemudian dengan menggunakan prinsip superposisi, diperoleh penyelesaian dari Masalah Syarat Batas tersebut yaitu 7. Berdasarkan nilai awal (2.17) yaitu, sehingga Persamaan (2.27) menjadi Kalikan Persamaan (2.28) dengan fungsi yang orthogonal dengan yaitu, sehingga diperoleh Kemudian integralkan kedua ruas pada Persamaan (2.29) diperoleh 52

Bentuk orthogonal yang berada di ruas kanan pada Persamaan (2.30) nilainya akan sama dengan nol, kecuali jika, sehingga Persamaan (2.30) menjadi Jadi, penyelesaian Masalah Nilai Awal dan Syarat Batas (2.15) sampai (2.17) adalah dengan I. Keadaan Steady State Keadaan steady state merupakan kondisi dimana sifat-sifat suatu sistem tidak berubah dengan berjalannya waktu (Freedman, 2008). Jika dimisalkan terdapat suatu sistem dengan variabel tak bebas dan variabel bebas dan. Hal 53

ini berarti untuk setiap nilai dari sistem tersebut, turunan parsial terhadap waktu adalah nol. Keadaan ini dapat diekspresikan pada sebuah lempengan logam berbentuk persegi panjang ataupun berbentuk lingkaran yang diberi sumber panas pada sisisisinya. Sebelum mencapai steady state, suhu pada lempengan logam tersebut akan merambat dan mengalami perubahan. Perubahan suhu yang terjadi disebut keadaan transien. Pada hal ini perambatan suhu merupakan jenis perambatan dua dimensi, dimana perambatan yang terjadi bergantung pada posisi atau. Proses perambatan ini terjadi karena pada masing-masing sisi telah diberi sumber panas sehingga pada waktu tertentu akan mencapai keadaan steady state. 54