2. KONDISI OSEANOGRAFI LAUT CINA SELATAN PERAIRAN INDONESIA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "2. KONDISI OSEANOGRAFI LAUT CINA SELATAN PERAIRAN INDONESIA"

Transkripsi

1 2. KONDISI OSEANOGRAFI LAUT CINA SELATAN PERAIRAN INDONESIA Pendahuluan LCSI terbentang dari ekuator hingga ujung Peninsula di Indo-Cina. Berdasarkan batimetri, kedalaman maksimum perairannya 200 m dan merupakan bagian dari Paparan Sunda, serta terdapat beberapa pulau kecil seperti Pulau Anambas dan Pulau Natuna. Karakteristik massa airnya lebih banyak dipengaruhi oleh massa air LCS dan massa air dari perairan Indonesia (Hendiarti et al. 2008). Menurut Suyarso (1997), topografi dasar perairan LCSI berupa dataran, kanal dan bentuk-bentuk topografi karang (reef). Hasil penelitian Masrikat (2002) di bagian selatan LCS (01 o 30 LS 2 o 30 BT), kedalaman perairannya berkisar dari 13,0 m hingga 72,8 m. Suhu perairan minimum ditemukan pada kedalaman 70 m sebesar 22,69 C, dan suhu maksimum di permukaan perairan sebesar 30,38 C. Salinitas berkisar antara 28,83-34,17. Salinitas terendah dijumpai pada lokasi yang terletak dekat Pulau Kalimantan, yaitu sekitar 7,5 mil laut (nm) dari garis pantai dan salinitas tertinggi pada kedalaman 55 m. berdasarkan pola sebaran suhu menegak, menunjukkan bahwa di perairan LCSI, terdapat lapisan massa air tercampur (homogen) dengan ketebalan yang bervariasi antara kedalaman 25 hingga 44 m, sedangkan lapisan termoklin dijumpai pada bagian utara perairan pada kedalaman m, dimana gradien suhu yang diperoleh > 0,1 C/m. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Ross (1970) bahwa kedalaman lapisan termoklin dalam suatu perairan adalah suatu kedalaman atau posisi dimana gradien suhu lebih dari 0,1 C/m. Suhu permukaan lautan daerah tropis hangat dan variasi tahunannya biasanya kecil, tetapi variasi harian umumnya relatif tinggi. Di perairan LCS, laju peningkatan variasi tahunannya menuju ke utara. Hal ini disebabkan oleh mengalirnya massa air dingin melalui selat Formosa selama musim dingin dan juga pengaruh pendinginan akibat evaporasi dan perubahan panas di udara. Suhu yang sama di bagian permukaan perairan dangkal dengan lapisan massa air yang homogen di Paparan Sunda, termasuk didalamnya Laut Jawa, LCSI, Selat Malaka dan Teluk Thailand dan juga bagian Paparan Sahul. Salinitas pada wilayah ini,

2 18 perubahannya sangat ekstrim. Tingginya curah hujan, besarnya massa tawar dari banyak sungai dan bentuk geografis dari lautan tersebut, memungkinkan perubahan salinitas yang dratis di atas. Distribusi salinitas permukaan perairan disebabkan oleh perubahan musim (Wyrtki 1961). Gambar 5. Proses yang mempengaruhi variasi musiman pada perairan Indonesia: (A) Musim Barat dan (B) Musim Timur. Perubahan musim mengakibatkan perubahan tiupan angin musin dan arus samudera. Arus yang disebabkan oleh angin musim, mempengaruhi perubahan salinitas di perairan LCS. Pada musim barat (Gambar 5A) aliran ke timur pada bagian utara dari Lesser Sunda Islands membawa massa air bersalinitas rendah pada Laut Jawa dan Laut Flores, dan aliran yang bergerak ke utara seputar Pulau Timor membawa massa air bersalinitas tinggi dari Samudera Hindia. Sedangkan untuk LCS massa airnya dipengaruhi oleh massa air Samudera Pasifik yang

3 19 bersalinitas tinggi. Selama musim ini, salinitas pada lapisan tercampur di Laut Banda dan Laut Arafura menurun disebabkan karena besarnya presipitasi dari evaporasi (Miyama et al. 1996). Selanjutnya pada musin timur (Gambar 5B), kondisi massa air LCS dipengaruhi oleh massa air Laut Jawa. Aliran arus lintas Indonesia (arlindo) ke arah selatan sepanjang jalur bagian timur berperan besar terhadap variasi salinitas di Laut Banda. Secara spesifik, massa air dari Samudera Pasifik Selatan dengan salinitas yang tinggi, menyebabkan meningkatnya salinitas massa air di Laut Banda. Selain itu, terjadinya upwelling selama musim ini, menyebabkan massa air dari lapisan tercampur pada Laut Banda mengandung garam yang tinggi. Arus menyebabkan massa air dengan salinitas yang tinggi ini akan terbawah ke Laut Jawa dan selanjutnya ke LCSI. Kondisi hidro-oseanografi LCSI selama periode penelitian di kedua lokasi (lokasi penelitian Juni 2005 dan Juli 2006) akan dibahas dalam bab ini. Bahasan dimaksud bertujuan untuk mengetahui pola distribusi sebaran spatial dari parameter oseanografi (insitu) berupa suhu, salinitas dan klorofil-a secara mendatar di permukaan dan di beberapa lapisan kedalaman, serta secara menegak dan melintang di kedua lokasi tersebut.

4 20 Bahan dan Metoda Pengukuran dan perekaman data oseanografi dilakukan dengan menggunakan Integrated Conductivity Temperature Depth (ictd) Type SeaBird Electronics 911. Pengoperasian ictd dilakukan pada beberapa stasiun sepanjang trak akustik (Gambar 6). Data yang direkam diantaranya; Kedalaman (m), Suhu ( o C), Salinitas (psu), Konduktifitas (ms/cm), Tekanan (db), Oksigen (ml/l), ph, Densitas (kg m - ³), Klorofil-a (mg m - ³), PAR/Irradiance, Kecerahan (m), Derajad Lintang dan Bujur. Perekaman data parameter oseanografi di atas, dilakukan untuk tiap kedalaman 1 m dari permukaan hingga dekat dasar yang disesuaikan dengan kedalaman terpantau. Data oseanografi dikumpulkan dari stasiun-stasiun yang tersebar sepanjang lintasan akustik. Pada lokasi penelitian bulan Juni 2005 (Lokasi A), jumlah stasiun oseanografi berjumlah 20 stasiun dan di lokasi penelitian bulan Juli 2006 (Lokasi B) sebanyak 25 stasiun, seperti terlihat pada Gambar 6. Gambar 6. Peta stasiun oseanografi di Lokasi A ( Juni 2005) dan Lokasi B ( Juli 2006). Data suhu ( C), salinitas (psu) dan klorofil-a (mg m - ³) diperoleh dari pengukuran ictd, sedangkan data kedalaman perairan diperoleh dari hasil akuisisi data akustik. Data diolah dengan menggunakan program Excel dan Software Ocean Data View (ODV) mp-ver. 1.3a Hasilnya ditampilkan

5 21 dalam bentuk tabel dan gambar pola sebaran. Pola sebaran mendatar dibuat untuk beberapa lapisan kedalaman terjangkau ictd dengan selang kedalaman 10 m, sedangkan pola sebaran menegak dibuat untuk stasiun-stasiun yang letaknya pada leg pararel akustik. Selanjutnya, dilakukan analisis diskriptif untuk melihat pola dan fenomena tiap parameter dan hubungan satu-sama lainnya. Untuk menggambarkan kondisi oseanografi LCSI, maka analisis dilakukan terhadap masing-masing parameter menyangkut sebaran menegaknya untuk keseluruhan stasiun, sebaran melintang untuk beberapa stasiun yang letaknya pada satu garis lintang dan sebaran mendatar untuk permukaan dan beberapa lapisan kedalaman yang terjangkau oleh ictd pada stasiun-stasiun tersebut.

6 22 Hasil dan Pembahasan Batimetri Perairan LCSI memiliki kedalaman yang bervariasi. Pada lokasi penelitian bulan Juni 2005 (Lokasi A) kedalaman perairannya berkisar dari 26,5 m hingga 100,6 m. Perairan yang lebih dangkal terletak pada bagian timur dan barat perairan, sedangkan bagian yang lebih dalam terletak di bagian tengah perairan. Bagian tengah perairan ini memiliki kedalaman 60 m dengan panjang sekitar 10 nm pada daerah sekitar 107 BT dan makin melebar ke arah utara disertai dengan bertambahnya kedalaman. Bagian tengah perairan ini pada kedalaman 70 m terlihat berbentuk huruf V, hal ini sesuai dengan hasil penelitian tahun 2001 dimana dari penampang melintang terlihat bentuk dasar LCS perairan Indonesia ini hampir berbentuk V dengan perairan yang lebih dangkal pada bagian timur (pantai barat Kalimantan) dan bagian barat (pantai timur Sumatera) perairan (Masrikat 2002). Kedalaman perairan LCSI di lokasi penelitian bulan Juli 2006 (Lokasi B) berkisar 41,3 131,1 m. Perairan yang lebih dangkal terletak pada daerah sekitar 108,5 BT di bagian selatan pulau Subi. Dari peta batimetri (khususnya untuk Lokasi B), terlihat terdapat dua celah dengan kedalaman lebih dari 70 m, yaitu di bagian barat laut dan bagian tenggara perairan, sedangkan di bagian tengah perairan memiliki kedalaman 70 m yang membentang luas dari bagian barat daya dan menyempit ke arah timur laut hingga daerah di atas kepulauan Natuna dengan lebar sekitar 20 nm. Secara keseluruhan pola batimetri LCSI memiliki kontur kedalaman dasar perairan yang bervariasi, dimana dijumpai beberapa palung laut dengan kedalaman 90 m di beberapa tempat. Daerah yang lebih dangkal dijumpai di pesisir barat Pulau Kelimantan dan sebelah timur P. Bintan dan P. Lingga di bagian timur Pulau Sumatera (Gambar 7). Kontur dasar perairan LCSI seperti ini yang mempengaruhi pola aliran massa air dari Laut Jawa di bagian selatan dan Samudera Pasifik di bagian utara. Dimana pada musim timur massa air hangat dari Laut Jawa akan bergerak masuk ke LCSI dan menempati kolom perairan bagian atas, sedangkan pada lapisan lebih dalam ditempati oleh massa air dingin yang masuk dari Samudera Pasifik (Masrikat 2002).

7 23 1 LU 2 LU 3 LU 4 LU 5 LU Kep. Anambas P. Natuna Kep. Natuna Kep. Tambelan P.Subi PETA BATIMETRI LAUT CINA SELATAN PERAIRAN INDONESIA Latitude Keterangan : Mil laut (nm) Lokasi Survei Bulan Juni 2005 Lokasi Survei Bulan Juli 2006 Kedalaman (m) Lokasi Survei P. Kalimantan Peta Indeks Longitude 105 BT 106 BT 107 BT 108 BT 109 BT Sumber : Hasil Survei Tahun 2005 dan 2006 Gambar 7. Profil kontur kedalaman perairan SUHU Sebaran Menegak Suhu Sebaran suhu LCSI pada lokasi A maupun B bervariasi, baik secara mendatar untuk tiap stasiun maupun secara menegak sesuai dengan kedalaman perairan. Sebaran suhu secara menegak (Gambar 9) memperlihatkan adanya fluktuasi kedalaman lapisan termoklin. Keberadaan kedalaman lapisan termoklin ini ditandai dengan adanya gradien suhu pada kedalaman suatu perairan dengan besarnya lebih dari 0,1 C/m (Rose 1970). Dari 20 stasiun oseanografi di lokasi A, 10 stasiun diantaranya ditemukan adanya lapisan termoklin, sedangkan 10 stasiun lainnya tidak dijumpai lapisan termoklin atau dengan kata lain massa air di sekitar stasiun ini merupakan massa air yang tercampur (lapisan tercampur). Secara keseluruhan di lokasi ini, lapisan massa air tercampurnya ditemukan dengan kedalaman 20 m (St.6) hingga 41 m (St.19).

8 24 Kedalaman (m) Suhu ( C) (a) ST01 ST02 ST03 ST04 ST05 ST06 ST07 ST08 ST09 ST10 ST11 ST12 ST13 ST14 ST15 ST16 ST17 ST18 ST19 ST20 Kedalaman (m) Suhu ( C) (b) ST_01 ST_02 ST_03 ST_04 ST_05 ST_06 ST_07 ST_08 ST_09 ST_10 ST_11 ST_12 ST_13 ST_14 ST_15 ST_16 ST_17 ST_18 ST_19 ST_20 ST_21 ST_22 ST_23 ST_24 ST_ Gambar 8. Profil menegak suhu perairan di: (a) Lokasi A (Juni 2005) dan (b) Lokasi B (Juli 2006). Lapisan termoklin di perairan lokasi A umumnya ditemukan pada stasiunstasiun yang terletak pada bagian tengah hingga ke bagian utara perairan, dimana perairannya lebih dalam. Fluktuasi kedalaman lapisan termoklin mulai dari kedalaman 20 m hingga 41 m. Lapisan kedalaman termoklin yang dijumpai, berbeda di setiap stasiun dengan ketebalan lapisan yang berbeda pula. Ketebalan lapisan minimun sedalam 7 m (29-36 m) dijumpai pada stasiun 13, sedangkan kedalaman lapisan maksimum dijumpai pada stasiun 16 sedalam 23 m (21-44 m) diikuti oleh stasiun 14 dan 19 sedalam 19 m (39-58 m). Nilai gradien suhu ratarata terkecil dijumpai di stasiun 3 sebesar 0,13 C/m dan nilai gradien terbesar pada stasiun 18 sebesar 0,47 C/m. Perairan di lokasi B menunjukkan adanya statifikasi massa air yang terlihat jelas, dimana dari 25 stasiun oseanografi, 24 stasiun diantaranya ditemukan adanya lapisan massa air tercampur dan lapisan termoklin. Stasiun 19 merupakan stasiun yang tidak ditemukan lapisan termoklin, atau merupakan massa air tercampur sempurna. Di ke-24 stasiun lainnya, lapisan massa air tercampur ini ditemukan dengan kedalaman yang bervariasi yaitu pada kedalaman 37 m (St.5)

9 25 hingga lapisan kedalaman 58 m (St.24). Lapisan termoklin pada 24 stasiun di lokasi ini, ditemukan pada kedalaman bervariasi pula. Ketebalan lapisan termoklin setebal 4 m di temukan pada stasiun 4 pada kedalaman m, sedangkan lapisan termoklin yang paling dalam dijumpai pada stasiun 23 sedalam 44 m di kedalaman m. Lapisan termoklin yang dijumpai di lokasi B memiliki nilai gradien suhu rata-rata yang berkisar dari 0,2 C/m (St. 23 dan St. 24) hingga 1,4 C/m (St. 2). Jika nilai gradien suhu ini dibandingkan dengan ketebalan lapisan termoklin, terlihat bahwa nilai gradien tertinggi dijumpai pada stasiun dengan ketebalan lapisan termoklin yang relatif lebih kecil. Hal ini dijumpai pada stasiun 2 dan 4 dengan nilai gradien suhunya masing masing sebesar 0,75 C/m dan 1,4 C/m untuk ketebalan lapisan termoklin 5 dan 4 m. Sedangkan pada stasiun 23 dan 24 dengan lapisan termoklin yang tebal yaitu sebesar 44 m namun nilai gradien suhunya hanya 0,2 C/m. Hal ini menunjukkan bahwa massa air disekitar stasiun 2 dan 4 yang terletak di bagian selatan perairan terstratifikasi dengan jelas antara lapisan massa air tercampur di bagian atas dan lapisan termoklin dibawahnya. Lapisan termoklin ini diduga merupakan bagian massa dari Samudera Pasifik yang dingin dan bersalinitas tinggi yang masuk melalui LCS hingga perairan Indonesia. Massa air ini dominan dijumpai di daerah sekitar 5 LU yaitu pada stasiun 23 dan 24, walaupun memiliki nilai gradien suhu yang sempit namun lebih dingin dan memiliki kisaran suhu yang besar yaitu 20,13-29,47 C (St. 23) dan 20,76-29,36 C (St. 24) dibandingkan dengan massa air di stasiun 2 dan 4 masingmasing 21,93-29,20 C dan 25,19-29,23 C. Sebaran Melintang Suhu Profil sebaran suhu menegak dianalisis juga pada penampang melintang perairan terhadap stasiun-stasiun yang letaknya membujur disepanjang leg akustik dari timur ke barat atau sebaliknya. Dari 20 stasiun oseanografi di lokasi A, terdapat 3 transek. Transek 1 terletak sekitar LU yang mewakili St.1 hingga St. 5. Transek 2 di sekitar garis lintang LU untuk St. 7 hingga St. 11, dan transek 3 di sekitar garis lintang LU untuk St.13 hingga St. 17.

10 26 Sebaran suhu pada transek 1 berkisar dari 27,77 31,5 C. Suhu terendah dijumpai di St. 3 pada kedalaman 45 m, sedangkan suhu tertinggi pada permukaan perairan di St. 4. Transek 2 suhu terendah 25,66 C yang dijumpai pada St. 10 pada kedalaman 58 m, dan suhu tertinggi 30,13 C di St. 7, sedangkan pada transek 3 yang terletak di lintang tinggi (± 2 LU), memiliki kisaran suhu yang lebih besar 23,48 C di St. 14 pada kedalaman 64 m hingga 30,31 C di stasiun 16. Suhu perairan pada ketiga transek (Gambar 9) terlihat makin meningkat ke arah timur perairan. Namun massa air dengan suhu yang lebih tinggi ini dijumpai pada kedalaman yang berbeda. Pada transek 1 massa air dengan suhu tertinggi dijumpai pada permukaan perairan, sedangkan di transek 2 dan 3 lapisan massa air yang suhunya lebih tinggi masing-masing dijumpai pada kedalaman 15 dan 20 m. Stratifikasi vertikal suhu ini, ditandai dengan garis isotherm pada ketiga transek. Pada transek 1, stratifikasi massa air lebih lebar dibandingkan dengan transek 2 dan 3. Dimana pada transek 2 dan 3 stratifikasi massa air lebih banyak terbentuk dengan kisaran yang sempit, serta mendominasi perairan dalam seperti terlihat pada stasiun-stasiun yang terbentang sepanjang 107 bujur timur. Secara umum suhu perairan antar transek menunjukkan bahwa pada transek 1 perairannya lebih hangat dan kisaran suhunya lebih sempit dibandingkan dengan transek 2 dan 3. Disamping itu pula sebaran suhu terlihat makin meningkat dari barat ke timur. Hal ini ditunjukkan oleh garis isotherm 30 C yang terbentuk mencakup hampir keseluruhan stasiun pada transek 1, dan menghilang pada stasiun-stasiun yang berada di bagian barat perairan pada transek 2 dan 3. Sedangkan massa air dengan suhu terrendah sangat dipengaruhi oleh kedalaman perairan. Hal ini terlihat pada stasiun-stasiun yang terletak kurang lebih pada garis bujur 107 BT yaitu stasiun 3, 10 dan 14. Pada ketiga stasiun ini terlihat adanya stratifikasi massa air yang yang terbentuk dari permukaan hingga dasar perairan yang ditunjukkan oleh perubahan garis isoterm di tiap transek.

11 27 Gambar 9. Profil sebaran vertikal suhu secara melintang dari barat ke timur pada Lokasi A (Juni 2005). Pada Lokasi B, profil menegak suhu perairan diamati juga pada transek dengan stasiun-stasiun yang terbentang membujur. Transek yang dibuat sedikitnya terdiri dari 4 stasiun berdekatan, sehingga terdapat 4 transek dari selatan ke utara perairan. Transek 1 yang terletak sekitar garis lintang LU untuk St.1 hingga St. 4, transek 2 pada garis lintang LU untuk St. 5 hingga St. 9, transek 3 untuk St.10 hingga St.15 dan transek 4 yang terletak pada garis lintang LU untuk St,18, 19, 20 dan 23. Stasiun-stasiun yang tersebar pada ke empat transek untuk lokasi B, seperti terlihat pada Gambar 6.

12 Gambar 10. Profil sebaran vertikal suhu secara melintang dari barat ke timur pada Lokasi B (Juli 2006). 28

13 29 Sebaran suhu menegak pada transek 1 (Gambar 10a) berkisar dari 21,93-29,24 C. Suhu tertinggi pada transek ini untuk tiap stasiun dijumpai pada kedalaman yang berbeda. Suhu tertinggi pada transek ini dijumpai di St.1 pada kedalaman 4 m, sedangkan suhu tertinggi dijumpai St. 2 sebesar 29,20 C di kedalaman 10 m. Sebaran suhu tertinggi di St.3 sebesar 29,05 C pada kedalaman 27 m dan pada St. 4 sebesar 29,22 C yang dijumpai pada kedalaman 5 m. Dari kelima stasiun pada transek ini, kisaran sebaran suhu terkecil ditemukan pada stasiun 1 yaitu 29,24-28,08 C yang tersebar dari permukaan hingga kedalaman terukur ictd yaitu 46 m. Kisaran sebaran suhu yang lebar ditemukan pada stasiun 2 yaitu dari 29,20 C di permukaan hingga 21,93 C pada kedalaman terukur ictd yaitu 70 m. Kisaran sebaran suhu menegak pada transek 2 dari permukaan hingga kedalaman terukur ictd adalah 29,46 C (St. 7) hingga 21,68 C (St. 9). Stasiun dengan kisaran suhu terbesar adalah stasiun 9 yaitu dari 29,41 C pada permukaan hingga 21,68 C pada kedalaman terukur ictd 77 m, sedangkan stasiun 5 merupakan stasiun dengan kisaran sebaran suhu yang sempit yaitu dari permukaan 29,03 C hingga kedalaman terukur ictd 62 m sebesar 23,70 C (Gambar 10b). Transek 3 merupakan transek dengan jumlah stasiun lebih banyak dari ketiga transek lainnya yaitu 6 stasiun. Sebaran suhu tertinggi pada transek ini sebesar 29,90 C di permukaan pada stasiun 10, sedangkan suhu terendah sebesar 21,02 C ditemukan pada kedalaman terukur ictd 99 m di stasiun 11. Dari keenam stasiun dengan kedalaman terukur ictd, stasiun 13 memiliki kisaran suhu yang kecil yaitu dari 29,51 C (kedalaman 4 m) hingga 24,10 C (kedalaman 65 m). Kisaran suhu terbesar dijumpai pada stasiun 10 yaitu dari permukaan 29,94 C hingga 21,06 C pada kedalaman 81 m. Namun secara umum massa air di transek 3 ini memiliki kisaran suhu yang hampir sama, walaupun dengan kedalaman terjangkau yang berbeda (Gambar 10c). Pada transek 4 (Gambar 10d), suhu tertinggi sebesar 29,55 C dijumpai pada stasiun 18 yang ditemukan pada permukaan hingga kedalaman 5 m. Suhu minimum pada transek ini dijumpai pada stasiun 23 sebesar 20,13 C dikedalaman terukur ictd 108 m. Pada stasiun ini pula ditemukan kisaran suhu yang besar hingga 29,47 C, sedangkan pada stasiun 19 ditemukan massa air yang homogen

14 30 dengan kisaran suhu yang sangat kecil yaitu 0,2 C dari permukaan hingga kedalaman terukur ictd 40 m. Secara keseluruhan dari sebaran menegak suhu untuk keempat transek di lokasi ini terlihat adanya lapisan massa air homogen dari permukaan hingga kedalaman m. Sedangkan untuk kedalaman dibawahnya (kecuali St.1) terlihat bahwa terjadi stratifikasi massa air yang makin dingin sesuai dengan makin dalam perairan dan bergerak ke arah timur dari bujur BT dengan suhu lebih kecil dari 22 C. Sebaran Mendatar Suhu Tabel 1. Kisaran suhu pada permukaan dan beberapa lapisan kedalaman Lapisan Lokasi A (2005) Lokasi B (2006) Kedalaman Jlh. St. Min. Maks. Rerata Jlh. St. Min. Maks. Rerata Permukaan 20 29,35 30,44 29, ,03 29,94 29,32 10 m 20 29,36 30,19 29, ,03 29,54 29,28 20 m 20 29,24 30,31 29, ,96 29,40 29,22 30 m 17 28,21 30,08 29, ,77 29,50 29,17 40 m 12 27,19 29,91 28, ,47 29,30 28,90 50 m 8 23,55 27,99 25, ,77 29,21 26,71 60 m 5 21,75 25,68 23, ,75 27,64 24,42 70 m ,10 25,20 22,77 80 m ,95 23,55 21,69 90 m ,33 21,15 20,77 Profil sebaran suhu diamati pada pada lapisan kedalaman dengan selang kedalaman 10 m. Pada lokasi A, kedalaman terukur ictd yang terjangkau hingga lapisan kedalaman 20 m ditemukan untuk ke-20 stasiun. Sedangkan kedalaman terukur ictd yang mencapai lapisan kedalaman 60 m dari 20 stasiun adalah 5 stasiun. Stasiun-stasiun tersebut adalah stasiun 10, 14, 18, 19 dan 20. Pada lokasi B dengan perairannya yang lebih dalam, kedalaman terukur ictd maksimum mencapai lapisan kedalaman 90 m. Kedalaman terukur ictd untuk ke-25 stasiun mencapai lapisan kedalaman 40 m sebanyak 25 stasiun, sedangkan 5 stasiun diantaranya yaitu stasiun 11, 18, 22, 23, dan 24 mencapai lapisan kedalaman 90 m. Kisaran sebaran suhu pada permukaan dan beberapa kedalaman terjangkau ictd seperti yang terlihat pada Tabel 1. Sebaran suhu pada permukaan perairan di kedua lokasi menunjukkan bahwa suhu permukaan perairan lebih panas di bagian selatan LCSI. Suhu

15 31 permukaan yang tinggi ini mendominasi daerah dengan stasiun yang letaknya dekat dengan daratan dan perairannya lebih dangkal. Suhu permukaannya mencapai 30,44 C (St. 4) dengan suhu rata-rata 29,96 C di lokasi A, sedangkan di lokasi B suhu maksimum mencapai 29,94 C (St. 10) dengan rata-rata suhunya 29,32 C. Namun secara umum kedua lokasi ini mempunyai sebaran suhu yang hampir sama (Gambar 11). Gambar 11. Profil sebaran suhu permukaan Pada lapisan kedalaman 10 m di lokasi A, kisaran suhu berkisar antara 29,36 C (St.1) hingga 30,19 C (St.12) dengan suhu rata-rata 29,93 C. Sedangkan di lokasi B, sebaran suhu pada kedalaman ini berkisar antara 29,03 C (St. 5) hingga 29,54 C (St.18) dengan suhu rata-ratanya 29,28 C (Gambar 12a dan 13a). Pada lapisan kedalaman 20 m terlihat di lokasi A suhu massa airnya tidak berbeda jauh dengan kedalaman 10 m. Hal ini terlihat dengan dominasi garis isoterm 30 C di kedua lapisan kedalaman ini. Pada lokasi B untuk lapisan kedalaman 20 m juga terlihat tidak berbeda jauh dengan lapisan kedalaman 10 m, namun massa airnya lebih dingin dibandingkan dengan lapisan kedalaman yang sama di lokasi A (Gambar 12b dan 13b). Massa air di lapisan kedalaman 30 m terlihat mulai mengalami stratifikasi. Suhu minimum di lapisan kedalaman ini sebesar 28,21 C ditemukan di stasiun 11 dimana perairannya lebih dalam dan stasiun ini terletak sekitar garis bujur 106 BT, sedangkan suhu maksimum sebesar 30,08 C ditemukan di stasiun 17 yang terletak dekat daratan Kalimantan. Pada lapisan kedalaman yang sama di lokasi B, suhu maksimum sebesar 29,50 C ditemukan di stasiun 18, sedangkan suhu minimum ditemukan stasiun 21 sebesar 28,96 C (Gambar 12c dan 13c).

16 Gambar 12. Profil sebaran suhu pada beberapa lapisan kedalaman perairan di Lokasi A (Juni 2005) 32

17 33 Gambar 13. Profil sebaran suhu pada beberapa lapisan kedalaman perairan di Lokasi B (Juli 2006) Pada lapisan kedalaman 40 m, di lokasi A terlihat stratifikasi massa air terbentuk. Dimana di bagian timur perairan (pantai barat Kalimantan) suhunya lebih lebih tinggi mencapai 29,91 C dan menurun hingga 28,5 C sepanjang area sekitar 106,5-108,2 BT. Di bagian kiri dan kanan area ini masa airnya lebih dingin (Gambar 12d). Pola yang mirip terlihat di lokasi B. Stratifikasi massa air terjadi dari bagian barat daya perairan ke arah timur laut, dimana massa air dengan suhu yang lebih dingin dibagian barat daya dan dibagian timur laut perairan dipisahkan oleh massa air hangat dibagian tengahnya (Gambar 13d). Massa air pada lapisan kedalaman 50 m ke atas, terlihat mengalami stratifikasi yang jelas dengan suhu yang lebih rendah. Hal ini dimungkinkan karena pada kedalaman ini, baik di lokasi A dan B terlihat adanya lapisan termoklin yang mencirikan perbedaan suhu antara lapisan massa air secara vertikal. Kisaran sebaran suhu di lokasi A pada lapisan kedalaman 50 adalah 23,55-27,99 C dan kisaran suhu 21,75-25,68 C dijumpai pada lapisan

18 34 kedalaman 60 m, Massa air dengan suhu yang lebih panas di bagian barat laut (Lokasi A) akan menghilang sejalan dengan bertambahnya kedalaman di bagian timur laut dengan massa air yang lebih dingin (Gambar 12e dan 12f). Sedangkan di lokasi B, massa air pada lapisan kedalaman 50 dan 60 m memiliki kisaran suhu yang lebih tinggi dibandingkan dengan Lokasi A (Tabel 1). Pada lapisan ini massa air yang lebih panas mendominasi bagian barat laut perairan, sedangkan massa air yang lebih dingin berada di bagian tenggara perairan (Gambar 13e dan 13f). Pada lapisan kedalaman m (Gambar 13g, 13h dan 13i), suhu perairan makin dingin. Suhu minimum di lapisan kedalaman 70 hampir sama dengan suhu maksimum di lapisan kedalamn 90 m yaitu 21,10 C dan 21,15 C. Dengan kata lain massa air dingin dengan suhu ± 21 C dijumpai pada kedalaman m. Pada lapisan kedalaman m terlihat bahwa massa air dengan suhu yang lebih dingin dijumpai dibagian tengah perairan yang membentang dari bagian tenggara ke arah barat laut, sedangkan di bagian barat daya dan timur laut dijumpai massa air dengan suhu yang lebih tinggi. Sementara pada lapisan kedalaman 90 yang umumnya terjangkau pada stasiun-stasiun di bagian timur laut perairan, perubahan massa air dengan suhu yang lebih rendah bergeser dari barat daya ke timur laut perairan. Salinitas Sebaran Mengak Salinitas Salinitas perairan LCSI yang ditemukan selama bulan Juni 2005 berkisar antara 28,78-34,45 psu. Salinitas minimum ditemukan pada stasiun 5 yang terletak di pantai barat Kalimantan, pada posisi BT dan LU atau sekitar 20 mil laut (nm) dari garis pantai. Hanya pada stasiun ini ditemukan salinitas < 30 psu pada lapisan permukaan, sedangkan 19 stasiun lainnya ditemukan salinitas perairan > 30 psu. Rendahnya salinitas di lokasi ini diduga karena pengaruh massa air tawar dari sungai-sungai yang bermuara di pantai barat Kalimantan. Salinitas maksimum 34,45 psu ditemukan di stasiun 19 pada posisi BT dan LU di kedalaman 70 m. Beberapa stasiun lain yang ditemukan salinitas >34 psu adalah stasiun 10, 18, dan 20. Secara geografis, umumnya stasiun-stasiun ini

19 35 terletak pada lintang tinggi (St. 18, 19, dan 20) dan pada perairan dalam seperti stasiun 10 yang walaupun terletak dekat garis lintang 01 LU namum perairannya lebih dalam dari stasiun-stasiun lainnya yaitu 69 m (kedalaman ictd 60 m). Salinitas (psu) Salinitas (psu) Kedalaman (m) ST01 ST02 ST03 ST04 ST05 ST06 ST07 ST08 ST09 ST10 ST11 ST12 ST13 ST14 ST15 ST16 ST17 ST18 ST19 ST20 Kedalaman (m) ST_01 ST_02 ST_03 ST_04 ST_05 ST_06 ST_07 ST_08 ST_09 ST_10 ST_11 ST_12 ST_13 ST_14 ST_15 ST_16 ST_17 ST_18 ST_19 ST_20 ST_21 ST_22 ST_23 ST_24 ST_ (a) (b) Gambar 14. Profil menegak salinitas perairan; (a) Lokasi A (Juni 2005) dan (b) Lokasi B (Juli 2006). Secara keseluruhan di ke-25 stasiun oseanografi di lokasi penelitian bulan Juli 2006 (Lokasi B) memiliki salinitas rata-rata > 33 psu. Salinitas minimum yang ditemukan sebesar 30,48 psu pada stasiun 6 dan salinitas maksimum sebesar 34,46 psu pada stasiun 23 di kedalaman pengukuran CTD 108 m dari kedalaman perairan 109 m. Jika dibandingkan dengan Lokasi A, salinitas di perairan ini lebih tinggi (Lokasi B). Hal ini terlihat dari salinitas maksimum yang ditemukan ratarata > 34 psu, kecuali di stasiun 1 dan 19. Rendahnya salinitas pada kedua stasiun ini disebabkan karena perairannya lebih dangkal (< 50 m) dibandingkan dengan ke-23 stasiun lainnya yang kedalaman perairannya lebih dari 70 m.

20 36 Sebaran Melintang Salinitas Profil sebaran salinitas pada ketiga transek dari barat ke timur (Gambar 15) secara umum menunjukkan bahwa bagian tengah perairan memiliki massa air yang bersalinitas lebih tinggi dibandingkan dengan bagian barat dan timur, Sebaran salinitas pada transek 1 pada bagian timur dan barat perairan bersalinitas < 33 psu, sedangkan pada bagian tengah perairan bersalinitas > 33 psu namun lebih kecil dari 34 psu. Massa air dengan salinitas < 33 psu pada transek 1 ditemukan dari permukaan hingga kedalaman 10 m di stasiun 1. Massa air dengan salinitas < 33 psu ini mendominasi kolom perairan dari permukaan hingga dasar perairan di stasiun 5 dan stasiun 7 pada transek 2. Pada transek 3, massa air ini ditemukan pada stasiun 16 dari permukaan hingga kedalaman 25 m. Pada transek 2 dan 3 massa air bersalinitas > 33 psu hampir memenuhi seluruh kolom perairan dan juga tersebar dari barat ke timur, Massa air dengan salinitas < 34 psu ditemukan pada kolom air yang lebih dalam yaitu pada kedalaman lebih dari 40 m, Sebaran massa air bersalinitas < 40 psu pada transek 3 lebih luas sebarannya dibandingkan dengan transek 2 yaitu dari area sekitar BT hingga BT, sedangkan transek 2 pada area sekitar BT hingga BT. Berbeda dengan loaksi penelitian bulan Juni 2005, pada lokasi penelitian bulan Juli 2006, secara umum sebaran salinitas massa air dari barat ke timur tidak memperlihatkan stratifikasi massa air yang jelas. Stratifikasi massa air lebih terlihat secara vertikal pada keempat transek. Massa air dengan salinitas < 33 psu ditemukan dari permukaan hingga kedalaman sekitar 10 m yang membentang dari bujur BT ke bagian timur hingga stasiun 1 (Gambar 15a). Massa air ini kemudian secara perlahan akan menghilang dan diganti dengan massa air dengan salinitas lebih tinggi, dan hanya ditemukan di bagian timur perairan pada transek 2 di stasiun 5 ( BT) hingga stasiun 7 ( BT), serta pada transek 4 di area sekitar BT dengan kedalaman kurang dari 5 m (Gambar 15b dan 15c). Hampir sebagain besar kolom perairan secara vertikal untuk keempat transek didominasi oleh massa air dengan salinitar psu. Massa air dengan lainitas < 34 psu dijumpai pada kedalaman perairan < 50 m untuk keempat transek, kecuali stasiun 1.

21 Gambar 15. Profil sebaran vertikal salinitas secara melintang dari barat ke timur pada Lokasi A (Juni 2005). 37

22 Gambar 16. Profil sebaran vertikal salinitas secara melintang dari barat ke timur pada Lokasi B (Juli 2006). 38

23 39 Sebaran Mendatar Salinitas Sebaran salinitas permukaan di LCSI di lokasi A (Juni 2005) dan lokasi B (Juli 2006) berbeda. Dimana pada lokasi A dijumpai kisaran salinitas permukaan 28,78-33,60 psu, sedangkan pada lokasi B kisaran salinitas permukaan yang dijumpai lebih tinggi yaitu 32,74-33,45 psu. Salinitas permukaan yeng rendah di lokasi A ini dijumpai di area sekitar pantai barat Kalimantan pada BT dengan range salinitas yang besar (28,78-32,5 psu) dan di bagian barat perairan di posisi 105 BT dengan salinitas < 33 psu. Sementara di bagian tengah perairan, salintasnya > 33 psu dan meluas dari Ekuator pada bujur BT ke daerah berlintang tinggi (Gambar 17a), Perairan di lokasi B massa air lapisan permukaan terlihat hampir merata salinitasnya yaitu ± 33 psu. Massa air dengan salinitas < 33 psu dijumpai pada area di bawah lintang 3 LU dan sebagian lagi pada lintang > 5 LU dan pada bujur BT (Gambr 17b). Tabel 2. Kisaran salinitas pada permukaan dan beberapa lapisan kedalaman Lapisan Lokasi A (2005) Lokasi B (2006) Kedalaman Jlh. St. Min. Maks. Rerata Jlh. St. Min. Maks. Rerata Permukaan 20 28,78 33,60 32, ,74 33,45 33,12 10 m 20 32,24 33,60 33, ,84 33,53 33,26 20 m 20 32,48 33,61 33, ,84 33,56 33,28 30 m 17 32,94 33,81 33, ,10 33,60 33,33 40 m 12 33,50 33,92 33, ,21 33,94 33,43 50 m 8 33,85 34,28 34, ,27 34,29 33,80 60 m 5 34,10 34,44 34, ,73 34,35 34,08 70 m ,99 34,41 34,25 80 m ,14 34,43 34,34 90 m ,38 34,44 34,41 Gambar 17. Profil sebaran salinitas permukaan.

24 40 Stratifikasi salinitas massa air pada selang kedalaman 10 m terlihat bahwa salinitas di lapisan kedalaman 10 dan 20 m untuk lokasi A sebesar < 33 psu masih dijumpai di bagian timur perairan atau pada pantai barat Kalimantan. Massa air bersalinitas > 33 psu dijumpai di bagian barat perairan dan bergerak ke arah barat laut dengan salinitas > 33,5 psu yang makin meluas pada lapisan kedalaman 20 m (Gambar 18a dan 18b). Gambar 18. Profil sebaran salinitas pada beberapa lapisan kedalaman perairan di Lokasi A (Juni 2005)

25 41 Pada Lokasi B, pola yang hampir sama ditemukan pada lapisan kedalaman 10 m dan 20 m, dimana massa air bersalinitas > 33,25 psu sebagian besar dijumpai pada bagian timur perairan dan sebagian lagi di bagian barat laut. Massa air dengan salinitas 33,25-33 psu menempati bagian tengah perairan dari daerah di bagian barat daya kearah timur laut perairan, sementara massa air dengan salinitas < 33 psu ditemukan di bagian timur laut perairan pada lintang 5 LU dan sekitar BT (Gambar 19a dan 19b). Untuk lapisan kedalaman 30 dan 40 m di Lokasi A dan B secara umum rata-rata salinitas perairannya hampir sama yaitu 33,25-3,75 psu. Pola sebaran salinitas di Lokasi A masih sama dengan lapisan kedalaman 10 dan 20 m, dimana massa air di bagian barat bersalinitas lebih tinggi dari bagian timur perairan. Di Lokasi B, pola massa air bergerak dari barat ke timur dengan salinitas yang lebih tinggi, hal ini ditunjukkan dengan bergeraknya isohalin 33,25 yang lebih luas di kedalaman 30, kemudian makin mengecil dan diganti dengan isohalin 33,5 yang makin meluas di bagian timur laut perairan (Gambar 18c, 18d, 19c dan 19d). Untuk lapisan kedalaman 50 dan 60 di Lokasi A, salinitas ditemukan berkisar 33,85-34,44 psu. Pola sebaran salinitasnya terlihat pada area di bagian barat daya lebih rendah (< 34 psu) dari bagian timur laut yaitu > 34,25 psu (Gambar 18e dan 18f). Pada lapisan kedalaman 50 di Lokasi B terlihat isohalin 33,25 menghilang di bagian barat laut dan diganti dengan isohalin 33,5, sementara massa air dengan salinitas 33,75-34,00 psu yang tadinya tidak ada di lapisan kedalaman 40 m, kini mengisi lapisan kedalaman tersebut. Massa air dengan salinitas < 34 psu bergerak mengisi lapisan kedalaman 60 m dari selatan ke utara perairan (Gambar 19e dan 19f). Massa air pada lapisan kedalaman lebih dari 60 m umumnya dijumpai dengan salinitas di atas 34 psu dan hampir merata di seluruh lapisan kedalaman dengan pola sebaran yang sama yaitu pada bagian barat daya perairan bersalinitas lebih rendah dari bagian timur laut. Namun sebaliknya pada kedalaman 80 m dan 90 m, sebaran salinitasnya secara horizontal merata di seluruh area (Gambar 19g, 19h dan 19i).

26 42 Gambar 19. Profil sebaran salinitas pada beberapa lapisan kedalaman perairan di Lokasi B (Juli 2006) Pola sebaran suhu dan salinitas di atas, secara langsung menggambarkan massa air yang berada di Lokasi penelitian. Massa air yang berbeda bukan hanya ditentukan oleh perbedaan densitas, namun lebih ditunjukan oleh perbedaan suhu dan salinitas. Dua massa air air yang berbeda bisa memiliki densitas yang sama tetapi suhu dan salinitasnya berbeda (King, 1966). Berdasarkan hubungan suhu (suhu potensial/tpot) dan salinitas, maka massa air di lokasi penelitian dapat dibagi menajdi 3 jenis yaitu massa air permukaan (kedalaman 20 m), pertengahan (20 < X 60 m) dan dalam (< 60 m). Massa air permukaan di Lokasi A memiliki salinitas maksimum 33,607 psu dan suhu 30,12 C (σ t < 21), sedangkan di Lokasi B dengan salinitas maksimum yang lebih rendah yaitu maksimumnya 33,564 psu dengan suhu 29,28 C (σ t < 21). Massa air pertengahan di Lokasi A dengan salinitas maksimum 34,437 psu dan suhu 21,76 C (σ t ± 33,8), sedangkan di Lokasi B dengan salinitas maksimum 34,368 psu dan suhu 21,84 C (σ t ± 33,8). Massa air dalam dengan kedalaman

27 43 lebih dari 60 m yang dicirikan dengan salinitas maksimum 34,443 psu dan suhu 21,70 C (σ t = 33,9), sedangkan di Lokasi B, salinitas maksimumnya 34,457 psu dan suhu 20,11 C (σ t = 34,5). Berdasarkan diagram TS di lokasi penelitian (Gambar 20) terlihat bahwa ada masukan massa air dengan salinitas yang tinggi (<34 psu) dan suhu yang rendah (<26 C) dari Samudera Pasifik. Hal ini ditunjukkan dengan ditemukannya tipe massa air yang sama sepanjang transek dari St.3B, 19A, 8B,11B, 22B dan 23B (A = Lokasi A dan B = Lokasi B) dengan sahu yang rendah dan salinitas yang tinggi pada kedalaman <60 m. Sementara di Lokasi A, terlihat bahwa massa air yang ada merupakan massa air setempat. Dengan kata lain, penyusupan massa air Samudera Pasifik dengan suhu yang rendah dan salinitas tinggi ke lokasi penelitian hingga pada area sekitar 2 LU dan 107,5 BT. Gambar 20. Diagram Suhu Salinitas (Diagram T-S) di: (a) Lokasi A (Juni 2005), (b) Lokasi B (Juli 2006) dan (c) keseluruhan.

28 44 KLOROFIL-A Sebaran Menegak Klorofil-a Kandungan klorofil-a di Lokasi A dijumpai dengan sebaran nilai minimum 0,0569 mg m - ³ di stasiun 4 pada permukaan dan nilai maksimum sebesar 1,7664 mg m - ³ dijumpai pada stasiun 19 pada kedalaman 49 m. Kisaran rata-rata kandungan klorofil-a dari 20 stasiun penelitian di lokasi ini adalah 0,3195-0,6334 mg m - ³. Di Lokasi B, kandungan maksimum klorofil-a dijumpai di stasiun 14 sebesar 3,5462 mg m - ³ pada kedalaman 62 m dan nilai minimum dijumpai pada stasiun 20 sebesar 0,0085 mg m - ³ di permukaan perairan. Kisaran rata-rata klorofil-a di lokasi ini adalah 0,1212-0,5411 mg m - ³. Kedalaman (m) Klorofil_a (mg/m³) ST01 ST02 ST03 ST04 ST05 ST06 ST07 ST08 ST09 ST10 ST11 ST12 ST13 ST14 ST15 ST16 ST17 ST18 ST19 ST20 Kedalaman (m) Klorofil_a (mg/m³) ST_01 ST_02 ST_03 ST_04 ST_05 ST_06 ST_07 ST_08 ST_09 ST_10 ST_11 ST_12 ST_13 ST_14 ST_15 ST_16 ST_17 ST_18 ST_19 ST_20 ST_21 ST_22 ST_ ST_24 ST_25 (a) (b) Gambar 21. Profil menegak klorofil-a perairan (mg m - ³); (a) Lokasi A (Juni 2005) dan (b) Lokasi B (Juli 2006). Jika dilihat dari kisaran nilai klorofil-a di kedua lokasi yang dengan periode sampling yang berbeda ini, terlihat bahwa pada Lokasi A (Juni 2005) dijumpai kisaran nilai maksimum klorofil-a yang lebih kecil dibandingkan dengan Lokasi B (Juli 2006). Namun sebaran rata-rata kandungan klorofilnya lebih tinggi dibandingkan di Lokasi B (Juli 2006). Selain itu pula pada Lokasi A, rata-rata

29 45 kandungan minimum klorofil-a lebih besar dari Lokasi B. Sebaran menegak klorofil-a dengan konsentrasi 1,0 mg m - ³ di kedua lokasi berbeda dengan kedalaman yang bervariasi. Pada Lokasi A, konsentrasi klorofil-a sebesar 1,0 mg m - ³ ini ditemukan pada kedalaman 22 m di stasiun 4 hingga kedalaman 49 m di stasiun 20. Sedangkan di Lokasi B ditemukan pada kedalaman 42 m di stasiun 4 hingga kedalaman 75 m di stasiun 23. Sebaran kandungan klorofil-a secara menegak disajikan pada Gambar 21. Sebaran Melintang Klorofil-a Sebaran kandungan klorofil-a dari barat ke timur pada transek 1 (Lokasi A) dari permukaan hingga dasar perairan terlihat mencapai nilai minimum 0,0569 mg m - ³. Kandungan klorofil-a di permukaan sebesar 1,5433 mg m - ³ ditemukan pada stasiun 4. Di bagian barat perairan sebaran kandungan klorofil-a dari permukaan hingga dasar berkisar 0,1-0,6 mg m - ³. Sebaran kandungan klorofil-a di bagian tengah perairan pada area BT ditemukan dengan kisaran yang lebih besar yaitu 0,05 mg m - ³ hingga >1 mg m - ³. Kisaran kandungan klorofil-a >0,7 dijumpai pada kedalaman 20 m (St,4) hingga dasar perairan. Sedangkan di bagian timur, kisaran kandungan klorofil-a tidak terlalu besar, namun cukup tinggi nilainya yaitu 0,25-0,45 mg m - ³ (Gambar 22a). Pada transek 2, di bagian barat perairan kandungan klorofil-a ditemukan cukup tinggi yaitu 1,13 mg m - ³ (St.11) dan berkurang ke bagian tengah hingga 0,4 mg m - ³. Kandungan klorofil-a ini kemudian meningkat hingga > 0,5 mg m - ³ dan ditemukan disekitar stasiun 9 kemudian menurun hingga 0,3 mg m - ³ pada stasiun 7 (Gambar 22b). Sedangkan di transek 3, kandungan klorofilnya 0,06-1,77 mg m - ³. Kandungan klorofil-a 0,2 mg m - ³ ditemukan di bagian permukaan hingga kedalaman 20 m dari barat (St.13) ke timur hingga bujur BT. Pada kedalaman m dijumpai kandungan klorofil-a 0,2-0,6 mg m - ³. Kandungan klorofil-a 0,7 mg m - ³ ditemukan pada kedalaman ± 43 m di bujur BT hingga dasar perairan di bujur BT (Gambar 22c). Pada Lokasi B, kandungan klorofil-a terlihat tersebar dari permukaan hingga kedalaman sekitar 40 m di bagian barat (St. 4) dan mencapai dasar perairan pada stasiun 1 dengan kisaran 0,05-0,6 mg m - ³. Pada kedalaman > 40 m,

30 46 ditemukan kandungan klorofil-a yang lebih tinggi yaitu > 0,6 mg m - ³ hingga 1,48 mg m - ³ di sekitar stasiun 4 di kedalaman 50 m dan konsentrasi > 0,8 mg m - ³ di kedalaman m dan berada pada bujur BT (Gambar 23a). Pada transek 2 dan 3, dijumpai massa air dengan kandungan klorofil-a 0,6 mg m - ³ yang masih mendominasi lapisan kedalaman hingga 60 m. Pada lapisan kedalaman > 60 m, terlihat adanya konsentrasi kandungan klorofil-a yang tinggi di bagian barat dan timur perairan seperti terlihat pada Gambar 23b dan 23c. Konsentrasi klorofil-a 0,8 mg m - ³ hingga >1,1 mg m - ³ dijumpai di transek 2 pada kedalaman 50 m hingga dasar perairan pada area sekitar bujur BT di bagian barat. Pada transek 3, lebih kurang pada daerah yang sama, kisaran kandungan klorofilnya makin berkurang yaitu 0,8-1,0 mg m - ³. Di bagian timur perairan, kisaran kandungan klorofilnya makin kecil yaitu 0,8-1,0 mg m - ³ dan dijumpai pada transek 2 di area sekitar BT. Konsentrasi kandungan klorofil-a terlihat meningkat hingga > 1,2 mg m - ³ dan menyebar lebih luas dari kedalaman 60 m hingga dasar perairan pada area sekitar BT. Kandungan klorofil-a di transek 4 terlihat menurun, dengan konsentrasi klorofil-a 0,6 mg m - ³ dan tersebar di seluruh kolom perairan. Namun di bagian barat terlihat ada konsentrasi yang lebih tinggi mencapai 0,8 mg m - ³ pada daerah sekitar BT dan menuju timur disekitar BT dengan konsentrasi 0,7 mg m - ³ (Gambar 23d).

31 Gambar 22. Profil sebaran vertikal klorofil-a secara melintang dari barat ke timur pada Lokasi A (Juni 2005). 47

32 Gambar 23. Profil sebaran klorofil-a vertikal secara melintang dari barat ke timur pada Lokasi B (Juli 2006). 48

33 49 Sebaran Mendatar Klorofil-a Sebaran kandungan klorofil-a di permukaan perairan pada Lokasi A lebih bervariasi dari Lokasi B (Gambar 24). Kisaran kandungan klorofil-a yang ditemukan 0,06-0,55 mg m - ³ di Lokasi A, sedangkan di Lokasi B sebesar 0,001-0,16 mg m - ³. Rendahnya kandungan klorofil-a pada permukaan perairan di Lokasi B ini disebabkan karena daerahnya jauh dari daratan, sedangkan di Lokasi A perairannya masih dipengaruhi oleh daratan. Hal ini disebabkan karena konsentrasi kandungan nutrien (klorofil) di lepas pantai lebih kecil dibandingkan dengan daerah pantai (Ryther 1969 diacu dalam Parson et al. 1984). Konsentrasi klorofil-a permukaan dan di beberapa selang kedalaman perairan untuk kedua lokasi ditunjukkan pada Tabel 3. Tabel 3. Kisaran konsentrasi klorofil-a pada permukaan dan beberapa lapisan kedalaman Lapisan Jlh Lokasi A (2005) Jlh Lokasi B (2006) Kedalaman St. Min. Maks. Rerata St. Min. Maks. Rerata Permukaan 20 0,0569 0,5584 0, ,0085 0,1604 0, ,0933 0,5558 0, ,0498 0,1759 0, ,1363 0,8278 0, ,0618 0,1808 0, ,1464 0,8736 0, ,0725 0,3170 0, ,3384 1,2110 0, ,0841 0,5411 0, ,4415 1,1799 0, ,1116 1,4208 0, ,3426 0,6613 0, ,1419 1,5832 0, ,2559 1,4258 0, ,6164 1,3348 0, ,4555 1,1165 0,6314 Gambar 24. Sebaran kandungan klorofil-a permukaan di: (a) Lokasi A (Juni 2005) dan (b) Lokasi B (Juli 2006).

34 50 Kandungan konsentrasi klorofil-a makin meningkat dengan bertambahnya kedalaman perairan. Hal ini terlihat pada lapisan kedalaman 10 m dan 20 m di Lokasi A yang terjangkau di seluruh stasiun, dimana konsentrasinya mencapai 0,83 mg m - ³ dan dijumpai pada area sekitar ekuator pada bujur BT, sedangkan di daerah lintang tinggi kandungan klorofil-a rendah yaitu sebesar < 0,2 mg m - ³ (Gambar 25a dan 25b). Daerah dengan kandungan konsentrasi klorofil-a yang tinggi terdapat di lapisan kedalaman 20 m hingga lapisan kedalaman 40 m. Pada lapisan kedalaman 30 m konsentrasi klorofil-a mencapai 0,87 mg m - ³ (Gambar 25c) dan pada lapisan kedalaman 40 m mencapai 1,2 mg m - ³, dengan sebaran yang lebih luas dan ditemukan pada area sekitar BT dan LU (Gambar 25d). Peningkatan kandungan klorofil-a juga dijumpai pada daerah lintang tinggi dengan konsentrasi 0,2-0,6 mg m - ³. Rata-rata konsentrasi klorofil-a pada lapisan kedalaman 50 m dan 60 m adalah > 0,6 mg m - ³. Sebaran konsentrasi klorofil-a pada lapisan kedalaman 50 m berbeda dengan lapisan kedalaman lainnya. Pada lapisan ini konsentrasi klorofil-a maksimum ditemukan pada daerah di atas lintang 03 LU sebesar 1,18 mg m - ³, sedangkan untuk daerah di sekitar ekuator dan bujur 107 BT konsentrasi klorofila maksimum dijumpai sebesar 0,9 mg m - ³ (Gambar 25e dan 25f). Berdasarkan sebaran mendatar kandungan klorofil-a di Lokasi B pada kedalaman m, terlihat bahwa massa airnya mengandung konsentrasi klorofil-a yang rendah < 0,2 mg m - ³ (Gambar 26a, 26b dan 26c), sedangkan pada lapisan kedalaman 40 m, konsentrasi klorofil-a mulai meningkat, khususnya pada area di bawah lintang 03 LU dengan konsentrasi klorofil mencapai 0,5 mg m - ³ (Gambar 26d). Meningkatnya konsentrasi klorofil-a ini makin jelas terlihat pada lapisan yang lebih dalam, seperti yang ditemukan di lapisan kedalaman 50 m. Kandungan konsentrasi klorofil-a pada area di bawah lintang 03 LU mencapai 1,4 mg m - ³. Di lapisan kedalaman 60 m, dijumpai massa air dengan konsentrasi klorofil-a yang tinggi dan menyebar ke arah utara. Di lokasi ini, terlihat adanya dua massa air yaitu di bagian barat hingga sekitar 108 BT dengan konsentrasi klorofil-a yang tinggi yaitu 0,7-1,58 mg m - ³, sedangkan di sekitar 108 BT hingga ke arah timur dan dari lintang 03 LU ke utara, dengan konsentrasi klorofil-a yang rendah yaitu < 0,7 mg/m³ (Gambar 26e dan 26f).

35 Gambar 25. Sebaran kandungan klorofil-a pada beberapa lapisan kedalaman di Lokasi A (Juni 2005) 51

36 52 Gambar 26. Sebaran kandungan klorofil-a pada beberapa lapisan kedalaman di Lokasi B (Juli 2006) Pada lapisan kedalaman 70 m, massa air dengan kandungan klorofil-a yang tinggi 0,7-1,0 mg m - ³ mendominasi perairan ini dan hanya bagian di sebelah timur laut dijumpai massa air dengan kandungan klorofil-a 0,3-0,6 mg m - ³ (Gambar 26g). Pada lapisan kedalaman 80 m sebaran klorofil-a yang rendah dijumpai dibagian barat laut, dan di bagian tenggara dijumpai massa air dengan kandungan klorofil-a yang mencapai 1,3 mg m - ³ (Gambar 26h). Lapisan kedalaman 90 m yang terjangkau pada 5 stasiun yang umumnya terdapat di bagian timur laut dan di atas lintang 03 LU, memiliki sebaran klorofil-a yang cukup tinggi yaitu 0,5-1,2 mg m - ³. Bagian perairan dengan kandungan klorofil-a tertinggi dijumpai pada area sekitar LU (Gambar 26i).

37 53 Kesimpulan 1. Massa air permukaan Laut Cina Selatan perairan Indonesia (LCSI) di lokasi penelitian bulan Juni 2005 (Lokasi A) memiliki suhu yang lebih tinggi dan salinitas yang lebih rendah di bandingkan dengan lokasi penelitian bulan Juli 2006 (Lokasi B), namun pada kedalaman m suhu lebih rendah dan salinitasnya lebih tinggi. Secara keseluruhan, konsentrasi klorofil-a di Lokasi A lebih tinggi dibandingkan dengan Lokasi B. 2. Lapisan massa air homogen atau lapisan tercampur bervariasi di kedua lokasi. Di lokasi penelitian bulan Juni 2005, lapisan tercampur dijumpai hingga kedalaman 41 m, sedangkan di lokasi penelitian bulan Juli 2006 dijumpai hingga kedalaman 58 m. Lapisan termoklin ditemukan di kedalaman m dengan ketebalan lapisan 4-44 m. 3. Massa air di lokasi penelitian bulan Juni 2005 merupakan massa air setempat, sedangkan di lokasi penelitian bulan Juli 2006 khususnya di kedalaman <60 m, terlihat adanya penyusupan massa air Samudera Pasifik yang lebih dingin dan bersalinitas tinggi.

4. HUBUNGAN ANTARA DISTRIBUSI KEPADATAN IKAN DAN PARAMETER OSEANOGRAFI

4. HUBUNGAN ANTARA DISTRIBUSI KEPADATAN IKAN DAN PARAMETER OSEANOGRAFI 4. HUBUNGAN ANTARA DISTRIBUSI KEPADATAN IKAN DAN PARAMETER OSEANOGRAFI Pendahuluan Ikan dipengaruhi oleh suhu, salinitas, kecepatan arus, oksigen terlarut dan masih banyak faktor lainnya (Brond 1979).

Lebih terperinci

Gambar 1. Diagram TS

Gambar 1. Diagram TS BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Massa Air 4.1.1 Diagram TS Massa Air di Selat Lombok diketahui berasal dari Samudra Pasifik. Hal ini dibuktikan dengan diagram TS di 5 titik stasiun

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 23 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut (SPL) Hasil olahan citra Modis Level 1 yang merupakan data harian dengan tingkat resolusi spasial yang lebih baik yaitu 1 km dapat menggambarkan

Lebih terperinci

POLA DISTRIBUSI SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM

POLA DISTRIBUSI SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM POLA DISTRIBSI SH DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELK AMBON DALAM PENDAHLAN Suhu suatu badan air dipengaruhi oleh musim, lintang, ketinggian dari permukaan laut, waktu dalam hari, sirkulasi udara, penutupan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Variabilitas Kesuburan Perairan dan Oseanografi Fisika 4.1.1. Sebaran Ruang (Spasial) Suhu Permukaan Laut (SPL) Sebaran Suhu Permukaan Laut (SPL) di perairan Selat Lombok dipengaruhi

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Salinitas pada Indomix Cruise

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Salinitas pada Indomix Cruise 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Salinitas pada Indomix Cruise Peta sebaran SPL dan salinitas berdasarkan cruise track Indomix selengkapnya disajikan pada Gambar 6. 3A 2A

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Sebaran Angin Di perairan barat Sumatera, khususnya pada daerah sekitar 2, o LS hampir sepanjang tahun kecepatan angin bulanan rata-rata terlihat lemah dan berada pada kisaran,76 4,1

Lebih terperinci

Praktikum M.K. Oseanografi Hari / Tanggal : Dosen : 1. Nilai SUHU DAN SALINITAS. Oleh. Nama : NIM :

Praktikum M.K. Oseanografi Hari / Tanggal : Dosen : 1. Nilai SUHU DAN SALINITAS. Oleh. Nama : NIM : Praktikum M.K. Oseanografi Hari / Tanggal : Dosen : 1. 2. 3. Nilai SUHU DAN SALINITAS Nama : NIM : Oleh JURUSAN PERIKANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA 2015 MODUL 3. SUHU DAN SALINITAS

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pelapisan Massa Air di Perairan Raja Ampat Pelapisan massa air dapat dilihat melalui sebaran vertikal dari suhu, salinitas dan densitas di laut. Gambar 4 merupakan sebaran menegak

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Konsentrasi klorofil-a suatu perairan sangat tergantung pada ketersediaan nutrien dan intensitas cahaya matahari. Bila nutrien dan intensitas cahaya matahari cukup tersedia,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi Model Visualisasi Klimatologi Suhu Permukaan Laut (SPL) model SODA versi 2.1.6 diambil dari lapisan permukaan (Z=1) dengan kedalaman 0,5 meter (Lampiran 1). Begitu

Lebih terperinci

STUDI VARIASI TEMPERATUR DAN SALINITAS DI PERAIRAN DIGUL IRIAN JAYA, OKTOBER 2002

STUDI VARIASI TEMPERATUR DAN SALINITAS DI PERAIRAN DIGUL IRIAN JAYA, OKTOBER 2002 1 STUDI VARIASI TEMPERATUR DAN SALINITAS DI PERAIRAN DIGUL IRIAN JAYA, KTBER 2002 Ankiq Taofiqurohman S Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran Jatinangor, Bandung 40600 ABSTRACT Ankiq

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Distribusi SPL Dari pengamatan pola sebaran suhu permukaan laut di sepanjang perairan Selat Sunda yang di analisis dari data penginderaan jauh satelit modis terlihat ada pembagian

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Arus Eddy Penelitian mengenai arus eddy pertama kali dilakukan pada sekitar tahun 1930 oleh Iselin dengan mengidentifikasi eddy Gulf Stream dari data hidrografi, serta penelitian

Lebih terperinci

VARIABILITAS SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN PULAU BIAWAK DENGAN PENGUKURAN INSITU DAN CITRA AQUA MODIS

VARIABILITAS SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN PULAU BIAWAK DENGAN PENGUKURAN INSITU DAN CITRA AQUA MODIS VARIABILITAS SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN PULAU BIAWAK DENGAN PENGUKURAN INSITU DAN CITRA AQUA MODIS Irfan A. Silalahi 1, Ratna Suwendiyanti 2 dan Noir P. Poerba 3 1 Komunitas Instrumentasi dan Survey

Lebih terperinci

Physics Communication

Physics Communication Phys. Comm. 1 (1) (2017) Physics Communication http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/pc Analisis kondisi suhu dan salinitas perairan barat Sumatera menggunakan data Argo Float Lita Juniarti 1, Muh.

Lebih terperinci

Variabilitas Suhu dan Salinitas Perairan Selatan Jawa Timur Riska Candra Arisandi a, M. Ishak Jumarang a*, Apriansyah b

Variabilitas Suhu dan Salinitas Perairan Selatan Jawa Timur Riska Candra Arisandi a, M. Ishak Jumarang a*, Apriansyah b Variabilitas Suhu dan Salinitas Perairan Selatan Jawa Timur Riska Candra Arisandi a, M. Ishak Jumarang a*, Apriansyah b a Program Studi Fisika, Fakultas MIPA, Universitas Tanjungpura, b Program Studi Ilmu

Lebih terperinci

JOURNAL OF OCEANOGRAPHY. Volume 1, Nomor 1, Tahun 2012, Halaman Online di :

JOURNAL OF OCEANOGRAPHY. Volume 1, Nomor 1, Tahun 2012, Halaman Online di : JOURNAL OF OCEANOGRAPHY. Volume 1, Nomor 1, Tahun 2012, Halaman 33-39 Online di : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/joce *) Penulis Penanggung Jawab STUDI STRUKTUR LAPISAN TERMOKLIN DI PERAIRAN

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Massa Air 4.1.1 Sebaran Suhu BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Pada bagian ini akan menjelaskan sebaran suhu menjadi dua bagian penting yakni sebaran secara horisontal dan vertikal. Sebaran

Lebih terperinci

hujan, penguapan, kelembaban udara, suhu udara, kecepatan angin dan intensitas

hujan, penguapan, kelembaban udara, suhu udara, kecepatan angin dan intensitas 2.3 suhu 2.3.1 Pengertian Suhu Suhu merupakan faktor yang sangat penting bagi kehidupan organisme di lautan. Suhu mempengaruhi aktivitas metabolisme maupun perkembangbiakan dari organisme-organisme tersebut.

Lebih terperinci

SIFAT FISIK OSEANOGRAFI PERAIRAN KEPULAUAN TAMBELAN DAN SEKITARNYA, PROPINSI KEPULAUAN RIAU

SIFAT FISIK OSEANOGRAFI PERAIRAN KEPULAUAN TAMBELAN DAN SEKITARNYA, PROPINSI KEPULAUAN RIAU Jurnal PERIKANAN dan KELAUTAN 15,2 (21) : 173-184 SIFAT FISIK OSEANOGRAFI PERAIRAN KEPULAUAN TAMBELAN DAN SEKITARNYA, PROPINSI KEPULAUAN RIAU Syaifuddin 1) 1) Dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Batimetri Selat Sunda Peta batimetri adalah peta yang menggambarkan bentuk konfigurasi dasar laut dinyatakan dengan angka-angka suatu kedalaman dan garis-garis yang mewakili

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Total Data Sebaran Klorofil-a citra SeaWiFS Total data sebaran klorofil-a pada lokasi pertama, kedua, dan ketiga hasil perekaman citra SeaWiFS selama 46 minggu. Jumlah data

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Distribusi Spasial Arus Eddy di Perairan Selatan Jawa-Bali Berdasarkan hasil visualisasi data arus geostropik (Lampiran 3) dan tinggi paras laut (Lampiran 4) dalam skala

Lebih terperinci

KONDISI OSEANOGRAFIS SELAT MAKASAR By: muhammad yusuf awaluddin

KONDISI OSEANOGRAFIS SELAT MAKASAR By: muhammad yusuf awaluddin KONDISI OSEANOGRAFIS SELAT MAKASAR By: muhammad yusuf awaluddin Umum Perairan Indonesia memiliki keadaan alam yang unik, yaitu topografinya yang beragam. Karena merupakan penghubung dua system samudera

Lebih terperinci

Horizontal. Kedalaman. Laut. Lintang. Permukaan. Suhu. Temperatur. Vertikal

Horizontal. Kedalaman. Laut. Lintang. Permukaan. Suhu. Temperatur. Vertikal Temperatur Air Laut Dalam oseanografi dikenal dua istilah untuk menentukan temperatur air laut yaitu temperatur insitu (selanjutnya disebut sebagai temperatur saja) dan temperatur potensial. Temperatur

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK MASSA AIR ARLINDO DI PINTASAN TIMOR PADA MUSIM BARAT DAN MUSIM TIMUR

KARAKTERISTIK MASSA AIR ARLINDO DI PINTASAN TIMOR PADA MUSIM BARAT DAN MUSIM TIMUR KARAKTERISTIK MASSA AIR ARLINDO DI PINTASAN TIMOR PADA MUSIM BARAT DAN MUSIM TIMUR Oleh : Agus Dwi Jayanti Diah Cahyaningrum C64104051 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

DISTRIBUSI, DENSITAS IKAN DAN KONDISI FISIK OSEANOGRAFI DI SELAT MALAKA

DISTRIBUSI, DENSITAS IKAN DAN KONDISI FISIK OSEANOGRAFI DI SELAT MALAKA 2003 Julius A.N. Masrikat Posted 11 December 2003 Makalah Pribadi Pengantar Ke Falsafah Sains (PPS702) Program Pasca Sarjana / S3 Institut Pertanian Bogor Desember 2003 Dosen: Prof. Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Arus Tiap Lapisan Kedalaman di Selat Makassar Fluktuasi Arus dalam Ranah Waktu di Lokasi Mooring Stasiun 1

HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Arus Tiap Lapisan Kedalaman di Selat Makassar Fluktuasi Arus dalam Ranah Waktu di Lokasi Mooring Stasiun 1 HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Arus Tiap Lapisan Kedalaman di Selat Makassar Fluktuasi Arus dalam Ranah Waktu di Lokasi Mooring Stasiun 1 Pada bulan Desember 1996 Februari 1997 yang merupakan puncak musim barat

Lebih terperinci

KONDISI OSEANOGRAFI DI SELAT SUNDA DAN SELATAN JAWA BARAT PADA MONSUN BARAT 2012

KONDISI OSEANOGRAFI DI SELAT SUNDA DAN SELATAN JAWA BARAT PADA MONSUN BARAT 2012 KONDISI OSEANOGRAFI DI SELAT SUNDA DAN SELATAN JAWA BARAT PADA MONSUN BARAT 2012 Trie Lany Putri Yuliananingrum dan Mutiara R. Putri Program Studi Oseanografi, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pembuatan algoritma empiris klorofil-a Tabel 8, Tabel 9, dan Tabel 10 dibawah ini adalah percobaan pembuatan algoritma empiris dibuat dari data stasiun nomor ganjil, sedangkan

Lebih terperinci

VARIABILITAS SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN BARAT SUMATERA DAN HUBUNGANNYA DENGAN ANGIN MUSON DAN IODM (INDIAN OCEAN DIPOLE MODE)

VARIABILITAS SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN BARAT SUMATERA DAN HUBUNGANNYA DENGAN ANGIN MUSON DAN IODM (INDIAN OCEAN DIPOLE MODE) VARIABILITAS SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN BARAT SUMATERA DAN HUBUNGANNYA DENGAN ANGIN MUSON DAN IODM (INDIAN OCEAN DIPOLE MODE) Oleh : HOLILUDIN C64104069 SKRIPSI PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Bujur Timur ( BT) Gambar 5. Posisi lokasi pengamatan

METODE PENELITIAN Bujur Timur ( BT) Gambar 5. Posisi lokasi pengamatan METODE PENELITIAN Lokasi Penelitan Penelitian ini dilakukan pada perairan barat Sumatera dan selatan Jawa - Sumbawa yang merupakan bagian dari perairan timur laut Samudera Hindia. Batas perairan yang diamati

Lebih terperinci

5 PEMBAHASAN 5.1 Sebaran SPL Secara Temporal dan Spasial

5 PEMBAHASAN 5.1 Sebaran SPL Secara Temporal dan Spasial 5 PEMBAHASAN 5.1 Sebaran SPL Secara Temporal dan Spasial Hasil pengamatan terhadap citra SPL diperoleh bahwa secara umum SPL yang terendah terjadi pada bulan September 2007 dan tertinggi pada bulan Mei

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Suhu permukaan laut Indonesia secara umum berkisar antara O C

2. TINJAUAN PUSTAKA. Suhu permukaan laut Indonesia secara umum berkisar antara O C 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Umum Perairan Laut Banda 2.1.1 Kondisi Fisik Suhu permukaan laut Indonesia secara umum berkisar antara 26 29 O C (Syah, 2009). Sifat oseanografis perairan Indonesia bagian

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK MASSA AIR ARLINDO DI PINTASAN TIMOR PADA MUSIM BARAT DAN MUSIM TIMUR

KARAKTERISTIK MASSA AIR ARLINDO DI PINTASAN TIMOR PADA MUSIM BARAT DAN MUSIM TIMUR KARAKTERISTIK MASSA AIR ARLINDO DI PINTASAN TIMOR PADA MUSIM BARAT DAN MUSIM TIMUR Oleh : Agus Dwi Jayanti Diah Cahyaningrum C64104051 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Perubahan iklim global sekitar 3 4 juta tahun yang lalu telah mempengaruhi evolusi hominidis melalui pengeringan di Afrika dan mungkin pertanda zaman es pleistosin kira-kira

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERUHAN PADA PERAIRAN TELUK AMBON DALAM

HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERUHAN PADA PERAIRAN TELUK AMBON DALAM HBNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERHAN PADA PERAIRAN TELK AMBON DALAM PENDAHLAN Perkembangan pembangunan yang semakin pesat mengakibatkan kondisi Teluk Ambon, khususnya Teluk Ambon Dalam (TAD)

Lebih terperinci

Suhu, Cahaya dan Warna Laut. Materi Kuliah 6 MK Oseanografi Umum (ITK221)

Suhu, Cahaya dan Warna Laut. Materi Kuliah 6 MK Oseanografi Umum (ITK221) Suhu, Cahaya dan Warna Laut Materi Kuliah 6 MK Oseanografi Umum (ITK221) Suhu Bersama dengan salinitas dan densitas, suhu merupakan sifat air laut yang penting dan mempengaruhi pergerakan masa air di laut

Lebih terperinci

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IV HASIL DAN PEMBAHASAN 30 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Peta co-tidal Perairan Indonesia Arah rambatan konstanta Pasut ditentukan dengan menganalisis kontur waktu air tinggi (satuan jam) suatu perairan. Jika kontur waktu air

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Suhu Permukaan Laut (SPL) di Perairan Indramayu Citra pada tanggal 26 Juni 2005 yang ditampilkan pada Gambar 8 memperlihatkan bahwa distribusi SPL berkisar antara 23,10-29

Lebih terperinci

ANALISIS HUJAN BULAN MEI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN JULI, AGUSTUS DAN SEPTEMBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

ANALISIS HUJAN BULAN MEI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN JULI, AGUSTUS DAN SEPTEMBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA ANALISIS HUJAN BULAN MEI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN JULI, AGUSTUS DAN SEPTEMBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA Sumber : BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perairan Indonesia merupakan area yang mendapatkan pengaruh Angin Muson dari tenggara pada saat musim dingin di wilayah Australia, dan dari barat laut pada saat musim

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Perbandingan Hasil Model dengan DISHIDROS Komponen gelombang pasang surut M2 dan K1 yang dipilih untuk dianalisis lebih lanjut, disebabkan kedua komponen ini yang paling dominan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Distribusi SPL secara Spasial dan Temporal Pola distribusi SPL sangat erat kaitannya dengan pola angin yang bertiup pada suatu daerah. Wilayah Indonesia sendiri dipengaruhi

Lebih terperinci

Pola dan Karakteristik Sebaran Medan Massa, Medan Tekanan dan Arus Geostropik Perairan Selatan Jawa

Pola dan Karakteristik Sebaran Medan Massa, Medan Tekanan dan Arus Geostropik Perairan Selatan Jawa Dinamika Maritim Coastal and Marine Resources Research Center, Raja Ali Haji Maritime University Tanjungpinang-Indonesia Volume 6 Number 2, February 2018 Pola dan Karakteristik Sebaran Medan Massa, Medan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perairan Samudera Hindia mempunyai sifat yang unik dan kompleks karena dinamika perairan ini sangat dipengaruhi oleh sistem angin musim dan sistem angin pasat yang

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil dan Verifikasi Hasil simulasi model meliputi sirkulasi arus permukaan rata-rata bulanan dengan periode waktu dari tahun 1996, 1997, dan 1998. Sebelum dianalisis lebih

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Pulau Panjang (310 ha), Pulau Rakata (1.400 ha) dan Pulau Anak Krakatau (320

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Pulau Panjang (310 ha), Pulau Rakata (1.400 ha) dan Pulau Anak Krakatau (320 28 IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Letak dan Luas Kepulauan Krakatau terletak di Selat Sunda, yaitu antara Pulau Jawa dan Pulau Sumatera. Luas daratannya sekitar 3.090 ha terdiri dari Pulau Sertung

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 20 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Parameter Oseanografi Pesisir Kalimantan Barat Parameter oseanografi sangat berperan penting dalam kajian distribusi kontaminan yang masuk ke laut karena komponen fisik

Lebih terperinci

Suhu rata rata permukaan laut

Suhu rata rata permukaan laut Oseanografi Fisis 2 Sifat Fisis & Kimiawi Air Laut Suhu Laut Suhu rata rata permukaan laut Distribusi vertikal Suhu Mixed layer Deep layer Distribusi vertikal Suhu Mixed Layer di Equator lebih tipis dibandingkan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 1.1. Kondisi Umum Perairan Selatan Jawa Perairan Selatan Jawa merupakan perairan Indonesia yang terletak di selatan Pulau Jawa yang berhubungan secara langsung dengan Samudera Hindia.

Lebih terperinci

4 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Kabupaten Pati 4.1.1 Kondisi geografi Kabupaten Pati dengan pusat pemerintahannya Kota Pati secara administratif berada dalam wilayah Provinsi Jawa Tengah. Kabupaten

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. sebaran dan kelimpahan sumberdaya perikanan di Selat Sunda ( Hendiarti et

2. TINJAUAN PUSTAKA. sebaran dan kelimpahan sumberdaya perikanan di Selat Sunda ( Hendiarti et 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi geografis lokasi penelitian Keadaan topografi perairan Selat Sunda secara umum merupakan perairan dangkal di bagian timur laut pada mulut selat, dan sangat dalam di mulut

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI KARAKTERISTIK MASSA AIR PERAIRAN SELAT BANGKA BAGIAN SELATAN IDENTIFICATION OF WATER MASSES IN THE SOUTHERN OF BANGKA STRAIT

IDENTIFIKASI KARAKTERISTIK MASSA AIR PERAIRAN SELAT BANGKA BAGIAN SELATAN IDENTIFICATION OF WATER MASSES IN THE SOUTHERN OF BANGKA STRAIT MASPARI JOURNAL Juli 2016, 8(2):91-100 IDENTIFIKASI KARAKTERISTIK MASSA AIR PERAIRAN SELAT BANGKA BAGIAN SELATAN IDENTIFICATION OF WATER MASSES IN THE SOUTHERN OF BANGKA STRAIT Ramsen Napitu 1), Heron

Lebih terperinci

4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 33 4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Kondisi Umum Kepulauan Seribu Wilayah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu terletak di sebelah Utara Teluk Jakarta dan Laut Jawa Jakarta. Pulau Paling utara,

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN.1 Data Siklon Tropis Data kejadian siklon tropis pada penelitian ini termasuk depresi tropis, badai tropis dan siklon tropis. Data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data

Lebih terperinci

PERTEMUAN KE-6 M.K. DAERAH PENANGKAPAN IKAN HUBUNGAN SUHU DAN SALINITAS PERAIRAN TERHADAP DPI ASEP HAMZAH

PERTEMUAN KE-6 M.K. DAERAH PENANGKAPAN IKAN HUBUNGAN SUHU DAN SALINITAS PERAIRAN TERHADAP DPI ASEP HAMZAH PERTEMUAN KE-6 M.K. DAERAH PENANGKAPAN IKAN HUBUNGAN SUHU DAN SALINITAS PERAIRAN TERHADAP DPI ASEP HAMZAH Hidup ikan Dipengaruhi lingkungan suhu, salinitas, oksigen terlarut, klorofil, zat hara (nutrien)

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Sebaran Nutrien dan Oksigen Terlarut (DO) di Teluk Jakarta

4. HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Sebaran Nutrien dan Oksigen Terlarut (DO) di Teluk Jakarta 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pola Sebaran Nutrien dan Oksigen Terlarut (DO) di Teluk Jakarta Hasil pengamatan lapangan nitrat, amonium, fosfat, dan DO bulan Maret 2010 masing-masing disajikan pada Gambar

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian 3.2 Kapal Survei dan Instrumen Penelitian

3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian 3.2 Kapal Survei dan Instrumen Penelitian 3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini merupakan bagian dari Ekspedisi Selat Makassar 2003 yang diperuntukkan bagi Program Census of Marine Life (CoML) yang dilaksanakan oleh

Lebih terperinci

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 6. DINAMIKA HIDROSFERLATIHAN SOAL 6.4

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 6. DINAMIKA HIDROSFERLATIHAN SOAL 6.4 SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 6. DINAMIKA HIDROSFERLATIHAN SOAL 6.4 1. Berdasarkan letaknya laut-laut yang berada di Indonesia merupakan contoh laut jenis... transgresi pedalaman pertengahan regresi

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Perairan Laut Arafura di lokasi penelitian termasuk ke dalam kategori

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Perairan Laut Arafura di lokasi penelitian termasuk ke dalam kategori 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Profil Peta Batimetri Laut Arafura Perairan Laut Arafura di lokasi penelitian termasuk ke dalam kategori perairan dangkal dimana kedalaman mencapai 100 meter. Berdasarkan data

Lebih terperinci

PENUNTUN PRAKTIKUM OSEANOGRAFI FISIKA

PENUNTUN PRAKTIKUM OSEANOGRAFI FISIKA PENUNTUN PRAKTIKUM OSEANOGRAFI FISIKA DISUSUN OLEH Heron Surbakti dan Tim Asisten Praktikum Oseanografi Fisika LABORATORIUM OSEANOGRAFI PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

Lebih terperinci

Tahun Pasifik Barat Hindia Selatan Teluk Benggala Total

Tahun Pasifik Barat Hindia Selatan Teluk Benggala Total 8 Frekuensi siklon 160 140 120 100 80 60 40 20 0 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Tahun Pasifik Barat Hindia Selatan Teluk Benggala Total Gambar 6 Frekuensi siklon tropis di perairan sekitar Indonesia (Pasifik

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Suhu menyatakan banyaknya bahang (heat) yang terkandung dalam suatu

2. TINJAUAN PUSTAKA. Suhu menyatakan banyaknya bahang (heat) yang terkandung dalam suatu 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Suhu Permukaan Laut (SPL) Suhu menyatakan banyaknya bahang (heat) yang terkandung dalam suatu benda. Secara alamiah sumber utama bahang dalam air laut adalah matahari. Daerah yang

Lebih terperinci

FENOMENA UPWELLING DAN KAITANNYA TERHADAP JUMLAH TANGKAPAN IKAN LAYANG DELES (Decapterus Macrosoma) DI PERAIRAN TRENGGALEK

FENOMENA UPWELLING DAN KAITANNYA TERHADAP JUMLAH TANGKAPAN IKAN LAYANG DELES (Decapterus Macrosoma) DI PERAIRAN TRENGGALEK FENOMENA UPWELLING DAN KAITANNYA TERHADAP JUMLAH TANGKAPAN IKAN LAYANG DELES (Decapterus Macrosoma) DI PERAIRAN TRENGGALEK Indri Ika Widyastuti 1, Supriyatno Widagdo 2, Viv Djanat Prasita 2 1 Mahasiswa

Lebih terperinci

3 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

3 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 3 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 3.1 Deskripsi umum lokasi penelitian 3.1.1 Perairan Pantai Lovina Kawasan Lovina merupakan kawasan wisata pantai yang berada di Kabupaten Buleleng, Bali dengan daya tarik

Lebih terperinci

5. ESTIMASI STOK SUMBERDAYA IKAN BERDASARKAN METODE HIDROAKUSTIK

5. ESTIMASI STOK SUMBERDAYA IKAN BERDASARKAN METODE HIDROAKUSTIK 5. ESTIMASI STOK SUMBERDAYA IKAN BERDASARKAN METODE HIDROAKUSTIK Pendahuluan Sumberdaya perikanan LCS merupakan kontribusi utama yang sangat penting di tingkat lokal, regional dan internasional untuk makanan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memanasnya suhu permukaan air laut Pasifik bagian timur. El Nino terjadi pada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memanasnya suhu permukaan air laut Pasifik bagian timur. El Nino terjadi pada 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gambaran Umum El Nino El Nino adalah fenomena perubahan iklim secara global yang diakibatkan oleh memanasnya suhu permukaan air laut Pasifik bagian timur. El Nino terjadi

Lebih terperinci

STASIUN METEOROLOGI KLAS III NABIRE

STASIUN METEOROLOGI KLAS III NABIRE STASIUN METEOROLOGI KLAS III NABIRE KARAKTERISTIK RATA-RATA SUHU MAKSIMUM DAN SUHU MINIMUM STASIUN METEOROLOGI NABIRE TAHUN 2006 2015 OLEH : 1. EUSEBIO ANDRONIKOS SAMPE, S.Tr 2. RIFKI ADIGUNA SUTOWO, S.Tr

Lebih terperinci

VARIABILITAS SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN CISADANE

VARIABILITAS SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN CISADANE MAKARA, SAINS, VOLUME 12, NO. 2, NOVEMBER 2008: 82-88 VARIABILITAS SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN CISADANE Hadikusumah Bidang Dinamika Laut, Pusat Penelitian Oseanografi, LIPI, Jakarta 14430, Indonesia

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan selama bulan Februari-Mei 2013 di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas

Lebih terperinci

Studi Variabilitas Lapisan Atas Perairan Samudera Hindia Berbasis Model Laut

Studi Variabilitas Lapisan Atas Perairan Samudera Hindia Berbasis Model Laut Studi Variabilitas Lapisan Atas Perairan Samudera Hindia Berbasis Model Laut Oleh : Martono, Halimurrahman, Rudy Komarudin, Syarief, Slamet Priyanto dan Dita Nugraha Interaksi laut-atmosfer mempunyai peranan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Arus Lintas Indonesia atau ITF (Indonesian Throughflow) yaitu suatu sistem arus di perairan Indonesia yang menghubungkan Samudra Pasifik dengan Samudra Hindia yang

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. utara. Kawasan pesisir sepanjang perairan Pemaron merupakan kawasan pantai

2. TINJAUAN PUSTAKA. utara. Kawasan pesisir sepanjang perairan Pemaron merupakan kawasan pantai 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Perairan Pantai Pemaron merupakan salah satu daerah yang terletak di pesisir Bali utara. Kawasan pesisir sepanjang perairan Pemaron merupakan kawasan pantai wisata

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR KUPANG, MARET 2016 PH. KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI LASIANA KUPANG CAROLINA D. ROMMER, S.IP NIP

KATA PENGANTAR KUPANG, MARET 2016 PH. KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI LASIANA KUPANG CAROLINA D. ROMMER, S.IP NIP KATA PENGANTAR Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) setiap tahun menerbitkan dua jenis prakiraan musim yaitu Prakiraan Musim Kemarau diterbitkan setiap bulan Maret dan Prakiraan Musim Hujan

Lebih terperinci

ANALISIS HUJAN BULAN JANUARI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN MARET, APRIL, DAN MEI 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

ANALISIS HUJAN BULAN JANUARI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN MARET, APRIL, DAN MEI 2011 PROVINSI DKI JAKARTA ANALISIS HUJAN BULAN JANUARI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN MARET, APRIL, DAN MEI 2011 PROVINSI DKI JAKARTA Sumber : BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG

Lebih terperinci

ANALISIS HUJAN BULAN PEBRUARI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN APRIL, MEI DAN JUNI 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

ANALISIS HUJAN BULAN PEBRUARI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN APRIL, MEI DAN JUNI 2011 PROVINSI DKI JAKARTA ANALISIS HUJAN BULAN PEBRUARI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN APRIL, MEI DAN JUNI 2011 PROVINSI DKI JAKARTA Sumber : BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Pelapisan massa air merupakan sebuah kondisi yang menggambarkan

2. TINJAUAN PUSTAKA. Pelapisan massa air merupakan sebuah kondisi yang menggambarkan 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kestabilan Massa Air Pelapisan massa air merupakan sebuah kondisi yang menggambarkan bahwa dalam kolom air massa air terbagi secara vertikal kedalam beberapa lapisan. Pelapisan

Lebih terperinci

Tinjauan Pustaka. II.1 Variabilitas ARLINDO di Selat Makassar

Tinjauan Pustaka. II.1 Variabilitas ARLINDO di Selat Makassar BAB II Tinjauan Pustaka II.1 Variabilitas ARLINDO di Selat Makassar Matsumoto dan Yamagata (1996) dalam penelitiannya berdasarkan Ocean Circulation General Model (OGCM) menunjukkan adanya variabilitas

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian di Samudera Hindia bagian Timur

BAB III METODOLOGI. Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian di Samudera Hindia bagian Timur BAB III METODOLOGI 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ini mengambil lokasi di perairan Samudera Hindia bagian timur dengan koordinat 5 o LS 20 o LS dan 100 o BT 120 o BT (Gambar 8). Proses pengolahan dan

Lebih terperinci

berada di sisi pantai dan massa air hangat berada di lepas pantai. Dari citra yang diperoleh terlihat bahwa rrpweliit7g dapat dengan jelas terlihat

berada di sisi pantai dan massa air hangat berada di lepas pantai. Dari citra yang diperoleh terlihat bahwa rrpweliit7g dapat dengan jelas terlihat Mhd. Yudya Bakti. Ijincmrikn Peroirnn cfi SElnfnn Jaws Tinrrir - Bnli Pach h41tsinr Tinrur 1990, di bawah bimbingan Dr. Ir. Molia Purba, MSc. Sebagai Ketua komisi Pembimbing, Dr. Ir. Vincel~tius P. Siregar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia memiliki wilayah lautan yang lebih luas dibandingkan luasan daratannya. Luas wilayah laut mencapai 2/3 dari luas wilayah daratan. Laut merupakan medium yang

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Data arus diperoleh dari Mooring Aanderaa yang merupakan bagian dari Program Arlindo Indonesia-USA pada dua lokasi di Selat Makassar masingmasing pada posisi

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Kecamatan Padang Cermin merupakan bagian dari Kabupaten Pesawaran, Secara

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Kecamatan Padang Cermin merupakan bagian dari Kabupaten Pesawaran, Secara IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Letak dan Luas Kecamatan Padang Cermin merupakan bagian dari Kabupaten Pesawaran, Secara geografis, Kecamatan Padang Cermin terletak di sebelah Tenggara Kabupaten

Lebih terperinci

EVALUASI CUACA BULAN JUNI 2016 DI STASIUN METEOROLOGI PERAK 1 SURABAYA

EVALUASI CUACA BULAN JUNI 2016 DI STASIUN METEOROLOGI PERAK 1 SURABAYA EVALUASI CUACA BULAN JUNI 2016 DI STASIUN METEOROLOGI PERAK 1 SURABAYA OLEH : ANDRIE WIJAYA, A.Md FENOMENA GLOBAL 1. ENSO (El Nino Southern Oscillation) Secara Ilmiah ENSO atau El Nino dapat di jelaskan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 17 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi umum perairan selat sunda Selat Sunda merupakan selat yang membujur dari arah Timur Laut menuju Barat Daya di ujung Barat Pulau Jawa atau Ujung Selatan

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA SALINITAS DAN TEMPERATUR

HUBUNGAN ANTARA SALINITAS DAN TEMPERATUR 1 HUBUNGAN ANTARA SALINITAS DAN TEMPERATUR Dalam setiap penelitian oseanografi parameter-parameter yang selalu diukur ialah suhu, salinitas, kandungan O2, dan kandungan zat hara (nutrien): fosfat, nitrat,

Lebih terperinci

Gambar 10. Peta Jakarta dan Teluk Jakarta

Gambar 10. Peta Jakarta dan Teluk Jakarta IV. KONDISI UMUM WILAYAH STUDI 4.1. Kondisi Geografis Kota Jakarta merupakan dataran rendah dengan ketinggian rata-rata ± 7 meter di atas permukaan laut, terletak pada posisi 6 12' Lintang Selatan dan

Lebih terperinci

Tengah dan Selatan. Rata-rata SPL selama penelitian di Zona Utara yang pengaruh massa air laut Flores kecil diperoleh 30,61 0 C, Zona Tengah yang

Tengah dan Selatan. Rata-rata SPL selama penelitian di Zona Utara yang pengaruh massa air laut Flores kecil diperoleh 30,61 0 C, Zona Tengah yang 8 PEMBAHASAN UMUM Berdasarkan letaknya yang pada bagian selatan berbatasan dengan laut Flores, karakteristik perairan Teluk Bone sangat dipengaruhi oleh laut ini. Arus permukaan di Teluk Bone sangat dipengaruhi

Lebih terperinci

Prakiraan Musim Kemarau 2018 Zona Musim di NTT KATA PENGANTAR

Prakiraan Musim Kemarau 2018 Zona Musim di NTT KATA PENGANTAR KATA PENGANTAR Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) setiap tahun menerbitkan dua jenis prakiraan musim yaitu Prakiraan Musim Kemarau diterbitkan setiap bulan Maret dan Prakiraan Musim Hujan

Lebih terperinci

Gambar 1. Pola sirkulasi arus global. (www.namce8081.wordpress.com)

Gambar 1. Pola sirkulasi arus global. (www.namce8081.wordpress.com) Arus Geostropik Peristiwa air yang mulai bergerak akibat gradien tekanan, maka pada saat itu pula gaya coriolis mulai bekerja. Pada saat pembelokan mencapai 90 derajat, maka arah gerak partikel akan sejajar

Lebih terperinci

b) Bentuk Muara Sungai Cimandiri Tahun 2009

b) Bentuk Muara Sungai Cimandiri Tahun 2009 32 6 PEMBAHASAN Penangkapan elver sidat di daerah muara sungai Cimandiri dilakukan pada malam hari. Hal ini sesuai dengan sifat ikan sidat yang aktivitasnya meningkat pada malam hari (nokturnal). Penangkapan

Lebih terperinci

PENUNTUN PRAKTIKUM OSEANOGRAFI FISIKA

PENUNTUN PRAKTIKUM OSEANOGRAFI FISIKA PENUNTUN PRAKTIKUM OSEANOGRAFI FISIKA DISUSUN OLEH Heron Surbakti dan Tim Asisten Praktikum Oseanografi Fisika LABORATORIUM OSEANOGRAFI PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

Lebih terperinci

Identifikasi Massa Air Di Perairan Timur Laut Samudera Hindia

Identifikasi Massa Air Di Perairan Timur Laut Samudera Hindia Maspari Journal, 2013, 5 (2), 119-133 http://masparijournal.blogspot.com Identifikasi Massa Air Di Perairan Timur Laut Samudera Hindia M. Albab Al Ayubi 1, Heron Surbakti 1,dan La Ode Nurman Mbay 2 1 Program

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil simulasi model penjalaran gelombang ST-Wave berupa gradien stress radiasi yang timbul sebagai akibat dari adanya perubahan parameter gelombang yang menjalar memasuki perairan

Lebih terperinci

PENGARUH PERUBAHAN DAN VARIABILITAS IKLIM TERHADAP DINAMIKA FISHING GROUND DI PESISIR SELATAN PULAU JAWA

PENGARUH PERUBAHAN DAN VARIABILITAS IKLIM TERHADAP DINAMIKA FISHING GROUND DI PESISIR SELATAN PULAU JAWA PENGARUH PERUBAHAN DAN VARIABILITAS IKLIM TERHADAP DINAMIKA FISHING GROUND DI PESISIR SELATAN PULAU JAWA OLEH : Dr. Kunarso FOKUSED GROUP DISCUSSION CILACAP JUNI 2016 PERUBAHAN IKLIM GLOBAL Dalam Purwanto

Lebih terperinci

DIRECTORY PERALATAN PENELITIAN LAUT DALAM PUSAT PENELITIAN LAUT DALAM LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA BIDANG SARANA PENELITIAN

DIRECTORY PERALATAN PENELITIAN LAUT DALAM PUSAT PENELITIAN LAUT DALAM LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA BIDANG SARANA PENELITIAN DIRECTORY PERALATAN PENELITIAN LAUT DALAM PUSAT PENELITIAN LAUT DALAM LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA BIDANG SARANA PENELITIAN LAB. ELEKTRONIK KR. BARUNA JAYA VII CTD PROFILER SBE 19plus CTD Underwater

Lebih terperinci

Suhu dan Salinitas Permukaan Merupakan Indikator Upwelling Sebagai Respon Terhadap Angin Muson Tenggara di Perairan Bagian Utara Laut Sawu

Suhu dan Salinitas Permukaan Merupakan Indikator Upwelling Sebagai Respon Terhadap Angin Muson Tenggara di Perairan Bagian Utara Laut Sawu ISSN 0853-7291 Suhu dan Salinitas Permukaan Merupakan Indikator Upwelling Sebagai Respon Terhadap Angin Muson Tenggara di Perairan Bagian Utara Laut Sawu Simon Tubalawony 1, Edi Kusmanto 2*, Muhadjirin

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 99 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Validasi Data Asimilasi GFDL 4.1.1 TRITON Stasiun pengamatan data TRITON yang digunakan untuk melakukan validasi data asimilasi GFDL sebanyak 13 stasiun dengan 12 TRITON berada

Lebih terperinci