4. HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
1. PENDAHULUAN. Spesies ikan malalugis atau juga disebut layang biru (Decapterus

STRUKTUR GENETIKA POPULASI IKAN MALALUGIS BIRU (Decapterus macarellus Cuvier, 1833) DI SEKITAR SULAWESI BERDASARKAN MT-DNA MARKER

Analisis Struktur Populasi Tiga Species Layang..di Laut Jawa dan Sekitar Sulawesi ( Suwarso & A. Zamroni)

3. METODE PENELITIAN

STRUKTUR GENETIKA POPULASI IKAN MALALUGIS (Decapterus macarellus) DI PERAIRAN SEKITAR PULAU SULAWESI BERDASARKAN MT-DNA MARKER

Suwarso. Kata kunci: unit stok, Selat Makasar, layang, malalugis, pengelolaan, pelagis kecil

III. HASIL DAN PEMBAHASAN M

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 4. Hasil Amplifikasi Gen FSHR Alu-1pada gel agarose 1,5%.

Sebaran Unit Stok Ikan Layang. Pengelolaan Ikan Pelagis Kecil di Pulau Jawa (Suwarso & A. Zamroni)

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 5. Hasil Amplifikasi Gen Calpastatin pada Gel Agarose 1,5%.

PENDAHULUAN Latar Belakang

Ikan Kakap merah (Red Snapper), Lutjanus malabaricus, adalah salah satu ikan

HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN Latar Belakang

Gambar 1. Diagram TS

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

ANALISIS KERAGAMAN GENETIK BEBERAPA POPULASI IKAN BATAK (Tor soro) DENGAN METODE RANDOM AMPLIFIED POLYMORPHISM DNA (RAPD) 1

BAB I PENDAHULUAN. Segara Anakan merupakan ekosistem mangrove dengan laguna yang unik dan

KERAGAMAN GENETIK IKAN TUNA MATA BESAR (Thunnus obesus) DI SAMUDERA HINDIA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENGANTAR. Latar Belakang. Itik yang dikenal saat ini adalah hasil penjinakan itik liar (Anas Boscha atau

HASIL DAN PEMBAHASAN. divisualisasikan padaa gel agarose seperti terlihat pada Gambar 4.1. Ukuran pita

HASIL DAN PEMBAHASAN. Amplifikasi Gen Pituitary-Specific Positive Transcription Factor 1 (Pit1) Exon 3

Gambar 1.1. Variasi pada jengger ayam

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

FENOMENA UPWELLING DAN KAITANNYA TERHADAP JUMLAH TANGKAPAN IKAN LAYANG DELES (Decapterus Macrosoma) DI PERAIRAN TRENGGALEK

PEMBAHASAN UMUM Evolusi Molekuler dan Spesiasi

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan satu dari sedikit tempat di dunia dimana penyu laut

2.1. Ikan Kurau. Klasiflkasi ikan kurau (Eleutheronema tetradactylum) menurut. Saanin (1984) termasuk Phylum chordata, Class Actinopterygii, Genus

BAB I PENDAHULUAN. di udara, darat, maupun laut. Keanekaragaman hayati juga merujuk pada

2 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3260); 2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the La

BAB I PENDAHULUAN. ikan, sebagai habitat burung-burung air migran dan non migran, berbagai jenis

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

I. PENDAHULUAN. Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1.1 Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN. Banteng (Bos javanicus d Alton 1823) merupakan salah satu mamalia

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. (FAO, 2016a) dan produksi dua jenis udang yaitu Litopenaeus vannamei dan Penaeus

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang

II. TELAAH PUSTAKA. 6. Warna buah Buah masak fisiologis berwarna kuning (Sumber : diolah dari berbagai sumber dalam Halawane et al.

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

terdistribusi pada seluruh strata kedalaman, bahkan umumnya terdapat dalam frekuensi yang ringgi. Secara horisontal, nilai target strength pada

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

KARAKTERISTIK FISIKA KIMIA PERAIRAN DAN KAITANNYA DENGAN DISTRIBUSI SERTA KELIMPAHAN LARVA IKAN DI TELUK PALABUHAN RATU NURMILA ANWAR

HASIL DAN PEMBAHASAN. Amplifikasi Daerah D-loop M B1 B2 B3 M1 M2 P1 P2 (-)

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI

ANALISIS VARIASI GENOTIPE IKAN KELABAU (Osteochilus kelabau) DENGAN METODE MITOKONDRIA-RESTRICTION FRAGMENT LENGTH POLYMORPHISM (RFLP)

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Keadaan Umum Lokasi Penelitian

PRAKIRAAN HARIAN TINGGI GELOMBANG 5 HARI KE DEPAN 22 Januari 2016 s/d 27 Januari 2016 BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Management of Farm Animal Genetic Resources. Tujuannya untuk melindungi dan

BAB I PENDAHULUAN. Burung anggota Famili Columbidae merupakan kelompok burung yang

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Kalimantan Tengah

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Salinitas pada Indomix Cruise

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. mahoni dan mimba. Hasil seleksi primer yang dilakukan terhadap 13 primer spesifik dari

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18/PERMEN-KP/2014 TENTANG WILAYAH PENGELOLAAN PERIKANAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. organisme laut yang sangat tinggi sehingga menjadikan Indonesia salah satu negara

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini berisikan latar belakang, perumusan masalah, tujuan, batasan masalah, dan sistematika penulisan. 1.

STUDI TENTANG GENETIKA POPULASI IKAN TUNA MATA BESAR (Thunnus obesus) HASIL TANGKAPAN TUNA LONGLINE YANG DIDARATKAN DI BENOA BUDI NUGRAHA

I. PENDAHULUAN. dan pengurangan kemiskinan. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu

GENETIKA POPULASI Manta alfredi (Krefft, 1868) ANTARA RAJA AMPAT, PULAU KOMODO DAN NUSA PENIDA BERDASARKAN DNA MITOKONDRIA

Migrasi Ikan Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya

PENDUGAAN MUSIM IKAN MALALUGIS BIRU (Decapterus macarellus) DI PERAIRAN SEKITAR LIKUPANG, SULAWESI UTARA.

HASIL DAN PEMBAHASAN. Amplifikasi Gen GH Exon 2

HASIL DAN PEMBAHASAN

2011) atau 25,10% ternak sapi di Sulawesi Utara berada di Kabupaten Minahasa, dan diperkirakan jumlah sapi peranakan Ongole (PO) mencapai sekitar 60

HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi DNA Mikrosatelit

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan dengan populasi manusia yang

I. PENDAHULUAN. hayati sangat tinggi (megabiodiversity). Keanekaragaman hayati adalah. kekayaan plasma nutfah (keanekaragaman genetik di dalam jenis),

II. BAHAN DAN METODE

5. PEMBAHASAN 5.1 Sebaran Suhu Permukaan laut dan Klorofil-a di Laut Banda Secara Spasial dan Temporal

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Indonesia

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR KEP. 45/MEN/2011

HASIL DAN PEMBAHASAN

KONDISI PERIKANAN TANGKAP DI WILAYAH PENGELOLAAN PERIKANAN (WPP) INDONESIA. Rinda Noviyanti 1 Universitas Terbuka, Jakarta. rinda@ut.ac.

BAB I PENDAHULUAN. Udang merupakan komoditas unggul Indonesia. Udang windu (Penaeus

PENENTUAN DAERAH POTENSIAL PENANGKAPAN IKAN CAKALANG(Katsuwonus pelamis) BERDASARKAN SEBARAN SPL DAN KLOROFIL DI LAUT FLORES SKRIPSI

PRAKIRAAN HARIAN TINGGI GELOMBANG 7 HARI KEDEPAN

HUBUNGAN BOBOT PANJANG IKAN TUNA MADIDIHANG Thunnus albacares DARI PERAIRAN MAJENE SELAT MAKASSAR SULAWESI BARAT Wayan Kantun 1 dan Ali Yahya 2

5 PEMBAHASAN 5.1 Kondisi Perairan di Kabupaten Barru

4 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Simpulan 6 PEMBAHASAN UMUM

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang s

PEMBAHASAN Variasi Gen COI dan Gen COII S. incertulas di Jawa dan Bali

PRAKIRAAN HARIAN TINGGI GELOMBANG 5 HARI KE DEPAN 07 Februari 2016 s/d 12 Februari 2016 BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

Evolusi, Spesiasi dan Kepunahan

Transkripsi:

35 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keragaman Haplotipe Ikan Malalugis Panjang sekuens mtdna ikan malalugis (D. macarellus) yang diperoleh dari hasil amplifikasi (PCR) dengan menggunakan pasangan primer HN20 dan LN20 adalah sekitar 1.000 bp (base pairs). Panjang sekuens ini sama dengan panjang sekuens yang diperoleh pada penelitian ikan malalugis yang dilakukan oleh Arnaud et al. (1999) pada perairan Maluku dan Banda dengan menggunakan pasangan primer yang sama. Penelitian yang dilakukan Suwarso et al. (2009) terhadap spesies D. russelli dan D. macrosoma dengan menggunakan pasangan primer HN20 dan LN20 juga menghasilkan panjang sekuens sekitar 1.000 bp. Hal ini mengindikasikan bahwa pasangan primer yang digunakan merupakan primer spesifik untuk ikan genus Decapterus. Gambar 8. Contoh visualisasi hasil pemotongan sekuen mtdna D-loop ikan layang biru (D.macarellus) oleh enzim Mbo I dan Rsa I. Dari enam enzim restriksi (Alu I, Hind III, Mbo I, Rsa I, Taq I dan Xba I) yang digunakan untuk memotong sekuens mtdna ikan malalugis, semuanya dapat memberikan situs pemotongan. Contoh visualisasi situs pemotongan terdapat pada Gambar 8. Tipe-tipe haplotipe yang diperoleh dari hasil restriksi 35

36 dapat teridentifikasi 6 jenis alel atau composite haplotype, yaitu AAAAAA, AAAABA, AAAAAB, BAABAC, BABCAC dan BAABCC (Tabel 2.). Tabel 2. Frekuensi haplotipe ikan malalugis (D. macarellus) hasil restriksi dengan menggunakan enzim Alu I, Hind III, Mbo I, Rsa I, Taq I dan Xba I. Haplotype Selat Sulawesi Makassar Bone Flores Banda Tolo Maluku Tomini AAAAAA 4 10 10 10 9 8 8 7 AAAABA 3 AAAAAB 1 BAABAC 1 BABCAC 2 BAABCC 1 N-Sample 8 13 10 10 9 8 8 8 N-Haplotype 4 2 1 1 1 1 1 2 Jumlah tipe komposit haplotipe terendah terdapat pada populasi Bone, Flores, Banda, Tolo dan Maluku (satu tipe), sedangkan jumlah tipe komposit haplotipe tertinggi terdapat pada populasi Sulawesi (4 tipe). Jumlah tipe komposit haplotipe akan berpengaruh terhadap keragaman genetik dalam suatu populasi, semakin banyak jumlah tipe komposit haplotipe, keragaman akan semakin tinggi, begitu pula sebaliknya. Berdasarkan komposisi haplotipe dari ikan malalugis dapat diketahui bahwa tipe komposit haplotipe AAAAAA terdapat pada semua populasi. Seperti telah diketahui bahwa eksploitasi perikanan pelagis kecil terutama untuk spesies ikan Malalugis di perairan sekitar Sulawesi telah berlangsung lebih dari 40 tahun, dan tiap tahun nilai eksploitasi cenderung mengalami peningkatan. Hal ini mengindikasikan bahwa ikan malalugis yang mempunyai tipe komposit haplotipe AAAAAA bersifat lebih adaptif dengan lingkungan di perairan sekitar Pulau Sulawesi dan lebih tahan terhadap tekanan baik dari lingkungan berupa rusaknya habitat maupun eksploitasi perikanan.

37 Nilai keragaman haplotipe (haplotype diversity) ikan malalugis yang diperoleh berkisar antara 0 0,3698, dengan nilai terendah (0) pada populasi Bone, Flores, Banda, Tolo dan Maluku (Tabel 3.). Tingkat keragaman haplotipe ikan malalugis ini lebih rendah jika dibandingkan dengan nilai keragaman ikan laut pada umumnya yaitu berkisar antara 0,600 0,900 (Nugroho et al., 2001). Menurut Avise et al. (1989) dalam Tabata et al. (1997) menyebutkan bahwa keragaman haplotipe keseluruhan mtdna untuk beberapa ikan berada dalam kisaran 0,473 0,998. Rendahnya nilai keragaman haplotipe pada ikan malalugis menunjukkan keragaman genetika yang rendah pula. Rendahnya keragaman genetika mengindikasikan bahwa sumberdaya dari ikan malalugis terjadi perubahan struktur genetika menjadi lebih seragam. Diduga ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan ini. Faktor pertama adalah bahwa ikan malalugis merupakan ikan layang yang bersifat oseanik dan peruaya sehingga mempunyai jalur migrasi yang cukup luas. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya silang dan percampuran genetika antar populasi, sehingga seiring berjalannya waktu, variasi/keberagaman ikan malalugis menjadi berkurang. Faktor yang kedua adalah adanya tekanan penangkapan/eksploitasi yang intensif terhadap spesies ikan malalugis. Eksploitasi secara intensif telah berjalan selama hampir 40 tahun di berbagai perairan. Hal ini menegaskan kepada kita pentingnya pengelolaan yang bijak dalam konteks kelestarian biodiversitas sumberdaya melalui pengendalian upaya penangkapan yang benar. Selain itu, upaya penangkapan yang berlebihan dapat menyebabkan penyempitan habitat yang berdampak pada semakin rendahnya keragaman genetika. Menurut Wilson dan Clarke (1996), eksploitasi yang semakin meningkat dan tekanan terhadap lingkungan dapat menyebabkan terjadi penurunan kelimpahan stok dan rata-rata ukuran ikan; seleksi genetika yang

38 merugikan terhadap fekunditas yang potensial; mengurangi rata-rata ukuran memijah; mengubah rasio jenis kelamin dan keseimbangan interspesifik; serta hilangnya diversitas genetika. Terutama pada unit-unit populasi yang mempunyai keragaman genetika sangat rendah (h=0) seperti pada populasi Flores, Banda dan Sulawesi, unit-unit populasi tersebut sangat rentan terhadap perubahan-perubahan (penangkapan, alam). Menurut Zein (2007) menyatakan bahwa, eksploitasi dapat menyebabkan peningkatan laju genetic drift, selain itu, populasi yang kecil cenderung akan terjadi kawin silang dalam (inbreeding), sehingga hal tersebut dapat berdampak buruk terhadap kelangsungan hidup dari populasi yang ada. Indikasinya adalah turunnya keragaman genetik dalam populasi, yaitu turunnya keragaman haplotipe dan keragaman nukleotida (Zein, 2007). Adanya penurunan variabilitas genetik ini dapat membahayakan kelangsungan hidup populasi karena dapat mengurangi kemampuan individual dalam menghadapi tekanan seleksi alamiah, terutama akibat perubahan lingkungan (Hedrick, 2000). Tabel 3. Keragaman genetik (diversitas haplotype, h) sekuen mtdna D-loop dari tujuh populasi ikan layang biru (D. macarellus) hasil restriksi oleh enzim restriksi Alu I, Hind III, Mbo I (Nde II), Rsa I, Taq I dan Xba I. No Tipe Frekuensi haplotype (%) Komposit Selat Haplotipe Sulawesi Makassar Bone Flores Banda Tolo Maluku Tomini 1 AAAAAA 0,5 0,7 1 1 1 1 1 0,875 2 AAAABA 0,3 3 AAAAAB 0,125 4 BAABAC 0,125 5 BABCAC 0,25 6 BAABCC 0,125 N-alele 4 2 1 1 1 1 1 2 Haplotype 0,3698 0,0700 0 0 0 0 0 0,0365 Diversity

39 Nilai tertinggi keragaman haplotipe ikan Malalugis pada penelitian ini terdapat pada populasi Sulawesi, yaitu sebesar 0,3698 (Tabel 3). Tingginya nilai keragaman haplotipe diduga disebabkan oleh adanya pengaruh dari populasi yang berasal dari Samudera Pasifik, atau bisa juga karena spesies ikan Malalugis di Sulawesi mempunyai sifat dapat beradaptasi secara plasticity (kelenturan). Pengaruh dari populasi yang berasal dari Samudera Pasifik diduga disebabkan oleh adanya arus yang mengalir dari Samudera Pasifik menuju Sulawesi melalui percabangan Selatan Mindanao ke arah Baratdaya. Arus tersebut dibelokkan ke selatan kemudian ketika sampai di bagian tengah laut dibelokkan ke Timur dan kembali mengalir ke Timur di sepanjang pantai Utara Sulawesi (Hasanudin, 1998). Walaupun pengaruh arus terhadap ikan dewasa masih diperdebatkan, akan tetapi arus tersebut berpengaruh terhadap larva ikan. Suatu spesies yang mampu beradaptasi secara plasticity akan menghasilkan variasi baik fenotip maupun genotip sebagai respon terhadap kondisi lingkungan tertentu sehingga dapat meningkatkan kemampuan individu untuk tetap bertahan hidup dan berkembang biak (Sultan, 1987; Taylor dan Aarsen, 1989). 4.2. Analisis Berpasangan Fst Analisis statistika dengan menggunakan AMOVA (Analysis of Moleculer Variances) dalam perangkat lunak TFPGA, analisis berpasangan Fst menunjukkan bahwa terdapat perbedaan genetika yang cukup signifikan antara populasi Sulawesi dengan ketujuh populasi lainnya (Tabel 4). Perbedaan ini menunjukkan bahwa struktur populasi ikan malalugis dari Sulawesi berasal dari sub-spesies yang berbeda, sehingga memperkuat dugaan bahwa populasi ikan malalugis Sulawesi berasal dari populasi Samudera Pasifik, sedangkan ketujuh populasi lainnya diduga mempunyai kecenderungan berasal dari populasi Samudera Hindia. Williams et al. (2002) menyatakan bahwa

40 secara umum terdapat perbedaan genetika antara spesies Samudera Pasifik dengan Samudera Hindia. Tabel 4. Hasil analisis antar populais ikan malalugis berdasarkan metode jarak berpasangan (Fst). Populasi Sulawesi Selat Makassar Bone Flores Banda Tolo Maluku Tomini Sulawesi - Selat Makassar 0,0000 s - Bone 0,0000 s 0,6619 ns - Flores 0,0000 s 0,6238 ns 1,0000 ns - Banda 0,0000 s 0,6222 ns 1,0000 ns 1,0000 ns - Tolo 0,0000 s 0,7063 ns 1,0000 ns 1,0000 ns 1,0000 ns - Maluku 0,0000 s 0,6508 ns 1,0000 ns 1,0000 ns 1,0000 ns 1,0000 ns - Tomini 0,0000 s 0,3808 ns 0,9717 ns 0,9716 ns 0,9796 ns 0,9991 ns 0,9991 ns - Keterangan: ns ) tidak beda nyata (P > 0,05) s ) beda nyata (P < 0,05) 4.3. Jarak Genetika Jarak genetika dihitung dengan menggunakan metode dari Nei dan Tajima (1981) berdasarkan situs pemotongan dari enam enzim restriksi. Semakin kecil nilai jarak genetika yang diperoleh, maka semakin dekat pula hubungan kekerabatan antara kedua populasi tersebut, demikian pula sebaliknya. Berdasarkan nilai dari jarak genetika dapat ditentukan pula dendrogram hubungan kekerabatan antar populasi. Pada Tabel 5 dapat diketahui bahwa jarak genetika terdekat adalah antara Bone, Flores, Banda, Tolo dengan Maluku (0,0000). Hal ini mengindikasikan bahwa kelima populasi tersebut berasal dari

41 asal atau stok populasi yang sama, disamping itu secara geografis ketiga populasi tersebut saling berhubungan, sehingga memungkinkan terjadinya gene flow (aliran gen). Arnaud et al. (1999) menyebutkan bahwa pada populasi Banda dengan Maluku terjadi gene flow terhadap spesies ikan malalugis. Populasi Tomini, Selat Makassar dan Sulawesi mempunyai nilai jarak genetika dengan populasi lainnya. Akan tetapi populasi Tomini dan Selat Makassar jarak genetiknya sangat dekat dengan populasi Maluku, Tolo, Banda, Flores dan Bone hal ini menunjukkan bahwa populasi dari Tomini dan Selat Makassar mempunyai kekerabatan yang dekat dengan kelima populasi tersebut. Jarak terjauh diketahui berasal dari populasi Sulawesi dengan ketujuh populasi lainnya (0,1405 0,1733), sehingga hal ini semakin memperkuat indikasi bahwa populasi Sulawesi berbeda dengan tujuh populasi yang lain. Tabel 5. Jarak genetika Nei antar populasi ikan malalugis Populasi Sulawesi Selat Makassar Bone Flores Banda Tolo Maluku Tomini Sulawesi - Selat Makassar 0,1733 - Bone 0,1438 0,0150 - Flores 0,1438 0,0150 0,0000 - Banda 0,1438 0,0150 0,0000 0,0000 - Tolo 0,1438 0,0150 0,0000 0,0000 0,0000 - Maluku 0,1438 0,0150 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 - Tomini 0,1405 0,0186 0,0025 0,0025 0,0025 0,0025 0,0025 -

42 4.4. Struktur Genetika Populasi dan Hubungan Kekerabatan (Filogenetik) Berdasarkan dendrogram hubungan kekerabatan dari kedelapan populasi ikan malalugis dapat dipisahkan menjadi dua group populasi yang berasal dari dua garis keturunan mtdna, yaitu group pertama (clade 1) terdiri dari populasi Selat Makassar, Bone, Flores, Banda, Tolo, Maluku dan Tomini; sedangkan group ke-dua (clade 2) terdiri dari populasi Sulawesi (Gambar 9). Diduga populasi group pertama berasal atau terpengaruh dari populasi Samudera Hindia, sedangkan populasi group kedua berasal atau terpengaruh dari populasi Samudera Pasifik. Gordon dan Fine (1996) menyebutkan bahwa sampai saat ini terjadi pertukaran gen antara organisme tropis di Samudera Hindia dengan Samudera Pasifik. Dalam populasi group pertama terbagi menjadi dua sub populasi, yaitu sub populasi Selat Makassar dengan sub populasi Bone, Flores, Banda, Tolo, Maluku dan Tomini. Sub populasi dari Selat Makassar secara statistik (analisis berpasangan) dan jarak genetika termasuk dalam populasi group pertama, akan tetapi ada sedikit perbedaan pada sub populasi Selat Makassar tersebut. Perbedaan tersebut diduga karena masuknya ikan dari populasi group ke-dua ( Sulawesi) ke Selat Makassar melalui perantaraan arus permukaan laut yang bergerak dari Sulawesi ke Selat Makassar sepanjang tahun (Gambar 10 dan Gambar 11). Hal tersebut menyebabkan dua kemungkinan, yang pertama adalah ikan dari populasi Sulawesi bercampur dengan ikan berhaplotipe AAAAAA di Selat Makassar, sehingga memunculkan haplotipe baru. Kemungkinan yang kedua adalah ikan dari populasi Sulawesi masuk ke Selat Makassar dan mengalami adaptasi plasticity, sehingga memunculkan

43 43

44 haplotipe baru. Gaylord dan Gaines (2000) menjelaskan bahwa arus laut dapat mempengaruhi distribusi populasi, perubahan atau perbedaan karakteristik air yang dapat mempengaruhi fisiologi organisme untuk selanjutnya mempengaruhi struktur genetikanya. Gambar 10. Pola arus air permukaan laut pada musim barat, a. Rizal et al. (2009) dan b. Wrytki (1961) Gambar 11. Pola arus air permukaan laut pada musim timur, a. Rizal et al. (2009) dan b. Wrytki (1961) Populasi Bone, Flores, Banda, Tolo, Maluku dan Tomini berasal dari satu unit stok (mempunyai stok yang sama). Hal ini terjadi karena kelima populasi tersebut diduga merupakan jalur migrasi dari ikan layang biru. Walaupun berasal daru unit stok yang sama, populasi

45 Tomini sedikit berbeda dengan lima populasi lainnya ( Bone, Flores, Banda, Tolo dan Maluku) tapi masih mempunyai kekerabatan yang dekat. Adanya sedikit perbedaan tersebut diduga di perairan Tomini terdapat populasi ikan malalugis yang bersifat lokal. Populasi di perairan Tomini yang bersifat lokal tersebut disebabkan perairan Tomini bersifat semi tertutup (semi enclosed), sehingga memungkinkan spesies dalam perairan tersebut terisolasi. Disamping itu, dalam sejarah geologi Pulau Sulawesi di masa lampau (zaman Pleistosen) tidak pernah bersatu dengan daratan manapun (Hall, 2001), Pulau Sulawesi merupakan pulau yang berdiri sendiri dan bukan merupakan pecahan dari pulau lain, seperti Pulau Kalimantan dan Sumatera. Kekerabatan yang dekat antara populasi Tomini dengan populasi dari Maluku, Tolo, Banda dan Flores dikarenakan stok dari populasi 4 perairan tersebut sebagian masuk ke dalam Tomini sehingga populasinya mengalami percampuran dengan populasi lokal ikan malalugis di Tomini. Tingkat keragaman genetika yang rendah merupakan ciri ikan pelagis yang memiliki kebiasaan migrasi jauh. Hasil analisis menunjukkan bahwa Ikan malalugis yang berhaplotipe AAAAAA mempunyai penyebaran yang luas karena terdapat di semua perairan lokasi penelitian. Penyebaran yang luas ini menunjukkan bahwa ikan malalugis dapat bermigrasi secara luas pula. Faktorfaktor yang mempengaruhi ikan untuk bermigrasi ada dua macam, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal salah satunya adalah karena keseimbangan metabolik, yaitu untuk mencari makan. Penyebaran ikan malalugis berhaplotipe AAAAAA dari perairan timur Sulawesi menuju Selat Makassar sampai Sulawesi diduga karena mencari makan. Proses migrasi ini terjadi sekitar musim barat dan peralihan I, dimana menurut hasil penelitian Realino et al. (2006) mengenai pola kesuburan permukaan air laut Indonesia tahun 2002 2006 berdasarkan musim diketahui bahwa pada musim barat dan

46 peralihan I perairan Selat Makassar cenderung lebih subur dari pada perairan timur Sulawesi ( Maluku, Banda dan Flores) (Gambar 12). Faktor eksternal adalah arus laut, terutama arus permukaan laut, karena arus laut mempunyai peranan penting dalam penyebaran larva-larva ikan (Fahmi, 2010). Seperti pada keterangan sebelumnya, masuknya populasi ikan Sulawesi ke Selat Makassar diduga karena arus. Sub populasi Tomini juga didominasi ikan malalugis berhaplotipe AAAAAA (populasi group pertama), hal ini karena masuknya sub populasi ikan Maluku melalui perantaraan arus yang mengalir menuju Tomini pada musim timur (Burhanuddin et al., 2004) (Gambar 13), selain itu pada daerah sekitar mulut teluk mempunyai kandungan klorofil yang tinggi pada musim timur (BRPL 2005). Persebaran ikan malalugis berhaplotipe AAAAAA pada perairan Flores dan Maluku juga disebabkan oleh faktor mencari makan (internal) dan juga faktor arus (eksternal). Pada Gambar 12 dapat diketahui bahwa kandungan klorofil-a di perairan timur Pulau Sulawesi lebih besar/subur daripada perairan barat Pulau Sulawesi. Sedangkan pola arus di Flores menurut Gambar 10 dan 11 menunjukkan bahwa pada musim barat dan musim timur arus mengalir menuju ke arah timur ( Banda), walaupun pada musim timur arus tersebut melemah karena ada pengaruh arus ke arah barat di selatan Pulau Sulawesi.

47

48 Gambar 13. Pola arus permukaan laut di Tomini pada saat musim timur (Burhanuddin et al., 2004). Berdasarkan sasil analisis DNA dan analisis data dapat diperoleh struktur populasi ikan malalugis di perairan sekitar Pulau Sulawesi seperti pada Gambar 14. Pada gambar tersebut juga ditampilkan hasil dari penelitian Arnaud et al. (1999). Warna yang sama pada gambar tersebut menunjukkan hubungan kekerabatan antar populasi ikan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Arnaud et al. (1999) pada spesies dan metode yang sama menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara populasi D. macarellus di Maluku dengan Banda. Tidak adanya perbedaan tersebut terjadi karena adanya aliran gen yang terjadi pada Maluku dan Banda. Aliran gen tersebut diduga karena adanya arus yang disebut South Pacific Thermocline mengalir dari Maluku ke Banda. Di Banda arus tersebut bertemu dengan arus North Pacific Thermocline yang bergerak dari Selat Makassar menuju Banda melalui Flores (Gambar 15).

Gambar 14. Struktur genetika populasi ikan malalugis di perairan sekitar Pulau Sulawesi. Keterangan: = ikan malalugis haplotipe AAAAAA = ikan malalugis haplotipe BAABAC = ikan malalugis haplotipe BABCAC = ikan malalugis haplotipe BAABCC = ikan malalugis haplotipe AAAABA = ikan malalugis haplotipe AAAAAB = Hasil penelitian Arnaud et al. (1999) 49

50 Gambar 15. Pola arus diperairan sekitar Sulawesi dan Maluku (Green et al., 2004)