PERAN DAN POLA KERJASAMA KADIN DALAM PENINGKATAN DAYA SAING INDUSTRI DAERAH 1. Tulus Tambunan Kadin Indonesia, 2008

dokumen-dokumen yang mirip
PERAN DAN POLA KERJASAMA. SAING INDUSTRI DAERAH[ Tulus Tambunan Kadin Indonesia, 2008

Daya Saing Global Indonesia versi World Economic Forum (WEF) 1. Tulus Tambunan Kadin Indonesia

AKSELERASI INDUSTRIALISASI TAHUN Disampaikan oleh : Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian

BAB I PENDAHULUAN. Era globalisasi ekonomi telah membawa pembaharuan yang sangat cepat

VISI KADIN INDONESIA DAN DAYA SAING INDONESIA Mencari Solusi untuk Meningkatkan Kemampuan Teknologi/Inovasi Perusahaan Nasional 1

Ringkasan. Kebijakan Pembangunan Industri Nasional

DISAMPAIKAN OLEH : DIREKTUR JENDERAL INDUSTRI AGRO PADA RAPAT KERJA KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN TAHUN 2013 JAKARTA, FEBRUARI 2013 DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN. Dalam era perdagangan bebas saat ini, telah terjadi perubahan secara

Menteri Perindustrian Republik Indonesia PAPARAN MENTERI PERINDUSTRIAN PADA ACARA RAKER KEMENTERIAN PERDAGANGAN JAKARTA, 27 JANUARI 2016

PEREKONOMIAN INDONESIA DI ERA GLOBALISASI

INDIKATOR KINERJA MINAPOLITAN, INDUSTRIALISASI KP DAN BLUE ECONOMY SUNOTO, MES, PHD PENASEHAT MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN BATAM, 22 SEPTEMBER 2014

ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU, KINERJA DAN DAYA SAING INDUSTRI ELEKTRONIKA DI INDONESIA JOHANNA SARI LUMBAN TOBING H

BAB I PENDAHULUAN. pesat sesuai dengan kemajuan teknologi. Dalam era globalisasi peran transportasi

I. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini

KEBIJAKAN PENGEMBANGAN INDUSTRI AGRO DAN KIMIA

BAB I PENDAHULUAN. digunakan untuk perusahaan dan negara. Pemikiran Michael Porter banyak

Written by Danang Prihastomo Friday, 06 February :22 - Last Updated Wednesday, 11 February :46

Visi 2030 & Roadmap 2010 Industri Nasional

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Di era globalisasi saat ini, tingkat daya saing menjadi tolak ukur yang

BAB 22 PENINGKATAN KEMAMPUAN ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI

BAHAN KULIAH DAN TUGAS

BAB VI SASARAN, INISITIF STRATEJIK DAN PROGRAM PEMBANGUNAN KEMENTERIAN KOPERASI DAN UKM

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG PENGEMBANGAN EKONOMI KREATIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Peningkatan Daya Saing Industri Manufaktur

RANCANGAN: PENDEKATAN SINERGI PERENCANAAN BERBASIS PRIORITAS PEMBANGUNAN PROVINSI LAMPUNG TAHUN 2017

SAMBUTAN MENTERI PERINDUSTRIAN Pada Acara SEMINAR DAMPAK PENURUNAN HARGA MINYAK BUMI TERHADAP INDUSTRI PETROKIMIA 2015 Jakarta, 5 Maret 2014

dan kelembagaan yang kegiatannya saling terkait dan saling mendukung dalam peningkatan efisiensi, sehingga terwujudnya daya saing yang kuat.

Menteri Perindustrian Republik Indonesia

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG PERCEPATAN PEMBANGUNAN INDUSTRI PERIKANAN NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Mendukung terciptanya kesempatan berusaha dan kesempatan kerja. Meningkatnya jumlah minat investor untuk melakukan investasi di Indonesia

I. PENDAHULUAN. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Tahun

NARASI MENTERI PERINDUSTRIAN RI Pembangunan Industri yang Inklusif dalam rangka Mengakselerasi Pertumbuhan Ekonomi yang Berkualitas

BAB I PENDAHULUAN. Sektor industri merupakan salah satu kegiatan ekonomi yang berperan

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. dikatakan berhasil dalam strategi pengembangan pembangunan jika laju

KEBIJAKAN PENGUATAN SEKTOR RIIL DI INDONESIA Kamis, 16 Juli 2009

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar 1945 alinea keempat. Demi mencapai tujuan tersebut, ini adalah kegiatan investasi (penanaman modal).

KEBIJAKAN INDUSTRI NASIONAL TAHUN Disampaikan pada acara: Rapat Kerja Kementerian Perindustrian Di Hotel Bidakara

ADHI PUTRA ALFIAN DIREKTUR PEMBERDAYAAN KOPERASI DAN UKM BATAM, 18 JUNI 2014

Menteri Perindustrian Republik Indonesia

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG PENGEMBANGAN EKONOMI KREATIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LAPORAN LIAISON. Triwulan I Konsumsi rumah tangga pada triwulan I-2015 diperkirakan masih tumbuh

PERATURAN KEPALA ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN RETENSI ARSIP SEKTOR PEREKONOMIAN URUSAN PERINDUSTRIAN

LAMPIRAN PERATURAN KEPALA ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN RETENSI ARSIP SEKTOR PEREKONOMIAN URUSAN PERDAGANGAN

BAB I PENDAHULUAN. ketimpangan dapat diatasi dengan industri. Suatu negara dengan industri yang

PERATURAN KEPALA ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN RETENSI ARSIP SEKTOR PEREKONOMIAN URUSAN PERINDUSTRIAN

BAB I PENDAHULUAN. sektor nonmigas lain dan migas, yaitu sebesar 63,53 % dari total ekspor. Indonesia, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1.1.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Industrialisasi Sektor Agro dan Peran Koperasi dalam Mendukung Ketahanan Pangan Nasional. Kementerian Perindustrian 2015

BAB VI DAMPAK ASEAN PLUS THREE FREE TRADE AREA TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. dari negara-negara maju, baik di kawasan regional maupun kawasan global.

TANTANGAN EKSTERNAL : Persiapan Negara Lain LAOS. Garment Factory. Automotive Parts

MATRIK 2.3 RENCANA TINDAK PEMBANGUNAN KEMENTERIAN/ LEMBAGA TAHUN 2011

SAMBUTAN MENTERI PERINDUSTRIAN PADA ACARA BREAKFAST MEETING PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN SEKTOR INDUSTRI NASIONAL JUMAT, 10 JUNI 2011

I. PENDAHULUAN. dan pendapatan perkapita dengan memperhitungkan adanya pertambahan

BAHAN MENTERI DALAM NEGERI PADA ACARA MUSYAWARAH PERENCANAAN PEMBANGUNAN (MUSRENBANG) REGIONAL KALIMANTAN TAHUN 2015

ARAH KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KONSEP MINAPOLITAN DI INDONESIA. Oleh: Dr. Sunoto, MES

III. KERANGKA PEMIKIRAN

KAJIAN EKONOMI REGIONAL Triwulan IV 2012

I. PENDAHULUAN. terjadinya krisis moneter, yaitu tahun 1996, sumbangan industri non-migas

V. PERKEMBANGAN MAKROEKONOMI INDONESIA. dari waktu ke waktu. Dengan kata lain pertumbuhan ekonomi merupakan proses

PENUNJUK UNDANG-UNDANG PERINDUSTRIAN

Rencana Pembangunan Jangka Menengah strategi juga dapat digunakan sebagai sarana untuk melakukan tranformasi,

PEMBINAAN INDUSTRI KECIL DAN MENENGAH MELALUI PENERAPAN STANDAR NASIONAL INDONESIA. Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Sumatera Selatan

SAMBUTAN Pada Acara FORUM EKONOMI JAWA BARAT. Bandung, 8 Juni 2013

PERKEMBANGAN PERDAGANGAN INDONESIA- SAUDI ARABIA BULAN : JULI 2015

PERAN KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN DALAM MENDORONG INOVASI PRODUK DI INDUSTRI PULP DAN KERTAS

BAB I PENDAHULUAN. perdagangan, baik berupa perdagangan barang maupun jasa. pasar yang mempunyai kedudukan komplementer terhadap industri besar dan

KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran Teoritis

PENGEMBANGAN CLUSTER EKONOMI DI KALIMANTAN TENGAH SEBAGAI PERSIAPAN PEMBERLAKUAN MASYARAKAT EKONOMI ASEAN 2015

BAB I PENDAHULUAN. wilayah. Karena pada dasarnya, investasi merupakan satu pengeluaran

KATA PENGANTAR. Terima kasih. Tim Penyusun. Penyusunan Outlook Pembangunan dan Indeks Daya Saing Infrastruktur

BAB I PENDAHULUAN. Abad 21 yang ditandai dengan globalisasi ekonomi, merupakan suatu proses

MENTERI KOORDINATOR BIDANG PEREKONOMIAN REPUBLIK INDONESIA KELAS JABATAN DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN KOORDINATOR BIDANG PEREKONOMIAN

Dinamika Pengembangan Subsektor Industri Makanan dan Minuman Di Jawa Timur: Pengaruh Investasi Terhadap Penyerapan Jumlah Tenaga Kerja

REKOMENDASI SEMINAR STRATEGI DAN TANTANGAN PEMBANGUNAN EKONOMI JANGKA MENENGAH PROVINSI JAMBI 22 DESEMBER 2005

Pengaruh Globalisasi Ekonomi Terhadap Perkembangan Ekonomi Indonesia

KEYNOTE SPEECH MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA PADA ACARA PERESMIAN PABRIK PT. INDO KORDSA, TBK JAKARTA, 06 JANUARI 2015

Kebijakan Umum APBD Tahun Anggaran 2010 III- 1

BAB I PENDAHULUAN. terpuruk. Konsekuensi dari terjadinya krisis di Amerika tersebut berdampak pada

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN: Upaya Peningkatan Produksi Komoditas Pertanian Strategis

Boks 1. Dampak Pembangunan Industri Hilir Kelapa Sawit di Provinsi Riau : Preliminary Study IRIO Model

BAB I PENDAHULUAN. haruslah ditekankan pada pembangunan produksi dan infrastruktur untuk memacu

BAB 18 DAYA SAING INDUSTRI MANUFAKTUR

Menjadikan Bogor sebagai Kota yang nyaman beriman dan transparan

BAB X PEDOMAN TRANSISI DAN KAIDAH PELAKSANAAN. roses pembangunan pada dasarnya merupakan proses yang berkesinambungan,

Prospek Ekonomi Regional ASEAN ASEAN+3 Regional Economic Outlook (AREO) Ringkasan

MENINGKATKAN DAYA SAING DAN PRODUKTIVITAS MELALUI PEKERJAAN YANG LAYAK. Oleh : 9 Juli 2015 DPN APINDO

PENINGKATAN SDM IKM KAROSERI KE JAWA TIMUR

VI. STRATEGI PENINGKATAN DAYA SAING INDUSTRI AGRO INDONESIA

REVIEW PENETAPAN KINERJA TAHUN 2014 DINAS PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN PROVINSI JAWA TIMUR

SAMBUTAN MENTERI PERINDUSTRIAN RI PADA RAPAT KERJA DEPARTEMEN PERINDUSTRIAN DENGAN DINAS PERINDUSTRIAN KABUPATEN/KOTA KAWASAN TIMUR INDONESIA TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas rahmat dan Karunia-Nya, kami telah dapat menyelesaikan penyusunan Laporan

ANDRI HELMI M, SE., MM. SISTEM EKONOMI INDONESIA

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

IV.C.6. Urusan Pilihan Perindustrian

Strategi Peningkatan Daya Saing Pengusaha Daerah dalam Era Liberalisasi Ekonomi 1. Tulus Tambunan Kadin Indonesia

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG PERINDUSTRIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Harga bahan bakar minyak memegang peranan yang sangat penting dalam

Transkripsi:

PERAN DAN POLA KERJASAMA KADIN DALAM PENINGKATAN DAYA SAING INDUSTRI DAERAH Tulus Tambunan Kadin, 2008 Visi 2030 dan Roadmap 200 Kadin mengenai Industri Nasional Visi 2030 dan Roadmap 200 Kadin menekankan pada pembangunan sektor industri. Ada tiga misi utama pembangunan industri nasional atau industrialisasi, yakni () Pertumbuhan ekonomi di atas 7% (atau paling tidak sama seperti pertumbuhan rata-rata per tahun pada era Orde Baru), melalui: (a) peningkatan ekspor produk berteknologi tinggi seperti elektronika dan komponen elektronika, otomotif dan komponen otomotif, industri padat modal dan keterampilan sumber daya manusia seperti tekstil dan produk tekstil (TPT), sepatu dan alas kaki; (b) peningkatan kapasitas ekspor produk industri olahan berbasis bahan baku migas dan non-migas, yang berasal dari eksplorasi sumur minyak dan gas alam yang baru; dan (c) pembangunan 9 (sembilan) refineries yang diintegrasikan dengan pengembangan industri petrokimia, dan pengembangan industri berbasis teknologi yang menyerap banyak tenaga kerja. (2) Peningkatan daya tarik investasi dan daya saing bangsa, melalui: (a) langkah restrukturisasi untuk penciptaan struktur biaya produksi yang kompetitif dengan meningkatkan kapasitas produksi dalam negeri dari industri pengembang infrastruktur seperti pengembang jalan tol, industri pembangkit sumber enersi, industri telekomunikasi; dan (b).implementasi kebijakan pendalaman struktur industri untuk mengurangi ketergantungan impor bahan baku dan komponen setengah jadi, dengan pengembangan klaster industri pendukung dan jaringan industri komponen, agar terjadi: (i). pengurangan impor bahan baku dan produk komponen setengah jadi, dengan kebijakan stimulus fiskal bagi terciptanya jaringan industri pendukung dan industri komponen pada sektor elektronika dan otomotif, (ii). penciptaan dan implementasi Standar Nasional (SNI) untuk rintangan-rintangan non-tarif bagi produk industri negara lain, (iii). pemberantasan penyelundupan untuk menghilangkan distorsi pasar domestik, (iv) pembenahan infrastruktur jalan raya dari kawasan industri ke pelabuhan bongkar muat dan bandara, untuk penurunan biaya transportasi, logistik dan distribusi produk industri ke pasar, dan (v) modernisasi alat peralatan produksi dengan penggunaan mesin berenergi efisien dan ramah lingkungan. (3) Penciptaan lapangan kerja dan penurunan angka kemiskinan, melalui: (a) langkah pemberdayaan: (i). sektor industri berbasis pertanian dan perkebunan, dan (ii) sektor industri berbasis tradisi dan gbudaya, dan (iii). sektor industri TPT, sebagai motor pencipta lapangan kerja; (b) pelaksanaan reorientasi Acara Rapat Kerja Dinas Perindustrian, Makassar, Maret 2008.

kebijakan ekspor, dari orientasi ekspor bahan mentah menjadi orientasi ekspor produk setengah jadi atau produk akhir, dan (c) pelaksanaan langkah restrukturisasi total industri nasional untuk peningkatan efisiensi dan produktivitas, dengan pengembangan klaster industri dan modernisasi permesinan. Untuk mencapai tiga misi tersebut, ada tiga ujung tombak kebijakan strategis, yakni: () kebijakan untuk melakukan restrukturisasi total industri nasional; (2) kebijakan untuk melakukan reorientasi arah kebijakan ekspor bahan mentah; dan (3) kebijakan untuk melakukan penataan ulang tata niaga pasar dalam negeri. Pengembangan industri nasional menurut visi Kadin tersebut (roadmap industri nasional 200) terfokus pada pengembangan 0 klaster industri dengan pembagian menurut perannya masing-masing sebagi berikut: () Empat klaster industri unggulan pendongkrak pertumbuhan ekonomi di atas 7%: - industri tekstil dan produk tekstil (TPT), sepatu dan alas kaki -industri elektronika dan komponen elektronika -industri otomotif dan komponen otomotif -industri perkapalan (2) Tiga klaster industri unggulan peningkatan daya tarik investasi dan daya saing bangsa -industri pengembang infrastruktur, seperti: industri pembangkit sumber energi, industri telekomunikasi, pengembang jalan tol, konstruksi, industri semen, baja dan keramik -industri barang modal dan mesin perkakas -industri petrokimia hulu/antara, termasuk industri pupuk (3) Tiga klaster industri unggulan penggerak penciptaan lapangan kerja dan penurunan jumlah orang miskin: -industri pengolahan hasil laut & kemaritiman -industri pengolahan hasil pertanian, peternakan, kehutanan dan perkebunan, termasuk industri makanan dan minuman -industri berbasis tradisi dan budaya, utamanya : industri Jamu, kerajinan kulit-rotan dan kayu (permebelan), rokok kretek, batik dan tenun ikat Peran Kadin Peran Kadin dalam pembangunan dan peningkatan industri nasional dan di daerah pada khususnya ditetapkan dalam beberapa pasal dari UU No. 987 tentang Kadin. Pertama, pasal 7 (bab IV) mengenai fungsi dan kegiatan, khususnya butir-butir berikut ini: (a) penyampaian informasi mengenai permasalahan dan perkembangan perekonomian dunia, yang dapat berpengaruh terhadap kehidupan ekonomin dan dunia usaha nasional, kepada pemerintah dan para pengusaha; (b) penyaluran 2

aspirasi dan kepentingan para pengusaha di bidang perdagangan, perindustrian, dan jasa dalam rangka keikutsertaannya dalam pembangunan di bidang ekonomi; dan (c) penyelenggaraan pendidikan, pelatihan dan kegiatan-kegiatan lain yang bermanfaat dalam rangka pembinaan dan pengembangan kemampuan pengusaha. Kedua, pasal 9 mengenai fungsi (bab IV mengenai fungsi, tugas pokok dan etika bisnis) yang menyatakan sebagai berikut: Kadin berfungsi sebagai wadah dan wahana komunikasi, informasi, representasi, konsultasi, fasilitasi dan advokasi pengusaha, antara para pengusaha dan pemerintah, dan antara para pengusaha dan para pengusaha asing, mengenai hal-hal yang berkaitan dengan masalah perdagangan, perindustrian, dan jasa dalam arti luas yang mencakup seluruh kegiatan ekonomi, dalam rangka membentuk iklim usaha yang bersih, transparan dan profesional, serta mewujudkan sinergi seluruh potensi ekonomi nasional. Sedangkan tugas pokok Kadin ditetapkan di dalam Pasal 0, diantaranya yang sangat penting adalah: (a) memfasilitasi penciptaan sinergi antara pengusaha dalam pemenuhan kebutuhan sumber daya; (b) melaksanakan komunikasi, konsultasi dan advokasi dengan pemerintah dalam rangka mewakili kepentingan dunia usaha; dan (c) mewakili dunia usaha dalam berbagai forum penentuan kebijaksanaan ekonomi. Visi 2030 dan Roadmap 200 Kadin mengenai arah pembangunan industri nasional di masa depan adalah salah satu bagian penting dari peran Kadin selama ini. Di dalam Roadmap tersebut, Kadin mengusulkan enam (6) langkah strategis dan riil sebagai berikut:. Dukungan Insentif fiskal dan pendanaan bagi Peningkatan Investasi dan Daya Saing Industri melalui pembenahan dan modernisasi sarana-prasarana, seperti : Pembangkit Listrik dan Sumber Energi Lainnya, Industri Telekomunikasi, Pengembangan Jalan Tol, Konstruksi, Industri Semen, Baja dan Keramik, Industri Barang Modal dan Mesin Perkakas. 2. Dukungan Finansial bagi Industri Pengolahan Hasil Laut dan Kemaritiman, melalui integrasi antara Pengembangan Klaster Industri Pengolahan Hasil Laut dengan Program Peningkatan Produktivitas Nelayan dan Program Peningkatan Kestabilan Feedstock. Hal ini terkait dengan : Pengembangan Kawasan/Zona Penangkapan Ikan, Klaster Pelabuhan dan Tempat Pelelangan ikan yang menyediakan fasilitas cold storage, SPBU penyedia solar dan bahan bakar bersubsidi bagi perahu nelayan. Pengembangan kapasitas Laboratorium Uji Produk Perikanan di sentra-sentra produksi. Pengembangan Pusat Benih Unggul dan Sentra Produksi Pakan Ikan Budi Daya. Pemberdayaan Industri Perkapalan Dalam Negeri untuk program motorisasi perahu nelayan dan pengembangan Armada Kapal Penangkap Ikan Nasional. 3

3. A. Dukungan prioritas kebijakan ekonomi bagi terwujudnya kemampuan Pengolahan Hasil Pertanian dan Perkebunan di dalam negeri, melalui integrasi antara Klaster Industri Pengolahan Hasil Pertanian dan Perkebunan dengan Program Peningkatan dan Kestabilan Feedstock yang berkualitas tinggi. B. Dukungan Peningkatan Kepastian Hukum dan Jaminan Keamanan untuk Pengembangan Hutan Tanaman Industri serta Pencegahan Illegal Logging, bagi terwujudnya integrasi Industri Kehutanan (Pengolahan Kayu, Pulp & Kertas dan Industri Mebel) dengan jaminan Feedstock Hal ini juga terkait dengan Program Peningkatan Produktivitas Lahan, Penggunaan Benih Unggul, Pupuk Majemuk dan Pupuk Nutrisi, Pembenahan Infrastruktur Irigasi dan Skema Pembiayaan Pertanian. 4. Restrukturisasi, Modernisasi dan Pendalaman Struktur Industri Padat Modal dan Teknologi. Modernisasikan mesin/peralatan produksi Industri Tekstil dan Produk Tekstil. Kembangankan Industri Komponen dan Pendukung (Supporting Industries) Elektronika dan Otomotif. Diperlukan Insentif-insentif untuk Investasi yang berorientasi pada pengembangan Industri Komponen dan Supporting Industry, modernisasi permesinan dan peningkatan kandungan teknologi produk. Misal : modernisasi permesinan untuk Industri Tekstil dan Produk Tekstil, perpindahan Teknologi dari Analog ke Digital untuk Industri Elektronika yang diikuti dengan Pengembangan Industri Komponen dan Supporting Industry. Pengembangan basis global value chain untuk Industri Otomotif. 5. Reorientasi Pendekatan Hubungan Dagang Bilateral, Regional dan Multilateral serta Penguatan Jaring- Jaring Pengaman Pasar Domestik untuk Menciptakan Persaingan yang Adil bagi Pertumbuhan Industri Dalam Negeri Lebih selektif dalam liberalisasi perdagangan internasional dengan memperhatikan kondisi objektif industri dalam negeri, terutama faktor-faktor eksternal yang menghadang perkembangan dunia usaha. Merekomendasikan agar Pemerintah melakukan Langkah-langkah Proaktif untuk mengatur pola kompetisi pasar domestik. Perlindungan Pasar Domestik dari penetrasi barang ilegal (selundupan, barang palsu/tiruan), produk impor yang tidak memenuhi Standar Nasional, Barang-barang Bekas yang Membahayakan Kesehatan dan Lingkungan. 6. Reorientasi Kebijakan Ekspor Produk Bahan Mentah MIGAS dan Non MIGAS. Laksanakan proses shifting kebijakan ekspor bahan mentah, menjadi kebijakan ekspor produk bernilai tambah tinggi melalui proses produksi di dalam negeri Kembangkan klaster Petrokimia terintegrasi yang terdiri dari jejaring Industri Pengolah Crude Oil (Refineries) dan Gas Alam dengan industri Olefin, Aromatik dan Pupuk serta Industri Hilir seperti Tekstil, Plastik sebagai bahan baku Industri Komponen Elektronika, Otomotif, Perkapalan dan Industri 4

Packaging. Bangun industri Bio-Fuel berbasis CPO dan Etanol untuk sustainability sumber energi bagi masa depan industri Kekuatan Daya Saing Industri Daerah Kemampuan atau daerah pada khususnya untuk menembus pasar global atau meningkatkan ekspornya atau memenangi persaingan dengan produk-produk impor ditentukan oleh suatu kombinasi dari sejumlah faktor keunggulan relatif yang dimiliki masing-masing perusahaan di daerah atas pesaingpesaingnya dari negara-negara lain. Dalam konteks ekonomi/perdagangan internasional pengertian daripada keunggulan relatif dapat didekati dengan keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif. Suatu negara atau wilayah memiliki keunggulan bisa secara alami (natural advantages) atau yang dikembangkan (acquired advantages). Keunggulan alami yang dimiliki adalah jumlah tenaga kerja, khususnya dari golongan berpendidikan rendah dan bahan baku yang berlimpah. Kondisi ini membuat upah tenaga kerja dan harga bahan baku di relatif lebih murah dibandingkan di negara-negara lain yang penduduknya sedikit dan miskin SDA. Keunggulan alamih ini sangat mendukung perkembangan ekspor komoditas-komoditas primer seperti minyak dan pertanian dan sebagian besar ekspor manufaktur khususnya yang padat karya dan berbasis SDA (seperti produk-prduk dari kulit, bambu, kayu dan rotan) hingga saat ini. Sedangkan yang dimaksud dengan keunggulan yang dikembangkan adalah misalnya tenaga kerja yang walaupun jumlahnya seidkit memiliki pendidikan atau keterampilan yang tinggi dan penguasaan teknologi sehingga mampu membuat bahan baku sintesis yang kualitasnya lebih baik daripada bahan baku asli, atau berproduksi secara lebih efisien dibandingkan negara lain yang kaya SDA. Inti daripada paradigma keunggulan kompetitif adalah bahwa keunggulan suatu industri di suatu wilayah dalam persaingan global selain ditentukan oleh keunggulan komparatif yang dimilikinya, yang diperkuat dengan proteksi atau bantuan dari pemerintah (terutama pemerintah daerah), juga sangat ditentukan oleh keunggulan kompetitifnya. Faktor-faktor keungggulan kompetitif yang harus dimiliki oleh setiap perusahaan/pengusaha nasional dan Brebes pada khususnya untuk dapat unggul dalam persaingan di pasar dunia adalah diantaranya yang paling penting: ) Penguasaan teknologi dan know-how; 2) SDM (pekerja, manajer, insinyur, saintis) dengan kualitas tinggi, dan memiliki etos kerja, kreativitas dan motivasi yang tinggi, dan inovatif; 3) Tingkat efisiensi dan produktivitas yang tinggi dalam proses produksi; 4) Kualitas serta mutu yang baik dari barang yang dihasilkan; 5) Promosi yang luas dan agresif; 5

6) Sistem manajemen dan struktur organisasi yang baik; 7) Pelayanan teknikel maupun non-teknikel yang baik (service after sale); 8) Adanya skala ekonomis dalam proses produksi; 9) Modal dan sarana serta prasarana lainnya yang cukup; 0) Memiliki jaringan bisnis di dalam dan terutama di luar negeri yang baik; ) proses produksi yang dilakukan dengan sistem just in time; 2) tingkat entrepreneurship yang tinggi, yakni seorang pengusaha yang sangat inovatif, inventif, kreatif dan memiliki visi yang luas mengenai produknya dan lingkungan sekitar usahanya (ekonomi, sosial, politik, dll.), dan bagaimana cara yang tepat (efisien dan efektif) dalam menghadapi persaingan yang ketat di pasar global. 3) Birokrasi yang efisien dan kondusif bagi pengembangan usaha. Secara teoritis (hipotesis), faktor-faktor yang diduga punya pengaruh langsung maupun tidak langsung terhadap kinerja ekspor dapat dibedakan antara faktor-faktor dari sisi permintaan dan faktor-faktor dari sisi penawarannya. Dari sisi permintaan pasar adalah terutama pendapatan dan selera masyarakat dunia (atau negara tujuan ekspor), yang merupakan dua faktor eksternal yang tidak dapat dipengaruhi oleh pengusaha itu sendiri (negara/daerah eksportir), Sedangkan dari sisi penawaran, sebagian adalah faktor-faktor yang hingga tingkat tertentu dapat dipengaruhi oleh pengusaha bersangkutan seperti dalam hal peningkatan SDM, penyediaan modal, dan penguasaan atau pengembangan teknologi. 2 Dari sekian faktor daya saing di atas, kemampuan daerah mengembangkan atau menguasai teknologi, SDM dan kewirausahaan, merupakan tiga faktor terpenting. Dalam proses globalisasi saat ini, dunia kini bergerak semakin cepat menciptakan sistem ekonomi baru yang berbasis pengetahuan, yang umum disebut knowledge economy, dengan terobosan teknologi khususnya di bidang mikroelektronika, bioteknologi, nanoteknologi, telekomunikasi, komputer dan robotik. Sayangnya, hingga saat ini masih lemah dalam penguasaan/pengembangan teknologi. Hal ini ditunjukkan oleh rendahnya posisi di dalam Indeks Pencapaian Teknologi, yakni pada posisi ke 60 dari 63 negara yang masuk di dalam survei. Demikian juga dalam pengembangan SDM, posisi masih rendah di dalam Indeks Pembangunan Manusia (HDI) dari UNDP; misalnya pada tahun 2004 posisi pada peringkat ke 08 dari lebih dari 33 negara yang masuk di dalam penelitiannya (Zuhal, 2008). 2 Baik di sisi permintaan maupun di sisi penawaran, tidak semua faktor-faktor tersebut merupakan variabel-variabel bebas, melainkan terdapat sejumlah interdependent variables, yakni saling mempengaruhi satu sama lainnya. Bahkan saling mempengaruhi antar variabel tidak hanya terjadi di dalam kelompok masing-masing, tetapi juga lintas kelompok. Misalnya, dari sisi permintaan, kebijakan WTO mengenai lingkungan yang dikaitkan dengan perdagangan dunia (misalnya dalam konteks ISO) membuat teknologi dan SDM menjadi dua faktor produksi dari sisi penawaran yang sangat penting. Dalam perkataan lain, apabila perusahaan-perusahaan tidak bisa memenuhi ketetapan-ketetapan yang terkandung di dalam, misalnya ISO 4000 karena kekurangan teknologi dan SDM, maka mereka akan mengalami kesulitan dalam pemasaran produk-produknya di pasar global. 6

Namun demikian, atau daerah pada khususnya tidak akan berhasil mengembangkan ketiga faktor utama tersebut, apabila tidak didukung sepenuhnya oleh perubahan budaya masyarakat di dalam negeri. Sejarah dunia menunjukkan bahwa sebuah masyarakat maju adalah masyarakat yang bisa atau mau membebaskan diri dari dogma dan segala jenis hambatan budaya, yang memudahkan individu-individu di dalam masyarakat tersebut mengembangkan dirinya secara bebas sesuai keterarikannya terhadap profesi tertentu dan kemampuannya. Daya Saing Global versi World Economic Forum (WEF) Kadin juga bekerjasama dengan berbagai lembaga asing dalam upaya meningkatkan daya saing industri pada khususnya dan ekonomi pada umumnya. Salah satunya dengan World Economic Forum di Geneva, sebuah lembaga peringkat daya saing negara di dunia, dalam melakukan survei tahunan di untuk laporan tahunannya mengenai daya saing global. Laporannya tahun 2008, The Global Competitiveness Report 2007-2008, menunjukkan bahwa tingkat daya saing berada pada peringkat ke 54 dari 3 negara yang masuk di dalam sampel survei, dibandingkan peringkat ke 50 dari 25 negara yang disurvei untuk laporan periode 2006-2007 (Tabel ). 3 Tabel : Peringkat Indeks Daya Saing Global (GCI) No 2007-2008 2006-2007 2005-2006 2 3 4 5 6 7 8 9 0 Amerika Serikat Swiss Denmark Sweden Jerman Finlandia Jepang Inggris Belanda Swiss Finlandia Sweden Denmark Amerika Serikat Jepang Jerman Belanda Inggris Amerika Serikat Finlandia Denmark Swiss Jerman Sweden Taiwan, China Inggris Jepang (54) (50) (69) Sumber: WEF (2007, 2006, 2005) Daya saing dalam pengertian WEF ini adalah daya saing suatu negara/ekonomi, bukan daya saing suatu produk. Tentu daya saing yang tinggi dari suatu negara akan sangat membantu daya saing dari produkproduk dari negara tersebut; namun demikian daya saing suatu produk juga ditentukan oleh sejumlah faktor baik internal seperti nilai tukar (walaupun pergerakan nilai tukar tidak sepenuhnya internal), tingkat suku 3 Dalam melakukan survei, WEF bermitra dengan sebuah lembaga di masing-masing negara, dan di bermitra dengan Kadin sejak 996 yang kegiatan surveinya dilakukan oleh Tulus Tambunan hingga saat ini. Untuk laporan 2007-2008 ini, survei di dilakukan pada tahun 2007 dan yang disurvei adalah pengusaha/pimpinan perusahaan/manajer/ceo lebih dari 200 perusahaan dari semua skala usaha di semua sektor ekonomi di hampir semua propinsi di tanah air.. 7

bunga yang mempengaruhi biaya produksi/investasi, produktivitas, dll. dan eksternal seperti struktur pasar global. Metodologi yang digunakan oleh WEF untuk menentukan daya saing global sebuah negara adalah suatu kombinasi antara analisis data sekunder dan data primer yang meliputi sejumlah aspek (lihat pembahasan di bawah) yang secara teoritis dianggap sangat berpengaruh terhadap tingkat daya saing suatu negara/ekonomi, dan dalam penghitungan dengan rumus-rumus tertentu masing-masing aspek/faktor tersebut diberi bobotbobot tertentu yang besarannya didasarkan pada `signifikansi dari pengaruh dari aspek bersangkutan. Data sekunder diambil dari Biro Pusat Statistik (BPS) dan sumber-sumber lainnya, sedangkan data primer adalah hasil survei dari pengusaha-pengusaha seperti yang telah dijelaskan di atas, disebut Executive Opinion Survey. Ada tiga kolompok faktor yang menentukan tingkat daya saing sebuah negara (Gambar ). Pertama, persyaratan-persyaratan dasar seperti kelembagaan, infrastruktur, kondisi ekonomi makro dan tingkat pendidikan serta kesehatan masyarakat. Faktor-faktor ini dianggap sebagai motor utama penggerak proses/pertumbuhan ekonomi. Secara empiris, faktor-faktor ini sudah terbukti berkorelasi positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Kelompok kedua adalah faktor-faktor yang bisa meningkatkan efisiensi (atau produktivitas) ekonomi seperti pendidikan tinggi dan pelatihan (kualitas sumber daya manusia), kinerja pasar yang efisien, dan kesiapan teknologi di tingkat nasional maupun perusahaan secara individu. Kelompok ketiga adalah faktor-faktor inovasi dan kecanggihan proses produksi di dalam perusahaan yang secara bersama menentukan tingkat inovasi suatu negara. Tabel 2 menunjukkan posisi untuk ketiga kelompok faktor tersebut. Untuk persyaratanpersyaratan dasar yang merupakan faktor-faktor kunci penggerak ekonomi, posisi relatif memburuk dari 68 (2006-2007) menjadi 82 (2007-2008). Untuk faktor-faktor kunci peningkatan efisiensi, peringkat 37 dibandingkan 50 setahun yang lalu. Sedangkan untuk faktor-faktor yang menentukan kemampuan suatu negara membuat inovasi, juga sedikit lebih baik, di 34 dibandingkan 4 untuk periode 2006-2007. Dari kelompok faktor-faktor persyaratan dasar, posisi tidak bagus, karena berada di luar 50% pertama dari jumlah negara yang disurvei. Untuk kualitas kelembagaan, jumlah dan kualitas infrastruktur, stabilitas ekonomi makro, dan kesehatan dan pendidikan primer masyarakat, peringkat memburuk tahun ini dibandingkan periode sebelumnya (Tabel 3). Dari kelompok faktor-faktor penggerak efisiensi, posisi tidak tidak tambah bagus, terkecuali untuk luas pasar karena jumlah penduduk sangat besar maka dengan sendirinya skornya termasuk bagus. Tentu untuk luas pasar, tidak bisa dengan sendirinya berada pada peringkat pertama, atau kedua, atau lebih baik daripada 5, karena pendapatan per kapita juga merupakan faktor penting penentu 8

pasar, yang mana masih jauh lebih rendah dibandingkan misalnya, dan (Tabel 4). Gambar : Tiga Kelompok Faktor Utama Penentu Daya Saing Negara versi M. Porter Sumber: WEF (2007) Tabel 2: Tiga Sub-indeks dari GCI Periode Persyaratan dasar Efisiensi Inovasi 2006-007 2007-008 68 82 50 37 Tabel 3: Empat Sub-indeks dari Persyaratan Dasar, Periode Kelembagaan Infrastruktur Stabilitas ekonomi makro Kesehatan & pendidikan primer 2006-007 2007-008 52 63 89 9 57 89 72 78 Tabel 4: Empat Sub-indeks dari Penggerak Efisiensi, Periode Pendidikan tinggi & pelatihan Efisiensi pasar Kesiapan teknologi Luas pasar 2006-007 2007-008 53 65 27 -pasar barang: 23 -pasar buruh: 3 -pasar keuangan: 50 (kecanggihan) 72 75-5 Untuk inovasi dan kecanggihan bisnis, posisi memang masih di dalam 50% pertama dari jumlah negara yang disurvei (Tabel 5). Namun demikian, keadaan masih termasuk buruk. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa adalah sebuah negara besar dengan potensi sumber daya 4 34 9

manusia (SDM) yang sangat besar, yang berarti seharusnya harus lebih unggul dibandingkan misalnya dalam kemampuan membuat berbagai inovasi. Tabel 5: Dua Sub-indeks dari Inovasi, Periode Kecanggihan Bisnis Inovasi 2006-007 2007-008 42 33 37 4. Lebih jelasnya, berada di posisi ke 5 dibandingkan misalnya Malasyia pada peringkat 22 atau pada peringkat 23 dalam hal kemampuan melakukan sendiri inovasi. Peringkat pertama dipegang oleh Jerman. Di dalam kelompok ASEAN,, dan lebih baik dibandingkan (Gambar 2). Hasil survei ini tentu sangat memprihatinkan, karena kemampuan inovasi merupakan salah satu atau mungkin faktor kunci terpenting dalam menentukan kemampuan suatu negara untuk bisa unggul di dalam persaingan di pasar global saat ini, dan terlebih lagi di masa depan. Gambar 2: Kapasitas untuk Inovasi 3 60 56 5 4 23 22 Jerman 0 20 40 60 80 00 20 Kemampuan suatu negara melakukan inovasi tercerminkan oleh kemampuan melakukan inovasi dari perusahaan-perusahaan dan lembaga-lembaga penelitian dan universitas di negara itu. Kemampuan suatu perusahaan melakukan sendiri inovasi, baik produk maupun proses, ditentukan oleh sejumlah faktor, termasuk besarnya pengeluaran atau anggaran yang khusus disiapkan perusahaan untuk membiayai kegiatan-kegiatan pengembangan dan penelitian (atau R&D) di dalam perusahaan. Sedangkan kemampuan lembaga-lembaga R&D melakukan inovasi mencerminkan kualitas dari lembaga-lembaga tersebut. Hipotesisnya sangat sederhana: semakin banyak inovasi bisa dihasilkan oleh sebuah lembaga R&D berarti semakin bagus kualitasnya; atau, kebalikannya, semakin bagus kualitas dari suatu universitas semakin banyak inovasi yang dihasilkannya. Selain itu, hubungan yang erat atau kerjasama yang baik antara lembaga-lembaga R&D (atau universitas) dan dunia usaha, di satu sisi, dan kualitas yang tinggi dari 0

lembaga-lembaga R&D, di sisi lain, membuat semakin besar kemampuan perusahaan-perusahaan melakukan inovasi. Untuk kualitas dari lembaga-lembaga R&D dan besarnya pengeluaran perusahaan untuk membiayai kegiatan R&D di dalam perusahaan, dan di dalam kelompok ASEAN, posisi dibawah dan dan peringkat pertama dipegang oleh Swiss (Gambar 3 dan Gambar 4). Sedangkan untuk kerjasama antara dunia usaha dan akademis, posisi lebih buruk dan di dalam kelompok ASEAN berada di bawah selain dua negara anggota yang sama tersebut juga dibawah. Salah satu contoh dari kerjasama dalam kegiatan R&D yang erat antara dunia akademis dan dunia usaha yang sangat dikenal di dunia adalah di Amerika Serikat (AS), dan memang dalam laporan WEF ini, AS berada pada posisi pertama (Gambar 5). Gambar 3: Kualitas dari Lembaga R&D 8 94 85 45 28 7 3 Swiss 0 20 40 60 80 00 20 40 Gambar 4: Pengeluaran Perusahaan untuk R&D 66 57 53 43 27 0 Swiss 0 0 20 30 40 50 60 70 Dua isu lainnya yang juga menjadi perhatian besar dari survei WEF yang juga sangat erat kaitannya dengan kemampuan negara atau perusahaan melakukan inovasi adalah kemampuan perusahaan menyerap teknologi dan ketersediaan teknologi baru di dalam negeri. Untuk isu pertama itu, posisi di dalam

kelompok ASEAN sangat buruk, hanya di atas (Gambar 6). Sedangkan untuk isu kedua tersebut, di dalam kelompok ASEAN, dibawah, dan (Gambar 7).. Gambar 5: Kerjasama antara Universitas dan Perusahaan 93 78 67 64 28 6 7 AS 0 0 20 30 40 50 60 70 80 90 00 Gambar 6: Kemampuan perusahaan menyerap teknologi 02 67 52 44 46 5 9 Iceland 0 20 40 60 80 00 20 Gambar 7: Ketersediaan teknologi baru 04 84 58 5 4 22 2 Sweden 0 20 40 60 80 00 20 2

Salah satu faktor penting dari persyaratan-persyaratan dasar untuk menggerakkan ekonomi atau mendorong pertumbuhan ekonomi adalah kelembagaan. Seperti yang telah diperlihatkan di Tabel 3, untuk kelembagaan, berada pada peringkat ke 63. Dari aspek kelembagaan, ada sejumlah isu yang disurvei oleh WEF, diantaranya: (a) hak kekayaan (apakah didefinisikan secara baik dan dilindungi oleh undang-undang), (b) perlindungan kekayaan intelektual (apakah perlindungannya kuat dan dijalankan sepenuhnya), (c) kepercayaan masyarakat terhadap kejujuran pejabat dalam hal keuangan, dan (d) kemandirian judisial (dari pengaruh politik dari pejabat pemerintah, masyarakat dan perusahaan). Untuk kelima isu tersebut, seperti hal-hal lainnya, tidak pada posisi teratas dalam kelompok ASEAN (Gambar 8 s/d ). Gambar 8: Hak Kekayaan 5 79 75 50 23 5 Jerman 0 20 40 60 80 00 20 40 Gambar 9: Perlindungan Kekayaan Intelektual 2 0 90 87 44 25 5 Jerman 0 20 40 60 80 00 20 Salah satu yang menarik dari hasil survey perushaaan-perusahaan ini adalah mengenai permasalahanpermasalahan utama yang dihadapi pengusaha-pengusaha di. Seperti yang dapat dilihat di Gambar 2, hasil survei 2006-2007 menunjukkan bahwa menurut 20% dari 23 pengusaha yang mengisih 3

daftar pertanyaan, masalah paling besar adalah keterbatasan infrastruktur. Mereka pada umumnya mengatakan bahwa kualitas jalan raya, transportasi, kereta api, dan fasilitas telekomunikasi serta listrik dibawah nilai rata-rata, yang artinya buruk. Kelompok kedua dan ketiga, masing-masing hampir 5% mengatakan bahwa masalah bisnis terbesar adalah birokrasi pemerintah yang tidak efisien yang mengakibatkan biaya tinggi dan ketidakstabilan politik. Gambaran ini relatif tidak terlalu beruba dengan hasil survei 2007-2008, khususnya dalam dua persoalan terbesar. Seperti yang ditunjukkan di Gambar 3, infrastruktur yang buruk (dalam arti kuantitas terbatas dan kualitas buruk) tetap pada peringkat pertama, dan birokrasi pemerintah yang tidak efisien pada peringkat kedua. Jika dalam survei tahun lalu keterbatasan akses keuangan tidak merupakan suatu problem serius, hasil survei tahun ini masalah itu berada di peringkat ketiga. Gambar 0: Kepercayaan Masyarakat terhadap Pejabat 2 9 67 60 63 52 8 0 20 40 60 80 00 20 40 Gambar : Kemandirian Judisial 8 98 85 73 43 30 9 Jerman 0 20 40 60 80 00 20 40 4

Gambar 2: Masalah-masalah utama dalam melakukan bisnis di, 2006-2007 Memang opini pribadi dari para pengusaha yang masuik di dalam sampel survei mengenai buruknya infrastruktur di dalam negeri selama ini sejalan dengan kenyataan bahwa selalu berada di peringkat rendah, bahkan terendah di dalam kelompok ASEAN. Seperti yang dapat dilihat di Gambar 4, berada di posisi 02, satu poin lebih rendah daripada. Jika dalam survei WEF selama beberapa tahun berturut-turut belakangan ini menempatkan pada posisi sangat buruk untuk infrastruktur, ini berarti memang kondisi infrastruktur di dalam negeri sangat memprihatinkan. Padahal, salah satu penentu utama keberhasilan suatu negara untuk dapat bersaing di dalam era globalisasi dan perdagangan bebas saat ini dan di masa depan adalah jumlah dan kualitas infrastruktur yang mencukupi. Buruknya infrastruktur dengan sendirinya meningkatkan biaya produksi yang pada akhirnya menurunkan daya saing harga dengan konsukwensi ekspor menurun. Konsukwensi lainnya adalah menurunnya niat investor asing (atau PMA) untuk membuka usaha di dalam negeri, dan ini pasti akan berdampak negatif terhadap produksi dan ekspor di dalam negeri. 5

Gambar 3: Masalah-masalah utama dalam melakukan bisnis di, 2007-2008 Kriminal & pencurian 0.5 Etik kerja TK buruk Pajak terlalu besar Pemerintah yang tidak stabil.8 2 2.2 Regulasi uang asing Korupsi 3.7 4.2 Inflasi Keterbatasan tenaga kerja terdidik 5.5 5.6 Regulasi perpajakan tidak kondusif 8 Peraturan ketenaga kerjaan yang restriktif 8.5 Kebijakan tidak stabil Akses terbatas untuk pendanaan 0.7 0.8 Birokrasi tidak efisien 6. Infrastruktur buruk 20.5 0 5 0 5 20 25 Sumber: (WEF, 2007) Gambar 4: Kualitas Infrastruktur 02 0 90 83 28 8 3 Swiss 0 20 40 60 80 00 20 6

Daftar Pustaka Friedman, Thomas L. (2002), Memahami Globalisasi. Lexus dan Pohon Zaitun, Penerbit ITB. Fukuyama, Francis (999), The End of History and The Last Man. Kemenangan Kapitalisme dan Demokrasi Liberal, Edisi Baru, Penerbit Qalam. Giddens, Anthony (200), Runaway World-Bagaimana Globalisasi Merombak Kehidupan Kita, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Halwani, R. Hendra (2002), Ekonomi Internasional dan Globalisasi Ekonomi, Jakarta: Penerbit Ghalia. Khor, Martin(2002), Globalisasi & krisis Pembangunan Berkelanjutan, Seri Kajian Global, Yogyakarta, Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas. Naisbitt, John (997), Megatrends Asia 2000, London: Nicholas Brealey Publishing. Porter, M.E. (980), Competitive Strategy, New York: Free Press. Porter, M.E. (998a), The Competitive Advantage of Nations: With a New Introduction, New York: The Free Press. Porter, M.E. (998b), On Competition, Boston: Harvard Business School Press.WEF (2004), The Global Competitiveness Report 2004-2005, Oxford University Press. Tambunan, Tulus (2004), Globalisasi dan Perdagangan Internasional, Jakarta: Ghalia. Tambunan, Tulus (2006), Perekonomian Sejak Orde Lama hingga Pasca Krisis, Jakarta: Pustaka Quantum. Toffler, Alvin (980), Future Shock, London: Pan Book Ltd. WEF (2005), The Global Competitiveness Report 2005-2006, Geneva: World Economic Forum WEF (2006), The Global Competitiveness Report 2006-2007, Geneva: World Economic Forum WEF (2007), The Global Competitiveness Report 2007-2008, Geneva: World Economic Forum Zuhal (2008), Kekuatan Daya Saing, Jakarta: Kompas. 7