V. HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN Praktikum yang dilaksanakan pada 12 September 2011 mengenai perubahan fisik, kimia dan fungsional pada daging. Pada praktikum kali ini dilaksanakan pengamatan perubahan yang terjadi pasca mortem daging ikan. Perubahan yang diamati adalah perubahan ph, suhu, Water Holding Capacity (WHC), dan tekstur. Perubahan yang terjadi didasari oleh perubahan respirasi aerobik menjadi anaerobik. Pada dasarnya terdapat tiga tahapan yang terjadi setelah ikan mengalami kematian (Forrest et al., 1975 dikutip Nurwanto, 2003), yaitu: 1. Pre-rigor mortis, yaitu suatu tahapan yang berlangsung saat ikan mulai mengalami kematian hingga ikan tersebut benar-benar mati. Pada tahap ini tekstur ikan lembut kenyal. Pada tahap ini terjadi penurunan ATP dan keratin fosfat. Ketidakberadaan oksigen mengakibatkan glikolisis terjadi sehingga glikogen diubah menjadi asam laktat yang adalah jenis ikan, kondisi ikan, tingkat kelelahan, ukuran ikan, cara penangkapan dan temperatur penyimpanan. 2. Rigor mortis, yaitu fase mengejangnya tubuh ikan yang menandai kesegaran ikan. Pada fase ini daging menjadi kaku (menyebabkan penurunan ph. Faktor yang memengaruhi lamanya pre-rigor mortis rigid). Biasanya terjadi 1-7 jam setelah ikan mengalami kematian atau 3-120 jam setelah kematian pada ikan yang dibekukan. Mulainya fase ini dipengaruhi cara kematian dan kondisi penyimpanan. Pada ikan yang mati dengan cepat fase rigormortisnya akan lebih lambat dibanding ikan yang mati dengan sendirinya atau ikan yang lama mengalami kematian setelah dimatikan. Semakin awal terjadinya rigor mortis semakin cepat pula tahapan tersebut semakin cepat pula tahapan tersebut berakhir. Fase rigor mortis terjadi lebih singkat pada suhu tinggi dan dipengaruhi juga oleh penyimpanan, ikan yang disimpan di dalam lemari es memiliki waktu rigor mortis yang lebih lama dibanding yang tidak disimpan di lemari es. 3. Pasca-rigor mortis, pada fase ini terjadi kreatin dan fosfat sehingga ATP diubah menjadi ADP dan fosfat organik. ADP ikan terurai menjadi ribosa,
fosfat amonia dan hipoksantin sehingga ph naik menjadi 6,2-6,6. Peningkatan hipoksantin yang berlebihan dapat mengakibatkan kerusakan pada ikan. Nilai ph merupakan salah satu indikator yang digunakan untuk menentukan tingkat kesegaran ikan. Untuk mengetahui perubahan ph pasca mortem, dilakukan langkah-langkah seperti: ikan dimatikan kemudian diambil dagingnya sebanyak 5 gram lalu pada menit ke 0, 15, 30,45 dan 60 dimasukkan ke dalam mortar kemudian ditambahkan air. Selanjutnya daging ikan dihancurkan dan dilakukan pengukuran ph. Setelah perlakuan mematikan ikan, ikan tidak langsung mati akan tetapi mengalami tahap pre-rigor mortis. Pada tahap ini proses kimiawi dan pertumbuhan bakteri berlangsung sangat lambat. Selain itu sarkomer daging memanjang sehingga tektur daging kenyal-lunak dan memiliki ph 7. Berikut ini merupakan hasil pengamatan pengaruh ph yang dilakukan Tabel 1. Pengaruh PH Menit ke Kelompok 1 Kelompok 5 0 6,94 6,75 15 6,19 7,14 30 6,87 6,92 45 6,72 7,20 60 6,82 7,12 Sumber: Dokumentasi pribadi, 2011 Sebagaimana asam laktat terakumulasi maka ph jaringan otot menurun dari ph fisiologis yaitu 7,2-7,4 menjadi ph pascamorten yaitu antara 5,3-5,5 khusus untuk hewan berdarah panas (Tranggono, 1990). Lintasan glikolitik berkaitan dengan pembentukan ATP dan penurunan ph yang secara langsung menentukan berlangsungnya rigor mortis. Hubungan antara hilangnya kreatin fosfat, penurunan ATP dan ph serta menurunnya daya julur otot merupakan kriteria berlangsungnya rigormortis. Untuk hewan yang banyak beristirahat sebelum pemotongannya maka pascamorten karkas memiliki ph akhir antara 5,3-5,5. Pada hewan yang pada kematiannya banyak melakukan gerakan seperti halnya pada ikan saat praktikum kali ini maka kandungan glikogen akan menurun, akibatnya
ph akhir yang dicapai sekitar 6,0-6,6 (Tranggono, 1990). Ketika ikan mati, sirkulasi darah berhenti dan persediaan oksigen berkurang. Pada saat tersebut perubahan yang paling banyak terjadi adalah degradasi ATP dan keratin fosfat yang akan menghasilkan tenaga. Glikogen juga terdegradasi menjadi asam laktat melalui proses anaerobik menyebabkan keadaan daging menjadi asam sehingga ph daging ikan turun dan aktivitas enzim ATP-ase dan keratinofosfokinase meningkat, hal tersebut menyebabkan denaturasi protein. Perubahan ph daging ikan berpengaruh terhadap proses autolisis dan penyerangan bakteri. Namun, data yang diperoleh dari praktikum kali ini ph akhir yang dicapai antara 6,19-6,94 untuk kelompok 1 dan ph antara 6,75-7,20 untuk kelompok 5. ph pasca mortem ikan hasil praktikum labih tinggi dari pada literatur. Hal ini disebabkan pada saat menjelang kematian sehingga cadangan glikogen ikan mengalami pemecahan yang cukup berarti. Selain itu, asam laktat dan asam organik yang dihasilkan dari glikolisis terakumulasi sehingga terdapat beberapa kenaikan ph dan mencapai ph 7. Penurunan ph akan mempengaruhi sifat fisik daging, laju penurunan ph otot yang cepat akan mengakibatkan rendahnya kapasitas mengikat air, karena meningkatnya kontraksi aktomiosin yang terbentuk, dengan demikian akan memeras cairan keluar dari dalam daging. Suhu tinggi juga dapat mempercepat penurunan ph otot pasca mortem dan menurunkan kapasitas mengikat air karena meningkatnya denaturasi protein otot dan mengingkatnya perpindahan air ke ruang ekstraseluler. (Lawrie, 1996 dikutip Munandar et al). Pengamatan selanjutnya yang dilakukan dalam praktikum kali ini adalah pengaruh suhu. Langkah-langkah yang dilakukan dalam pengamatan ini yaitu ikan dimatikan dimatikan terlebih dahulu kemudian termometer dimasukkan ke dalam mulut ikan dan suhu dibaca pada menit ke 0, 15, 30, 45 dan 60. Hasil pengamatnnya dapat dilihat pada tabel 2. Tabel 2. Pengaruh suhu Menit ke Kelompok 2 Kelompok 11 0 24 0 C 24 0 C 15 23,5 0 C 24 0 C 30 22,5 0 C 23,5 0 C
45 22,5 0 C 23 0 C 60 23 0 C Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2011 Nova Nurfauziawati Pada kedua kelompok yang melakukan perlakuan yang sama dalam mengukur suhu ikan pasca mortem, ikan mengalami penurunan suhu. Penurunan suhu tersebut disebabkan oleh beberapa hal, antara lain regulasi nervous dan hormonal terhenti dan respirasi yang terhenti (Dilec, 2009). Kegiatan yang ketiga dari praktikum kali ini adalah pengamatan WHC (Water Holding Capacity) atau dalam bahasa Indonesia dikenal dengan istilah daya ikat air metode sentrifius. WHC diartikan sebagai kemampuan daging untuk menahan air selama aplikasi kekuatan eksternal (seperti pemotongan, pemanasan, penggilingan, atau tekanan). Besar kecilnya WHC dapat memengaruhi warna (color), tekstur (texture), kekenyalan (firmness), kesan jus (juiceness), dan keempukan (tenderness). Kapasitas mengikat air jaringan oto mempunyai efek langsung pada pengkerutan dari daging selama penyimpanan (Forrest et al, 1975). Daging dengan kapasitas mengikat air rendah akan menyebabkan banyaknya cairan yang hilang, sehingga selama pemasakan akan terjadi kehilangan berat yang besar. Langkah-langkah yang dilakukan dalam praktikum ini adalah ikan dimatikan kemudian diambil dagingnya sebanyak 10 gram pada menit ke 30 dan 60 lalu dicincang halus. Kemudian dimasukkan ke dalam tabung sentrifus dan ditambahkan 10 ml air. Tabung sentrifus ditutup dan dilakukan inkubasi dalam freezeer selama satu malam. Selanjtnya dilakukan sentrifus dengan kecepatan 3000 rpm dalam waktu 20 menit. Kemudian cairan dipisahkan dan dilakukan pengukuran terhadap cairan tersebut. Hasil dari pengamatan ini dapat dilihat pada tabel 3. Tabel 3. Pengukuran WHC Menit ke- Volume cairan Kelompok 3 Kelompok 12 30 12 ml 2 x 100% = 20% 11 ml 1 x 100% = 10% 10 10
60 12,5 ml 2,5 x 100% = 25% 11 ml 1 x 100% = 10% 10 10 Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2011 Air dalam jaringan ikan diikat sangat erat oleh senyawa koloidal dan kimiawi sehingga tidak mudah lepas oleh tekanan berat. Kekuatan penahan pada daging maksimum pada ikan yang sangat segar. Pada praktikum kali ini kekuatan eksternal yang diaplikasikan adalah pencacahan. Seperti yang telah dibahas sebelumnya bahwa penurunan ph akan mempengaruhi sifat fisik daging, laju penurunan ph otot yang cepat akan mengakibatkan rendahnya kapasitas mengikat air (WHC), karena meningkatnya kontraksi aktomiosin yang terbentuk, dengan demikian akan memeras cairan keluar dari dalam daging. Suhu tinggi juga dapat mempercepat penurunan ph otot pasca mortem dan menurunkan kapasitas mengikat air karena meningkatnya denaturasi protein otot dan mengingkatnya perpindahan air ke ruang ekstraseluler. (Lawrie, 1996 dikutip Munandar et al). WHC dihitung dengan mengukur volume cairan yang terpisah saat sentrifugasi dengan rumus: WHC= selisih volume volume awal x 100% Pengamatan terkahir dari praktikum kali ini adalah pengamatan kekerasan daging secara subjektif. Langkah-langhkah yang dilakukan dalam pengamtan ini diantaranya ikan dimatikan terlebih dahulu kemudian ditekan dengan ibu jari dan dirasakan tekstur kekerasannya pada menit ke 30 dan 60. Adapun hasil dari pengamatan tersebut tampak pada tabel 4. Tabel 4. Pengamatan Kekerasan Daging Secara Subjektif Kelompok Sensori Kelompok 4 Kelompok 13 30 60 Aroma +++ + Tekstur ++ + Lendir +++ Tidak ada Warna bola mata + ++ Aroma +++ ++++ Tekstur ++ +++
Lendir +++ + Warna bola mata ++ +++ Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2011 Nova Nurfauziawati Ikan merupakan bahan pangan yang sangat mudah rusak apabila ikan tersebut telah mati. Kerusakan dapat terjadi akibat adanya bakteri atau mikroorganisme yang dapat menghasilkan lendir pada permukaan badan ikan yang telah mati, juga dapat disebabkan kerja enzim yang masih aktif segera setelah ikan mati yang akhirnya dapat menimbulkan sifat kekakuan (rigor mortis) pada ikan (Tjahjadi, 2009). Hasil pengamatan bersifat subjektif sehingga perubahan kekerasan sulit untuk didateksi. Dari tabel hasil praktikum di atas, dapat disimpulkan bahwa aroma ikan semakin berbau amis, tekstur mengalami peningkatan kekerasan kemudian mengalami penurunan. Hal ini merupakan dari fase pre-rigor. Pada fase ini ikan memiliki karakteristik daging yang lentur dan lunak, hal tersebut terjadi karena sarkomer daging memanjang. Sedangkan untuk ikan yang mengalami peningkatan kekerasan yang merupakan fase rigor mortis. Pada fase ini, otot menjadi kaku karena bersatunya aktin dan miosin membentuk aktinmiosin. Lendir pada ikan menjadi berkurang dan warna bola mata menjadi semakin bertambah keruh.
VI. KESIMPULAN Tahapan ikan setelah mengalami kematian ialah pre-rigor mortis, rigor mortis, dan pasca-rigor. ph pada ikan yang sedang mengalami pasca mortem mengalami penurunan karena glikogen terdegradasi menjadi asam laktat melalui proses anaerobik yang menyebabkan keadaan daging menjadi asam. Penurunan ph akan mempengaruhi sifat fisik daging, laju penurunan ph otot yang cepat akan mengakibatkan rendahnya kapasitas mengikat air (Water Holding Capacity) Penurunan suhu pada ikan yang telah mengalami kematian disebabkan oleh regulasi nervous dan hormonal terhenti dan respirasi yang terhenti. Ikan mengalami peningkatan kekerasan karena otot menjadi kaku akibat bersatunya aktin dan miosin membentuk aktinmiosin. Ikan memiliki karakteristik daging yang lunak dan lentur karena sarkomer daging memanjang.
DAFTAR PUSTAKA Tjahjadi,C dkk. 2009. Bahan pangan dan dasar-dasar pengolahan. Universitas Padjajaran, Bandung. Winniarti Puji Rahayu. 1992. Teknologi Fermentasi Produk Perikanan. IPB. Bogor Munandar A, Nurjanah, Nurimala M. 2009. Kemunduran Mutu Ikan Nila (Oreochromis niloticus) Pada Penyimpanan Suhu Rendah dengan Perlakuan Cata Kematian dan Penyiangan. Jurnal Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia: XII: 1 Nurwanto dan Sri M. 2003. Buku Ajar Teknologi Ternak. Fakultas Peternakan. Universitas Diponegoro. Semarang. Tensiska. 2009. Slide Ajar Biokimia Pangan II : Perubahan Lepas Mortem. Univeesitas Padjadjaran. Jatinangor. Widyastuty, I. 2008. Ikan Tuna. Teknologi Hasil Perikanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.