SINTESIS FGM -Al 2 O 3 /Al 2 TiO 5 DISTABILISASI-MgO DENGAN METODE INFILTRASI BERULANG

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "SINTESIS FGM -Al 2 O 3 /Al 2 TiO 5 DISTABILISASI-MgO DENGAN METODE INFILTRASI BERULANG"

Transkripsi

1 TESIS SF 2342 SINTESIS FGM -Al 2 O 3 /Al 2 TiO 5 DISTABILISASI-MgO DENGAN METODE INFILTRASI BERULANG KHUSNUL UMAROH DOSEN PEMBIMBING Drs. Suminar Pratapa, M.Sc., Ph.D. PROGRAM MAGISTER BIDANG KEAHLIAN MATERIAL JURUSAN FISIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA 2009

2 TESIS SF 2342 SINTESIS FGM -Al 2 O 3 /Al 2 TiO 5 -DISTABILISASI-MgO DENGAN METODE INFILTRASI BERULANG KHUSNUL UMAROH DOSEN PEMBIMBING Drs. Suminar Pratapa, M.Sc., Ph.D. PROGRAM MAGISTER BIDANG KEAHLIAN MATERIAL JURUSAN FISIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA 2009

3 TESIS SF 2342 SYNTHESIS OF -Al 2 O 3 /MgO-STABILIZED-Al 2 TiO 5 FGM BY MULTIPLE INFILTRATION METHOD KHUSNUL UMAROH DOSEN PEMBIMBING Drs. Suminar Pratapa, M.Sc., Ph.D. PROGRAM MAGISTER BIDANG KEAHLIAN MATERIAL JURUSAN FISIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA 2009

4 Tesis ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Magister Sains (M.Si.) di Institut Teknologi Sepuluh Nopember Oleh: KHUSNUL UMAROH NRP Tanggal Ujian: 13 Juli 2009 Periode Wisuda: Oktober 2009 Disetujui oleh Tim Penguji Tesis: 1. Drs. Suminar Pratapa, M.Sc., Ph.D. (Pembimbing) NIP Dr. M. Zainuri, M.Si. (Penguji I) NIP Drs. Yoyok Cahyono, M.Si. (Penguji II) NIP Direktur Program Pascasarjana Prof. Dr. Ir. Suparno, MSIE. NIP ii

5 SINTESIS FGM α-al 2 O 3 /Al 2 TiO 5 -DISTABILISASI-MgO DENGAN METODE INFILTRASI BERULANG Nama Mahasiswa : Khusnul Umaroh NRP : Pembimbing : Drs. Suminar Pratapa, M.Sc., Ph.D. ABSTRAK Telah dilakukan sintesis FGM α-al 2 O 3 /Al 2 TiO 5 -distabilisasi-mgo (A/AT-MgO) dengan metode infiltrasi berulang, yaitu menggunakan serbuk α-al 2 O 3 (korundum) sebagai prakeramik dan serbuk MgO sebagai penstabil dengan komposisi berat 0%, 2%, dan 5% serta larutan TiCl 3 sebagai prekursor. Prakeramik dibuat dengan penekanan uniaksial dan prasinter pada suhu 1000 o C selama 1 jam. Infiltrasi prakeramik dilakukan dengan larutan TiCl 3 dengan pengulangan sebanyak tiga kali kemudian disinter pada suhu 1450 o C selama 3 jam untuk membentuk fasa AT dan pemadatan keramik. Kegradualan komposisi fasa dari FGM berdasarkan kedalaman dianalisis secara kualitatif maupun kuantitatif menggunakan metode Rietveld dari data difraksi sinar-x (XRD). Hasil yang bervariasi dari identifikasi fasa dalam sampel pada kedalaman yang berbedapun ditemukan, seperti untuk FGM dengan 0% MgO, pada permukaan, rutile tidak ditemukan, adapun untuk FGM dengan komposisi berat 2% MgO, pada permukaan tidak ditemukan spinel tetapi spinel muncul pada kedalaman tertentu dan untuk FGM dengan 5% MgO, spinel ditemukan pada semua kedalaman dan kandungannnya meningkat berdasarkan kedalaman tersebut. Perhitungan fraksi berat relatif fasa menunjukkan secara umum kandungan AT menurun berdasarkan kedalaman, dan sebaliknya kandungan korundum meningkat. Secara umum dapat disimpulkan infiltrasi berulang dapat meningkatkan kandungan AT, dengan penambahan MgO dapat mengurangi pembentukan AT, dan dengan jumlah MgO yang banyak dapat menghasilkan kandungan spinel yang lebih banyak pula. Kemudian dari uji dekomposisi menunjukkan dengan penambahan MgO pada FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 2 dan 5% membuktikan proses dekomposisi termal dapat direduksi dan dari hasil yang telah diperoleh penambahan 2% MgO lebih efesien dalam mereduksi dekomposisi termal dibandingkan dengan penambahan 5% MgO. Kata Kunci: FGM, infiltrasi berulang, aluminium titanat, korundum, MgO, difraksi sinar-x, dekomposisi iii

6 SYNTHESIS OF α-al 2 O 3 / MgO-STABILIZED-Al 2 TiO 5 FGM BY MULTIPLE INFILTRATION METHOD By : Khusnul Umaroh Student Identity Number : Supervisor : Drs. Suminar Pratapa, M.Sc., Ph.D. ABSTRACT Synthesis of α-al 2 O 3 /MgO-Al 2 TiO 5 (A/MgO-AT) functionally-graded composite materials (FGMs) have been done by multiple infiltration method.the synthesis used α-al 2 O 3 (corundum) powder as the green body, MgO powder as aluminium titanate (Al 2 TiO 5 or AT) stabilizer with weight composition 0%, 2% and 5% and also a solution containing TiCl 3 as precursor. The green bodies were made by uniaxial pressing and presintering at temperature of 1000 o C for 1 hour. Green body infiltrations were done three times by the solution, continued with sintering at temperature of 1450 o C for 3 hours to produce AT and densify the ceramics. Phase composition gradual character of the FGMs for their various depths were qualitatively and quantitavely analyzed using X-ray diffraction data, being the latter with Rietveld method. Various results on the phase identification were found at different depths of the samples. For example, for FGM with 0% MgO, there was unreacted rutile at the surface, while for FGM with 2% MgO, spinel was not found at the surface but appeared at the certain depths, and for FGM with 5% MgO, spinel was found at all depths and its content increased with depth. Calculation of phase relative weight fraction showed that in general AT content reduces with depth, but that for corundum increases. In general, it can be concluded that multiple infiltration increased AT at content, the presence of MgO reduced the formation of AT, and more MgO resulted in more spinel. Then, from decomposition test shows MgO addition with weight composition 2 and 5% proves can reduce the thermal decomposition of AT and from the results addition with 2% MgO more efficient than 5% to reduce the thermal decomposition of AT. Keyword: FGM, multiple infiltration, aluminium titanate, corundum, MgO, x-ray diffraction, decomposition iv

7 KATA PENGANTAR AlHamdulillahi Robbil Alamin, Puji syukur kehadlirat Allah SWT atas segala Rahmat, Hidayah, dan Karunia-Nya, Sholawat serta Salam semoga tetap terlimpahkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW sehingga penulis dapat menyelesaikan Tesis ini. Tesis yang berjudul SINTESIS FGM α- Al 2 O 3 /Al 2 TiO 5 -DISTABILISASI-MgO DENGAN METODE INFILTRASI BERULANG ini disusun untuk memenuhi salah satu persyaratan akademik guna mencapai gelar magister pada Jurusan Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya. Penulis menyadari bahwa terselesainya Tesis ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih yang paling dalam kepada: 1. Drs. Suminar Pratapa, M.Sc, Ph.D. selaku dosen pembimbing sekaligus Dosen Wali dan juga Ketua program studi Pascasarjana Fisika, yang senantiasa memberikan motivasi, perhatian, wawasan, arahan, dan ilmu pengetahuan, sehingga terselesainya Tesis ini. Semoga Allah SWT memberikan balasan atas semua kebaikan Bapak. 2. Bapak Dr. M. Zainuri, M.Si, dan Drs. Yoyok Cahyono, M.Si, selaku dosen penguji, terimakasih atas saran, kritik, serta masukannya sehingga membawa kesempurnaan Tesis ini. 3. Bapak Drs. Heny Faisal, M.Si., selaku ketua jurusan Fisika FMIPA ITS yang telah banyak memberikan kemudahan sarana kepada penulis selama kuliah sampai terselesainya Tesis ini. 4. Bapak Dirjen Departemen Agama Pusat Jakarta yang telah memberi kepercayaan kepada penulis untuk menerima beasiswa program pascasarjana. 5. Seluruh Staf Pengajar di Jurusan Fisika FMIPA ITS, terimakasih atas didikan, ilmu pengetahuan, dan motivasi yang telah diberikan. 6. Ibunda dan ayahanda tercinta serta saudara-saudaraku tersayang yang memberikan kasih sayang, perhatian, motivasi, dan dukungan moril maupun v

8 spiritual, sehingga terselesainya Tesis ini, terima kasih juga untuk M. Maulana R. atas dukungan dan motivasinya yang tiada henti selama ini. 7. Seluruh Staf Laboran Fisika Material FMIPA ITS, khususnya Laboran Keramik dan Laboran XRD Research Center LPPM ITS atas bantuannya dalam penelitian. 8. Bapak Aditianto Ramelan selaku Koordinator Laboratorium Teknik Metalurgi dan Material FTMD ITB, terimakasih atas bantuan penggunaan furnace suhu tinggi. 9. Teman-teman seperjuangan yang tergabung dalam Tim Riset Dana Hibah Penelitian Tim Pascasarjana 2008 dan 2009, terimakasih atas diskusi dan sharing selama ini, 10. Teman-teman S2 depag dan regular yang senantiasa saling memberi motivasi selama menjalani masa-masa sulit dalam studi. 11. Teman-teman diperumdos Blok T-3 Jl. Teknik Kelautan ITS, terimakasih atas dukungan dan bantuannya selama mengerjakan Tesis. Penulis menyadari tidak mampu membalas semua kebaikan tersebut, semoga Allah SWT membalasnya dengan kebaikan yang jauh lebih besar. Semoga Tesis ini dapat memberikan manfaat dan memperluas wacana ilmu pengetahuan serta wawasan kita dalam bidang Fisika pada umumnya dan bidang Fisika Bahan pada khususnya, Amin. Surabaya, Juli 2009 Penulis vi

9 DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL... i LEMBARAN PENGESAHAN ii ABSTRAK iii KATA PENGANTAR.. v DAFTAR ISI vii DAFTAR GAMBAR ix DAFTAR TABEL... xi BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Batasan Masalah Manfaat Penelitian Sistematika Penulisan. 4 BAB 2 KAJIAN PUSTAKA Functionally-Graded Materials (FGMs) Infiltrasi Cairan Aluminium Titanat Alumina dan Magnesium Oksida Difraksi Sinar-X (XRD) Analisis Komposisi Fasa Analisis Kualitatif Analisis Kuantitatif Analisis Menggunakan Metode Rietveld Fraksi Berat Relatif dan Fraksi Berat Absolut 13 BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN Penyiapan Bahan Uji Karakterisasi Bahan Uji. 16 vii

10 3.3 Uji Dekomposisi Analisis Data Lanjut (Rietveld). 17 BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Karakterisasi Sifat Fisik Karakterisasi Kegradualan Komposisi Difraksi Sinar-x Hasil Penghalusan Metode Rietveld Fraksi Berat Fasa Dekomposisi Termal AT Difraksi Sinar-x Fraksi Berat Relatif Fasa Pembahasan BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN.. 59 viii

11 DAFTAR GAMBAR GAMBAR Gambar 2.1 Struktur kristal AT 7 Gambar 2.2 Struktur kristal alumina. 9 Gambar 2.3 Struktur kristal MgO. 10 Gambar 3.1 Diagram alir penelitian. 18 Gambar 4.1 Pola difraksi sinar-x ( CuKα = Å) dari FGM A/AT- MgO dengan komposisi berat 0% MgO pada kedalaman 0,0-0,5 mm. FGM disintesis dengan sinter pada suhu 1450 C Gambar 4.2 Pola difraksi sinar-x ( CuKα = Å) dari FGM A/AT- MgO dengan komposisi berat 2% MgO pada kedalaman 0,0-0,5 mm. FGM disintesis dengan sinter pada suhu 1450 C Gambar 4.3 Gambar 4.4 Hal Pola difraksi sinar-x ( CuKα = Å) dari FGM A/AT- MgO dengan komposisi berat 5% MgO pada kedalaman 0,0-0,5 mm. FGM disintesis dengan sinter pada suhu 1450 o C Contoh Pola difraksi permodelan gabungan AT, korundum (A), dan rutile (R) Gambar 4.5 Contoh pola hasil akhir dari penghalusan yang diperolehdari program Rietica untuk sampel FGM A/AT- MgO dengan komposisi berat 0% MgO pada kedalaman 0,2 mm yang disinter pada suhu 1450 o C Gambar 4.6 Gambar 4.7 Gambar 4.8 Gambar 4.9 Gambar 4.10 Gambar 4.11 Fraksi berat relatif fasa-fasa pada FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 0% MgO. AT dan A pada kedalaman 0,0-0,5 mm. R pada kedalaman 0,1-0,5 mm. FGM disinter pada suhu 1450 o C Fraksi berat relatif fasa-fasa pada FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 2% MgO. AT dan A pada kedalaman 0,0-0,5 mm. S pada kedalaman 0,2-0,5 mm. FGM disinter pada suhu1450 o C Fraksi berat relatif fasa-fasa pada FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 5% MgO. AT, A, dan S pada kedalaman 0,0-0,5 mm. FGM disinter pada suhu 1450 o C Pola difraksi sinar-x ( CuKα = Å) pada permukaan FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 0% MgO dengan waktu anil 0, 5, 10, 15, dan 20 jam. FGM dianil dengan suhu 1000 o C. 34 Pola difraksi sinar-x ( CuKα = Å) pada permukaan FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 2% MgO dengan waktu anil 0, 5, 10, 15, dan 20 jam. FGM dianil dengan suhu 1000 o C. 35 Pola difraksi sinar-x ( CuKα = Å) pada permukaan ix

12 Gambar 4.12 Gambar 4.13 Gambar 4.14 Gambar 4.15 Gambar 4.16 Gambar 4.17 Gambar 4.18 Gambar 4.19 Gambar 4.20 Gambar A.1 Gambar A.2 Gambar A.3 Gambar E.1 FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 5% MgO dengan waktu anil 0, 5, 10, 15, dan 20 jam. FGM dianil dengan suhu 1000 o C. 36 Fraksi berat relatif fasa-fasa pada FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 0% MgO dengan waktu anil 0, 5, 10, 15, dan 20 jam. FGM dianil dengan suhu 1000 o C Fraksi berat relatif fasa-fasa pada FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 2% MgO dengan waktu anil 0, 5, 10, 15, dan 20 jam. FGM dianil dengan suhu 1000 o C Fraksi berat relatif fasa-fasa pada FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 5% MgO dengan waktu anil 0, 5, 10, 15, dan 20 jam. FGM dianil dengan suhu 1000 o C Spektra XRD sampel AT hasil serbuk dengan bahan dasar aluminium dan titanium alkoksi yang disinter pada suhu 1100 o C (Stanciu dkk, 2004) Spektra XRD sampel AT hasil serbuk dengan bahan dasar y aluminium dan titanium alkoksi yang disinter pada suhu 1100 o C (Stanciu dkk, 2004) Spektra XRD sampel AT hasil serbuk dengan bahan dasar Al(III), Ti(IV), laurylamine (C 12 H 25 NH 2 ) dan aqueous klorida yang disinter pada suhu 1100 o C (Stanciu dkk, 2004) Pola difraksi neutron yang menunjukkan pembentukan korundum dan rutile pada sampel AT yang terdekomposisi isotermal pada suhu 1200 o C selama 22 jam (Low dan Oo, 2008) Pola difraksi neutron pada pembentukan AT pada suhu 1450 o C. Tiga garis vertikal menunjukkan masing-masing posisi puncak fasa (Low dan Oo, 2008) Pola difraksi sinar-x dari permukaan FGM untuk studi dekomposisi sesudah dianil pada suhu 1050 o C selama 0, 2, 4, dan 6 jam (Pratapa dkk, 1998) Contoh Pola difraksi pemodelan gabungan AT, korundum (A), dan spinel (S) Contoh Pola difraksi pemodelan gabungan AT dengan korundum (A) Contoh Pola difraksi pemodelan gabungan AT, korundum (A), rutile (R), dan spinel (S) Contoh pemodelan linier pada FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 2% MgO pada kedalaman 0,0 sampai 0,5 mm. FGM disintesis dengan suhu sinter 1450 o C x

13 DAFTAR TABEL TABEL Tabel 2.1 Karakteristik fisis alumina... 9 Tabel 2.2 Karakteristik fisis MgO 10 Tabel 4.1 Penyusutan diameter FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 0, 2, dan 5% MgO. FGM disinter pada suhu 1450 o C selama 3 jam. 19 Tabel 4.2 Faktor skala keluaran analisis Rietveld untuk fasa AT, korundum, dan rutile dari FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 0% MgO pada kedalaman 0,0-0,5 mm. FGM disintesis dengan sinter pada suhu 1450 o C Tabel 4.3 Faktor skala keluaran analisis Rietveld untuk fasa AT, korundum, dan rutile dari FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 2% MgO pada kedalaman 0,0-0,5 mm. FGM disintesis dengan sinter pada suhu 1450 o C. 29 Tabel 4.4 Faktor skala keluaran analisis Rietveld untuk fasa AT, korundum, dan rutile dari FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 5% MgO pada kedalaman 0,0-0,5 mm. FGM disintesis dengan sinter pada suhu 1450 o C Tabel 4.5 Pemodelan linier kegradualan kandungan AT menurut kedalaman pada FGM A/AT-MgO.. 32 Tabel 4.6 Pemodelan linier kegradualan kandungan AT menurut kedalaman pada FGM A/AT-MgO.. 40 Tabel C.1 Figure of merit pengeluaran penghalusan Rietveld pola-pola difraksi sinar-x dari sampel FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 0% MgO pada kedalaman 0,0-0,5 mm. FGM disinter pada suhu 1450 o C Tabel C.2 Figure of merit pengeluaran penghalusan Rietveld pola-pola difraksi sinar-x dari sampel FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 2% MgO pada kedalaman 0,0-0,5 mm. FGM disinter pada suhu 1450 o C Tabel C.3 Figure of merit pengeluaran penghalusan Rietveld pola-pola difraksi sinar-x dari sampel FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 5% MgO pada kedalaman 0,0-0,5 mm. FGM disinter pada suhu 1450 o C Tabel C.4 Parameter-parameter hasil dari pengeluaran penghalusan Rietveld pola-pola difraksi sinar-x dari sampel FGM A/AT- MgO dengan komposisi berat 0% MgO pada kedalaman 0,0-0,5 mm. FGM disinter pada suhu 1450 o C Tabel C.5 Parameter-parameter hasil dari pengeluaran penghalusan Rietveld pola-pola difraksi sinar-x dari sampel FGM A/AT- MgO dengan komposisi berat 2% MgO pada kedalaman 0,0-0,5 mm. FGM disinter pada suhu 1450 o C Tabel C.6 Parameter-parameter hasil dari pengeluaran penghalusan Hal xi

14 Tabel D.1 Tabel D.2 Tabel D.3 Tabel F.1 Tabel F.2 Tabel F.3 Tabel F.4 Tabel F.5 Tabel F.6 Tabel G.1 Tabel G.2 Tabel G.3 Tabel H.1 Rietveld pola-pola difraksi sinar-x dari sampel FGM A/AT- MgO dengan komposisi berat 5% MgO pada kedalaman 0,0-0,5 mm. FGM disinter pada suhu 1450 o C Hasil perhitungan fraksi berat fasa relatif FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 0% MgO pada kedalaman 0,0-0,5 mm. FGM disinter pada suhu 1450 o C Hasil perhitungan fraksi berat fasa relatif FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 2% MgO pada kedalaman 0,0-0,5 mm. FGM disinter pada suhu 1450 o C Hasil perhitungan fraksi berat fasa relatif FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 5% MgO pada kedalaman 0,0-0,5 mm. FGM disinter pada suhu 1450 o C Figure of merit pengeluaran penghalusan Rietveld pola-pola difraksi sinar-x dari sampel FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 0% MgO dengan waktu anil 0, 5, 10, 15, dan 20 jam. FGM dianil pada suhu 1000 o C Figure of merit pengeluaran penghalusan Rietveld pola-pola difraksi sinar-x dari sampel FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 2% MgO dengan waktu anil 0, 5, 10, 15, dan 20 jam. FGM dianil pada suhu 1000 o C Figure of merit pengeluaran penghalusan Rietveld pola-pola difraksi sinar-x dari sampel FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 5% MgO dengan waktu anil 0, 5, 10, 15, dan 20 jam. FGM dianil pada suhu 1000 o C Parameter-parameter hasil dari pengeluaran penghalusan Rietveld pola-pola difraksi sinar-x dari sampel FGM A/AT- MgO dengan komposisi berat 0% MgO dengan waktu anil 0, 5, 10, 15, dan 20 jam. FGM dianil pada suhu 1000 o C Parameter-parameter hasil dari pengeluaran penghalusan Rietveld pola-pola difraksi sinar-x dari sampel FGM A/AT- MgO dengan komposisi berat 2% MgO dengan waktu anil 0, 5, 10, 15, dan 20 jam. FGM dianil pada suhu 1000 o C Parameter-parameter hasil dari pengeluaran penghalusan Rietveld pola-pola difraksi sinar-x dari sampel FGM A/AT- MgO dengan komposisi berat 5% MgO dengan waktu anil 0, 5, 10, 15, dan 20 jam. FGM dianil pada suhu 1000 o C Hasil perhitungan fraksi berat fasa relatif FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 0% MgO dengan waktu anil 0, 5, 10, 15, dan 20 jam. FGM dianil pada suhu 1000 o C Hasil perhitungan fraksi berat fasa relatif FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 2% MgO dengan waktu anil 0, 5, 10, 15, dan 20 jam. FGM dianil pada suhu 1000 o C Hasil perhitungan fraksi berat fasa relatif FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 5% MgO dengan waktu anil 0, 5, 10, 15, dan 20 jam. FGM dianil pada suhu 1000 o C Parameter-parameter hasil dari pengeluaran penghalusan Rietveld dengan software Rietica dengan peak shape pseudo- xii

15 Tabel H.2 voight pola-pola difraksi sinar-x dari sampel FGM A/AT- MgO dengan komposisi berat 0% MgO dan waktu anil 0 jam Parameter-parameter hasil dari pengeluaran penghalusan Rietveld dengan software Rietica dengan peak shape pseudovoigt pola-pola difraksi sinar-x dari sampel FGM A/AT- MgO dengan komposisi berat 2% MgO dan waktu anil 0 jam xiii

16 xiv

17 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahan keramik banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari, dan dalam perkembangan pembuatan keramik tidak pernah berhenti karena kebutuhankebutuhan spesifik, seperti ketahanan terhadap panas, sifat mekanik yang lebih baik, sifat listrik yang spesifik menjadikan keramik menjadi perhatian dan berkembang. Keramik menarik berbagai kalangan dikarenakan bahan ini mempunyai keunggulan-keunggulan seperti tahan panas, tahan terhadap gesekan, mempunyai stabilitas tinggi, dan mempunyai sifat mekanik yang tinggi (keras, koefisien muai kecil). Di samping mempunyai keunggulan, bahan keramik juga mempunyai keterbatasan, yaitu ketahanan kejutan termal dan mekanik yang rendah sehingga menyebabkan terjadi retakan pada permukaannya (Suasmoro, 2000). Dengan meningkatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi maka para ilmuwan berusaha menciptakan bahan komposit keramik supaya mempunyai keunggulan dan lebih aplikatif. Salah satunya, berawal pada sekitar tahun 1984 para saintis Jepang untuk pertama kali membuat material komposit keramik bahan ubahan gradual (Functionally-Graded Materials, FGMs). FGMs merupakan material komposit baru yang komposisinya bervariasi dan strukturnya yang gradual yang menghasilkan perubahan pada sifat-sifat material (Niino dalam Canillo, 1995). Salah satu metode yang digunakan dalam mensintesis FGMs adalah metode infiltrasi. Metode infiltrasi ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas bahan struktur tersebut. Tehnik infiltrasi ini memanfaatkan bahan pra-keramik yang berporus dicelupkan ke dalam larutan yang mengandung prekursor. Kemudian bahan pra-keramik yang mengandung prekursor tersebut disinter pada suhu tinggi agar terbentuk fasa baru (transformasi fasa yaitu reaksi antara bahan pra-keramik dengan prekursor) dan pemadatan bahan komposit. Dengan 1

18 kegradualan komposisi itu didapatkan sifat fisik yang berubah terhadap kedalaman, misalnya kekerasan dan ketahanan retak (Pratapa dan Low, 1998). Aluminium titanat (Al 2 TiO 5 atau AT) merupakan salah satu material keramik yang mempunyai koefisien ekspansi termal yang rendah, ketahanan kejutan termal yang tinggi dan titik leleh yang tinggi (Thomas dan Steven, 1989), tetapi AT juga mempunyai kelemahan yaitu kekuatan mekaniknya rendah dan stabilitas temperaturnya juga rendah yaitu pada rentang suhu o C AT akan terdekomposisi kembali menjadi bentuk awal yaitu alumina dan rutile (Low, 2008). Untuk mencegah terjadinya dekomposisi tersebut dan menstabilkan AT maka ditambahkan MgO, SiO 2 dan ZrO 2 (Jayasankar dkk, 2006). Menurut Ishitsuka dkk (1987) substitusi Al oleh Si dan Mg efektif dalam mengontrol dekomposisi termal, tetapi efek substitusi Ti oleh Zr kecil. Penambahan Fe 2 O 3 juga mempertinggi kestabilan termal (Battilana dalam Pratapa, 1997). Sintesis FGMs dengan metode infiltrasi telah dilakukan oleh para peneliti, di antaranya sintesis FGM Al 2 O 3 -AT; (AT) tanpa penstabil (Pratapa dan Low, 1996), Al 2 O 3 -AT-ZrO 2 dengan ZrO 2 sebagai penstabil (Pratapa dan Low, 1998; Pratapa dkk., 1998a dan 1998b), Al 2 O 3 -AT dengan MgO dan spinel sebagai penstabil (Pratapa dkk., 2001) dan ZrO 2 -ZrTiO 4 (Pratapa, 2005), dengan tehnik infiltrasi tanpa vakum (Marple dan Green, 1993; Low dkk., 1995), FGM spinel- MgO dan spinel-a (Gusmahansyah, 2008). Metode infiltrasi yang diaplikasikan untuk sintesis AT tersebut hanya satu kali pencelupan. Akibat infiltrasi tunggal adalah ketajaman gradualitas komposisi dan rendahnya konsentrasi AT dipermukaan (44,5%) (Pratapa,1997), yang akan dicari adalah FGM dengan kegradualan yang landai. Kemudian AT jika dipanaskan pada rentang suhu o C akan mengakibatkan AT terdekomposisi kembali menjadi bentuk awal yaitu alumina dan rutile, untuk penstabil ZrO 2 efeknya kecil dalam mengontrol dekomposisi termal FGM AT, yaitu ditandai dengan kestabilan FGM dalam rentang temperatur terjadi dekomposisi hanya berlangsung pendek (<6 jam) (Pratapa, 1997), sehingga dari permasalahan tersebut, diusulkan untuk dilakukan penyempurnaan metode sintesis, yaitu dengan infiltrasi berulang dan penggunaan penstabil MgO dalam mengontrol dekomposisi termal FGM AT. 2

19 Dalam penelitian ini menggunakan korundum (α-al 2 O 3 atau A) sebagai pra-keramik dan MgO sebagai penstabil serta larutan TiCl 3 sebagai infiltran. Untuk mengetahui kegradualan komposisi yang terbentuk, maka FGM ini dikarakterisasi dengan metode difraksi sinar-x (XRD). Selanjutnya untuk mengetahui sifat termal FGM yaitu dengan uji dekomposisi. 1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan yang akan dipecahkan dalam penelitian ini adalah: a. Seberapa efektif metode infiltrasi berulang dalam mensintesis FGM A/AT- MgO? b. Pada konsentrasi MgO berapa kestabilan FGM A/AT-MgO dapat dicapai? 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Mengetahui keefektifan metode infiltrasi berulang dalam mensintesis FGM A/AT-MgO. 2. Mengetahui konsentrasi MgO yang diperlukan untuk mendapatkan kestabilan FGM A/AT-MgO. 1.4 Batasan Masalah 1. Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah korundum sebagai prakeramik dan MgO sebagai penstabil serta larutan TiCl 3 sebagai infiltran. 2. Suhu maksimum sinter 1450 o C. 3. Suhu anil untuk studi dekomposisi 1000 o C. 1.5 Manfaat Penelitian Dari penelitian ini memberikan pemahaman tentang teknik infiltrasi berulang dalam mensintesis FGM A/AT-MgO dan juga mengetahui sifat termal serta kegradualan komposisi yang terbentuk dari FGM tersebut sehingga dapat dijadikan sebagai acuan untuk penelitian selanjutnya. 3

20 1.6 Sistematika Penulisan Dalam penulisan Tesis ini disajikan format beberapa bab. Bab 1 tentang pendahuluan yang memuat latar belakang, perumusan masalah, tujuan masalah, batasan masalah, manfaat penelitian dan sistematika penulisan. Beberapa teori penunjang penelitian dirangkum dalam Bab 2, sedangkan metodologi penelitian ditulis dalam Bab 3. Hasil penelitian dan pembahasannya ditulis dalam Bab 4. Bab 5 kesimpulan dan saran. 4

21 BAB 2 KAJIAN PUSTAKA 2.1 Functionally-Graded Material (FGMs) FGMs atau bahan ubahan gradual adalah merupakan material komposit baru yang komposisinya bervariasi dan strukturnya yang gradual yang menghasilkan perubahan pada sifat-sifat material (Niino dalam Canillo, 1995). FGMs dirancang untuk memiliki dua sifat yang berbeda pada kedua permukaan komposit, namun kedua sifat tersebut berubah secara kontinyu dari satu permukan kepermukaan yang lainnya, dengan kata lain konsentrasi dispersoid berubah secara gradual terhadap kedalaman komposit (Hirai dalam Pratapa, 1997). Beberapa FGMs logam-keramik dapat dihasilkan dengan metode infiltrasi serbuk, filtrasi, sinter, teknik difusi dan reaksi dan lain-lain (Pratapa, 1997). Beberapa sistem yang sudah disintesis adalah FGM Al 2 O 3 -AT; (AT) tanpa penstabil (Pratapa dan Low, 1996), Al 2 O 3 -AT-ZrO 2 dengan ZrO 2 sebagai penstabil (Pratapa dan Low, 1998; Pratapa dkk., 1998a dan 1998b), Al 2 O 3 -AT dengan MgO dan spinel sebagai penstabil (Pratapa dkk., 2001) dan ZrO 2 -ZrTiO 4 (Pratapa, 2005), dengan tehnik infiltrasi tanpa vakum (Marple dan Green, 1993; Low dkk., 1995), FGM spinel-mgo dan spinel-α-al 2 O 3 (Gusmahansyah, 2008). 2.2 Infiltrasi Cairan Infiltrasi merupakan salah satu metode yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas FGMs. Teknik infiltrasi ini memanfaatkan bahan prakeramik yang berporus dicelupkan ke dalam larutan yang mengandung prekursor. Kemudian bahan pra-keramik yang mengandung prekursor tersebut disinter pada suhu tinggi agar terbentuk fasa baru (transformasi fasa yaitu reaksi antara bahan pra-keramik dengan prekursor) dan pemadatan bahan komposit. Dengan kegradualan komposisi itu didapatkan sifat fisik yang berubah terhadap kedalaman, misalnya kekerasan dan ketahanan retak (Pratapa dan Low, 1998). Sintesis FGM AT dengan metode infiltrasi telah dilakukan oleh para peneliti, diantaranya sintesis FGM Al 2 O 3 -AT; (AT) tanpa penstabil (Pratapa dan Low, 5

22 1996), Al 2 O 3 -AT-ZrO 2 dengan ZrO 2 sebagai penstabil (Pratapa dan Low, 1998; Pratapa dkk., 1998a dan 1998b). Low dkk (1996) menggunakan prakeramik alumina berporositas sekitar 49% yang dicelupkan secara total ke dalam larutan tetraethyl ortho-titanate (TEOT) selama 2 jam. Kemudian sampel dikeringkan pada temperatur kamar selama ±24 jam dan disinter pada suhu 1550 o C selama 3 jam. Saat sinter terjadi reaksi antara alumina dan titania membentuk aluminium titanat. Low dkk. Menunjukkan hasil pemetaan distribusi unsur titanium dari komposit AT/Al 2 O 3 secara kualitatif melalui pengukuran intensitas sinar-x, karakteristik dengan menggunakan mikroskop elektron. Pratapa dan Low (1996) memanfaatkan sifat-sifat zirconia-toughened alumina sebagai keramik untuk membuat komposit AT/ZrO 2 -Al 2 O 3. Seluruh badan prakeramik yang mempunyai porositas sekitar 46% dicelupkan kedalam larutan yang mengandung 30% berat titanium klorida selama 24 jam. Kemudian prakeramik dikeringkan pada temperatur kamar selama 2 jam dan disinter pada suhu 1550 o C selama 3 jam. Dari proses ini didapatkan karakteristik kegradualan komposisi unsur-unsur secara kualitatif di mana konsentrasi titanium menurun terhadap kedalam infiltrasi, sedangkan konsentrasi aluminium dan zirkonium hampir tidak mengalami perubahan terhadap kedalam infiltrasi. Penelitian lebih lanjut dilakukan oleh Pratapa (1997) dengan menggunakan difraksi sinar-x untuk mengetahui kegradualan komposisi fasa pada komposit AT/ZrO 2 -Al 2 O 3 terhadap kedalaman bahan yaitu 0,0 hingga 1,5 mm. Fasa yang ada pada material tersebut adalah AT, korundum, zirkonia monoklinik dan zirkonia tetragonal. Dari hasil penelitian didapatkan intensitas AT menurun secara gradual terhadap kedalaman,sebaliknya intensitas korundum semakin meningkat terhadap kedalaman. Adanya perubahan intensitas puncak difraksi terhadap kedalaman menunjukkan bahan tersebut mempunyai kegradualan komposisi dan fasa titania tidak muncul ini dikarenakan titania (rutile) telah bereaksi secara sempurna dengan korundum untuk membentuk aluminium titanat. Pada kasus FGMs, dari hasil penelitian menunjukkan gradasi kandungan prekursor dipermukaan pra-keramik sangat tajam (misal, Pratapa 1997 dan 6

23 PowderCell a), karena difusi prekursor terjadi secara lambat sehingga prekursor cenderung mengumpul dipermukaan (Pratapa, 2005). 2.3 Aluminium Titanat Aluminium titanat (Al 2 TiO 5 atau AT) atau tialit merupakan material keramik yang koefisien ekspansi termalnya rendah, mempunyai titik leleh tinggi, ketahanan kejutan termalnya tinggi, konduktivitas termal rendah dan tahan rusak (Low, 2008). Karena AT mempunyai koefisien ekspansi termal yang rendah maka dia cocok untuk peralatan yang tahan terhadap kejutan termal (Shobani dkk., 1998). AT juga sebagai isolasi listrik yang baik maka dia cocok untuk komponen penyekat dalam industri otomotif, cetakan cor-coran aluminium (aluminium casting dies) dan material pelindung yang digunakan dalam reaktor fusi nuklir (Low, 1998). AT biasanya dibuat dengan mereaksikan secara sintering melalui reaksi persamaan perbandingan molar dari alumina dan titania (rutile) diatas suhu 1280 o C (Kato dkk., 1980), dimana jika oksidasi dengan udara menghasilkan: α-al 2 O 3 +TiO 2 (rutile) β-al 2 TiO 5 (2.1) Struktur kristal AT adalah tipe pseudobrokite. AT ini mempunyai struktur kristal orthorhombic, dengan space group Cmcm dan parameter kisi: a = 3,591 Å, b = 9,429 Å dan c = 9,636 Å (Zaharescu dkk., 1998). b a c b a c Gambar 2.1 Struktur kristal AT 7

24 Keterangan: = Atom Ti = Atom O = Atom Al Dari gambar 2.1 menunjukkan struktur kristal AT adalah oksigen oktahedral yang didistribusikan di sekitar logam yaitu pada ion Al 3+ dan ion Ti 4+. Selain memiliki beberapa keunggulan, AT juga memiliki kelemahan, yaitu berhubungan dengan ketidakstabilan termal pada rentang suhu o C, yang mengakibatkan AT akan terdekomposisi kembali menjadi bentuk awal yaitu korundum dan TiO 2 rutile (Kato dkk., 1980). Ketidakstabilan termal ini dapat dikontrol dengan penambahan MgO, SiO 2 dan ZrO 2 (Jayasankar dkk, 2006). Pengintian mendominasi selama dekomposisi (Kameyama dan Kamaguchi dalam Pratapa, 1997). Menurut Ishitsuka dkk (1987) substitusi Al oleh Si dan Mg efektif dalam mengontrol dekomposisi termal, tetapi efek substitusi Ti oleh Zr kecil. Sedangkan penambahan Fe 2 O 3 juga dapat mempertinggi kestabilan termal (Battilana dkk, 1995). Menurut Ishitsuka, pada sampel yang dianil 240 jam, dekomposisi terjadi pada rentang suhu o C, di bawah suhu 900 o C dan di atas 1200 o C tidak terjadi dekomposisi. Dekomposisi termal dari AT akan terjadi sempurna pada temperatur 1100 o C dengan penambahan 1 sampai 3% SiO 2, 5% ZrO 2, dan 5% MgO. Penambahan 2% MgO dapat mengubah mekanisme pembentukan AT karena akan terbentuk fase spinel yang diteruskan pertumbuhan solid solution Mg dan menghasilkan pengurangan yang besar dari ukuran butir rata-rata dan densitas material (Buscaglia dkk, 1993). Dari penelitian yang telah dilakukan Pratapa (1997), menunjukkan adanya zirkonia dalam FGM akan memberikan efek yang menguntungkan terhadap dekomposisi termal AT, tetapi efek ini hanya berlangsung pada waktu anil yang pendek (< 6 jam), untuk waktu anil yang lebih lama efek menguntungkan tersebut diperkirakan akan tidak signifikan sebab zirkonia merupakan penstabil yang kurang efektif untuk AT. 8

25 2.4 Alumina dan Magnesium Oksida Aluminium III Oxide (Al 2 O 3 ) atau alumina merupakan bahan keramik berbentuk granular yang berwarna putih, sedikit lebih halus daripada garam dapur dan merupakan serbuk yang padat. Jenis alumina tergantung pada metode pembuatannya. Keramik alumina memiliki kekuatan mekanik yang tinggi, kekerasannya bagus, tahan korosi dan panas, sehingga dari sifat sifat tersebut maka aplikasi aluminapun luas, yaitu meliputi keramik elektronik, material yang kekuatannya tinggi dan sebagai katalis (Gocmez, 2008). Tabel 2.1 Karakteristik fisis Alumina (Web element, 2008) No Sifat-sifat Nilai 1 Struktur kristal HCP 2 Warna Putih 3 Bentuk Kristal padat 4 Densitas 4000 Kg.m -3 5 Titik didih 3000 o C 6 Titik leleh 2054 o C Gambar 2.2 Struktur kristal alumina (Web element, 2008) Magnesium oksida (MgO) atau magnesia merupakan salah satu jenis bahan keramik yang mempunyai titik lebur yang tinggi yaitu sekitar 3073 K, digunakan pada temperatur refractory yang tinggi, electrical insulation, 9

26 pembungkus makanan, kosmetik dan hal-hal yang berkenaan dengan bidang farmasi. Magnesium oksida adalah suatu mineral padat putih yang dapat terbentuk secara alami dari magnesium dan oksida, dibentuk oleh suatu ikatan ionik antara satu atom magnesium dan satu atom oksida yang membentuk struktur kristal FCC (Af idah, 2007), seperti pada Gambar 2.3. Gambar 2.3 Struktur kristal MgO (Web element, 2008) Tabel 2.2 Karakteristik fisis MgO (Web element, 2008) No Sifat-sifat Nilai 1 Struktur kristal FCC 2 Warna Putih 3 Bentuk Kristal padat 4 Densitas 3600 Kg.m -3 5 Titik didih 3600 o C 6 Titik leleh 2830 o C Magnesia banyak digunakan sebagai material konstruksi yang tahan panas dan sebagai wadah atau tempat untuk melebur lapisan logam. MgO merupakan salah satu bahan keramik yang banyak digunakan dalam bahan komposit, yaitu sebagai penguat (filler) yang dapat memperbaiki sifat mekanik dan fisis dari suatu material. MgO bersifat higroskopik secara alami, oleh sebab itu MgO harus 10

27 diletakkan dalam suatu wadah yang dapat melindunginya dari embun, jika tidak maka akan terbentuk magnesium hidroksida (Mg(OH) 2 ) yang mengandung air. Untuk mengembalikan magnesium hidroksida menjadi magnesium oksida maka harus dilakukan pemanasan untuk menghilangkan kandungan air didalamnya (Af idah, 2007). 2.5 Difraksi Sinar-X (XRD) Sinar-x merupakan gelombang elektromagnetik frekuensi tinggi yang dihasilkan dari tumbukan antara elektron yang bergerak cepat dengan atom yang diam. Panjang gelombang sinar-x berkisar antara 0,5-2,5 Ǻ. Sebuah kristal yang terdiri dari deretan atom yang teratur letaknya, masing-masing atom pada kristal dapat menghamburkan gelombang elektromagnetik yang datang padanya. Peristiwa hamburan sinar-x oleh atom-atom pada kristal disebut difraksi sinar-x. Untuk mengidentifikasi fasa-fasa yang ada pada sebuah partikel digunakan model karakterisasi material standar salah satunya adalah difraksi sinar-x ang telah digali oleh peneliti-peneliti sebelumnya, misalnya untuk tujuan analisis komposisi fasa, penentuan ukuran kristal dan penentuan regangan kristal. Untuk tujuan itu, metode Rietveld telah banyak digunakan (Young, 1993). Menurut Pratapa (2004), pengukuran data difraksi menghasilkan keluaran penting yaitu, sudut 2θ dan intensitas pada sudut yang bersesuaian. 2.6 Analisis Komposisi Fasa Analisis Kualitatif Pola difraksi yang diperoleh dari difraktometer sinar-x menggambarkan kristalinitas material yang diuji. Dari pola difraksi tersebut dapat diperkirakan ada tidaknya fasa kristal dan/atau fasa amorf. Sedangkan untuk menentukan fasa apa saja yang terdapat pada material disebut identifikasi fasa. Prose identifikasi fasa didasarkan pada pencocokan data posisi-posisi puncak difraksi terukur dengan basis data (database), misalnya dalam bentuk kartu PDF (Powder Diffraction File). Langkah-langkah dalam mengindentifikasi fasa dengan menggunakan software, terdiri dari: Peak search (menemukan posisi puncak) dan Search 11

28 match (pencocokan terhadap basis data). Search march dapat dilakukan dengan cara manual maupun cara berbasis komputer (Pratapa, 2004) Analisis Kuantitatif Analisis kuantitatif bertujuan untuk mengetahui komposisi dari material yang diuji. Analisis ini dapat dilakukan secara fisika dan kimia. Analisis menggunakan difraksi sinar-x merupakan tehnik yang lebih baik dalam menganalisis campuran kristalin, karena memungkinkan dilakukan identifikasi berbagai komponen pola difraksi yang bersuperposisi. Hal ini disebabkan pada tiap komponen dari campuran menghasilkan pola karakteristik yang tidak saling bergantung satu dengan yang lain. Disamping itu intensitas tiap pola berbanding lurus dengan jumlah yang ada, sehingga analisis kuantitatif untuk berbagai komponen dapat dikembangkan. Analisis secara kimia dapat memberikan informasi tentang komposisi material tetapi mempunyai tingkat kesulitan yang tinggi dalam membedakan identitas kimiawi dari berbagai fasa dalam sebuah campuran material. Jadi perhitungan yang ada pada analisis fasa material, campuran fasa alloy dari unsur yang sama dengan komposisi berbeda dan jumlah relatif dari polimorf dalam campuran dapat dikerjakan dengan difraksi sinar-x, tetapi sulit bahkan tidak bisa dilakukan dengan metode kimia (Sutrisno, 2006). Dari analisis lanjut tersebut akan menghasilkan tiga karakter utama yang dapat memberikan gambaran tentang kondisi pengukuran dan sifat-sifat kristal yaitu posisi, tinggi serta lebar dan bentuk puncak (Pratapa, 2004). 2.7 Analisis Menggunakan Metode Rietveld Metode Rietveld pertama kali disusun oleh H. M. Rietveld (1967, 1969) dan digunakan untuk mempelajari struktur kristal dari campuran uranium oksida. Metode Rietveld dapat juga digunakan untuk mengamati dan menganalisis data dari pola difraksi polikristalin, terutama ketika terjadi overlap pada pola difraksi. Metode yang digunakan dalam analisis ini adalah metode kuadrat terkecil yaitu mencocokkan/menghaluskan pola difraksi terhitung (model) dengan pola difraksi 12

29 terukur. Beberapa langkah yang bisa dilakukan dalam proses analisis Rietveld adalah (Gusmahansyah, 2008): a. Melakukan identifikasi fasa. Yaitu untuk mengetahui fasa fasa yang terkandung dalam material. b. Penyusunan format data, yaitu menyusun format data terukur dengan perangkat data yang akan digunakan. c. Membuat model untuk material yang dianalisis, data diambil dari data base sesuai dengan nomor ICSD. d. Melakukan refinement (penghalusan), yang bertujuan untuk mendapatkan kecocokan antara pola difraksi terukur dengan pola difraksi terhitung. Hasil dari refinement dapat diterima bila telah memenuhi nilai-nilai dari indeks reabilitas (R) yang terdiri dari Figures of merit (FoM) yaitu R-profile(R p ), R-weigted profile (R wp ), R-expected (R exp ) dan Goodness of fit (GoF). 2.8 Fraksi Berat Relatif dan Fraksi Berat Absolut Untuk menghitung komposisi masing-masing fasa dari material, dilakukan dengan memanfaatkan parameter keluaran hasil penghalusan (refinement) dengan metode Rietveld. Metode ZMV relatif (Hill dan Howard, 1987) merupakan salah satu metode yang sering digunakan untuk analisis komposisi fasa, dengan persamaan: W i i n k 1 s ( ZMV) s ( ZMV) k i k, (2.2) dengan Wi fraksi berat relatif fasa i (%), s faktor skala Rietveld, Z adalah rumus kimia dalam sel satuan. M adalah berat fasa dan V adalah volume sel satuan. 13

30 Halaman ini sengaja dikosongkan 14

31 BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Penyiapan Bahan Uji Dalam penelitian ini hal pertama yang dilakukan adalah penyiapan sampel. Untuk FGM A/AT-MgO ini, bahan dasar yang digunakan adalah serbuk korundum, serbuk MgO dengan komposisi berat 0%, 2% dan 5%, dan larutan TiCl 3 sebagai infiltran. Untuk sintesis sampel FGM ini, serbuk MgO yang dipergunakan merupakan hasil sintesis dengan metode presipitasi. Bahan yang dipergunakan adalah Mg(NO 3 ) 3. Langkah-langkah pembuatannya adalah sebagai berikut Mg(NO 3 ) 3 dilarutkan dalam 32 ml air bi-destilasi, kemudian larutan tersebut ditambahkan sedikit demi sedikit NH 4 OH sebanyak 6,5 ml, selanjutnya larutan tersebut disaring dengan kertas penyaring dan dicuci dengan air bi-destilasi sebanyak 3 kali untuk menghilangkan impuritas yang terkandung dalam larutan Mg(NO 3 ) 3 tersebut dan akan menghasilkan MgO murni, setelah disaring, endapan yang terbentuk dikeringkan pada suhu sekitar 100 o C untuk menghilangkan kandungan air, yang dilanjutkan dengan kalsinasi pada suhu 600 o C untuk mendapatkan MgO (Afiati, 2009). Selanjutnya dalam pembuatan FGM A/AT-MgO sendiri langkahlangkahnya adalah 25 gram serbuk korundum dicampur dengan serbuk MgO hasil sintesis dengan komposisi berat 0%, 2% dan 5%, kemudian ditambahkan air bidestilasi sebanyak 25 ml dan NH 4 OH secukupnya lalu dikeringkan dalam oven selama 2 jam pada suhu 70 o C setelah itu digerus dan diayak kemudian dipelet berbentuk silinder dengan diameter 12 mm. Tekanan yang diberikan 37 MPa dan dipra-sinter pada suhu 1000 o C selama 1 jam. Proses selanjutnya sampel diinfiltrasi selama 30 menit, kemudian dikeringkan, setelah dikeringkan sampel diinfiltrasi lagi secara berulang sebanyak tiga kali yang dilanjutkan sinter pada suhu 1450 o C selama 3 jam agar terjadi reaksi prekursor dengan matriknya (transformasi menjadi fasa baru yaitu AT) dan pemadatan komposit. 15

32 3.2 Karakterisasi Bahan Uji Pengujian Difraksi Sinar-X Pengujian difraksi sinar-x terhadap sampel dilakukan di laboratorium Difraksi Sinar-X RC (Research Center) LPPM ITS Surabaya, dengan spesifikasi alat sebagai berikut: Tipe peralatan Sumber radiasi Sistem optik Sampel Data : Philips X Pert MPD (Multi Purpose Diffractometer) System : Anoda-Cu, type PW3373/00 Cu LFF dioperasikan pada 40 kv dan ma Panjang gelombang: CuKα ~ 1,5418 Ǻ (berbobot) : Bragg-Brentano : Programmable Divergensi Slit, panjang iradiasi = 8 mm Incident Beam mask = Inc. Mask Fixed 10 mm Incident Beam soller slit = soller 0,04 rad Receiving slit = soller Fixed 0,1 mm : Sampel tidak dirotasikan : Langkah pengukuran 2θ = 0,02 o Pengukuran 2θ = o dan 2θ = o 3.3 Uji Dekomposisi Uji dekomposisi bertujuan untuk mengetahui mekanisme dekomposisi dan penstabilan material oleh fasa lain (Pratapa, 1997). Uji ini menggunakan furnace temperatur tinggi yang dilakukan di Laboratorium Fisika Keramik FMIPA ITS. Sedangkan difraksi sinar-x dilakukan di Laboratorium Difraksi Sinar-X RC (Research Center) LPPM ITS Surabaya.. Sampel model XRD itu dipilih untuk dianil pada suhu 1000 o C selama 0, 5, 10, 15, dan 20 jam. Derajat dekomposisi ditentukan dengan menggunakan fraksi berat fasa hasil keluaran dari analisis Rietveld yang besarnya berubah terhadap pertambahan waktu anil. 3.4 Analisis Data Lanjut (Rietveld) Untuk menentukan komposisi fasa dengan menggunakan persamaan (2.2) dan untuk menentukan fraksi berat absolut menggunakan persamaan (2.3) dengan memanfaatkan faktor skala s dari hasil pengeluaran Rietica. 16

33 Kemudian salah satu analisis lanjut untuk mengetahui karakter fisis material secara kuatitatif berdasarkan data difraksi sinar-x adalah analisis Rietveld (Rietveld, 1969). Dan program komputer untuk menganalisis data difraksi tersebut dengan software Rietica. Pada penelitian ini, untuk AT dibuat model dari ICSD nomor (Austin, 1985), korundum dari ICSD nomor (Maslen, 197), rutile dari ICSD nomor (Khitrova, 1999) dan spinel dari ICSD nomor (Sawadah, 1998). Setelah dilakukan pemilihan model, selanjutnya dilakukan pencocokan pola difraksi terukur dengan pola difraksi terhitung dengan cara mengubah/memperhalus (refining) parameter parameter dalam model terhitung. Analisis ini disebut proses Refinement. Dari proses refinement, akan diperoleh parameter parameter keluaran (output) yang selanjutnya akan digunakan dalam analisis lanjutan. Parameter parameter yang direfine adalah dengan Background (B o, B 1, B 2, B 3, B 4, B 5 ), Sample displacement, Phase scale, Lattice parameter, Size, U parameter, Asymetry parameter, Overall thermal, Preferred orientation. Dengan memanfaatkan parameter keluaran Rietica tersebut maka dapat menganalisis komposisi fasa serta perhitungan fraksi berat relatif. 17

34 Korundum serbuk + MgO serbuk Pelet Pra-sinter pada suhu 1000 o C (selama 1 Jam) Infiltrasi berulang sebanyak 3 kali Sinter pada suhu 1450 o C (selama 3 jam) FGM A/AT-MgO XRD pada permukaan dan berbagai kedalaman Uji dekomposisi Kesimpulan Gambar 3.1 Diagram alir penelitian 18

35 BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Bab 4 ini berisikan hasil pengukuran data, analisis data dan pembahasan untuk menjelaskan sintesis FGM A/AT-MgO dengan metode infiltrasi berulang. Dari penelitian yang telah dilakukan didapatkan data hasil eksperimen, di antaranya data uji XRD dan uji dekomposisi. Uji XRD dilakukan untuk mengetahui kegradualan komposisi AT, korundum, rutile, dan spinel yang terbentuk pada FGM A/AT-MgO. Selanjutnya uji dekomposisi dilakukan untuk mengetahui mekanisme dekomposisi AT menjadi korundum dan rutile, serta untuk mengetahui penstabilan AT oleh MgO. 4.1 Karakterisasi Sifat Fisik Dalam penelitian ini, karakterisasi pertama yang dilakukan adalah mengidentifikasi sifat fisik, yaitu penyusutan diameter. Sampel yang dikarakterisasi adalah FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 0, 2, dan 5% MgO yang disinter pada suhu 1450 o C selama 3 jam. Untuk hasil dari karakterisasi dapat dilihat pada Tabel 4.1. Tabel 4.1 Penyusutan diameter FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 0, 2, dan 5% MgO. FGM disinter pada suhu 1450 o C selama 3 jam. No Komposisi berat MgO (%) Penyusutan diameter (mm) Sebelum Sesudah ,0 (1) 10,5(2) ,0(1) 11,1(2) ,0(1) 10,7(1) Pada Tabel 4.1 terlihat adanya penyusutan diameter setelah dilakukan sinter. Untuk FGM dengan 0% MgO sebelum dilakukan sinter, diameternya sebesar 12,0(1) mm, setelah dilakukan sinter diameternya menyusut menjadi 19

36 10,5(2) mm, sedangkan untuk FGM dengan 2% MgO sebelum dilakukan sinter, diameternya sebesar 12,0(1) mm dan setelah dilakukan sinter ternyata diameternya berubah menjadi 11,1(2) mm. Adapun untuk FGM dengan komposisi berat 5% MgO juga mengalami fenomena yang sama dengan kedua sampel di atas, diameter sebelum sinter sebesar 12,0(1) mm dan setelah sinter menyusut menjadi 10,7(1) mm. Hal tersebut dikarenakan pada saat proses sinter terjadi perpindahan atom yang terdekat yang menyebabkan jumlah titik kontak antar atom semakin bertambah sehingga menimbulkan necking (pembentukan leher). Oleh karena adanya perbedaan energi bebas antara daerah leher dengan permukaan partikel yang memberikan driving force akan menyebabkan transportasi massa (difusi) semakin cepat. Ketika suhu dan waktu semakin meningkat maka akan terjadi pertumbuhan leher yang disebabkan oleh difusi atom-atom pada batas butir dan jarak antar butir akan semakin dekat sehingga ikatan antar butirpun juga semakin kuat. Pengurangan jarak ini menimbulkan penyusutan. 4.2 Karakterisasi Kegradualan Komposisi Difraksi Sinar-x Difraksi sinar- x digunakan untuk mengetahui kandungan fasa dalam sampel. Kemudian data hasil difraksi sinar-x. pada berbagai variasi kedalaman sampel (0,0-0,5 mm) diukur untuk mengetahui terbentuknya fasa-fasa pada kedalaman tersebut yang komposisinya berubah terhadap kedalaman. Gambar 4.1 menunjukkan pola difraksi sinar-x FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 0% MgO. Gambar tersebut menyatakan, pada kedalaman 0,0 mm (permukaan) terdapat fasa AT dan korundum dengan puncak intensitas AT lebih tinggi dibandingkan intensitas korundum yang mengindikasikan kandungan AT pada permukaan FGM lebih banyak, intensitas AT tersebut semakin menurun secara gradual sampai kedalaman 0,5 mm, sebaliknya intensitas korundum semakin meningkat seiring kedalaman sampel, ini mengindikasikan FGM memiliki kegradualan komposisi. Rutile tidak muncul pada permukaan FGM yang menandakan bahwa rutile telah bereaksi sempurna dengan korundum membentuk 20

37 Intensitas AT. Kemudian pada kedalaman 0,1 mm muncul fasa rutile di sekitar sudut 2θ = 27,4 yang jumlah dan intensitasnya makin meningkat seiring kedalaman sampel. 0,5 mm 0,4 mm 0,3 mm # # 0,2 mm # X 0,1 mm X X o X X X o o X X X X X o 0,0 mm Theta Gambar 4.1 Pola difraksi sinar-x ( CuKα = Å) dari FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 0% MgO pada kedalaman 0,0-0,5 mm. FGM disintesis dengan sinter pada suhu 1450 o C. Ket: x = AT, o = korundum, dan # = rutile. Hal tersebut disebabkan oleh rutile dan korundum pada titik-titik tertentu terperangkap tanpa bisa saling bereaksi membentuk AT. Fenomena ini seperti penelitian yang telah dilakukan Pratapa dkk (1998) dengan menggunakan difraksi sinar-x untuk mengetahui kegradualan komposisi fasa pada komposit AT/ZrO 2 - Al 2 O 3 terhadap kedalaman bahan, yaitu 0,0 hingga 1,5 mm. Fasa yang ada pada material tersebut adalah AT, korundum, zirkonia monoklinik dan zirkonia tetragonal, sedangkan fasa rutile tidak ditemukan. Dari hasil penelitian tersebut didapatkan intensitas AT menurun secara gradual terhadap kedalaman,sebaliknya intensitas korundum semakin meningkat terhadap kedalaman. 21

38 Intensitas 0,5 mm 0,4 mm 0,3 mm * * * * 0,2 mm 0,1 mm X X X o X X X o oxx X X X o 0,0 mm Theta Gambar 4.2 Pola difraksi sinar-x ( CuKα = Å) dari FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 2% MgO pada kedalaman 0,0-0,5 mm. FGM disintesis dengan sinter pada suhu 1450 o C. Ket: x = AT, o = korundum, dan * = spinel. Gambar 4.2 menunjukkan FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 2% MgO. Gambar tersebut menyatakan intensitas AT menurun secara gradual pada permukaan sampai ke pusat sampel, dan sebaliknya intensitas korundum meningkat terhadap kedalaman. Intensitas AT pada FGM ini lebih rendah dan intensitas korundum lebih tinggi jika dibandingkan dengan FGM dengan 0% MgO. Adanya fenomena ini memberikan pemahaman bahwa dengan penambahan 2% MgO pada FGM maka pada waktu pra-sinter MgO tersebut mengalami pertumbuhan butir yang mengakibatkan porositas FGM semakin kecil sehingga jumlah infiltran TiCl 3 yang masuk pada FGM mengalami penurunan dibandingkan pada FGM dengan 0% MgO dan dengan sedikitnya infiltran yang masuk pada FGM maka rutile yang terbentuk pada FGM juga semakin sedikit dan dengan jumlah yang sedikit tersebut maka rutile akan habis bereaksi dengan 22

39 Intensitas korundum membentuk AT, sehingga AT yang terbentukpun lebih sedikit dibandingkan pada FGM dengan 0% MgO, sedangkan untuk fasa korundum intensitasnya lebih tinggi dibandingkan pada FGM dengan 0% MgO mengindikasikan dengan sedikitnya jumlah rutile yang terkandung pada FGM akan mengakibatkan semakin sedikit pula jumlah korundum yang dibutuhkan untuk berekasi dengan rutile tersebut untuk membentuk AT, sehingga kandungan korundum yang tersisa masih banyak dibandingkan pada FGM dengan 0% MgO. 0,5 mm 0,4 mm 0,3 mm 0,2 mm X X X o * o * X X X X X * X X * Theta o o 0,1 mm 0,0 mm Gambar 4.3 Pola difraksi sinar-x ( CuKα = Å) dari FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 5% MgO pada kedalaman 0,0-0,5 mm. FGM disintesis dengan sinter pada suhu 1450 o C. Ket: x = AT, o = korundum, dan * = spinel. Lebih lanjut, rutile tidak ditemukan dalam FGM ini yang menandakan rutile telah habis bereaksi dengan korundum membentuk AT dan spinel tidak ditemukan pada kedalaman 0,0 sampai 0,1 mm yang menandakan terbentuknya solid solution Al 2(1-x) Mg x Ti 1+x O 5 (Ishitsuka dkk, 1987; Wohlfromm dkk, 1991) dan spinel 23

40 ternyata ditemukan pada kedalaman 0,2 mm, yaitu sekitar sudut 2θ = 19,0, 31,3, 36,8, dan 44,8, dengan intensitas yang semakin meningkat terhadap kedalaman, peristiwa tersebut menandakan pada kedalaman 0,0 sampai 0,1 mm, solid solution Al 2(1-x) Mg x Ti 1+x O 5 lebih dulu terbentuk daripada fasa spinel. Gambar 4.3 menunjukkan FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 5% MgO. Pada Gambar tersebut terlihat pada kedalaman 0,0 mm terdapat fasa AT dan korundum dengan intensitas AT lebih rendah dan intensitas korundum lebih tinggi dibandingkan dengan intensitas AT dan intensitas korundum pada FGM dengan 0% dan 2% MgO, hal ini menandakan pada FGM dengan 5% MgO kandungan fasa AT lebih rendah dan kandungan fasa korundumnya lebih tinggi dibandingkan pada FGM dengan 0% dan 2% MgO, fenomena tersebut dikarenakan dengan penambahan MgO yang lebih banyak yaitu 5% pada FGM maka pada saat pra-sinter porositas FGM semakin mengalami penurunan dibandingkan dengan penambahan 2% MgO yang diakibatkan oleh pertumbuhan butir MgO yang jumlahnya lebih banyak sehingga infiltran TiCl 3 yang masuk pada FGM juga semakin sedikit dan akibatnya rutile yang terbentuk pada FGM mengalami penurunan sehingga AT yang terbentukpun lebih sedikit dibandingkan pada FGM dengan 0% maupun 2% MgO, adapun untuk fasa korundum intensitasnya lebih tinggi dibandingkan pada FGM dengan 0% dan 2% MgO yang menandakan dengan sedikitnya jumlah rutile yang terkandung pada FGM akan mengakibatkan semakin sedikit pula jumlah korundum yang dibutuhkan untuk bereaksi dengan rutile tersebut untuk membentuk AT, sehingga kandungan korundum yang tersisa masih banyak dibandingkan pada FGM dengan 0% dan 2% MgO. Kemudian pada kedalaman selanjutnya intensitas fasa AT semakin menurun sampai kedalaman 0,5 mm dan sebaliknya untuk fasa korundum semakin meningkat seiring kedalaman. Untuk fasa rutile tidak muncul, sedangkan fasa spinel sudah terbentuk pada permukaan FGM dan intensitasnya semakin meningkat sampai kedalaman 0,5 mm. Berdasarkan analisis kualitatif ketiga sampel di atas tersebut, fasa AT ditemukan pada semua kedalaman dan pembentukan fasa AT dibuat dengan mereaksikan secara sintering melalui reaksi persamaan perbandingan molar dari 24

41 alumina dan titania (rutile) di atas suhu 1280 o C (Kato dkk., 1980), yaitu jika oksidasi dengan udara menghasilkan: α-al 2 O 3 +TiO 2 (rutile) β-al 2 TiO 5 (4.1) Pola difraksi dari ketiga sampel terhadap kedalaman mengindikasikan bahwa sampel tersebut merupakan FGM. Studi ini seperti yang telah diamati oleh Marple dan Green (1989) dengan menggabungkan mullite kedalam alumina, FGM Al 2 O 3 -AT; (AT) tanpa penstabil (Pratapa dan Low, 1996), Al 2 O 3 -AT-ZrO 2 dengan ZrO 2 sebagai penstabil (Pratapa dan Low, 1998; Pratapa dkk., 1998a dan 1998b), Al 2 O 3 -AT dengan MgO dan spinel sebagai penstabil (Pratapa dkk., 2001) dan ZrO 2 -ZrTiO 4 (Pratapa, 2005), FGM spinel-mgo dan spinel-α-al 2 O 3 (Gusmahansyah, 2008). Tetapi karakter kegradualan komposisi pada sampel perlu dianalisis lebih lanjut, misalnya dengan menggunakan metode Rietveld seperti yang akan dijelaskan berikut ini Hasil Penghalusan Metode Rietveld Setelah melakukan analisis kualitatif langkah selanjutnya melakukan penghalusan menggunakan metode Rietveld dengan software Rietica (Hunter, 1998). Untuk menggunakan metode ini terlebih dahulu dibuat model yang didapatkan dari database kristalografi. Dalam penelitian ini model yang dibuat dari data ICSD yang sesuai dengan bahan yang digunakan untuk sintesis FGM A/AT-MgO, yaitu korundum. Adapun untuk mendapatkan model yang diinginkan maka harus dipilih dari database yang sesuai dengan nomor ICSD sehingga dari hal tersebut dapat menunjukkan kecocokan dan kesesuian antara pola terhitung dengan pola terukur. Pemodelan yang dipilih dalam sampel FGM A/AT-MgO adalah untuk AT dibuat model dari ICSD nomor (Austin, 1985), korundum dari ICSD nomor (Maslen, 197), rutile dari ICSD nomor (Khitrova, 1999) dan spinel dari ICSD nomor (Sawadah, 1998). Untuk FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 0% MgO, pola difraksi terhitung yang dipilih dari permodelan tersebut seperti yang ditampilkan pada Gambar 4.4 dan Lampiran A, sedangkan 25

42 Counts untuk FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 2 dan 5% MgO pola difraksi terhitung yang dipilih dari pemodelan tersebut juga ditampilkan pada Lampiran A. Permodelan tersebut akan digunakan sebagai pola difraksi terhitung pada analisis kuantitatif dengan menggunakan metode Rietveld. Data pemodelan yang terpilih dari ICSD ditampilkan pada Lampiran B. AT#A#R A A AT AT A AT AT A AT R R AT AT AT AT AT R theta (deg) Gambar 4.4 Contoh Pola difraksi pemodelan gabungan AT, korundum (A), dan rutile (R). Pada Gambar 4.5 terlihat posisi-posisi puncak sesuai dengan posisi-posisi puncak pada pola difraksi AT, korundum, dan rutile pada Gambar 4.4, begitu variasi intensitas difraksinya, ini menunjukkan pemilihan model bisa diterima. Dalam menganalisis menggunakan metode Rietveld ini, masing-masing sampel dilakukan penghalusan terhadap parameter-parameter dengan urutanurutan, yaitu background, faktor skala, parameter kisi, sample displacement, asymmetry, parameter termal isotropik tiap atom, komposen Gaussian, komponen Lorentzian (H L ), dan preferred orientation. Hasil penghalusan parameter-parameter yang menunjukkan kesesuaian antara pola pengukuran dan pola permodelan dimuat dalam Lampiran C. Untuk 26

43 Counts sampel FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 0, 2, maupun 5% MgO proses penghalusan dapat dilakukan pada kedalaman 0,0 sampai 0,5 mm AT#A#R theta (deg) Gambar 4.5 Contoh pola hasil akhir dari penghalusan yang diperoleh dari program Rietica untuk sampel FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 0% MgO pada kedalaman 0,2 mm yang disinter pada suhu 1450 o C. Puncak warna merah adalah pola difraksi terhitung, puncak (+++) warna hitam adalah pola difraksi terukur, tiga garis tegak warna biru menunjukkan masing-masing posisi puncak fasa (atas = AT, tengah = korundum, bawah = rutile) dan kurva paling bawah adalah difference plot. Gambar 4.5 menampilkan contoh pola hasil refinement menggunakan metode Rietveld, untuk FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 0% MgO pada kedalaman 0,2 mm yang disinter pada suhu 1450 o C. Pola difraksi terukur digambarkan dengan tanda (+++) berwarna hitam dan pola difraksi terukur digambarkan dengan puncak berwarna merah. Garis-garis tegak berwarna biru menyatakan posisi seluruh puncak difraksi sampel dan kurva paling bawah adalah plot selisih antara pola difraksi terukur dengan pola difraksi terhitung (difference plot). 27

44 Dari hasil penghalusan yang telah dilakukan untuk FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 0, 2 dan 5% MgO, nilai GoF (kesesuaian antara pola difraksi terhitung dan pola difraksi terukur) besarnya di bawah 4% (Lampiran C). Hasil penghalusan tersebut sesuai dengan yang dinyatakan oleh Kisi (1994), bahwa hasil penghalusan menggunakan metode Rietveld telah memenuhi ketentuan jika nilai GoF kurang dari 4% dan plot selisih antara pola terhitung dengan terukur (Gambar 4.5) tidak berfluktuasi secara signifikan. Dari hasil-hasil tersebut menandakan proses penghalusan selesai dan parameter-parameter keluaran yang dihasilkan dapat digunakan untuk analisis lebih lanjut. Untuk hasil penghalusan dari semua sampel ditampilkan dalam Lampiran C Fraksi Berat Fasa Faktor-faktor yang terlibat dalam perhitungan fraksi berat fasa antara lain: a. Faktor skala Faktor skala merupakan salah satu parameter yang dihaluskan dalam analisis dengan menggunakan metode Rietveld. Faktor skala ini dipergunakan untuk menentukan fraksi berat relatif fasa yang terkandung dalam sampel. Faktor skala dari hasil penghalusan dapat ditampilkan dalam tabel 4.2, 4.3, dan 4.4. b. Faktor Z, M, dan V Faktor Z adalah jumlah rumus kimia dalam sel satuan, M adalah berat fasa dan V adalah volume sel satuan. Nilai faktor-faktor Z, M, V ditampilkan dalam tabel dalam Lampiran D. Tabel 4.2 Faktor skala keluaran analisis Rietveld untuk fasa AT, korundum, dan rutile dari FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 0% MgO pada kedalaman 0,0-0,5 mm. FGM disintesis dengan sinter pada suhu 1450 o C. No Kedalaman (mm) Faktor skala (10-4 ) AT Korundum Rutile 1 0,0 1,198(17) 0,557(21) - 2 0,1 0,789(2) 0,510(34) 0,216(65) 3 0,2 0,668(19) 2,456(19) 0,803(94) 4 0,3 0,505(18) 2,398(79) 0,539(15) 5 0,4 0,490(19) 3,331(1) 1,100(14) 6 0,5 0,379(25) 2,963(85) 1,709(11) 28

45 Tabel 4.3 Faktor skala keluaran analisis Rietveld untuk fasa AT, korundum, dan spinel dari FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 2% MgO pada kedalaman 0,0-0,5 mm. FGM disintesis dengan sinter pada suhu 1450 o C. No Kedalaman Faktor skala (10-4 ) (mm) AT Korundum Spinel 1 0,0 1,260(16) 1,457(47) - 2 0,1 0,677(21) 1,343(68) - 3 0,2 0,669(42) 2,343(73) 0,006(2) 4 0,3 0,569(43) 2,735(86) 0,022(2) 5 0,4 0,302(21) 2,934(95) 0,016(9) 6 0,5 0,219(16) 2,549(78) 0,031(3) Tabel 4.4 Faktor skala keluaran analisis Rietveld untuk fasa AT, korundum, dan spinel dari FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 5% MgO pada kedalaman 0,0-0,5 mm. FGM disintesis dengan sinter pada suhu 1450 o C. No Kedalaman Faktor skala (10-4 ) (mm) AT Korundum Spinel 1 0,0 1,068(15) 1,928(52) 0,086(4) 2 0,1 0,542(19) 1,774(7) 0,060(5) 3 0,2 0,618(41) 2,457(1) 0,085(5) 4 0,3 0,297(2) 2,707(89) 0,097(5) 5 0,4 0,257(14) 2,831(91) 0,102(48) 6 0,5 0,201(15) 2,687(88) 0,097(5) Fraksi Berat Relatif Fasa Untuk menentukan fraksi berat relatif dari komposisi fasa yaitu dengan menggunakan persamaan (2.2) dan hasil perhitungan fraksi berat relatif tersebut diuraikan berikut ini. Gambar 4.6 menunjukkan fraksi berat relatif fasa-fasa pada FGM dengan 0% MgO. Kandungan AT pada pada permukaan permukaan sebesar 76,7(15)% dan menurun secara gradual menjadi 28,9(19)% pada 0,2 mm dan 15,9(11)% pada 0,5 mm. Sebaliknya, kandungan korundum meningkat dari 23,4(9)% pada permukaan dan kemudian 69,7(69)% dan 81,2(31)% masing-masing pada kedalaman 0,2 dan 0,3 mm. Adapun kandungan rutile juga meningkat terhadap kedalaman, tetapi 29

46 Fraksi berat relatif (%) pada permukaan FGM, rutile tersebut tidak muncul, kemudian masing-masing pada kedalaman 0,2 dan 0,5 mm kandungan rutile tersebut sebesar 1,5(2)% dan 3,0(2)%. Hasil analisis tersebut menunjukkan jumlah konsentrasi AT pada permukaan FGM lebih besar apabila menggunakan metode infiltrasi berulang, dengan kata lain infiltrasi berulang lebih efektif dalam menghasilkan kandungan AT dibandingkan dengan infiltrasi tunggal seperti penelitian yang telah dilakukan oleh Pratapa (1997) yang menghasilkan konsentrasi AT dipermukaan FGM lebih rendah, yaitu sekitar 44,5% ,1 0,2 0,3 0,4 0,5 Kedalaman (mm) AT A R Gambar 4.6 Fraksi berat relatif fasa-fasa pada FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 0% MgO. AT dan A pada kedalaman 0,0-0,5 mm. R pada kedalaman 0,1-0,5 mm. FGM disinter pada suhu 1450 o C. Simbol: AT = aluminium titanat, A = korundum dan R = rutile. Gambar 4.7 menunjukkan fraksi berat relatif fasa-fasa pada FGM dengan 2% MgO dan terlihat kandungan AT menurun seiring kedalaman, dengan besarnya lebih rendah dibandingkan dengan kandungan AT pada FGM dengan 0% MgO, misalnya pada permukaan FGM kandungan AT hanya sebesarnya 57,1(11)% dan pada kedalaman 0,5 mm sebesar 11,3(9)%. Sifat yang sama juga 30

47 Fraksi berat relatif (%) terjadi pada korundum dengan kecenderungan yang berlawanan, yaitu misalnya pada permukaan dan kedalaman 0,5 mm dari FGM masing-masing sebesar 42,9(15)% dan 84,8(35)%. Sedangkan kandungan spinel juga ditemukan dalam FGM dengan besar yang meningkat terhadap kedalaman ,1 0,2 0,3 0,4 0,5 Kedalaman (mm) AT A S Gambar 4.7 Fraksi berat relatif fasa-fasa pada FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 2% MgO. AT dan A pada kedalaman 0,0-0,5 mm. S pada kedalaman 0,2-0,5 mm. FGM disinter pada suhu 1450 o C. Simbol: AT = aluminium titanat, A = korundum dan S = spinel. Gambar 4.8 menunjukkan fraksi berat relatif fasa-fasa pada FGM dengan 5% MgO. Pada FGM ini mempunyai fenomena yang mirip dengan FGM dengan 2% MgO, kandungan AT menurun terhadap kedalaman dengan nilai yang lebih kecil dibandingkan dengan kandungan AT pada FGM dengan 0 dan 2% MgO, yaitu pada permukaan, kandungan AT sebesar 42,2(9)%, dan untuk korundum juga mempunyai sifat yang sama tetapi dengan kecenderungan yang berlawanan. Adapun untuk spinel kandungannya juga meningkat dari kedalaman 0,0 sampai 0,5 mm. 31

48 Fraksi berat relatif (%) ,1 0,2 0,3 0,4 0,5 Kedalaman (mm) AT A S Gambar 4.8 Fraksi berat relatif fasa-fasa pada FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 5% MgO. AT, A, dan S pada kedalaman 0,0-0,5 mm. FGM disinter pada suhu 1450 o C. Simbol: AT = aluminium titanat, A = korundum, dan S = spinel. Tabel 4.5 Pemodelan linier kegradualan kandungan AT menurut kedalaman pada FGM A/AT-MgO. Komposisi berat MgO (%) Gradien -132,4-93,3-66,5 Perpotongan 72,1 53,3 38,4 Tanda (-) menunjukkan penurunan konsentrasi AT menurut kedalaman Kemudian dari hasil pemodelan linier seperti yang ditunjukkan pada Tabel 4.5 terlihat pada FGM dengan 0% MgO mempunyai gradien paling besar dibandingkan pada FGM dengan 2% dan 5% MgO yang berarti FGM dengan 0% MgO tersebut mempunyai kegradualan paling tajam. Adapun untuk FGM dengan 5% MgO mempunyai gradien paling kecil dibandingkan gradien pada FGM dengan 0% dan 2% MgO, yaitu sebesar 66,5 yang menandakan pada FGM dengan 5% MgO telah mengalami kegradualan paling landai dibandingkan dengan FGM dengan 0% dan 2% MgO. Untuk harga korelasi R sampel sebesar 0,8, 0,9 dan 0,9, 32

49 yaitu masing-masing untuk FGM dengan 0, 2, dan 5% MgO. Grafik pemodelan linier sampel dapat dilihat pada Lampiran E. 4.3 Dekomposisi Termal AT Difraksi Sinar-x AT merupakan salah satu material komposit yang mempunyai keunggulan juga mempunyai kelemahan, yaitu berhubungan dengan ketidakstabilan termal pada rentang suhu o C, yang mengakibatkan AT akan terdekomposisi kembali menjadi bentuk awal, yaitu korundum dan TiO 2 rutile (Kato dkk., 1980). Ketidakstabilan termal ini dapat dikontrol dengan penambahan MgO, SiO 2 dan ZrO 2 (Jayasankar dkk, 2006). Menurut Ishitsuka dkk (1987) substitusi Al oleh Si dan Mg efektif dalam mengontrol dekomposisi termal, tetapi efek substitusi Ti oleh Zr kecil. Sedangkan penambahan Fe 2 O 3 juga dapat mempertinggi kestabilan termal (Battilana dkk, 1995). Dekomposisi AT pada FGM dapat diketahui dengan XRD. Sedangkan untuk hasil analisis Rietveld uji dekomposisi dapat dilihat pada Lampiran E. Gambar 4.9 menunjukkan pola difraksi sinar-x FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 0% MgO. Dari Gambar terlihat pada waktu anil 5 jam muncul fasa rutile, dimana intensitasnya meningkat dengan tajam sampai pada waktu anil 20 jam, untuk intensitas korundum juga meningkat seiring waktu anil, dan sebaliknya intensitas AT pada berbagai sudut menurun dengan tajam sampai pada waktu anil 20 jam, bahkan intensitas AT pada berbagai sudut hampir hilang pada waktu anil 20 jam tersebut. Hal ini mengindikasikan AT pada permukaan FGM tanpa penstabil MgO ini sudah mulai terdekomposisi pada waktu anil 5 jam dan derajat dekomposisi termal yang terjadi tinggi. Fenomena seperti ini seperti penelitian yang telah dilakukan oleh Pratapa dkk (1998) untuk permukaan FGM Al 2 O 3 -AT-ZrO 2 dengan ZrO 2 sebagai penstabil yang dianil pada 1050 o C untuk 0, 2, 4, 6 jam mengalami proses dekomposisi yaitu ditandai dengan perbandingan puncak (AT:alumina) menurun perlahan seiring waktu anil (khususnya antara 0 dan 4 jam), adapun perbandingan puncak (rutile:alumina) meningkat dengan tibatiba seiring waktu anil yang menandakan tingginya derajat dekomposisi termal. 33

50 Intensitas 20 jam 15 jam 10 jam # X # # # # 5 jam X X o X X X o X o XX X X o 0 jam Theta Gambar 4.9 Pola difraksi sinar-x ( CuKα = Å) pada permukaan FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 0% MgO dengan waktu anil 0, 5, 10, 15, dan 20 jam. FGM dianil dengan suhu 1000 o C. Ket: x = AT, o = korundum, dan # = rutile. Gambar 4.10 menunjukkan FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 2% MgO. Dari Gambar telihat pada waktu anil 5 jam AT pada permukaan FGM juga sudah mulai terdekomposisi pada waktu anil 5 jam, yaitu ditandai dengan munculnya fasa rutile yang intensitasnya meningkat secara perlahan sampai pada waktu anil 20 jam dan intensitas rutile tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan intensitas rutile pada FGM dengan 0% MgO, untuk korundum intensitasnya juga meningkat terhadap waktu anil. Sedangkan untuk intensitas AT menurun terhadap waktu anil tapi penurunannya tidak signifikan jika dibandingkan dengan intensitas AT pada FGM dengan 0% MgO. Fenomena ini mengindikasikan dengan penambahan 2% MgO dapat menimbulkan pembentukan solid solution Al 2(1- x)mg x Ti 1+x O 5 yang berfungsi mereduksi laju dekomposisi AT. Kemudian pada waktu anil 15 sampai 20 jam muncul fasa spinel yang mengindikasikan solid solution Al 2(1-x) Mg x Ti 1+x O 5 juga terdekomposisi menjadi korundum, rutile, dan 34

51 Intensitas spinel. Studi ini seperti yang pernah dilakukan oleh Buscaglia dkk (1994), penambahan 2% MgO dapat mengubah mekanisme pembentukan AT karena akan terbentuk fase spinel yang diteruskan pertumbuhan solid solution dan dengan munculnya solid solution tersebut dapat mereduksi laju dekomposisi AT. 20 jam 15 jam * * # # # 10 jam X # # 5 jam X X o X X X o o X XX X X o 0 jam Theta Gambar 4.10 Pola difraksi sinar-x ( CuKα = Å) pada permukaan FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 2% MgO dengan waktu anil 0, 5, 10, 15, dan 20 jam. FGM dianil dengan suhu 1000 o C. Keterangan: = AT, o = korundum, # = rutile, dan * = spinel. Gambar 4.11 menunjukkan FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 5% MgO. Gambar tersebut menjelaskan pada waktu dekomposisi 5 jam AT juga sudah terdekomposisi menjadi rutile dan korundum, dengan intensitas rutile meningkat lebih tajam dan intensitas juga menurun lebih tajam jika dibandingkan dengan FGM dengan 2% MgO, hal ini mengindikasikan dengan penambahan 5% MgO dapat menimbulkan fasa spinel yang berfungsi menghalangi laju 35

52 Intensitas dekomposisi AT. Hasil penelitian ini seperti yang telah dilakukan oleh Ishitsuka dkk (1987), dengan menggunakan penstabil SiO 2, ZrO 2, dan MgO dan waktu anil 1000, 1100, dan 1200 o C, dekomposisi termal dari AT akan terjadi sempurna pada 20 jam 15 jam 10 jam # # # # 5 jam X o X o X o o X * * * X X 0 jam X X X X * Theta Gambar 4.11 Pola difraksi sinar-x ( CuKα = Å) pada permukaan FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 5% MgO dengan waktu anil 0, 5, 10, 15, dan 20 jam. FGM dianil dengan suhu 1000 o C. Ket: x = AT, o = korundum, # rutile, dan * = spinel. temperatur 1100 o C dengan penambahan 1 sampai 3% SiO 2, 5% ZrO 2, dan 5% MgO dan dilaporkan dekomposisi solid solution Al 2 Ti 0,98 Zr 0,04 O 5 mempunyai kesamaan dengan AT, yaitu dekomposisi termal yang terjadi masih cukup tinggi. Sebaliknya dekomposisi termal yang terjadi pada solid solution Al 1,87 Si 0,10 0,10 TiO 5 dan Al 1,8 Mg 0,1 Ti 1,1 O 5 mengalami penurunan, hal tersebut berarti substitusi Al oleh Si dan 2Al oleh Mg dan Ti mempunyai efek mengurangi proses dekomposisi. 36

53 Fraksi berat relatif (%) Fraksi Berat Relatif fasa Dalam penelitian ini untuk mengetahui tingkat dekomposisi termal yang terjadi pada FGM A/AT-MgO masing-masing dengan komposisi berat 0, 2, dan 5% MgO yaitu dengan menghitung fraksi berat relatif dari komposisi fasa yang terkandung dalam FGM tersebut, yaitu dengan menggunakan Persamaan (2.2) dan hasil perhitungan tersebut dapat dilihat pada Lampiran G. Sedangkan penjelasan tentang hasil perhitungan fraksi berat relatif tersebut diuraikan berikut ini Waktu anil (jam) AT A R Gambar 4.12 Fraksi berat relatif fasa-fasa pada FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 0% MgO dengan waktu anil 0, 5, 10, 15, dan 20 jam. FGM dianil dengan suhu 1000 o C. Simbol: AT = aluminium titanat, A = korundum dan R = rutile. Gambar 4.12 menunjukkan fraksi berat fasa-fasa pada FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 0% MgO. Gambar tersebut menyatakan kandungan fasa AT menurun dengan drastis mulai waktu anil 5 sampai 20 jam, yang masingmasing besarnya mulai waktu anil 0-15 jam, yaitu: 80,6(30); 80,1(46); 44,5(21); 19,0(13)% dan pada waktu anil 20 jam AT hanya tersisa 4,2(5)%. Sedangkan rutile yang sudah muncul pada waktu anil 5 jam kandungannnya meningkat dengan drastis sampai pada waktu anil 20 jam, kandungan rutile pada waktu anil 5 jam sebesar 0,01(1)%, kemudian dilanjutkan masing-masing pada waktu anil 10 sampai 15 jam kandungannya sebesar 32,2(1) dan 49,0(28)% lalu pada waktu 37

54 Fraksi berat relatif (%) aniling 20 jam kandungannya menjadi sebesar 57,1(1)%. Untuk kandungan korundum juga meningkat terhadap waktu anil, yaitu pada waktu anil 0 jam sebesar 19,4(1)% diteruskan pada waktu anil 5 sampai 15 jam masing-masing sebesar 18,0(12); 23,3(17); 32,0(17)% dan pada waktu anil 20 jam kandungan korundum tersebut sebesar 38,7(2)%. Fenomena ini seperti studi yang telah dilakukan oleh Pratapa dk (1998), kandungan fasa pada permukaan FGM Al 2 O 3 - AT-ZrO 2 dengan ZrO 2 sebagai penstabil pada awalnya untuk AT sebesar 44,5%, untuk korundum 44,4%, dan untuk zirkonia sebesar 6,3%, kandungan fasa-fasa tersebut berkurang seiring waktu anil 0, 2, 4, dan 6 jam, yaitu ditandai dengan menurunnya perbandingan puncak (AT:alumina) terhadap waktu anil, sedangkan perbandingan puncak (rutile:alumina) meningkat dengan tiba-tiba terhadap waktu anil Waktu anil (jam) AT A R Gambar 4.13 Fraksi berat relatif fasa-fasa pada FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 2% MgO dengan waktu anil 0, 5, 10, 15, dan 20 jam. FGM dianil dengan suhu 1000 o C. Simbol: AT = aluminium titanat, A = korundum dan R = rutile. Gambar 4.13 menunjukkan fraksi berat fasa-fasa pada FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 2% MgO. Gambar tersebut menyatakan kandungan AT pada permukaan FGM menurun secara perlahan mulai waktu anil 0 jam sebesar 38

55 78,0(5)%, dilanjutkan pada waktu anil 5 sampai 15 jam masing-masing sebesar 76,7(5); 70,5(5), dan 60,1(4)%, kemudian pada waktu anil 20 jam ternyata kandungannya masih tersisa 50,9(2)%. Adapun untuk besar kandungan rutile mengalami kenaikan dengan perlahan dari waktu anil 5 jam (1,5(2)%), lalu masing-masing pada waktu anil 10 sampai 15 jam sebesar 5,2(4) dan 18,7(2)% dan pada waktu anil 20 jam kandungan rutile hanya sebesar 26,9(3)%. Untuk kandungan korundum juga meningkat dari waktu anil 5 jam sampai pada waktu anil 20 jam, misalnya pada waktu anil 0 jam kandungannya sebesar 22,0(21)%, kemudian berubah sebesar 24,3(21)%, yaitu pada waktu anil 10 jam. Kemudian fasa spinel yang muncul mulai pada waktu anil 15 sampai 20 jam, kandungannya juga semakin besar terhadap waktu anil yaitu masing-masing sebesar 0,6(1) dan 0,9(1)%. Fenomena tersebut berbeda dengan fenomena pada FGM dengan 0% MgO, dalam FGM dengan 0% MgO menunjukkan adanya peningkatan kandungan rutile dan penurunan kandungan AT yang signifikan seiring waktu anil, hal tersebut mengindikasikan dengan penambahan 2% MgO dapat mengurangi proses dekomposisi AT menjadi rutile dan korundum, karena pada penambahan 2% MgO akan terbentuk solid solution Al 2(1-x) Mg x Ti 1+x O 5. Penelitian ini seperti yang telah dilaporkan oleh Byrne dkk (1988), yang menyatakan stabilitas termal AT dengan komposisi yang bervariasi, yaitu dicampur dengan material oksida lain, diantaranya zirkonia, magnesia, silika, dan mullite dan diperoleh hasil material AT yang mengandung silika dan magnesia lebih stabil dalam menghambat proses dekomposisi. Gambar 4.14 menunjukkan fraksi berat fasa-fasa pada FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 5% MgO. Pada Gambar terlihat kandungan AT pada permukaan FGM menurun terhadap waktu anil, pada waktu anil 0 jam sebesar 54,8(3)% dan kemudian untuk waktu anil 5 sampai 20 jam masing-masing sebesar 41,0(19); 32,6 (23); 31,7(28), dan 25,4(32)%. Sedangkan untuk fasa rutile mengalami peningkatan terhadap waktu anil. Pada waktu anil 5 jam sebesar 3,5(3)% dilanjutkan 10,5(6); 25,9(57); dan 28,2(13)%, yaitu masing-masing pada waktu anil 10 sampai 20 jam. Untuk kandungan fasa korundum juga meningkat terhadap waktu anil, pada waktu anil 0 jam sebesar 34,3(22)% dan akhirnya pada waktu anil 20 jam menjadi 51,7(10)%. Hal tersebut mengindikasikan dengan 39

56 Fraksi berat relatif (%) penambahan 5% MgO dapat menimbulkan fasa spinel yang berfungsi mereduksi laju dekomposisi AT ketika terjadi peristiwa dekomposisi. Penelitian ini seperti yang pernah dilakukan oleh Djambazov dk (1994), dengan penambahan MgO pada AT sebesar 5% dan 15% maka pada sampel dengan 15% MgO mengandung lebih banyak spinel, hal tersebut menandakan semakin besar penambahan MgO maka jumlah spinel yang terbentuk juga semakin meningkat dan spinel yang terbentuk tersebut berfungsi mereduksi laju dekomposisi AT AT A R S Waktu anil (jam) Gambar 4.14 Fraksi berat relatif fasa-fasa pada FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 5% MgO dengan waktu anil 0, 5, 10, 15, dan 20 jam. FGM dianil dengan suhu 1000 o C. Simbol: AT = aluminium titanat, A = korundum, R = rutile, dan S = spinel Tabel 4.6 Pemodelan linier laju dekomposisi AT terhadap waktu anil pada permukaan FGM A/AT-MgO. Komposisi berat MgO (%) Gradien -4,3-1,4-1,4 Perpotongan 88,9 81,4 50,72 Tanda (-) menunjukkan penurunan konsentrasi AT terhadap waktu anil 40

57 Kemudian untuk mengetahui laju dekomposisi AT pada permukaan FGM A/AT-MgO maka dilakukan pemodelan linier seperti yang ditunjukkan pada Tabel 4.6. Tabel tersebut menunjukkan pada FGM dengan 0% MgO mempunyai gradien paling besar dibandingkan pada FGM dengan 2% dan 5% MgO, yaitu sebesar 4,3 yang menandakan laju dekomposisi yang telah terjadi paling cepat dibandingkan kedua sampel lainnya. Kemudian pada FGM dengan 2% dan 5% MgO nilai gradiennnya lebih kecil dibandingkan pada FGM dengan 0% MgO dan nilai gradien kedua sampel tersebut sama, yaitu sebesar 1,4. Hal tersebut menandakan dengan penambahan 2% dan 5% MgO laju dekomposisi AT yang telah terjadi lebih lambat dibandingkan pada FGM dengan 0% MgO yang berarti penambahan 2% dan 5% MgO kedua-duanya sama-sama efektif dalam mereduksi laju dekomposisi AT pada permukaan FGM A/AT-MgO dan karena nilai gradien dari kedua sampel sama maka akan lebih efesien dengan hanya menambahkan 2% MgO dibandingkan dengan 5% MgO. 4.4 Pembahasan Telah dilakukan sintesis FGM A/AT-MgO dengan metode infiltrasi berulang. Untuk FGM tersebut yaitu dengan komposisi berat 0, 2, dan 5% MgO, MgO tersebut berfungsi sebagai penstabil AT. Sebelum dilakukan sintesis FGM telah dilakukan sintesis sampel berupa serbuk AT dengan suhu sinter 1300 o C selama 3 jam, tetapi ternyata dari hasil yang telah diperoleh fasa AT belum terbentuk pada sampel. Hal ini tidak sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Kato dkk (1980) yang melaporkan AT sudah terbentuk pada suhu sinter 1280 o C, bahan dasar yang digunakan adalah Al(OC 3 H 7 ), dan Ti(OC 3 H 7 ) 4. Kedua bahan dasar tersebut dicampur dan serbuk hasil pencampuran dikeringkan pada 80 o C lalu dipelet dengan diameter 16 mm, dipanaskan 650 o C atau 750 o C selama 1 jam. Proses kristalisasi terjadi pada suhu >700 o C. Puncak anatase muncul pada 700 o C, puncak anatase dan rutile pada 800 o C, dan puncak korundum dan rutile pada 900 o C semua dipanaskan pada o C selama 1 jam tetapi AT tidak terdeteksi dan akan terdeteksi pada sampel yang disinter pada suhu 1280 o C. Belum terbentuknya fasa AT tersebut juga tidak sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Stanciu dkk (2004). Stanciu dkk melakukan 41

58 sintesis serbuk AT dengan metode sol-gel dan kopresipitasi. Pada penelitian ini bahan dasar yang digunakan adalah aluminium dan titanium alkoksi (serbuk a dan serbuk b), Al(III), Ti(IV), laurylamine (C 12 H 25 NH 2 ) dan aqueous klorida (serbuk c). Serbuk a disintesis dengan metode sol-gel. Sedangkan untuk serbuk b dicampur secara mekanik dengan perbandingan mol 1:1 dalam etil alkohol lalu dikeringkan Gambar 4.15 Spektra XRD sampel AT hasil serbuk a yang disinter pada suhu 1100 o C. ( = AT) (Stanciu dkk, 2004). Gambar 4.16 Spektra XRD sampel AT hasil serbuk b yang disinter pada suhu 1100 o C. ( = AT, = korundum, dan = rutile) (Stanciu dkk, 2004) dan dianil pada 450 o C selama 2 jam dan serbuk c disintesis dengan metode kopresipitasi kemudian masing-masing serbuk hasil sintesis tersebut dikeringkan 42

59 dan dianil pada 450 o C selama 2 jam untuk menghilangkan air dan zat-zat organik. Kemudian semua serbuk tersebut dilakukan sinter pada suhu 1100, 1200, dan 1300 o C. Dari hasil XRD ( CuKα = Å) untuk serbuk a pada suhu 1100 o C mengalami kristalisasi yang sempurna menjadi AT (Gambar 4.15), untuk serbuk b (Gambar 4.16), kandungan AT mengalami pengurangan, sedangkan untuk serbuk c grafik AT lebih tajam dibanding serbuk b (Gambar 4.17). kemudian pada suhu 1300 o C semua serbuk a, b, c mengalami transformasi sempurna menjadi AT. Gambar 4.17 Spektra XRD sampel AT hasil serbuk c yang disinter pada suhu 1100 o C. ( = AT, = korundum, dan = rutile) (Stanciu dkk, 2004) Dari hasil sintesis serbuk AT pada suhu 1300 o C yang belum berhasil membentuk AT, maka sintesis dilanjutkan pada suhu yang lebih tinggi yaitu pada suhu 1450 o C dengan sampel yang berupa FGM. Suhu 1450 o C berdasarkan pada penelitian yang telah dilakukan oleh Low dan Oo (2008). Setelah dilakukan sintesis FGM A/AT-MgO dengan metode infiltrasi berulang, maka dari hasil karakterisasi fisik terlihat adanya penyusutan diameter setelah dilakukan sinter pada suhu 1450 o C selama 3 jam. Untuk FGM dengan 0% MgO sebelum dilakukan sinter, diameternya sebesar 12,0(1) mm, setelah dilakukan sinter diameternya menyusut menjadi 10,5(2) mm, sedangkan untuk FGM dengan 2% MgO sebelum dilakukan sinter, diameternya sebesar 12,0(1) mm dan setelah dilakukan sinter ternyata diameternya berubah menjadi 11,1(2) 43

60 mm. Adapun untuk FGM dengan komposisi berat 5% MgO juga mengalami fenomena yang sama dengan kedua sampel di atas, diameter sebelum sinter sebesar 12,0(1) mm dan setelah sinter menyusut menjadi 10,7(1) mm. Proses penyusutan tersebut berhubungan dengan sinter yang telah dilakukan pada sampel. Untuk tahapan-tahapan proses sinter sehingga terjadi necking atau liquid bridge dan mengakibatkan fasa baru dapat dijelaskan sebagai berikut. Pada tahap awal, terjadi perpindahan atom yang terdekat yang menyebabkan jumlah titik kontak antar permukaan atom semakin bertambah dan menimbulkan necking. Pemberian panas pada sintering sama dengan pemberian energi pada atom yang menyusun bahan tersebut, dan akan menyebabkan terjadinya difusi. Dari proses difusi tersebut akan menyebabkan terjadinya transportasi massa antar partikel penyusun bahan komposit tersebut dan mengakibatkan terbentuknya necking yang berada pada daerah kontak antar partikel. Pada tahap kedua, ukuran necking semakin bertambah luas, sehingga porositas pun menurun. Sedangkan gas yang terjebak akan keluar melalui proses degassing dan jika gas tersebut sudah keluar maka porositas tersebut akan terisi oleh fasa hasil dari transportasi massa. Tahap yang terakhir adalah penyusutan yang diakibatkan oleh pertumbuhan necking yang semakin luas dan necking tersebut menjadi perekat antar partikel dan pada akhirnya akan terbentuk fasa baru yang diinginkan. Kemudian dari hasil karakterisasi kegradualan komposisi FGM menunjukkan, untuk FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 0% MgO, berdasarkan hasil analisis data difraksi dibuktikan kandungan fasa AT menurun secara gradual dari kedalaman 0,0 sampai 0,5 mm, namun untuk kandungan korundum meningkat terhadap kedalaman. Adapun untuk rutile tidak muncul pada kedalaman 0,0 mm (permukaan), tetapi ternyata kemudian rutile muncul pada kedalaman 0,1 mm dan besarnya meningkat sampai kedalaman 0,5 mm. Dari hasil analisis tersebut menunjukkan telah terbentuk sifat FGM, yaitu komposisi yang terbentuk mengalami perubahan secara gradual menurut kedalaman berdasarkan perubahan konsentrasi fasa (Hirai, 1996). Hasil ini seperti penelitian yang telah dilakukan Pratapa dkk (1998), bahan dasar yang digunakan adalah serbuk korundum (komposisi berat 90%), larutan TiCl 4 (komposisi berat 30%) sebagai infiltran dan m-zirkonia sebagai penstabil AT. Sedangkan langkah-langkah 44

61 penelitian yang dilakukan adalah serbuk zirkonia dicampur dengan serbuk korundum kemudian dipress dengan tekanan 37 MPa berbentuk silinder, selanjutnya dikalsinasi pada suhu 1000 o C selama 2 jam, pelet tersebut lalu dinfiltrasi dalam TiCl 4 selama 24 jam dan disinter pada 1550 o C selama 3 jam. Kemudian dengan menggunakan difraksi sinar-x untuk mengetahui kegradualan komposisi fasa pada komposit AT/ZrO 2 -Al 2 O 3 terhadap kedalaman bahan, yaitu 0,0 hingga 1,5 mm. Fasa yang ada pada material tersebut adalah AT, korundum, zirkonia monoklinik dan zirkonia tetragonal, sedangkan fasa rutile tidak ditemukan. Dari hasil penelitian tersebut didapatkan kandungan AT menurun secara gradual terhadap kedalaman,sebaliknya kandungan korundum semakin meningkat terhadap kedalaman. FGM dengan 2% MgO menunjukkan fenomena yang sama dengan FGM dengan 0% MgO, yaitu kandungan AT menurun secara gradual dari permukaan sampel sampai ke pusat sampel, dan kandungan korundum meningkat sampai kedalaman 0,5 mm. Untuk spinel tidak muncul pada kedalaman 0,0 sampai 0,1 mm yang menandakan terbentuknya solid solution Al 2(1-x) Mg x Ti 1+x O 5, tetapi kemudian spinel ternyata ditemukan pada kedalaman 0,2 mm yang besarnya meningkat terhadap kedalaman. Untuk FGM dengan komposisi berat 5% MgO juga menunjukkan fenomena yang sama dengan FGM dengan 0 dan 2% MgO, yaitu kandungan AT semakin kecil mulai kedalaman 0,0 hingga 0,5 mm dan sebaliknya kandungan korundum meningkat seiring kedalaman. Adapun fasa spinel telah muncul pada permukaan FGM dan kandungannya semakin besar sampai kedalaman 0,5 mm. Dari analisis ketiga sampel di atas menunjukkan ketiga sampel tersebut merupakan FGM dan dari pemodelan linier yang telah dilakukan pada FGM dengan 5% MgO menunjukkan kegradualan yang paling landai dibandingkan pada FGM dengan 0% dan 2% MgO. Terbentuknya solid solution Al 2(1-x) Mg x Ti 1+x O 5 pada FGM dengan 2% MgO dibuktikan dengan hasil analisis Rietveld yang menunjukkan pelebaran puncak yang terjadi pada FGM tersebut, yaitu terlihat pada nilai U yang telah diperoleh sebesar 0,164, sedangkan pada FGM dengan 0% MgO hanya sebesar 0,049, dan karena pada FGM dengan 2% MgO nilai U lebih besar dibanding pada FGM dengan 0% MgO maka dapat dikatakan pada FGM dengan 2% MgO telah 45

62 terbentuk solid solution Al 2(1-x) Mg x Ti 1+x O 5. Hasil tersebut seperti yang dinyatakan oleh Renault dan Brower (1971), pelebaran puncak yang terjadi menandakan terbentuknya solid solution pada sampel. Pelebaran puncak tersebut dikarenakan adanya faulting pada kristal, dimana pada FGM A/AT-MgO faulting tersebut diakibatkan oleh substitusi MgO pada Al dan Ti. Untuk parameter-parameter keluaran dari hasil penghalusan ditampilkan pada Lampiran H. Kemudian dari analisis uji dekomposisi diperoleh hasil untuk FGM dengan 0% MgO yang dianil pada suhu 1000 o C dengan waktu anil 0, 5, 10, 15, dan 20 jam menunjukkan pada waktu anil 5 jam baik dari intensitas maupun perhitungan fraksi berat relatifnya menunjukkan AT pada permukaan FGM sudah mulai terdekomposisi menjadi fasa pembentuk AT yaitu korundum dan rutile, ini dibuktikan dengan munculnya fasa rutile, dimana kandungannya meningkat dengan tajam sampai pada waktu anil 20 jam, untuk kandungan korundum juga meningkat seiring waktu anil, dan sebaliknya kandungan AT menurun dengan tajam sampai pada waktu anil 20 jam, bahkan kandungan AT tersebut hampir habis pada waktu anil 20 jam tersebut. Hal ini mengindikasikan FGM tanpa penstabil MgO ini sudah mulai terdekomposisi pada waktu anil 5 jam dan derajat dekomposisi termal yang terjadi tinggi. Studi ini seperti penelitian yang pernah dilakukan oleh Low dan Oo (2008), bahan dasar yang digunakan adalah serbuk korundum (99,9%) dan serbuk rutile (99,5 %) kemudian dicampur dengan perbandingan mol 1:1, lalu diaduk dengan menggunakan mortar. Percampuran serbuk tersebut kemudian dicampur dengan ethanol dengan menggunakan turbula mixer selama 1 jam, selanjutnya adonan dikeringkan dalam oven yang berventilasi pada suhu 100 o C selama 24 jam. Serbuk yang telah kering dipress pada 150 MPa, bentuk silinder dengan panjang 20 mm dan diameter 12 mm, kemudian disinter pada suhu 1600 o C pada furnace yang berventilasi selama 4 jam. Untuk mengetahui dekomposisi fasa dan pembentukan kembali AT yaitu dengan difraksi neutron. Untuk mencapai dekomposisi penuh yang terjadi yaitu dengan dipanaskan pada suhu 1200 o C selama 22 jam dan kemudian sampel dipanaskan lagi pada suhu 1450 o C selama 2 jam untuk mengetahui pembentukan AT lagi. Dan dari difraksi neutron tersebut maka diperoleh hasil, sampel mengalami dekomposisi penuh yaitu dengan dipanaskan pada suhu 1200 o C selama 22 jam 46

63 Gambar 4.18 Pola difraksi neutron yang menunjukkan pembentukan korundum dan rutile pada sampel AT yang terdekomposisi isotermal pada suhu 1200 o C selama 22 jam (c = korundum, R = rutile) (Low dan Oo, 2008). Gambar 4.19 Pola difraksi neutron pada pembentukan AT pada suhu 1450 o C. Tiga garis vertikal menunjukkan masing-masing posisi puncak fasa (atas = korundum, tengah = AT, bawah = rutile) (Low dan Oo, 2008). 47

LOGO. STUDI EKSPANSI TERMAL KERAMIK PADAT Al 2(1-x) Mg x Ti 1+x O 5 PRESENTASI TESIS. Djunaidi Dwi Pudji Abdullah NRP

LOGO. STUDI EKSPANSI TERMAL KERAMIK PADAT Al 2(1-x) Mg x Ti 1+x O 5 PRESENTASI TESIS. Djunaidi Dwi Pudji Abdullah NRP LOGO PRESENTASI TESIS STUDI EKSPANSI TERMAL KERAMIK PADAT Al 2(1-x) Mg x Ti 1+x O 5 Djunaidi Dwi Pudji Abdullah NRP. 1109201006 DOSEN PEMBIMBING: Drs. Suminar Pratapa, M.Sc, Ph.D. JURUSAN FISIKA FAKULTAS

Lebih terperinci

Sintesis Bahan Ubahan Gradual Aluminum Titanat/Korundum dari Alumina Transisi dengan Penambahan MgO

Sintesis Bahan Ubahan Gradual Aluminum Titanat/Korundum dari Alumina Transisi dengan Penambahan MgO Sintesis Bahan Ubahan Gradual Aluminum Titanat/Korundum dari Alumina Transisi dengan Penambahan MgO Achmad Sulhan Fauzi 1, Moh. Herman Eko Santoso 2, Suminar Pratapa 3 1,2,3 Jurusan Fisika, Fakultas Matematika

Lebih terperinci

SINTESIS BAHAN UBAHAN GRADUAL ALUMINUM TITANAT/KORUNDUM DARI ALUMINA TRANSISI DENGAN PENAMBAHAN MgO

SINTESIS BAHAN UBAHAN GRADUAL ALUMINUM TITANAT/KORUNDUM DARI ALUMINA TRANSISI DENGAN PENAMBAHAN MgO SINTESIS BAHAN UBAHAN GRADUAL ALUMINUM TITANAT/KORUNDUM DARI ALUMINA TRANSISI DENGAN PENAMBAHAN MgO Achmad Sulhan Fauzi Suminar Pratapa (suminar.pratapa@physics.its.ac.id) Mohammad Herman Eko Santoso Jurusan

Lebih terperinci

SINTESIS KERAMIK Al 2 TiO 5 DENSITAS TINGGI DENGAN ADITIF MgO

SINTESIS KERAMIK Al 2 TiO 5 DENSITAS TINGGI DENGAN ADITIF MgO SINTESIS KERAMIK Al 2 TiO 5 DENSITAS TINGGI DENGAN ADITIF MgO Disampaikan oleh: Kurmidi [1106 100 051] Dosen Pembimbing Drs. Suminar Pratapa, M.Sc.,Ph.D. Sidang Tugas Akhir (J 102) Komponen Otomotif :

Lebih terperinci

STUDI MIKROSTRUKTUR SERBUK LARUTAN PADAT MxMg1-xTiO3 (M=Zn & Ni) HASIL PENCAMPURAN BASAH

STUDI MIKROSTRUKTUR SERBUK LARUTAN PADAT MxMg1-xTiO3 (M=Zn & Ni) HASIL PENCAMPURAN BASAH STUDI MIKROSTRUKTUR SERBUK LARUTAN PADAT MxMg1-xTiO3 (M=Zn & Ni) HASIL PENCAMPURAN BASAH Istianah () Dosen Pembimbing Drs. Suminar Pratapa, M.Sc., Ph.D. PROGRAM MAGISTER BIDANG KEAHLIAN MATERIAL JURUSAN

Lebih terperinci

SINTESIS SERBUK MgTiO 3 DENGAN METODE PENCAMPURAN DAN PENGGILINGAN SERBUK. Abstrak

SINTESIS SERBUK MgTiO 3 DENGAN METODE PENCAMPURAN DAN PENGGILINGAN SERBUK. Abstrak SINTESIS SERBUK MgTiO 3 DENGAN METODE PENCAMPURAN DAN PENGGILINGAN SERBUK 1) Luluk Indra Haryani, 2) Suminar Pratapa Jurusan Fisika, Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Sepuluh

Lebih terperinci

STUDI DEKOMPOSISI TERMAL

STUDI DEKOMPOSISI TERMAL STUDI DEKOMPOSISI TERMAL Al 2 TiO 5 PADA FGM α-al 2 O 3 /Al 2 TiO 5 -Y 2 O 3 Erni Junita Sinaga Institut Teknologi Nasional Malang Jl. Bendungan Sigura-gura no. 2 Malang 65145 erni_junita@yahoo.com ABSTRAK.

Lebih terperinci

Sintesis Nanopartikel ZnO dengan Metode Kopresipitasi

Sintesis Nanopartikel ZnO dengan Metode Kopresipitasi Sintesis Nanopartikel ZnO dengan Metode Kopresipitasi NURUL ROSYIDAH Jurusan Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Sepuluh Nopember Pendahuluan Kesimpulan Tinjauan Pustaka

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Pada penelitian ini dilakukan analisis struktur kristal semen gigi seng oksida eugenol untuk mengetahui keterkaitan sifat mekanik dengan struktur kristalnya. Ada lima sampel

Lebih terperinci

SINTESIS SERBUK MgTiO 3 DENGAN ADITIF Ca DARI BATU KAPUR ALAM DENGAN METODE PENCAMPURAN LARUTAN

SINTESIS SERBUK MgTiO 3 DENGAN ADITIF Ca DARI BATU KAPUR ALAM DENGAN METODE PENCAMPURAN LARUTAN LAPORAN TUGAS AKHIR SINTESIS SERBUK MgTiO 3 DENGAN ADITIF Ca DARI BATU KAPUR ALAM DENGAN METODE PENCAMPURAN LARUTAN Oleh: Lisma Dian K.S (1108 100 054) Pembimbing: Drs. Suminar Pratapa, M.Sc., Ph.D. 1

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2013 sampai dengan Juni 2013 di

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2013 sampai dengan Juni 2013 di III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2013 sampai dengan Juni 2013 di Laboratorium Fisika Material FMIPA Unila, Laboratorium Kimia Instrumentasi

Lebih terperinci

UJI KEMURNIAN KOMPOSISI BATU KAPUR TUBAN DENGAN ANALISIS RIETVELD DATA DIFRAKSI SINAR-X

UJI KEMURNIAN KOMPOSISI BATU KAPUR TUBAN DENGAN ANALISIS RIETVELD DATA DIFRAKSI SINAR-X UJI KEMURNIAN KOMPOSISI BATU KAPUR TUBAN DENGAN ANALISIS RIETVELD DATA DIFRAKSI SINAR-X Sahriar Nur Aulia H Jurusan Fisika-FMIPA, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Surabaya 60111, Indonesia Email:

Lebih terperinci

Analisis Puncak Difraksi

Analisis Puncak Difraksi Pertemuan ke-8 Analisis Puncak Difraksi Nurun Nayiroh, M.Si DIFRAKSI SINAR-X ANALISIS PUNCAK DIFRAKSI Keluaran utama dari pengukuran data difraksi serbuk dengan difraktometer adalah sudut 2θ dan intensitas

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. dengan menggunakan kamera yang dihubungkan dengan komputer.

HASIL DAN PEMBAHASAN. dengan menggunakan kamera yang dihubungkan dengan komputer. 10 dengan menggunakan kamera yang dihubungkan dengan komputer. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil sintesis paduan CoCrMo Pada proses preparasi telah dihasilkan empat sampel serbuk paduan CoCrMo dengan komposisi

Lebih terperinci

STUDI DEKOMPOSISI TERMAL Al 2 TiO 5 PADA FGM α-al 2 O 3 /Al 2 TiO 5 -Y 2 O 3

STUDI DEKOMPOSISI TERMAL Al 2 TiO 5 PADA FGM α-al 2 O 3 /Al 2 TiO 5 -Y 2 O 3 STUDI DEKOMPOSISI TERMAL Al 2 TiO 5 PADA FGM α-al 2 O 3 /Al 2 TiO 5 -Y 2 O 3 Erni Junita Sinaga Institut Teknologi Nasional Malang Jl. Bendungan Sigura-gura no. 2 Malang 65145 E-mail: erni_junita@yahoo.com

Lebih terperinci

SINTESIS TITANIUM DIOKSIDA MENGGUNAKAN METODE LOGAM-TERLARUT ASAM

SINTESIS TITANIUM DIOKSIDA MENGGUNAKAN METODE LOGAM-TERLARUT ASAM SINTESIS TITANIUM DIOKSIDA MENGGUNAKAN METODE LOGAM-TERLARUT ASAM Oleh: Ella Agustin Dwi Kiswanti/1110100009 Dosen Pembimbing: Prof. Suminar Pratapa, M.Sc., Ph.D. Bidang Material Jurusan Fisika Fakultas

Lebih terperinci

Sintesis Keramik Al 2 TiO 5 dengan Aditif MgO Menggunakan Metode Solid Reaction

Sintesis Keramik Al 2 TiO 5 dengan Aditif MgO Menggunakan Metode Solid Reaction Sintesis Keramik Al 2 TiO 5 dengan Aditif MgO Menggunakan Metode Solid Reaction Kurmidi *, Suminar Pratapa Jurusan Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Sepuluh November,

Lebih terperinci

PASI NA R SI NO L SI IK LI A KA

PASI NA R SI NO L SI IK LI A KA NANOSILIKA PASIR Anggriz Bani Rizka (1110 100 014) Dosen Pembimbing : Dr.rer.nat Triwikantoro M.Si JURUSAN FISIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA

Lebih terperinci

Bab IV Hasil dan Pembahasan

Bab IV Hasil dan Pembahasan Bab IV Hasil dan Pembahasan IV.1 Karakterisasi Awal Serbuk ZrSiO 4 dan ZrO 2 Serbuk ZrSiO 4 dan ZrO 2 sebagai bahan utama membran merupakan hasil pengolahan mineral pasir zirkon. Kedua serbuk tersebut

Lebih terperinci

Gambar 3.1 Diagram alir penelitian

Gambar 3.1 Diagram alir penelitian BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Bahan dan Peralatan Penelitian Bahan-bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini antara lain bubuk magnesium oksida dari Merck, bubuk hidromagnesit hasil sintesis penelitian

Lebih terperinci

SINTESIS (Ca, Mg) CO3-Al KERAMIK MATRIKS KOMPOSIT DENGAN TEKNIK INFILTRASI REAKTIF TANPA TEKANAN DAN KARAKTERISASINYA

SINTESIS (Ca, Mg) CO3-Al KERAMIK MATRIKS KOMPOSIT DENGAN TEKNIK INFILTRASI REAKTIF TANPA TEKANAN DAN KARAKTERISASINYA Jurnal Dinamika, September 0, halaman 35-0 ISSN 087-7889 Vol. 05. No. SINTESIS (Ca, Mg) CO3-Al KERAMIK MATRIKS KOMPOSIT DENGAN TEKNIK INFILTRASI REAKTIF TANPA TEKANAN DAN KARAKTERISASINYA Irwan Ramli,

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI KEMURNIAN BATU KAPUR TUBAN DENGAN ANALISIS RIETVELD DATA DIFRAKSI SINAR-X

IDENTIFIKASI KEMURNIAN BATU KAPUR TUBAN DENGAN ANALISIS RIETVELD DATA DIFRAKSI SINAR-X IDENTIFIKASI KEMURNIAN BATU KAPUR TUBAN DENGAN ANALISIS RIETVELD DATA DIFRAKSI SINAR-X SAHRIAR NUR AULIA H 1105 100 026 PEMBIMBING : Drs. SUMINAR PRATAPA, M.Sc., P.hD. Page 2 PENDAHULUAN TUJUAN Mengetahui

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian yang dilakukan di Kelompok Bidang Bahan Dasar PTNBR-

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian yang dilakukan di Kelompok Bidang Bahan Dasar PTNBR- BAB III METODOLOGI PENELITIAN Penelitian yang dilakukan di Kelompok Bidang Bahan Dasar PTNBR- BATAN Bandung meliputi beberapa tahap yaitu tahap preparasi serbuk, tahap sintesis dan tahap analisis. Meakanisme

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan metode eksperimen.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan metode eksperimen. BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan metode eksperimen. 3.2 Alat dan Bahan 3.2.1 Alat yang Digunakan Alat yang akan digunakan dalam

Lebih terperinci

PEMBUATAN KERAMIK BETA ALUMINA (Na 2 O - Al 2 O 3 ) DENGAN ADITIF MgO DAN KARAKTERISASI SIFAT FISIS SERTA STRUKTUR KRISTALNYA.

PEMBUATAN KERAMIK BETA ALUMINA (Na 2 O - Al 2 O 3 ) DENGAN ADITIF MgO DAN KARAKTERISASI SIFAT FISIS SERTA STRUKTUR KRISTALNYA. PEMBUATAN KERAMIK BETA ALUMINA (Na 2 O - Al 2 O 3 ) DENGAN ADITIF MgO DAN KARAKTERISASI SIFAT FISIS SERTA STRUKTUR KRISTALNYA. Ramlan 1, Masno Ginting 2, Muljadi 2, Perdamean Sebayang 2 1 Jurusan Fisika

Lebih terperinci

Bab IV Hasil dan Pembahasan

Bab IV Hasil dan Pembahasan Bab IV Hasil dan Pembahasan IV.1 Serbuk Awal Membran Keramik Material utama dalam penelitian ini adalah serbuk zirkonium silikat (ZrSiO 4 ) yang sudah ditapis dengan ayakan 400 mesh sehingga diharapkan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Februari sampai Juni 2013 di

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Februari sampai Juni 2013 di III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Februari sampai Juni 2013 di Laboratorium Fisika Material dan Laboratorium Kimia Instrumentasi FMIPA Universitas

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS & HASIL PERCOBAAN

BAB IV ANALISIS & HASIL PERCOBAAN BAB IV ANALISIS & HASIL PERCOBAAN IV.1 Karakterisasi Serbuk Alumina Hasil Milling Menggunakan SEM Proses milling ditujukan untuk menghaluskan serbuk sehingga diperoleh gradasi ukuran partikel yang tinggi

Lebih terperinci

ANALISIS KOMPOSISI FASA CAMPURAN NANO-PERIKLAS DAN SUBNANO-RUTIL

ANALISIS KOMPOSISI FASA CAMPURAN NANO-PERIKLAS DAN SUBNANO-RUTIL LOGO LAPORAN TUGAS AKHIR ANALISIS KOMPOSISI FASA CAMPURAN NANO-PERIKLAS DAN SUBNANO-RUTIL Oleh: Yufi Hariyani (1107 100 024) Pembimbing: Drs. Suminar Pratapa, M.Sc., Ph.D. Latar Belakang Perkembangan teknologi,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil preparasi bahan baku larutan MgO, larutan NH 4 H 2 PO 4, dan larutan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil preparasi bahan baku larutan MgO, larutan NH 4 H 2 PO 4, dan larutan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Preparasi 4.1.1 Sol Hasil preparasi bahan baku larutan MgO, larutan NH 4 H 2 PO 4, dan larutan ZrOCl 2. 8H 2 O dengan perbandingan mol 1:4:6 (Ikeda, et al. 1986) dicampurkan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode eksperimen

BAB III METODE PENELITIAN. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode eksperimen BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode eksperimen secara langsung. Pada penelitian ini dilakukan pembuatan keramik komposit pelet CSZ-Ni

Lebih terperinci

Bab III Metoda Penelitian

Bab III Metoda Penelitian 28 Bab III Metoda Penelitian III.1 Lokasi Penelitian Sintesis senyawa target dilakukan di Laboratorium Kimia Anorganik dan Laboratorium Kimia Fisik-Material Departemen Kimia, Pengukuran fotoluminesens

Lebih terperinci

STUDI PENAMBAHAN MgO SAMPAI 2 % MOL TERHADAP STRUKTUR MIKRO DAN SIFAT MEKANIK KERAMIK KOMPOSIT Al 2 O 3 ZrO 2

STUDI PENAMBAHAN MgO SAMPAI 2 % MOL TERHADAP STRUKTUR MIKRO DAN SIFAT MEKANIK KERAMIK KOMPOSIT Al 2 O 3 ZrO 2 STUDI PENAMBAHAN MgO SAMPAI 2 % MOL TERHADAP STRUKTUR MIKRO DAN SIFAT MEKANIK KERAMIK KOMPOSIT Al 2 O 3 ZrO 2 Meilinda Nurbanasari Jurusan Teknik Mesin, Institut Teknologi Nasional, Bandung Dani Gustaman

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari hingga Mei 2012 di Laboratorium. Fisika Material, Laboratorium Kimia Bio Massa,

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari hingga Mei 2012 di Laboratorium. Fisika Material, Laboratorium Kimia Bio Massa, III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari hingga Mei 2012 di Laboratorium Fisika Material, Laboratorium Kimia Bio Massa, Laboratorium Kimia Instrumentasi

Lebih terperinci

3.5 Karakterisasi Sampel Hasil Sintesis

3.5 Karakterisasi Sampel Hasil Sintesis 7 konsentrasi larutan Ca, dan H 3 PO 4 yang digunakan ada 2 yaitu: 1) Larutan Ca 1 M (massa 7,6889 gram) dan H 3 PO 4 0,6 M (volume 3,4386 ml) 2) Larutan Ca 0,5 M (massa 3,8449) dan H 3 PO 4 0,3 M (volume

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN BaTiO 3 merupakan senyawa oksida keramik yang dapat disintesis dari senyawaan titanium (IV) dan barium (II). Proses sintesis ini dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti suhu, tekanan,

Lebih terperinci

STRUKTUR KRISTAL DAN MORFOLOGI TITANIUM DIOKSIDA (TiO 2 ) POWDER SEBAGAI MATERIAL FOTOKATALIS

STRUKTUR KRISTAL DAN MORFOLOGI TITANIUM DIOKSIDA (TiO 2 ) POWDER SEBAGAI MATERIAL FOTOKATALIS STRUKTUR KRISTAL DAN MORFOLOGI TITANIUM DIOKSIDA (TiO 2 ) POWDER SEBAGAI MATERIAL FOTOKATALIS SKRIPSI Oleh : Ahsanal Holikin NIM 041810201063 JURUSAN FISIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

Lebih terperinci

PETUNJUK PENGGUNAAN PROGRAM RIETICA UNTUK ANALISIS DATA DIFRAKSI DENGAN METODE RIETVELD

PETUNJUK PENGGUNAAN PROGRAM RIETICA UNTUK ANALISIS DATA DIFRAKSI DENGAN METODE RIETVELD PETUNJUK PENGGUNAAN PROGRAM RIETICA UNTUK ANALISIS DATA DIFRAKSI DENGAN METODE RIETVELD I. PENDAHULUAN Analisis Rietveld adalah sebuah metode pencocokan tak-linier kurva pola difraksi terhitung (model)

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. penelitian ini dilakukan pembuatan keramik Ni-CSZ dengan metode kompaksi

BAB III METODE PENELITIAN. penelitian ini dilakukan pembuatan keramik Ni-CSZ dengan metode kompaksi 19 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian Metode yang dilakukan pada penelitian ini adalah eksperimen. Pada penelitian ini dilakukan pembuatan keramik Ni-CSZ dengan metode kompaksi serbuk. 3.2

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Metode penelitian yang dilakukan adalah dengan metode eksperimen murni.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Metode penelitian yang dilakukan adalah dengan metode eksperimen murni. 24 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode penelitian Metode penelitian yang dilakukan adalah dengan metode eksperimen murni. 3.2 Alur Penelitian Kegiatan penelitian akan dilakukan dengan alur seperti

Lebih terperinci

Bab IV. Hasil dan Pembahasan

Bab IV. Hasil dan Pembahasan Bab IV. Hasil dan Pembahasan Bab ini memaparkan hasil sintesis, karakterisasi konduktivitas listrik dan struktur kirstal dari senyawa perovskit La 1-x Sr x FeO 3-δ (LSFO) dengan x = 0,2 ; 0,4 ; 0,5 ; 0,6

Lebih terperinci

1 BAB I BAB I PENDAHULUAN

1 BAB I BAB I PENDAHULUAN 1 BAB I BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Zirkonium dioksida (ZrO 2 ) atau yang disebut dengan zirkonia adalah bahan keramik maju yang penting karena memiliki kekuatannya yang tinggi dan titik lebur

Lebih terperinci

PEMBUATAN DAN KARAKTERISASI MEMBRAN KERAMIK ZrSiO 4 -V 2 O 5 TESIS. ERFAN PRIYAMBODO NIM : Program Studi Kimia

PEMBUATAN DAN KARAKTERISASI MEMBRAN KERAMIK ZrSiO 4 -V 2 O 5 TESIS. ERFAN PRIYAMBODO NIM : Program Studi Kimia PEMBUATAN DAN KARAKTERISASI MEMBRAN KERAMIK ZrSiO 4 -V 2 O 5 TESIS Karya tulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister dari Institut Teknologi Bandung Oleh ERFAN PRIYAMBODO NIM : 20506006

Lebih terperinci

PEMBENTUKAN LAPISAN TIPIS TiC MENGGUNAKAN METODE PIRAC : OKSIDASI PADA 980 o C DI UDARA

PEMBENTUKAN LAPISAN TIPIS TiC MENGGUNAKAN METODE PIRAC : OKSIDASI PADA 980 o C DI UDARA PEMBENTUKAN LAPISAN TIPIS TiC MENGGUNAKAN METODE PIRAC : OKSIDASI PADA 980 o C DI UDARA Penyusun: Dian Agustinawati 1110.100.061 Dosen Pembimbing: Prof. Dr. Suasmoro, DEA Jurusan Fisika Fakultas Matematika

Lebih terperinci

BAB III PROSEDUR PENELITIAN

BAB III PROSEDUR PENELITIAN BAB III PROSEDUR PENELITIAN III.1 Umum Penelitian yang dilakukan adalah penelitian berskala laboratorium untuk mengetahui pengaruh variasi komposisi aditif (additive) yang efektif dalam pembuatan keramik

Lebih terperinci

SINTESIS DAN KARAKTERISASI MAGNESIUM OKSIDA (MgO) DENGAN VARIASI MASSA PEG-6000

SINTESIS DAN KARAKTERISASI MAGNESIUM OKSIDA (MgO) DENGAN VARIASI MASSA PEG-6000 SINTESIS DAN KARAKTERISASI MAGNESIUM OKSIDA (MgO) DENGAN VARIASI MASSA PEG-6000 Peni Alpionita, Astuti Jurusan Fisika FMIPA Universitas Andalas, Padang Kampus Unand Limau Manis, Pauh Padang 25163 e-mail:

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Tahapan Penelitian dan karakterisasi FT-IR dilaksanakan di Laboratorium

BAB III METODE PENELITIAN. Tahapan Penelitian dan karakterisasi FT-IR dilaksanakan di Laboratorium 22 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat Penelitian Tahapan Penelitian dan karakterisasi FT-IR dilaksanakan di Laboratorium Riset (Research Laboratory) dan Laboratorium Kimia Instrumen Jurusan Pendidikan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada penelitian ini akan dibahas tentang sintesis katalis Pt/Zr-MMT dan

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada penelitian ini akan dibahas tentang sintesis katalis Pt/Zr-MMT dan BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Pada penelitian ini akan dibahas tentang sintesis katalis Pt/Zr-MMT dan uji aktivitas katalis Pt/Zr-MMT serta aplikasinya sebagai katalis dalam konversi sitronelal menjadi mentol

Lebih terperinci

PEMBUATAN DAN KARAKTERISASI MEMBRAN KERAMIK ZrSiO 4 -ZrO 2 -TiO 2 TESIS. M. ALAUHDIN NIM : Program Studi Kimia

PEMBUATAN DAN KARAKTERISASI MEMBRAN KERAMIK ZrSiO 4 -ZrO 2 -TiO 2 TESIS. M. ALAUHDIN NIM : Program Studi Kimia PEMBUATAN DAN KARAKTERISASI MEMBRAN KERAMIK ZrSiO 4 -ZrO 2 -TiO 2 TESIS Karya tulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister dari Institut Teknologi Bandung Oleh M. ALAUHDIN NIM : 20506017

Lebih terperinci

Gambar 4.2 Larutan magnesium klorida hasil reaksi antara bubuk hidromagnesit dengan larutan HCl

Gambar 4.2 Larutan magnesium klorida hasil reaksi antara bubuk hidromagnesit dengan larutan HCl BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Sintesa Garam Magnesium Klorida Garam magnesium klorida dipersiapkan melalui dua bahan awal berbeda yaitu bubuk magnesium oksida (MgO) puritas tinggi dan bubuk

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN IV.1 Analisis difraksi sinar X serbuk ZrSiO 4 ZrSiO 4 merupakan bahan baku utama pembuatan membran keramik ZrSiO 4. Untuk mengetahui kemurnian serbuk ZrSiO 4, dilakukan analisis

Lebih terperinci

4 Hasil dan Pembahasan

4 Hasil dan Pembahasan 4 Hasil dan Pembahasan 4.1 Sintesis Padatan TiO 2 Amorf Proses sintesis padatan TiO 2 amorf ini dimulai dengan melarutkan titanium isopropoksida (TTIP) ke dalam pelarut etanol. Pelarut etanol yang digunakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) telah banyak dibangun di beberapa negara di

BAB I PENDAHULUAN. Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) telah banyak dibangun di beberapa negara di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) telah banyak dibangun di beberapa negara di dunia, yang menghasilkan energi listrik dalam jumlah yang besar. PLTN

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. hal ini memiliki nilai konduktifitas yang memadai sebagai komponen sensor gas

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. hal ini memiliki nilai konduktifitas yang memadai sebagai komponen sensor gas 31 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Sintesis material konduktor ionik MZP, dilakukan pada kondisi optimum agar dihasilkan material konduktor ionik yang memiliki kinerja maksimal, dalam hal ini memiliki nilai

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni 2013 sampai selesai. Penelitian dilakukan

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni 2013 sampai selesai. Penelitian dilakukan 27 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni 2013 sampai selesai. Penelitian dilakukan di Laboratorium Fisika Material FMIPA Universitas Lampung. Uji

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Pengujian Densitas Abu Vulkanik Milling 2 jam. Sampel Milling 2 Jam. Suhu C

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Pengujian Densitas Abu Vulkanik Milling 2 jam. Sampel Milling 2 Jam. Suhu C 38 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 KARAKTERISASI HASIL 4.1.1 Hasil Pengujian Densitas Abu Vulkanik Milling 2 jam Pengujian untuk mengetahui densitas sampel pellet Abu vulkanik 9,5gr dan Al 2 O 3 5 gr dilakukan

Lebih terperinci

Galuh Intan Permata Sari

Galuh Intan Permata Sari PENGARUH MILLING TIME PADA PROSES MECHANICAL ALLOYING DALAM PEMBENTUKAN FASA INTERMETALIK γ-tial DENGAN MENGGUNAKAN HIGH ENERGY MILLING Dosen Pembimbing: 1. Hariyati Purwaningsih, S.Si, M.Si 2. Ir. Rochman

Lebih terperinci

SINTESIS SUPERKONDUKTOR BSCCO DENGAN VARIASI Bi DAN Pb MELALUI METODE SOL GEL DAN ANALISIS POLA DIFRAKSI SINAR X MENGGUNAKAN METODE RIETVELD FULLPROF

SINTESIS SUPERKONDUKTOR BSCCO DENGAN VARIASI Bi DAN Pb MELALUI METODE SOL GEL DAN ANALISIS POLA DIFRAKSI SINAR X MENGGUNAKAN METODE RIETVELD FULLPROF SINTESIS SUPERKONDUKTOR BSCCO DENGAN VARIASI Bi DAN Pb MELALUI METODE SOL GEL DAN ANALISIS POLA DIFRAKSI SINAR X MENGGUNAKAN METODE RIETVELD FULLPROF YUNI SUPRIYATI M 0204066 Jurusan Fisika Fakultas MIPA

Lebih terperinci

SINTESIS DAN KARAKTERISASI XRD MULTIFERROIK BiFeO 3 DIDOPING Pb

SINTESIS DAN KARAKTERISASI XRD MULTIFERROIK BiFeO 3 DIDOPING Pb SINTESIS DAN KARAKTERISASI XRD MULTIFERROIK BiFeO 3 DIDOPING Pb Oleh: Tahta A 1, Darminto 1, Malik A 1 Jurusan Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya,

Lebih terperinci

SINTESIS TITANIUM DIOKSIDA (TiO 2 ) DENGAN METODE KOPRESIPITASI DARI SERBUK TITANIUM TERLARUT DALAM HCl

SINTESIS TITANIUM DIOKSIDA (TiO 2 ) DENGAN METODE KOPRESIPITASI DARI SERBUK TITANIUM TERLARUT DALAM HCl SINTESIS TITANIUM DIOKSIDA (TiO 2 ) DENGAN METODE KOPRESIPITASI DARI SERBUK TITANIUM TERLARUT DALAM HCl Dyah Ayu Agustin Widhayani 1, Suminar Pratapa 1 1 Jurusan Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan

Lebih terperinci

PENGARUH VARIASI MILLING TIME dan TEMPERATUR KALSINASI pada MEKANISME DOPING 5%wt AL NANOMATERIAL TiO 2 HASIL PROSES MECHANICAL MILLING

PENGARUH VARIASI MILLING TIME dan TEMPERATUR KALSINASI pada MEKANISME DOPING 5%wt AL NANOMATERIAL TiO 2 HASIL PROSES MECHANICAL MILLING PENGARUH VARIASI MILLING TIME dan TEMPERATUR KALSINASI pada MEKANISME DOPING 5%wt AL NANOMATERIAL TiO 2 HASIL PROSES MECHANICAL MILLING I Dewa Gede Panca Suwirta 2710100004 Dosen Pembimbing Hariyati Purwaningsih,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. penelitian ini dilakukan pembuatan keramik komposit CSZ-Ni dengan

BAB III METODE PENELITIAN. penelitian ini dilakukan pembuatan keramik komposit CSZ-Ni dengan 20 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Metode Desain Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah eksperimen. Pada penelitian ini dilakukan pembuatan keramik komposit CSZ-Ni dengan menggunakan metode tape

Lebih terperinci

PENGARUH PERLAKUAN PANAS PADA ANODA KORBAN ALUMINIUM GALVALUM III TERHADAP LAJU KOROSI PELAT BAJA KARBON ASTM A380 GRADE C

PENGARUH PERLAKUAN PANAS PADA ANODA KORBAN ALUMINIUM GALVALUM III TERHADAP LAJU KOROSI PELAT BAJA KARBON ASTM A380 GRADE C PENGARUH PERLAKUAN PANAS PADA ANODA KORBAN ALUMINIUM GALVALUM III TERHADAP LAJU KOROSI PELAT BAJA KARBON ASTM A380 GRADE C Kharisma Permatasari 1108100021 Dosen Pembimbing : Dr. M. Zainuri, M.Si JURUSAN

Lebih terperinci

: PEMBUATAN KERAMlK BERPORI CORDIERITE (2MgO. 2Ah03' 5SiOz) SEBAGAI BAHAN FILTER GAS. Menyetujui Komisi Pembimbing :

: PEMBUATAN KERAMlK BERPORI CORDIERITE (2MgO. 2Ah03' 5SiOz) SEBAGAI BAHAN FILTER GAS. Menyetujui Komisi Pembimbing : Judul Penelitian Nama NomorPokok Program Studi : PEMBUATAN KERAMlK BERPORI CORDIERITE (2MgO. 2Ah03' 5SiOz) SEBAGAI BAHAN FILTER GAS : SUDIATI : 037026011 : ILMU FISIKA Menyetujui Komisi Pembimbing : Anggota

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan selama tiga bulan, yaitu pada bulan Januari 2012

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan selama tiga bulan, yaitu pada bulan Januari 2012 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama tiga bulan, yaitu pada bulan Januari 2012 sampai April 2012 di Laboratorium Fisika Material, Laboratorium Kimia

Lebih terperinci

3 Metodologi penelitian

3 Metodologi penelitian 3 Metodologi penelitian 3.1 Peralatan dan Bahan Peralatan yang digunakan pada penelitian ini mencakup peralatan gelas standar laboratorium kimia, peralatan isolasi pati, peralatan polimerisasi, dan peralatan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan yaitu eksperimen. Pembuatan serbuk CSZ menggunakan cara sol gel. Pembuatan pelet dilakukan dengan cara kompaksi dan penyinteran dari serbuk calcia-stabilized

Lebih terperinci

Bab III Metodologi Penelitian

Bab III Metodologi Penelitian Bab III Metodologi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Penelitian Kimia Analitik, Program Studi Kimia FMIPA ITB sejak September 2007 sampai Juni 2008. III.1 Alat dan Bahan Peralatan

Lebih terperinci

PENGARUH JANGKAU SUDUT UKUR PADA HASIL ANALISIS DATA DIFRAKSI SINAR-X MENGGUNAKAN METODE RIETVELD: KASUS CAMPURAN MgO-Y 2 O 3

PENGARUH JANGKAU SUDUT UKUR PADA HASIL ANALISIS DATA DIFRAKSI SINAR-X MENGGUNAKAN METODE RIETVELD: KASUS CAMPURAN MgO-Y 2 O 3 146 PENGARUH JANGKAU SUDUT UKUR PADA HASIL ANALISIS DATA DIFRAKSI SINAR-X MENGGUNAKAN METODE RIETVELD: KASUS CAMPURAN MgO-Y 2 O 3 Suminar Pratapa Jurusan Fisika, FMIPA, Institut Teknologi Sepuluh November

Lebih terperinci

Bab III Metodologi Penelitian

Bab III Metodologi Penelitian Bab III Metodologi Penelitian III. 1. Tahap Penelitian Penelitian ini terbagai dalam empat tahapan kerja, yaitu: a. Tahapan kerja pertama adalah persiapan bahan dasar pembuatan LSFO dan LSCFO yang terdiri

Lebih terperinci

Uji Kekerasan Sintesis Sintesis BCP HASIL DAN PEMBAHASAN Preparasi Bahan Dasar

Uji Kekerasan Sintesis Sintesis BCP HASIL DAN PEMBAHASAN Preparasi Bahan Dasar dilapisi bahan konduktif terlebih dahulu agar tidak terjadi akumulasi muatan listrik pada permukaan scaffold. Bahan konduktif yang digunakan dalam penelitian ini adalah karbon. Permukaan scaffold diperbesar

Lebih terperinci

STRUKTUR BAHAN Y 1-X Pr X Ba 2 Cu 3 O 7-δ KERAMIK SUPERKONDUKTOR HASIL SINTESIS DENGAN REAKSI PADATAN SKRIPSI

STRUKTUR BAHAN Y 1-X Pr X Ba 2 Cu 3 O 7-δ KERAMIK SUPERKONDUKTOR HASIL SINTESIS DENGAN REAKSI PADATAN SKRIPSI STRUKTUR BAHAN Y 1-X Pr X Ba 2 Cu 3 O 7-δ KERAMIK SUPERKONDUKTOR HASIL SINTESIS DENGAN REAKSI PADATAN SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Penyelesaian Program Sarjana Sains Jurusan Fisika Fakultas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. komposit. Jenis material ini menjadi fokus perhatian karena pemaduan dua bahan

I. PENDAHULUAN. komposit. Jenis material ini menjadi fokus perhatian karena pemaduan dua bahan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini salah satu jenis material aplikasi yang terus dikembangkan adalah komposit. Jenis material ini menjadi fokus perhatian karena pemaduan dua bahan atau lebih

Lebih terperinci

BAB IV DATA DAN PEMBAHASAN

BAB IV DATA DAN PEMBAHASAN BAB IV DATA DAN PEMBAHASAN 4.1 SINTESIS SBA-15 Salah satu tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan material mesopori silika SBA-15 melalui proses sol gel dan surfactant-templating. Tahapan-tahapan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Telah disadari bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi harus

BAB I PENDAHULUAN. Telah disadari bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi harus 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Telah disadari bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi harus dibayar oleh umat manusia berupa pencemaran udara. Dewasa ini masalah lingkungan kerap

Lebih terperinci

PENGARUH TEMPERATUR KALSINASI PADA PEMBENTUKAN LITHIUM IRON PHOSPHATE (LFP) DENGAN METODE SOLID STATE

PENGARUH TEMPERATUR KALSINASI PADA PEMBENTUKAN LITHIUM IRON PHOSPHATE (LFP) DENGAN METODE SOLID STATE 1 PENGARUH TEMPERATUR KALSINASI PADA PEMBENTUKAN LITHIUM IRON PHOSPHATE (LFP) DENGAN METODE SOLID STATE Arum Puspita Sari 111010034 Dosen Pembimbing: Dr. Mochamad Zainuri, M. Si Kamis, 03 Juli 2014 Jurusan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu pemanfaatan tenaga nuklir dalam bidang energi adalah

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu pemanfaatan tenaga nuklir dalam bidang energi adalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Salah satu pemanfaatan tenaga nuklir dalam bidang energi adalah Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN). Seiring dengan pemanfaatan PLTN terdapat kecenderungan penumpukan

Lebih terperinci

BAB III PROSEDUR DAN HASIL PERCOBAAN

BAB III PROSEDUR DAN HASIL PERCOBAAN BAB III PROSEDUR DAN HASIL PERCOBAAN 3.1 BAHAN DAN ALAT Bahan yang di gunakan dalam pembuatan sampel bata skala lab adalah : 1. Lumpur Sidoarjo yang sudah dipasahkan dan dikeringkan dari airnya, 2. Lempung

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI Fase KOMPOSIT OKSIDA BESI - ZEOLIT ALAM

IDENTIFIKASI Fase KOMPOSIT OKSIDA BESI - ZEOLIT ALAM IDENTIFIKASI Fase KOMPOSIT OKSIDA BESI - ZEOLIT ALAM HASIL PROSES MILLING Yosef Sarwanto, Grace Tj.S., Mujamilah Pusat Teknologi Bahan Industri Nuklir - BATAN Kawasan Puspiptek Serpong, Tangerang 15314.

Lebih terperinci

KARAKTERISASI DIFRAKSI SERBUK YTRIA NANOPARTIKEL HASIL PENGGILINGAN

KARAKTERISASI DIFRAKSI SERBUK YTRIA NANOPARTIKEL HASIL PENGGILINGAN KARAKTERISASI DIFRAKSI SERBUK YTRIA NANOPARTIKEL HASIL PENGGILINGAN Erni Junita Sinaga Institut Teknologi Nasional Malang Jl. Bendungan Sigura-gura no 2 Malang erni_junita@yahoo.com ABSTRAK Telah dilakukan

Lebih terperinci

PEDOMAN SOFTWARE RIETICA LANJUTAN. By: Nurun Nayiroh

PEDOMAN SOFTWARE RIETICA LANJUTAN. By: Nurun Nayiroh PEDOMAN SOFTWARE RIETICA LANJUTAN By: Nurun Nayiroh Urutan membuat model Pattern Difraksi (data terhitung) dengan 2 fasa: 1. New input Diisi 2 fasa Setelah fasa 1 diisi jumlah atomnya, berikutnya isi fase

Lebih terperinci

PENGARUH KONDISI ANNEALING TERHADAP PARAMETER KISI KRISTAL BAHAN SUPERKONDUKTOR OPTIMUM DOPED DOPING ELEKTRON Eu 2-x Ce x CuO 4+α-δ

PENGARUH KONDISI ANNEALING TERHADAP PARAMETER KISI KRISTAL BAHAN SUPERKONDUKTOR OPTIMUM DOPED DOPING ELEKTRON Eu 2-x Ce x CuO 4+α-δ Proseding Seminar Nasional Fisika dan Aplikasinya Sabtu, 21 November 2015 Bale Sawala Kampus Universitas Padjadjaran, Jatinangor PENGARUH KONDISI ANNEALING TERHADAP PARAMETER KISI KRISTAL BAHAN SUPERKONDUKTOR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Produk keramik adalah suatu produk industri yang sangat penting dan berkembang pesat pada masa sekarang ini. Hal ini disebabkan oleh pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan industri dan teknologi saat ini khususnya industri logam dan konstruksi, semakin hari semakin memacu arah pemikiran manusia untuk lebih meningkatkan kemampuan

Lebih terperinci

PREPARASI KOMPOSIT TiO 2 -SiO 2 DENGAN METODE SOL-GEL DAN APLIKASINYA UNTUK FOTODEGRADASI METHYL ORANGE

PREPARASI KOMPOSIT TiO 2 -SiO 2 DENGAN METODE SOL-GEL DAN APLIKASINYA UNTUK FOTODEGRADASI METHYL ORANGE PREPARASI KOMPOSIT TiO 2 -SiO 2 DENGAN METODE SOL-GEL DAN APLIKASINYA UNTUK FOTODEGRADASI METHYL ORANGE Skripsi Untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat sarjana S-1 Program Studi Kimia Oleh

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN Intensitas (arb.unit) Intensitas (arb.unit) Intensitas (arb. unit) Intensitas 7 konstan menggunakan buret. Selama proses presipitasi berlangsung, suhu larutan tetap dikontrol pada 7 o C dengan kecepatan

Lebih terperinci

PENGARUH PENAMBAHAN TEMBAGA (Cu) TERHADAP SIFAT MEKANIK DAN STRUKTUR MIKRO PADA PADUAN ALUMINIUM-SILIKON (Al-Si) MELALUI PROSES PENGECORAN

PENGARUH PENAMBAHAN TEMBAGA (Cu) TERHADAP SIFAT MEKANIK DAN STRUKTUR MIKRO PADA PADUAN ALUMINIUM-SILIKON (Al-Si) MELALUI PROSES PENGECORAN Laporan Tugas Akhir PENGARUH PENAMBAHAN TEMBAGA (Cu) TERHADAP SIFAT MEKANIK DAN STRUKTUR MIKRO PADA PADUAN ALUMINIUM-SILIKON (Al-Si) MELALUI PROSES PENGECORAN Nama Mahasiswa : I Made Pasek Kimiartha NRP

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 DIAGRAM ALIR Untuk mengetahui pengaruh konsentrasi hidrogen klorida (HCl) dan waktu hidrotermal terhadap kristalinitas SBA-15, maka penelitian ini dilakukan dengan tahapan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 KARAKTERISTIK BAHAN Tabel 4.1 Perbandingan karakteristik bahan. BAHAN FASA BENTUK PARTIKEL UKURAN GAMBAR SEM Tembaga padat dendritic

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK BAHAN BATA KONSTRUKSI HASIL PEMBAKARAN DENGAN MEMANFAATKAN LUMPUR ASAL SIDOARJO

KARAKTERISTIK BAHAN BATA KONSTRUKSI HASIL PEMBAKARAN DENGAN MEMANFAATKAN LUMPUR ASAL SIDOARJO KARAKTERISTIK BAHAN BATA KONSTRUKSI HASIL PEMBAKARAN DENGAN MEMANFAATKAN LUMPUR ASAL SIDOARJO Dibuat untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Teknik Metalurgi Institut Teknologi Bandung

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. penelitian ini dilakukan pembuatan keramik CSZ-NiO untuk elektrolit padat

BAB III METODE PENELITIAN. penelitian ini dilakukan pembuatan keramik CSZ-NiO untuk elektrolit padat 28 BAB III METODE PENELITIAN 1.1 Metode yang Digunakan Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah eksperimen. Pada penelitian ini dilakukan pembuatan keramik CSZ-NiO untuk elektrolit padat SOFC.

Lebih terperinci

PENGARUH SUHU SINTER TERHADAP KARAKTERISTIK DIELEKTRIK KERAMIK CALCIA STABILIZIED ZIRCONIA (CSZ) DENGAN PENAMBAHAN 0.5% BORON TRIOXIDE (B 2 O 3 )

PENGARUH SUHU SINTER TERHADAP KARAKTERISTIK DIELEKTRIK KERAMIK CALCIA STABILIZIED ZIRCONIA (CSZ) DENGAN PENAMBAHAN 0.5% BORON TRIOXIDE (B 2 O 3 ) PENGARUH SUHU SINTER TERHADAP KARAKTERISTIK DIELEKTRIK KERAMIK CALCIA STABILIZIED ZIRCONIA (CSZ) DENGAN PENAMBAHAN 0.5% BORON TRIOXIDE (B 2 O 3 ) H.Kurniawan 1), Salomo 2), D.Gustaman 3) 1) Mahasiswa Program

Lebih terperinci

Petunjuk Refinement. Analisis Pola Difraksi Sinar-X Serbuk Menggunakan Metode Le Bail Pada Program Rietica

Petunjuk Refinement. Analisis Pola Difraksi Sinar-X Serbuk Menggunakan Metode Le Bail Pada Program Rietica Petunjuk Refinement Analisis Pola Difraksi Sinar-X Serbuk Menggunakan Metode Le Bail Pada Program Rietica Rolan Rusli 19 Januari 2011 Kata Pengantar Puji Syukur Kehadirat Allah SWT, karena atas limpahan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian telah dilaksanakan selama tiga bulan, yaitu pada bulan September 2012

III. METODE PENELITIAN. Penelitian telah dilaksanakan selama tiga bulan, yaitu pada bulan September 2012 26 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian telah dilaksanakan selama tiga bulan, yaitu pada bulan September 2012 sampai Desember 2012 di Laboratorium Fisika Material, Laboratorium

Lebih terperinci

350 0 C 1 jam C. 10 jam. 20 jam. Pelet YBCO. Uji Konduktivitas IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Ba(NO 3 ) Cu(NO 3 ) 2 Y(NO 3 ) 2

350 0 C 1 jam C. 10 jam. 20 jam. Pelet YBCO. Uji Konduktivitas IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Ba(NO 3 ) Cu(NO 3 ) 2 Y(NO 3 ) 2 Y(NO 3 ) 2 Pelarutan Pengendapan Evaporasi 350 0 C 1 jam 900 0 C 10 jam 940 0 C 20 jam Ba(NO 3 ) Pelarutan Pengendapan Evaporasi Pencampuran Pirolisis Kalsinasi Peletisasi Sintering Pelet YBCO Cu(NO 3

Lebih terperinci

SINTESIS OKSIDA LOGAM AURIVILLIUS SrBi 4 Ti 4 O 15 MENGGUNAKAN METODE HIDROTERMAL DAN PENENTUAN SIFAT FEROELEKTRIKNYA

SINTESIS OKSIDA LOGAM AURIVILLIUS SrBi 4 Ti 4 O 15 MENGGUNAKAN METODE HIDROTERMAL DAN PENENTUAN SIFAT FEROELEKTRIKNYA 27 SINTESIS OKSIDA LOGAM AURIVILLIUS SrBi 4 Ti 4 O 15 MENGGUNAKAN METODE HIDROTERMAL DAN PENENTUAN SIFAT FEROELEKTRIKNYA Synthesis of Metal Oxide Aurivillius SrBi 4 Ti 4 O 15 Using Hydrothermal Method

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. didalamnya dilakukan karakterisasi XRD. 20%, 30%, 40%, dan 50%. Kemudian larutan yang dihasilkan diendapkan

HASIL DAN PEMBAHASAN. didalamnya dilakukan karakterisasi XRD. 20%, 30%, 40%, dan 50%. Kemudian larutan yang dihasilkan diendapkan 6 didalamnya dilakukan karakterisasi XRD. 3.3.3 Sintesis Kalsium Fosfat Sintesis kalsium fosfat dalam penelitian ini menggunakan metode sol gel. Senyawa kalsium fosfat diperoleh dengan mencampurkan serbuk

Lebih terperinci

BAB 4 DATA DAN ANALISIS

BAB 4 DATA DAN ANALISIS BAB 4 DATA DAN ANALISIS 4.1. Kondisi Sampel TiO 2 Sampel TiO 2 disintesa dengan memvariasikan jenis pelarut, block copolymer, temperatur kalsinasi, dan kelembaban relatif saat proses aging. Kondisi sintesisnya

Lebih terperinci

Metode Uniaxial Pressing Proses Sintering...

Metode Uniaxial Pressing Proses Sintering... DAFTAR ISI SKRIPSI... i PENGESAHAN... ii PERNYATAAN... iii NASKAH SOAL TUGAS AKHIR... iv HALAMAN PERSEMBAHAN... v INTISARI... vi KATA PENGANTAR... vii DAFTAR ISI... ix DAFTAR GAMBAR... xi DAFTAR TABEL...

Lebih terperinci

SINTESIS DAN KARAKTERISASI SIFAT MIKROSKOPIK BaTiO 3 DENGAN METODE SOL-GEL SKRIPSI

SINTESIS DAN KARAKTERISASI SIFAT MIKROSKOPIK BaTiO 3 DENGAN METODE SOL-GEL SKRIPSI SINTESIS DAN KARAKTERISASI SIFAT MIKROSKOPIK BaTiO 3 DENGAN METODE SOL-GEL SKRIPSI FIONA SETYO RESMAWATI PROGRAM STUDI S1 FISIKA DEPARTEMEN FISIKA FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA

Lebih terperinci