ENCODING DAN DECODING KODE HAMMING SEBAGAI KODE TAK SIKLIK DAN SEBAGAI KODE SIKLIK Lilik Hardianti, Loeky Haryanto, Nur Erawaty

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ENCODING DAN DECODING KODE HAMMING SEBAGAI KODE TAK SIKLIK DAN SEBAGAI KODE SIKLIK Lilik Hardianti, Loeky Haryanto, Nur Erawaty"

Transkripsi

1 ENCODING DAN DECODING KODE HAMMING SEBAGAI KODE TAK SIKLIK DAN SEBAGAI KODE SIKLIK Lilik Hardianti, Loeky Haryanto, Nur Erawaty Abstrak Kode linear biner [n, k, d] adalah sebuah subruang vektor C GF(2 n ) berdimensi k di mana bobot terkecil dari vektor-vektor kodenya adalah d. Matriks perentang G dari kode C adalah matriks berukuran k n yang k baris-barisnya adalah k vektor-vektor kode di dalam C yang saling bebas linear. Proses encoding kode C dimodelkan secara matematis sebagai hasil kali antara vektor v GF(2 k ) dengan matriks generator G. Hasil encoding vektor v adalah vektor kode c = vg C. Dual dari kode C adalah subruang vektor C GF(2 n ) berdimensi n k yang berisi vektor-vektor yang tegak lurus pada semua vektor-vektor kode di dalam C. Subruang C direntang oleh matriks cek paritas H dari kode C. Untuk setiap m 1, kode Hamming H m GF(2 n ), dimana n = 2 m 1; didefinisikan sebagai subruang vektor berdimensi k = n m yang memenuhi syarat: n kolom-kolom matriks cek paritasnya bisa dipilih sebagai penyajian biner dari bilangan 1, 2,, 2 m 1 secara berururtan. Akibatnya, H m adalah sebuah kode [2 m 1, 2 m m 1, 3]. Dekoding kode H m dimodelkan secara matematis melalui perhitungan sindrom S(v) = Hv T terhadap vektor v GF(2 n ). Jika S(v) 0, maka penyajian basis 10 (desimal) dari S(v) menyatakan posisi bit dalam v yang harus dikoreksi. Dalam notasi polinom, sebuah kode siklik dimodelkan secara aljabar sebagai ideal utama <g(x)> GF(2 n )[x]/<x n 1>. Jika n = 2 m 1 dan polinom generator g(x) dari ideal dipilih sama dengan salah satu polinom minimal berderajat m untuk suatu unsur primitif α atas GF(2), maka ideal utama tersebut menyajikan kode siklik yang ekuivalen dengan kode Hamming H m. Kata kunci: Kode Hamming, Kode Siklik, Matriks Pembangun, Matriks Cek Paritas Abstract A binary linear code [n, k, d] is a k-dimension subspace C GF(2 n ) in which d is the minimum weight of its codewords. The generator matrix of C is a k n matrix whose k rows are any k independent codewords of C. Encoding the code C is modeled mathematically as matrix multiplication between v GF(2 k ) and the generator matrix G of C. The encoded word of v is a codeword c = vg C. The dual of C is a (n k)-dimension subspace C GF(2 n ) whose elements are all vectors perpendicular to all codewords in C. C is generated by the parity-check matrix H of C. For every m 1, the Hamming code H m GF(2 n ), where n = 2 m 1; is defined as a (n m)- dimension subspace sastifying the following condition: the n binary column vectors of its parity check matrix can be chosen to represent the integers 1, 2,, 2 m 1 consecutively. Accordingly, H m is an [2 m 1, 2 m m 1, 3]-code. Decoding H m is mathematically modeled as computing the syndrome S(v) = Hv T of v GF(2 n ). If S(v) 0, then the decimal representation of S(v) associated to the corrupted bit position of v. In polynomial notation, a cyclic code is modeled algebraically as a prime ideal <g(x)> GF(2 n )[x]/<x n 1>. If n = 2 m 1 and the polynomial generator g(x) is chosen as m- degree minimal polynomial for a primitive element α over GF(2), then the prime ideal represents a cyclic code equivalent to the Hamming code H m. Keywords: Hamming Code, Cyclic Code, Generator Matrix, Parity Check Matrix 1. Pendahuluan Ide dasar dari teori kode pengoreksi kesalahan adalah memberi sedikit tambahan data (redundansi) terhadap pesan asli. Setiap data bisa dinyatakan sebagai kumpulan vektor-vektor biner. Redundansi pada pesan asli v (sebagai vektor biner) berupa untaian biner dengan panjang k ditambahkan oleh enkoder dan pesan c (yang telah diberi redudansi sehingga menjadi untaian biner dengan panjang n > k) dinamakan kata kode (codeword).

2 Pada Gambar 1.1, diilustrasikan bagaimana error-correcting codes bekerja pada pengiriman data. Sumber pesan Gambar 1.1 ilustrasi error-correcting codes. Dalam komunikasi dan pemrosesan informasi, pengkodean (encoding) adalah proses konversi informasi dari suatu sumber menjadi data, yang selanjutnya dikirimkan ke penerima. Pengawakodean (decoding) adalah proses kebalikannya, yaitu konversi data yang telah dikirimkan oleh sumber pesan menjadi informasi yang dimengerti oleh penerima. Salah satu jenis kode yang banyak digunakan adalah kode siklik. Himpunan C yang berunsurkan vektor-vektor biner disebut kode siklik jika memenuhi sifat: Untuk setiap c 0 c 1...c n 1 c n C berlaku c n c 0 c 1...c n 1 C. Beberapa kode yang lebih dahulu berkembang sebelum teori kode siklik dipelajari dan berkembang ternyata kemudian bisa dibuktikan ekuivalen dengan salah satu kode siklik. Beberapa di antara kode siklik tersebut antara lain kode Hamming dan sebagian dari bit-bit kode Golay. Kode Hamming dikenalkan oleh Richard Hamming (1950) sebagai kode tunggal pengoreksi kesalahan (single error-correcting code) 2. Teori-Teori Pendukung Enkoder Salah satu konsep aljabar terpenting di dalam teori kode pengoreksi kesalahan adalah konsep ideal. Ideal di dalam suatu gelanggang G didefinisikan sebagai suatu himpunan I G yang memenuhi sifat: untuk setiap x G dan a I berlaku ax I (sehingga dari asumsi sifat komutatif gelanggang, xa I). Sebuah ideal disebut ideal utama (prime ideal) jika terdapat sebuah g I sedemikian hingga untuk setiap a I, terdapat x G sedemikian hingga a = xg. Fakta ini biasa dilambangkan sebagai I = <g> atau I = gg (dan I = Gg, karena G diasumsikan komutatif). Jika g = 1, maka mudah dibuktikan bahwa <1> = G. Jika setiap ideal I G direntang oleh satu unsur g G (yaitu I = <g>), maka G disebut daerah ideal utama (principal ideal domain). Sebuah ideal M G disebut ideal maksimal jika untuk setiap ideal I G berlaku implikasi: jika M I G maka I = M atau I = G. Dalam aplikasi, daerah integral yang terpenting adalah F[x], di mana F adalah lapangan. A. Lapangan Hingga (Finite Field) Lapangan hingga F selalu memiliki sebanyak q unsur di mana q = p n, untuk suatu bilangan prima p, pada tulisan ini selalu diasumsikan p = 2. F disebut juga lapangan Galois sehingga biasa dilambangkan dengan GF(q). Karena q = 2 n, lapangan hingga GF(q) adalah sebuah lapangan perluasan dari lapangan GF(2), artinya GF(2) GF(q). Definisi 2.1 (Unsur Primitif) Unsur primitif dari lapangan GF(q) adalah sebuah unsur α sedemikian hingga setiap unsur di dalam lapangan GF(q) kecuali 0 dapat diekspresikan sebagai perpangkatan dari α. B. Polinom Primitif dan Polinom Minimal Kanal (Noise) Dekoder Definisi 2.2 (Polinom Primitif) Polinom irreduksi p(x) atas GF(q) adalah polinom primitif atas GF(q) jika terdapat unsur primitif α sedemikian hingga p(α) = 0. Tabel 2.1 Beberapa Polinom primitif di dalam GF(2)[x] m (derajat) p(x), polinom primitif 2 x 2 + x +1 3 x 3 + x +1, x 3 + x 2 +1, 4 x 4 + x +1 5 x 5 + x 2 +1 (Richard E. Blahut: 2003) Pesan diterima

3 Definisi 2.3 (Polinom Minimal) Misalkan GF(q) adalah lapangan, GF(Q) adalah lapangan perluasan dari GF(q) dan β GF(Q). Polinom irreduksi m(x) yang memiliki derajat terkecil atas GF(q) dengan m(β) = 0 disebut polinom minimal untuk β atas lapangan GF(q) dan β dikatakan memiliki polinom minimal m(x) atas GF(q). C. Ruang Vektor Pilih lapangan F 2 = {0, 1}, unsur-unsurnya disebut bit. Ruang vektor F 2 dilengkapi dengan dua operator biner, yaitu operator tambah dan perkalian skalar. Pernyataan W adalah subruang vektor dari V dilambangkan W V. Telah diketahui bahwa jika F adalah lapangan, maka F n adalah ruang vektor dari semua vektor dengan panjang n yang unsur-unsurnya merupakan elemen dari F, yaitu: F n = {(a 1, a 2,, a n ): a i F}. Penjumlahan vektor di F n menggunakan penjumlahan komponoen-per-komponen unsur-unsur F. Telah diketahui pula bahwa untuk setiap bilangan prima p dan setiap bilangan positif n 1, terdapat lapangan hingga yang terdiri atas q = p n unsur-unsur. Lapangan ini akan diberi simbol GF(q) atau F q. Dalam aljabar linear, sebuah basis untuk V adalah sebuah subhimpunan tak kosong B = {v 1, v 2,, v k } V yang memenuhi: 1. B merentang V, yaitu V = <B>, dan 2. B bebas linear. D. Kode Linear Sembarang subhimpunan C GF(2 n ) disebut kode (biner). Kode C GF(2 n ) disebut kode linear jika C GF(2 n ). Untuk kode biner, pembuktian suatu himpunan adalah subruang (kode linear) menjadi lebih sederhana. Sesungguhnya, W GF(2 n ) jika dan hanya jika untuk setiap v, w W berlaku v + w W. Kode linear C dengan panjang n dan berdimensi k didefinisikan sebagai subruang C F 2 n yang berdimensi k. Kode linear C ini disebut kode [n, k]. Jarak minimum kode C didefinisikan dan diberi lambang sebagai d(c) = min {d(u, v) u, v C, u v}. Bobot dari u C didefinisikan sebagai banyak bit-1 di antara komponen-komponen u dan diberi lambang wt(u). Bisa dibuktikan, d(c) = min {wt(u) u C, u 0}. Jika jarak minimum dari C diketahui, misalnya d = d(c), maka C disebut kode [n, k, d] atau lengkapnya, kode linear-[n, k, d]. Definisi 2.4 Sebuah matriks k n yang barisnya membentuk basis untuk kode linear [n, k] disebut matriks perentang (generator matrix) untuk kode C. E. Kode Siklik Definisi 2.5 Kode linear C [n, k, d] adalah siklik jika untuk setiap (c 0, c 1,, c n-1 ) kata kode (codeword) di dalam C, maka (c n-1, c 0,, c n-2 ) adalah kata kode juga di dalam C. F. Kode Hamming Kode Hamming adalah sebuah kelas dari kode pengoreksi kesalahan (error correcting codes) yang hanya dapat mengoreksi satu kesalahan. Kode Hamming biner mempunyai parameter-parameter sebagai berikut: 1) Panjang kode n = 2 m 1, dengan m 3

4 2) Dimensi k = 2 m m 1 3) Jarak minimum d = 3 3. Pembahasan A. Kode Linear Definisi 3.1 Himpunan bagian C GF(2 n ) yang tidak kosong adalah kode linear jika untuk setiap u, v C berlaku u + v C dan au C, a GF(2). Setiap unsur c C disebut vektor kode. Proses pengubahan informasi atau pesan biner dengan panjang k ke dalam bentuk vektor biner dengan panjang n > k disebut sebagai pengkodean (encoding). Encoding dari sebuah pesan u = u 1 u 2 u k GF(2 k ) menjadi vektor kode c C dilakukan dengan cara mengalikan pesan u dengan matriks generator G c = ug = u r i i dimana (r 1, r 2,..., r k ) adalah baris-baris pada matriks generator G. Jika vektor kode: c = c 1 c 2...c n dikirim dan vektor v = v 1 v 2 v n diterima, maka ē = v c = e 1 e 1 e n disebut vektor kesalahan. Jika v bukan vektor kode, decoder harus memutuskan, vektor kode c (yang berubah menjadi vektor v) manakah yang dikirim, atau vektor kesalahan ē yang mana terjadi sehingga vektor v diterima dengan kesalahan. B. Sindrom Misalkan H adalah matriks cek-paritas dari kode C GF(2 n ) yang berdimensi k. Hasil kali S(v) = H v T GF(2 n k ) antara sembarang vektor v GF(2 n ) dengan matriks cek-paritas H untuk kode C disebut sindrom dari v. Sindrom bisa digunakan untuk mendeteksi adanya kesalahan, bahkan bisa untuk mengkoreksi kesalahan pada kode linear, apabila kode yang digunakan tidak terlalu kompleks. Teorema 3.1 Jika C adalah kode linear dan c C, maka sindrom dari c adalah vektor nol; dengan kata lain: S(c) = H c T = 0. Teorema 3.2 Jika C GF(2 n ) dan u, v GF(2 n ) maka S(u) = S(v) jika dan hanya jika u v C. Akibat Teorema 3.2 Misalkan u GF(2 n ). Himpunan semua vektor-vektor v GF(2 n ) yang memenuhi kesamaan S(u) = S(v) adalah sebuah koset dari C; persisnya {v GF(2 n ) S(v) = S(u)} = u + C. Hasil di atas bisa diilustrasikan melalui contoh berikut. Contoh 3.1: Pandang kode C = { , , , }. Matriks paritas dari C adalah H = k i= 1

5 Dari matriks cek-paritas H untuk kode C ini, diturunkan tabel berikut: Tabel 3.1 Kode Linear C = {c 0, c 1, c 2, c 3 } F 7 2, d(c) = koset coset leader v 0 = e v 1 = e + c 1 v 2 = e + c 2 v 3 = e + c 3 Sindrom T s = Hv i C = [ ] [ ] [ ] [ ] [00000] T C [ ] [ ] [ ] [ ] [11110] T C [ ] [ ] [ ] [ ] [10101] T C [ ] [ ] [ ] [ ] [10011] T C [ ] [ ] [ ] [ ] [01110] T Perhatikan, setiap unsur v GF(2 7 ) yang sebaris dengan coset leader e dan sekolom dengan vektor kode c memenuhi kesamaan v = e + c. Karena c = v e dan coset leader e dipilih sebagai salah unsur dengan bobot terkecil di dalam koset e + C, maka jarak v dan c adalah jarak minimum di antara semua jarak antara v dengan vektor kode. C. Konstruksi Tak Siklik Kode Hamming Definisi 3.2 Misalkan m 3. Kode Hamming H m adalah kode linear yang setiap kolom dari matriks cekparitasnya adalah penyajian biner dari bilangan 1 sampai dengan 2 m 1. Jadi, kode Haming memiliki parameter-parameter: 1) Panjang vektor kode n = 2 m 1 2) Dimensi k = 2 m m 1 3) Jarak minimum d = 3 Dengan kata lain, kode Hamming H m adalah kode [2 m 1, 2 m m 1, 3]. Contoh 3.2: Dengan m = 3, bisa dikonstruksi kode Hamming H 3 yang memiliki vektor kode panjang n = Karena kode Hamming H 3 berdimensi k = = 4, dualnya, kode H 3 ; berdimensi n k = n 4 = 3. Ini berarti H 1, matriks cek-paritas kode H 3 (atau matriks generator kode H 3 ) berukuran H = Setiap vektor kode c H 3 memenuhi kesamaan H c T = 0. Sebagai contoh jika c 1 = [ ], c 2 = [ ] maka c 1, c 2 H 3 sebab memenuhi kesamaan H c T 1 = [ ] T = dan H c T 2 = [ ] T = Jadi untuk mendapatkan kode linear C dari matriks cek paritas H ini, cukup dicari sebuah basis dari C yang bisa diperoleh dari bentuk solusi umum SPL homogin Hc T = 0, atau c 4 + c 5 + c 6 + c 7 = 0, c 2 + c 3 + c 6 + c 7 = 0, c 1 + c 3 + c 5 + c 7 = 0; Dengan menukarkan baris pertama dengan baris ketiga matriks koefisien SPL, matriks eselon tereduksi yang diperoleh adalah matriks

6 H = Matriks H berbentuk eselon tereduksi dari matriks ini disimpulkan bahwa SPL memiliki peubah bebas c 3, c 5, c 6 dan c 7 sehingga peubah utama c 1, c 2 dan c 4 bisa dinyatakan sebagai jumlah dari peubah-peubah bebas: c 1 = c 3 + c 5 + c 7, c 2 = c 3 + c 6 + c 7, c 4 = c 5 + c 6 + c 7. Dengan mengeliminasi ketiga peubah utama, setiap solusi merupakan kombinasi linear dari vektor-vektor basis ruang solusi. Ke-4 vektor basis ini menjadi ke-4 baris dari matriks generator G sehingga setiap solusi (yaitu setiap vektor kode) bisa ditulis dalam bentuk c = vg sebagai berikut (c 1, c 2, c 3, c 4, c 5, c 6, c 7 ) = (c 3, c 5, c 6, c 7 ) di mana v = (c 3, c 5, c 6, c 7 ) GF(2 4 ). Ini berarti semua vektor kode c H 3 bisa diperoleh dari encoding terhadap semua vektor v GF(2 4 ), yaitu dari hasil kali c = v G. Pada khususnya kedua vektor kode c 1, c 2 C GF(2 7 ) diperoleh dari vektor v 1 = [ ] GF(2 4 ) dan v 2 = [ ] GF(2 4 ) melalui encoding dengan menggunakan matriks generator seperti berikut c 1 = [ ] = [ ] = v 1 G dan c 2 = [ ] = [ ] = v 2 G Sesungguhnya, H 3 = { , , , , , , , , , , , , , , , }. D. Decoding Kode Hamming dengan Sindrom Kode Hamming adalah kode paling banyak digunakan untuk peralatan digital di mana peluang terjadi kesalahan pada lebih dari 1 bit boleh dikatakan nol. Sesungguhnya dengan menggunakan matriks cek-paritas H untuk kode Hamming, jika vektor r diperoleh dari vektor kode dengan satu kesalahan (corrupted) bit, maka nilai desimal (bilangan basis 10) dari sindrom Hr menyatakan posisi bit yang perlu dikoreksi. Contoh 3.3: Misalnya dikirimkan (atau disimpan) data berupa tiga vektor kode c = [ ]. Hasil pengiriman (atau pengaksesan) data ini ternyata adalah vektor v = [ ]. Dari hasil kali H dengan v T diperoleh sindrom H v T = [ ] T = 1 2 (dalam basis 10)

7 Jadi disimpulkan bahwa vektor v memiliki kesalahan bit pada posisi 2. Dengan demikian, decoder akan merubah bit ke-2 dari vektor v. E. Kode Siklik Kode linear C dengan panjang n atas lapangan hingga GF(q) adalah siklik jika untuk setiap vektor kode c = c 0 c 1 c n-1 di dalam C maka vektor c = c n-1 c 0 c n-2 diperoleh dari cyclic shift (pergeseran siklik) koordinat i i + 1 (mod n) juga berada di dalam C (juga vektor kode). Jadi, kode siklik memuat semua n pergeseran siklik atas setiap vektor kode. Untuk memeriksa kode siklik C atas lapangan GF(q), setiap kata kode diubah ke dalam bentuk polinom berdasarkan bijeksi antara vektor c = c 0 c 1 c n-1 GF(q n ) dengan polinom c(x) = c 0 + c 1 x + + c n-1 x n 1 GF(q)[x]/<p(x)>, di mana q = 2 n dan p(x) adalah polinom primitif berderajat n. Jadi dalam bentuk polinom, C adalah kode linear jika hanya jika untuk setiap kata kode c(x) = c 0 + c 1 x + + c n-1 x n 1 C maka berlaku xc(x) = c n-1 x n + c 0 x + + c n-2 x n 1 C. Agar kode siklik C invariant pada pergeseran siklik sehingga jika c(x) di dalam C, maka xc(x) diberikan dengan perkalian kongruen modulo x n 1. Ini memberikan kesan bahwa teori yang tepat untuk mempelajari kode siklik adalah teori gelanggang hasil bagi R n = GF(2)[x] / < x n 1> Pembahasan di atas menunjukkan bahwa kode siklik adalah ideal dari R n. Mempelajari kode siklik dalam GF(q n ) sama dengan mempelajari kode siklik dalam R n. Ini bergantung pada faktor x n 1. Teorema 3.3 Kode linear C di dalam GF(q n ) adalah siklik jika dan hanya jika C adalah ideal di dalam R n. F. Koset Siklotomik Definisi 3.3 Misalkan n dan p adalah bilangan yang saling prima. Koset siklotomik dari p (p-koset siklotomik) modulo n yang memuat i didefinisikan sebagai berikut C i = {i p j mod n) Z n j = 0, 1, 2,..., m 1} Subhimpunan {i 1, i 2,...,i t } Z n disebut himpunan lengkap yang menyajikan (representasi) koset siklotomik q modulo n jika C, C,..., C saling lepas dan C i m. i1 i2 i t U t C j= 1 i j = Z n. Untuk n = p m 1, maka Bilangan bulat positif terkecil a sedemikian rupa sehingga q a = 1 mod n disebut order dari q modulo n dan diberi lambang ord n (q). Dalam tulisan ini, q = 2 dan n = 2 m 1 di mana m adalah derajat polinom primitif yang digunakan untuk mengkonstrusi lapangan hingga. Teorema 3.4 Misalkan n adalah bilangan bulat positif yang relatif prima dengan q. Misalkan t = ord n (q), dan α adalah akar ke-n dari 1 GF(q t ). (i) Untuk setiap bilangan bulat s dengan 0 s < n, polinom minimal dari α s atas GF(q) adalah ( ) ( α i M ) s x = x α, dengan C s adalah koset siklotomik q dari s modulo n. (ii) Selanjutnya i C s n ( x 1) = M s ( x) α adalah faktorisasi x n 1 atas GF(q), di mana s berjalan sebagai representasi dari koset siklotomik q modulo n. Contoh 3.4 Dari koset siklotomik untuk p = 2 dan dengan modulo n = = 7, faktorisasi dari x 7 1 bisa diperoleh dengan menggunakan α, akar dari polinom primitif x 3 + x + 1 sebagai berikut: C 0 = {(0 2 j mod 7) Z n, j = 0, 1, 2,...} = {0} diperoleh faktor (x α 0 ) = (x 1) s

8 C 1 = {(1 2 j mod 7) Z n, j = 0, 1, 2,...} = {1, 2, 4} = C 2 = C 4, diperoleh faktor (x α)(x α 2 )(x α 3 ) = x 3 + x + 1 C 3 = {(3 2 j mod 7) Z n, j = 0, 1, 2,...} = {3, 5, 6} = C 5 = C 6 diperoleh faktor (x α 3 )(x α 5 )(x α 6 ) = x 3 + x Himpunan {0, 1, 3} adalah himpunan lengkap dari representasi dari koset siklotomik dari 2 modulo 7. G. Dimensi dan Matriks Paritas Kode Siklik Teorema 3.5 Jika I adalah ideal tak kosong di dalam R n maka polinom monik tak nol dengan derajat terkecil di di dalam I, namakan g(x); adalah sebuah generator dari I. Dengan kata lain R n adalah daerah ideal utama. Lebih jauh, g(x) membagi x n - 1. Baris-baris matriks pengecekan paritas dari kode C bisa dinyatakan sebagai g( x) xg( x) H =... n k x g( x) atau jika g(x) = g 0 + g 1 x + + g n k x n k, g i GF(q); maka (3.1) g0 g1 L gn k 0 0 L 0 0 g0 g1 L gn k 0 L 0 H = M 0 0 L 0 g0 g1 L gn k (3.2). Teorema 3.6 Misalkan g(x) = g 0 + g 1 x + + g n k x n k adalah polinom generator dari kode siklik C pada GF(q n ) dengan g n k 0, maka ekspresi (3.1) dan (3.2) merupakan dua cara penyajian matriks generator kode C R n Contoh 3.5 Diberikan kode siklik biner-[7, 4] dengan polinom generator g(x) = 1 + x + x 3. Maka kode ini memiliki matriks generator: g( x) xg( x) G = x g( x) x g( x) Definisi 3.4 Misalkan h(x) = n 1 i hi x adalah polinom berderajat k (h k 0) atas lapangan GF(q), polinom i= 0 terbalik (reciprocal polynomial) h R (x) dari h(x) didefinisikan: h R (x) = x k h(x 1 ) = Contoh 3.6 Misalkan terdapat polinom h(x) = 1 + 2x + 3x 5 + x 7 GF(5)[x], maka h R (x) = x 7 h(x 1 ) = x 7 (1 + 2x 1 + 3x 5 + x 7 ) = x 7 + 2x 6 + 3x = 1 + 3x 2 + 2x 6 + x 7 n 1 i= 0 h k i x i

9 Teorema 3.7 Misalkan C = <g(x)> R n adalah sebuah kode siklik berdimensi k dan x n 1 = g(x)h(x). Jika h(x) = h 0 + h 1 x + + h k x k maka generator kode dual C adalah h 0 1 h R (x) = h 0 1 x k h(x 1 ) = x k + h 0 1 h 1 x k h 0 1 h k, di mana h 0 adalah konstan dari h(x). Definisi 3.5 Jika C adalah kode biner siklik dengan panjang n dan x n 1 = g(x)h(x), maka h 0 1 h R (x) disebut polinom cek paritas dari C Akibat Teorema 3.7 Matriks generator untuk kode dual dari C (matriks cek paritas kode C) adalah hk hk 1 L h0 0 0 L 0 0 hk hk 1 L h0 0 L 0 M 0 0 L 0 hk hk 1 L h0 Contoh 3.7 Kode-[7, 4, 3] adalah kode yang ekuivalen dengan kode Hamming H 3. dengan polinom generator g(x) = 1 + x 2 + x 3. Jika h(x) = (x 7 1)/g(x) = (x 7 1)/1 + x 2 +x 3 = 1 + x 2 +x 3 + x 4, maka h R = 1 + x +x 2 + x 4 adalah polinom cek paritas dari kode C sehingga kode ini memiliki matriks cek paritas: H = H. Konstruksi Kode Siklik Untuk mengkosntruksi suatu kode siklik, dapat dilihat dari matriks generatornya atau daari penjabaran aljabar polinom generatornya. Teorema 3.8 Kode C R n siklik jika C memenuhi dua kondisi (i) a(x), b(x) C a(x) + b(x) C (ii) a(x) C, r(x) R n r(x)a(x) C. Contoh 3.8 Misalkan terdapat kode dengan matriks generator yang membangun kode C (7,3) sebagai berikut G = memiliki kata kode c 1 = , c 2 = , c 3 = , c 1 + c 2 = , c 1 + c 3 = c 2 + c 3 = , c 1 + c 2 + c 3 = Kode ini siklik karena pergeseran siklik dari baris pertama memberikan semua vektor kode tak nol dari kode linear, c 1 c 2, c 2 c 3, c 3 c 1 + c 3, c 1 + c 3 c 1 + c 2 + c 3, c 1 + c 2 + c 3 c 1 + c 2, c 1 + c 2 c 2 + c 3, c 2 + c 3 c 1. Jarak minimum kode adalah 4. Jadi kode ini adalah kode siklik C[7, 3, 4]. Misalkan F 2 [x] adalah polinom dengan koefisien dari GF(2) dan GF(2)[x]/<x 7 1> adalah himpunan polinom sisa hasil bagi dari GF(2)[x] oleh x 7 1. Misalkan g(x) = 1 + x 2 + x 3 + x 4 adalah polinom generator yang membangun kode, yaitu polinom irreduksi berderajat 4 yang membagi x 7 1. Perhatikan polinom r(x)g(x) = a 0 + a 1 x + a 2 x 2 + a 3 x 3 + a 4 x 4 + a 5 x 5 + a 6 x 6, dengan r(x) adalah polinom yang berderajat kurang dari 3.

10 Selanjutnya polinom hasil kali r(x)g(x) dinyatakan sebagai vektor kode 0 g(x) = 0 ( ) 1 g(x) = 1 + x 2 + x 3 + x 4 ( ) x g(x) = x + x 3 + x 4 + x 5 ( ) (1 + x) g(x) = 1 + x + x 2 + x 5 ( ) x 2 g(x) = x 2 + x 4 + x 5 + x 6 ( ) (1 + x 2 ) g(x) = 1 + x 3 + x 5 + x 6 ( ) (x + x 2 ) g(x) = x + x 2 + x 3 + x 6 ( ) (1 + x + x 2 ) g(x) = 1 + x + x 4 + x 6 ( ) Secara umum dapat diambil polinom r(x) berderajat i mod (x 7 1), sehingga n 1 n 1 n 1 i i i r ( x) g ( x) = ri x gix ci x mod (x 7 1) i= 0 i= 0 i= 0 untuk setiap c i F. I. Kode Hamming adalah Kode Siklik Perhatikan matriks H = [1 α α 2... α n 1 ] Selanjutnya tulis setiap unsur α j dalam bentuk polinom derajat < n = p m 1 kemudian tulis kembali ke bentuk kolom dengan m komponen. Misalkan C adalah kode biner dengan matriks cek paritas H. 1. H adalah matriks cek paritas dari C jika baris-baris matriks H bebas linear. Untuk menunjukkan H bebas linear, nyatakan setiap α j dalam bentuk kolom biner panjang m. Jadi H adalah matriks m n. Perhatikan bahwa kolom m pertama dari H berbentuk matriks identitas (α j = 1.α j untuk 0 j m 1) sehingga H berbentuk matriks kolom tereduksi. 2. Akan ditunjukkan bahwa C adalah kode Hamming Karena {α j : 0 j n 1} = {1, α, α 2,..., α } = GF(2 m )\{0} dapat dilihat bahwa kolom-kolom di H semuanya tak nol dengan panjang m sehingga mewakili semua bilangan tak nol (dalam basis 10) dari 1 sampai dengan 2 m 1. Jadi menurut definisi kode Hamming, maka kode C adalah kode Hamming 3. c C jika dan hanya jika α adalah akar dari polinom kode c(x) = c 0 + c 1 x c n 1 x n 1 yang bersesuaian dengan vektor kode c. Fakta ini bisa diverifikasi karena c C Hc T = 0 [1 α α 2... α n 1 ][ c 0 c 1... c n 1 ] T = 0 c c 1 α c n 1 α n 1 = 0 c(α) = C adalah kode siklik. Misalkan c C disajikan sebagai polinom c(x) = c 0 + c 1 x c n 1 x n 1. Misalkan c adalah hasil pergeseran siklik dari c yang disajikan sebagai polinom c'(x) xc(x) mod (x n 1). Ini berarti c'(x) = xc(x) + a(x)(x n 1) untuk suatu polinom a(x) GF(2)[x]. Jadi c'(α) = αc(α) + a(α)(α n 1). Karena c C, maka sesuai pembahasan di bagian 3, c(α) = 0. Juga karena α adalah unsur dengan order n, maka α n = 1 dan α n 1 = 0. Akibatnya c'(α) = αc(α) + a(α)(α n 1) =α 0 + a(α) 0 = 0 Menurut hasil di bagian 3, c' C. Jadi C adalah kode siklik. 5. C adalah ideal utama. Akan dibuktikan bahwa terdapat polinom g(x) F 2 (x)/<x n 1> sedemikian hingga setiap polinom kode c(x) = c 0 + c 1 x c n 1 x n 1 yang bersesuaian dengan vektor kode c C adalah kelipatan dari polinom g(x) tersebut. m 2 2

11 Pilih polinom g(x) sebagai polinom dengan derajat terkecil yang memenuhi g(α) = 0. Pilih sembarang c C dan misalkan polinom kode c(x) = c 0 + c 1 x c n 1 x n 1 bersesuaian dengan vektor kode c. Berdasarkan algoritma hasil bagi Euclid (dalil sisa), terdapat polinom q(x) dan r(x) sedemikian sehingga c(x) = q(x)g(x) + r(x) dengan r(x) = 0 atau derajat r(x) < derajat g(x). Seandainya, r(x) 0 maka derajat r(x) < derajat g(x) dan lebih jauh dari sifat tertutup C (terhadap +) r(x) = c(x) q(x)g(x) = c(x) + q(x)g(x) C. Menurut hasil di bagian 3, r(α) = 0. Hasil ini kontradiksi dengan definisi g(x) sebagai polinom dengan derajat terendah yang memenuhi g(α) = 0. Jadi r(x) = 0 dan c(x) = q(x)g(x). Terbukti, untuk setiap polinom kode c(x) = c 0 + c 1 x c n 1 x n 1 yang bersesuaian dengan vektor kode c C, terdapat polinom q(x) yang memenuhi c(x) = q(x)g(x). 6. Polinom generator g(x) dari kode C adalah polinom minimal Sesuai hasil di bagian 5, setiap unsur di dalam kode linear C adalah kelipatan dari polinom g(x) yang disebut polinom generator dari C. Misalkan M(x) adalah polinom minimal untuk α atas GF(2), sehingga M(x) adalah polinom derajat terkecil yang memiliki akar α dan setiap polinom yang juga memiliki akar α habis dibagi oleh M(x). Karena g(α) = 0 maka dari sifat minimal polinom M(x), maka M(x) membagi g(x). Sebaliknya n = 2 m 1 di mana deg(m(x)) = m < n dan M(α) = 0, disimpulkan M(x) C. Ini berarti polinom generator g(x) membagi M(x) C. Dari kedua hasil di atas, bahwa M(x) membagi g(x) dan g(x) membagi M(x) terbukti bahwa g(x) = M(x). Jadi polinom generator dari C adalah polinom minimal dari α atas GF(2) yang berderajat m. Hasil ini juga menegaskan bahwa dimensi dari C adalah n m = 2 m 1 m. 7. Misalkan w = (w 0, w 1,...,w n 1 ) GF(2) n. Akan dibuktikan bahwa w C jika dan hanya jika w(α) = 0 sebagai berikut w C Hw T = 0 [1 α α 2... α n 1 ][ w 0 w 1... w n 1 ] T = 0 w w 1 α w n 1 α n 1 = 0 w(α) = 0 8. Kesimpulannya bahwa C adalah kode siklik. Misalkan c C, maka c'(x) xc(x) mod (x n 1) jadi c'(x) = xc(x) + a(x) (x n 1) untuk suatu polinom a(x) GF(2)[x]. Sehingga c'(α) αc(α) + a(α) (α n 1) karena c C, maka diperoleh c(α) = 0 (sesuai pembahasan di bagian 3). Karena α adalah unsur dengan order n, maka α n = 1 dan α n 1 = 0. Jadi c'(α) = 0. Sehingga c' C (oleh (3)). Jadi C adalah kode siklik. Misalkan g(x) adalah polinom generator dari C dan M(x) adalah polinom minimal untuk α atas GF(2). Karena g(x) C, maka dari bagian 3 diperoleh bahwa g(α) = 0 sehingga M(x) C sehingga M(α) = 0. Dari sifat minimal polinom M(x), maka M(x) membagi g(x). Juga karena deg(m(x)) = m < n dan M(α) = 0 disimpulkan M(x) C. Dengan demikian polinom generator g(x) membagi M(x) C. Jadi M(x) membagi g(x) dan g(x) membagi M(x). Karena M(x) dan g(x) keduanya monik, haruslah g(x) = M(x). Jadi polinom generator dari C adlah polinom minimal dari α atas GF(2) dan berderajat m. Sehingga dimensi dari C adalah n m = 2 m 1 m. 4. Penutup Kesimpulan yang dapat diambil dari tulisan ini adalah 1. Konsep ruang vektor atas lapangan F 2, khususnya ruang vektor F 2 n = GF(2 n ) dan konsep ideal prima adalah konsep terpenting di dalam pembahasan kode linear biner. Konsep perkalian vektor baris dengan matriks digunakan untuk merentang (dalam bahasa pengkodean: encoding) vektorvektor panjang k menjadi vektor-vektor kode yang panjangnya n > k. Konsep sistem persamaan

12 linear digunakan untuk menentukan matriks paritas H jika matriks generator G diketahui, dan sebaliknya. 2. Kode linear biner [n, k, d] adalah subruang dari F 2 n berdimensi k dengan panjang kode n dan jarak minimum d. Khususnya, kode Hamming (tak siklik) H m bisa diperoleh dari matriks paritas kode tersebut yang berukuran m (2 m 1), di mana kolom-kolom matriks paritas menyajikan bilangan 1, 2,, 2 m 1 dalam biner. 3. Kesalahan perubahan bit dari vektor kode c C menjadi vektor v panjang n bisa dideteksi jika v C. 4. Sindrom dari vektor kode selalu merupakan vektor 0, sindrom dari bukan vektor kode bukan vektor 0. Sindrom dari vektor dengan kesalahan bit menggunakan matriks paritas H yang kolomkolomnya menyajikan bilangan-bilangan 1, 2,..., 2 m 1, m adalah banyak kolom H; menunjukkan posisi bit yang salah. 5. Kode siklik bisa dinyatakan secara aljabar sebagai sebuah ideal di gelanggang GF(2 n )[x]/<x n 1> yang dibangun oleh suatu polinom generator g(x) dimana g(x) membagi x n 1. Khusus untuk kode Hamming siklik, generatornya adalah salah satu polinom minimal untuk suatu unsur α di dalam GF(2 n ). Daftar Pustaka Adams, Sarah Spence. Introduction to Algebraic Coding Theory. Fall Blahut, Richard E. Algebraic Codes for Data Transmission. New York: Cambridge Press Haryanto, Loeky, Amir Kamal Amir Bahan Ajar untuk Pasca Sarjana (S2) Aljabar Linear Lanjut. Makassar: Universitas Hasanuddin Ling, San, Chaoping Xing Coding Theory. New York: Cambridge Press Lint, J.H. van. Introduction to Coding Theory. Berlin: Springer Purser, Michael Introduction to Error-Correcting Codes. London: Artech House Pretzel, Oliver Error-Correcting Codes and Finite Fields. London: Clarendon Press Skorobogatov, Alexei. Rings and Fields (Lectures). London Vanstone, Scott A., Paul C. van Oorcshot An Introduction to Error Correcting Codes With Applications. London: Kluwer Academic Publisher [diakses pada tanggal 2 September 2012 pukul 21.13]

BAB II KAJIAN TEORI. definisi mengenai grup, ring, dan lapangan serta teori-teori pengkodean yang

BAB II KAJIAN TEORI. definisi mengenai grup, ring, dan lapangan serta teori-teori pengkodean yang BAB II KAJIAN TEORI Pada Bab II ini berisi kajian teori. Di bab ini akan dijelaskan beberapa definisi mengenai grup, ring, dan lapangan serta teori-teori pengkodean yang mendasari teori kode BCH. A. Grup

Lebih terperinci

KONSTRUKSI KODE BCH SEBAGAI KODE SIKLIK Indrawati, Loeky Haryanto, Amir Kamal Amir.

KONSTRUKSI KODE BCH SEBAGAI KODE SIKLIK Indrawati, Loeky Haryanto, Amir Kamal Amir. KONSTRUKSI KODE BCH SEBAGAI KODE SIKLIK Indrawati, Loeky Haryanto, Amir Kamal Amir. Abstrak Diberikan suatu polinom primitif f(x) F q [x] berderajat m, lapangan F q [x]/(f(x)) isomorf dengan ruang vektor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyampaian pesan dapat dilakukan dengan media telephone, handphone,

BAB I PENDAHULUAN. Penyampaian pesan dapat dilakukan dengan media telephone, handphone, BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Sekarang ini teknologi untuk berkomunikasi sangatlah mudah. Penyampaian pesan dapat dilakukan dengan media telephone, handphone, internet, dan berbagai macam peralatan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI Sebagai acuan penulisan penelitian ini diperlukan beberapa pengertian dan teori yang berkaitan dengan pembahasan. Dalam sub bab ini akan diberikan beberapa landasan teori berupa pengertian,

Lebih terperinci

Konstruksi Kode Reed-Solomon sebagai Kode Siklik dengan Polinomial Generator Ryan Pebriansyah Jamal 1,*, Loeky Haryanto 2, Amir Kamal Amir 3

Konstruksi Kode Reed-Solomon sebagai Kode Siklik dengan Polinomial Generator Ryan Pebriansyah Jamal 1,*, Loeky Haryanto 2, Amir Kamal Amir 3 Konstruksi Kode Reed-Solomon sebagai Kode Siklik dengan Polinomial Generator Ryan Pebriansyah Jamal 1,*, Loeky Haryanto 2, Amir Kamal Amir 3 1 Jurusan Matematika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan

Lebih terperinci

Makalah Teori Persandian

Makalah Teori Persandian Makalah Teori Persandian Dosen Pengampu : Dr. Agus Maman Abadi Oleh : Septiana Nurohmah (08305141002) Ayu Luhur Yusdiana Y (08305141028) Muhammad Alex Sandra (08305141036) David Arianto (08305141037) Beni

Lebih terperinci

Encoding dan Decoding Kode BCH (Bose Chaudhuri Hocquenghem) Untuk Transmisi Data

Encoding dan Decoding Kode BCH (Bose Chaudhuri Hocquenghem) Untuk Transmisi Data SEMINAR NASIONAL MATEMATIKA DAN PENDIDIKAN MATEMATIKA UNY 2016 Encoding dan Decoding Kode BCH (Bose Chaudhuri Hocquenghem) Untuk Transmisi Data A-3 Luthfiana Arista 1, Atmini Dhoruri 2, Dwi Lestari 3 1,

Lebih terperinci

Kode Sumber dan Kode Kanal

Kode Sumber dan Kode Kanal Kode Sumber dan Kode Kanal Sulistyaningsih, 05912-SIE Jurusan Teknik Elektro Teknologi Informasi FT UGM, Yogyakarta 8.2 Kode Awalan Untuk sebuah kode sumber menjadi praktis digunakan, kode harus dapat

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. Himpunan merupakan suatu kumpulan obyek-obyek yang didefinisikan. himpunan bilangan prima kurang dari 12 yaitu A = {2,3,5,7,11}.

BAB II KAJIAN TEORI. Himpunan merupakan suatu kumpulan obyek-obyek yang didefinisikan. himpunan bilangan prima kurang dari 12 yaitu A = {2,3,5,7,11}. BAB II KAJIAN TEORI A. Lapangan Berhingga Himpunan merupakan suatu kumpulan obyek-obyek yang didefinisikan dengan jelas pada suatu batasan-batasan tertentu. Contoh himpunan hewan berkaki empat H4 ={sapi,

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PERSETUJUAN... II HALAMAN PENGESAHAN... III KATA PENGANTAR... IV DAFTAR ISI... V BAB I PENDAHULUAN...

DAFTAR ISI. HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PERSETUJUAN... II HALAMAN PENGESAHAN... III KATA PENGANTAR... IV DAFTAR ISI... V BAB I PENDAHULUAN... DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PERSETUJUAN... II HALAMAN PENGESAHAN... III KATA PENGANTAR... IV DAFTAR ISI... V BAB I PENDAHULUAN... 1 A. LATAR BELAKANG MASALAH... 1 B. PEMBATASAN MASALAH... 2 C.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Untuk mencapai tujuan penulisan penelitian diperlukan beberapa pengertian dan teori yang berkaitan dengan pembahasan. Dalam subbab ini akan diberikan beberapa teori berupa definisi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Rumusan Masalah C. Tujuan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Rumusan Masalah C. Tujuan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Teori pendeteksian error dan pengoreksi sandi adalah cabang dari teknik mesin dan matematika yang berhubungan dengan transmisi dan storage yang dapat dipercaya. Dalam

Lebih terperinci

Proses Decoding Kode Reed Muller Orde Pertama Menggunakan Transformasi Hadamard

Proses Decoding Kode Reed Muller Orde Pertama Menggunakan Transformasi Hadamard Vol 3, No 2, 22-27 7-22, Januari 207 22 Proses Decoding Kode Reed Muller Orde Pertama Menggunakan Transformasi Hadamard Andi Kresna Jaya Abstract The first order Reed Muller, that is written R(,r), is

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI BAB 2 LANDASAN TEORI Pada bab ini akan dijelaskan menenai teori teori yan berhubunan denan penelitian sehina dapat dijadikan sebaai landasan berfikir dalam melakukan penelitian dan akan mempermudah dalam

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. 7. Menuliskan kode karakter dimulai dari level paling atas sampai level paling bawah.

BAB II DASAR TEORI. 7. Menuliskan kode karakter dimulai dari level paling atas sampai level paling bawah. 4 BAB II DASAR TEORI 2.1. Huffman Code Algoritma Huffman menggunakan prinsip penyandian yang mirip dengan kode Morse, yaitu tiap karakter (simbol) disandikan dengan rangkaian bit. Karakter yang sering

Lebih terperinci

Table of Contents. Table of Contents 1

Table of Contents. Table of Contents 1 Table of Contents Table of Contents 1 1 Pendahuluan 2 1.1 Koreksi dan deteksi pola kesalahan....................... 5 1.2 Laju Informasi.................................. 6 1.3 Efek dari penambahan paritas..........................

Lebih terperinci

Tugas Teori Persandian. Step-by-Step Decoding

Tugas Teori Persandian. Step-by-Step Decoding Tugas Teori Persandian Step-by-Step Decoding Kelompok VI Okto Mukhotim 0830544029 Evy Damayanti 0830544036 Rerir Roddi A 083054404 Setiawan Hidayat 0830544046 MATEMATIKA SWADANA 2008 FAKULTAS MATEMATIKA

Lebih terperinci

KODE LEXICOGRAPHIC UNTUK MEMBANGUN KODE HAMMING (7, 4, 3) DAN PERLUASAN KODE GOLAY BINER (24, 12, 8)

KODE LEXICOGRAPHIC UNTUK MEMBANGUN KODE HAMMING (7, 4, 3) DAN PERLUASAN KODE GOLAY BINER (24, 12, 8) KODE LEXICOGRAPHIC UNTUK MEMBANGUN KODE HAMMING (7, 4, 3) DAN PERLUASAN KODE GOLAY BINER (24, 12, 8) SKRIPSI Oleh : AURORA NUR AINI J2A 005 009 JURUSAN MATEMATIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

Lebih terperinci

KONSTRUKSI LEXICOGRAPHIC UNTUK MEMBANGUN KODE HAMMING (7, 4, 3)

KONSTRUKSI LEXICOGRAPHIC UNTUK MEMBANGUN KODE HAMMING (7, 4, 3) KONSTRUKSI LEXICOGRAPHIC UNTUK MEMBANGUN KODE HAMMING (7, 4, 3) Aurora Nur Aini, Bambang Irawanto Jurusan Matematika FMIPA UNDIP Jl. Prof. Soedarto, S. H, Semarang 5275 Abstract. Hamming code can correct

Lebih terperinci

Deteksi dan Koreksi Error

Deteksi dan Koreksi Error Bab 10 Deteksi dan Koreksi Error Bab ini membahas mengenai cara-cara untuk melakukan deteksi dan koreksi error. Data dapat rusak selama transmisi. Jadi untuk komunikasi yang reliabel, error harus dideteksi

Lebih terperinci

UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA MAKALAH EORI PERSANDIAN Syndrome Decoding Untuk Kode Linear Disusun oleh: KELOMPOK 5 Dzaki Zaki Amali 08305144016 Agung Wicaksono 08305144017 Mas Roat 08305144019 Putri Kartika Sari 08305144022 Muhammad

Lebih terperinci

Bab II. Teori Encoding-Decoding Reed-Solomon Code

Bab II. Teori Encoding-Decoding Reed-Solomon Code Bab II Teori Encoding-Decoding Reed-Solomon Code Reed-Solomon Code adalah salah satu teknik error and erasure correction yang paling baik dan dijadikan standar dalam banyak bidang diantaranya komunikasi

Lebih terperinci

UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA F A K U L T A S M I P A

UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA F A K U L T A S M I P A UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA F A K U L T A S M I P A SILABI FRM/FMIPA/063-00 12 Februari 2013 Fakultas : MIPA Program Studi : Matematika Mata Kuliah & Kode : Teori Persandian / SMA 349 Jumlah sks : Teori

Lebih terperinci

BAB II TEORI DASAR. untuk setiap e G. 4. G mengandung balikan. Untuk setiap a G, terdapat b G sehingga a b =

BAB II TEORI DASAR. untuk setiap e G. 4. G mengandung balikan. Untuk setiap a G, terdapat b G sehingga a b = BAB II TEORI DASAR 2.1. Group Misalkan operasi biner didefinisikan untuk elemen-elemen dari himpunan G. Maka G adalah grup dengan operasi * jika kondisi di bawah ini terpenuhi : 1. G tertutup terhadap.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini dituliskan beberapa aspek teoritis berupa definisi teorema sifat-sifat yang berhubungan dengan teori bilangan integer modulo aljabar abstrak masalah logaritma diskret

Lebih terperinci

BAB II TEORI KODING DAN TEORI INVARIAN

BAB II TEORI KODING DAN TEORI INVARIAN BAB II TEORI KODING DAN TEORI INVARIAN Pada bab 1 ini akan dibahas definisi kode, khususnya kode linier atas dan pencacah bobot Hammingnya. Di samping itu, akan dijelaskanan invarian, ring invarian dan

Lebih terperinci

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN 13 BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Formulasi masalah Misalkan C [ n,k,d ] adalah kode linear biner yang mempunyai panjang n, berdimensi k dan jarak minimum d. kode C dikatakan baik jika n kecil, k besar

Lebih terperinci

Sifat Dan Karakteristik Kode Reed Solomon Beserta Aplikasinya Pada Steganography

Sifat Dan Karakteristik Kode Reed Solomon Beserta Aplikasinya Pada Steganography SEMINAR NASIONAL MATEMATIKA DAN PENDIDIKAN MATEMATIKA UNY 2016 Sifat Dan Karakteristik Kode Reed Solomon Beserta Aplikasinya Pada Steganography A-4 Nurma Widiastuti, Dwi Lestari, Atmini Dhoruri Fakultas

Lebih terperinci

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

3 HASIL DAN PEMBAHASAN 3 HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Formulasi Masalah Sejauh ini telah diperkenalkan bahwa terdapat tiga parameter yang terkait dengan konstruksi suatu kode, yaitu panjang, dimensi, dan jarak minimum. Jika C adalah

Lebih terperinci

KOREKSI KESALAHAN. Jumlah bit informasi = 2 k -k-1, dimana k adalah jumlah bit ceknya. a. KODE HAMMING

KOREKSI KESALAHAN. Jumlah bit informasi = 2 k -k-1, dimana k adalah jumlah bit ceknya. a. KODE HAMMING KOREKSI KESALAHAN a. KODE HAMMING Kode Hamming merupakan kode non-trivial untuk koreksi kesalahan yang pertama kali diperkenalkan. Kode ini dan variasinya telah lama digunakan untuk control kesalahan pada

Lebih terperinci

LAPORAN PENELITIAN EFISIENSI ALGORITME ARITMETIK ( ) DENGAN OPERASI DIBANGKITKAN DARI SIFAT GRUP SIKLIK PADA KRIPTOGRAFI KURVA ELIPTIK

LAPORAN PENELITIAN EFISIENSI ALGORITME ARITMETIK ( ) DENGAN OPERASI DIBANGKITKAN DARI SIFAT GRUP SIKLIK PADA KRIPTOGRAFI KURVA ELIPTIK LAPORAN PENELITIAN EFISIENSI ALGORITME ARITMETIK ( ) DENGAN OPERASI DIBANGKITKAN DARI SIFAT GRUP SIKLIK PADA KRIPTOGRAFI KURVA ELIPTIK Oleh : Dra. Eleonora Dwi W., M.Pd Ahmadi, M.Si FAKULTAS KEGURUAN DAN

Lebih terperinci

ALJABAR LINEAR SUMANANG MUHTAR GOZALI KBK ANALISIS

ALJABAR LINEAR SUMANANG MUHTAR GOZALI KBK ANALISIS ALJABAR LINEAR SUMANANG MUHTAR GOZALI KBK ANALISIS UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA BANDUNG 2010 2 KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirrahim Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam Shalawat serta salam

Lebih terperinci

IDEAL PRIMA DAN IDEAL MAKSIMAL PADA GELANGGANG POLINOMIAL PRIME IDEAL AND MAXIMAL IDEAL IN A POLYNOMIAL RING

IDEAL PRIMA DAN IDEAL MAKSIMAL PADA GELANGGANG POLINOMIAL PRIME IDEAL AND MAXIMAL IDEAL IN A POLYNOMIAL RING IDEAL PRIMA DAN IDEAL MAKSIMAL PADA GELANGGANG POLINOMIAL Qharnida Khariani, Amir Kamal Amir dan Nur Erawati Jurusan Matematika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Hasanuddin (UNHAS)

Lebih terperinci

PEDOMAN PENGGUNAAN SIMULATOR PENYANDIAN DAN PENGAWASANDIAN SISTEM KOMUNIKASI BERBASIS PERANGKAT LUNAK VISUAL C#

PEDOMAN PENGGUNAAN SIMULATOR PENYANDIAN DAN PENGAWASANDIAN SISTEM KOMUNIKASI BERBASIS PERANGKAT LUNAK VISUAL C# PEDOMAN PENGGUNAAN SIMULATOR PENYANDIAN DAN PENGAWASANDIAN SISTEM KOMUNIKASI BERBASIS PERANGKAT LUNAK VISUAL C# Simulator penyandian dan pengawasandian ini dirancang untuk meyimulasikan 10 jenis penyandian

Lebih terperinci

BAB III PEMBAHASAN. Teori Pengkodean (Coding Theory) adalah ilmu tentang sifat-sifat kode

BAB III PEMBAHASAN. Teori Pengkodean (Coding Theory) adalah ilmu tentang sifat-sifat kode BAB III PEMBAHASAN A. Kode Reed Solomon 1. Pengantar Kode Reed Solomon Teori Pengkodean (Coding Theory) adalah ilmu tentang sifat-sifat kode dan aplikasinya. Kode digunakan untuk kompresi data, kriptografi,

Lebih terperinci

Aljabar Linear Elementer

Aljabar Linear Elementer BAB I RUANG VEKTOR Pada kuliah Aljabar Matriks kita telah mendiskusikan struktur ruang R 2 dan R 3 beserta semua konsep yang terkait. Pada bab ini kita akan membicarakan struktur yang merupakan bentuk

Lebih terperinci

Kriteria Struktur Aljabar Modul Noetherian dan Gelanggang Noetherian

Kriteria Struktur Aljabar Modul Noetherian dan Gelanggang Noetherian Kriteria Struktur Aljabar Modul Noetherian dan Gelanggang Noetherian Rio Yohanes 1, Nora Hariadi 2, Kiki Ariyanti Sugeng 3 Departemen Matematika, FMIPA UI, Kampus UI Depok, 16424, Indonesia rio.yohanes@sci.ui.ac.id,

Lebih terperinci

MUH1G3/ MATRIKS DAN RUANG VEKTOR

MUH1G3/ MATRIKS DAN RUANG VEKTOR MUH1G3/ MATRIKS DAN RUANG VEKTOR TIM DOSEN 5 Ruang Vektor Ruang Vektor Sub Pokok Bahasan Ruang Vektor Umum Subruang Basis dan Dimensi Beberapa Aplikasi Ruang Vektor Beberapa metode optimasi Sistem Kontrol

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI. Pada bab ini dibahas landasan teori yang akan digunakan untuk menentukan ciri-ciri dari polinomial permutasi atas finite field.

BAB 2 LANDASAN TEORI. Pada bab ini dibahas landasan teori yang akan digunakan untuk menentukan ciri-ciri dari polinomial permutasi atas finite field. BAB 2 LANDASAN TEORI Pada bab ini dibahas landasan teori yang akan digunakan untuk menentukan ciri-ciri dari polinomial permutasi atas finite field. Hal ini dimulai dengan memberikan pengertian dari group

Lebih terperinci

Sandi Blok. Risanuri Hidayat Jurusan Teknik Elektro dan Teknologi Informasi FT UGM

Sandi Blok. Risanuri Hidayat Jurusan Teknik Elektro dan Teknologi Informasi FT UGM Sandi Blok Risanuri Hidayat Jurusan Teknik Elektro dan Teknologi Informasi FT UGM Sandi Blok disebut juga sebagai sandi (n, k) sandi. Sebuah blok k bit informasi disandikan menjadi blok n bit. Tetapi sebelum

Lebih terperinci

JURNAL MATEMATIKA DAN KOMPUTER Vol. 4. No. 2, 65-70, Agustus 2001, ISSN : SYARAT PERLU LAPANGAN PEMISAH

JURNAL MATEMATIKA DAN KOMPUTER Vol. 4. No. 2, 65-70, Agustus 2001, ISSN : SYARAT PERLU LAPANGAN PEMISAH JURNAL MATEMATIKA DAN KOMPUTER Vol 4 No 2, 65-70, Agustus 2001, ISSN : 1410-8518 SYARAT PERLU LAPANGAN PEMISAH Bambang Irawanto Jurusan Matematika FMIPA UNDIP Abstact Field is integral domain and is a

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini dituliskan beberapa aspek teoritis sebagai landasan teori dalam penelitian ini yaitu teori bilangan, bilangan bulat modulo?, struktur aljabar dan masalah logaritma

Lebih terperinci

METODE HAMMING PENDAHULUAN. By Galih Pranowo ing

METODE HAMMING PENDAHULUAN. By Galih Pranowo  ing METODE HAMMING By Galih Pranowo Emailing ga_pra_27@yahoo.co.id PENDAHULUAN Dalam era kemajuan teknologi komunikasi digital, maka persoalan yang utama adalah bagaimana menyandikan isyarat analog menjadi

Lebih terperinci

BROADCAST PADA KANAL WIRELESS DENGAN NETWORK CODING Trisian Hendra Putra

BROADCAST PADA KANAL WIRELESS DENGAN NETWORK CODING Trisian Hendra Putra BROADCAST PADA KANAL WIRELESS DENGAN NETWORK CODING Trisian Hendra Putra 2205100046 Email : trisian_87@yahoo.co.id Bidang Studi Telekomunikasi Multimedia Jurusan Teknik Elektro-FTI, Institut Teknologi

Lebih terperinci

SISTEM PENGKODEAN. IR. SIHAR PARLINGGOMAN PANJAITAN, MT Fakultas Teknik Jurusan Teknik Elektro Universitas Sumatera Utara

SISTEM PENGKODEAN. IR. SIHAR PARLINGGOMAN PANJAITAN, MT Fakultas Teknik Jurusan Teknik Elektro Universitas Sumatera Utara SISTEM PENGKODEAN IR. SIHAR PARLINGGOMAN PANJAITAN, MT Fakultas Teknik Jurusan Teknik Elektro Universitas Sumatera Utara KODE HAMMING.. Konsep Dasar Sistem Pengkodean Kesalahan (error) merupakan masalah

Lebih terperinci

BAB 5 RUANG VEKTOR A. PENDAHULUAN

BAB 5 RUANG VEKTOR A. PENDAHULUAN BAB 5 RUANG VEKTOR A. PENDAHULUAN 1. Definisi-1. Suatu ruang vektor adalah suatu himpunan objek yang dapat dijumlahkan satu sama lain dan dikalikan dengan suatu bilangan, yang masing-masing menghasilkan

Lebih terperinci

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN Pada bab ini akan dijelaskan hal-hal yang berhubungan dengan masalah dan bagaimana mengeksplorasinya dengan logaritma diskret pada menggunakan algoritme Exhaustive Search Baby-Step

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Media informasi, seperti sistem komunikasi dan media penyimpanan untuk data, tidak sepenuhnya reliabel. Hal ini dikarenakan bahwa pada praktiknya ada (noise) atau inferensi

Lebih terperinci

STRUKTUR ALJABAR: RING

STRUKTUR ALJABAR: RING STRUKTUR ALJABAR: RING BAHAN AJAR Oleh: Rippi Maya Program Studi Magister Pendidikan Matematika Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) SILIWANGI - Bandung 2016 1 Pada grup telah dipelajari

Lebih terperinci

KONSTRUKSI KODE LINEAR BINER OPTIMAL KUAT BERJARAK MINIMUM 13 DAN 15 HENDRAWAN

KONSTRUKSI KODE LINEAR BINER OPTIMAL KUAT BERJARAK MINIMUM 13 DAN 15 HENDRAWAN KONSTRUKSI KODE LINEAR BINER OPTIMAL KUAT BERJARAK MINIMUM 13 DAN 15 HENDRAWAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan

Lebih terperinci

SYARAT PERLU LAPANGAN PEMISAH. Bambang Irawanto Jurusan Matematika FMIPA UNDIP. Abstact. Keywords : extension fields, elemen algebra

SYARAT PERLU LAPANGAN PEMISAH. Bambang Irawanto Jurusan Matematika FMIPA UNDIP. Abstact. Keywords : extension fields, elemen algebra JURNAL MATEMATIKA DAN KOMPUTER Vol 4 No 2, 65-70, Agustus 2001, ISSN : 1410-8518 SYARAT PERLU LAPANGAN PEMISAH Bambang Irawanto Jurusan Matematika FMIPA UNDIP Abstact Field is integral domain and is a

Lebih terperinci

BAB 3 MEKANISME PENGKODEAAN CONCATENATED VITERBI/REED-SOLOMON DAN TURBO

BAB 3 MEKANISME PENGKODEAAN CONCATENATED VITERBI/REED-SOLOMON DAN TURBO BAB 3 MEKANISME PENGKODEAAN CONCATENATED VITERBI/REED-SOLOMON DAN TURBO Untuk proteksi terhadap kesalahan dalam transmisi, pada sinyal digital ditambahkan bit bit redundant untuk mendeteksi kesalahan.

Lebih terperinci

SIFAT DAN KARAKTERISTIK KODE REED SOLOMON BESERTA APLIKASINYA PADA STEGANOGRAPHY

SIFAT DAN KARAKTERISTIK KODE REED SOLOMON BESERTA APLIKASINYA PADA STEGANOGRAPHY SIFAT DAN KARAKTERISTIK KODE REED SOLOMON BESERTA APLIKASINYA PADA STEGANOGRAPHY SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian

Lebih terperinci

TTG3B3 - Sistem Komunikasi 2 Linear Block Code

TTG3B3 - Sistem Komunikasi 2 Linear Block Code TTG3B3 - Sistem Komunikasi 2 Linear Block Code S1 Teknik Telekomunikasi Fakultas Teknik Elektro Universitas Telkom Oleh: Linda Meylani Agus D. Prasetyo Tujuan Pembelajaran Memahami fungsi dan parameter

Lebih terperinci

ANALISIS ALGORITMA DAN WAKTU DEKODING KODE BCH DALAM PENGOREKSIAN GALAT PADA TRANSMISI PESAN TEKS. Oleh : FITRI G

ANALISIS ALGORITMA DAN WAKTU DEKODING KODE BCH DALAM PENGOREKSIAN GALAT PADA TRANSMISI PESAN TEKS. Oleh : FITRI G ANALISIS ALGORITMA DAN WAKTU DEKODING KODE BCH DALAM PENGOREKSIAN GALAT PADA TRANSMISI PESAN TEKS Oleh : FITRI G64102003 DEPARTEMEN ILMU KOMPUTER FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT

Lebih terperinci

ERROR DETECTION. Parity Check (Vertical Redudancy Check) Longitudinal Redudancy Check Cyclic Redudancy Check Checksum. Budhi Irawan, S.Si, M.

ERROR DETECTION. Parity Check (Vertical Redudancy Check) Longitudinal Redudancy Check Cyclic Redudancy Check Checksum. Budhi Irawan, S.Si, M. ERROR DETECTION Parity Check (Vertical Redudancy Check) Longitudinal Redudancy Check Cyclic Redudancy Check Checksum Budhi Irawan, S.Si, M.T Transmisi Data Pengiriman sebuah informasi akan berjalan lancar

Lebih terperinci

Teknik Telekomunikasi - PJJ PENS Akatel Politeknik Negeri Elektro Surabaya Surabaya

Teknik Telekomunikasi - PJJ PENS Akatel Politeknik Negeri Elektro Surabaya Surabaya LAPORAN PRAKTIKUM TEKNIK KODING Disusun Oleh : Abdul Wahid 2475 Teknik Telekomunikasi - PJJ PENS Akatel Politeknik Negeri Elektro Surabaya Surabaya 9 PERCOBAAN III ENCODER DAN DECODER KODE KONVOLUSI. Tujuan

Lebih terperinci

Ruang Vektor. Kartika Firdausy UAD blog.uad.ac.id/kartikaf. Ruang Vektor. Syarat agar V disebut sebagai ruang vektor. Aljabar Linear dan Matriks 1

Ruang Vektor. Kartika Firdausy UAD blog.uad.ac.id/kartikaf. Ruang Vektor. Syarat agar V disebut sebagai ruang vektor. Aljabar Linear dan Matriks 1 Ruang Vektor Kartika Firdausy UAD blog.uad.ac.id/kartikaf Syarat agar V disebut sebagai ruang vektor 1. Jika vektor vektor u, v V, maka vektor u + v V 2. u + v = v + u 3. u + ( v + w ) = ( u + v ) + w

Lebih terperinci

RANGKUMAN TEKNIK KOMUNIKASI DATA DIGITAL

RANGKUMAN TEKNIK KOMUNIKASI DATA DIGITAL RANGKUMAN TEKNIK KOMUNIKASI DATA DIGITAL DISUSUN OLEH : AHMAD DHANIZAR JUHARI (C5525) SEKOLAH TINGGI MANAGEMEN INFORMATIKA DAN KOMPUTER STMIK PALANGKARAYA TAHUN 22 TEKNIK KOMUNIKASI DATA DIGITAL Salah

Lebih terperinci

Kode, GSR, dan Operasi Pada

Kode, GSR, dan Operasi Pada BAB 2 Kode, GSR, dan Operasi Pada Graf 2.1 Ruang Vektor Atas F 2 Ruang vektor V atas lapangan hingga F 2 = {0, 1} adalah suatu himpunan V yang berisi vektor-vektor, termasuk vektor nol, bersama dengan

Lebih terperinci

ELLIPTIC CURVE CRYPTOGRAPHY. Disarikan oleh: Dinisfu Sya ban ( )

ELLIPTIC CURVE CRYPTOGRAPHY. Disarikan oleh: Dinisfu Sya ban ( ) ELLIPTIC CURVE CRYPTOGRAPHY Disarikan oleh: Dinisfu Sya ban (0403100596) SEKOLAH TINGGI SANDI NEGARA BOGOR 007 A. Fungsi Elliptic Curves 1. Definisi Elliptic Curves Definisi 1. : Misalkan k merupakan field

Lebih terperinci

Suatu himpunan tak kosong F dengan operasi penjumlahan dan perkalian, dikatakan sebagai field jika untuk setiap,, memenuhi sifat-sifat berikut:

Suatu himpunan tak kosong F dengan operasi penjumlahan dan perkalian, dikatakan sebagai field jika untuk setiap,, memenuhi sifat-sifat berikut: Bagian 5. RUANG VEKTOR 5.1 Lapangan (Field) Suatu himpunan tak kosong F dengan operasi penjumlahan dan perkalian, dikatakan sebagai field jika untuk setiap,, memenuhi sifat-sifat berikut: 1. dan 2., 3.,

Lebih terperinci

Chapter 5 GENERAL VECTOR SPACE 5.1. REAL VECTOR SPACES 5.2. SUB SPACES

Chapter 5 GENERAL VECTOR SPACE 5.1. REAL VECTOR SPACES 5.2. SUB SPACES Chapter 5 GENERAL VECTOR SPACE 5.1. REAL VECTOR SPACES 5.2. SUB SPACES Definisi : VECTOR SPACE Jika V adalah ruang vektor dimana u,v,w merupakan objek dalam V sebagai vektor, dan terdapat skalar k dan

Lebih terperinci

RUANG VEKTOR. Nurdinintya Athari (NDT)

RUANG VEKTOR. Nurdinintya Athari (NDT) 1 RUANG VEKTOR Nurdinintya Athari (NDT) RUANG VEKTOR Sub Pokok Bahasan Ruang Vektor Umum Subruang Basis dan Dimensi Basis Subruang Beberapa Aplikasi Ruang Vektor Beberapa metode optimasi Sistem kontrol

Lebih terperinci

Himpunan Ω-Stabil Sebagai Daerah Faktorisasi Tunggal

Himpunan Ω-Stabil Sebagai Daerah Faktorisasi Tunggal Vol. 9, No.1, 49-56, Juli 2012 Himpunan Ω-Stabil Sebagai Daerah Faktorisasi Tunggal Nur Erawaty 1, Andi Kresna Jaya 1, Nirwana 1 Abstrak Misalkan D adalah daerah integral. Unsur tak nol yang bukan unit

Lebih terperinci

KONSTRUKSI KODE LINEAR BINER OPTIMAL KUAT BERJARAK MINIMUM 5 DAN 7 ASRIZA RAHMA

KONSTRUKSI KODE LINEAR BINER OPTIMAL KUAT BERJARAK MINIMUM 5 DAN 7 ASRIZA RAHMA KONSTRUKSI KODE LINEAR BINER OPTIMAL KUAT BERJARAK MINIMUM 5 DAN 7 ASRIZA RAHMA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. yang mendasari pembahasan pada bab-bab berikutnya. Beberapa definisi yang

BAB II LANDASAN TEORI. yang mendasari pembahasan pada bab-bab berikutnya. Beberapa definisi yang BAB II LANDASAN TEORI Pada bab ini akan diberikan beberapa definisi, penjelasan, dan teorema yang mendasari pembahasan pada bab-bab berikutnya. Beberapa definisi yang diberikan diantaranya adalah definisi

Lebih terperinci

Aljabar Linier Sistem koordinat, dimensi ruang vektor dan rank

Aljabar Linier Sistem koordinat, dimensi ruang vektor dan rank Aljabar Linier Sistem koordinat, dimensi ruang vektor dan rank khozin mu tamar 9 Oktober 2014 PERTEMUAN-4 : SISTEM KOORDINAT, DIMEN- SI RUANG VEKTOR DAN RANK 1. Sistem koordinat (a) Ketunggalan scalar

Lebih terperinci

REALISASI ERROR-CORRECTING BCH CODE MENGGUNAKAN PERANGKAT ENKODER BERBASIS ATMEGA8535 DAN DEKODER MENGGUNAKAN PROGRAM DELPHI

REALISASI ERROR-CORRECTING BCH CODE MENGGUNAKAN PERANGKAT ENKODER BERBASIS ATMEGA8535 DAN DEKODER MENGGUNAKAN PROGRAM DELPHI REALISASI ERROR-CORRECTING BCH CODE MENGGUNAKAN PERANGKAT ENKODER BERBASIS ATMEGA8535 DAN DEKODER MENGGUNAKAN PROGRAM DELPHI Disusun Oleh : Reshandaru Puri Pambudi 0522038 Jurusan Teknik Elektro, Fakultas

Lebih terperinci

RUANG VEKTOR BAGIAN RANK KONSTAN DARI BEBERAPA RUANG VEKTOR MATRIKS CONSTANT RANK VECTOR SUBSPACE OF SOME VECTOR SPACE MATRICES

RUANG VEKTOR BAGIAN RANK KONSTAN DARI BEBERAPA RUANG VEKTOR MATRIKS CONSTANT RANK VECTOR SUBSPACE OF SOME VECTOR SPACE MATRICES RUANG VEKTOR BAGIAN RANK KONSTAN DARI BEBERAPA RUANG VEKTOR MATRIKS CONSTANT RANK VECTOR SUBSPACE OF SOME VECTOR SPACE MATRICES Iin Karmila Putri Karsa Amir Kamal Amir Loeky Haryanto Jurusan Matematika

Lebih terperinci

Volume 9 Nomor 1 Maret 2015

Volume 9 Nomor 1 Maret 2015 Volume 9 Nomor 1 Maret 015 Jurnal Ilmu Matematika dan Terapan Maret 015 Volume 9 Nomor 1 Hal. 1 10 KARAKTERISASI DAERAH DEDEKIND Elvinus R. Persulessy 1, Novita Dahoklory 1, Jurusan Matematika FMIPA Universitas

Lebih terperinci

SIFAT GELANGGANG NOETHERIAN DAN GELANGGANG PERLUASANNYA. ABSTRAK Suatu gelanggang R disebut gelanggang Noetherian jika memenuhi sifat :

SIFAT GELANGGANG NOETHERIAN DAN GELANGGANG PERLUASANNYA. ABSTRAK Suatu gelanggang R disebut gelanggang Noetherian jika memenuhi sifat : SIFAT GELANGGANG NOETHERIAN DAN GELANGGANG PERLUASANNYA Raja Sihombing 1, Amir Kamal Amir 2, Loeky Haryanto 3 1 Mahasiswa Program Studi Matematika, FMIPA Unhas 2,3 Dosen Program Studi Matematika, FMIPA

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Pada bab ini akan diberikan beberapa definisi teori pendukung dalam proses

TINJAUAN PUSTAKA. Pada bab ini akan diberikan beberapa definisi teori pendukung dalam proses II. TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini akan diberikan beberapa definisi teori pendukung dalam proses penelitian untuk penyelesaian persamaan Diophantine dengan relasi kongruensi modulo m mengenai aljabar dan

Lebih terperinci

DESAIN ENCODER-DECODER BERBASIS ANGKA SEMBILAN UNTUK TRANSMISI INFORMASI DIGITAL

DESAIN ENCODER-DECODER BERBASIS ANGKA SEMBILAN UNTUK TRANSMISI INFORMASI DIGITAL Desain Encoder-Decoder Berbasis Angka Sembilan Untuk Transmisi Informasi Digital 1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43

Lebih terperinci

SUKU BANYAK. A. Teorema Sisa 1) F(x) = (x b) H(x) + S, maka S = F(b) 2) F(x) = (ax b) H(x) + S, maka S = F( a

SUKU BANYAK. A. Teorema Sisa 1) F(x) = (x b) H(x) + S, maka S = F(b) 2) F(x) = (ax b) H(x) + S, maka S = F( a SUKU BANYAK A. Teorema Sisa 1) F(x) = (x b) H(x) + S, maka S = F(b) 2) F(x) = (ax b) H(x) + S, maka S = F( a b ) 3) F(x) : [(x a)(x b)], maka S(x) = (x a)s 2 + S 1, dengan S 2 adalah sisa pembagian pada

Lebih terperinci

Block Coding KOMUNIKASI DATA OLEH : PUTU RUSDI ARIAWAN ( )

Block Coding KOMUNIKASI DATA OLEH : PUTU RUSDI ARIAWAN ( ) Block Coding KOMUNIKASI DATA OLEH : (0804405050) JURUSAN TEKNIK ELEKTRO FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2010 Block Coding Block coding adalah salah satu kode yang mempunyai sifat forward error

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Pada BAB IV ini dibahas tentang permasalahan sebagai berikut: Kajian Teori yang digunakan dalam penelitian, Membahas Aritmetik Aljabar Matriks, Program-program Aritmetik Aljabar

Lebih terperinci

Implementasi Encoder dan decoder Hamming pada TMS320C6416T

Implementasi Encoder dan decoder Hamming pada TMS320C6416T Implementasi Encoder dan decoder Hamming pada TMS320C6416T oleh : ANGGY KUSUMA DEWI WISMAL (2211105016) Pembimbing 1 Dr. Ir. Suwadi, MT Pembimbing 2 Titiek Suryani, MT Latar Belakang Pada pengiriman data,

Lebih terperinci

MATRIKS BENTUK KANONIK RASIONAL DENGAN MENGGUNAKAN PEMBAGI ELEMENTER INTISARI

MATRIKS BENTUK KANONIK RASIONAL DENGAN MENGGUNAKAN PEMBAGI ELEMENTER INTISARI Buletin Ilmiah Math. Stat. dan Terapannya (Bimaster) Volume 6, No. (17), hal 7 34. MATRIKS BENTUK KANONIK RASIONAL DENGAN MENGGUNAKAN PEMBAGI ELEMENTER Ardiansyah, Helmi, Fransiskus Fran INTISARI Pada

Lebih terperinci

POLINOM (SUKU BANYAK) Menggunakan aturan suku banyak dalam penyelesaian masalah.

POLINOM (SUKU BANYAK) Menggunakan aturan suku banyak dalam penyelesaian masalah. POLINOM (SUKU BANYAK) Standar Kompetensi: Menggunakan aturan suku banyak dalam penyelesaian masalah. Kompetensi Dasar: 1. Menggunakan algoritma pembagian suku banyak untuk menentukan hasil bagi dan sisa

Lebih terperinci

MODUL DAN KEUJUDAN BASIS PADA MODUL BEBAS

MODUL DAN KEUJUDAN BASIS PADA MODUL BEBAS MODUL DAN KEUJUDAN BASIS PADA MODUL BEBAS MODULES AND BASES OF FREE MODULES Dian Mardiani Pendidikan Matematika, STKIP Garut Garut, Indonesia Alfid51@yahoo.com Abstrak Penelitian ini membahas beberapa

Lebih terperinci

BAB 5 TEOREMA SISA. Menggunakan aturan sukubanyak dalam penyelesaian masalah. Kompetensi Dasar

BAB 5 TEOREMA SISA. Menggunakan aturan sukubanyak dalam penyelesaian masalah. Kompetensi Dasar Standar Kompetensi BAB 5 TEOREMA SISA Menggunakan aturan sukubanyak dalam penyelesaian masalah. Kompetensi Dasar Menggunakan algoritma pembagian sukubanyak untuk menentukan hasil bagi dan sisa pembagian

Lebih terperinci

PERTEMUAN 11 RUANG VEKTOR 1

PERTEMUAN 11 RUANG VEKTOR 1 PERTEMUAN 11 RUANG VEKTOR 1 TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS Setelah menyelesaikan pertemuan ini mahasiswa diharapkan : Dapat mengetahui definisi dan sifat-sifat dari ruang vektor Dapat mengetahui definisi

Lebih terperinci

0,1,2,3,4. (e) Perhatikan jawabmu pada (a) (d). Tuliskan kembali sifat-sifat yang kamu temukan dalam. 5. a b c d

0,1,2,3,4. (e) Perhatikan jawabmu pada (a) (d). Tuliskan kembali sifat-sifat yang kamu temukan dalam. 5. a b c d 1 Pada grup telah dipelajari himpunan dengan satu operasi. Sekarang akan dipelajari himpunan dengan dua operasi. Ilustrasi 1.1 Perhatikan himpunan 0,1,2,3,4. (a) Apakah grup terhadap operasi penjumlahan?

Lebih terperinci

Bab 2 Daerah Euclid. 2.1 Struktur Daerah Euclid

Bab 2 Daerah Euclid. 2.1 Struktur Daerah Euclid Bab 2 Daerah Euclid Pada bab ini akan dijelaskan mengenai daerah Euclid beserta struktur lain yang terkait nya. Beberapa struktur aljabar tersebut selanjutnya akan digunakan untuk melihat struktur gelanggang

Lebih terperinci

RANDOM LINEAR NETWORK CODING UNTUK PENGIRIMAN PAKET YANG HANDAL DI NETWORK Reza Zulfikar Ruslam

RANDOM LINEAR NETWORK CODING UNTUK PENGIRIMAN PAKET YANG HANDAL DI NETWORK Reza Zulfikar Ruslam RANDOM LINEAR NETWORK CODING UNTUK PENGIRIMAN PAKET YANG HANDAL DI NETWORK Reza Zulfikar Ruslam 0500060 Email : mathley@elect-eng.its.ac.id Bidang Studi Telekomunikasi Multimedia Jurusan Teknik Elektro-FTI,

Lebih terperinci

Analisis Fungsional. Oleh: Dr. Rizky Rosjanuardi, M.Si Jurusan Pendidikan Matematika UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

Analisis Fungsional. Oleh: Dr. Rizky Rosjanuardi, M.Si Jurusan Pendidikan Matematika UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA Analisis Fungsional Oleh: Dr. Rizky Rosjanuardi, M.Si Jurusan Pendidikan Matematika UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA Lingkup Materi Ruang Metrik dan Ruang Topologi Kelengkapan Ruang Banach Ruang Hilbert

Lebih terperinci

SUBRUANG VEKTOR. Disusun Untuk Memenuhi Mata Kuliah Aljabar Linier. Dosen Pembimbing: Abdul Aziz Saefudin, M.Pd

SUBRUANG VEKTOR. Disusun Untuk Memenuhi Mata Kuliah Aljabar Linier. Dosen Pembimbing: Abdul Aziz Saefudin, M.Pd SUBRUANG VEKTOR Disusun Untuk Memenuhi Mata Kuliah Aljabar Linier Dosen Pembimbing: Abdul Aziz Saefudin, M.Pd Disusun Oleh : Kelompok 6/ III A4 1. Nina Octaviani Nugraheni 14144100115 2. Emi Suryani 14144100126

Lebih terperinci

Antonius C. Prihandoko

Antonius C. Prihandoko Antonius C. Prihandoko Didanai oleh Proyek DIA-BERMUTU 2009 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA Jurusan Pendidikan MIPA Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Universitas Jember Prakata Puji syukur ke hadirat

Lebih terperinci

KS KALKULUS DAN ALJABAR LINEAR Ruang Vektor TIM KALIN

KS KALKULUS DAN ALJABAR LINEAR Ruang Vektor TIM KALIN KS091206 KALKULUS DAN ALJABAR LINEAR Ruang Vektor TIM KALIN TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS Setelah menyelesaikan pertemuan ini mahasiswa diharapkan: Dapat mengetahui definisi dan sifat-sifat dari ruang vektor

Lebih terperinci

6 Sistem Persamaan Linear

6 Sistem Persamaan Linear 6 Sistem Persamaan Linear Pada bab, kita diminta untuk mencari suatu nilai x yang memenuhi persamaan f(x) = 0. Pada bab ini, masalah tersebut diperumum dengan mencari x = (x, x,..., x n ) yang secara sekaligus

Lebih terperinci

LAPORAN TEKNIK PENGKODEAN ENCODER DAN DECODER KODE SIKLIK

LAPORAN TEKNIK PENGKODEAN ENCODER DAN DECODER KODE SIKLIK LAPORAN TEKNIK PENGKODEAN ENCODER DAN DECODER KODE SIKLIK Disusun Oleh : Inggi Rizki Fatryana (2472) Teknik Telekomunikasi - PJJ PENS Akatel Politeknik Negeri Elektro Surabaya 24-25 PERCOBAAN II ENCODER

Lebih terperinci

MEMBANGUN PERLUASAN KODE GOLAY BINER (24,12,8) MELALUI KODE KUADRATIK RESIDU BINER

MEMBANGUN PERLUASAN KODE GOLAY BINER (24,12,8) MELALUI KODE KUADRATIK RESIDU BINER MEMBANGUN PERLUASAN KODE GOLAY BINER (24,12,8) MELALUI KODE KUADRATIK RESIDU BINER SKRIPSI Disusun Oleh : DWI SULISTYOWATI J2A 004 012 Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Strata

Lebih terperinci

Chapter 5 GENERAL VECTOR SPACE Row Space, Column Space, Nullspace 5.6. Rank & Nullity

Chapter 5 GENERAL VECTOR SPACE Row Space, Column Space, Nullspace 5.6. Rank & Nullity Chapter 5 GENERAL VECTOR SPACE 5.5. Row Space, Column Space, Nullspace 5.6. Rank & Nullity 5.5. Row Space, Column Space, Nullspace Vektor-Vektor Baris & Kolom Vektor baris A (dalam R n ) Vektor kolom A

Lebih terperinci

Euis Hartini 1, Edi Kurniadi 2 ABSTRAK ABSTRACT

Euis Hartini 1, Edi Kurniadi 2 ABSTRAK ABSTRACT SUATU TINJAUAN TERHADAP POLINOMIAL SIKLOTOMIK Euis Hartini 1, Edi Kurniadi 2 1,2 Jurusan Matematika FMIPA Universitas Padjadjaran Jalan Raya Bandung Sumedang KM 21 Jatinangor 45363 1 euis_hartini@yahoocom,

Lebih terperinci

Pembentukan Ideal Prim Gelanggang Polinom Miring Atas Daerah ( )

Pembentukan Ideal Prim Gelanggang Polinom Miring Atas Daerah ( ) Vol. 8, No.2, 64-68, Januari 2012 Pembentukan Ideal Prim Gelanggang Polinom Miring Atas Daerah ( ) Amir Kamal Amir Abstrak Misalkan R adalah suatu gelanggang dengan identitas 1, adalah suatu endomorfisma

Lebih terperinci

G a a = e = a a. b. Berdasarkan Contoh 1.2 bagian b diperoleh himpunan semua bilangan bulat Z. merupakan grup terhadap penjumlahan bilangan.

G a a = e = a a. b. Berdasarkan Contoh 1.2 bagian b diperoleh himpunan semua bilangan bulat Z. merupakan grup terhadap penjumlahan bilangan. 2. Grup Definisi 1.3 Suatu grup < G, > adalah himpunan tak-kosong G bersama-sama dengan operasi biner pada G sehingga memenuhi aksioma- aksioma berikut: a. operasi biner bersifat asosiatif, yaitu a, b,

Lebih terperinci

Pengantar Vektor. Besaran. Vektor (Mempunyai Arah) Skalar (Tidak mempunyai arah)

Pengantar Vektor. Besaran. Vektor (Mempunyai Arah) Skalar (Tidak mempunyai arah) Pengantar Vektor Besaran Skalar (Tidak mempunyai arah) Vektor (Mempunyai Arah) Vektor Geometris Skalar (Luas, Panjang, Massa, Waktu dan lain - lain), merupakan suatu besaran yang mempunyai nilai mutlak

Lebih terperinci

RUANG VEKTOR BAGIAN RANK KONSTAN DARI BEBERAPA RUANG VEKTOR MATRIKS

RUANG VEKTOR BAGIAN RANK KONSTAN DARI BEBERAPA RUANG VEKTOR MATRIKS Prosiding Seminar Nasional Volume, Nomor 1 ISSN 443-119 RUANG VEKOR BAGIAN RANK KONSAN DARI BEBERAPA RUANG VEKOR MARIKS Iin Karmila Putri 1, Andi Jumardi Universitas Cokroaminoto Palopo 1, iinkarmilaputri@gmail.com

Lebih terperinci

PERCOBAAN II ENCODER DAN DECODER KODE SIKLIK

PERCOBAAN II ENCODER DAN DECODER KODE SIKLIK PERCOBAAN II ENCODER DAN DECODER KODE SIKLIK. Tujuan : Setelah melakukan praktikum, diharapkan mahasiswa dapat : Membangkitkan generator siklik dan bit informasi yang telah ditentukan menggunakan matlab.

Lebih terperinci