IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "IV. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pengaruh Kadar Asam dan ph Asap Cair Tempurung Kelapa Terhadap Daya Koagulasi Lateks Asap cair tempurung kelapa yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari industri rumah tangga pembuatan arang yang juga merupakan industri percontohan produksi arang dan asap cair bekerjasama dengan Departemen Teknik Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Asap cair diperoleh dari asap hasil pirolisis bahan baku tempurung kelapa yang ditangkap dengan sungkup dan pipa pengumpul asap kemudian diikuti dengan peristiwa kondensasi dalam kondensor berpendingin bak air (Rokhani, 2006). Berdasarkan hasil analisis laboratorium, kandungan kimia yang terdapat di dalam asap cair tempurung kelapa dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Hasil analisis komponen kimia asap cair tempurung kelapa. No Komponen kimia Jumlah persentase 1 Total Asam 9.81 ± 0.12% 2 Total Fenol 6.78 ± 0.06% 3 ph 3.00 ± 0.01 Total asam diukur dengan cara yaitu, sebanyak 10 gram asap cair tempurung kelapa diencerkan menjadi 100 ml dengan akuades. Larutan sampel sebanyak 10 gram ditambah indikator fenolphthalin (PP) sebanyak 2-3 tetes dan dititrasi dengan larutan NaOH 0.1 N sampai titik akhir titrasi. Total asam tertitrasi dinyatakan sebagai persen asam asetat sehingga diperoleh nilai rata-rata total asam sebesar 9.81 ± 0.12%. Untuk mengukur besarnya total fenol, sebanyak 10 ml asap cair tempurung kelapa disentrifuse pada 400 rpm selama 10 menit. Kemudian ditempatkan ke dalam tabung reaksi yang sudah berisi 1 ml etanol 95% dan 5 ml air, selanjutnya ditambahkan 0.5 ml reagen folin-ciocalteu ke masing-masing tabung. Diamkan selama 5 menit, lalu di tambahkan 1 ml Na 2 S 2 O 3 5% ke tiap-tiap sampel, dikocok dalam vortex shaker dan disimpan selama 60 menit. Setelah penyimpanan, sampel kembali dikocok dengan menggunakan vortex shaker dan diukur absorbansinya 35

2 pada panjang gelombang 725 nm. Berdasarkan kurva larutan standar dari sampel asap cair tempurung kelapa yang telah dibuat sebelumnya, diperoleh nilai rata-rata total fenol sebesar 6.78 ± 0.06%. Keasaman asap cair tempurung kelapa diukur dengan menggunakan ph meter. Sebanyak 10 gram asap cair dicampurkan dengan 100 ml akuades kedalam gelas piala. Selanjutnya elektroda pada ph meter dibilas dengan akuades dan dikeringkan. Elektoda dicelupkan ke dalam asap cair selama beberapa saat, hingga diperoleh pembacaan yang stabil. Berdasarkan pengukuran tersebut diperoleh besarnya ph rata-rata asap cair tempurung kelapa sebesar 3.00 ± Data hasil analisis kimia komponen asap cair tempurung kelapa diatas secara lebih lengkap disajikan pada Lampiran 2. Tahap pertama dalam penelitian ini adalah mengkaji penggunaan asap cair tempurung kelapa sebagai bahan koagulan lateks dalam pengolahan karet sit atau RSS. Pada umumnya perkebunan besar pengolahan karet alam menggunakan asam format (asam semut) sebagai bahan koagulan lateks. Asam format (HCOOH) dengan nama sistematis asam metanoat adalah asam karboksilat yang paling sederhana. Asam karboksilat merupakan jenis asam lemah, sebab hanya sebagian kecil yang terionisasi apabila dilarutkan ke dalam air (Fessenden dan Fessenden, 1986). Di alam, asam format ditemukan pada sengatan dan gigitan banyak serangga dari ordo hymenoptera, misalnya lebah dan semut. Penggunaan asam semut didasarkan pada kemampuannya yang cukup baik dalam menurunkan ph lateks serta harga yang cukup terjangkau bagi perkebunan dibandingkan bahan koagulan asam lainnya. Partikel karet alam di dalam lateks diselaputi oleh suatu lapisan protein, sehingga partikel karet tersebut bermuatan listrik (Goutara, 1985). Protein terdiri dari asam amino dan satu sama lainya terikat oleh ikatan peptida. Asam amino yang terdapat di dalam lateks merupakan ion dipolar dan bersifat amfoter. Dalam kimia, amfoter adalah zat yang dapat bereaksi sebagai asam atau basa. Perilaku ini terjadi bisa karena memiliki dua gugus asam dan basa sekaligus (Fessenden dan Fessenden, 1986). Partikel karet di dalam lateks terletak tidak saling berdekatan, melainkan saling menjauh karena masing-masing partikel memiliki muatan listrik. Gaya tolak menolak muatan listrik ini menimbulkan gerak brown. Di dalam 36

3 lateks, isopropen diselimuti oleh lapisan protein sehingga partikel karet bermuatan listrik (Zuhra, 2006). Untuk lebih jelasnya, protein dipolar pada lateks ditunjukkan oleh Gambar 5. Pada umunya lateks kebun hasil sadapan memiliki ph antara 7-8 dan bermuatan negatif. Partikel karet yang dilapisi lapisan protein dan lipid merupakan koloid hidrofilik yang artinya dilindungi atau diselaputi oleh muatan listrik. Larutan koloid akan stabil bila terdapat bahan yang dapat mempertahankan muatan listrik partikel yaitu dengan adanya protein. H O +H + H O +H + H O R C C R C C R C C NH 2 O - -H + + NH 3 O - -H + + NH 3 OH Protein negatif Protein netral Protein positif ph > 4.7 ph = 4.7 ph < 4.7 Gambar 5. Protein dipolar pada lateks. Koagulasi atau pembekuan adalah suatu proses pengurangan keseimbangan partikel-partikel di dalam lateks dimana akan terbentuk gumpalan-gumpalan polimer karet yang terpisah dengan partikel lainya (Sethu, 1987). Tujuan dari pembekuan adalah untuk memisahkan hampir semua fase air (serum) sebagai cairan dan memperoleh karet secara ekonomis dari lateks kebun hasil sadapan. Sifat koloid yang telah dijelaskan sebelumnya dijadikan sebagai dasar untuk terjadinya proses koagulasi. Lateks akan berkoagulasi dengan cara membuang muatan protein dari partikel karet. Syarat kestabilan lateks dipengaruhi oleh muatan listrik di dalamnya. Muatan listrik sendiri tergantung dari ph lateks. Pada ph tertentu muatan listrik akan mencapai nilai 0 yaitu pada titik isoelektrik. Titik Isoelektrik adalah derajat keasaman atau ph ketika suatu makromolekul bermuatan nol akibat bertambahnya proton atau kehilangan muatan oleh reaksi asam-basa (Goutara, 1985). Pada koloid, jika ph sama dengan titik isoelektrik, maka sebagian atau semua muatan pada partikelnya akan hilang selama proses ionisasi terjadi. Jika ph berada pada kondisi di bawah titik isoelektrik, maka partikel koloid akan bermuatan positif. 37

4 Sebaliknya, jika ph berada di atas titik isoelektrik maka muatan koloid akan berubah menjadi netral atau bahkan menjadi negatif. Lateks akan berada pada titik isoelektrik dengan ph berkisar antara Pada ph tersebut protein menjadi tidak stabil. Akan tetapi pada ph ini lateks tidak segera menggumpal karena partikel masih diselubungi oleh mantel air. Dalam rentang waktu tertentu, suhu dan dengan kondisi protein yang tidak stabil, maka lapisan tersebut pada akhirnya akan hilang sehingga antar butir karet terjadi kontak dan kemudian akan menggumpal. Menurut Goutara (1985), lateks yang mempunyai ph 7-8 (dalam kondisi basa) akan berada dalam bentuk cair, karena bermuatan negatif, tetapi bila ditambahkan asam organik atau anorganik sampai ph mendekati titik isoelekrtik maka akan terjadi penggumpalan lateks, karena elektro kinetis potensial sangat sudah rendah. Hubungan antara ph dengan kestabilan lateks ditunjukkan oleh Gambar 6. Penggumpalan lateks dapat dilakukan dengan cara pemberian asam lemah seperti asam asetat atau asam semut, sebab bila menggunakan asam kuat akan terjadi koagulasi yang sangat cepat serta tidak sempurna. Asam kuat dapat menyebabkan sebagian partikel lateks bermuatan positif, sehingga proses koagulasi tidak sempurna karena terjadi saling tolak-menolak antara partikel lateks. Istilah asam berasal dari bahasa latin acetum yang berarti cuka. Ion H + dalam asam dapat meniadakan muatan listrik negatif partikel lateks serta menurunkan ph. Terbentuknya asam berarti menambah jumlah ion positif dan menyebabkan terjadinya gaya tarik-menarik antara ion positif dari asam dengan ion negatif dari lapisan protein yang menyelubungi partikel karet, sehingga terjadi koagulasi lateks. Penurunan ph terjadi oleh selain adanya asam juga oleh adanya elektrolit dan garam. Penambahan asam ke dalam lateks akan menyebabkan terjadinya reaksi ke arah kesetimbangan, yaitu keadaan suatu sistem dimana gaya-gaya yang berlawanan ataupun laju-laju suatu proses berimbang. Asam dalam hal ini ion H + akan bereaksi dengan ion OH - pada protein dan senyawa lainnya untuk menetralkan muatan listrik sehingga terjadi koagulasi pada lateks. Cepat lambatnya proses koagulasi bergantung pada laju atau kecepatan reaksi, yaitu perubahan konsentrasi pereaksi atau produk dalam suatu satuan waktu. Menurut 38

5 Keenan et al. (1980), salah satu faktor yang mempengaruhi laju reaksi adalah suhu atau temperatur sistem. Laju suatu reaksi kimia bertambah dengan naiknya suhu. Kenaikan sebesar 10 o C akan melipatkan dua atau tiga kali laju suatu reaksi antara molekul-molekul (Keenan et al., 1980). Dengan kenaikan laju reaksi maka partikel akan semakin cepat bergerak dan bertumbukan satu sama lainya. Dalam penelitian ini proses pencampuran atau reaksi antara bahan koagulan asam semut dan asap cair dengan lateks terjadi pada suhu ruangan, yaitu rata-rata sebesar 28 o C dengan RH (kelembaban) 70 %. Lateks akan membeku sempurna setelah 40 menit. Gambar 6. Grafik hubungan antara ph dengan kestabilan lateks (Goutara, 1985). Pada umumnya pabrik pengolahan RSS mencampurkan koagulan asam dan lateks pada suhu ruangan dimana proses pengolahan berlangsung dengan waktu pembekuan sama seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Proses koagulasi dapat dipercepat salah satunya dengan meningkatkan suhu, misalkan dengan memberikan kalor pada sistem/lingkungan. Pada suhu yang ditingkatkan, molekul akan memiliki kecepatan tumbukan dan energi yang lebih besar untuk bereaksi (Keenan et al., 1980). Penambahan kalor pada proses produksi RSS dalam skala besar di pabrik pengolahan tentu akan berdampak pada peningkatan biaya produksi yang diperlukan, oleh sebab itu diperlukan pertimbangan yang baik dari 39

6 sisi ekonomi. Peningkatan suhu untuk mempercepat proses koagulasi lateks biasanya dilakukan oleh perkebunan atau pabrik pengolahan untuk menentukan dengan cepat besarnya KKK. Sejumlah 100 ml lateks direaksikan dengan koagulan asam di dalam wadah alumunium dan dipanaskan hingga suhunya mencapai 80 o C. Dalam kondisi tersebut lateks akan membeku dalam waktu sekitar 5 menit. Dengan peningkatan suhu, maka waktu yang dibutuhkan untuk proses pembekuan lateks menjadi lebih cepat. Kadar asam serta nilai ph merupakan salah satu parameter yang menentukan kualitas dari asap cair yang dihasilkan. Komponen asam organik yang cukup tinggi dalam asap cair tempurung kelapa adalah asam asetat yang terbentuk dari dekomposisi hemiselulosa dan selulosa. Menurut Suhardiyono (1988) tempurung kelapa memiliki kandungan hemiselulosa sebesar 27.7%, selulosa 26.6% serta lignin 29.4%. Hal ini tentu bepengaruh terhadap kadar asam yang dihasilkan selama proses pirolisis tempurung kelapa. Hasil pengukuran menunjukkan kandungan asam dalam asap cair tempurung kelapa pada penelitian ini sebesar 9.81%. Sementara penelitian yang telah dilakukan oleh Maspanger (2003) mengenai pemanfaatan asap cair kayu karet sebagai bahan pengolahan karet menunjukkan kadar asam yang terkandung dalam asap cair tersebut sebesar 3-3,5% dengan nilai ph 2.2. Nilai ph asap cair menunjukkan tingkat proses penguraian komponen kayu yang terjadi untuk menghasilkan asam organik pada asap cair. Menurut Purba (2000) nilai ph larutan menyatakan konsentrasi ion H + dalam larutan. Derajat atau tingkat keasaman larutan bergantung pada konsentrasi ion H + dalam larutan dimana, nilai ph sama dengan negatif logaritma konsentrasi ion H +. Semakin besar konsentrasi ion H + semakin kecil nilai ph, dan karena bilangan dasar logaritma adalah 10 maka larutan yang nilai ph-nya berbeda sebesar n mempunyai perbedaan konsentrasi ion H + sebesar 10 n. Nilai ph asap cair yang rendah menunjukkan kualitas asap cair yang baik untuk digunakan sebagai bahan koagulan karena berpengaruh terhadap penurunan ph lateks hingga mencapai titik isoelektriknya. Selain dengan penambahan asam, penggumpalan juga dapat terjadi secara alami yang dikenal dengan istilah prakoagulasi. Prakoagulasi ini tidak 40

7 dikehendaki karena mutu karet menjadi rendah. Pada kondisi tersebut peran bakteri pengurai dalam lateks yang juga menghasilkan ion H + sebagai hasil metabolisme berperan besar dalam proses pembekuan. Selain itu prakoagulasi pada lateks juga dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain, suhu lingkungan, enzim, iklim, keadaan tanaman, jenis klon tanaman, pengangkutan serta kotoran dari luar. B. Aplikasi Asap Cair Tempurung Kelapa dalam Pengolahan RSS Asap cair tempurung kelapa yang digunakan dalam penelitian ini telah mengalami proses pengendapan, penyaringan serta penyimpanan selama kurang lebih 2 tahun. Asap cair memiliki penampakan fisik dengan warna kuning kecoklatan yang jernih, berbau asap pekat dengan kadar asam sebesar 9.81%, kadar fenol sebesar 6.78% dan ph sebesar Sedangkan koagulan asam yang digunakan adalah jenis asam semut yang banyak dijual di pasaran dengan konsentrasi 90%. Masing-masing taraf perlakuan ditujukan untuk mengetahui efektivitas serta dosis pemberian asap cair bila digunakan secara penuh (murni) atau dikombinasikan dengan asam semut sebagai bahan koagulan yang menghasilkan RSS sesuai dengan standar mutu yang meliputi kelas mutu RSS, plastisitas PRI, kadar abu serta kadar kotoran. Tahap awal dari penelitian ini adalah pengumpulan lateks kebun di lapangan. Lateks berasal dari beberapa klon tanaman yang telah direkomendasikan sebagai bahan baku RSS diantaranya GT, Avros, LCB dan RRIM. Karekteristik lateks pada penelitian ini dapat dilihat pada Lampiran 3, 4 dan 5. Lateks yang telah disadap di kebun kemudian diberikan zat antikoagulan berupa amoniak 10% untuk mencegah penggumpalan alamiah atau prakoagulasi selama pengangkutan ke tempat pengolahan/pabrik. Prakoagulasi ini tidak dikehendaki karena dapat menyebabkan koagulum yang tidak sempurna serta mutu karet sit yang rendah. Tahap berikutnya adalah penentuan KKK serta kadar NH 3 lateks, hal ini penting dilakukan untuk mengetahui jumlah air yang dibutuhkan untuk pengenceran serta jumlah asam yang akan diberikan untuk membekukan lateks. Proses selanjutnya adalah pengenceran hingga kadar KKK mencapai 12%. 41

8 Pengenceran dilakukan untuk menyeragamkan KKK, memudahkan penyaringan kotoran dan gelembung udara yang terperangkap serta memudahkan dalam pencampuran dengan asam. Perlakuan taraf asam semut : asap cair yang digunakan adalah 100 % asam semut : 0% asap cair sebagai kontrol ; 0% asam semut : 100% asap cair ; 25% asam semut: 75% asap cair; 50% asam semut : 50% asap cair ; 75% asam semut : 25% asap cair dan 0% asam semut : 200% asap cair. Pembuatan larutan koagulan dilakukan dengan cara mencampurkan kedua bahan sesuai dengan perbandingan yang ditetapkan ke dalam labu erlenmeyer. Bahan koagulan yang telah dicampurkan masih memiliki tingkat konsentrasi/kepekatan yang tinggi sehingga perlu diencerkan dengan menambahkan air hingga konsentarsinya menjadi 2%. Pengenceran larutan pekat menyebabkan volum dan kemolalan larutan berubah, tetapi jumlah mol zat terlarut tidak berubah (Purba, 2000). Hal ini dilakukan agar asam yang mengandung ion H + dapat menetralkan ion negatif pada lateks secara perlahan dan merata sehingga menghasilkan koagulum yang baik. Bahan koagulan dalam penelitian ini pada setiap pengulangan menunjukkan karakteristik yang seragam (Tabel 7). Tabel 7. Karakteristik bahan koagulan asam semut dan asap cair tempurung kelapa Koagulan asam semut : asap cair Karakteristik Warna Bau ph*) 100% : 0% Jernih Berbau asam 1.65 ± % : 100% Kuning cerah dan Berbau asap sedikit hijau muda 3.02 ± % : 75% Kuning cerah Sedikit berbau asap dan asam 1.93 ± % : 50% Kuning cerah Sedikit berbau asap dan asam 1.84 ± % : 25% Kuning Sedikit berbau asap dan asam 1.77 ± % : 200% Kuning dan sedikit hijau muda Berbau asap dan asam 3.01 ± 0.01 *) nilai ph rata-rata dalam 3 kali pengulangan. 42

9 Pada tabel diatas tampak bahwa nilai ph kontrol yang berupa asam semut memiliki nilai yang paling rendah yaitu sebesar 1.65, sedangkan perlakuan yang menggunakan kombinasi dan murni asap cair cenderung mengalami kenaikan nilai ph. Pada penambahan 25% asap cair nilai ph koagulan meningkat sebesar 1.77, sedangkan pada penambahan 50% asap cair nilai ph menjadi Semakin banyak jumlah asap cair yang diberikan maka nilai ph akan semakin besar. Hal ini terkait dengan nilai ph awal asap cair yang lebih tinggi dibandingkan asam semut, sehingga pada saat pencampuran akan terjadi kesetimbangan ph diantara 2 larutan yang berbeda. Dengan kata lain, penambahan asap cair ke dalam asam semut dapat meningkatkan nilai ph bahan koagulan. Pemberian bahan koagulan dilakuan secara perlahan dan sedikit demi sedikit ke dalam wadah koagulasi yang disertai dengan pengadukan. Hal ini bertujuan agar bahan koagulan dapat tercampur secara merata ke dalam lateks. Pemberian bahan koagulan yang berlebih atau terlalu banyak akan menyebabkan koagulum menjadi keras dan sulit untuk digiling, sedangkan jika pemberian kurang maka koagulum akan menjadi lunak, membubur atau tetap encer (tidak membeku). Pengadukan juga harus dilakukan secara perlahan untuk mengurangi busa yang timbul selama proses berlangsung. Timbulnya busa selama proses pencampuran dan pengadukan dapat menimbulkan gelembung udara yang dapat menurunkan kualitas RSS. Selanjutnya wadah koagulasi ditutup rapat untuk mengindari kontak dengan udara luar. Pada perlakuan 100% asam semut (kontrol) lateks akan membeku dalam waktu 40 menit, begitu pula pada perlakuan lainya, kecuali yang menggunakan murni asap cair (100% dan 200%) yang membutuhkan waktu kurang lebih selama 120 menit untuk membeku. Hal ini dapat disebkan karena kadar asam semut yang rendah serta ph asap cair yang lebih tinggi jika dibandingankan dengan perlakuan yang menggunakan asam murni atau kombinasi asam semut dan asap cair. Lateks yang yang telah membeku disebut koagulum. Hasil koagulum pada perlakuan 25% : 75%, 50% : 50% dan 75% : 25% asam semut : asap cair, menunjukkan ciri-ciri fisik yang sama dengan kontrol sedangkan pada perlakuan 100% dan 200% asap cair terlihat bintik-bintik gelembung udara pada bagian permukaan, hasil ini terlihat seragam pada setiap pengulangan. Setiap perlakuan 43

10 yang menggunakan kombinasi serta murni asap cair menunjukkan adanya lapisan tipis berwarna cokelat pada permukaan koagulum serta beraroma asap. Bagian lapisan tersebut akan hilang ketika koagulum dicuci/bilas dengan air. Lapisan ini terbentuk sebagai akibat reaksi antara serum lateks serta kandungan karbonil dalam asap cair yang memiliki kemampuan memberi warna khas cokelat pada produk. Menurut Ruswanto et al. (2000), karbonil mempunyai efek terbesar pada terjadinya pembentukan warna coklat produk asapan. Jenis komponen karbonil yang paling berperan adalah aldehid glioksal sedangkan formaldehid dan hidroksiasetol memberikan peranan yang rendah. Fenol juga memberikan kontribusi pada pembentukan warna coklat pada produk yang diasap meskipun intensitasnya tidak sebesar karbonil. Perlakuan menggunakan kombinasi dan murni asap cair juga menunjukkan warna yang lebih kuning kecokelatan dibandingkan dengan kontrol yang berwarna putih. Warna lebih cokelat terlihat lebih pekat pada pemberian asap cair 200%. Pembentukan warna cokelat ini berbanding lurus dengan konsentrasi asap cair di dalam bahan koagulan. Dengan demikian salah satu keunggulan dari asap cair tempurung kelapa adalah dapat memberikan warna khas cokelat pada produk RSS sehingga dapat menghemat penggunaan kayu bakar karena tidak membutuhkan pengasapan yang terlalu banyak untuk memberikan warna. Bintik-bintik gelembung yang terlihat pada koagulum menunjukkan pembekuan yang kurang sempurna serta sisa gelembung yang tidak dapat naik kepermukaan selama proses pengadukan dan pembekuan. Gelembung tersebut terperangkap di dalam lateks hingga akhirnya turut membeku. Menurut Suseno (1989), gelembung gas yang timbul dalam karet sit dapat disebabkan karena penggumpalan terjadi terlalu cepat dengan menggunakan asam yang berlebih/pekat sehingga gelembung udara tidak sempat naik ke permukan atau dapat juga disebabkan karena penggunaan asam yang terlalu lemah (kadar asam rendah), sehingga membutuhkan waktu penggumpalan yang terlalu lama dan kurang sempurna. Hasil pembekuan yang tidak sempurna akan memiliki tingkat kekerasan koagulum yang tidak merata serta permukaan koagulum yang kasar. Pembekuan merupakan tahapan yang penting serta membutuhkan ketelitian tinggi dalam penentuan jumlah pemberian asam. Gelembung tampak lebih banyak pada 44

11 perlakuan 100% dan 200% asap cair, meskipun pemberian telah dilakukan berdasarkan standar pemberian bahan koagualan RSS. Hal ini menunjukkan kandungan asam yang rendah serta ph tinggi pada asap cair tempurung kelapa sehingga membutuhkan waktu yang cukup lama untuk membekukan lateks. Perbandingan hasil koagulum menggunakan asap cair yang membeku secara sempurna dan tidak sempurna ditunjukkan pada Gambar 7. (a) Gambar 7. Pembekuan tidak sempurna (a) dan pembekuan sempurna (b). (b) Proses selanjutnya adalah penggilingan yang bertujuan untuk memisahkan sebagian besar air yang terkandung dalam koagulum. Dengan penggilingan permukaan sit akan menjadi semakin besar, sehingga akan mempercepat proses pengeringan. Dalam penelitian ini digunakan metode giling pagi, yaitu penggilingan sit dilakukan pada pagi hari setelah semua lateks selesai dibekukuan pada sore hari sebelumnya. Metode ini banyak digunakan oleh perkebunanperkebunan besar termasuk PTPN VIII Cikumpay tempat penelitian ini dilakukan karena di nilai lebih mudah, efisien serta memberikan kesempatan koagulum untuk membeku secara sempurna. Koagulum dikeluarkan dari wadah untuk kemudian digiling menggunakan mesin penggilingan sit (sitter six in one). 45

12 Setelah digiling, sit dicuci dengan air bersih untuk menghindari permukaan yang berlemak akibat penggunaan bahan kimia, membersihkan kotoran yang masih melekat serta menghindari agar sit tidak menjadi lengket saat penirisan. Koagulum yang telah digiling kemudian ditiriskan diruang terbuka dan terlindung dari sinar matahari selama 1-2 jam. Penirisan tidak boleh terlalu lama untuk menghindari terjadinya cacat pada sit yang dihasilkan, misalnya timbul warna yang seperti karat akibat oksidasi. Sampai pada tahap ini hasil koagulum semua perlakuan masih sama dengan kontrol tidak menunjukkan warna bintik-bintik hitam atau karat yang mengidikasikan oksidasi pada bagian permukaan. Proses selanjutnya ialah pengasapan menggunakan kayu karet untuk mengeringkan koagulum menjadi lembaran sit, mengawetkan sit agar terhindar dari serangan jamur serta memberikan warna khas cokelat RSS. Asap yang dihasilkan dapat menghambat pertumbuhan jamur pada permukaan lembaran karet. Hal ini disebabkan asap mengandung zat antiseptik yang dapat mencegah pertumbuhan mikroorganisme (Suseno, 1989). Pengeringan dilakukan di dalam kamar asap PTPN VIII Cikumpay yang berukuran 144 m 2 /kamar. Kamar asap tersebut dibuat secara permanen dengan dinding yang terbuat dari tembok serta atap yang terbuat dari seng. Kamar asap juga dilengkapi dengan lubang ventilasi serta cerobong asap. Proses pengeringan dan pengasapan di Perkebunan Cikumpay ini memerlukan waktu 6-7 hari untuk mengeringkan semua sit yang terdapat di dalamnya. Pada hari ke-4 semua perlakuan telah menunjukkan tanda-tanda kematangan sehingga sit dapat diangkat. Pada hari pertama suhu pengasapan berkisar antara o C, pada hari kedua antara o C, pada hari ketiga dan keempat antara o C. Pada hari pertama dan kedua pengasapan menggunakan jenis kayu basah (kadar air tinggi) untuk memberikan asap yang cukup banyak serta suhu yang digunakan tidak terlalu tinggi. Pada hari ketiga dan keempat digunakan jenis kayu kering (kadar air rendah) untuk mengeringkan/mematangkan sit sehingga membutuhkan suhu yang lebih tinggi. Hasil ini berbeda dengan penelitian Solichin (2007), dimana pembuatan RSS menggunakan Deorub dengan dosis pemberian 75 ml/kg karet kering membutuhkan waktu 2-3 hari dalam proses 46

13 pengasapan. Hal ini dapat disebabkan karena perbedaan jenis asap cair serta dosis pemberian yang digunakan. Sampai pada tahap ini, semua perlakuan yang menggunakan kombinasi asap cair menunjukkan warna cokelat yang lebih pekat dibandingakan dengan kontrol terlebih pada perlakuan 100% dan 200% asap cair. Hal ini menunjukkan kemampuan dari asap cair dalam memberikan warna khas cokelat pada RSS. Pembentukan warna terjadi secara bertahap dan semakin pekat sejak lateks membeku hingga sudah matang/kering. Selain pengasapan faktor pemberian asap cair secara langsung juga mempengaruhi laju pencokelatan produk RSS. Penentuan kelas mutu RSS berdasarkan pada penampakan visual dan fisik sesuai dengan standar SNI Conventional Rubber/The Green Book serta sifat teknis yang meliputi nilai plastisitas PRI, kadar abu serta kadar kotoran yang berpedoman pada SNI Standard Indonesian Rubber (Lampiran 6). C. Analisis Mutu Hasil RSS 1. Kelas Mutu RSS RSS yang telah matang dengan sempurna kemudian disortasi secara visual. Menurut Goutara (1985), penentuan mutu RSS dilakukan secara visual atau organoleptik yang meliputi bintik gelembung udara, keseragaman warna, kotoran, serpihan bambu dan noda oleh benda asing, abu pembakaran kayu, karet mentah/warna putih tidak matang, jumlah kapang, dan kekeringannya. Pemeriksaan biasanya dilakukan di meja sortasi yang terdiri dari kaca yang berwarna putih susu. Untuk memudahkan pemeriksaan biasanya digunakan beberapa jenis sit sebagai contoh atau standard pemeriksaan. Berdasarkan SNI Conventional Rubber/ The Green Book, yang termasuk ke dalam golongan RSS 1 adalah sit yang dihasilkan harus benar-benar kering, bersih, kuat, tidak ada cacat, tidak berkarat, tidak melepuh serta tidak ada benda-benda pengotor. Tidak boleh ada garis-garis pengaruh dari oksidasi, sit lembek, suhu pengeringan terlalu tinggi, belum benar-benar kering, pengasapan berlebihan, warna cokelat terlalu tua serta terbakar. Bila terdapat gelembunggelembung udara berukuran kecil seukuran jarum pentul masih diperkenankan, asalkan letaknya tersebar merata. Untuk RSS 2, sit yang dihasilkan harus kering, 47

14 bersih, kuat, bagus, tidak cacat, tidak melepuh dan tidak terdapat kotoran. Sit tidak diperkenankan terdapat noda atau garis akibat oksidasi, sit lembek, suhu pengeringan terlalu tinggi, belum benar-benar kering, pengasapan berlebihan, warna cokelat terlalu tua serta terbakar. Sit kelas ini masih menerima bintik gelembung udara kecil sebesar 2 kali ukuran jarum pentul serta noda kulit pohon yang ukurannya agak besar. Untuk RSS 3, sit yang dihasilkan harus kering, kuat, bagus, tidak cacat, tidak melepuh dan tidak terdapat kotoran. Tidak boleh terdapat noda atau garis akibat oksidasi, sit lembek, suhu pengeringan terlalu tinggi, belum benar-benar kering, pengasapan berlebihan, warna terlalu tua serta terbakar. Bila terdapat cacat warna, bintik gelembung udara sebesar 3 kali ukuran jarum pentul, ataupun noda-noda dari kulit tanaman karet, masih ditorerir. Untuk RSS 4, sit yang dihasilkan harus kering, kuat, tidak cacat, tidak melepuh serta tidak terdapat pasir atau kotoran luar. Bila terdapat bintik gelembung udara sebesar 4 kali ukuran jarum pentul, karet agak rekat atau terdapat kotoran kulit pohon asal tidak banyak masih dapat diizinkan. Sit lembek, suhu pengeringan terlalu tinggi dan karet terbakar tidak bisa diterima. Untuk RSS 5, sit yang dihasilkan harus kokoh, tidak terdapat kotoran atau benda asing, kecuali yang diperkenankan. Bintik gelembung udara sebesar 5 kali ukuran jarum, noda kulit pohon yang besar, karet agak rekat, kelebihan asap dan sedikit belum kering masih termasuk dalam batas toleransi. Dibanding dengan kelas RSS yang lain RSS 5 adalah yang terendah standarnya. Hasil penilaian kelas mutu RSS pada penelitian ini oleh Laboratorium Analisis Mutu Perkebunan Cikumpay secara lengkap disajikan pada Lampiran 7. Pada Tabel 8 tampak bahwa perlakuan kontrol sebagai standar secara konsisten menghasilkan kelas mutu RSS 1 hal ini menunjukkan bahwa proses pengolahan sit berjalan dengan baik serta sesuai dengan prosedur kerja yang telah ditetapkan. Hasil yang optimal terlihat pada perlakuan kombinasi asam semut dan asap cair dengan komposisi 75% : 25% yang secara konsisten juga menghasilkan kualitas yang sama dengan kontrol yaitu RSS 1. Perlakuan yang menggunakan kombinasi asam semut dan asap cair lainya (25% : 75% dan 50% : 50%) menunjukkan hasil yang tidak konsisten dalam kelas mutu RSS. Sit yang dihasilkan, dominan menunjukkan kelas mutu RSS 2. Sedangkan pada perlakuan murni asap (100% dan 200%) menghasilkan kelas mutu RSS 2 dan RSS 3. Hal ini 48

15 menunjukkan bahwa penggunaan asap cair tempurung kelapa sebagai bahan koagulan tanpa penambahan dengan bahan lain dalam pembuatan karet sit dapat menghasilkan kualitas mutu RSS 2 atau RSS 3. Tabel 8. Kelas mutu RSS dengan bahan koagulan asam semut : asap cair tempurung kelapa Perlakuan asam semut : asap cair Kelas Mutu RSS Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3 100% : 0% RSS 1 RSS 1 RSS 1 0% : 100% RSS 3 RSS 3 RSS 2 25% : 75% RSS 1 RSS 2 RSS 2 50% : 50% RSS 1 RSS 2 RSS 2 75% : 25% RSS 1 RSS 1 RSS 1 0% : 200% RSS 3 RSS 2 RSS 2 Perbedaan secara nyata yang mempengaruhi jenis kelas mutu tampak pada jumlah bintik-bintik gelembung udara yang terletak di dalam RSS pada masingmasing perlakuan. Perlakuan 100% dan 200% asap cair menunjukkan jumlah gelembung yang lebih banyak, merata dan berukuran 2-3 kali ukuran jarum pentul bila dibandingkan dengan perlakuan lainya sehingga digolongkan ke dalam kelas mutu yang rendah. Jumlah gelembung akan meningkat sesuai dengan dosis pemberian asap cair. Tampak bahwa, semakin tinggi jumlah asap cair yang digunakan, semakin besar potensi pembentukan gelembung udara yang tidak diinginkan. Pembentukan gelembung dapat dipengaruhi oleh kandungan asam serta nilai ph asap cair tempurung kelapa yang berpengaruh dalam proses pembekuan. Waktu pembekuan yang cukup lama serta proses yang berlangsung lambat menyebabkan gelembung udara yang terbentuk tidak dapat naik ke permukaan dan terperangkap di dalam koagulum. Berbeda dengan asam semut (kontrol) yang memiliki kandungan asam tinggi dan nilai ph rendah dimana proses pembekuan berlangsung dengan cepat dan tepat. Perbandingan kelas mutu RSS yang dihasilkan pada setiap perlakuan dan pengulangan ditunjukkan pada Gambar berikut : 49

16 Gambar 8. Perbandingan hasil mutu RSS perlakuan 1 dengan koagulan 100% asam semut. Gambar 9. Perbandingan hasil mutu RSS perlakuan 2 dengan koagulan 100% asap cair. 50

17 Gambar 10. Perbandingan hasil mutu RSS perlakuan 3 dengan koagulan 25% asam semut : 75% asap cair. Gambar 11. Perbandingan hasil mutu RSS perlakuan 4 dengan koagulan 50% asam semut : 50% asap cair. 51

18 Gambar 12. Perbandingan hasil mutu RSS perlakuan 5 dengan koagulan 75% asam semut : 25% asap cair. Gambar 13. Perbandingan hasil mutu RSS perlakuan 6 dengan koagulan 200% asap cair. 52

19 2. Plasticity Retention Index (PRI) Karet alam adalah hidrokarbon yang merupakan makro molekul poliisopropene (C 5 H 8 ) n yang bergabung secara ikatan kepala ke ekor. Rantai poliisopropene membentuk konfigurai cis dengan susunan ruang yang teratur seperti pada Gambar 14. Karet yang memiliki susunan ruang tersebut akan mempunyai sifat elastis atau kenyal. Sifat kenyal tersebut berhubungan dengan viskositas atau plastisitas karet (Goutara, 1985). Gambar 14. Struktur ruang 1,4 cis poliisopropen (Goutara, 1985). PRI adalah ukuran dari besarnya sifat keliatan (plastisitas) karet mentah sebelum dan sesudah pengusangan pada suhu 140 o C selama 30 menit. Dengan mengetahui nilai PRI dapat diperkirakan mudah atau tidaknya karet menjadi lengket selama masa penyimpanan atau jika dipanaskan. Nilai PRI juga menunjukkan ketahanan karet terhadap degradasi oksidasi. Bila PRI rendah menunjukkan karet mudah teroksidasi begitu pula sebaliknya. Tinggi rendahnya PRI bergantung pada jenis bahan mentah yang digunakan termasuk jenis klon tanaman serta cara pengolahannya. Gambar 15 menunjukkan grafik perbandingan nilai PRI terhadap beberapa perlakuan serta pengulangan dalam penelitian ini. Menurut SNI SIR, nilai PRI untuk karet spsifiksi teknis berkisar antara Perlakuan kontrol 100% asam semut pada grafik memiliki nilai PRI sebesar 82.34, kemudian meningkat pada perlakuan berikutnya baik dengan kombinasi asap cair maupun asap cair murni. Perlakuan dengan kombinasi serta murni asap cair menghasilkan nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol. Perbandingan 100% asap cair menghasilkan nilai PRI sebesar sedangkan pada 200% asap cair menghasilkan nilai PRI sebesar Pada perlakuan 75% asam semut : 25% asap cair yang menghasilkan kelas mutu terbaik memiliki PRI sebesar Nilai PRI pada keseluruhan perlakuan memiliki nilai 53

20 yang lebih tinggi dibandingkan persyaratan yang telah ditentukan oleh SNI yaitu sebesar min. 75. Menurut Wazyka (2000), senyawa fenol dan turunannya dapat berfungsi sebagai antioksidan yang akan melindungi molekul karet dari oksidasi pada suhu tinggi sehingga nilai PRI akan tetap tinggi. Asam-asam terutama asam asetat akan membekukan lateks kebun dan juga berperan sebagai antibakteri. Senyawa karbonil, fenol, alkohol dan ester akan menyebabkan warna cokelat dan memberikan bau asap khas pada sit. Dalam Burfield (1986), dikatakan bahwa rendahnya nilai plastisitas dapat disebabkan karena terhalangnya ikatan silang gugus aldehida oleh adanya air dan terputusnya rantai molekul karet oleh aktifitas mikroorganisme. Asap cair tempurung kelapa mengandung komponen fenol serta asam yang cukup tinggi sehingga bersifat antioksidan serta antibakteri yang mampu mencegah aktivitas mikroorganisme pengurai di dalam sit. Dengan peningkatan pemberian asap cair akan semakin besar pula kemampuan sifat antioksidan serta antibakteri tersebut serta dapat meningkatkan nilai PRI. Nilai PRI % : 0% 0% : 100% 25% : 75% 50% : 50% 75% : 25% 0% : 200% Perbandingan asam semut : asap cair Gambar 15. Grafik perbandingan nilai PRI pada setiap perlakuan. Analisis statistik menggunakan rancangan acak lengkap menunjukkan nilai peluang sebesar dimana nilai p<0.05, sehingga dapat disimpulkan bahwa 54

21 pemberian asap cair tempurung kelapa berpengaruh nyata terhadap nilai plastisitas PRI RSS (Lampiran 8). Asap cair tempurung kelapa dapat digunakan sebagai bahan kogulan lateks serta dapat juga meningkatkan nilai plastisitas PRI dari karet yang dihasilkan. Nilai PRI yang tinggi menunjukkan ketahanan yang tinggi terhadap degradasi oleh oksidasi serta tingkat kekuatan produk karet. Penelitian Solichin (2007) yang ditunjukkan pada Tabel 9, juga menunjukkan nilai PRI yang lebih tinggi dengan menggunakan bahan koagulan asap cair cangkang kelapa sawit dibandingkan dengan koagulan asam semut. Tabel 9. Nilai PRI RSS dengan bahan koagulan Deorub. Bahan koagulan Spesifikasi teknis RSS Po Pa PRI Deorub 10 % (200 ml) Deorub 10 % (250 ml) Deorub 10 % (300 ml) Deorub 10 % (350 ml) Asam Semut 1 %, Kontrol (Solichin, 2007) Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Maspanger (2004) dengan menggunakan bahan koagulan asap cair kayu karet pada Tabel 11 menunjukkan hasil yang serupa bahwa penggunaan asap cair dapat meningkatkan plastisitas karet. Hal ini membuktikan bahwa antioksidan dan antibakteri yang terdapat di dalam asap cair berperan dalam melindungi karet pada waktu pengeringan dalam suhu tinggi serta menigkatkan nilai plastisitas PRI. Tabel 10. Nilai PRI RSS dengan bahan koagulan asap cair kayu karet. Bahan koagulan Plastisitas awal (P o ) PRI Asam semut 1% (kontrol) Asap cair kayu karet 1% Asap cair kayu karet 0.5% (Maspanger, 2004) 55

22 3. Kadar Kotoran Dalam Burhanudin (1995), kadar kotoran didefinisikan sebagai benda asing yang tidak larut dan tidak dapat melalui saringan 325 mesh. Adanya kotoran di dalam karet yang relatif tinggi dapat mengurangi sifat dinamika yang unggul dari vulkanisat karet alam antara lain kalor timbul serta ketahanan retak lantur. Kalor timbul adalah panas yang ditimbulkan karena adanya gesekan sedangkan retak lentur adalah retakan-retakan yang terjadi pada karet akibat daya lentur. Pada Gambar 16, menunjukkan grafik nilai kadar kotoran pada berbagai perlakuan penggunaan asam semut dan asap cair tempurung kelapa. Penggunaan 100% asam semut sebagai kontrol memiliki nilai kadar kotoran sebesar 0.02, pada perlakuan 100% asap cair sebesar 0.01, pada perlakuan 25% asam semut : 75% asap cair sebesar 0.01, pada perlakuan 50% asam semut : 50% asap cair sebesar 0.01, pada perlakuan 75% asam semut : 25% asap cair sebesar 0.01, pada perlakuan 200% asap cair sebesar Pada berbagai perlakuan tersebut menunjukkan nilai yang tidak jauh berbeda dengan kontrol. Jika berpedoman pada SNI SIR yang memberikan batas kadar kotoran karet teknik adalah maks , nilai kadar kotoran pada penelitian ini lebih rendah dari yang telah ditetapkan Kadar kotoran % : 0% 0% : 100% 25% : 75% 50% : 50% 75% : 25% 0% : 200% Perbandingan asam semut : asap cair Gambar 16. Grafik perbandingan nilai kadar kotoran pada setiap perlakuan. perlakuan 56

23 Kotoran yang ada dapat disebabkan oleh kebersihan bahan baku dan alat yang digunakan, serta bagian mesin pengolahan. Pada umumnya kadar kotoran yang tinggi banyak ditemukan pada sit hasil olahan petani karet. Kotoran tersebut dapat berupa tatal kayu, batang atau ranting yang ikut bersama lateks, dedaunan, tanah, pasir serta pengotor yang berasal dari bahan koagulan yang digunakan. Pada perkebunan besar yang sangat memperhatikan kualitas mutu, perhatian serta pengawasan yang ketat dilakukan sejak penyadapan hingga proses pengolahan untuk menghindari kotoran serta bahan kontaminan lainya pada produk sit yang dihasilkan. Hasil dalam penelitian ini menunjukkan bahwa kandungan yang terdapat di dalam asap cair tempurung kelapa tidak menjadi bahan pengotor dalam karet sit serta tidak mengganggu kualitas RSS yang dihasilkan. Hal ini dapat disebabkan karena asap cair yang digunakan telah mengalami penyaringan serta pengendapan dalam waktu yang cukup lama, sehingga kandungan berat seperti tar, serpihan arang dan bahan lainya yang diduga sebagai bahan pengotor telah mengalami pemisahan dengan baik. Pengujian menggunkan metode rancangan acak lengkap pada Lampiran 9 menunjukkan model tidak berpengaruh nyata (p>0.05) dengan nilai peluang sebesar Dapat disimpulkan bahwa pemberian asap cair tempurung kelapa sebagai bahan koagulan tidak berpengaruh nyata terhadap nilai kadar kotoran karet RSS. Penelitian yang dilakukan Maspanger (2004) dengan menggunakan asap cair kayu karet pada Tabel 12 juga menunjukkan nilai kadar kotoran yang rendah. Tabel 11. Perbandingan antara nilai kadar kotoran, kadar abu dan zat menguap pada RSS dengan koagulan asam dan asap cair kayu karet. Karet RSS dengan koagulan Kadar kotoran (%) Kadar abu (%) Zat menguap (%) Asam semut 1% (kontrol) Asap cair kayu karet 1% Asap cair kayu karet 0.5%

24 4. Kadar Abu Kadar abu di dalam karet memberikan gambaran mengenai jumlah bahan mineral yang terdapat di dalammya, diantaranya terdiri dari oksida karbonat, fosfat dari kalium, magnesium, kalsium dan beberapa unsur lain. Abu dapat pula mengandung silikat yang berasal dari karet atau benda asing yang keberadaannya tergantung pada pengolahan bahan mentah karet. Bahan-bahan mineral di dalam karet yang meninggalkan abu dapat mengurangi sifat dinamik dari vulkanisat karet alam (Burhanudin, 1995). Perbandingan nilai kadar abu pada peneltian ini ditunjukkan oleh grafik pada Gambar Kadar abu % : 0% 0% : 100% 25% : 75% 50% : 50% 75% : 25% 0% : 200% Perbandingan asam semut : asap cair Gambar 17. Grafik perbandingan nilai kadar abu pada setiap perlakuan. Penggunaan 100% asam semut sebagai kontrol memiliki nilai kadar abu sebesar 0.31, pada perlakuan 100% asap cair sebesar 0.31, pada perlakuan 25% asam semut : 75% asap cair memiliki nilai yang sama dengan kontrol sebesar 0.31, pada perlakuan 50% asam semut: 50% asap cair sebesar 0.30, pada perlakuan 75% asam semut: 25% asap cair sebesar 0.30, pada perlakuan 200% asap cair sebesar Pada berbagai perlakuan tersebut menunjukkan nilai yang tidak jauh berbeda dengan kontrol. Jika berpedoman pada SNI SIR yang memberikan batas kadar abu untuk karet spesifikasi teknik adalah maks. 0.5 untuk 58

25 bahan baku berupa lateks, maka nilai kadar abu pada penelitian ini memiliki nilai lebih rendah dari yang telah ditetapkan dalam persyaratan mutu. Dalam keadaan penerimaan lateks dari kebun, kadar abu tetap berada di bawah batas maksimum 0.5, kecuali jika lateks dikotori oleh benda-benda asing (non karet) seperti talk, tanah lempung dan bahan-bahan larutan seperti tawas, kalsium, sodium klorida dan lainya (Sethu, 1987). Hasil analisis statistik menggunakan rancangan acak lengkap pada Lampiran 10 menunjukkan besarnya nilai peluang sebesar (p>0.05), sehingga dapat disimpulkan bahwa pemberian asap cair tempurung kelapa tidak berpengaruh nyata terhadap kadar abu dalam karet RSS. Hal ini menunjukkan bahwa kandungan yang terdapat dalam asap cair tempurung kelapa tidak menjadi bahan kontaminan dalam karet serta tidak mengganggu kualitas RSS yang dihasilkan. Rekapitulasi hasil pengujian beberapa parameter mutu RSS dalam penelitian ini ditunjukkan pada Tabel 12. Huruf alfabet yang sama menunjukkan nilai tengah yang tidak berbeda nyata diantara perlakuan tersebut. Tabel 12. Rekapitulasi hasil pengujian beberapa parameter mutu RSS. Perlakuan asam semut : asap cair PRI Kadar kotoran Kadar abu 100% : 0% ± 4.94 c 0.02 ± a 0.31 ± 0.03 a 0% : 100% ± 1.96 ab 0.01 ± a 0.31 ± 0.04 a 25% : 75% ± 7.09 a 0.01 ± a 0.31 ± 0.04 a 50% : 50% ± 4.58 abc 0.01 ± a 0.30 ± 0.05 a 75% : 25% ± 3.09 c 0.01 ± a 0.30 ± 0.02 a 0% : 200% ± 2.55 ab 0.02 ± a 0.30 ± 0.05 a Menghindari pencemaran dan pengotoran selama proses pengolahan merupakan prasyarat untuk menjaga kadar abu karet tetap berada di bawah batas spesisikasi. Tingkat kadar abu juga dapat digunakan sebagai pedoman untuk mengetahui orang-orang yang sengaja memasukkan bahan-bahan pengotor ke dalam lateks. 59

26 D. Kemampuan Kandungan Kimia Asap Cair Tempurung Kelapa dalam Mengurangi Bau Busuk Bahan Olahan Karet Salah satu permasalahan yang ditimbulkan dalam proses pengolahan karet alam adalah bau busuk yang ditimbulkan dari bahan olahan karet lump selama proses penyimpanan. Lump adalah jenis bahan olahan karet yang berasal dari lateks kebun yang digumpalkan dengan bahan koagulan atau menggumpal secara alami. Lateks yang tidak dapat diolah menjadi RSS karena KKK yang rendah atau telah mengalami prakoagulasi sebelumnya akan menggumpal secara alami menjadi lump. Jika lump tersebut tidak segera dioalah menjadi produk karet alam lainya atau berada pada kondisi penyimpanan yang kurang baik, maka dapat menyebabkan terjadinya degradasi protein serta bahan organik di dalamnya yang menghasilkan bau busuk menyengat. Akibat yang ditimbulkan oleh polusi bau terhadap kesehatan masyarakat antara lain dapat menimbulkan stres yang kemudian berdampak pada berbagai gejala seperti sakit kepala, mual, kehilangan nafsu makan serta gangguan emosional. Bau busuk yang timbul dapat disebabkan oleh aktivitas bakteri dan mikroorganisme pengurai protein dan hidrokarbon di dalam lump tersebut. Menurut Zuhra (1996), penyimpanan lump di tempat yang kurang baik dapat menyebabkan lump menghasilkan gas NH 3 dan H 2 S yang berbau busuk akibat terkontaminasi mikroorganisme pengurai, selain itu bau busuk juga disebabkan oleh sisa penggunaan amoniak sebagai antikoagulan pada proses penyadapan. Gambar 18. Sampel lump dengan perlakuan asap cair untuk menghilangkan bau busuk. 60

27 Pada penelitian tahap II ini bertujuan untuk mengkaji kemampuan kandungan kimia yang terdapat di dalam asap cair tempurung kelapa sebagai bahan pengurang bau busuk pada bahan olahan karet lump. Perlakuan pemberian asap cair dilakukan dengan penyemprotan menggunakan hand sprayer pada 1 kg sampel karet kering (Gambar 18). Dosis yang diberikan meningkat secara bertahap yaitu 0 ml/kg sebagai kontrol, 10 ml/kg, 20 ml/kg, 30 ml/kg, 40 ml/kg serta 50 ml/kg. Hal ini dimaksudkan untuk menentukan jumlah dosis asap cair yang tepat untuk menetralisir bau busuk menjadi bau yang lebih disukai oleh para pekerja di pabrik tersebut. Pada penelitian ini digunakan murni (100%) asap cair tempurung kelapa dan tidak ada bahan lain yang ditambahkan. Lump yang telah ditambahkan asap cair kemudian disimpan selama 7 hari pada suhu ruangan yaitu sebesar o C dengan kelembaban RH 70%, untuk melihat perubahan yang terjadi Tingkat kesukaan bau ml 10 ml 20 ml 30 ml 40 ml 50 ml Jumlah asap cair Gambar 19. Grafik perbandingan tingkat kesukaan terhadap uji bau. Grafik hasil uji terhadap 20 orang panelis yang merupakan pekerja perkebunan pada Gambar 19, menunjukkan asap cair tempurung kelapa perlakuan 1 (kontrol) dengan pemberian 0 ml/kg memiliki nilai penerimaan rata-rata sebesar 1 (sangat tidak suka), perlakuan 2 dengan pemberian 10 ml/kg bernilai 3.1 (antara agak suka dan kurang suka), perlakuan 3 dengan pemberian 20 ml/kg bernilai

28 (antara suka dan sangat suka), perlakuan 4 dengan pemberian 30 ml/kg bernilai 4.7 (antara kurang suka dan suka), perlakuan 5 dengan pemberian 40 ml/kg bernilai 4.5 (antara kurang suka dan suka), perlakuan 6 dengan pemberian 50 ml/kg bernilai 4.65 (antara kurang suka dan suka). Hasil organoleptik tersebut menunjukkan pemberian asap cair tempurung kelapa dengan dosis 20 ml/kg karet kering lebih bau yang lebih disukai oleh panelis dibandingkan perlakuan lainnya. Perhitungan nilai uji kesukaan (organoleptik) atau tingkat penerimaan bau secara lengkap disajikan pada Lampiran 11 dan 12. Percobaan yang telah dilakukan oleh Solichin (2007), menunjukkan bau yang ditimbulkan dari gudang lump pada pabrik pengolahan karet alam dapat diantisipasi dengan penambahan bahan kimia Deorub dengan dosis 30 ml/kg karet kering. Kemampuan asap cair tempurung kelapa dalam mengurangi bau busuk terkait dengan kandungan senyawa asam dan fenol yang bersifat antibakteri dan antioksidan. Asap cair dapat mengatasi bau spesifik menyengat karena mengandung senyawa-senyawa yang berbau asap seperti karbonil, furan, fenol, siklopenten, benzene dan lainnya. Asap cair mengandung senyawa antibakteri yang dapat mencegah dan membunuh bakteri yang terdapat di dalam lateks sehingga tidak timbul bau busuk yang disebabkan oleh senyawa amoniak dan sulfida dari degradasi protein oleh bakteri. Karseno et al., (2002) juga mengungkapkan bahwa komponen-komponen yang bersifat sebagai antimikroba di dalam asap cair tempurung kelapa adalah fenol dan turunanya serta senyawa asam. Fenol dan turunannya dapat bersifat bakteriostatik maupun bakterisidal karena mamampu menginaktifkan enzim-enzim esensial dalam protein. Davidson et al. (2005) menjelaskan bahwa mekanisme aktivitas antimikroba fenol dan turunannya meliputi reaksi dengan membran sel yang menyebabkan meningkatnya permeabilitas membran sel dan mengakibatkan keluarnya materi intraseluler sel, inaktivasi enzim-enzim esensial dan perusakan atau inaktivasi fungsional materi genetik. Asam-asam organik lemah seperti 2,3-dihidroxy-benzoid acid, 3- methoxybenzoic acid methyl ester dan 4-hydroxy-benzoic acid methyl ester yang terdapat di dalam asap cair tempurung kelapa dapat bersifat sebagai antimikroba terutama karena pembentukan ion H + bebas (Zuraida, 2008). Senyawa asam 62

29 dalam bentuk tidak terdisosiasi lebih cepat berpenetrasi dalam membran sel mikroorganisme. Senyawa asam dapat menurunkan ph sitoplasma, mempengaruhi struktur membran dan fluiditasnya serta mengkelat ion-ion dalam dinding sel bakteri. Penurunan ph sitoplasma akan mempengaruhi protein struktural sel, enzim-enzim, asam nukleat dan fosfolipid membran sel (Davidson et al., 2005). Kandungan berbagai jenis asam, terutama asam asetat dapat menurunkan ph lateks yang kemudian dapat membekukan lateks serta berperan juga sebagai antibakteri. Hasil uji statistik menggunakan rancangan acak lengkap pada Lampiran 13 menunjukkan model berpengaruh nyata dengan nilai peluang sebesar Hal tersebut menunjukkan bahwa pemberian asap cair tempurung kelapa berpengaruh nyata terhadap perubahan bau lump selama proses penyimpan. Pengamatan dengan indra penciuman menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi asap cair yang digunakan maka bau busuk akan semakin berkurang, tergantikan oleh bau khas asap yang semakin meningkat. Pengurangan bau diduga karena terjadi perubahan komposisi bau spesifik menyengat yang didominasi oleh amoniak dan sulfida menjadi senyawa-senyawa yang berbau khas asap dari campuran bau fenol, karbonil, furan, asam dan lainya. Bau khas asap yang kuat dari asap cair terbukti dapat mengurangi atau menutup bau spesifik menyengat di dalam lump. Hasil uji lanjut Duncan pada Tabel 13 menunjukkan pemberian asap cair sebanyak 20 ml berpengaruh nyata terhadap jumlah pemberian asap cair lainya. Tabel 13. Uji lanjut pengaruh pemberian asap cair terhadap bau lump menggunakan DMRT. Perlakuan asap cair Tingkat kesukaan bau 0 ml 1.0 ± 0.00 c 10 ml 3.1 ± 1.33 c 20 ml 5.3 ± 1.30 a 30 ml 4.7 ± 1.26 ab 40 ml 4.5 ± 0.76 b 50 ml 4.65 ± 0.75 ab 63

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan Desember 2009. Tempat dilakukannya penelitian ini adalah di Pabrik Pengolahan RSS dan Laboratorium

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Karakterisasi Bahan Baku Karet Crepe

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Karakterisasi Bahan Baku Karet Crepe IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakterisasi Bahan Baku 4.1.2 Karet Crepe Lateks kebun yang digunakan berasal dari kebun percobaan Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Ciomas-Bogor. Lateks kebun merupakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Karet (Hevea brasiliensis M.) merupakan salah satu komoditi penting dan terbesar

I. PENDAHULUAN. Karet (Hevea brasiliensis M.) merupakan salah satu komoditi penting dan terbesar I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karet (Hevea brasiliensis M.) merupakan salah satu komoditi penting dan terbesar di Indonesia. Lampung adalah salah satu sentra perkebunan karet di Indonesia. Luas areal

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN. Adapun alat alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

BAB 3 METODE PENELITIAN. Adapun alat alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 30 BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1. Alat dan Bahan 3.1.1. Alat Adapun alat alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah : Beaker glass 250 ml Blender Cawan platina Gelas ukur 200 ml Gunting Kertas saring

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Karet (Hevea brasiliensis M.) merupakan salah satu komoditi hasil pertanian yang

I. PENDAHULUAN. Karet (Hevea brasiliensis M.) merupakan salah satu komoditi hasil pertanian yang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Karet (Hevea brasiliensis M.) merupakan salah satu komoditi hasil pertanian yang keberadaannya sangat penting dan dibutuhkan di Indonesia. Tanaman karet sangat

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. terjadinya prakoagulasi perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut :

TINJAUAN PUSTAKA. terjadinya prakoagulasi perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut : II. TINJAUAN PUSTAKA Lateks kebun yang bermutu baik merupakan syarat utama mendapatkan hasil olah karet yang baik. Penurunan mutu biasanya disebab terjadinya prakoagulasi. Prakoagulasi akan menjadi masalah

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. nabati yang penting di Indonesia. Kelapa minyak sawit mengandung kurang lebih

TINJAUAN PUSTAKA. nabati yang penting di Indonesia. Kelapa minyak sawit mengandung kurang lebih II. TINJAUAN PUSTAKA A. Cangkang Kelapa Sawit Kelapa Sawit (Elleis Guinensis) merupakan salah satu sumber minyak nabati yang penting di Indonesia. Kelapa minyak sawit mengandung kurang lebih 80% pericarp

Lebih terperinci

SNI Standar Nasional Indonesia. Bahan olah karet ICS. Badan Standardisasi Nasional

SNI Standar Nasional Indonesia. Bahan olah karet ICS. Badan Standardisasi Nasional Standar Nasional Indonesia Bahan olah karet ICS Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Standar Nasional Indonesia...i No...4 Parameter...4 No...5 Parameter...5 i Prakata Standar Nasional Indonesia (SNI)

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Karet alam dihasilkan dari tanaman karet (Hevea brasiliensis). Tanaman karet

II. TINJAUAN PUSTAKA. Karet alam dihasilkan dari tanaman karet (Hevea brasiliensis). Tanaman karet II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karet Alam Karet alam dihasilkan dari tanaman karet (Hevea brasiliensis). Tanaman karet termasuk tanaman tahunan yang tergolong dalam famili Euphorbiaceae, tumbuh baik di dataran

Lebih terperinci

PENERAPAN IPTEKS PERBANDINGAN ASAM ASETAT DENGAN ASAM FORMIAT SEBAGAI BAHAN PENGGUMPAL LATEKS. Oleh Rudi Munzirwan Siregar

PENERAPAN IPTEKS PERBANDINGAN ASAM ASETAT DENGAN ASAM FORMIAT SEBAGAI BAHAN PENGGUMPAL LATEKS. Oleh Rudi Munzirwan Siregar PERBANDINGAN ASAM ASETAT DENGAN ASAM FORMIAT SEBAGAI BAHAN PENGGUMPAL LATEKS Oleh Rudi Munzirwan Siregar Abstrak Penelitian tentang perbandingan asam asetat dengan asam formiat sebagai bahan penggumpal

Lebih terperinci

PENENTUAN PLASTISITAS AWAL DAN PLASTISITAS RETENSI INDEKS KARET. Rudi Munzirwan Siregar

PENENTUAN PLASTISITAS AWAL DAN PLASTISITAS RETENSI INDEKS KARET. Rudi Munzirwan Siregar PENENTUAN PLASTISITAS AWAL DAN PLASTISITAS RETENSI INDEKS KARET Rudi Munzirwan Siregar Abstrak Penelitian tentang Penentuan Plastisitas Awal dan Plastisitas Retensi Indeks karet telah dilakukan. Kedalam

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lateks adalah cairan koloid yang berwarna putih susu yang diperoleh dari pohon karet (Havea Brasiliensis) dengan partikel-partikel karet terdispersi air. Lateks dikenal

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dalam SNI (2002), pengolahan karet berawal daripengumpulan lateks kebun yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dalam SNI (2002), pengolahan karet berawal daripengumpulan lateks kebun yang II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penanganan Pasca Panen Lateks Dalam SNI (2002), pengolahan karet berawal daripengumpulan lateks kebun yang masih segar 35 jam setelah penyadapan. Getah yang dihasilkan dari proses

Lebih terperinci

Tabel 3. Hasil uji karakteristik SIR 20

Tabel 3. Hasil uji karakteristik SIR 20 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISTIK BAHAN BAKU 1. Karakteristik SIR 20 Karet spesifikasi teknis yang digunakan dalam penelitian ini adalah SIR 20 (Standard Indonesian Rubber 20). Penggunaan SIR 20

Lebih terperinci

K O P A L SNI

K O P A L SNI K O P A L SNI 01-5009.10-2001 1. Ruang lingkup Standar ini menetapkan istilah dan definisi, klasifikasi mutu, syarat mutu, cara uji, pengemasan dan penandaan Kopal, sebagai pedoman pengujian Kopal yang

Lebih terperinci

I. METODOLOGI PENELITIAN

I. METODOLOGI PENELITIAN I. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Mutu Program Studi Teknologi Pengolahan Hasil Perkebunan di Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian Aagrobisnis Perkebunan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. memiliki potensi perikanan terbesar ketiga dengan jumlah produksi ,84

I. PENDAHULUAN. memiliki potensi perikanan terbesar ketiga dengan jumlah produksi ,84 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Masalah Provinsi Lampung merupakan salah satu provinsi yang memiliki potensi sumber daya perikanan laut cukup besar. Kota Bandar Lampung merupakan daerah yang memiliki

Lebih terperinci

Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan

Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan Bab IV asil Penelitian dan Pembahasan IV.1 Isolasi Kitin dari Limbah Udang Sampel limbah udang kering diproses dalam beberapa tahap yaitu penghilangan protein, penghilangan mineral, dan deasetilasi untuk

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Karet alam (natural rubber, Hevea braziliensis), merupakan komoditas perkebunan tradisional sekaligus komoditas ekspor yang berperan penting sebagai penghasil devisa negara

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Asap cair adalah hasil destilasi atau pengembunan dari uap hasil pembakaran baik

II. TINJAUAN PUSTAKA. Asap cair adalah hasil destilasi atau pengembunan dari uap hasil pembakaran baik II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Asap Cair Asap cair adalah hasil destilasi atau pengembunan dari uap hasil pembakaran baik secara langsung maupun tidak langsung. Bahan baku yang digunakan dalam pembuatan asap

Lebih terperinci

Menerapkan Teknik Pemanasan Tidak Langsung dalam Pengolahan KD 1: Melakukan Proses Pengasapan Ikan

Menerapkan Teknik Pemanasan Tidak Langsung dalam Pengolahan KD 1: Melakukan Proses Pengasapan Ikan 1 P a g e Menerapkan Teknik Pemanasan Tidak Langsung dalam Pengolahan KD 1: Melakukan Proses Pengasapan Ikan Pengasapan Ikan Menurut perkiraan FAO,2 % dari hasil tangkapan ikan dunia diawetkan dengan cara

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. menjadi tiga, yaitu Perkebunan Rakyat (PR), Perkebunan Besar Negara (PBN)

II. TINJAUAN PUSTAKA. menjadi tiga, yaitu Perkebunan Rakyat (PR), Perkebunan Besar Negara (PBN) II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tanaman Karet di Propinsi Lampung Perkebunan karet di Provinsi Lampung menurut status pengusahaanya dibedakan menjadi tiga, yaitu Perkebunan Rakyat (PR), Perkebunan Besar Negara

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengujian kali ini adalah penetapan kadar air dan protein dengan bahan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengujian kali ini adalah penetapan kadar air dan protein dengan bahan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Pengujian kali ini adalah penetapan kadar air dan protein dengan bahan yang digunakan Kerupuk Udang. Pengujian ini adalah bertujuan untuk mengetahui kadar air dan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Pengolahan Hasil Perkebunan STIPAP Medan. Waktu penelitian dilakukan pada

METODE PENELITIAN. Pengolahan Hasil Perkebunan STIPAP Medan. Waktu penelitian dilakukan pada II. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Proses Program Studi Teknologi Pengolahan Hasil Perkebunan STIPAP Medan. Waktu penelitian dilakukan pada bulan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Cabai Merah (Capsicum annuum L.) Karakteristik awal cabai merah (Capsicum annuum L.) diketahui dengan melakukan analisis proksimat, yaitu kadar air, kadar vitamin

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Perdagangan Internasional Suatu Negara membutuhkan negara lain dan saling menjalin hubungan perdagangan dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidup bagi masyarakat. Hubungan

Lebih terperinci

OPTIMASI PROSES PIROLISIS ASAP CAIR DARI TEMPURUNG KELAPA DAN APLIKASINYA SEBAGAI KOAGULAN LATEKS

OPTIMASI PROSES PIROLISIS ASAP CAIR DARI TEMPURUNG KELAPA DAN APLIKASINYA SEBAGAI KOAGULAN LATEKS JURNAL TEKNOLOGI AGRO-INDUSTRI Vol. 2 No.1 ; Juni 2015 OPTIMASI PROSES PIROLISIS ASAP CAIR DARI TEMPURUNG KELAPA DAN APLIKASINYA SEBAGAI KOAGULAN LATEKS JAKA DARMA JAYA 1, NURYATI 1, BADRI 2 1 Staff Pengajar

Lebih terperinci

PEMANFAATAN ASAP CAIR SERBUK KAYU SEBAGAI KOAGULAN BOKAR THE UTILIZATION OF LIQUID SMOKE FROM SAWDUST AS BOKAR COAGULANT. Abstrak

PEMANFAATAN ASAP CAIR SERBUK KAYU SEBAGAI KOAGULAN BOKAR THE UTILIZATION OF LIQUID SMOKE FROM SAWDUST AS BOKAR COAGULANT. Abstrak PEMANFAATAN ASAP CAIR SERBUK KAYU SEBAGAI KOAGULAN BOKAR THE UTILIZATION OF LIQUID SMOKE FROM SAWDUST AS BOKAR COAGULANT Eli Yulita (1), (2), (2) Balai Riset dan Standardisasi Industri Palembang (1) Fakultas

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENENTUAN PERBANDINGAN MASSA ALUMINIUM SILIKAT DAN MAGNESIUM SILIKAT Tahapan ini merupakan tahap pendahuluan dari penelitian ini, diawali dengan menentukan perbandingan massa

Lebih terperinci

PENGERINGAN PENDAHULUAN PRINSIP DAN TUJUAN PENGOLAHAN SECARA PENGERINGAN FAKTOR-FAKTOR PENGERINGAN PERLAKUAN SEBELUM DAN SETELAH PENGERINGAN

PENGERINGAN PENDAHULUAN PRINSIP DAN TUJUAN PENGOLAHAN SECARA PENGERINGAN FAKTOR-FAKTOR PENGERINGAN PERLAKUAN SEBELUM DAN SETELAH PENGERINGAN PENGERINGAN PENDAHULUAN PRINSIP DAN TUJUAN PENGOLAHAN SECARA PENGERINGAN FAKTOR-FAKTOR PENGERINGAN PERLAKUAN SEBELUM DAN SETELAH PENGERINGAN EFEK PENGERINGAN TERHADAP PANGAN HASIL TERNAK PERLAKUAN SEBELUM

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tanaman Karet dan Lateks Menurut Nazaruddin dan Paimin (2004), dalam dunia tumbuhan tanaman karet tersusun dalam sistematika sebagai berikut : Devisi : Spermatophyta Subdivisi :

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA Asap cair merupakan suatu hasil kondensasi atau pengembunan dari uap hasil pembakaran secara langsung maupun tidak langsung dari bahan-bahan yang banyak mengandung lignin, selulosa,

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Karakterisasi Komposisi Kimia 1. Analisa Kadar Air (SNI ) Kadar Air (%) = A B x 100% C

Lampiran 1. Prosedur Karakterisasi Komposisi Kimia 1. Analisa Kadar Air (SNI ) Kadar Air (%) = A B x 100% C LAMPIRAN Lampiran 1. Prosedur Karakterisasi Komposisi Kimia 1. Analisa Kadar Air (SNI 01-2891-1992) Sebanyak 1-2 g contoh ditimbang pada sebuah wadah timbang yang sudah diketahui bobotnya. Kemudian dikeringkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat, karena air merupakan salah satu media dari berbagai macam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat, karena air merupakan salah satu media dari berbagai macam 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Dasar Pengenalan Air Air merupakan suatu sarana utama untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, karena air merupakan salah satu media dari berbagai macam penularan,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. s n. Pengujian Fitokimia Biji Kelor dan Biji. Kelor Berkulit

HASIL DAN PEMBAHASAN. s n. Pengujian Fitokimia Biji Kelor dan Biji. Kelor Berkulit 8 s n i1 n 1 x x i 2 HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian Fitokimia Kelor dan Kelor Berkulit s RSD (%) 100% x Pengujian Fitokimia Kelor dan Kelor Berkulit Pengujian Alkaloid Satu gram contoh dimasukkan ke dalam

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara produsen karet alam terbesar dunia.

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara produsen karet alam terbesar dunia. 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara produsen karet alam terbesar dunia. Khususnya Indonesia kontribusi sebesar 26 persen dan total produksi karet alam dunia. Berdasarkan

Lebih terperinci

HASIL DA PEMBAHASA. Tabel 5. Analisis komposisi bahan baku kompos Bahan Baku Analisis

HASIL DA PEMBAHASA. Tabel 5. Analisis komposisi bahan baku kompos Bahan Baku Analisis IV. HASIL DA PEMBAHASA A. Penelitian Pendahuluan 1. Analisis Karakteristik Bahan Baku Kompos Nilai C/N bahan organik merupakan faktor yang penting dalam pengomposan. Aktivitas mikroorganisme dipertinggi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. batok sabut kelapa (lunggabongo). Sebelum dilakukan pengasapan terlebih dahulu

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. batok sabut kelapa (lunggabongo). Sebelum dilakukan pengasapan terlebih dahulu BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Ikan tongkol (Euthynnus affinis) segar diperoleh dari TPI (Tempat Pelelangan Ikan) kota Gorontalo. Bahan bakar yang digunakan dalam pengasapan ikan adalah batok sabut kelapa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perak Nitrat Perak nitrat merupakan senyawa anorganik tidak berwarna, tidak berbau, kristal transparan dengan rumus kimia AgNO 3 dan mudah larut dalam alkohol, aseton dan air.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 KARAKTERISASI LIMBAH MINYAK Sebelum ditambahkan demulsifier ke dalam larutan sampel bahan baku, terlebih dulu dibuat blanko dari sampel yang diujikan (oli bekas dan minyak

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Analisis Pati Sagu

Lampiran 1. Prosedur Analisis Pati Sagu LAMPIRAN Lampiran 1. Prosedur Analisis Pati Sagu 1. Bentuk Granula Suspensi pati, untuk pengamatan dibawah mikroskop polarisasi cahaya, disiapkan dengan mencampur butir pati dengan air destilasi, kemudian

Lebih terperinci

PEMANFAATAN ASAP CAIR SERBUK KAYU SEBAGAI KOAGULAN BOKAR THE UTILIZATION OF LIQUID SMOKE FROM SAWDUST AS BOKAR COAQULANT

PEMANFAATAN ASAP CAIR SERBUK KAYU SEBAGAI KOAGULAN BOKAR THE UTILIZATION OF LIQUID SMOKE FROM SAWDUST AS BOKAR COAQULANT Jurnal Dinamika Penelitian Industri Vol. 22 No. 1 Tahun 2011 Hal. 35-40 PEMANFAATAN ASAP CAIR SERBUK KAYU SEBAGAI KOAGULAN BOKAR THE UTILIZATION OF LIQUID SMOKE FROM SAWDUST AS BOKAR COAQULANT Eli Yulita

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perikanan yang sangat besar. Oleh karena itu sangat disayangkan bila. sumber protein hewani, tingkat konsumsi akan ikan yang tinggi

BAB I PENDAHULUAN. perikanan yang sangat besar. Oleh karena itu sangat disayangkan bila. sumber protein hewani, tingkat konsumsi akan ikan yang tinggi BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Indonesia merupakan negara kepulauan yang sebagian besar wilayahnya terdiri atas perairan, dan mempunyai laut serta potensi perikanan yang sangat besar. Oleh

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. PENELITIAN PENDAHULUAN Penelitian pendahuluan diawali dengan melakukan uji terhadap buah salak segar Padangsidimpuan. Buah disortir untuk memperoleh buah dengan kualitas paling

Lebih terperinci

Pembuatan Koloid, Denaturasi Protein dan Lem Alami

Pembuatan Koloid, Denaturasi Protein dan Lem Alami Pembuatan Koloid, Denaturasi Protein dan Lem Alami I. Tujuan Pada percobaan ini akan dipelajari beberapa hal mengenai koloid,protein dan senyawa karbon. II. Pendahuluan Bila garam dapur dilarutkan dalam

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Waktu pelaksanaan penelitian pada bulan Juni 2013.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Waktu pelaksanaan penelitian pada bulan Juni 2013. BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian 1. Waktu Penelitian Waktu pelaksanaan penelitian pada bulan Juni 2013. 2. Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Patologi,

Lebih terperinci

Desikator Neraca analitik 4 desimal

Desikator Neraca analitik 4 desimal Lampiran 1. Prosedur Uji Kadar Air A. Prosedur Uji Kadar Air Bahan Anorganik (Horwitz, 2000) Haluskan sejumlah bahan sebanyak yang diperlukan agar cukup untuk analisis, atau giling sebanyak lebih dari

Lebih terperinci

PETANI DI BABEL MASIH MENGGUNAKAN TAWAS SEBAGAI KOAGULAN LATEKS

PETANI DI BABEL MASIH MENGGUNAKAN TAWAS SEBAGAI KOAGULAN LATEKS Anjloknya harga karet Indonesia akhir-akhir ini berkaitan erat dengan kualitas bokar (bahan olah karet) yang diproduksi oleh petani, dimana dalam pengolahan bokar-nya masih banyak petani karet yang mempergunakan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Proses Produksi Ribbed Smoked Sheet dan Estate Brown Crepe Lateks hasil sadapan dari kebun diangkut ke tiap afdeling. Lateks dikumpulkan disebuah bak yang ada tiap afdeling yang

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Persiapan dan Karakteristik Bahan Baku 1. Lateks Pekat Jenis lateks pekat yang digunakan dalam penelitian ini adalah lateks pekat perdagangan yang telah ditambahkan amonia.

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pengaruh Perlakuan Terhadap Sifat Fisik Buah Pala Di Indonesia buah pala pada umumnya diolah menjadi manisan dan minyak pala. Dalam perkembangannya, penanganan pascapanen diarahkan

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN

BAB II GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN BAB II GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN 2.1. Sejarah Perusahaan Kebun Batang Serangan dibuka pada tahun 1910 yang dikelola oleh pemerintahan Belanda dengan nama perusahaan NV.BDM (Breningde Deli Maatscappinjen).

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakterisasi awal blotong dan sludge pada penelitian pendahuluan menghasilkan komponen yang dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Karakteristik blotong dan sludge yang digunakan

Lebih terperinci

Atas kesediaan Bapak/Ibu saya ucapkan terima kasih.

Atas kesediaan Bapak/Ibu saya ucapkan terima kasih. Lampiran 1. Lembar Uji Hedonik Nama : Usia : Pekerjaan : Pengujian organoleptik dilakukan terhadap warna, aroma, rasa dan kekentalan yoghurt dengan metoda uji kesukaan/hedonik. Skala hedonik yang digunakan

Lebih terperinci

PENGASAPAN. PENGASAPAN merupakan perlakuan terhadap produk makanan dengan gas yang dihasilkan dari pemanasan material tanaman (contoh : kayu)

PENGASAPAN. PENGASAPAN merupakan perlakuan terhadap produk makanan dengan gas yang dihasilkan dari pemanasan material tanaman (contoh : kayu) PENGASAPAN PENGASAPAN merupakan perlakuan terhadap produk makanan dengan gas yang dihasilkan dari pemanasan material tanaman (contoh : kayu) Tujuan Pengasapan: Pengawetan (Antibakteri, Antioksidan) Pengembangan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat

I PENDAHULUAN. Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat I PENDAHULUAN Bab ini akan menguraikan mengenai : (1.1) Latar Belakang, (1.2) Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat Penelitian, (1.5) Kerangka Pemikiran, (1.6) Hipotesis

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penelitian Pendahuluan Pengeringan yang dilakukan dua kali dalam penelitian ini bertujuan agar pengeringan pati berlangsung secara merata. Setelah dikeringkan dan dihaluskan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. dicatat volume pemakaian larutan baku feroamonium sulfat. Pembuatan reagen dan perhitungan dapat dilihat pada lampiran 17.

HASIL DAN PEMBAHASAN. dicatat volume pemakaian larutan baku feroamonium sulfat. Pembuatan reagen dan perhitungan dapat dilihat pada lampiran 17. Tegangan Permukaan (dyne/cm) Tegangan permukaan (dyne/cm) 6 dihilangkan airnya dengan Na 2 SO 4 anhidrat lalu disaring. Ekstrak yang diperoleh kemudian dipekatkan dengan radas uap putar hingga kering.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Indonesia memiliki hasil perkebunan yang cukup banyak, salah satunya hasil perkebunan ubi kayu yang mencapai 26.421.770 ton/tahun (BPS, 2014). Pemanfaatan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN MESA off grade merupakan hasil samping dari proses sulfonasi MES yang memiliki nilai IFT lebih besar dari 1-4, sehingga tidak dapat digunakan untuk proses Enhanced Oil Recovery

Lebih terperinci

Proses Pembuatan Biodiesel (Proses Trans-Esterifikasi)

Proses Pembuatan Biodiesel (Proses Trans-Esterifikasi) Proses Pembuatan Biodiesel (Proses TransEsterifikasi) Biodiesel dapat digunakan untuk bahan bakar mesin diesel, yang biasanya menggunakan minyak solar. seperti untuk pembangkit listrik, mesinmesin pabrik

Lebih terperinci

A = berat cawan dan sampel awal (g) B = berat cawan dan sampel yang telah dikeringkan (g) C = berat sampel (g)

A = berat cawan dan sampel awal (g) B = berat cawan dan sampel yang telah dikeringkan (g) C = berat sampel (g) LAMPIRAN 42 Lampiran 1. Prosedur Analisis mutu kompos A. Kadar Air Bahan (AOAC, 1984) Cawan porselen kosong dan tutupnya dimasukkan ke dalam oven selama 15 menit pada suhu 100 o C.Cawan porselen kemudian

Lebih terperinci

I. DASAR TEORI Struktur benzil alkohol

I. DASAR TEORI Struktur benzil alkohol JUDUL TUJUAN PERCBAAN IV : BENZIL ALKL : 1. Mempelajari kelarutan benzyl alkohol dalam berbagai pelarut. 2. Mengamati sifat dan reaksi oksidasi pada benzyl alkohol. ari/tanggal : Selasa, 2 November 2010

Lebih terperinci

PENGARUH TEMPERATUR PADA PROSES PEMBUATAN ASAM OKSALAT DARI AMPAS TEBU. Oleh : Dra. ZULTINIAR,MSi Nip : DIBIAYAI OLEH

PENGARUH TEMPERATUR PADA PROSES PEMBUATAN ASAM OKSALAT DARI AMPAS TEBU. Oleh : Dra. ZULTINIAR,MSi Nip : DIBIAYAI OLEH PENGARUH TEMPERATUR PADA PROSES PEMBUATAN ASAM OKSALAT DARI AMPAS TEBU Oleh : Dra. ZULTINIAR,MSi Nip : 19630504 198903 2 001 DIBIAYAI OLEH DANA DIPA Universitas Riau Nomor: 0680/023-04.2.16/04/2004, tanggal

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pembuatan Ikan Tongkol (Euthynnus affinis) Asap. Pengolahan ikan tongkol (Euthynnus affinis) asap diawali dengan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pembuatan Ikan Tongkol (Euthynnus affinis) Asap. Pengolahan ikan tongkol (Euthynnus affinis) asap diawali dengan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pembuatan Ikan Tongkol (Euthynnus affinis) Asap Pengolahan ikan tongkol (Euthynnus affinis) asap diawali dengan melakukan preparasi ikan. Selanjutnya diberi perlakuan penggaraman

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. KARET ALAM DAN KARET ALAM PADAT (SIR 20) Karet alam adalah senyawa hidrokarbon yang dihasilkan melalui penggumpalan getah dari hasil penyadapan tanaman tertentu. Getah tersebut

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Perubahan Ion Leakage Ion merupakan muatan larutan baik berupa atom maupun molekul dan dengan reaksi transfer elektron sesuai dengan bilangan oksidasinya menghasilkan ion.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 KARAKTERISASI MINYAK Sabun merupakan hasil reaksi penyabunan antara asam lemak dan NaOH. Asam lemak yang digunakan untuk membuat sabun transparan berasal dari tiga jenis minyak,

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur analisis karakteristik kompos

Lampiran 1. Prosedur analisis karakteristik kompos LAMPIRA 30 Lampiran 1. Prosedur analisis karakteristik kompos A. Kadar Air Bahan (AOAC 1984) Cawan alumunium kosong dimasukkan ke dalam oven selama 15 menit pada temperatur 100 o C. Cawan porselen kemudian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Pengawet pada produk makanan atau minuman sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan di dalam industri makanan. Apalagi perkembangan zaman menuntut produk makanan

Lebih terperinci

PENGAMBILAN SAMPEL AIR

PENGAMBILAN SAMPEL AIR PENGAMBILAN SAMPEL AIR A. Pemeriksaan : Pengambilan Sampel Air B. Tujuan :Untuk memperoleh sampel air guna pemeriksaan parameter lapangan C. Metode : Langsung D. Prinsip : Sungai dengan debit kurang dari

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Analisis

Lampiran 1. Prosedur Analisis L A M P I R A N 69 Lampiran 1. Prosedur Analisis A. Pengukuran Nilai COD (APHA,2005). 1. Bahan yang digunakan : a. Pembuatan pereaksi Kalium dikromat (K 2 Cr 2 O 7 ) adalah dengan melarutkan 4.193 g K

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM BIOKIMIA II KLINIK

LAPORAN PRAKTIKUM BIOKIMIA II KLINIK LAPORAN PRAKTIKUM BIOKIMIA II KLINIK NAMA NIM KEL.PRAKTIKUM/KELAS JUDUL ASISTEN DOSEN PEMBIMBING : : : : : : HASTI RIZKY WAHYUNI 08121006019 VII / A (GANJIL) UJI PROTEIN DINDA FARRAH DIBA 1. Dr. rer.nat

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. selulosa Nata de Cassava terhadap pereaksi asetat anhidrida yaitu 1:4 dan 1:8

BAB III METODE PENELITIAN. selulosa Nata de Cassava terhadap pereaksi asetat anhidrida yaitu 1:4 dan 1:8 34 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian Penelitian ini diawali dengan mensintesis selulosa asetat dengan nisbah selulosa Nata de Cassava terhadap pereaksi asetat anhidrida yaitu 1:4 dan 1:8

Lebih terperinci

LAPORAN KIMIA ANORGANIK II PEMBUATAN TAWAS DARI LIMBAH ALUMUNIUM FOIL

LAPORAN KIMIA ANORGANIK II PEMBUATAN TAWAS DARI LIMBAH ALUMUNIUM FOIL LAPORAN KIMIA ANORGANIK II PEMBUATAN TAWAS DARI LIMBAH ALUMUNIUM FOIL KELOMPOK : 3 NAMA NIM APRIANSYAH 06111010020 FERI SETIAWAN 06111010018 ZULKANDRI 06111010019 AMALIAH AGUSTINA 06111010021 BERLY DWIKARYANI

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Berdasarkan penelitian diperoleh hasil kadar ikan kembung yang diawetkan dengan garam dan khitosan ditunjukkan pada tabel 4.1. Tabel 4.1 Hasil

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN A. ANALISIS GLISEROL HASIL SAMPING BIODIESEL JARAK PAGAR

HASIL DAN PEMBAHASAN A. ANALISIS GLISEROL HASIL SAMPING BIODIESEL JARAK PAGAR IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. ANALISIS GLISEROL HASIL SAMPING BIODIESEL JARAK PAGAR Gliserol hasil samping produksi biodiesel jarak pagar dengan katalis KOH merupakan satu fase yang mengandung banyak pengotor.

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Aplikasi pengawet nira dan pembuatan gula semut dilakukan di Desa Lehan Kecamatan

III. BAHAN DAN METODE. Aplikasi pengawet nira dan pembuatan gula semut dilakukan di Desa Lehan Kecamatan 20 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Aplikasi pengawet nira dan pembuatan gula semut dilakukan di Desa Lehan Kecamatan Bumi Agung Kabupaten Lampung Timur, analisa dilakukan di Laboratorium

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Karakterisasi Minyak Jarak. B. Pembuatan Faktis Gelap

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Karakterisasi Minyak Jarak. B. Pembuatan Faktis Gelap IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakterisasi Minyak Jarak Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mengetahui karakteristik minyak jarak yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan faktis gelap. Karakterisasi

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI DAN ANALISIS MUTU MINYAK KELAPA DI TINGKAT PETANI PROVINSI JAMBI

IDENTIFIKASI DAN ANALISIS MUTU MINYAK KELAPA DI TINGKAT PETANI PROVINSI JAMBI IDENTIFIKASI DAN ANALISIS MUTU MINYAK KELAPA DI TINGKAT PETANI PROVINSI JAMBI Nur Asni dan Linda Yanti Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi ABSTRAK Pengkajian pengolahan minyak kelapa telah dilakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kulit jadi merupakan kulit hewan yang disamak (diawetkan) atau kulit

BAB I PENDAHULUAN. Kulit jadi merupakan kulit hewan yang disamak (diawetkan) atau kulit BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kulit jadi merupakan kulit hewan yang disamak (diawetkan) atau kulit bebas bulu dan urat di bawah kulit. Pekerjaan penyamakan kulit mempergunakan air dalam jumlah

Lebih terperinci

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IV HASIL DAN PEMBAHASAN IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISASI AWAL BAHAN Karakterisistik bahan baku daun gambir kering yang dilakukan meliputi pengujian terhadap proksimat bahan dan kadar katekin dalam daun gambir kering.

Lebih terperinci

Skala ph dan Penggunaan Indikator

Skala ph dan Penggunaan Indikator Skala ph dan Penggunaan Indikator NAMA : ENDRI BAMBANG SUPRAJA MANURUNG NIM : 4113111011 KELAS PRODI : DIK A : PENDIDIKAN JURUSAN : MATEMATIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Jenis Penelitian ini adalah penelitian analitik. Penelitian dilakukan di Laboratorium Kimia Analis Kesehatan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Jenis Penelitian ini adalah penelitian analitik. Penelitian dilakukan di Laboratorium Kimia Analis Kesehatan BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis Penelitian ini adalah penelitian analitik. B. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Kimia Analis Kesehatan Fakultas Ilmu

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. WAKTU DAN TEMPAT Penelitian dilaksanakan mulai 1 Agustus 2009 sampai dengan 18 Januari 2010 di Laboratorium SBRC (Surfactant and Bioenergy Research Center) LPPM IPB dan Laboratorium

Lebih terperinci

SNI Standar Nasional Indonesia. Lada hitam. Badan Standardisasi Nasional ICS

SNI Standar Nasional Indonesia. Lada hitam. Badan Standardisasi Nasional ICS SNI 01-0005-1995 Standar Nasional Indonesia Lada hitam ICS Badan Standardisasi Nasional i SNI 01 0005-1995 Daftar Isi 1. Ruang lingkup... 2 2. Acuan Normatif... 2 3. Istilah dan definisi... 2 4. Klasifikasi/penggolongan...

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. disertai dengan proses penggilingan dan penjemuran terasi. Pada umumnya

II. TINJAUAN PUSTAKA. disertai dengan proses penggilingan dan penjemuran terasi. Pada umumnya 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Terasi Terasi atau belacan adalah salah satu produk awetan yang berasal dari ikan dan udang rebon segar yang telah diolah melalui proses pemeraman atau fermentasi, disertai

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Penelitian pembuatan pupuk organik cair ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Limbah Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Secara

Lebih terperinci

Bab IV Hasil dan Pembahasan

Bab IV Hasil dan Pembahasan Bab IV Hasil dan Pembahasan Kualitas minyak dapat diketahui dengan melakukan beberapa analisis kimia yang nantinya dibandingkan dengan standar mutu yang dikeluarkan dari Standar Nasional Indonesia (SNI).

Lebih terperinci

MATERI DAN METOD E Lokasi dan Waktu Materi Prosedur Penelitian Tahap Pertama

MATERI DAN METOD E Lokasi dan Waktu Materi Prosedur Penelitian Tahap Pertama MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Bagian Teknologi Hasil Ternak Fakultas Peternakan, Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi, Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan Laboratoriun Analisis Hasil Pertanian Jurusan Teknologi Hasil Pertanian

Lebih terperinci

Lampiran 1. Pohon Industri Turunan Kelapa Sawit

Lampiran 1. Pohon Industri Turunan Kelapa Sawit LAMPIRAN Lampiran 1. Pohon Industri Turunan Kelapa Sawit 46 Lampiran 2. Diagram alir proses pembuatan Surfaktan Metil Ester Sulfonat (MES) Metil Ester Olein Gas SO 3 7% Sulfonasi Laju alir ME 100 ml/menit,

Lebih terperinci

4.2. Kadar Abu Kadar Metoksil dan Poligalakturonat

4.2. Kadar Abu Kadar Metoksil dan Poligalakturonat Kualitas pektin dapat dilihat dari efektivitas proses ekstraksi dan kemampuannya membentuk gel pada saat direhidrasi. Pektin dapat membentuk gel dengan baik apabila pektin tersebut memiliki berat molekul,

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur kerja analisa bahan organik total (TOM) (SNI )

Lampiran 1. Prosedur kerja analisa bahan organik total (TOM) (SNI ) 41 Lampiran 1. Prosedur kerja analisa bahan organik total (TOM) (SNI 06-6989.22-2004) 1. Pipet 100 ml contoh uji masukkan ke dalam Erlenmeyer 300 ml dan tambahkan 3 butir batu didih. 2. Tambahkan KMnO

Lebih terperinci

Jurnal Kimia Anorganik 2 26 Maret 2014 PEMBUATAN TAWAS. Eka Yulli Kartika. Kelompok 3: Eka Noviana N.A,Masfufatul Ilma, Nina Afria Damayanti

Jurnal Kimia Anorganik 2 26 Maret 2014 PEMBUATAN TAWAS. Eka Yulli Kartika. Kelompok 3: Eka Noviana N.A,Masfufatul Ilma, Nina Afria Damayanti PEMBUATAN TAWAS Eka Yulli Kartika 1112016200031 Kelompok 3: Eka Noviana N.A,Masfufatul Ilma, Nina Afria Damayanti Jurusan Pendidikan Kimia Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Kampus 1

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Karakteristik Fisik Sosis Sapi

HASIL DAN PEMBAHASAN. Karakteristik Fisik Sosis Sapi HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Fisik Sosis Sapi Nilai ph Sosis Sapi Substrat antimikroba yang diambil dari bakteri asam laktat dapat menghasilkan senyawa amonia, hidrogen peroksida, asam organik (Jack

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Lateks karet alam didapat dari pohon Hevea Brasiliensis yang berasal dari famili Euphorbia ceae ditemukan dikawasan tropikal Amazon, Amerika Selatan. Lateks karet

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Analisis Karakteristik Pati Sagu. Kadar Abu (%) = (C A) x 100 % B

Lampiran 1. Prosedur Analisis Karakteristik Pati Sagu. Kadar Abu (%) = (C A) x 100 % B Lampiran 1. Prosedur Analisis Karakteristik Pati Sagu 1. Analisis Kadar Air (Apriyantono et al., 1989) Cawan Alumunium yang telah dikeringkan dan diketahui bobotnya diisi sebanyak 2 g contoh lalu ditimbang

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. standar, dilanjutkan pengukuran kadar Pb dalam contoh sebelum dan setelah koagulasi (SNI ).

HASIL DAN PEMBAHASAN. standar, dilanjutkan pengukuran kadar Pb dalam contoh sebelum dan setelah koagulasi (SNI ). 0.45 µm, ph meter HM-20S, spektrofotometer serapan atom (AAS) Analytic Jena Nova 300, spektrofotometer DR 2000 Hach, SEM-EDS EVO 50, oven, neraca analitik, corong, pompa vakum, dan peralatan kaca yang

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN 4.2 DATA HASIL ARANG TEMPURUNG KELAPA SETELAH DILAKUKAN AKTIVASI

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN 4.2 DATA HASIL ARANG TEMPURUNG KELAPA SETELAH DILAKUKAN AKTIVASI 39 BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN 4.1 PENDAHULUAN Hasil eksperimen akan ditampilkan pada bab ini. Hasil eksperimen akan didiskusikan untuk mengetahui keoptimalan arang aktif tempurung kelapa lokal pada

Lebih terperinci