PEMETAAN SHADOW ZONE AKUSTIK DENGAN METODE PARABOLIC EQUATION DI WILAYAH PERAIRAN SELAT LOMBOK

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PEMETAAN SHADOW ZONE AKUSTIK DENGAN METODE PARABOLIC EQUATION DI WILAYAH PERAIRAN SELAT LOMBOK"

Transkripsi

1 PEMETAAN SHADOW ZONE AKUSTIK DENGAN METODE PARABOLIC EQUATION DI WILAYAH PERAIRAN SELAT LOMBOK MOCHAMAD ISKANDARSYAH SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

2 RINGKASAN MOCHAMAD ISKANDARSYAH. Pemetaan Shadow Zone Akustik dengan Menggunakan Metode Parabolic Equation di Wilayah Perairan Selat Lombok. Dibimbing oleh SRI PUJIYATI dan INDRA JAYA. Dalam melakukan perambatan di dalam air, gelombang suara dipengaruhi oleh karakteristik oseanografi seperti salinitas, suhu, dan tekanan dimana ketiga hal ini mempengaruhi kecepatan gelombang suara dalam air. Saat melakukan perambatan, gelombang suara membentuk suatu pola tertentu yang dapat dipengaruhi oleh frekuensi, posisi sumber suara dan posisi penerima. Dalam melakukan penyusupan, kapal selam kerap kali menggunakan shadow zone yang merupakan zona dimana hampir tidak terjadi perambatan gelombang suara, sehingga kapal selam tersebut dapat terhindar dari SONAR (Sound Navigation and Ranging) pihak lawan. Tujuan dari penelitian ini adalah memetakan shadow zone akustik berdasarkan kondisi oseanografi pada perairan Selat Lombok dengan memanfaatkan data hasil rekaman mooring buoy dari program INSTANT. Data yang digunakan berupa data suhu, salinitas, dan kedalaman selama bulan Juli 2005 di Utara Perairan Selat Lombok, pada koordinat LS dan BT. Salah satu cara untuk memetakan shadow zone adalah dengan melakukan simulasi komputer tentang perambatan gelombang suara di laut. Penelitian ini menggunakan empat buah frekuensi yang berbeda (100, 1.000, , dan Hz) dengan menggunakan tiga kedalaman sumber suara yang berbeda ( 30 m, 110 m, dan 300 m). Secara umum pada kedalaman sumber suara 30 m, 110 m, dan 300 m frekuensi 100 Hz mengalami kehilangan suara yang paling besar sehingga banyak terbentuk shadow zone di kolom perairan karena pada frekuensi 100 Hz, gelombang suara memiliki panjang gelombang yang paling panjang sehingga mampu melakukan penetrasi kedalam sedimen yang menyebabkan nilai TL bertambah dan memunculkan lebih banyak shadow zone. Frekuensi Hz shadow zone lebih sedikit jika dibandingkan dengan frekuensi Hz dan Hz. Nilai Transmission Loss dipengaruhi oleh kedalaman sumber suara.

3 PEMETAAN SHADOW ZONE AKUSTIK DENGAN METODE PARABOLIC EQUATION DI WILAYAH PERAIRAN SELAT LOMBOK MOCHAMAD ISKANDARSYAH C SKRIPSI Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Ilmu Kelautan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

4 SKRIPSI Judul Penelitian : PEMETAAN SHADOW ZONE AKUSTIK DENGAN MENGGUNAKAN METODE PARABOLIC EQUATION DI WILAYAH PERAIRAN SELAT LOMBOK Nama : Mochamad Iskandarsyah NRP : C Departemen : Ilmu dan Teknologi Kelautan Menyetujui, Dosen Pembimbing Dr.Ir.Sri Pujiyati, M.Si Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc NIP : NIP : Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan Prof. Dr. Ir. H. Setyo Budi Susilo, M.Sc NIP Tanggal Sidang : 27 Juli 2011 i

5 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul: PEMETAAN SHADOW ZONE AKUSTIK DENGAN MENGGUNAKAN METODE PARABOLiC EQUATION DI WILAYAH PERAIRAN SELAT LOMBOK adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, Juni 2011 Mochamad Iskandarsyah C

6 Hak cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian/seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

7 70 DAFTAR RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta, 26 Januari 1989 dari ayah yang bernama Drs. Mochamad Chandra Widjaja, MM dan ibu bernama Hermiati, Bsc. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Tahun 2006 penulis menamatkan pendidikan menengah di SMA Al-Izhar Pondok Labu, Jakarta. Pada tahun 2006 penulis diterima sebagai mahasiswa Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) Penulis aktif dalam berbagai kegiatan kepanitiaan di kampus dan organisasi seperti Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Kelautan (HIMITEKA) sebagai anggota Departemen Penelitian dan Kebijakan (LITJAK) periode 2007/2008, sebagai Kepala Departemen LITJAK periode 2008/2009 dan sebagai Dewan Penasehat HIMITEKA periode 2009/2010. Di tingkat Fakultas, penulis pernah aktif di Badan Esekutif Mahasiswa (BEM) FPIK sebagai anggota Departemen Pengembangan Sumber Daya Manusia (PSDM) periode 2007/2008. Penulis pernah menjadi delegasi HIMITEKA IPB dalam rangka MUKERNAS Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Kelautan Nasional (HIMITEKINDO) di Surabaya tahun 2008 dan MUNAS HIMITEKINDO di Pekanbaru tahun Pengalaman kerja penulis antara lain sebagai asisten mata kuliah Dasar-dasar Instrumentasi Kelautan tahun 2008/2009, asisten mata kuliah Ekologi Laut Tropis periode 2009/2010 sampai 2010/2011, asisten lapang mata kuliah Biologi Laut periode 2010/2011, dan magang di Balai Budidaya Air Payau (BBAP) Situbondo selama 1 bulan pada tahun Penulis berkesempatan mengikuti pelayaran Kapal Riset Baruna Jaya III BPPT ke Ambon dalam rangka kegiatan Sail Banda Dalam rangka menyelesaikan studi di Institut Pertanian Bogor, penulis melaksanakan penelitian dengan judul Pemetaan Shadow Zone Akustik dengan Menggunakan Metode Persamaan Parabolik di Selat Lombok

8 KATA PENGANTAR Puji syukur kepada Allah SWT atas berkat dan karunia yang telah diberikannya kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Skripsi dengan judul PEMETAAN SHADOW ZONE AKUSTIK DENGAN METODE PARABOLIC EQUATION DI WILAYAH PERAIRAN SELAT LOMBOK diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana. Penulis menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya kepada: 1. Orang tua, Adik, dan keluarga besar yang selalu mendukung doa dan materi, 2. Dr. Ir. Sri Pujiyati, M.Si dan Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc selaku dosen pembimbing, 3. Dr.Ir. Totok Hestirianoto, M.Sc dan Dr. Ir. Nyoman M. Natih, M.Sc selaku dosen penguji dan perwakilan komisi pendidikan sarjana 4. Dr.Ir.Djisman Manurung, M.Sc selaku pembimbing akademik 5. Staf pengajar dan para pegawai di lingkungan Departemen ITK 6. Apriliana Utami Hapsari, SE atas dorongan dan semangatnya selama ini 7. Muhammad Iqbal, S.Pi, Hendri Dayu, S.Pi, Arief Wicaksana, S.Pi, Asep Ma mun, S.Pi, Asmadin, S.Pi, M.Si, Cristiadi Triyatna, S.IK, Rizki Rizaldi Hidayat, S.IK, Hengky Wibowo, Githa Prima Putra, S.IK, Masagus Zulhafiz, Herbeth Marpaung, S.IK, Erik Munandar dan segenap keluarga besar Workshop Akustik dan Instrumentasi Kelautan yang telah meluangkan waktu untuk membantu penulis. 8. Steven Syahrinaldi, S.IK sebagai kakak asuh 9. Olivier Yonathan dan Risnie Fitriani, S.IK atas diskusi di bidang oseanografi

9 10. Warga ITK khususnya ITK 43 atas semangat dan dorongannya, 11. Penghuni Perwira 88 (Saul Limbong, S.Kom, M.Rizki Sulistiono, S.Pi, Maria Putri, Hawara Sebastian Sitompul, SE, dan Christina Ratih), Wisma Galih (Ahmad Rifai, Dori Irianto, S.IK, Enda, S.IK, Erlan Nurcahya Putra, dan Moh. Zainul Rijal) dan Asrama TPB C3 Lorong 5 tahun 2006/ Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu penulis membutuhkan saran dan kritik untuk perbaikan di masa depan. Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak, Amin. Bogor, Juli 2011 Mochamad Iskandarsyah

10 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... i DAFTAR GAMBAR... ii DAFTAR LAMPIRAN... iii 1. PENDAHULUAN Latar belakang Tujuan TINJAUAN PUSTAKA Perambatan Gelombang Suara Dalam Air Profil Kolom Perairan Suhu Salinitas Lapisan Termoklin Kedalaman dan Dasar Perairan Shadow Zone Akustik Arus Lintas Indonesia (ARLINDO) Kondisi Umum dan Geografis Selat Lombok INSTANT Model Persamaan Parabolik BAHAN DAN METODE Lokasi dan Waktu penelitian Perangkat dan Peralatan Pengambilan Data Simulasi Data HASIL DAN PEMBAHASAN Profil Vertikal Kecepatan Suara, Suhu, dan Salinitas i

11 4.1.1 Profil Vertikal Kecepatan Suara Profil Vertikal Salinitas Profil Vertikal Suhu Simulasi Nilai Kehilangan Transmisi terhadap Kedalaman dan Jarak Kedalaman Sumber 25 m dan Kedalaman Penerima 30 m Kedalaman Sumber 110 m dan Kedalaman Penerima 115 m Kedalaman Sumber 300 m dan Kedalaman Penerima 310 m KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN ii

12 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Shadow Zone Akustik Peta Arlindo Peta Lokasi Penelitian Diagram Alir Pengolahan Data Hubungan Kecepatan Suara dan Kedalaman Secara Vertikal Hubungan Salinitas dan Kedalaman Secara Vertikal Hubungan Suhu dan Kedalaman Secara Vertikal Hasil Simulasi Perambatan Gelombang Suara dengan Kedalaman Sumber Suara 25 m, Kedalaman Penerima 30 m, dan Frekuensi Yang Digunakan 100, 1.000, , dan Hz Grafik Hubungan Transmission Loss dengan Jarak pada Frekuensi 100, 1.000, dan Hz Grafik Hubungan Transmission Loss dengan Jarak pada Frekuensi 100, 1.000, dan Hz Setelah Running Average Hasil Simulasi Perambatan Gelombang Suara dengan Kedalaman Sumber Suara 110 m, Kedalaman Penerima 115 m, dan Frekuensi Yang Digunakan 100, 1.000, , dan Hz Grafik Hubungan Transmission Loss dengan Jarak pada Frekuensi 100, 1.000, dan Hz Grafik Hubungan Transmission Loss dengan Jarak pada Frekuensi 100, 1.000, dan Hz Setelah Running Average Hasil Simulasi Perambatan Gelombang Suara dengan Kedalaman Sumber Suara 300 m, Kedalaman Penerima 310 m, dan Frekuensi Yang Digunakan 100, 1.000, , dan Hz Grafik Hubungan Transmission Loss dengan Jarak pada Frekuensi 100, 1.000, dan Hz Grafik Hubungan Transmission Loss dengan Jarak pada Frekuensi 100, 1.000, dan Hz Setelah Running Average iii

13 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Tutorial Pengolahan Contoh Definisi Parameter iv

14 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dewasa ini banyak terjadi ancaman terhadap keamanan dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia ( NKRI) baik dari darat maupun dari laut. Di laut sendiri banyak terjadi pelanggaran kedaulatan oleh kapal asing dengan berbagai macam cara mulai dari pencurian ikan tanpa izin, klaim suatu wilayah NKRI secara sepihak oleh negara tetangga sampai melakukan operasi militer seperti kapal selam asing melakukan penyusupan di wilayah laut teritorial NKRI. Menurut Konvensi Hukum Laut Internasional / United Nations Convention on the Law of the Sea ( UNCLOS ) PBB tahun 1982 yang diratifikasi oleh Indonesia yaitu pada artikel 49 dengan tegas menyatakan status legal negara kepulauan ( Indonesia ) berkedaulatan penuh atas perairan dan landas kontinen di bawah serta udara di atasnya. Dalam menjaga kedaulatan NKRI terutama dari ancaman yang berada di laut perlu dilakukan pembangunan pertahanan secara terpadu. Selain pengadaaan Alat Utama Sistem Pertahanan (ALUTSISTA) juga diperlukan penguasaan teknologi pemantauan anti kapal selam, yang dapat dipergunakan untuk melacak kapal selam yang menyusup ke wilayah teritorial Indonesia. Penyusupan kapal selam kerap menggunakan daerah kedap gelombang suara (shadow zone). Daerah ini merupakan zona aman dimana suhu dan salinitas air laut pada zona tersebut membelokkan gelombang suara yang datang sehingga kapal selam tersebut terhindar dari ( Sound Navigation and Ranging) SONAR pihak lawan. 1

15 2 Salah satu cara untuk mengantisipasi yang dilakukan adalah melalui simulasi komputer mengenai pola perambatan gelombang suara di laut untuk mengetahui pola perambatan gelombang suara tersebut sehingga dapat di tentukan Shadow Zone akustik. Cara lainnya adalah dengan memasang receiver di wilayah perairan yang rawan untuk dilalui oleh kapal selam seperti Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI). 1.2 Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memetakan shadow zone berdasarkan kondisi oseanografi pada Perairan Selat Lombok.

16 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perambatan Gelombang Suara Dalam Air Kecepatan suara dalam air laut merupakan variabel oseanografik yang menentukan pola pemancaran suara di dalam medium (Kadarwati, 1999). Kecepatan suara bervariasi terhadap kedalaman, musim, posisi geografis dan waktu pada lokasi tertentu. Di perairan dangkal dekat pantai, profil kecepatan suara cenderung tidak teratur dan sulit di prediksi. Faktor fisik air laut yang paling menentukan dalam mempengaruhi kecepatan suara di dalam air laut adalah suhu, salinitas, dan tekanan (Urick, 1983). Di dalam air laut, kecepatan gelombang suara mendekati m/ detik (umumnya berkisar m/detik sampai dengan m/detik, tergantung suhu, salinitas, dan tekanan) (Lurton, 2002). Beberapa peneliti merumuskan persamaan kecepatan gelombang suara dalam air laut yang dipengaruhi oleh suhu, salinitas, dan tekanan, diantaranya Medwin dan Clarence (1998) 2 3 c 1.449, 2 4, 67T 0, 055T 0, T (1,34 0, 01 T)( S 35) 0, 016z...(1) dimana: c kecepatan suara (m/s) T suhu (derajat celcius) S salinitas (psu) z kedalaman (m) Menurut Lurton (2002) secara sederhana pola perambatan gelombang suara di dalam laut yang dibagi secara vertikal adalah sebagai berikut: a. Lapisan tercampur, dimana kecepatan suara relatif konstan, biasanya ditemukan sampai kedalaman beberapa meter dari permukaan. 3

17 4 b. Surface channel, kecepatan suara meningkat jika dibandingkan pada saat berada di lapisan tercampur. c. Termoklin, pada lapisan ini kecepatan suara akan menurun dengan bertambahnya kedalaman, karena biasanya suhu menurun secara drastis dalam kedalaman yang relatif dangkal pada lapisan ini. Termoklin dapat muncul secara musiman (jika dekat dengan permukaan) atau permanen. d. Deep channel, kecepatan suara pada lapisan ini mendekati minimum. Rata-rata kedalaman lapisan ini mulai dari beberapa ratus meter sampai 2000 m e. Lapisan isothermal, pada lapisan ini suhu relatif konstan, kecepatan suara bertambah secara linear seiring bertambahnya kedalaman karena pengaruh tekanan hidrostatis. Namun secara nyata di alam, kecepatan suara di dalam laut masih dipengaruhi oleh beberapa hal seperti arus, pertukaran massa air, masukan air tawar dari sungai (dekat dengan daerah estuari, posisi lintang, pasang surut dan internal wave). Dalam melakukan perambatan di dalam air, gelombang suara mengalami kehilangan energi transmisi yang merupakan akumulasi penurunan energi intensitas akustik ketika tekanan akustik berpropagasi. Kehilangan energi ini dapat terjadi karena penyebaran gelombang akustik, penyerapan energi, dan pemantulan yang terjadi di dasar atau permukaan perairan. Intensitas gelombang akustik akan semakin berkurang dengan bertambahnya jarak dari sumber bunyi. Pada perairan dangkal, transmisi suara memiliki karateristik suara yang tergantung pada frekuensi. Ada frekuensi optimum untuk pertambahan jarak jauh,

18 5 frekuensi tersebut akibat kompetisi perambatan dan mekanisme atenuasi pada frekuensi tinggi dan rendah. Pada frekuensi tinggi, kehilangan akibat penghamburan dan volume semakin meningkat dengan meningkatnya frekuensi (Jensen et al, 1994). Sebuah sumber akustik di air yang memancarkan gelombang akustik dengan intensitas energi tertentu akan mengalami penurunan intensitas bunyi bersamaan dengan bertambahnya jarak propagasi dari sumbernya. Hal ini terjadi karena sumber akustik memiliki intensitas yang tetap, sedangkan luas permukaan bidang yang dilingkupi akan semakin besar dengan bertambahnya jarak dari sumber bunyi. Penyebaran gelombang akustik dibatasi oleh permukaan laut dan dasar suatu perairan. Gelombang suara yang sedang berpropagasi akan mengalami penyerapan energi akustik oleh medium sekitar daerah propagasi. Secara umum, penyerapan suara merupakan salah satu bentuk kehilangan energi yang melibatkan proses konversi energi akustik menjadi energi panas, sehingga energi gelombang suara yang merambat mengalami penurunan intensitas (atenuasi) (Pongoet, 2008). Secara umum, formula untuk mencari koefisien atenuasi menurut Jensen et all, (1994) adalah 2 2 0, ,033 f f 0,0003 f f 4100 f 2 (2) dimana: = koefisien atenuasi (db/km) f =frekuensi (Hz)

19 6 Kehilangan energi akibat pemantulan terjadi pada saat gelombang akustik berpropagasi melewati dua medium yang memiliki perbedaan indeks bias cukup besar. Perbedaan yang cukup besar ini mengakibatkan gelombang suara dipantulkan oleh perbatasan antar kedua medium tersebut (Pongoet, 2008) Profil Kolom Perairan Suhu Suhu merupakan salah satu karakter fisik dari air laut yang penting. Di wilayah lintang sedang dan rendah (dekat dengan wilayah tropis), suhu merupakan faktor penting yang mempengaruhi densitas dan kecepatan suara di dalam air. Suhu di daerah tropis pada wilayah permukaan laut berkisar o C yang dipengaruhi oleh musim (Pickard dan Emery, 1990). Distribusi suhu permukaan dibagi menjadi beberapa zona yang dipengaruhi oleh posisi lintang. Suhu tinggi di dapat di zona ekuator dimana cahaya matahari cenderung banyak berada pada zona ini, sedangkan daerah suhu rendah berada di dekat wilayah kutub (Stewart, 2008). Pada daerah non kutub, sifat-sifat air pada lapisan isotermal yang dipengaruhi oleh angin sehingga menyebabkan adanya pengadukan menyebabkan lapisan ini memiliki temperatur yang cenderung konstan. Oleh karena itu, pada lapisan isothermal memiliki bentuk profil suara yang bertambah sejalan dengan kedalaman laut yang disebabkan pengaruh gradien tekanan (Jensen et al, 1994). Pada kondisi perairan laut yang mempunyai suhu berbeda-beda menimbulkan variasi kecepatan suara yang menyebabkan refraksi atau pembelokan perambatan gelombang suara. Perubahan suhu yang sangat cepat

20 7 pada lapisan termoklin menyebabkan pembelokan gelombang suara yang tajam dan pada lapisan ini bertindak sebagai bidang pantul Salinitas Menurut Sanusi (2006) salinitas adalah jumlah zat-zat terlarut dalam 1 kg air laut, dimana semua karbonat telah diubah menjadi oksida, bromide dan iodide diganti oleh klorida dan semua bahan organik telah dioksidasi sempurna. Pada umumnya perairan laut lepas memiliki kadar salinitas 35 psu; yang berarti dalam 1 kg air laut mengandung elemen-elemen kimia terlarut seberat 35 gram. Dimana komposisi air laut tersebut terdiri atas 3,5% elemen-elemen kimia terlarut dan 96,5% kandungan airnya. Di perairan estuari dimana aliran sungai bermuara, kadar salinitasnya relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan perairan laut lepas. Hal ini disebabkan oleh adanya percampuran massa air laut dengan massa air sungai yang memliki salinitas rendah (Sanusi, 2006). Salinitas dapat mempengaruhi kecepatan suara di dalam air, teutama di wilayah lintang tinggi (dekat kutub) dimana suhu mendekati titik beku, salinitas merupakan salah satu paling faktor penting yang mempengaruhi kecepatan gelombang suara di dalam air. Distribusi vertikal salinitas pada wilayah tropis, ekuator, dan sub tropis mengalami nilai yang paling kecil pada kedalaman m (34-35 pratical salinity unit/psu). Di wilayah tropis nilai salinitas pada permukaan berkisar psu. Salinitas maksimun pada wilayah perairan tropis terjadi pada kedalaman m dekat dengan lapisan termoklin dimana kadar salinitas dapat mencapai lebih dari 37 psu. Di daerah laut dalam, kadar salinitas

21 8 relatif seragam dengan nilai 34,6-34,9 psu (Pickard dan Emery, 1990). Salinitas di samudera seperti Atlantik, Pasifik, dan Hindia rata-rata 35 psu, di wilayah laut yang tertutup, nilai salitas rata-rata tidak jauh dari kisaran 35 psu tergantung dari penguapan yang terjadi (Lurton, 2002) Lapisan Termoklin Lapisan termoklin merupakan lapisan yang berada dalam kolom perairan di laut yang dimana pada lapisan ini mengalami perubahan suhu yang drastis dengan lapisan yang berada dan di bawah lapisan termoklin. Di laut, termoklin seperti lapisan yang membagi antara lapisan pencampuran (mixing layer) dan lapisan dalam (deep layer). Tergantung musim, garis lintang dan pengadukan oleh angin, lapisan ini bersifat semi permanen. Faktor yang menentukan ketebalan lapisan ini di dalam suatu perairan seperti variasi cuaca musiman, lintang, kondisi lingkungan suatu tempat ( pasang surut dan arus). Secara umum terbentuknya lapisan termoklin dikarenakan penyerapan sinar matahari pada siang hari oleh permukaan laut ( karena energi panas diradiasikan ke atmosfer). Panas yang berada di permukaan air laut ini di distribusikan ke bagian dalam sampai kedalaman m (yang disebut lapisan tercampur) sehingga suhu pada zona ini relatif homogen. Di bawah zona pencampuran dimana tidak ada peristiwa pengadukan maka suhunya menjadi turun dengan cepat mendekati suhu pada lapisan dalam. Penurunan suhu berbanding lurus dengan penambahan kedalaman dan salinitas. Pada daerah dimana terjadi penurunan suhu secara cepat inilah dinamakan lapisan termoklin. Di laut terbuka, lapisan ini berkarakter sebagai gradient kecepatan suara negatif

22 9 dimana dapat memantulkan gelombang suara. Secara teknik lapisan ini membendung dari impendansi akustik yang terputus-putus (diskontinu) yang tercipta dari perubahan densitas secara mendadak. Karateristik yang unik inilah yang membuat pentingnya lapisan termoklin untuk diketahui, terutama dibidang pertahanan dan keamanan (kapal selam). Pada wilayah tropis, rata-rata lapisan termoklin berada pada kedalaman m (Pickard dan Emery, 1990) Kedalaman dan Dasar Perairan Kedalaman mempengaruhi cepat rambat suara di dalam air laut. Bertambahnya kedalaman, maka kecepatan suara akan bertambah karena adanya tekanan hidrostatis yang semakin besar dengan bertambahnya kedalaman. Ratarata terjadi peningkatan kecepatan suara sebesar 0, 017 m/detik setiap kedalaman bertambah 1 meter. (Lurton, 2002). Permukaan laut merupakan pemantul dan penghambur suara yang mempunyai efek yang sangat besar dalam perambatan suara ketika sumber atau penerima berada di perairan dangkal. Jika permukaan halus sempurna, maka ia akan menjadi pemantul suara yang nyaris sempurna. Sebaliknya jika permukaan laut kasar kehilangan akibat pantulan mendekati nol (Kadarwati, 1999). Perairan Indonesia memiliki gambaran relief dasar laut yang unik, semua tipe relief dasar laut bisa diketemukan seperti paparan yang dangkal, depresi dalam dengan berbagai bentuk, berbagai bentuk elevasi berbentuk gunung bawah air, terumbu karang, dan sebagainya. Dasar laut memiliki karateristik yang dapat memantulkan dan menghamburkan suara serta dapat membentuk shadow zone. Dasar laut memiliki

23 10 lapisan yang berlapis-lapis dengan densitas dan kecepatan suara yang berubah secara bertahap atau acak terhadap kedalaman. Selain itu komposisi di dasar laut bervariatif mulai dari batuan yang keras sampai lumpur yang lunak ( Kadarwati, 1999) Shadow Zone Akustik Shadow Zone adalah suatu wilayah dimana gelombang suara tidak dapat merambat atau lemah sehingga hampir tidak dapat merambat dalam suatu medium. Menurut Urick (1983) di kolom perairan terjadi pembelokan gelombang suara (refraksi) yang terjadi karena perbedaan kedalaman, salinitas dan suhu ait laut. Pengaruh yang paling nyata terlihat jika terjadi kenaikan suhu air laut sebesar 1 C 0 akan menyebabkan meningkatnya kecepatan suara sebesar 1m/detik. Akibatnya jika suhu meningkat menurut kedalaman maka gelombang suara yang dipancarkan akan cenderung dibelokan ke arah permukaan air. Sumber: Gambar 1. Shadow Zone Akustik

24 11 Sebaliknya jika suhu menurun karena kedalaman maka gelombang suara akan cenderung dibelokan ke dasar perairan. Karena terjadi pembelokan gelombang suara ke permukaan dan ke dasar perairan, maka terdapat wilayah yang tidak terjadi perambatan gelombang suara yang disebut shadow zone. Jarak dari sumber suara ke shadow zone ditentukan oleh laju perubahan suhu terhadap kedalaman, kedalaman sumber suara, dan kedalaman penerima suara Arus Lintas Indonesia (ARLINDO) Wilayah perairan Indonesia dialiri oleh dua sistem arus, yaitu Arus Monsun Indonesia (ARMONDO) dan Arus Lintas Indonesia (ARLINDO). ARMONDO mengalir secara rata-rata dari Laut Cina Selatan masuk ke Laut Jawa lewat Laut Natuna dan Selat Karimata. Kemudian dari Laut Jawa, ARMONDO meneruskan alirannya ke laut-laut jeluk, yaitu Laut Flores dan Laut Banda. ARLINDO adalah aliran massa air yang berbentuk arus laut dari Samudera Pasifik menuju Samudera Hindia dan mengalir di bagian laut jeluk di kawasan timur kepulauan Indonesia. ARLINDO ini melewati hamparan pulau besar dan kecil di wilayah perairan Indonesia Timur yang memiliki struktur batimetri yang menunjukan adanya palung yang jeluk, basin laut, dan kepulauan karang, sehingga ARLINDO memiliki dinamika dan pergerakan massa air yang kompleks di kawasan tersebut (Pranowo et al, 2006 dalam Kharishma, 2009). ARLINDO merupakan bagian tak terpisahkan dari system termohaline circulation dunia dan berpengaruh besar pada dinamika yang terjadi baik di Samudera Pasifik maupun Samudera Hindia (Sprintall et all, 2003 dalam Abdul Rauf, 2007).

25 12 ARLINDO sendiri memasuki perairan Indonesia dari Samudera Pasifik melalui lapisan termoklin (Hautala, 1996 dalam Abdul Rauf, 2007). Berikut adalah gambaran sistematik mengenai ARLINDO di Indonesia (Gambar 1).. Sumber: Gambar 2. Peta Arlindo 2.5. Kondisi Umum dan Kondisi Geografis Selat Lombok Selat Lombok terletak diantara Pulau Bali dan Pulau Lombok, menghubungkan Laut Flores dengan Samudera Hindia. Selat Lombok memiliki panjang sekitar 60 km dengan lebar 30 km di sebelah utara dan 18 km di sebelah selatan. Kedalaman Selat Lombok bagian utara lebih dari 1000 m dan menjadi 250 m di daerah ambang dibagian selatan (Arief, 1997 dalam Kharishma, 2009). Menurut Arief (1997) dalam Kharishma (2009), Selat Lombok dibagi menjadi tiga zona berdasarkan profil rata-rata suhu dan salinitas, yaitu : a. Lapisan permukaan

26 13 Lapisan permukaan memiliki kisaran suhu musiman hingga 2,0 0 C. Ketebalannya bervariasi dengan waktu dan lokasi. Ketebalan lapisan isothermal permukaan mempunyai kisaran antara 2 m di bagian selatan Selat Lombok hingga 70 m di bagian utara. b. Lapisan termoklin Lapisan ini terletak di antara lapisan permukaan hingga kedalaman m dengan gradien suhu 0,02 0 C/m. Suhu air laut berkisar 28 0 C di bagian atas dan 7 0 C di bagian bawah. c. Lapisan di bawah lapisan termoklin Suhu air laut menurun secara lambat dengan bertambahnya kedalaman air pada lapisan ini. Pada kedalaman 500 m suhu air laut mencapai C. Terdapat 4 zona salinitas di Selat Lombok (Arief 1997 dalam Kharishma 2009), yaitu : a. Lapisan permukaan Lapisan permukaan merupakan lapisan yang berada di permukaan hingga kedalaman m dengan nilai salinitas yang relatif rendah di bawah 33,5 psu. Lapisan ini mempunyai variabilitas musiman yang tinggi karena terkait dengan asal sumber massa air. b. Lapisan salinitas maksimum Lapisan salinitas maksimum berada pada kedalaman m. Umumnya nilai salinitas di atas 34,6 psu. c. Lapisan salinitas minimum Lapisan ini berada pada kedalaman m dengan nilai salinitas kurang dari 34,52 psu.

27 14 d. Lapisan di lebih dalam dari 400 m Lapisan ini ditandai dengan salinitas yang bertambah secara perlahan hingga 34,54-34,58 psu pada kedalaman 500 m. Di selatan ambang Selat Lombok, di bagian Samudera Hindia ditemukan massa air dengan salinitas maksimum dengan nilai mencapai 34,8 psu pada kedalaman 550 m. Massa air ini menyebabkan terjadinya suhu maksimum relatif. Selat Lombok dihubungkan dengan Selat Makassar oleh alur berkedalaman m sepanjang timur Paparan Sunda. Kondisi topografi ini memungkinkan Selat Lombok berfungsi sebagai saluran langsung massa air Pasifik bagian barat ke Lautan Hindia (Arief, 1997 dalam Kharishma, 2009) INSTANT Ekspedisi INSTANT (International Nusantara Stratification and Transport) merupakan program kerjasama antara Indonesia, Amerika Serikat, Austaralia, Belanda, dan Perancis dengan tujuan untuk menguak ARLINDO (Arus Lintas Indonesia). Ekspedisi ini dilaksanakan pada tahun 2003 hingga 2005 dengan wilayah penelitian meliputi Selat Makassar, Selat Lifamatola, Selat Lombok, Selat Ombai, dan Selat Timor (Sprintall et al, 2004 dalam Kharishma, 2009) Model Persamaan Parabolik Metode Persamaan Parabolik merupakan merupakan metode yang efektif dalam mengatasi masalah ketergantungan jarak dalam akustik kelautan. Metode ini mulai diperkenalkan oleh Hardi dan Tappert pada tahun 1970-an yang

28 15 menemukan solusi numerik pada transformasi fourrier. Sejak saat itu metode ini menjadi populer dalam menyelesaikan masalah perambatan suara dalam akustik kelautan (Jensen et al, 1994). Secara matematis, model perambatan suara dengan menggunakan teori persamaan parabolik dapat diuraikan secara singkat sebagai berikut. Pertamatama, persamaan gelombang suara ditransformasikan dari domain waktu ke domain frekuensi. Dari Transformasi ini dihasilkan persamaan Helmholtz sebagai berikut: 1 p 1 p 2 2 r z k0 n p 0 r r r z z z...(3) dimana p rz, adalah tekanan akustik, z adalah densitas air laut, k0 adalah bilangan gelombang acuan, k0 / c0, n( r, z) adalah indeks refraksi ( n c0 / c), adalah frekuensi sudut, c adalah kecepatan suara dalam air dan r adalah jarak sumber ke penerima. Bentuk penyelesaian persamaan (4) adalah berupa fungsi Hankel: p(, rz) (, rzh ) ( kr)...(4) (1) 0 0 Dengan mensubsitusikan penyelesaian ini kedalam persamaan Helmholtz akan dihasilkan persamaan berikut : ik 2 0 k 2 0( n 1)...(5) r r z Bila didefinisikan suatu operator : P r dan Q n 2 1 k 2 z (6) Maka persamaan (6) di atas dapat ditulis lebih ringkas sebagai :

29 P 2 ik0p k0( Q 1) 0...(7) Selanjutnya, persamaan yang berbentuk parabolik ini dapat diurai menjadi dua komponen, yakni untuk gelombang yang menjauhi sumber (outgoing wave) dan yang mendekati sumber (incoming wave) P ik ik Q P ik ik Q ik P Q 0 0 ( 0 0 ) 0, 0...(8) Bila diasumsikan energi dari gelombang yang mendekati sumber sangat kecil dibanding dengan gelombang yang menjauhi sumber sehingga hanya gelombang yang menjauhi sumber saja yang dominan maka akan diperoleh bentuk persamaan berikut: P ik ( Q 1) 0...(9) Atau ik0 n r k0 z...(10) Kemudian, jika didefinisikan : 2 n 1, 1 k 2 z dan q....(11) Maka operator Q dapat dinyatakan sebagai Q 1 q. Dengan demikian, persamaan (12) dapat ditulis sebagai: ik 1 q r (12) Persamaan (13) inilah yang disebut persamaan parabolik (PP). Pada persamaan (13), perluasan suku dapat dilakukan antara lain, misalnya dengan memanfaatkan deret Pade.

30 17 a q 1 q 1 m jm, 2 m O q 1...(13) j 1 1 bjm, q Dimana m adalah jumlah suku yang digunakan dalam perluasan dan a jm, 2 j 2m 1 2m 1 b, cos 2 sin, j 2m 1...(14) 2 jm Hasil perluasan dengan deret Pade ini digunakan untuk menyelesaikan persamaan (13) di atas secara numerik. Penggunaan perluasan dengan deret Pade ini sering dipilih karena memungkinkan sudut perambatan yang lebih besar dan dapat menangani variasi kedalaman yang besar. Keuntungan yang paling mendasar dari penggunaan Persamaan Parabolik untuk menyelesaikan persamaan Hemholtz adalah karena Persamaan Parabolik merupakan persamaan gelombang satu arah yang dapat diselesaikan dengan teknik penyelesaian yang dapat terus bergerak maju dengan bertambahnya jarak (range-marching solution technique). Teknik penyelesaian tersebut membutuhkan sfesifikasi kondisi awal dan kondisi batas lingkungan laut.

31 3. BAHAN DAN METODE 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini mempergunakan data hasil rekaman mooring buoy yang di tempatkan di perairan Selat Lombok. Pengambilan data tersebut dilakukan bertempat di perairan Selat Lombok (Gambar 2) dengan koordinat LS dan BT dalam rangka program International Nusantara Stratification and Transport (INSTANT). Pengolahan serta analisis data di lakukan di Workshop Akustik dan Instrumentasi Kelautan, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan (ITK), Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan ( FPIK), Institut Pertanian Bogor (IPB). P. Bali P. Lombok Gambar 3. Peta Lokasi Penelitian 18

32 Perangkat dan Peralatan Data ini diperoleh dengan mempergunakan instrumen pengukur suhu, salinitas, dan kedalaman yang di pasang oleh Tim INSTANT pada perairan Selat Lombok. Adapun peralatan dan bahan yang digunakan dalam pengambilan data adalah sebagai berikut: a. Conductivity Temperature Depth (CTD) CTD merupakan instrumen yang digunakan untuk mengambil data sifat fisik air laut berupa suhu, salinitas, dan densitas. CTD dapat ditambatkan di dalam laut jika digunakan untuk mengambil data dalam jangka waktu yang lama. CTD yang digunakan oleh Tim INSTANT adalah SBE-39 Microcat buatan Seabird electronic yang dapat mengambil data sampai kedalaman sekitar m b. Peralatan pendukung teknik tambatan CTD Komponen pendukungnya, antara lain kabel baja, pelampung (buoy), beacon/argos dan jangkar. Adapun alat yang dipergunakan untuk pengolahan data adalah sebagai berikut: 1. Perangkat Keras (Hardware) Personal Komputer (PC), Pencetak (printer), dan lain-lain. 2. Perangkat Lunak (Software) Software Matlab 2010a dengan Toolbox AcTUP V 2.2L

33 Pengambilan Data Metode pengambilan data yang dilakukan oleh Tim INSTANT menggunakan teknik tambatan tali. Pelaksanaan pengambilan data ini melalui beberapa tahapan, yaitu pemasangan rangkaian, pelepasan, dan pengambilan kembali rangkaian. Instrumen-instrumen pengukur parameter oseanografi, salah satunya CTD, di pasang dalam satu untaian tambatan pada posisi dan kedalaman yang ditentukan. Tahapan kegiatan dalam pemasangan tambatan adalah (Pranowo et al, 2006 dalam Kharishma 2009): 1. Persiapan kabel tambatan 2. Kalibrasi dan Inisialisasi peralatan 3. Persiapan penempatan peralatan tambatan di dek kapal bagian belakang dengan menempatkan semua peralatan pada posisinya masing-masing. 4. Ground track survey, untuk mengetahui profil batimetri di lokasi rencana peletakan tambatan sehingga diperoleh tempat yang sesuai untuk pemasangan. 5. Penurunan rangkaian tambatan dengan menurunkan satu persatu komponen tambatan ke laut pada posisi yang ditentukan 6. Pencatatan koordinat lokasi, waktu, nama alat, dan urutan dilakukan setiap kali komponen tambatan diturunkan ke laut. 7. Penurunan komponen terakhir, yaitu jangkar. 8. Pencocokan kembali posisi akhir tambatan yang telah terpasang dengan posisi awal saat jangkar dilepaskan dengan posisi awal saat jangkar dilepaskan dari kapal.

34 21 Tahapan kegiatan dalam pengambilan rangkaian komponen peralatan, yaitu: 1. Acoustic release, yaitu pelepasan rangkaian-rangkaian peralatan tambatan jangkar 2. Pemunculan buoy dari kolom perairan dimana beberapa komponen diletakan, salah satunya CTD. 3. Pengangkatan komponen ke atas dek kapal, pembersihan komponen, dan pencatatan informasi yang dibutuhkan. 4. Download Data, yaitu proses pemindahan data dari setiap komponen ke dalam komputer untuk pemrosesan lebih lanjut Simulasi Data Data suhu, salinitas, dan kedalaman yang diambil dari CTD dikoreksi secara manual kemudian disimpan dalam file berekstensi.txt. Data tersebut kemudian diubah menjadi data kecepatan suara sehingga dapat digunakan untuk simulasi komputer. Untuk mensimulasikan perambatan gelombang suara di dalam air, digunakan toolbox AcTUP V 2.2L yang dijalankan dari perangkat lunak Matlab 2010a. Penjelasan mengenai pengolahan data dapat dilihat di Gambar 3. Dalam mensimulasikan perambatan gelombang suara diperlukan data seperti data suhu, salinitas, dan tekanan yang selanjutnya akan di konversi menjadi data kecepatan suara. Sebelum dilakukan konversi, data harus dilakukan penapisan untuk menghilangkan nilai yang error. Setelah dilakukan penapisan data maka dilakukan perata-rataan data karena data yang digunakan selama 30 hari. Lalu dilakukan konversi data dimana dari data kedalaman yang di konversi ke dalam tekanan dengan menggunakan persamaan 2. Data kecepatan suara di

35 22 dapat dengan mengkonversi data suhu, salinitas, dan tekanan melalui persamaan 1. Selanjutnya data kecepatan suara ini digunakan dalam pembuatan profil environment (lingkungan) yang mendekati kondisi lingkungan laut yang sebenarnya. Data yang diperlukan pada tahap ini adalah data kecepatan suara, kedalaman, dan koefisien atenuasi yang telah di dapat dari persamaan 3. Hal terpenting pada tahap ini adalah dalam memasukan nilai kecepatan suara harus sesuai dengan kedalaman yang telah di tentukan. Parameter independent di definisikan sebagai parameter yang tidak dipengaruhi oleh lingkungan sehingga dapat di tentukan sendiri. Nilai yang diperlukan untuk parameter ini adalah nilai frekuensi, kedalaman sumber, kedalaman penerima, jarak minimum dan maksimum propagasi. Parameter dependent merupakan parameter yang dipengaruhi oleh lingkungan yang telah ada sebelumnya. Pada parameter ini diperlukan nilai seperti Maximum depth for TL grid output, Relative depth resolution, dll. Setelah semua parameter dependent, independent dan environment telah di definisikan, maka tahap selanjutnya adalah menjalankan simulasi dengan menggunakan kode propagasi RamGeo. RamGeo merupakan kode propagasi yang mensimulasikan perambatan gelombang suara dengan menggunakan metode persamaan parabolik. Setelah hasil simulasi selesai maka dapat ditampilkan dalam bentuk gambar grafik sehingga dapat dilakukan analisis hasil simulasi untuk dapat melakukan penarikan kesimpulan. Untuk keterangan yang lebih jelas dapat di lihat pada halaman lampiran.

36 23 Mulai Pengumpulan Data Penapisan Data Perata-rataan Data Konversi Data Memplotkan Hasil Simulasi Jalankan Simulasi Memasukan code independent dan code dependent Pembuatan Environment (lingkungan) Analisis Data Plot Hasil Simulasi Selesai Gambar 4. Diagram Alir Pengolahan Data

37 24 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Profil Vertikal Kecepatan Suara, Suhu, dan Salinitas Profil Vertikal Kecepatan Suara Sebaran vertikal kecepatan suara hasil pengukuran pada daerah permukaan relatif seragam, namun pada saat kedalaman mendekati kedalaman 100 m- 200 m kecepatan suara menurun secara tajam lalu berkurang mengikuti kedalaman perairan sampai di kedalaman 700 m. Pada kedalaman kurang dari 60 m kecepatan suara cenderung konstan, karena pada kedalaman ini merupakan lapisan tercampur dimana masih ada penetrasi dari sinar matahari dan terjadi percampuran massa air yang disebabkan adanya pengadukan oleh angin sehingga suhu cenderung seragam akibatnya kecepatan suara yang di dapat akan relatif konstan. Di bawah lapisan tercampur, kecepatan suara mengalami penurunan yang relatif tajam pada kedalaman yang relatif singkat karena adanya lapisan termoklin dimana pada saat bersamaan terjadi peningkatan nilai salinitas. Di bawah kedalaman 700 m kecepatan suara akan bertambah seiring dengan bertambahnya kedalaman, dimana kedalaman (tekanan) merupakan faktor yang menentukan di daerah ini karena penurunan suhu dan peningkatan salinitas berjalan dengan sangat berlahan. Berdasarkan persamaan 1, suhu, salinitas, dan kedalaman mempengaruhi kecepatan suara dalam kolom air, sedangkan energi rambat suara diantaranya dipengaruhi oleh refraksi dan sifat-sifat kimia air laut yang mengakibatkan adanya perubahan energi menjadi kalor. Menurut Waite (2002), kecepatan suara di dalam suatu perairan dipengaruhi juga oleh lokasi, musim, 24

38 25 waktu, dan cuaca. Keempat faktor ini mempengaruhi karateristik suatu perairan yang dimana akan mempengaruhi kecepatan suara. Data yang digunakan merupakan data yang direkam pada bulan Juli 2005 dimana pada bulan Agustus merupakan Musim Timur dimana curah hujan relatif berkurang. Gambar 5. Grafik Hubungan Kecepatan Suara dan Kedalaman Secara Vertikal Profil Vertikal Salinitas Profil vertikal salinitas hingga kedalaman 960 m dapat terlihat pada Gambar 6. Nilai vertikal salinitas di permukaan relatif lebih kecil, kurang dari 34,3 psu, lalu bertambah secara tajam pada saat kedalaman mendekati 100 m. Nilai salinitas tertinggi berada pada kisaran kedalaman m dekat dengan lapisan termoklin dimana nilai salinitas mencapai 34,7 psu. Salinitas di perairan

39 26 Selat Lombok dipengaruhi oleh masukan massa air dari Samudera Pasifik yang terbawa oleh ARLINDO. Salinitas dipengaruhi oleh beberapa hal seperti musim, lintang, dan karateristik suatu perairan. Perekaman data dilakukan pada bulan Juli 2005 yang merupakan Musim Timur dimana wilayah Indonesia relatif mengalami Musim Kemarau akibat berkurangnya curah hujan karena adanya pengaruh dari angin Musim Timur. Gambar 6. Grafik Hubungan Salinitas dan Kedalaman Secara Vertikal Menurut Pickard dan Emery (1990), salinitas maksimun pada wilayah perairan tropis terjadi pada kedalaman m dekat dengan lapisan termoklin.

40 27 Setelah melewati kedalaman 300 m, kadar salinitas menurun seiring dengan bertambahnya kedalaman Profil Vertikal Suhu Profil vertikal suhu hingga kedalaman 960 m dapat terlihat pada Gambar 7. Berdasarkan hasil yang di dapat, suhu cenderung mengalami penurunan seiring dengan bertambahnya kedalaman. Hal ini di sebabkan penetrasi sinar matahari di laut dapat mencapai kedalaman 150 m. Suhu maksimum berada di sekitar permukaan laut (lapisan tercampur) yakni berada pada kisaran 29 0 C dimana pada daerah permukaan masih terjadi penetrasi matahari dan dipengaruhi oleh adanya pengadukan massa air oleh angin yang menyebabkan terjadinya pergerakan massa air secara vertikal pada kedalaman yang relatif dangkal, sehingga suhu relatif masih sama nilainya hingga kedalaman 60 m-70 m. Pada kedalaman mendekati 100 m sampai 200 m, suhu mengalami penurunan yang cukup tajam pada kedalaman yang cukup sempit dan dapat di duga pada kedalaman ini merupakan lapisan termoklin. Setelah kedalaman 200 m, suhu mengalami penurunan yang relatif konstan seiring dengan bertambahnya kedalaman. Perekaman data dilakukan pada Musim Timur dimana sinar matahari lebih banyak sehingga suhu di perairan lebih hangat karena banyaknya intensitas sinar matahari.

41 28 Gambar 7. Grafik Hubungan Suhu dan Kedalaman Secara Vertikal Kecepatan suara akan meningkat seiring bertambahnya suhu dan kedalaman (tekanan). Saat air laut di permukaan yang bersuhu relatif lebih hangat dari pada lapisan air di bawahnya, akan muncul dua kecenderungan yang bertolak belakang yakni kecepatan suara relatif akan berkurang saat suhu menurun dan kecepatan suara akan relatif bertambah seiring dengan bertambahnya kedalaman/tekanan (Waite, 2005) Simulasi Nilai Kehilangan Transmisi terhadap Kedalaman dan Jarak Simulasi perambatan gelombang suara dengan memberi batasan lingkungan berupa jarak yang sama yakni m, kedalaman perairan 650 m, dan beberapa parameter lingkungan yang sama dengan perbedaan posisi sumber

42 29 suara dan penerima yang berada di kedalaman 25 m, 110 m, dan 300 m untuk sumber suara dan untuk penerima berada pada kedalaman 30 m, 115 m, dan 310 m. Pemilihan kedalaman ini berdasarkan 3 kedalaman yang biasa digunakan kapal selam dalam beraktifitas di laut. Ketiga kedalaman tersebut secara berturutturut mewakili kedalaman kapal selam saat berada pada kedalaman periskop (periscope depth), kedalaman jelajah rata-rata kapal selam (cruise depth) dan kedalaman maksimum rata-rata kapal selam (maximum depth). Frekuensi yang digunakan memiliki nilai yang sama yakni 100, 1.000, , dan Hz. Pemilihan frekuensi ini untuk mengetahui pola perambatan gelombang suara dengan berbagai macam variasi frekuensi yang berbeda Kedalaman Sumber Suara 25 m dan Kedalaman penerima 30 m Simulasi letak sumber suara pada kedalaman 25 m dari permukaan laut dan penerima diletakan pada kedalaman 30 m dari permukaan laut. Hal ini agar dapat diketahui pola perambatan gelombang suara saat posisi sumber dan penerima berada pada kedalaman yang relatif dangkal. Kedalaman ini adalah kedalaman yang biasanya digunakan oleh kapal selam untuk menggunakan periskopnya ( periscope depth ) untuk melakukan pengintaian di permukaan laut atau untuk menembakan torpedo terhadap kapal yang ada di permukaan. Kedalaman ini merupakan kedalaman yang berbahaya pada kapal selam karena kapal selam mudah sekali untuk dilacak oleh kapal musuh sehingga kapal perang musuh dapat melepaskan depth bomb (bom laut) untuk menghancurkan kapal selam. Bagi kapal selam yang terkena bom jenis ini dapat berakibat fatal karena

43 30 meskipun jarak ledakan dan kapal selam mencapai 100 m, efek dekstrutif yang dihasilkan cukup besar. Gambar 8 merupakan hasil simulasi komputer dengan kedalaman sumber 25 m, kedalaman penerima 35 m, jarak m, kedalaman 360 m dan frekuensi 100, 1.000, , dan Hz. Hasil yang diperoleh secara umum dari 4 frekuensi yang berbeda di dapat nilai kehilangan transmisi (Transmision Loss / TL) mengalami peningkatan seiring bertambahnya jarak (menjauhi sumber suara). Berdasarkan hasil simulasi, pada frekuensi 100 Hz gelombang suara membentuk pola perambatan yang fluktuatif dimana setelah dipancarkan gelombang suara memancar turun lalu dipantulkan kembali ke permukaan dan seterusnya. Gelombang suara pada frekuensi ini mengalami nilai kehilangan transmisi yang cukup besar jika dibandingkan dengan frekuensi yang lain. Pada frekuensi ini, jarak tempuh gelombang suara dalam kolom air lebih pendek akibat adanya penyerapan oleh sedimen dan medium air laut. Pada jarak m, perambatan gelombang suara sudah mulai melemah, hal ini terlihat dari nilai Transmission Loss ( TL) yang semakin besar mendekati 60 db. Shadow Zone (lingkaran kuning) terbentuk pada jarak m, m, dan m dari sumber di kedalaman dekat dengan permukaan air laut dimana nilai TL sekitar 80 db dan pada jarak m m di kedalaman 350 m dengan nilai TL mendekati 80 db. Frekuensi Hz, gelombang suara mampu merambat ke jarak m, namun pada pola perambatannya cenderung berbeda jika di bandingkan pada frekuensi 100 Hz. Frekuensi ini, pola perambatan gelombang suara yang terbentuk menjadi dua bagian, dimana pola pertama gelombang suara merambat

44 31 secara fluktuatif di daerah dekat dengan permukaan air dan pola kedua gelombang suara merambat secara fluktuatif dimana setelah dipancarkan gelombang suara memancar turun lalu dipantulkan kembali ke permukaan dan seterusnya, meskipun terlihat gelombang suara juga dipantulkan dan dibiaskan pada kedalaman kurang dari 200 m dimana dekat dengan lapisan termoklin. Gelombang suara mampu merambat sampai jarak m dengan cukup jelas di pola perambatan pertama, karena gelombang suara berada pada wilayah buluh permukaan (surface duct), dimana pada wilayah buluh permukaan gelombang suara seolah-olah seperti terperangkap sehingga gelombang suara mampu merambat lebih jauh (terfokus). Shadow zone di frekuensi ini pada umumnya terbentuk pada jarak m m di kedalaman antara 100 m dan 200 m. Pada frekuensi Hz, pola perambatan suara yang di dapat hampir sama dengan pola perambatan gelombang suara pada frekuensi Hz. Frekuensi Hz pola perambatan gelombang suara mengalami penghamburan pada lapisan termoklin dan di bawah lapisan termoklin sehingga pola perambatannya menjadi tidak terfokus akibatnya pada jarak m nilai TL mendekati 70 db meskipun pada wilayah buluh permukaan gelombang suara masih mampu merambat hingga jarak m. Shadow zone pada frekuensi Hz terbentuk pada jarak sekitar m dari gelombang suara pada kedalaman lebih dari 250 m. Frekuensi Hz tidak jauh beda dengan pola perambatan pada frekuensi Hz, namun pada frekuensi ini terlihat pola rambat yang lebih fokus ketimbang frekuensi Hz. Pada buluh permukaan, gelombang suara mampu merambat hingga jarak m. Shadow zone terletak pada jarak

45 m dari sumber suara dengan kedalaman berkisar 200 m dari permukaan air dimana TL mendekati 80 db. Buluh permukaan merupakan lapisan isothermal yang secara akustik sebagai pemandu gelombang karena ada peningkatan kecepatan suara terhadap kedalaman. Akibatnya sebagian energi akustik yang dipancarkan oleh sumber yang berada pada lapisan tercampur akan terjebak dalam buluh permukaan. Umumnya buluh permukaan yang terletak dipermukaan dangkal (kurang dari 50 m) merupakan buluh yang paling umum ditemui, tetapi buluh ini baru efektif sebagai pemandu gelombang pada frekuensi tinggi dimana kehilangan akibat penghamburan menjadi penting. Sebaliknya buluh yang lebih dalam (lebih dari 100 m) merupakan pemandu gelombang yang efektif untuk frekuensi rendah (Jensen et al, 1994). Menurut Urick (1983), beberapa faktor yang mempengaruhi absorpsi gelombang suara di dalam suatu kolom perairan adalah jarak sumber suara kedalaman perairan, dan frekuensi sumber suara. Semakin jauh gelombang suara, semakin besar frekuensi yang digunakan merambat dari suatu sumber, maka semakin tinggi nilai atenuasi ( ) yang terjadi di dalam kolom perairan. Koefisien atenuasi ini akan mempengaruhi nilai TL yang dimana berdasarkan hasil simulasi nilai TL apabila jarak semakin jauh, maka nilai TL akan semakin besar. Gambar 9 pada frekuensi 100 Hz, nilai TL yang didapat cenderung fluktuatif sepanjang jarak m. Pada jarak kurang dari m, nilai TL mengalami kenaikan yang cukup besar hingga mendekati 70 db. Nilai TL terbesar berada pada jarak sekitar an m dari sumber suara ketika nilai TL mencapai 100 db, selain itu terdapat empat wilayah dimana nilai TL mendekati 90

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Gangguan Pada Audio Generator Terhadap Amplitudo Gelombang Audio Yang Dipancarkan Pengukuran amplitudo gelombang audio yang dipancarkan pada berbagai tingkat audio generator

Lebih terperinci

KERAGAMAN SUHU DAN KECEPATAN ARUS DI SELAT MAKASSAR PERIODE JULI 2005 JUNI 2006 (Mooring INSTANT)

KERAGAMAN SUHU DAN KECEPATAN ARUS DI SELAT MAKASSAR PERIODE JULI 2005 JUNI 2006 (Mooring INSTANT) KERAGAMAN SUHU DAN KECEPATAN ARUS DI SELAT MAKASSAR PERIODE JULI 2005 JUNI 2006 (Mooring INSTANT) Oleh: Ince Mochammad Arief Akbar C64102063 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

PERBEDAAN KETEBALAN INTEGRASI DASAR PERAIRAN DENGAN INSTRUMEN HIDROAKUSTIK SIMRAD EY-60 DI PERAIRAN KEPULAUAN PARI

PERBEDAAN KETEBALAN INTEGRASI DASAR PERAIRAN DENGAN INSTRUMEN HIDROAKUSTIK SIMRAD EY-60 DI PERAIRAN KEPULAUAN PARI PERBEDAAN KETEBALAN INTEGRASI DASAR PERAIRAN DENGAN INSTRUMEN HIDROAKUSTIK SIMRAD EY-60 DI PERAIRAN KEPULAUAN PARI SANTI OKTAVIA SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK MASSA AIR ARLINDO DI PINTASAN TIMOR PADA MUSIM BARAT DAN MUSIM TIMUR

KARAKTERISTIK MASSA AIR ARLINDO DI PINTASAN TIMOR PADA MUSIM BARAT DAN MUSIM TIMUR KARAKTERISTIK MASSA AIR ARLINDO DI PINTASAN TIMOR PADA MUSIM BARAT DAN MUSIM TIMUR Oleh : Agus Dwi Jayanti Diah Cahyaningrum C64104051 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

Gambar 1. Diagram TS

Gambar 1. Diagram TS BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Massa Air 4.1.1 Diagram TS Massa Air di Selat Lombok diketahui berasal dari Samudra Pasifik. Hal ini dibuktikan dengan diagram TS di 5 titik stasiun

Lebih terperinci

Horizontal. Kedalaman. Laut. Lintang. Permukaan. Suhu. Temperatur. Vertikal

Horizontal. Kedalaman. Laut. Lintang. Permukaan. Suhu. Temperatur. Vertikal Temperatur Air Laut Dalam oseanografi dikenal dua istilah untuk menentukan temperatur air laut yaitu temperatur insitu (selanjutnya disebut sebagai temperatur saja) dan temperatur potensial. Temperatur

Lebih terperinci

Suhu, Cahaya dan Warna Laut. Materi Kuliah 6 MK Oseanografi Umum (ITK221)

Suhu, Cahaya dan Warna Laut. Materi Kuliah 6 MK Oseanografi Umum (ITK221) Suhu, Cahaya dan Warna Laut Materi Kuliah 6 MK Oseanografi Umum (ITK221) Suhu Bersama dengan salinitas dan densitas, suhu merupakan sifat air laut yang penting dan mempengaruhi pergerakan masa air di laut

Lebih terperinci

2. KONDISI OSEANOGRAFI LAUT CINA SELATAN PERAIRAN INDONESIA

2. KONDISI OSEANOGRAFI LAUT CINA SELATAN PERAIRAN INDONESIA 2. KONDISI OSEANOGRAFI LAUT CINA SELATAN PERAIRAN INDONESIA Pendahuluan LCSI terbentang dari ekuator hingga ujung Peninsula di Indo-Cina. Berdasarkan batimetri, kedalaman maksimum perairannya 200 m dan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pelapisan Massa Air di Perairan Raja Ampat Pelapisan massa air dapat dilihat melalui sebaran vertikal dari suhu, salinitas dan densitas di laut. Gambar 4 merupakan sebaran menegak

Lebih terperinci

Praktikum M.K. Oseanografi Hari / Tanggal : Dosen : 1. Nilai SUHU DAN SALINITAS. Oleh. Nama : NIM :

Praktikum M.K. Oseanografi Hari / Tanggal : Dosen : 1. Nilai SUHU DAN SALINITAS. Oleh. Nama : NIM : Praktikum M.K. Oseanografi Hari / Tanggal : Dosen : 1. 2. 3. Nilai SUHU DAN SALINITAS Nama : NIM : Oleh JURUSAN PERIKANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA 2015 MODUL 3. SUHU DAN SALINITAS

Lebih terperinci

SIMULASI STABILITAS STATIS KAPAL PAYANG MADURA ARIYANTO

SIMULASI STABILITAS STATIS KAPAL PAYANG MADURA ARIYANTO SIMULASI STABILITAS STATIS KAPAL PAYANG MADURA ARIYANTO DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 SIMULASI STABILITAS STATIS KAPAL PAYANG

Lebih terperinci

hujan, penguapan, kelembaban udara, suhu udara, kecepatan angin dan intensitas

hujan, penguapan, kelembaban udara, suhu udara, kecepatan angin dan intensitas 2.3 suhu 2.3.1 Pengertian Suhu Suhu merupakan faktor yang sangat penting bagi kehidupan organisme di lautan. Suhu mempengaruhi aktivitas metabolisme maupun perkembangbiakan dari organisme-organisme tersebut.

Lebih terperinci

Bab 3. Pengumpulan dan Pengolahan Data. Bab 3 Pengumpulan dan Pengolahan Data. 3.1 Pengumpulan Data

Bab 3. Pengumpulan dan Pengolahan Data. Bab 3 Pengumpulan dan Pengolahan Data. 3.1 Pengumpulan Data Bab 3 Pengumpulan dan Pengolahan Data 3.1 Pengumpulan Data Pemodelan propagasi akustik bawah air di Samudera Hindia memerlukan data-data sebagai berikut: 1. Kecepatan suara. 2. Temperatur. 3. Salinitas.

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi Model Visualisasi Klimatologi Suhu Permukaan Laut (SPL) model SODA versi 2.1.6 diambil dari lapisan permukaan (Z=1) dengan kedalaman 0,5 meter (Lampiran 1). Begitu

Lebih terperinci

VARIABILITAS SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN BARAT SUMATERA DAN HUBUNGANNYA DENGAN ANGIN MUSON DAN IODM (INDIAN OCEAN DIPOLE MODE)

VARIABILITAS SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN BARAT SUMATERA DAN HUBUNGANNYA DENGAN ANGIN MUSON DAN IODM (INDIAN OCEAN DIPOLE MODE) VARIABILITAS SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN BARAT SUMATERA DAN HUBUNGANNYA DENGAN ANGIN MUSON DAN IODM (INDIAN OCEAN DIPOLE MODE) Oleh : HOLILUDIN C64104069 SKRIPSI PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN

Lebih terperinci

POLA DISTRIBUSI SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM

POLA DISTRIBUSI SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM POLA DISTRIBSI SH DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELK AMBON DALAM PENDAHLAN Suhu suatu badan air dipengaruhi oleh musim, lintang, ketinggian dari permukaan laut, waktu dalam hari, sirkulasi udara, penutupan

Lebih terperinci

Variabilitas Suhu dan Salinitas Perairan Selatan Jawa Timur Riska Candra Arisandi a, M. Ishak Jumarang a*, Apriansyah b

Variabilitas Suhu dan Salinitas Perairan Selatan Jawa Timur Riska Candra Arisandi a, M. Ishak Jumarang a*, Apriansyah b Variabilitas Suhu dan Salinitas Perairan Selatan Jawa Timur Riska Candra Arisandi a, M. Ishak Jumarang a*, Apriansyah b a Program Studi Fisika, Fakultas MIPA, Universitas Tanjungpura, b Program Studi Ilmu

Lebih terperinci

ANALISIS VARIASI MUKA LAUT DI PERAIRAN SABANG, SIBOLGA, PADANG, CILACAP DAN BENOA MENGGUNAKAN METODE WAVELET

ANALISIS VARIASI MUKA LAUT DI PERAIRAN SABANG, SIBOLGA, PADANG, CILACAP DAN BENOA MENGGUNAKAN METODE WAVELET ANALISIS VARIASI MUKA LAUT DI PERAIRAN SABANG, SIBOLGA, PADANG, CILACAP DAN BENOA MENGGUNAKAN METODE WAVELET Oleh : Imam Pamuji C64104019 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN

Lebih terperinci

STASIUN METEOROLOGI KLAS III NABIRE

STASIUN METEOROLOGI KLAS III NABIRE STASIUN METEOROLOGI KLAS III NABIRE KARAKTERISTIK RATA-RATA SUHU MAKSIMUM DAN SUHU MINIMUM STASIUN METEOROLOGI NABIRE TAHUN 2006 2015 OLEH : 1. EUSEBIO ANDRONIKOS SAMPE, S.Tr 2. RIFKI ADIGUNA SUTOWO, S.Tr

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Data arus diperoleh dari Mooring Aanderaa yang merupakan bagian dari Program Arlindo Indonesia-USA pada dua lokasi di Selat Makassar masingmasing pada posisi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Perubahan iklim global sekitar 3 4 juta tahun yang lalu telah mempengaruhi evolusi hominidis melalui pengeringan di Afrika dan mungkin pertanda zaman es pleistosin kira-kira

Lebih terperinci

DINAMIKA MASSA AIR DI PERAIRAN TROPIS PASIFIK BAGIAN BARAT DAN HUBUNGANNYA DENGAN PERUBAHAN MUSIM DAN EL NINO SOUTHERN OSCILLATION

DINAMIKA MASSA AIR DI PERAIRAN TROPIS PASIFIK BAGIAN BARAT DAN HUBUNGANNYA DENGAN PERUBAHAN MUSIM DAN EL NINO SOUTHERN OSCILLATION DINAMIKA MASSA AIR DI PERAIRAN TROPIS PASIFIK BAGIAN BARAT DAN HUBUNGANNYA DENGAN PERUBAHAN MUSIM DAN EL NINO SOUTHERN OSCILLATION Oleh : SEPTINA PAPILAYA K.L C64103024 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

RANCANG BANGUN ALAT PEMISAH GARAM DAN AIR TAWAR DENGAN MENGGUNAKAN ENERGI MATAHARI

RANCANG BANGUN ALAT PEMISAH GARAM DAN AIR TAWAR DENGAN MENGGUNAKAN ENERGI MATAHARI RANCANG BANGUN ALAT PEMISAH GARAM DAN AIR TAWAR DENGAN MENGGUNAKAN ENERGI MATAHARI RIZQI RIZALDI HIDAYAT SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kebutuhan akan data batimetri semakin meningkat seiring dengan kegunaan data tersebut untuk berbagai aplikasi, seperti perencanaan konstruksi lepas pantai, aplikasi

Lebih terperinci

BAB II SURVEI LOKASI UNTUK PELETAKAN ANJUNGAN EKSPLORASI MINYAK LEPAS PANTAI

BAB II SURVEI LOKASI UNTUK PELETAKAN ANJUNGAN EKSPLORASI MINYAK LEPAS PANTAI BAB II SURVEI LOKASI UNTUK PELETAKAN ANJUNGAN EKSPLORASI MINYAK LEPAS PANTAI Lokasi pada lepas pantai yang teridentifikasi memiliki potensi kandungan minyak bumi perlu dieksplorasi lebih lanjut supaya

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perairan Indonesia merupakan area yang mendapatkan pengaruh Angin Muson dari tenggara pada saat musim dingin di wilayah Australia, dan dari barat laut pada saat musim

Lebih terperinci

KONDISI OSEANOGRAFIS SELAT MAKASAR By: muhammad yusuf awaluddin

KONDISI OSEANOGRAFIS SELAT MAKASAR By: muhammad yusuf awaluddin KONDISI OSEANOGRAFIS SELAT MAKASAR By: muhammad yusuf awaluddin Umum Perairan Indonesia memiliki keadaan alam yang unik, yaitu topografinya yang beragam. Karena merupakan penghubung dua system samudera

Lebih terperinci

Sebaran Arus Permukaan Laut Pada Periode Terjadinya Fenomena Penjalaran Gelombang Kelvin Di Perairan Bengkulu

Sebaran Arus Permukaan Laut Pada Periode Terjadinya Fenomena Penjalaran Gelombang Kelvin Di Perairan Bengkulu Jurnal Gradien Vol. 11 No. 2 Juli 2015: 1128-1132 Sebaran Arus Permukaan Laut Pada Periode Terjadinya Fenomena Penjalaran Gelombang Kelvin Di Perairan Bengkulu Widya Novia Lestari, Lizalidiawati, Suwarsono,

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERUHAN PADA PERAIRAN TELUK AMBON DALAM

HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERUHAN PADA PERAIRAN TELUK AMBON DALAM HBNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERHAN PADA PERAIRAN TELK AMBON DALAM PENDAHLAN Perkembangan pembangunan yang semakin pesat mengakibatkan kondisi Teluk Ambon, khususnya Teluk Ambon Dalam (TAD)

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian 3.2 Kapal Survei dan Instrumen Penelitian

3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian 3.2 Kapal Survei dan Instrumen Penelitian 3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini merupakan bagian dari Ekspedisi Selat Makassar 2003 yang diperuntukkan bagi Program Census of Marine Life (CoML) yang dilaksanakan oleh

Lebih terperinci

PENGUKURAN KARAKTERISTIK AKUSTIK SUMBER DAYA PERIKANAN DI LAGUNA GUGUSAN PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU

PENGUKURAN KARAKTERISTIK AKUSTIK SUMBER DAYA PERIKANAN DI LAGUNA GUGUSAN PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU PENGUKURAN KARAKTERISTIK AKUSTIK SUMBER DAYA PERIKANAN DI LAGUNA GUGUSAN PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU Oleh: Arief Wijaksana C64102055 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Variabilitas Kesuburan Perairan dan Oseanografi Fisika 4.1.1. Sebaran Ruang (Spasial) Suhu Permukaan Laut (SPL) Sebaran Suhu Permukaan Laut (SPL) di perairan Selat Lombok dipengaruhi

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Pengambilan Contoh Dasar Gambar 16 merupakan hasil dari plot bottom sampling dari beberapa titik yang dilakukan secara acak untuk mengetahui dimana posisi target yang

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 73, 1996 WILAYAH. KEPULAUAN. PERAIRAN. Wawasan Nusantara (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik

Lebih terperinci

Bab 2. Dasar Teori Akustik Bawah Air. Bab 2 Dasar Teori Akustik Bawah Air. 2.1 Persamaan Dasar Akustik

Bab 2. Dasar Teori Akustik Bawah Air. Bab 2 Dasar Teori Akustik Bawah Air. 2.1 Persamaan Dasar Akustik Bab 2 Dasar Teori Akustik Bawah Air 2.1 Persamaan Dasar Akustik Teori dasar akustik menggunakan beberapa asumsi untuk memudahkan penurunan persamaan dasar akustik. Asumsi yang digunakan berupa: 1. Fluida

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Sedimen Dasar Perairan Berdasarkan pengamatan langsung terhadap sampling sedimen dasar perairan di tiap-tiap stasiun pengamatan tipe substrat dikelompokkan menjadi 2, yaitu:

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Batimetri Selat Sunda Peta batimetri adalah peta yang menggambarkan bentuk konfigurasi dasar laut dinyatakan dengan angka-angka suatu kedalaman dan garis-garis yang mewakili

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di laboratorium dan lapangan. Penelitian di

3. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di laboratorium dan lapangan. Penelitian di 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di laboratorium dan lapangan. Penelitian di laboratorium dilakukan pada 28-29 Februari 2012 yang bertempat di Workshop Akustik

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Pulau Panjang (310 ha), Pulau Rakata (1.400 ha) dan Pulau Anak Krakatau (320

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Pulau Panjang (310 ha), Pulau Rakata (1.400 ha) dan Pulau Anak Krakatau (320 28 IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Letak dan Luas Kepulauan Krakatau terletak di Selat Sunda, yaitu antara Pulau Jawa dan Pulau Sumatera. Luas daratannya sekitar 3.090 ha terdiri dari Pulau Sertung

Lebih terperinci

PENDUGAAN KONSENTRASI KLOROFIL-a DAN TRANSPARANSI PERAIRAN TELUK JAKARTA DENGAN CITRA SATELIT LANDSAT

PENDUGAAN KONSENTRASI KLOROFIL-a DAN TRANSPARANSI PERAIRAN TELUK JAKARTA DENGAN CITRA SATELIT LANDSAT PENDUGAAN KONSENTRASI KLOROFIL-a DAN TRANSPARANSI PERAIRAN TELUK JAKARTA DENGAN CITRA SATELIT LANDSAT DESSY NOVITASARI ROMAULI SIDABUTAR SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

HUBUNGAN TOPOGRAFI DASAR PERAIRAN DENGAN SEBARAN IKAN DI SELAT MALAKA

HUBUNGAN TOPOGRAFI DASAR PERAIRAN DENGAN SEBARAN IKAN DI SELAT MALAKA HUBUNGAN TOPOGRAFI DASAR PERAIRAN DENGAN SEBARAN IKAN DI SELAT MALAKA Oleh: Syahrul Purnawan C64101022 PROGRAM STUD1 ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Secara geografis wilayah Indonesia terletak di daerah tropis yang terbentang

BAB I PENDAHULUAN. Secara geografis wilayah Indonesia terletak di daerah tropis yang terbentang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara geografis wilayah Indonesia terletak di daerah tropis yang terbentang antara 95 o BT 141 o BT dan 6 o LU 11 o LS (Bakosurtanal, 2007) dengan luas wilayah yang

Lebih terperinci

PENGUKURAN TARGET STRENGTH IKAN MAS DAN IKAN LELE PADA KONDISI TERKONTROL MENGGUNAKAN QUANTIFIED FISH FINDER. Muhammad Hamim

PENGUKURAN TARGET STRENGTH IKAN MAS DAN IKAN LELE PADA KONDISI TERKONTROL MENGGUNAKAN QUANTIFIED FISH FINDER. Muhammad Hamim PENGUKURAN TARGET STRENGTH IKAN MAS DAN IKAN LELE PADA KONDISI TERKONTROL MENGGUNAKAN QUANTIFIED FISH FINDER Muhammad Hamim DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

DETEKSI SHADOW ZONE DENGAN METODE PARABOLIC EQUATION DALAM MENDUKUNG PATROLI TNI ANGKATAN LAUT DI SELAT MAKASSAR

DETEKSI SHADOW ZONE DENGAN METODE PARABOLIC EQUATION DALAM MENDUKUNG PATROLI TNI ANGKATAN LAUT DI SELAT MAKASSAR DETEKSI SHADOW ZONE DENGAN METODE PARABOLIC EQUATION DALAM MENDUKUNG PATROLI TNI ANGKATAN LAUT DI SELAT MAKASSAR SHADOW ZONE DETECTION WITH PARABOLIC EQUATION METHOD IN SUPPORTING INDONESIAN NAVY PATROL

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Sebaran Angin Di perairan barat Sumatera, khususnya pada daerah sekitar 2, o LS hampir sepanjang tahun kecepatan angin bulanan rata-rata terlihat lemah dan berada pada kisaran,76 4,1

Lebih terperinci

Suhu rata rata permukaan laut

Suhu rata rata permukaan laut Oseanografi Fisis 2 Sifat Fisis & Kimiawi Air Laut Suhu Laut Suhu rata rata permukaan laut Distribusi vertikal Suhu Mixed layer Deep layer Distribusi vertikal Suhu Mixed Layer di Equator lebih tipis dibandingkan

Lebih terperinci

Lampiran 1. Data komponen pasut dari DISHIDROS

Lampiran 1. Data komponen pasut dari DISHIDROS L A M P I R A N 46 Lampiran 1. Data komponen pasut dari DISHIDROS KOLAKA Posisi 4 3'6.65" 121 34'54.5" waktu GMT + 08.00 Gerakan pasut diramalkan terhadap suatu Muka Surutan yang letaknya 9 dm di bawah

Lebih terperinci

Laporan Perjalanan Dinas Chief BRKP-DKP Bagus Hendrajana, Chief FIO Mr Jianjun Liu

Laporan Perjalanan Dinas Chief BRKP-DKP Bagus Hendrajana, Chief FIO Mr Jianjun Liu Laporan Perjalanan Dinas Chief BRKP-DKP Bagus Hendrajana, Chief FIO Mr Jianjun Liu I. PENDAHULUAN Hujan di Indonesia sangat dipengaruhi oleh berbagai fenomena iklim yang berkaitan dengan daerah tropis.

Lebih terperinci

PAPARAN MEDAN LISTRIK 10 VOLT SELAMA 0, 2, 4, DAN 6 MENIT TERHADAP TINGKAT KELANGSUNGAN HIDUP DAN PERTUMBUHAN IKAN GURAME

PAPARAN MEDAN LISTRIK 10 VOLT SELAMA 0, 2, 4, DAN 6 MENIT TERHADAP TINGKAT KELANGSUNGAN HIDUP DAN PERTUMBUHAN IKAN GURAME PAPARAN MEDAN LISTRIK 10 VOLT SELAMA 0, 2, 4, DAN 6 MENIT TERHADAP TINGKAT KELANGSUNGAN HIDUP DAN PERTUMBUHAN IKAN GURAME (Osphronemous gouramy Lac.) PADA MEDIA PEMELIHARAAN BERSALINITAS 3 ppt ADHI KURNIAWAN

Lebih terperinci

SEBARAN MENEGAK KONSENTRASI Pb, Cu, Zn, Cd, DAN Ni DI SEDIMEN PULAU PARI BAGIAN UTARA KEPULAUAN SERIBU. Oleh : ACHMAD AULIA RACHMAN C

SEBARAN MENEGAK KONSENTRASI Pb, Cu, Zn, Cd, DAN Ni DI SEDIMEN PULAU PARI BAGIAN UTARA KEPULAUAN SERIBU. Oleh : ACHMAD AULIA RACHMAN C SEBARAN MENEGAK KONSENTRASI Pb, Cu, Zn, Cd, DAN Ni DI SEDIMEN PULAU PARI BAGIAN UTARA KEPULAUAN SERIBU Oleh : ACHMAD AULIA RACHMAN C64102057 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

STUDI PERUBAHAN LUASAN TERUMBU KARANG DENGAN MENGGUNAKAN DATA PENGINDERAAN JAUH DI PERAIRAN BAGIAN BARAT DAYA PULAU MOYO, SUMBAWA

STUDI PERUBAHAN LUASAN TERUMBU KARANG DENGAN MENGGUNAKAN DATA PENGINDERAAN JAUH DI PERAIRAN BAGIAN BARAT DAYA PULAU MOYO, SUMBAWA STUDI PERUBAHAN LUASAN TERUMBU KARANG DENGAN MENGGUNAKAN DATA PENGINDERAAN JAUH DI PERAIRAN BAGIAN BARAT DAYA PULAU MOYO, SUMBAWA Oleh Riza Aitiando Pasaribu C64103058 PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Arus Eddy Penelitian mengenai arus eddy pertama kali dilakukan pada sekitar tahun 1930 oleh Iselin dengan mengidentifikasi eddy Gulf Stream dari data hidrografi, serta penelitian

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 23 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut (SPL) Hasil olahan citra Modis Level 1 yang merupakan data harian dengan tingkat resolusi spasial yang lebih baik yaitu 1 km dapat menggambarkan

Lebih terperinci

PEMANASAN BUMI BAB. Suhu dan Perpindahan Panas. Skala Suhu

PEMANASAN BUMI BAB. Suhu dan Perpindahan Panas. Skala Suhu BAB 2 PEMANASAN BUMI S alah satu kemampuan bahasa pemrograman adalah untuk melakukan kontrol struktur perulangan. Hal ini disebabkan di dalam komputasi numerik, proses perulangan sering digunakan terutama

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Salinitas pada Indomix Cruise

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Salinitas pada Indomix Cruise 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Salinitas pada Indomix Cruise Peta sebaran SPL dan salinitas berdasarkan cruise track Indomix selengkapnya disajikan pada Gambar 6. 3A 2A

Lebih terperinci

KINERJA OTT PS 1 SEBAGAI ALAT PENGUKUR PASANG SURUT AIR LAUT DI MUARA BINUANGEUN, PROVINSI BANTEN. Oleh: Try Al Tanto C

KINERJA OTT PS 1 SEBAGAI ALAT PENGUKUR PASANG SURUT AIR LAUT DI MUARA BINUANGEUN, PROVINSI BANTEN. Oleh: Try Al Tanto C KINERJA OTT PS 1 SEBAGAI ALAT PENGUKUR PASANG SURUT AIR LAUT DI MUARA BINUANGEUN, PROVINSI BANTEN Oleh: Try Al Tanto C64104006 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2002 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2002 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2002 TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN KAPAL ASING DALAM MELAKSANAKAN LINTAS DAMAI MELALUI PERAIRAN INDONESIA Menimbang : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a.

Lebih terperinci

PERAMBATAN GELOMBANG ROSSBY DI PERAIRAN SAMUDERA HINDIA MENGGUNAKAN METODE WAVELET

PERAMBATAN GELOMBANG ROSSBY DI PERAIRAN SAMUDERA HINDIA MENGGUNAKAN METODE WAVELET PERAMBATAN GELOMBANG ROSSBY DI PERAIRAN SAMUDERA HINDIA MENGGUNAKAN METODE WAVELET RIESNI FITRIANI SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

STUDI IDENTIFIKASI POLA UTAMA DATA RADIOSONDE MELALUI ANALISIS KOMPONEN UTAMA DAN ANALISIS SPEKTRUM (STUDI KASUS BANDUNG) SATRIYANI

STUDI IDENTIFIKASI POLA UTAMA DATA RADIOSONDE MELALUI ANALISIS KOMPONEN UTAMA DAN ANALISIS SPEKTRUM (STUDI KASUS BANDUNG) SATRIYANI STUDI IDENTIFIKASI POLA UTAMA DATA RADIOSONDE MELALUI ANALISIS KOMPONEN UTAMA DAN ANALISIS SPEKTRUM (STUDI KASUS BANDUNG) SATRIYANI DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

Lebih terperinci

STABILITAS STATIS KAPAL PAYANG DI PALABUHANRATU PADA SAAT MEMBAWA HASIL TANGKAPAN MAKSIMUM NENI MARTIYANI SKRIPSI

STABILITAS STATIS KAPAL PAYANG DI PALABUHANRATU PADA SAAT MEMBAWA HASIL TANGKAPAN MAKSIMUM NENI MARTIYANI SKRIPSI STABILITAS STATIS KAPAL PAYANG DI PALABUHANRATU PADA SAAT MEMBAWA HASIL TANGKAPAN MAKSIMUM NENI MARTIYANI SKRIPSI DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

ABSTRAK Desty Maryam. Pengaruh kecepatan arus terhadap komponen desain jaring millenium (percobaan dengan prototipe dalam flume tank

ABSTRAK Desty Maryam. Pengaruh kecepatan arus terhadap komponen desain jaring millenium (percobaan dengan prototipe dalam flume tank PENGARUH KECEPATAN ARUS TERHADAP KOMPONEN DESAIN JARING MILLENIUM (Percobaan dengan Prototipe dalam Flume Tank) Desty Maryam SKRIPSI DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

STRUKTUR BUMI. Bumi, Tata Surya dan Angkasa Luar

STRUKTUR BUMI. Bumi, Tata Surya dan Angkasa Luar STRUKTUR BUMI 1. Skalu 1978 Jika bumi tidak mempunyai atmosfir, maka warna langit adalah A. hitam C. kuning E. putih B. biru D. merah Jawab : A Warna biru langit terjadi karena sinar matahari yang menuju

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Perbandingan Hasil Model dengan DISHIDROS Komponen gelombang pasang surut M2 dan K1 yang dipilih untuk dianalisis lebih lanjut, disebabkan kedua komponen ini yang paling dominan

Lebih terperinci

Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) I, II, III

Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) I, II, III Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) I, II, III Gambar Batas-batas ALKI Lahirnya Konvensi ke-3 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengenai hukum laut (United Nation Convention on the Law of the Sea/UNCLOS),

Lebih terperinci

LEMBAR KERJA SISWA (LKS) /TUGAS TERSTRUKTUR - - GELOMBANG - GELOMBANG

LEMBAR KERJA SISWA (LKS) /TUGAS TERSTRUKTUR - - GELOMBANG - GELOMBANG LEMBAR KERJA SISWA (LKS) /TUGAS TERSTRUKTUR Diberikan Tanggal :. Dikumpulkan Tanggal : Nama : Kelas/No : / Gelombang - - GELOMBANG - GELOMBANG ------------------------------- 1 Gelombang Gelombang Berjalan

Lebih terperinci

SOUND PROPAGATION (Perambatan Suara)

SOUND PROPAGATION (Perambatan Suara) SOUND PROPAGATION (Perambatan Suara) SOUND PROPAGATION (Perambatan Suara) Reflection and Refraction Ketika gelombang suara merambat dalam medium, terjadi sebuah pertemuan antara kedua medium dengan kepadatan

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2002 TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN KAPAL ASING DALAM MELAKSANAKAN LINTAS DAMAI MELALUI PERAIRAN INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Arus Tiap Lapisan Kedalaman di Selat Makassar Fluktuasi Arus dalam Ranah Waktu di Lokasi Mooring Stasiun 1

HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Arus Tiap Lapisan Kedalaman di Selat Makassar Fluktuasi Arus dalam Ranah Waktu di Lokasi Mooring Stasiun 1 HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Arus Tiap Lapisan Kedalaman di Selat Makassar Fluktuasi Arus dalam Ranah Waktu di Lokasi Mooring Stasiun 1 Pada bulan Desember 1996 Februari 1997 yang merupakan puncak musim barat

Lebih terperinci

PERTEMUAN IV SURVEI HIDROGRAFI. Survei dan Pemetaan Universitas IGM Palembang

PERTEMUAN IV SURVEI HIDROGRAFI. Survei dan Pemetaan Universitas IGM Palembang PERTEMUAN IV SURVEI HIDROGRAFI Survei dan Pemetaan Universitas IGM Palembang Konfigurasi Survei Hidrografi 1. Penentuan posisi (1) dan penggunaan sistem referensi (7) 2. Pengukuran kedalaman (pemeruman)

Lebih terperinci

Studi Variabilitas Lapisan Atas Perairan Samudera Hindia Berbasis Model Laut

Studi Variabilitas Lapisan Atas Perairan Samudera Hindia Berbasis Model Laut Studi Variabilitas Lapisan Atas Perairan Samudera Hindia Berbasis Model Laut Oleh : Martono, Halimurrahman, Rudy Komarudin, Syarief, Slamet Priyanto dan Dita Nugraha Interaksi laut-atmosfer mempunyai peranan

Lebih terperinci

SIFAT FISIK OSEANOGRAFI PERAIRAN KEPULAUAN TAMBELAN DAN SEKITARNYA, PROPINSI KEPULAUAN RIAU

SIFAT FISIK OSEANOGRAFI PERAIRAN KEPULAUAN TAMBELAN DAN SEKITARNYA, PROPINSI KEPULAUAN RIAU Jurnal PERIKANAN dan KELAUTAN 15,2 (21) : 173-184 SIFAT FISIK OSEANOGRAFI PERAIRAN KEPULAUAN TAMBELAN DAN SEKITARNYA, PROPINSI KEPULAUAN RIAU Syaifuddin 1) 1) Dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Lebih terperinci

PEMANASAN GLOBAL Dampak terhadap Kehidupan Manusia dan Usaha Penanggulangannya

PEMANASAN GLOBAL Dampak terhadap Kehidupan Manusia dan Usaha Penanggulangannya PEMANASAN GLOBAL Dampak terhadap Kehidupan Manusia dan Usaha Penanggulangannya Oleh : Prof. Dr., Ir. Moch. Sodiq Edisi Pertama Cetakan Pertama, 2013 Hak Cipta 2013 pada penulis, Hak Cipta dilindungi undang-undang.

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian di Samudera Hindia bagian Timur

BAB III METODOLOGI. Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian di Samudera Hindia bagian Timur BAB III METODOLOGI 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ini mengambil lokasi di perairan Samudera Hindia bagian timur dengan koordinat 5 o LS 20 o LS dan 100 o BT 120 o BT (Gambar 8). Proses pengolahan dan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Data Lapangan Berdasarkan pengamatan langsung di lapangan dengan melakukan penyelaman di lokasi transek lamun, diperoleh data yang diuraikan pada Tabel 4. Lokasi penelitian berada

Lebih terperinci

APLIKASI DATA INDERAAN MULTI SPEKTRAL UNTUK ESTIMASI KONDISI PERAIRAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN HASIL TANGKAPAN IKAN PELAGIS DI SELATAN JAWA BARAT

APLIKASI DATA INDERAAN MULTI SPEKTRAL UNTUK ESTIMASI KONDISI PERAIRAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN HASIL TANGKAPAN IKAN PELAGIS DI SELATAN JAWA BARAT APLIKASI DATA INDERAAN MULTI SPEKTRAL UNTUK ESTIMASI KONDISI PERAIRAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN HASIL TANGKAPAN IKAN PELAGIS DI SELATAN JAWA BARAT Oleh: Nurlaila Fitriah C64103051 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU

ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU INDAH HERAWANTY PURWITA DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Perairan Laut Arafura di lokasi penelitian termasuk ke dalam kategori

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Perairan Laut Arafura di lokasi penelitian termasuk ke dalam kategori 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Profil Peta Batimetri Laut Arafura Perairan Laut Arafura di lokasi penelitian termasuk ke dalam kategori perairan dangkal dimana kedalaman mencapai 100 meter. Berdasarkan data

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Suhu menyatakan banyaknya bahang (heat) yang terkandung dalam suatu

2. TINJAUAN PUSTAKA. Suhu menyatakan banyaknya bahang (heat) yang terkandung dalam suatu 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Suhu Permukaan Laut (SPL) Suhu menyatakan banyaknya bahang (heat) yang terkandung dalam suatu benda. Secara alamiah sumber utama bahang dalam air laut adalah matahari. Daerah yang

Lebih terperinci

POTENSI GEOGRAFIS INDONESIA II

POTENSI GEOGRAFIS INDONESIA II K-13 Geografi K e l a s XI POTENSI GEOGRAFIS INDONESIA II Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini kamu diharapkan memiliki kemampuan berikut. 1. Memahami batas wilayah. 2. Memahami laut dangkal,

Lebih terperinci

ANALISIS SOSIAL EKONOMI USAHA WARUNG TENDA PECEL LELE DI KOTA PALEMBANG, PROVINSI SUMATERA SELATAN

ANALISIS SOSIAL EKONOMI USAHA WARUNG TENDA PECEL LELE DI KOTA PALEMBANG, PROVINSI SUMATERA SELATAN ANALISIS SOSIAL EKONOMI USAHA WARUNG TENDA PECEL LELE DI KOTA PALEMBANG, PROVINSI SUMATERA SELATAN SRI DIAH NOVITA SKRIPSI PROGRAM STUDI MANAJEMEN BISNIS DAN EKONOMI PERIKANAN-KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Studi Daerah yang menjadi objek dalam penulisan Tugas Akhir ini adalah pesisir Kecamatan Muara Gembong yang terletak di kawasan pantai utara Jawa Barat. Posisi geografisnya

Lebih terperinci

Gambar 3.1. Rencana jalur survei tahap I [Tim Navigasi Survei LKI, 2009]

Gambar 3.1. Rencana jalur survei tahap I [Tim Navigasi Survei LKI, 2009] BAB III REALISASI DAN HASIL SURVEI 3.1 Rencana dan Pelaksanaan Survei Survei dilakukan selama dua tahap, yaitu tahap I adalah survei batimetri untuk menentukan Foot Of Slope (FOS) dengan menggunakan kapal

Lebih terperinci

Oleh Satria Yudha Asmara Perdana Pembimbing Eko Minarto, M.Si Drs. Helfinalis M.Sc

Oleh Satria Yudha Asmara Perdana Pembimbing Eko Minarto, M.Si Drs. Helfinalis M.Sc Oleh Satria Yudha Asmara Perdana 1105 100 047 Pembimbing Eko Minarto, M.Si Drs. Helfinalis M.Sc PENDAHULUAN Latar Belakang Pulau Bawean memiliki atraksi pariwisata pantai yang cukup menawan, dan sumber

Lebih terperinci

Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN KAPAL ASING DALAM MELAKSANAKAN LINTAS DAMAI MELALUI PERAIRAN INDONESIA.

Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN KAPAL ASING DALAM MELAKSANAKAN LINTAS DAMAI MELALUI PERAIRAN INDONESIA. PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 36 TAHUN 2002 (36/2002) TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN KAPAL ASING DALAM MELAKSANAKAN LINTAS DAMAI MELALUI PERAIRAN INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS VEGETASI MANGROVE GUGUS PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU MENGGUNAKAN CITRA FORMOSAT 2 DAN LANDSAT 7/ETM+

DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS VEGETASI MANGROVE GUGUS PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU MENGGUNAKAN CITRA FORMOSAT 2 DAN LANDSAT 7/ETM+ DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS VEGETASI MANGROVE GUGUS PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU MENGGUNAKAN CITRA FORMOSAT 2 DAN LANDSAT 7/ETM+ Oleh : Ganjar Saefurahman C64103081 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

Praktikum M.K. Oseanografi Hari / Tanggal : Dosen : 1. Nilai BATIMETRI. Oleh. Nama : NIM :

Praktikum M.K. Oseanografi Hari / Tanggal : Dosen : 1. Nilai BATIMETRI. Oleh. Nama : NIM : Praktikum M.K. Oseanografi Hari / Tanggal : Dosen : 1. 2. 3. Nilai BATIMETRI Nama : NIM : Oleh JURUSAN PERIKANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA 2015 Modul 2. Batimetri TUJUAN PRAKTIKUM

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Pelapisan massa air merupakan sebuah kondisi yang menggambarkan

2. TINJAUAN PUSTAKA. Pelapisan massa air merupakan sebuah kondisi yang menggambarkan 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kestabilan Massa Air Pelapisan massa air merupakan sebuah kondisi yang menggambarkan bahwa dalam kolom air massa air terbagi secara vertikal kedalam beberapa lapisan. Pelapisan

Lebih terperinci

Gambar 1. Pola sirkulasi arus global. (www.namce8081.wordpress.com)

Gambar 1. Pola sirkulasi arus global. (www.namce8081.wordpress.com) Arus Geostropik Peristiwa air yang mulai bergerak akibat gradien tekanan, maka pada saat itu pula gaya coriolis mulai bekerja. Pada saat pembelokan mencapai 90 derajat, maka arah gerak partikel akan sejajar

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. utara. Kawasan pesisir sepanjang perairan Pemaron merupakan kawasan pantai

2. TINJAUAN PUSTAKA. utara. Kawasan pesisir sepanjang perairan Pemaron merupakan kawasan pantai 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Perairan Pantai Pemaron merupakan salah satu daerah yang terletak di pesisir Bali utara. Kawasan pesisir sepanjang perairan Pemaron merupakan kawasan pantai wisata

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN 17 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari sampai Juni 211, sedangkan survei data dilakukan oleh pihak Balai Riset Perikanan Laut (BRPL) Departemen

Lebih terperinci

PERANCANGAN SISTEM INFORMASI PRODUKSI CARRAGEENAN POWDER PADA PT PHONIX MAS PERSADA, KOTA MATARAM, PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT ABDUL FALAH

PERANCANGAN SISTEM INFORMASI PRODUKSI CARRAGEENAN POWDER PADA PT PHONIX MAS PERSADA, KOTA MATARAM, PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT ABDUL FALAH PERANCANGAN SISTEM INFORMASI PRODUKSI CARRAGEENAN POWDER PADA PT PHONIX MAS PERSADA, KOTA MATARAM, PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT ABDUL FALAH PROGRAM STUDI MANAJEMEM BISNIS DAN EKONOMI PERIKANAN-KELAUTAN

Lebih terperinci

Scientific Echosounders

Scientific Echosounders Scientific Echosounders Namun secara secara elektronik didesain dengan amplitudo pancaran gelombang yang stabil, perhitungan waktu yang lebih akuran dan berbagai menu dan software tambahan. Contoh scientific

Lebih terperinci

KERENTANAN TERUMBU KARANG AKIBAT AKTIVITAS MANUSIA MENGGUNAKAN CELL - BASED MODELLING DI PULAU KARIMUNJAWA DAN PULAU KEMUJAN, JEPARA, JAWA TENGAH

KERENTANAN TERUMBU KARANG AKIBAT AKTIVITAS MANUSIA MENGGUNAKAN CELL - BASED MODELLING DI PULAU KARIMUNJAWA DAN PULAU KEMUJAN, JEPARA, JAWA TENGAH KERENTANAN TERUMBU KARANG AKIBAT AKTIVITAS MANUSIA MENGGUNAKAN CELL - BASED MODELLING DI PULAU KARIMUNJAWA DAN PULAU KEMUJAN, JEPARA, JAWA TENGAH oleh : WAHYUDIONO C 64102010 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

Setelah mengikuti praktikum mata kuliah ini mahasiswa akan mampu memahami komponenkomponen

Setelah mengikuti praktikum mata kuliah ini mahasiswa akan mampu memahami komponenkomponen 2. Konsep-Konsep Dasar Tujuan: Setelah mengikuti praktikum mata kuliah ini mahasiswa akan mampu memahami komponenkomponen gelombang suara. Deskripsi: Praktikum ini akan meliputi beberapa kegiatan seperti:

Lebih terperinci

BAB 2 DASAR TEORI AKUSTIK BAWAH AIR

BAB 2 DASAR TEORI AKUSTIK BAWAH AIR BAB 2 DASAR TEORI AKUSTIK BAWAH AIR 2.1 Persamaan Akustik Bawah Air Persamaan akustik bawah air diturunkan dari persamaan state, persamaan kekekalan massa (persamaan kontinuitas) dan persamaan kekekalan

Lebih terperinci

ESTIMASI NILAI TPW (TOTAL PRECIPITABLE WATER) DI ATAS DAERAH PADANG DAN BIAK BERDASARKAN HASIL ANALISIS DATA RADIOSONDE IRE PRATIWI

ESTIMASI NILAI TPW (TOTAL PRECIPITABLE WATER) DI ATAS DAERAH PADANG DAN BIAK BERDASARKAN HASIL ANALISIS DATA RADIOSONDE IRE PRATIWI ESTIMASI NILAI TPW (TOTAL PRECIPITABLE WATER) DI ATAS DAERAH PADANG DAN BIAK BERDASARKAN HASIL ANALISIS DATA RADIOSONDE IRE PRATIWI DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

Lebih terperinci

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

Analisis Model Propagasi Kraken pada Pengiriman Sinyal Akustik Bawah Air

Analisis Model Propagasi Kraken pada Pengiriman Sinyal Akustik Bawah Air Analisis Model Propagasi Kraken pada Pengiriman Sinyal Akustik Bawah Air Destianti Dwi Pravitasari 2206100164 Jurusan Teknik Elektro FTI, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Kampus ITS, Surabaya 60111

Lebih terperinci

PERTEMUAN KE-6 M.K. DAERAH PENANGKAPAN IKAN HUBUNGAN SUHU DAN SALINITAS PERAIRAN TERHADAP DPI ASEP HAMZAH

PERTEMUAN KE-6 M.K. DAERAH PENANGKAPAN IKAN HUBUNGAN SUHU DAN SALINITAS PERAIRAN TERHADAP DPI ASEP HAMZAH PERTEMUAN KE-6 M.K. DAERAH PENANGKAPAN IKAN HUBUNGAN SUHU DAN SALINITAS PERAIRAN TERHADAP DPI ASEP HAMZAH Hidup ikan Dipengaruhi lingkungan suhu, salinitas, oksigen terlarut, klorofil, zat hara (nutrien)

Lebih terperinci

PENGARUH PADAT PENEBARAN 60, 75 DAN 90 EKOR/LITER TERHADAP PRODUKSI IKAN PATIN

PENGARUH PADAT PENEBARAN 60, 75 DAN 90 EKOR/LITER TERHADAP PRODUKSI IKAN PATIN PENGARUH PADAT PENEBARAN 60, 75 DAN 90 EKOR/LITER TERHADAP PRODUKSI IKAN PATIN Pangasius hypophthalmus UKURAN 1 INCI UP (3 CM) DALAM SISTEM RESIRKULASI FHEBY IRLIYANDI SKRIPSI PROGRAM STUDI TEKNOLOGI DAN

Lebih terperinci