4. HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

HASIL DAN PEMBAHASAN. ternak. Darah terdiri dari dua komponen berupa plasma darah dan bagian padat yang

PENDAHULUAN. puyuh (Cortunix cortunix japonica). Produk yang berasal dari puyuh bermanfaat

HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Pakan

HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. progresif. Proses ini dikenal dengan nama menua atau penuaan (aging). Ada

I. PENDAHULUAN. atau ayam yang kemampuan produksi telurnya tinggi. Karakteristik ayam petelur

PEMBAHASAN Jumlah dan Komposisi Sel Somatik pada Kelompok Kontrol

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, diperoleh rata-rata jumlah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 1 PENDAHULUAN. menurut World Health Organization (WHO), sekitar 65% dari penduduk negara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. unggas air yang cocok untuk dikembangbiakkan di Indonesia. Sistem

HASIL DAN PEMBAHASAN. diberi Fructooligosaccharide (FOS) pada level berbeda dapat dilihat pada Tabel 5.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 1 Nilai (rataan ± SD) PBBH, FEC, dan gambaran darah domba selama masa infeksi Parameter Amatan Domba

HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. genetis ayam, makanan ternak, ketepatan manajemen pemeliharaan, dan

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Darah 8 % bb Komposisi darah : cairan plasma ± 60 % Padatan 40-45% sel darah merah (eritrosit), sel darah putih, trombosit

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi merupakan reaksi lokal jaringan terhadap infeksi atau cedera dan melibatkan lebih banyak mediator

3. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian 3.2. Hewan Coba dan Pemeliharaannya 3.3. Alat dan Bahan

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. hormon insulin baik secara relatif maupun secara absolut. Jika hal ini dibiarkan

HASIL DAN PEMBAHASAN

SISTEM PEREDARAN DARAH

HASIL DAN PEMBAHASAN

MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS

serta terlibat dalam metabolisme energi dan sintesis protein (Wester, 1987; Saris et al., 2000). Dalam studi epidemiologi besar, menunjukkan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. Obat adalah zat yang digunakan untuk terapi, mengurangi rasa nyeri, serta

I PENDAHULUAN. yang bisa menyesuaikan tubuh dengan lingkungannya. Karena itik termasuk ke

Darah 8 % bb Komposisi darah : cairan plasma ± 60 % Padatan 40-45% sel darah merah (eritrosit), sel darah putih, trombosit

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

Gambar 1 Rata-rata Jumlah Sel Darah Putih Ikan Lele Dumbo Setiap Minggu

BAB I PENDAHULUAN. Umumnya anti nyamuk digunakan sebagai salah satu upaya untuk mengatasi

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambaran Umum

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. Permintaan masyarakat terhadap sumber protein hewani seperti daging, susu, dan

PENGETAHUAN DASAR. Dr. Ariyati Yosi,

HASIL DAN PEMBAHASAN. Hemoglobin. Hemoglobin Burung Merpati Jantan dan Betina sebelum dan sesudah Dilatih Terbang

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Total Protein Darah Ayam Sentul

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. mencit terinfeksi E. coli setelah pemberian tiga jenis teripang ditunjukkan pada

SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH)

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ayam Kedu merupakan jenis ayam kampung yang banyak dikembangkan di

PRAKTIKUM II : DARAH, PEMBULUH DARAH, DARAH DALAM BERBAGAI LARUTAN, PENGGOLONGAN DARAH SISTEM ABO DAN RHESUS.

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan Terhadap Jumlah Sel Darah Merah. dapat digunakan untuk menilai kondisi kesehatan ternak.

BAB I PENDAHULUAN. Seiring proses penuaan mengakibatkan tubuh rentan terhadap penyakit. Integritas

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. lain. Salah satu fungsi darah adalah sebagai media transport didalam tubuh, volume darah

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Uji LD-50 merupakan uji patogenitas yang dilakukan untuk mengetahui

BAB I PENDAHULUAN. hewan betina. Menurut Shabib (1989: 51-53), bentuk aktif estrogen terpenting

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. adanya perubahan kondisi kesehatan ikan baik akibat faktor infeksi

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 5 HASIL PENELITIAN

PEMBAEIASAN. leukosit, jenis leukosit, nilai indeks fagositik serta adanya perbedaan tingkat

STORYBOARD SISTEM PEREDARAN DARAH

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 7. Bakteri Bacillus Sumber : Dokumentasi Pribadi

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. digunakan sebagai alternatif pengobatan seperti kunyit, temulawak, daun sirih,

BAB I PENDAHULUAN. bersifat nontosik, sehingga dapat juga digunakan sebagai obat anti kanker dan anti

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Antibodi pada Mukus Ikan. Data tentang antibodi dalam mukus yang terdapat di permukaan tubuh

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FISIOLOGI HEWAN I. April 2008 DARAH DAN SIRKULASI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. semua bagian dari tubuh rusa dapat dimanfaatkan, antara lain daging, ranggah dan

Gambaran Diff Count Pada Perokok Di Kecamatan Cibeureum. Undang Ruhimat STIKes Bakti Tunas Husada Tasikmalaya ABSTRAK

I. PENDAHULUAN. masamo (Clarias gariepinus >< C. macrocephalus) merupakan lele varian baru.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 4.1 Rata-rata peningkatan jumlah eritrosit. Jumlah eritrosit darah (juta/ mm 3 ) ulangan ke

KOMPOSISI PAKAN DAN TUBUH HEWAN

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. berbagai penyakit. Tumbuhan yang merupakan bahan baku obat tradisional

Bila Darah Disentifus

I PENDAHULUAN. peternakan. Penggunaan limbah sisa pengolahan ini dilakukan untuk menghindari

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang jumlah penduduknya terus

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang jumlah penduduknya terus

TINJAUAN PUSTAKA. Kelinci termasuk hewan yang memiliki sistem pencernaan monogastrik dan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. tubuh yaitu terjadinya kerusakan jaringan tubuh sendiri (Subowo, 2009).

IMUNITAS NON-SPESIFIK DAN SINTASAN LELE MASAMO (Clarias sp.) DENGAN APLIKASI PROBIOTIK, VITAMIN C DAN DASAR KOLAM BUATAN ABSTRAK

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. hidup secara tidak langsung menyebabkan manusia terus-menerus dihadapkan

BAB II KOMPONEN YANG TERLIBAT DALAM SISTEM STEM IMUN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ayam broiler merupakan ayam ras tipe pedaging yang umumnya dipanen

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

SISTEM PERTAHANAN TUBUH

HASIL DAN PEMBAHASAN Perubahan histopatologi pada timus

Transkripsi:

27 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran Jumlah Eritrosit, Kadar Hemoglobin (Hb), dan Nilai Hematokrit (PCV) Terhadap Pemberian Ekstrak dan Fraksi Daun Katuk Pengaruh pemberian ekstrak dan fraksi daun katuk selama periode kebuntingan hingga masa laktasi hari ke-10 terhadap nilai hematologi, yaitu jumlah eritrosit, kadar Hb, dan nilai PCV dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Nilai Hematologi Eritrosit (juta/mm 3 ), PCV (%), dan Hb (g%) Tikus Laktasi Hari ke-10 Parameter Kontrol F-H E-Eto F-EtOAc F-H 2 O Eritrosit 6,33 ± 0,34 a 6,43 ± 0,9 a 6,6 ± 0,83 a 6,74±1,31 a 6,81 ± 1,41 a PCV 36,17 ± 3,69 a 34,5 ± 0,87 a 40,83±2,84 a 34 ± 4,44 a 37,58 ±3,13 a Hb 12,87 ± 1,0 c 11,87± 0,12 b 12,8 ± 0,2 bc 10,86±1,2 a 12,33 ± 0,6 bc Huruf yang berbeda pada baris yang sama adalah berbeda nyata (P < 0,05) Tabel 4 menunjukkan bahwa jumlah eritrosit dan nilai PCV pada tikus laktasi hari ke-10 yang diberikan ekstrak dan fraksi daun katuk tidak berpengaruh nyata pada setiap perlakuan, yaitu F-H, E-Eto, F-EtOAc, dan F-H 2 O dibandingkan dengan kelompok kontrol (P>0,05). Sementara itu, pengaruh pemberian ekstrak dan fraksi daun katuk terhadap kadar Hb menunjukkan pengaruh yang nyata pada kelompok perlakuan F-H dan F-EtOAc dibandingkan dengan kelompok kontrol (P<0,05). Dimana pada kedua kelompok perlakuan F-H dan F-EtOAc tersebut mengalami penurunan kadar Hb. Nilai normal untuk parameter hematologi tikus putih, yaitu jumlah eritrosit, nilai PCV, dan kadar Hb secara berurutan ialah (7,2-9,6)10 6 /mm 3, (45-47)%, (15-16)g% (Smith & Mangkoewidjojo 1988). Literatur lain melaporkan tentang nilai normal hematologi tikus bunting untuk jumlah eritrosit, nilai PCV, dan kadar Hb secara berurutan ialah (5,91-8,69)10 6 /mm 3, (29,34-37,56)%, (10,27-14,69)g% (Suprayogi et al. 2009). Perbedaan nilai normal dari pustaka ini wajar mengingat perbedaan lingkungan dan kondisi fisiologis yang berbeda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa gambaran hematologi eritrosit, PCV, dan kadar Hb terlihat masih di dalam kisaran nilai normal,

28 Penelitian sebelumnya menunjukkan hasil yang sama, bahwa pemberian ekstrak dan fraksi daun katuk pada tikus bunting hari ke-12 terhadap gambaran jumlah eritrosit dan nilai PCV masih dalam kisaran normal dan tidak berpengaruh nyata pada setiap perlakuan, yaitu F-H, E-Eto, F-EtOAc, dan F-H 2 O dibandingkan dengan kelompok kontrol (P<0,05). Gambaran jumlah eritrosit yang didapat pada hasil penelitian sebelumnya pada setiap kelompok perlakuan kontrol, F-H, E-Eto, F-EtOAc, dan F-H 2 O secara berurutan ialah (7,17±0,32), (6,85±0,97), (6,85±0,97), (5,90±1,50), dan (7,35±1,33)10 6 /mm 3. Sementara itu, untuk nilai PCV secara berurutan ialah (37,17±3,54), (34,38±0,88), (36,00±0,75), (33,75±1,06), dan (38,13±6,19)10 6 /mm 3 (Suprayogi et al. 2009). Hal ini menunjukkan bahwa pemberian ekstrak dan fraksi daun katuk tidak memiliki efek pada gambaran hematologi eritrosit dan PCV, baik pada saat kebuntingan hari ke- 12 maupun laktasi hari ke-10. Terdapat kemungkinan bahwa pada hari ke-10 post partus (laktasi), tikus sudah kembali ke kondisi fisiologis normal melalui proses homeostasis pembentukan darah. Nilai PCV berhubungan dengan jumlah eritrosit karena nilai PCV merupakan gambaran persentase yang mewakili eritrosit di dalam 100 ml darah. Nilai PCV dipengaruhi oleh faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah dan ukuran eritrosit (Schalm 2010). Nilai PCV juga sangat bervariasi pada setiap individu dan dipengaruhi oleh derajat aktivitas tubuh, anemia, dan ketinggian dimana individu tersebut berada (Guyton & Hall 2008). Gambaran kadar Hb tikus laktasi hari ke-10 yang diberikan ekstrak dan fraksi daun katuk menunjukkan pada perlakuan F-EtOAc dan F-H didapatkan kadar Hb lebih rendah dibandingkan kelompok perlakuan kontrol, akan tetapi kadar Hb yang lebih rendah ini masih berada di dalam kisaran nilai normal. Penelitian sebelumnya menunjukkan hasil yang sedikit berbeda, bahwa pemberian ekstrak dan fraksi daun katuk pada tikus bunting hari ke-12 terhadap gambaran kadar Hb masih dalam kisaran normal dan tidak berpengaruh nyata pada setiap perlakuan, yaitu F-H, E-Eto, F-EtOAc, dan F-H 2 O dibandingkan dengan kelompok kontrol (P>0,05). Gambaran kadar Hb yang didapat pada hasil penelitian sebelumnya pada setiap kelompok perlakuan kontrol, F-H, E-Eto, F-

29 EtOAc, dan F-H 2 O secara berurutan ialah (13,10±0,21), (12,97±0,03), (12,62±0,26), (12,35±1,48), dan (13,00±0,57) g% (Suprayogi et al. 2009). Penelitian ini menunjukkan terjadi penurunan kadar Hb pada kelompok F-EtOAc dan F-H yang nyata (P<0,05). Penurunan kadar Hb ini tidak seiiring dengan jumlah eritrosit yang masih tetap stabil. Hal ini mungkin saja terjadi mengingat pembentukan Hb dalam eritrosit sangat ditentukan oleh asupan nutrisi terutama protein dan mineral (Fe). Pengaruh daun katuk terhadap asupan nutrisi protein dan mineral pada berbagai hewan coba sudah banyak dilakukan. Namun demikian pada hasil-hasil penelitian tersebut masih belum jelas mekanisme pengaruh daun katuk terhadap penurunan asupan nutrisi. Pada ayam broiler dilaporkan bahwa penambahan daun katuk kering 10% dan 15% dalam pakan mengalami penurunan kecernaan protein kasar (Andriyanto et al. 2010). Penghambatan kecernaan protein kasar ini kemungkinan disebabkan oleh senyawa aktif yang terdapat dalam daun katuk (Suprayogi 1995). Penelitian lain menggunakan hewan kelinci White New Zealand melaporkan bahwa pemberian daun katuk terhadap gambaran darah menunjukkan adanya peningkatan jumlah eritrosit, PCV, dan kadar Hb (Darmawan 1997). Peningkatan eritrosit PCV, dan kadar Hb ini dipengaruhi oleh kandungan senyawa aktif dalam daun katuk yaitu alkaloids papaverine-like compound. Selain itu juga dipengaruhi oleh senyawa aktif lain dalam daun katuk yang bekerja sinergis dengan alkaloida papaverine-like compound yaitu kelompok eicosanoid prostaglandin. Kedua senyawa aktif tersebut diduga dapat menstimulir produksi eritropoetin sehingga dapat mempengaruhi pembentukan eritrosit (Suprayogi 2000). Fungsi eritropoetin dalam pembentukan eritrosit yaitu merangsang produksi proeritroblast dari sel-sel stem hemopoietik dalam sumsum tulang dan mempercepat tahapan eritroblastik dibanding keadaan normal. Eritropoetin selanjutnya akan mempercepat pembentukan eritrosit sehingga mencukupi untuk mengangkut oksigen ke jaringan (Guyton & Hall 2008). Penelitian menggunakan hewan kelinci ini terlihat sungguh berbeda dengan penelitian menggunakan hewan tikus, hal ini bisa terjadi mengingat spesies hewan maupun fase fisiologis yang berbeda sehingga memberikan respons yang berbeda pula.

30 4.2. Gambaran Jumlah Leukosit Terhadap Pemberian Ekstrak dan Fraksi Daun Katuk Leukosit merupakan unit yang aktif sebagai sistem pertahanan tubuh untuk menyediakan pertahanan yang kuat dan cepat terhadap benda-benda asing yang dapat menimbulkan peradangan dan infeksi dalam tubuh (Guyton & Hall 2008). Pengaruh pemberian ekstrak dan fraksi daun katuk selama periode kebuntingan hingga masa laktasi hari ke-10 terhadap jumlah Leukosit disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Nilai Hematologi Leukosit (ribu/mm 3 ) Tikus Laktasi Hari ke-10 Perlakuan Leukosit Kontrol 13 ± 3,15 b F-H 14,1 ± 3,18 b E-Eto 14,22 ± 6,67 b F-EtOAc 4,83 ± 1,43 a F-H 2 O 12,93 ± 4,28 b Huruf yang berbeda pada kolom yang sama adalah berbeda nyata (P < 0,05) Tabel 5 menunjukkan bahwa jumlah leukosit pada tikus laktasi hari ke- 10 yang diberikan ekstrak dan fraksi daun katuk tidak berpengaruh pada perlakuan F-H 2 O, E-Eto, dan F-H, tetapi berpengaruh nyata pada F-EtOAc terhadap perlakuan kontrol (P<0,05), yaitu terjadinya penurunan jumlah leukosit. Kisaran normal jumlah leukosit pada tikus yaitu berkisar antara 5-13 x 10 3 /mm 3 (Smith & Mangkoewidjojo 1988) atau 9,29±2,55 x 10 3 /mm 3 (Suprayogi et al. 2009). Hasil perhitungan leukosit tikus masa laktasi hari ke-10 pada penelitian ini menunjukkan masih berada di kisaran normal, kecuali pada perlakuan F-EtOAc yang berada dibawah kisaran normal. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa pemberian ekstrak dan fraksi daun katuk pada tikus bunting hari ke-12 terhadap gambaran leukosit masih dalam kisaran normal dan tidak berpengaruh nyata pada setiap perlakuan, yaitu F-H, E- Eto, F-EtOAc, dan F-H 2 O dibandingkan dengan kelompok kontrol (P>0,05). Gambaran leukosit yang didapat pada hasil penelitian sebelumnya pada setiap kelompok perlakuan kontrol, F-H, E-Eto, F-EtOAc, dan F-H 2 O secara berurutan ialah (13,50±0,35), (11,98±1,45), (12,43±1,59), (8,43±2,51), dan (13,78±3,57) 10 3 /mm 3 (Suprayogi et al. 2009).

31 Dari Tabel 5 terlihat adanya penurunan jumlah leukosit yang sangat signifikan pada perlakuan F-EtOAc. Penurunan jumlah leukosit ini dimungkinkan bisa disebabkan oleh senyawa aktif kaempferol yang ditemukan pada pelarut EtOAc. Senyawa kaempferol ini diketahui sebagai antioksidan kuat (Suprayogi et al. 2009). Hal ini didukung oleh penelitian sebelumnya yang melaporkan antioksidan dapat mengurangi peroksidasi lipid sehingga dapat menghambat peningkatan leukosit (Yayuk 2007). Peroksidasi lipid merupakan proses yang bersifat kompleks akibat reaksi asam lemak tak jenuh ganda penyusun fosfolipid membran sel dengan senyawa oksigen reaktif, sehingga membentuk hidroperoksida (Robles et al. 2001). Berkurangnya peroksidasi lipid menyebabkan berkurangnya kerusakan jaringan atau peradangan dan kerusakan beberapa molekul biologi juga menurun, sehingga leukosit yang tadinya meningkat pada saat peradangan, produksi leukosit pun kemudian dihambat (Yayuk 2007). Dalam hal ini ada 3 level pertahanan untuk mengurangi eliminasi kerusakan yaitu lipolitik, proteolitik, dan enzim yang lain, yaitu DNA repair dan sejumlah transferase (Rohn et al. 2002). Kemungkinan dosis kaempferol pada F-EtOAc dalam penelitian ini sudah mencapai efek yang tidak diinginkan, sehingga pada fraksi ini menunjukkan adanya penurunan jumlah leukosit. 4.3. Gambaran Diferensial Leukosit Terhadap Pemberian Ekstrak dan Fraksi Daun Katuk Masing-masing komponen atau bentuk leukosit memiliki berbagai macam fungsi khusus, namun secara garis besar bentuk-bentuk ini berfungsi sebagai sistem pertahanan tubuh terhadap benda asing. Pengaruh pemberian fraksi ekstrak daun katuk selama periode kebuntingan hingga masa laktasi hari ke-10 terhadap diferensial leukosit disajikan pada Tabel 6.

32 Tabel 6 Nilai Hematologi Diferensial Leukosit (%) Tikus Laktasi Hari ke-10 Parameter Kontrol F-H E-Eto F-EtOAc F-H 2 O Limfosit 65 ± 3,61 a 83,67± 5,69 b 76,67±7,02 ab 66,33±9,29 a 68,67±12,06 a Netrofil 27,33 ± 1,53 c 13 ± 6,08 a 15,67±2,31 ab 30 ± 10 c 24,33 ± 8,5 bc Monosit 2,33 ± 0,58 a 2 ± 1 a 4,67 ± 4,04 a 3 ± 0 a 3 ± 0 a Eosinofil Basofil 5,33 ± 2,52 a 0 a 1,33 ± 0,58 a 0 a 3 ± 1 a 0 a 2,67 ± 1,53 a 0 a 4 ± 3,16 a 0 a Huruf yang berbeda pada baris yang sama adalah berbeda nyata (P < 0,05) Berdasarkan Tabel 6 nilai persentase limfosit tikus laktasi hari ke-10 yang diberikan fraksi ekstrak daun katuk menunjukkan adanya pengaruh nyata terutama pada perlakuan F-H dan E-Eto yang mengalami persentase nilai limfositnya lebih tinggi. Sementara itu, pada perlakuan lainnya yaitu F-EtOAc dan F-H 2 O tidak berpengaruh terhadap perlakuan kontrol. Persentase nilai limfosit yang lebih tinggi pada perlakuan F-H dan E-Eto ini masih berada di kisaran nilai normal. Nilai normal limfosit berkisar antara 63-84% (Smith & Mangkoewidjojo 1988). Persentase nilai limfosit yang lebih tinggi ini diduga karena senyawa aktif yang terdapat dalam F-H dan E-Eto membentuk sistem pertahanan atau kekebalan humoral. Sistem kekebalan humoral ini dilakukan oleh sel limfosit B yang bertanggung jawab atas sintesis antibodi humoral yang bersirkulasi dalam darah yang dikenal dengan imunoglobulin (Hoffbrand 2006). Persentase limfosit pada pemberian F-H memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan nilai persentase limfosit pada pemberian E-Eto, hal ini karena senyawa aktif yang diduga terlibat membentuk kekebalan humoral lebih efektif bekerja pada F-H. Tabel 6 menunjukkan gambaran persentase nilai netrofil tikus laktasi hari ke-10 yang diberikan ekstrak dan fraksi daun katuk. Pengamatan nilai netrofil menunjukkan adanya pengaruh nyata terutama pada perlakuan F-H dan E-Eto yang mengalami persentase nilai netrofil yang lebih kecil dibandingkan perlakuan kontrol. Sementara itu, pada perlakuan F-H 2 O dan F-EtOAc tidak berpengaruh terhadap perlakuan kontrol. Persentase nilai netrofil yang lebih kecil pada perlakuan F-H dan E-Eto disebabkan karena persentase nilai limfosit lebih tinggi pada kedua perlakuan tersebut. Hal ini berarti, seperti yang telah diuraikan sebelumnya, senyawa aktif yang terdapat pada perlakuan F-H dan E-Eto membentuk sistem kekebalan humoral, akan tetapi netrofil tidak meningkat karena tidak adanya infeksi bakteri. Persentase nilai netrofil yang lebih rendah

33 pada F-H dan E-Eto masih berada dikisaran nilai normal, walaupun berpengaruh nyata terhadap kelompok kontrol. Menurut literatur kisaran normal nilai netrofil berkisar antara 9-34% (Smith & Mangkoewidjojo 1988). Jumlah netrofil dalam darah akan meningkat pada kasus bakteri kontaminan dan runtuhan sel debris mengingat netrofil merupakan lini pertahanan tubuh yang pertama (Dellmann & Brown 1992). Hasil yang diperoleh pada pengamatan monosit menunjukkan pemberian ekstrak dan fraksi daun katuk tidak adanya pengaruh terhadap kelompok kontrol. Nilai persentase monosit yang diperoleh dari penelitian ini pun masih berada di kisaran nilai normal monosit yaitu antara 0-5% (Smith & Mangkoewidjojo 1988). Adanya peningkatan jumlah monosit dalam darah disebabkan karena peningkatan aktivitas fagositosis terhadap benda asing mengingat monosit dalam jaringan akan berubah menjadi makrofag (Martini et al. 1992). Selain pada golongan monosit, pada Tabel 6 juga menunjukkan pemberian ekstrak dan fraksi daun katuk untuk nilai eosinofil tidak adanya pengaruh terhadap kelompok kontrol. Nilai persentase eosinofil yang diperoleh dari penelitian ini pun masih berada di kisaran nilai normal eosinofil yaitu antara 0-6% (Smith & Mangkoewidjojo 1988). Jumlah eosinofil meningkat dalam sirkulasi darah menunjukkan respons terhadap penyakit parasitik dan alergi dengan cara melepaskan protein, sitokin, dan kemokin yang mampu membunuh mikroorganisme yang masuk ke dalam tubuh (Hoffbrand 2006). Basofil tidak ditemukan pada pengamatan diferensial leukosit. Jumlah basofil di dalam sirkulasi darah relatif sangat sedikit, sehingga pada penelitian ini tidak ditemukan adanya basofil. Basofil berperan dalam peradangan, membangun reaksi hipersensitif dan sekresi mediator yang bersifat vasoaktif (Dellmann & Brown 1992).