KESESUAIAN KLASIFIKASI RUANG TERBUKA HIJAU MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT ETM+ DENGAN RTRW PROVINSI DKI JAKARTA GEANISA VIANDA PUTRI

dokumen-dokumen yang mirip
BAB III METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian 3.2 Lokasi Penelitian

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN. berlokasi di kawasan Taman Nasional Way Kambas. Taman Nasional Way

III. METODOLOGI. Gambar 2. Peta Orientasi Wilayah Penelitian. Kota Yogyakarta. Kota Medan. Kota Banjarmasin

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman (Tahura

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang.

III. METODE PENELITIAN

menunjukkan nilai keakuratan yang cukup baik karena nilai tersebut lebih kecil dari limit maksimum kesalahan rata-rata yaitu 0,5 piksel.

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN

KESESUAIAN RUANG TERBUKA HIJAU PADA RENCANA TATA RUANG WILAYAH DAN TUTUPAN LAHAN DI KOTA BEKASI KASAYA ANNISA RAHMANIAH

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi

BAB III METODE PENELITIAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IDENTIFIKASI KESESUAIAN KLASIFIKASI RUANG TERBUKA HIJAU MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT MULTIWAKTU DENGAN RTRW KOTA TANGERANG NURUL IKHSAN JUSTICIA

BAB III METODE PENELITIAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

III. METODE PENELITIAN

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :

III. METODE PENELITIAN. Kegiatan penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober 2013 hingga Maret 2014.

BAB III METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN. Tampak pada bulan Januari September Resort Pugung Tampak memiliki luas

III METODOLOGI. 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Perumusan Masalah Bagaimana kondisi perubahan tutupan lahan yang terjadi di daerah aliran sungai Ciliwung dengan cara membandingkan citra satelit

III. METODE PENELITIAN

METODE PENELITIAN. Data Citra, Data Pendukung dan Alat

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian

IDENTIFIKASI KARAKTERISTIK DAN PEMETAAN KLASIFIKASI TUTUPAN LAHAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT 8 (OLI) DI KABUPATEN BOGOR BUNGA MENTARI

III. BAHAN DAN METODE

BAB III METODA. Gambar 3.1 Intensitas total yang diterima sensor radar (dimodifikasi dari GlobeSAR, 2002)

ANALISIS TUTUPAN LAHAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT HAYCKAL RIZKI H.

MODEL PENDUGA BIOMASSA MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT HARLYN HARLINDA

III. METODOLOGI PENELITIAN

Sudaryanto dan Melania Swetika Rini*

BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2 Bahan dan Alat 3.3 Tahapan Penelitian

III. BAHAN DAN METODE

q Tujuan dari kegiatan ini diperolehnya peta penggunaan lahan yang up-to date Alat dan Bahan :

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

Evaluasi Kesesuaian Tutupan Lahan Menggunakan Citra ALOS AVNIR-2 Tahun 2009 Dengan Peta RTRW Kabupaten Sidoarjo Tahun 2007

III. METODE PENELITIAN

3 METODE. Lokasi dan Waktu Penelitian

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

Aninda Nurry M.F., Ira Mutiara Anjasmara Jurusan Teknik Geomatika FTSP-ITS, Kampus ITS Sukolilo, Surabaya,

APLIKASI PJ UNTUK PENGGUNAAN TANAH. Ratna Saraswati Kuliah Aplikasi SIG 2

Gambar 7. Lokasi Penelitian

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321

III. BAHAN DAN METODE

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3Perubahan tutupan lahan Jakarta tahun 1989 dan 2002.

III. METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN

Analisis Separabilitas Untuk mengetahui tingkat keterpisahan tiap klaster dari hasil klastering (Tabel 5) digunakan analisis separabilitas. B

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. X, No. X, (Juni, 2013) ISSN:

III. METODE PENELITIAN

BAB 3 PENGOLAHAN DATA

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan

BAB III PEMBAHASAN. 3.1 Data. Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa :

Analisa Perubahan Tutupan Lahan di Waduk Riam Kanan dan Sekitarnya Menggunakan Sistem Informasi Geografis(SIG) dan data citra Landsat

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran

TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa. penyusunan rencana kehutanan. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan

ANALISIS PERUBAHAN LUASAN HUTAN MANGROVE MENGGUNAKAN DATA CITRA LANDSAT DI KABUPATEN ROKAN HILIR PROVINSI RIAU

METODE PENELITIAN. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 9. Peta Orientasi Wilayah Kecamatan Beji, Kota Depok

III. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

BAB III METODE PENELITIAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o o LU. (perhitungan luas menggunakan perangkat GIS).

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. X, No. X, (XXXX) ISSN: XXXX-XXXX (XXXX-XXXX Print) 1

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Laporan Praktikum III KLASIFIKASI CITRA SATELIT MENGGUNAKAN ERDAS IMAGINE

III. METODE PENELITIAN

Jurusan Teknik Geomatika Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Sepuluh Nopember

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian yang meliputi pengolahan data citra dilakukan pada bulan Mei

Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997

PERAMBAHAN KOTA (URBAN SPRAWL) TERHADAP LAHAN PERTANIAN DI KOTA MAKASSAR BERDASARKAN CITRA SATELIT LANDSAT 5 TM (STUDI KASUS KECAMATAN BIRINGKANAYA)

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGIPENELITIAN Waktu dan Tempat. Penelitian ini telah dilakukan tepatnya pada Agustus 2008, namun penyusunan

Aplikasi Penginderaan Jauh Untuk Monitoring Perubahan Ruang Terbuka Hijau (Studi Kasus : Wilayah Barat Kabupaten Pasuruan)

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

BAB IV PENGOLAHAN DATA

PEMANFAATAN CITRA SATELIT LANDSAT DALAM PENGELOLAAN TATA RUANG DAN ASPEK PERBATASAN DELTA DI LAGUNA SEGARA ANAKAN

Perhitungan Ruang Terbuka Hijau Perkotaan Jenis Publik (Studi Kasus : Kota Surakarta)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV ANALISIS 4.1 Analisis Terhadap Citra Satelit yang digunakan 4.2 Analisis Terhadap Peta Rupabumi yang digunakan

BAB II TEORI DASAR. Beberapa definisi tentang tutupan lahan antara lain:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

IDENTIFIKASI PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT DI DAS CITARUM HULU DEA MARCHIA IVONE

Bab IV Hasil dan Pembahasan

BAB III BAHAN DAN METODE

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. x, No. x, (2014) ISSN: xxxx-xxxx (xxxx-x Print) 1

ANALISA PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN WILAYAH SURABAYA BARAT MENGGUNAKAN CITRA SATELIT QUICKBIRD TAHUN 2003 DAN 2009

Pemanfaatan Citra Landsat Untuk Klasifikasi Tutupan Lahan Lanskap Perkotaan Kota Palu

Transkripsi:

KESESUAIAN KLASIFIKASI RUANG TERBUKA HIJAU MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT ETM+ DENGAN RTRW PROVINSI DKI JAKARTA GEANISA VIANDA PUTRI DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013

PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Kesesuaian Klasifikasi Ruang Terbuka Hijau menggunakan Citra Landsat ETM+ dengan RTRW Provinsi DKI Jakarta adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Oktober 2013 Geanisa Vianda Putri NIM E14090123

ABSTRAK GEANISA VIANDA PUTRI. Kesesuaian Klasifikasi Ruang Terbuka Hijau menggunakan Citra Landsat ETM+ dengan RTRW Provinsi DKI Jakarta. Dibimbing oleh NINING PUSPANINGSIH. Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta menetapkan luasan ruang terbuka hijau (RTH) sebesar 30% dari total luas daratan DKI Jakarta. Hal ini dituangkan dalam Rencana Tata Ruang (RTRW) Provinsi DKI Jakarta yang disahkan pada tahun 2012 dan berlaku hingga tahun 2030. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis perubahan tutupan lahan hasil klasifikasi menggunakan citra Landsat ETM+ di Provinsi DKI Jakarta dan membandingkan hasil klasifikasi tersebut dengan tatanan lahan RTH pada RTRW DKI Jakarta antara tahun 2000 dan 2012. Hasil penelitian menunjukan perubahan tutupan lahan yang terjadi di Provinsi DKI Jakarta sebagian besar terjadi pada jenis tutupan lahan ruang terbuka hijau yang mengalami penurunan luas sebesar 16.3%. Analisis kesesuaian tatanan lahan ruang terbuka hijau yang ditetapkan dalam RTRW dengan yang ada di lapangan menunjukan bahwa proporsi RTH yang ada di Jakarta pada tahun 2000 mencapai 36%, sedangkan untuk tahun 2004 dan tahun 2012 persentase RTH adalah sebesar 27.5% dan 25.5%, hasil ini tidak sesuai dengan standar RTH dalam RTRW Provinsi DKI Jakarta yang dijelaskan dalam Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2012, yaitu sebesar 37.8%. Kata kunci: pembangunan perkotaan, RTRW Provinsi DKI Jakarta, ruang terbuka hijau, tutupan lahan ABSTRACT GEANISA VIANDA PUTRI. The Suitability Classification of Green Open Space Using Landsat ETM+ to The Regional Spatial Plan of Jakarta. Supervised by NINING PUSPANINGSIH. Jakarta Provincial Government determine that the proportion of green open space is as much as 30% Jakarta Province land area. It is stated in The Regional Spatial Plan of Jakarta that was enacted in 2012 and prevail to 2030. The objectives of this research are to analyze the results of land cover classification changes using Landsat ETM + imagery in Jakarta Province, and to compare the classification result toward the green open space area in The Regional Spatial Plan of Jakarta between 2000 and 2012. The result showed that land cover changes in Jakarta mostly happens on the green open space area, which declined by 16.3%. Land suitability analysis of green open space that set out in the Regional Spatial Plan of Jakarta compared to the classification results showed that the proportion of Jakarta green open space in 2000 reached 36%, while for 2004 and 2012 the precentage of green open space as much as 27.5% and 25.5%, this results is not in accordance with the standard of green open space in Jakarta Regional Spatial Plan described in DKI Jakarta Provincial Regulation No. 1 of 2012, that is equal to 37.8%. Keywords: urban development, green open space, land cover, The Regional Spatial Plan of Jakarta

KESESUAIAN KLASIFIKASI RUANG TERBUKA HIJAU MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT ETM+ DENGAN RTRW PROVINSI DKI JAKARTA GEANISA VIANDA PUTRI Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen manajemen Hutan DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013

Judul Skripsi : Kesesuaian Klasifikasi Ruang Terbuka Hijau menggunakan Citra Landsat ETM+ dengan RTRW Provinsi DKI Jakarta Nama : Geanisa Vianda Putri NIM : E14090123 Disetujui oleh Dr Nining Puspaningsih, MSi Pembimbing Diketahui oleh Dr Ir Ahmad Budiaman, MSc F Trop Ketua Departemen Tanggal Lulus:

PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta ala atas segala karunia-nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian ini ialah Kesesuaian Klasifikasi Ruang Terbuka Hijau menggunakan Citra Landsat ETM+ dengan RTRW Provinsi DKI Jakarta. Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Nining Puspaningsih, Msi selaku dosen pembimbing, serta Ibu Dr Badriyah Rushayati, MSi dan Bapak Prof Dr Ir Lilik Prasetyo, MSc yang telah banyak memberi saran. Di samping itu, penghargaan penulis haturkan kepada Dinas Pendidikan Nasional atas dukungannya melalui Biaya Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN). Penghargaan turut penulis sampaikan kepada bapak Uus Saepul dan rekan- rekan Laboratorium Fisik Remote sensing dan GIS atas bantuan dan semangat yang diberikan. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada orang tua, adik, dan seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Oktober 2013 Geanisa vianda Putri

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL vi DAFTAR GAMBAR vi DAFTAR LAMPIRAN vii PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Tujuan Penelitian 2 Manfaat Penelitian 2 METODE 2 Lokasi dan Waktu Penelitian 2 Alat dan Data 3 Analisis Perubahan Tutupan Lahan 4 Analisis Kesesuaian RTRW DKI Jakarta dengan Hasil Klasifikasi Tutupan Lahan 8 HASIL DAN PEMBAHASAN 9 Klasifikasi Tutupan Lahan 11 Analisis Separabilitas dan Evaluasi Akurasi 15 Klasifikasi Tutupan Lahan pada Citra Landsat ETM+ 16 Analisis Perubahan Tutupan Lahan 18 Analisis Kesesuaian RTH pada RTRW dan RTH di Lapangan 23 SIMPULAN DAN SARAN 32 Simpulan 32 Saran 33 DAFTAR PUSTAKA 33 LAMPIRAN 35 RIWAYAT HIDUP 39

DAFTAR TABEL 1 Matriks kesalahan (confusion matrix) 7 2 Luas tutupan dan penggunaan lahan DKI Jakarta tahun 2000-2012 18 3 Perubahan tutupan lahan DKI Jakarta tahun 2000-2004 19 4 Perubahan tutupan lahan DKI Jakarta tahun 2004-2012 21 5 Perubahan tutupan lahan DKI Jakarta tahun 2004-2012 22 6 Land use DKI Jakarta dalam RTRW 2012-2030 25 7 Kesesuaian tatanan tutupan lahan pada RTRW dan citra Landsat ETM+ tahun 2000 26 8 Kesesuaian tatanan tutupan lahan pada RTRW dan citra Landsat ETM+ tahun 2004 28 9 Kesesuaian tatanan tutupan lahan pada RTRW dan citra Landsat ETM+ tahun 2012 30 10 Persentase kesesuaian RTH pada RTRW dan RTH di lapangan 32 DAFTAR GAMBAR 1 Peta lokasi penelitian 3 2 Peta pengambilan contoh lapangan Provinsi DKI Jakarta 6 3 Citra Landsat ETM+ tahun 2000 area DKI Jakarta 9 4 Citra Landsat ETM+ tahun 2004 area DKI Jakarta 10 5 Citra Landsat ETM+ tahun 2012 area DKI Jakarta 10 6 Hutan kota di lapangan hutan kota pada citra 12 7 Sawah di lapangan sawah pada citra 12 8 Rumput di lapangan rumput pada citra 13 9 Rawa di lapangan rawa pada citra 13 10 Lahan terbangun di lapangan lahan terbangun pada citra 14 11 Badan air di lapangan badan air pada citra 14 12 Peta tutupan lahan tahun 2000 Provinsi DKI Jakarta 16 13 Peta tutupan lahan tahun 2004 Provinsi DKI Jakarta 17 14 Peta tutupan lahan tahun 2012 Provinsi DKI Jakarta 17 15 Grafik tutupan lahan tahun 2000, 2004 dan 2012 18 16 Peta perubahan ruang terbuka hijau Provinsi DKI Jakarta tahun 2000-2004 20 17 Peta perubahan ruang terbuka hijau Provinsi DKI Jakarta tahun 2004-2012 21 18 Peta perubahan ruang terbuka hijau Provinsi DKI Jakarta tahun 2000-2012 23 19 Peta RTRW Provinsi DKI Jakarta tahun 2012-2030 24 20 Peta kesesuaian RTRW dengan RTH tahun 2000 Provinsi DKI Jakarta 28 21 Peta kesesuaian RTRW dengan RTH tahun 2004 Provinsi DKI Jakarta 29 22 Peta kesesuaian RTRW dengan RTH tahun 2012 Provinsi DKI Jakarta 31

DAFTAR LAMPIRAN 1 Separabilitas citra Landsat ETM+ tahun 2000 35 2 Separabilitas citra Landsat ETM+ tahun 2004 36 3 Separabilitas citra Landsat ETM+ tahun 2012 37 4 Matrik kontingensi tutupan lahan DKI Jakarta tahun 2012 38

PENDAHULUAN Latar Belakang Jumlah penduduk DKI Jakarta yang mencapai 9.04 juta jiwa (BAPPEDA Jakarta 2013) adalah salah satu faktor yang mendorong pembangunan fisik kota Jakarta. Pertumbuhan penduduk mengakibatkan kebutuhan akan lahan untuk permukiman, industri serta perkantoran di DKI Jakarta meningkat. Hal tersebut berdampak pada perubahan penutupan lahan termasuk luasan ruang terbuka hijau (RTH) di DKI Jakarta. Pembangunan fisik perkotaan memberikan dampak positif pada peningkatan kegiatan perekonomian. Walau demikian, pembangunan perkotaan mempengaruhi lingkungan dan mengubah keadaan fisik alam, kemungkinan terjadinya penurunan kualitas lingkungan menjadi perhatian utama dari dampak negatif pembangunan. Pemanasan global (global warming) dan perubahan iklim (climate change) merupakan tanda dari degradasi kualitas lingkungan yang sedang terjadi di DKI Jakarta. Tantangan global ini membutuhkan aksi perubahan iklim, baik aksi adaptasi maupun aksi mitigasi yang perlu dituangkan dalam penataan ruang. Rencana tata ruang terbaru DKI Jakarta adalah Rencana Tata Ruang Wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta yang disahkan pada tahun 2012, dan berlaku hingga tahun 2030. Penjelasan mengenai RTRW DKI Jakarta dituangkan dalam Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2012. Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2012 menimbang, bahwa sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia ruang wilayah Provinsi DKI Jakarta harus dikelola secara bijaksana, berdaya guna, dan sesuai kaidah penataan ruang sehingga kualitas ruang DKI Jakarta terjaga keberlanjutannya untuk masa kini dan masa datang. Pengendalian pemanfaatan ruang adalah upaya mengendalikan pemanfaatan ruang agar sesuai dengan rencana tata ruang. Pemanfaatan dan pengendalian pemanfatan ruang DKI Jakarta dilaksanakan dengan mempertimbangkan daya dukung sumber daya alam serta daya tampung lingkungan hidup secara berkelanjutan. Untuk mewujudkan peningkatan kualitas kehidupan kota serta keterpaduan antara pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang, maka pada Pasal 6 Ayat 5 dalam Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2012 ditetapkan kebijakan tentang pengembangan ruang terbuka hijau (RTH). Pengembangan RTH ditetapkan mencapai 30% (tiga puluh persen) dari luas daratan Provinsi DKI Jakarta yang terdiri dari RTH publik seluas 20% dan RTH privat seluas 10%. RTH memiliki fungsi utama (intrinsik) yaitu fungsi ekologis, dan fungsi tambahan (ektrinsik) yaitu fungsi arsitektural, sosial, dan fungsi ekonomi (Fakultas Pertanian IPB 2005). Secara ekologis RTH dapat meningkatkan kualitas air tanah, mencegah banjir, mengurangi polusi udara, dan menurunkan suhu kota tropis. Hutan kota dan kawasan lindung adalah bentuk RTH dengan fungsi ekologis yang dominan. Secara arsitektural RTH dapat meningkatkan nilai keindahan dan kenyamanan kota melalui keberadaan taman-taman kota, kebun, dan jalur hijau di jalan-jalan kota. Fungsi sosial dari RTH ditunjukan melalui interaksi sosial yang terjadi di dalamnya. Sementara itu RTH juga memiliki fungsi ekonomi, baik secara langsung seperti pengusahaan lahan kosong menjadi lahan

2 pertanian (urban agriculture) dan pengembangan sarana wisata hijau perkotaan yang dapat mendatangkan wisatawan. Mengingat pentingnya fungsi RTH dan amanah Peraturan Daerah engenai pencapaian luasan dari ruang terbuka hijau di Provinsi DKI Jakarta, maka kajian terkait dengan kondisi ketahanan tatanan lahan ruang terbuka hijau penting dilakukan. Dalam penelitian ini dilakukan evaluasi perubahan tutupan lahan melalui citra satelit Landsat 7 ETM+ antara tahun 2000 dan 2012. Trend perubahan tutupan lahan yang diteliti dititikberatkan pada perubahan tutupan lahan ruang terbuka hijau. Hasil dari klasifikasi tutupan lahan tersebut kemudian dibandingkan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah DKI Jakarta 2012-2030, sehingga proporsi ruang terbuka hijau sebelum dan setelah dicanangkannya RTRW DKI Jakarta 2030 dapat diuji kesesuaiannya. Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah: 1. Menganalisis perubahan tutupan lahan hasil klasifikasi menggunakan citra Landsat ETM+ di Provinsi DKI Jakarta antara tahun 2000 dan 2012. 2. Membandingkan dan menganalisis kesesuaian tatanan lahan ruang terbuka hijau DKI Jakarta antara tahun 2000 dan 2012, dengan tatanan lahan ruang terbuka hijau pada RTRW DKI Jakarta 2030. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah: 1. Memberikan informasi mengenai kesesuaian proporsi ruang terbuka hijau sebelum dan setelah pencanangan RTRW DKI Jakarta 2030. 2. Sebagai bahan pertimbangan bagi Pemerintah Daerah dalam menyusun perencanaan ruang terbuka hijau agar tercipta kota dengan kualitas lingkungan yang baik. METODE Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Provinsi DKI Jakarta pada bulan Mei sampai dengan Juni 2013. Provinsi DKI Jakarta terletak pada 106 49 35 Bujur Timur dan 06 10 37 Lintang Selatan, dengan luas wilayah 66377.45 ha. Peta lokasi penelitian disajikan pada Gambar 1. Pengolahan dan analisis data dilakukan di Laboratorium Remote Sensing dan GIS Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

3 Gambar 1 Peta lokasi penelitian Alat dan Data Pengolahan dan analisis data spasial dan bukan spasial dilakukan dengan menggunakan perangkat keras (hardware) dan perangkat lunak (software) berupa laptop, printer, arcgis version 9.3, ERDAS Imagine Software version 9.1, Frame and fill win 32, Global Mapper version 13.00, Microsoft Excel 2010 dan Microsoft Word 2010. Alat yang digunakan untuk survey lapang atau ground check meliputi, alat tulis, Global Positioning System (GPS) Garmin 76CSX, kamera saku, dan tally sheet. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah citra Landsat 7 ETM+ multiwaktu path/row 122/ 64 liputan tahun 2000, 2004 dan 2012. Ciri khas dari citra Landsat 7 dengan sensor ETM+ adalah jumlah band yang terdiri dari 8 band. Sedangkan kombinasi band yang digunakan dalam penelitian ini disesuaikan dengan standar Departemen Kehutanan, yaitu komposisi 543. Landsat 7 diluncurkan pada 15 April 1999 dengan membawa instrumen Enhanced Thematic Mapper Plus (ETM+) yang telah ditingkatkan resolusinya dari Landsat 4 dan Landsat 5. Landsat 7 memiliki performa terbaik dibandingkan dengan generasi pendahulunya (NASA 2010). Data lainnya yang dibutuhkan dalam penelitian ini yaitu Peta Administrasi Kotamadya DKI Jakarta, jaringan jalan Provinsi DKI Jakarta, Peta Rencana Pola Ruang Daratan Provinsi DKI Jakarta, serta poligon dan titik hasil observasi lapangan.

4 Analisis Perubahan Tutupan Lahan Untuk menganalisis perubahan tutupan lahan di DKI Jakarta antara tahun 2000, 2004, dan 2012 dibutuhkan peta tutupan lahan untuk setiap tahun yang diteliti. Peta klasifikasi tutupan lahan dihasilkan melalui beberapa tahapan, yaitu: pra pengolahan citra, pendahuluan (pra processing), interpretasi visual citra satelit, pengambilan data lapangan (ground check), pengolahan citra digital, uji ketelitian klasifikasi, penyamaan posisi awan dan bayangan awan pada citra multi waktu, dan analisis perubahan tutupan lahan. Pra pengolahan citra Pra-pengolahan citra adalah pemprosesan awal sebelum dilakukan pengolahan citra lebih lanjut, dalam proses ini data mentah direstorasi atau dikoreksi terhadap gangguan-gangguan yang terjadi saat perekaman. Kegiatan pra pengolahan citra dilakukan melalui beberapa tahapan yaitu: 1. Perbaikan citra Citra Landsat yang digunakan dalam penelitian diperoleh dari situs resmi Landsat melalui http://usgs.glovis.gov. Sebelum diolah lebih lanjut citra Landsat dengan tahun perekaman 2004 dan 2012 terlebih dahulu diperbaiki dari masalah stripping yang terjadi akibat rusaknya Scan Line Corrector (SLC-OFF) Landsat 7. Stripping citra diperbaiki menggunakan software Frame and Fill Win 32. Software ini membantu memulihkan tampilan citra Landsat stripping menjadi serupa dengan citra Landsat tanpa stripping. Pemulihan tampilan citra Landsat dilakukan melalui proses gap filling atau pengisian pixel yang hilang akibat stripping dengan pixel dari citra lain yang memiliki stripping pada lokasi berbeda. Citra pengisi merupakan citra pada tahun yang sama namun berbeda bulan. 2. Pemotongan citra (Cropping) Cropping citra (pemotongan citra) dilakukan pada citra Landsat tahun perekaman 2000, 2004, dan 2012 untuk memisahkan areal yang menjadi fokus penelitian yaitu area DKI Jakarta. 3. Koreksi geometrik (Geometric enhancement) Koreksi geometrik dilakukan pada kesalahan geometrik yang terjadi pada saat perekaman. Koreksi geometrik bertujuan untuk merektifikasi atau membenarkan koordinat citra agar sesuai dengan koordinat geografi. Citra yang belum diolah (slave image) hasil perekaman tahun 2000 sampai dengan tahun 2012 yang digunakan sebagai bahan penelitian harus dikoreksi geometrik terlebih dahulu. Koreksi geometrik dilakukan menggunakan Citra Landsat ETM+ DKI Jakarta yang sudah terkoreksi (master image). Tahapan koreksi geometrik ini diawali dengan penentuan sistem koordinat, proyeksi dan datum. Sistem koordinat yang dipilih untuk koreksi ini adalah Universal Tranverse Mercator (UTM) dengan proyeksi yang digunakan adalah UTM zona 48, sedangkan datum yang digunakan adalah World Geographic System 84 (WGS 84). Selanjutnya dilakukan pemilihan titik-titik kontrol lapangan (ground control point) yang tersebar merata di seluruh citra pada objek-objek yang relatif permanen dan tidak berubah dalam kurun waktu yang lama seperti perpotongan jalan, jembatan, sudut bangunan, dan sungai. Setelah GCP terpilih selanjutnya

dihitung akar dari kesalahan rata-rata kuadrat. RMSE dianjurkan untuk memiliki nilai lebih kecil dari 0.5 piksel (Jaya 2010). 4. Koreksi radiometrik (Radiometric enhancement) Koreksi radiometrik dilakukan untuk mendapatkan citra multi waktu dengan kontras yang sama. Perbaikan ini memperbaiki kesalahan yang terjadi akibat gangguan energi elektromagnetik pada atmosfer, kesalahan pada sistem optik, dan kesalahan karena pengaruh elevasi matahari (Purwadhi 2001). Teknik koreksi radiometrik penyamaan histogram (histogram matching) adalah metode penajaman kontras yang digunakan dalam penelitian ini. Jaya (2010) menyatakan Penyamaan histogram adalah teknik penyamaan kontras yang tidak linier sehingga distribusi histogram dari pikselnya mendekati uniform, atau menghasilkan histogram yang mendekati datar. Kontras hasil penajaman ini akan menjadi merata di seluruh areal. Kontras meningkat pada puncak-puncak histogram dan menurun pada ujung-ujung histogram. Pendahuluan (Pra Processing) Kegiatan pendahuluan dilakukan untuk mendapatkan gambaran secara umum kondisi dan jumlah tutupan lahan di DKI Jakarta. Data yang digunakan adalah citra Landsat 7 ETM+ tahun 2012 dengan menampilkan warna komposit RGB (Red Green Blue) dengan komposisi band 543. Data ini kemudian digunakan dalam interpretasi visual. Interpretasi visual citra satelit Interpretasi visual citra satelit merupakan perbuatan mengkaji citra dengan maksud mengidentifikasi tutupan lahan yang tergambar di dalam citra. Karakteristik tutupan lahan dapat dikenali berdasarkan unsur-unsur interpretasi seperti warna, bentuk, pola ukuran, letak dan asosiasi kenampakan objek. Citra yang digunakan untuk interpretasi visual adalah citra komposit 543 pada guns RGB (Red Green Blue) sehingga menghasilkan warna komposit. Hasil interpretasi visual tutupan lahan ini digunakan dalam penentuan titik observasi di lapangan. Pengambilan data lapangan (Ground check) Pengambilan data lapangan (ground check) merupakan kegiatan pengukuran, pengamatan serta pencatatan informasi penting dari titik dan poligon yang telah ditentukan di lapangan. Pemilihan lokasi titik pengamatan dilakukan secara purposive. Titik pengamatan lapangan yang diamati berjumlah 44 titik yang tersebar di Jakarta Utara, Jakarta Pusat, Jakarta Barat dan Jakarta Timur. Titik pengamatan lapangan banyak diambil pada lokasi-lokasi hutan kota, selain itu titik pengamatan juga diambil dari setiap jenis tutupan lahan yang didapatkan melalui interpretasi visual. Data yang diukur adalah data rekam koordinat titik pengamatan lapangan dari GPS. Informasi yang diamati di lapangan adalah jenis dan karakteristik fisik tutupan lahan, serta jenis vegetasi. Peta data rekam titik pengamatan survey lapangan disajikan pada Gambar 2. 5

6 Gambar 2 Peta pengambilan contoh lapangan Provinsi DKI Jakarta Pengolahan citra digital Analisis ini merupakan suatu proses penyusunan, pengurutan, atau pengelompokkan suatu piksel citra digital multi-spektral ke dalam beberapa kelas berdasarkan kategori objek. Pengolahan Citra Digital dilakukan melalui beberapa tahapan yaitu: 1. Penentuan area contoh (Training area) Penentuan dan pemilihan lokasi-lokasi area contoh dilakukan berdasarkan interpretasi citra secara visual, Peta Rupa Bumi dan pemilihan lokasi-lokasi area contoh (training area). Pengambilan informasi statistik (nilai digital number) dilakukan dengan cara mengambil contoh-contoh piksel dari setiap kelas tutupan lahan dan ditentukan lokasinya pada citra. Informasi statistik dari setiap kelas tutupan lahan ini digunakan untuk menjalankan fungsi separabilitas dan fungsi akurasi. 2. Analisis separabilitas Sebelum melakukan klasifikasi terhadap kelas-kelas tutupan lahan dari area contoh yang telah dibuat, maka terlebih dahulu dilakukan analisis separabilitas. Analisis separabilitas adalah analisis kuantitatif yang memberikan informasi mengenai evaluasi keterpisahan area contoh dari setiap kelas. Metode analisis separabilitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Tranformasi Divergensi (TD). Menurut Jaya (2010), metode ini digunakan untuk mengukur tingkat keterpisahan antar kelas dengan menggunakan semua elemen dalam matrik. Jensen (2005) menguraikan kriteria tingkat keterpisahan antar kelas dari nilai transformasi divergensi, Nilai tingkat keterpisahan menggunakan metode Transformasi Divergensi memiliki skala 0 sampai dengan 2000. Nilai 2000

menunjukan keterpisahan antar kelas yang sangat baik. Nilai di atas 1900 mencerminkan tingkat keterpisahan yang baik, sedangkan nilai di bawah 1700 dapat dikatakan buruk. 3. Klasifikasi terbimbing (Supervised classification) Metode yang digunakan dalam kegiatan klasifikasi citra ini adalah metode kemungkinan maksimum (maximum likelihood method). Pada metode ini terdapat pertimbangan berbagai faktor, diantaranya adalah peluang dari suatu piksel untuk dikelaskan ke dalam kelas atau kategori tertentu. Klasifikasi menggunakan maximum likelihood method menyangkut beberapa dimensi, sehingga pengelompokkan jenis tutupan lahan dilakukan pada jenis tutupan lahan yang memiliki nilai piksel yang sama dan identik pada citra yang diklasifikasi (Purwadhi 2001). Uji ketelitian klasifikasi Uji ketelitian klasifikasi digunakan untuk melihat tingkat kesalahan yang terjadi pada klasifikasi area contoh sehingga dapat ditentukan besarnya persentase ketelitian pemetaan. Evaluasi ini menguji tingkat keakuratan secara visual dari klasifikasi terbimbing. Akurasi ketelitian pemetaan dilakukan dengan membuat matrik kontingensi atau matrik kesalahan (confusion matrix) seperti yang disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Matriks kesalahan (confusion matrix) Diklasifikasikan ke dalam kelas Data acuan Producer s (data kelas di peta) Total baris (training area) accuracy A B C D A X ii X i+ X ii /X i+ B C D X ii Total kolom X +i N User s accuracy X ii /X +i Akurasi yang bisa dihitung berdasarkan tabel di atas antara lain, User s accuracy, Producer s Accuracy dan Overall accuracy. Secara matematis akurasi di atas dapat dinyatakan sebagai berikut: kk User s accuracy x 100 Producer s accuracy k kk k r k kk n x 100 verall accuracy x 100 Keterangan: Xkk = Nilai diagonal dari matrik kontingensi baris ke-i dan kolom ke-i Xk+ = Jumlah piksel dalam kolom ke-i X+i = Jumlah piksel dalam baris ke-i Menurut Jaya (2010), saat ini akurasi yang dianjurkan adalah akurasi kappa, karena overral accuracy secara umum masih over estimate. Akurasi kappa 7

8 ini sering juga disebut dengan indeks kappa. Secara matematis akurasi kappa disajikan sebagai berikut: r Kappa (k) N k kk k k k N 2 x 100 r k k k Keterangan : N : Jumlah semua piksel yang digunakan untuk pengamatan Ki : ij (jumlah semua kolom pada baris ke-i) K+j : ij (jumlah semua kolom pada lajur ke-j) Penyamaan posisi awan dan bayangan awan pada citra multi waktu Posisi awan yang berbeda pada citra tahun 2000, 2004, dan 2012 akan mengganggu hasil perhitungan perubahan luas jenis tutupan lahan pada rangkaian tahun yang diamati. Untuk mereduksi gangguan ini maka posisi awan dan bayangan awan harus disamakan pada semua tahun. Awan dan bayangan awan pada tahun 2012 dihilangkan menggunakan fungsi Update Polligon pada ArcGIS, proses ini berkerja dengan mengganti poligon awan beserta bayangan awan dengan poligon hasil ground check yang tutupan lahannya telah diketahui dengan pasti. Selanjutnya poligon citra tahun 2012 yang tidak memiliki tutupan awan dan bayangan awan kembali diupdate dengan poligon awan dan bayangan awan dari tahun 2000 yang sebelumnya telah diekspor. Proses ini menghasilkan citra tahun 2012 yang memiliki tutupan awan dan bayangan awan yang berlokasi sama dengan citra tahun 2000. Citra tahun 2004 pada dasarnya merupakan citra yang tampilannya tanpa awan, sehingga perlakuan yang dikenakan terhadap citra tahun 2004 adalah pemberian poligon awan dan bayangan awan dari tahun 2000, melalui fungsi update polligon yang terdapat pada ArcGIS. Analisis perubahan tutupan dan penggunaan lahan Analisis perubahan tutupan dan penggunaan lahan dilakukan dengan menumpang tindihkan (overlay) dua citra yang telah diklasifikasi secara terpisah. Proses ini dilakukan menggunakan menu identify. Selanjutnya dengan menggunakan model perubahan land cover, luas perubahan tutupan lahan dan arah perubahan penutupan lahan yang terjadi dapat diidentifikasi dan dianalisis. r Analisis Kesesuaian RTRW DKI Jakarta dengan Hasil Klasifikasi Tutupan Lahan Analisis kondisi dan kesesuaian Rencana Tata Ruang DKI Jakarta dengan hasil klasifikasi tutupan lahan tahun 2000, 2004, dan 2012 dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu: Pengolahan awal peta RTRW DKI Jakarta Peta Rencana Tata Ruang Wilayah DKI Jakarta yang memiliki format KMZ perlu diubah ke dalam format vektor agar proses pengolahan data selanjutnya dapat dilaksanakan. Transformasi format data ini dilakukan menggunakan Global Mapper version 13.00. Selanjutnya, peta RTRW dalam format vektor yang memiliki proyeks i geografis diubah menjadi peta dengan proyeksi UTM zona 48, sedangkan untuk datum yang digunakan adalah World Geographic System 84 (WGS 84).

Peta RTRW yang telah dikoreksi geometrik tersebut belum memiliki data atribut berupa jenis land cover, sehingga atribut berupa jenis penggunaan lahan harus diinput terlebih dahulu. Setelah data atribut selesai diinput maka data siap untuk ditumpang tindihkan dengan peta hasil klasifikasi dalam format vektor. Analisis kesesuaian RTRW DKI Jakarta dengan hasil klasifikasi tutupan lahan Analisis kesesuaian antara land cover DKI Jakarta dengan land use yang sesungguhnya di lapangan ini dilakukan dengan menumpang tindihkan (overlay) dua data tersebut. Melalui proses overlay dan penggunaan model perubahan tutupan lahan, kondisi antara perencanaan tata kota DKI jakarta dengan kondisi aktual dapat dibandingkan dan dianalisis. 9 HASIL DAN PEMBAHASAN Citra Landsat yang digunakan untuk analisis tutupan lahan terlebih dahulu dipotong untuk membatasi area penelitian dan mengurangi beban kerja komputer dalam processing data. Area penelitian tidak serta merta dipotong dengan batas administrasi DKI Jakarta, melainkan dipotong dengan bentuk area of interest berupa persegi. Hal tersebut dilakukan untuk mencegah terpotongnya piksel saat klasifikasi tutupan lahan dilakukan. Setelah area penelitian pada citra disekat, kemudian citra diperbaiki secara geometrik dan radiometrik agar memiliki proyeksi koordinat yang tepat dan tampilan yang sama pada tiap tahunnya. Gambar 3, 4 dan 5 merupakan citra tahun 2000, 2004 dan 2012 yang telah dibatasi sesuai area penelitian dan dikoreksi secara geometrik dan radiometrik. Gambar 3 Citra Landsat ETM+ tahun 2000 area DKI Jakarta

10 Gambar 4 Citra Landsat ETM+ tahun 2004 area DKI Jakarta Gambar 5 Citra Landsat ETM+ tahun 2012 area DKI Jakarta Ketiga citra tersebut menjadi data dasar dalam klasifikasi tutupan lahan di DKI Jakarta. Pada Gambar 3 dan Gambar 5 dapat dilihat kondisi citra yang banyak mengandung awan dan bayangan awan, sehingga daerah yang tertutupi tersebut tidak dapat diklasifikasi. Selanjutnya, perbedaan posisi awan setiap tahunnya akan menghasilkan luas tutupan lahan multi waktu yang tidak akurat, karena itu posisi awan setiap tahun yang diteliti harus disamakan. Berdasarkan hasil ground check yang dilakukan pada awal tahun 2013 dapat diketahui jenis tutupan lahan yang berada di balik awan dan bayangan awan, sehingga awan dan bayangan awan pada tahun 2012 dapat dihilangkan melalui proses update polygon. Untuk kasus citra tahun 2000 yang juga memiliki tutupan awan dan bayangan awan, perlakuan mengubah poligon tidak dapat dilakukan karena data ground check yang didapatkan pada tahun 2013 tidak valid bila digunakan pada tahun 2000, atau dengan rentang waktu terlalu jauh. Selanjutnya, awan dan bayangan awan pada tahun 2000 dijadikan patokan posisi awan untuk setiap tahun penelitian. Proses update polygon kembali dilakukan pada citra tahun 2004 dan 2012 untuk mengimport data awan dan bayangan awan tahun 2000, sehingga setiap citra akan memiliki lokasi tutupan awan dan bayangan awan yang sama.

11 Klasifikasi Tutupan Lahan Klasifikasi penggunaan dan penutupan lahan di DKI Jakarta yang dilakukan berdasarkan hasil cek lapangan menghasilkan 6 kelas tutupan lahan yaitu hutan kota, sawah, rumput, rawa, lahan terbangun, dan badan air. Selanjutnya, kelas tutupan lahan tersebut dapat dikelompokkan ke dalam 3 kelas besar, yaitu kelas tutupan lahan ruang terbuka hijau, lahan terbangun dan badan air. Jenis tutupan lahan yang dapat dikategorikan ke dalam ruang terbuka hijau adalah hutan kota, sawah, dan rumput. Hutan kota Peraturan Pemerintah No. 63 tahun 2002 menyatakan bahwa hutan kota adalah suatu hamparan yang bertumbuhan pohon-pohon yang kompak dan rapat di dalam wilayah perkotaan baik pada tanah negara maupun tanah hak, yang ditetapkan sebagai hutan kota oleh pejabat berwenang. Batasan hutan kota yang digunakan dalam klasifikasi adalah seluruh kenampakan area dengan tegakan pohon yang dominan dan terlihat pada citra. Hutan kota ini meliputi ruang terbuka hijau privat dan ruang terbuka hijau publik dengan ketentuan memiliki tegakan pohon yang kompak di atasnya. Ruang terbuka hijau privat dalam penelitian ini terdiri atas halaman rumah, halaman kantor, dan kebun warga. Ruang terbuka hijau publik terdiri atas jalur hijau, makam, taman kota, hutan lindung, kawasan konservasi, dan hutan kota yang disahkan pemerintah. Jenis vegetasi dominan yang berada di hutan kota DKI Jakarta adalah Mahoni (Swietenia mahagoni), Ketapang (Terminalia cattapa), Trembesi (Samanea saman), Flamboyan (Delonix regia) dan Akasia (Acacia auriculiformis). Menurut BPLHD Provinsi DKI Jakarta (2012), jumlah hutan kota di DKI Jakarta yang telah disahkan oleh pemerintah adalah 59 hutan kota yang tersebar di 5 Kotamadya. Hutan kota terbanyak berada di Kotamadya Jakarta Timur dengan jumlah 20, kemudian disusul oleh Jakarta Selatan 19 hutan kota, Jakarta Utara sebanyak 12 hutan kota, Jakarta Pusat sebanyak 5 hutan kota, dan Jakarta Barat sebanyak 3 hutan kota. Hutan lindung yang tercatat berada dalam wilayah DKI Jakarta adalah Hutan Lindung Muara Angke di Jakarta Utara, sedangkan untuk kawasan konservasi terbagi atas Suaka Marga Satwa Muara Angke dan Taman Wisata Alam Angke Kapuk. Komposisi band yang digunakan dalam penelitian ini sesuai dengan standar Departemen Kehutanan, yaitu komposisi 543. Pada citra komposisi band 543 obyek bervegetasi dengan non vegetasi lebih mudah dibedakan. Karakteristik pantulan spektral dari vegetasi terbagi menjadi 2 bagian, yaitu pada bagian spektrum tampak dan pada spektrum infra merah dékat. Komposit 543 menempatkan warna merah pada saluran 5, warna hijau pada saluran 4 dan warna biru pada saluran 3, jika pantulan vegetasi tertinggi berada pada saluran 4 (inframerah), maka pada komposit 543 vegetasi akan berwarna hijau atau gradasi dari hijau. Hal tersebut ditunjukan dengan tampilan pada citra untuk jenis tutupan lahan hutan kota yang memiliki warna hijau tua. Gambar 6 menampilkan gambar hutan pada citra dan foto lapangan.

12 (a) (b) Gambar 6 Hutan kota di lapangan (a) hutan kota pada citra (b) Keterangan: : Deliniasi hutan kota Sawah Jenis tutupan lahan sawah memiliki batasan, yaitu kenampakan semua aktivitas pertanian lahan basah. Klasifikasi ini meliputi sawah dengan padi di dalamnya dan sawah yang telah mengalami kegiatan panen sehingga memiliki warna kekuningan pada citra. Jenis tutupan lahan sawah paling banyak ditemui di daerah Kotamadya Jakarta Utara dan Jakarta Barat. Tampilan tutupan lahan sawah di lapangan dan pada citra disajikan pada Gambar 7. (a) (b) Gambar 7 Sawah di lapangan (a) sawah pada citra (b) Keterangan: : Deliniasi sawah Rumput Berdasarkan pengamatan di lapangan jenis tutupan lahan rumput di DKI Jakarta sebagian besar berupa kawasan golf dan lahan kosong di sekitar perumahan yang hanya ditumbuhi rumput tanpa pepohonan di dalamnya. Selain itu terdapat pula jenis penggunaan lapangan sepak bola dan kawasan berumput di sekitar lapangan udara. Pada citra rumput memiliki warna hijau kekuningan. Warna hijau kekuningan dihasilkan dari pantulan spektral vegetasi yang terdapat di atas lahan tersebut. Gambar 8 menunjukan tampilan jenis tutupan lahan rumput di lapangan dan pada citra.

13 (a) (b) Gambar 8 Rumput di lapangan (a) dan rumput pada citra (b) Keterangan: : Deliniasi rumput Rawa Rawa adalah genangan air yang terbentuk secara alamiah yang terjadi terus menerus atau musiman akibat drainase alamiah yang terhambat serta mempunyai ciri- ciri yang khusus secara fisik, kimiawi, dan biologi (Perda Provinsi DKI Jakarta 2012: 17). Melalui hasil cek lapang diketahui lokasi rawa pada Daerah Khusus Ibukota Jakarta berada di Jakarta Utara, khususnya di sekitar daerah Pantai Indah. Jenis tutupan lahan rawa yang cukup luas juga dapat diamati dari Jalan Tol Airport Prof. Sedyatmo. Citra dengan komposit band 543 mempunyai kelebihan dalam membedakan obyek yang mempunyai kandungan air atau kelembapan tinggi. Obyek dengan tingkat kelembapan atau kandungan air tinggi akan dipresentasikan dengan rona yang lebih gelap. Tampilan jenis tutupan rawa pada citra menyerupai badan air yaitu hitam kebiruan dengan pola kotak teratur dan terdapat rona hijau di dalamnya. Kenampakan rawa di lapangan dan pada citra disajikan pada Gambar 9. (a) (b) Gambar 9 Rawa di lapangan (a) rawa pada citra (b) Keterangan: : Deliniasi rawa Lahan terbangun Lahan terbangun merupakan seluruh kenampakan lahan yang telah tertutupi bangunan meliputi permukiman, industri, perkantoran, jasa, bangunan pemerintahan, bandara, dan jalan. Pada citra lahan terbangun dapat dikenali dengan mudah. Kelas ini ditandai dengan warna violet dan merah muda keunguan. Pada lokasi-lokasi industri, lahan terbangun memiliki pola bangunan yang jelas karena bangunannya yang relatif besar dan mengelompok, sedangkan untuk

14 permukiman pada citra tidak memiliki pola bangunan yang jelas. Di lapangan lahan terbangun diobservasi dengan menggunakan 2 titik. Kenampakan lahan terbangun berupa permukiman di lapangan dan lahan terbangun berupa permukiman pada citra ditampilkan pada Gambar 10. (a) (b) Gambar 10 Lahan terbangun di lapangan (a) lahan terbangun pada citra (b) Badan air Jenis tutupan lahan badan air dalam wilayah DKI Jakarta terdiri atas sungai, danau, situ, dan waduk. Kotamadya Jakarta Utara memiliki badan air terluas dibandingkan dengan Kotamadya lain di Jakarta, beberapa waduk dan sungai berada pada wilayah Kotamadya ini. Pada citra badan air dicirikan dengan warna hitam kebiruan, hal ini disebabkan pada citra dengan komposit band 543, jenis tutupan lahan badan air akan dipresentasikan dengan rona yang gelap. Gambar 11 menunjukan tampilan badan air di lapangan dan badan air pada citra. (a) (b) Gambar 11 Badan air di lapangan (a) badan air pada citra (b) Keterangan: : Deliniasi badan air

15 Analisis Separabilitas dan Evaluasi Akurasi Evaluasi separabilitas dan evaluasi akurasi hasil klasifikasi adalah tahapan yang perlu dilakukan sebelum hasil klasifikasi tutupan dan penggunaan lahan yang valid didapatkan. Menurut Jensen (2005) nilai minimum separabilitas yang diperbolehkan adalah 1700, sedangkan nilai separabilitas di bawah 1700 dapat dikatakan buruk. Nilai separabilitas yang buruk menunjukan kemungkinan pertampalan antar kelas jenis tutupan lahan, atau dengan kata lain terdapat kelaskelas yang tidak dapat dibedakan nilai spektralnya. Analisis separabilitas citra Landsat ETM+ tahun 2000 menggunakan kombinasi band 543 memiliki nilai keterpisahan yang bernilai sangat baik dan baik. Nilai separabilitas sebagian dari masing-masing kelas mencapai 2000, sedangkan sebagian lagi berada di atas 1900. Jensen (2005) menyatakan bahwa nilai separabilitas di atas 1900, memiliki makna bahwa nilai spektral kelas tersebut dapat dibedakan dengan kelas yang lainnya. Matriks separabilitas citra Landsat tahun 2000 disajikan pada Lampiran 1. Nilai analisis separabilitas citra Landsat ETM+ tahun 2004 menggunakan kombinasi band 543 memberikan nilai separabilitas dominan yang sangat baik, yaitu bernilai 2000. Separabilitas terendah sebesar 1904.5 berada antara kelas tutupan lahan hutan kota dan rumput karena, warna di antara kedua kelas tersebut relatif serupa. Walaupun demikian, hasil analisis separabilitas ini dapat dikatakan bernilai baik. Matriks separabilitas citra Landsat ETM+ dengan kombinasi band 543 ini ditampilkan pada Lampiran 2. Hasil analisis separabilitas citra Landsat tahun 2012 menunjukan nilai ratarata yang sangat baik yaitu 2000. Hal ini menunjukan bahwa tidak ada kelas dengan nilai spektral yang bertampalan. Terdapat pula nilai separabilitas sebesar 1999.9 yang mencerminkan perbedaan antara kelas hutan kota dan rawa, serta lahan terbangun dan sawah. Nilai-nilai separabilitas tersebut menunjukan bahwa semua kelas jenis tutupan lahan dapat dibedakan dengan baik dan tidak ada kelas tutupan lahan yang nilai spektralnya tidak dapat dibedakan. Matriks separabilitas citra Landsat untuk tahun 2012 disajikan pada Lampiran 3. Akurasi dianalisis menggunakan matriks kontingensi atau confusion matrix. Berdasarkan matriks ini akurasi dapat diketahui akurasi pengguna dan akurasi produser yang selanjutnya digunakan dalam perhitungan akurasi overall. Matriks kontingensi citra Landsat tahun 2012 disajikan dalam Lampiran 4. Perhitungan akurasi klasifikasi citra tahun 2000 dan 2004 tidak dilakukan karena dalam mengklasifikasi kedua citra tersebut digunakan informasi berdasarkan kunci interpretasi hasil klasifikasi citra tahun 2012. Menurut Jaya (2010) overall akurasi menghasilkan nilai yang over estimate. Nilai akurasi overall citra Landsat ETM+ tahun 2012 adalah 95.1%. Jaya (2010) kembali menyatakan, bahwa akurasi kappa lebih dianjurkan dalam perhitungan akurasi hasil klasifikasi tutupan lahan. secara teoritis nilai akurasi kappa yang mengindikasikan hasil klasifikasi yang baik adalah di atas 85%. Nilai akurasi kappa pada tahun 2012 adalah sebesar 94.4%. Nilai hasil akurasi yang tinggi ini menunjukan bahwa hasil klasifikasi dapat digunakan dengan baik.

16 Klasifikasi Tutupan Lahan pada Citra Landsat ETM+ Citra Landsat ETM+ tahun 2000, 2004 dan 2012 diolah secara digital menggunakan metode klasifikasi terselia atau metode supervised. Klasifikasi citra secara digital akan mengkategorisasi semua piksel ke dalam kelas tutupan lahan atau suatu tema tertentu secara otomatis (Purwadhi 2001). Perbedaan kenampakan klasifikasi tutupan lahan menunjukan perbedaan kombinasi dasar nilai digital piksel pada sifat pantulan dan pancaran spektral yang dimiliki masing-masing jenis tutupan lahan. Hasil klasifikasi citra Landsat ETM+ tahun 2000 disajikan pada Gambar 12. Gambar 12 Peta tutupan lahan tahun 2000 Provinsi DKI Jakarta Tahun 2003 Scan Line Corrector pada Landsat 7 ETM+ mengalami kerusakan dan mengakibatkan timbulnya stripping pada citra Landsat. Stripping adalah area pada citra yang berbentuk garis dan kehilangan nilai pikselnya, sehingga nilai piksel pada bagian stripping tersebut adalah 0. Stripping pada citra Landsat dapat diperbaiki melalui proses gapfill. Hasil penelitian Bruce dan Hilbert (2006) menunjukan bahwa perbedaan pada citra Landsat normal dan citra Landsat yang memiliki stripping bersifat minor, sehingga klasifikasi jenis tutupan lahan secara digital dapat dilakukan terhadap citra Landsat tahun 2004 dan 2012. Hasil klasifikasi citra Landsat ETM+ tahun 2004 dan 2012 secara berturut- turut disajikan pada Gambar 13 dan 14.

17 Gambar 13 Peta tutupan lahan tahun 2004 Provinsi DKI Jakarta Gambar 14 Peta tutupan lahan tahun 2012 Provinsi DKI Jakarta Hasil klasifikasi digital yang disajikan pada Tabel 2 memperlihatkan penggunaan dan penutupan lahan di DKI Jakarta bahwa pada tahun 2000, 2004 dan 2012 didominasi oleh lahan terbangun sebanyak 58.79%, 68.06% dan 69.91%. Urutan ke-2 dalam dominasi penggunaan dan penutupan lahan ditempati oleh

18 hutan kota. Lahan terbangun menunjukan pola perkembangan yang positif, pola ini ditunjukan oleh peningkatan luasan yang terjadi antara tahun 2000, 2004 dan 2012. Pola sebaliknya terjadi pada jenis tutupan lahan hutan kota yang luasannya berkurang antara tahun 2000, 2004 dan 2012. Gambaran dari penutupan dan penggunaan lahan di DKI Jakarta pada tahun 2000, 2004 dan 2012 disajikan pada Gambar 15. Tabel 2 Luas tutupan dan penggunaan lahan DKI Jakarta tahun 2000-2012 Kelas tutupan Luas tutupan dan penggunaan lahan dan penggunaan lahan Landsat ETM+ tahun 2000 Landsat ETM+ tahun 2004 Landsat ETM+ tahun 2012 Hektar % Hektar % Hektar % Awan 911.00 1.37 911.00 1.37 911.00 1.37 Badan air 477.34 0.71 638.47 0.96 541.86 0.81 Bayangan awan 1109.70 1.67 1109.70 1.67 1109.70 1.67 Lahan terbangun 39026.54 58.79 45179.15 68.06 46404.76 69.91 Rawa 616.76 0.93 455.28 0.68 460.93 0.69 Hutan kota 21769.26 32.79 14222.82 21.42 10939.56 16.48 Rumput 1518.15 2.28 2676.61 4.03 4926.04 7.42 Sawah 948.33 1.43 1184.39 1.78 1083.65 1.63 Total luas 66377.45 100.00 66377.45 100.00 66377.45 100.00 Gambar 15 Tutupan lahan tahun 2000, 2004 dan 2012 Analisis Perubahan Tutupan Lahan Analisis perubahan tutupan lahan pada tahun 2000-2004, 2004-2012 dan 2000-2012 dihitung menggunakan matrik perubahan tutupan lahan. Matrik ini dapat memberikan informasi luas dan arah dari perubahan suatu tutupan lahan ke tutupan lahan lainnya. Hasil analisis menunjukan antara tahun 2000 dan 2004 terjadi perubahan tutupan lahan hutan kota menjadi lahan terbangun seluas 8827.3 ha. Perubahan hutan kota menjadi lahan terbangun ini sejalan dengan pertumbuhan penduduk

DKI Jakarta yang semakin meningkat. Selain itu, kedudukannya yang khas sebagai ibukota negara membuat DKI Jakarta mengemban tugas sebagai pusat pemerintahan, pusat kegiatan ekonomi, perdagangan dan jasa, pusat kegiatan sosial dan budaya, dengan sarana terbaik dalam bidang pendidikan, budaya dan kesehatan. Hal ini didukung oleh pernyataan dari Irwan (2005) bahwa pembangunan yang terjadi di DKI Jakarta berjalan beriringan dengan menyusutnya luasan hutan kota dan ruang terbuka hijau. Hutan kota di DKI Jakarta juga mengalami penurunan fungsi ekologis dengan berubah menjadi rumput pada rentang tahun 2000 hingga 2004, perubahan yang terjadi sebesar 1277.4 ha (Tabel 3). Selain perubahan negatif, terdapat juga perubahan positif terhadap luasan hutan kota melalui kegiatan penghijauan, sebanyak 3135.9 ha lahan terbangun berubah menjadi hutan kota selama tahun selama 4 tahun pengamatan. Sebanyak 61.3 ha badan air mengalami perubahan menjadi lahan terbangun antara tahun 2000 dan 2004, perubahan ini terjadi di Kotamadya Jakarta Utara melalui kegiatan pengerukan badan air oleh Pemerintah Daerah DKI Jakarta. Perubahan tutupan lahan antara tahun 2000 dan 2004 di DKI Jakarta disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Perubahan tutupan lahan DKI Jakarta tahun 2000-2004 19 Tahun 2000 2004 Tutupan Lahan (Ha) 1 2 3 4 5 6 Total Badan air (1) 416.0 61.3 - - - - 477.3 Lahan terbangun (2) - 35408.2 2.7 3135.9 479.7-39026.5 Rawa (3) 60.6 102.5 390.8 54.6 8.2-616.7 Hutan kota (4) 158.5 8827.3 61.8 10613.5 1277.4 830.7 21769.2 Rumput (5) 1.4 373.1-235.1 784.2 124.4 1518.2 Sawah (6) 1.9 406.7-183.3 127.2 229.2 948.9 Total 638.4 45179.1 455.4 14222.8 2676.6 1184.8 64356.8 Luas hutan kota yang terus berkurang dari tahun ke tahun dan pembangunan fisik perkotaan yang semakin pesat menjadikan 2 jenis tutupan lahan ini sebagai highlight of change dari perubahan tutupan lahan di DKI Jakarta. Kekhawatiran terhadap ketidakseimbangan ekosistem timbul ketika pembangunan yang dilaksanakan tidak berpihak pada lingkungan. Irwan (2005) menyatakan bahwa perkembangan kota menyebabkan suhu di kawasan kota naik sekitar 0.4-2.1 C. Selain itu meningkatnya gas polutan di udara, debu, dan kebisingan juga merupakan bagian dari kerugian yang dihadapi masyarakat karena hilangnya ruang terbuka hijau. Pemanasan global (global warming) dan perubahan iklim (climate change) merupakan tanda dari degradasi kualitas lingkungan yang sedang terjadi di DKI Jakarta. Permasalahan lingkungan ini dapat diminimalisir dengan menerapkan pembangunan yang berwawasan lingkungan. Pengembangan ruang terbuka hijau sebagai bentuk mitigasi dan penyelesaian masalah lingkungan sudah banyak diterapkan di beberapa Provinsi di Indonesia, termasuk Provinsi DKI Jakarta. Menurut Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2012, ruang terbuka hijau yang selanjutnya disingkat RTH adalah area memanjang/jalur

20 dan/mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. Berdasarkan definisi tersebut maka jenis tutupan lahan yang termasuk dalam ruang terbuka hijau pada hasil klasifikasi adalah hutan kota, sawah, dan rumput. Peta degradasi ruang terbuka hijau tahun 2000 sampai dengan tahun 2004 disajikan pada Gambar 16. Gambar 16 Peta perubahan ruang terbuka hijau Provinsi DKI Jakarta tahun 2000-2004 Gambar 16 menunjukan bahwa ruang terbuka hijau dengan jenis tutupan lahan hutan kota mengalami konversi menjadi lahan terbangun dengan luasan terbesar dan menyebar di 5 Kotamadya DKI Jakarta. Ruang terbuka hijau berbentuk rumput di DKI Jakarta yang berada pada lokasi perumahan adalah jenis area berumput yang termudah untuk dikonversi. Berdasarkan kenampakan pada citra tahun 2000, area paling barat dan timur dari Kotamadya Jakarta Utara adalah area yang masih memiliki vegetasi dan memiliki persawahan yang luas, namun seiring berjalannya tahun 2000-2004 area tersebut banyak yang dikonversi menjadi lahan terbangun. Perubahan jenis tutupan lahan hutan kota menjadi bentuk lahan terbangun dan rumput masih menjadi sorotan pada rentang tahun 2004 hingga 2012. Di samping itu penghijauan juga terus dilakukan, tetapi hal ini tidak sepadan dengan luasan hutan kota yang terkonversi menjadi jenis tutupan lahan lain. Lahan terbangun di Jakarta juga terus meningkat melalui kegiatan pengerukan badan air untuk pembangunan perkotaan di Kotamadya jakarta Utara, hal ini turut mengurangi luasan badan air di Jakarta. Selanjutnya, jenis tutupan lahan rumput dan sawah turut mengalami konversi menjadi lahan terbangun sebanyak 907.2 ha

dan 518.5 ha (Tabel 4). Perubahan tutupan lahan antara tahun 2004 dan 2012 di DKI Jakarta disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Perubahan tutupan lahan DKI Jakarta tahun 2004-2012 21 Tahun 2004 2012 Tutupan Lahan (Ha) 1 2 3 4 5 6 Total Badan air (1) 541.9 96.5 - - - - 638.4 Lahan terbangun (2) - 39757.7 3498.3 1519.7 403.5 45179.2 Rawa (3) - 55.1 356.7 31.1 12.4-455.3 Hutan kota (4) - 5069.7 98.7 6666.4 2132.9 255.1 14222.8 Rumput (5) - 907.2 5.1 522.5 1093.1 148.7 2676.6 Sawah (6) - 518.5 0.4 221.2 167.9 276.4 1184.4 Total 541.9 46404.8 460.9 10939.6 4926.0 1083.7 64356.8 Selama periode 2004 sampai dengan 2012, sebanyak 518.5 ha tutupan lahan sawah mengalami konversi menjadi lahan terbangun, dan sebanyak 221.2 ha sawah berubah menjadi hutan kota. Gambar 17 menunjukan konversi jenis tutupan lahan rumput menjadi lahan terbangun terjadi di wilayah Jakarta Utara, begitu pun dengan kelas tutupan lahan sawah di Jakarta Utara yang mengalami pengurangan akibat pembangunan fisik kota. Perubahan hutan kota antara tahun 2004 dan 2012 lebih menuju kepada penurunan fungsi, karena sebagian besar hutan kota berubah menjadi tutupan lahan rumput pada rentang waktu tersebut. Gambar 17 Peta perubaha ruang terbuka hijau Provinsi DKI Jakarta tahun 2004-2012

22 Pada interval waktu penelitian 12 tahun jenis tutupan lahan rawa, hutan kota, rumput, dan sawah mengalami konversi menjadi lahan terbangun. Hutan kota adalah jenis tutupan lahan dengan luasan terbesar yang terkonversi menjadi lahan terbangun, yaitu seluas 9344.0 ha. (Tabel 5). Perubahan tutupan lahan DKI Jakarta tahun antara tahun 2000 dan 2012 disajikan dalam Tabel 5. Tabel 5 Perubahan tutupan lahan DKI Jakarta tahun 2000-2012 Tahun 2000 2012 Tutupan Lahan (Ha) 1 2 3 4 5 6 Total Badan air (1) 319.5 157.8 - - - - 477.3 Lahan terbangun (2) - 35978.9-2208.5 597.9 241.2 39026.5 Rawa (3) - 152.5 372.0 74.7 17.5-616.7 Hutan kota (4) 222.4 9344.0 85.3 8134.9 3438.9 543.7 21769.2 Rumput (5) - 431.0 2.4 276.1 707.1 101.6 1518.2 Sawah (6) - 340.6 1.2 245.4 164.5 197.2 948.8 Total 541.9 46404.8 460.9 10939.6 4926.0 1083.7 64356.7 Pemerintah DKI Jakarta berusaha untuk menyeimbangkan antara pembangunan dan aspek ekologis melalui kegiatan penghijauan. Hal ini terlihat pada luasan lahan terbangun dan rumput yang berubah menjadi hutan kota selama 2000 sampai dengan 2012. Penghijauan ini belum seimbang dengan pembangunan yang telah dilakukan, karena luas wilayah yang dikonversi menjadi hutan kota lahan belum sebanyak luas wilayah yang dikonversi menjadi perkotaan Kegiatan pembangunan yang kurang melihat aspek ekologis ini terjadi akibat pemberian ijin dalam penggunaan lahan yang tidak melihat aspek ekologis oleh pemerintah, dan lemahnya pengawasan terhadap pemanfaatan lahan. Selain itu, hutan kota yang belum disahkan oleh pemerintah juga memiliki posisi yang rentan untuk dikonversi menjadi penggunaan lahan lain. Peta degradasi ruang terbuka hijau tahun 2000 sampai dengan tahun 2012 disajikan pada Gambar 18. Gambar 18 menunjukan bahwa perubahan penutupan lahan yang dominan adalah perubahan ruang terbuka hijau menjadi lahan terbangun, perubahan ini tersebar di 5 Kotamadya DKI Jakarta. Pada Kotamadya Jakarta Timur dan Jakarta Selatan terlihat bahwa telah terjadi konversi ruang terbuka hijau berbentuk jalur hijau yang mengalami koversi menjadi lahan terbangun. Perubahan tutupan lahan sawah menjadi lahan terbangun terjadi di 3 Kotamadya DKI Jakarta, yaitu Jakarta Utara, Jakarta Barat, dan Jakarta Timur karena di Jakarta, jenis penggunaan lahan sawah memang terkonsentrasi pada 3 area tersebut.