Tabel 3. Hasil uji karakteristik SIR 20

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Tabel 3. Hasil uji karakteristik SIR 20"

Transkripsi

1 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISTIK BAHAN BAKU 1. Karakteristik SIR 20 Karet spesifikasi teknis yang digunakan dalam penelitian ini adalah SIR 20 (Standard Indonesian Rubber 20). Penggunaan SIR 20 dilakukan agar hasil penelitian dapat diaplikasikan dalam bidang industri dengan mudah. SIR 20 terdapat dalam jumlah yang banyak di pasaran dengan harga yang relatif murah, sehingga penggunaannya sebagai bahan aditif aspal tidak membuat biaya produksi aspal modifikasi menjadi tinggi. SIR 20 yang digunakan terlebih dahulu dianalisis karakteristiknya seperti viskositas Mooney, plastisitas awal (Po) dan Plasticity Retension Index (PRI) untuk mengetahui bobot molekul kasar dan tingkat plastisitas sebelum karet didegradasi. Viskositas Mooney merupakan parameter penting dalam penelitian depolimerisasi karena dapat memberikan gambaran kasar bobot molekul karet. Proses depolimerisasi dapat dinyatakan berhasil jika nilai viskositas Mooney kontrol (SIR 20) lebih tinggi daripada nilai viskositas Mooney SIR 20 depolimerisasi yang dihasilkan. Nilai viskositas Mooney tertentu diperlukan agar proses pencampuran antara dua jenis bahan yang berbeda seperti karet dan aspal dapat dilakukan dengan mudah dan tidak memerlukan energi yang besar. Hasil uji karakteristik SIR 20 dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Hasil uji karakteristik SIR 20 Kriteria Uji Hasil uji Persyaratan (berdasarkan SNI ) Plastisitas awal (Po) 31,0 Min. 30 Plastisitas akhir (Pa) 17 - Plasticity Retension Index (PRI) 54,8 Min. Viskositas Mooney 58,7 - Viskositas Mooney dapat diukur dengan menggunakan Mooney Viscosimeter. Nilai viskositas Mooney menunjukkan panjangnya rantai molekul karet atau berat molekul karet secara kasar. Semakin panjang rantai molekul karet, maka akan semakin tinggi berat molekulnya dan semakin tinggi sifat tahanan aliran bahannya. Adapun prinsip kerja alat tersebut adalah berdasarkan pengukuran nilai torsi rotor yang dapat berputar. Mooney viscosimeter pada dasarnya adalah alat untuk mengukur aliran shear viscosity yang dirancang pada Ml (1 + 4 ) dengan strain rate ± 1,5/detik setelah pemanasan pendahuluan pada suhu 100 o C selama 1 menit, kemudian dilanjutkan periode shear selama 4 menit. Pengukuran aliran dilakukan selama kompresi sederhana pada suhu 100 o C. Dari hasil uji viskositas Mooney pada SIR 20 diketahui bahwa nilai viskositas Mooney SIR 20 sebesar 58,7 Ml(1`+4`) 100 o C. Nilai tersebut menunjukkan bahwa bobot molekul karet masih tinggi. Selain nilai viskositas Mooney, nilai plastisitas awal (Po), plastisitas setelah pengusangan (Pa) dan PRI (Plasticity Retention Index) dari SIR 20 juga dianalisis. Nilai Po minimal yang mengacu pada Standard Indonesia Rubber adalah 30. Nilai Po yang didapat dari hasil analisis telah sesuai dengan standar yang ditetapkan. 13

2 Plasticity Retention Index merupakan analisis untuk mengetahui keadaan molekul karet sebagai akibat dari pemanasan yang dapat memecah molekul karet sehingga karet menjadi lunak. Proses ini berhubungan dengan oksidasi. Karet yang memiliki nilai PRI tinggi berarti mempunyai ketahanan terhadap oksidasi pada suhu tinggi. PRI merupakan nilai perbandingan antara plastisitas sebelum pengusangan (Po) dan sesudah pengusangan (Pa). Nilai PRI yang didapatkan telah sesuai dengan standar nilai PRI SIR 20 yang ada. 2. Karakteristik Aspal Pen 60 Aspal yang digunakan dalam penelitian ini adalah aspal jenis pen 60. Aspal pen 60 yang akan digunakan terlebih dahulu diuji nilai titik lembek dan nilai penetrasinya untuk mengetahui kemampuan aspal melunak dan tingkat kekerasannya. Hasil uji karakteristik aspal pen 60 dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Hasil uji karakteristik aspal Pen 60 Kriteria Uji Hasil uji Persyaratan (berdasarkan SNI dan SNI ) Titik Lembek ( o C) Penetrasi (dmm) Titik lembek merupakan suhu pada saat aspal mulai melunak dikarenakan pemanasan yang terus-menerus. Aspal pen 60 yang dipakai memiliki nilai titik lembek sebesar 51 o C. nilai tersebut menunjukkan bahwa titik lembek aspal pen 60 yang dipakai memenuhi standar aspal Pen 60/70 yang ditetapkan. Uji penetrasi dilakukan untuk mengetahui tingkat kekerasan aspal. Semakin rendah nilai penetrasi yang didapat menunjukkan tingkat kekerasan aspal yang semakin tinggi (keras). Berdasarkan hasil uji penetrasi, aspal pen 60 yang dipakai memiliki nilai penetrasi sebesar 55 dmm. Nilai tersebut apabila dibandingkan dengan nilai standar penetrasi untuk aspal pen 60 tidak memenuhi standar yang ada. Hal ini menunjukkan bahwa aspal pen 60 yang dipakai telah mengalami penurunan nilai penetrasi atau menjadi keras karena penyimpanannya yang terlalu lama. Secara teoritis, aspal pen 60 seharusnya memiliki nilai penetrasi minimum sebesar 60 dmm. 3. Karakteristik SIR 20 Terdegradasi Degradasi SIR 20 merupakan proses pemutusan rantai polimer isoprene yang panjang pada karet menjadi rantai polimer yang pendek. Jika rantai polimer lebih pendek, maka diharapkan kemampuan karet alam melekat pada media aspal menjadi lebih baik. Penurunan bobot molekul SIR 20 diharapkan dapat memudahkan proses pencampurannya dengan aspal sehingga tidak membutuhkan energi yang besar dan proses yang lama. Pada penelitian ini dilakukan degradasi SIR 20 secara mekanis, yaitu dengan memanfaatkan tenaga mekanis yang berasal dari gaya geser antara permukaan gilingan (mesin giling terbuka) dengan balok karet. Jenis mesin giling yang digunakan yaitu two roll mill (mesin giling terbuka). 14

3 Mesin giling ini terdiri atas 2 roll mill yang berputar dengan arah yang berlawanan untuk membantu proses pelunakan karet atau mastikasi. Alat degradasi SIR 20 yang digunakan dapat dilihat pada Gambar 5. Keterangan: - Kecepatan rol yang lambat : 24 rpm - Rasio kecepatan rol yang lambat dibandingkan rol yang cepat : 1:1,4 - Diameter roll : 1 mm Gambar 5. Alat degradasi SIR 20 (two roll mill) Mastikasi yang digunakan pada penelitian ini adalah mastikasi dingin karena menggunakan suhu 60 o C. Pengontrolan suhu dilakukan dengan adanya aliran steam pada mesin. Menurut Amir (1990), pelunakan digolongkan dalam mastikasi dingin jika mastikasi dilakukan pada suhu dibawah 100 o C. Proses pemutusan ikatan polimer pada SIR 20 dilakukan dengan cara menggiling karet selama waktu yang telah ditentukan yaitu 8, 16 dan 24 menit. Lokasi pemutusan terjadi pada ikatan karbon-karbon dari rantai utama polimer (backbone) yaitu CH 2 -CH 2 -. Lokasi pemutusan ikatan karbon-karbon rantai utama polimer dapat dilihat pada Gambar 6. CH 3 CH 3 CH 2 C = C CH 2 CH 2 C = C CH 2 H Polimer H Lokasi pemutusan rantai molekul Gambar 6. Ionasi rantai molekul dalam mastikasi karet alam (Bristow dan Watson 1963) Proses pemutusan rantai molekul selama mastikasi selain dipengaruhi oleh suhu juga dipengaruhi oleh tenaga mesin mastikasi itu sendiri. Menurut Straudinger et al. (1931), proses mastikasi pada suhu rendah bukan reaksi thermal biasa tetapi merupakan penyatuan energi mekanik berupa gaya gesekan shearing force yang dipaksakan untuk menghancurkan molekul 15

4 karet. Penghancuran molekul yang dimaksud adalah perubahan ikatan rantai polimer (Kauzman et al. 1940) yang digambarkan sebagai berikut: R R energi mekanik 2R Selanjutnya sebagian radikal mengikat oksigen (O 2 ) dari udara, R + O 2 R O 2 Radikal lainnya bergabung kembali menjadi: R + R R R Untuk memudahkan proses mastikasi ditambahkan peptizer dan hidroksilamin netral sulfat (HNS). HNS digunakan untuk mencegah terjadinya reaksi ikatan silang pada rantai molekul karet. HNS banyak digunakan sebagai bahan pemantap viskositas Mooney karet. Mekanisme reaksi pengikatan gugus aldehida oleh senyawa hidroksilamin dapat dilihat pada Gambar 7. R CHO + NH 2 OH R CH = N OH + H 2 O Gugus Aldehida Hidroksilamin Aldoksin Air Gambar 7. Mekanisme Pengikatan Gugus Aldehida oleh Senyawa Hidroksilamin (Pristiyanti, 2006) Peptizer dapat membantu memutuskan rantai polimer karet. Oleh karena itu, penggunaan sedikit bahan ini cukup besar pengaruhnya dalam menurunkan viskositas karet. Dalam pengolahan karet secara tidak langsung peptizer dapat membuat karet menjadi mantap karena gugus tiolnya akan memblokade gugus aldehid membentuk tioasetal, sehingga tidak membentuk gel. Akibatnya viskositas karet tidak mengalami peningkatan selama penyimpanan. Bentuk dari SIR 20 sebelum didegradasi dan setelah didegradasi secara mekanis dapat dilihat pada Gambar 8. Gambar 8. Bentuk SIR 20 sebelum didegradasi dan sesudah didegradasi Degradasi molekul karet pada proses mastikasi mengakibatkan karet menjadi lebih plastis dibandingkan dengan sebelum mastikasi. Oleh karena itu, plastisitas karet dipengaruhi oleh durasi mastikasi. Semakin lama karet digiling atau diberi perlakuan mastikasi, maka karet akan menjadi semakin plastis. Hal ini juga mengakibatkan nilai viskositas Mooney karet semakin menurun. Pada mastikasi SIR 20 selama 8, 16 dan 24 menit didapatkan nilai viskositas Mooney yang semakin menurun. Nilai viskositas Mooney karet dapat dilihat pada Gambar 9. 16

5 Viskositas Mooney (Ml(1'+4') 100 o C Waktu giling (menit) Gambar 9. Grafik nilai viskositas Mooney SIR 20 terdegradasi Grafik di atas menunjukkan nilai viskositas Mooney dari SIR 20 dengan waktu giling 0, 8, 16, dan 24 menit. Dari grafik dapat dilihat bahwa nilai viskositas Mooney dari SIR 20 setelah degradasi berada pada kisaran 5,0-12,8 Ml (1`+4`) 100 o C. Hal ini menunjukkan terjadinya perubahan nilai viskositas setelah dilakukan degradasi. Semakin panjang rantai poliisoprene karet, maka dengan sendirinya pelepasan rantai monomer sebagian atau seluruhnya akan semakin sulit, jadi viskositasnya akan tinggi. Akibatnya akan terjadi aliran yang kecil dan bahan tersebut dikatakan mempunyai elastisitas tinggi. Sebaliknya, jika rantai poliisoprene pendek, maka dengan sendirinya akan semakin mudah terjadinya aliran bahan (viskositasnya rendah), sehingga bahan akan kurang elastic atau lebih plastis. Viskositas Mooney SIR 20 menurun seiring dengan bertambahnya durasi penggilingan karet. Semakin lama waktu penggilingan membuat karet menjadi semakin plastis dan lunak yang menghasilkan tahanan lemah, akibatnya rotor mooney viscometer berputar cepat dan memerlukan tenaga rendah. B. HOMOGENITAS CAMPURAN SIR 20 DENGAN ASPAL SECARA VISUAL SIR 20 yang telah didegradasi secara mekanis dicampurkan ke dalam aspal. Pencampuran SIR 20 ke dalam aspal dilakukan pada suhu 160 o C. Suhu 160 o C digunakan untuk proses pencampuran agar aspal tidak rusak karena suhu yang terlalu tinggi dan agar energi yang digunakan untuk proses pencampuran tidak terlalu besar. Wadah yang digunakan untuk proses pencampuran adalah wadah berbahan kaleng dengan volume aspal 2/3 dari volume wadah untuk memberi ruang karet mengembang dan aspal tidak tumpah pada saat proses pencampuran. Sebelum dimasukkan, SIR 20 terlebih dahulu dibentuk dengan ukuran yang sama agar terjadi keseragaman perlakuan pencampuran pada tiap sampel. Bentuk dari SIR 20 yang akan dicampurkan ke dalam aspal pada konsentrasi 3%, 5% dan 7 % dapat dilihat pada Gambar

6 Gambar 10. Bentuk SIR 20 depolimerisasi sebelum dicampurkan ke dalam aspal Pada proses pencampuran akan terlihat ukuran SIR 20 yang dimasukkan mengalami pengembangan. Pengembangan tersebut disebabkan karena adanya proses pemanasan dan pengadukan pada saat pencampuran, sehingga karet menjadi mengembang. Menurut Suroso (1995), pada saat pencampuran antara aspal dengan karet alam, karet alam akan menyerap minyak yang ada dalam aspal (malten), sehingga karet menjadi kenyal. Hal ini disebabkan karena karet alam adalah bahan padat sehingga berfungsi seperti aspalten dalam aspal. Salah satu faktor yang harus diperhatikan pada penggunaan karet alam sebagai bahan aditif adalah temperatur. Apabila temperatur terlalu panas maka akan menyebabkan degradasi mutu karet alam sehingga fungsi utama modifikasi aspal dengan karet alam akan berkurang. Aspal yang telah bercampur dengan karet diaduk hingga aspal dan karet (SIR 20) yang dimasukkan sebagai bahan aditif homogen atau tercampur sempurna. Untuk mengetahui tingkat kehomogenan campuran, uji homogenitas campuran secara visual dilakukan, yaitu dengan mengamati aliran jatuh aspal. Aspal yang telah dipanaskan pada menit ke-30 diambil sampelnya dengan menggunakan sendok dan diamati aliran jatuhnya dari permukaan sendok ke wadah datar. Apabila pada saat pengamatan masih terdapat aliran yang tidak konstan dan pada wadah datar masih terlihat butiran karet yang belum tercampur, maka proses pencampuran dilanjutkan sampai tidak ada lagi butiran pada aliran jatuh saat uji homogenitas secara visual. Dari hasil pengujian secara visual dapat terlihat bahwa semakin lama durasi penggilingan SIR 20, maka waktu pencampuran yang dibutuhkan akan semakin sedikit. Hal ini disebabkan karena karet yang mengalami waktu mastikasi yang panjang memiliki nilai viskositas Mooney yang rendah. Nilai viskositas Mooney ini menunjukkan nilai bobot molekul karet secara kasar. Semakin pendek rantai polimer karet, maka akan semakin mudah karet dan aspal bercampur, sehingga waktu pencampuran yang dibutuhkan akan semakin sedikit. Konsentrasi atau dosis karet dalam aspal juga mempengaruhi lamanya waktu pencampuran, semakin tinggi konsentrasi karet terhadap aspal, maka akan semakin lama waktu yang dibutuhkan aspal dan karet untuk bercampur homogen. Data waktu pencampuran SIR 20 terdegradasi ke dalam aspal hingga homogen dapat dilihat pada Lampiran 2. Grafik hubungan waktu pencampuran dengan jenis karet yang dicampurkan berdasarkan waktu giling dapat dilihat pada Gambar 11 berikut. 18

7 Lama waktu pencampuran (menit) Waktu Penggilingan (menit) Konsentrasi karet terhadap aspal: 3% 5% 7% Gambar 11. Grafik hubungan lama waktu pencampuran dan jenis SIR 20 Dari grafik diatas dapat dilihat lama proses pencampuran antara karet dan aspal pada konsentrasi dan jenis SIR 20 dengan waktu giling yang berbeda. SIR 20 yang tidak diberi perlakuan degradasi secara mekanis (waktu giling karet 0 menit) dianalisis waktu pencampurannya dengan aspal untuk mengetahui pengaruh dari adanya proses penurunan bobot molekul dengan proses degradasi secara mekanis. Pada SIR 20 tanpa perlakuan dapat dilihat pada grafik lama waktu pencampuran yang dibutuhkan sampai campuran homogen, yaitu sebesar 660 menit (11 jam). Hal ini jauh berbeda dengan kisaran waktu pencampuran SIR 20 yang telah didegradasi, yaitu berada antara menit. Dari grafik dapat dilihat proses degradasi karet dapat mempersingkat waktu pencampuran karet dalam aspal. SIR 20 dengan konsentrasi karet terhadap aspal 3% dengan lama waktu penggilingan 24 menit merupakan perlakuan pencampuran yang membutuhkan waktu paling sedikit, sedangkan SIR 20 dengan konsentrasi karet terhadap aspal sebesar 7 % dengan waktu penggilingan karet selama 8 menit merupakan perlakuan pencampuran yang membutuhkan waktu paling lama, yaitu sebesar 325 menit. C. PENGARUH SIR 20 TERHADAP TITIK LEMBEK ASPAL Analisis titik lembek aspal dilakukan untuk menentukan ketahanan aspal terhadap deformasi permanen. Titik lembek merupakan pendekatan utama selain penetrasi aspal untuk mengklasifikasikan kelas dan kualitas aspal untuk perkerasan jalan. Proses modifikasi aspal dengan penambahan bahan aditif berupa SIR 20 dinyatakan berhasil apabila nilai titik lembek aspal modifikasi lebih tinggi daripada nilai titik lembek kontrol (aspal pen 60). Nilai titik lembek aspal dapat dilihat pada Gambar 12. Dari histogram dapat dilihat bahwa nilai titik lembek aspal modifikasi meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi karet yang ditambahkan ke dalam aspal. Pada konsentrasi karet terhadap aspal 0% (kontrol) yang berupa aspal pen 60, nilai titik lembek yang didapatkan adalah sebesar 51 o C. Titik lembek aspal modifikasi berada pada kisaran nilai 53 o C sampai dengan 57 o C. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan SIR 20 terdegradasi ke dalam aspal telah berhasil membuat titik lembek aspal menjadi lebih tinggi dari titik lembek kontrol. Nilai titik lembek yang tertinggi terjadi pada aspal modifikasi dengan waktu giling karet 8 menit dan 19

8 konsentrasi karet terhadap aspal sebesar 7% yaitu sebesar 56,5 o C. Nilai titik lembek terendah yaitu sebesar 53 o C dihasilkan oleh aspal modifikasi dengan waktu giling karet 16 menit pada konsentrasi karet terhadap aspal sebesar 3% dan 5%. Sampel dengan waktu giling karet selama 24 menit juga menghasilkan nilai titik lembek terendah pada konsentrasi karet terhadap aspal sebesar 3%. Data hasil pengujian titik lembek dapat dilihat pada Lampiran 3. Titik lembek ( 0 C) Waktu giling SIR 20 (menit) Konsentrasi karet terhadap aspal: 0% 3% 5% 7% Gambar 12. Histogram nilai titik lembek sampel pada tiap konsentrasi Berdasarkan hasil analisis keragaman pada tingkat kepercayaan 95% dan α = 0,05, perlakuan variasi konsentrasi karet dalam aspal berpengaruh nyata terhadap nilai titik lembek. Hasil uji lanjut Duncan dapat dilihat pada Gambar 13. Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa nilai titik lembek aspal modifikasi pada konsentrasi karet dalam aspal 0% berbeda nyata dengan nilai titik lembek aspal modifikasi pada konsentrasi 3%, 5% dan 7%. Nilai titik lembek aspal modifikasi dengan konsentrasi karet dalam aspal 3% juga berbeda nyata dengan nilai titik lembek aspal modifikasi dengan konsentrasi 0% dan 7%, namun tidak berbeda nyata dengan taraf konsentrasi 5%. Nilai titik lembek aspal modifikasi pada konsentrasi 5% juga menunjukkan perbedaan nyata dengan konsentrasi 0% dan 7%, namun tidak berbeda nyata dengan konsentrasi 3%. Pada konsentrasi 7%, nilai titik lembek aspal modifikasinya juga berbeda nyata dengan nilai titik lembek aspal pada konsentrasi 0%, 3%, dan 5%. Hasil analisis ragam titik lembek dapat dilihat pada Lampiran 4. Titik lembek ( o C) Konsentrasi karet dalam aspal (%) Gambar 13. Histogram signifikansi titik lembek berdasarkan ANOVA pada faktor konsentrasi 20

9 Semakin tinggi konsentrasi karet dalam aspal, maka nilai titik lembek aspal juga akan meningkat. Hal ini disebabkan karena adanya penambahan partikel karet dalam aspal yang mengisi ruang partikel aspal, sehingga partikel karet tersebut membuat aspal lebih sulit untuk melunak. Semakin tinggi kadar karet dalam aspal, maka semakin banyak partikel karet yang memenuhi ruang-ruang partikel aspal. Hal ini menyebabkan nilai titik lembek aspal modifikasi akan semakin meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi karet. Karet dengan rantai molekul yang pendek atau viskositas rendah relatif lebih mudah terpenetrasi ke dalam pori pori permukaan, sehingga daya rekatnya dengan aspal relatif lebih kuat. Ilustrasi pencampuran antara karet dan aspal yang membuat titik lembek aspal menjadi lebih tinggi dapat dilihat pada Gambar 14 berikut. Gambar 14. Ilustrasi pencampuran antara aspal dan karet (SIR 20) Pada Gambar 14 dapat dilihat bahwa aspal minyak semi padat yang dipakai memiliki komponen penyusun seperti aspalten, resin dan minyak. Selanjutnya apabila aspal dipanaskan, minyak dari aspal tersebut akan keluar dan aspal mencair. Aspal yang telah mencair ditambahkan karet sebagai bahan aditif. Karet yang dimasukkan akan menyerap minyak yang keluar dari aspal, sehingga fungsi karet menjadi seperti asphalten dalam aspal. Karet menjadi kenyal dan lama kelamaan bercampur dengan aspal karena proses pemanasan dan pengadukan. Karet alam adalah bahan padat sehingga berfungsi seperti aspalten dalam aspal. Karet tersebut mengisi ruang antar partikel aspal, sehingga aspal menjadi lebih padat dan lebih sulit untuk melunak. Hasil analisis keragaman dan uji lanjut Duncan untuk perlakuan variasi waktu penggilingan SIR 20 terhadap nilai titik lembek aspal modifikasi dapat dilihat pada Gambar 15. Berdasarkam hasil analisis keragaman pada tingkat kepercayaan 95% dan α = 0,05, perlakuan variasi waktu penggilingan SIR 20 berpengaruh nyata terhadap nilai titik lembek aspal modifikasi yang dihasilkan. Histogram pada Gambar 15 menunjukkan bahwa nilai titik lembek aspal modifikasi dengan waktu giling karet 8 menit berbeda nyata dengan nilai titik lembek aspal modifikasi dengan waktu giling karet selama 16 dan 24 menit. Nilai titik lembek aspal modifikasi pada 21

10 waktu giling karet selama 16 menit juga menunjukkan hasil yang berbeda nyata dengan nilai titik lembek aspal pada watu giling karet 8 dan 24 menit. Hal yang sama juga ditunjukkan oleh nilai titik lembek aspal modifikasi pada waktu giling 24 menit. Hasil uji menunjukkan bahwa nilai titik lembek aspal modifikasi pada waktu giling karet selama 24 menit berbeda nyata dengan nilai titik lembek aspal modifikasi pada waktu giling karet 8 dan 16 menit. Titik lembek ( o C) A B C Waktu giling SIR 20 (menit) Gambar 15. Histogram signifikansi titik lembek berdasarkan ANOVA pada faktor waktu giling SIR 20 Berdasarkan hasil analisis keragaman pada tingkat kepercayaan 95% dan α = 0,05, interaksi antara variasi jenis SIR 20 dan variasi konsentrasi karet dalam aspal berpengaruh nyata terhadap nilai titik lembek aspal modifikasi. Pada Gambar 17 dapat dilihat histogram dari hasil uji lanjut Duncan. Aspal modifikasi S8K7 berbeda nyata dengan nilai titik lembek semua aspal modifikasi yang ada. Aspal modifikasi S24K7 tidak berbeda nyata dengan nilai titik lembek aspal modifikasi S24K7, namun berbeda nyata dengan aspal modifikasi lainnya. Aspal modifikasi S16K7 tidak berbeda nyata dengan aspal modifikasi S24K7, tetapi berbedanyata dengan aspal modifikasi lainnya. Aspal modifikasi S8K5 tidak berbeda nyata dengan aspal modifikasi S24K5 dan S8K3, namun berbeda nyata dengan jenis aspal modifikasi lainnya. Aspal modifikasi S24K5 tidak berbeda nyata dengan aspal modifikasi S8K5 dan S8K3, namun berbeda nyata dengan jenis aspal modifikasi lainnya. Begitu pula dengan aspal modifikasi S24K5 yang tidak berbeda nyata dengan aspal modifikasi S8K5 dan S8K3, namun berbeda nyata dengan jenis aspal modifikasi lainnya. Hasil analisis ragam titik lembek dapat dilihat pada Lampiran 5. Aspal modifikasi S16K5 tidak berbeda nyata dengan aspal modifikasi S24K3 dan S16K3, namun berbeda nyata dengan jenis aspal modifikasi lainnya. Aspal modifikasi S24K3 tidak berbeda nyata dengan aspal modifikasi S16K5 dan S16K3, namun berbeda nyata dengan jenis aspal modifikasi lainnya. Aspal modifikasi S16K3 tidak berbeda nyata dengan aspal modifikasi S24K3 dan S16K5, namun berbeda nyata dengan jenis aspal modifikasi lainnya. Pada Gambar 12 juga dapat dilihat aspal modifikasi S16K0 yang tidak berbeda nyata dengan aspal S24K0 dan S8K0, namun berbeda nyata dengan aspal modifikasi lain. Aspal modifikasi S24K0 tidak berbeda nyata dengan aspal modifikasi S16K0 dan S8K0, namun berbeda nyata dengan jenis aspal modifikasi lainnya. 22

11 Titik Lembek ( o C) S8K7 S24K7 S16K7 S8K5 S24K5 S8K3 S16K5 S24K3 S16K3 S16K0 S24K0 S8K0 Jenis SIR 20 berdasarkan perbedaan waktu giling dan konsentrasi Gambar 16. Histogram Signifikansi Titik Lembek pada Faktor Interaksi Dari histogram juga dapat dilihat bahwa variasi waktu giling SIR 20 dan variasi konsentrasi karet dalam aspal telah berhasil meningkatkan nilai titik lembek aspal modifikasi bila dibandingkan dengan nilai titik lembek kontrol. Sebagian besar kombinasi dari aspal modifikasi yang ada dapat memenuhi standar aspal polimer jenis elastomer. Nilai titik lembek minimal untuk standar aspal polimer jenis elastomer adalah 54,0 o C. Aspal modifikasi S8K7, S24K7, S16K7, S8K5, S24K5 dan S8K3 telah memenuhi standar aspal polimer jenis elastomer karena berada pada kisaran nilai 54 56,5 o C. D. PENGARUH SIR 20 TERHADAP PENETRASI ASPAL Uji penetrasi dan titik lembek merupakan dua uji standar yang biasa dilakukan untuk mengklasifikasikan kelas dan kualitas aspal untuk perkerasan jalan. Proses penambahan karet alam (SIR 20) ke dalam aspal dinyatakan berhasil apabila nilai penetrasi aspal modifikasi lebih rendah dari nilai penetrasi kontrol yaitu aspal pen 60. Nilai penetrasi sampel pada tiap konsentrasi yang berbeda dapat dilihat pada Gambar 18. Dari Gambar tersebut dapat dilihat bahwa penetrasi aspal modifikasi yang dihasilkan berkisar antara 41 sampai 51 dmm (0,1 mm), dengan nilai penetrasi control sebesar 55 dmm. Penambahan SIR 20 yang telah didegradasi ke dalam aspal telah berhasil meningkatkan kekerasan aspal dilihat dari semakin menurunnya nilai penetrasi. Aspal modifikasi dengan konsentrasi karet dalam aspal sebesar 0% menghasilkan nilai penetrasi yang berkisar antara 54,5 sampai 55 dmm. Nilai penetrasi aspal modifikasi pada konsentrasi 3% berkisar antara 44 sampai dmm. Konsentrasi karet dalam aspal 5% menghasilkan nilai penetrasi yang berkisar antara 41 sampai 51 dmm. Aspal modifikasi dengan konsentrasi karet dalam aspal sebesar 7 % menghasilkan nilai penetrasi yang berkisar antara 41 sampai,5 dmm. Sebagian sampel aspal modifikasi telah memenuhi standar aspal polimer. Sebanyak 6 sampel berada di luar standar persyaratan minimum aspal polimer, yaitu sampel dengan kode S8K3 sebesar 44 dmm, S8K5 sebesar 47,5 dmm, S8K7 sebesar 41 dmm, S16K3 sebesar 46 dmm, S16K5 sebesar 41 dmm, dan S16K7 sebesar 46,5 dmm. Data hasil pengujian nilai penetrasi dapat dilihat pada Lampiran 6. 23

12 60 Penetrasi (dmm) Konsentrasi karet terhadap aspal: 0% 3% 5% 7% Waktu giling SIR 20 (menit) Gambar 17. Histogram Nilai Penetrasi Sampel pada Tiap Konsentrasi Berdasarkan hasil analisis keragaman pada tingkat kepercayaan 95% dan α = 0,05, perlakuan variasi konsentrasi karet dalam aspal berpengaruh nyata terhadap nilai penetrasi. Pada Gambar 18 dapat dilihat histogram signifikansi penetrasi pada faktor konsentrasi karet. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa nilai penetrasi aspal modifikasi dengan konsentrasi 0% berbeda nyata dengan nilai penetrasi aspal modifikasi dengan konsentrasi 3%, 5%, dan 7%. Nilai penetrasi aspal modifikasi dengan konsentrasi 3% berbeda nyata dengan nilai penetrasi aspal modifikasi 0% namun tidak berbeda nyata dengan nilai penetrasi aspal modifikasi 5% dan 7%. Nilai penetrasi aspal modifikasi dengan konsentrasi 5% berbeda nyata dengan nilai penetrasi aspal modifikasi 0% namun tidak berbeda nyata dengan nilai penetrasi aspal modifikasi 3% dan 7%. Begitu pula dengan nilai penetrasi aspal modifikasi konsentrasi 7% berbeda nyata dengan nilai penetrasi aspal modifikasi 0 % namun tidak berbeda nyata dengan nilai penetrasi aspal modifikasi 3% dan 5%. Data hasil analisis ragam penetrasi dapat dilihat pada Lampiran 7. Penetrasi (dmm) Konsentrasi Karet dalam Aspal (%) Gambar 18. Histogram signifikansi penetrasi berdasarkan ANOVA pada faktor konsentrasi karet Tingkat konsentrasi karet dalam aspal yang bertambah menyebabkan nilai penetrasi menjadi semakin rendah. Nilai penetrasi yang rendah menunjukkan bahwa tingkat kekerasan aspal meningkat. Tingkat kekerasan aspal meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi karet dalam aspal. Hal ini disebabkan semakin tinggi kadar karet dalam aspal, maka semakin banyak 24

13 partikel karet yang memenuhi ruang-ruang antar partikel aspal. Pada saat proses pencampuran, jarak antar partikel aspal menjadi renggang disebabkan oleh adanya perlakuan pemanasan. Pada saat partikel aspal menjadi renggang, partikel karet akan masuk ke dalam ruang-ruang antar partikel aspal dan menyerap minyak yang ada pada aspal sehingga karet mengembang. Partikel karet tersebut mengisi ruang-ruang partikel aspal sehingga aspal modifikasi yang dihasilkan menjadi lebih padat dan lebih keras. Ilustrasi dari ruang ruang partikel aspal yang diisi oleh partikel karet sebagai bahan padat dalam aspal dapat dilihat pada Gambar 19. Gambar 19. Karet (SIR 20) yang terpenetrasi ke dalam aspal (Anonim 2000) Penetrasi (dmm) Jenis SIR 20 (perbedaan waktu giling) Gambar 20. Histogram signifikansi penetrasi berdasarkan ANOVA pada faktor jenis SIR 20 Berdasarkan hasil analisis keragaman pada tingkat kepercayaan 95% dan α = 0,05, perlakuan variasi jenis SIR 20 dengan waktu giling yang berbeda berpengaruh nyata terhadap nilai penetrasi yang dihasilkan. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa nilai penetrasi aspal modifikasi dengan waktu giling selama 8 menit berbeda nyata dengan nilai penetrasi aspal modifikasi dengan waktu giling 16 menit dan waktu giling karet 24 menit. Pada variasi waktu giling karet selama 16 menit, nilai penetrasinya berbeda nyata dengan nilai penetrasi aspal modifikasi dengan variasi waktu giling 8 menit, namun tidak berbeda nyata dengan nilai penetrasi aspal modifikasi dengan waktu giling 24 menit. Begitu pula pada variasi waktu giling 24 menit, nilai penetrasi aspal modifikasinya berbeda nyata dengan nilai penetrasi aspal modifikasi dengan waktu giling 8 menit. Namun,nilai penetrasi aspal modifikasi dengan waktu giling 24 menit tidak berbeda nyata dengan nilai penetrasi aspal modifikasi dengan waktu giling karet selama 16 menit. Histogram signifikasi penetrasi pada faktor jenis SIR 20 dapat dilihat pada Gambar 20. Berdasarkan hasil analisis keragaman pada tingkat kepercayaan 95% dan α = 0,05, interaksi antara variasi jenis SIR 20 dan variasi konsentrasi karet dalam aspal berpengaruh nyata terhadap 25

14 nilai penetrasi. Hasil uji lanjut Duncan dapat dilihat pada Gambar 21. Dari histogram tersebut terlihat bahwa nilai penetrasi aspal modifikasi kombinasi S8K0 tidak berbeda nyata dengan aspal modifikasi kombinasi S24K0 dan S16K0 namun berbeda nyata dengan kombinasi lainnya. Aspal modifikasi kombinasi S24K0 tidak berbeda nyata dengan aspal modifikasi kombinasi S8K0 dan kombinasi S16K0 namun berbeda nyata dengan kombinasi lainnya. Begitu pula dengan aspal modifikasi kombinasi S16K0 yang tidak berbeda nyata dengan aspal modifikasi kombinasi S8K0 dan S24K0 namun berbeda nyata dengan kombinasi lainnya. Aspal modifikasi kombinasi S24K5 tidak berbeda nyata dengan kombinaso S24K7 namun berbeda nyata dengan aspal kombinasi lainnya. Aspal modifikasi kombinasi S24K7tidak berbeda nyata dengan kombinasi S24K5 namun berbeda nyata dengan aspal kombinasi lainnya. Penetrasi (dmm) Jenis SIR 20 Gambar 21. Histogram Signifikansi Penetrasi pada Faktor Interaksi Pada aspal modifikasi kombinasi S24K3, nilai penetrasinya tidak berbeda nyata dengan nilai penetrasi aspal S24K7, S24K5 dan S8K5, namun berbeda nyata dengan kombinasi lainnya. Aspal modifikasi dengan kombinasi S8K5 tidak berbeda nyata dengan kombinasi S24K3, namun berbeda nyata dengan kombinasi lainnya. Pada aspal kombinasi S16K7, nilai penetrasinya tidak berbeda nyata dengan nilai penetrasi aspal modifikasi kombinasi S16K3, S8K3 dan S8K5, namun berbeda nyata dengan nilai penetrasi aspal kombinasi lainnya. Kombinasi S16K3 tidak berbeda nyata dengan S16K7, S8K5, dan S8K3,namun berbeda nyata dengan kombinasi lainnya. Kombiasi S8K3 tidak berbeda nyata dengan kombinasi aspal modifikasi S16K3, S16K7, dan S8K5, namun berbeda nyata dengan kombinasi lainnya. Pada aspal modifikasi kombinasi S16K5, nilai penetrasinya tidak berbeda nyata dengan nilai penetrasi kombinasi aspal S8K7, namun berbeda nyata dengan aspal kombinasi lain. Begitu pula untuk aspal modifikasi kombinasi S8K7 yang tidak berbeda nyata dengan nilai penetrasi aspal kombinasi S16K5, namun berbeda nyata dengan nilai penetrasi aspal modifikasi kombinasi lainnya. Data hasil analisis ragam interaksi penetrasi dapat dilihat pada Lampiran 8. Banyaknya nilai penetrasi aspal modifikasi yang berada diluar nilai penetrasi standar aspal polimer disebabkan karena aspal pen 60 yang dipakai telah mengalami penurunan nilai penetrasi. Standar minimum untuk nilai penetrasi aspal keras pen 60/70 adalah sebesar 60 dmm sedangkan nilai penetrasi kontrol aspal pen 60 yang dipakai sebesar 55 dmm. Aspal pen 60 yang dipakai sebagai bahan utama yang dicampurkan dengan karet telah menjadi lebih keras sebelum dicampurkan. Apabila dilakukan perhitungan selisih penurunan nilai penetrasi aspal pen 60 setelah dilakukan modifikasi dengan aspal pen 60 (kontrol), maka akan didapatkan nilai 26

15 penurunan antara 4-14 dmm. Grafik selisih penurunan nilai aspal penetrasi setelah dilakukan modifikasi dengan bahan aditif karet dapat dilihat pada Gambar 22. Selisih penurunan nilai penetrasi (dmm) Konsentrasi karet terhadap aspal: 3% 5% 7% Waktu Giling Karet (menit) Gambar 22. Grafik selisih penurunan nilai penetrasi aspal modifikasi terhadap penetrasi kontrol Pada grafik dapat dilihat adanya penurunan nilai penetrasi aspal modifikasi terhadap aspal pen 60 (kontrol). Penurunan yang terjadi tampak tidak seragam, aspal modifikasi yang memiliki selisih penurunan tertinggi yaitu aspal modifikasi dengan waktu giling karet selama 8 menit dan konsentrasi penambahan karet dalam aspal sebesar 7% (S8K7) dan aspal modifikasi dengan waktu giling 16 menit dengan konsentrasi penambahan karet dalam aspal sebesar 5% (S16K5) yaitu sebesar 14 dmm. Nilai selisih penurunan terendah terdapat pada aspal modifikasi dengan waktu giling karet sebesar 24 menit dan konsentrasi karet terhadap aspal 5% (S24K5) yaitu sebesar 4 dmm. Berdasarkan nilai tersebut, semakin lama waktu giling karet akan menghasilkan selisih nilai penetrasi yang semakin kecil terhadap kontrol. Apabila diasumsikan aspal pen 60 yang dipakai memenuhi satandar minimum aspal pen 60 yaitu sebesar 60 dmm, maka dari selisih penurunan nilai penetrasi diatas dapat dibuat nilai penetrasi aspal modifikasi dengan nilai kontrol sebesar 60 dmm. Data selisih penurunan nilai penetrasi aspal dan asumsi nilai penetrasi dengan kontrol sebesar 60 dmm dapat dilihat pada Lampiran penetrasi (dmm) Konsentrasi karet terhadap aspal: 0% 3% 5% 7% Waktu Giling (menit) Gambar 23. Grafik nilai penetrasi aspal modifikasi dengan nilai penetrasi kontrol 60 dmm 27

16 Pada Gambar 23 dapat dilihat bahwa nilai kontrol atau nilai penetrasi awal dari aspal yang dipakai akan mempengaruhi nilai penetrasi aspal modifikasi yang dihasilkan. Apabila diasumsikan nilai penetrasi kontrol awal sebesar 60 dmm, maka didapatkan nilai penetrasi berdasarkan selisih penurunan aspal modifikasi dengan nilai kontrol awal 55 dmm berada pada kisaran nilai 46-55,5 dmm. Asumsi ini digunakan sebagai pembanding apabila aspal yang digunakan sebagai bahan utama penelitian memiliki nilai penetrasi yang memenuhi standar aspal pen 60 yang ditetapkan. Aspal modifikasi yang memenuhi standar aspal polimer apabila nilai penetrasi kontrol sebesar 60 dmm adalah aspal modifikasi dengan kode S8K5, S16K3, S16K7, S24K3, S24K5, dan S24K7. Aspal yang tidak memenuhi standar aspal polimer untuk nilai penetrasi berkurang menjadi sebanyak 3 sampel dibandingkan aspal modifikasi yang dihasilkan dengan nilai penetrasi kontrol 55 dmm. Berdasarkan asumsi tersebut, apabila nilai penetrasi kontrol aspal pen 60 yang dipakai memenuhi standar minimum aspal pen 60 maka nilai penetrasi aspal modifikasi yang dihasilkan sebagian besar akan memenuhi standar aspal polimer. E. PENGARUH PENYIMPANAN SIR 20 TERDEGRADASI Pada penelitian ini dilakukan penyimpanan SIR 20 yang telah didepolimerisasi untuk melihat pengaruh penyimpanan terhadap sifat SIR 20 dan mutu dari aspal modifikasi yang dihasilkan. Penelitian tentang pengaruh penyimpanan ini tidak termasuk penelitian utama dan hanya dilakukan untuk memberikan informasi kasar agar dilakukan penelitian lanjutan. SIR 20 dengan waktu giling 24 menit disimpan pada suhu kamar selama 33 hari. Untuk mengetahui ada tidaknya penambahan bobot molekul pada waktu penyimpanan, SIR 20 yang telah disimpan diuji nilai viskositas Mooney-nya. Nilai viskositas Mooney untuk SIR 20 dengan waktu giling 24 menit yang telah disimpan selama 33 hari adalah sebesar 5,0 Ml (1`+4`) 100 o C. Sedangkan, SIR 20 dengan waktu giling 24 menit tanpa proses penyimpanan memliki nilai viskositas Mooney sebesar 6,7 Ml (1`+4`) C. Hal ini menunjukkan adanya penurunan bobot molekul SIR 20 yang ditandai dengan penurunan nilai viskositas Mooney. Selanjutnya, SIR 20 yang telah disimpan dicampurkan ke dalam aspal. Prosedur pencampuran yang dilakukan sama dengan prosedur pencampuran SIR 20 tanpa proses penyimpanan ke dalam aspal. Untuk mengetahui tingkat kehomogenan campuran dilakukan uji homogenitas secara visual yaitu dengan mengamati aliran jatuh aspal. Perbandingan lama waktu pencampuran antara SIR 20 yang disimpan dengan SIR 20 tanpa proses penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 24. Pada gambar tersebut dapat dilihat nilai lama waktu pencampuran SIR 20 dengan waktu giling 24 menit yang telah disimpan selama 33 hari dan nilai lama waktu pencampuran SIR 20 dengan waktu giling 24 menit tanpa proses penyimpanan. Terlihat bahwa lama waktu pencampuran yang dibutuhkan oleh SIR 20 yang disimpan tidak jauh berbeda dengan lama waktu pencampuran yang dibutuhkan oleh SIR 20 dengan waktu giling 24 menit awal tanpa penyimpanan. Kisaran waktu pencampuran untuk SIR 20 tanpa proses penyimpanan yaitu berada diantara nilai -67 menit, sedangkan SIR 20 yang melalui proses penyimpanan membutuhkan waktu antara menit agar campurannya homogen. 28

17 Lama Waktu Pencampuran (menit) A B Konsentrasi karet terhadap aspal: 3% 5% 7% Waktu Penggilingan (menit) Keterangan: A = karet dengan waktu giling 24 menit tanpa penyimpanan B = karet dengan waktu giling 24 menit dengan masa simpan 33 hari Gambar 24. Grafik perbandingan lama waktu pencampuran SIR 20 Titik Lembek ( o C) A B Konsentrasi karet terhadap aspal: 0% 3% 5% 7% Waktu Giling SIR 20 (menit) Keterangan: A = karet dengan waktu giling 24 menit tanpa penyimpanan B = karet dengan waktu giling 24 menit dengan masa simpan 33 hari Gambar 25. Grafik perbandingan nilai titik lembek SIR 20 pada tiap konsentrasi Selanjutnya, dilakukan analisa titik lembek untuk sampel aspal modifikasi dengan waktu giling karet 24 menit yang telah disimpan selama 33 hari. Hasil pengujian menunjukkan bahwa nilai titik lembek aspal modifikasi yang mengalami masa simpan tidak jauh berbeda dengan nilai titik lembek aspal modifikasi tanpa proses penyimpanan. Titik lembek SIR 20 dengan waktu giling 24 menit tanpa proses penyimpanan berkisar antara 51-55,5 o C. Sedangkan nilai titik lembek SIR 20 dengan waktu giling 24 menit yang mengalami proses penyimpanan berkisar antara 51-54,5 o C. Pada uji penetrasi, perbandingan nilai penetrasi antara aspal modifikasi dengan waktu giling 24 menit yang telah diberi perlakukan penyimpanan dengan yang tidak mengalami perlakuan 29

18 penyimpanan menunjukkan perbedaan nilai yang signifikan. Nilai penetrasi SIR 20 dengan waktu giling 24 menit tanpa proses penyimpanan berkisar antara - 55 dmm. Sedangkan nilai Penetrasi SIR 20 dengan waktu giling 24 menit yang mengalami proses penyimpanan berkisar antara 44,5-55 dmm. Penetrasi (dmm) 60 Konsentrasi karet terhadap aspal: 40 0% % 10 5% 0 7% A B Waktu Giling SIR 20 (menit) Keterangan: A = karet dengan waktu giling 24 menit tanpa penyimpanan B = karet dengan waktu giling 24 menit dengan masa simpan 33 hari Gambar 26. Grafik nilai penetrasi SIR 20 (waktu giling 24 menit) pada tiap konsentrasi Selama penyimpanan, karet SIR 20 yang telah didegradasi secara mekanis menjadi lebih keras. Gejala ini disebut storage hardening yang terjadi karena adanya reaksi ikatan silang antara gugus aldehida pada rantai poliisoprene dengan gugus aldehida terkondensasi yang ada di dalam bahan bukan karet. Karet alam mengalami pengerasan selama penyimpanan karena terbentuknya gel secara perlahan. Gel ini dihasilkan dari ikatan silang rantai polimer secara alami dan karena adanya gugus aldehida abnormal yang reaktif. Reaksi ikatan silang antara gugus aldehida berjalan lambat dan sangat dipengaruhi oleh tingkat kadar air dalam karet tersebut (Subramaniam, 1984). Hal inilah yang menyebabkan penurunan nilai penetrasi aspal modifikasi dengan menggunakan karet yang telah disimpan. Karet mengalami pengerasan selama penyimpanan sehingga pada saat dicampurkan ke dalam aspal, karet membuat aspal modifikasi menjadi lebih keras. 30

METODE PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT B. TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN

METODE PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT B. TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT 1. Bahan Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: SIR (Standard Indonesian Rubber) 20, Aspal Pen 60 yang berasal dari Dinas Pekerjaan Umum Binamarga,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. KARET ALAM DAN KARET ALAM PADAT (SIR 20) Karet alam adalah senyawa hidrokarbon yang dihasilkan melalui penggumpalan getah dari hasil penyadapan tanaman tertentu. Getah tersebut

Lebih terperinci

STUDI PEMANFAATAN KARET ALAM (SIR 20) YANG DIDEGRADASI SECARA MEKANIS UNTUK BAHAN ADITIF ASPAL MODIFIKASI

STUDI PEMANFAATAN KARET ALAM (SIR 20) YANG DIDEGRADASI SECARA MEKANIS UNTUK BAHAN ADITIF ASPAL MODIFIKASI STUDI PEMANFAATAN KARET ALAM (SIR 20) YANG DIDEGRADASI SECARA MEKANIS UNTUK BAHAN ADITIF ASPAL MODIFIKASI SKRIPSI HANNA SALAMA F34060381 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Persiapan dan Karakteristik Bahan Baku 1. Lateks Pekat Jenis lateks pekat yang digunakan dalam penelitian ini adalah lateks pekat perdagangan yang telah ditambahkan amonia.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Karakterisasi Bahan Baku Karet Crepe

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Karakterisasi Bahan Baku Karet Crepe IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakterisasi Bahan Baku 4.1.2 Karet Crepe Lateks kebun yang digunakan berasal dari kebun percobaan Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Ciomas-Bogor. Lateks kebun merupakan

Lebih terperinci

DEPOLIMERISASI KARET ALAM SECARA MEKANIS UNTUK BAHAN ADITIF ASPAL

DEPOLIMERISASI KARET ALAM SECARA MEKANIS UNTUK BAHAN ADITIF ASPAL Jurnal Penelitian Karet, 214, 32 (1) : 81-87 Indonesian J. Nat. Rubb. Res. 214, 32 (1) : 81-87 DEPOLIMERISASI KARET ALAM SECARA MEKANIS UNTUK BAHAN ADITIF ASPAL Mechanically Depolimerization of Natural

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE A. Bahan Dan Alat 1. Bahan Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah lateks pekat perdagangan KKK 60%. Bahan-bahan lain yang berfungsi sebagai bahan pembantu dalam penelitian

Lebih terperinci

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IV HASIL DAN PEMBAHASAN IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil 4.1.1 Hasil Itarakterisasi arang aktif Karakterisasi yang dilakukan terhadap arang aktif tempurung keiapa 100 mesh adalah penentuan kadar air, kadar abu, dan daya serap

Lebih terperinci

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN. Dari uraian pada hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN. Dari uraian pada hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN V.1 Kesimpulan Dari uraian pada hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan sebagai berikut. 1. Proses mastikasi dan penggilingan karet mempengaruhi dispersi carbon black,

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK DAN HASIL UJI MARSHALL ASPAL TERMODIFIKASI DENGAN KARET ALAM TERDEPOLIMERISASI SEBAGAI ADITIF

KARAKTERISTIK DAN HASIL UJI MARSHALL ASPAL TERMODIFIKASI DENGAN KARET ALAM TERDEPOLIMERISASI SEBAGAI ADITIF Jurnal Penelitian Karet, 215, 33 (1) : 75-82 Indonesian J. Nat. Rubb. Res. 215, 33 (1) : 75-82 KARAKTERISTIK DAN HASIL UJI MARSHALL ASPAL TERMODIFIKASI DENGAN KARET ALAM TERDEPOLIMERISASI SEBAGAI ADITIF

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan produsen karet alam nomor dua di dunia setelah Thailand. Produksi karet alam Indonesia tahun 2007 mencapai 2,55 juta ton dengan luas lahan perkebunan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Pengujian Agregat Penelitian ini menggunakan agregat kasar, agregat halus, dan filler dari Clereng, Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta. Hasil pengujian agregat ditunjukkan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Hasil Pengujian Agregat. Hasil pengujian agregat ditunjukkan dalam Tabel 5.1.

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Hasil Pengujian Agregat. Hasil pengujian agregat ditunjukkan dalam Tabel 5.1. BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Pengujian Agregat Hasil pengujian agregat ditunjukkan dalam Tabel 5.1. Tabel 5.1 Hasil pengujian agregat kasar dan halus No Jenis Pengujian Satuan Hasil Spesifikasi

Lebih terperinci

PENERAPAN IPTEKS PERBANDINGAN ASAM ASETAT DENGAN ASAM FORMIAT SEBAGAI BAHAN PENGGUMPAL LATEKS. Oleh Rudi Munzirwan Siregar

PENERAPAN IPTEKS PERBANDINGAN ASAM ASETAT DENGAN ASAM FORMIAT SEBAGAI BAHAN PENGGUMPAL LATEKS. Oleh Rudi Munzirwan Siregar PERBANDINGAN ASAM ASETAT DENGAN ASAM FORMIAT SEBAGAI BAHAN PENGGUMPAL LATEKS Oleh Rudi Munzirwan Siregar Abstrak Penelitian tentang perbandingan asam asetat dengan asam formiat sebagai bahan penggumpal

Lebih terperinci

I. METODOLOGI PENELITIAN

I. METODOLOGI PENELITIAN I. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Mutu Program Studi Teknologi Pengolahan Hasil Perkebunan di Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian Aagrobisnis Perkebunan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4. Uji Kadar Aspal dalam Batuan Uji kadar aspal ini dilakukan dengan mekanisme seperti pada Gambar 4. berikut. Gambar 4. Diagram alir percobaan uji kadar aspal 2 Batuan aspal

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN. Adapun alat alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

BAB 3 METODE PENELITIAN. Adapun alat alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 30 BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1. Alat dan Bahan 3.1.1. Alat Adapun alat alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah : Beaker glass 250 ml Blender Cawan platina Gelas ukur 200 ml Gunting Kertas saring

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. membentuk konsistensi setengah padat dan nyaman digunakan saat

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. membentuk konsistensi setengah padat dan nyaman digunakan saat BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL 1. Evaluasi Krim Hasil evaluasi krim diperoleh sifat krim yang lembut, mudah menyebar, membentuk konsistensi setengah padat dan nyaman digunakan saat dioleskan pada

Lebih terperinci

OPTIMASI KADAR HIDROGEN PEROKSIDA DAN FERO SULFAT

OPTIMASI KADAR HIDROGEN PEROKSIDA DAN FERO SULFAT VI. OPTIMASI KADAR HIDROGEN PEROKSIDA DAN FERO SULFAT Pendahuluan Penelitian pada tahapan ini didisain untuk mengevaluasi sifat-sifat papan partikel tanpa perekat yang sebelumnya diberi perlakuan oksidasi.

Lebih terperinci

PENENTUAN PLASTISITAS AWAL DAN PLASTISITAS RETENSI INDEKS KARET. Rudi Munzirwan Siregar

PENENTUAN PLASTISITAS AWAL DAN PLASTISITAS RETENSI INDEKS KARET. Rudi Munzirwan Siregar PENENTUAN PLASTISITAS AWAL DAN PLASTISITAS RETENSI INDEKS KARET Rudi Munzirwan Siregar Abstrak Penelitian tentang Penentuan Plastisitas Awal dan Plastisitas Retensi Indeks karet telah dilakukan. Kedalam

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Hasil Pengujian Agregat

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Hasil Pengujian Agregat BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Agregat Kasar A. Hasil Pengujian Agregat Agregat kasar yang digunakan dalam percobaan ini berasal dari desa Clereng, Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta. Hasil pemeriksaan bahan

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 14 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Pembuatan glukosamin hidroklorida (GlcN HCl) pada penelitian ini dilakukan melalui proses hidrolisis pada autoklaf bertekanan 1 atm. Berbeda dengan proses hidrolisis glukosamin

Lebih terperinci

MAKALAH TEKNIK KARAKTERISASI MATERIAL WALLACE RAPED PLASTIMETER

MAKALAH TEKNIK KARAKTERISASI MATERIAL WALLACE RAPED PLASTIMETER MAKALAH TEKNIK KARAKTERISASI MATERIAL WALLACE RAPED PLASTIMETER Oleh Debi Rianto ( 1301683 ) Nidya Yulfriska ( 1301656 ) Rosi Selfia Putri ( 1301676 ) Dosen Pembimbing : Dra. Yenni Darvina, M.Si JURUSAN

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 56 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Pengujian Bahan 1. Pengujian agregat Hasil Pengujian sifat fisik agregat dan aspal dapat dilihat pada Tabel berikut: Tabel 5.1. Hasil Pengujian Agregat Kasar dan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Surfaktan merupakan suatu molekul yang sekaligus memiliki gugus hidrofilik dan gugus lipofilik sehingga dapat mempersatukan campuran yang terdiri dari air dan minyak.

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil dari penelitian ini meliputi hasil analisa kekuatan tarik (Tensile Strength) dan analisa morfologi (SEM) material Thermoplastic Elastomer (TPE) pada berbagai komposisi

Lebih terperinci

PERENCANAAN DAN PENGUJIAN ASPAL PENETRASI 60/70 YANG DIMODIFIKASI DENGAN ETYHLENE VINYL ACETATE (EVA)

PERENCANAAN DAN PENGUJIAN ASPAL PENETRASI 60/70 YANG DIMODIFIKASI DENGAN ETYHLENE VINYL ACETATE (EVA) PERENCANAAN DAN PENGUJIAN ASPAL PENETRASI 60/70 YANG DIMODIFIKASI DENGAN ETYHLENE VINYL ACETATE (EVA) Mawid Dwi Sistra 1, Bakhi Mohamed Aljnude 2, Ary Setyawan 3 1,2 Mahasiswa Jurusan Teknik Sipil, Fakultas

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei Juni 2014 di Desa Lehan Kecamatan

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei Juni 2014 di Desa Lehan Kecamatan III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei Juni 2014 di Desa Lehan Kecamatan Bumi Agung Kabupaten Lampung Timur dan Laboratorium Rekayasa Bioproses dan Pasca

Lebih terperinci

PENENTUAN UKURAN PARTIKEL OPTIMAL

PENENTUAN UKURAN PARTIKEL OPTIMAL IV. PENENTUAN UKURAN PARTIKEL OPTIMAL Pendahuluan Dalam pembuatan papan partikel, secara umum diketahui bahwa terdapat selenderness rasio (perbandingan antara panjang dan tebal partikel) yang optimal untuk

Lebih terperinci

SIFAT SIFAT FISIK ASPAL

SIFAT SIFAT FISIK ASPAL Oleh : Unggul Tri Wardana (20130110102) Dea Putri Arifah (20130110103) Muhammad Furqan (20130110107) Wahyu Dwi Haryanti (20130110124) Elsa Diana Rahmawati (20130110128) Bitumen adalah zat perekat (cementitious)

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENENTUAN JENIS BAHAN PENGENTAL

HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENENTUAN JENIS BAHAN PENGENTAL IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENENTUAN JENIS BAHAN PENGENTAL Pada awal penelitian ini, telah diuji coba beberapa jenis bahan pengental yang biasa digunakan dalam makanan untuk diaplikasikan ke dalam pembuatan

Lebih terperinci

STUDI SIFAT-SIFAT REOLOGI ASPAL YANG DIMODIFIKASI LIMBAH TAS PLASTIK

STUDI SIFAT-SIFAT REOLOGI ASPAL YANG DIMODIFIKASI LIMBAH TAS PLASTIK STUDI SIFAT-SIFAT REOLOGI ASPAL YANG DIMODIFIKASI LIMBAH TAS PLASTIK Rezza Permana, ST. Peneliti Institut Teknologi Nasional Jl. PHH Mustapa 23 Bandung Telp. 022 727 2215 ; Facs 022 7202892 E-mail : edelweiss_pirates@yahoo.co.id

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL 1. Pembuatan sediaan losio minyak buah merah a. Perhitungan HLB butuh minyak buah merah HLB butuh minyak buah merah yang digunakan adalah 17,34. Cara perhitungan HLB

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. dijadikan tanaman perkebunan secara besaar besaran, karet memiliki sejarah yang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. dijadikan tanaman perkebunan secara besaar besaran, karet memiliki sejarah yang BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sejarah Karet Sejak pertama kali ditemukan sebagai tanaman yang tumbuh secara liar sampai dijadikan tanaman perkebunan secara besaar besaran, karet memiliki sejarah yang cukup

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN. A. Bagan Alir Penelitian. Mulai. Studi Pustaka. Persiapan Alat dan Bahan. Pengujian Bahan

BAB IV METODE PENELITIAN. A. Bagan Alir Penelitian. Mulai. Studi Pustaka. Persiapan Alat dan Bahan. Pengujian Bahan BAB IV METODE PENELITIAN A. Bagan Alir Penelitian Pelaksanaan pengujian dalam penelitian ini meliputi beberapa tahapan, yaitu pengujian bahan seperti pengujian agregat dan aspal, penentuan gradasi campuran

Lebih terperinci

Aspal merupakan bahan perkerasan untuk jalan raya. Tentu "penghuni" jurusan Teknik Sipil mengenalnya. Mari kita bahas bersama mengenai aspal.

Aspal merupakan bahan perkerasan untuk jalan raya. Tentu penghuni jurusan Teknik Sipil mengenalnya. Mari kita bahas bersama mengenai aspal. Pengertian Aspal Aspal merupakan bahan perkerasan untuk jalan raya. Tentu "penghuni" jurusan Teknik Sipil mengenalnya. Mari kita bahas bersama mengenai aspal. Pengertian Aspal adalah bahan yang bersifat

Lebih terperinci

PENGGUNAAN GARAM AMMONIUM DALAM PRODUKSI KARET VISKOSITAS RENDAH DARI LATEKS

PENGGUNAAN GARAM AMMONIUM DALAM PRODUKSI KARET VISKOSITAS RENDAH DARI LATEKS Jurnal Penelitian Karet, 2015, 33 (2) : 193-202 Indonesian J. Nat. Rubb. Res. 2015, 33 (2) : 193-202 PENGGUNAAN GARAM AMMONIUM DALAM PRODUKSI KARET VISKOSITAS RENDAH DARI LATEKS The Use of Ammonium Salt

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Data Bahan Baku Minyak Minyak nabati merupakan cairan kental yang berasal dari ekstrak tumbuhtumbuhan. Minyak nabati termasuk lipid, yaitu senyawa organik alam yang tidak

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 4.1. Hasil Pemeriksaan Agregat dari AMP Sinar Karya Cahaya (Laboratorium Transportasi FT-UNG, 2013)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 4.1. Hasil Pemeriksaan Agregat dari AMP Sinar Karya Cahaya (Laboratorium Transportasi FT-UNG, 2013) BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Agregat Penelitian ini menggunakan agregat dari AMP Sinar Karya Cahaya yang berlokasi di Kecamatan Bongomeme. Agregat dari lokasi ini kemudian diuji di Laboratorium Transportasi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan ini merupakan salah satu cara untuk mengetahui dapat atau tidaknya limbah blotong dibuat menjadi briket. Penelitian pendahuluan

Lebih terperinci

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara pada waktu pengadukan 4 jam dan suhu reaksi 65 C yaitu berturut turut sebesar 9; 8,7; 8,2. Dari gambar 4.3 tersebut dapat dilihat adanya pengaruh waktu pengadukan terhadap ph sabun. Dengan semakin bertambahnya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Polistiren adalah salah satu contoh polimer adisi yang disintesis dari monomer stiren. Pada suhu ruangan, polistirena biasanya bersifat termoplastik padat dan dapat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. peningkatan devisa Indonesia. Pada dasarnya karet berasal dari alam yaitu dari getah

BAB 1 PENDAHULUAN. peningkatan devisa Indonesia. Pada dasarnya karet berasal dari alam yaitu dari getah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Negara Indonesia merupakan salah satu negara penghasil karet alam terbesar di dunia. Awal mulanya karet hanya ada di Amerika Selatan, namun sekarang sudah berhasil

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian Hasil penelitian yang dilakukan di Laboratorium Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Negeri Gorontalo terdiri dari hasil pengujian agregat, pengujian

Lebih terperinci

Spesifikasi lapis tipis aspal pasir (Latasir)

Spesifikasi lapis tipis aspal pasir (Latasir) Standar Nasional Indonesia Spesifikasi lapis tipis aspal pasir (Latasir) ICS 93.080.20 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi... I Prakata... II Pendahuluan... III 1 Ruang lingkup... 1 2 Acuan

Lebih terperinci

Studi Penggunaan Limbah Las Karbit Sebagai Substitusi Sebagian Aspal Shell Pen 60

Studi Penggunaan Limbah Las Karbit Sebagai Substitusi Sebagian Aspal Shell Pen 60 Reka Racana Jurnal Online Institut Teknologi Nasional Jurusan Teknik Sipil Itenas No.x Vol. Xx Agustus 2015 Studi Penggunaan Limbah Las Karbit Sebagai Substitusi Sebagian Aspal Shell Pen 60 MOHAMAD MUKI

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Air air merupakan parameter yang penting pada produk ekstrusi. air secara tidak langsung akan ikut serta menentukan sifat fisik dari produk seperti kerenyahan produk dan hal

Lebih terperinci

STUDY PERSYARATAN FISIK ASPAL MODIFIKASI DENGAN PEMANFAATAN KARET ALAM SIKLIK (CYCLIC NATURAL RUBBER) Oleh: ABSTRAK

STUDY PERSYARATAN FISIK ASPAL MODIFIKASI DENGAN PEMANFAATAN KARET ALAM SIKLIK (CYCLIC NATURAL RUBBER) Oleh: ABSTRAK STUDY PERSYARATAN FISIK ASPAL MODIFIKASI DENGAN PEMANFAATAN KARET ALAM SIKLIK (CYCLIC NATURAL RUBBER) Oleh: Winsyahputra Ritonga 1), Basuki Wirjoesentono 2), Nasruddin MN 3) 1) Mahasiswa Magister Ilmu

Lebih terperinci

III. METODOLOGI 3.1 Bahan dan Alat 3.2 Waktu dan Tempat Penelitian 3.3 Metode Penelitian

III. METODOLOGI 3.1 Bahan dan Alat 3.2 Waktu dan Tempat Penelitian 3.3 Metode Penelitian III. METODOLOGI 3.1 Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah lateks pekat, lateks karbohidrat rendah (Double Centrifuge latex/lds), lateks DPNR (Deproteinized Natural Rubber),

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Material Dasar 1. Agregat dan Filler Material agregat yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari batu pecah yang berasal dari Tanjungan, Lampung Selatan. Sedangkan sebagian

Lebih terperinci

Cara uji viskositas aspal pada temperatur tinggi dengan alat saybolt furol

Cara uji viskositas aspal pada temperatur tinggi dengan alat saybolt furol Standar Nasional Indonesia SNI 7729:2011 Cara uji viskositas aspal pada temperatur tinggi dengan alat saybolt furol ICS 93.080.20; 19.060 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi... i Prakata...

Lebih terperinci

12/17/2012 SIZE REDUCTION (PENGECILAN UKURAN) Karakteristik Ukuran. Ukuran yang digunakan dinyatakan dengan mesh maupun mm.

12/17/2012 SIZE REDUCTION (PENGECILAN UKURAN) Karakteristik Ukuran. Ukuran yang digunakan dinyatakan dengan mesh maupun mm. SIZE REDUCTION (PENGECILAN UKURAN) Merupakan pengecilan secara mekanis tanpa mengubah sifat-sifat kimia dari bahan Pengecilan ukuran meliputi pemotongan, penghancuran, dan penggilingan Dewi Maya Maharani

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI BAB III LANDASAN TEORI A. Metode Pengujian Material 1. Agregat Kasar dan Steel Slag Agregat kasar merupakan agregat yang tertahan diatas saringan 2.36 mm (No.8), menurut saringan ASTM. a. Berat Jenis Curah

Lebih terperinci

Cara uji elastisitas aspal dengan alat daktilitas

Cara uji elastisitas aspal dengan alat daktilitas Cara uji elastisitas aspal dengan alat daktilitas RSNI M-04-2005 1 Ruang lingkup Cara uji elastisitas aspal dengan alat daktilitas secara khusus menguraikan alat dan bahan yang digunakan serta prosedur

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pengaruh Perlakuan Terhadap Sifat Fisik Buah Pala Di Indonesia buah pala pada umumnya diolah menjadi manisan dan minyak pala. Dalam perkembangannya, penanganan pascapanen diarahkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Rubber (SIR) merupakan jenis karet alam padat yang diperdagangkan saat ini. Karet

BAB 1 PENDAHULUAN. Rubber (SIR) merupakan jenis karet alam padat yang diperdagangkan saat ini. Karet BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia adalah salah satu negara penghasil karet terbesar di dunia. Produk karet Indonesia adalah jenis karet remah yang dikenal sebagai karet Standar Indonesia

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. aspal optimum pada kepadatan volume yang diinginkan dan memenuhi syarat minimum

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. aspal optimum pada kepadatan volume yang diinginkan dan memenuhi syarat minimum 25 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 METODE MARSHALL Konsep dasar dari metode campuran Marshall adalah untuk mencari nilai kadar aspal optimum pada kepadatan volume yang diinginkan dan memenuhi syarat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konstruksi Perkerasan Jalan Menurut (Sukirman, S 1992) Lapisan perkerasan adalah konstruksi diatas tanah dasar yang berfungsi memikul beban lalu lintas dengan memberikan rasa

Lebih terperinci

LAMPIRAN I DATA PENGAMATAN

LAMPIRAN I DATA PENGAMATAN LAMPRAN DATA PENGAMATAN. Data Pengamatan Percobaan Pembuatan Aspal Sintesis Tabel. Data Pengamatan Percobaan Pembuatan aspal Sintetis No PERLAKUAN Persiapan Bahan Baku: Plastik PP ±00 gr Minyak goreng

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 26 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Pada penelitian ini, pembuatan soft magnetic menggunakan bahan serbuk besi dari material besi laminated dengan perlakuan bahan adalah dengan proses kalsinasi dan variasi

Lebih terperinci

Untuk mengetahui pengaruh ph medium terhadap profil disolusi. atenolol dari matriks KPI, uji disolusi juga dilakukan dalam medium asam

Untuk mengetahui pengaruh ph medium terhadap profil disolusi. atenolol dari matriks KPI, uji disolusi juga dilakukan dalam medium asam Untuk mengetahui pengaruh ph medium terhadap profil disolusi atenolol dari matriks KPI, uji disolusi juga dilakukan dalam medium asam klorida 0,1 N. Prosedur uji disolusi dalam asam dilakukan dengan cara

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. akibat dari pembebanan pada perkerasan ketanah dasar (subgrade) tidak melampaui

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. akibat dari pembebanan pada perkerasan ketanah dasar (subgrade) tidak melampaui BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penjelasan Umum Lapisan perkerasan jalan merupakan konstruksi diatas tanah yang berfungsi memikul beban lalulintas dengan memberikan rasa aman dan nyaman. Pemberian konstruksi

Lebih terperinci

BAB 3 METODOLOGI 3.1 Pendekatan Penelitian

BAB 3 METODOLOGI 3.1 Pendekatan Penelitian BAB 3 METODOLOGI 3.1 Pendekatan Penelitian Mulai Identifikasi Masalah Studi Literatur Persiapan Alat dan Bahan Pengujian Aspal Pengujian Agregat Pengujian filler Syarat Bahan Dasar Tidak Memenuhi Uji Marshall

Lebih terperinci

Cara uji titik lembek aspal dengan alat cincin dan bola (ring and ball)

Cara uji titik lembek aspal dengan alat cincin dan bola (ring and ball) Standar Nasional Indonesia Cara uji titik lembek aspal dengan alat cincin dan bola (ring and ball) ICS 93.080.20; 75.140 Badan Standardisasi Nasional Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang menyalin

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 KOMPOSISI SAMPEL PENGUJIAN Pada penelitian ini, komposisi sampel pengujian dibagi dalam 5 grup. Pada Tabel 4.1 di bawah ini tertera kode sampel pengujian untuk tiap grup

Lebih terperinci

VISKOSITAS MOONEY KARET ALAM. REFRIZON, S.Si. Jurusan Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara I.

VISKOSITAS MOONEY KARET ALAM. REFRIZON, S.Si. Jurusan Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara I. VISKOSITAS MOONEY KARET ALAM REFRIZON, S.Si Jurusan Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara I. PENDAHULUAN Salah satu kelemahan pokok karet alam dibandingkan dengan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Karakterisasi Minyak Jarak. B. Pembuatan Faktis Gelap

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Karakterisasi Minyak Jarak. B. Pembuatan Faktis Gelap IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakterisasi Minyak Jarak Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mengetahui karakteristik minyak jarak yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan faktis gelap. Karakterisasi

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Proses Pengkondisian Grits Jagung Proses pengkondisian grits jagung dilakukan dengan penambahan air dan dengan penambahan Ca(OH) 2. Jenis jagung yang digunakan sebagai bahan

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK MUTU KARET ALAM SIR 20CV MENGGUNAKAN BAHAN PEMANTAP HIDRAZINE PADA SUHU PENYIMPANAN 60 C

KARAKTERISTIK MUTU KARET ALAM SIR 20CV MENGGUNAKAN BAHAN PEMANTAP HIDRAZINE PADA SUHU PENYIMPANAN 60 C Jurnal Dinamika Penelitian Industri Vol. 26 No.2 Tahun 2015. Hal. 85-93 KARAKTERISTIK MUTU KARET ALAM SIR 20CV MENGGUNAKAN BAHAN PEMANTAP HIDRAZINE PADA SUHU PENYIMPANAN 60 C Quality Characteristics of

Lebih terperinci

PENGARUH VISKOSITAS ASPAL DAN DAMPAKNYA TERHADAP KARAKTERISTIK MARSHALL

PENGARUH VISKOSITAS ASPAL DAN DAMPAKNYA TERHADAP KARAKTERISTIK MARSHALL Jurnal Sipil Statik Vol.3 No.1, Januari 2015 (77-84) ISSN: 2337-6732 PENGARUH VISKOSITAS ASPAL DAN DAMPAKNYA TERHADAP KARAKTERISTIK MARSHALL Novita Lucia Senduk Oscar H. Kaseke, Theo K. Sendow Fakultas

Lebih terperinci

LAMPIRAN 1 HASIL PENGUJIAN ASPAL

LAMPIRAN 1 HASIL PENGUJIAN ASPAL DAFTAR LAMPIRAN L.1 Hasil Pengujian Aspal... 80 L. Hasil Pengujian Agregat... 89 L.3 Tabel Koreksi Stabilitas Marshall... 98 L.4 Perhitungan Proses Benda Uji Hrs... 100 L. Perhitungan Proses Benda Uji

Lebih terperinci

BAB in METODOLOGI PENELITIAN

BAB in METODOLOGI PENELITIAN BAB in METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Bahan Alam dan Material Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Riau (UNRI) jl. Bina

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Menteri Pekerjaan Umum, untuk infrastruktur jalan dengan panjang Jalan Nasional pada tahun 2008 yang sampai saat ini telah mencapai 34.628 Km, tercatat kondisi

Lebih terperinci

Pemakaian Pelumas. Rekomendasi penggunaan pelumas hingga kilometer. Peningkatan rekomendasi pemakaian pelumas hingga

Pemakaian Pelumas. Rekomendasi penggunaan pelumas hingga kilometer. Peningkatan rekomendasi pemakaian pelumas hingga Pemakaian Pelumas Rekomendasi penggunaan pelumas hingga 2.500 kilometer. Peningkatan rekomendasi pemakaian pelumas hingga 15 ribu kilometer. Pelumas : campuran base oil (bahan dasar pelumas) p ( p ) dan

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur analisis sifat fisikokimia minyak dan biodiesel. 1. Kadar Air (Metode Oven, SNI )

Lampiran 1. Prosedur analisis sifat fisikokimia minyak dan biodiesel. 1. Kadar Air (Metode Oven, SNI ) LAMPIRAN 39 Lampiran 1. Prosedur analisis sifat fisikokimia minyak dan biodiesel 1. Kadar Air (Metode Oven, SNI 01-3555-1998) Cawan aluminium dipanaskan di dalam oven pada suhu 105 o C selama 1 jam, kemudian

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI BB III LNDSN TEORI. Metode Pengujian gregat dapun dasar perhitungan yang menjadi acuan dalam pengujian material yaitu mengacu pada spesifikasi Bina Marga Edisi 2010 (Revisi 3) sebagai berikut: 1. gregat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konstruksi Perkerasan Lentur Konstruksi perkerasan lentur terdiri dari lapisan-lapisan yang diletakkan di atas tanah yang telah dipadatkan. Lapisan-lapisan itu berfungsi untuk

Lebih terperinci

UJI BATAS BATAS ATTERBERG ASTM D-4318-00

UJI BATAS BATAS ATTERBERG ASTM D-4318-00 1. LINGKUP Percobaan ini mencakup penentuan batas-batas Atterberg yang meliputi Batas Susut, Batas Plastis, dan Batas Cair. 2. DEFINISI a. Batas Susut (Shrinkage Limit), w S adalah batas kadar air dimana

Lebih terperinci

Cara uji kelarutan aspal modifikasi dalam toluen dengan alat sentrifus

Cara uji kelarutan aspal modifikasi dalam toluen dengan alat sentrifus Standar Nasional Indonesia Cara uji kelarutan aspal modifikasi dalam toluen dengan alat sentrifus ICS 91.100 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi...i Prakata...ii Pendahuluan... iii 1 Ruang

Lebih terperinci

METODE PENGUJIAN TENTANG ANALISIS SARINGAN AGREGAT HALUS DAN KASAR SNI

METODE PENGUJIAN TENTANG ANALISIS SARINGAN AGREGAT HALUS DAN KASAR SNI METODE PENGUJIAN TENTANG ANALISIS SARINGAN AGREGAT HALUS DAN KASAR SNI 03-1968-1990 RUANG LINGKUP : Metode pengujian ini mencakup jumlah dan jenis-jenis tanah baik agregat halus maupun agregat kasar. RINGKASAN

Lebih terperinci

Cara uji penetrasi aspal

Cara uji penetrasi aspal SNI 2432:2011 Standar Nasional Indonesia Cara uji penetrasi aspal ICS 91.100.30 Badan Standardisasi Nasional Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang menyalin atau menggandakan sebagian atau seluruh

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. dicatat volume pemakaian larutan baku feroamonium sulfat. Pembuatan reagen dan perhitungan dapat dilihat pada lampiran 17.

HASIL DAN PEMBAHASAN. dicatat volume pemakaian larutan baku feroamonium sulfat. Pembuatan reagen dan perhitungan dapat dilihat pada lampiran 17. Tegangan Permukaan (dyne/cm) Tegangan permukaan (dyne/cm) 6 dihilangkan airnya dengan Na 2 SO 4 anhidrat lalu disaring. Ekstrak yang diperoleh kemudian dipekatkan dengan radas uap putar hingga kering.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1. Tinjauan Umum Pelaksanaan penelitian ini dimulai dari tahap perencanaan, teknis pelaksanaan, dan pada tahap analisa hasil, tidak terlepas dari peraturan-peraturan maupun referensi

Lebih terperinci

HASIL DA PEMBAHASA. Tabel 5. Analisis komposisi bahan baku kompos Bahan Baku Analisis

HASIL DA PEMBAHASA. Tabel 5. Analisis komposisi bahan baku kompos Bahan Baku Analisis IV. HASIL DA PEMBAHASA A. Penelitian Pendahuluan 1. Analisis Karakteristik Bahan Baku Kompos Nilai C/N bahan organik merupakan faktor yang penting dalam pengomposan. Aktivitas mikroorganisme dipertinggi

Lebih terperinci

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN HALAMAN PERSETUJUAN HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ABSTRAK ABSTRACT KATA PENGANTAR DAFTAR TABEL

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN HALAMAN PERSETUJUAN HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ABSTRAK ABSTRACT KATA PENGANTAR DAFTAR TABEL DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN HALAMAN PERSETUJUAN HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ABSTRAK ABSTRACT KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN DAFTAR NOTASI DAFTAR

Lebih terperinci

PETANI DI BABEL MASIH MENGGUNAKAN TAWAS SEBAGAI KOAGULAN LATEKS

PETANI DI BABEL MASIH MENGGUNAKAN TAWAS SEBAGAI KOAGULAN LATEKS Anjloknya harga karet Indonesia akhir-akhir ini berkaitan erat dengan kualitas bokar (bahan olah karet) yang diproduksi oleh petani, dimana dalam pengolahan bokar-nya masih banyak petani karet yang mempergunakan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Jelly drink rosela-sirsak dibuat dari beberapa bahan, yaitu ekstrak rosela, ekstrak sirsak, gula pasir, karagenan, dan air. Tekstur yang diinginkan pada jelly drink adalah mantap

Lebih terperinci

BAB 3 RANCANGAN PENELITIAN

BAB 3 RANCANGAN PENELITIAN BAB 3 RANCANGAN PENELITIAN Penelitian ini dilakukan dalam tiga tahap: 1. Pembuatan (sintesis) material. Pada tahap ini, dicoba berbagai kombinasi yaitu suhu, komposisi bahan, waktu pemanasan dan lama pengadukan.

Lebih terperinci

PENGARUH PENAMBAHAN SENYAWA MERKAPTAN PADA KARET ALAM (Hevea brasiliensis) DALAM FASA PADAT

PENGARUH PENAMBAHAN SENYAWA MERKAPTAN PADA KARET ALAM (Hevea brasiliensis) DALAM FASA PADAT PENGARUH PENAMBAHAN SENYAWA MERKAPTAN PADA KARET ALAM (Hevea brasiliensis) DALAM FASA PADAT Oleh JULI ROMAITO SITUMORANG F34104011 2009 DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

Lebih terperinci

PEMBAHASAN 4.1. Pengaruh Kombinasi Protein Koro Benguk dan Karagenan Terhadap Karakteristik Mekanik (Kuat Tarik dan Pemanjangan)

PEMBAHASAN 4.1. Pengaruh Kombinasi Protein Koro Benguk dan Karagenan Terhadap Karakteristik Mekanik (Kuat Tarik dan Pemanjangan) 4. PEMBAHASAN 4.1. Pengaruh Kombinasi Protein Koro Benguk dan Karagenan Terhadap Karakteristik Mekanik (Kuat Tarik dan Pemanjangan) Karakteristik mekanik yang dimaksud adalah kuat tarik dan pemanjangan

Lebih terperinci

= nilai pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j µ = rataan umum α i ε ij

= nilai pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j µ = rataan umum α i ε ij 5 Pengujian Sifat Binderless MDF. Pengujian sifat fisis dan mekanis binderless MDF dilakukan mengikuti standar JIS A 5905 : 2003. Sifat-sifat tersebut meliputi kerapatan, kadar air, pengembangan tebal,

Lebih terperinci

3.1 Lataston atau Hot Rolled Sheet

3.1 Lataston atau Hot Rolled Sheet BAB III LANDASAN TEORI 3.1 Lataston atau Hot Rolled Sheet Menurut Kementrian Pekerjaan Umum (Bina Marga revisi 2010), lapis tipis aspal beton (lataston) adalah lapisan penutup yang terdiri dari campuran

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakterisasi awal blotong dan sludge pada penelitian pendahuluan menghasilkan komponen yang dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Karakteristik blotong dan sludge yang digunakan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Fakultas Kehutanan Univesitas Sumatera Utara Medan. mekanis kayu terdiri dari MOE dan MOR, kerapatan, WL (Weight loss) dan RS (

METODE PENELITIAN. Fakultas Kehutanan Univesitas Sumatera Utara Medan. mekanis kayu terdiri dari MOE dan MOR, kerapatan, WL (Weight loss) dan RS ( 12 METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2017 - Juni 2017. Penelitian dilakukan di Laboratorium Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan, dan Workshop Fakultas

Lebih terperinci

PEMBAHASAN. I. Definisi

PEMBAHASAN. I. Definisi PEMBAHASAN I. Definisi Gel menurut Farmakope Indonesia Edisi IV (1995), merupakan sistem semi padat, terdiri dari suspensi yang dibuat dari partikel anorganik yang kecil atau molekul organik yang besar,

Lebih terperinci

Frekuensi yang digunakan berkisar antara 10 hingga 500 khz, dan elektrode dikontakkan dengan benda kerja sehingga dihasilkan sambungan la

Frekuensi yang digunakan berkisar antara 10 hingga 500 khz, dan elektrode dikontakkan dengan benda kerja sehingga dihasilkan sambungan la Pengelasan upset, hampir sama dengan pengelasan nyala, hanya saja permukaan kontak disatukan dengan tekanan yang lebih tinggi sehingga diantara kedua permukaan kontak tersebut tidak terdapat celah. Dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu material yang sangat penting bagi kebutuhan manusia adalah

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu material yang sangat penting bagi kebutuhan manusia adalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu material yang sangat penting bagi kebutuhan manusia adalah logam. Seiring dengan jaman yang semakin maju, kebutuhan akan logam menjadi semakin tinggi.

Lebih terperinci

PENINGKATAN TITIK LEMBEK ASPAL TERMODIFIKASI MENGGUNAKAN BLOCK SKIM RUBBER (BSR) TERDEPOLIMERISASI

PENINGKATAN TITIK LEMBEK ASPAL TERMODIFIKASI MENGGUNAKAN BLOCK SKIM RUBBER (BSR) TERDEPOLIMERISASI Jurnal Penelitian Karet, 215, 33 (2) : 23-21 Indonesian J. Nat. Rubb. Res. 215, 33 (2) : 23-21 PENINGKATAN TITIK LEMBEK ASPAL TERMODIFIKASI MENGGUNAKAN BLOCK SKIM RUBBER (BSR) TERDEPOLIMERISASI Melting

Lebih terperinci

Bab IV Hasil dan Pembahasan

Bab IV Hasil dan Pembahasan Bab IV Hasil dan Pembahasan Kualitas minyak dapat diketahui dengan melakukan beberapa analisis kimia yang nantinya dibandingkan dengan standar mutu yang dikeluarkan dari Standar Nasional Indonesia (SNI).

Lebih terperinci

Kata Kunci: Blok Bahan Pasangan Dinding, Agregat bekas, Aspal emulsi sisa, Kuat tekan

Kata Kunci: Blok Bahan Pasangan Dinding, Agregat bekas, Aspal emulsi sisa, Kuat tekan ABSTRAK Sejalan dengan pertumbuhan penduduk, secara berkelanjutan diperlukan material untuk perumahan berupa bahan dinding. Bahan dinding yang umum dipergunakan: bata tanah liat dan blok bahan pasangan

Lebih terperinci