Tabel 1. Realisasi Pembangkitan Listrik Bersumber EBT per Kuartal III 2018

dokumen-dokumen yang mirip
POTENSI BISNIS ENERGI BARU TERBARUKAN

KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL DIREKTORAT JENDERAL ENERGI BARU TERBARUKAN DAN KONSERVASI ENERGI

Ringkasan Eksekutif INDONESIA ENERGY OUTLOOK 2009

Materi Paparan Menteri ESDM Strategi dan Implementasi Program MW: Progres dan Tantangannya

IMPLEMENTASI PENGEMBANGAN PEMBANGKIT LISTRIK PANAS BUMI BERDASARKAN UU NO. 21 TAHUN 2014 TENTANG PANAS BUMI SEBAGAI PILIHAN TEKNOKRATIK

KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL DIREKTORAT JENDERAL ENERGI BARU TERBARUKAN DAN KONSERVASI ENERGI

Pulau Ikonis Energi Terbarukan sebagai Pulau Percontohan Mandiri Energi Terbarukan di Indonesia

DEWAN ENERGI NASIONAL OUTLOOK ENERGI INDONESIA 2014

PERCEPATAN PENGEMBANGAN EBTKE DALAM RANGKA MENOPANG KEDAULATAN ENERGI NASIONAL

PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR SEKTOR ESDM

KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENGEMBANGAN EBTKE UNTUK MEMENUHI TARGET KEBIJAKAN ENERGI NASIONAL

Disampaikan pada Seminar Nasional Optimalisasi Pengembangan Energi Baru dan Terbarukan Menuju Ketahanan Energi yang Berkelanjutan

KONSERVASI DAN DIVERSIFIKASI ENERGI DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN ENERGI INDONESIA TAHUN 2040

KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL DIREKTORAT JENDERAL ENERGI BARU, TERBARUKAN DAN KONSERVASI ENERGI. Disampaikan oleh

INSTRUMEN KELEMBAGAAN KONDISI SAAT INI POTENSI DAN PEMANFAATAN SUMBER DAYA ENERGI INDIKASI PENYEBAB BELUM OPTIMALNYA PENGELOLAAN ENERGI

Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2017 tentang

V. PENGEMBANGAN ENERGI INDONESIA DAN PELUANG

DEWAN ENERGI NASIONAL RANCANGAN RENCANA UMUM ENERGI NASIONAL

KEBIJAKAN PENYEDIAAN TENAGA LISTRIK

MEMASUKI ERA ENERGI BARU TERBARUKAN UNTUK KEDAULATAN ENERGI NASIONAL

PROGRAM MW DALAM RUPTL PERKUAT SISTEM KELISTRIKAN NASIONAL. Pandu Satria Jati B S.IP

Peran dan Strategi Dunia Usaha dalam Implementasi NDC Sektor Energi Dr. Ir. Surya Darma, MBA

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. #Energi Berkeadilan. Disampaikan pada Pekan Pertambangan. Jakarta, 26 September 2017

OPSI NUKLIR DALAM BAURAN ENERGI NASIONAL

ESDM untuk Kesejahteraan Rakyat

Materi Paparan Menteri ESDM

STRATEGI KEN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN ENERGI NASIONAL

KEBIJAKAN PENYEDIAAN TENAGA LISTRIK DAN PEMANFAATAN ENERGI

PENGEMBANGAN MODEL INDONESIA 2050 PATHWAY CALCULATOR (I2050PC) SISI PENYEDIAAN DAN PERMINTAAN ENERGI BARU TERBARUKAN. Nurcahyanto

RINGKASAN EKSEKUTIF PERTEMUAN TAHUNAN PENGELOLAAN ENERGI NASIONAL 2010

Rencana Pengembangan Energi Baru Terbarukan dan Biaya Pokok Penyediaan Tenaga Listrik Dialog Energi Tahun 2017

I. PENDAHULUAN. optimal. Salah satu sumberdaya yang ada di Indonesia yaitu sumberdaya energi.

RINGKASAN EKSEKUTIF INDONESIA ENERGY OUTLOOK 2008

RENCANA STRATEGIS ENERGI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM SEMINAR NASIONAL: OPTIMALISASI PENGELOLAAN SUMBER DAYA ENERGI UNTUK KETAHANAN ENERGI

BAB 1 PENDAHULUAN. Besarnya konsumsi listrik di Indonesia semakin lama semakin meningkat.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

LAPORAN PENELITIAN KELOMPOK BIDANG EKONOMI DAN KEBIJAKAN PUBLIK AGENDA KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PANAS BUMI DALAM RANGKA KETAHANAN ENERGI NASIONAL

BAB I PENDAHULUAN. wilayah Indonesia dan terletak di pulau Jawa bagian tengah. Daerah Istimewa

Coffee Morning dengan Para Pemangku Kepentingan Sektor Ketenagalistrikan

RENCANA UMUM ENERGI NASIONAL

BAB I PENDAHULUAN. Dalam memenuhi kebutuhan listrik nasional, penyediaan tenaga listrik di

REVISI PROYEK STRATEGIS NASIONAL

Membangun Kedaulatan Energi Nasional

SISTEMATIKA PENYUSUNAN RENCANA UMUM ENERGI NASIONAL, RENCANA UMUM ENERGI DAERAH PROVINSI, DAN RENCANA UMUM ENERGI DAERAH KABUPATEN/KOTA

INDONESIAN 2050 PATHWAYS CALCULATOR SEKTOR PASOKAN ENERGI: PRODUKSI BATUBARA, MINYAK DAN GAS BUMI. Sekretariat Badan Litbang ESDM 2

RENCANA USAHA PENYEDIAAN TENAGA LISTRIK (RUPTL) DAN PROGRAM PEMBANGUNAN PEMBANGKIT MW. Arief Sugiyanto

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

PEMBERDAYAAN DAN KEBERPIHAKAN UNTUK MENGATASI KETIMPANGAN. 23 Oktober 2017

KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR PENYEDIAAN TENAGA LISTRIK

Knowledge Management Forum April

EFEKTIVITAS KEBIJAKAN FIT (FEED IN TARIFF) ENERGI BARU DAN TERBARUKAN DI INDONESIA. Nanda Avianto Wicaksono dan Arfie Ikhsan Firmansyah

SISTEMATIKA PENYUSUNAN RENCANA UMUM ENERGI NASIONAL, RENCANA UMUM ENERGI DAERAH PROVINSI, DAN RENCANA UMUM ENERGI DAERAH KABUPATEN/KOTA

BAB 6 P E N U T U P. Secara ringkas capaian kinerja dari masing-masing kategori dapat dilihat dalam uraian berikut ini.

PERSIAPAN SUMATERA UTARA DALAM MENYUSUN RENCANA UMUM ENERGI DAERAH (RUED)

OUTLOOK KELISTRIKAN INDONESIA : PROSPEK PEMANFAATAN ENERGI BARU DAN TERBARUKAN

Insentif fiskal dan Instrument Pembiayaan untuk Pengembangan Energi Terbarukan dan Pengembangan Listrik Perdesaan

KEBIJAKAN ENERGI NASIONAL

STATUS PELAKSANAAN RAN DAN RAD-GRK SEKTOR ENERGI

RENCANA UMUM ENERGI DAERAH (RUED)

PENGARUSUTAMAAN PERUBAHAN IKLIM KE DALAM PERENCANAAN PEMBANGUNAN

BAB 4 INDIKATOR EKONOMI ENERGI

BAB I PENDAHULUAN. serta alasan penulis memilih obyek penelitian di PT. X. Setelah itu, sub bab

RENCANA UMUM ENERGI DAERAH PROVINSI (RUED-P) JAWA BARAT

PERAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PEMBANGUNAN ENERGI

BaB i Pendahuluan OutlOOk EnErgi indonesia 1

ISBN: Data Inventory Emisi GRK Sektor Energi

PENGEMBANGAN ENERGI BARU TERBARUKAN

LAPORAN SINGKAT KOMISI VI DPR RI B I D A N G PERINDUSTRIAN, PERDAGANGAN, KOPERASI DAN UKM, BUMN, INVESTASI, BSN DAN KPPU

Permasalahan dan Kebijakan Energi Saat Ini

Tabel 3.1. Indikator Sasaran dan Target Kinerja

POKOK-POKOK PENGATURAN PEMANFAATAN BATUBARA UNTUK PEMBANGKIT LISTRIK DAN PEMBELIAN KELEBIHAN TENAGA LISTRIK (Permen ESDM No.

BAB I PENDAHULUAN. Sumber daya energi adalah kekayaan alam yang bernilai strategis dan

I. PENDAHULUAN. alam. Meskipun minyak bumi dan gas alam merupakan sumber daya alam

Rencana Kegiatan Pembinaan Penyusunan RUED

BAB I 1. PENDAHULUAN

PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN RENCANA USAHA PENYEDIAAN TENAGA LISTRIK

BAB I PENDAHULUAN. manajemen baik dari sisi demand maupun sisi supply energi. Pada kondisi saat ini

I. PENDAHULUAN. manusia dalam penggunaan energi bahan bakar fosil serta kegiatan alih guna

ARAH KEBIJAKAN DAN STRATEGI PEMENUHAN KEBUTUHAN ELEKTRIFIKASI DI DAERAH PERBATASAN

PRE SI DEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA TENT ANG PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA UMUM ENERGI NASIONAL

Kebijakan Pemerintah Di Sektor Energi & Ketenagalistrikan

Workshop Low Carbon City

PENDAHULUAN LAPORAN AKHIR Latar Belakang

KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENGELOLAAN ENERGI NASIONAL

Rencana Strategis Perindustrian di Bidang Energi

Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca dan Proyeksi Emisi CO 2 untuk Jangka Panjang

KEBIJAKAN ENERGI NASIONAL Berdasarkan PP KEN 79/2014

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

Untuk mewujudkan kesejahteraan

HASIL PEMERIKSAAN BPK RI TERKAIT INFRASTRUKTUR KELISTRIKAN TAHUN 2009 S.D Prof. Dr. Rizal Djalil

BAB 1 PENDAHULUAN. Studi kelayakan..., Arde NugrohoKristianto, FE UI, Universitas Indonesia

INFRASTRUKTUR ENERGI DI PROVINSI BANTEN

PENGESAHAN RENCANA USAHA PENYEDIAAN TENAGA LISTRIK (RUPTL) PT PLN (PERSERO)

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

SOLUSI KEBIJAKAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN GAS DOMESTIK

Perspektif Good Governance dan RPP Pengendalian Perubahan Iklim

DIREKTORAT JENDERAL KETENAGALISTRIKAN KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL

Strategi dan Kebijakan Provinsi Maluku Untuk Mencapai Target Penurunan Emisi:

PENCAPAIAN TAHUN 2015

Sambutan Endah Murniningtyas Penyusunan Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca Balikpapan, Februari 2012

Transkripsi:

Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI Gd. Nusantara I Lt. 2 Jl. Jend. Gatot Subroto Jakarta Pusat - 10270 c 5715409 d 5715245 m infosingkat@gmail.com BIDANG EKONOMI DAN KEBIJAKAN PUBLIK KAJIAN SINGKAT TERHADAP ISU AKTUAL DAN STRATEGIS Vol. X, No. 24/II/Puslit/Desember/2018 19 KINERJA DAN TANTANGAN PENGEMBANGAN KELISTRIKAN ENERGI BARU TERBARUKAN Hariyadi Abstrak Arah pengembangan sektor kelistrikan EBT telah menunjukkan kinerja positif. Namun demikian, persoalan besarnya target pemerintah, Program 35 GW, dan pemenuhan komitmen internasional masih menjadi penghambat pengembangan sektor ini ke depan. Tulisan menganalisis apa saja yang perlu dilakukan pemerintah untuk mencapai target pengembangan sektor kelistrikan EBT. Oleh karena itu, politik pengembangan sektor kelistrikan EBT perlu lebih difokuskan pada hal-hal yang secara langsung dapat menopang kinerja sektor tersebut. Kemauan politik pemerintah untuk melaksanakan KEN dan penuntasan Program 35 GW adalah satu momentum penting yang harus dikelola. Selain itu, perlu kemauan politik untuk memenuhi komitmen penurunan emisi global pemerintah, sehingga semakin memperkuat aspek pendanaan, alih teknologi dan pengembangan kapasitas dalam pengembangan sektor kelistrikan bersumber EBT. Untuk menguatkan upaya ini, perlu pengawasan DPR RI untuk mengawal implementasi kebijakan pemerintah. PUSLIT BKD Pendahuluan Program pemasangan 2.000 unit LTSHE di Kabupaten Sumba Tengah dan Kabupaten Sumba Timur menjadi salah satu indikator penting pengembangan sektor kelistrikan energi baru terbarukan (EBT). Secara nasional, program ini mencapai 175 ribu unit LTSHE di 16 provinsi untuk menerangi Indonesia bagian timur (KESDM, 2018; Djuraid, 2018). Fakta ini menjadi salah satu poin penting Laporan Kinerja Kuartal III pengembangan sektor kelistrikan bersumber energi baru terbarukan (EBT) tahun ini yang dilansir akhir November 2018. Dalam kesempatan pelansiran Permen ESDM No. 49 Tahun 2018 tentang Penggunaan Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap oleh Konsumen PT PLN 28 November 2018, hal ini sejalan dengan penegasan pemerintah untuk memfokuskan pengembangan EBT. Capaian target rasio elektrifikasi (RE) pada tahun 2018 telah mencapai 98,05%, lebih

Tabel 1. Realisasi Pembangkitan Listrik Bersumber EBT per Kuartal III 2018 Periode Panas Bumi Terpasang/ Target* Realisasi* tinggi dari yang ditetapkan Renstra KESDM yang hanya mencapai 95% atau 80% dalam RPJMN tahun 2010-2014 (KESDM, 2015). Capaian penting lainnya juga terjadi pada sektor pembangkitan (Tabel 1). Namun demikian, target ketahanan energi bagaimanapun masih menghadapi tantangan karena masih tingginya penggunaan sumber energi fosil. Kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) mencapai 1,4 juta barel per hari sementara produksi nasional terus mengalami penurunan dari 800 ribu barel per hari menjadi 770 ribu barel per hari (Djuraid, 2018). Upaya untuk menutupi situasi ini, eksplorasi secara besar-besaran dan perbaikan sumur yang ada terus dilakukan. Namun demikian, upaya ini tentu tetap tidak mencukupi dalam jangka panjang. Karena itu, pergeseran paradigma pasokan kebutuhan energi berbasis impor ke pasokan berbasis domestik menjadi penting (esdm. go.id, 29 November 2018). Karena itu, pemanfaatan sumber EBT untuk listrik menjadi semakin penting seiring dengan tuntutan skala kegiatan ekonomi, pertumbuhan penduduk dan kebijakan penggantian penggunaan BBM dengan listrik untuk beberapa subsektor kegiatan ekonomi. Sumber Pembangkit (MW) PLTS, PLTMH dan PLTB Terpasang/ Target* Realisasi* Bioenergi (Biomassa, Biogas, PLTSa, Biofuel) Terpasang/ Target* Realisasi* 2014 1403,5-123 - 898,5-2015 1438,5-160 - 1767,1-2016 1643,5-247 - 1787,9-2017 1808,5-296 - 1839,5-2018 2058,5* 1948,5* 513 390* 2030,0* 1857,5* Sumber: KESDM, 2018. Untuk mencapai sasaran ini, pemerintah masih menghadapi tantangan berat. Dalam jangka pendek, tantangan ini mencakup semakin besarnya kebutuhan impor BBM, alokasi anggaran yang terbatas, dan konstelasi politik secara global (DEN, 2016). Lebih jauh, konstelasi tahun politik nasional 2019 juga turut memberikan tekanan. Pertanyaannya, apa saja yang perlu disasar dalam pengembangan sektor kelistrikan EBT? Tulisan ini menganalisis hal tersebut sehingga target pangsa EBT pada tahun 2025 dapat dikelola. Arah Politik EBT Dinamika pengembangan kelistrikan berbasis EBT akan ditentukan oleh beberapa faktor penting. Faktor-faktor itu antara lain kemauan politik untuk melaksanakan Kebijakan Energi Nasional (KEN), penuntasan Program 35 GW, dan pemenuhan komitmen penurunan emisi global pemerintah. Peraturan Pemerintah No. 79 Tahun 2014 tentang KEN menegaskan ikhtiar politik dan teknokratis pemerintah untuk mewujudkan peran EBT mencapai 23% pada tahun 2025. Penentuan target itu dilandasi oleh semakin beratnya tekanan kebutuhan 20

21 energi secara nasional seiring dengan pertumbuhan penduduk, kegiatan ekonomi dan semakin merosotnya sumber energi fosil. Selain itu, besar dan beragamnya potensi EBT secara nasional dan pengikatan politik pemerintah secara internasional dalam upaya penurunan emisi global juga turut menjadikan pilihan kebijakan sebagai suatu keniscayaan. Karena itu, sinergi yang kuat antara pemerintah, lembaga perwakilan, dan pemangku kepentingan lain menjadi hal penting (DEN, 2016). Laporan kinerja pemerintah menunjukkan bahwa sampai kuartal III tahun ini pangsa EBT dalam bauran energi primer telah mencapai 12,32%, berada di posisi ke-3 setelah batubara (59,20%), gas (22,30%). Meskipun pada posisi terakhir, pangsa EBT masih lebih tinggi di atas pangsa BBM yang hanya 6,18%. Namun demikian, kinerja masih menghadapi tantangan berat. Pada tahun 2017, pangsa EBT sebenarnya telah mengalami penurunan sebesar 0,35% dari 12,67% pada tahun 2017 menjadi 12,32% sampai kuartal ketiga tahun 2018 (KESDM, 2018). Terlepas dari fakta ini, secara politis pemerintah masih memiliki ruang yang lebih aman karena turunnya target beberapa sumber energi primer berdasarkan acuan Rencana Umum Kelistrikan Nasional (RUKN) dan Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL). RUPTL 2018-2027 misalnya, justru menurunkan target pencapaian infrastruktur kelistrikan karena merosotnya pertumbuhan kebutuhan listrik secara nasional dan rasio elektrifikasi sampai tahun 2025. Data menunjukkan, tiga parameter infrastruktur kelistrikan--- pembangkitan, transmisi, dan gardu induk ---mengalami penurunan seiring dengan terjadinya fenomena power oversupply di wilayah Jawa dan Bali (KESDM, 2018). Hal ini mengindikasikan satu hal penting bahwa pemerintah perlu memfokuskan sumber keuangan dan politiknya untuk mencapai pemerataan akses listrik masyarakat di luar Jawa dan Bali baik secara on-grid maupun off-grid. Dengan mempertimbangkan kondisi geografis, keterbatasan anggaran, serta kecilnya minat pengembang swasta (IPP), fokus pemerintah untuk mendorong penyediaan listrik EBT secara off-grid menjadi pilihan yang layak. Kedua, arti penting komitmen politik pemerintah lainnya terkait dengan penuntasan program pembangkitan lisitrik 35 GW. Penuntasan program ini akan memberikan arti penting secara politis bagi penyediaan listrik secara nasional dan dunia usaha dalam jangka panjang. Dengan demikian, penuntasan program ini juga berpotensi mendorong optimisme untuk pengembangan sektor kelistrikan EBT. Data KESDM menunjukkan bahwa program ini telah menunjukkan kinerja yang positif (Gambar 1). Dalam konteks tahun politik, kebijakan DMO batubara dan proyeksi permintaan tenaga listrik tentu akan mempengaruhi kemampuan pemerintah untuk menuntaskan program ini. Pemenuhan Komitmen Global Arti penting komitmen politik pemerintah dalam konteks politik EBT juga akan terkait dengan keseriusan pemerintah dalam menindaklanjuti program-program yang berdimensi intenasional, baik dalam lingkup pemenuhan komitmen internasional

Sumber: KESDM, 2018 (Kuartal III) Gambar 1. Kinerja Program Pembangkitan 35 GW 22 CM1= 29%; CM2= 41%; Skenario proyeksi emisi dari tahun 2010 s.d. 2030. Sumber: KLHK, 2017. Gambar 2. Proyeksi BaU/Reduksi Emisi GRK Sektoral (Juta Ton CO²e) maupun pelaksanaan kerja sama internasional. Dua poin berikut dapat menjadi parameter penting, yakni komitmen pelaksanaan NDC dan kerja sama bilateral. Mandat UU No. 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement terhadap UNFCCC, Perpres No. 61 Tahun 2011 tentang RAN-GRK dan Perpres No. 71 Tahun 2011 tentang Inventarisasi GRK telah menetapkan sektor energi menjadi salah satu sektor andalan untuk memenuhi komitmen penurunan emisi global Indonesia sebesar 29% dengan kekuatan sendiri atau 41% berdasarkan ketersediaan dukungan internasional dalam bidang keuangan, alih teknologi, dan capacity building. Melalui hal ini, kondisi emisi tanpa intervensi (BaU) Indonesia yang diproyeksikan mencapai 2.869 giga ton setara karbon (GtCO²e) sampai tahun 2030 akan diturunkan mencapai 19% dari kondisi BaU pada tahun 2030 (UNFCCC, 2016). Melalui komitmen ini, Indonesia akan menurunkan tingkat emisi sektor energi mencapai 19% atau 314 metrik ton setara karbon (MTonCO²e) dari kondisi BaU, yakni dari 1.669 menjadi 1.355 MTonCO²e pada tahun 2030 (Gambar 2). Arti penting penurunan karbon sektor energi karena tingkat penurunannya mencapai 11% dari tingkat penurunan total nilai BaU emisi Indonesia (KLHK, 2017). Dalam konteks besarnya peran pembangkit listrik berbasis fosil (PLTU), tanpa kemauan politik yang kuat dapat mengarah pada rendahnya pemenuhan komitmen internasional pemerintah. Karena itu, arah kinerja penurunan emisi CO² dalam kurun 2014-2018 menjadi modalitas penting (KESDM, 2018). Fokus pemerintah

23 dalam menjalankan komitmen Persetujuan Paris khususnya dalam bidang energi dan sumber emisi lainnya seperti isu kebakaran hutan akan memperkuat kinerja pemerintah dalam bidang ini. Dalam bidang energi lainnya, pemerintah juga perlu memfokuskan pada penuntasan program penggunaan BBN sampai 30% terhadap biodiesel (Program B30) di sektor transportasi (KESDM, 2018). Aspek lain, dalam kerangka pelaksanaan tugas-tugas konstitusional DPR RI, peran pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan pemerintah dalam pengembangan EBT dan dukungan politiknya untuk mengawal kebijakan tersebut menjadi sebuah keniscayaan. Temuan BPK pada awal tahun 2018 tentang maraknya proyek pembangkit EBT yang mangkrak menguatkan hal ini (Tempo Online, 2017). Selain itu, peran pengawasan DPR RI juga perlu difokuskan pada pelaksanaan KEN. Penutup Arah pengembangan sektor kelistrikan EBT telah menunjukkan kinerja positif sehingga dapat menjadi modalitas penting untuk mencapai target RE, target EBT pada tahun 2025, dan pemenuhan komitmen Indonesia dalam program reduksi emisi secara global. Untuk memperkuat capaian ini, arah pengembangannya seharusnya lebih difokuskan pada hal-hal yang secara langsung dapat menopang kinerja pengembangan sektor ini. Kemauan politik pemerintah untuk melaksanakan KEN dan penuntasan Program 35 GW adalah salah satu yang harus dikelola. Perlu upaya pemenuhan komitmen penurunan emisi global yang semakin memperkuat upaya pemerintah dalam mendapatkan peluang pendanaan, alih teknologi, dan pengembangan kapasitas bagi pengembangan sektor kelistrikan EBT. Selain itu juga perlu pengawasan DPR RI dalam implementasi kebijakan pengembangan kelistrikan EBT. Referensi Dewan Energi Nasional (DEN). (2016). Outlook Energi Indonesia 2016. Jakarta: DEN. Djuraid, Hadi M. (2018). Katikupelang, rembulan tak lagi sendiri menerangi, https://steller.co/s/8 XSF962cXMM?page=1&from=sug gested, diakses 1 Desember 2018. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM). (2015). Rencana Strategis KESDM 2015-2019. Jakarta: KESDM. KESDM. (2018). Booklet Energi Berkeadilan 4 Tahun Kinerja Hingga Kuartal III 2018. Jakarta: KESDM. KLHK. 2017. Summary of the Nationally Determined Contribution (NDC) dan Progres. Jakarta: KLHK. KESDM. (2018). Handbook of Energy and Economic Statistics of Indonesia. Jakarta: KESDM. Pembangkit Listrik EBT Mangkrak, BPK Temukan Rp 1,17 T Hilang, https://bisnis. tempo.co/read/1043907/ pembangkit-listrik-ebt- mangkrak-bpk-temukan-rp-117- t-hilang/full&view=ok, diakses 3 Desember 2018. Peraturan Pemerintah No. 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN). Siaran Pers KESDM. (2018). Perubahan Paradigma Diperlukan untuk Mencapai Kedaulatan Energi, https://www.esdm.go.id/id/ berita-unit/direktorat-jenderalketenagalistrikan/perubahanparadigma-diperlukan-untukmencapai-kedaulatan-energi, diakses 29 November 2018.

UNFCCC. (2016). First Indonesia NDC, Republic of Indonesia, https://www4.unfccc. int/sites/ndcstaging/ PublishedDocuments/ Indonesia%20First/ First%20NDC%20 Indonesia_submitted%20 to%20unfccc%20set_ November%20%202016.pdf, diakses 2 Desember 2018. 24 Hariyadi hariyadi@dpr.go.id Hariyadi, S.IP., M.PP., menyelesaikan pendidikan S-1 pada Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (1995) dan Master in Public Policy Programme, Faculty of Economics, Business and Policy Studies, Univ. of Brunei Darussalam, Brunei Darussalam (2002). Saat ini menjabat sebagai Peneliti Madya Kebijakan Publik pada Pusat Penelitian-Badan Keahlian DPR RI. Beberapa karya tulis ilmiah yang telah dipublikasikan melalui jurnal dan buku antara lain: The Prospect For REDD+ in A Post First Commitment Period of the Kyoto Protocol (2012); Pelaksanaan Kebijakan Moratorium Pembukaan Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut: Studi di Provinsi Kalimantan Tengah dan Sulawesi Tengah (2014); dan Implementasi Kebijakan Mitigasi Perubahan Iklim Sektor Kehutanan Menyongsong RPJMN 2015-2019 (Studi di Provinsi Papua dan Provinsi Aceh) (2015). Info Singkat 2009, Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI http://puslit.dpr.go.id ISSN 2088-2351 Hak cipta dilindungi oleh undang-undang. Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi tulisan ini tanpa izin penerbit.