4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "4. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pelapisan Massa Air di Perairan Raja Ampat Pelapisan massa air dapat dilihat melalui sebaran vertikal dari suhu, salinitas dan densitas di laut. Gambar 4 merupakan sebaran menegak dan melintang dari suhu di perairan Raja Ampat. (a) (b) Gambar 4. Penampang melintang (a) dan Profil menegak (b) suhu di perairan Raja Ampat Penampang melintang suhu di perairan Raja Ampat (Gambar 4 (a)) memiliki variasi vertikal yang berkisar antara 7 o C sampai 31 o C pada tiap-tiap stasiun, dari sebaran tersebut dapat dibagi menjadi lapisan teraduk, lapisan termoklin dan lapisan dalam. Kedalaman lapisan teraduk dan termoklin di masing-masing stasiun memiliki rentang kedalaman yang tidak jauh berbeda dan memiliki pola yang sama pada tiap-tiap stasiun. Secara vertikal (Gambar 4 (b)) suhu perairan Raja Ampat semakin menurun seiring dengan bertambahnya kedalaman. Kedalaman lapisan teraduk mencapai 45 m sedangkan ketebalan lapisan termoklin mencapai 28 m dan batas antara termoklin bawah dengan

2 lapisan dalam yaitu pada kedalaman 329 m. Pelapisan yang jelas ini juga menggambarkan bahwa perairan tersebut dapat dikatakan perairan yang stabil. (a) (b) Gambar 5. Penampang melintang (a) dan Profil menegak (b) salinitas di perairan Raja Ampat Gambar 5 merupakan penampang melintang dan menegak dari salinitas pada stasiun pengamatan di perairan Raja Ampat. Dari Gambar 5 (a) dapat dilihat bahwa sebaran vertikal salinitas dari masing-masing stasiun dapat dibagi menjadi beberapa kedalaman yang seragam pada tiap-tiap stasiun. Kedalaman m 6 m merupakan lapisan permukaan yang memiliki besar salinitas seragam dengan nilai yang lebih kecil. Kedalaman 6 m 342 m merupakan lapisan haloklin dimana terdapat perubahan salinitas yang tajam berdasarkan kedalaman dengan rata-rata perubahan salinitas,95 psu/m. Pada kedalaman dibawah 342 m nilai salinitas mulai mengecil dan menjadi lebih stabil seiring dengan bertambahnya kedalaman. Perairan di sekitar khatulistiwa memiliki salinitas yang lebih rendah dibandingkan di daerah lintang tinggi, dimana rata-rata salinitas pada perairan Raja Ampat yaitu 34,7 psu hal ini dikarenakan pada daerah sekitar khatulistiwa

3 memiliki curah hujan yang cukup tinggi sehingga mengurangi salinitas di perairan tersebut. Stasiun 3 memiliki kisaran salinitas 33,8 psu 35,3 psu, stasiun 4 memiliki nilai salinitas berkisar antara 33,7 psu dan 35,4 psu, stasiun 5 memiliki nilai salinitas tertinggi 35,4 psu dan terendah 33,9 psu dan stasiun 6 memiliki kisaran salinitas 34, psu sampai 35,3 psu. Tabulasi mengenai pelapisan massa air di perairan Raja Ampat ditunjukkan oleh tabel 1. Tabel 1. Nilai rata-rata suhu dan salinitas pada setiap lapisan di masing-masing stasiun perairan Raja Ampat Suhu ( o C) Salinitas (psu) Stasiun Permukaan (45 m) Termoklin (269 m) Termoklin (282 m) batas batas batas batas batas bawah atas bawah atas bawah 3 29,73 28,98 1,66 34,3 34,7 4 29,79 29,36 12,79 34,1 34,8 5 29,48 28,76 13,57 34,4 34,7 6 29,54 28,35 13,31 34,2 34,8 4.2 Internal Mixing Shear Vertikal Arus Secara umum shear vertikal arus di perairan Raja Ampat di masingmasing stasiun memiliki pola yang berbeda, yaitu pada stasiun 3 dan 4 (Gambar 6 (a) dan (b)) shear vertikal arus menunjukkan variasi yang kecil di lapisan permukaan kemudian mulai meningkat pada kedalaman 2 m 4 m, dengan keadaan maksimum pada kedalaman 29 m untuk stasiun 3 dan kedalaman 31 m untuk stasiun 4, kemudian keadaan kembali mengecil pada kedalaman dibawah 4 m. Pada stasiun 5 shear vertikal arus meningkat seiring dengan bertambahnya kedalaman, dengan nilai shear tertinggi yaitu pada kedalaman 55 m (Gambar 6 (c)). Keadaan shear vertikal arus di stasiun 6 dapat dikatakan lebih kecil nilainya dibandingkan dengan ketiga stasiun lainnya, dimana pada stasiun 6 nilai shear vertikalnya relatif merata pada setiap kedalaman, pada stasiun 6 kedalaman dengan nilai shear tertinggi berada pada kedalaman 48 m.

4 (a) (b) (c) (d) Gambar 6. Penampang menegak shear vertikal arus (s -1 ) pada setiap stasiun

5 Gambar 7. Distribusi melintang shear vertikal arus (s -1 ) Secara garis besar gradien komponen arus terhadap kedalaman mulai meningkat pada kedalaman 2 m. Pada stasiun 3 shear vertikal yang terjadi berkisar antara s -1 sampai 5,1892 s -1, kisaran shear vertikal arus pada stasiun 4 yaitu antara s -1 dan 6,5399 s -1. Stasiun 5 memiliki kisaran nilai shear vertikal tertinggi yaitu,672 s -1 sampai 6,987 s -1 sedangkan pada stasiun 6 merupakan shear vertikal arus dengan kisaran terendah yaitu sampai 4,189 s -1. Dari Gambar 6 dan Gambar 7, pada stasiun 5 mengindikasikan terjadinya pergerakan arus yang besar pada lapisan di bawah 4 m dibandingkan pada lapisan teraduk atau lapisan atas kemudian pada stasiun 4 pergerakan arus terbesar yaitu pada kedalaman 3 m 35 m karena semakin besar perubahan kecepatan komponen arus terhadap kedalaman maka semakin besar pula nilai shear arus yang terjadi (Persamaan 3). Daerah pengamatan yang berupa selat sempit dengan kedalaman ratarata serta dasar perairan yang tidak rata merupakan salah satu penyebab shear vertikal yang besar, selain itu perbedaan massa air yang mengisi perairan Raja Ampat juga berpengaruh terhadap perubahan arah arus di lapisan dalam perairan.

6 4.2.2 Frekuensi Apung Dari profil densitas pada Gambar 8 terlihat bahwa nilai densitas bertambah seiring dengan bertambahnya kedalaman. Kedalaman m 47 m merupakan lapisan permukaan, 47 m 234 m merupakan lapisan piknoklin dan lebih dari 234 m merupakan lapisan dalam. Daerah piknoklin merupakan daerah dimana terjadi perubahan densitas yang sangat besar sehingga daerah piknoklin akan memberikan nilai frekuensi apung yang lebih tinggi dibandingkan dengan lapisan lainnya karena nilai frekuensi apung dipengaruhi oleh gradien densitas suatu perairan, merujuk pada persamaan 1 yaitu semakin besar beda densitas pada suatu lapisan perairan maka semakin besar pula nilai frekuensi apungnya. Daerah piknoklin akan menjadi penghalang lewatnya air secara vertikal antara kolom permukaan dengan kolom air di bawahnya yang merupakan daerah dengan stratifikasi lebih lemah. Gambar 8. Profil menegak densitas pada stasiun 3 6 di perairan Raja Ampat. Gambar 9 menunjukkan penampang melintang dari frekuensi apung di perairan Raja Ampat, ditunjukkan bahwa frekuensi apung memiliki nilai yang kecil

7 pada lapisan permukaan kemudian lebih besar pada kedalaman 8 m 15 m dan kembali mengecil pada lapisan dibawahnya. Gambar 9. Distribusi melintang frekuensi apung (s -1 ) di perairan Raja Ampat Dari Gambar juga terlihat bahwa nilai frekuensi apung dari satu stasiun ke stasiun lain menunjukkan pola sebaran yang sama namun memiliki kisaran yang berbeda. Stasiun 3 memiliki nilai frekuensi apung berkisar antara 7,3 x 1-5 s -1 sampai 4,4 x 1-2 s -1 dengan frekuensi apung tertinggi pada kedalaman 142 m, stasiun 4 berkisar antara 1,73 x 1-4 s -1 sampai 3,3 x 1-2 s -1 dengan frekuensi tertinggi berada pada kedalaman 87 m. Stasiun 5 memiliki nilai frekuensi apung tertinggi pada kedalaman 92 m dengan nilai 5,1 x 1-2 s -1 dan terendah 1,88 x 1-4 s -1. Pada stasiun 6 memiliki kisaran frekuensi apung antara 1,32 x 1-4 s -1 dan 4,44 x 1-2 s -1 dengan frekuensi apung tertinggi pada kedalaman 16 m. Profil menegak frekuensi apung pada setiap stasiun dapat dilihat di Lampiran Bilangan Richardson Bilangan Richardson merupakan rasio antara frekuensi apung dengan shear vertikal arus suatu perairan. Dari Gambar 1 terlihat bahwa seluruh

8 lapisan air memiliki warna yang seragam dengan nilai kurang dari,25. Menurut Emery (25) dan Muench (2) intensitas pencampuran yang besar di mulai saat bilangan Richardson turun di bawah,25 hingga 1. Artinya pada Gambar 1 seluruh lapisan perairan mengalami pencampuran ditunjukkan dengan warna ungu dan biru yang bernilai dibawah,25. Gambar 1. Distribusi melintang bilangan Richardson di perairan Raja Ampat Pada Gambar 1 juga menunjukkan nilai bilangan Richardson yang lebih besar pada kedalaman antara 1 m dan 2 m, walaupun daerah tersebut masih berada di bawah,25 namun frekuensi apungnya menekan aktivitas turbulensi lebih besar di lapisan tersebut sehingga memberikan nilai bilangan Richardson yang lebih besar karena semakin besar bilangan Richardson maka pencampuran akan semakin kecil (persamaan 4). Pada lapisan permukaan pengaruh gelombang dan angin yang dominan mengaduk lapisan tersebut, sedangkan pada lapisan dalam terjadi pergerakan arus yang besar ditandai dengan nilai shear arus yang besar sehingga memberikan nilai bilangan Richardson yang lebih kecil. Kisaran bilangan Richardson pada masing-masing stasiun adalah sebagai berikut, pada stasiun 3 nilai bilangan Richardson terbesar yaitu,336

9 yang terdapat pada kedalaman 143 m, pada stasiun 4 bilangan Richardson tertinggi yaitu,45 kemudian pada stasiun 5 kedalaman 111 m memiliki bilangan Richardson tertinggi sebesar,73 dan pada stasiun 6 kisaran bilangan Richardson mencapai 1,445 pada kedalaman 144 m. Profil menegak bilangan Richardson pada setiap stasiun dapat dilihat di Lampiran Koefisien Difusivitas Eddy Vertikal (K v ) Koefisien difusivitas eddy vertikal didapatkan dengan menggunakan parameterisasi dari bilangan Richardson, dimana koefisien difusivitas eddy berbanding terbalik dengan bilangan Richardson. Nilai dari koefisien difusivitas eddy menggambarkan besarnya proses pencampuran akibat turbulensi, semakin besar nilainya maka proses pencampuran akan semakin besar pula. Berdasarkan perhitungan (persamaan (6) dan (7)) diperoleh hasil sebaran melintang seperti pada Gambar 11. Gambar 11. Distribusi melintang koefisien difusivitas eddy (m 2 /s) perairan Raja Ampat Sebaran melintang dari koefisien difusivitas eddy dari seluruh stasiun menunjukkan pada lapisan permukaan yaitu kedalaman m 4 m koefisien difusivitas eddy memiliki nilai yang besar hal ini dapat diartikan terjadi

10 pencampuran yang besar karena pengaruh angin yang dominan mencampur lapisan permukaan, kemudian pada lapisan piknoklin nilai koefisien difusivitas eddy mengecil terutama pada stasiun 6 di kedalaman 15 m 2 m dan kembali membesar pada lapisan di bawah piknoklin, kemudian pada kedalaman dibawah 57 m nilai koefisien eddy kembali mengecil dimana keadaan perairan sudah lebih stabil dari aktivitas pencampuran. Kisaran nilai koefisien difusivitas eddy pada masing-masing stasiun yaitu pada stasiun 3 memiliki kisaran nilai koefisien difusivitas eddy antara 3,234 x 1-3 m 2 /s dan 5,143 x 1-3 m 2 /s, pada stasiun 4 nilai koefisien dfusivitas eddy berkisar 2,967 x 1-3 m 2 /s sampai,721 m 2 /s sedangkan kisaran nilai koefisien difusivitas eddy pada stasiun 5 yaitu 5,1 x 1-3 m/s 2 2 x 1-3 m 2 /s sedangkan pada stasiun 6 memiliki nilai koefisien terendah yaitu 3,1 x 1-5 m 2 /s dan koefisien tertinggi sebesar 5,122 x 1-3 m 2 /s. Profil menegak Koefisien difusivitas eddy pada setiap stasiun dapat dilihat di Lampiran Alih Bahang Vertikal (Q z ) Dari hasil perhitungan estimasi alih bahang di perairan Raja Ampat pada kedalaman 3 m - 64 m didapatkan hasil seperti pada Gambar 12, secara keseluruhan nilai alih bahang yang dialihkan secara vertikal antara kolom air berkisar antara -35,4722 W/m 2 sampai 239,8686 W/m 2. Berdasarkan Gambar 12 pengalihan bahang terbesar terjadi pada kedalaman 1 m - 2 m yang merupakan lapisan termoklin terutama pada batas-batas antara lapisan termoklin atas dan termoklin bawah dimana terdapat gradien suhu yang besar pada kedalaman tersebut. Pada kedalaman 2 m - 3 m walaupun memiliki nilai koefisien difusivitas eddy yang besar namun nilai alih bahang pada lapisan ini lebih kecil nilainya dikarenakan perbedaan suhu

11 yang kecil pula pada lapisan tersebut dan sebaran suhunya secara horizontal pun cukup seragam. Gambar 12. Distribusi melintang alih bahang (W/m 2 ) perairan Raja Ampat. Pada lapisan dalam ( > 4 m) dimana suhu perairan sudah lebih stabil memberikan nilai alih bahang yang kecil. Pada lapisan teraduk yang memiliki aktivitas pencampuran yang cukup besar memberikan nilai alih bahang yang kecil akibat dari gradien suhu yang kecil pula dimana pada lapisan teraduk suhu perairan sudah lebih seragam. Nilai alih bahang di perairan Raja Ampat memiliki sebaran vertikal yang bervariasi pada tiap-tiap stasiun. Namun, secara garis besar memiliki pola yang sama yaitu bernilai kecil di lapisan permukaan kemudian membesar pada lapisan termoklin dan kembali mengecil pada lapisan dalam. Pada stasiun 3 nilai alih bahang mencapai 237,6586 W/m 2 dengan pengalihan tertinggi berada pada kedalaman 142 m, pada stasiun 4 kisaran alih bahangnya adalah -29,512 W/m 2 149,755 W/m 2 merupakan kisaran terkecil dibandingkan stasiun yang lain. Stasiun 5 memiliki kisaran alih bahang yang tertinggi yaitu -31,1431 W/m 2 sampai 239,8686 W/m 2 dengan pengalihan bahang pada kedalaman 92 m

12 sedangkan pada stasiun 6 pengalihan bahang tertinggi yaitu 188,8957 W/m 2 pada kedalaman 24 m dan terendah -35,4722 W/m 2. Berikut ini merupakan tabulasi dari hasil perhitungan rata-rata pengalihan bahang melalui proses turbulensi. Pengalihan bahang rata-rata terbesar ditunjukkan tabel 2 yaitu pada stasiun 4 dan yang terendah yaitu pada stasiun 5. Selain itu dari tabel 2 juga dapat dilihat hubungan antara alih bahang dengan beberapa parameter turbulensi yang dilakukan. Dalam perhitungannya pengalihan bahang dipengaruhi oleh koefisien pencampuran, kapasitas bahang dan gradien suhu, dimana gradien suhu memberikan pengaruh yang langsung terhadap pengalihan bahang yaitu semakin besar perbedaan suhu terhadap kedalaman maka semakin besar pula bahang yang dialihkan. Tabel 2. Perhitungan rata-rata beberapa parameter alih bahang di perairan Raja Ampat pada masing-masing stasiun Stasiun Shear (s -1 ) Frekuensi Apung (s -1 ) Bilangan Richardson Koef.Difusi Eddy (m 2 /s) Alih Bahang (W/m 2 ) T ( o C) 3 1,958,7253,795,556 2,1975, ,265929,7626,941,548 2,55893, ,4784,7256,723,563 18,686, ,914968,731,672, ,77652,37765 Simp.baku,254857,179,2628 3,21E-5,944252,849 Berikut ini merupakan perbandingan alih bahang pada perairan Raja Ampat, Laut Flores dan Selat Ombai (Tabel 3). Jika dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan di perairan selat Ombai dan Laut Flores oleh Siregar tahun 27, pengalihan bahang melalui turbulensi di perairan Raja Ampat memiliki nilai yang lebih besar, hal ini dikarenakan Perairan Raja Ampat adalah salah satu jalur masuk massa air dari Samudera Pasifik menuju Samudera Hindia yang melalui perairan Indonesia sehingga pencampuran dan pengalihan

13 bahangnya masih lebih besar dibandingkan pada perairan selat Ombai maupun Laut Flores yang merupakan jalur keluar massa air dari perairan Indonesia ke Samudera Hindia dimana asupan bahangnya telah tercampur sebelum memasuki selat Ombai maupun Laut Flores di perairan selat Malaka dan sekitarnya. Tabel 3. Pencampuran vertikal dan alih bahang pada kedalaman 194 m hingga 241 m di Perairan Raja Ampat (November 27), Laut Flores dan Selat Ombai (Mei 25) Alih Lokasi Stasiun Kv (m 2 /s) Bahang (W/m 2 ) T/ z ( o C/m) Perairan Raja Ampat 3 5,8 x 1-3 2,9 4,4 x ,1 x ,34 6,6 x ,8 x ,2 6,7 x ,7 x ,5 8,72 x 1-2 Laut Flores 1 1,13 x 1-5 2,7 5,83 x ,5 x 1-5 2,46 5,71 x ,9 x 1-5 2,43 5,45 x ,2 x 1-5 2,8 4,98 x ,5 x 1-5 2,31 5,4 x 1-2 Selat Ombai 1,12 x 1-5 1,42 3,39 x 1-3 Perbandingan dilakukan pada kedalaman 194 m hingga 241 m dengan waktu pengambilan data yang berbeda. Pengambilan data di Perairan raja Ampat dilakukan pada November 27 sedangkan pengambilan data di Laut Flores dan Selat Ombai dilakukan pada Mei 25. Perbedaan waktu pengambilan data juga berpengaruh terhadap hasil pengalihan bahangnya yang berkaitan dengan musim, bulan Mei termasuk dalam musim peralihan 1 menuju musim timur dan bulan November merupakan musim peralihan 2 menuju musim barat dimana asupan panas dari matahari lebih banyak. Selain itu daerah pengamatan berupa selat sempit pada perairan Raja Ampat dibandingkan dengan Laut Flores yang lebih luas memberikan pola arus

14 pada perairan Raja Ampat lebih kompleks sehingga memberikan shear vertikal yang lebih besar dibandingkan dengan perairan selat Ombai maupun Laut Flores yang memicu proses pencampuran dan pengalihan bahang. 4.3 Difusi Ganda Difusi ganda memliki peranan yang penting dalam menyebabkan pencampuran air laut (mixing), merubah distribusi suhu dan salinitas secara regional dan membentuk formasi finestructure yang berskala kecil dari variasi vertikal pada suhu dan salinitas (Ffield, 24). Penelitian ini untuk melihat bagaimana aktivitas difusi ganda di perairan Raja Ampat serta pengaruhnya terhadap pertukaran bahang dalam perairan. Salah satu cara untuk mengetahui aktivitas difusi ganda adalah dengan sudut Turner Sudut Turner Sudut Turner dipengaruhi oleh perbedaan salinitas dan suhu terhadap kedalaman, semakin besar gradien suhu dan salinitasnya maka semakin besar aktivitas difusi ganda yang terjadi di perairan tersebut. Untuk penyajian jumlah difusi ganda yang terjadi pada perairan Raja Ampat dibagi menjadi beberapa kedalaman, yaitu pada lapisan permukaan dengan kedalaman m - 6 m, lapisan haloklin yaitu pada kedalaman 61 m 342 m dan pada lapisan dalam yaitu kedalaman lebih dari 342 m. Gambar 13 menunjukkan jumlah difusi ganda yang terjadi berdasarkan sudut Turner pada kedalaman m 6 m dan Gambar 14 merupakan penggambaran nilai sudut Turnernya. Pada kedalaman ini di dominasi oleh keadaan stabil dengan sudut Turner -45 o sampai 45 o dan yang paling sedikit adalah aktivitas Salt fingering lemah. Hal ini dikarenakan pada kedalaman tersebut pengaruh angin masih besar sehingga pengadukan perairan

15 Jumlah menyebabkan suhu maupun salinitas menjadi seragam sampai kedalaman tertentu Stasiun Diffusive Layering Kuat Diffusive Layering lemah Stabil Salt Fingering Lemah Salt Fingering Kuat Gambar 13. Jumlah difusi ganda yang terjadi berdasarkan sudut Turner pada kedalaman m 6 m Nilai Tu pada kedalaman - 6 m Stasiun Nilai Tu pada kedalaman - 6 m Stasiun Nilai Tu pada kedalaman - 6 m Stasiun Nilai Tu pada kedalaman - 6 m Stasiun Gambar 14. Nilai sudut Turner pada kedalaman 6 m di masing-masing stasiun perairan Raja Ampat

16 Jumlah Aktivitas diffusive Layering lemah dan diffusive Layering kuat paling banyak terjadi pada stasiun 4 sedangkan aktivitas salt fingering kuat banyak terjadi pada stasiun 5 dimana stasiun 5 merupakan stasiun yang paling sedikit keadaan stabilnya dibandingkan stasiun lain. Stasiun 3 merupakan stasiun yang terbanyak keadaan stabilnya sedangkan stasiun 6 merupakan stasiun yang paling sedikit aktivitas difusi gandanya. Aktivitas difusi ganda yang diamati selanjutnya adalah pada kedalaman 61 m 342 m yang merupakan lapisan haloklin (Gambar 15) dimana sebagian besar aktivitas difusi ganda yang terjadi adalah aktivitas salt fingering lemah yaitu sudut Turner dengan nilai 45 o 67,5 o hal ini terjadi pada setiap stasiun walaupun untuk stasiun 4 dan 5 masih didominasi oleh keadaan stabil namun aktivitas salt fingering lemah pada kedua stasiun ini hampir menyamai keadaan stabil. Kemudian diikuti oleh aktivitas salt fingering kuat yang juga banyak terjadi pada setiap stasiun dengan jumlah yang merata pada masing-masing stasiun Diffusive Layering Kuat Diffusive Layering lemah Stabil Salt Fingering Lemah Salt Fingering Kuat stasiun Gambar 15. Jumlah difusi ganda yang terjadi berdasarkan sudut Turner pada kedalaman 61 m 342 m

17 Untuk penggambaran nilai dari sudut Turner pada kedalaman 61 m 342 m ditunjukkan oleh Gambar 16. Nilai Tu pada kedalaman m Stasiun Nilai Tu pada kedalaman m Stasiun Nilai Tu pada kedalaman m Stasiun Nilai Tu pada kedalaman m Stasiun Gambar 16. Nilai sudut Turner pada kedalaman m di masing-masing stasiun perairan Raja Ampat Hal tersebut di atas dapat terjadi karena pada kedalaman ini ( m) merupakan daerah haloklin dimana perbedaan salinitas terjadi sangat besar terhadap perbedaan kedalaman, juga dikarenakan pada lapisan ini merupakan tempat pertemuan dua massa air, yaitu massa air yang bersalinitas maksimum yaitu massa air dari South Pacific Subtropical Water (SPSW) dan massa air bersalinitas minimum South Pacific Intermediete Water (SPIW) pada lapisan dibawahnya. Pembagian massa air di perairan Raja Ampat dapat dilihat pada Gambar 17.

18 . Gambar 17. Diagram TS karakteristik massa air di perairan Raja Ampat (P2O- LIPI, 29) Adanya massa air yang bersalinitas maksimum yang berada di atas massa air bersalinitas minimum memungkinkan untuk terjadinya aktivitas difusi ganda. Menurut Pond dan Pickard (1991) serta Stewart (23) peristiwa salt fingering ini terjadi jika ada lapisan air yang hangat dan salin, dan lapisan air dibawahnya lebih dingin serta kurang salin dibandingkan lapisan atasnya, dimana densitas air yang berada di atas lebih kecil atau sama dengan dibawahnya, maka air yang lebih salin pada peralihan tersebut akan kehilangan bahangnya menuju ke air yang lebih dingin di bawahnya, bahangnya akan lebih cepat hilang atau berpindah dibandingkan kehilangan garamnya. Jika perbedaan densitas antara kedua lapisan tersebut kecil, air yang lebih salin di atas akan menjadi lebih berat sehingga akan turun ke lapisan bawahnya yang lebih dingin dan kurang salin. Lapisan air yang dingin dan kurang salin menerima bahang lebih cepat dibandingkan garam sehingga menjadi lebih ringan untuk naik ke lapisan atasnya.

19 Jumlah Berikutnya adalah aktivitas difusi ganda di perairan dalam ( dibawah 342 m) yang ditunjukkan oleh Gambar 18 dan Gambar 19 di bawah ini Diffusive Layering Kuat Diffusive Layering lemah Stabil Salt Fingering Lemah Salt Fingering Kuat Stasiun Gambar 18. Jumlah difusi ganda yang terjadi berdasarkan sudut Turner pada kedalaman > 342 m. Nilai Tu pada kedalaman > 342 m Stasiun Nilai Tu pada kedalaman > 342 m Stasiun Nilai Tu pada kedalaman > 342 m Stasiun Nilai Tu pada kedalaman > 342 m Stasiun Gambar 19. Nilai sudut Turner pada kedalaman > 342 m di masing-masing stasiun perairan Raja Ampat

20 Untuk kedalaman lebih dari 342 m (Gambar 18 dan 19) aktivitas salt fingering lemah masih cukup banyak terjadi pada beberapa stasiun yang diimbangi juga oleh keadaan stabil pada stasiun lainnya, terutama pada stasiun 4 keadaan stabil mendominasi keadaan perairan. Walaupun aktivitas salt fingering lemah banyak terjadi pada lapisan ini dan bahkan pada stasiun 3 dan 6 jumlahnya mendominasi tetapi jumlah tersebut masih lebih kecil jika dibandingkan dengan aktivitas salt fingering yang terjadi pada lapisan haloklin ( 61 m 342 m). Pada kedalaman ini jumlah diffusive layering lemah menjadi aktivitas difusi ganda yang paling sedikit di semua stasiun, kemudian diikuti oleh aktivitas diffusive layering kuat dan salt fingering kuat. Pada kedalaman ini suhu mulai menurun seiring kedalaman dan salinitasnya meningkat seiring bertambahnya kedalaman, dapat dikatakan kondisi normal perairan.

21 Jumlah Gambar 2 merupakan gambaran jumlah aktivitas difusi ganda yang terjadi secara keseluruhan pada perairan Raja Ampat. Secara keseluruhan nilai sudut Turner yang terbanyak yaitu dalam keadaan stabil, walaupun pada stasiun 3 dan 6 di dominasi oleh keadaan salt fingering lemah namun keadaan stabil masih lebih banyak terjadi di perairan Raja Ampat. Keadaan salt fingering lemah mencapai 1788 kejadian, aktivitas salt fingering kuat 637 kejadian diikuti oleh aktivitas diffusive layering kuat 261 kejadian dan yang terendah adalah aktivitas diffusive layering lemah yaitu 231 kejadian Stasiun 5 6 Diffusive Layering Kuat Diffusive Layering lemah Stabil Salt Fingering Lemah Salt Fingering Kuat Gambar 2. Jumlah difusi ganda yang terjadi berdasarkan sudut Turner pada setiap stasiun Untuk melihat nilai sudut Turner terhadap kedalaman perairan di masingmasing stasiun perairan Raja Ampat ditunjukkan pada Gambar 21.

22 Nilai Tu Stasiun Nilai Tu Stasiun Nilai Tu Stasiun Nilai Tu Stasiun Gambar 21. Nilai sudut Turner terhadap kedalaman pada masing-masing stasiun di perairan Raja Ampat.

23 4.3.2 Alih Bahang Vertikal Dengan adanya aktivitas difusi ganda yang terjadi cukup banyak di perairan Raja Ampat dapat menyebabkan terjadinya alih bahang secara vertikal pada kolom perairan. Perbedaan suhu antara lapisan-lapisan air tersebut akan membuat lapisan air yang lebih hangat berpindah ke lapisan yang lebih dingin. Untuk menduga besarnya alih bahang secara vertikal dapat dibedakan berdasarkan aktivitas yang terjadi yaitu alih bahang melalui proses salt fingering dan alih bahang yang terjadi melalui aktivitas diffusive layering. 1. Alih Bahang Melalui Salt Fingering Alih bahang yang terjadi melalui aktivitas salt fingering dapat dilihat pada Gambar 22. Alih bahang melalui proses salt fingering memberikan nilai alih bahang mencapai 4,25 W/m 2. Dari gambar terlihat bahwa aktivitas pengalihan bahang banyak terjadi pada stasiun 3 dan semakin mengecil pada stasiun 4 sedangkan pada kedua stasiun lainnya tidak terlihat. Kedalaman pengalihan bahang pada stasiun 3 mencapai kedalaman 4 m dengan nilai alih bahang tertinggi terdapat pada kedalaman 145 m yang termasuk dalam lapisan haloklin (6 m 342 m ) dimana lapisan haloklin memberikan gradien salinitas lebih besar dibandingkan dengan lapisan lain. Gambar 22. Alih bahang vertikal (W/m 2 ) melalui proses salt fingering pada kedalaman 1 m 4 m di perairan Raja Ampat

24 2. Alih Bahang Melalui Diffusive Layering Alih bahang yang terjadi melalui aktivitas diffusive layering, dibedakan berdasarkan rumus dari beberapa peneliti yang kesemua rumusnya mendasarkan pada parameter-parameter yang menggunakan beda suhu secara bertahap dan rasio densitas. Penggambaran pengalihan bahang pada Gambar 23 merupakan gabungan dan perata-rataan dari seluruh rumus yang digunakan oleh beberapa peneliti tersebut Gambar 23. Alih bahang vertikal (W/m 2 ) melalui proses diffusive layering di perairan Raja Ampat Aktivitas difusi ganda melalui proses difusi layering berdasarkan gambar 23 menunjukkan pengalihan bahang terjadi pada setiap stasiun, terutama pada lapisan kedalaman m sampai 5 m dengan pengalihan terbesar pada stasiun 6. Kemudian pada lapisan kedalaman 5 m 1 m tidak terlihat pengalihan bahang yang berarti, dan pada lapisan dibawah 1 m terlihat sedikit pengalihan bahang pada dasar perairan stasiun 6. Secara keseluruhan pengalihan bahang melalui proses difusi layering berdasarkan stasiun yaitu : Stasiun 3 memiliki kisaran pengalihan bahang antara 9,6982 x 1-8 W/m 2 dan 4,178 W/m 2, kisaran pengalihan bahang di stasiun 4 yaitu 2,8651 x 1-1 W/m 2 5,699 W/m 2, stasiun 5 kisarannya 2,3125 x 1-8

25 W/m 2 sampai 2,6955 W/m 2 dan pada stasiun 6 nilai alih bahang tertingginya yaitu 6,4184 W/m 2 dan terendahnya yaitu 1,7119 x 1-9 W/m 2. Berikut ini merupakan penggambaran pengalihan bahang melalui proses difusi layering berdasarkan rumus dari beberapa peneliti : Alih Bahang vertikal oleh Marmorino dan Caldwell (F H-MC ) Gambar 24. Alih bahang (W/m 2 ) melalui proses difusi layering menurut Marmorino dan Caldwell di perairan Raja Ampat Gambar 25. Alih bahang (W/m 2 ) melalui proses difusi layering menurut Marmorino dan Caldwell pada kedalaman m 5 m di perairan Raja Ampat Pengalihan bahang melalui rumus Marmorino dan Caldwell memberikan nilai alih bahang mencapai 12,9934 W/m 2 dengan nilai terendah 4,39 x 1-6 W/m 2, pola yang sama seperti gambar 22 dengan kisaran nilai yang berbeda,

26 dimana berdasarkan rumus Marmorino dan Caldwell didapatkan nilai alih bahang yang lebih besar dibandingkan dengan rumus lain. Pengalihan bahang terjadi pada setiap stasiun sampai pada kedalaman 5 m kemudian sedikit pada dasar perairan stasiun 6. Stasiun 3 memiliki kisaran pengalihan bahang antara 1,37 x 1-5 W/m 2 dan 8,897 W/m 2, kisaran pengalihan bahang di stasiun 4 yaitu 4,39 x 1-6 W/m 2 11,838 W/m 2, stasiun 5 kisarannya 7,17 x 1-6 W/m 2 sampai 12,5976 W/m 2 dan pada stasiun 6 nilai alih bahang tertingginya yaitu 12,9933 W/m 2 dan terendahnya yaitu 1,16 x 1-5 W/m 2. Alih Bahang vertikal oleh Taylor (F H-T ) Gambar 26. Alih bahang (W/m 2 ) melalui proses difusi layering menurut Taylor pada kedalaman m 5 m di perairan Raja Ampat Penggambaran alih bahang menurut Taylor pun tidak jauh berbeda dengan rumus menurut Marmorino dan Caldwell. Pada Gambar 26 terlihat bahwa pengalihan bahang terjadi pada setiap stasiun sampai pada kedalaman 4 m, namun pada pengalihan bahang menurut Taylor ini didapatkan nilai alih bahang dengan kisaran nilai yang lebih kecil dibandingkan dengan menggunakan rumus Marmorino dan Caldwell yaitu berkisar antara 1,59 x 1-9 W/m 2 sampai,484 W/m 2.

27 Stasiun 3 memiliki kisaran pengalihan bahang antara,369 W/m 2 dan 2,98 x 1-8 W/m 2, kisaran pengalihan bahang di stasiun 4 yaitu,459 W/m 2 1,59 x 1-9 W/m 2, stasiun 5 kisarannya 3, 47 x 1-9 W/m 2 sampai,4834 W/m 2 dan pada stasiun 6 nilai alih bahang tertingginya yaitu 3,5457 W/m 2 dan terendahnya yaitu 1,23 x 1-8 W/m 2. Alih Bahang vertikal oleh Kelley (F H-K ) Gambar 27. Alih bahang (W/m 2 ) melalui proses difusi layering menurut Kelley pada kedalaman m 15 m di perairan Raja Ampat Gambar 28. Alih bahang (W/m 2 ) melalui proses difusi layering menurut Kelley pada kedalaman m 5 m di perairan Raja Ampat Pengalihan bahang menurut Kelley (Gambar 27 dan 28) terjadi pada setiap stasiun dengan kisaran yang berbeda pada masing-masing stasiun.

28 Kisaran tertinggi yaitu 6,2611 W/m 2 dan terendah yaitu 3,35 x 1-6 W/m 2. Sama seperti rumus-rumus sebelumnya pengalihan bahang terjadi sampai pada kedalaman 4 m dan sedikit pada dasar perairan stasiun 6, pola yang terbentuk pun tidak jauh berbeda dengan rumus-rumus sebelumnya hanya kisaran nilainya yang berbeda. Alih Bahang vertikal oleh Rudels (F H-R ) Gambar 29. Alih bahang (W/m 2 ) melalui proses difusi layering menurut Rudels perairan Raja Ampat Pengalihan bahang menurut Rudells hanya digunakan untuk rasio densitas yang kecil. Berdasarkan Gambar 29 terlihat bahwa pengalihan bahang banyak terjadi dekat dengan dasar perairan. Pada lapisan permukaan aktivitas pengalihan bahang sangat kecil sekali terjadi, begitu pula pada lapisan piknoklin. Aktivitas pengalihan bahang mulai terlihat pada kedalaman dibawah 1 m hal ini dikarenakan densitas pada kedalaman dibawah 1 m sudah stabil sehingga rasio densitas terhadap kedalamannya sangat kecil sehingga nilai diperbesar oleh rumus yang diberikan Rudells untuk melihat seberapa pengalihan bahang pada lapisan dasar perairan. Stasiun 3 memiliki kisaran pengalihan bahang antara 5,99 x 1-8 W/m 2 dan 7,24 x 1-6 W/m 2, kisaran pengalihan bahang di stasiun 4 yaitu 2,87x 1-1

29 W/m 2 3,11 x 1-3 W/m 2, stasiun 5 kisarannya 2,31 x 1-8 W/m 2 sampai 2,78 x 1-6 W/m 2 dan pada stasiun 6 nilai alih bahang tertingginya yaitu 1,15 x 1-5 W/m 2 dan terendahnya yaitu 1,71 x 1-9 W/m 2. Nilai kisaran tersebut merupakan nilai kisaran yang terendah dibandingkan dengan nilai pengalihan bahang menurut peneliti lainnya. Gambar 3 merupakan sebaran melintang dari proses alih bahang ratarata pada perairan Raja Ampat, yang merupakan gabungan antara pengalihan bahang melalui proses salt fingering dan difusi layering. Dari Gambar 3 secara keseluruhan pengalihan bahang yang terjadi sangat sedikit sekali, pada stasiun 3 pengalihan bahang terlihat sampai pada kedalaman 5 m dengan nilai yang kecil, pada stasiun 4 pengalihan bahang hanya terlihat sampai kedalaman 5 m kemudian semakin ke arah stasiun 6 semakin sedikit pengalihan bahang yang terjadi dan pada dasar perairan stasiun 6 juga terlihat sedikit aktivitas pengalihan bahang dengan nilai mendekati. Pengalihan bahang melalui proses difusi ganda ini berkisar antara 6,2 W/m 2 nilai tersebut sangatlah kecil jika dibandingkan dengan alih bahang melalui proses mixing, hal ini dikarenakan pada proses difusi ganda pengalihan bahang yang diamati melalui difusi molekul. Gambar 3. Penampang melintang alih bahang vertikal (W/m 2 ) di perairan Raja Ampat.

30 Selat Makassar dan Perairan Raja Ampat merupakan salah satu jalur masuk Arlindo menuju Samudera Hindia melalui perairan Indonesia. Jika dibandingkan pengalihan bahang yang terjadi melalui difusi ganda pada dua perairan tersebut, hasilnya adalah tabulasi di bawah ini, dimana pada penelitian yang dilakukan di Selat Makassar digunakan data time series selama tahun 24 sedangkan data yang digunakan pada penelitian di perairan Raja Ampat berupa data in situ pada bulan November 27 (Tabel 4). Tabel 4. Nilai rata-rata alih bahang vertikal (W/m 2 ) melalui proses difusi ganda di Perairan Raja Ampat dan Selat Makassar Lokasi Perairan Raja Ampat stasiun Kedalaman (m) >5 3,416487,561851,418996,92759, ,915785,2889,194958,11528,1522 5,7357 1,272847,154241,743,3218 6,67964,5534,2686,1169,633 Rata-rata,351898,479523,19722,2655,12955 Selat Makassar Rata-rata,3392,7231,1753,311,111 Pada lapisan permukaan 5 m nilai pengalihan bahang rata-rata terbesar pada perairan Raja Ampat terjadi pada stasiun 4 dan terendah pada stasiun 5 sedangkan pada kedalaman 5 2 m pengalihan bahang rata-rata terbesar yaitu pada stasiun 5 dan terendah pada stasiun 4 kemudian pada rentang kedalaman selanjutnya stasiun 3 menyumbangkan bahang tertinggi dan stasiun 6 yang terendah. Rata-rata pengalihan bahang pada kedalaman 5-2 m yaitu,4795 W/m 2 yang merupakan rata-rata tertinggi dari seluruh stasiun pengamatan. Jika dibandingkan dengan penelitian mengenai difusi ganda di perairan Selat Makassar yang dilakukan oleh Kurnadi ( 27), pengalihan bahang melalui proses difusi ganda pada perairan Raja Ampat memiliki nilai rata rata yang bervariasi terhadap pengalihan bahang di Selat Makassar, pada kedalaman

31 5 m, 2 35 m dan >5 m nilai rata-rata alih bahang di perairan Raja Ampat lebih besar, namun bila dijumlahkan rata-rata pengalihan bahang di selat Makassar akan lebih besar walaupun nilainya tidak berbeda jauh dengan ratarata alih bahang di perairan Raja Ampat. Pengalihan bahang melalui difusi ganda bukan hanya dipengaruhi oleh aktivitas difusi ganda yang terjadi juga dipengaruhi oleh rasio densitas dan flux suhu yang terjadi. Selain itu perbedaan massa air yang mengisi Selat Makassar dan perairan Raja Ampat juga berpengaruh terhadap hasil pengalihan bahang berdasarkan difusi ganda. Diantaranya yaitu North Pacific Subtropical Water (NPSW) massa air yang mengisi perairan Selat Makassar dan South Pacific Subtropical Water (SPSW) massa air yang mengisi perairan Raja Ampat.

KONDISI ALIH BAHANG DALAM PROSES INTERNAL MIXING MELALUI TAHAPAN DIFUSI GANDA DAN TURBULENSI DI PERAIRAN RAJA AMPAT PADA NOVEMBER 2007

KONDISI ALIH BAHANG DALAM PROSES INTERNAL MIXING MELALUI TAHAPAN DIFUSI GANDA DAN TURBULENSI DI PERAIRAN RAJA AMPAT PADA NOVEMBER 2007 KONDISI ALIH BAHANG DALAM PROSES INTERNAL MIXING MELALUI TAHAPAN DIFUSI GANDA DAN TURBULENSI DI PERAIRAN RAJA AMPAT PADA NOVEMBER 2007 Oleh: Alfina Khaira C64104058 SKRIPSI PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Pelapisan massa air merupakan sebuah kondisi yang menggambarkan

2. TINJAUAN PUSTAKA. Pelapisan massa air merupakan sebuah kondisi yang menggambarkan 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kestabilan Massa Air Pelapisan massa air merupakan sebuah kondisi yang menggambarkan bahwa dalam kolom air massa air terbagi secara vertikal kedalam beberapa lapisan. Pelapisan

Lebih terperinci

3. BAHAN DAN METODE. data oseanografi perairan Raja Ampat yang diperoleh dari program terpadu P2O-

3. BAHAN DAN METODE. data oseanografi perairan Raja Ampat yang diperoleh dari program terpadu P2O- . BAHAN DAN METODE.1 Waktu dan Tempat Penelitian Data yang digunakan pada penelitian ini merupakan data sekunder yaitu data oseanografi perairan aja Ampat yang diperoleh dari program terpadu PO- LIPI dengan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perairan Indonesia merupakan area yang mendapatkan pengaruh Angin Muson dari tenggara pada saat musim dingin di wilayah Australia, dan dari barat laut pada saat musim

Lebih terperinci

Praktikum M.K. Oseanografi Hari / Tanggal : Dosen : 1. Nilai SUHU DAN SALINITAS. Oleh. Nama : NIM :

Praktikum M.K. Oseanografi Hari / Tanggal : Dosen : 1. Nilai SUHU DAN SALINITAS. Oleh. Nama : NIM : Praktikum M.K. Oseanografi Hari / Tanggal : Dosen : 1. 2. 3. Nilai SUHU DAN SALINITAS Nama : NIM : Oleh JURUSAN PERIKANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA 2015 MODUL 3. SUHU DAN SALINITAS

Lebih terperinci

Gambar 1. Diagram TS

Gambar 1. Diagram TS BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Massa Air 4.1.1 Diagram TS Massa Air di Selat Lombok diketahui berasal dari Samudra Pasifik. Hal ini dibuktikan dengan diagram TS di 5 titik stasiun

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Perubahan iklim global sekitar 3 4 juta tahun yang lalu telah mempengaruhi evolusi hominidis melalui pengeringan di Afrika dan mungkin pertanda zaman es pleistosin kira-kira

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 27 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Profil Menegak Temperatur, Salinitas, dan Densitas Selat Ombai merupakan perairan laut dalam, sehingga perbedaan temperatur, salinitas, dan densitas sampai dasar perairan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi Model Visualisasi Klimatologi Suhu Permukaan Laut (SPL) model SODA versi 2.1.6 diambil dari lapisan permukaan (Z=1) dengan kedalaman 0,5 meter (Lampiran 1). Begitu

Lebih terperinci

2. KONDISI OSEANOGRAFI LAUT CINA SELATAN PERAIRAN INDONESIA

2. KONDISI OSEANOGRAFI LAUT CINA SELATAN PERAIRAN INDONESIA 2. KONDISI OSEANOGRAFI LAUT CINA SELATAN PERAIRAN INDONESIA Pendahuluan LCSI terbentang dari ekuator hingga ujung Peninsula di Indo-Cina. Berdasarkan batimetri, kedalaman maksimum perairannya 200 m dan

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 23 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut (SPL) Hasil olahan citra Modis Level 1 yang merupakan data harian dengan tingkat resolusi spasial yang lebih baik yaitu 1 km dapat menggambarkan

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK MASSA AIR ARLINDO DI PINTASAN TIMOR PADA MUSIM BARAT DAN MUSIM TIMUR

KARAKTERISTIK MASSA AIR ARLINDO DI PINTASAN TIMOR PADA MUSIM BARAT DAN MUSIM TIMUR KARAKTERISTIK MASSA AIR ARLINDO DI PINTASAN TIMOR PADA MUSIM BARAT DAN MUSIM TIMUR Oleh : Agus Dwi Jayanti Diah Cahyaningrum C64104051 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

Horizontal. Kedalaman. Laut. Lintang. Permukaan. Suhu. Temperatur. Vertikal

Horizontal. Kedalaman. Laut. Lintang. Permukaan. Suhu. Temperatur. Vertikal Temperatur Air Laut Dalam oseanografi dikenal dua istilah untuk menentukan temperatur air laut yaitu temperatur insitu (selanjutnya disebut sebagai temperatur saja) dan temperatur potensial. Temperatur

Lebih terperinci

hujan, penguapan, kelembaban udara, suhu udara, kecepatan angin dan intensitas

hujan, penguapan, kelembaban udara, suhu udara, kecepatan angin dan intensitas 2.3 suhu 2.3.1 Pengertian Suhu Suhu merupakan faktor yang sangat penting bagi kehidupan organisme di lautan. Suhu mempengaruhi aktivitas metabolisme maupun perkembangbiakan dari organisme-organisme tersebut.

Lebih terperinci

Suhu, Cahaya dan Warna Laut. Materi Kuliah 6 MK Oseanografi Umum (ITK221)

Suhu, Cahaya dan Warna Laut. Materi Kuliah 6 MK Oseanografi Umum (ITK221) Suhu, Cahaya dan Warna Laut Materi Kuliah 6 MK Oseanografi Umum (ITK221) Suhu Bersama dengan salinitas dan densitas, suhu merupakan sifat air laut yang penting dan mempengaruhi pergerakan masa air di laut

Lebih terperinci

POLA DISTRIBUSI SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM

POLA DISTRIBUSI SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM POLA DISTRIBSI SH DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELK AMBON DALAM PENDAHLAN Suhu suatu badan air dipengaruhi oleh musim, lintang, ketinggian dari permukaan laut, waktu dalam hari, sirkulasi udara, penutupan

Lebih terperinci

Variabilitas Suhu dan Salinitas Perairan Selatan Jawa Timur Riska Candra Arisandi a, M. Ishak Jumarang a*, Apriansyah b

Variabilitas Suhu dan Salinitas Perairan Selatan Jawa Timur Riska Candra Arisandi a, M. Ishak Jumarang a*, Apriansyah b Variabilitas Suhu dan Salinitas Perairan Selatan Jawa Timur Riska Candra Arisandi a, M. Ishak Jumarang a*, Apriansyah b a Program Studi Fisika, Fakultas MIPA, Universitas Tanjungpura, b Program Studi Ilmu

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Variabilitas Kesuburan Perairan dan Oseanografi Fisika 4.1.1. Sebaran Ruang (Spasial) Suhu Permukaan Laut (SPL) Sebaran Suhu Permukaan Laut (SPL) di perairan Selat Lombok dipengaruhi

Lebih terperinci

Oseanografi Fisis. Massa Air dan Proses Percampuran

Oseanografi Fisis. Massa Air dan Proses Percampuran Oseanografi Fisis 4 Massa Air dan Proses Percampuran Karakteristik Massa Air Pemanasan Pendinginan Pembentukan Es Penguapan Pengenceran Permukaan Laut Massa Air Paling Berat dan Paling Dalam Terbentuk

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK MASSA AIR ARLINDO DI PINTASAN TIMOR PADA MUSIM BARAT DAN MUSIM TIMUR

KARAKTERISTIK MASSA AIR ARLINDO DI PINTASAN TIMOR PADA MUSIM BARAT DAN MUSIM TIMUR KARAKTERISTIK MASSA AIR ARLINDO DI PINTASAN TIMOR PADA MUSIM BARAT DAN MUSIM TIMUR Oleh : Agus Dwi Jayanti Diah Cahyaningrum C64104051 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Sebaran Angin Di perairan barat Sumatera, khususnya pada daerah sekitar 2, o LS hampir sepanjang tahun kecepatan angin bulanan rata-rata terlihat lemah dan berada pada kisaran,76 4,1

Lebih terperinci

Suhu rata rata permukaan laut

Suhu rata rata permukaan laut Oseanografi Fisis 2 Sifat Fisis & Kimiawi Air Laut Suhu Laut Suhu rata rata permukaan laut Distribusi vertikal Suhu Mixed layer Deep layer Distribusi vertikal Suhu Mixed Layer di Equator lebih tipis dibandingkan

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Stabilitas dan Stratifikasi Massa Air

2. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Stabilitas dan Stratifikasi Massa Air 7. TINJAUAN PUSTAKA.1 Stabilitas dan Stratifikasi Massa Air Secara vertikal, massa air memiliki lapisan-lapisan yang terbentuk dengan komposisi properti fisik tertentu, seperti temperatur, salinitas, densitas,

Lebih terperinci

JOURNAL OF OCEANOGRAPHY. Volume 1, Nomor 1, Tahun 2012, Halaman Online di :

JOURNAL OF OCEANOGRAPHY. Volume 1, Nomor 1, Tahun 2012, Halaman Online di : JOURNAL OF OCEANOGRAPHY. Volume 1, Nomor 1, Tahun 2012, Halaman 33-39 Online di : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/joce *) Penulis Penanggung Jawab STUDI STRUKTUR LAPISAN TERMOKLIN DI PERAIRAN

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA SALINITAS DAN TEMPERATUR

HUBUNGAN ANTARA SALINITAS DAN TEMPERATUR 1 HUBUNGAN ANTARA SALINITAS DAN TEMPERATUR Dalam setiap penelitian oseanografi parameter-parameter yang selalu diukur ialah suhu, salinitas, kandungan O2, dan kandungan zat hara (nutrien): fosfat, nitrat,

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Suhu menyatakan banyaknya bahang (heat) yang terkandung dalam suatu

2. TINJAUAN PUSTAKA. Suhu menyatakan banyaknya bahang (heat) yang terkandung dalam suatu 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Suhu Permukaan Laut (SPL) Suhu menyatakan banyaknya bahang (heat) yang terkandung dalam suatu benda. Secara alamiah sumber utama bahang dalam air laut adalah matahari. Daerah yang

Lebih terperinci

KONDISI OSEANOGRAFIS SELAT MAKASAR By: muhammad yusuf awaluddin

KONDISI OSEANOGRAFIS SELAT MAKASAR By: muhammad yusuf awaluddin KONDISI OSEANOGRAFIS SELAT MAKASAR By: muhammad yusuf awaluddin Umum Perairan Indonesia memiliki keadaan alam yang unik, yaitu topografinya yang beragam. Karena merupakan penghubung dua system samudera

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 99 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Validasi Data Asimilasi GFDL 4.1.1 TRITON Stasiun pengamatan data TRITON yang digunakan untuk melakukan validasi data asimilasi GFDL sebanyak 13 stasiun dengan 12 TRITON berada

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERUHAN PADA PERAIRAN TELUK AMBON DALAM

HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERUHAN PADA PERAIRAN TELUK AMBON DALAM HBNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERHAN PADA PERAIRAN TELK AMBON DALAM PENDAHLAN Perkembangan pembangunan yang semakin pesat mengakibatkan kondisi Teluk Ambon, khususnya Teluk Ambon Dalam (TAD)

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Arus Eddy Penelitian mengenai arus eddy pertama kali dilakukan pada sekitar tahun 1930 oleh Iselin dengan mengidentifikasi eddy Gulf Stream dari data hidrografi, serta penelitian

Lebih terperinci

Bab 3. Pengumpulan dan Pengolahan Data. Bab 3 Pengumpulan dan Pengolahan Data. 3.1 Pengumpulan Data

Bab 3. Pengumpulan dan Pengolahan Data. Bab 3 Pengumpulan dan Pengolahan Data. 3.1 Pengumpulan Data Bab 3 Pengumpulan dan Pengolahan Data 3.1 Pengumpulan Data Pemodelan propagasi akustik bawah air di Samudera Hindia memerlukan data-data sebagai berikut: 1. Kecepatan suara. 2. Temperatur. 3. Salinitas.

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Salinitas pada Indomix Cruise

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Salinitas pada Indomix Cruise 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Salinitas pada Indomix Cruise Peta sebaran SPL dan salinitas berdasarkan cruise track Indomix selengkapnya disajikan pada Gambar 6. 3A 2A

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Arus Tiap Lapisan Kedalaman di Selat Makassar Fluktuasi Arus dalam Ranah Waktu di Lokasi Mooring Stasiun 1

HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Arus Tiap Lapisan Kedalaman di Selat Makassar Fluktuasi Arus dalam Ranah Waktu di Lokasi Mooring Stasiun 1 HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Arus Tiap Lapisan Kedalaman di Selat Makassar Fluktuasi Arus dalam Ranah Waktu di Lokasi Mooring Stasiun 1 Pada bulan Desember 1996 Februari 1997 yang merupakan puncak musim barat

Lebih terperinci

Estimasi Arus Laut Permukaan Yang Dibangkitkan Oleh Angin Di Perairan Indonesia Yollanda Pratama Octavia a, Muh. Ishak Jumarang a *, Apriansyah b

Estimasi Arus Laut Permukaan Yang Dibangkitkan Oleh Angin Di Perairan Indonesia Yollanda Pratama Octavia a, Muh. Ishak Jumarang a *, Apriansyah b Estimasi Arus Laut Permukaan Yang Dibangkitkan Oleh Angin Di Perairan Indonesia Yollanda Pratama Octavia a, Muh. Ishak Jumarang a *, Apriansyah b a Jurusan Fisika FMIPA Universitas Tanjungpura, b Jurusan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Peta lokasi penelitian disajikan pada Lampiran A. Hasil pengolahan data arus polar current rose disajikan pada Lampiran B. Hasil pengolahan data komponen arus setelah

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Validasi Data Pasang surut merupakan salah satu parameter yang dapat digunakan untuk melakukan validasi model. Validasi data pada model ini ditunjukkan dengan grafik serta

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Gangguan Pada Audio Generator Terhadap Amplitudo Gelombang Audio Yang Dipancarkan Pengukuran amplitudo gelombang audio yang dipancarkan pada berbagai tingkat audio generator

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Perubahan Rasio Hutan Sebelum membahas hasil simulasi model REMO, dilakukan analisis perubahan rasio hutan pada masing-masing simulasi yang dibuat. Dalam model

Lebih terperinci

Kajian Lapisan Termoklin Di Perairan Utara Jayapura Herni Cahayani Sidabutar, Azis Rifai, Elis Indrayanti*)

Kajian Lapisan Termoklin Di Perairan Utara Jayapura Herni Cahayani Sidabutar, Azis Rifai, Elis Indrayanti*) JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 3, Nomor 2, Tahun 2014, Halaman 135-141 Online di : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jose Kajian Lapisan Termoklin Di Perairan Utara Jayapura Herni Cahayani Sidabutar,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Massa Air 4.1.1 Sebaran Suhu BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Pada bagian ini akan menjelaskan sebaran suhu menjadi dua bagian penting yakni sebaran secara horisontal dan vertikal. Sebaran

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Konsentrasi klorofil-a suatu perairan sangat tergantung pada ketersediaan nutrien dan intensitas cahaya matahari. Bila nutrien dan intensitas cahaya matahari cukup tersedia,

Lebih terperinci

DINAMIKA MASSA AIR DI PERAIRAN TROPIS PASIFIK BAGIAN BARAT DAN HUBUNGANNYA DENGAN PERUBAHAN MUSIM DAN EL NINO SOUTHERN OSCILLATION

DINAMIKA MASSA AIR DI PERAIRAN TROPIS PASIFIK BAGIAN BARAT DAN HUBUNGANNYA DENGAN PERUBAHAN MUSIM DAN EL NINO SOUTHERN OSCILLATION DINAMIKA MASSA AIR DI PERAIRAN TROPIS PASIFIK BAGIAN BARAT DAN HUBUNGANNYA DENGAN PERUBAHAN MUSIM DAN EL NINO SOUTHERN OSCILLATION Oleh : SEPTINA PAPILAYA K.L C64103024 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

MASSA AIR SUBTROPICAL DI PERAIRAN HAMAHERA SUBTROPICAL WATER MASSES IN HALMAHERA WATERS

MASSA AIR SUBTROPICAL DI PERAIRAN HAMAHERA SUBTROPICAL WATER MASSES IN HALMAHERA WATERS Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Hal. 92-18, Desember 21 MASSA AIR SUBTROPICAL DI PERAIRAN HAMAHERA SUBTROPICAL WATER MASSES IN HALMAHERA WATERS Hadikusumah Bidang Dinamika Laut

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Perbandingan Hasil Model dengan DISHIDROS Komponen gelombang pasang surut M2 dan K1 yang dipilih untuk dianalisis lebih lanjut, disebabkan kedua komponen ini yang paling dominan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 20 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Parameter Oseanografi Pesisir Kalimantan Barat Parameter oseanografi sangat berperan penting dalam kajian distribusi kontaminan yang masuk ke laut karena komponen fisik

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Turbulensi (Olakan)

2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Turbulensi (Olakan) 7 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Turbulensi (Olakan) Turbulen adalah proses fisik yang dominan pada fluida yang pergerakannya bersifat energetic, rotasional, eddies, dan irreguler (Stewart, 2002; Thorpe, 2007).

Lebih terperinci

ANALISIS KLIMATOLOGI BANJIR BANDANG BULAN NOVEMBER DI KAB. LANGKAT, SUMATERA UTARA (Studi Kasus 26 November 2017) (Sumber : Waspada.co.

ANALISIS KLIMATOLOGI BANJIR BANDANG BULAN NOVEMBER DI KAB. LANGKAT, SUMATERA UTARA (Studi Kasus 26 November 2017) (Sumber : Waspada.co. ANALISIS KLIMATOLOGI BANJIR BANDANG BULAN NOVEMBER DI KAB. LANGKAT, SUMATERA UTARA (Studi Kasus 26 November 2017) (Sumber : Waspada.co.id) STASIUN KLIMATOLOGI KELAS I DELI SERDANG NOVEMBER 2017 ANALISIS

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Sebaran Nutrien dan Oksigen Terlarut (DO) di Teluk Jakarta

4. HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Sebaran Nutrien dan Oksigen Terlarut (DO) di Teluk Jakarta 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pola Sebaran Nutrien dan Oksigen Terlarut (DO) di Teluk Jakarta Hasil pengamatan lapangan nitrat, amonium, fosfat, dan DO bulan Maret 2010 masing-masing disajikan pada Gambar

Lebih terperinci

(a) Profil kecepatan arus IM03. (b) Profil arah arus IM03. Gambar III.19 Perekaman profil arus dan pasut stasiun IM03 III-17

(a) Profil kecepatan arus IM03. (b) Profil arah arus IM03. Gambar III.19 Perekaman profil arus dan pasut stasiun IM03 III-17 (a) Profil kecepatan arus IM3 (b) Profil arah arus IM3 Gambar III.19 Perekaman profil arus dan pasut stasiun IM3 III-17 Gambar III.2 Spektrum daya komponen vektor arus stasiun IM2 Gambar III.21 Spektrum

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Pengukuran Beda Tinggi Antara Bench Mark Dengan Palem Dari hasil pengukuran beda tinggi dengan metode sipat datar didapatkan beda tinggi antara palem dan benchmark

Lebih terperinci

aptudika.web.ugm.ac.id

aptudika.web.ugm.ac.id aptudika.web.ugm.ac.id 41. Siklus hidrologi berperan serta dalam merubah bentuk permukaan bumi melalui proses: A. presipitasi dan evaporasi B. evaporasi dan transpirasi C. transpirasi dan infiltrasi D.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Arus Lintas Indonesia atau ITF (Indonesian Throughflow) yaitu suatu sistem arus di perairan Indonesia yang menghubungkan Samudra Pasifik dengan Samudra Hindia yang

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BMKG Jl. Sisingamangaraja BADAN METEOROLOGI No. 1 Nabire Telp. (0984) DAN GEOFISIKA 22559,26169 Fax (0984) 22559 ANALISA CUACA STASIUN TERKAIT METEOROLOGI HUJAN

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Distribusi SPL Dari pengamatan pola sebaran suhu permukaan laut di sepanjang perairan Selat Sunda yang di analisis dari data penginderaan jauh satelit modis terlihat ada pembagian

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Distribusi Spasial Arus Eddy di Perairan Selatan Jawa-Bali Berdasarkan hasil visualisasi data arus geostropik (Lampiran 3) dan tinggi paras laut (Lampiran 4) dalam skala

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. utara. Kawasan pesisir sepanjang perairan Pemaron merupakan kawasan pantai

2. TINJAUAN PUSTAKA. utara. Kawasan pesisir sepanjang perairan Pemaron merupakan kawasan pantai 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Perairan Pantai Pemaron merupakan salah satu daerah yang terletak di pesisir Bali utara. Kawasan pesisir sepanjang perairan Pemaron merupakan kawasan pantai wisata

Lebih terperinci

III HASIL DAN DISKUSI

III HASIL DAN DISKUSI III HASIL DAN DISKUSI Sistem hidrolika estuari didominasi oleh aliran sungai, pasut dan gelombang (McDowell et al., 1977). Pernyataan tersebut mendeskripsikan kondisi perairan estuari daerah studi dengan

Lebih terperinci

5 PEMBAHASAN 5.1 Sebaran SPL Secara Temporal dan Spasial

5 PEMBAHASAN 5.1 Sebaran SPL Secara Temporal dan Spasial 5 PEMBAHASAN 5.1 Sebaran SPL Secara Temporal dan Spasial Hasil pengamatan terhadap citra SPL diperoleh bahwa secara umum SPL yang terendah terjadi pada bulan September 2007 dan tertinggi pada bulan Mei

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Tipe Estuari dan Debit Sungai. Tipe estuari biasanya dipengaruhi oleh kondisi pasang surut. Pada saat pasang, salinitas perairan akan didominasi oleh salinitas air laut karena

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Distribusi SPL secara Spasial dan Temporal Pola distribusi SPL sangat erat kaitannya dengan pola angin yang bertiup pada suatu daerah. Wilayah Indonesia sendiri dipengaruhi

Lebih terperinci

PERTEMUAN KE-5 M.K. DAERAH PENANGKAPAN IKAN SIRKULASI MASSA AIR (Bagian 2) ASEP HAMZAH

PERTEMUAN KE-5 M.K. DAERAH PENANGKAPAN IKAN SIRKULASI MASSA AIR (Bagian 2) ASEP HAMZAH PERTEMUAN KE-5 M.K. DAERAH PENANGKAPAN IKAN SIRKULASI MASSA AIR (Bagian 2) ASEP HAMZAH What is a thermocline? A thermocline is the transition layer between warmer mixed water at the ocean's surface and

Lebih terperinci

I. INFORMASI METEOROLOGI

I. INFORMASI METEOROLOGI I. INFORMASI METEOROLOGI I.1 ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER I.1.1 MONITORING DAN PRAKIRAAN FENOMENA GLOBAL a. ENSO ( La Nina dan El Nino ) Berdasarkan pantauan suhu muka laut di Samudra Pasifik selama bulan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 El Niño-Osilasi Selatan (ENSO-El Niño Southern Oscillation).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 El Niño-Osilasi Selatan (ENSO-El Niño Southern Oscillation). BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 El Niño-Osilasi Selatan (ENSO-El Niño Southern Oscillation). Pada tahun 1997 terjadi pengaruh global dari kejadian ENSO yang menyebabkan anomali kondisi iklim yang berkepanjangan.

Lebih terperinci

VARIABILITAS SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN CISADANE

VARIABILITAS SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN CISADANE MAKARA, SAINS, VOLUME 12, NO. 2, NOVEMBER 2008: 82-88 VARIABILITAS SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN CISADANE Hadikusumah Bidang Dinamika Laut, Pusat Penelitian Oseanografi, LIPI, Jakarta 14430, Indonesia

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI KARAKTERISTIK MASSA AIR PERAIRAN SELAT BANGKA BAGIAN SELATAN IDENTIFICATION OF WATER MASSES IN THE SOUTHERN OF BANGKA STRAIT

IDENTIFIKASI KARAKTERISTIK MASSA AIR PERAIRAN SELAT BANGKA BAGIAN SELATAN IDENTIFICATION OF WATER MASSES IN THE SOUTHERN OF BANGKA STRAIT MASPARI JOURNAL Juli 2016, 8(2):91-100 IDENTIFIKASI KARAKTERISTIK MASSA AIR PERAIRAN SELAT BANGKA BAGIAN SELATAN IDENTIFICATION OF WATER MASSES IN THE SOUTHERN OF BANGKA STRAIT Ramsen Napitu 1), Heron

Lebih terperinci

ANALISIS KLIMATOLOGI HUJAN EKSTRIM BULAN JUNI DI NEGARA-BALI (Studi Khasus 26 Juni 2017) https://www.balipost.com

ANALISIS KLIMATOLOGI HUJAN EKSTRIM BULAN JUNI DI NEGARA-BALI (Studi Khasus 26 Juni 2017) https://www.balipost.com ANALISIS KLIMATOLOGI HUJAN EKSTRIM BULAN JUNI DI NEGARA-BALI (Studi Khasus 26 Juni 2017) https://www.balipost.com www.news.detik.com STASIUN KLIMATOLOGI KELAS II JEMBRANA - BALI JUNI 2017 ANALISIS KLIMATOLOGI

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 12 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Umum Berdasarkan buku Perum Perhutani Unit III Jawa Barat & Banten (9), wilayah mangrove desa Jayamukti Kecamatan Blanakan secara administrasi kehutanan termasuk

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5.1 Analisis Gradasi Butiran sampel 1. Persentase Kumulatif (%) Jumlah Massa Tertahan No.

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5.1 Analisis Gradasi Butiran sampel 1. Persentase Kumulatif (%) Jumlah Massa Tertahan No. 32 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN A. Data Penelitian Pemeriksaan material dasar dilakukan di Laboratorium Jurusan Teknik Sipil Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Pasir Ynag digunakan dalam penelitian ini

Lebih terperinci

4. HUBUNGAN ANTARA DISTRIBUSI KEPADATAN IKAN DAN PARAMETER OSEANOGRAFI

4. HUBUNGAN ANTARA DISTRIBUSI KEPADATAN IKAN DAN PARAMETER OSEANOGRAFI 4. HUBUNGAN ANTARA DISTRIBUSI KEPADATAN IKAN DAN PARAMETER OSEANOGRAFI Pendahuluan Ikan dipengaruhi oleh suhu, salinitas, kecepatan arus, oksigen terlarut dan masih banyak faktor lainnya (Brond 1979).

Lebih terperinci

STASIUN METEOROLOGI KLAS III NABIRE

STASIUN METEOROLOGI KLAS III NABIRE STASIUN METEOROLOGI KLAS III NABIRE KARAKTERISTIK RATA-RATA SUHU MAKSIMUM DAN SUHU MINIMUM STASIUN METEOROLOGI NABIRE TAHUN 2006 2015 OLEH : 1. EUSEBIO ANDRONIKOS SAMPE, S.Tr 2. RIFKI ADIGUNA SUTOWO, S.Tr

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil dan Verifikasi Hasil simulasi model meliputi sirkulasi arus permukaan rata-rata bulanan dengan periode waktu dari tahun 1996, 1997, dan 1998. Sebelum dianalisis lebih

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN tangkapan yang berbeda. Untuk hari pertama tanpa menggunakan lampu, hari ke menggunakan dua lampu dan hari ke menggunakan empat lampu. Dalam satu hari dilakukan dua kali operasi penangkapan. Data yang

Lebih terperinci

PENGARUH MONSUN MUSIM PANAS LAUT CHINA SELATAN TERHADAP CURAH HUJAN DI BEBERAPA WILAYAH INDONESIA

PENGARUH MONSUN MUSIM PANAS LAUT CHINA SELATAN TERHADAP CURAH HUJAN DI BEBERAPA WILAYAH INDONESIA PENGARUH MONSUN MUSIM PANAS LAUT CHINA SELATAN TERHADAP CURAH HUJAN DI BEBERAPA WILAYAH INDONESIA Martono Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim LAPAN, Jl.dr.Djundjunan 133, Bandung, 40173 E-mail :

Lebih terperinci

STASIUN METEOROLOGI KLAS III NABIRE

STASIUN METEOROLOGI KLAS III NABIRE STASIUN METEOROLOGI KLAS III NABIRE ANALISIS KEJADIAN CUACA EKSTRIM HUJAN LEBAT DAN ANGIN KENCANG DI SERUI TANGGAL 10 JANUARI 2017 OLEH : EUSEBIO ANDRONIKOS SAMPE, S.Tr NABIRE 2017 ANALISIS KEJADIAN CUACA

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Suhu Permukaan Laut (SPL) di Perairan Indramayu Citra pada tanggal 26 Juni 2005 yang ditampilkan pada Gambar 8 memperlihatkan bahwa distribusi SPL berkisar antara 23,10-29

Lebih terperinci

KAJIAN FLUKS NUTRIEN DAN KANDUNGAN KLOROFIL-A SERTA KETERKAITANNYA DENGAN PROSES PERCAMPURAN DI SELATAN SELAT MAKASSAR KAHARUDDIN

KAJIAN FLUKS NUTRIEN DAN KANDUNGAN KLOROFIL-A SERTA KETERKAITANNYA DENGAN PROSES PERCAMPURAN DI SELATAN SELAT MAKASSAR KAHARUDDIN KAJIAN FLUKS NUTRIEN DAN KANDUNGAN KLOROFIL-A SERTA KETERKAITANNYA DENGAN PROSES PERCAMPURAN DI SELATAN SELAT MAKASSAR KAHARUDDIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

PEMANASAN BUMI BAB. Suhu dan Perpindahan Panas. Skala Suhu

PEMANASAN BUMI BAB. Suhu dan Perpindahan Panas. Skala Suhu BAB 2 PEMANASAN BUMI S alah satu kemampuan bahasa pemrograman adalah untuk melakukan kontrol struktur perulangan. Hal ini disebabkan di dalam komputasi numerik, proses perulangan sering digunakan terutama

Lebih terperinci

STASIUN METEOROLOGI TANJUNGPANDAN

STASIUN METEOROLOGI TANJUNGPANDAN BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN METEOROLOGI TANJUNGPANDAN BMKG Bandara H.AS. Hanandjoeddin Tanjungpandan 33413 Telp. : 07199222015 Email: stamettdn@yahoo.com IDENTIFIKASI CUACA TERKAIT

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian di Samudera Hindia bagian Timur

BAB III METODOLOGI. Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian di Samudera Hindia bagian Timur BAB III METODOLOGI 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ini mengambil lokasi di perairan Samudera Hindia bagian timur dengan koordinat 5 o LS 20 o LS dan 100 o BT 120 o BT (Gambar 8). Proses pengolahan dan

Lebih terperinci

I. INFORMASI METEOROLOGI

I. INFORMASI METEOROLOGI I. INFORMASI METEOROLOGI I.1 ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER I.1.1 MONITORING DAN PRAKIRAAN FENOMENA GLOBAL a. ENSO ( La Nina dan El Nino ) Berdasarkan pantauan suhu muka laut di Samudra Pasifik selama bulan

Lebih terperinci

I. INFORMASI METEOROLOGI

I. INFORMASI METEOROLOGI I. INFORMASI METEOROLOGI I.1 ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER I.1.1 MONITORING DAN PRAKIRAAN FENOMENA GLOBAL a. ENSO ( La Nina dan El Nino ) Berdasarkan pantauan suhu muka laut di Samudra Pasifik selama bulan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Studi Kecamatan Muara Gembong merupakan kecamatan di Kabupaten Bekasi yang terletak pada posisi 06 0 00 06 0 05 lintang selatan dan 106 0 57-107 0 02 bujur timur. Secara

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BMKG Jl. Sisingamangaraja BADAN METEOROLOGI No. 1 Nabire Telp. (0984) DAN GEOFISIKA 22559,26169 Fax (0984) 22559 IDENTIFIKASI CUACA STASIUN TERKAIT METEOROLOGI

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Produktivitas Primer Fitoplankton Berdasarkan hasil penelitian di Situ Cileunca didapatkan nilai rata-rata produktivitas primer (PP) fitoplankton pada Tabel 6. Nilai PP

Lebih terperinci

Executive Summary Laporan Kondisi Cuaca di Wilayah Sumatera Barat dan Sekitarnya tanggal September 2009

Executive Summary Laporan Kondisi Cuaca di Wilayah Sumatera Barat dan Sekitarnya tanggal September 2009 Executive Summary Laporan Kondisi Cuaca di Wilayah Sumatera Barat dan Sekitarnya tanggal 16-22 September 2009 1. KO DISI CUACA UMUM Berdasarkan data-data udara permukaan yang berhasil dihimpun melalui

Lebih terperinci

ANALISIS HUJAN BULAN MEI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN JULI, AGUSTUS DAN SEPTEMBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

ANALISIS HUJAN BULAN MEI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN JULI, AGUSTUS DAN SEPTEMBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA ANALISIS HUJAN BULAN MEI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN JULI, AGUSTUS DAN SEPTEMBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA Sumber : BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK MASSA AIR DI PERCABANGAN ARUS LINTAS INDONESIA PERAIRAN SANGIHE TALAUD MENGGUNAKAN DATA INDEX SATAL 2010

KARAKTERISTIK MASSA AIR DI PERCABANGAN ARUS LINTAS INDONESIA PERAIRAN SANGIHE TALAUD MENGGUNAKAN DATA INDEX SATAL 2010 Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 6, No. 2, Hlm.525-536, Desember 2014 KARAKTERISTIK MASSA AIR DI PERCABANGAN ARUS LINTAS INDONESIA PERAIRAN SANGIHE TALAUD MENGGUNAKAN DATA INDEX SATAL 2010

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BMKG Jl. Sisingamangaraja BADAN METEOROLOGI No. 1 Nabire Telp. (0984) DAN GEOFISIKA 22559,26169 Fax (0984) 22559 ANALISIS HUJAN STASIUN SEDANG METEOROLOGI &

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 25 HASIL DAN PEMBAHASAN Profil Iklim Mikro Rumah Tanaman Tipe Standard Peak Selama 24 jam Struktur rumah tanaman berinteraksi dengan parameter lingkungan di sekitarnya menghasilkan iklim mikro yang khas.

Lebih terperinci

ANALISIS HUJAN BULAN JUNI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN AGUSTUS, SEPTEMBER DAN OKTOBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

ANALISIS HUJAN BULAN JUNI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN AGUSTUS, SEPTEMBER DAN OKTOBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA ANALISIS HUJAN BULAN JUNI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN AGUSTUS, SEPTEMBER DAN OKTOBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA 1. TINJAUAN UMUM 1.1. Curah Hujan Curah hujan merupakan ketinggian air hujan yang jatuh

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Penelitian Kecamatan Muara Gembong merupakan daerah pesisir di Kabupaten Bekasi yang berada pada zona 48 M (5 0 59 12,8 LS ; 107 0 02 43,36 BT), dikelilingi oleh perairan

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BMKG Jl. Sisingamangaraja BADAN METEOROLOGI No. 1 Nabire Telp. (0984) DAN GEOFISIKA 22559,26169 Fax (0984) 22559 ANALISA CUACA STASIUN TERKAIT METEOROLOGI ANGIN

Lebih terperinci

ANALISIS KEJADIAN BANJIR DI DESA BONAN DOLOK, KABUPATEN SAMOSIR TANGGAL 7 MARET 2018

ANALISIS KEJADIAN BANJIR DI DESA BONAN DOLOK, KABUPATEN SAMOSIR TANGGAL 7 MARET 2018 ANALISIS KEJADIAN BANJIR DI DESA BONAN DOLOK, KABUPATEN SAMOSIR TANGGAL 7 MARET 2018 STASIUN KLIMATOLOGI DELI SERDANG MARET, 2018 ANALISIS KEJADIAN BANJIR DI DESA BONAN DOLOK, KABUPATEN SAMOSIR (Studi

Lebih terperinci

Studi Variabilitas Lapisan Atas Perairan Samudera Hindia Berbasis Model Laut

Studi Variabilitas Lapisan Atas Perairan Samudera Hindia Berbasis Model Laut Studi Variabilitas Lapisan Atas Perairan Samudera Hindia Berbasis Model Laut Oleh : Martono, Halimurrahman, Rudy Komarudin, Syarief, Slamet Priyanto dan Dita Nugraha Interaksi laut-atmosfer mempunyai peranan

Lebih terperinci

ANALISIS KLIMATOLOGI TERKAIT BANJIR DI KAB. SERDANG BEDAGAI, SUMATERA UTARA (Studi Kasus 16 dan 18 September 2017)

ANALISIS KLIMATOLOGI TERKAIT BANJIR DI KAB. SERDANG BEDAGAI, SUMATERA UTARA (Studi Kasus 16 dan 18 September 2017) ANALISIS KLIMATOLOGI TERKAIT BANJIR DI KAB. SERDANG BEDAGAI, SUMATERA UTARA (Studi Kasus 16 dan 18 September 2017) STASIUN KLIMATOLOGI KELAS I DELI SERDANG SEPTEMBER 2017 ANALISIS KLIMATOLOGI HUJAN EKSTRIM

Lebih terperinci

STASIUN METEOROLOGI KLAS III NABIRE

STASIUN METEOROLOGI KLAS III NABIRE STASIUN METEOROLOGI KLAS III NABIRE ANALISA CUACA TERKAIT KEJADIAN BANJIR WILAYAH PASAR YOUTEFA JAYAPURA DAN SEKITARNYA TANGGAL 07 JANUARI 2017 OLEH : EUSEBIO ANDRONIKOS SAMPE, S.Tr NABIRE 2017 ANALISA

Lebih terperinci

KERAGAMAN SUHU DAN KECEPATAN ARUS DI SELAT MAKASSAR PERIODE JULI 2005 JUNI 2006 (Mooring INSTANT)

KERAGAMAN SUHU DAN KECEPATAN ARUS DI SELAT MAKASSAR PERIODE JULI 2005 JUNI 2006 (Mooring INSTANT) KERAGAMAN SUHU DAN KECEPATAN ARUS DI SELAT MAKASSAR PERIODE JULI 2005 JUNI 2006 (Mooring INSTANT) Oleh: Ince Mochammad Arief Akbar C64102063 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

STUDI VARIASI TEMPERATUR DAN SALINITAS DI PERAIRAN DIGUL IRIAN JAYA, OKTOBER 2002

STUDI VARIASI TEMPERATUR DAN SALINITAS DI PERAIRAN DIGUL IRIAN JAYA, OKTOBER 2002 1 STUDI VARIASI TEMPERATUR DAN SALINITAS DI PERAIRAN DIGUL IRIAN JAYA, KTBER 2002 Ankiq Taofiqurohman S Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran Jatinangor, Bandung 40600 ABSTRACT Ankiq

Lebih terperinci

KONDISI OSEANOGRAFI DI SELAT SUNDA DAN SELATAN JAWA BARAT PADA MONSUN BARAT 2012

KONDISI OSEANOGRAFI DI SELAT SUNDA DAN SELATAN JAWA BARAT PADA MONSUN BARAT 2012 KONDISI OSEANOGRAFI DI SELAT SUNDA DAN SELATAN JAWA BARAT PADA MONSUN BARAT 2012 Trie Lany Putri Yuliananingrum dan Mutiara R. Putri Program Studi Oseanografi, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut

Lebih terperinci

VARIABILITAS SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN BARAT SUMATERA DAN HUBUNGANNYA DENGAN ANGIN MUSON DAN IODM (INDIAN OCEAN DIPOLE MODE)

VARIABILITAS SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN BARAT SUMATERA DAN HUBUNGANNYA DENGAN ANGIN MUSON DAN IODM (INDIAN OCEAN DIPOLE MODE) VARIABILITAS SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN BARAT SUMATERA DAN HUBUNGANNYA DENGAN ANGIN MUSON DAN IODM (INDIAN OCEAN DIPOLE MODE) Oleh : HOLILUDIN C64104069 SKRIPSI PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN

Lebih terperinci