5 HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
3 METODE PENELITIAN. Gambar 10 Lokasi penelitian.

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang.

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

seine yang digunakan sebagai sampel, ada 29 (97%) unit kapal yang tidak

5 PERUMUSAN STRATEGI PENGEMBANGAN PERIKANAN PANCING DENGAN RUMPON DI PERAIRAN PUGER, JAWA TIMUR

VIII. PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP YANG BERKELANJUTAN. perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali memperlihatkan jumlah alokasi

4 KEADAAN UMUM. 4.1 Letak dan Kondisi Geografis

6 PEMBAHASAN 6.1 Unit Penangkapan Bagan Perahu 6.2 Analisis Faktor Teknis Produksi

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

METODE PENELITIAN STOCK. Analisis Bio-ekonomi Model Gordon Schaefer

3 METODE PENELITIAN. # Lokasi Penelitian

VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP. Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan

3 METODOLOGI. Gambar 3 Peta lokasi penelitian.

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Pelaksanaan Strategi

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

4 HASIL. Gambar 4 Produksi tahunan hasil tangkapan ikan lemuru tahun

5.5 Status dan Tingkat Keseimbangan Upaya Penangkapan Udang

3. METODE PENELITIAN

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... vii. DAFTAR LAMPIRAN... viii

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

5 HASIL PENELITIAN. Tahun. Gambar 8. Perkembangan jumlah alat tangkap purse seine di kota Sibolga tahun

5 PEMBAHASAN 5.1 Analisis Sumber Daya Lestari Perikanan Gillnet

VI. KARAKTERISTIK PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP. Rumahtangga nelayan merupakan salah satu potensi sumberdaya yang

1. PENDAHULUAN. Tabel 1. Volume dan nilai produksi ikan lemuru Indonesia, tahun Tahun

I. PENDAHULUAN. dalam PDB (Produk Domestik Bruto) nasional Indonesia. Kontribusi sektor

TINJAUAN PUSTAKA. dimana pada daerah ini terjadi pergerakan massa air ke atas

VI. ANALISIS BIOEKONOMI

I. PENDAHULUAN. Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan

PENDUGAAN POTENSI SUMBERDAYA PERIKANAN LAUT DAN TINGKAT KERAGAAN EKONOMI PENANGKAPAN IKAN (KASUS DI TPI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG)

1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang

C E =... 8 FPI =... 9 P

BAB III METODE PENELITIAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Volume 5, Nomor 2, Desember 2014 Indonesian Journal of Agricultural Economics (IJAE) ANALISIS POTENSI LESTARI PERIKANAN TANGKAP DI KOTA DUMAI

III. METODE PENELITIAN. Konsep dasar dan definisi operasional merupakan pengertian dan petunjuk

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI

METODE KAJIAN. 3.1 Kerangka Pemikiran

BAB III METODE PENELITIAN

PENDAHULUAN. Sumberdaya tersebut diolah dan digunakan sepuasnya. Tidak satupun pihak yang

III. METODE PENELITIAN

Gambar 6 Sebaran daerah penangkapan ikan kuniran secara partisipatif.

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN. Proses produksi kopi luwak adalah suatu proses perubahan berbagai faktor

3. BAHAN DAN METODE. Gambar 6. Peta Lokasi Penelitian (Dinas Hidro-Oseanografi 2004)

IV. METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian 4.2 Metode Penelitian 4.3 Metode Pengambilan Sampel

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB VII FORMULASI DAN PEMILIHAN STRATEGI. oleh perusahaan. Pengidentifikasian faktor-faktor eksternal dan internal dilakukan

BAB VI ARAHAN DAN STRATEGI

penangkapan (Berkes et a/., 2001 dalam Wiyono dan Wahju, 2006). Secara de

III. METODE PENELITIAN. Konsep dasar ini mencakup pengertian yang digunakan untuk menunjang dan

IV. METODE PENELITIAN

PPN Palabuhanratu. PPN Palabuhanratu ' ' ' ' ' ' ' ' ' ' ' ' '

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

3. METODOLOGI PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN. kriteria tertentu. Alasan dalam pemilihan lokasi penelitian adalah TPI Wonokerto

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

ABSTRACT. Key word : bio-economic analysis, lemuru resources, bali strait, purse seine, resource rent tax, user fee

ANALISIS EKONOMI PERIKANAN YANG TIDAK DILAPORKAN DI KOTA TERNATE, PROVINSI MALUKU UTARA I. PENDAHULUAN

Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura

III. METODE PENELITIAN. Konsep dasar dan batasan operasional ini meliputi pengertian yang digunakan

IV METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian ini dilakukan di kawasan Kalimalang, Jakarta Timur.

5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Analisis strategi pengembangan perikanan pukat cincin di Kecamatan Tuminting Kota Manado Provinsi Sulawesi Utara

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. ke konsumen semakin banyak dengan kualitasnya masing-masing. Keadaan ini

3 METODOLOGI PENELITIAN

PENDAHULUAN. Sumberdaya ikan merupakan salah satu jenis sumberdaya alam yang

IV METODOLOGI 4.1 Metode Penelitian 4.2 Jenis dan Sumber Data

III. METODE KAJIAN. B. Pengolahan dan Analisis Data

ANALISIS BIOEKONOMI IKAN KEMBUNG (Rastrelliger spp) DI KOTA MAKASSAR Hartati Tamti dan Hasriyani Hafid ABSTRAK

PENDUGAAN STOK IKAN TONGKOL DI SELAT MAKASSAR SULAWESI SELATAN

I. PENDAHULUAN. dan 46 jenis diantaranya merupakan ikan endemik (Syandri, 2008). Salah satu

Analisis SWOT Deskriptif Kualitatif untuk Pariwisata

KELAYAKAN PENANGKAPAN IKAN DENGAN JARING PAYANG DI PALABUHANRATU MENGGUNAKAN MODEL BIOEKONOMI GORDON- SCHAEFER

III. METODE KAJIAN A. Lokasi dan Waktu B. Metode Kerja 1. Pengumpulan data

III METODE PENELITIAN. Daerah penelitian adalah wilayah pesisir di Kecamatan Punduh Pidada,

STRATEGI PEMASARAN DEALER YAMAHA AMIE JAYA UNTUK MENINGKATKAN PENJUALAN MENGGUNAKAN MATRIKS BCG DAN ANALISIS SWOT

PENGHITUNGAN TINGKAT EFISIENSI TEKNIS DAN PENGGUNAAN VARIABEL INPUT ALAT TANGKAP PURSE SEINE YANG BERBASIS DI PPP LAMPULO ACEH

IV. METODE PENELITIAN

Lampiran 1 Layout PPN Prigi

POTENSI BERKELANJUTAN SUMBER DAYA IKAN PELAGIS BESAR DI KABUPATEN MALUKU TENGAH

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Mulya Kencana Kecamatan Tulang Bawang

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN. beroperasi di perairan sekitar Kabupaten Pekalongan dan menjadikan TPI

STRATEGI PENGEMBANGAN PERIKANAN JARING BOBO DI OHOI SATHEAN KEPULAUAN KEI MALUKU TENGGARA. Jacomina Tahapary, Erwin Tanjaya

BAB IV HASIL ANALISIS DATA. kesengajaan karena kondisi keluarga yang pindah ke Babadan untuk

METODE PENELITIAN. Konsep dasar dan definisi operasional mencakup pengertian yang

BAB III METODE PENELITIAN

Keragaan dan alokasi optimum alat penangkapan cakalang (Katsuwonus pelamis) di perairan Selat Makassar

IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2 Metode Penentuan Sampel

Gambar 7. Peta kawasan perairan Teluk Banten dan letak fishing ground rajungan oleh nelayan Pelabuhan Perikanan Nusantara Karangantu

BAB IV METODE PENELITIAN

STRATEGI PENGEMBANGAN PRODUKSI KEMUKUS DI DESA BANYUASIN KEMBARAN KECAMATAN LOANO KABUPATEN PURWOREJO

7 PEMBAHASAN 7.1 Pemilihan Teknologi Perikanan Pelagis di Kabupaten Banyuasin Analisis aspek biologi

BAB V PEMBAHASAN DAN ANALISIS Faktor-faktor strategis pembentuk SWOT PT. KLS

Tingkat Efisiensi Kapasitas Perikanan Pukat Cincin di Banda Aceh

III. METODE KAJIAN A. Pengumpulan Data

Transkripsi:

37 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Pemanfaatan Kapasitas Penangkapan (Fishing Capacity) Dalam menganalisis kapasitas penangkapan purse seine berdasarkan bulan, data adalah data pendaratan ikan dari kapal-kapal purse seine yang tercatat di Pangkalan pendaratan ikan (PPI) mulai bulan September 2009 s/d Agustus 2010. Jumlah unit purse seine di Kabupaten Aceh Besar sebanyak 56 unit, sedangkan yang menjadi sampel dalam penelitian ini sebanyak 30 unit. Penghitungan menggunakan single output yaitu total hasil tangkapan selama setahun mulai bulan September 2009 s/d Agustus 2010 dengan hasil tangkapan tercatat di tempat pendaratan ikan. 30 25 Unit purse seine 20 15 10 5 0.5 0.5 0.99 1 1.01 1.50 0 Sept Okt Nop Des Jan Feb Mar Apr Mei Juni Juli Agst Gambar 14 Dinamika nilai capacity unit September 2009-Agustus 2010. Gambar 14 memperlihatkan nilai pemanfaatan kapasitas penangkapan (CU) maksimum bulan September 2009 adalah 1 dan nilai pemanfaatan kapasitas penangkapan (CU) minimum adalah 0,08. Jumlah kapal yang mencapai nilai CU = 1 sebanyak 2 unit kapal. Jumlah kapal yang mencapai nilai CU 0,5 0,99 berjumlah 11 unit kapal, sedangkan yang mencapai nilai CU < 0,5 berjumlah 17 unit kapal, dengan dugaan tingkat pemanfaatan kapasitas penangkapan (CU) diperoleh nilai CU rata-rata 0,47 (Lampiran 14). Bulan Oktober nilai pemanfaatan kapasitas penangkapan (CU) maksimum adalah 1 dan nilai pemanfaatan kapasitas penangkapan (CU) minimum adalah 0,09. Jumlah kapal yang mencapai nilai CU = 1 sebanyak 2 unit kapal. Jumlah kapal yang mencapai nilai CU 0,5 0,99 berjumlah 6 unit kapal, sedangkan yang

38 mencapai nilai CU < 0,5 berjumlah 22 unit kapal, dengan dugaan tingkat pemanfaatan kapasitas penangkapan (CU) diperoleh nilai CU rata-rata 0,39 (Lampiran 15). Bulan November nilai tingkat pemanfaatan kapasitas penangkapan (CU) maksimum adalah 1 dan nilai tingkat pemanfaatan kapasitas penangkapan (CU) minimum adalah 0,03. Jumlah kapal yang mencapai nilai CU = 1 sebanyak 1 unit kapal. Jumlah kapal yang mencapai nilai CU 0,5 0,99 berjumlah 3 unit kapal, sedangkan yang mencapai nilai CU < 0,5 berjumlah 26 unit kapal, dengan dugaan tingkat pemanfaatan kapasitas penangkapan (CU) diperoleh nilai CU rata-rata 0,31 (Lampiran 16). Bulan Desember nilai pemanfaatan kapasitas penangkapan (CU) maksimum adalah 1 dan nilai pemanfaatan kapasitas penangkapan (CU) minimum adalah 0,2. Jumlah kapal yang mencapai nilai CU = 1 sebanyak 1 unit kapal. Jumlah kapal yang mencapai nilai CU 0,5 0,99 berjumlah 12 unit kapal, sedangkan yang mencapai nilai CU < 0,5 berjumlah 17 unit kapal, dengan dugaan tingkat pemanfaatan kapasitas penangkapan (CU) diperoleh nilai CU rata-rata 0,48 (Lampiran 17). Bulan Januari nilai pemanfaatan kapasitas penangkapan (CU) maksimum adalah 1 dan nilai pemanfaatan kapasitas penangkapan (CU) minimum adalah 0,09 (Lampiran 18). Jumlah kapal yang mencapai nilai CU = 1 sebanyak 1 unit kapal. Jumlah kapal yang mencapai nilai CU 0,5 0,99 adalah 9 unit kapal, sedangkan yang mencapai nilai CU < 0,5 adalah 20 unit kapal, dengan dugaan tingkat pemanfaatan kapasitas penangkapan (CU) diperoleh nilai CU rata-rata 0,40 (Lampiran 18). Bulan Februari nilai pemanfaatan kapasitas penangkapan (CU) maksimum adalah 1 dan nilai pemanfaatan kapasitas penangkapan (CU) minimum adalah 0,07. Jumlah kapal yang mencapai nilai CU = 1 sebanyak 1 unit kapal. Jumlah kapal yang mencapai nilai CU 0,5 0,99 berjumlah 4 unit kapal, sedangkan yang mencapai nilai CU < 0,5 berjumlah 25 unit kapal, dengan dugaan tingkat pemanfaatan kapasitas penangkapan (CU) diperoleh nilai CU rata-rata 0,33 (Lampiran 19).

39 Bulan Maret nilai pemanfaatan kapasitas penangkapan (CU) maksimum adalah 1 dan nilai pemanfaatan kapasitas penangkapan (CU) minimum adalah 0,06, dengan jumlah kapal yang mencapai nilai CU = 1 (tingkat pemanfaatan kapasitas penangkapan optimum) sebanyak 1 unit kapal. Sedangkan jumlah kapal yang mencapai nilai CU 0,5 0,99 yaitu 6 unit, jumlah kapal yang mencapai nilai CU < 0,5 berjumlah 23 unit dengan dugaan tingkat pemanfaatan kapasitas penangkapan (CU) diperoleh nilai CU rata-rata 0,38 (Lampiran 20). Bulan April nilai pemanfaatan kapasitas penangkapan (CU) CU maksimum adalah 1 dan nilai pemanfaatan kapasitas penangkapan (CU) minimum adalah 0,03, dengan jumlah kapal yang mencapai nilai CU = 1 sebanyak 2 unit kapal. Jumlah kapal yang mencapai nilai CU 0,5 0,99 berjumlah 3 unit kapal, sedangkan yang mencapai nilai CU < 0,5 berjumlah 25 unit kapal, dengan dugaan tingkat pemanfaatan kapasitas penangkapan (CU) diperoleh nilai CU rata-rata 0,31 (Lampiran 21). Bulan Mei nilai tingkat pemanfaatan kapasitas penangkapan (CU) maksimum adalah 1 dan CU minimum adalah 0,02. Jumlah kapal yang mencapai nilai CU = 1 (tingkat pemanfaatan kapasitas penangkapan optimum) sebanyak 1 unit. Jumlah kapal yang mencapai nilai CU=0,5 0,99 yaitu 1 unit, sedangkan yang mencapai nilai CU < 0,5 berjumlah 28 unit, dengan dugaan tingkat pemanfaatan kapasitas penangkapan (CU) diperoleh nilai CU rata-rata 0,24 (Lampiran 22). Bulan Juni nilai pemanfaatan kapasitas penangkapan (CU) maksimum adalah 1,12 dan nilai pemanfaatan kapasitas penangkapan (CU) minimum adalah 0,13, dengan jumlah kapal yang mencapai nilai CU = 1 (tingkat pemanfaatan kapasitas penangkapan optimum) sebanyak 3 unit kapal dan yang mencapai nilai CU 1,01 1,50 adalah 1 unit kapal, jumlah kapal yang mencapai nilai CU 0,5 0,99 berjumlah 7 unit kapal, sedangkan yang mencapai nilai CU < 0,5 berjumlah 19 unit kapal dengan dugaan tingkat pemanfaatan kapasitas penangkapan (CU) diperoleh nilai CU rata-rata 0,45 (Lampiran 23). Bulan Juli nilai pemanfaatan kapasitas penangkapan (CU) maksimum adalah 1 dan nilai pemanfaatan kapasitas penangkapan (CU) minimum adalah 0,19. Jumlah kapal yang mencapai nilai CU = 1 sebanyak 1 unit kapal. Jumlah

40 kapal yang mencapai nilai CU 0,5 0,99 berjumlah 15 unit kapal, sedangkan yang mencapai nilai CU < 0,5 berjumlah 14 unit kapal, dengan dugaan tingkat pemanfaatan kapasitas penangkapan (CU) diperoleh nilai CU rata-rata 0,53 (Lampiran 24). Bulan Agustus nilai tingkat pemanfaatan kapasitas penangkapan (CU) maksimum adalah 1 dan nilai tingkat pemanfaatan kapasitas penangkapan (CU) minimum adalah 0,09. Jumlah kapal yang mencapai nilai CU = 1 sebanyak 2 unit kapal. Jumlah kapal yang mencapai nilai CU 0,5 0,99 berjumlah 7 unit kapal, sedangkan yang mencapai nilai CU < 0,5 berjumlah 22 unit kapal, dengan dugaan tingkat pemanfaatan kapasitas penangkapan (CU) diperoleh nilai CU rata-rata 0,39 (Lampiran 25). Gambar 19 memperlihatkan bahwa hasil penghitungan pemanfaatan kapasitas penangkapan dengan menggunakan single output (total tangkapan) berdasarkan bulan ( September 2009-Agustus 2010) menunjukkan bahwa hanya ada 1 3 unit kapal purse seine yang mencapai optimum (CU = 1) pada setiap bulannya. Sehingga dari 30 unit kapal purse seine yang digunakan sebagai sampel, ada 26 28 (91%-95%) unit kapal yang tidak optimum dalam pemanfaatan kapasitas penangkapannya. Nilai pemanfaatan kapasitas penangkapan yang masih jauh dari optimum (CU < 0,5) rata-rata mencapai 72% (22 unit), dengan penghitungan pemanfaatan kapasitas penangkapan berdasarkan bulan September 2009-Agustus 2010 diperoleh 17 unit kapal yang mencapai nilai optimum (CU=1) dengan nilai kapasitas penangkapan purse seine di perairan Kabupaten Aceh Besar adalah 257 ton/unit/tahun. Perkembangan perikanan purse seine di perairan Aceh Besar, jika nilai rasio penggunaan input kurang dari 1 berarti telah terjadi surplus dalam penggunaan input, sehingga pengusaha mengurangi pengunaan input tersebut (Fare et al. 1994).

41 35 Unit purse seine 30 25 20 15 10 5 0 ABK lampu palkah trip ABK lampu palkah trip ABK lampu palkah trip ABK lampu palkah trip < 0.5 0.5<VIU<1 1 1 VIU<1.5 Sept Okt Nop Des Jan Feb Mar Apr Mei Juni Juli Agst Variabel input unit Gambar 15 Dinamika nilai VIU September 2009-Agustus 2010. 41

42 Gambar 15 memperlihatkan bahwa nilai pemanfaatan variabel input (VIU) bulan september hasil penghitungan dengan menggunakan single output, maka variabel ABK nilai rata-rata VIU 0,94, variabel lampu nilai rata-rata VIU 1,21, variabel palkah nilai rata-rata VIU 1,06 dan variabel trip nilai rata-rata VIU 1,27. Jumlah kapal yang mencapai nilai VIU = 1 untuk variabel ABK 9 unit, variabel lampu 2 unit, variabel palkah 8 unit dan variabel trip 4 unit kapal. Jumlah kapal yang mencapai nilai VIU 0,5 0,99 untuk variabel ABK 16 unit, variabel lampu 0 unit, variabel palkah 5 unit dan variabel trip 5 unit kapal. Jumlah kapal yang mencapai nilai VIU 1,01 1,5 untuk variabel ABK 6 unit, variabel lampu 29 unit, variabel palkah 17 unit dan variabel trip 8 unit kapal. Jumlah kapal yang mencapai nilai VIU < 0,5 dan >1,5 hanya pada variabel 4 masing-masing 5 unit dan 9 unit kapal (Lampiran 14). Bulan Oktober nilai pemanfaatan variabel input (VIU) hasil penghitungan dengan menggunakan single output, maka untuk variabel ABK nilai rata-rata VIU 1,17, variabel lampu nilai rata-rata VIU 1,11, variabel palkah nilai rata-rata VIU 1,13 dan variabel trip nilai rata-rata VIU 0,63. Jumlah kapal yang mencapai nilai VIU = 1 untuk variabel ABK 7 unit, variabel lampu 8 unit, variabel palkah 5 unit dan variabel trip 2 unit kapal. Jumlah kapal yang mencapai nilai VIU 0,5 0,99 untuk variabel ABK 2 unit, variabel lampu 8, variabel palkah 1 unit dan variabel trip 11 unit kapal. Jumlah kapal yang mencapai nilai VIU 1,01 1,5 untuk variabel ABK yaitu 21 unit, variabel lampu 14 unit, variabel palkah 25 unit dan variabel trip 2 unit kapal. Sedangkan jumlah kapal yang mencapai nilai VIU < 0,5 hanya pada variabel trip dengan jumlah 15 unit kapal (Lampiran 15). Bulan November nilai pemanfaatan variabel input (VIU) hasil penghitungan dengan menggunakan single output, maka untuk variabel ABK nilai rata-rata VIU 0,96, variabel lampu nilai rata-rata VIU 1,01, variabel palkah nilai rata-rata VIU 1,05 dan variabel trip nilai rata-rata VIU 0,46. Jumlah kapal yang mencapai nilai VIU = 1 untuk variabel ABK 5 unit, variabel lampu 6 unit, variabel palkah 5 unit dan variabel trip 1 unit kapal. Jumlah kapal yang mencapai nilai VIU 0,5 0,99 untuk variabel ABK 16 unit, variabel lampu 8 unit, variabel palkah 5 unit dan variabel trip 9 unit kapal. Jumlah kapal yang mencapai nilai VIU 1,01 1,5 untuk variabel ABK 9 unit, variabel lampu 16 unit, variabel palkah 20 unit dan variabel

43 trip 1 unit kapal. Sedangkan jumlah kapal yang mencapai nilai VIU < 0,5 hanya pada variabel trip berjumlah 19 unit kapal (Lampiran 16). Bulan Desember nilai pemanfaatan variabel input (VIU) hasil penghitungan dengan menggunakan single output, maka variabel ABK nilai rata-rata VIU 0,90, variabel lampu nilai rata-rata VIU 1,14, variabel palkah nilai rata-rata VIU 0,99 dan variabel trip nilai rata-rata VIU 0,85. Jumlah kapal yang mencapai nilai VIU 0,5 0,99 variabel ABK 22 unit, variabel lampu 0 unit, variabel palkah 12 unit dan variabel trip 19 unit kapal. Jumlah kapal yang mencapai nilai VIU 1,01 1,5 variabel ABK yaitu 3 unit, variabel lampu 27 unit, variabel palkah 13 unit dan variabel trip 5 unit kapal. Jumlah kapal yang mencapai nilai VIU < 0,5 dan >1,5 hanya pada variabel 4 berjumlah 3 unit dan 1 unit kapal (Lampiran 17). Bulan Januari nilai pemanfaatan variabel input (VIU) hasil penghitungan dengan menggunakan single output, maka untuk variabel ABK nilai rata-rata VIU 0,90, variabel lampu nilai rata-rata VIU 1,13, variabel palkah nilai rata-rata VIU 0,99, dan variabel trip nilai rata-rata VIU 0,62. Jumlah kapal yang mencapai nilai VIU = 1 untuk variabel ABK 6 unit, variabel lampu 4 unit, variabel palkah 6 unit dan variabel trip 2 unit kapal. Jumlah kapal yang mencapai nilai VIU 0,5 0,99 untuk variabel ABK 22 unit, variabel lampu 0 unit, variabel palkah 13 unit dan variabel trip 13 unit kapal. Jumlah kapal yang mencapai nilai VIU 1,01 1,5 untuk variabel ABK yaitu 2 unit, variabel lampu 26 unit, variabel palkah 11 unit dan variabel trip 1 unit kapal. Jumlah kapal yang mencapai nilai VIU < 0,5 hanya pada variabel trip 13 unit dan nilai VIU >1,5 hanya pada variabel trip 1 unit kapal (Lampiran 18). Bulan Februari nilai pemanfaatan variabel input (VIU) hasil penghitungan dengan menggunakan single output, maka untuk variabel ABK nilai rata-rata VIU 0,98, variabel lampu nilai rata-rata VIU 1,04, variabel palkah nilai rata-rata VIU 1,06 dan variabel trip nilai rata-rata VIU 0,45. Jumlah kapal yang mencapai nilai VIU = 1 untuk variabel ABK 2 unit, variabel lampu 3 unit, variabel palkah 2 unit dan variabel trip 1 unit kapal. Jumlah kapal yang mencapai nilai VIU 0,5 0,99 untuk variabel ABK 14 unit, variabel lampu 5 unit, variabel palkah 5 unit dan variabel trip 10 unit kapal. Jumlah kapal yang mencapai nilai VIU 1,01-1,5 untuk variabel ABK 14 unit, variabel lampu 22 unit, variabel palkah 23 unit dan variabel

44 trip 0 unit kapal. Jumlah kapal yang mencapai nilai VIU < 0,5 hanya pada variabel trip berjumlah 19 unit kapal (Lampiran 19). Bulan Maret nilai pemanfaatan variabel input (VIU) dengan hasil penghitungan dengan menggunakan single output, maka untuk variabel ABK nilai rata-rata VIU 0,96, variabel lampu nilai rata-rata VIU 1,01, variabel palkah nilai rata-rata VIU 1,07 dan variabel trip nilai rata-rata VIU 0,61. Kapal yang mencapai nilai VIU = 1 untuk variabel ABK berjumlah 5 unit, variabel lampu berjumlah 6 unit, variabel palkah berjumlah 5 unit dan variebel trip berjumlah 2 unit. Jumlah kapal yang mencapai nilai VIU= 0,5 0,99 untuk variabel ABK berjumlah 16 unit, variabel lampu berjumlah 8 unit, variabel palkah berjumlah 5 unit dan variabel trip berjumlah 15 unit. Kapal yang mencapai nilai VIU=1,01 1,5 untuk variabel ABK berjumlah 9 unit, variabel lampu berjumlah 16 unit, variabel palkah berjumlah 20 unit dan variabel trip berjumlah 3 unit. Kapal yang mencapai nilai VIU < 0,5 hanya pada varibel trip berjumlah 10 unit (Lampiran 20). Bulan April nilai pemanfaatan variabel input (VIU) hasil penghitungan dengan menggunakan single output, maka untuk variabel ABK nilai rata-rata VIU adalah 0,98, variabel lampu rata-rata VIU 1,29, variabel palkah rata-rata VIU 1,08 dan variabel trip rata-rata VIU 0,65. Jumlah kapal yang mencapai nilai VIU = 1 untuk varibel ABK berjumlah 10 unit kapal, variabel lampu berjumlah 1 unit, variabel palkah berjumlah 9 unit dan variabel trip berjumlah 3 unit. Jumlah kapal yang mencapai nilai VIU 0,5 0,99 untuk variabel ABK berjumlah 15 unit, variabel lampu berjumlah 0 unit, variabel palkah 4 unit dan variabel trip berjumlah 12 unit kapal. Jumlah kapal yang mencapai nilai VIU 1,01 1,5 untuk variabel ABK 5 unit, variabel lampu 28 unit, variabel palkah 17 unit dan variabel trip 2 unit kapal. Sedangkan jumlah kapal yang mencapai nilai VIU < 0,5 hanya pada variabel trip berjumlah 14 unit kapal (Lampiran 21). Bulan Mei nilai pemanfaatan variabel input (VIU) dengan hasil penghitungan deengan menggunakan single output, maka untuk variabel ABK nilai rata-rata VIU 0,97, variable lampu nilai rata-rata VIU 1,02, variabel palkah nilai rata-rata VIU 1,07 dan variabel trip nilai rata-rata VIU 0,35. Jumlah kapal yang mencapai nilai VIU = 1 untuk variable ABK berjumlah 2 unit, variabel lampu berjumlah 3 unit, variable palkah berjumlah 2 unit dan variable trip

45 berjumlah 1 unit kapal. Jumlah kapal yang mencapai nilai VIU = 0,5 0,99 untuk variabel ABK berjumlah 16 unit, variabel lampu berjumlah 8 unit, variabel palkah berjumlah 5 unit dan variabel trip berjumlah 3 unit kapal. Jumlah kapal yang mencapai nilai VIU= 1,01 1,5 untuk variabel ABK berjumlah 12 unit, variabel lampu berjumlah 19 unit, variabel palkah berjumlah 23 unit dan variabel trip berjumlah 0 unit kapal. Jumlah kapal yang mencapai nilai VIU < 0,5 hanya pada variabel trip berjumlah 26 unit kapal (Lampiran 22 ). Bulan Juni nilai pemanfaatan variabel input (VIU) dengan hasil penghitungan menggunakan single output, maka untuk variabel ABK nilai ratarata VIU 0.97, variabel lampu nilai rata-rata VIU 0,9 variabel palkah nilai ratarata VIU 1,01 dan variabel trip nilai rata-rata VIU 0,43. Kapal yang mencapai nilai VIU = 1 untuk variabel ABK berjumlah 4 unit, variabel lampu berjumlah 4 unit, variabel palkah 4 unit dan variabel trip 3 unit kapal. Jumlah kapal yang mencapai nilai VIU 0,5 0,99 untuk varibel ABK berjumlah 15 unit, variabel lampu berjumlah 14 unit, variabel palkah berjumlah 14 unit dan variabel trip berjumlah 9 unit kapal. Sedangkan jumlah kapal yang mencapai nilai VIU 1,01 1,5 untuk variabel ABK berjumlah 11 unit, variabel lampu berjumlah 13 unit, variabel palkah berjumlah 13 unit dan variabel trip berjumlah 0 unit kapal. Jumlah kapal yang mencapai nilai VIU < 0,5 hanya pada varibel trip berjumlah 18 unit kapal (Lampiran 23). Bulan Juli nilai pemanfaatan variabel input (VIU) hasil penghitungan dengan menggunakan single output, maka untuk variabel ABK nilai rata-rata VIU 0,09, variabel lampu nilai rata-rata VIU 1,11, variabel palkah nilai rata-rata VIU 0,99 dan variabel trip nilai rata-rata VIU 0,48. Jumlah kapal yang mencapai nilai VIU = 1 untuk variabel ABK 5 unit, variabel lampu 5 unit, variabel palkah 5 unit dan variabel trip 2 unit kapal. Jumlah kapal yang mencapai nilai VIU 0,5 0,99 untuk variabel ABK 22 unit, variabel lampu 0 unit, variabel palkah 13 unit dan variabel trip 9 unit kapal. Jumlah kapal yang mencapai nilai VIU 1,01 1,5 untuk variabel ABK 3 unit, variabel lampu 27 unit, variabel palkah 12 unit dan variabel trip 0 unit kapal. Jumlah kapal yang mencapai nilai VIU < 0.5 pada variabel trip berjumlah 19 unit kapal (Lampiran 24).

46 Bulan Agustus nilai pemanfaatan variabel input (VIU) hasil penghitungan dengan menggunakan single output, maka untuk variabel ABK nilai rata-rata VIU 0,99, variabel lampu nilai rata-rata VIU 1,03, variabel palkah nilai rata-rata VIU 1,06 dan variabel trip nilai rata-rata VIU 0,69. Jumlah kapal yang mencapai nilai VIU = 1 untuk variabel ABK yaitu 3 unit, variabel lampu 4 unit, variabel palkah 3 unit dan variabel trip 1 unit kapal. Jumlah kapal yang mencapai nilai VIU 0,5 0,99 untuk variabel ABK 16 unit, variabel lampu 8 unit, variabel palkah 5 unit dan variabel trip 15 unit kapal. Jumlah kapal yang mencapai nilai VIU 1,01 1,5 untuk variabel ABK 12 unit, variabel lampu 19 unit, variabel palkah 23 unit dan variabel trip 3 unit kapal. Jumlah kapal yang mencapai nilai VIU < 0,5 hanya pada variabel trip berjumlah 11 unit kapal (Lampiran 25). Gambar 15 memperlihatkan persentase jumlah unit kapal purse seine yang pemanfaatan kapasitas penangkapannya tidak optimum erat kaitannya dengan tingkat pemanfaatan variabel input (trip). Apabila pencapaian tingkat pemanfaatan kapasitas belum optimum masih ada peluang untuk meningkatkannya melalui berbagai upaya. Upaya tersebut dapat berupa pengurangan atau penambahan baik input maupun outputnya (Kirkley and Squire, 1999). Hasil penghitungan menunjukkan bahwa nilai VIU 4 (trip) < 1, rata-rata diperoleh 72% (24 unit kapal) setiap bulannya. Kapal purse seine yang mencapai nilai VIU 4 (trip) = 1 (optimum) umumnya setara dengan 4 trip setiap bulannya. Kapal purse seine yang beroperasi < 4 trip perbulan berarti tidak optimum memanfaatkan variabel input ini. Tingkat pemanfaatan kapasitas variabel input (lampu dan palkah) pada umumnya hampir merata pada semua unit kapal setiap bulannya yaitu di atas pemanfaatan optimum (VIU>1). Kapal-kapal purse seine Aceh Besar umumnya menggunakan kekuatan lampu 11.000 16.000 watt dan volume palkah 6 9 m 3. Berdasarkan hasil perhitungan, penangkapan menjadi lebih maksimal dengan kekuatan lampu 13.000 watt dan volume palkah 7 m 3. Sehingga kapal-kapal purse seine yang menggunakan kekuatan lampu 16.000 watt dan volume palkah 9 ton agar menguranginya, Tingkat pemanfaatan kapasitas variabel input (ABK) pada umumnya juga merata pada semua unit kapal purse seine Aceh Besar di setiap bulannya yaitu di bawah pemanfaatan optimum (VIU<1). Kapal purse seine di peraian Aceh Besar umumnya menggunakan ABK berjumlah 15 20 orang.

47 Berdasarkan hasil perhitungan, jumlah ABK optimum untuk kegiatan penangkapan berjumlah 17 orang. Kapal purse seine yang menggunakan 15 orang ABK dapat menambahnya, sehingga tingkat pemanfaatan kapasitas penangkapan menjadi lebih optimal. Sadhotomo et al. (1986) menyatakan bahwa semakin lama kapal purse seine di laut ternyata bukan juga penyebab kenaikan laju tangkap, akan tetapi secara keseluruhan fluktuasi laju tangkap cenderung lebih dipengaruhi oleh fluktuasi tahunan daripada lamanya kapal di laut. 5.2 Analisis Bioekonomi Perikanan Purse Seine Estimasi keseimbangan bioekonomi dengan pendekatan pengelolaan perikanan merupakan salah satu alternatif pengelolaan sumberdaya perikanan secara berkelanjutan dengan pertimbangan biologi dan ekonomi. Tujuan utama pendekatan bioekonomi adalah aspek ekonomi dengan kendala aspek biologi sumberdaya perikanan, dengan indikator terdiri atas: hasil tangkapan optimal, effort optimal dan rente optimal. 5.2.1 Biaya penangkapan Aspek ekonomi perikanan yang diperhitungkan adalah faktor harga dan biaya. Beberapa asumsi dalam model Gordon-Schaefer menurut Fauzi (2004) adalah biaya per satuan upaya (c) dan harga per satuan output adalah konstan dan hanya faktor penangkapan yang diperhitungkan. Ketiga asumsi tersebut dipergunakan dalam penelitian optimasi purse seine. Berdasarkan asumsi tersebut, maka biaya penangkapan yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah total pengeluaran rata-rata unit penangkapan ikan, meliputi biaya operasional dan biaya penyusutan per trip penangkapan. Biaya pengoperasian purse seine dibagi dalam biaya tetap dan biaya tidak tetap. Biaya tetap adalah biaya yang harus dikeluarkan dan jumlahnya tetap. Biaya tetap digunakan untuk perawatan kapal, perawatan mesin, perawatan lampu, dan perawatan dinamo lampu. Biaya tidak tetap adalah semua biaya yang dikeluarkan dalam jumlah yang tidak tetap setiap melakukan operasi penangkapan. Biaya ini dapat berubah sesuai dengan kebutuhan operasional penangkapan. Biaya ini digunakan untuk biaya operasional penangkapan yang terdiri dari kebutuhan solar, minyak tanah, oli, gemuk, es balok, konsumsi nelayan dan air tawar. Upah ABK

48 bersifat tidak tetap dalam jumlah rupiah tetapi bersifat tetap dalam sistem bagi hasil. Tabel 7 menunjukkan pengeluaran rata-rata per trip unit purse seine. Tabel 7 Rata-rata pengeluaran per trip unit purse seine No Komponen Biaya Harga (Rp) Persentase (%) 1 Biaya Operasional Solar Oli Minyak Tanah Bensin Ransum Air Tawar Es 3.015.000 170.000 64.000 112.500 350.000 100.000 200.000 65,38 5,76 2,73 1,79 1,.22 5,69 10,41 Total 4.011.500 100 Berdasarkan Tabel 7 biaya penangkapan per trip (c) alat tangkap purse seine di Kabupaten Aceh Besar Rp 4.011.500, dengan persentase terbesar pada pembelian solar sebesar Rp 3.015.000. Hal ini disebabkan harga bahan bakar minyak (BBM) yang sangat tinggi untuk para nelayan yaitu Rp 4.500. Alokasi biaya pengoperasian lebih banyak terpakai untuk pembelian solar sebagai bahan bakar utama yang dipakai untuk mengoperasikan purse seine, sehingga mendorong nelayan untuk menaikkan harga jual hasil tangkapan untuk mengimbangi biaya operasional yang meningkat. 5.2.2 Harga ikan hasil tangkapan Harga ikan dalam penelitian ini merupakan harga rata-rata penjualan ikan dari dua musim penangkapan yang berbeda, yaitu musim puncak dan musim biasa. Harga ini dipengaruhi oleh jumlah produksi pada musim tertentu, jenis ikan dan selera konsumen. Saat musim puncak, ikan hasil tangkapan lebih banyak dibandingkan musim biasa sehingga penawaran menjadi rendah, sedangkan pada saat musim biasa permintaan dan penawaran terhadap hasil tangkapan tinggi tetapi produksinya lebih sedikit dengan menganut model Gordon-Schaefer yaitu harga ikan yang bersifat konstan. Hasil tangkapan purse seine di Kabupaten Aceh Besar adalah ikan tongkol layang, selar, kembung dan cumi-cumi. Ikan selar, cumi-cumi, kembung dan tongkol memiliki nilai jual yang lebih tinggi dibandingkan jenis lainnya. Harga ini juga dipengaruhi oleh selera masyarakat terhadap produk perikanan dimana jenis

49 ikan yang disenangi masyarakat akan memiliki nilai jual lebih tinggi. Masuknya komoditas tangkapan dari daerah lain akan mengakibatkan penurunan harga dan penurunan mutu hasil tangkapan karena sudah terlalu lama berada di laut. Harga jual hasil tangkapan per kilogram pada saat musim puncak menurut responden adalah berkisar Rp 8.350-Rp 16.450 dengan harga rata-rata Rp 12.399 dan pada saat musim biasa harganya berkisar Rp 10.500-Rp 19.280 dengan harga rata-rata penjualan Rp 14.901 per kilogram, sehingga rata-rata harga penjualan ikan per kilogram adalah Rp 13.650. (Lampiran 27). Pemasaran hasil tangkapan berperan penting dalam kegiatan usaha perikanan karena proses tersebut bertujuan untuk memasarkan dan menyalurkan hasil tangkapan dari produsen ke konsumen. Proses pemasaran hasil tangkapan dimulai sejak ikan didaratkan di tempat pelelangan ikan (TPI). Pedagang yang mengikuti proses pelelangan di TPI terdiri dari pedagang besar dan pedagang kecil. Ikan hasil tangkapan masih dipasarkan di sekitar Kabupaten Aceh Besar dan Kotamadya Banda Aceh, sedangkan ikan yang kualitasnya bagus dikirim ketempat pengolahan di Medan untuk di ekspor. 5.2.3 Penerimaan usaha Penerimaan usaha merupakan hasil yang diperoleh dari operasi penangkapan. Total penerimaan didapat dari hasil perkalian dari rata-rata jumlah trip penangkapan per musim dengan jumlah produksi rata-rata per trip dan harga hasil tangkapan. Besarnya penerimaan yang diperoleh dalam usaha penangkapan dengan menggunakan satu unit alat tangkap purse seine adalah Rp 922.197.912,95 per tahun, penerimaan ini didapat dari dua musim, yaitu musim puncak dan musim biasa, sedangkan total biaya yang dikeluarkan untuk satu tahun operasi penangkapan adalah Rp 624.862.758,93, dengan rata-rata harga ikan per kilogram adalah 13.650. 5.2.4 Optimalisasi bioekonomi perikanan purse seine Pengelolaan sumberdaya perikanan diharapkan memberikan manfaat ekonomi dalam bentuk rente ekonomi. Rente ekonomi merupakan selisih dari penerimaan yang diperoleh dari penjualan tangkapan dengan total biaya yang dikeluarkan. Hasil tangkapan menunjukan produksi purse seine yang dihasilkan pada tingkat upaya tertentu. Pada tingkat upaya yang rendah, penerimaan dari

50 hasil tangkapan akan lebih besar dari biaya yang dikeluarkan sehingga mendorong nelayan untuk menangkap lebih banyak (meningkatkan upaya penangkapannya) sehingga mencapai keseimbangan ekonomi. Dengan meningkatnya upaya penangkapan, maka biaya operasional yang dikeluarkan juga bertambah besar sehingga mempengaruhi penerimaan. Total penerimaan diperoleh dengan mengalikan hasil penangkapan per tahun dengan harga ikan per satuan berat, sedangkan total biaya penangkapan diperoleh dari total pengeluaran per unit penangkapan per trip per tahun. Rente ekonomi perikanan merupakan selisih antara total penerimaan dengan total biaya penangkapan pada setiap kondisi pengelolaan (rata-rata aktual, MSY, MEY dan open access). Optimalisasi bioekonomi pemanfaatan ikan-ikan pelagis kecil pada kondisi pengelolaan rata-rata aktual, maximum sustainable yield, maximum economic yield dan open access dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 Optimasi bioekonomi pemanfaatan ikan pelagis di Kabupaten Aceh Besar tahun 2010 Kondisi Pengelolaan Effort (Trip/thn) Produksi (Ton/thn) Total Penerimaan (Rp/thn) Total Biaya (Rp/thn) Rente Ekonomi (Rp/thn) Rata-rata Aktual 8.083 3.520,61 48.056.422.050 32.481.115.500 15.575.306.550 MSY 11.345 3.992,39 54.359.686.427 45.069.202.500 9.290.483.500 MEY 8.623 3.753,37 51.643.083.629 34.992.314.500 16.650.769.129 Open access 17.842 2.864,98 37.742.012.354 37.742.012.354 0 Perbandingan hasil tangkapan pada kondisi aktual, MSY, MEY dan open acces memperlihatkan pendekatan bioekonomi. Produksi hasil tangkapan pada kondisi aktual sebesar 3.520,61 ton per tahun telah mendekati batasan produksi di tingkat MEY sebesar 3.753,37 ton per tahun, sehingga peluang pengembangan pemanfaatannya relatif kecil (232,76 ton per tahun). Pada kondisi pengelolaan MSY, produksi yang diperoleh sebesar 3.992,39 ton per tahun dan pada kondisi open access produksinya menurun menjadi 2.864,98 ton per tahun. Produksi pada kondisi open access dipengaruhi oleh peningkatan jumlah effort (effort yang tidak terkendali) sehingga eksploitasi sumberdaya yang berlebihan menurunkan stok yang dapat ditangkap, dapat dilihat pada Gambar 16.

51 4,500 4,000 3,500 Produksi (Ton/thn) 3,000 2,500 2,000 1,500 1,000 500 Rata rata Aktual MSY MEY Open access Gambar 16 Perbandingan hasil tangkapan ikan pelagis pada setiap kondisi pengelolaan periode 2005-2010. Perbandingan upaya penangkapan (effort) ikan-ikan pelagis pada kondisi rata-rata aktual, MEY, MSY dan open acces, memperlihatkan kecenderungan yang sama dengan produksi dimana tingkat upaya penangkapan pada kondisi rata-rata aktual sebesar 8.083 trip per tahun telah mendekati angka upaya pada kondisi MEY sebesar 8.623 trip per tahun meskipun pada kondisi MSY peluang penambahan upaya penangkapan masih relatif besar yaitu 2.722 trip per tahun. Hal ini mengindikasikan bahwa secara biologi dan ekonomi, upaya penangkapan yang dilakukan telah mendekati tingkat optimum sehingga diperlukan pengendalian effort agar nelayan tetap dapat memperoleh manfaat yang optimum dari hasil tangkapannya dan sumberdaya perikanan tetap lestari, terlihat. Tingkat upaya penangkapan terbesar terjadi pada kondisi open access sebesar 17.842 trip per tahun, jauh lebih besar dari effort pada rata-rata kondisi aktual, MSY dan MEY. Hal ini disebabkan karena sifat pengelolaan yang open access (terbuka) sehingga memudahkan pelaku perikanan khususnya nelayan untuk memanfaatkan sumberdaya yang ada secara bebas dan secara tidak langsung akan meningkatkan upaya penangkapannya untuk bersaing mendapatkan produksi maksimal dengan nelayan lainnya, dapat dilihat pada Gambar 17.

52 effort (trip/thn) 20,000 18,000 16,000 14,000 12,000 10,000 8,000 6,000 4,000 2,000 Rata rata Aktual MSY MEY Open access Gambar 17 Perbandingan upaya penangkapan (trip/thn) ikan pelagis periode 2005-2010. Perbandingan rente ekonomi yang diperoleh dari pemanfaatan ikan pelagis pada kondisi rata-rata aktual, MSY, MEY dan open acces, memperlihatkan rente ekonomi terbesar akan diperoleh pada kondisi MEY sebesar Rp 16.650.769.129 per tahun. Rente ekonomi (π) yang diperoleh dipengaruhi oleh total penerimaan dan total biaya yang dikeluarkan setiap unit penangkapan. Penerimaan pada kondisi MEY merupakan penerimaan yang maksimal secara ekonomi karena untuk mendapatkan total penerimaan yang besar, biaya yang dikeluarkan lebih sedikit dibandingkan kondisi lainnya. Jumlah effort yang digunakan pada kondisi MEY lebih sedikit dibandingkan pada kondisi MSY dan open access, tetapi produksinya relatif tinggi. Gordon (1954 diacu dalam Fauzi dan Anna 2005) menyatakan jika input (E) dikendalikan pada tingkat upaya MEY (E mey ), manfaat ekonomi akan diperoleh secara maksimum. Hal ini akan terjadi jika sumberdaya ikan dikelola sehingga nelayan akan berusaha memaksimalkan manfaat ekonomi yang diperoleh. Kondisi MEY merupakan keseimbangan bioekonomi dimana pemanfaatan sumberdaya menghasilkan produksi yang maksimum secara ekonomi dan tingkat upaya yang optimal secara sosial. Manfaat ekonomi pada kondisi open access tidak akan diperoleh karena total penerimaan sama dengan total biaya yang dikeluarkan (π = 0). Kondisi open access terjadi setelah melampaui kondisi MSY. Pada tingkat upaya yang lebih rendah dari E msy penerimaan total akan melebihi

53 biaya total sehingga memotivasi nelayan untuk mendapatkan produksi lebih besar dengan meningkatkan effort. Jika effort sudah berlebihan (tidak terkontrol), maka biaya total akan melebihi penerimaan total sehingga nelayan akan keluar dari kegiatan penangkapan tersebut, yang berarti menurunkan effort. Titik keseimbangan open access akan terjadi pada saat total penerimaan sama dengan total biaya penangkapan atau rente ekonomi sama dengan nol (Fauzi dan Anna 2005). Tingkat effort pada posisi open access (E oa ) oleh Gordon disebut sebagai bioeconomic equilibrium of open acces fishery. Keseimbangan open access menimbulkan terjadinya alokasi sumberdaya alam yang tidak tepat (misallocation) karena kelebihan faktor produksi (misalnya tenaga kerja dan modal). Seharusnya hal-hal tersebut bisa dialokasikan untuk kegiatan ekonomi lainnya yang lebih produktif. Perikanan open access akan menimbulkan kondisi economic overfishing (Fauzi dan Anna 2005). Keseimbangan bioekonomi didapatkan pada produksi (h) sebesar 3.753,37 ton per tahun dengan tingkat upaya (E) 8.623 trip per tahun. Total biaya (TC) yang dikeluarkan untuk penggunaan effort tersebut adalah Rp 34.992.314.500 per tahun yang menghasilkan total penerimaan (TR) Rp 51.643.083.629 per tahun, sehingga rente ekonomi yang diperoleh adalah Rp 16.650.769.129 per tahun, dapat dilihat pada Gambar 18. 18,000,000,000 16,000,000,000 Rente Ekonomi (Rupiah/thn) 14,000,000,000 12,000,000,000 10,000,000,000 8,000,000,000 6,000,000,000 4,000,000,000 2,000,000,000 Rata rata Aktual MSY MEY Open access Gambar 18 Perbandingan rente ekonomi pemanfaatan ikan pelagis periode 2005-2010 di Kabupaten Aceh Besar.

54 Keseimbangan bioekonomi merupakan konsep pengelolaan yang diperlukan untuk memanfaatkan ikan pelagis yang tertangkap oleh purse seine di perairan Kabupaten Aceh Besar. Dengan penerapan model keseimbangan ini, sumberdaya perikanan dapat terjaga kelestariannya dan masyarakat, khususnya nelayan purse seine tetap mendapatkan keuntungan secara ekonomi. Jumlah armada penangkapan purse seine yang dioperasikan di daerah Aceh Besar tahun 2010 sebanyak 56 unit. Berdasarkan hasil analisis secara bioekonomi, jumlah trip optimum yang dapat dioperasikan untuk pemanfaatan ikan-ikan pelagis kecil adalah 8.623 trip per tahun. Hasil standarisasi dari 4 jenis alat tangkap yang menangkap ikan pelagis (purse seine, pancing tonda, jaring angkat dan pukat pantai) menunjukkan bahwa jumlah effort purse seine dalam enam tahun terakhir rata-rata sebesar 36% dari jumlah total effort optimum. Berdasarkan hasil tersebut terlihat bahwa secara umum alat tangkap purse seine yang digunakan untuk menangkap ikan pelagis sudah produktif karena jumlah unit penangkapan purse seine pada kondisi aktual yang digunakan untuk menangkap ikan pelagis telah memperoleh hasil tangkapan yang mendekati nilai optimal (MEY.) Hal ini menunjukkan bahwa tidak perlu lagi dilakukan penambahan unit penangkapan purse seine dalam usaha penangkapan ikan pelagis. Peluang pengembangan usaha penangkapan dengan alat tangkap purse seine untuk menangkap ikan pelagis di Kabupaten Aceh Besar sudah sangat kecil. Menurut Martosubroto (2005) menyatakan bahwa dalam pengelolaan perikanan yang bertanggungjawab adalah pengelolaan yang dapat menjamin keberlanjutan perikanan dengan suatu upaya agar terjadi kesinambungan antara tingkat eksploitasi dengan sumberdaya yang ada. Hal ini menunjukkan bahwa yang berkepentingan disini bukanlah hanya pemerintah tetapi juga pengguna penangkapan (stakeholders), karena kegagalan pengelolaan pada suatu perikanan akan merugikan pengusaha itu sendiri. 5.3 Analisis Strategi Pengelolaan Purse Seine Analisis yang digunakan untuk menentukan strategi pengelolaan perikanan purse seine adalah analisis strengths weaknesses opportunities threats (SWOT). Analisis ini mengambarkan secara jelas faktor-faktor internal dan eksternal. Faktor internal terdiri dari kekuatan (strength) dan kelemahan (weakness),

55 sedangkan factor eksternal terdiri dari peluang (opportunities) dan ancaman (threats). 5.3.1 Faktor internal Faktor internal berupa kekuatan yang mempengaruhi pengelolaan perikanan purse seine, antara lain: 1) Potensi sumberdaya ikan (SDI) yang cukup besar (S1) Sumberdaya ikan di perairan Aceh Besar memiliki potensi yang cukup besar yaitu 11.131 ton, dimanfaatkan sebesar 5.072,2 ton per tahun, dan masih punya peluang untuk dimanfaatkan sebanyak 6.074 ton (DKP 2010) (subbab 4.2) 2) Tersedianya ahli pembuat kapal (S2) Kabupaten Aceh Besar mempunyai ahli pembuat kapal yang bisa membuat pesanan kapal untuk para nelayan, sehingga kapal tidak perlu dipesan dari kabupaten atau propinsi lain (sub-subbab 4.4.1) 3) Kelembagaan adat (panglima laot) (S3) Peranan lembaga adat dalam usaha perikanan khususnya penangkapan dengan alat tangkap purse seine di Kabupaten Aceh Besar sangatlah penting dan berpengaruh dalam pengelolaan perikanan purse seine (subbab 4.6) 4) Bahan baku untuk armada tersedia (S4) Bahan baku untuk pembuatan kapal purse seine di Kabupaten Aceh Besar semua didatangkan dari dalam daerah, sehingga harga dan biaya pengangkutan lebih murah (sub-subbab 4.4.1) Faktor internal berupa kelemahan: 1) Informasi SDI terbatas (W1) Informasi SDI di perairan Kabupaten Aceh Besar masih sangat terbatas dimana Dinas Kelautan dan Perikanan belum mempunyai alat untuk mendektesi keberadaan fishing groud (subbab 4.5) 2) Masuknya komoditas ikan dari daerah lain (W2) Market share hasil tangkapan Aceh Besar masih lebih rendah dari hasil tangkapan daerah lain, sehingga harga tidak bisa bersaing (sub-subbab 5.3.2)

56 3) Data kurang akurat (W3) Data yang dikumpulkan petugas statistik perikanan Aceh Besar masih belum akurat dikarenakan data hasil tangkapan yang didaratkan di PPI daerah lain tidak pernah dicatat atau dikonformasi lebih jelas (subbab 4.2) 4) Inefisiensi pemanfaatan variable input (W4) Pemanfaatan variable input masih belum optimal yang pemanfaatan kapasitas penangkapannya tidak optimum erat kaitannya dengan tingkat pemanfaatan variabel input (trip) (subbab 5.1) 5) Manajemen usaha masih bersifat sederhana (W5) Manajemen usaha perikanan masih dikelola secara sederhana belum secara teratur, sehingga usaha tidak dapat lagi dikembangkan lebih maju bahkan tidak sedikit mengalami kerugian karena salah dalam mengatur dan membuat keputusan-keputusan yang keliru (subbab 4.5) 5.3.2 Faktor eksternal Faktor eksternal berupa peluang yang mempengaruhi pengelolaan perikanan purse seine, antara lain: 1) Potensi SDI belum dimanfaatkan secara optimal (O1) Menurut DKP Aceh Besar (2010) potensi SDI sebesar 11.131 ton terdiri dari ikan pelagis diperkirakan 2,0 ton/km 2 dan ikan demersal sebesar 3,2 ton/km 2. Potensi ikan yang telah dimanfaatkan 5.057,2 ton per tahun, dan peluang untuk dikembangkan sebesar 6.074 ton (subbab 4.2) 2) Peluang pasar yang baik (O2) Hasil tangkapan yang didaratkan di PPI Lambada lhok langsung dibeli seluruhnya oleh toke bangku dan pedagang pengumpul yang sudah biasa membeli ikan hasil tangkapan purse seine (subbab 4.7) 3) Bantuan dana dari pusat dan daerah (O3) Pengembangan usaha perikanan purse seine masih bisa berjalan dengan adanya bantuan dari Pemerintah pusat maupun pemerintah daerah misalnya bantuan alat bantu penangkapan (subbab 4.5) 4) Usaha penangkapan dengan purse seine menguntungkan (O4) Keutungan yang diperoleh dengan dalam usaha penangkapan dengan alat tangkap purse seine dengan analisis bioekonomi sebesar Rp 16.650.769.129

57 per tahun dengan jumlah produksi sebesar 3.753,37 ton per tahun (lihat pada subbab 5.3.3) 5) Masih berpotensi penambahan trip (O5) Peluang penambahan upaya penangkapan relatif masih besar yaitu 3.138 trip per tahun (sub-subbab 5.3.3) Faktor-faktor eksternal berupa ancaman, antara lain: 1) Armada penangkapan meningkat dari waktu ke waktu tanpa ada batasan (T1). Armada penangkapan terus meningkat tanpa adanya batasan yang jelas oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah (subbab 4.3) 2) Potensi terjadinya IUU fishing (T2) Masih sering terjadinya IUU fishing yang dilakukan oleh nelayan asing tanpa adanya pengawasan yang ketat oleh pihak yang terkait (subbab 4.6) 3) Kurang optimalnya dukungan pemerintah terhadap perikanan (pengawasan) (T3) Kurangnya pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah menyebabkan terjadinya penangkapan yang tidak terkontrol dan dukungan pemerintah terhadap usaha penangkapan juga masih sangat kurang (subbab 4.6) 4) Lembaga penyediaan modal terbatas (T4) Usaha perikanan purse seine menghadapi persoalan yang sama dengan daerah lain yaitu kurang adanya lembaga penyedian modal yang mencukupi untuk mengembangkan usaha menjadi lebih baik (subbab 4.5) 5) Kurangnya pengawasan dan sarana pengawasan terhadap perairan (T5) Kurangnya pengawasan dan sarana pengawas mengakibatkan masuknya nelayan asing dengan menggunakan kapal dan teknologi yang lebih modern, sehingga kemampuan operasi dan hasil tangkapan menjadi lebih baik, sehingga merugikan para nelayan Aceh karena harus bersaing dengan armada yang lebih komplit (subbab 4.6) Berdasarkan faktor internal dan eksternal yang telah diidentifikasi, dapat diketahui kondisi perikanan purse seine di Kabupaten Aceh Besar melalui Matrik internal strategic factors analysis summary (IFAS) dan eksternal strategic factors analysis summary (EFAS). Tabel 9 menyajikan matrik internal strategic factors analysis summary (IFAS).

58 Tabel 9 Matrik IFAS pengelolaan perikanan purse seine Aceh Besar No Faktor Bobot Rating Bobot*Rating Kekuatan 1 Potensi SDI 0,22 4 0,87 2 Tersedianya ahli pembuat kapal 0,15 3 0,46 3 Kelembagaan adat 0,09 3 0,26 4 Bahan baku untuk armada tersedia 0,11 2 0,22 Kelemahan 1 Informasi SDI terbatas 0,13 1 0,13 2 Masuknya komoditas ikan dari daerah lain 0,09 2 0,15 3 Data kurang akurat 0,08 3 0,23 4 Inefisiensi pemanfaatan variable input 0,08 2 0,15 5 Manajemen usaha masih bersifat sederhana 0,07 2 0,13 Total 1 2,62 Berdasarkan Tabel 9 pengelolaan purse seine memiliki banyak kekuatan dibandingkan dengan kelemahan, terlihat dari nilai total > 2,5, artinya pengelolaan purse seine dapat memanfaatkan kekuatan yang dimiliki. Analisis ekternal diperlukan untuk melihat peluang yang dapat dimanfaatkan untuk meraih keberlanjutan perikanan tangkap serta persiapan menghadapi ancaman yang akan terjadi. Pemberian bobot dan rating dilakukan untuk memperoleh matrik EFAS yang dapat dilhat pada Tabel 8. Tabel 10 Matrik EFAS pengelolaan perikanan purse seine Aceh Besar No Faktor Bobot Rating Bobot*Rating Peluang 1 Potensi SDI belum dimanfaatkan optimal 0,15 4 0,58 2 Potensi pasar domestik dan internasional 0,10 3 0,30 3 Bantuan dana dari pusat dan daerah 0,07 3 0,22 Usaha penangkapan purse seine 4 menguntungkan 0,09 3 0,28 5 Masih berpotensi penambahan trip 0,09 3 0,26 Ancaman Armada penangkapan yang meningkat dari 1 waktu ke waktu tanpa ada batasan 0,10 1 0,10 2 Potensi terjadinya IUU fishing 0,09 2 0,19 3 Kurang optimalnya dukungan pemerintah 0,10 3 0,31 4 Lembaga penyediaan modal terbatas 0,12 2 0,25 Kurangnya pengawasan dan sarana 5 pengawasan terhadap wilayah perairan 0,07 2 0,14 Total 0,99 2,64

59 Berdasarkan Tabel 10 diketahui bahwa pengelolaan perikanan purse seine memiliki lebih banyak peluang dibandingkan dengan ancaman keberlanjutan perikanan tangkap, terlihat dari total bobot dikali rating yang nilainya > 2,5, artinya pengelolaan perikanan purse seine memiliki peluang untuk dimanfaatkan secara optimal. Perumusan alternatif strategi pengelolaan perikanan purse seine dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11 Perumusan alternatif strategi pengelolaan perikanan purse seine Faktor Kunci Internal Faktor Kunci Eksternal Peluang (opportunity) 1. Potensi SDI belum dimanfaatkan secara optimal 2. Potensi pasar domestik dan internasional 3. Bantuan dana bantuan dari pusat dan daerah 4. Usaha penangkapan menguntungkan 5. Masih berpontensi penambahan trip Ancaman (threats) 1. Armada penangkapan meningkat dari waktu ke waktu tanpa adanya batasan 2. Potensi terjadinya IUU fishing 3. Kurang optimalnya dukungan pemerintah terhadap perikanan 4. Lembaga pemyediaan modal terbatas 5. Kurangnya pengawasan dan sarana pengawasan terhadap wilayah perairan Kekuatan (strengths) 1. Potensi SDI 2. Tersedianya ahli pembuat kapal 3. Kelembagaan adat 4. Bahan baku untuk armada tersedia Strategi SO 1. Pemanfaatan sumberdaya dengan seksama Strategi ST 1. Peningkatan manajemen usaha 2. Penegakan hukum oleh aparat vang terkait Kelemahan (weakness) 1. Informasi SDI terbatas 2. Masuknya komoditas ikan daerah lain 3. Data kurang akurat 4. Inefisiensi pemanfaatan variable input 5. Manajemen usaha masih bersifat sederhana Strategi WO 1. Perbaikan teknologi dan Manajemen 2. Pemberian kredit lunak Stategi WT 1. Peningkatan pengelolaan dan pengawasan sumberdaya perikanan 2. Peningkatan peran lembaga lokal.

60 Strategi yang diambil adalah memadukan antara keempat komponen diatas (kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman), sehingga dapat memberikan jalan keluar dalam menerapkan kebijakan strategi pengelolaan perikanan purse seine di Kabupaten Aceh Besar yang mempunyai beberapa alteratif sesuai dengan fungsi analisis SWOT dimana pengaruh kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman turut serta dalam menentukan kebijakan yang akan diambil nantinya. Strategi yang memadukan antara kekuatan dan peluang adalah melakukan pemanfaatan sumberdaya dengan seksama dan peningkatan produksi perikanan purse seine dengan segala kekuatan dan peluang yang dimiliki. Pemanfaatan sumberdaya dengan seksama dan peningkatan produksi seperti penggunaan teknologi modern pada unit penangkapan, memperbaiki metode penangkapan sehingga hasil penangkapan bisa meningkat. Peningkatan produksi ikan yang masih dalam batasan potensi lestari dapat dilakukan mengingat besarnya potensi pasar untuk produk perikanan sehingga perlu peningkatan produksi. Dengan adanya usaha untuk memperbaiki sistem dalam usaha penangkapan, baik itu perbaikan pada armada penangkapan dengan menggunakan alat-alat yang modern untuk mengetahui keberadaan ikan dengan alat pendeteksi ikan sehingga tidak terpaku pada tanda-tanda alam dalam mencari kawanan ikan. Strategi yang memadukan antara kekuatan dengan ancaman adalah peningkatan manajemen usaha dan penegakan hukum oleh aparat terkait, sehingga usaha menjadi lebih maju dan sumberdaya ikan tetap lestari agar dapat terus dimanfaatkan dimasa-masa yang akan datang. Hal ini dapat dilakukan dengan cara membatasi armada penangkapan, diharapkan dengan dibatasinya armada atau alat tangkap akan membatasi usaha eksploitasi sumberdaya ikan sehingga sumberdaya tersebut tetap lestari. Hal lain yaitu pemasaran produk perikanan perlu diperluas, bukan hanya untuk pasar lokal tapi juga pasar luar daerah atau negara. Salah satu cara yang mungkin dapat dilakukan adalah dengan menghasilkan produk ikan yang sesuai dengan standar internasional, selama ini hasil perikanan Indonesia atau Aceh pada khususnya selalu ditolak masuk pasar dunia dikarenakan mutu dan kualitas ikan yang tidak memenuhi standar yang telah ditetapkan.

61 Strategi yang tidak kalah penting adanya penegakan hukum oleh aparat terkait terhadap pelanggaran yang terjadi, baik akibat nelayan lokal maupun nelayan asing. Perairan Aceh selalu didatangi oleh para nelayan asing yang mencari ikan tanpa ada izin, bahkan seringkali disertai dengan tindakan kekerasan seperti perampokan hasil tangkapan dan bahkan juga pengerusakan armada perikanan nelayan. Jika hal ini terus dibiarkan akan membawa pengaruh yang tidak baik bagi para nelayan. Strategi yang memadukan antara kelemahan dengan peluang adalah peningkatan pengelolaan dan pengawasan sumberdaya perikanan. Sumberdaya ikan sifatnya terbatas walaupun dapat diperbaharui, tetapi tanpa adanya pengelolaan dan pengawasan yang baik akan dapat dipastikan suatu saat ketersediaan sumberdaya tersebut akan habis tanpa bisa diperbaharui lagi. Pengelolaan dan pengawasan sumberdaya perikanan ini dapat berupa pembatasan armada penangkapan, baik dari segi jumlah armada ataupun besarnya armada. Juga bisa dengan adanya larangan melaut bagi para nelayan pada waktu-waktu atau bulan-bulan tertentu atau membuat kawasan konservasi dimana di daerah tersebut merupakan kawasan pengembangbiakan ikan. Strategi yang terakhir yaitu yang memadukan kelemahan dan ancaman adalah perbaikan pada segala aspek usaha perikanan purse seine. Perbaikan disini adalah perbaikan dari segala segi dan faktor. Baik itu aspek teknologi dan informasi serta peningkatan SDM. Faktor lain dari strategi ini adalah peningkatan peran lembaga lokal dalam hal ini lembaga adat. Selama ini peran lembaga adat khususnya lembaga adat laot sudah sangat bagus. Strategi kebijakan pengelolaan perikanan purse seine dengan mempertimbangkan sumberdaya ikan yang ada dan jumlah armada tangkap, baik dari segi kapal penangkapan yang lebih baik dan modern, juga peningkatan kemampuan para nelayan dalam operasi penangkapan ikan. Strategi lain adalah penggunaan teknologi untuk membantu pencarian ikan, sehingga hasil tangkapannya menjadi lebih banyak. Ke depannya penggunaan teknologi sangat dibutuhkan jika ingin mengembangkan usaha perikanan pukat cincin. Strategi kebijakan yang lain perlunya kerjasama dengan bidang pengolahan, sehingga hasil

62 tangkapan tidak langsung dijual konsumen atau pedagang pengumpul tapi dapat diolah agar mempunyai nilai jual yang lebih baik. Berdasarkan perhitungan diperoleh skor IFAS sebesar 2,62 dan EFAS sebesar 2,64. Matriks IE menunjukkan gabungan antara nilai IFAS dan EFAS pada pengembangan perikanan purse seine di Aceh Besar. Pada matriks IE, kondisi di lapangan berada pada kolom V (Gambar 19). Total Rata-rata Tertimbang IFE Tinggi (3,0-4,0) Total Sedang Rata-rata (2,0-2,99) Tertimbang EFE Rendah (1,0-1,99) Kuat Rata-rata Lemah (3,0-4.0) (2,0-2,99) (1,0-2,99) I II III IV V VI VII VIII IX Gambar 19 Matriks internal eksternal (IE). Berdasarkan Gambar 19 dapat diketahui bahwa pengembangan perikanan purse seine berada pada sel lima (V) sehingga strategi terbaik yang sebaiknya dilakukan adalah menjaga dan mempertahankan posisi yang selama ini sudah diraih. Strategi pertumbuhan dapat dilakukan dengan konsentrasi melalui integrasi horizontal untuk mencapai pertumbuhan, hal ini dapat dilakukan untuk mencapai penjualan, asset, profit atau kombinasi ketiganya. Strategi pertumbuhan yang disarankan dalam penelitian ini dapat dilakukan dengan cara pemanfaatan sumberdaya dengan seksama, peningkatan manajemen usaha dan peningkatan peran lembaga. Hal yang dapat dilakukan untuk mewujudkan strategi ini antara lain dengan cara pengaturan jumlah armada, pengaturan jumlah penggunaan trip, penyuluhan mengenai pembukuan dan pengaturan usaha pada nelayan, melengkapi sarana dan prasarana yang belum tersedia serta memfokuskan diri pada pasar tertentu yang menguntungkan agar dapat mengurangi biaya transportasi.