1.1 Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN. Banteng (Bos javanicus d Alton 1823) merupakan salah satu mamalia

Transkripsi

1 BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Banteng (Bos javanicus d Alton 1823) merupakan salah satu mamalia besar yang hidup di Pulau Jawa. Menurut Alikodra (1823), satwa berkuku genap ini mempunyai peranan penting bagi kehidupan manusia sejak 1000 tahun sebelum masehi, yakni sebagai sumber protein, bahan peralatan dan penutup tubuh. Banteng juga berperan dalam siklus hara dan berpengaruh terhadap komposisi komunitas tumbuhan. Pada awal abad 18 Banteng tersebar merata di Pulau Jawa, namun kini hanya ada di hutan-hutan yang terfragmentasi (Pudyatmoko, 2004). International Union for Conservation of Nature (IUCN) telah menetapkan Banteng sebagai satwa liar yang terancam punah (endangered). IUCN (2013) menyatakan bahwa populasi Banteng terancam oleh kehilangan habitat dan perburuan liar. Kondisi tersebut terjadi pada hampir semua lokasi persebaran populasi Banteng di Pulau Jawa, termasuk di Taman Nasional Meru Betiri (TNMB) dan Taman Nasional Alas Purwo (TNAP). Di kedua taman nasional yang lokasinya berdekatan tersebut, terjadi proses kehilangan habitat dan perburuan liar. Kehilangan habitat di TNMB terjadi karena pembalakan liar dan perambahan hutan. Pada tahun terjadi parambahan hutan yang sangat intensif sehingga menyebabkan ha lahan hutan alam primer di TNMB menjadi gundul (Antara, 2011). Kerusakan habitat Banteng juga terjadi di TNAP sehingga menjadi ancaman serius bagi kelestarian populasi Banteng (Pudyatmoko, 2004). 1

2 Populasi Banteng di Pulau Jawa juga terancam oleh predasi Ajag (Cuon alpinus) (Pudyatmoko, 2004). Perburuan liar oleh manusia terhadap Banteng juga semakin masif dilakukan di Pulau Jawa. Jika biasanya pemburu menggunakan jerat dan tombak, kini pemburu mulai nekat menggunakan racun untuk membunuh Banteng. Di Taman Nasional Meru Betiri, 2 ekor Banteng ditemukan mati diracun pada 2007 (Tempo, 2007). Banteng biasanya diburu untuk diambil daging dan kepalanya. Kehilangan habitat dan perburuan tersebut membuat ukuran populasi Banteng makin berkurang. Ukuran populasi dan fragmentasi habitat dapat berpengaruh terhadap kelestarian suatu spesies. Ukuran populasi kecil akan semakin rentan terhadap kepunahan. Hal tersebut terkait dengan faktor demografi, faktor lingkungan dan faktor genetik (Mills dkk., 2012). Fragmentasi hutan juga mempengaruhi kelestarian spesies. Hal ini karena fragmentasi dapat meningkatkan isolasi dan menurunkan ukuran populasi (Lindemayer dan Fischer, 2006). Isolasi suatu habitat dapat menurunkan laju migrasi sehingga mengancam kelestarian spesies. 1.2 Rumusan Masalah Ukuran populasi kecil yang ada di TNMB dan TNAP akan berdampak pada laju kepunahan. Menurut Frankham dkk., (2002), populasi kecil akan mengakibatkan adanya tekanan kawin sanak (inbreeding depresion) dan berkurangnya keragaman genetik. Hilangnya keragaman genetik pada populasi yang berukuran kecil dapat membatasi kemampuan spesies untuk menghadapi perubahan lingkungan seperti parasit, kompetitor, predator, siklus iklim seperti El 2

3 Nino dan La Nina serta perubahan iklim global. Spesies akan punah jika gagal dalam menghadapi lingkungan baru tersebut. Oleh karena itu, spesies harus berevolusi, dan untuk berevolusi dibutuhkan keragaman genetik. Populasi kecil yang tidak memiliki keragaman genetik yang cukup untuk menghadapi perubahan lingkungan jangka panjang akan lebih rentan terhadap ancaman kepunahan. Alel langka maupun kombinasi alel yang tidak umum (yang pada saat ini mungkin tidak memberi keuntungan apapun) dapat dijadikan sebagai modal dalam menghadapi perubahan lingkungan sehingga terhindar dari kepunahan (Indrawan dkk., 2007). Menurut Mac.Kinnon (1982 dalam van Balen (2000), semua hutan di Pulau Jawa telah terfragmentasi dan terisolasi satu sama lain. Kondisi serupa juga terjadi di TNMB dan TNAP. Sebelum Perang Dunia Kedua, hutan Meru Betiri masih tersambung dengan hutan Alas Purwo, namun pembangunan pertanian telah memutus sambungan ini (Whitten dkk., 1996). Berdasarkan pengukuran jarak dengan aplikasi Google earth, kedua kawasan tersebut terpisah sekitar 40 km. Menurut Santosa (2007), Banteng mempunyai daya jelajah hingga 21,1 km. Banteng merupakan salah satu spesies dalam famili bovidae. Spesies-spesies dalam famili Bovidae cenderung memiliki perilaku male biased dispersal, di mana pejantan cenderung lebih sering bergerak sementara betina lebih sering berdiam diri di area tertentu dalam jangka waktu yang lama (Greenwood, 1980). Banteng betina kemungkinan mempunyai kecenderungan untuk menetap di lokasi kelahirannya seperti halnya spesies dalam famili Bovidae lainnya. 3

4 Kondisi di atas membuat populasi Banteng yang ada di TNMB dan TNAP kemungkinan telah terpisah. Populasi yang terpisah akan menyebabkan terjadinya perbedaan keragaman genetik antar populasi. Perilaku Banteng betina yang menetap diduga akan menyebabkan adanya keragaman pada daerah DNA mitokondria antar kedua populasi tersebut. DNA mitokondria diwariskan secara maternal tanpa mengalami rekombinasi, oleh karenanya anakan akan memiliki DNA mitokondria yang sama dengan induk betinanya yang biasa disebut sebagai haplotype (Freeland, 2005). Keragaman genetik dapat diukur dengan menganalisis daerah D-loop DNA mitokondria. Daerah D-loop pada DNA mitokondria dapat digunakan untuk mengkaji keragaman dan struktur genetik populasi pada suatu jenis satwa. Daerah tersebut merupakan bagian dari genom mitokondria yang paling bervariasi dibandingkan dengan daerah lainnya (Solihin, 1994). Pengukuran keragaman genetik satwa liar yang terancam punah membutuhkan pendekatan tersendiri karena populasinya kecil dan sulit ditemui. Penggunaan metode non-invasive sampling merupakan pendekatan yang dapat digunakan untuk menganalisis genetika satwa liar. Metode ini merupakan teknik pengumpulan materi genetik satwa tanpa menangkap atau memegang dan melukai satwa itu sendiri (Taberlet dkk., 1999). Sampel yang dikumpulkan adalah materi genetik satwa yang telah ditinggalkan seperti, cangkang telur, bulu, feses dan lainlain. Dengan demikian, metode ini tidak akan mengganggu satwa dan dapat digunakan pada spesies yang sulit ditangkap dan ditemukan, seperti Banteng. Menurut Gardipee (2007), metode non-invasive sampling berupa pengumpulan feses telah terbukti berhasil digunakan dalam penelitian genetik pada beberapa 4

5 spesies Ungulata seperti Capra ibex, Ovis musimo, Ovis canadensis dan Bison bison. Permasalahan lain dalam konservasi Banteng adalah adanya kontroversi klasifikasi subspesies Banteng. Banteng terdiri dari 3 subspesies, yaitu Bos javanicus javanicus yang berada di Pulau Jawa, Bos javanicus birmanicus yang ada di daratan Asia dan Bos javanicus lowi yang ada di Kalimantan. Pembagian tiga subspesies tersebut mendapatkan tentangan dari beberapa peneliti yang menganggap bahwa Banteng di Kalimantan mestinya dinamakan Bos javanicus javanicus seperti halnya Banteng di Jawa (Timmins dkk., 2008). Hal ini berbeda dengan temuan Meijaard (2004) yang menyatakan bahwa berdasarkan analisis morfometrik, Banteng Jawa justru lebih dekat hubungan kekerabatannya dengan Banteng Asia daripada dengan Banteng Kalimantan. Karena DNA merupakan unit dasar informasi yang mengkode organisme maka perlu dipelajari bagaimana hubungan kekerabatan antar tiga subspesies tersebut berdasarkan analisis genetik. DNA mitokondria bersifat khusus karena diturunkan melalui induk betina tanpa mengalami rekombinasi. Sifat tersebut membuat DNA mitokondria dapat digunakan dalam analisis filogenetik (Solihin, 1994). Salah satu manfaat dari analisis filogenetik adalah dapat diketahuinya hubungan kekerabatan antar populasi atau spesies. Pengukuran keragaman genetik dan hubungan kekerabatan Banteng penting sebagai dasar perencanaan dan manajemen konservasi di masa mendatang. Oleh karenanya, dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut; 5

6 1. Bagaimana keragaman genetik Banteng di TNMB dan TNAP berdasarkan sekuen D-loop DNA mitokodria, 2. Bagaimana hubungan kekerabatan Banteng Jawa dengan Banteng Kalimantan dan Banteng Asia 1.3 Tujuan Tujuan penelitian ini adalah untuk: 1) mengetahui keragaman genetik Banteng di Taman Nasional Meru Betiri dan Taman Nasional Alas Purwo berdasarkan sekuen D-loop DNA mitokondria, dan 2) mengetahui hubungan kekerabatan Banteng Jawa dengan Banteng Kalimantan dan Banteng Asia berdasarkan sekuen D-loop DNA mitokondria. 6