HASIL DAN PEMBAHASAN. Hemoglobin. Hemoglobin Burung Merpati Jantan dan Betina sebelum dan sesudah Dilatih Terbang
|
|
- Suhendra Tanudjaja
- 7 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 HASIL DAN PEMBAHASAN Hemoglobin Hemoglobin Burung Merpati Jantan dan Betina sebelum dan sesudah Dilatih Terbang Hemoglobin burung merpati jantan dan betina sebelum dan sesudah dilatih terbang selama penelitian disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Profil Hemoglobin Burung Merpati Jantan dan Betina Rataan ± Simpangan Baku (KK) Jantan Betina Sebelum dilatih terbang (g/dl) ,844 ± 2,807 (18,9) (g/dl) ,206 ± 2,071 (13,6) Sesudah dilatih terbang 15,686 ± 1,566 (9,9) 15,169 ± 2,217 (14,6) Rataan hemoglobin burung merpati jantan dan betina sebelum dilatih terbang masing-masing adalah 14,844 g/dl ± 2,807 g/dl (KK=18,9%), 15,206 g/dl ± 2,071 g/dl (KK=13,6%) (Tabel 1). Menurut Mitruka dan Rawnsley (1977) kadar hemoglobin burung merpati berkisar antara 10,7-14,9 g%, itik 9,0 21 g%, kalkun 8,8 13,4 g%, dan puyuh 10,7 14,3 g%. Kadar hemoglobin pada burung beo menurut Archawaranon (2005) yaitu (13,59 14,32 g/dl). Berarti nilai hemoglobin pada penelitian ini lebih tinggi dibandingkan burung merpati dan unggas lain yang dilaporkan oleh Mitruka dan Rawnsley (1977) dan Archawaranon (2005). Gambar 5. Burung Merpati
2 Nilai hemoglobin burung merpati jantan dan betina sebelum dilatih terbang tidak berbeda. Hasil penelitian ini berbeda dengan Archawaranon (2005) yang menyatakan bahwa nilai hemoglobin betina lebih tinggi dibandingkan dengan jantan. Rataan dan simpangan baku hemoglobin antara burung merpati jantan dan betina sesudah dilatih terbang masing-masing adalah 15,686 g/dl ± 1,566 g/dl (KK=9,9 %) dan 15,169 g/dl ± 2,217 g/dl (KK=14,6 %) (Tabel 1), apabila dibandingkan dengan penelitian Mitruka dan Rawnsley (1977) dan Archawaranon (2005), pada penelitian ini mempunyai nilai yang tinggi seperti halnya nilai hemoglobin sebelum dilatih terbang. Nilai hemoglobin merpati jantan dan betina sesudah dilatih terbang tidak berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa latihan terbang pada penelitian ini belum mempengaruhi nilai hemoglobin. Rataan dan simpangan baku hemoglobin antara burung merpati jantan sebelum dan sesudah dilatih terbang tidak berbeda seperti disajikan pada Tabel 1. Nilai hemoglobin burung merpati jantan sebelum dilatih terbang diperoleh rataan 14,844 g/dl ± 2,807 g/dl (KK=18,9 %), sedangkan sesudah dilatih terbang diperoleh rataan 15,686 g/dl ± 1,566 g/dl (KK=9,9 %) apabila dibandingkan dengan penelitian lain Mitruka dan Rawnsley (1977) dan Archawaranon (2005) pada penelitian ini mempunyai nilai hemoglobin yang lebih tinggi. Meningkatnya hemoglobin disebabkan adanya aktifitas terbang karena banyak membutuhkan oksigen seperti dikemukakan (Lasiewksi, 1972; Berstien et al., 1973) pada burung-burung migran, saat terbang membutuhkan banyak oksigen begitu juga dengan pendapat (Viscor et al., 1985) bahwa aktifitas terbang diikuti oleh peningkatan jumlah hemoglobin. Tabel 1 juga menunjukkan bahwa rataan dan simpangan baku hemoglobin burung merpati betina sebelum dilatih terbang adalah 15,206 g/dl ± 2,071 g/dl (KK=13,6%) sedangkan pada burung merpati betina yang sudah diterbangkan diperoleh rataan 15,169 g/dl ± 2,217 g/dl (KK=14,6%), jika dibandingkan dengan penelitian Mitruka dan Rawnsley (1977) dan Archawaranon (2005), hasil penelitian ini mempunyai nilai yang cukup tinggi seperti halnya nilai hemoglobin sebelum dilatih terbang. Ini menunjukan bahwa nilai hemoglobin burung merpati betina sebelum dan sesudah dilatih terbang tidak berbeda. Koefisien keragaman yang diperoleh pada penelitian ini beragam baik jantan maupun betina sebelum dilatih terbang, akan tetapi nilai koefisien keragaman jantan 18
3 lebih tinggi yaitu 18,9% dibandingkan dengan betina sebelum dilatih terbang yaitu 13,6%. Koefisien keragaman pada jantan sesudah dilatih terbang tidak beragam karena pada merpati jantan diperoleh nilai kurang dari 10% yaitu 9,9% sedangkan pada betina sebesar 14,6% berarti masih beragam. Nilai koefisien keragaman yang tinggi terdapat pada betina dibandingkan jantan sesudah dilatih terbang atau jantan lebih seragam dibandingkan betina. Nilai koefisien keragaman pada jantan sesudah dilatih terbang tidak beragam karena pada merpati jantan yang sudah dilatih terbang diperoleh nilai kurang dari 10% yaitu 9,9% sedangkan pada jantan yang belum dilatih terbang adalah sebesar 18,9% berati masih beragam berarti bisa dilakukan seleksi. Nilai koefisien keragaman burung merpati jantan sebelum dilatih terbang lebih beragam dibandingkan sesudah dilatih terbang. Adanya keragaman pada nilai hematologi pada burung yang dilatih menmungkinkan untuk memilih burung yang memiliki nilai hamatologi yang dibutuhakan untuk burungi merpati agar dapat dilatih terbang. Hematokrit (PCV %) Hematokrit (PCV%) Burung Merpati Jantan dan Betina sebelum dan sesudah Dilatih Terbang Hematokrit (PCV%) burung merpati jantan dan betina sebelum dan sesudah dilatih terbang selama penelitian disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Profil Hematokrit (PCV%) Burung Merpati Jantan dan Betina Sebelum dilatih terbang Rataan ± Simpangan Baku (KK) Jantan (%) ,30 ± 8,26 (18,6) Betina (%) ,77 ± 4,74 (10,1) a Sesudah dilatih terbang 46,61 ± 3,47 (7,43) 1 39,93 ± 9,84 (2,46) b2 Ket : Superskrip dengan angka yang berbeda pada baris yang sama berarti berbeda nyata (P < 0,05) Superskrip dengan huruf yang berbeda pada kolom yang sama berarti berbeda nyata (P < 0,05) Pada Tabel 2 menunjukkan bahwa Rataan dan simpangan baku hematokrit (PCV%) antara burung merpati jantan dan betina sebelum dilatih terbang yaitu pada burung merpati jantan diperoleh rataan 44,30 ± 8,26 % (KK=18,6%) dan burung merpati betina diperoleh rataan 46,77 ± 4,74 % (KK=10,1%) a. 19
4 (Tabel 2) Hasil penelitian lain Mitruka dan Rawnsley (1977) menyatakan jumlah hematokrit pada burung merpati berkisar antara 39,3% - 59,4%, itik 32,6% - 47,5%, kalkun 30,4% - 45,6% dan puyuh 30,0% - 45,1%. Berarti nilai hematokrit pada penelitian ini lebih tinggi dibandingkan merpati yang dilaporkan oleh Mitruka dan Rawnsley (1977). Rataan hematokrit betina sebelum dilatih terbang lebih tinggi dibanding dengan jantan sama akan tetapi berbeda dengan penelitian Campbell dan Dein (1984); Sturkie (1986) bahwa secara umum jumlah hematokrit lebih tinggi jantan dibandingkan betina. Tabel 2 juga menunjukkan bahwa Rataan dan simpangan baku hematokrit (PCV%) antara burung merpati jantan dan betina sesudah dilatih terbang masingmasing adalah diperoleh yaitu 46,61 % ± 3,47 (KK=7,43%) 1 39,93 % ± 9,84 % (KK=24,6%) 2. (Tabel 2) Hasil ini menunjukan bahwa nilai hematokrit jantan dan betina sesudah terbang berbeda. Apabila dibandingkan dengan penelitian Mitruka dan Rawnsley (1977) yang menyatakan bahwa rataan hematokrit burung merpati adalah 49%, dengan demikian pada penelitian ini mempunyai nilai hematokrit yang lebih rendah. Meningkatnya hematokrit yang diperoleh setelah burung dilatih terbang dalam penelitian ini disamping perbedaan jenis kelamin juga pengaruh aktifitas latihan terbang. Lasiewksi (1972) dan Berstien et al. (1973) menyatakan bahwa pada burung migran saat terbang memerlukan banyak oksigen sehingga terjadi peningkatan hematokrit dalam darah Viscor et al. (1985) menyatakan bahwa aktifitas terbang diikuti dengan peningkatan hematokrit. Pada Tabel 2 menunjukkan bahwa Rataan dan simpangan baku hematokrit (PCV%) burung merpati jantan sebelum dan sesudah dilatih terbang diperoleh rataan 44,30% ± 8,26% (KK=18,6%) dan 46,61 ± 3,47 (KK=7,43%). Dalam penelitian ini menunjukkan bahwa nilai hematokrit burung merpati jantan sebelum dan sesudah terbang tidak berbeda (sama), hal ini menunjukkan bahwa aktifitas dilatih terbang dan tidak dilatih terbang tidak mempengaruhi nilai hematokrit pada burung merpati. Canals et al. (2007) menyatakan bahwa parameter hematologi burung dan mamalia tampaknya merespon kebutuhan lingkungan, seperti hipoksia pada ketinggian tinggi dan kebutuhan energi penggerak dan penerbangan. 20
5 Burung yang terbang dan tidak terbang serta mamalia membutuhkan kebutuhan energi berbeda, adapun hematokrit kapiler tidak berbeda pada setiap takson. Apabila dibandingkan dengan penelitian Mitruka dan Rawnsley (1977), maka nilai hematokrit (PCV%) merpati jantan sebelum dan sesudah dilatih terbang Pada penelitian ini lebih rendah. Rataan Hematokrit burung merpati jantan yang sudah dilatih terbang lebih tinggi dibandingkan dengan sebelum dilatih terbang hal ini disebabkan pada aktifitas terbang banyak membutuhkan oksigen yang dapat mempengaruhi meningkatnya hematokrit sebagaimana dikemukakan Lasiewksi (1972) dan Berstien et al. (1973). Pada burung-burung migran, saat terbang akan membutuhkan banyak oksigen begitu juga dengan pendapat (Viscor et al 1985) yang menyatakan bahwa aktiftas penerbangan burung dapat mempengaruhi peningkatan jumlah hematokrit. Rataan dan simpangan baku hematokrit (PCV%) burung merpati betina sebelum dilatih terbang dan sesudah diltaih terbang adalah 46,77% ± 4,74% (KK=10,1) a dan 39,93% ± 9,84% (KK=24,6) b. Kondisi ini menunjukkan bahwa nilai baku hematokrit (PCV%) burung merpati betina sebelum dilatih terbang berbeda. Berarti apabila dibandingkan dengan penelitian lain Mitruka dan Rawnsley (1977) pada penelitian ini mempunyai nilai yang lebih rendah seperti halnya nilai hematokrit (PCV%) sebelum dilatih terbang. Koefisien keragaman pada jantan maupun betina sebelum dilatih terbang pada penelitian ini beragam, hal ini berarti masih bisa dilakukan seleksi. Nilai koefisien keragaman yang diperoleh pada jantan yaitu 18,6% sedangkan betina sebesar 10,1%. Nilai koefisien keragaman pada jantan sebelum dilatih terbang beragam karena nilai yang diperoleh pada jantan sebelum dilatih terbang yaitu 18,6%. Berarti masih bisa dilakukan seleksi sedangkan pada betina nilai koefisien keragamannya diperoleh yaitu 7,43% (berarti seragam). Koefisien keragaman pada jantan dan betina sesudah dilatih terbang tidak beragam karena pada burung merpati jantan diperoleh nilai kurang dari 10% yaitu 7,43% dan pada betina sebesar 24,6%. Adapun nilai koefisien keragaman betina lebih tinggi dibandingkan pada jantan. 21
6 Nilai koefisien keragaman pada jantan sebelum dan sesudah dilatih terbang beragam, hal ini dapat dilakukan seleksi. Nilai koefisien keragaman yang diperoleh jantan sebelum dilatih terbang diperoleh sebesar 18,6 % sedangkan sesudah dilatih terbang yaitu sebesar 7,43 %. Koefisien keragaman pada betina sebelum dan sesudah dilatih terbang beragam, sehingga hal ini dapat dilakukan seleksi. Nilai koefisien keragaman yang diperoleh betina sebelum dilatih terbang diperoleh sebesar 10,1% sedangkan sesudah dilatih terbang yaitu 24,6 %. Nilai koefisien keragaman betina sesudah dilatih terbang lebih tinggi dibandingkan dengan sebelum dilatih terbang. Pada penelitian ini menunjukan masih ada keragaman nilai hemtokrit pada jantan setelah dilatih terbang. Selanjutnya dapat dipilih burung merpati yang memiliki nilai hematokrit yang dapat memenuhi aktifitas terbang. Butir Darah Merah Butir Darah Merah Burung Merpati Jantan dan Betina Sebelum dan Sesudah DilatihTerbang Butir darah merah burung merpati jantan dan betina sebelum dan sesudah dilatih terbang selama penelitian disajikan pada Tabel 3. Rataan dan simpangan baku butir darah merah (eritrosit) antara burung merpati jantan dan betina sebelum dilatih terbang masing-masing adalah 2,691 x 10 6 /mm 3 ± 1,938 x 10 6 /mm 3 (KK=72,0 %) a 3,158 x 10 6 /mm 3 ± 1,753 x 10 6 /mm 3 (KK=55,5 %) b. Nilai butir darah merah (eritrosit) burung merpati jantan dan betina sebelum dilatih terbang berbeda (P<0,05). Tabel 3. Profil Butir Darah Merah Burung Merpati Jantan dan Betina Rataan ± Simpangan Baku (KK) Jantan Betina Sebelum dilatih terbang (10 6 /mm 3 ) (10 6 /mm 3 ) ,691 ± 1,938 (72,0) a 3,158±1,753 (55,5) b Sesudah dilatih terbang 3,712 ± 1,124 (30,2) 2,715 ±2,101 (77,3) Ket : Superskrip yang berbeda pada baris yang sama berarti berbeda nyata (P < 0,05) 22
7 Mitruka dan Rawnsley (1977) bahwa menyatakan bahwa burung merpati mempunyai butir darah merah (2,13-4,20) x 10 6 /mm 3. Adapun hasil penelitian Fowler (1978) menunjukkan bahwa elang mempunyai butir darah merah (2,30 3,25) x 10 6 /mm 3. Apabila dibandingkan dengan butir darah merah burung lain yang dilaporkan Suzana (2007) pada Beo Kalimantan memiliki jumlah eritrosit terbesar (2,63 x 10 6 /mm 3 ), kemudian diikuti Beo Flores (2,40 x 10 6 /mm 3 ), Beo Medan (2,20 x 10 6 /mm 3 ) dan Beo Nias (2,17 x 10 6 /mm 3 ), maka rataan butir darah merah merpati pada penelitian ini tidak jauh berbeda dengan jenis burung lainnya. Pada penelitian ini diperoleh nilai rataan butir darah merah (eritrosit) lebih tinggi burung merpati betina dibandingkan dengan burung merpati jantan, hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan Nirman & Robinson (1972) bahwa nilai butir darah merah jantan lebih tinggi dibandingkan dengan betina. Peningkatan butir darah merah pada burung jantan karena androgen dan efek balik dari estrogen. peneliti lain berpendapat bahwa jumlah eritrosit pada burung jantan umumnya lebih tinggi dibandingkan burung betina (Santosa et al., 2003). Pengaruh perbedaan jenis kelamin juga dapat mempengaruhi nilai butir darah merah (eritrosit) hal tersebut sesuai dengan pendapat (Strurkie, 1976; Schalm et al., 1986) yang menyatakan bahwa perbedaan jenis kelamin pada burung merpati juga mempengaruhi jumlah nilai eritrosit. Begitu pula seperti yang dinyatakan (Santosa et al., 2003) bahwa hormon seks memiliki peran penting dalam produksi eritrosit. Tabel 3 menunjukkan bahwa rataan dan simpangan baku butir darah merah (eritrosit) antara burung merpati jantan dan betina sesudah dilatih terbang masingmasing adalah 3,712 x 10 6 /mm 3 ± 1,124 x 10 6 /mm 3 (KK=30,2%) 2,715 x 10 6 /mm 3 ± 2,101 x 10 6 /mm 3 (KK=77,3%). Ini menunjukkan bahwa nilai rataan merpati jantan dan betina sesudah dilatih terbang tidak beda. Apabila dibandingkan dengan penelitian Mitruka dan Rawnsley (1977), butir darah merah merpati pada penelitian ini mempunyai nilai yang lebih rendah seperti halnya nilai butir darah merah sebelum dilatih terbang.. Selanjutnya Brown (1988) menyatakan bahwa jenis hewan yang memiliki ukuran eritrosit kecil, jumlahnya lebih banyak, sebaliknya yang ukurannya lebih besar jumlahnya akan lebih sedikit, untuk unit volume tertentu. Jumlah eritrosit 23
8 berbeda tidak hanya untuk tiap jenis hewan saja. Perbedaan trah (breed), kondisi nutrisi, aktifitas fisik, dan umur dapat memberikan perbedaan dalam jumlah eritrosit. Rataan dan simpangan baku butir darah merah (eritrosit) burung merpati jantan sebelum dilatih terbang masing-masing adalah 2,691x10 6 /mm 3 ± 1,938x10 6 /mm 3 (KK=72,0%), dan 3,712 x10 6 /mm 3 ± 1,124 x10 6 /mm 3 (KK=30,2%) (Tabel 3). Berarti nilai butir darah merah merpati jantan sebelum dan sesudah dilatih terbang tidak berbeda. Apabila dibandingkan dengan penelitian Mitruka dan Rawnsley (1977) pada penelitian ini mempunyai nilai yang rendah seperti halnya nilai butir darah merah sebelum dilatih terbang. Faktor yang mempengaruhi nilai sel darah merah (eritrosit) dipengaruhi oleh aktifitas fisik seperti penerbangan burung merpati yang berkaitan dengan pengeluaran energi. Diduga jarak penerbangan yang pendek sehingga hasilnya berbeda. Akan tetapi nilai butir darah merah burung merpati jantan sesudah dilatih terbang lebih tinggi dibanding yang tidak dilatih terbang. Rataan dan simpangan baku butir darah merah (eritrosit) antara burung merpati betina sebelum dilatih terbang diperoleh hasil berkisar 3,158 x 10 6 /mm 3 ± 1,753 x 10 6 /mm 3 (KK=55,5%) 2,715 x 10 6 /mm 3 ± 2,101 x 10 6 /mm 3 (KK=77,3%). Apabila dibandingkan dengan penelitian lain Mitruka dan Rawnsley (1977) pada penelitian ini mempunyai nilai yang lebih rendah seperti halnya nilai butir darah merah sebelum dilatih terbang. Ini menunjukkan bahwa nilai butir darah merah burung merpati betina sebelum dan sesudah dilatih terbang tidak berbeda. Peningkatan tersebut dipengaruhi oleh aktifitas terbang burung merpati yang membutuhkan oksigen sehingga mempengaruhi peningkatan jumlah eritrosit. Pada burung-burung migran, saat terbang akan membutuhkan banyak oksigen (Lasiewksi 1972;Berstien et al., 1973) dan hal ini diikuti oleh peningkatan dan jumlah sel eritrosit (Viscor et al., 1985). Koefisien keragaman yang diperoleh dari hasil penelitian ini beragam baik jantan maupun betina sebelum dilatih terbang. Nilai koefisien keragaman yang diperoleh jantan yaitu 72,0% sedangkan pada betina diperoleh nilai sebesar 55,5%, akan tetapi pada jantan nilai koefisien keragamannya lebih tinggi. Koefisien keragaman pada jantan dan betina sesudah dilatih terbang beragam hal tersebut dapat dilakukan seleksi. Nilai koefisien keragaman jantan sesudah dilatih 24
9 terbang diperoleh nilai sebesar 30,2% sedangkan betina diperoleh nilai yaitu 77,3%. Nilai koefisien keragaman yang tinggi diperoleh pada betina sesudah dilatih terbang. Koefisien keragaman butir darah merah yang diperoleh dari hasil penelitian ini beragam baik jantan sebelum dan sesudah dilatih terbang. Nilai koefisien keragaman yang diperoleh jantan sebelum dilatih terbang adalah 72,0% sedangkan sesudah dilatih terbang yaitu 30,2%. Koefisien keragaman yang diperoleh dari hasil penelitian ini beragam pada betina sebelum dan sesudah dilatih terbang, hal ini masih bisa dilakukan seleksi. Nilai koefisien keragaman yang diperoleh pada betina sebelum dilatih terbang sebesar 55,5% sedangkan pada betina sesudah dilatih terbang yaitu 77,3%. Nilai koefisien keragaman pada betina sesudah dilatih terbang tinggi dibandingkan dengan jantan. Adanya keragaman butir darah merah pada burung merpati yang dilatih pada penelitian ini, selanjutnya bisa dipilih burung merpati yang memiliki butir darah merah yang dapat mendukung aktifitas terbang. Butir Darah Putih Butir Darah Putih Burung Merpati Jantan dan Betina sebelum dan sesudah Dilatih Terbang Hasil pengamatan terhadap perhitungan butir darah putih dari pengambilan sampel darah burung merpati jantan dan betina sebelum dan sesudah dilatih terbang selama penelitian disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Profil Butir Darah Putih Burung Merpati Jantan dan Betina Sebelum dan Sesudah Dilatih Terbang Sebelum dilatih terbang Rataan ± Simpangan Baku (KK) Jantan Betina (10 3 /mm 3 ) (10 3 /mm 3 ) ,62 ± 4,35 (65,7) a 9,62 ± 4,95 (51,4) b Sesudah dilatih terbang 4,344 ±2,038 46,9) a 5,937 ± 3,310 (55,7) b Ket : Superskrip yang berbeda pada baris yang sama berarti berbeda nyata (P < 0,05) Rataan dan simpangan baku butir darah putih (leukosit) adalah burung merpati jantan dan betina sebelum dilatih terbang masing-masing 6,62 x 10 3 /mm 3 ± 4,35 x 10 3 /mm 3 (KK=65,7%) 9,62 x 10 3 /mm 3 ± 4,95 x 10 3 /mm 3 (KK=51,4%) (Tabel 4). Hasil penelitian lain yaitu Mitruka dan Rawnsley (1977) menyatakan bahwa pada 25
10 penelitian beberapa jenis burung lain, kisaran jumlah leukosit bervariasi. Merpati mempunyai jumlah leukosit berkisar antara (10,0-30,0) x 10 3 /mm 3, itik (13,4 33,2) x 10 3 /mm 3, kalkun (16,0-25,5) x 10 3 /mm 3, dan puyuh (12,5-24,6) x 10 3 /mm 3. Adapun penelitian Sturkie (1965) bahwa leukosit pada burung berkisar 15-30x10 3 /mm 3 baik untuk burung jantan maupun betina. Berarti leukosit pada penelitian ini jika dibandingkan dengan penelitian lain Mitruka dan Rawnsley (1977) dan Sturkie (1965) mempunyai nilai butir darah putih yang rendah. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa nilai butir darah putih (leukosit) burung merpati jantan dan betina sebelum dilatih terbang berbeda (P<0,05). Dari hasil penelitian Mitruka dan Rawnsley (1977) dan Sturkie (1965) pun berbeda nilai leukosit yang diperoleh dari merpati dan jenis unggas lainnya, hasilnya tidak mempunyai nilai yang tinggi. Archawaranon (2005) menyatakan bahwa leukosit yang tinggi kemungkinan memiliki resiko terserang penyakit yang lebih tinggi. Pada beo Thailand betina mempunyai leukosit yang tinggi dibandingkan beo jantan (Archawaranon, 2005) seperti halnya ditemui pada ayam (Lucas dan Jamroz, 1961) dan burung puyuh (Nirmalan dan Robinson, 1972). Rataan yang diperoleh dari penelitian ini menunjukan nilai butir darah putih lebih tinggi betina dibandingkan dengan jantan. Hal tersebut disebabkan adanya pengaruh jenis kelamin seperti pernyataaan (Brown 1989; Sturkie 1976) bahwa leukosit yang berfungsi sebagai unit mobil dari sistem pertahanan tubuh, umumnya dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, pengaruh berbagai keadaan, seperti stress, aktivitas fisiologi yang tinggi, gizi, dan berbagai faktor lainnya seperti lingkungan, efek hormon, obat-obatan, dan sinar x. Selain itu pemberian estrogen akan meningkatkan leukosit pada burung-burung puyuh jantan (Nirmalan dan Robinson, 1972). Burung muda memiliki leukosit yang lebih tinggi daripada dewasa. Sel darah putih atau leukosit sangat berbeda dari eritrosit, karena adanya nukleus dan memiliki kemampuan gerak yang independen. Masa hidup sel-sel darah putih sangat bervariasi, mulai dari beberapa jam untuk granulosit, sampai bulanan untuk monosit, dan bahkan tahunan untuk limfosit. Di dalam aliran darah kebanyakan sel-sel darah putih bersifat non fungsional dan hanya diangkut ke jaringan tertentu saat dibutuhkan (Fradson,1992). 26
11 Tabel 4 juga menunjukkan bahwa rataan dan simpangan baku butir darah putih (leukosit) antara burung merpati jantan dan betina sesudah dilatih terbang diperoleh hasil nilai jantan berkisar 4,344 x10 3 /mm 3 ± 2,038 x10 3 /mm 3 (KK=46,9%) a sedangkan pada burung merpati betina 5,937x10 3 /mm 3 ± 3,310) x10 3 /mm 3 (KK=55,7%) b. Ini menunjukkan bahwa nilai darah putih (leukosit) betina burung merpati jantan dan betina sebelum dilatih terbang berbeda (P<0,05). Apabila dibandingkan dengan penelitian lain Mitruka dan Rawnsley (1977) dan Sturkie (1986) pada penelitian ini mempunyai nilai yang rendah seperti halnya nilai butir darah putih sebelum dilatih terbang. Tabel 4 menunjukkan bahwa rataan dan simpangan baku butir darah putih (leukosit) burung merpati jantan sebelum dilatih terbang masing-masing adalah diperoleh hasil nilai berkisar 6,62 x10 3 /mm 3 ± 4,35 x10 3 /mm 3 (KK=65,7%) sedangkan pada burung jantan yang sudah dilatih terbang diperoleh hasil 4,344 x10 3 /mm 3 ± 2,038 x10 3 /mm 3 (KK=46,9%). Apabila dibandingkan dengan penelitian lain Mitruka dan Rawnsley (1977) dan Sturkie (1986) pada penelitian ini mempunyai nilai yang rendah seperti halnya nilai butir darah merah sebelum dilatih terbang. Ini menunjukan bahwa nilai darah putih (leukosit) betina burung merpati jantan sebelum dilatih terbang tidak berbeda. Nilai butir darah putih yang dihasilkan dari penelitian ini diperoleh nilai burung merpati jantan sebelum dilatih terbang lebih tinggi dibandingkan sesudah terbang, pada saat terbang butir darah putih normal yang mempengaruhi vitalitas saat malakukan aktifitas terbang (sehat). Sturkie (1986) menyatakan bahwa leukosit yang tinggi kemungkinan memiliki resiko penyakit yang lebih tinggi. Tabel 4 juga menunjukkan bahwa rataan dan simpangan baku butir darah putih (leukosit) burung merpati betina sebelum dilatih terbang masing-masing adalah 9,62 x10 3 /mm 3 ± 4,95 x 10 3 /mm 3 (KK=51,4%) b 5,937 x 10 3 /mm 3 ± 3,310 x 10 3 /mm 3 (KK=55,7%). Apabila dibandingkan dengan penelitian Mitruka Mitruka dan Rawnsley (1977) dan Sturkie (1986), maka butir darah putih pada penelitian ini mempunyai nilai yang lebih rendah seperti halnya nilai butir darah merah sebelum dilatih terbang. Ini menunjukkan bahwa nilai darah putih (leukosit) burung merpati betina sebelum dan sesudah dilatih terbang tidak berbeda. 27
12 Koefisien keragaman yang diperoleh dari hasil penelitian ini beragam baik jantan maupun betina sebelum dilatih terbang. Hal ini masih bisa dilakukan seleksi. Nilai koefisien keragaman yang diperoleh jantan adalah 65,7% dan pada betina yaitu 51,4%. Nilai koefisien keragaman jantan cenderung lebih tinggi dibandingkan betina. Koefisien keragaman yang diperoleh dari hasil penelitian ini beragam baik jantan maupun betina sesudah dilatih terbang. Berarti masih bisa dilakukan seleksi. Nilai koefisien keragaman yang diperoleh pada jantan yaitu 46,9% sedangkan pada betina sebesar 55,7%. Berarti nilai koefisien keragaman betina lebih tinggi dibandingkan dengan jantan. Koefisien keragaman yang diperoleh dari hasil penelitian ini beragam baik jantan maupun jantan sesudah dilatih terbang. Berarti masih bisa dilakukan seleksi. Nilai koefisien keragaman yang diperoleh pada jantan diperoleh nilai sebesar 65,7% sedangkan pada betina yaitu 46,9%. Nilai koefisien keragaman jantan lebih tinggi dibandingkan betina. Koefisien keragaman yang diperoleh dari hasil penelitian ini beragam betina sebelum dilatih terbang, berarti hal ini masih bisa dilakukan seleksi. Nilai koefisien keragaman betina sebelum dilatih terbang adalah sebesar 51,4% sedangkan betina yang sesudah dilatih terbang yaitu 55,7%. Nilai koefisien keragaman betina sesudah dilatih terbang lebih tinggi dibandingkan sebelum dilatih terbang. Pada penelitian ini masih ada keragaman nilai butir darah putih pada burung merpati yang dilatih terbang. Sebaiknya dipilih burung merpati yang memiliki nilai butir darah putih yang jumlahnya memenuhi untuk dilatih terbang. Bobot Badan Bobot badan merpati jantan dan merpati betina dalam penelitian ini sangat nyata (P<0,05). Rataan bobot badan merpati jantan sebelum dan sesudah dilatih terbang masing-masing 339,8 ± 25,49 serta g 334,8 ± 23,74 g. Rataan bobot badan merpati betina sebelum dan sesudah dilatih terbang masing-masing adalah 303,1 ± 36,10 g selanjutnya rataan bobot badan merpati betina sesudah dilatih terbang yaitu 305,7 ± 32,34 g. Bobot badan merpati jantan sebelum dilatih terbang memiliki koefisien keragaman sebesar 7,50% selanjutnya koefisien keragaman bobot badan merpati jantan sesudah dilatih terbang sebesar 7,09%. Bobot badan merpati betina sebelum 28
13 dilatih terbang memiliki koefisien keragaman sebesar 11,91% selanjutnya koefisien keragaman bobot badan merpati betina sesudah dilatih terbang sebesar 10,58%, hal tersebut menunjukkan bahwa bobot badan merpati betina lebih beragam dibandingkan dengan merpati jantan. Merpati jantan memiliki rataan bobot badan lebih besar dibandingkan merpati betina, namun dalam penelitian ini ditemukan merpati jantan yang memiliki bobot badan yang lebih rendah dibandingkan bobot badan merpati betina. Bobot badan merpati jantan terendah dalam penelitian ini yaitu 280 g, sedangkan bobot badan merpati betina tertinggi yaitu 360 g. Perbedaan bobot badan ini menunjukkan bahwa bobot badan merpati lokal masih beragam. Konsumsi Pakan Merpati merupakan jenis unggas yang menyukai makanan berupa biji-bijian, seperti jagung yang dijadikan pakan dalam penelitian ini. Rataan konsumsi pakan jagung dalam penelitian ini yaitu 38,69 ± 8,91 g/pasang/hari dengan koefisien keragaman 23,03%, hal tersebut menunjukkan konsumsi pakan merpati pada penelitian ini masih beragam, karena konsumsi pakan tertinggi dalam penelitian ini yaitu 61,43 g/pasang/hari dan konsumsi pakan terendah yaitu 25,29 g/pasang/hari. Pakan yang dikonsumsi tergantung dari bangsa merpati, cuaca, nafsu makan, besar badan, serta jumlah dan besar anak (Blakely dan Bade, 1998). 29
PROFIL DARAH BURUNG MERPATI (Columba livia) YANG DILATIH TERBANG SKRIPSI WELI TRIS SETIAWAN
PROFIL DARAH BURUNG MERPATI (Columba livia) YANG DILATIH TERBANG SKRIPSI WELI TRIS SETIAWAN DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012 RINGKASAN
Lebih terperinciMATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu
MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai Juli 2012. Pemeliharaan burung merpati dilakukan di Sinar Sari, Dramaga, Bogor, Jawa Barat. Pengamatan profil darah
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
17 HASIL DAN PEMBAHASAN Eritrosit, Hemoglobin, Hematokrit dan Indeks Eritrosit Jumlah eritrosit dalam darah dipengaruhi jumlah darah pada saat fetus, perbedaan umur, perbedaan jenis kelamin, pengaruh parturisi
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA Burung Merpati
TINJAUAN PUSTAKA Burung Merpati Burung merpati mencakup sekitar 255 spesies dengan penyebaran yang hampir meliputi seluruh dunia. Kecuali di kutub dan beberapa kepulauan samudera. Bulunya yang khas berwarna
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan Terhadap Jumlah Sel Darah Merah. dapat digunakan untuk menilai kondisi kesehatan ternak.
IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Perlakuan Terhadap Jumlah Sel Darah Merah Sel darah merah berperan membawa oksigen dalam sirkulasi darah untuk dibawa menuju sel dan jaringan. Jumlah sel darah merah
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
16 HASIL DAN PEMBAHASAN Jumlah Eritrosit (Sel Darah Merah) Profil parameter eritrosit yang meliputi jumlah eritrosit, konsentrasi hemoglobin, dan nilai hematokrit kucing kampung (Felis domestica) ditampilkan
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. diberi Fructooligosaccharide (FOS) pada level berbeda dapat dilihat pada Tabel 5.
50 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kadar Hemoglobin Itik Cihateup Data hasil pengamatan kadar hemoglobin itik cihateup fase grower yang diberi Fructooligosaccharide (FOS) pada level berbeda dapat dilihat
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Broiler adalah ayam yang memiliki karakteristik ekonomis, memiliki
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Broiler adalah ayam yang memiliki karakteristik ekonomis, memiliki pertumbuhan cepat sebagai penghasil daging, konversi pakan sangat irit, siap dipotong pada
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Sel Darah Merah Jumlah sel darah merah yang didapatkan dalam penelitian ini sangat beragam antarkelompok perlakuan meskipun tidak berbeda nyata secara statistik. Pola kenaikan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. unggas air yang cocok untuk dikembangbiakkan di Indonesia. Sistem
3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Itik Peking Itik Peking merupakan itik tipe pedaging yang termasuk dalam kategori unggas air yang cocok untuk dikembangbiakkan di Indonesia. Sistem pemeliharaan itik Peking
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Burung Merpati Balap Tinggian Karakteristik dari burung merpati balap tinggian sangat menentukan kecepatan terbangnya. Bentuk badan mempengaruhi hambatan angin, warna
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. ternak. Darah terdiri dari dua komponen berupa plasma darah dan bagian padat yang
26 IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi fisiologis ternak dapat diketahui melalui pengamatan nilai hematologi ternak. Darah terdiri dari dua komponen berupa plasma darah dan bagian padat yang mengandung butir-butir
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4. 1. Sel Darah Merah Pemeriksaan darah dilakukan selama tiga puluh hari dari awal kebuntingan, yaitu hari ke-1, 3, 6, 9, 12, 15, dan 30. Pemilihan waktu pemeriksaan dilakukan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. atau ayam yang kemampuan produksi telurnya tinggi. Karakteristik ayam petelur
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Ayam petelur adalah ayam yang mempunyai sifat unggul dalam produksi telur atau ayam yang kemampuan produksi telurnya tinggi. Karakteristik ayam petelur yaitu
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL DAN PEMBAHASAN Bobot Floss Floss merupakan bagian kokon yang berfungsi sebagai penyangga atau kerangka kokon. Pada saat akan mengokon, ulat sutera akan mencari tempat lalu menetap di tempat tersebut
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Permintaan masyarakat terhadap sumber protein hewani seperti daging, susu, dan
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Permintaan masyarakat terhadap sumber protein hewani seperti daging, susu, dan telur terus meningkat sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk. Untuk memenuhi
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kadar Hematokrit Ikan Hematokrit adalah persentase sel darah merah dalam darah, bila kadar hematokrit 40% berarti dalam darah tersebut terdiri dari 40% sel darah merah dan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang jumlah penduduknya terus
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Indonesia merupakan salah satu negara yang jumlah penduduknya terus mengalami peningkatan sehingga permintaan akan ketersediaan makanan yang memiliki nilai
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kualitas Air Kualitas hidup ikan akan sangat bergantung dari keadaan lingkunganya. Kualitas air yang baik dapat menunjang pertumbuhan, perkembangan, dan kelangsungan hidup
Lebih terperinciPENDAHULUAN. puyuh (Cortunix cortunix japonica). Produk yang berasal dari puyuh bermanfaat
1 I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Komoditi unggas yang telah lama berkembang di Indonesia salah satunya ialah puyuh (Cortunix cortunix japonica). Produk yang berasal dari puyuh bermanfaat sebagai sumber
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL DAN PEMBAHASAN KARAKTERISTIK PRODUKTIVITAS Bobot Badan dan Pertambahan Bobot Badan Pertumbuhan itik Cihateup yang terjadi akibat perubahan bentuk dan komposisi tubuh dapat diketahui dengan melakukan
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran darah berupa jumlah eritrosit, konsentrasi hemoglobin, dan nilai hematokrit sapi perah FH umur satu sampai dua belas bulan ditampilkan pada Tabel 3. Tabel 3 Gambaran Eritrosit
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL DAN PEMBAHASAN Suhu dan Kelembaban Lokasi Penelitian Suhu dan kelembaban lokasi penelitian diamati tiga kali dalam sehari yaitu pagi, siang dan sore hari. Rataan suhu dan kelembaban pada lokasi penelitian
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Obat adalah zat yang digunakan untuk terapi, mengurangi rasa nyeri, serta
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Obat adalah zat yang digunakan untuk terapi, mengurangi rasa nyeri, serta mengobati dan mencegah penyakit pada manusia maupun hewan (Koga, 2010). Pada saat ini banyak
Lebih terperinciI PENDAHULUAN. tidak dapat terbang tinggi, ukuran relatif kecil berkaki pendek.
I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Burung puyuh (Coturnix coturnix japonica) merupakan jenis burung yang tidak dapat terbang tinggi, ukuran relatif kecil berkaki pendek. Burung ini merupakan burung liar
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, diperoleh rata-rata jumlah
23 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, diperoleh rata-rata jumlah eritrosit, kadar hemoglobin, persentase hematokrit, MCV, MCH dan MCHC ayam broiler dengan perlakuan
Lebih terperinciIV. HASIL DAN PEMBAHASAN
22 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Sel Darah Merah Hasil penghitungan jumlah sel darah merah setiap bulan selama lima bulan dari setiap kelompok perlakuan memberikan gambaran nilai yang berbeda seperti terlihat
Lebih terperinciTabel 1 Nilai (rataan ± SD) PBBH, FEC, dan gambaran darah domba selama masa infeksi Parameter Amatan Domba
3 Diferensiasi SDP dilakukan berbasis preparat ulas darah total. Darah diulas di preparat kemudian difiksasi dengan metanol selama 2 menit. Preparat ulas darah diwarnai menggunakan pewarna giemsa selama
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Pakan
HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Pakan Konsumsi merupakan jumlah makanan yang dimakan oleh ternak, zat makanan yang dikandungnya akan digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup pokok dan untuk produksi hewan
Lebih terperinciIV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Total Protein Darah Ayam Sentul
IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Total Protein Darah Ayam Sentul Pengaruh tingkat energi protein dalam ransum terhadap total protein darah ayam Sentul dapat dilihat pada Tabel 6.
Lebih terperinciPEMBAHASAN UMUM Evolusi Molekuler dan Spesiasi
PEMBAHASAN UMUM Evolusi Molekuler dan Spesiasi Taksonomi atau sistematik adalah hal yang penting dalam klasifikasi organisme dan meliputi beberapa prosedur seperti identifikasi dan penamaan. Sekarang dikenal
Lebih terperinciPENDAHULUAN. terbang tinggi, ukuran relatif kecil dan berkaki pendek. Puyuh merupakan burung liar
I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Puyuh (Coturnix coturnix japonica) merupakan jenis burung yang tidak dapat terbang tinggi, ukuran relatif kecil dan berkaki pendek. Puyuh merupakan burung liar yang pertama
Lebih terperinciIV HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi ransum merupakan jumlah ransum yang dikonsumsi dalam
IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Konsumsi ransum Konsumsi ransum merupakan jumlah ransum yang dikonsumsi dalam jangka waktu tertentu. Ransum yang dikonsumsi oleh ternak digunakan untuk memenuhi kebutuhan energi
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. Darah merupakan media transportasi yang membawa nutrisi dari saluran
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Gambaran Darah Darah merupakan media transportasi yang membawa nutrisi dari saluran pencernaan ke jaringan tubuh, membawa kembali produk sisa metabolisme sel ke organ eksternal,
Lebih terperinciIII BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Ayam petelur fase layer yang digunakan untuk penelitian dipelihara di CV.
III BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3.1 Objek Penelitian 3.1.1 Ternak Percobaan Ayam petelur fase layer yang digunakan untuk penelitian dipelihara di CV. Acum Jaya Abadi dengan jumlah objek penelitian sebanyak
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. tahun seiring meningkatnya pendapatan dan kesadaran masyarakat akan
BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Kebutuhan protein hewani mengalami peningkatan dari tahun ke tahun seiring meningkatnya pendapatan dan kesadaran masyarakat akan pentingnya gizi bagi kesehatan. Salah satu
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang jumlah penduduknya terus
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Indonesia merupakan salah satu negara yang jumlah penduduknya terus mengalami peningkatan sehingga permintaan makanan yang memiliki nilai gizi baik akan meningkat.
Lebih terperinciPENDAHULUAN. Tingkat keperluan terhadap hasil produksi dan permintaan masyarakat berupa daging
I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ayam lokal saat ini menjadi salah satu bahan pangan yang digemari masyarakat luas untuk dikonsumsi baik dalam bentuk telur maupun dagingnya. Tingkat keperluan terhadap
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. Burung puyuh dalam istilah asing disebut quail yang merupakan bangsa
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Umum Burung Puyuh Burung puyuh dalam istilah asing disebut quail yang merupakan bangsa burung liar yang mengalami proses domestikasi. Ciri khas yang membedakan burung
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum Lokasi Penelitian
HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Penelitian Faktor manajemen lingkungan juga berpengaruh terhadap pertumbuhan ternak. Suhu dan kelembaban yang sesuai dengan kondisi fisiologis ternak akan membuat
Lebih terperinciHAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG
V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Jumlah Leukosit Data perhitungan terhadap jumlah leukosit pada tikus yang diberikan dari perlakuan dapat dilihat pada Lampiran 6. Rata-rata leukosit pada tikus dari perlakuan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. lain. Salah satu fungsi darah adalah sebagai media transport didalam tubuh, volume darah
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Darah merupakan organ khusus yang berbentuk cair yang berbeda dengan organ lain. Salah satu fungsi darah adalah sebagai media transport didalam tubuh, volume darah
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gathot Gathot merupakan hasil fermentasi secara alami pada ketela pohon. Ketela pohon tersebut memerlukan suasana lembab untuk ditumbuhi jamur secara alami. Secara umum,
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Ransum Terhadap Bobot Potong Ayam dan Lemak Abdominal Persentase lemak abdominal ayam perlakuan cenderung didapatkan hasil yang lebih rendah dibandingkan ayam pembanding.
Lebih terperinciBAB 1V HASIL DAN PEMBAHASAN. Rataan kecernaan protein ransum puyuh yang mengandung tepung daun lamtoro dapat dilihat pada Tabel 7.
22 A. Kecernaan Protein Burung Puyuh BAB 1V HASIL DAN PEMBAHASAN Rataan kecernaan protein ransum puyuh yang mengandung tepung daun lamtoro dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Rataan Nilai Kecernaan Protein
Lebih terperinciBAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Antibodi pada Mukus Ikan. Data tentang antibodi dalam mukus yang terdapat di permukaan tubuh
21 BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Antibodi pada Mukus Ikan Data tentang antibodi dalam mukus yang terdapat di permukaan tubuh tidak dapat disajikan pada laporan ini karena sampai saat ini masih dilakukan
Lebih terperinciMATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Ternak Peralatan Prosedur
MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Peternakan Domba Indocement Citeureup, Bogor selama 10 minggu. Penelitian dilakukan pada awal bulan Agustus sampai pertengahan bulan Oktober
Lebih terperinciPeningkatan jumlah penduduk diikuti dengan meningkatnya kebutuhan akan. bahan pangan yang tidak lepas dari konsumsi masyarakat sehari-hari.
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Peningkatan jumlah penduduk diikuti dengan meningkatnya kebutuhan akan bahan pangan yang tidak lepas dari konsumsi masyarakat sehari-hari. Hal ini berdampak
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL DAN PEMBAHASAN Hematologi Hasil pemeriksaan hematologi disajikan dalam bentuk rataan±simpangan baku (Tabel 1). Hasil pemeriksaan hematologi individual (Tabel 5) dapat dilihat pada lampiran dan dibandingkan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. semua bagian dari tubuh rusa dapat dimanfaatkan, antara lain daging, ranggah dan
4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rusa Timor (Rusa timorensis) Rusa Timor (Rusa timorensis) merupakan salah satu contoh rusa yang ada di Indonesia yang memiliki potensi cukup baik untuk dikembangkan. Hampir
Lebih terperinciKAJIAN KEPUSTAKAAN. tubuhnya relatif kecil dan berkaki pendek. Puyuh merupakan burung liar yang
II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Burung Puyuh Puyuh merupakan jenis burung yang tidak dapat terbang tinggi, ukuran tubuhnya relatif kecil dan berkaki pendek. Puyuh merupakan burung liar yang pertama kali diternakkan
Lebih terperinciBAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Data hasil perhitungan jumlah sel darah merah, kadar hemoglobin, nilai hematokrit, MCV, MCH, dan MCHC pada kerbau lumpur betina yang diperoleh dari rata-rata empat kerbau setiap
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Salah satu masalah yang dihadapi di negara berkembang dalam. meningkatkan kualitas sumber daya manusianya adalah pada pemenuhan
BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Salah satu masalah yang dihadapi di negara berkembang dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusianya adalah pada pemenuhan kebutuhan gizi masyarakat terutama kebutuhan
Lebih terperinciIV HASIL DAN PEMBAHASAN
IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Bobot Potong Ayam Kampung Unggul Balitnak (KUB) umur 60 hari Bobot potong merupakan hasil identifikasi yang paling sederhana untuk mengukur pertumbuhan yakni dengan cara menimbang
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
28 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pengaruh Tingkat Energi Protein Ransum Berbeda Terhadap Total Protein Darah Ayam KUB Rataan total protein darah ayam kampung unggul Balitbangnak (KUB) pada penelitian ini
Lebih terperinciGambar 6. Pemberian Obat Pada Domba Sumber : Dokumentasi Penelitian
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian Secara umum penelitian ini dapat berjalan dengan baik. Meskipun demikian terdapat hambatan-hambatan dalam pelaksanaannya, diantaranya adalah kesulitan mendapatkan
Lebih terperinciIV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Derajat Kelangsungan Hidup (SR) Perlakuan Perendaman (%)
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Hasil yang diperoleh pada penelitian ini meliputi persentase jenis kelamin jantan rata-rata, derajat kelangsungan hidup (SR) rata-rata setelah perlakuan perendaman dan
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
21 HASIL DAN PEMBAHASAN Kemampuan Makan Bondol Peking dan Bondol Jawa Pengujian Individu terhadap Konsumsi Gabah Bobot tubuh dan konsumsi bondol peking dan bondol jawa terhadap gabah dapat dilihat pada
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ayam Kedu merupakan jenis ayam kampung yang banyak dikembangkan di
4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Profil Ayam Kedu dan Status Nutrisi Ayam Kedu merupakan jenis ayam kampung yang banyak dikembangkan di Kabupaten Temanggung. Ayam Kedu merupakan ayam lokal Indonesia yang
Lebih terperinciPENGARUH DEHIDRASI DENGAN PEMBERIAN BISACODYL TERHADAP GAMBARAN HEMATOKRIT TIKUS PUTIH JANTAN (Rattus norvegicus)
PENGARUH DEHIDRASI DENGAN PEMBERIAN BISACODYL TERHADAP GAMBARAN HEMATOKRIT TIKUS PUTIH JANTAN (Rattus norvegicus) DANI WANGSIT NARENDRA FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007 ABSTRAK DANI
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. Kandungan Kolesterol Daging, Hati dan Telur Puyuh
HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan Kolesterol Daging, Hati dan Telur Puyuh Analisis terhadap kandungan kolesterol daging, hati dan telur dilakukan saat puyuh berumur 14 minggu, diperlihatkan pada Tabel 5 dan
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA Merpati Karakteristik Merpati )
TINJAUAN PUSTAKA Merpati Menurut Yonathan (2003), penyebaran merpati hampir merata di seluruh bagian bumi kecuali di daerah kutub. Merpati lokal di Indonesia merupakan burung merpati yang asal penyebarannya
Lebih terperinciI PENDAHULUAN. Aman, dan Halal. [20 Pebruari 2009]
I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia adalah negara agraris dengan kondisi daratan yang subur dan iklim yang menguntungkan. Pertanian menjadi sumber mata pencaharian sebagian penduduk dan berkontribusi
Lebih terperinci114 Warna dasar, pola bulu dan corak bulu burung merpati balap sama dengan burung merpati lokal, kecuali warna dasar putih tidak ditemukan pada balap
113 BAHASAN UMUM Gen yang mempengaruhi ekspresi sifat kualitatif terdapat pada kromosom otosom (kromsom Z), sehingga ekspresi pada kedua jenis kelamin sama, kecuali warna bulu adapula yang terpaut seks.
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. lebih dikenal dengan istilah back to nature (Sari, 2006). Namun demikian,
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masyarakat telah lama memanfaatkan sumberdaya alam terutama tanaman atau tumbuhan yang ada di sekitarnya untuk obat tradisional maupun tujuan lainnya (Sutarjadi, 1992;
Lebih terperinciKAJIAN KEPUSTAKAAN. Coturnix coturnix japonica yang mendapat perhatian dari para ahli. Menurut
II KAJIAN KEPUSTAKAAN 1.1 Puyuh Jepang dan Klasifikasinya Burung puyuh liar banyak terdapat di dunia, nampaknya hanya baru Coturnix coturnix japonica yang mendapat perhatian dari para ahli. Menurut Nugroho
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sel darah merah atau eritrosit merupakan sel yang paling sederhana yang ada di dalam tubuh. Eritrosit tidak memiliki nukleus dan merupakan sel terbanyak dalam darah.
Lebih terperinciKAJIAN KEPUSTAKAAN. kebutuhan konsumsi bagi manusia. Sapi Friesien Holstein (FH) berasal dari
II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Karakteristik Sapi perah Sapi perah (Bos sp.) merupakan ternak penghasil susu yang sangat dominan dibanding ternak perah lainnya dan sangat besar kontribusinya dalam memenuhi
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Pakan, Bobot Badan dan Mortalitas Puyuh
HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Pakan, Bobot Badan dan Mortalitas Puyuh Puyuh yang digunakan dalam penilitian ini adalah Coturnix-coturnix japonica betina periode bertelur. Konsumsi pakan per hari, bobot
Lebih terperinciPROFIL DARAH AYAM PEDAGING YANG DIBERI PAKAN TAMBAHAN TEPUNG KEMANGI(OcimumbasilicumLinn.) DALAM RANSUM KOMERSIAL
SKRIPSI PROFIL DARAH AYAM PEDAGING YANG DIBERI PAKAN TAMBAHAN TEPUNG KEMANGI(OcimumbasilicumLinn.) DALAM RANSUM KOMERSIAL OLEH : PIRDAUS 11081102938 PROGRAMSTUDI PETERNAKAN FAKULTAS PERTANIAN DAN PETERNAKAN
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Usaha peternakan broiler merupakan suatu alternatif dalam menjawab tantangan
1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Usaha peternakan broiler merupakan suatu alternatif dalam menjawab tantangan untuk mencukupi kebutuhan masyarakat terhadap protein hewani, karena broiler
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. telur sehingga produktivitas telurnya melebihi dari produktivitas ayam lainnya.
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Deskripsi Ayam Ras petelur Ayam ras petelur merupakan tipe ayam yang secara khusus menghasilkan telur sehingga produktivitas telurnya melebihi dari produktivitas ayam lainnya.
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 17. Kandang Pemeliharaan A. atlas
HASIL DAN PEMBAHASAN Suhu dan Kelembaban Ruangan Rata-rata suhu dan kelembaban ruangan selama penelitian pada pagi hari 22,4 0 C dan 78,6%, siang hari 27,4 0 C dan 55%, sore hari 25 0 C dan 75%. Hasil
Lebih terperinciPENDAHULUAN Latar Belakang
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Obesitas atau kegemukan merupakan kondisi kelebihan bobot badan akibat penimbunan lemak yang melebihi 20% pada pria dan 25% pada wanita dari bobot badan normal. Kondisi tersebut
Lebih terperinciI. JUDUL Prospek Budidaya Burung Puyuh
I. JUDUL Prospek Budidaya Burung Puyuh II. ABSTRAKS Persaingan dunia bisnis semakin merajalela, mulai dari sektor peternakan, material, bahkan hingga teknologi. Indonesia adalah salah satu negara yang
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. dalam jangka waktu tertentu. Tingkat konsumsi pakan dipengaruhi oleh tingkat
IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Konsumsi Pakan Konsumsi pakan puyuh adalah jumlah ransum yang dikonsumsi oleh puyuh dalam jangka waktu tertentu. Tingkat konsumsi pakan dipengaruhi oleh tingkat energi dan palabilitas
Lebih terperinciPENGARUH PENAMBAHAN CAIRAN AMNION DALAM AIR MINUM TERHADAP PROFIL HEMATOLOGIS AYAM BROILER UMUR 28 HARI SKRIPSI. Oleh: SETYO INGGARIS AMIEN RAIS
PENGARUH PENAMBAHAN CAIRAN AMNION DALAM AIR MINUM TERHADAP PROFIL HEMATOLOGIS AYAM BROILER UMUR 28 HARI SKRIPSI Oleh: SETYO INGGARIS AMIEN RAIS PROGRAM STUDI S1 PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN DAN PERTANIAN
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. Daging broiler diperoleh, dipasarkan atau dikonsumsi dalam waktu yang relatif
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Broiler Broiler adalah ternak yang paling ekonomis dibandingkan dengan ternak lain. Daging broiler diperoleh, dipasarkan atau dikonsumsi dalam waktu yang relatif singkat (Murtidjo,
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. sangat berpengaruh terhadap kehidupan ayam. Ayam merupakan ternak
22 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Lingkungan Mikro Suhu dan kelembaban udara merupakan suatu unsur lingkungan mikro yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan ayam. Ayam merupakan ternak homeothermic,
Lebih terperinciI PENDAHULUAN. yang bisa menyesuaikan tubuh dengan lingkungannya. Karena itik termasuk ke
1 I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Itik adalah golongan unggas air dan itik merupakan hewan homoiterm yang bisa menyesuaikan tubuh dengan lingkungannya. Karena itik termasuk ke dalam hewan berdarah panas,
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. masamo (Clarias gariepinus >< C. macrocephalus) merupakan lele varian baru.
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lele merupakan salah satu jenis ikan unggulan budidaya ikan air tawar. Lele masamo (Clarias gariepinus >< C. macrocephalus) merupakan lele varian baru. Lele masamo diperoleh
Lebih terperinciIII. METODE 3.1. Waktu dan Tempat 3.2. Alat dan Bahan 3.3. Tahap Persiapan Hewan Percobaan Aklimatisasi Domba
17 III. METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan selama delapan bulan yang dimulai pada bulan Mei sampai dengan bulan Desember 2010. Penelitian dilakukan di kandang Mitra Maju yang beralamat
Lebih terperinciKAJIAN KEPUSTAKAAN. beriklim kering. Umumnya tumbuh liar di tempat terbuka pada tanah berpasir yang
II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Tanaman Kecubung Kecubung termasuk tumbuhan perdu yang tersebar luas di daerah yang beriklim kering. Umumnya tumbuh liar di tempat terbuka pada tanah berpasir yang tidak begitu
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 4. Rataan, Simpangan Baku dan Koefisien Keragaman pada Domba Ekor Gemuk dan Domba Ekor Tipis pada Kelompok Umur I 0.
HASIL DAN PEMBAHASAN Ukuran-ukuran Tubuh pada Domba Ekor Gemuk dan Domba Ekor Tipis Penggunaan ukuran-ukuran tubuh dilakukan berdasarkan ukuran yang umum pada ternak, yaitu sifat kuantitatif untuk dapat
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. dengan kaidah-kaidah dalam standar peternakan organik. Pemeliharaan
21 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pemeliharaan Semiorganik Pemeliharaan hewan ternak untuk produksi pangan organik merupakan bagian yang sangat penting dari unit usaha tani organik dan harus dikelola sesuai
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. progresif. Proses ini dikenal dengan nama menua atau penuaan (aging). Ada
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring bertambahnya usia, daya fungsi makhluk hidup akan menurun secara progresif. Proses ini dikenal dengan nama menua atau penuaan (aging). Ada beberapa faktor yang
Lebih terperinciBAB III MATERI DAN METODE. Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2015 di kandang peternak di
14 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2015 di kandang peternak di Desa Kedu Temanggung dan pada bulan April 2016 di kandang unggas Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. Daging broiler diperoleh, dipasarkan atau dikonsumsi dalam waktu yang relatif
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Broiler Broiler adalah ternak yang paling ekonomis dibandingkan dengan ternak lain. Daging broiler diperoleh, dipasarkan atau dikonsumsi dalam waktu yang relatif singkat (Murtidjo,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Semakin tingginya tingkat pendidikan, kesejahteraan masyarakat, dan
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Semakin tingginya tingkat pendidikan, kesejahteraan masyarakat, dan meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap pelayanan kesehatan di era globalisasi menuntut penyedia
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. masyarakat menyebabkan konsumsi protein hewani pun meningkat setiap
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Peningkatan jumlah penduduk serta semakin meningkatnya pengetahuan masyarakat menyebabkan konsumsi protein hewani pun meningkat setiap tahunnya. Konsumsi protein
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
13 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Gambar 1 menunjukkan adanya penambahan bobot rata-rata pada ikan uji. Penambahan bobot akhir rata-rata dari bobot awal rata-rata pada perlakuan pakan RUSNAS sebesar
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Konsumsi Ransum. Tabel 8. Rataan Konsumsi Ransum Per Ekor Puyuh Selama Penelitian
26 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Konsumsi Ransum Konsumsi ransum adalah banyaknya ransum yang dikonsumsi oleh setiap ekor puyuh selama penelitian. Rataan konsumsi ransum per ekor
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Domba Ekor Gemuk yang secara turun-temurun dikembangkan masyarakat di
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Domba Wonosobo Domba Wonosobo merupakan domba hasil persilangan antara domba Texel yang didatangkan pada tahun 1957 dengan Domba Ekor Tipis dan atau Domba Ekor Gemuk yang secara
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Zat Makanan Berdasarkan analisis statistik, konsumsi bahan kering nyata dipengaruhi oleh jenis ransum, tetapi tidak dipengaruhi oleh jenis domba dan interaksi antara kedua
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Boer berasal dari Afrika Selatan, yang merupakan hasil persilangan
3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kambing Boer Jawa (Borja) Kambing Boer berasal dari Afrika Selatan, yang merupakan hasil persilangan antara kambing Afrika lokal tipe kaki panjang dengan kambing yang berasal
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
11 Adaptasi (kelompok AP,AIS,AIP) H H + 2 H - 14 Pengambilan darah simpan (kelompok AP) pre post Perdarahan 30% via splenektomi + autotransfusi (kelompok AP,AIS,AIP) H + 7 Panen (kelompok AP,AIS,AIP) Gambar
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. manusia. Kekurangan gizi akan menyebabkan gagalnya pertumbuhan,
A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Gizi seimbang merupakan salah satu penentu kualitas sumber daya manusia. Kekurangan gizi akan menyebabkan gagalnya pertumbuhan, perkembangan, menurunkan produktifitas
Lebih terperinciIII. HASIL DAN PEMBAHASAN
III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Panjang Baku Gambar 1. menunjukkan bahwa setelah dilakukan penyortiran pada bulan pertama terjadi peningkatan rata-rata panjang baku untuk seluruh kasus dan juga kumulatif.
Lebih terperinciPENDAHULUAN. komoditas utamanya adalah telur. Jenis puyuh peteur ini mayoritas diternakan di
I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Puyuh Jepang (Cortunix-cortunix japonica) merupakan unggas kecil yang komoditas utamanya adalah telur. Jenis puyuh peteur ini mayoritas diternakan di Indonesia untuk produksi
Lebih terperinciEfektifitas Berbagai Probiotik Kemasan Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Burung Puyuh (Coturnix coturnix japonica)
Efektifitas Berbagai Probiotik Kemasan Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Burung Puyuh (Coturnix coturnix japonica) Effectiveness of Various Probiotics Product on the Growth and Production of Quail (Coturnix
Lebih terperinci