EVALUASI PENERAPAN TOTAL PRODUCTIVE MAINTENANCE DI PT FRINA LESTARI NUSANTARA. Oleh SANDHY WIDIANSYAH H

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. dipenuhi agar perusahaan dapat melakukan proses produksi. Teknologi yang

1 BAB I PENDAHULUAN. ini disebabkan karena tim perbaikan tidak mendapatkan dengan jelas

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Teknologi merupakan komponen penting bagi berkembangnya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI. diperkenalkan di Jepang. Bagaimanapun juga konsep dari pemeliharaan pencegahan

Total Productive Maintenance (TPM) Sistem Perawatan TIP FTP UB Mas ud Effendi

BAB II LANDASAN TEORI

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

Total Productive Maintenance (TPM) Sistem Perawatan TIP FTP UB Mas ud Effendi

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB 2 LANDASAN TEORI. Pendapat tersebut sejalan dengan pendapat Stephens (2004:3), yang. yang diharapkan dari kegiatan perawatan, yaitu :

BAB V ANALISA PEMECAHAN MASALAH

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. tersebut adalah performance mesin yang digunakan (Wahjudi et al., 2009). Salah

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

Pengantar Manajemen Pemeliharaan. P2M Departemen Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Indonesia

BAB II LANDASAN TEORI

Analisa Total Productive Maintenance pada Mesin Machining Center pada PT. Hitachi Power System Indonesia (HPSI) Dengan Menggunakan Metode

ANALISIS EFISIENSI PRODUKSI MESIN RING FRAME DENGAN TOTAL PRODUCTIVE MAINTENANCE DI PT INDORAMA SYNTHETICS Tbk

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB 3 METODE PENELITIAN

ANALISIS PENGARUH PELAKSANAAN GOOD CORPORATE GOVERNANCE TERHADAP KUALITAS PELAYANAN PEMBERIAN KREDIT (Studi Kasus : PT. Bank Lampung, Lampung)

Oleh ADE YOLARDI SAPUTRA H

HUBUNGAN PENERAPAN KURIKULUM SISTEM MAYOR MINOR DENGAN PRESTASI BELAJAR MAHASISWA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

1. Tingkat efectivitas dan efisiensi mesin yang diukur adalah dengan Metode Overall

BAB III METODELOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

ANALISIS PEMELIHARAAN PRODUKTIF TOTAL PADA PT. WAHANA EKA PARAMITRA GKD GROUP

Prosiding SNATIF Ke-1 Tahun ISBN:

STUDI KASUS PENINGKATAN OVERALL EQUIPMENT EFFECTIVENESS (OEE) MELALUI IMPLEMENTASI TOTAL PRODUCTIVE MAINTENANCE (TPM)

BAB I PENDAHULUAN. Gula pasir merupakan kebutuhan pokok strategis yang memegang peran

Evaluasi Efektivitas Mesin Creeper Hammer Mill dengan Pendekatan Total Productive Maintenance (Studi Kasus: Perusahaan Karet Remah di Lampung Selatan)

BAB I PENDAHULUAN. perbaikan. Perbaikan yang diharapkan dapat meningkatkan keutungan bagi

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

PROGRAM STUDI TEKNIK INDUSTRI FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS MERCU BUANA JAKARTA 2016

BAB 1 PENDAHULUAN. b. Meminimalkan biaya bahan baku dan upah kerja. c. Kecepatan proses produksi dengan basis mess production yang seragam.

I. PENDAHULUAN. penyebarannya terbanyak di pulau Jawa dan Sumatera, masing-masing 50% dan

BAB I PENDAHULUAN. Pada industri manufaktur mesin/peralatan yang telah tersedia dan siap

Gambar 4.5 Diagram Alir Penilaian Kinerja Mesin

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Pada bab ini akan diuraikan tahapan atau langkah-langkah yang dilakukan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

PROGRAM STUDI TEKNIK INDUSTRI FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS MERCU BUANA JAKARTA 2017

Oleh MELLY SILVIANI H

BAB I PENDAHULUAN. industri baik dalam bidang teknologi maupun dalam bidang manajemen,

KARYA AKHIR Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Dari Syarat-Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sains Terapan. Oleh TENGKU EMRI FAUZAN

ANALISIS STRES KERJA KARYAWAN PADA PT BANK RAKYAT INDONESIA (PERSERO) Tbk CABANG BOGOR. Oleh ELIS SUSANTI H

ANALISIS PERAMALAN PENJUALAN DAIHATSU PT. ASTRA INTERNATIONAL Tbk DAIHATSU CABANG BOGOR DALAM RANGKA PERENCANAAN KEUANGAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI.

PENGUKURAN PRODUKTIFITAS MESIN UNTUK MENGOPTIMALKAN PENJADWALAN PERAWATAN (STUDI KASUS DI PG LESTARI)

dalam pembahasan sehingga hasil dari pembahasan sesuai dengan tujuan yang

ANALISA FAKTOR-FAKTOR SIX BIG LOSSES PADA MESIN CANE CATTER I YANG MEMPENGARUHI EFESIENSI PRODUKSI PADA PABRIK GULA PTPN II SEI SEMAYANG

Tabel 4.38 Metode 5W+1H dan Analisis ECRS Untuk Filler. Tabel 4.39 Metode 5W+1H dan Analisis ECRS Untuk Pasteur

BAB I PENDAHULUAN. masalah dalam mesin/peralatan produksi, misalnya mesin berhenti secara tiba-tiba,

BAB II LANDASAN TEORI

LEMBAR PENGESAHAN. ANALISA OEE (OVERALL EQUIPMENT EFFECTIVENESS) PADA DEPARTEMEN TELEPHONE CABLE DI PT.SUCACO Tbk (Mesin Scoop TEX5000) TUGAS AKHIR

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB II KERANGKA TEORITIS

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB V ANALISIS HASIL

BAB 3 METODOLOGI PEMECAHAN MASALAH

BAB VI PERAWATAN DI INDUSTRI

BAB 1 PENDAHULUAN. Industri Otomotif merupakan salah satu jenis bisnis yang berkembang

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara agraris mempunyai beberapa keunggulan

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB V ANALISIS PEMECAHAN MASALAH Analisis Perhitungan Overall Equipmenteffectiveness (OEE).

ANALISIS EFEKTIFITAS INTERNAL CONTROL PADA PENURUNAN TINGKAT FRAUD DALAM OPERASIONAL PT. BANK X. Oleh SANTI RAHMAYANTI H

Trainer Agri Group Tier-2

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

Bab 3 Metodologi Pemecahan Masalah

ANALISIS LOYALITAS KONSUMEN GIANT HYPERMARKET TAMAN YASMIN, BOGOR. Oleh PORWATI H

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

STUDI PENERAPAN TOTAL PRODUCTIVE MAINTENANCE (TPM) UNTUK PENINGKATAN EFISIENSI PRODUKSI PADA PTP.N II PABRIK RSS TANJUNG MORAWA KEBUN BATANG SERANGAN

BAB 9 MANAJEMEN OPERASIONAL SISTEM PRODUKSI TEPAT WAKTU (JUST IN TIME-JIT)

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat dunia yang semakin berhubungan, juga saling terkait satu sama lain dalam

ANALISIS PENGARUH PENEMPATAN PEGAWAI BERBASIS KOMPETENSI TERHADAP KINERJA PEGAWAI (STUDI KASUS DINAS PERHUBUNGAN PEMKAB BOGOR)

STUDI PENERAPAN TOTAL PRODUCTIVE MAINTENANCE (TPM) UNTUK PENINGKATAN EFESIENSI PRODUKSI DI PT. SINAR SOSRO

BAB I PENDAHULUAN. kondisi full capacity serta dapat menghasilkan kualitas produk seratus persen.

TIN102 - Pengantar Teknik Industri Materi #14 Ganjil 2014/2015 TIN102 PENGANTAR TEKNIK INDUSTRI

BAB I PENDAHULUAN. yang digunakan sebagai bahan bakar tungku alternatif baik skala kecil maupun

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

3 BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PE DAHULUA 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. yaitu pakan ternak berbentuk mesh, pellet, dan crumble. PT. Gold Coin memiliki

BAB 3 LANDASAN TEORI

Analisis OEE (Overall Equipment Effectiveness) pada Mesin Discmill di PT Tom Cococha Indonesia

BAB V ANALISA HASIL Analisis Perhitungan Overall Equipment Effectiveness (OEE)

ANALISIS GAYA KEPEMIMPINAN MANAJER DAN SUPERVISOR BERDASARKAN PERSEPSI KARYAWAN PT COATS REJO INDONESIA DIVISI PRODUKSI. Oleh DENY MARCIAN H

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pembangunan industri pada sektor usaha bidang pertambangan batubara

BAB V ANALISIS. Total Waktu (menit)

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Dalam era kompetisi global dan industrialisasi yang semakin canggih,

ANALISIS EFEKTIVITAS MESIN HOPPER DENGAN METODE OVERALL EQUIPMENT EFFECTIVENESS DAN FMEA PADA PT. KARYA MURNI PERKASA

BAB IV PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA

BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang (Assauri, 2004:1) Assauri (2004:95) Tampubolon (2004:251)

PENGARUH FAKTOR KOMUNIKASI PEMASARAN PERUSAHAAN TERHADAP KEPUTUSAN PEMBELIAN KONSUMEN

1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Transkripsi:

EVALUASI PENERAPAN TOTAL PRODUCTIVE MAINTENANCE DI PT FRINA LESTARI NUSANTARA Oleh SANDHY WIDIANSYAH H24050290 DEPARTEMEN MANAJEMEN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

ABSTRAK Sandhy Widiansyah. H24050290. Evaluasi Penerapan Total Productive Maintenance di PT Frina Lestari Nusantara. Di bawah bimbingan Pramono D. Fewidarto. Perusahaan yang bergerak di bidang industri membutuhkan pemeliharaan yang berkesinambungan terhadap mesin-mesin produksinya. Tanpa kondisi mesin yang optimal, proses produksi tidak bisa mencapai tingkat produktivitas yang diinginkan. Pemeliharaan dan perawatan merupakan kegiatan untuk menjamin mesin produksi agar dapat bekerja sebagaimana mestinya. Pemeliharaan dan perawatan menyeluruh untuk meningkatkan produktivitas perusahaan dikenal dengan Total Productive Maintenance (TPM). TPM menggabungkan praktek pemeliharaan preventive maintenance dan predictive maintenance dengan keterlibatan operator mesin melalui kegiatan autonomous maintenance. PT Frina Lestari Nusantara (PT FLN) merupakan salah satu perusahaan yang sedang berkembang di industri aksesoris kendaraan bermotor. Perkembangan ini salah satunya dikarenakan perusahaan menerapkan sistem Total Productive Maintenance (TPM) di lingkungan kerjanya. Produk-produk PT FLN diproduksi secara massal dan dipasarkan lewat agen tunggal pemegang hak merk kendaraan bermotor. PT FLN merupakan pemasok utama bagi perusahaan mobil seperti PT Indomobil Suzuki, PT Astra Honda Motor, PT Tiga Berlian Mitsubishi Motors, PT Astra Daihatsu, PT Isuzu, PT Ford Indonesia dan PT Astra Toyota. Penelitian ini menganalisis tentang persepsi operator mesin, foreman dan supervisor di Plant-2 (sebagai area kerja kritis) tentang pelaksanaan TPM dan pengaruhnya terhadap produktivitas perusahaan. Pengukuran produktivitas dilakukan dengan penghitungan Overall Equipment Efficiency (OEE) dengan memperhatikan tiga kriteria, yaitu availability, performance, dan quality. Pelaksanaan TPM di PT Frina Lestari Nusantara meliputi program kerja sikap 5S, kegiatan preventive maintenance, predictive maintenance, dan autonomous maintenance. Area kerja kritis terdapat pada area produksi Plant-2 dan stasiun kerja kritis adalah stasiun kerja Vacuum Forming-2. Kesimpulan dari persepsi para operator, foreman, dan supervisor menunjukkan adanya perubahan terhadap produktivitas setelah diterapkannya TPM. Hasil dari pengukuran dengan OEE, produktivitas paling rendah terdapat pada mesin Vacum Forming-1 pada tahun 2007 dengan nilai 70,20 persen. Nilai tertinggi terdapat pada Blow Molding 2 pada tahun 2009 yaitu 107,94 persen.

EVALUASI PENERAPAN TOTAL PRODUCTIVE MAINTENANCE DI PT FRINA LESTARI NUSANTARA SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA EKONOMI pada Departemen Manajemen Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor Oleh SANDHY WIDIANSYAH H24050290 DEPARTEMEN MANAJEMEN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN DEPARTEMEN MANAJEMEN EVALUASI PENERAPAN TOTAL PRODUCTIVE MAINTENANCE DI PT FRINA LESTARI NUSANTARA SKRIPSI sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA EKONOMI pada Departemen Manajemen Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor Oleh SANDHY WIDIANSYAH H24050290 Menyetujui, Agustus 2009 Ir. Pramono D. Fewidarto, MS Dosen Pembimbing Mengetahui, Dr. Ir. Jono M. Munandar, M.Sc Ketua Departemen Tanggal Lulus:

RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kota Sumedang, Provinsi Jawa Barat pada tanggal 16 April 1987. Penulis adalah anak kedua dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Agus Winarsyah dan Ibu Ecin Kuraesin. Penulis memulai pendidikan di TK Bhayangkari dan lulus pada tahun 1993. Pendidikan dasar di SD Sukaraja 1 pada tahun 1993 dan lulus pada tahun 1999. Penulis kemudian melanjutkan pendidikan menengah pertama di SLTP Negeri 1 Sumedang pada tahun 1999 dan lulus pada tahun 2002. Pendidikan menengah atas dilanjutkan di SMU Negeri 1 Sumedang pada tahun 2002 dan lulus pada tahun 2005. Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2005. Penulis merupakan mahasiswa angkatan pertama program kurikulum mayor-minor IPB. Penulis diterima sebagai mahasiswa mayor Departemen Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam berbagai organisasi dan kepanitiaan. Penulis menjadi anggota WAPEMALA (Wadah Perkumpulan Mahasiswa dan Pelajar Sumedang) pada tahun 2005-2009 dan menjadi wakil ketua pada tahun 2006-2007, anggota Syariah Economic Student Club (SES-C) pada tahun 2007-2008, anggota Dewan Keluarga Mesjid Al Hurriyyah IPB pada tahun 2006-2008. iii

KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala nikmat dan karunia-nya. Shalawat dan salam semoga tetap tercurah pada junjungan kita Nabi Muhammad SAW sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi yang berjudul Evaluasi Penerapan Total Productive Maintenance di PT Frina Lestari. Skripsi ini berisi tentang evaluasi penerapan TPM di PT Frina Lestari Nusantara dan bagaimana TPM tersebut berpengaruh terhadap produktivitas perusahaan. Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat menganalisis tentang efektivitas TPM yang telah dilaksanakan oleh perusahaan sehingga dapat dilakukan tindakan perbaikan untuk mengembangkan TPM lebih lanjut. Banyak pihak yang telah membantu dan memberikan masukan serta saran sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ini. Pada kesempatan ini penulis berterima kasih kepada : 1. Ir. Pramono D Fewidarto, MS selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan dalam penelitian dan penulisan skripsi ini. 2. Prof. Dr. Ir. WH Limbong, MS dan Dr. Ir. Abdul Kohar Irwanto, MSc selaku dosen penguji yang telah memberi banyak masukan pada penulisan skripsi ini. 3. Dra. Siti Rahmawati, M.Pd selaku dosen pembimbing akademik yang telah banyak membantu selama masa studi penulis. 4. Pak Muhammad, Pak Argo, Pak Sumpono, Pak Andi dan pihak-pihak lainnya di PT Frina Lestari Nusantara atas bantuannya selama proses pengumpulan data. 5. Seluruh keluarga tercinta terutama Mamah, Papap, Mamah Ai, Abah untuk do a dan semangat yang telah diberikannya kepada penulis. 6. Teman-teman satu bimbingan (Iqbal, Juli, Irsam, Rani, dan Fany), satu kosan Al Azhar (Reza, Dani, Abdul, Zulvan, Irfan, Nanto, dan Ferdi), dan temanteman di POPSI (Iqbal, Eko, Galih, Momon, Vandhy, Faris, dan Wibie) dan teman-teman di Manajemen 42 atas motivasi dan semangatnya kepada penulis. iv

7. Semua pihak yang telah membantu dan tidak dapat penulis sebutkan satupersatu. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih banyak kekurangan. Keterbatasan penulis dan berbagai kendala yang dihadapi merupakan penyebab tidak sempurnanya skripsi ini. Akhir kata penulis ucapkan terima kasih dan semoga tulisan ini bermanfaat. Bogor, Agustus 2009 Penulis v

DAFTAR ISI ABSTRAK Halaman RIWAYAT HIDUP... iii KATA PENGANTAR... iv DAFTAR ISI... vi DAFTAR TABEL... viii DAFTAR GAMBAR... ix DAFTAR LAMPIRAN... x I. PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang... 1 1.2 Perumusan Masalah... 4 1.3 Tujuan Penelitian... 4 1.4 Manfaat Penelitian... 4 1.5 Ruang Lingkup... 5 II. TINJAUAN PUSTAKA... 6 2.1 Total Productive Maintenance... 6 2.2 Maintenance... 9 2.3 Produksi... 11 2.4 Produktivitas... 11 2.5 Mesin... 14 2.6 Overall Equipment Efficiency... 14 2.7 Crosstabulation Chi-Square... 15 2.8 Penelitian Terdahulu... 16 III. METODOLOGI PENELITIAN... 19 3.1 Kerangka Pemikiran Konseptual... 19 3.2 Tahapan Penelitian... 21 3.3 Lokasi dan Waktu Penelitian... 24 3.4 Metode Penelitian... 24 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN... 28 4.1 Gambaran Umum Perusahaan... 28 4.2 Kegiatan Produksi Perusahaan... 30 4.3 Penggunaan Mesin-mesin pada Setiap Area Kerja... 33 4.4 Implementasi TPM di PT Frina Lestari Nusantara... 35 4.5 Penetapan Area dan Stasiun Kerja Kritis... 39 4.6 Efektivitas Penerapan TPM di Area Kerja Kritis... 47 vi

4.7 Efektivitas Penerapan TPM terhadap Perubahan Produktivitas... 55 4.8 Perhitungan Overall Equipment Efficiency (OEE)... 66 4.9 Implikasi Manajerial... 76 KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan... 78 2. Saran... 78 DAFTAR PUSTAKA... 80 LAMPIRAN... 82 vii

DAFTAR TABEL No Halaman 1. Jumlah Responden Penelitian... 25 2. Perumusan Hipotesis... 26 3. Waktu Produksi Mesin-mesin di Plant-2 Bulan Januari 2009... 42 4. Waktu Produksi Mesin-mesin di Plant-2 Bulan Februari 2009... 43 5. Waktu Produksi Mesin-mesin di Plant-2 Bulan Maret 2009... 45 6. Waktu Produksi Mesin-mesin di Plant-2 Bulan April 2009... 46 7. Pemahaman Para Operator, Foreman, dan Supervisor terhadap Program Kerja Sikap 5S... 48 8. Tabulasi Silang Hubungan antara Pemahaman dan Pelaksanaan Para Operator, Foreman, dan Supervisor Mengenai Program Kerja Sikap 5S... 49 9. Pengetahuan Para Operator, Foreman, dan Supervisor terhadap Program Kerja Autonomous Maintenance... 53 10. Tabulasi Silang Persepsi Para Operator, Foreman, dan Supervisor Mengenai Program Autonomous Maintenance... 55 11. Persentase Nilai Overall Equipment Efficiency Mesin Vacuum Forming-1... 66 12. Persentase Nilai Overall Equipment Efficiency Mesin Vacuum Forming-2... 69 13. Persentase Nilai Overall Equipment Efficiency Mesin Blow Moulding-1... 71 14. Persentase Nilai Overall Equipment Efficiency Mesin Blow Moulding-2... 74 viii

DAFTAR GAMBAR No Halaman 1. Grafik Pendapatan PT Frina Lestari Nusantara Tahun 2004-2008... 3 2. Kerangka Pemikiran Konseptual... 21 3. Diagram Alur Penelitian... 23 4. Grafik Downtime Bulan Januari 2009... 41 5. Grafik Downtime Bulan Februari 2009... 42 6. Grafik Downtime Bulan Maret 2009... 44 7. Grafik Downtime Bulan April 2009... 45 8. Pengetahuan Responden Mengenai Kegiatan Preventive Maintenance... 51 9. Pengetahuan Responden Mengenai Kegiatan Predictive Maintenance... 52 10. Histogram Availability, Performance, Quality dan OEE Mesin Vacuum Forming-1... 68 11. Histogram Availability, Performance, Quality dan OEE Mesin Vacuum Forming-2... 70 12. Histogram Availability, Performance, Quality dan OEE Mesin Blow Moulding-1... 72 13. Histogram Availability, Performance, Quality dan OEE Mesin Blow Moulding-2... 75 ix

DAFTAR LAMPIRAN No Halaman 1. Tabel Rencana Pengumpulan dan Analisis Data... 83 2. Kuisioner Penelitian... 86 3. Struktur Organisasi PT Frina Lestari Nusantara... 91 4. Layout Produksi Plant-1... 92 5. Layout Produksi Plant-2... 93 6. Layout Produksi Plant-3... 94 7. Hasil Pengolahan Data Tabulasi Silang Hubungan antara Pemahaman dan Pelaksanaan Para Operator, Foreman, dan Supervisor terhadap Pelaksanaan Program Kerja Sikap 5S... 95 8. Hasil Pengolahan Data Tabulasi Silang Hubungan antara Pengetahuan dan Persepsi Para Operator, Foreman, dan Supervisor terhadap Pelaksanaan Program Kerja Autonomous Maintenance... 96 9. Pengolahan Data dengan Menggunakan Modus dari Jawaban Persepsi Para Operator, Foreman, dan Supervisor... 97 10. Perhitungan Nilai Overall Equipment Efficiency... 100 x

1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada saat ini penggunaan mesin sebagai alat produksi semakin dibutuhkan oleh perusahaan. Keberadaan mesin tersebut menjadi suatu kebutuhan yang wajib dipenuhi agar perusahaan dapat melakukan proses produksi. Teknologi yang semakin maju membuat mesin produksi semakin canggih dan tentunya membuat proses produksi menjadi semakin praktis dan cepat sehingga lebih menguntungkan bagi perusahaan. Penggunaan mesin-mesin produksi menjadi meningkat seiring dengan kebutuhan perusahaan untuk meningkatkan produktivitasnya. Mesin-mesin produksi tersebut tidak bisa dibiarkan begitu saja tanpa adanya pemeliharaan dan perawatan. Mesin-mesin produksi semakin lama akan mengalami penurunan kinerja dan apabila dibiarkan terus-menerus akan mengalami kerusakan (breakdown) yang pada akhirnya akan menyebabkan kerugian waktu operasi (downtime). Permasalahan yang muncul akibat downtime ini misalnya keterlambatan produksi, pekerja yang menganggur, hilangnya waktu efektif untuk berproduksi sehingga mempengaruhi produktivitas perusahaan. Selain itu, kerusakan juga menyebabkan biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan menjadi meningkat akibat adanya biaya perbaikan mesin ataupun juga biaya untuk pembelian mesin baru. Oleh karena itu, perusahaan akan mengalami kerugian yang dapat menghilangkan keuntungan yang seharusnya dapat diperoleh perusahaan. Perusahaan yang bergerak di bidang industri membutuhkan pemeliharaan dan perawatan yang berkesinambungan terhadap mesin-mesin produksinya. Tanpa kondisi mesin yang optimal, proses produksi tidak bisa mencapai tingkat produktivitas yang diharapkan. Pemeliharaan dan perawatan merupakan kegiatan untuk menjamin mesin atau alat agar dapat bekerja sebagaimana yang diinginkan. Tujuan dari pemeliharaan dan perawatan mesin antara lain adalah agar mesin atau alat tersedia dalam kondisi menguntungkan, kesiapan peralatan cadangan dalam kondisi darurat, keselamatan manusia dan lingkungan, dan usia pakai mesin lebih panjang. Aktivitas pemeliharaan dan perawatan mesin tidak hanya menjadi

2 tanggung jawab dari Bagian Pemeliharaan saja. Kegiatan ini harus melibatkan operator mesin agar pencegahan terhadap kerusakan tidak mencapai pada tingkat yang parah (deterioration). Teknik pemeliharaan yang mengembangkan pemeliharaan dan perawatan secara menyeluruh untuk meningkatkan produktivitas perusahaan dikenal dengan Total Productive Maintenance (TPM). TPM menggabungkan praktek perawatan dengan preventive maintenance dan keterlibatan operator mesin melalui kegiatan autonomous maintenance. Keterlibatan operator ini untuk mengembangkan budaya dimana operator membangun rasa memiliki terhadap perawatan mesin atau alat yang mereka pakai dan membangun sinergi dengan Bagian Pemeliharaan dan Perawatan, engineering dan manajemen untuk memastikan peralatan bekerja dengan baik. Pemeliharaan dan perawatan yang diterapkan dalam TPM merupakan pemeliharaan terencana yang terdiri dari dua bagian, yaitu pemeliharaan khusus dan pemeliharaan mandiri. Pemeliharaan khusus dilakukan sendiri oleh Bagian Pemeliharaan dan Perawatan, dan pemeliharaan mandiri dilakukan oleh operator mesin. TPM mempunyai double goal yaitu zero breakdown dan zero defect. Jika breakdown dan defect dapat dikurangi, maka tingkat operasi mesin meningkat, biaya berkurang, dan sebagai akibatnya adalah produktivitas akan meningkat. PT Frina Lestari Nusantara (PT FLN) merupakan salah satu perusahaan yang sedang berkembang di industri aksesoris kendaraan bermotor. Produkproduk PT FLN terbuat dari bahan polyurethane dan elastomer yang diproduksi secara massal dan dipasarkan lewat agen tunggal pemegang hak merk kendaraan bermotor. Oleh karena itu, produk-produk PT FLN dianggap sebagai produk asli bagi pemegang hak merk tersebut dan telah mendapat lisensi khusus untuk di produksi di PT FLN. PT FLN merupakan pemasok utama bagi perusahaan mobil seperti PT Indomobil Suzuki, PT Astra Honda Motor, PT Tiga Berlian Mitsubishi Motors, PT Astra Daihatsu, PT Isuzu, PT Ford Indonesia dan PT Astra Toyota. Pendapatan PT FLN cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Hal ini terlihat dari grafik pendapatan PT FLN selama kurun waktu 2004-2008 yang disajikan pada Gambar 1.

3 12 10 8 6 Pendapatan (Million USD) 4 2 0 2004 2005 2006 2007 2008 Gambar 1. Grafik Pendapatan PT Frina Lestari Nusantara tahun 2004-2008 (Sumber : PT Frina Lestari Nusantara, 2008) Tahun 2004 pendapatan PT FLN sebesar $ 7,4 juta yang berasal dari penjualan produk berbahan dasar polyurethane dan aksesoris lainnya. Tahun 2005 pendapatan perusahaan naik sebesar $ 1 juta menjadi $ 8,4 juta. Tahun 2006 pendapatan perusahaan mengalami penurunan sebesar $ 1,5 juta, sehingga menjadi $ 6,9 juta. Tahun 2007 terjadi kenaikan pendapatan sebesar $ 2,3 juta dari tahun 2006, sehingga total menjadi $ 9,2 juta. Kenaikan pendapatan ini merupakan kenaikan pendapatan terbesar dalam kurun waktu 2004-2007. Tahun 2008 pendapatan perusahaan kembali mengalami kenaikan sebesar $ 1,2 juta sehingga menjadi $ 10,4 juta. Kecenderungan kenaikan pendapatan ini menunjukkan adanya kenaikan dalam penjualan produk-produk PT FLN. Untuk memenuhi target penjualan, PT FLN harus menjaga kontinuitas produksi agar produk yang dihasilkan dapat memenuhi target yang diharapkan. Oleh karena itu, perusahaan terus mengadakan perbaikan terhadap sistem TPM yang sedang dijalankan untuk tetap menjaga kondisi mesin agar tetap bisa berproduksi secara optimal. Penelitian tentang TPM ini sangat menarik untuk dipelajari karena kemampuannya dalam melibatkan operator dan bagaimana sinergitas yang dibangun di antara bagian-bagian perusahaan dalam kegiatan pemeliharaan. Di PT FLN sendiri sangat cocok untuk dilaksanakan penelitian mengenai penerapan

4 TPM, karena saat ini PT FLN sedang melaksanakan pengembangan terhadap program TPM untuk meningkatkan produktivitas perusahaan. 1.2 Perumusan Masalah Kegiatan pemeliharaan dan perawatan terhadap mesin-mesin produksi harus mendapat prioritas utama. Mesin yang telah bekerja selama berjam-jam mempunyai kemungkinan rusak yang tidak bisa diperkirakan. Kerusakan mesin yang tiba-tiba inilah harus bisa diantisipasi oleh perusahaan agar bisa ditanggulangi sedini mungkin agar tidak terjadi breakdown pada mesin. Pemeliharaan dan perawatan terhadap mesin-mesin produksi kadang sering dititik beratkan kepada Bagian Pemeliharaan dan Perawatan saja, padahal menurut konsep TPM setiap elemen dalam perusahan harus berperan dalam kegiatan pemeliharaan dan perawatan mesin produksi. Permasalahan yang dapat dirumuskan adalah bagaimana penerapan TPM di PT Frina Lestari Nusantara saat ini, bagaimana efektivitas TPM yang telah diterapkan oleh perusahaan, dan bagaimana pengaruh implementasi TPM terhadap produktivitas perusahaan. 1.3 Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk : a. Mengkaji penerapan TPM di PT Frina Lestari Nusantara. b. Mengidentifikasi area dan stasiun kerja kritis pada perusahaan untuk mengamati efektivitas pelaksanaan TPM. c. Mengkaji dampak penerapan TPM terhadap produktivitas perusahaan berdasarkan persepsi para tenaga kerja dan berdasarkan efisiensi mesin produksi. 1.4 Manfaat Penelitian a. Manfaat bagi Perusahaan Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan yang bermanfaat bagi perusahaan terhadap pelaksanaan TPM dan bagaimana perusahaan meningkatkan produktivitasnya melalui penerapan TPM. Selain itu, peneliti berharap penelitian ini bermanfaat bagi pengembangan pemeliharaan selanjutnya pada perusahaan.

5 b. Manfaat bagi Peneliti Penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi tambahan yang berguna bagi peneliti lain yang melaksanakan penelitian yang berkaitan dengan penerapan Total Productive Maintenance. 1.5 Ruang Lingkup Penelitian ini difokuskan pada mengidentifikasi penerapan TPM pada perusahaan dengan mengamati secara keseluruhan kegiatan TPM. Kemudian mencari area mana yang dianggap rentan terhadap kerusakan mesin serta mengidentifikasi bagaimana perusahaan menerapkan TPM untuk meningkatkan produktivitasnya. Kajian mendalam hanya pada area kerja kritis, yaitu area produksi yang memiliki beban produksi tinggi, mesin produksi yang banyak mengalami downtime, dan area kerja tersebut berkaitan dengan area kerja yang lain, sehingga apabila terjadi gangguan akan menganggu aktivitas pada area kerja lainnya. Pengaruh TPM terhadap produktivitas perusahaan dianalisis berdasarkan persepsi antar waktu para tenaga kerja terhadap perubahan kondisi kerja sebelum dan setelah diterapkannya TPM dan berdasarkan perhitungan efisiensi mesin yang dihitung dengan formula Overall Equipment Efficiency (OEE).

6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Total Productive Maintenance Total Productive Maintenance (TPM) adalah teknik silang fungsional yang melibatkan beberapa bagian fungsional perusahaan bukan hanya pada Bagian Pemeliharaan saja (Borris, 2006). Kegiatan pemeliharaan ini melibatkan Bagian Pemeliharaan dan Bagian Produksi. Sedangkan menurut Peppard dan Philip (1997), dijelaskan bahwa dalam TPM, mesin-mesin dipelihara dan tim yang ada tidak menunggu hingga terjadi kerusakan untuk melakukan perbaikan mesin, tetapi secara rutin merawatnya untuk menjamin ketersediaan mesin secara terusmenerus. Menurut Imai (1991) TPM ditujukan untuk perbaikan atas peralatan dan lebih berorientasi pada perangkat keras (hardware) melalui tindakan preventive maintenance terhadap masa penggunaan fasilitas produksi serta melibatkan setiap orang di seluruh bagian dan tingkatan. TPM mencakup delapan bagian yang dikenal dengan delapan pilar TPM yang terdiri dari : 1. Kesehatan dan Keselamatan Hal ini penting sekali sebagai dasar untuk mencapai zero accidents. Arti pentingnya adalah menekankan pada kebutuhan akan melindungi operator, yang akan diberikan pelatihan, yang pada awalnya hanya dibebankan untuk menyelesaikan tugas yang sederhana. Mengingat bahwa sebagian besar operator akan berpartisipasi dalam autonomous maintenance, maka harus ada penilaian terhadap risiko, gambaran risiko dan beberapa konsep keselamatan secara detail. Untuk meningkatkan kepercayaan diri operator, mereka harus dilatih tentang bagaimana menyelesaikan masalah yang akan diperkiran muncul. Mereka juga harus didukung dengan pengembangan prosedur keselamatan kerja.

7 2. Pendidikan dan Pelatihan Pendidikan dan pelatihan diperlukan untuk mengetahui pengetahuan apa yang dibutuhkan dalam TPM, bagaimana untuk mengajarkannya, dan bagaimana untuk menegaskan hal tersebut telah diserap atau dimengerti dengan baik. 3. Autonomous Maintenance Pada pilar ini diharapkan terdapat peningkatan kemampuan operator pada level dimana mereka mampu mengadakan pemeliharaan dasar pada peralatan yang mereka pakai. Dengan menggunakan pola pembersihan dan inspeksi, mereka belajar untuk mengenali operasi abnormal dan mengidentifikasi masalah yang sedang berkembang. 4. Pemeliharaan Terencana Pemeliharaan terencana untuk memperhatikan lebih dalam mengenai penyebab timbulnya masalah pada peralatan dan mengidentifikasi serta mengimplementasi jalan keluar dari masing-masing penyebab tersebut. 5. Pemeliharaan Kualitas Pilar ini menggunakan tim dari cross-functional untuk menganalisa area dari kinerja peralatan dimana variasi produk dapat direduksi. Jika terdapat masalah yang telah ditemukan, tim akan menginvestigasi apakah perubahan atau penggantian harus diimplementasikan agar terjadi peningkatan hasil. 6. Berfokus pada Peningkatan Tim yang terdiri dari lintas fungsi melakukan identifikasi terhadap masalah yang muncul kemudian mencari solusi permanen untuk masalah tersebut. Masalah yang dibahas harus dievaluasi untuk menentukan apakah keputusan yang diambil berdampak positif sehingga bermanfaat untuk menghemat biaya. 7. Sistem Pendukung Penggunaan TPM sebagai suatu teknik untuk mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah yang muncul. Fungsi ini untuk mendukung dari kegiatan produksi yang mencakup penyimpanan, pembayaran, fasilitas, quality control, penjadwalan, pengaturan barang dan penjualan. 8. Inisialisasi Tahapan Manajemen Pilar ini merupakan rencana organisasi yang disusun oleh tim dengan mempertimbangkan setiap bagian dari produksi. Metodologi yang dipakai

8 mencakup berbagai jenis dari Value Flow Analysis, misalnya tentang bagaimana perusahaan mendapatkan ide baru untuk suatu produk, bagaimana membuat desain untuk produk baru tersebut, dan hal lainnya. Tim dibentuk dengan tujuan untuk terwujudnya peningkatan perbagian (Partial Improvement). Peningkatan perbagian merupakan suatu kegiatan untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas mesin melalui suatu proyek khusus. Adapun langkah-langkah tersebut adalah : 1. Penentuan objek proyek 2. Pembentukan tim 3. Identifikasi masalah 4. Penetapan target 5. Pembuatan rencana kerja 6. Uji coba dan kajian 7. Penerapan 8. Evaluasi terhadap target 9. Standarisasi 10. Pengembangan ke objek lain yang sejenis TPM dirancang untuk mencegah terjadinya berbagai kerugian dengan mengembangkan metoda pengelolaan, penggunaan dan perawatan peralatan yang pada akhirnya dapat memaksimumkan efisiensi pada sistem produksi secara keseluruhan (Apriliani, 2007). Di dalam TPM disebutkan delapan kerugian besar yang harus dihindari, yaitu : 1. Kerugian karena kerusakan mesin dan peralatan. 2. Kerugian karena pemasangan dan penyetelan mesin. 3. Kerugian karena penggantian alat pada mesin. 4. Kerugian pada saat mesin mulai beroperasi. 5. Kerugian karena mesin berhenti sesaat atau karena mesin beroperasi tanpa beban. 6. Kerugiaan karena kecepatan mesin. 7. Kerugian karena produk cacat maupun karena produk yang diproses ulang. 8. Kerugian karena mesin berhenti beroperasi.

9 TPM merupakan konsep pemeliharaan dengan tujuan untuk meningkatkan produksi sekaligus meningkatkan moral dan tanggung jawab karyawan pada masing-masing pekerjaan yang mereka lakukan. TPM merupakan siklus yang menggabungkan sistem perawatan bersifat pencegahan (preventive maintenance) dan perawatan bersifat perbaikan (corrective maintenance). Kata Total dalam TPM mengandung pengertian sebagai berikut : 1. Total efektivitas, mengindikasikan bahwa TPM meningkatkan efektivitas pemakaian alat secara keseluruhan. 2. Total sistem pemeliharaan, termasuk program pemeliharaan pencegahan. 3. Total partisipasi, artinya kegiatan TPM mengikutsertakan seluruh jajaran pada setiap level mulai dari manajemen puncak sampai operator. Setiap karyawan harus memiliki sikap hidup dan budaya berdasarkan prinsip 5 S sebagai modal dasar dalam menerapkan TPM. Prinsip 5 S tersebut yaitu : 1. Seiri (clearing up), yaitu memilah atau menyortir semua barang atas dua kelompok, perlu dan tidak perlu. Barang yang termasuk kelompok tidak perlu disingkirkan. 2. Seiton (organizing), yaitu memastikan bahwa ada tempat untuk semua barang dan setiap barang ada ditempatnya. Dengan demikian setiap barang siap pakai tanpa mencari-cari terlebih dahulu. 3. Seiso (cleaning), yaitu membersihkan tempat kerja (bebas dari debu dan kotoran sampah) sehingga karyawan dan mesin (man and machine) siap kerja pada kapasitas maksimum setiap dimulai. 4. Seiketsu (standardizing), yaitu secara tetap atau kontinu melaksanakan seiri, seiton dan seiso. Dengan melakukan hal tersebut seseorang akan menjadi teladan yang baik bagi orang lain diperusahaan. 5. Sitsuke (training and discipline), yaitu mendorong orang lain mengikuti contoh yang kita lakukan sehingga seiri, seiton, dan seiso dikerjakan dengan patuh. 2.2 Maintenance Menurut Assauri (2004), kegiatan maintenance dititikberatkan pada pemeliharaan fasilitas serta peralatan yang dapat mendukung kelancaran proses produksi, terutama dengan menekan atau mengurangi kemacetan-kemacetan

10 menjadi sekecil mungkin bahkan tidak ada sama sekali. Maintenance merupakan aktivitas pemeliharaan terhadap fasilitas produksi, sehingga dapat memberikan beberapa manfaat penting, antara lain : a. Mesin dan peralatan produksi dapat digunakan dalam jangka waktu relatif lebih panjang. b. Pelaksanaan proses produksi dapat berjalan dengan lancar dan stabil. c. Menekan sekecil mungkin kemungkinan kerusakan-kerusakan berat terhadap mesin dan peralatan produksi yang digunakan. d. Pengendalian proses dan kualitas akan dapat dilaksanakan dengan baik. e. Perusahaan akan mampu menekan biaya pemeliharaan yang timbul akibat perbaikan-perbaikan pada kerusakan peralatan. f. Koordinasi antar bagian di pabrik dapat berjalan dengan baik. Preventive maintenance menurut Assauri (2004) adalah kegiatan untuk mencegah timbulnya kerusakan-kerusakan yang tidak terduga dan menemukan kondisi yang dapat menyebabkan fasilitas produksi mengalami kerusakan pada saat digunakan dalam proses produksi. Sedangkan menurut Setiawan (2008), preventive maintenance adalah inspeksi periodik untuk mendeteksi kondisi yang mungkin menyebabkan produksi berhenti atau berkurangnya mesin dikombinasikan dengan pemeliharaann untuk menghilangkan, mengendalikan kondisi tersebut dan mengembalikan mesin ke kondisi semula. Autonomous maintenance adalah peningkatan keahlian operator pada level dimana mereka mampu menyelesaikan pemeliharaan dasar pada peraratan mereka (Borris, 2006). Breakdown maintenance adalah tindakan yang dilakukan setelah terjadi kerusakan atau kelainan pada fasilitas produksi, dan kegiatan ini sering juga disebut corrective maintenance. Menurut Setiawan (2008), langkah penerapan Autonomous Maintenance diantaranya : 1. Melaksanakan pembersihan awal dan inspeksi. 2. Menghilangkan penyebab kontaminasi dan inspeksi area tersembunyi dan jarang diperhatikan. 3. Mengembangkan standar kebersihan, pelumasan dan inspeksi untuk menjaga kondisi mesin.

11 4. Melakukan inspeksi umum secara mandiri. 5. Mengorganisir dan mengelola lokasi kerja. 6. Pemeliharaan mandiri sepenuhnya. 2.3 Produksi Proses produksi menurut Assauri (2004), terdiri dari dua kata yaitu proses dan produksi. Proses adalah cara, metode dan teknik bagaimana sesungguhnya sumber-sumber (tenaga kerja, mesin, bahan dan dana) yang ada dirubah untuk memperoleh suatu hasil. Sedangkan produksi adalah kegiatan untuk menciptakan atau menambah kegunaan suatu barang atau jasa. Oleh karena itu, proses produksi dapat diartikan sebagai cara, metode dan teknik menggunakan sumber-sumber (tenaga kerja, mesin, bahan-bahan dan biaya) yang ada. Proses produksi dibedakan menjadi dua jenis, yaitu : 1. Proses produksi yang terus-menerus (continuous processes) adalah proses produksi yang menggunakan peralatan produksi yang telah dipersiapkan untuk pemakaian jangka lama tanpa mengalami perubahan set-up untuk memproduksi satu barang produksi saja. 2. Proses produksi yang terputus-putus (intermittent processes) adalah proses produksi yang menggunakan peralatan produksi yang telah dipersiapkan untuk pemakaian jangka pendek dan kemudian dirubah atau dipersiapkan kembali untuk memproduksi barang yang lain. 2.4 Produktivitas Produktivitas menurut Greenberg dalam Sinungan (2000) adalah tingkat efisiensi dalam memproduksi barang-barang atau jasa saja. Produktivitas mengutarakan cara pemanfaatan secara baik terhadap sumber-sumber dalam memproduksi barang-barang. Definisi umum produktivitas adalah suatu konsep yang bersifat universal yang bertujuan untuk menyediakan lebih banyak barang dan jasa untuk lebih banyak manusia dengan menggunakan sumber-sumber riil yang makin sedikit (Sinungan, 2000). Menurut International Labour Office tahun 1975, produktivitas adalah perbandingan anatara apa yang dihasilkan (output) dengan apa yang dimasukkan (input).

12 Secara umum pengukuran produktivitas berarti perbandingan yang dapat dibedakan dalam tiga jenis yang sangat berbeda, yaitu : 1. Perbandingan-perbandingan antara pelaksanaan sekarang dengan pelaksanaan secara historis yang tidak menunjukkan apakah pelaksanaan sekarang ini memuaskan namun hanya mengetengahkan apakah meningkat atau berkurang serta tingkatannya. 2. Perbandingan pelaksanaan antara satu unit (perorangan, tugas, seksi, proses) dengan lainnya. Pengukuran seperti itu menunjukkan pencapaian relatif. 3. Perbandingan pelaksanaan sekarang dengan targetnya, dan inilah yang terbaik sebagai memusatkan perhatian pada sasaran atau tujuan. Dua pendekatan umum dalam pengukuran produktivitas, yaitu : 1. Pendekatan produktivitas total atau faktor ganda yaitu output dihadapkan dengan seluruh input yang digunakan. 2. Pendekatan parsial atau faktor tunggal yaitu output dihadapkan dengan satu input saja ( seperti produktivitas tenaga atau produktivitas modal). Berdasarkan tingkat perbandingan yang berbeda, produktivitas dibagi menjadi dua macam, yaitu produktivitas total dan produktivitas parsial. Rumus produktivitas total sebagai berikut : Ot Pt = L+C+R+Q... (1) Keterangan : Pt = Produktivitas Total (Rp) L = Faktor masukan tenaga kerja (Rp) C = Faktor masukan modal (Rp) O = Faktor masukan barang-barang dan jasa-jasa yang beraneka macam (Rp) Produktivitas total menurut Heizer (2005), input bisa dinotasikan dalam dolar atau rupiah dan dijumlahkan. Sedangkan produktivitas parsial hanya menggunakan satu sumberdaya sebagai input. Sebagai contoh input yang digunakan adalah tenaga kerja, maka rumus produktivitas parsialnya adalah sebagai berikut :

13 Produktivitas Parsial = Ot L Keterangan : Ot = Barang yang dihasilkan (unit) L = Faktor masukan tenaga kerja (jam)... (2) Contoh untuk penggunaan produktivitas parsial misalnya, output yang dihasilkan adalah 1000 unit dan jam tenaga kerja yang digunakan adalah 250 jam. Produktivitas parsial yang dihasilkan adalah 4 unit per jam-pekerja. Pengukuran produktivitas total dibagi ke dalam dua metode pengukuran, yaitu berdasarkan waktu tenaga kerja dan keuangan tenaga kerja (finansial). 1. Metode waktu tenaga kerja, yaitu metode yang menggunakan asumsi bahwa penyusutan jasa-jasa dan produk akhir yang mengandung atau menyangkut tenaga kerja dapat diubah ke dalam ekuivalen sumber tenaga kerja dengan membagi hasil (output) dengan masukan (input). Rumusnya yaitu : Hasil bersih setiap pekerja = AV Ly... (3) AV adalah nilai tambah pada material-material melalui proses produksi dan merupakan dana dimana upah, gaji persewaan, bea, persediaan atau cadangan pajak dan juga dividen, penjualan, distribusi biaya periklanan maupun depresiasi mesin, pekerja dan bangunan harus terpenuhi. Ly adalah jumlah total pekerja yang diperoleh dengan menambahkan pekerja lainnya yang berada pada unit-unit jangka tahunan manusia. 2. Metode finansial, yaitu pengukuran produktivitas dengan membandingkan semua sumber-sumber perusahaan secara bersama-sama. Penghitungan produktivitas dengan menggunakan rumus sebagai berikut : Nilai tambah Biaya-biaya konvensi = Penjualan (Rm + B +W) (L + Sc + Rm + B + W + D + Sa)... (4)

14 Keterangan : Rm = Biaya bahan baku (Rp) B = Biaya barang-barang yang dibeli melalui saham (Rp) W = Biaya pelayanan atau jasa tenaga kerja (Rp) L = Biaya tenaga kerja (Rp) Sc = Biaya penggajian (Rp) D = Depresiasi (Rp) Sa = Biaya administrasi, penjualan dan distribusi (Rp) 2.5 Mesin Mesin menurut Assauri (2004) adalah suatu peralatan yang digerakkan oleh suatu kekuatan atau tenaga yang dipergunakan untuk membantu manusia dalam mengerjakan produk atau bagian-bagian produk tertentu. Selain mesin juga dikenal istilah tools, yaitu instrumen atau perkakas yang dipergunakan untuk melakukan pekerjaan dalam mengerjakan produk atau bagian-bagian produk. Jenis-jenis mesin pada prinsipnya dibedakan atas dua macam, yaitu : 1. General Purpose Machines General Purposes Machines adalah mesin-mesin yang dibuat untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan tertentu untuk berbagai jenis produk atau bagian dari produk. 2. Special Purpose Machines Special Purposes Machines adalah mesin-mesin yang direncanakan dan dibuat untuk mengerjakan satu atau beberapa jenis kegiatan yang sama, melakukan satu macam pekerjaan atau membuat satu macam produk 2.6 Overall Equipment Efficiency Menurut Borris (2006), tiga faktor yang menjadi perhatian pada TPM yang kaitannya dengan produktivitas adalah ketersediaan (availability), kinerja (performance) dan kualitas (quality). Tiga faktor tersebut mendasari perhitungan indeks efisiensi peralatan atau yang dikenal dengan Overall Equipment Efficiency (OEE). OEE digunakan untuk mengukur tingkat efisiensi peralatan selama masa operasi peralatan. OEE memiliki rumus seperti di bawah ini :

15 OEE = Availability x Performance x Quality Yield, dengan : waktu tersedia untuk produksi - downtime Availability (%) = waktu tersedia untuk produksi x 100...(5) jumlah unit yang diolah Performance (%) = x 100...(6) jumlah unit yang mungkin diolah Quality (%) = jumlah unit yang dihasilkan jumlah produk cacat jumlah unit yang dihasilkan x 100...(7) 2.7. Crosstabulation Chi-Square Tabulasi silang (cross tabulation) merupakan alat analisis dasar untuk menghubungkan antar variabel, sehingga disebut bivariate cross tabulation. Analisis crosstabs ini dapat dibagi menjadi dua yaitu analisis crosstabs-chi squere dan analisis crosstabs-correlation. Analisis crosstabs-chi square adalah suatu analisis hubungan antarvariabel data nominal, sedangkan analisis crosstabscorrelation adalah suatu analisis hubungan antarvariabel data ordinal (Trihendardi, 2006). Usman (2003) menjelaskan bahwa chi square (χ 2 ) merupakan teknik statistik yang digunakan untuk menguji hipotesis bila dalam populasi terdiri atas dua kelas atau lebih, dan data berbentuk nominal. Tujuan chi square antara lain melihat hubungan atau pengaruh antar dua buah variabel nominal (uji independen antara dua variabel), melihat kuatnya (derajat) hubungan antara variabel yang satu dengan variabel nominal berdasarkan data hasil pengamatan. Menurut Siagian (2006), untuk melakukan uji kebebasan dua variabel diperlukan nilai frekuensi harapan yang dihitung melalui penerapan konsep peluang bila kedua variable diasumsikan bebas. Nilai frekuensi harapan yang diperoleh selanjutnya dibandingkan dengan nilai frekuensi observasi. Semakin dekat nilai frekuensi dengan nilai frekuensi harapan, berarti semakin besar kecenderungan bahwa kedua variabel tersebut saling bebas.

16 2.8 Penelitian Terdahulu Fikri (1995) melakukan penelitian dengan judul Rencana Implementasi Total Productive Maintenance di PT X. Rencana implementasi TPM ini ditujukan agar kondisi peralatan produksi di PT X selalu terjaga dalam keadaan siap pakai. Data yang dipakai dalam penelitian ini meliputi jumlah tenaga kerja, jadwal kegiatan, jadwal training, rencana alokasi biaya, rencana pembelian mesin, biaya material, biaya overhead dan biaya upah karyawan. Hasil dari penelitian Fikri (1995) adalah berupa suatu rencana implementasi TPM untuk PT X yang dilaksanakan dalam tiga tahap, yaitu tahap persiapan, tahap pelaksanaan dan tahap pemantapan. Disamping itu, dengan adanya program TPM di PT X akan mengurangi biaya perbaikan dan akan mencegah terjadinya kerusakan fatal pada mesin-mesin yang dapat menyebabkan terhentinya kegiatan produksi. Ansyori (1996) melakukan penelitian tentang rancangan Total Productivity Maintenance pada PT PLN (Persero) wilayah IV sektor Bandar Lampung. Penelitian ini berupa rancangan TPM untuk PT PLN (Persero). Tujuan dari penelitian ini adalah bagaimana mencegah terjadinya kerusakan fatal yang menyebabkan terhentinya kegiatan produksi. Kesimpulan hasil dari penelitian Ansyori (1996) diantaranya : a. Tenaga dan sarana pelatihan untuk meningkatkan keterampilan sudah tersedia dan dapat dilaksanakan sehingga dapat mengatasi sistem perbaikan dan pemeliharaan. b. Pengembangan kemampuan dan latihan sangat penting agar keterlibatan karyawan semakin efektif. c. Pendidikan atau pelatihan merupakan unsur yang mutlak diperlukan dalam memulai dan memelihara kelangsungan gerakan TPM. d. Kegagalan mesin berkaitan dengan cara berfikir manusia dan tindakannya karena kurangnya pengetahuan atau keahlian manusia serta cara kerja alat dan tindakannya. e. TPM diperlukan untuk menjaga kondisi mesin agar lebih baik.

17 f. Dengan penerapan TPM, kegiatan pemeliharaan terdapat perhatian khusus dalam peningkatan produksi secara terus-menerus dengan mutu dan keandalan yang baik. Novareza (2001) meneliti tentang faktor-faktor dominan penunjang keberhasilan pelaksanaan TPM pada perusahaan manufaktur di Indonesia. Faktorfaktor yang diteliti dikumpulkan dari jurnal-jurnal hasil penelitian yang diperoleh dari internet, buku, majalah dab buletin yang relevan. Penelitian ini menggunakan sebaran kuisioner kepada responden yaitu perusahaan-perusahaan manufaktur di Indonesia yang telah melaksanakan TPM. Hasil penelitian Novareza (2001) menyimpulkan bahwa faktor-faktor yang sangat dominan terhadap penunjang keberhasihan pelaksanaan TPM adalah organisasi yang solid, komintmen manajemen, ketrlibatan setiap insan, penerapan tindakan atau tindak lanjut dari perencanaan yang telah ditetapkan, tersedianya preventive maintenance yang baik di perusahaan, dan terdapatnya orang-orang yang peduli pada kegiatan divisi produksi, manufaktur dan engineering dalam menjalankan TPM. Apriliani (2007) meneliti tentang implementasi TPM pada PT Kageo Igar Jaya Tbk (PT KIJ Tbk). PT KIJ Tbk merupakan perusahaan yang bergerak dalam bidang offset printing, folding carton, dan composite can. Penelitian tersebut bertujuan untuk : 1. Mengidentifikasi stasiun kerja yang kritis terhadap terjadinya kerusakan mesin. 2. Mengidentifikasi pemahaman dan pelaksanaan para tenaga kerja yang paling terkait langsung pada setiap stasiun kerja terhadap aktivitas preventive maintenance dan autonomous maintenance. 3. Mempelajari bentuk pengembangan sistem implementasi TPM dan menyusun rekomendasi yang sesuai dalam menunjang kesinambungan pelaksanaan TPM. Hasil penelitian Apriliani (2007) diantaranya adalah : 1. Pengetahuan operator mengenai pelaksanaan autonomous maintenance, tidak ada hubunganya dengan persepsi mereka terhadap tugas dan tanggung jawab perawatan mesin.

18 2. Pemahaman operator terhadap instruksi kerja pembersihan mesin, tidak ada hubungannya dengan sikap operator untuk melaksanakan aktivitas pembersihan mesin secara rutin. 3. Pemahaman kerja operator terhadap instruksi kerja pelumasan mesin tidak ada hubungannya dengan sikap operator untuk melaksanakan aktivitas pelumasan mesin secara mandiri.

19 III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Kerangka Pemikiran Konseptual Proses produksi merupakan kegiatan untuk mengubah bahan baku menjadi barang jadi yang memiliki nilai jual dengan melibatkan tenaga kerja dan mesin. Tanpa adanya kegiatan produksi, perusahaan tidak akan bisa menghasilkan keuntungan sesuai dengan yang diinginkan karena tidak ada produk yang mampu dihasilkan untuk dijual. Produk yang dihasilkan di pabrik tergolong mass product atau berdasarkan job order. Hal inilah yang menyebabkan adanya perbedaan dalam pemakaian mesin produksi dan alokasi tenaga kerja yang dibutuhkan. Pemakaian mesin produksi dalam melakukan proses produksi tidak bisa dilepaskan dari peran operator mesin untuk mengoperasikan mesin produksi tersebut. Pengoperasian mesin produksi tidak bisa sembarangan dioperasikan oleh operator. Oleh karena itu, operator harus memiliki keahlian khusus untuk mengoperasikan mesin produksi agar terhindar dari kelalaian yang dapat menyebabkan gangguan pada mesin produksi. Selain operator, mesin juga memegang peranan yang sangat penting dalam pelaksanaan proses produksi. Tanpa mesin produksi, barang-barang tidak akan bisa diproduksi. Perlu ditekankan bahwa mesin-mesin produksi yang dipakai secara terus menerus dapat mengalami gangguan sehingga menghambat proses produksi. Dampaknya bagi perusahaan adalah kerugian karena hilangnya waktu efektif untuk berproduksi. Oleh karena itu, proses produksi sangat bergantung pada operator dan mesin produksi. Pemeliharaan dan perawatan terhadap mesin-mesin produksi menjadi hal yang sangat penting untuk menghindari kerusakan mesin menjadi lebih parah. Penerapan TPM oleh perusahaan memungkinkan terjadinya perubahan dalam kegiatan pemeliharaan dan perawatan yang sebelumnya hanya dilakukan pada saat mesin mengalami kerusakan saja. Melalui aktivitas TPM, pemeliharaan dan perawatan terhadap mesin-mesin produksi dilakukan dengan kegiatan membersihkan (cleaning), melumasi (lubricating), memeriksa (checking and inspection), penyetelan (adjustment) dan penggantian periodik (periodic replacemernt). Operator memiliki wewenang untuk melaksanakan kegiatan

20 pemeliharaan secara mandiri (autonomous maintenance) mengingat operator merupakan pihak yang paling terkait secara langsung dengan mesin produksi dan paling mengetahui kondisi mesin produksi. Penerapan TPM memungkinkan terjadinya perubahan sistem pemeliharaan dan perawatan mesin yang dilaksanakan oleh perusahaan. Perubahan sistem pemeliharaan dan perawatan tersebut diharapkan dapat meningkatkan ketersediaan mesin untuk berproduksi, kinerja mesin dan kualitas produksi yang dihasilkan. Ketersediaan mesin dilihat dari banyaknya waktu efektif untuk berproduksi yang sesuai dengan target yang telah ditetapkan oleh perusahaan dan downtime yang terjadi sedikit. Downtime yang terjadi diakibatkan adanya penghentian mesin dalam berproduksi sehingga mengurangi waktu efektif mesin untuk berproduksi. Kinerja mesin dilihat dari kemampuan mesin dalam memenuhi target produksi yang telah ditetapkan. Target produksi yang ditetapkan oleh perusahaan berdasarkan jumlah permintaan barang dari konsumen sehingga apabila pperusahaan mampu memenuhi target produksi tersebut perusahaan akan mendapatkan keuntungan. Kualitas produksi dilihat dari banyak atau sedikitnya produk cacat yang dihasilkan akibat adanya gangguan mesin. Produk cacat akan menyebabkan kerugian bagi perusahaan karena produk tersebut tidak menghasilkan keuntungan bagi perusahaan. Peningkatan ketersediaan mesin untuk berproduksi, kinerja mesin dan kualitas produk yang dihasilkan mengindikasikan perusahaan telah melaksanakan TPM secara efektif sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Dengan diterapkannya TPM yang efektif, maka terjadi perubahan yang positif terhadap sistem pemeliharaan dan perawatan mesin produksi di perusahaan sehingga proses produksi dapat dilakukan secara maksimal sesuai dengan target perusahaan. Selain itu, penggunaan sumber daya menjadi efisien dan produk cacat yang dihasilkan dapat dikurangi. Maka dari itu, secara tidak langsung akan meningkatkan produktivitas perusahaan. Kerangka pemikiran penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2.

21 Proses Produksi Operator Mesin Produksi Pemeliharaan dan Perawatan Mesin Produksi Sebelum TPM Setelah TPM Peningkatan : - Ketersediaan Waktu produksi (jam) - Kinerja Mesin Produksi (jam) - Kualitas Produk yang Dihasilkan (unit) Pelaksanaan TPM yang Efektif Peningkatan Produktivitas Gambar 2. Kerangka Pemikiran Konseptual 3.2 Tahapan Penelitian Tahap pertama dalam penelitian ini adalah menentukan tujuan penelitian. Tujuan penelitian sangat penting untuk ditetapkan terlebih dahulu karena merupakan dasar mengapa penelitian ini dilakukan. Penelusuran studi pustaka dilakukan untuk menunjang penelitian dengan ilmu-ilmu atau pun juga dengan informasi-informasi penting yang terdapat pada buku-buku literatur, laporan penelitian terdahulu, koran, majalah, internet dan lain sebagainya yang berkaitan dengan objek penelitian.

22 Tahap selanjutnya adalah pengumpulan data yang dilakukan dengan pengamatan langsung di lingkungan pabrik PT Frina Lestari Nusantara dan wawancara kepada pihak-pihak yang terkait. Informasi yang dapat diperoleh mengenai gambaran umum perusahaan, proses produksi, pengunaan mesin-mesin produksi, dan pelaksanaan TPM di perusahaan. Analisis data yang diharapkan dapat memberikan output mengenai gambaran tentang aktifitas perusahaan dan area stasiun kerja kritis di perusahaan. Studi dokumentasi yang dilakukan untuk memperoleh data mengenai downtime mesin yang terjadi. Data downtime ini yang akan dijadikan sebagai acuan untuk menentukan stasiun kerja kritis. Selain itu, studi dokumentasi juga dilakukan untuk memperoleh data mengenai jam kerja mesin, jumlah produksi mesin, dan jumlah produk cacat pada area kerja kritis. Data ini digunakan untuk perhitungan efisiensi mesin dengan menggunakan formula Overall Equipment Efficiency (OEE). Wawancara dengan panduan kuisioner kepada para operator, foreman, dan supervisor pada area kerja kritis untuk memperoleh data mengenai persepsi mereka terhadap pelaksanaan TPM dan persepsi mereka mengenai pengaruh TPM terhadap produktivitas perusahaan. Hal ini dilakukan karena adanya keterbatasan pada pengambilan data sebelum TPM sehingga untuk membandingkan produktivitas sebelum dan sesudah diterapkannya TPM menggunakan persepsi mereka. Selain itu, wawancara dengan panduan kuisioner juga dilakukan untuk mengevaluasi kegiatan TPM pada area stasiun kerja kritis tersebut. Tahap akhir adalah kesimpulan dan saran mengenai penelitian ini. Kesimpulan mencakup hasil penelitian tentang bagaimana dampak pelaksanaan TPM terhadap produktivitas perusahaan melalui perbandingan kondisi sebelum dan sesudah diterapkannya TPM. Saran mencakup masukan-masukan yang penting bagi perusahaan dan penelitian ini terkait dengan penerapan TPM yang telah dilaksanakan. Diagram alir penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 3.

23 Mulai Menentukan Tujuan Penelitian Studi Pustaka Pengumpulan Data Pengamatan Langsung dan wawancara dengan pihak-pihak terkait Cara Pengolahan dan Analisis Data : 1.Analisis Nilai OEE 2. Analisis Crosstabs Chi Square 3. Analisis Antar Waktu Tabulasi Data Tidak Cukup? Sebelum TPM Setelah TPM Ya Studi Dokumentasi Perbandingan Analisis Tidak Cukup? Ya Wawancara dengan panduan kuisioner kepada responden Kesimpulan dan Saran Selesai Tidak Cukup? Ya Gambar 3. Diagram Alur Penelitian

24 3.3 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di PT Frina Lestari Nusantara yang beralamat di Jalan Olympic Raya Kavling A-3, Kawasan Industri Sentul, Kabupaten Bogor. Pemilihan perusahaan ini didasarkan pada pertimbangan bahwa PT Frina Lestari Nusantara merupakan salah satu perusahaan yang menerapkan program Total Productive Maintenance (TPM) sebagai upaya untuk meningkatkan produktivitas perusahaan. Penelitian secara khusus dilakukan di Bagian Produksi dan Bagian Maintenance dengan alasan bahwa bagian-bagian tersebut langsung berhubungan dengan implementasi TPM. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan April sampai Juni 2009. 3.4 Metode Penelitian a. Metode Pengumpulan data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan cara : 1. Pengamatan langsung di lapangan Pengamatan dilakukan dengan meninjau langsung kegiatan produksi dan pelaksanaan TPM di perusahaan. 2. Wawancara Wawancara dilakukan dengan pihak-pihak terkait sebagai narasumber yang memiliki pengalaman dan kompetensi di bidang produksi dan maintenance. Wawancara dilakukan kepada Manajer Manufacturing, Kepala Bagian Maintenance, Kepala Bagian Produksi, Supervisor, Foreman, dan para operator mesin. 3. Kuesioner Kuesioner diedarkan kepada operator mesin, foreman, dan supervisor di area kerja kritis. Jenis pertanyaan pada kuisioner tersebut adalah pertanyaan terbuka dan tertutup. Pertanyaan terbuka berarti responden diberikan kebebasan untuk menjawab, sedangkan pertanyaan tertutup berarti responden dibatasi oleh jawaban Ya atau Tidak serta pilihan jawaban dengan skala Likert (lebih baik, baik, buruk, lebih buruk).

25 Data sekunder, diperoleh dari kegiatan : 1 Studi literatur Studi Literatur dengan mengumpulkan data dan informasi yang berasal dari buku-buku referensi, artikel dan internet yang relavan dengan topik penelitian yang sedang dilaksanakan. 2 Studi dokumentasi. Studi dokumentasi yaitu dengan mencari data dan informasi melalui dokumen-dokumen perusahaan mengenai proses produksi, jumlah produk yang dihasilkan, jam kerja mesin, downtime mesin yang terjadi dan jumlah produk cacat. Rencana pengumpulan data secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 1. b. Responden Penelitian Responden pada penelitian ini adalah para operator, foreman, dan supervisor pada area kerja kritis. Metode yang digunakan adalah metode sensus, yakni seluruh anggota populasi yang ada menjadi responden. Responden yang diambil sebanyak 29 orang. Informasi jumlah responden dapat disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Jumlah Responden Penelitian NO JABATAN JUMLAH (ORANG) 1 Operator mesin 25 2 Foreman 3 3 Supervisor 1 Total 29 c. Perumusan Hipotesis Hubungan antara pengetahuan dan pemahaman para operator, foreman,dan supervisor terhadap pelaksanaan kegiatan 5S, dan hubungan antara

26 tanggungjawab dan pelaksanaan kegiatan autonomous maintenance, dirumuskan dalam suatu hipotesis yang disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Perumusan Hipotesis No Perumusan Hipotesis 1 2 H 0 H 1 H 0 H 1 Pemahaman para operator, foreman, dan supervisor terhadap program kerja 5S tidak ada hubungannya dengan sikap mereka untuk melaksanakan program kerja 5S. Pemahaman para operator, foreman, dan supervisor terhadap program kerja 5S ada hubungannya dengan sikap mereka untuk melaksanakan program kerja 5S. Pengetahuan para operator, foreman, dan supervisor terhadap pelaksanaan autonomous maintenance tidak ada hubungannya dengan tugas dan tanggungjawab mereka. Pengetahuan para operator, foreman, dan supervisor terhadap pelaksanaan autonomous maintenance ada hubungannya dengan tugas dan tanggungjawab mereka. d. Metode Pengolahan Data dan Analisis Data Data downtime tiap mesin produksi dibandingkan dengan menggunakan grafik histogram untuk ditentukan mesin produksi yang mana yang sering mengalami gangguan. Mesin produksi dengan downtime yang tinggi ditetapkan sebagai stasiun kerja kritis. Dengan demikian, pelaksanaan pemeliharaan dan perawatan harus lebih diprioritaskan untuk stasiun kerja kritis tersebut. Kuisioner yang diberikan kepada para operator, foreman, dan supervisor bertujuan untuk mengetahui efektivitas kegiatan TPM yang telah dijalankan oleh perusahaan dan untuk mengetahui persepsi antar waktu para operator, foreman, dan supervisor mengenai pengaruh TPM terhadap produktivitas perusahaan. Kuisioner yang dibagikan kepada responden tidak dilakukan pengujian validitas dan reliabilitas. Hal ini karena peneliti mewawancarai responden secara langsung dan pertanyaannya pun cukup mudah dijawab berkaitan dengan rasa dan pengalaman pribadi serta tidak menimbulkan persepsi ganda (Apriliani, 2007).

27 Efektivitas kegiatan TPM pada area kerja kritis dianalisis dengan menggunakan teknik Crosstabulation Chi-Square untuk menguji hipotesis yang telah dirumuskan. Penggunaan teknik Crosstabulation Chi-Square dihitung dengan menggunakan software SPSS versi 15.0, dengan ketentuan apabila nilai Assemblymp. Sig (2-sided) Pearson Chi-Square hitung lebih besar dari nilai alpha (α) maka Ho diterima dan H1 ditolak, namun apabila nilai Assemblymp. Sig (2- sided) Pearson Chi-Square hitung lebih kecil dari nilai alpha (α) maka Ho ditolak dan H1 diterima. Secara umum interprestasi hasil pengolahan data tersebut berkaitan dengan pengetahuan, pemahaman, dan pelaksanaan para operator, foreman, dan supervisor mengenai program TPM yang telah ditetapkan oleh perusahaan apakah sudah berjalan efektif atau belum. Penggunaan persepsi antar waktu para operator, foreman, dan supervisor mengenai pengaruh TPM terhadap produktivitas perusahaan karena adanya keterbatasan dalam pengambilan data sebelum diterapkannya TPM. Oleh karena itu, digunakan pendapat para operator, foreman, dan supervisor untuk membandingkan produktivitas sebelum dan sesudah diterapkannya TPM. Persepsi para operator, foreman, dan supervisor mengenai pengaruh TPM terhadap produktivitas perusahaan diketahui dari skor jawaban kuesioner yang diisi oleh responden berdasarkan skala -2, -1, +1, dan +2. Untuk mewakili keseluruhan skor yang terdapat dalam data, digunakan ukuran nilai pusat. Jenis ukuran nilai pusat yang dipakai adalah modus. Nilai modus yang didapat digunakan untuk menentukan kesimpulan dari jawaban responden. Kesimpulan yang didapat berdasarkan perhitungan ini terdiri dari empat penilaian, yaitu Jauh Lebih Buruk (-2), Lebih Buruk (-1), Lebih Baik (+1), dan Jauh Lebih Baik (+2). Pengolahan data ini dibantu dengan menggunakan sofware Microsoft Excel 2007. Perhitungan produktivitas masa kini diambil dari data jumlah produksi, jumlah produk cacat, jumlah downtime mesin, dan jam kerja mesin dengan menggunakan formula Overall Equipment Efficiency. Dari hasil perhitungan ini dapat dilihat bagaimana pengaruh TPM terhadap peningkatan produktivitas perusahaan.

28 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Perusahaan a. Sejarah dan Perkembangan Perusahaan PT Frina Lestari Nusantara (PT FLN) didirikan di kawasan industri Sentul pada bulan Mei 2001 di atas lahan seluas 1 Ha. Nama Frina Lestari Nusantara diambil berdasarkan falsafah dapat tumbuh berkembang dan maju di tingkat lokal (nusantara). Pada mulanya PT FLN bergerak dibidang distributor aksesoris mobil untuk PT Varia Baru rekanan PT Toyota Astra Motor. Namun atas permintaan pelanggan, maka didirikanlah usaha manufacturing untuk industri aksesoris mobil. Seiring dengan perkembangan pasar, PT FLN mulai melebarkan sayap dengan mendesain dan memproduksi barang-barang aksesoris untuk berbagai macam kendaraan bermotor. PT FLN mengembangkan lini produknya seperti spoiler, bumper guard, side body moulding, over fender, side step, cover spare wheel dan mud guard untuk berbagai macam produk mobil. PT FLN menjadi market leader dalam penyediaan produk aksesoris kendaraan bermotor dan pelayanan yang berkualitas bagi para pelanggannya. Pola distribusi yang unik menjadikan PT FLN cepat berkembang menuju ke pasar industri aksesoris kendaraan bermotor. PT FLN terus membangun jaringan yang kuat kepada para mitra kerjanya seperti PT. Varia Baru, PT. Elegant Indonesia, PT. Proflex Indonesia dan yang lainnya. PT FLN memandang bahwa aset yang paling penting adalah tim kerja, dan sekarang ini jumlah karyawan yang bekerja di PT FLN berjumlah 252 orang, tidak termasuk karyawan kontrak dan borongan. PT FLN hanya merekrut calon pekerja yang memiliki kompetensi yang unggul. Untuk mempertajam kompetensi para karyawannya, PT FLN mengadakan pelatihan skill untuk para karyawannya. Hal ini dalam jangka panjang ditujukan untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas kerja. Sebagai contoh adalah pelatihan bahasa Inggris untuk melatih kemampuan berkomunikasi dengan client dari luar negeri.

29 b. Visi, Misi dan Budaya Perusahaan PT FLN secara serius menanamkan visi dan misi perusahaan kepada seluruh elemen perusahaan. Hal ini dilakukan dengan pembacaan visi dan misi perusahaan secara rutin pada saat briefing pagi setiap hari kerja. Visi perusahaan yaitu menjadi perusahaan global dan market leader dalam menyediakan produk dan layanan berkualitas di industri plastik dan polyurethane. Sedangkan misi perusahaan diantaranya : - Perusahaan paling maju di industri plastik dan elastomer, - Kualitas produk dan layanan yang bersaing dalam pasar lokal dan internasional, - Menjamin pengiriman tepat waktu dan bekerja erat dengan pelanggan untuk menjamin pelayanan maksimal di seluruh proses pengerjaan, - Memberikan nilai tambah kepada semua pemegang saham. Kondisi kerja yang kondusif dibangun melalui budaya perusahaan dengan mengembangkan nilai-nilai seperti : 1) Komitmen 2) Kepemilikan 3) Integritas 4) Inovatif 5) Perbaikan Terus-Menerus 6) Proaktif 7) Konsistensi 8) Kerjasama 9) Berfikir Positif 10) Sukses 11) Pendidikan 12) Bersyukur c. Susunan Organisasi Perusahaan Susunan organisasi PT FLN secara hierarki mengambarkan tanggung jawab dan hubungan kerja antar bagian. Pemegang kekuasaan tertinggi, yakni Presiden Direktur sekaligus sebagai pemilik perusahaan yang bertanggung jawab terhadap semua aktivitas perusahaan. Jabatan direktur di PT FLN terdiri dari dua bagian, yaitu Direktur Operasional dan Direktur Keuangan, keduanya bertanggung jawab

30 langsung kepada Presiden Direktur. Di bawah direktur terdapat jabatan manajer untuk setiap bagian fungsional perusahaan. Susunan organisasi PT FLN secara lengkap disajikan pada Lampiran 3. 4.2 Kegiatan Produksi Perusahaan Kegiatan usaha PT FLN meliputi produksi berbagai macam barang berbahan dasar plastik dan polyurethane. Produk yang dihasilkan meliputi aksesoris mobil seperti spoiler, bumper, penutup ban, jok mobil sampai pada alarm mobil. Barang-barang produksi yang dihasilkan oleh PT FLN tidak dijual langsung ke pasar, tetapi barang-barang produksi tersebut dijual ke pemegang merk tunggal kendaraan bermotor seperti PT Toyota Astra Motor, PT Indomobil Suzuki dan sebagainya. Selain menjadi supplier bagi pemegang merk tunggal kendaraan bermotor, PT FLN juga menjadi second supplier dari PT Wimcycle untuk produk sadel sepeda. Dalam hal ini, PT FLN memproduksi sadel sepeda hanya sampai barang setengah jadi yang kemudian dijual ke PT Wimcycle. Produksi sadel sepeda tersebut hanya sampai pencetakan busa sadel. Aktivitas produksi PT FLN dibagi ke dalam tiga area kerja, yaitu Plant-1 untuk area produksi assembly, Plant-2 untuk area produksi special plastic process, dan Plant-3 untuk area painting shop. Plant-1 merupakan tempat proses assembly yang terdiri dari kegiatan accecories process, dan assembly process gabungan dari Plant-1 dan Plant-2. Lini produksi Plant-1 terbagi menjadi lima bagian, yaitu : 1. Injection Polyurethane Lini produksi yang mengolah bahan polyurethane menjadi berbagai macam aksesoris kendaraan seperti jok, bumper, dan sebagainya. Produk yang dihasilkan dapat disesuaikan dengan bentuk yang diinginkan oleh customer. Hal ini memungkinkan karena produk yang dihasilkan dari injection polyurethane ini menggunakan cetakan yang bisa dibuat sesuai dengan kebutuhan produksi. 2. Trimming Polyurethane Lini produksi ini masih satu kesatuan kerja dengan lini Injection Polyurethane. Hasil produksi dari lini Injection Polyurethane yang masih berupa bentuk kasar, kemudian dihaluskan di lini Trimming Polyurethane ini dengan membuang bagian-bagian yang tidak perlu yang masih melekat pada produk.

31 3. Assembly Tape Kegiatan di lini ini yaitu proses pemasangan karet perekat untuk pelindung aksesoris kendaraan supaya tidak menggores body kendaraan pada saat pemasangan. 4. Wirring Harnes Kegiatan produksi pada lini ini adalah pembuatan alarm, fog lamp dan aksesoris kendaraan lain yang menggunakan listrik. 5. Part Assembly : Roof Rack, Foot Step,Step Touring Lini produksi ini bergerak dalam proses finishing aksesoris kendaran seperti pemasangan komponen-komponen Roof Rack, Foot Step, Step Touring yang telah di produksi di lini produksi lain. Layout produksi Plant-1 dapat dilihat pada Lampiran 4. Plant-2 merupakan tempat yang dikhususkan untuk produksi barang-barang yang terbuat dari plastik. Lini produksi yang terdapat di area ini diantaranya : 1. Blow Moulding Pembuatan awal produk yang berbahan dasar plastik dimulai pada lini ini. Bahan dasar yang masih berupa serbuk plastik dilelehkan dengan suhu yang sangat tinggi kemudian dicetak sesuai dengan barang yang akan dibuat. Barangbarang yang dihasilkan pada lini ini diantaranya Front Bumper Guard, Real Bumper Guard, Spoiler, dan sebagainya. 2. Vacuum Forming Kegiatan produksi pada lini ini adalah pembuatan produk dari bahan dasar plastik yang berbentuk lembaran-lembaran tebal. Lembaran tersebut kemudian di panaskan pada suhu yang sangat tinggi kemudian dipress dengan cetakan produk yang akan dibuat. Produk yang dihasilkan pada lini ini diantaranya cover ban belakang dan cover ban bawah. 3. Finishing Vacuum Lini produksi ini merupakan kelanjutan dari lini Vacuum Forming. Kegiatan pada lini ini yaitu pemotongan bagian-bagian yang tidak diperlukan pada produk yang telah dihasilkan.

32 4. Sanding Blow Barang yang telah dihasilkan pada lini Blow Moulding kemudian masuk ke lini produksi Sanding Blow. Kegiatan yang dilakukan pada lini ini adalah penghalusan pada produk Blow Moulding sebelum dilakukan pengecatan. Layout produksi Plant-2 dapat dilihat pada Lampiran 5. Plant-3 merupakan tempat proses pengecatan. Produk yang dihasilkan dari Plant-1 dan Plant-2 dilakukan pengecatan di Plant-3 ini. Plant-3 terdiri dari enam lini produksi, yaitu : 1. Painting Preparation Aktivitas pada work center pertama ini adalah proses persiapan sebelum pengecatan dilaksanakan. Prosesnya terdiri dari pengamplasan, pendempulan, dan wet sanding untuk produk hasil injection, buffing untuk dari produk vacuum. Produk yang akan dicat harus dihaluskan dulu permukaannya dengan menggunakan amplas no. 1500 supaya cat dapat menempel pada permukaan produk. Kemudian dilakukan pendempulan untuk bagian-bagian yang tidak rata. Produk hasil injection seperti produk dari Blow Moulding dan Polyurethane harus melalui tahap wet sanding, yaitu penghalusan dengan menggunakan air. Sedangkan untuk produk hasil dari Vacuum Forming harus dihaluskan terlebih dahulu tanpa menggunakan air (buffing). 2. Painting Produk-produk yang telah melewati work center pertama, kemudian masuk ke area work center kedua, yaitu proses pengecatan. Kegiatan pengecatan terdiri dari tiga aktivitas yaitu : pengecatan lapisan pertama (primer painting), pengecatan lapisan kedua (base good), dan pengecatan lapisan ketiga (clear good). Pada work center ini kebersihan menjadi syarat yang utama, karena apabila terdapat debu sedikit saja maka hasil dari pengecatan tidak akan maksimal. 3. Painting Aluminium Salah satu produk dari Plant 3 ini adalah aksesoris kendaraan yang berbahan aluminium. Oleh karena itu, proses pengecatannya pun berbeda dengan produk yang menggunakan bahan dari plastik. Pengecatan untuk bahan dari aluminium terdiri dari dua bagian saja yaitu pengecatan lapisan pertama (primer painting) dan pengecatan lapisan kedua (base good).

33 4. Polishing Kegiatan pada work center ini adalah kegiatan perbaikan pada permukaan cat yang dikarenakan kotor, berlubang, bintik-bintik dan yang sebagainya. Langkah kerjanya terdiri dari wet sanding untuk melapisi bagian yang bolong, kemudian compound untuk menghaluskan hasil wet sanding, dan yang terakhir yaitu polishing untuk mengkilapkan lapisan cat dengan menggunakan wax. 5. Assembly Double Paste Step Beberapa produk aksesoris dari Plant-3 hanya menggunakan perekat saja untuk menempel pada body kendaraan. Pemasangan perekat tersebut dilakukan pada work center ini. 6. Bending, Welding, Buffing Work center ini khusus untuk produk Plant-3 yang berbahan dasar aluminium. Kegiatannya terdiri dari tiga bagian, yaitu Bending, Welding, dan Buffing. Bending yaitu pembuat radius pada material aluminium untuk menentukan besarnya lengkungan pada batangan aluminium. Welding yaitu proses menyatukan dua produk yang berbahan aluminium menjadi satu produk. Buffing yaitu proses menghaluskan permukaan aluminium sebelum dicat. Layout produksi Plant-3 dapat dilihat pada Lampiran 6. 4.3 Penggunaan Mesin-mesin pada Setiap Area Kerja Penggunaan mesin-mesin pada PT FLN dikategorikan menjadi dua bagian, kategori pertama adalah mesin-mesin produksi yang dipakai untuk menghasilkan suatu produk. Kategori kedua adalah mesin-mesin penunjang produksi yang hanya menunjang mesin produksi dalam menghasilkan barang. Mesin pada kategori ini disebut sebagai peralatan produksi saja. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, proses produksi di PT FLN terbagi menjadi 3 bagian area kerja, yaitu Plant-1 untuk kegiatan assembly, Plant- 2 untuk kegiatan plastic process dan Plant-3 untuk kegiatan painting. Barangbarang yang dihasilkan setiap area kerja berbeda satu sama lainnya sehingga mesin produksi yang digunakan pun berbeda pula. Akan tetapi, tidak semua bagian dalam area kerja menggunakan mesin sepenuhnya, beberapa kegiatan produksi masih dikerjakan secara manual yaitu dengan menggunakan tenaga manusia.

34 Plant-1 yang merupakan area kerja khusus assembly menggunakan beberapa mesin produksi, diantaranya adalah : 1. Mesin Polyurethane, yaitu mesin yang berfungsi untuk mencampurkan bahan material Iso dan Poly sehingga diperoleh campuran Polyurethane yang digunakan untuk bahan baku pembuatan aksesoris plastik. Perusahaan memiliki dua unit mesin Polyurethane, yaitu mesin PU-1 dan mesin PU-2. Keduanya memiliki fungsi yang sama tetapi digunakan berdasarkan jenis bahan yang berbeda-beda. PU-1 digunakan untuk memproduksi bahan plastik, sedangkan PU-2 digunakan untuk memproduksi busa jok mobil dan sadel sepeda. 2. Mesin Stamping, yaitu mesin yang berfungsi untuk memotong besi sesuai dengan bentuk yang dibutuhkan. Perusahaan memiliki tiga jenis mesin Stamping, yaitu Stamping-1, Stamping-2 dan Stamping-3. Ketiga mesin tersebut memiliki fungsi yang sama, yaitu digunakan untuk memotong lembaran besi dengan berbagai macam bentuk dan ukuran. Mesin Stamping-1 digunakan untuk memotong lembaran besi yang tebal sedangkan mesin Stamping-2 dan Stamping-3 digunakan untuk membuat lubang pada lembaran besi yang telah dicetak. 3. Mesin Crimping, yaitu mesin yang berfungsi untuk membuat tepian kuningan pada kabel yang akan dijadikan alarm pada kendaraan. Perusahaan memiliki tiga unit mesin Crimping. Seluruh mesin tersebut memiliki fungsi dan kapasitas produksi yang sama. Plant-2 merupakan tempat untuk special plastic process. Mesin yang digunakan adalah sebagai berikut : 1. Mesin Blow Moulding, yaitu mesin yang berfungsi untuk mencetak produk dari bahan plastik yang berbentuk serbuk plastik dengan cara mencairkan serbuk plastik tersebut kemudian dipress pada cetakan yang telah ditentukan. Perusahaan memiliki tiga unit mesin Blow Moulding yang memiliki fungsi yang sama. Perbedaannya hanya terletak pada jenis produk yang dihasilkan. 2. Mesin Vacuum Forming, yaitu mesin yang berfungsi untuk mencetak produk dari bahan plastik yang berbentuk lembaran-lembaran. Perusahaan memiliki

35 dua unit mesin Vacuum Forming untuk keperluan produksinya, dan perbedaan diantara keduanya hanya terletak pada kapasitas produksi yang dihasilkan saja. 3. Mesin Cruiser mixing, yaitu mesin yang berfungsi untuk menghancurkan plastik dari produk Blow Moulding yang gagal sehingga bisa di daur ulang kembali. Jumlah mesin ini yang dimiliki perusahaan sama dengan jumlah mesin Blow Moulding sehingga satu unit mesin Blow Moulding memiliki satu unit mesin Cruiser Mixing. Plant-3 merupakan tempat untuk kegiatan painting process. Proses produksi pada area ini kebanyakan dikerjakan secara manual, yaitu menggunakan tenaga manusia. Mesin yang digunakan hanya dua mesin, yaitu Spray Booth dan Backing Oven. Spray Booth berfungsi untuk pengecatan dan Backing Oven untuk memanaskan hasil dari pengecatan supaya cat menempel pada produk. 4.4 Implementasi TPM di PT Frina Lestari Nusantara Semenjak didirikannya pada tahun 2001, PT FLN belum memiliki Bagian Maintenance untuk melaksanakan kegiatan pemeliharaan dan perawatan mesinmesin produksinya. Kegiatan tersebut dibebankan kepada Bagian Produksi sehingga kegiatan pemeliharaan dan perawatan mesin dilakukan oleh para operator sendiri, baik itu perbaikan ringan maupun perbaikan besar. Bagian Maintenance mulai dibentuk pada akhir tahun 2003 dengan program kerjanya adalah menerapkan TPM pada kegiatan pemeliharaan dan perawatan mesin. TPM sendiri mulai direalisasikan pada awal tahun 2004 dengan menitik beratkan kepada Bagian Maintenance sebagai tim yang menjalankan TPM. Walaupun telah lama dilaksanakan, sampai saat ini kegiatan TPM di PT FLN belum mendapat sertifikasi. Namun menurut keterangan dari Manajer Manufacturing, usaha untuk mendapatkan sertifikasi sedang dilakukan. Keterangan yang didapat dari Kepada Bagian Maintenance, sebelum diterapkannya TPM downtime dari mesin produksi sangat besar. Akan tetapi setelah dilaksanakan TPM downtime tersebut menjadi berkurang dan suku cadang mesin produksi bisa terjamin. Walaupun pelaku utama dari TPM itu sendiri adalah Bagian Maintenance, keterlibatan bagian lain dalam penerapan TPM tetaplah ada. Kegiatan TPM tidak bisa berdiri sendiri tetapi harus ada koordinasi dengan bagian lain agar TPM bisa berjalan secara optimal. Terdapat dua bagian yang memiliki

36 peranan yang sangat penting dalam pelaksanaan TPM ini, yaitu Bagian Maintenance dan Bagian Produksi. Bagian Maintenance sebagai pelaku kunci TPM mempunyai peranan yang sangat penting dalam penerapan TPM. Bagian Maintenance sebagai pengelola kegiatan TPM dengan membuat beberapa program kerja, diantaranya program kerja preventive maintenance, dan predictive maintenance. Peranan Bagian Produksi adalah sebagai pendukung kegiatan TPM dalam pengawasan kondisi mesin melalui operator. Operator sebagai pengguna mesin-mesin produksi pasti mengetahui kondisi mesin apabila mengalami kelainan ataupun kerusakan. Operator inilah yang mempunyai tugas untuk melaporkan kondisi mesin pada Bagian Maintenance sehingga pencegahan terhadap kerusakan mesin yang lebih parah dapat dihindari. Implementasi TPM di PT FLN meliputi empat program kerja, yaitu program kerja sikap 5S, program kerja preventive maintenance, program kerja predictive maintenance dan program kerja autonomous maintenance. PT FLN memiliki komitmen untuk menanamkan sikap produktif terhadap para karyawannya. Melalui program sikap kerja 5S yang merupakan dasar dari diterapkannya TPM, PT FLN mencoba membangun budaya kerja yang kondusif. Berdasarkan pengamatan di lapangan secara langsung, pelaksanaan 5S adalah sebagai berikut : 1. Sort (Pemilihan) Kegiatan Sort (pemilihan) dilakukan dengan cara : - Pemisahan barang yang diperlukan dan yang tidak diperlukan, - Penerapan strategi label merah, yaitu pemberian label merah untuk barang yang tidak diperlukan. 2. Set in Order (Pengaturan lingkungan kerja) Kegiatan ini dilakukan dengan cara : - Membersihkan peralatan, - Membuat daerah tempat penyimpanan, - Pengecatan lantai untuk garis pemisah dan garis area.

37 3. Shine (Kebersihan) Terdapat tiga bagian yang menjadi fokus untuk kegiatan kebersihan ini, yaitu area penyimpanan, peralatan dan lingkungan kerja. Pelaksanaan kebersihan dilakukan dengan pembagian jadwal piket di setiap bagian unit kerja. 4. Standarize (Mempertahankan tempat kerja yang bersih) Standarize dilakukan dengan pengecekan secara berkala oleh tim tertentu yang telah ditunjuk untuk pengawasan 5S. Penempelan jargon-jargon 5S juga dipasang di tempat-tempat tertentu, baik yang berukuran besar maupun kecil. Kegiatan standarize meliputi kegiatan : - Menjaga tempat kerja selalu rapi, - Pemeriksaan barang yang diperlukan dan tidak diperlukan, - Pemeriksaan tempat penyimpanan, - Pemeriksaan debu dan kotoran. 5. Sustain (Kedisiplinan pengendalian di tempat kerja) Sustain adalah terciptanya suatu kebiasaan yang baik dari setiap orang yang terlibat untuk melakukan setiap hal dengan benar sesuai standar yang telah ditetapkan. Prilaku disiplin diharapkan tercipta bagi seluruh orang terutama anggota dalam setiap unit kerja. Kegiatan ini meliputi : - Pengendalian visual, - Pemasangan Slogan 5S, - Evaluasi kegiatan 5S secara keseluruhan. Program kerja preventive maintenance merupakan aktivitas pemeliharaan mesin secara berkala yang dilakukan pada waktu tertentu sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan. Kegiatan preventive maintenance di PT FLN bertujuan untuk menjaga agar mesin dalam performa optimum. Kegiatan Bagian Maintenance dalam preventive maintenance mulai dari penyusunan program pemeliharaan sampai pada pembuatan catatan pelaksanaanya. Aktivitas preventive maintenance di PT FLN disusun dengan memperhatikan master list mesin dan manual mesin. Master list mesin merupakan daftar mesin-mesin produksi yang aktif dijalankan dan berisi tentang informasi mesin itu sendiri. Misalnya kode mesin, tahun pembuatan, kapasitas mesin, dan

38 bagian-bagian mesin. Sedangkan manual mesin merupakan informasi mengenai tata cara pengoperasian mesin. Kegiatan preventive maintenance meliputi pencatatan hour meter, pengecekan kondisi mesin secara langsung dan berdasarkan keterangan dari operator mesin. Pencatatan hour meter bertujuan untuk mengecek seberapa lama mesin telah digunakan dan juga berguna sebagai patokan untuk penggantian suku cadang. Pengecekan mesin secara langsung melalui pengamatan teknisi maintenance terhadap bagian-bagian tertentu dari mesin. Keterangan mengenai kondisi mesin diperoleh melalui wawancara dengan operator mesin. Melalui kegiatan ini dapat diketahui kondisi mesin apakah layak pakai atau tidak. Apabila terdapat kerusakan maka dapat segera diperbaiki melalui kegiatan corrective maintenance. Hasil dari pelaksanaan preventive maintenance dituangkan dalam bentuk catatan yang disebut dengan Daftar Riwayat Mesin. Daftar riwayat mesin berisi tentang informasi yang berkaitan dengan riwayat perbaikan dan penggantian alat. Melalui daftar inilah dapat diketahui kondisi mesin dari waktu ke waktu. Pelaksanaan program kerja predictive maintenance di PT FLN dilakukan dengan kegiatan penggantian komponen mesin berdasarkan umur pakai komponen mesin tersebut. Pemakaian mesin produksi secara kontinu dapat menyebabkan beberapa komponen aus, rusak, bahkan patah. Komponen yang mengalami kejadian tersebut dapat menyebabkan mesin berhenti berproduksi. Akibatnya mesin harus diperbaiki sehingga mengakibatkan terjadinya downtime. Selain itu, komponen yang rusak juga walaupun masih dapat digunakan (mesin tetap berproses) bisa berakibat fatal apabila tetap dipakai. Hal ini disebabkan karena kerusakan pada mesin akan menjalar dari satu komponen ke komponen lainnya. Maka dari itu, penggantian komponen berdasarkan umur pakainya wajib diperhatikan. Peramalan terhadap umur pakai suatu komponen yang dilakukan oleh Bagian Maintenance melalui informasi dari pabrik pembuat mesin itu sendiri atau melalui perkiraan berdasarkan pengalaman yang lalu. Perkiraan tersebut diambil dari selisih antara waktu terjadinya komponen rusak dengan waktu pada saat

39 komponen masih baru. Ukuran yang dipakai untuk memperkiran umur komponen mesin tersebut adalah hour meter mesin Pemeliharaan mandiri oleh operator (autonomous maintenance) adalah suatu ciri yang unik di dalam TPM karena sebagai pusat dari pelaksanaan TPM di suatu perusahaan. Kegiatan perawatan mandiri yang diterapkan oleh PT FLN dilakukan dengan aktivitas perbaikan ringan yang dilakukan oleh operator mesin. Perbaikan ringan yang dilaksanakan oleh operator misalnya mengencangkan baut yang longgar, pelumasan komponen mesin, dan sebagainya. Pelaksanaan kegiatan autonomous maintenance di PT FLN belum efektif walaupun Manajer Manufacturing sampai tingkat Kepala Bagian telah menetapkan adanya kegiatan perawatan mandiri oleh operator. Akan tetapi, pada kenyataannya dilapangan kebijakan tersebut tidak disertai dengan adanya standar prosedur kerja yang tertulis sehingga operator melaksanakan kegiatan autonomous maintenance berdasarkan kesadaran pribadi saja. 4.5 Penetapan Area dan Stasiun Kerja Kritis Seluruh mesin produksi yang digunakan oleh perusahaan merupakan bagian yang sangat penting nilainya bagi perusahaan. Mesin-mesin tersebut mendapat prioritas dalam pemeliharaan dan perawatan. Akan tetapi, seiring dengan berjalannya waktu, penggunaan mesin-mesin produksi disesuaikan dengan kebutuhan pelanggan sehingga terdapat pengklasifikasian mesin yang sering dipakai dan jarang dipakai. Menurut Assauri (2004), fasilitas-fasilitas produksi dapat digolongkan sebagai critical unit apabila kerusakan mesin menyebabkan kemacetan seluruh proses produksi. Kemacetan proses produksi mengakibatkan waktu efektif untuk produksi menjadi berkurang, sehingga waktu yang terbuang karena kerusakan mesin tersebut dikategorikan sebagai downtime. Penerapan TPM di perusahaan diharapkan mampu memperlancar proses produksi dengan mengurangi downtime mesin. Mesin-mesin yang sering dipakai mempunyai waktu kerja yang sangat lama. Dalam penggunaannya, mesin tersebut bisa digunakan selama 24 jam non-stop. Oleh karena itu, mesin-mesin produksi dengan kategori ini lebih sering mengalami kerusakan sehingga waktu downtime-nya pun tinggi. Berbeda halnya

40 dengan mesin yang jarang dipakai atau digunakan hanya 8 jam atau 16 jam saja maka mesin tersebut lebih sedikit mengalami downtime. Menurut Borris (2006), kerusakan mesin dibedakan menjadi dua jenis, yaitu kerusakan secara alami (natural deterioration) dan kerusakan yang disebabkan pengaruh dari luar mesin (forced deterioration). Mekanisme kegagalan atau kerusakan mesin dibedakan menjadi dua macam tipe, yaitu kegagalan total (total failures) dan kegagalan parsial (partial failures). Kegagalan parsial terjadi ketika mesin mengalami kerusakan akan tetapi mesin tersebut masih bisa dioperasikan. Sedangkan kegagalan total terjadi ketika mesin mengalami kerusakan dan tidak dapat dijalankan. Penetapan area kerja kritis ini dilakukan karena adanya keterbatasan waktu penelitian sehingga untuk mengamati kegiatan TPM di lapangan dilakukan pada area kerja kritis. Plant-2 yang merupakan area produksi untuk plastic process dapat dikategorikan sebagai area kerja kritis. Hal ini dikarenakan Plant-2 memiliki peranan yang sangat penting dalam proses produksi di PT FLN. Kegiatan di Plant-2 memiliki keterkaitan dengan kegiatan di Plant-3, sehingga apabila kegiatan produksi di Plant-2 macet, maka dapat dipastikan kegiatan produksi di Plant-3 juga mengalami hambatan. Keterkaitan ini terlihat dari barang yang di produksi oleh Plant-2 merupakan barang setengah jadi yang harus diproses selanjutnya di Plant-3. Proses pengecatan yang dilakukan di Plant-3 tidak akan berjalan apabila tidak ada stok barang dari Plant-2. Identifikasi stasiun kerja kritis dapat diamati dari waktu produksi mesin yang digunakan untuk berproduksi. Mesin-mesin yang digunakan secara terusmenerus (non-stop) memiliki kemungkinan kerusakan yang sangat besar daripada mesin-mesin yang digunakan tidak secara terus-menerus. Oleh karena itu, mesinmesin yang dipakai secara terus-menerus perlu mendapat perhatian agar kerusakan yang terjadi dapat dikurangi. Maka dari itu, penerapan TPM pada stasiun kerja dimana mesin ini berada perlu mendapat perhatian khusus. Selain itu, identifikasi stasiun kerja kritis yang dilakukan di PT FLN dengan mengamati banyaknya waktu downtime yang terjadi pada mesin produksi. Tujuannya adalah untuk mendapatkan informasi mengenai mesin mana yang

41 sering mengalami kasus downtime sehingga patut ditinjau kembali penerapan TPM pada stasiun kerja tersebut. Kegiatan produksi di Plant-2 juga tergolong kegiatan produksi yang dilakukan secara terus-menerus antara 7-21 jam dalam seharinya. Efeknya terhadap mesin adalah mesin menjadi sering mengalami kerusakan sehingga menyebabkan downtime. Perlu diingat bahwa PT FLN memiliki tiga unit mesin Blow Moulding saat ini, akan tetapi yang menjadi objek penelitian hanya dua mesin saja karena mesin Blow Moulding-3 baru resmi beroperasi pada bulan Maret 2009. Oleh karena itu tidak relevan karena pengamatan dilakukan dari bulan Januari sampai April 2009. Selain itu, mesin Cruizer Mixing juga tidak dijadikan objek penelitian karena mesin ini hanya berfungsi sebagai mesin penunjang produksi saja. Kedua unit mesin Blow Moulding memiliki waktu produksi 21 jam. Mesin Vacuum Forming-2 memiliki waktu produksi 14 jam dan mesin Vacuum Forming-1 memiliki waktu produksi selama 7 jam. Pengamatan terhadap downtime mesin di Plant-2 untuk menentukan stasiun kerja kritis dilakukan antara periode Januari sampai April 2009. Berikut grafik downtime mesin-mesin di Plant-2 periode bulan Januari yang disajikan pada Gambar 4. 0.50 0.40 0.30 0.20 % downtime 0.10 0.00 Blow Moulding-1 Blow Moulding-2 Vacuum Forming-1 Vacuum Forming-2 Gambar 4. Grafik Downtime Bulan Januari 2009 Downtime pada bulan Januari 2009 banyak terjadi pada mesin Vacuum Forming-2 dengan waktu downtime sebanyak 80 menit dan waktu produksi mesin

42 sebanyak 280 jam kerja atau 16800 menit selama bulan Januari. Persentase waktu downtime yang dihasilkan sebanyak 0,48 persen. Downtime ini dikarenakan adanya kerusakan pada elemen pemanas (heater) yang tidak berfungsi dengan baik. Heater no. 48 dan 49 mengalami kerusakan sehingga harus diganti dengan heater yang baru. Penggantian ini membutuhkan waktu sebanyak 80 menit sehingga mesin berhenti berproses selama waktu tersebut. Mesin-mesin produksi lainnya di Plant-2 tidak mengalami kerusakan sehingga tidak ada waktu downtime yang muncul. Mesin-mesin tersebut berjalan dengan sebagaimana mestinya, yaitu dapat berproses secara optimal sesuai dengan waktu produksi mesin. Kedua mesin Blow Moulding dapat bekerja secara maksimal selama 420 jam atau 25200 menit dan mesin Vacuum Forming-1 dapat bekerja secara maksimal selama 140 jam atau 8400 menit. Waktu produksi mesin secara lengkap disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Waktu Produksi Mesin-mesin di Plant -2 Bulan Januari 2009 Nama Mesin Downtime Persentase Kerja Mesin (menit) (menit) (%) Blow Moulding-1 0 25200 0.00 Blow Moulding-2 0 25200 0.00 Vacuum Forming-1 0 8400 0.00 Vacuum Forming-2 80 16800 0.48 Gambar 5 menyajikan informasi mengenai grafik downtime mesin-mesin di Plant-2 selama bulan Februari 2009. 0.40 0.35 0.30 0.25 0.20 0.15 0.10 0.05 0.00 Blow Moulding-1 Blow Moulding-2 Vacuum Forming-1 Vacuum Forming-2 % downtime Gambar 5. Grafik Downtime Bulan Februari 2009

43 Kerusakan mesin pada bulan Februari terjadi pada mesin Blow Moulding-1 dan mesin Vacuum Forming-2. Kerusakan pada mesin Blow Moulding-1 terjadi karena heater no 9 melebihi standar panas yang seharusnya sehingga harus dilakukan penyesuaian ulang. Penyesuaian ini menyebabkan proses produksi menjadi berhenti dan memakan waktu sebanyak 20 menit (downtime) dari waktu produksi mesin sebanyak 420 jam atau 25200 menit sehingga persentase waktu downtime yang dihasilkan adalah 0,08 persen. Mesin Vacuum Forming-2 mengalami kerusakan pada elemen pemanas no 5A, 59B dan 13AB dimana elemen-elemen pemanas pecah dan harus diganti dengan elemen yang baru. Penggantian elemen ini membutuhkan waktu sebanyak 60 menit sehingga mesin berhenti selama waktu tersebut. Waktu produksi mesin sebanyak 280 jam atau 16800 menit sehingga persentase downtime sebanyak 0,36 persen. Mesin-mesin produksi lainnya seperti Blow Moulding-2, dan Vacuum Forming-1 bekerja dengan sebagaimana mestinya tanpa mengalami kerusakan selama bulan Februari. Mesin Blow Moulding-1 dan Blow Moulding-2 mampu bekerja secara optimal sebanyak 25200 menit dan mesin Vacuum Forming-1 mampu bekerja secara optimal selama 8400 menit. Waktu produksi mesin secara lengkap disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Waktu Produksi Mesin-mesin di Plant -2 Bulan Februari 2009 Nama Mesin Downtime Kerja Mesin Persentase (menit) (menit) (%) Blow Moulding-1 20 25200 0.08 Blow Moulding-2 0 25200 0.00 Vacuum Forming-1 0 8400 0.00 Vacuum Forming-2 60 16800 0.36 Kerusakan mesin pada bulan Maret hampir terjadi pada semua mesin produksi di Plant-2. Kerusakan pada mesin Blow Moulding-1 terjadi karena selang atas hidroulik pecah sehingga mesin berhenti berproses. Penggantian selang atas hidroulik membutuhkan waktu sebanyak 5 menit. Oleh karena, itu downtime yang terjadi selama 5 menit atau dengan persentase sebanyak 1,04 persen dari waktu total kerja mesin sebanyak 25200 menit. Gambar 6 menyajikan

44 informasi mengenai grafik downtime mesin-mesin di Plant-2 selama bulan Maret 2009. 1.00 0.90 0.80 0.70 0.60 0.50 0.40 0.30 0.20 0.10 0.00 Blow Moulding-1 Blow Moulding-2 Vacuum Forming-1 Vacuum Forming-2 % downtime Gambar 6. Grafik Downtime Bulan Maret 2009 Mesin Blow Moulding-2 mengalami downtime sebanyak 240 menit karena mengalami kerusakan pada main pump yang overload sehingga mesin tidak bisa beroperasi selama waktu tersebut. Persentase downtime terhadap waktu produksi mesin adalah 0,95 persen dari waktu kerja sebanyak 25200 menit. Mesin Vacuum Forming-1 mengalami kerusakan pada elemen pemanas sehingga harus dilakukan penggantian elemen dengan yang baru. Penggantian ini menyebabkan mesin berhenti berproses selama 15 menit dari total kerja mesin yang seharusnya sebanyak 8400 menit. Persentase downtime yang diperoleh adalah sebanyak 0,18 persen. Downtime yang terjadi pada masin Vacuum Forming-2 sebesar 0,98 persen yang diakibatkan oleh pemasangan elemen baru dan perbaikan frame atas yang jatuh. Pemasangan elemen yang baru membutuhkan waktu sebanyak 30 menit sedangkan perbaikan frame atas yang jatuh sebanyak 2 jam 15 menit atau 135 menit. Total downtime untuk mesin Vacuum Forming-2 yang terjadi adalah 165 menit dari total waktu kerja sebanyak 16800 menit. Waktu produksi mesin secara lengkap disajikan pada Tabel 5.

45 Tabel 5. Waktu Produksi Mesin-mesin di Plant -2 Bulan Maret 2009 Nama Mesin Downtime Persentase Kerja Mesin (menit) (menit) (%) Blow Moulding-1 15 25200 0.06 Blow Moulding-2 240 25200 0.95 Vacuum Forming-1 15 8400 0.18 Vacuum Forming-2 165 16800 0.98 Grafik downtime untuk mesin-mesin di Plant-2 selama bulan April 2009 disajikan pada Gambar 7. 2.50 2.00 1.50 1.00 % downtime 0.50 0.00 Blow Moulding-1 Blow Moulding-2 Vacuum Forming-1 Vacuum Forming-2 Gambar 7. Grafik Downtime Bulan April 2009 Kerusakan pada bulan april 2009 meliputi mesin Blow Moulding-1, Vacuum Forming-1 dan Vacuum Forming-2. Untuk mesin lainnya di Plant-2 ini tidak mengalami kerusakan yang menyebabkan terhentinya proses produksi sehingga mesin-mesin tersebut dapat bekerja secara optimal di bulan April. Mesin-mesin tersebut adalah Blow Moulding-2. Mesin Blow Moulding-1 mengalami kerusakan pada filter elemen vacuum loader dan gangguan pada pen dan met yang tidak bisa bergerak. Perbaikan pada vacuum loader membutuhkan waktu 20 menit dan perbaikan pada pen dan met membutuhkan waktu 2 jam 5 menit atau 125 menit. Total waktu downtime mesin Blow Moulding-1 selama bulan april 2009 adalah 145 menit atau 0,55 persen dari waktu kerja total mesin sebanyak 26460 menit.

46 Mesin Vacuum Forming-1 mengalami downtime sebesar 0,45 persen atau sebanyak 40 menit dari total waktu produksi mesin sebanyak 8820 menit. Downtime ini terjadi karena adanya kerusakan pada elemen pemanas dimana panas yang dihasilkan tidak merata sehingga harus diperbaiki dan dilakukan penyesuaian ulang. Downtime pada mesin Vacuum Forming-2 sebesar 2,04 persen atau sebanyak 360 menit dari total waktu produksi mesin sebanyak 17640 menit. Downtime ini terjadi karena adanya perbaikan pada elemen pemanas sebanyak 310 menit, perbaikan pada pompa vacuum sebanyak 30 menit, dan perbaikan pada silinder kiri, selang pneumatic dan frame vacuum sebanyak 60 menit. Waktu produksi mesin secara lengkap disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Waktu Produksi Mesin-mesin di Plant -2 Bulan April 2009 Nama Mesin Downtime Kerja Mesin Persentase (menit) (menit) (%) Blow Moulding-1 145 26460 0.55 Blow Moulding-2 0 26460 0.00 Vacuum Forming-1 40 8820 0.45 Vacuum Forming-2 360 17640 2.04 Berdasarkan analisis downtime selama bulan Januari sampai April 2009 tersebut, maka stasiun kerja kritis di Plant-2 PT FLN adalah stasiun kerja Vacuum Forming-2. Downtime yang tinggi setiap bulannya mengindikasikan mesin banyak mengalami gangguan. Mulai dari penghentian kecil sampai breakdown mesin yang menyebabkan proses produksi menjadi terhenti. Penerapan TPM pada Mesin Vacuum Forming-2 sebagai stasiun kerja kritis perlu mendapat perhatian perusahaan. Mesin ini merupakan mesin yang sering dipakai untuk menjalankan proses produksi dibandingkan dengan mesin sejenisnya (Vacuum Forming-1) sehingga jam kerja mesin yang tinggi membuat mesin ini sering mengalami kerusakan. Menurut wawancara dengan Kepala Bagian Maintenance, kerusakan mesin yang sering terjadi terletak pada elemen pemanas (heater) yang mudah pecah disamping umur produksi mesin ini juga sudah tergolong mesin tua sehingga banyak mengalami kerusakan. Dengan kondisi mesin seperti ini, kegiatan preventive maintenance harus lebih diintensifkan untuk mesin-mesin yang tergolong sudah tua, penggantian suku

47 cadang juga harus lebih diperhatikan, dan yang paling penting adalah harus adanya kesadaran operator untuk melaksanakan kegiatan perawatan mandiri supaya kerusakan mesin dapat dicegah agar tidak menjadi parah (deterioration). 4.6 Efektivitas Penerapan TPM di Area Kerja Kritis Penerapan TPM pada area kerja kritis perlu mendapat perhatian khusus untuk menentukan apakah TPM telah efektif dilaksanakan atau belum efektif dilaksanakan. Plant-2 yang merupakan area kerja kritis menjadi objek penelitian tentang bagimana TPM diterapkan dan diimplementasikan melalui penerapan program kerja 5S, preventive maintenance, predictive maintenance, dan autonomous maintenance. Penelitian dilakukan dengan mewawancarai responden yang terdiri dari supervisor, foreman, dan operator dengan menggunakan panduan kuesioner. Supervisor dipilih karena merupakan pihak yang bertanggungjawab sepenuhnya terhadap kegiatan di Plant-2. Foreman dipilih karena merupakan pihak yang bertanggungjawab langsung di lapangan. Operator dipilih karena merupakan pihak yang langsung berhubungan dengan mesin sehingga mengetahui kondisi mesin yang sebenarnya. a. Penerapan Sikap 5 S Penerapan program sikap kerja 5S perlu dievaluasi di Plant-2 sebagai area kerja kritis. Para operator, foreman, dan supervisor kadang memahami tentang program tersebut, akan tetapi pelaksanaan mereka terhadap program kerja tersebut masih dipertanyakan. Pemahaman sangat penting untuk pelaksanaan program 5S karena apabila mereka telah memahami maka program tersebut akan mudah dijalankan. Untuk melihat hubungan antara pemahaman dan pelaksanaan operator, foreman,dan supervisor Plant-2 terhadap program kerja 5S digunakan metode Crosstabulation Chi-Square. Pelaksanaan program kerja sikap 5S dapat berjalan dengan baik apabila terdapat pemahaman diantara para operator, foreman, dan supervisor disamping pengetahuan mereka mengenai program tersebut. Pemahaman operator, foreman, dan supervisor terhadap program sikap kerja 5S dapat dilihat pada Tabel 7.

48 Tabel 7. Pemahaman Para Operator, Foreman, dan Supervisor terhadap Program Kerja Sikap 5S No Respon Responden (orang) Persentase (%) 1 Sangat memahami 7 24,14 2 Memahami 17 58,62 3 Ragu-ragu 5 17,24 Total 29 100 Pada umumnya para operator, foreman, dan supervisor telah memahami program kerja sikap 5S yang diterapkan oleh perusahaan. Sebanyak 24,14 persen menyatakan sangat memahami seluruh instruksi kerja sikap 5S. Sebanyak 58,62 persen menyatakan memahami sebagian dari instruksi kerja 5S. Sisanya sebanyak 17,24 persen menyatakan hanya sedikit yang mereka pahami dari instruksi kerja 5S. Pemahaman terhadap program sikap kerja 5S menunjukkan kepedulian para operator, foreman, dan supervisor terhadap kegiatan tersebut. Apabila mereka telah peduli, efek yang timbul seharusnya adalah kegiatan 5S telah menjadi prilaku mereka sehari-hari di perusahaan. Prilaku ini dapat dilihat dari pelaksanaan program kerja 5S yang dilaksanakan oleh para operator, foreman, dan supervisor di lingkungan kerja. Identifikasi selanjutnya adalah mengetahui sejauhmana pelaksanaan program kerja sikap 5S oleh para operator, foreman, dan supervisor. Sebanyak 72,4 persen menyatakan selalu melaksanakan kegiatan 5S dan 27,6 persen menyatakan sering melaksanakan kegiatan 5S. Para operator, foreman, dan supervisor yang menjawab selalu melaksanakan kegiatan 5S melakukan kegiatan tersebut sebelum dan sesudah kegiatan produksi, yaitu pada saat penggantian shift kerja. Para operator, foreman, dan supervisor yang mengatakan sering melakukan kegiatan 5S melakukan kegiatan tersebut disesuaikan dengan jadwal piket 5S yang telah ditetapkan oleh perusahaan.

49 Hubungan antara pemahaman dan pelaksanaan para operator, foreman, dan supervisor terhadap program sikap kerja 5S dianalisis menggunakan teknik statistika deskriptif tabulasi silang. Perumusan hipotesisnya yaitu : Ho adalah pengetahuan terhadap program kerja sikap 5S tidak ada hubungannya dengan pemahaman para operator, foreman, dan supervisor untuk melaksanakan program kerja sikap 5S. Sedangkan H1 adalah pengetahuan terhadap program kerja sikap 5S ada hubungannya dengan pemahaman para operator, foreman, dan supervisor untuk melaksanakan program kerja sikap 5S. Hubungan tersebut dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Tabulasi Silang Hubungan antara Pemahaman dan Pelaksanaan Para Operator, Foreman, dan Supervisor Mengenai Program Kerja Sikap 5S Hubungan Pelaksanaan Para Operator, Foreman, dan Supervisor Terhadap Program Kerja Sikap 5S Jawaban Selalu (%) Sering (%) Total (%) Pemahaman Para Operator, Foreman, dan Supervisor Terhadap Program Kerja Sikap 5S Memahami (%) Ragu-ragu (%) Sangat Memahami (%) 51,7 6,9 58,6 6,9 10,3 17,2 13,8 10,3 24,1 Total 72,4 27,6 100 Melalui pengolahan data kuisioner, diperoleh nilai Assemblymp.Sig (2- sided) Pearson Chi-Square hitung sebesar 0,062. Nilai alpha (α) yang digunakan adalah sepuluh persen. Jika dibandingkan nilai Assymp. Sig (2-sided) Pearson Chi-Square hitung lebih kecil dari nilai alpha (α) maka Ho ditolak dan H1

50 diterima. Hasil pengolahan data menggunkan teknik statistik deskriptif tabulasi silang dapat dilihat pada Lampiran 7. Interprestasi hasil pengolahan data menggambarkan bahwa pemahaman para operator, foreman, dan supervisor mengenai program kerja sikap 5S di perusahaan ada hubungannya dengan sikap para operator, foreman, dan supervisor untuk melaksanakan instruksi kerja 5S. Kenyataan yang terjadi di area produksi Plant-2 adalah para operator, foreman, dan supervisor yang memahami instruksi kerja 5S masih ada yang melaksanakan kegiatan 5S hanya berdasarkan jadwal piketnya saja sehingga dalam kesehariannya kegiatan 5S belum menjadi bagian dari prilaku mereka di perusahaan. Begitu juga sebaliknya, para operator, foreman, dan supervisor yang tidak terlalu memahami instruksi kerja 5S, sering melaksanakan kegiatan 5S sebelum dan sesudah kegiatan produksi tanpa harus memperhatikan jadwal piket 5S. Dengan demikian, prilaku 5S yang menjadi dasar dari kegiatan TPM belum sepenuhnya menjadi bagian dari prilaku para operator, foreman, dan supervisor di Plant-2. b. Penerapan Preventive Maintenance dan Predictive Maintenance Program kerja preventive maintenance dan predictive maintenance di PT FLN dijalankan langsung oleh Bagian Maintenance dengan jumlah tenaga kerja sebanyak lima orang, yaitu Kepala Bagian Maintenance dibantu oleh empat orang staf Maintenance. Tiga orang staf difungsikan untuk bekerja pada shift 1 dan 2 sedangkan satu orang lagi untuk shift 3. Menurut Manajer Maufacturing, dengan jumlah tenaga kerja yang seperti ini dirasakan masih kurang efektif untuk menjalankan kegiatan preventive maintenance dan predictive maintenance mengingat jumlah mesin yang harus diawasi sangatlah banyak. Kendala di lapangan yang terjadi terkait dengan jumlah tenaga kerja yang kurang adalah ketika beberapa mesin mengalami breakdown secara bersamasama. Jumlah tenaga kerja yang kurang menyebabkan tidak semua mesin dapat ditanggulangi secara bersama-sama sehingga harus menunggu waktu perbaikan mesin yang lain. Hal ini menyebabkan proses produksi menjadi terhambat karena mesin tidak bisa berproduksi untuk menghasilkan barang. Oleh karena itu, langkah yang harus diambil oleh perusahaan adalah menambah tenaga kerja untuk Bagian Maintenance agar kegiatan preventive dan predictive maintenance dapat

51 dilaksanakan secara optimal. Kegiatan preventive maintenance dan predictive maintenance memiliki peranan yang penting untuk menjaga kondisi mesin agar dapat bekerja secara optimal sehingga kinerja mesin yang efisien dalam berproduksi membuat perusahaan menjadi lebih produktif. Pelaksanaan TPM pada suatu perusahaan tidak bisa dilepaskan dari peran serta seluruh tenaga kerja di perusahaan tersebut. Kata Total dalam filosofi TPM berarti bahwa harus ada partisipasi aktif dari manajemen puncak sampai operator. Oleh karena itu, evaluasi terhadap program preventive maintenance dan predictive maintenance di Plant-2 dilaksanakan dengan persepsi responden yang terdiri dari para operator, foreman, dan supervisor mengenai pengetahuan mereka terhadap kedua program kerja tersebut. Pengetahuan mereka memungkinkan dilaksanakannya pengawasan terhadap program kerja preventive maintenance dan predictive maintenance sebagai bentuk partisipasi dalam TPM. Pengetahuan responden terhadap program kerja preventive maintenance disajikan pada Gambar 8. 31% 55% 14% Ya Ragu-ragu Tidak Tahu Gambar 8. Pengetahuan Responden Mengenai Kegiatan Preventive Maintenance Pada umumnya responden tidak mengetahui adanya program kerja preventive maintenance dan hanya sebagian kecil yang mengetahui secara pasti adanya program tersebut. Mereka yang tidak tahu mengenai program preventive maintenance berpendapat bahwa kegiatan pemeliharaan dan perawatan yang dilakukan oleh Bagian Maintenance hanya sebatas pada saat mesin mengalami kerusakan saja. Beberapa responden mengatakan ragu-ragu terhadap pengetahuan

52 program kerja preventive maintenance karena mereka hanya mengetahui aktivitas pengecekan mesin yang dilakukan oleh Bagian Maintenance tetapi tidak mengetahui bahwa hal tersebut adalah bagian dari program preventive maintenance. Kenyataan yang terjadi di lapangan menunjukkan masih minimnya partisipasi para operator, foreman dan supervisor terhadap TPM terutama kegiatan preventive maintenance. Langkah yang harus diambil oleh perusahaan adalah dengan mengadakan sosialisasi ulang terhadap program preventive maintenance kepada seluruh operator, foreman, dan supervisor agar mereka dapat berpartisipasi aktif dalam aktivitas TPM. Apabila seluruh operator telah mengetahui program kerja ini maka pengawasan oleh foreman dan supervisor dapat dilaksanakan, dan koordinasi antara operator dengan staff Maintenance mengenai informasi kondisi dan aktivitas mesin dapat dilakukan. Indentifikasi selanjutnya adalah pengetahuan responden mengenai program kerja predictive maintenance yang disajikan pada Gambar 9. 14% 3% 83% Ya Ragu-ragu Tidak Gambar 9. Pengetahuan Responden Mengenai Kegiatan Predictive Maintenance Sama halnya dengan program kerja preventive maintenance, program kerja predictive maintenance tidak diketahui oleh kebanyakan responden. Ketidaktahuan ini disebabkan karena kegiatan predictive maintenance belum bisa diterapkan secara optimal di lapangan. Menurut Kepala Bagian Maintenance, kendala yang muncul dalam kegiatan ini adalah adanya kesulitan dalam memperkirakan umur pakai suatu komponen mesin, sehingga dalam memperkirakan umur pakai suatu komponen hanya didasarkan pada informasi

53 dari selisih hour meter antara pada saat komponen baru terpasang dan komponen tersebut mengalami kerusakan. Oleh karena itu, kegiatan predictive maintenance baru dapat dilaksanakan hanya pada beberapa komponen mesin saja sehingga kegiatan ini terlihat jarang dilaksanakan dilapangan. Oleh karena itu, hanya sebagian kecil responden yang mengetahui tentang program kerja ini. Tingkat ketidaktahuan yang sangat tinggi terhadap program kerja predictive maintenance ini menyebabkan tingkat partisipasi para operator, foreman, dan supervisor masih minim. Adanya kendala pada penerapan program kerja itu sendiri menjadi alasan utama penyebab ketidaktahuan mereka. Oleh karena itu, perusahaan harus mengambil langkah perbaikan terhadap program kerja predictive maintenance dengan mengakaji ulang pada sistem perkiraan umur pakai komponen mesin. Perusahaan bisa menggunakan tenaga ahli dari pembuat mesin tersebut untuk mengetahui secara pasti perkiraan umur pakai komponenkomponennya. Setelah itu dilakukan sosialisasi ulang mengenai program kerja predictive maintenance agar seluruh pihak dapat berpartisipasi dalam mengawasi jalannya program ini. c. Penerapan Autonomous Maintenance Evaluasi kegiatan autonomous maintenance dilaksanakan di Plant-2 sebagai area stasiun kerja kritis untuk mengidentifikasi sejauhmana pengetahuan dan pemahaman para operator, foreman, dan supervisor mengenai kegiatan tersebut. Pengetahuan para operator, foreman, dan supervisor terhadap program kerja autonomous maintenance dapat dilihat pada Tabel 9. Sebanyak 20,69 persen para operator, foreman, dan supervisor menyatakan mengetahui aktivitas merawat mesin secara mandiri. Menurut pendapat mereka, pelaksanaan perawatan mesin secara mandiri berkaitan dengan pembersihan mesin, pengecekan mesin, penyetelan mesin dan perbaikan ringan. Sebanyak 55,17 persen mengatakan ragu-ragu dan pada umumnya alasan yang disampaikan adalah mereka tidak terlalu memahami aktivitas perawatan mandiri dan bagi mereka yang paling penting adalah mengoperasikan mesin dengan baik saja. Pekerjaan perawatan mesin jarang mereka lakukan kecuali dalam kondisi terdesak dan Bagian Maintenance terlambat untuk turun tangan.

54 Tabel 9. Pengetahuan Para Operator, Foreman, dan Supervisor terhadap Program Kerja Autonomous Maintenance No Respon Responden (orang) Persentase (%) 1 Mengetahui 6 20,69 2 Ragu-ragu 16 55,17 3 Tidak mengetahui 7 24,14 Total 29 100 Sebanyak 24,14 persen menyatakan tidak mengetahui kegiatan perawatan mandiri. Hal ini terjadi karena yang ada dalam pikiran mereka adalah hanya menggunakan mesin dengan baik dan pemeliharaan atau perawatan diserahkan kepada Bagian Maintenance saja. Bagi mereka menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan target adalah yang perlu diprioritaskan. Hal yang diidentifikasi selanjutnya adalah persepsi para operator terhadap aktivitas autonomous maintenance. Sebanyak 13,79 persen menyatakan mereka merasa aktivitas merawat mesin secara mandiri bukan merupakan tugas dan tanggung jawab mereka. Mereka menganggap aktivitas tersebut merupakan bagian dari tugas Bagian Maintenance. Sebagian besar (sebanyak 86,21 persen) menganggap aktivitas merawat mesin merupakan bagian dari tugas dan tanggung jawab mereka. Hal ini terjadi karena adanya kesadaran pribadi terhadap tugas mereka. Hubungan antara pengetahuan para operator, foreman, dan supervisor mengenai pelaksanaan autonomous maintenance dengan persepsi mereka terhadap pelaksanaan aktivitas autonomous maintenance dianalisis menggunakan teknik statistik deskriptif tabulasi silang. Tabulasi silang mengenai hubungan tersebut secara rinci dapat dilihat pada Tabel 10. Perumusan hipotesisnya yaitu : Ho adalah pengetahuan terhadap autonomous maintenance tidak ada hubungannya dengan persepsi para operator, foreman, dan supervisor terhadap tugas dan tanggung jawab perawatan mesin. Sedangkan H1 adalah pengetahuan terhadap autonomous maintenance ada

55 hubungannya dengan persepsi para operator, foreman, dan supervisor terhadap tugas dan tanggung jawab perawatan mesin. Melalui pengolahan data kuesioner, diperoleh nilai Assemblymp.Sig (2- sided) Pearson Chi-Square hitung sebesar 0,474. Nilai alpha (α) yang digunakan adalah sepuluh persen. Jika dibandingkan nilai Assymp. Sig (2-sided) Pearson Chi-Square hitung lebih besar dari nilai alpha (α) maka Ho diterima dan H1 ditolak. Hasil pengolahan data menggunkan teknik statistik deskriptif tabulasi silang dapat dilihat pada Lampiran 8. Interprestasi hasil pengolahan data menggambarkan bahwa pengetahuan para operator, foreman, dan supervisor mengenai pelaksanaan autonomous maintenance di perusahaan tidak ada hubungannya dengan persepsi para operator, foreman, dan supervisor terhadap tugas dan tanggung jawab mereka. Tabel 10. Tabulasi Silang Persepsi Para Operator, Foreman, dan Supervisor Mengenai Program Autonomous Maintenance Persepsi Para Operator, Foreman, dan Supervisor Terhadap Aktivitas Autonomous Maintenance Hubungan Jawaban Merasa sebagai Bagian dari Tugas dan Tanggung Jawab (%) Tidak Merasa sebagai Bagian dari Tugas dan Tanggung Jawab (%) Total (%) Pengetahuan Para Operator, Foreman, dan Supervisor Terhadap Pelaksanaan Autonomous Maintenance Ragu-ragu (%) Tidak Mengetahui (%) 44,8 10,3 55,2 24,1 0 24,1 Mengetahui (%) 17,2 3,4 20,7

56 Total 86,2 13,8 100 Kegiatan autonomous maintenance memegang peranan yang sangat penting dalam sistem TPM, karena kegiatan inilah yang membedakan TPM dengan kegiatan pemeliharaan dan perawatan lainnya. Melalui kegiatan autonomous maintenance, aktivitas mesin dapat diawasi dari waktu ke waktu sehingga apabila terjadi gangguan dapat ditanggulangi lebih dini sebelum mesin kerusakan mesin terjadi. Kondisi mesin yang terjaga dari kerusakan dapat memperlancar proses produksi, dengan demikian perusahaan dapat mempertahankan tingkat produktivitasnya. 4.7 Efektivitas TPM terhadap Perubahan Produktivitas Pelaksanaan kegiatan TPM mempunyai dampak terhadap produktivitas perusahaan, karena melalui program TPM seluruh tenaga kerja dan mesin produksi dirancang untuk selalu bekerja pada kondisi yang produktif. Dalam TPM, tenaga kerja dituntut untuk terlibat dan berpartisipasi aktif dalam kegiatan autonomous maintenance untuk aktivitas pemeliharaan dan perawatan mesin, pembentukan prilaku positif tenaga kerja melalui kegiatan 5S, dan pada akhirnya menciptakan kondisi kerja yang produktif. Pemeliharaan dan perawatan terhadap mesin produksi dilaksanakan melalui kegiatan preventive maintenance sebagai upaya untuk pencegahan dini kerusakan mesin, dan kegiatan predictive maintenance untuk kegiatan penggantian suku cadang mesin sehingga mesin produksi dapat beroperasi sesuai dengan yang diharapkan oleh perusahaan. Oleh karena itu secara tidak langsung kegiatan TPM dapat berpengaruh terhadap produktivitas perusahaan. Pengaruh TPM terhadap produktivitas perusahaan dianalisis dengan membandingkan kegiatan pemeliharaan dan perawatan sebelum diterapkannya TPM dan setelah diterapkannya TPM. Akan tetapi, karena adanya keterbatasan data untuk kegiatan pemeliharaan dan perawatan sebelum diterapkannya TPM maka digunakan analisis berdasarkan persepsi para operator, foreman, dan supervisor mengenai pengaruh kegiatan TPM terhadap produktivitas perusahaan. Perlu diingat bahwa foreman dan supervisor yang ada di Plant-2 pernah menjadi

57 operator mesin pada area tersebut sebelum menjabat jabatan yang sekarang ini. Oleh karena itu, foreman dan supervisor secara pasti mengetahui adanya perubahan kondisi yang terjadi antara sebelum dan sesudah diterapkannya TPM. Perbedaan produktivitas sebelum dan sesudah diterapkannya TPM dilihat dari persepsi para operator, foreman, dan supervisor mengenai kegiatan pembersihan dan pemeriksaan mesin, pencegahan kerusakan mesin, tanggungjawab operator dalam mengoperasikan mesin, pengurangan kelalaian dalam mengopersikan mesin, dan pendeteksian gejala kerusakan mesin. Selain itu, ditanyakan juga kepada para operator, foreman, dan supervisor mengenai persepsi mereka tentang kejadian Loss yang terjadi sebelum dan sesudah diterapkannya TPM. Loss merupakan istilah dalam TPM yang menunjukkan adanya aktivitas yang menyebabkan kerugian bagi perusahaan. Pertanyaan seputar Loss tersebut meliputi produk cacat yang dihasilkan, kerusakan mesin yang terjadi, waktu penyetelan mesin, penghentian kecil yang terjadi, penurunan kinerja mesin, dan penurunan jumlah produksi. Pengolahan data menggunakan rata-rata nilai tengah dari jawaban responden dapat dilihat pada Lampiran 9. a. Efektivitas TPM terhadap Kegiatan Pembersihan dan Pemeriksaan Mesin Kegiatan pembersihan dan pemeriksaan mesin merupakan kegiatan dasar yang dilakukan oleh para operator. Kegiatan pembersihan meliputi menyingkirkan benda asing (debu, dan kotoran) pada bagian-bagian mesin yang dapat dijangkau dan area sekitar mesin yang dapat menimbulkan kerugian pada mesin. Kegiatan pembersihan ini dapat menggunakan alat-alat kebersihan seperti biasa (lap atau sapu) sehingga tidak terlalu rumit untuk dilakukan. Kegiatan pemeriksaan mesin dilakukan sebagai upaya untuk pencegahan kerusakan secara dini. Kegiatan pembersihan dan pemeriksaan mesin sangat penting dilakukan untuk memastikan mesin produksi agar dapat berjalan sesuai dengan yang diinginkan perusahaan untuk mencapai target produksi. Berdasarkan analisis persepsi antar waktu yang dilakukan dengan menggunakan kuisioner dihasil modus jawaban responden dengan nilai +1. Nilai ini menunjukkan bahwa persepsi operator, foreman, dan supervisor terhadap kegiatan pembersihan dan pemeriksaan mesin lebih baik dibandingkan dengan

58 setelah diterapkannya TPM. Hal ini berarti bahwa dengan diterapkannya program TPM, terutama dengan adanya kegiatan 5S, kegiatan pembersihan dan pemeriksaan menjadi teratur jika dibandingkan dengan sebelum program TPM dilaksanakan. Keteraturan ini terlihat dengan adanya jadwal piket kebersihan yang telah diatur oleh perusahaan dan adanya instruksi kerja untuk pemeriksaan mesin sebelum dan sesudah pengoperasian mesin. Kegiatan pembersihan dan pemeriksaan yang telah diterapkan oleh perusahaan melalui kegiatan TPM dapat dikembangkan dengan pemberlakuan sistem punishment bagi mereka yang tidak menjalankan kegiatan pembersihan. Hal ini dilakukan untuk menanamkan kedisiplinan bagi para operator dan untuk menjaga kontinuitas mesin dalam berproduksi. b. Efektivitas TPM dalam Pencegahan Kerusakan Mesin Mesin dapat mengalami kerusakan secara tiba-tiba pada saat mesin mulai dinyalakan ataupun pada saat proses produksi sedang berlangsung. Kejadian ini tentu tidak diinginkan oleh perusahaan karena dapat menyebabkan proses produksi berhenti dan terjadinya kerugian bagi perusahaan. Oleh karena itu, upaya pencegahan terhadap kerusakan mesin perlu dilakukan untuk mencegah timbulnya kerugian bagi perusahaan. Bagian Maintenance yang melakukan fungsi pemeliharaan dan perawatan mesin kadang tidak bisa melakukan upaya pencegahan tersebut dikarenakan adanya keterbatasan tenaga kerja, waktu dan tempat sehingga hanya operator mesin yang diharapkan mampu melakukan pencegahan dini terhadap kerusakan mesin. Pencegahan dini yang dapat dilakukan oleh operator misalnya dengan cara pengencangan baut kendor, pelumasan mesin, pengecekan mesin, perbaikan ringan dan penyetelan mesin. Keahlian-keahlian ini perlu diterapkan kepada para operator karena operator sendirilah yang mengetahui kondisi mesin yang paling aktual sehingga kerusakan dapat dicegah sedini mingkin tanpa harus menunggu Bagian Maintenance untuk melakukan hal tersebut. Nilai modus dari jawaban reponden mengenai pengaruh TPM terhadap keahlian operator dalam kegiatan pencegahan kerusakan mesin menghasilkan nilai +1. Interprestasi dari nilai ini adalah persepsi para operator, foreman, dan supervisor menganggap kegiatan pencegahan kerusakan mesin menjadi lebih baik

59 setelah diterapkannya TPM. Dengan adanya penerapan TPM maka terjadi peningkatan yang cukup signifikan terhadap keahlian operator dalam pencegahan kerusakan. Keahlian operator dalam mencegah kerusakan mesin ini diperoleh dari teknisi Bagian Maintenance ketika mereka melakukan kegiatan preventive maintenance. Informasi yang diperolah dari teknisi maintenance operator bisa mengidentifikasi penyebab kerusakan mesin. Selain itu, peningkatan keahlian ini terkait dengan pengalaman operator dalam mengoperasikan mesin sehingga mereka mengetahui kondisi-kondisi yang tidak normal penyebab kerusakan mesin. Kegiatan pencegahan kerusakan mesin oleh operator ini seharusnya merupakan bagian dari kegiatan autonomous maintenance. Akan tetapi, yang terjadi di lapangan kegiatan autonomous maintenance belum sepenuhnya diketahui oleh para responden. Oleh karena itu, kegiatan autonomous maintenance harus ditunjang dengan keberadaan cheek sheet agar kegiatan tersebut dapat terlaksana dengan baik. c. Efektivitas TPM terhadap Tanggungjawab Operator Prilaku operator dalam mengoperasikan mesin perlu disertai dengan kesadaraan akan tanggungjawab mereka dalam bekerja. Kesadaran ini dibutuhkan agar para operator tidak semena-mena dalam mengoperasikan mesin sehingga menumbuhkan perasaaan memiliki terhadap mesin yang sedang mereka operasikan. Dari kesadaran ini muncul sikap positif bagi para operator yang akan membawa dampak yang baik bagi perusahaan. Misalnya seperti penggunaan control panel dengan baik, mesin tidak dipaksakan apabila terjadi gangguan, dan sebagainya. Penggunaan mesin yang bertanggungjawab membuat mesin menjadi lebih optimal digunakan sehingga membuat proses produksi dapat berjalan dengan lancar. Berdasarkan analisis persepsi antar waktu yang dilakukan dengan menggunakan kuisioner dihasil nilai modus jawaban responden yaitu +2. Hal ini menunjukkan bahwa tanggungjawab operator dalam mengoperasikan mesin jauh lebih baik dibandingkan dengan sebelum diterapkannya TPM. Kegiatan 5S yang menjadi bagian dari program TPM perusahaan telah memberikan dampak yang

60 jauh lebih baik terhadap tanggungjawab operator dalam mengoperasikan mesin. Adanya pelatihan 5S membuat para operator memahami pentingnya sikap bertanggungjawab dalam mengoperasikan mesin. Implikasi bagi perusahaan adalah tetap mempertahankan program sikap 5S tersebut karena dapat memberikan keuntungan yang secara tidak langsung bagi perusahaan. Keuntungan tersebut berdampak pada proses produksi yang dapat berjalan dengan lancar tanpa ada gangguan dari sikap dan prilaku yang negatif dari para operator. d. Efektivitas TPM terhadap Pengurangan Kelalaian Operator Mesin produksi dapat mengalami kerusakan bukan hanya karena faktor internal dari mesin itu sendiri, akan tetapi kerusakan mesin juga bisa timbul karena adanya kelalaian operator dalam mengoperasikan mesin. Kelalaian operator dalam mengoperasikan mesin biasanya muncul karena operator tidak memperhatikan standar pengoperasian mesin. Standar pengoperasian mesin dibuat agar mesin dapat bekerja secara optimal. Oleh karena itu, kelalaian ini menyebabkan mesin beroperasi tidak sesuai dengan kondisi yang seharusnya sehingga mesin berpotensi mengalami kerusakan. Jika kerusakan itu terjadi maka proses produksi akan terhenti dan akibatnya perusahaan akan mengalami kerugian. Analisis persepsi dari operator, foreman, dan supervisor menunjukkan bahwa program TPM berpengaruh lebih baik terhadap pengurangan kelalaian operator dalam mengoperasikan mesin. Interprestasi tersebut didasarkan pada nilai modus yang dihasilkan adalah +1. Hal ini berarti bahwa program TPM yang diterapkan oleh perusahaan cukup membantu dalam mengurangi kelalaian pengoperasian mesin oleh operator. Adanya standar pengoperasian mesin cukup membantu operator dalam mengoperasikan mesin. Berdasarkan wawancara dengan operator, beberapa operator menganggap standar pengoperasian mesin tersebut dianggap sebagai formalitas saja sehingga operator mengoperasikan mesin berdasarkan pengalaman mereka saja. Oleh karena itu, perusahaan harus mengadakan penyuluhan kembali terhadap para operator mengenai standar pengoperasian mesin untuk mencegah kekeliruan yang mungkin terjadi dalam mengoperasikan mesin.

61 e. Efektivitas TPM terhadap Pendeteksian Gejala Kerusakan Mesin Pendeteksian terhadap kerusakan mesin perlu dilakukan agar mesin terhindar dari kerusakan yang lebih parah. Apabila mesin mengalami kerusakan yang parah maka dapat menyebabkan breakdown mesin sehingga mesin tidak bisa beroperasi lagi. Hal ini dapat menimbulkan kerugian bagi perusahaan seperti hilangnya waktu efektif produksi, kerugian materil karena produksi tidak bisa menghasilkan keuntungan dan biaya yang keluar untuk memperbaiki mesin. Mesin kadang beroperasi seperti biasanya, akan tetapi pada kenyataanya mesin sedang mengalami kerusakan tetapi mesin masih bisa beroperasi. Kondisi ini perlu keahlian operator untuk mendeteksi kerusakan mesin. Pendeteksian kerusakan mesin dapat ditelusuri melalui bunyi, getaran, dan bau yang tidak biasa pada mesin. Nilai modus dari jawaban reponden mengenai pengaruh TPM terhadap keahlian operator dalam pendeteksian kerusakan mesin sebesar +1. Interprestasi dari nilai ini adalah persepsi operator, foreman, dan supervisor terhadap program TPM berpengaruh lebih baik terhadap peningkatan keahlian operator dalam pendeteksian kerusakan mesin. Hal ini berarti bahwa operator merasa keahliannya dalam mendeteksi kerusakan meningkat dengan adanya program TPM dibandingkan dengan sebelum adanya program TPM. Dalam program TPM yang diterapkan oleh perusahaan, operator bekerjasama dengan Bagian Maintenance dalam mengadakan pendeteksian terhadap kondisi mesin. Teknisi Bagian Maintenance sering mengadakan pemeriksaan terhadap mesin disertai dengan operator mesin yang bersangkutan. Melalui informasi yang didapatkan dari teknisi Bagian Maintenance tersebut, maka para operator secara tidak langsung belajar mengidentifikasi gejala kerusakan mesin. Melihat kondisi operator yang belajar secara tidak langsung dari karyawan Bagian Maintenance mengenai pendeteksian gejala kerusakan mesin, maka hal yang perlu dilakukan oleh perusahaan adalah membuat standar kerja pendeteksian mesin produksi. Standar kerja pendeteksian tersebut meliputi hal-hal yang tidak normal yang terjadi selama mesin beroperasi seperti terjadinya getaran yang tinggi, suara yang tidak bisa yang keluar dari mesin, dan timbulnya bau dari mesin

62 sehingga apabila hal tersebut terjadi maka operator dapat melaporkannya langsung kepada Bagian Maintenance. f. Efektivitas TPM dalam Mengurangi Produk Cacat Barang yang dihasilkan oleh mesin produksi tidak selamanya menjadi produk yang layak untuk dijual, karena terdapat produk cacat dapat seringkali muncul pada setiap proses produksi. Produk cacat ini salah satunya terjadi akibat dari adanya error mesin. Error mesin dapat terjadi karena adanya kesalahan dalam penyesuaian mesin untuk produksi bahan-bahan tertentu, adanya korsleting sehingga menyebabkan bagian mesin mati, dan sebagainya. Produk cacat yang dihasilkan jelas sangat merugikan perusahaan karena produk cacat tersebut tidak mendatangkan keuntungan bagi perusahaan. Selain itu, jumlah produksi terhadap barang-barang yang layak dijual juga akan berkurang karena adanya produk cacat ini. Oleh karena itu, error mesin perlu dicegah untuk mengurangi produk cacat yang dihasilkan sehingga mesin dapat lebih efisien dalam berproduksi. Pengaruh TPM terhadap produk cacat yang dihasilkan karena error mesin dianalisis dengan menggunakan persepsi dari para operator, foreman dan supervisor. Hasil analisis dengan nilai modus dari jawaban responden menghasilkan nilai +1. Interprestasi dari nilai ini adalah program TPM berpengaruh lebih baik terhadap pengurangan produk cacat yang disebabkan karena error mesin. Hal ini berarti bahwa dengan adanya program TPM maka produk cacat karena error mesin berkurang jika dibandingkan dengan sebelum penerapan TPM. Program TPM yang mencakup preventive maintenance dapat mencegah terjadinya error mesin sehingga produk cacat karena error mesin dapat dikurangi. Pada kenyataannya produk cacat akibat error mesin masih dapat terjadi walaupun tidak sesering pada saat sebelum diterapkannya TPM. Untuk mencegah error mesin yang terjadi maka diperlukan standar proses yang jelas untuk setiap produk yang akan dihasilkan. Selain itu, komunikasi diantara operator mengenai informasi penyesuaian (setting) mesin produksi juga harus selalu disampaikan pada setiap penggantian shift kerja.

63 g. Efektivitas TPM dalam Meningkatkan Jumlah Produk Jadi Barang yang layak dijual merupakan produk jadi yang dihasilkan dari proses produksi. Proses produksi dengan kondisi mesin yang layak untuk berproduksi dapat meningkatkan produk jadi yang dihasilkan sehingga mesin dapat dikatakan efisien dalam berproduksi. Efisiensi ini memberikan keuntungan bagi perusahaan dalam hal pencapaian target produksi, pengiriman barang yang tepat waktu kepada pelanggan, dan sebagainya. Kegiatan pemeliharaan dan perawatan dengan TPM perlu dibandingkan dengan dengan kegiatan pemeliharaan dan perawatan sebelum diterapkannya TPM untuk melihat sejauhmana pengaruh TPM terhadap jumlah produk jadi yang dihasilkan. Analisis yang digunakan berdasarkan persepsi para operator, foreman, dan supervisor dengan menggunakan rata-rata terhadap jawaban para responden. Hasil analisis menunjukkan nilai +2 yang berarti bahwa program TPM berpengaruh jauh lebih baik terhadap jumlah produk jadi yang dihasilkan dibandingkan dengan sebelum penerapan TPM. Persepsi jauh lebih baik dalam hal ini diasumsikan bahwa adanya kegiatan TPM maka produk jadi yang dihasilkan lebih meningkat daripada sebelum diterapkannya TPM. Perusahaan harus mempertahankan kondisi mesin yang optimal untuk menghasilkan produk jadi ini. Untuk menjaga kondisi mesin yang optimal maka perusahaan harus menerapkan standar kerja dalam kegiatan autonomous maintenance, karena berdasarkan survei di lapangan belum terdapat standar kerja untuk kegiatan ini walaupun telah ditetapkan oleh perusahaan sebagai program kerja TPM. Kegiatan autonomous maintenance perlu diperhatikan karena kegiatan ini dilakukan oleh operator sebagai pihak yang paling mengetahui kondisi mesin yang paling aktual. h. Efektivitas TPM dalam Mengurangi Kerusakan Mesin Kerusakan mesin merupakan hal yang tidak bisa dihindari pada setiap mesin produksi karena mesin yang dipakai terus-menerus untuk berproduksi dapat mengalami gangguan pada komponen-komponen mesin. Gangguan tersebut dapat berupa ausnya komponen mesin, keretakan pada bagian mesin tertentu, dan sebagainya. Kerusakan ini dapat menyebabkan mesin berhenti berproduksi

64 sehingga dapat mengurangi waktu efektif mesin untuk berproduksi yang pada akhirnya menyebabkan kerugian bagi perusahan. Intensitas kerusakan mesin sebelum dan setelah diterapkannya TPM perlu dibandingkan untuk melihat seberapa jauh efektivitas TPM dalam menanggulangi kerusakan mesin yang terjadi. Analisis dengan menggunakan nilai modus dari jawaban terhadap persepsi para operator, foreman, dan supervisor menghasilkan nilai +1. Nilai ini diinterprestasikan bahwa pengurangan kerusakan mesin sebelum dan setelah penerapan TPM adalah lebih baik. Artinya intensitas terjadinya kerusakan mesin lebih sedikit setelah diterapankannya TPM. Kegiatan preventive maintenance yang dilaksanakan oleh Bagian Maintenance cukup efektif untuk mengurangi kerusakan mesin yang terjadi. Pengecekan mesin yang dilakukan setiap harinya dapat mengurangi kerusakan kecil pada mesin sehingga dapat dicegah agar mesin tidak mengalami kerusakan yang parah. i. Efektivitas TPM dalam Mengurangi Waktu Penyetelan Mesin Mesin-mesin produksi membutuhkan penyetelan (setting up) mesin untuk melakukan proses produksi agar mesin dapat berjalan sebagaimana mestinya, terutama untuk setiap penggantian bahan baku, dan jenis barang yang akan diproduksi. Penyetelan mesin ini membutuhkan waktu penyesuaian agar mesin dapat memproduksi barang sesuai dengan yang diinginkan. Waktu tunggu (idle time) selama proses penyetelan mesin bergantung pada kemampuan operator dalam mengoperasikan mesin produksi yang ia operasikan. Idle time yang tinggi akan menyebabkan waktu efektif untuk produksi menjadi berkurang sehingga produk yang mampu dihasilkan per waktunya akan berkurang dan tidak sesuai dengan target produksi yang seharusnya. Pengurangan waktu penyetelan mesin sebelum dan sesudah diterapkannya TPM dianalisis dengan menggunakan persepsi para operator, foreman, dan supervisor. Nilai modus dari jawaban responden menghasilkan nilai +1, yang berarti bahwa adanya pengaruh yang lebih baik terhadap pengurangan waktu penyetelan mesin setelah diterapkannya TPM. Dengan kata lain, waktu penyetelan mesin menjadi cukup efisien dengan diterapkanya TPM jika dibandingkan sebelum diterapkannya TPM.

65 Berdasarkan pengamatan di lapangan, instruksi kerja mengenai penyetelan mesin sudah cukup jelas disosialisaikan kepada para operator. Informasi mengenai penyetelan mesin produksi ditempel pada papan informasi yang ada pada setiap stasiun kerja sehingga dapat dibaca oleh para operator jika melakukan penyetelan mesin. Namun yang perlu diperhatikan adalah operator yang lebih senior mempunyai pengalaman yang lebih dalam melakukan penyetelan mesin, maka dari itu informasi penting dari operator senior perlu disampaikan kepada para operator yang masih baru. j. Efektivitas TPM dalam Mengurangi Penghentian Kecil Penghentian kecil (minor stoppage) terjadi pada saat mesin sedang beroperasi dan secara tiba-tiba berhenti karena adanya gangguan mesin tetapi kemudian mesin dapat beroperasi kembali. Kondisi ini terjadi karena adanya gangguan mesin seperti adanya benda-benda asing yang menghambat kerja mesin, saluran udara yang tersumbat dan sebagainya. Minor stoppage dapat merugikan jika terjadi terus-menerus sehingga dapat berpotensi menimbulkan kerusakan pada mesin. Persepsi para operator, foreman, dan supervisor mengenai pengaruh TPM terhadap penghentian kecil karena gangguan mesin dianalisis dengan rata-rata terhadap jawaban responden. Hasil analisis menunjukkan nilai +1 yang berarti pengurangan penghentian kecil karena gangguan mesin lebih baik sesudah diterapkannya TPM jika dibandingkan dengan sebelum diterapankannya TPM. Dengan kata lain, penghentian kecil dapat dikurangi setelah diterapkannya TPM. Sikap dasar TPM melalui 5S menjadi acuan bagi para operator untuk senantiasa teliti terhadap hal-hal yang kecil, terutama dalam memelihara dan merawat mesin. Sebagai contoh kotoran yang menempel pada komponen mesin bisa saja dianggap sebagai hal yang kecil, akan tetapi dalam sikap 5S hal tersebut harus segera dibersihkan karena berpotensi menghambat kerja mesin. Implikasinya bagi perusahaan adalah mempertahankan program kerja sikap 5S dan senantiasa melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan kegiatan 5S tersebut.

66 k. Efektivitas TPM dalam Meningkatkan Kinerja Mesin Kinerja mesin (performance) sangat mempengaruhi proses produksi yang sedang berlangsung karena dengan kinerja mesin yang baik proses produksi dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Kinerja mesin terkait dengan kemampuan mesin menghasilkan produk sesuai dengan target produksi yang telah ditetapkan. Apabila target produksi mampu dicapai, maka akan mendatangkan keuntungan bagi perusahaan. Kinerja mesin sebelum dan sesudah TPM dibandingkan untuk melihat seberapa jauh pengaruh TPM terhadap kinerja mesin. Persepsi operator, foreman, dan supervisor dianalisis dengan menggunakan modus terhadap jawaban responden. Hasil analisis menunjukkan nilai +1, yang berarti bahwa setelah diterapkannya TPM kinerja mesin menjadi lebih baik jika dibandingkan dengan sebelum diterapkannya TPM. Adanya perbaikan terhadap kinerja mesin disebabkan karena adanya kegiatan preventive maintenance yang dilaksanakan oleh perusahaan. Hal yang dapat dilakukan oleh perusahaan adalah mengadakan pengembangan terhadap kegiatan preventive maintenance agar lebih efektif dilaksanakan di lingkungan kerja perusahaan. Pengembangan yang dapat dilakukan adalah dengan menetapkan jadwal dan penyediaan suku cadang yang tepat pada waktunya agar kegiatan penggantian suku cadang sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan. 4.8 Perhitungan Overall Equipment Efficiency (OEE) Pengaruh TPM terhadap produktivitas dapat dihitung dengan menggunakan tiga indikator efisiensi mesin berdasarkan Overall Equipment Efficiency (OEE). Efisiensi mesin yang dihasilkan dari perhitungan OEE menunjukkan produktivitas mesin itu sendiri, karena nilai OEE merepresentasikan nilai dari tingkat ketersediaan mesin untuk berproduksi, tingkat kinerja mesin dan tingkat kualitas produk yang dihasilkan. Perhitungan terhadap nilai Overall Equipment Efficiency (OEE) dilakukan selama periode 2007-2009. Khusus untuk data tahun 2009, digunakan asumsi bahwa data yang diambil dari bulan Januari sampai April sebagai data untuk satu tahun. Pengukuran OEE ini dilakukan terhadap keempat mesin di area kerja kritis, yaitu Plant-2. Mesin-mesin tersebut diantaranya mesin

67 Vacuum Forming-1, Vacuum Forming-2, Blow Moulding-1, dan Blow Moulding- 2. a. OEE Mesin Vacuum Forming-1 Nilai persentase OEE mesin Vacuum Forming-1 pada tahun 2007, 2008 dan 2009 berturut-turut sebesar 70,20 persen ; 94,34 persen ; 81,56 persen. Nilai OEE berada di bawah kondisi ideal yang seharusnya yaitu berada di bawah 85 persen sehingga untuk mesin Vacuum Forming-1 pada tahun 2007 dan 2009 berada dalam kondisi yang tidak ideal sedangkan pada tahun 2008 nilai OEE menunjukkan kondisi mesin yang ideal untuk berproduksi. Nilai OEE dari tahun 2007 sampai dengan 2009 memperlihatkan nilai yang berfluktuasi. Pada jangka waktu 2007-2008 nilai OEE mengalami kenaikan sebesar 24,14 persen, sedangkan pada jangka waktu 2008-2009 mengalami penurunan sebesar 12,78 persen. Nilai persentase OEE mesin Vacuum Forming-1 dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Persentase Nilai Overall Equipment Efficiency Mesin Vacuum Forming-1 Tahun Availability Performance Quality (%) (%) (%) OEE (%) 2007 99.72 75.89 92.75 70.20 2008 99.35 105.30 90.18 94.34 2009 99.86 81.94 99.69 81.56 Nilai availability menunjukkan tingkat ketersediaan mesin yang selalu siap untuk beroperasi. Jam kerja mesin untuk beroperasi yang telah ditetapkan dapat berjalan dengan sebagaimana mestinya sesuai dengan target jam kerja mesin yang telah ditetapkan. Hal ini menunjukkan bahwa waktu downtime mesin Vacuum Forming-1 yang sangat kecil sehingga mesin dapat bekerja secara maksimal. Nilai availability mesin Vacuum Forming-1 sebesar 99,72 persen sehingga bisa dikatakan availability mesin Vacuum Forming-1 pada tahun 2007 berada dalam kondisi yang ideal. Begitu juga dengan nilai availability pada tahun 2008 dan 2009 menunjukkan kondisi yang ideal, yaitu sebesar 99,35 persen dan 99,86 persen. Nilai availability mesin Vacuum Forming-1 selama kurun waktu 2007-

68 2009 menunjukkan perkembangan yang konstan dimana nilai availability berada pada kisaran 99 persen. Nilai performance menunjukkan kinerja mesin dalam menghasilkan suatu produk. Nilai performance mesin Vacuum Forming-1 pada tahun 2007, 2008 dan 2009 berturut-turut adalah sebagai berikut : 75,89 persen ; 105,30 persen ; 81,94 persen. Kondisi ideal ditunjukkan nilai OEE pada tahun 2008 sebesar 105,30 persen. Nilai ini melebihi 100 persen dikarenakan adanya kelebihan produksi pada tahun 2008 sehingga produk yang dibuat melebihi target produksi yang telah ditetapkan perusahaan. Nilai performance selama kurun waktu 2007-2009 memperlihatkan nilai yang fluktuatif. Pada tahun 2007-2008 nilai performance menunjukkan kenaikan sebesar 29,41 persen sedangkan pada tahun 2008-2009 menunjukka penurunan sebesar 23,36 persen. Nilai quality untuk mesin Vacuum Forming-1 pada tahun 2007, 2008 dan 2009 berturut-turut adalah sebagai berikut : 92,75 persen ; 90,18 persen ; 99,69 persen. Kondisi ideal untuk nilai quality terjadi pada tahun 2009 dimana nilai quality lebih besar dari 99 persen. Hal ini menunjukkan kualitas produk selama tahun 2009 sangat baik yang ditandai dengan produk cacat yang sedikit. Nilai quality selama kurun waktu 2007-2009 memperlihatkan nilai yang fluktuatif. Pada tahun 2007-2008 nilai quality mengalami penurunan sebesar 2,57 persen sedangkan pada tahun 2008-2009 mengalami kenaikan sebesar 9,51 persen. Berikut grafik nilai availability, performance, quality, dan OEE untuk mesin Vacuum Forming-1 selama kurun waktu 2007-2009 pada Gambar 10. Efisiensi mesin Vacuum Forming-1 selama periode 2007 sampai 2008 menunjukkan adanya peningkatan sedangkan periode 2008 sampai bulan April 2009 menunjukkan adanya penurunan. Efeknya terhadap produktivitas juga mengikuti pola efisiensi mesin yang terjadi selama periode tersebut. Adanya kenaikan produktivitas selama tahun 2007-2008 dikarenakan adanya kenaikan pada kinerja mesin Vacuum Forming-1 sehingga jumlah produk yang dihasilkan mampu melampaui target produksi. Walaupun produk cacat selama periode tersebut naik, akan tetapi hal ini tidak membuat perusahaan merugi karena dapat ditutupi oleh produk jadi yang lebih banyak dihasilkan perusahaan. Penurunan produktivitas selama periode 2008 sampai April 2009 dikarenakan adanya

69 penurunan kinerja mesin yang lebih besar daripada kenaikan kualitas produk. Penurunan kinerja ini membuat mesin tidak bisa memenuhi target produksi yang telah ditetapkan. 120.00 100.00 80.00 60.00 40.00 2007 2008 2009 20.00 0.00 Availability Performance Quality OEE Gambar 10. Histogram Availability, Performance, Quality dan OEE Mesin Vacuum Forming-1 b. OEE Mesin Vacuum Forming-2 Persentase nilai availability, performance, quality dan OEE mesin Vacuum Forming-2 selama kurun waktu 2007-2009 dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12. Persentase Nilai Overall Equipment Efficiency Mesin Vacuum Forming-2 Tahun Availability Performance Quality (%) (%) (%) OEE (%) 2007 99.50 74.75 94.94 70.61 2008 98.48 93.43 96.60 88.88 2009 99.21 102.93 98.00 100.08 Nilai availability masin Vacuum Forming-2 selama kurun 2007-2009 dapat dikatakan kostan pada kisaran 98-99 persen. Pada tahun 2007 nilai availability sebesar 99,50 persen berada diatas 90 persen sehingga bisa dikatakan mesin dalam kondisi ideal. Begitu juga dengan nilai availability pada tahun 2008 (99,50 persen) dan 2009 (99,21 persen) juga berada dalam kondisi yang ideal, yaitu

70 mesin dapat dipakai sesuai dengan jam kerja mesin yang telah ditetapkan. Perubahan nilai availability mesin Vacuum Forming-2 mengalami sedikit penurunan kurun waktu 2007-2008 sebesar 1,02 persen sedangkan pada kurun waktu 2008-2009 mengalami kenaikan sebesar 0,73 persen. Nilai performance mesin Vacuum Forming-2 terjadi kenaikan yang sangat signifikan antara kurun waktu 2007-2009. Pada tahun 2007 nilai performance sebesar 74,75 persen. Nilai ini masih jauh di bawah kondisi ideal performance mesin yang sebesar 95 persen sehingga mesin dapat dikatakan kurang efisien. Pada tahun 2008 terjadi kenaikan nilai performance sebesar 18,68 persen sehingga menjadi 93,43 persen. Nilai ini hampir mendekati kondisi ideal mesin namun belum dapat dikatakan ideal karena masih di bawah standar kriteria ideal mesin yang efisien. Pada tahun 2009 terjadi kenaikan nilai performance sebesar 9,5 persen sehingga menjadi 102,93 persen. Nilai pada tahun 2009 ini melebihi 100 persen karena produk yang dihasilkan oleh perusahaan melebihi target yang telah ditetapkan. Nilai quality mesin Vacuum Forming-2 dari tahun 2007-2009 berturut-turut sebesar 94,94 persen, 96,60 persen, 98 persen. Selama tiga tahun tersebut terjadi kenaikan nilai quality. Kenaikan pada kurun waktu tahun 2007-2008 sebesar 1,66 persen sedangkan pada kurun waktu 2008-2009 terjadi kenaikan sebesar 1,4 persen. Meskipun terjadi kenaikan dari tahun ke tahun akan tetapi nilai quality masih di bawah standar kriteria ideal mesin sebesar 99 persen. Nilai OEE masin Vacuum Forming-2 yang merupakan kombinasi dari nilai availability, performance, dan quality menunjukkan peningkatan selama kurun waktu 2007-2009. Pada tahun 2007-2008 terjadi peningkatan sebesar 18,27 persen sedangkan pada tahun 2008-2009 terjadi kenaikan sebesar 11,92 persen. Nilai OEE pada tahun 2007 masih dibawah standar ideal mesin karena nilai tersebut kurang dari batas kriteria yaitu 85 persen. Mulai tahun 2008 dan 2009 mesin dapat dikatakan ideal untuk berproduksi karena nilai OEE lebih besar dari 85 persen. Perbandingan nilai availability, performance,quality, dan OEE selama kurun waktu 2007-2009 dapat dilihat pada Gambar 11.

71 120.00 100.00 80.00 60.00 40.00 2007 2008 2009 20.00 0.00 Availability Performance Quality OEE Gambar 11. Histogram Availability, Performance, Quality dan OEE Mesin Vacuum Forming-2 Peningkatan nilai OEE mesin Vacuum Forming 2 selama periode 2007 sampai April 2009 menunjukkan adanya peningkatan efisiensi mesin selama periode tersebut. Hal ini terjadi karena adanya peningkatan kinerja mesin dan kualitas produk yang dihasilkan, sedangkan ketersediaan mesin tidak terlalu banyak berubah selama periode tersebut. Peningkatan kinerja mesin berarti target produksi yang telah ditetapkan oleh perusahaan mampu tercapai dan peningkatan kualitas berarti produk yang dihasilkan dari tahun ke tahun semakin baik yang ditandai dengan semain berkurangnya produk yang cacat. Peningkatan efisiensi mesin ini menunjukkan adanya peningkatan produktivitas pada mesin tersebut. c. OEE Mesin Blow Moulding-1 Persentase nilai availability, performance, quality, dan OEE untuk mesin Blow Moulding-1 dapat dilihat pada Tabel 13. Nilai availability mesin pada tahun 2007 sebesar 98,32 persen yang berada diatas standar kriteria sehingga mesin dikatakan dalam kondisi ideal pada tahun tersebut. Nilai ini memperlihatkan mesin mampu bekerja sesuai dengan jam kerja mesin yang telah ditetapkan dan downtime yang kecil sehingga mesin mampu dipakai secara maksimal. Begitu juga dengan nilai availaibility pada tahun 2008 (99,27 persen) dan 2009 (99,84 persen) dimana mesin menunjukkan berada dalam kondisi yang ideal. Selama kurun waktu tiga tahun tersebut (2007-2009) nilai

72 availability mengalami peningkatan secara signifikan. Pada tahun 2007-2008 terjadi peningkatan sebesar 0,95 persen dan pada tahun 2008-2009 terjadi peningkatan sebesar 0,57 persen. Peningkatan ini menunjukkan kondisi mesin yang selalu terawat sehingga mesin selalu dalam kondisi siap pakai. Tabel 13. Persentase Nilai Overall Equipment Efficiency Mesin Blow Moulding-1 Tahun Availability Performance Quality (%) (%) (%) OEE (%) 2007 98.32 93.98 90.44 83.57 2008 99.27 98.37 94.69 92.47 2009 99.84 66.49 94.36 62.64 Nilai performance mesin terjadi peningkatan dalam kurun waktu 2007-2008 dari 93,98 persen menjadi 98,37 persen. Kenaikan ini terjadi karena adanya kenaikan target produksi dan pencapaian produksi yang semakin baik. Dalam kurun waktu 2008-2009 terjadi penurunan yang sangat tajam dari 98,37 persen menjadi 66,49 persen. Penurunan ini terjadi karena adanya penurunan target produksi dan kemampuan pencampaian produksi mesin. Kondisi ideal mesin hanya terjadi pada tahun 2008 dimana nilai performance berada di atas 95 persen yaitu 98,37 persen. Nilai quality pada tahun 2007, 2008 dan 2009 secara berturut-turut sebesar 90,44 persen, 94,69 persen, dan 94,34 persen. Kenaikan yang cukup signifikan terjadi dalam kurun waktu 2007-2008 sebesar 4,25 persen yang artinya terdapat kenaikan terhadap kualitas produk. Walaupun terjadi penurunan dalam kurun waktu 2008-2009 sebesar 0,35 persen akan tetapi penurunan ini tidak terlalu besar karena nilai quality masih berada pada kisaran 94 persen. Selama kurun waktu tiga tahun tersebut (2007-2009) kondisi mesin berada di bawah kondisi ideal yang seharusnya berada pada nilai 99 persen untuk nilai quality. Nilai OEE untuk mesin Blow Moulding-1 ini terjadi peningkatan dan penurunan selama kurun waktu 2007-2009. Kenaikan terjadi pada kurun waktu 2007-2008 dari 83,57 persen menjadi 92,47 persen. Kenaikan ini menunjukkan kondisi mesin yang semakin baik untuk berproduksi. Kondisi ideal dicapai pada tahun 2008 dimana nilai OEE lebih besar dari 85 persen sedangkan pada tahun

73 2007 kondisi mesin masih belum ideal. Pada tahun 2008-2009 terjadi penurunan nilai OEE dari 92,47 persen menjadi 62,64 persen. Penurunan ini bisa terjadi karena data yang diambil pada tahun 2009 merupakan data sampel selama 4 bulan. Selain itu penurunan ini menunjukkan adanya penurunan terhadap kondisi ideal mesin untuk berproduksi. Perbandingan nilai availability, performance,quality, dan OEE mesin Blow Moulding-1 selama kurun waktu 2007-2009 dapat dilihat pada Gambar 12. 100.00 90.00 80.00 70.00 60.00 50.00 40.00 30.00 20.00 10.00 0.00 Availability Performance Quality OEE 2007 2008 2009 Gambar 12. Histogram Availability, Performance, Quality dan OEE Mesin Blow Moulding-1 Peningkatan efisiensi mesin Blow Moulding-1 selama periode tahun 2007 sampai 2008 menunjukkan adanya peningkatan produktivitas pada periode tahun tersebut. Kenaikan ini karena adanya peningkatan dalam hal ketersediaan mesin untuk berproduksi, peningkatan kinerja mesin yang semakin baik, dan peningkatan kualitas produk yang dihasilkan. Penurunan produktivitas terjadi pada periode tahun 2008 sampai April 2009. Penurunan ini dikarenakan adanya penurunan yang sangat tajam terhadap kinerja mesin. target produksi yang telah ditetapkan oleh perusahaan tidak mampu terpenuhi oleh mesin tersebut. Hal ini terjadi karena mesin sering mengalami gangguan sehingga mesin mengalami penurunan kecepatan (loss speed) dalam berproduksi.