PENGGUNAAN RESTRAINING BOX DALAM PEMOTONGAN SAPI DI RPH DAN KARAKTERISTIK FISIK DAGING ARIF WICAKSONO

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PENGGUNAAN RESTRAINING BOX DALAM PEMOTONGAN SAPI DI RPH DAN KARAKTERISTIK FISIK DAGING ARIF WICAKSONO"

Transkripsi

1 PENGGUNAAN RESTRAINING BOX DALAM PEMOTONGAN SAPI DI RPH DAN KARAKTERISTIK FISIK DAGING ARIF WICAKSONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 vi

2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASINYA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis saya Penggunaan Restraining Box dalam Pemotongan Sapi di RPH dan Karakteristik Fisik Daging adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Jakarta, Mei 2010 Arif Wicaksono NIM B vi

3 ABSTRACT ARIF WICAKSONO. The Application of Restraining Box in Cattle Slaughtering in Abattoir And Physical Characteristic Of Meat. Under direction of DENNY W LUKMAN dan SRI MUKARTINI. This study is aimed to observe the differences of meat quality especially the ph, cooking loss and drip loss, and meat tenderness changes of postmortem beef meat slaughtered with and without using of restraining box. Restraining box is an equipment to fix or restrain cattle before slaughtering in order to lay down and handle the cattle safely. This study used 60 beef meat samples (30 samples of restraining and 30 samples of non-restraining) from the slaughterhouse of Bogor City and Bogor District. This research used the Musculus gluteus medius of Brahman Cross. The ph value of the samples was measured at 1, 6, 8, and 10 hours (h) after slaughtering. The water holding capacity was examined through cooking loss and drip loss which were conducted three times at 6, 8, and 10 hours postmortem and the meat tenderness was measured with Warner Bratzler shear force (WBSF). The result of study showed that the ph value of the both treatments decreased gradualy after slaughtering. The ph value avarage of meat samples from restraining was higher than the non-restraining. Nevertheless, the difference between the both treatments was statistically not significant (P>0.05). The study showed that the cooking loss of beef meat yielded from slaughtering with restraining box was lower significantly (p<0.05) than one without restraining at all abservations. Nevertheless, the drip loss of beef meat with restraining box was lower significantly (p<0.05) only at 10 hours postmortem than one without restraining box. The results indicated that the tenderness of beef meat yielded from slaughtering with restraining box was higher significantly (p<0.05) than one without restraining box Key words : restraining box, beef meat, ph value, cooking loss, drip loss, tenderness vi

4 RINGKASAN ARIF WICAKSONO. Penelitian Penggunaan Restraining Box dalam Pemotongan Sapi di RPH dan Karakteristik Fisik Daging. Dibimbing oleh DENNY W.LUKMAN dan SRI MUKARTINI. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan kualitas fisik daging dari pemotongan sapi dengan dan tanpa menggunakan restraining box di RPH melalui pengamatan perubahan karakteristik daging yang meliputi nilai ph, daya ikat air (water holding capacity) dan keempukan (tenderness). Restraning box adalah alat fiksasi sapi menjelang disembelih untuk mempermudah penanganan sapi pada saat dirobohkan dan disembelih. Penelitian ini menggunakan sampel daging sapi dari bagian topside (Musculus gluteus medius) dari jenis sapi Brahman cross. Jumlah contoh sebesar 60 contoh, meliputi 30 contoh dari sapi yang dipotong di RPH Kota Bogor dengan menggunakan restraining box dan 30 contoh dari RPH Kabupaten Bogor yang tidak menggunakan restraining box. Contoh daging diambil di RPH Kabupaten Bogor dan RPH Kota Bogor. Pengujian laboratorium terhadap contoh daging dilaksanakan di Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah daging sapi bagian top side (Musculus gluteus ) sebanyak 0.5 kg setiap contoh. Contoh daging diambil dari jenis sapi Brahman cross (BX) dengan status kelamin steer dengan kisaran umur tahun, yaitu sebanyak 60 contoh dari 60 sapi Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan metode statistika sebaran t (t-test) dua sampel dengan selang kepercayaan 95% dimana setiap waktu pengamatan dicari rata-rata dan standar deviasinya. Peubah yang diamati adalah nilai ph, daya ikat air daging melalui uji cooking loss dan drip los, serta keempukan daging. Untuk nilai ph, pengujian dilakukan pada jam ke-1, ke-6, ke-8, dan ke-10 setelah sapi dipotong. Nilai ph daging pada kedua perlakuan menurun secara bertahap setelah pemotongan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai ph rata-rata pada daging yang menggunakan restraining box relatif lebih tinggi dibandingkan dengan daging tanpa restraining box, namun perbedaannya tidak nyata (p>0.05). Untuk daya ikat air, pengamatan terhadap cooking loss dan drip los dilakukan tiga kali yaitu pada jam ke-6, ke-8, dan ke-10 setelah pemotongan. Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan nyata antara kedua perlakuan terhadap nilai cooking loss maupun drip loss. Secara umum nilai cooking loss antara daging dengan perlakuan restraining box lebih rendah dibandingkan dari daging tanpa perlakukan restraining box. pada jam ke-6, ke-8, dan ke-10 pemeriksaan postmortem. Sedangkan nilai drip loss daging dengan restraining box nyata lebih rendah dibandingkan dengan tanpa restraining box (p<0.05) pada jam ke-10. Pengukuran keempukan daging sapi dilakukan dengan menggunakan Warner Bratzler Shear Force (WBSF). Hasil penelitian menunjukkan adanya vi

5 perbedaan nyata antara kedua perlakuan. Secara umum daging dengan perlakuan restraining box memiliki nilai keempukan nyata lebih tinggi dibandingkan dengan tanpa restraining box (p<0.05). Kata kunci : restraining box, daging sapi, nilai ph, cooking loss, drip loss, keempukan vi

6 Hak cipta IPB, tahun 2010 Hak cipta dilindungi Dilarang mengkutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotocopy, microfilm dan sebagainya. vi

7 PENGGUNAAN RESTRAINING BOX DALAM PEMOTONGAN SAPI DI RPH DAN KARAKTERISTIK FISIK DAGING ARIF WICAKSONO Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 vi

8 Judul Nama NIM : Penggunaan Restraining Box dalam Pemotongan Sapi di RPH dan Karakteristik Fisik Daging : Arif Wicaksono : B Disetujui Komisi Pembimbing DR. Drh. Denny Widaya Lukman, M.Si Ketua Drh. Sri Mukartini, M.App.Sc Anggota Diketahui Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Drh. Denny Widaya Lukman, M.Si Prof. DR. Ir. Khairil Anwar Notodipuro, MS Tanggal Lulus : 14 Mei 2010 vi

9 PRAKATA Puji dan syukur patut penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala anugerahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul Penggunaan Restraining Box dalam Pemotongan Sapi di RPH dan Karakteristik Fisik Daging. Terimakasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. drh. Denny Widaya Lukman,MSi dan drh. Sri Mukartini, M.App.Sc selaku pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu untuk membimbing,mengarahkan dan mendorong penulis sejak awal usulan penelitian hingga selesainya tesis ini. Disamping itu penulis sampaikan penghargaan kepada teman-teman di Subdit Higiene Sanitasi, Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner yang telah banyak membantu dan memberikan motivasi untuk menyelesaikan tesis ini. Terimakasih yang tulus tak lupa penulis sampaikan kepada ibunda terkasih serta seluruh keluarga yang dengan setia memberikan motivasi dan doa tak putusputusnya bagi penulis dalam mengikuti studi di IPB sampai dengan penyelesaian tesis ini. Akhirnya penulis hanya bisa mengucapakan puji Syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan kesempatan dan kekuatan bagiku untuk berjuang, berkarya dan mencapai keberhasilan. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Jakarta, Mei 2010 Arif Wicaksono vi

10 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kabupaten Sragen Jawa Tengah pada Tanggal 27 Pebruari 1976 sebagai anak ke-4 dari empat bersaudara dari pasangan ayah Alm. Bapak Sunardi dan Ibu Hj. Sri Mulyani. Pendidikan sarjana ditempuh di program studi Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada, lulus Tahun 2000, kemudian melanjutkan ke program profesi dokter hewan pada universitas yang sama dan lulus pada tahun Pada Tahun 2003 penulis diterima menjadi PNS di Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner, Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian. Suatu niat yang tumbuh dalam benak penulis untuk dapat lebih berkontribusi dalam perumusan kebijakan dan pemikiran yang bermanfaat untuk mewujudkan upaya penjaminan produk pangan asal hewan yang Aman, Sehat, Utuh, dan Halal (ASUH). Untuk itu penulis memilih program studi S2 Kesehatan Masyarakat Veteriner pada Institut Pertanian Bogor (IPB) untuk lebih memperdalam pemahaman tentang ilmu Kesehatan Masyarakat Veteriner. vi

11 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... xiii DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN. I. PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Hipotesis Penelitian xiv xv II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Konversi Otot Menjadi Daging ph Daging Keempukan (Tenderness) Daya Ikat Air (Water Holding Capacity/WHC) Restraining box III. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian. 3.2 Materi 3.3 Metode Penelitian Analisa Statistika IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh penggunaan restraining box terhadap ph daging 4.2 Pengaruh Penggunaan Restraining Box terhadap Daya Ikat Air Daging Pengaruh Penggunaan Restraining Box terhadap Keempukan Daging vi

12 V. SIMPULAN DAN SARAN.. 25 DAFTAR PUSTAKA. 27 LAMPIRAN.. 28 vi

13 DAFTAR TABEL Halaman 1. Nilai rata-rata ph daging hasil pemotongan dengan dan tanpa menggunakan restraining box Nilai rata-rata cooking loss daging hasil pemotongan dengan dan tanpa menggunakan restraining box Nilai rata-rata drip loss daging hasil pemotongan dengan dan tanpa menggunakan restraining box Perbedaan keempukan contoh daging dengan restraining box dan non-restraining box (kg/cm 2 ) vi

14 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Restraining box yang dipasang di RPH Perubahan-perubahan fisiko-kimia pada otot setelah hewan disembelih Penurunan nilai rata-rata ph postmortem pada daging yang berasal dari pemotongan dengan dan tanpa menggunakan restraining box Perbandingan cooking loss daging dari perlakuan penggunaan dengan dan tanpa restraining box Perbandingan drip loss daging dari perlakuan penggunaan dengan dan tanpa restraining box. 19 vi

15 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Analisa data Nilai Rataan, Galat baku dan Hasil uji t-student Hasil Uji T Dan Selang Kepercayaan 95% Selisih rataan antara perlakuan restraining box dan tanpa restraining box 29 vi

16 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Daging merupakan bahan pangan yang penting dalam memenuhi kebutuhan gizi masyarakat. Selain mutu proteinnya tinggi, daging juga mengandung asam amino esensial yang lengkap dan seimbang. Keunggulan lain, protein daging lebih mudah dicerna dibandingkan dengan protein nabati. Menurut Lawrie (1968) daging adalah bagian dari hewan potong yang digunakan manusia sebagai bahan makanan, selain mempunyai penampakan yang menarik selera, juga merupakan sumber protein hewani berkualitas tinggi. Sedangkan menurut Soeparno (1994) daging didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk hasil pengolahan jaringan-jaringan tersebut yang sesuai untuk dimakan serta tidak menimbulkan ganguan kesehatan bagi yang memakannya misalkan meat born illness. Rumah Pemotongan Hewan (RPH) merupakan lokasi transformasi dari ternak hidup menjadi produk pangan bernilai gizi tinggi yaitu daging. Daging yang dihasilkan dari RPH harus memenuhi persyaratan keamanan pangan (food safety), mutu (kualitas), dan khususnya di Indonesia harus pula memenuhi persyaratan kehalalan, yang dikenal dengan konsep Aman, Sehat, Utuh dan Halal (ASUH) (Prodjodiharjo 2002). Kualitas karkas dan daging dipengaruhi oleh faktor sebelum dan setelah penyembelihan. Menurut Swatland (1984), untuk memperoleh kualitas karkas yang baik, maka penyembelihan di RPH harus memenuhi syarat sebagai berikut: (1) ternak tidak diperlakukan dengan kasar sebelum penyembelihan, (2) ternak tidak mengalami stres, (3) proses penyembelihan dan pengeluran darah harus secepat dan sesempurna mungkin, (4) kerusakan karkas harus minimal, dan (5) cara penyembelihan harus higienis, ekonomis dan aman bagi para pekerja. Faktor sebelum penyembelihan yang dapat mempengaruhi kualitas daging antara lain adalah: genetik, spesies, bangsa, tipe ternak, jenis kelamin, umur, pakan termasuk bahan aditif (hormon, antibiotik dan mineral) dan faktor stres yang terkait erat dengan cara penanganan ternak pada saat akan disembelih. Sedangkan faktor penentu kualitas daging yang dikonsumsi

17 2 terutama meliputi warna, keempukan dan tekstur, flavour dan aroma termasuk bau dan cita rasa, serta jus daging (juiciness). Disamping itu, faktor penting lain yang ikut menentukan kualitas daging adalah lemak intramuskular, susut masak (cooking loss), resistensi cairan, dan ph (Soeparno 2005). Salah satu peralatan yang saat ini digunakan untuk membantu proses penyembelihan pada sapi adalah restraining box yang berada di beberapa RPH di Indonesia. Restraining box yang dipakai di beberapa RPH di Indonesia merupakan desain yang dikembangkan oleh Meat Livestock Australia (MLA) pada tahun 2003 melalui Asosiasi Pengusaha Feedloter Indonesia (APFINDO). Pada saat ini telah terpasang 72 unit restraining box di 60 RPH yang tersebar di 9 propinsi di Jawa dan Sumatera. Peralatan ini digunakan untuk membantu merobohkan sapi pada saat akan disembelih dengan proses kerja tertentu. Tujuan dari penggunaan restaining box adalah untuk: (1) mempercepat proses penyembelihan di RPH; (2) mempermudah pelaksanaan penyembelihan secara halal; (3) meningkatkan kualitas daging yang dihasilkan dari RPH; dan (4) mewujudkan penerapan kesejahteraan hewan pada proses penyembelihan hewan di RPH (Anonymus 2007). Berikut ini adalah gambar restraining box yang telah terpasang di Indonesia. Gambar 1 gambar restraining box yang telah terpasang di beberapa RPH di Indonesia.

18 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk membandingkan karakteristik fisik antara daging dari sapi yang disembelih dengan menggunakan perlakuan restraining box dengan sapi yang tanpa menggunakan restaining box Manfaat Penelitian (pelaku usaha, pemerintah, konsumen) Hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat tidak hanya bagi pelaku usaha penyembelihan hewan namun juga bagi pemerintah dan konsumen dalam bentuk: a. Memberikan gambaran kualitas fisik daging khususnya nilai ph, daya ikat air (nilai cooking loss dan drip loss) serta nilai keempukan daging postmortem dari pemotongan hewan yang menggunakan restraining box dan tanpa restraining box; b. Menjadi bahan kebijakan teknis bagi pemerintah dalam penyusunan pedoman teknis pembangunan RPH terutama persyaratan teknis peralatan restraining box; c. Memberikan gambaran kepada pemerintah, pelaku usaha dan masyarakat mengenai manfaat penggunaan restraining box dalam pemotongan sapi di RPH dalam menghasilkan daging yang aman, sehat, utuh dan halal (ASUH). d. Menjadi bahan acuan bagi pelaku usaha (jagal) dan pekerja RPH agar mengoperasionalkan restrainng box dengan baik dan benar pada proses pemotongan hewan sehingga diperoleh daging yang ASUH. e. Meningkatkan jaminan keamanan dan kualitas daging yang dihasilkan di RPH.

19 Hipotesis Penelitian Karakteristik fisik daging sapi, khususnya nilai ph, cooking loss dan drip loss, serta keempukan daging dipengaruhi oleh perlakuan restraining box.

20 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konversi Otot Menjadi Daging Kondisi ternak sebelum penyembelihan akan mempengaruhi tingkat konversi otot menjadi daging dan juga mempengaruhi kualitas daging yang dihasilkan (Soeparno 2005). Perubahan dari otot menjadi daging dimulai dari penyembelihan hewan. Penyembelihan dilakukan pada bagian leher dengan memotong esofagus, trachea, dan saluran darah (Arteri carotis dan Vena jugularis) dengan memperhatikan syariah agama Islam dan kaidah kesejahteraan hewan (SK Mentan. 1992). Setelah hewan disembelih (mati), terjadi perubahan yang sangat kompleks di dalam jaringan otot yang meliputi perubahan biokimia, fisik, dan mikrobiologis. Secara umum, perubahan tersebut diawali dengan berhentinya sirkulasi darah, yang mengakibatkan tidak adanya pasokan (supply) oksigen ke jaringan, sehingga menimbulkan konsekuensi perubahan pada, jaringan termasuk otot (Lukman et al. 2007). Secara umum perubahan-perubahan tersebut dapat dilihat pada Gambar 2 berikut : Sirkulasi darah terhenti Tidak ada supply oksigen Respirasi terhenti Penurunan kadar ATP dan CP Glikolisis anaerob Penurunan nilai ph Rigor mortis Denaturasi Protein Pembebasan dan aktivasi enzim

21 6 Gambar 2 Perubahan-perubahan fisiko-kimia pada otot setelah hewan disembelih (Lukman et al. 2007) Pengeluaran darah sebagai akibat penyembelihan ternak menyebabkan persediaan oksigen di dalam otot yang berikatan dengan mioglobin makin menurun dan menjadi habis. Akibatnya sistem enzim dari sitokrom tidak dapat beroperasi dan sintesis ATP tidak dapat diproduksi. Tidak berhasilnya mensintesis kembali ATP melalui proses glikolisis anaerob, maka tidak memungkinkan mempertahankan tingkat ATP, sehingga ikatan aktin miosin yang terkunci yang mengakibatkan otot menjadi keras proses ini dikenal dengan rigor mortis (Lawrie 1979; Swatland 1984). Selama pelayuan (aging/conditioning) terjadi proses post rigor yang menyebabkan peningkatan aktivitas enzim proteolitik yang menyebabkan peningkatan keempukan dan cira rasa (flavor)daging. Pada proses ini juga terjadi degradasi protein oleh enzim kalpain dan katepsin. Pelayuan pada daging sapi dapat dilakukan pada temperatur 4 ºC selama 12 hari atau pada temperatur kamar (29 ºC) selama 8 12 jam, selama proses tersebut terjadi perubahan secara sempurna dari otot menjadi daging (Lukman et al. 2007) ph Daging Pada umumnya nilai ph daging sapi yang diukur pada jam pertama postmortem adalah Pada saat mulai rigor mortis, nilai ph daging menjadi 5.90 dan kemudian mencapai ph akhir 5.50 yang dicapai kurang lebih setelah 24 jam (Soeparno 2005). Nilai ph daging setelah hewan mati (nilai ph postmortem) akan menurun mencapai ph akhir. Penurunan nilai ph tersebut dipengaruhi oleh faktor-faktor yang mempengaruhi laju glikolisis. Nilai ph daging tidak akan pernah kurang dari 5.3, karena pada ph dibawah 5.3 enzimenzim yang berperan dalam proses glikolisis tidak aktif (Lawrie 1979). Menurut Soeparno (2005) Faktor yang mempengaruhi laju dan besarnya penurunan ph postmortem dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik antara lain adalah spesies, tipe otot, glikogen otot dan variabilitas diantara ternak, sedangkan faktor ekstrinsik, antara lain adalah

22 7 temperatur lingkungan, perlakuan bahan aditif sebelum penyembelihan dan stress sebelum penyembelihan. Menurut Soeparno (2005) sapi yang mengalami stress atau kelelahan sebelum dipotong, maka kandungan glikogen pada otot akan menipis, sehingga konsentrasi asam laktat yang terbentuk tidak bisa membuat ph mencapai angka 5,6, bila ph lebih tinggi misalnya 6,2 maka daging akan terlihat gelap, keras dan kering yang dikenal dengan nama dry, firm, dark (DFD). Warna gelap pada daging ini berhubungan dengan daya ikat air (water holding capacity) yang lebih tinggi dari normal. Dengan tingginya daya ikat air tersebut, menyebabkan keadaan serabut otot menjadi lebih besar dan lebih banyak cahaya yang diserap dari yang dipantulkan oleh permukaan daging, hal ini yang menyebabkan daging terlihat lebih gelap Penimbunan asam laktat dan tercapainya ph ultimat (akhir) otot postmortem tergantung pada jumlah cadangan glikogen otot pada saat penyembelihan. Penimbunan asam laktat akan berhenti setelah cadangan glikogen otot menjadi habis atau setelah kondisi yang tercapai yaitu ph cukup rendah untuk menghentikan aktivitas enzim-enzim glikolitik didalam proses glikolisis anaerobik. Jadi ph ultimat daging adalah ph yang tercapai setelah glikogen otot menjadi habis atau setelah enzim-enzim glikolitik menjadi tidak aktif pada ph rendah atau setelah glikogen tidak lagi sensitif terhadap serangan enzim glikolitik (Pearson 1971; Lawrie 1979). ph ultimat normal daging postmortem adalah sekitar 5,5 yang sesuai dengan titik isoelektrik sebagian besar protein daging termasuk protein miofibril. Pada umumnya glikogen tidak diketemukan pada ph antara 5,4 5,5 (Lawrie 1979). Laju penurunan ph otot yang cepat dan ekstensif akan mengakibatkan : (1) warna daging menjadi lebih pucat, (2) daya ikat protein daging terhadap cairannya menjadi lebih rendah, dan (3) permukaan potongan daging menjadi basah karena keluarnya cairan permukaan potongan daging yang disebut drip atau weep (Forrest et al. 1975). Sebaliknya pada ph ultimat yang tinggi, daging berwarna gelap dan permukaan potongan daging menjadi sangat kering karena cairan daging terikat secara erat oleh proteinnya (Soeparno 2005).

23 Keempukan (Tenderness) Pertama kali konsumen menilai keempukan daging pada saat daging dikunyah. Kesan keempukan secara keseluruhan meliputi tekstur dan melibatkan tiga aspek (Bratzler 1971; Lawrie 1979) pertama, kemudahan awal penetrasi gigi ke dalam daging; kedua, mudahnya daging dikunyah menjadi fragmen/potonganpotongan yang lebih kecil, dan ketiga jumlah sisa fragmen/potongan yang tertinggal setelah pengunyahan (Weir 1960; Bratzler 1971). Peningkatan keempukan daging selama proses pelayuan, antara lain disebabkan oleh kerja enzim-enzim proteolitik terhadap protein fibrus otot, termasuk elemen-elemen kontraktil. Menurut Soeparno (2005) keempukan dan tekstur daging kemungkinan besar merupakan penentu yang paling penting pada kualitas daging. Faktor yang mempengaruhi keempukan daging digolongkan menjadi faktor antemortem seperti genetik dan termasuk bangsa, spesies dan fisiologi, faktor umur, managemen, jenis kelamin dan stress. Faktor postmortem antara lain meliputi metode pelayuan (chilling), refrigerasi dan pembekuan termasuk faktor lama dan temperatur penyimpanan serta metode pengolahan termasuk metode pemasakan dan penambahan bahan pengempuk. Jadi keempukan bisa bisa bervariasi diantaranya spesies, bangsa, ternak dalam spesies yang sama, potongan karkas dan diantara otot serta otot yang sama. Komponen daging yang mempengaruhi keempukan daging adalah jaringan ikat, serabut otot, lemak (lemak intramuskular = marbling). Faktor lain yang mempengaruhi keempukan daging adalah umur ternak, jumlah jaringan ikat, cara penanganan daging sebelum dan setelah penyembelihan, serta cara pemasakan daging. Keempukan daging banyak ditentukan setidak-tidaknya oleh tiga komponen daging, yaitu struktur miofibrilar dan status kontraksinya (Davey et al. 1967), kandungan jaringan ikat dan tingkat ikatan silangnya dan daya ikat air oleh protein daging serta jus daging (Bouton et al. 1971). Pada ternak yang mengalami kecapaian/kelelahan atau stres dan kurang istirahat menjelang disembelih akan menghasilkan persediaan ATP yang kurang sehingga proses rigormortis akan berlangsung cepat. Kekakuan otot yang terjadi

24 9 akan diikuti dengan pemendekan otot yang relatif lebih besar, sehingga daging menjadi kurang empuk dan mempunyai daya ikat air yang rendah (Soeparno 2005). Oleh karena itu, penanganan ternak sebelum penyembelihan perlu untuk diperhatikan karena memiliki pengaruh yang besar terhadap keadaan fisiologis sapi saat menjelang proses penyembelihan. Dalam hal ini, penggunaan alat-alat penyembelihan yang tepat antara lain restraining box sebagai alat fiksasi hewan sebelum penyembelihan, pisau yang tajam untuk menyembelih hewan dan alat penggantung karkas di rumah penyembelihan hewan (RPH) menjadi faktor penting yang mempengaruhinya Daya Ikat Air (Water Holding Capacity/WHC) Daya ikat air adalah kemampuan protein daging (otot) untuk mengikat air atau air yang ditambahkan. Daya ikat air dipengaruhi oleh faktor nilai ph, rigor mortis dan aging. Daya ikat air mempengaruhi beberapa sifat fisik daging antara lain: warna, citarasa (flavour) dan tekstur. Daya ikat air oleh protein daging ditentukan dengan pemeriksaan susut masak (cooking loss) dan drip loss. Cooking loss adalah berat yang hilang (penyusutan berat) selama pemasakan. Adapun drip loss adalah cairan atau (eksudat) yang keluar dari daging tanpa aplikasi/penerapan tekanan dari luar (Lukman et al. 2007). Peningkatan tekanan osmotik, pembebasan ion Na+ dan Ca++ ke dalam sarkoplasma oleh protein-protein otot dan absorbsi ion K+, serta perubahan struktur otot setelah 24 jam pelayuan, berhubungan dengan meningkatnya daya ikat air daging (Arnold et al. 1956; Bratzler et al. 1977; Lawrie 1979) Cooking loss bisa dipengaruhi oleh ph, panjang sarkomer serabut otot, panjang potongan serabut otot, status kontraksi miofibril, ukuran dan berat sampel daging dan penampang lintang daging (Bouton et al. 1971). Menurut Soeparno (2005), perbedaan cooking loss yang besar bisa diperoleh dengan pemasakan pada temperatur 50 ºC dibandingan dengan pemasakan pada temperatur 60 ºC. Pada umumnya cooking loss bervariasi antara 15% - 54,5% dengan kisaran 15% - 40%. Sifat mekanik daging termasuk cooking loss merupakan indikasi dari sifat mekanik miofibril dan jaringan ikat dengan bertambahnya umur ternak, terutama

25 10 peningkatan panjang sarkomer. Besarnya cooking loss dapat dipergunakan untuk mengestimasi jumlah jus dalam daging masak. Daging dengan cooking loss yang lebih rendah mempunyai kualitas yang relatif lebih baik daripada daging dengan cooking loss yang lebih besar, karena kehilangan nutrisi selama pemasakan akan lebih sedikit. Penanganan sapi sesaat sebelum penyembelihan akan berpengaruh terhadap kualitas daging postmortem termasuk daya ikat air. Hal tersebut berkaitan dengan jumlah cadangan glikogen otot yang tersisa setelah penyembelihan yang mempengaruhi nilai ph daging dan proses rigor mortis sehingga dapat menentukan tingkat daya ikat air oleh protein daging melalui berbagai perubahan-perubahan fisiko-kimia pada otot setelah hewan disembelih. Penurunan ph yang cepat akan meningkatkan kontraksi aktomiosin dan menurunkan daya ikat air protein daging juga menerangkan bahwa penurunan ph akan menyebabkan denaturasi protein sehingga perpindahan air ke ruang ekstraseluler meningkat (Soeparno 2005) Restraining Box Restraining box adalah sebuah alat fiksasi pemotongan sapi di RPH yang berfungsi mengendalikan sapi sesaat sebelum pemotongan. Penggunaan restraining box sebelum pemotongan diharapkan dapat menekan tingkat stres pada sapi sebelum dipotong, baik akibat pengaruh lingkungan di RPH maupun faktor-faktor lainnya, seperti pengangkutan dan penampungan sementara yang padat (Anonymus 2007). Menurut Grandin (1991), restraining box adalah alat yang digunakan untuk mengendalikan sapi sebelum disembelih agar tingkat stres pada sapi dapat dikurangi. Pada prinsipnya, tingkat stres dapat diturunkan karena: (1) saat sapi masuk ke dalam restraining box sapi tidak merasa takut karena terhindar dari pengaruh lingkungan area penyembelihan. Hal tersebut penting terutama bagi sapi yang cukup agresif; (2) untuk mengatasi terjangan kepala sapi karena pandangan di sekeliling sapi tertutup penuh; (3) memudahkan dalam merobohkan sapi tanpa perlakuan kasar; (4) stabilitas alat membuat sapi menjadi

26 11 lebih tenang dan mengatasi gerakan berontak yang tiba-tiba; dan (5) tekanan alat pada sapi tidak menimbulkan kesakitan dan berlangsung cepat.

27 12 III. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan November 2008 Januari Contoh daging diambil di RPH Kabupaten Bogor dan RPH Kota Bogor. Pengujian laboratorium terhadap contoh daging dilaksanakan di Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor 3.2 Materi dan Metode Materi Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah daging sapi bagian top side (Musculus gluteus ) sebanyak 0.5 kg setiap contoh. Contoh daging diambil dari jenis sapi Brahman cross (BX) dengan status kelamin steer dengan kisaran umur tahun, yaitu sebanyak 60 contoh dari 60 sapi yang berbeda yang telah diistirahatkan terlebih dahulu di kandang penampungan RPH selama ± satu minggu sebelum dipotong, yang terdiri dari 30 contoh daging dari hasil pemotongan dengan menggunakan restraining box dan 30 contoh daging dari hasil pemotongan tanpa menggunakan restraining box dengan pengambilan sampel sebelum pelayuan Metode Penelitian Pengukuran nilai ph daging Contoh daging dari kedua perlakuan disimpan dalam kantong plastik dan disimpan pada suhu kamar (25 34 C). Pengukuran nilai ph dilakukan empat kali pengukuran, yaitu jam ke-1, ke-6, ke-8, dan ke-10. Metode yang dilakukan adalah metode elektrometrik dengan daging homogenat. Sebelum pengukuran ph meter harus dikalibrasi menggunakan larutan standar. Pertama ph meter dikalibarasi dengan larutan ber-ph 4.01 lalu dikalibarasi dengan larutan ber-ph 7,0 atau lebih. Setiap selesai pencelupan atau pengukuran pada contoh, gelas elektroda harus selalu dibilas secara seksama dan hati-hati dengan akuades,

28 13 kemudian dikeringkan dengan kertas tisu secara hati-hati. Pengukuran nilai ph daging dapat dilakukan dengan mempersiapkan daging dengan dihomogenkan terlebih dahulu menggunakan blender (homogenat). Contoh daging yang telah homogen dimasukkan ke dalam kantong plastik dan mulai diukur ph-nya dengan memasukkan elektrode gelas ke dalam homogenat daging. Setelah elektroda ph meter dimasukkan ke dalam contoh, biarkan beberapa waktu sampai nilai ph terbaca konstan Pemeriksaan Keempukan Pengukuran keempukan daging sapi dilakukan menggunakan Warner-Bratzler shear force (WBSF). Contoh daging yang telah didinginkan, 24 jam kemudian dicairkan (thawing) dan direbus sampai suhu dalam daging mencapai angka 80 o C, yaitu sekitar menit. Kemudian daging tersebut diangkat dan ditiriskan. Daging dicetak dengan menggunakan corer dengan diameter bagian dalam 1.27 cm atau 0.5 inchi sehingga diperoleh potongan daging dengan diameter 1.27 cm dan panjang 4-5 cm. Langkah pengujian selanjutnya adalah pemotongan contoh daging dengan WB blade. Daging diletakkan sedemikian rupa sehingga alat potong pada Warner Bratzler tepat memotong melintang arah serabut otot. Nilai daya putus WB dinyatakan dengan satuan kilogram per sentimeter persegi (kg/cm 2 ) Pemeriksaan Drip Loss Pengujian drip loss dilakukan melalui tiga tahap yaitu tahap penimbangan contoh, tahap penyimpanan dan tahap pengukuran. Contoh daging ditimbang ± 5 gram (a gram) kemudian contoh daging digantung dengan benang pada kawat lalu dimasukkan ke dalam kantong plastik kemudian diikat dan disimpan dalam lemari es selama 24 jam. Setelah itu daging ditimbang kembali (b gram). Pengujian dilakukan pada jam ke-6, jam ke-8, dan jam ke-10 setelah pemotongan. Pengukuran nilai drip loss dilakukan dengan cara perhitungan dengan rumus sebagai berikut : % drip loss = a b x 100% a

29 14 Keterangan : a : Berat daging sebelum perlakuan (gram) b : Berat daging setelah perlakuan (gram) Pemeriksaan Cooking Loss Pengujian cooking loss dilakukan melalui tiga tahap yaitu tahap penimbangan contoh, tahap pemasakan dan tahap pengukuran. Contoh daging ditimbang sebanyak gram (a gram) lalu dimasukkan ke dalam kantong plastik tahan panas kemudian dipanaskan dalam air suhu 75 C selama 50 menit selanjutnya daging ditimbang kembali (b gram). Pengujian dilakukan pada jam ke-6, jam ke-8, dan jam ke-10 setelah pemotongan. Pengukuran nilai cooking loss dilakukan dengan cara perhitungan dengan rumus sebagai berikut : % cooking loss = a b x 100% a Keterangan : a : Berat daging sebelum perlakuan ( gram) b : Berat daging setelah perlakuan (gram) 3.3 Analisis Statistika Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan metode statistika sebaran t (t-test) dua sampel dengan selang kepercayaan 95% dimana setiap waktu pengamatan dicari rata-rata dan standar deviasinya.

30 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh penggunaan restraining box terhadap ph daging Hasil pengujian nilai ph dari daging yang berasal dari sapi dengan perlakuan restraining box, nilai ph rata-rata pada jam pertama postmortem adalah dan mencapai nilai terendah pada jam ke-8 postmortem (rata-rata ), sedangkan pada daging yang berasal dari sapi tanpa perlakuan restraining box, nilai ph rata-rata pada jam pertama yaitu dan mencapai nilai terendah pada jam ke-8 postmortem ( ). Nilai ph daging kedua perlakuan mengalami peningkatan kembali pada jam ke-10. Untuk daging yang berasal dari sapi dengan perlakuan restraining box ph mencapai nilai , meningkat sebesar 1.97 % dari jam ke-8. Sementara itu, daging yang berasal dari sapi tanpa perlakuan restraining box mencapai nilai , yang berarti mengalami kenaikan sebesar 0.85 % dari jam ke-8, seperti pada Tabel 1 dan Gambar 2. Tabel 1 Nilai rata-rata ph daging yang berasal dari sapi dengan perlakuan restraining box dan tanpa perlakuan restraining box Jam ke- Restraining box Non-Restraining box tn tn tn tn tn tn * * Ket : superscript (tn) yang sama pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang tidak nyata (P>0.05) superscript (*) yang sama pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05) Sapi yang dipotong tanpa menggunakan restraining box pada umumnya akan mendapat perlakuan kasar pada saat dirobohkan sehingga sapi mengalami stres. Stres dapat memicu meningkatnya glikolisis yang akan menghasilkan asam laktat dan tertimbun pada otot (Lawrie 1979; Buckle et al. 1985). Pada keadaan yang tidak terkendali penimbunan asam laktat pada otot tidak dapat lagi dinetralisasi oleh sistem buffer otot, sehingga dapat menurunkan nilai ph otot

31 16 pada saat pemotongan dan akan berdampak semakin rendahnya nilai ph daging postmortem (Shorthose dan Whytes 1988). Pengamatan nilai ph antara daging dengan dan tanpa perlakuan restraining box pada jam pertama pengukuran postmortem menunjukkan bahwa nilai ph daging dari sapi tanpa perlakuan restraining box ( ) lebih rendah daripada daging dari sapi dengan perlakuan restraining box ( ), seperti pada Gambar 2. (mengapa?) Gambar 2 Penurunan nilai rata-rata ph postmortem pada daging yang berasal dari pemotongan dengan dan tanpa menggunakan restraining box. Berdasarkan data yang diperoleh, pola penurunan ph untuk kedua perlakuan seperti yang digambarkan di atas termasuk pola penurunan ph yang normal yaitu mencapai nilai dalam waktu 6 8 jam setelah pemotongan (Forrest et al dalam Brahmantiyo 1996). Nilai ph rata-rata pada daging yang dipotong tanpa menggunakan restraining box relatif lebih rendah dibandingkan dengan daging yang dipotong menggunakan restraining box, namun perbedaan nilai tersebut tidak berbeda nyata (p>0.05). Hal ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor, baik faktor jumlah contoh yang diambil maupun faktor teknis di lapangan terkait dengan cara

32 17 penggunaan restraining box karena kurangnya kesadaran pekerja akan tujuan serta manfaat penggunaan restraining box. (? Factor apa saja) Kondisi stres tersebut mememicu terjadinya glikolisis anaerob. Penguraian glikogen ini sebagai respon positif dari faktor stres yang akan merangsang peningkatan sekresi hormon glukokortikoid (hormon kortisol) yang akan meningkatkan penggunaan glikogen otot dan memobilisasi asam lemak bebas sehingga terbentuk persediaan energi darurat. Keadaan ini sangat berdampak negatif terhadap persediaan glikogen otot postmortem dan mempercepat laju penurunan nilai ph postmortem (sumber pustaka) Pada jam ke-10 postmortem menunjukkan bahwa nilai ph rata-rata daging dari kedua perlakuan, baik pemotongan dengan menggunakan dan tanpa menggunakan restraining box, mengalami kenaikan (Tabel 1). Kenaikan nilai ph postmortem tersebut disebabkan oleh terhentinya pelepasan kreatin fosfat atau adanya perubahan sistem bufer dalam jaringan otot sehingga penurunan ph daging dihambat (Dogde dan Peters 1960). 4.2 Pengaruh Penggunaan Restraining box terhadap Daya Ikat Air Daging (Water Holding Capacity) (uji statistik utk pengambil keputusan (deskripsi data hasil didahulukan) Untuk mengetahui pengaruh penggunaan restraining box terhadap daya ikat air pada daging dilakukan dua jenis pengujian yaitu uji cooking loss dan drip loss. Hasil pengujian pada uji cooking loss menunjukkan bahwa nilai cooking loss daging dengan perlakuan restraining box nyata lebih rendah (p<0.05) daripada daging tanpa perlakuan restraining box, baik pada jam ke-6, ke-8, maupun jam ke-10 pengujian setelah pemotongan. Pada daging dengan perlakuan restraining box, nilai rata-rata cooking loss pada jam ke-6 adalah dan mencapai nilai terendah pada jam ke-8 postmortem yaitu dengan rata-rata , kemudian rata-ratanya naik kembali pada jam ke-10 dengan nilai , sedangkan pada daging tanpa restraining box, nilai rata-rata cooking loss pada jam ke-6 adalah dan mencapai nilai terendah pada jam ke-8 yaitu dengan rata-rata , kemudian rata-ratanya naik kembali pada jam ke-

33 18 10 dengan nilai Perbandingan rata-rata cooking loss contoh daging yang dihasilkan melalui proses pemotongan dengan menggunakan restrainning box dan non-restraining box pada jam ke-6, ke-8 dan ke-10 proses pemasakan disajikan pada Tabel 2 dan Gambar 3. Tabel 2 Nilai rata-rata cooking loss daging hasil pemotongan dengan dan tanpa menggunakan restraining box Jam ke- Restraining box Non-Restraining box * * * * * * Ket : superscript (*) yang sama pada baris yang sama menunjukan perbedaan yang nyata (P<0.05) Gambar 3. Perbandingan cooking loss daging dari perlakuan penggunaan dengan dan tanpa restraining box Hasil penelitian pada uji drip loss menunjukkan bahwa daging hasil pemotongan dengan restraining box memilki nilai drip loss yang lebih rendah dibandingkan dengan daging tanpa restraining box baik pada jam ke-6, ke-8 maupun jam ke-10 pengujian setelah pemotongan. Nilai drip loss daging dengan

34 19 restraining box yang diuji pada jam ke-10 memiliki nilai yang nyata lebih rendah (p<0.05) daripada daging tanpa restraining box. Nilai rata-rata drip loss pada jam ke-6 adalah dan mencapai nilai terendah pada jam ke-8 postmortem yaitu dengan rata-rata , kemudian rata-ratanya naik kembali pada jam ke-10 dengan nilai , sedangkan pada daging yang dipotong tanpa menggunakan restraining box, nilai rata-rata drip loss pada jam ke-6 adalah dan mencapai nilai terendah pada jam ke-8 yaitu dengan rata-rata , kemudian rata-ratanya naik kembali pada jam ke-10 dengan nilai Perbandingan rata-rata drip loss contoh yang dihasilkan melalui proses pemotongan dengan menggunakan restrainning box dan non restraining box pada jam ke-6, ke-8 dan ke-10 disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Nilai rata-rata drip loss daging hasil pemotongan dengan dan tanpa menggunakan restraining box Jam ke- Restraining box Non-Restraining box tn tn tn tn * * Ket : superscript (tn) pada baris yang sama yang sama pada baris yang sama menunjukan perbedaan yang tidak nyata (P>0.05) superscript (*) yang sama pada baris yang sama menunjukan perbedaan yang nyata (P<0.05) Dari hasil penelitian ini, penggunaan restraining box pada proses pemotongan mempengaruhi nilai cooking loss dan drip loss. Nilai keduanya menunjukkan nilai yang lebih rendah pada contoh daging dengan restraining box dibandingkan dengan yang tidak menggunakan restraining box. Hal tersebut berkaitan dengan faktor stres sebelum pemotongan. Pemotongan dengan restraining box akan memperkecil tingkat stres dibandingkan tanpa restraining box. Menurut Soeparno (1994), stres pada hewan sebelum pemotongan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kualitas daging. Sapi yang dipotong tanpa menggunakan restraining box akan mengalami stres karena sapi diperlakukan secara kasar dan melakukan gerak yang berlebihan. Stres pada

35 20 hewan akan meningkatkan mobilisasi energi tubuh yang dibutuhkan untuk aktivitas otot pada hewan hidup (Chambers dan Grandin 2001). Guyton (1994) menerangkan bahwa energi tersebut berasal dari proses glikolisis. Pada hewan hidup, proses glikolisis aerobik akan berlangsung selama pasokan oksigen masih ada. Lain halnya ketika hewan sudah mati, sirkulasi darah terhenti sehingga secara otomatis pasokan oksigen akan terhenti. Pada kondisi tersebut oksigen tidak tersedia atau insufisiensi sehingga terjadi glikolisis anaerobik. Menurut Voisinet et al. (1997), penanganan pemotongan sapi yang tidak benar akan menyebabkan berontak yang berlebihan sehingga mengakibatkan kondisi daging sapi yang berwarna gelap (dark-cutting beef). Soeparno (1994) menyatakan bahwa glikolisis anaerobik tergantung pada jumlah glikogen otot yang tersisa setelah dipakai sebagai sumber energi pada saat pemotongan. Pada kondisi stres glikogen otot banyak digunakan dalam proses glikolisis aerobik bahkan dalam kondisi hipoksia saat hewan masih hidup akan mengakibatkan terjadinya proses glikolisis anaerobik sehingga laju glikolisis anaerobik postmortem akan berlangsung lebih cepat. Peningkatan laju glikolisis menyebabkan cadangan glikogen otot menjadi cepat habis akibatnya penimbunan asam laktat akan berhenti sehingga penurunan ph akan semakin cepat (Pearson 1971; Lawrie 1979). Forrest et al. (1975) menerangkan bahwa laju penurunan ph yang cepat akan mengakibatkan daya ikat protein daging terhadap cairannya menjadi lebih rendah dan permukaan potongan daging menjadi basah karena keluarnya cairan ke permukaan potongan daging yang disebut drip. Penurunan ph yang cepat akan meningkatkan kontraksi aktomiosin dan menurunkan daya ikat air protein daging (Bendall 1960). Soeparno (1994) juga menerangkan bahwa penurunan ph akan menyebabkan denaturasi protein sehingga perpindahan air ke ruang ekstraseluler meningkat. Menurut Koohmaraie et al. (1991), penurunan ph postmortem akan mengakibatkan pembebasan dan aktivitas katepsin. Katepsin merupakan enzim lisosomal yang mampu memecah lebih lanjut myofibril otot pada ph rendah (Soeparno 1994).

36 21 Gambar 4 Perbandingan drip loss daging dari perlakuan penggunaan dengan dan tanpa restraining box Pada saat pemotongan, terhentinya pasokan oksigen menyebabkan respirasi terhenti, sehingga terjadi penurunan kadar ATP dan kreatin fosfat (Guyton 1994). Penurunan kadar ATP berkaitan dengan proses rigor mortis atau kekakuan otot setelah kematian. Pada awal rigor mortis biasanya diikuti dengan penurunan daya ikat air daging. Hal tersebut disebabkan oleh penurunan ph, konsekuensi dari protein otot pada titik isoelektriknya dan denaturasi protein (Lawrie 1979). Pada ph tiitik isoelektrik daging, keadaan protein-protein daging tidak bermuatan (jumlah muatan positif sama dengan jumlah muatan negatif) dan solubilitasnya minimal dengan nilai ph antara (Lawrie 1979). Soeparno (1994) menerangkan bahwa penurunan kadar ATP berkaitan dengan hilangnya daya regang otot akibat pembentukan kompleks aktomiosin atau ikatan antarfilamen sehingga daya ikat air daging rendah. Pembentukan kompleks aktomiosin akibat kehabisan ATP akan tetap terjadi walaupun otot masih mempunyai ph yang tinggi (Soeparno 1994). Nilai cooking loss dan drip loss yang lebih rendah pada contoh daging dengan restraining box berarti bahwa daging memilki daya ikat air yang lebih tinggi dibandingkan dengan contoh daging tanpa restraining box. Lebih banyak

37 22 air yang terikat oleh daging semakin baik kualitasnya. Daya ikat air dapat dipengaruhi oleh ph dan rigormortis sehingga faktor penanganan sebelum pemotongan merupakan hal yang berpengaruh secara tidak langsung terhadap daya ikat air daging. Penanganan yang buruk sebelum pemotongan akan mengakibatkan stres sehingga cadangan glikogen otot akan berkurang. Dilihat dari segi ekonomi dan kesehatan masyarakat, penurunan daya ikat air pada daging dapat merugikan konsumen karena daging tersebut berat dan kandungan nutrisinya berkurang sehingga tanpa disadari kepuasan konsumen terhadap kualitas daging yang diharapkan tidak terpenuhi. 4.3 Pengaruh Penggunaan Restraining box terhadap Keempukan Daging (tendernes) Secara umum penggunaan restraining box dan non-restraining box di RPH terhadap tingkat keempukan daging sapi yang dihasilkan menunjukkan hasil yang berbeda. Nilai keempukan daging pada sapi yang difiksasi menggunakan restraining box memiliki rata-rata 2.98 ± 0.17, sedangkan pada daging sapi yang tidak difiksasi menggunakan restraining box memiliki rata-rata 3.65 ± Seperti yang terlihat pada Tabel 4, nilai keempukan daging sapi yang dicerminkan oleh perubahan daya putus Warner Bratzler (WB) pada daging yang dihasilkan oleh RPH yang menggunakan restraining box (2.98 ± 0.84) lebih rendah dibandingkan dengan nilai rata-rata daya putus WB yang dipotong tanpa menggunakan restraining box (3.65 ± 1.21). Daya putus WB yang rendah dapat diartikan bahwa daging memiliki nilai keempukan yang tinggi dan sebaliknya daya putus WB yang tinggi dapat diartikan bahwa daging memiliki nilai keempukan yang rendah. Tabel 4 Perbedaan keempukan contoh daging dengan restraining box dan nonrestraining box (kg/cm 2 ) restraining box (kg/cm 2 ) non-restraining box (kg/cm 2 ) Keempukan 2.98 ± 0.17 * 3.65 ± 0.24 * Ket : superscript (*) yang sama pada baris yang sama menunjukan perbedaan yang nyata (P<0.05)

38 23 Daging sapi yang dihasilkan oleh RPH yang menggunakan restraining box memiliki nilai keempukan yang lebih tinggi. Hasil ini berbeda nyata (p<0.05) dengan daging sapi yang dihasilkan oleh RPH yang tidak menggunakan restraining box. Hal ini dapat dikarenakan sapi yang difiksasi dengan restraining box sebelum dipotong memiliki kemungkinan stres yang lebih kecil daripada sapi yang tidak difiksasi dengan restraining box. Sapi yang mengalami stres biasanya lebih banyak bergerak pada saat pemotongan. Banyaknya gerakan yang dilakukan oleh sapi dapat berpengaruh pada penurunan atau habisnya kadar glikogen otot. Pada saat yang bersamaan terjadi penurunan kadar ATP dan keratin fosfat akibat tidak tersedianya oksigen yang cukup. Hal ini dapat memicu terjadinya rigormortis otot dan berakibat pada kualitas keempukan daging sapi yang dihasilkan. Menurut Bate-Smith, Bendall (1960), rigormortis terjadi setelah cadangan energi otot menjadi habis atau otot sudah tidak lagi mampu mempergunakan cadangan energi. Rigormortis berkaitan dengan semakin habisnya ATP dari otot. Dengan tidak adanya ATP, filamen aktin dan filamen miosin saling menindih dan terkunci bersama-sama membentuk ikatan aktomiosin yang permanen. Penurunan kadar ATP ini juga mengakibatkan terjadinya penurunan daya regang otot dengan cepat. Hilangnya kemampuan daya regang otot dan pembentukan kompleks aktomiosin menyebabkan kekakuan pada otot. Kekakuan yang terjadi akan diikuti dengan pemendekan otot yang merupakan penyebab utama dari ketidakempukan daging. Penurunan nilai keempukan pada daging yang dihasilkan dari RPH yang tidak menggunakan restraining box juga dapat dipengaruhi oleh penurunan ph postmortem daging. Keadaan sapi yang mengalami stres sebelum pemotongan dapat memicu penurunan ph postmortem daging yang dihasilkan. Kontraksi otot yang dialami sapi sebelum pemotongan menyebabkan defisiensi glikogen otot yang dapat merangsang tubuh untuk melakukan proses glikolisis anaerob. Glikolisis anaerob menghasilkan asam laktat yang dapat terakumulasi di otot sehingga ph otot menjadi menurun (Lukman et al. 2007). Daya putus WB

39 24 mempunyai korelasi linear dengan ph. Sehingga dapat dikatakan, terjadinya penurunan ph pada umumnya dapat menurunkan keempukan daging. (why???) Besarnya nilai keempukan daging juga dipengaruhi oleh proses penyimpanan dan pemasakan daging. Penyimpanan daging dapat menyebabkan peningkatan keempukan daging yang diindikasikan dengan tidak terjadinya pemendekan otot selama rigormortis. Pemendekan otot memiliki hubungan yang erat dengan kealotan daging. Daging yang telah mengalami proses rigormortis kemudian disimpan dingin pada suhu yang sesuai tidak akan mengalami pemendekan otot. Sehingga dapat disimpulkan bahwa penyimpanan daging (aging, refrigerasi) dapat meningkatkan nilai keempukan daging. Giles (1969) serta Hegarty dan Allen (1975) dalam Soeparno (1994) menyatakan bahwa daging sapi postrigor yang dimasak pada suhu lebih tinggi dari 60 o C akan mengalami kontraksi dan perubahan kualitas. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Soeparno et al. (1987) mengenai pengaruh pelayuan dan perebusan terhadap perubahan ph, retensi cairan, keempukan dan gizi daging sapi peranakan Friesien Holstein (PFH) jantan. Pada umumnya, suhu pemasakan untuk memperoleh tingkat keempukan daging yang maksimum, berbeda diantara otot dan ternak dan terutama berhubungan dengan jumlah serta kekuatan jaringan ikat (Lawrie 1979). Bahas restraining box dari aspek kesejahtera

40 V. SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Dari hasil dan pembahasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa : 1. Daging yang dipotong dengan menggunakan restraining box mempunyai ph rata-rata relatif lebih tinggi dari pada daging yang dipotong tanpa menggunakan restraining box. Namun perbedaan tersebut tidak berbeda nyata (p>0.05) dan masih dalam kondisi normal yang dikarenakan sapi yang potong tanpa menggunakan restraining box mengalami stress akut sedikit lebih lama dibandingkan sapi yang dipotong menggunakan restraining box. 2. Daya ikat air pada daging yang menggunakan restraining box dengan pengujian cooking loss dan drip loss mempunyai nilai lebih rendah dibandingkan dengan daging tanpa restraining box. Perbedaan ini disebabkan sapi yang dipotong tanpa menggunakan restraining box mengalami stress akut yang menyebabkan peningkatan asam laktat yang menyebabkan denaturasi protein yang berakibat hilangnya daya ikat air oleh daging 3. Daging yang dihasilkan dari RPH yang menggunakan restraining box lebih empuk dibandingkan dengan daging dari RPH yang tidak menggunakan restraining box. Perbedaan ini disebabkan sapi yang dipotong tanpa menggunakan restraining box mengalami stress akut yang menyebabkan peningkatan asam laktat yang menyebabkan denaturasi protein yang berakibat hilangnya daya ikat air oleh daging sehingga daging menjadi keras. 5.2 Saran Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, disarankan : 1. Dalam pembangunan restraining box perlu diperhatikan desain dan ukuran yang disesuaikan dengan besarnya sapi yang akan dipotong, sehingga ini dapat dijadikan sebagai saran/masukan bagi pemerintah

TINJAUAN PUSTAKA Konversi Otot Menjadi Daging

TINJAUAN PUSTAKA Konversi Otot Menjadi Daging II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konversi Otot Menjadi Daging Kondisi ternak sebelum penyembelihan akan mempengaruhi tingkat konversi otot menjadi daging dan juga mempengaruhi kualitas daging yang dihasilkan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh penggunaan restraining box terhadap ph daging Hasil pengujian nilai ph dari daging yang berasal dari sapi dengan perlakuan restraining box, nilai ph rata-rata pada

Lebih terperinci

PERUBAHAN NILAI ph POSTMORTEM DAGING SAPI YANG DIPOTONG DENGAN MENGGUNAKAN RESTRAINING BOX ROHIMAN ALIYANA HERMANSYAH

PERUBAHAN NILAI ph POSTMORTEM DAGING SAPI YANG DIPOTONG DENGAN MENGGUNAKAN RESTRAINING BOX ROHIMAN ALIYANA HERMANSYAH PERUBAHAN NILAI ph POSTMORTEM DAGING SAPI YANG DIPOTONG DENGAN MENGGUNAKAN RESTRAINING BOX ROHIMAN ALIYANA HERMANSYAH FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 ABSTRACT ROHIMAN ALIYANA HERMANSYAH.

Lebih terperinci

SIFAT-SIFAT FISIK DAN PARAMETER SPESIFIK KUALITAS DAGING

SIFAT-SIFAT FISIK DAN PARAMETER SPESIFIK KUALITAS DAGING SIFAT-SIFAT FISIK DAN PARAMETER SPESIFIK KUALITAS DAGING KUALITAS DAGING Dalam pengujian kualitas daging dipergunakan sampel-sampel : macam otot, penyiapan sampel. Uji fisik obyektif yang meliputi Keempukan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sebagian besar masyarakat Indonesia menyukai daging ayam karena. Sebagai sumber pangan, daging ayam mempunyai beberapa kelebihan lainnya

PENDAHULUAN. Sebagian besar masyarakat Indonesia menyukai daging ayam karena. Sebagai sumber pangan, daging ayam mempunyai beberapa kelebihan lainnya I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagian besar masyarakat Indonesia menyukai daging ayam karena dagingnya selain rasanya enak juga merupakan bahan pangan sumber protein yang memiliki kandungan gizi lengkap

Lebih terperinci

Nova Nurfauziawati Kelompok 11 A V. HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN

Nova Nurfauziawati Kelompok 11 A V. HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN V. HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN Praktikum yang dilaksanakan pada 12 September 2011 mengenai perubahan fisik, kimia dan fungsional pada daging. Pada praktikum kali ini dilaksanakan pengamatan perubahan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Bobot dan Persentase Komponen Karkas Komponen karkas terdiri dari daging, tulang, dan lemak. Bobot komponen karkas dapat berubah seiring dengan laju pertumbuhan. Definisi pertumbuhan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Daging merupakan makanan yang kaya akan protein, mineral, vitamin, lemak

I. PENDAHULUAN. Daging merupakan makanan yang kaya akan protein, mineral, vitamin, lemak 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Daging merupakan makanan yang kaya akan protein, mineral, vitamin, lemak serta zat yang lain yang sangat dibutuhkan oleh tubuh. Usaha untuk meningkatkan konsumsi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Sifat Fisik Daging Kualitas karkas dan daging dipengaruhi oleh faktor sebelum dan setelah pemotongan. Faktor sebelum pemotongan yang dapat mempengaruhi kualitas daging antara lain

Lebih terperinci

KEEMPUKAN DAGING SAPI DAN PENGGUNAAN RESTRAINING BOX DI RUMAH PEMOTONGAN HEWAN DEASY HUTAMI PUTRI

KEEMPUKAN DAGING SAPI DAN PENGGUNAAN RESTRAINING BOX DI RUMAH PEMOTONGAN HEWAN DEASY HUTAMI PUTRI KEEMPUKAN DAGING SAPI DAN PENGGUNAAN RESTRAINING BOX DI RUMAH PEMOTONGAN HEWAN DEASY HUTAMI PUTRI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 ABSTRAK DEASY HUTAMI PUTRI. Keempukan Daging dan

Lebih terperinci

PENGARUH ENZIM PAPAIN TERHADAP MUTU DAGING KAMBING SELAMA PENYIMPANAN

PENGARUH ENZIM PAPAIN TERHADAP MUTU DAGING KAMBING SELAMA PENYIMPANAN PENGARUH ENZIM PAPAIN TERHADAP MUTU DAGING KAMBING SELAMA PENYIMPANAN (The Effect of Papain in Goat Meat Quality During Storage) AGUS BUDIYANTO dan S. USMIATI Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. semakin meningkat menuntut produksi lebih dan menjangkau banyak konsumen di. sehat, utuh dan halal saat dikonsumsi (Cicilia, 2008).

BAB I PENDAHULUAN. semakin meningkat menuntut produksi lebih dan menjangkau banyak konsumen di. sehat, utuh dan halal saat dikonsumsi (Cicilia, 2008). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebutuhan masyarakat Indonesia akan gizi menuntut dikembangkannya berbagai industri pangan. Salah satu sektor yang turut berperan penting dalam ketersediaan bahan pangan

Lebih terperinci

DAYA IKAT AIR (DIA) Istilah lain: Pengertian: Kemampuan daging didalam mengikat air (air daging maupun air yang ditambahkan)

DAYA IKAT AIR (DIA) Istilah lain: Pengertian: Kemampuan daging didalam mengikat air (air daging maupun air yang ditambahkan) DAYA IKAT AIR (DIA) Istilah lain: 1.Water Holding Capacity (WHC) 2.Water Binding Capacity (WBC) Pengertian: Kemampuan daging didalam mengikat air (air daging maupun air yang ditambahkan) Arti penting:

Lebih terperinci

KUALITAS FISIK (DAYA IKAT AIR, SUSUT MASAK, DAN KEEMPUKAN) DAGING PAHA AYAM SENTUL AKIBAT LAMA PEREBUSAN

KUALITAS FISIK (DAYA IKAT AIR, SUSUT MASAK, DAN KEEMPUKAN) DAGING PAHA AYAM SENTUL AKIBAT LAMA PEREBUSAN KUALITAS FISIK (DAYA IKAT AIR, SUSUT MASAK, DAN KEEMPUKAN) DAGING PAHA AYAM SENTUL AKIBAT LAMA PEREBUSAN THE PHYSICAL QUALITY (WATER HOLDING CAPACITY, COOKING LOSSES, AND TENDERNESS) OF SENTUL CHICKEN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Kerbau adalah hewan tergolong memamah biak subkeluarga bovinae dan

TINJAUAN PUSTAKA. Kerbau adalah hewan tergolong memamah biak subkeluarga bovinae dan TINJAUAN PUSTAKA Daging Kerbau Kerbau adalah hewan tergolong memamah biak subkeluarga bovinae dan mempunyaikebiasaan berendam di sungai dan lumpur. Ternak kerbau merupakan salah satu sarana produksi yang

Lebih terperinci

PERBAIKAN MANAJEMEN PEMOTONGAN TERNAK UNTUK MENGHASILKAN DAGING SAPI LOKAL BERKUALITAS IMPOR

PERBAIKAN MANAJEMEN PEMOTONGAN TERNAK UNTUK MENGHASILKAN DAGING SAPI LOKAL BERKUALITAS IMPOR PERBAIKAN MANAJEMEN PEMOTONGAN TERNAK UNTUK MENGHASILKAN DAGING SAPI LOKAL BERKUALITAS IMPOR (Improvement on Slaughtering Management to Produce Local Beef at The Same Quality as Imported Beef) ONI ASRIDA

Lebih terperinci

Karakteristik mutu daging

Karakteristik mutu daging Karakteristik mutu daging Oleh: Elvira Syamsir (Tulisan asli dalam Kulinologi Indonesia edisi Maret 2011) Mutu merupakan gabungan atribut produk yang dinilai secara organoleptik dan digunakan konsumen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk dan tingkat kebutuhan gizi

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk dan tingkat kebutuhan gizi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk dan tingkat kebutuhan gizi masyarakat, mempengaruhi meningkatnya kebutuhan akan makanan asal hewan (daging). Faktor lain

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK DAN KOMPOSISI DAGING

KARAKTERISTIK DAN KOMPOSISI DAGING KARAKTERISTIK DAN KOMPOSISI DAGING ILMU PASCA PANEN PETERNAKAN (Kuliah TM 4; 23 Sept 2014) PROSES MENGHASILKAN DAGING TERNAK HIDUP KARKAS POTONGAN BESAR READY TO COOK Red meat White meat NAMP Meat Buyer

Lebih terperinci

Kualitas Daging Sapi Wagyu dan Daging Sapi Bali yang Disimpan pada Suhu - 19 o c

Kualitas Daging Sapi Wagyu dan Daging Sapi Bali yang Disimpan pada Suhu - 19 o c Kualitas Daging Sapi Wagyu dan Daging Sapi Bali yang Disimpan pada Suhu - 19 o c (THE QUALITY OF WAGYU BEEF AND BALI CATTLE BEEF DURING THE FROZEN STORAGE AT - 19 O C) Thea Sarassati 1, Kadek Karang Agustina

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kecukupan gizi. Unsur gizi yang dibutuhkan manusia antara lain: protein, lemak,

BAB I PENDAHULUAN. kecukupan gizi. Unsur gizi yang dibutuhkan manusia antara lain: protein, lemak, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Kelangsungan hidup manusia sangat dipengaruhi oleh nilai atau kecukupan gizi. Unsur gizi yang dibutuhkan manusia antara lain: protein, lemak, karbohidrat, mineral, serta

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Brahman Cross Pertumbuhan Ternak

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Brahman Cross Pertumbuhan Ternak TINJAUAN PUSTAKA Sapi Brahman Cross Sapi Brahman berasal dari India yang merupakan keturunan dari sapi Zebu (Bos Indicus). Sapi Brahman Cross merupakan sapi hasil persilangan antara sapi Brahman (Bos Indicus)

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. dikonsumsi khususnya anak anak dalam periode pertumbuhan agar tumbuh

I PENDAHULUAN. dikonsumsi khususnya anak anak dalam periode pertumbuhan agar tumbuh I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daging merupakan sumber protein hewani yang bermutu tinggi dan perlu dikonsumsi khususnya anak anak dalam periode pertumbuhan agar tumbuh normal dan sehat, karena bahan

Lebih terperinci

DAGING. Theresia Puspita Titis Sari Kusuma. There - 1

DAGING. Theresia Puspita Titis Sari Kusuma. There - 1 DAGING Theresia Puspita Titis Sari Kusuma There - 1 Pengertian daging Daging adalah bagian tubuh yang berasal dari ternak sapi, babi atau domba yang dalam keadaan sehat dan cukup umur untuk dipotong, tetapi

Lebih terperinci

Pengaruh Jenis Otot dan Lama Penyimpanan terhadap Kualitas Daging Sapi

Pengaruh Jenis Otot dan Lama Penyimpanan terhadap Kualitas Daging Sapi Pengaruh dan terhadap Kualitas Daging Sapi Syafrida Rahim 1 Intisari Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Produksi Ternak Fakultas Peternakan Universitas Jambi pada tahun 2008. Penelitian bertujuan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. alot (Chang et al., 2005). Daging itik mempunyai kandungan lemak dan protein lebih

II. TINJAUAN PUSTAKA. alot (Chang et al., 2005). Daging itik mempunyai kandungan lemak dan protein lebih II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Daging Itik Afkir Daging itik mempunyai kualitas rendah karena bau amis, bertekstur kasar dan alot (Chang et al., 2005). Daging itik mempunyai kandungan lemak dan protein lebih

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Produk daging yang dihasilkan dari kelinci ada dua macam yaitu fryer dan roaster. Kelinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Produk daging yang dihasilkan dari kelinci ada dua macam yaitu fryer dan roaster. Kelinci BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Daging Kelinci Produk daging yang dihasilkan dari kelinci ada dua macam yaitu fryer dan roaster. Kelinci fryermerupakan karkas kelinci muda umur 2 bulan, sedangkan karkas kelinci

Lebih terperinci

Kualitas Fisik Daging Sapi Peranakan Simmental dengan Perlakuan Stimulasi Listrik dan Lama Pelayuan yang Berbeda

Kualitas Fisik Daging Sapi Peranakan Simmental dengan Perlakuan Stimulasi Listrik dan Lama Pelayuan yang Berbeda Jurnal Peternakan Indonesia, Oktober 2012 Vol. 14 (3) ISSN 1907-1760 Kualitas Fisik Daging Sapi Peranakan Simmental dengan Perlakuan Listrik dan Lama Pelayuan yang Berbeda Physical Quality of Simmental

Lebih terperinci

HASlL DAN PEMBAHASAN. Hasil pengukuran secara obyektif untuk ph (derajat keasaman) dagingusie Reubohn dapat dilihat pada tabel dibawah ini :

HASlL DAN PEMBAHASAN. Hasil pengukuran secara obyektif untuk ph (derajat keasaman) dagingusie Reubohn dapat dilihat pada tabel dibawah ini : HASlL DAN PEMBAHASAN ph Daging Hasil pengukuran secara obyektif untuk ph (derajat keasaman) dagingusie Reubohn dapat dilihat pada tabel dibawah ini : Tabel 3. Rataan nilai ph daging "Sie Reuboh" 1 Tingkat

Lebih terperinci

KUALITAS FISIK DAGING SAPI DARI TEMPAT PEMOTONGAN HEWAN DI BANDAR LAMPUNG. Physical Quality of Beef from Slaughterhouses in Bandar Lampung

KUALITAS FISIK DAGING SAPI DARI TEMPAT PEMOTONGAN HEWAN DI BANDAR LAMPUNG. Physical Quality of Beef from Slaughterhouses in Bandar Lampung KUALITAS FISIK DAGING SAPI DARI TEMPAT PEMOTONGAN HEWAN DI BANDAR LAMPUNG Physical Quality of Beef from Slaughterhouses in Bandar Lampung Nikodemus Prajnadibya Kurniawan a, Dian Septinova b, Kusuma Adhianto

Lebih terperinci

TEKNOLOGI PENGOLAHAN HEWANI. ENDRIKA WIDYASTUTI, S.Pt, M.Sc, MP

TEKNOLOGI PENGOLAHAN HEWANI. ENDRIKA WIDYASTUTI, S.Pt, M.Sc, MP TEKNOLOGI PENGOLAHAN HEWANI DAGING ENDRIKA WIDYASTUTI, S.Pt, M.Sc, MP 2011 OUTLINES PENDAHULUAN KUALITAS PENYIMPANAN DAN PRESERVASI PARAMETER SPESIFIK KUALITAS DAGING OLAHAN DAGING PENDAHULUAN DAGING SEMUA

Lebih terperinci

Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Ternak, April 2017, Hal Vol. 12 No. 1 ISSN :

Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Ternak, April 2017, Hal Vol. 12 No. 1 ISSN : Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Ternak, April 2017, Hal 22-28 Vol. 12 No. 1 PENGARUH PEMBERIAN PAKAN DEDAK PADI TERFERMENTASI CAIRAN RUMEN TERHADAP KUALITAS FISIK DAGING AYAM Effect of Rice Bran Fermented

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kemudian dikembangkan di penjuru dunia. Puyuh mulai dikenal dan diternakkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kemudian dikembangkan di penjuru dunia. Puyuh mulai dikenal dan diternakkan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Puyuh (Cortunix- cortunix japonica) Puyuh merupakan jenis aves yang tidak dapat terbang, ukuran tubuhnya relatif kecil, berkaki pendek. Puyuh pertama kali diternakkan di Amerika

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Kerbau (Bubalus bubalis)

TINJAUAN PUSTAKA. Kerbau (Bubalus bubalis) TINJAUAN PUSTAKA Kerbau (Bubalus bubalis) Kerbau termasuk ke dalam spesies Bubalus bubalis yang diduga berevolusi dari Bubalus arnee, kerbau liar dari India. Kerbau domestik sebagai suatu spesies Bubalus

Lebih terperinci

Kualitas Daging Sapi Wagyu dan Daging Sapi Bali yang Disimpan pada Suhu 4 o C

Kualitas Daging Sapi Wagyu dan Daging Sapi Bali yang Disimpan pada Suhu 4 o C Kualitas Sapi dan yang Disimpan pada Suhu THE QUALITY OF WAGYU BEEF AND BALI CATTLE BEEF DURING THE COLD STORAGE AT 4 O C Mita Andini 1, Ida Bagus Ngurah Swacita 2 1) Mahasiswa Program Profesi Kedokteran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. hewan (Animal Welfare) menjadi hal yang sangat penting karena tidak saja

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. hewan (Animal Welfare) menjadi hal yang sangat penting karena tidak saja BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penanganan penyembelihan hewan yang memenuhi kaidah kesejahteraan hewan (Animal Welfare) menjadi hal yang sangat penting karena tidak saja mengurangi penderitaan hewan,

Lebih terperinci

DAGING. Pengertian daging

DAGING. Pengertian daging Pengertian daging DAGING Titis Sari Kusuma Daging adalah bagian tubuh yang berasal dari ternak sapi, babi atau domba yang dalam keadaan sehat dan cukup umur untuk dipotong, tetapi hanya terbatas pada bagian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kambing Kacang yang lebih banyak sehingga ciri-ciri kambing ini lebih menyerupai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kambing Kacang yang lebih banyak sehingga ciri-ciri kambing ini lebih menyerupai 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kambing Jawarandu Kambing Jawarandu merupakan kambing hasil persilangan antara kambing Peranakan Etawa dengan kambing Kacang. Kambing ini memiliki komposisi darah kambing

Lebih terperinci

Karakteristik Fisik Daging Sapi Bali dan Wagyu

Karakteristik Fisik Daging Sapi Bali dan Wagyu Karakteristik Fisik Daging Sapi Bali dan Wagyu (BEEF PHYSICAL CHARACTERISTICS OF BALI AND WAGYU CATTLE) Ni Ketut Suwiti 1 *, Ni Nyoman Citra Susilawati 2, Ida Bagus Ngurah Swacita 3 1 Laboratorium Histologi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Daging sapi didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Daging sapi didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Daging Sapi Daging sapi didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk hasil pengolahan jaringan-jaringan tersebut yang sesuai untuk dimakan serta tidak menimbulkan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan Metode

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan Metode 35 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini telah dilakukan pada bulan Maret - Mei 2008 di Rumah Potong Hewan (RPH) Aldia-Kupang. Pengumpulan data pengukuran produktivitas karkas dilakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Sapi bali dikenal sebagai sapi lokal yang banyak dipelihara di Pulau Bali karena sangat

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Sapi bali dikenal sebagai sapi lokal yang banyak dipelihara di Pulau Bali karena sangat 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sapi bali dikenal sebagai sapi lokal yang banyak dipelihara di Pulau Bali karena sangat menguntungkan peternak di samping cara pemeliharaannya yang mudah dan sifatnya

Lebih terperinci

SIFAT FISIK DAGING SAPI, KERBAU DAN DOMBA PADA LAMA POSTMORTEM YANG BERBEDA SKRIPSI SARJITO

SIFAT FISIK DAGING SAPI, KERBAU DAN DOMBA PADA LAMA POSTMORTEM YANG BERBEDA SKRIPSI SARJITO SIFAT FISIK DAGING SAPI, KERBAU DAN DOMBA PADA LAMA POSTMORTEM YANG BERBEDA SKRIPSI SARJITO DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010 RINGKASAN

Lebih terperinci

MENERAPKAN PRINSIP KESEJAHTERAAN HEWAN

MENERAPKAN PRINSIP KESEJAHTERAAN HEWAN BAHAN AJAR PELATIHAN JURU SEMBELIH HALAL KODE UNIT KOMPETENSI : A. 016200.007.01 MENERAPKAN PRINSIP KESEJAHTERAAN HEWAN BADAN PENYULUHAN DAN PENGEMBANGAN SDM PERTANIAN PUSAT PELATIHAN PERTANIAN 2015 1

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. semua produk hasil pengolahan jaringan-jaringan tersebut yang sesuai untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. semua produk hasil pengolahan jaringan-jaringan tersebut yang sesuai untuk BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daging Daging adalah urat daging yang melekat pada kerangka, kecuali urat daging dari bagian bibir, hidung dan telinga yang berasal dari sapi yang sehat sewaktu dipotong (Standar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. konsumsi protein hewani, khususnya daging sapi meningkat juga.

BAB I PENDAHULUAN. konsumsi protein hewani, khususnya daging sapi meningkat juga. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pangan yang bernilai gizi tinggi sangat dibutuhkan untuk menghasilkan generasi yang cerdas dan sehat. Untuk memenuhi kebutuhan gizi tersebut pangan hewani sangat memegang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Daging domba berdasarkan kualitas dapat dibedakan atas umur domba,

TINJAUAN PUSTAKA. Daging domba berdasarkan kualitas dapat dibedakan atas umur domba, II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Daging Domba Daging domba berdasarkan kualitas dapat dibedakan atas umur domba, jenis kelamin, dan tingkat perlemakan. Daging domba memiliki bobot jaringan muskuler atau urat daging

Lebih terperinci

KUALITAS DAGING SAPI YANG DIPOTONG MENGGUNAKAN RESTRAINING BOX: DRIP LOSS DAN COOKING LOSS EVA FATIMAH

KUALITAS DAGING SAPI YANG DIPOTONG MENGGUNAKAN RESTRAINING BOX: DRIP LOSS DAN COOKING LOSS EVA FATIMAH KUALITAS DAGING SAPI YANG DIPOTONG MENGGUNAKAN RESTRAINING BOX: DRIP LOSS DAN COOKING LOSS EVA FATIMAH FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 ABSTRAK EVA FATIMAH. Kualitas Daging Sapi

Lebih terperinci

KUALITAS DAGING SAPI SEGAR DI PASAR TRADISIONAL KECAMATAN PONCOKUSUMO KABUPATEN MALANG

KUALITAS DAGING SAPI SEGAR DI PASAR TRADISIONAL KECAMATAN PONCOKUSUMO KABUPATEN MALANG KUALITAS DAGING SAPI SEGAR DI PASAR TRADISIONAL KECAMATAN PONCOKUSUMO KABUPATEN MALANG The Quality of Beef on Traditional Market in Poncokusumo Subdistricts Malang Regency Dedes Amertaningtyas 1 1) Bagian

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK BAKSO KERING IKAN PATIN (Pangasius sp.) Oleh : David Halomoan Hutabarat C

KARAKTERISTIK BAKSO KERING IKAN PATIN (Pangasius sp.) Oleh : David Halomoan Hutabarat C KARAKTERISTIK BAKSO KERING IKAN PATIN (Pangasius sp.) Oleh : David Halomoan Hutabarat C34103013 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Lebih terperinci

Pengaruh Lama Penyimpanan dalam Lemari Es terhadap PH, Daya Ikat Air, dan Susut Masak Karkas Broiler yang Dikemas Plastik Polyethylen

Pengaruh Lama Penyimpanan dalam Lemari Es terhadap PH, Daya Ikat Air, dan Susut Masak Karkas Broiler yang Dikemas Plastik Polyethylen Pengaruh Lama Penyimpanan dalam Lemari Es terhadap PH, Daya Ikat Air, dan Susut Masak Karkas Broiler yang Dikemas Plastik Polyethylen Dede Risnajati 1 Intisari Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui

Lebih terperinci

PERUBAHAN NILAI ph POSTMORTEM DAGING SAPI YANG DIPOTONG DENGAN MENGGUNAKAN RESTRAINING BOX ROHIMAN ALIYANA HERMANSYAH

PERUBAHAN NILAI ph POSTMORTEM DAGING SAPI YANG DIPOTONG DENGAN MENGGUNAKAN RESTRAINING BOX ROHIMAN ALIYANA HERMANSYAH PERUBAHAN NILAI ph POSTMORTEM DAGING SAPI YANG DIPOTONG DENGAN MENGGUNAKAN RESTRAINING BOX ROHIMAN ALIYANA HERMANSYAH FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 ABSTRACT ROHIMAN ALIYANA HERMANSYAH.

Lebih terperinci

PENGARUH BERBAGAI KONSENTRASI SARI BUAH MARKISA KUNING

PENGARUH BERBAGAI KONSENTRASI SARI BUAH MARKISA KUNING PENGARUH BERBAGAI KONSENTRASI SARI BUAH MARKISA KUNING (Passiflora flavicarpa) TERHADAP MUTU FISIK DAGING AYAM PETELUR AFKIR THE EFFECT OF VARIOUS CONCENTRATION OF YELLOW PASSION FRUITS EXTRACT (Passiflora

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 21 HASIL DAN PEMBAHASAN Pada setiap sediaan otot gastrocnemius dilakukan tiga kali perekaman mekanomiogram. Perekaman yang pertama adalah ketika otot direndam dalam ringer laktat, kemudian dilanjutkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan semua produk hasil pengolahan jaringan yang dapat dimakan dan tidak

I. PENDAHULUAN. dan semua produk hasil pengolahan jaringan yang dapat dimakan dan tidak I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Daging adalah semua jaringan hewan, baik yang berupa daging dari karkas, organ, dan semua produk hasil pengolahan jaringan yang dapat dimakan dan tidak menimbulkan gangguan

Lebih terperinci

KAJIAN BRUSELLOSIS PADA SAPI DAN KAMBING POTONG YANG DILALULINTASKAN DI PENYEBERANGAN MERAK BANTEN ARUM KUSNILA DEWI

KAJIAN BRUSELLOSIS PADA SAPI DAN KAMBING POTONG YANG DILALULINTASKAN DI PENYEBERANGAN MERAK BANTEN ARUM KUSNILA DEWI KAJIAN BRUSELLOSIS PADA SAPI DAN KAMBING POTONG YANG DILALULINTASKAN DI PENYEBERANGAN MERAK BANTEN ARUM KUSNILA DEWI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

Lebih terperinci

Pemotongan Sapi Betina Produktif di Rumah Potong Hewan di Daerah Istimewa Yogyakarta

Pemotongan Sapi Betina Produktif di Rumah Potong Hewan di Daerah Istimewa Yogyakarta Sains Peternakan Vol. 7 (1), Maret 2009: 20-24 ISSN 1693-8828 Pemotongan Sapi Betina Produktif di Rumah Potong Hewan di Daerah Istimewa Yogyakarta N. Rasminati, S. Utomo dan D.A. Riyadi Jurusan Peternakan,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN Produksi Bakteriosin HASIL DAN PEMBAHASAN Bakteriosin merupakan senyawa protein yang berasal dari Lactobacillus plantarum 2C12. Senyawa protein dari bakteriosin telah diukur konsentrasi dengan menggunakan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Daging ayam merupakan daging yang paling banyak dikonsumsi masyarakat

PENDAHULUAN. Daging ayam merupakan daging yang paling banyak dikonsumsi masyarakat I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Daging ayam merupakan daging yang paling banyak dikonsumsi masyarakat Indonesia karena rasanya disukai dan harganya jauh lebih murah di banding harga daging lainnya. Daging

Lebih terperinci

SIFAT FISIK DAGING DADA AYAM BROILER PADA BERBAGAI LAMA POSTMORTEM DI SUHU RUANG SKRIPSI

SIFAT FISIK DAGING DADA AYAM BROILER PADA BERBAGAI LAMA POSTMORTEM DI SUHU RUANG SKRIPSI SIFAT FISIK DAGING DADA AYAM BROILER PADA BERBAGAI LAMA POSTMORTEM DI SUHU RUANG SKRIPSI YUNITA ANGGRAENI PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005 1 RINGKASAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesa Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu

BAB I PENDAHULUAN. (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesa Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu BAB I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesa

Lebih terperinci

Susunan Redaksi Indonesia Medicus Veterinus

Susunan Redaksi Indonesia Medicus Veterinus Susunan Redaksi Indonesia Medicus Veterinus Pimpinan: I Wayan Batan Wakil Pimpinan: Muhsoni Fadli Penyunting Pelaksana : Muhammad Arafi Nur Faidah Hasnur Hanesty Jantiko Deny Rahmadani Affan Nur A Prista

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK FISIK DAGING SAPI PERANAKAN ONGOLE PADA BERBAGAI TINGKATAN BOBOT BADAN

KARAKTERISTIK FISIK DAGING SAPI PERANAKAN ONGOLE PADA BERBAGAI TINGKATAN BOBOT BADAN KARAKTERISTIK FISIK DAGING SAPI PERANAKAN ONGOLE PADA BERBAGAI TINGKATAN BOBOT BADAN (Physical Characteristics of Ongole Bulls Meat at Various Body Weight) EDY RIANTO, M.F. RAHMAWATI dan A. PURNOMOADI

Lebih terperinci

Tanya Jawab Seputar DAGING AYAM SUMBER MAKANAN BERGIZI

Tanya Jawab Seputar DAGING AYAM SUMBER MAKANAN BERGIZI Tanya Jawab Seputar DAGING AYAM SUMBER MAKANAN BERGIZI KEMENTERIAN PERTANIAN DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN 2012 DAFTAR ISI 1. Apa Kandungan gizi dalam Daging ayam? 2. Bagaimana ciri-ciri

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK KARKAS DAN KUALITAS DAGING SAPI PO YANG MENDAPAT PAKAN MENGANDUNG PROBIOTIK

KARAKTERISTIK KARKAS DAN KUALITAS DAGING SAPI PO YANG MENDAPAT PAKAN MENGANDUNG PROBIOTIK KARAKTERISTIK KARKAS DAN KUALITAS DAGING SAPI PO YANG MENDAPAT PAKAN MENGANDUNG PROBIOTIK (Carcass Characteristics and Meat Quality of Ongole Crossbreed Cattle Given Feeds Containing Probiotic) ABUBAKAR

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Hewan

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Hewan 14 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Hewan Keadaan hewan pada awal penelitian dalam keadaan sehat. Sapi yang dimiliki oleh rumah potong hewan berasal dari feedlot milik sendiri yang sistem pemeriksaan kesehatannya

Lebih terperinci

PENGARUH SUBSTITUSI DAGING SAPI DENGAN KULIT CAKAR AYAM TERHADAP DAYA IKAT AIR (DIA), RENDEMEN DAN KADAR ABU BAKSO SKRIPSI. Oleh:

PENGARUH SUBSTITUSI DAGING SAPI DENGAN KULIT CAKAR AYAM TERHADAP DAYA IKAT AIR (DIA), RENDEMEN DAN KADAR ABU BAKSO SKRIPSI. Oleh: PENGARUH SUBSTITUSI DAGING SAPI DENGAN KULIT CAKAR AYAM TERHADAP DAYA IKAT AIR (DIA), RENDEMEN DAN KADAR ABU BAKSO SKRIPSI Oleh: NURUL TRI PRASTUTY H2E 006 035 FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS DIPONEGORO

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Landak Jawa (Hystrix javanica)

TINJAUAN PUSTAKA. Landak Jawa (Hystrix javanica) TINJAUAN PUSTAKA Landak Jawa (Hystrix javanica) Klasifikasi Ilmiah Menurut International Union for The Conservation of Nature tahun 2009 (Lunde dan Aplin, 2008), klasifikasi ilmiah dari landak jawa adalah

Lebih terperinci

ASPEK MIKROBIOLOGIS DAGING AYAM BEKU YANG DILALULINTASKAN MELALUI PELABUHAN PENYEBERANGAN MERAK MELANI WAHYU ADININGSIH

ASPEK MIKROBIOLOGIS DAGING AYAM BEKU YANG DILALULINTASKAN MELALUI PELABUHAN PENYEBERANGAN MERAK MELANI WAHYU ADININGSIH ASPEK MIKROBIOLOGIS DAGING AYAM BEKU YANG DILALULINTASKAN MELALUI PELABUHAN PENYEBERANGAN MERAK MELANI WAHYU ADININGSIH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

KUALITAS FISIK DAGING DARI PASAR TRADISIONAL DI BANDAR LAMPUNG. The Physical of Beef from Traditional Market in Bandar Lampung

KUALITAS FISIK DAGING DARI PASAR TRADISIONAL DI BANDAR LAMPUNG. The Physical of Beef from Traditional Market in Bandar Lampung KUALITAS FISIK DAGING DARI PASAR TRADISIONAL DI BANDAR LAMPUNG The Physical of Beef from Traditional Market in Bandar Lampung Alda Nasrul Haq a, Dian Septinova b, dan Purnama Edy Santosa b a The Student

Lebih terperinci

PENGGUNAAN METODE BIOLOGIS DAN NILAI IMPEDANSI UNTUK DETEKSI DAGING AYAM BANGKAI RAZALI

PENGGUNAAN METODE BIOLOGIS DAN NILAI IMPEDANSI UNTUK DETEKSI DAGING AYAM BANGKAI RAZALI PENGGUNAAN METODE BIOLOGIS DAN NILAI IMPEDANSI UNTUK DETEKSI DAGING AYAM BANGKAI RAZALI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 2 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

Pengertian DAGING. sekumpulan otot yang melekat pada kerangka. Semua jaringan hewan dan produk olahannya yang sesuai dan digunakan sebagai makanan

Pengertian DAGING. sekumpulan otot yang melekat pada kerangka. Semua jaringan hewan dan produk olahannya yang sesuai dan digunakan sebagai makanan DAGING MNH_041213 Pengertian DAGING sekumpulan otot yang melekat pada kerangka. Semua jaringan hewan dan produk olahannya yang sesuai dan digunakan sebagai makanan otot tubuh hewan atau manusia termasuk

Lebih terperinci

Sifat Fisik Daging Domba yang Diberi Perlakuan Stimulasi Listrik Voltase Rendah dan Injeksi Kalsium Klorida

Sifat Fisik Daging Domba yang Diberi Perlakuan Stimulasi Listrik Voltase Rendah dan Injeksi Kalsium Klorida Media Peternakan, Desember 2004, hlm. 101-106 ISSN 0126-0472 Vol. 27 N0. 3 Sifat Fisik Daging Domba yang Diberi Perlakuan Stimulasi Listrik Voltase Rendah dan Injeksi Kalsium Klorida T. Suryati a, M. Astawan

Lebih terperinci

PENGGUNAAN ENZIM PAPAIN SEBAGAI BAHAN TENDERIZER DAGING. Oleh : Tedi Akhdiat RINGKASAN

PENGGUNAAN ENZIM PAPAIN SEBAGAI BAHAN TENDERIZER DAGING. Oleh : Tedi Akhdiat RINGKASAN PENGGUNAAN ENZIM PAPAIN SEBAGAI BAHAN TENDERIZER DAGING Oleh : Tedi Akhdiat RINGKASAN Daging biasanya kalau diolah memerlukan waktu yang lama dan hasil akhir dari proses pengolahan daging yang diinginkan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut para ahli dibidang pemasaran, seperti yang dikemukakan oleh Kotler

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut para ahli dibidang pemasaran, seperti yang dikemukakan oleh Kotler 8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Definisi Pasar Menurut para ahli dibidang pemasaran, seperti yang dikemukakan oleh Kotler (1997), mengenai definisi pasar adalah Pasar yaitu terdiri dari semua pelanggan potensial

Lebih terperinci

EVALUASI PELAKSANAAN GOOD SLAUGHTERING PRACTICES DAN STANDARD SANITATION OPERATING PROCEDURE DI RUMAH PEMOTONGAN HEWAN KELAS C SKRIPSI DIANASTHA

EVALUASI PELAKSANAAN GOOD SLAUGHTERING PRACTICES DAN STANDARD SANITATION OPERATING PROCEDURE DI RUMAH PEMOTONGAN HEWAN KELAS C SKRIPSI DIANASTHA EVALUASI PELAKSANAAN GOOD SLAUGHTERING PRACTICES DAN STANDARD SANITATION OPERATING PROCEDURE DI RUMAH PEMOTONGAN HEWAN KELAS C SKRIPSI DIANASTHA DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. kehidupan manusia. Selain penganekaragaman sumber pangan, daging dapat

TINJAUAN PUSTAKA. kehidupan manusia. Selain penganekaragaman sumber pangan, daging dapat TINJAUAN PUSTAKA Daging Sapi Daging adalah salah satu hasil ternak yang hampir tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Selain penganekaragaman sumber pangan, daging dapat menimbulkan kepuasan atau

Lebih terperinci

EFEK LAMA STIMULASI LISTRIK DENGAN TEGANGAN BERBEDA TERHADAP KUALITAS FISIK DAGING AYAM PETELUR AFKIR. Oleh: Adnan Syam 1) dan La Ode Arsad Sani 1)

EFEK LAMA STIMULASI LISTRIK DENGAN TEGANGAN BERBEDA TERHADAP KUALITAS FISIK DAGING AYAM PETELUR AFKIR. Oleh: Adnan Syam 1) dan La Ode Arsad Sani 1) 47 EFEK LAMA STIMULASI LISTRIK DENGAN TEGANGAN BERBEDA TERHADAP KUALITAS FISIK DAGING AYAM PETELUR AFKIR Oleh: Adnan Syam 1) dan La Ode Arsad Sani 1) ABSTRACT The objective of the experiment were to study

Lebih terperinci

PENGOLAHAN DAGING PENGEMPUKAN (TENDERISASI) Materi 7 TATAP MUKA KE-7 Semester Genap BAHAN KULIAH TEKNOLOGI HASIL TERNAK

PENGOLAHAN DAGING PENGEMPUKAN (TENDERISASI) Materi 7 TATAP MUKA KE-7 Semester Genap BAHAN KULIAH TEKNOLOGI HASIL TERNAK PENGOLAHAN DAGING PENGEMPUKAN (TENDERISASI) Materi 7 TATAP MUKA KE-7 Semester Genap 2015-2016 BAHAN KULIAH TEKNOLOGI HASIL TERNAK Laboratorium Teknologi Hasil Ternak Fakultas Peternakan Universitas Jenderal

Lebih terperinci

PENGARUH KUALITAS PAKAN TERHADAP KEEMPUKAN DAGING PADA KAMBING KACANG JANTAN. (The Effect of Diet Quality on Meat Tenderness in Kacang Goats)

PENGARUH KUALITAS PAKAN TERHADAP KEEMPUKAN DAGING PADA KAMBING KACANG JANTAN. (The Effect of Diet Quality on Meat Tenderness in Kacang Goats) On Line at : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/aaj PENGARUH KUALITAS PAKAN TERHADAP KEEMPUKAN DAGING PADA KAMBING KACANG JANTAN (The Effect of Diet Quality on Meat Tenderness in Kacang Goats) R.

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Optimasi Polifosfat 1. Pengaruh Terhadap Rendemen Rendemen dihitung berdasarkan kenaikkan berat udang setelah perendaman dibandingkan dengan berat udang sebelum perendaman yang

Lebih terperinci

KIAT-KIAT MEMILIH DAGING SEHAT Oleh : Bidang Keswan-Kesmavet, Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat (disadur dari berbagai macam sumber)

KIAT-KIAT MEMILIH DAGING SEHAT Oleh : Bidang Keswan-Kesmavet, Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat (disadur dari berbagai macam sumber) KIAT-KIAT MEMILIH DAGING SEHAT Oleh : Bidang Keswan-Kesmavet, Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat (disadur dari berbagai macam sumber) KASUS SEPUTAR DAGING Menghadapi Bulan Ramadhan dan Lebaran biasanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mencukupi kebutuhan gizi masyarakat, karena daging merupakan sumber protein

BAB I PENDAHULUAN. mencukupi kebutuhan gizi masyarakat, karena daging merupakan sumber protein BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daging merupakan salah satu bahan pangan yang sangat penting dalam mencukupi kebutuhan gizi masyarakat, karena daging merupakan sumber protein utama dan sebagai sumber

Lebih terperinci

PENGARUH SUHU PENYIMPANAN TERHADAP SIFAT FISIK DAN HISTOLOGIS DAGING SAPI PADA FASE RIGOR MORTIS

PENGARUH SUHU PENYIMPANAN TERHADAP SIFAT FISIK DAN HISTOLOGIS DAGING SAPI PADA FASE RIGOR MORTIS PENGARUH SUHU PENYIMPANAN TERHADAP SIFAT FISIK DAN HISTOLOGIS DAGING SAPI PADA FASE RIGOR MORTIS INDRA SULAKSANA PROGRAM PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGaR 1999 RINGKASAN INORA SULAKSANA. 1999. Pengaruh

Lebih terperinci

SIFAT KIMIA TEPUNG DAGING SAPI YANG DIBUAT DENGAN METODE PENGERINGAN YANG BERBEDA DAN SIFAT MIKROBIOLOGISNYA SELAMA PENYIMPANAN

SIFAT KIMIA TEPUNG DAGING SAPI YANG DIBUAT DENGAN METODE PENGERINGAN YANG BERBEDA DAN SIFAT MIKROBIOLOGISNYA SELAMA PENYIMPANAN SIFAT KIMIA TEPUNG DAGING SAPI YANG DIBUAT DENGAN METODE PENGERINGAN YANG BERBEDA DAN SIFAT MIKROBIOLOGISNYA SELAMA PENYIMPANAN SKRIPSI HARFAN TEGAS ADITYA PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL TERNAK FAKULTAS

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. amino esensial yang lengkap dan dalam perbandingan jumlah yang baik. Daging broiler

PENDAHULUAN. amino esensial yang lengkap dan dalam perbandingan jumlah yang baik. Daging broiler PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Daging broiler merupakan komoditas yang banyak diperdagangkan dan sangat diminati oleh konsumen karena merupakan sumber protein hewani yang memiliki kandungan

Lebih terperinci

KARYA ILMIAH. Oleh : Jajang Gumilar, SPt. MM. NIP

KARYA ILMIAH. Oleh : Jajang Gumilar, SPt. MM. NIP PENGARUH BERBAGAI JENIS DAGING (AYAM, BABI, DAN SAPI) DAN FASE POSTMORTEM (PADA DAGING BABI) TERHADAP KUALITAS DAN MIKROSTRUKTUR SURIMI (SURIMI LIKE MATERIAL/SLM) KARYA ILMIAH Oleh : Jajang Gumilar, SPt.

Lebih terperinci

Gambaran Pelaksanaan Rumah Pemotongan Hewan Babi (Studi Kasus di Rumah Pemotongan Hewan Kota Semarang)

Gambaran Pelaksanaan Rumah Pemotongan Hewan Babi (Studi Kasus di Rumah Pemotongan Hewan Kota Semarang) Gambaran Pelaksanaan Rumah Pemotongan Hewan Babi (Studi Kasus di Rumah Pemotongan Hewan Kota Semarang) *) **) Michelia Rambu Lawu *), Sri Yuliawati **), Lintang Dian Saraswati **) Mahasiswa Bagian Peminatan

Lebih terperinci

SIKAP KONSUMEN TERHADAP DAGING SAPI LOKAL DENGAN DAGING SAPI IMPOR

SIKAP KONSUMEN TERHADAP DAGING SAPI LOKAL DENGAN DAGING SAPI IMPOR VII. SIKAP KONSUMEN TERHADAP DAGING SAPI LOKAL DENGAN DAGING SAPI IMPOR 7.1. Sikap Konsumen terhadap Daging Sapi Lokal dengan Daging Sapi Impor Sikap konsumen terhadap atribut produk daging sapi lokal

Lebih terperinci

ABSTRAK KUALITAS DAN PROFIL MIKROBA DAGING SAPI LOKAL DAN IMPOR DI DILI-TIMOR LESTE

ABSTRAK KUALITAS DAN PROFIL MIKROBA DAGING SAPI LOKAL DAN IMPOR DI DILI-TIMOR LESTE ABSTRAK KUALITAS DAN PROFIL MIKROBA DAGING SAPI LOKAL DAN IMPOR DI DILI-TIMOR LESTE Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kualitas fisik, kimia dan profil mikroba daging sapi lokal dan impor yang

Lebih terperinci

molekul kasein yang bermuatan berbeda. Kondisi ph yang asam menyebabkan kalsium dari kasein akan memisahkan diri sehingga terjadi muatan ion dalam sus

molekul kasein yang bermuatan berbeda. Kondisi ph yang asam menyebabkan kalsium dari kasein akan memisahkan diri sehingga terjadi muatan ion dalam sus Populasi Kultur Starter HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian Pendahuluan Perhitungan populasi dilakukan untuk mendapatkan kultur starter yang terbaik dari segi jumlah maupun kualitasnya. Pada tahap pendahulan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Konsumsi Pakan

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Konsumsi Pakan HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi PT. Purwakarta Agrotechnopreneur Centre (PAC), terletak di desa Pasir Jambu, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor. Berdasarkan data statistik desa setempat, daerah

Lebih terperinci

Jurnal Riset dan Inovasi Peternakan Vol 1(3):16-20, Desember 2017 e-issn:

Jurnal Riset dan Inovasi Peternakan Vol 1(3):16-20, Desember 2017 e-issn: KUALITAS FISIK PADA POTONGAN PRIMAL KARKAS SAPI KRUI BETINA DI KABUPATEN PESISIR BARAT LAMPUNG PHYSICAL QUALITY ON PRIMAL CARCASS OF FEMALE KRUI CATTLE IN WEST PESISIR DISTRICT LAMPUNG Raina Pangestika,

Lebih terperinci

Mutiara Nugraheni

Mutiara Nugraheni Mutiara Nugraheni mutiara_nugraheni@uny.ac.id 1. 2. 3. Mutu protein tinggi, asam amino esensial lengkap dan seimbang Protein lebih mudah dicerna daripada nabati Mengandung vitamin dan mineral 1.Sapi Penghasil

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Aves, ordo Anseriformes, family Anatidae, sub family Anatinae, rumpun Anatini,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Aves, ordo Anseriformes, family Anatidae, sub family Anatinae, rumpun Anatini, 2 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Daging Itik Itik merupakan salah satu unggas air yang lebih dikenal dibanding dengan jenis unggas air lainnya seperti angsa dan entog. Itik termasuk ke dalam kelas Aves,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi bali merupakan keturunan dari sapi liar yang disebut banteng (Bos bibos atau Bos

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi bali merupakan keturunan dari sapi liar yang disebut banteng (Bos bibos atau Bos 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sapi bali Sapi bali merupakan keturunan dari sapi liar yang disebut banteng (Bos bibos atau Bos sondaicus) yang telah mengalami proses penjinakkan (domestikasi) berabad-abad

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Bahan utama yang digunakan dalam penelitian adalah daging paha Ayam

BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Bahan utama yang digunakan dalam penelitian adalah daging paha Ayam III BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3.1 Bahan dan Peralatan Penelitian 3.1.1 Bahan Penelitian Bahan utama yang digunakan dalam penelitian adalah daging paha Ayam Sentul jantan berjumlah 18 ekor dan berumur

Lebih terperinci

PENGOLAHAN DENGAN SUHU RENDAH. Oleh : ROSIDA, S.TP,MP

PENGOLAHAN DENGAN SUHU RENDAH. Oleh : ROSIDA, S.TP,MP PENGOLAHAN DENGAN SUHU RENDAH Oleh : ROSIDA, S.TP,MP PENDINGINAN (Cooling / Refrigerasi) : Adalah penyimpanan bahan pangan (Nabati/Hewani) diatas suhu titik beku tetapi kurang dari 15oC Pendinginan merupakan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI RIWAYAT HIDUP... ABSTRACT... UCAPAN TERIMAKASIH... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR...

DAFTAR ISI RIWAYAT HIDUP... ABSTRACT... UCAPAN TERIMAKASIH... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR ISI RIWAYAT HIDUP... ABSTRAK... ABSTRACT... UCAPAN TERIMAKASIH... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR..... i ii iii iv vi vii viii BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian... 1 1.2

Lebih terperinci

SIFAT FISIK DAGING KERBAU PADA UMUR DAN JENIS KELAMIN YANG BERBEDA SKRIPSI WENY ROSMAYA

SIFAT FISIK DAGING KERBAU PADA UMUR DAN JENIS KELAMIN YANG BERBEDA SKRIPSI WENY ROSMAYA SIFAT FISIK DAGING KERBAU PADA UMUR DAN JENIS KELAMIN YANG BERBEDA SKRIPSI WENY ROSMAYA DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011 RINGKASAN Weny

Lebih terperinci