HASIL DA PEMBAHASA. Tabel 5. Analisis komposisi bahan baku kompos Bahan Baku Analisis
|
|
- Widyawati Cahyadi
- 6 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 IV. HASIL DA PEMBAHASA A. Penelitian Pendahuluan 1. Analisis Karakteristik Bahan Baku Kompos Nilai C/N bahan organik merupakan faktor yang penting dalam pengomposan. Aktivitas mikroorganisme dipertinggi dengan adanya nutrisi yang cukup. Bahan yang paling penting dalam penyediaan nutrisi adalah karbon (C) sebagai sumber energi dan nitrogen (N) sebagai zat pembentuk protoplasma (Gaur 1983). Proses pengomposan yang optimum, kisaran C/N yang baik digunakan adalah 2-4 (Rynk 1992). Kecepatan dekomposisi sangat dipengaruhi sumber dan komposisi bahan organik yang digunakan. Bahan yang mudah didekomposisikan seperti gula, pati, protein, dan hemiselulosa. Sedangkan bahan organik yang lambat didekomposisikan seperti lignin, lilin, dan lainlain. Pada penelitian pendahuluan dilakukan penentuan nilai C/N abu ketel dan limbah sludge, hasil analisis bahan baku kompos dapat ditampilkan pada Tabel 5. Tabel 5. Analisis komposisi bahan baku kompos Bahan Baku Analisis Limbah Abu Ketel Limbah Sludge 1. Kadar Air (%) Kadar Abu (%) Total Kjedhal Nitrogen (%) Kadar Nitrit (ppm) Kadar Nitrat (ppm) Kadar Karbon Organik (%) Kadar Nitrogen (%) Nilai C/N Nilai C/N abu ketel masih cukup tinggi, yaitu 52.22, sedangkan nilai C/N sludge sudah mencapai rentang kondisi bahan baku yang baik, yaitu (C/N baik: 2-4) digunakan untuk pengomposan. Nilai C/N abu ketel yang terlalu tinggi dapat menyebabkan lamanya proses pengomposan, oleh karena itu agar nilai C/N masuk kepada kisaran bahan baku pengomposan yang baik, perlu dilakukan pencampuran sludge yang memiliki kadar N lebih tinggi (.26%) dibandingkan dengan N yang terdapat pada abu ketel (.6%). 2. Formulasi Karakteristik Bahan Baku Kompos Tingkat kematangan kompos dan lama proses pengomposan ditentukan oleh nilai C/N yang mempengaruhi aktivitas mikroorganisme untuk memperoleh sumber energi dan pembentukan sel mikroorganisme. Pengomposan yang optimal membutuhkan perbandingan sumber karbon dan sumber nitrogen dari bahan baku yang ditentukan dalam proses pengomposan dengan nilai C/N yaitu
2 Proses pengomposan terdiri dari tiga perlakuan, yaitu abu ketel tanpa pencampuran sludge yang berfungsi sebagai kontrol, abu ketel dengan pencampuran sludge sebesar 2%, dan abu ketel dengan pencampuran sludge sebesar 4%. Pemilihan pencampuran sludge maksimum sampai 4% diharapkan dapat memanfaatkan abu ketel minimal sebanyak 6%. Selain itu, pada pencampuran sludge sebesar 2% dan 4% sudah mencapai nilai C/N yang baik untuk digunakan sebagai bahan baku kompos. Di bawah ini rumus yang digunakan untuk mengetahui nilai C/N. %C bahan 1 bobot bahan 1 + %C bahan 2 bobot bahan 2 =Nilai C/N %N bahan 1 bobot bahan 1 + %N bahan 2 bobot bahan 2 Pendekatan rumus ini digunakan untuk mengetahui nilai C/N berdasarkan bobot bahan baku yang telah ditentukan. Total bahan baku kompos yang digunakan ditentukan sebanyak 5 kg berat kering, perhitungan formulasi C/N bahan baku kompos terdapat pada Lampiran 2. Nilai C/N bahan baku abu ketel dengan pencampuran sludge sebesar 2% dan 4% seperti pada Tabel 6. Tabel 6. Formulasi nilai C/N bahan baku kompos Komposisi Sludge Bobot Abu Ketel (kg) Bobot Sludge (kg) Nilai C/N % % % B. Penelitian Utama 1. Temperatur Temperatur merupakan kontrol langsung terhadap aktivitas mikroorganisme dalam mendegradasi karbon organik. Menurut Murbandono (1993), temperatur optimum pengomposan berkisar antara 3-45 o C. Grafik perubahan temperatur kompos dengan perlakuan aerasi aktif dan pasif yang dilakukan selama 3 hari, hasilnya dapat dilihat pada Gambar 9 dan 1. Suhu ( C) Waktu (hari) Gambar 9. Perubahan temperatur pengomposan aerasi aktif % Sludge Aktif 2% Sludge Aktif 4% Sludge Aktif 16
3 Suhu (C) Waktu (hari) Gambar 1. Perubahan temperatur pengomposan aerasi pasif % Sludge Pasif 2% Sludge Pasif 4% Sludge Pasif Hasil pengamatan temperatur pada perlakuan aerasi aktif dan pasif hampir mengalami kesamaan yaitu, temperatur pengomposan cenderung naik dari minggu pertama sampai minggu kedua. Temperatur awal kompos dari 25 o C pada perlakukan aerasi aktif naik mencapai temperatur maksimum 31,58 o C, sedangkan aerasi pasif mencapai temperatur 32,17 o C. Pada minggu ketiga sampai minggu keempat secara bersamaan pada perlakuan aerasi aktif maupun pasif terjadi penurunan temperatur. Pada minggu keempat, temperatur uji coba kompos stabil mendekati temperatur ruang (28 o C). Suhu selama pengomposan dapat dilihat pada Lampiran 3. Terjadinya peningkatan temperatur pada minggu pertama dan kedua mengindikasikan bahwa terjadi aktifitas mikroorganisme dalam mendekomposisi bahan karbon organik menjadi gas CO 2, air, dan panas (kalor). Mikroorganisme tumbuh optimal pada kondisi pengomposan ini adalah mikroorganisme mesofilik karena temperatur yang dapat dicapai antara 1-45 o C. Akan tetapi, temperatur maksimum yang dihasilkan selama pengomposan tidak mencapai temperatur termofilik (45-65 o C). Kondisi ini disebabkan karbon organik yang terkandung dalam bahan baku abu ketel maupun sludge jumlahnya sedikit, sehingga proses dekomposisi tidak berlangsung lama. Berdasarkan hasil analisis bahan baku pada minggu ke-, kadar karbon hanya bersekitar 3-4%. Karbon organik yang sedikit ini menyebabkan panas yang dihasilkan dari dekomposisi mikroorganisme rendah. Menurut Indrasti dan Wimbanu (26), temperatur kompos yang tidak mencapai suhu termofilik disebabkan dimensi gundukan yang terlalu kecil sehingga panas yang dihasilkan dari proses degradasi tidak tertahan dalam bahan dan ikut terbawa bersama udara. Selain itu, ukuran partikel yang terlalu kecil dan membentuk struktur yang rapat sehingga air tertahan dalam bahan yang menghambat pencampaian suhu termofilik. Perlakuan aerasi aktif pada minggu pertama menyebabkan temperatur sedikit terhembus oleh aliran udara, sehingga temperatur pengomposan sedikit lebih rendah dibandingkan temperatur yang dihasilkan pada perlakukan aerasi pasif. Berdasarkan pendapat Indrasti dan Elia (24), kondisi termofilik yang tidak tercapai pada pengomposan menunjukkan kelompok mikroorganisme termofillia tidak berkembang secara optimum. Kondisi termofilik pada proses pengomposan akan membantu mematikan mikroorganisme patogen. Kondisi temperatur yang tidak optimal menyebabkan mikroorganisme tumbuh dan berkembang biak secara tidak wajar, sehingga proses pengomposan berlangsung secara lambat. Perbedaan komposisi pencampuran sludge sedikit berpengaruh terhadap perubahan temperatur. Abu ketel dengan pencampuran 4% sludge memiliki temperatur yang yang lebih tinggi dibandingkan komposisi lainnya. Hal ini disebabkan abu ketel dengan pencampuran 4% sludge mempunyai kandungan karbon organik sedikit lebih tinggi dari pada komposisi lainnya, sehingga aktivitas mikrooganisme dalam menghasilkan panas (kalor) lebih tinggi. 17
4 2. Derajat Keasaman (ph) Perubahan ph dalam pengomposan menunjukkan aktivitas mikroorganisme dalam mendegradasi bahan organik. Derajat keasaman yang ideal adalah (CPIS 1992). Nilai ph selama pengomposan diamati seminggu sekali selama sebulan. Perubahan nilai ph bahan uji coba kompos dapat dilihat pada Gambar 11 dan 12. ilai ph Gambar 11. Perubahan ph pengomposan aerasi aktif % sludge 2% sludge 4% sludge ilai ph Gambar 12. Perubahan ph pengomposan aerasi pasif % sludge 2% sludge 4% sludge Perubahan ph selama pengomposan cenderung sedikit berfluktuasi, pada minggu pertama nilai ph mengalami penurunan, hal ini disebabkan karena terjadinya pembentukan asam. Penguraian bahan organik oleh mikroorganisme menghasilkan asam laktat dan asam organik lainnya. Menurut Noor et al. (25), ph kompos yang cenderung naik pada awal pengomposan menunjukkan telah terbentuknya asam-asam organik yang merupakan asam lemah. Pada minggu kedua sampai minggu kelima terjadi peningkatan ph mencapai 9.43 yang terjadi pada bahan abu ketel dengan campuran % sludge dengan perlakuan aerasi pasif. Peningkatan nilai ph selama pengomposan terjadi karena penguraian nitrogen oleh mikrooganisme menjadi NH 3, Kemudian, NH 3 berikatan dengan air membentuk NH 4 OH yang bersifat basa. Menurut Polpraset (1993), asam-asam organik sederhana yang terbentuk pada dekomposisi awal tadi dikonversi menjadi methana dan CO 2 oleh bakteri pembentuk methana. Noor et al. (25), menyatakan bahwa adanya peningkatan ph pada hari selanjutnya disebabkan oleh perubahan asam-asam organik menjadi CO 2 dan sumbangan kation-kation basa hasil mineralisasi bahan kompos. Menurut CPIS (1992), nilai ph yang terlalu tinggi menyebabkan unsur nitrogen pada bahan kompos berubah menjadi amoniak, sebaliknya pada kondisi ph yang terlalu rendah (asam) dapat menyebabkan mikroorganisme mati. Berdasarkan grafik, terlihat sedikit perbedaan antara perlakuan aerasi aktif dan pasif. Perlakuan aerasi aktif menghasilkan nilai ph yang lebih rendah daripada perlakuan aerasi pasif. Penambahan udara pada perlakuan aerasi aktif dapat menyebabkan terjadinya aktivitas mikroorganisme aerobik yang mengurai bahan organik menjadi asam laktat. Berdasarkan grafik 18
5 dapat diketahui, bahwa variasi pencampuran komposisi sludge dapat mempengaruhi nilai ph. Semakin banyak pencampuran sludge, maka nilai ph semakin menurun karena sludge mempunyai ph yang lebih rendah (ph=6.86) daripada abu ketel. Nilai ph selama pengomposan dapat dilihat pada Lampiran Kadar Air Kadar air merupakan salah satu parameter yang berpengaruh pada proses pengomposan. Kadar air yang umum digunakan pada pengomposan aerobik adalah 4-6% (Murbandono 1983). Kelebihan kandungan air dalam bahan akan menutupi rongga udara yang mengakibatkan aliran oksigen berkurang sehingga pertumbuhan mikroorganisme aerob menjadi terhambat. Terhambatnya udara dalam bahan pengomposan dapat menyebabkan proses anaerob yang terbentuk yaitu CH 4, CO 2, dan H 2 S. Bahan pengomposan yang terlalu kering dapat mengakibatkan proses pengomposan terganggu karena mikroorganisme membutuhkan air untuk proses metabolisme. Berdasarkan pengamatan, diperoleh grafik perubahan kadar air selama pengomposan seperti Gambar 13 dan 14. Kadar Air (%) % Sludge 2% Sludge 4% Sludge Gambar 13. Perubahan kadar air pengomposan aerasi aktif Kadar Air (%) % Sludge 2% Sludge 4% Sludge Gambar 14. Perubahan kadar air pengomposan aerasi pasif Berdasarkan Gambar 14 dan 15, dapat diketahui bahwa kadar air pengomposan selama sebulan cenderung mengalami penurunan setiap minggunya. Penurunan kadar air disebabkan sebagian air teruapkan selama pengomposan. Kadar air selama pengomposan untuk perlakuan aerasi aktif dan pasif berkisar antara 41-47%. Nilai ini sudah memenuhi syarat pengomposan. Berdasarkan grafik, perlakuan aerasi aktif mempunyai kadar airnya sedikit tinggi dari pada aerasi pasif. Hal ini dikarenakan udara yang diberikan pada saat aerasi aktif mengandung air sehingga kadar airnya lebih tinggi. Berdasarkan grafik perlakuan aerasi pasif dan aktif, variasi pencampuran komposisi sludge dapat mempengaruhi nilai kadar air. Semakin banyak sludge yang ditambahkan, maka kadar airnya semakin rendah. Hal ini disebabkan sludge mempunyai kadar air yang lebih rendah daripada abu ketel. Nilai kadar air selama pengomposan dapat dilihat pada Lampiran 4. 19
6 4. ilai C/ Nilai C/N merupakan salah satu parameter utama yang digunakan untuk menentukan tingkat kematangan dan kualitas kompos. Nilai C/N diperngaruhi oleh nilai karbon organik dan nitrogen dalam bahan pengomposan. Pada proses pengomposan kandungan karbon organik akan berkurang karena terdekomposisi menjadi CO 2, H 2 O, dan panas, sedangkan nitrogen organik relatif tetap. Hal ini menyebabkan nilai C/N selama pengomposan turun. Menurut Dalzell et al., (1987), nilai C/N yang terlalu tinggi menyebabkan proses pengomposan memakan waktu yang lama karena perkembangan mikroorganisme menjadi lambat, sedangkan jika nilai C/N terlalu rendah maka nitrogen akan dibebaskan ke udara menjadi amoniak. Grafik perubahan nilai C/N setiap minggunya dapat dilihat pada Gambar 15 dan 16. ilai C/ Gambar 15. Perubahan nilai C/N pengomposan aerasi aktif % Sludge 2% Sludge 4% Sludge ilai C/ Gambar 16. Perubahan nilai C/N pengomposan aerasi pasif % Sludge 2% Sludge 4% Sludge Berdasarkan pengamatan, nilai karbon organik selama pengomposan mengalami penurunan, sedangkan nilai nitrogennya relatif konstan sehingga pengomposan dengan perlakuan aerasi aktif dan pasif menunjukkan nilai C/N yang kecenderungan menurun setiap minggunya. Akan tetapi, selama pengomposan penurunan nilai C/Nnya relatif rendah. Hal ini disebabkan bahan organik yang terkandung di dalam bahan pengomposan jumlahnya kecil, sehingga kemampuan mikroorganisme dalam mendekomposisi bahan organik pun rendah. Selain itu, bahan baku yang digunakan pada penelitian ini merupakan baku yang sudah mengalami pengomposan secara alami karena sudah tertimbun lama selama 4-5 bulan sehingga nilai C/N yang didapat sudah rendah. Akan tetapi, bila 2
7 menggunakan limbah fresh akan didapat nilai C/N cukup tinggi. Data hasil analisis kadar karbon, nitrogen dan nilai C/N selama pengomposan seperti pada Lampiran 5. Berdasarkan Gambar 15 dan 16, perlakuan aerasi aktif dan pasif tidak mempengaruhi penurunan nilai C/N. Hal ini dapat disebabkan karena pencampuran udara yang diberikan pada aerasi aktif hanya berlangsung selama seminggu pertama pengomposan, sehingga tidak terlihat perbedaan antara perlakuan aerasi aktif dan pasif. Seharusnya, pengomposan dengan menggunakan aerasi aktif menghasilkan nilai C/N yang lebih rendah daripada perlakuan aerasi pasif. Hal ini disebabkan pada proses aerasi akan membantu mikroorganisme yang membutuhkan oksigen dalam mendekomposisi bahan organik, sehingga kecepatan dekomposisi bahan organik berlangsung lebih optimum pada perlakuan yang menggunakan bantuan aerasi (Indrasti dan Elia 24). Selain itu, berdasarkan grafik dapat diketahui semakin banyak sludge yang ditambahkan maka nilai C/N semakin rendah. Akan tetapi, walaupun bahan baku kompos menggunakan nilai C/N yang rendah tetap saja laju penurunan nilai C/Nnya rendah. Hal ini disebabkan karbon organik yang terkandung dalam bahan baku sedikit. Pada bahan abu ketel dengan campuran 4% sludge memiliki nilai C/N bahan baku yang paling rendah, hanya mengalami penurunan dari 35 hingga 28. Bahan baku abu dengan campuran 4% sludge mempunyai nilai C/N yang rendah bukan karena mempunyai kandungan organik yang banyak, tetapi disebabkan perbandingan antara nilai karbon dan nitrogennya rendah. Berdasarkan perhitungan statistik sidik ragam, dapat diketahui bahwa perlakuan aerasi dan interaksi antara komposisi bahan baku dengan perlakuan aerasi tidak berpengaruh nyata terhadap nilai C/N. Sedangkan terdapat pengaruh nyata antara perbedaan komposisi bahan baku terhadap nilai C/N dengan F-hitung sebesar dan F-tabel sebesar 3.17 (perhitungan terdapat pada Lampiran 6). Perbedaan komposisi bahan baku berpengaruh nyata terhadap nilai C/N, maka dilakukan uji Duncan (uji lanjut terdapat pada Lampiran 7). Berdasarkan hasil uji Duncan, diketahui bahwa terdapat perbedaan yang nyata antara bahan baku abu ketel dengan pencampuran % sludge dengan 4% sludge, % sludge dengan 2% sludge, dan 2% sludge dengan 4% sludge. 5. Kualitas Kompos Kompos yang dihasilkan dari berbagai komposisi sludge dengan perlakuan aerasi menghasilkan kualitas kompos yang berbeda. Kualitas kompos yang diamati meliputi, penampakan fisik, nilai C/N, ph, kandungan fosfor, dan kandungan kalium. a. Penampakan Fisik Kompos Kompos yang dihasilkan setelah satu bulan pengomposan dari segi penampakan maupun tekstur tidak berbeda dari bahan baku kompos. Selain itu, tidak ada perbedaan penampakan dan tekstur kompos antara perlakuan aerasi aktif dan pasif. Warna kompos yang dihasilkan hitam kecoklatan, warna cokelat disebabkan pencampuran sludge, sedangkan kompos yang dihasilkan tanpa pencampuran sludge berwarna hitam yang berasal dari warna abu ketel. Bau kompos yang dihasilkan belum tercium bau tanah, berdasarkan SNI salah satu ciri kompos yang sudah matang tercium bau tanah. Hal ini membuktikan bahwa kompos yang dihasilkan belum matang. Karakteristik fisik kompos dapat dilihat pada Tabel 7. 21
8 Tabel 7. Karakteristik fisik kompos Perlakuan Komposisi Aerasi Aktif Pasif Sludge Warna Kompos Bau Kompos SNI % 2 % 4% Hitam Hitam agak kecoklatan Hitam kecoklatan Tidak Berbau Tidak Berbau Tidak Berbau Warna : kehitaman % Hitam Tidak Berbau Bau : 2% Hitam agak kecoklatan Tidak Berbau Bau tanah 4% Hitam kecoklatan Tidak Berbau b. ilai C/ Kompos yang dihasilkan selama sebulan dengan berbagai komposisi sludge belum menghasilkan nilai C/N yang sesuai dengan standar mutu kompos. Nilai C/N kompos yang dihasilkan seperti pada Gambar 17. Gambar 17. Nilai C/N mutu kompos Kompos yang dihasilkan dari perlakuan aerasi aktif dan pasif memiliki nilai C/N terendah pada pencampuran 4% sludge, yaitu sekitar Sedangkan kompos berdasarkan SNI , nilai C/N berkisar sebesar 1 hingga 2. Berdasarkan grafik dapat diketahui bahwa, kompos yang dihasilkan dari campuran % sludge, 2% sludge, dan 4% sludge belum memasuki Standar Nasional Indoesia (SNI) kompos. Hal ini disebabkan proses penguraian karbon organik berjalan dengan lambat sehingga memerlukan waktu pengomposan yang lama. c. Derajat Keasaman (ph) Kompos yang dihasilkan dari pengomposan selama sebulan dengan menggunakan perlakuan aerasi (aktif/pasif) dan pencampuran berbagai komposisi sludge menghasilkann nilai ph seperti pada Gambar
9 Gambar 18. Nilai ph mutu kompos Berdasarkan grafik nilai ph kompos akhir yang dihasilkan dari campuran % sludge, 2% sludge, dan 4% sludge berkisar antara 8-9. Nilai ph kompos masih tinggi di atas standar kompos SNI , yaitu minimum sebesar 6.8 hingga Hal ini dapat disebabkan kurangnya penambahan aerasi selama pengomposan, sehingga ph kompos masih bersifat basa. d. Kandungan Kalium (K 2 O) Ketersediaan kalium dalam bentuk K 2 O merupakan salah satu parameter kualitas kompos. Unsur kalium telah ada di batuan mineral bumi, tetapi senyawa tersebut di dalam bahan baku kompos masih terikat dalam bentuk senyawa mineral. Kalium dalam tanaman berperan dalam mempengaruhi penyerapan zat hara oleh akar tanaman dalam tanah, meningkatkan daya tahan terhadap kekeringan dan penyakit serta perkembangan akar. Kompos yang dihasilkan dari pengomposan selama sebulan dengan menggunakan perlakuan aerasi (aktif/pasif) dan pencampuran komposisi sludge menghasilkan kadar kalium (K 2 O) seperti pada Gambar 19. Gambar 19. Kadar kalium mutu kompos Sesuai dengan SNI , kompos yang dihasilkan dari campuran % sludge, 2% sludge dan 4% sludge sudah memasuki standar minimum kadar kalium (K 2 2O) pada kompos yaitu.2%. Berdasarkan perhitungan statistik sidik ragam dengan tingkat kepercayaan 95% (λ =.5), 23
10 dapat diketahui bahwa perlakuan aerasi dan interaksi antara komposisi bahan baku dengan perlakuan aerasi tidak berpengaruh nyata terhadap kadar kalium (K 2 O). Terdapat pengaruh nyata antara perbedaan komposisi bahan baku terhadap kadar kalium (K 2 O) dengan F-hitung sebesar dan F- tabel sebesar 5.14 (perhitungan dapat dilihat pada Lampiran 8). Perbedaan komposisi bahan baku berpengaruh nyata terhadap kadar kalium (K 2 O), maka dilakukan uji Duncan (uji lanjut). Berdasarkan hasil uji Duncan, diketahui bahwa terdapat perbedaan yang nyata antara bahan baku abu ketel dengan pencampuran % sludge dengan 4% sludge dan pencampuran 2% sludge dengan 4% sludge (perhitungan dapat dilihat pada Lampiran 9). Secara teoritis, semakin banyak sludge yang ditambahkan maka kadar kalium yang terkandung di dalam kompos semakin banyak karena sludge mempunyai kadar kalium yang lebih tinggi daripada abu ketel. Berdasarkan grafik, kompos dengan pencampuran 4% sludge memiliki kadar kalium yang sedikit lebih rendah dari pada kompos dengan pencampuran % sludge dan 2% sludge. Hal ini dapat disebabkan selama pengomposan kadar kalium yang terkandung pada kompos dengan campuran 4% sludge banyak yang terlarut dalam air yang berasal dari hasil dekomposisi dan turun secara gravitasi ke dasar reaktor.. e. Kandungan Fosfor (P 2 O 5 ) Kandungan N, P, dan K merupakan unsur hara yang utama bagi pertumbuhan tanaman. Unsur P diserap oleh tanaman dalam bentuk orthophospat primer yaitu H 2 PO 4 dan HPO 2-4. Penyerapan kedua unsur jenis di atas dipengaruhi oleh ph. Nilai ph yang optimal agar tanaman dapat mudah menyerap unsur P adalah Dekomposisi mineral fosfat dipengaruhi oleh derajat keasaman. Pada kondisi netral atau sedikit basa, mikroorganisme mampu mengubah fosfat menjadi senyawa fosfor yang mudah diserap tanaman. Sebaliknya pada kondisi asam, ion fosfat sulit dilarutkan menjadi bentuk yang tersedia oleh tanaman (Rao 1994). Fosfor dalam tanaman berperan dalam pembentukan bunga, buah, dan biji serta mempercepat pematanga buah. Kandungan unsur P semakin tinggi dengan adanya pelapukan bahan organik yang dikomposkan. Menurut Soepardi (1983), kandungan P yang semakin tinggi karena adanya pelapukan bahan organik yang dikomposkan. Pada tahap pematangan, mikroorganisme akan mati dan kandungan fosfor di dalam mikroorganisme akan bercampur dalam bahan kompos yang secara langsung akan meningkatkan kandungan fosfor dalam kompos. Kompos yang dihasilkan dari proses pengomposan selama sebulan dengan menggunakan perlakuan aerasi (aktif/pasif) dan pencampuran berbagai komposisi sludge menghasilkan kadar fosfat seperti pada Gambar 2. Gambar 2. Kadar fosfor mutu kompos 24
11 Sesuai dengan SNI , kompos yang dihasilkan dari campuran % sludge, 2% sludge dan 4% sludge sudah memasuki standar minimum kadar fosfat (P 2 O 5 ) pada kompos yaitu.1%. Berbeda dengan kalium, fosfat bukan tergolong dalam senyawa alkali sehingga tidak mudah larut di dalam air, maka kadar fosfat yang dihasilkan tidak berbeda jauh antara kompos dengan pencampuran % sludge, 2% sludge, dan 4% sludge. Berdasarkan perhitungan sidik ragam dengan tingkat kepercayaan 95% (λ =.5), dapat diketahui bahwa perlakuan aerasi, perlakuan komposisi, dan interaksi antara komposisi bahan baku dengan perlakuan aerasi tidak berpengaruh nyata terhadap kadar fosfat (P 2 O 5 ). Hal ini disebabkan senyawa fosfor sulit didegradasi selama pengomposan sehingga hasil sebelum dan sesudah pengomposan kandunganya tetap. Perhitungan dapat dilihat pada Lampiran 1. 25
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakterisasi awal blotong dan sludge pada penelitian pendahuluan menghasilkan komponen yang dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Karakteristik blotong dan sludge yang digunakan
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Bedding kuda didapat dan dibawa langsung dari peternakan kuda Nusantara Polo Club Cibinong lalu dilakukan pembuatan kompos di Labolatorium Pengelolaan Limbah
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 4. Kandungan Unsur Hara Makro pada Serasah Daun Bambu. Unsur Hara Makro C N-total P 2 O 5 K 2 O Organik
digilib.uns.ac.id BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Unsur Hara Makro Serasah Daun Bambu Analisis unsur hara makro pada kedua sampel menunjukkan bahwa rasio C/N pada serasah daun bambu cukup tinggi yaitu mencapai
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisa Kandungan Limbah Lumpur (Sludge) Tahap awal penelitian adalah melakukan analisi kandungan lumpur. Berdasarkan hasil analisa oleh Laboratorium Pengujian, Departemen
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Penelitian pembuatan pupuk organik cair ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Limbah Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Secara
Lebih terperinciPengaruh Variasi Bobot Bulking Agent Terhadap Waktu Pengomposan Sampah Organik Rumah Makan
Jurnal Sains dan Teknologi Lingkungan Volume 2, Nomor 1, Januari 2010, Halaman 43 54 ISSN: 2085 1227 Pengaruh Variasi Bobot Bulking Agent Terhadap Waktu Pengomposan Sampah Organik Rumah Makan Teknik Lingkungan,
Lebih terperinciBAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penelitian ini dilaksanakan di Green House Jurusan Biologi Fakultas
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Green House Jurusan Biologi Fakultas MIPA Universitas Negeri Gorontalo selama 3.minggu dan tahap analisis
Lebih terperinciPEMBUATAN KOMPOS DARI LIMBAH PADAT ORGANIK YANG TIDAK TERPAKAI ( LIMBAH SAYURAN KANGKUNG, KOL, DAN KULIT PISANG )
PEMBUATAN KOMPOS DARI LIMBAH PADAT ORGANIK YANG TIDAK TERPAKAI ( LIMBAH SAYURAN KANGKUNG, KOL, DAN KULIT PISANG ) Antonius Hermawan Permana dan Rizki Satria Hirasmawan Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik,
Lebih terperinciPENDAHULUAN. padat (feses) dan limbah cair (urine). Feses sebagian besar terdiri atas bahan organik
I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peternakan sapi perah selain menghasilkan air susu juga menghasilkan limbah. Limbah tersebut sebagian besar terdiri atas limbah ternak berupa limbah padat (feses) dan limbah
Lebih terperinciIV. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Tahap 1. Pengomposan Awal. Pengomposan awal diamati setiap tiga hari sekali selama dua minggu.
Suhu o C IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Tahap 1. Pengomposan Awal Pengomposan awal bertujuan untuk melayukan tongkol jagung, ampas tebu dan sabut kelapa. Selain itu pengomposan awal bertujuan agar larva kumbang
Lebih terperinciHASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Kondisi Umum Penelitian. pengomposan daun jati dan tahap aplikasi hasil pengomposan pada tanaman sawi
31 IV. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Umum Penelitian Penelitian yang telah dilakukan terbagi menjadi dua tahap yaitu tahap pengomposan daun jati dan tahap aplikasi hasil pengomposan pada tanaman
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kondisi tanah pada lahan pertanian saat sekarang ini untuk mencukupi kebutuhan akan haranya sudah banyak tergantung dengan bahan-bahan kimia, mulai dari pupuk hingga
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Hasil Analisis Kandungan Karbohidrat Kulit Talas Kimpul
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Analisis Kimia Pupuk 1. Hasil Analisis Kandungan Karbohidrat Kulit Talas Kimpul Analisis pupuk dilakukan untuk mengetahui kandungan C organik, N, P, K dan C/N ratio
Lebih terperinciPENGARUH PENAMBAHAN KOTORAN AYAM DAN MIKROORGANISME M-16 PADA PROSES PENGOMPOSAN SAMPAH KOTA SECARA AEROBIK
Program Studi MMT-ITS, Surabaya 4 Pebruari 26 PENGARUH PENAMBAHAN KOTORAN AYAM DAN MIKROORGANISME M-16 PADA PROSES PENGOMPOSAN SAMPAH KOTA SECARA AEROBIK Riskha Septianingrum dan Ipung Fitri Purwanti purwanti@enviro.its.ac.id
Lebih terperinciBAB II. TINJAUAN PUSTAKA
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bahan Organik Tanah Bahan organik tanah merupakan bagian dari fraksi organik yang telah mengalami degradasi dan dekomposisi, baik sebagian atau keseluruhan menjadi satu dengan
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. perah dan limbah kubis (Brassica oleracea) pada pembuatan pupuk organik cair
36 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Kandungan N Data hasil pengamatan pengaruh perbandingan limbah peternakan sapi perah dan limbah kubis (Brassica oleracea) pada pembuatan pupuk
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. A. Pengamatan Perubahan Fisik. mengetahui bagaimana proses dekomposisi berjalan. Temperatur juga sangat
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pengamatan Perubahan Fisik 1. Suhu Kompos Temperatur merupakan penentu dalam aktivitas dekomposisi. Pengamatan dapat digunakan sebagai tolak ukur kinerja dekomposisi, disamping
Lebih terperinciI PENDAHULUAN. Hal tersebut menjadi masalah yang perlu diupayakan melalui. terurai menjadi bahan anorganik yang siap diserap oleh tanaman.
1 I PENDAHULUAN 1.1 LatarBelakang Salah satu limbah peternakan ayam broiler yaitu litter bekas pakai pada masa pemeliharaan yang berupa bahan alas kandang yang sudah tercampur feses dan urine (litter broiler).
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. A. Perubahan Fisik. dapat digunakan sebagai tolak ukur kinerja dekomposisi, disamping itu juga untuk
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Perubahan Fisik 1. Suhu Kompos Temperatur merupakan penentu dalam aktivitas dekomposisi. Pengamatan dapat digunakan sebagai tolak ukur kinerja dekomposisi, disamping itu juga
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISTIK LIMBAH CAIR Limbah cair tepung agar-agar yang digunakan dalam penelitian ini adalah limbah cair pada pabrik pengolahan rumput laut menjadi tepung agaragar di PT.
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA II.
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Limbah Lumpur Water Treatment Plant Limbah pada dasarnya adalah suatu bahan yang terbuang dari aktifitas manusia maupun proses alam yang tidak atau belum mempunyai nilai ekonomis.
Lebih terperinciIII. METODOLOGI PE ELITIA
III. METODOLOGI PE ELITIA A. Bahan dan Alat Bahan baku utama pengomposan yang digunakan dalam penelitian adalah abu ketel dari mesin boiler dan sludge yang berasal dari pengolahan air limbah pabrik gula
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. A. Sifat fisik. mikroorganisme karena suhu merupakan salah satu indikator dalam mengurai
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Sifat fisik 1. Suhu kompos Pengamatan suhu dilakukan untuk mengetahui perubahan aktivitas mikroorganisme karena suhu merupakan salah satu indikator dalam mengurai bahan organik.
Lebih terperinciLampiran 1. Prosedur analisis karakteristik kompos
LAMPIRA 30 Lampiran 1. Prosedur analisis karakteristik kompos A. Kadar Air Bahan (AOAC 1984) Cawan alumunium kosong dimasukkan ke dalam oven selama 15 menit pada temperatur 100 o C. Cawan porselen kemudian
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. A. Kompos Ampas Aren. tanaman jagung manis. Analisis kompos ampas aren yang diamati yakni ph,
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kompos Ampas Aren Analisis kompos merupakan salah satu metode yang perlu dilakukan untuk mengetahui kelayakan hasil pengomposan ampas aren dengan menggunakan berbagai konsentrasi
Lebih terperinciPEMBUATAN KOMPOS DARI AMPAS TAHU DENGAN ACTIVATOR STARDEC
1 PEMBUATAN KOMPOS DARI AMPAS TAHU DENGAN ACTIVATOR STARDEC Farida Ali, Muhammad Edwar, Aga Karisma Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya Indonesia ABSTRAK Ampas tahu selama ini tidak
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. A. Pengujian fisik
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pengujian fisik 1. Temperature /Suhu Suhu adalah salah satu indikator keberhasilan dalam pembuatan kompos karena berhubungan dengan jenis mikroorganisme yang terlibat. Pengamatan
Lebih terperinciII. TI JAUA PUSTAKA NH 2. Gambar 1. Reaksi kimia selama pengomposan
II. TI JAUA PUSTAKA A. Pengomposan Pengomposan merupakan penguraian bahan organik secara biologis dengan hasil akhir berupa produk yang cukup stabil dalam bentuk padatan komplek (Haug 1980). Proses pengomposan
Lebih terperinciKAJIAN KEPUSTAKAAN. diduga tidak memiliki atau sedikit sekali nilai ekonominya (Merkel, 1981). Limbah
II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Limbah 2.1.1 Limbah Ternak Limbah adalah bahan buangan yang dihasilkan dari suatu aktivitas atau proses produksi yang sudah tidak digunakan lagi pada kegiatan/proses tersebut
Lebih terperinciPENGARUH WAKTU FERMENTASI DAN PENAMBAHAN AKTIVATOR BMF BIOFAD TERHADAP KUALITAS PUPUK ORGANIK
PENGARUH WAKTU FERMENTASI DAN PENAMBAHAN AKTIVATOR BMF BIOFAD TERHADAP KUALITAS PUPUK ORGANIK Hargono dan C. Sri Budiyati Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Diponegoro Jl. Prof. H. Soedharto,
Lebih terperinciBAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Penelitian. Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan. Penelitian ini dilakukan mulai. Bahan dan Alat Penelitian
BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Biologi Tanah Fakultas Pertanian, Medan. Penelitian ini dilakukan mulai bulan Maret sampai Mei 2008. Bahan dan Alat
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Tanah Tanah adalah kumpulan benda alam di permukaan bumi yang tersusun dalam horison-horison, terdiri dari campuran bahan mineral, bahan organik, air dan udara,
Lebih terperinciIV. HASIL DAN PEMBAHASAN
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISTIK BAHAN Bahan baku yang digunakan dalam penelitian adalah jerami yang diambil dari persawahan di Desa Cikarawang, belakang Kampus IPB Darmaga. Jerami telah didiamkan
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. yang baik yaitu : sebagai tempat unsur hara, harus dapat memegang air yang
TINJAUAN PUSTAKA Kompos Kulit Buah Kakao Ada empat fungsi media tanah untuk mendukung pertumbuhan tanaman yang baik yaitu : sebagai tempat unsur hara, harus dapat memegang air yang tersedia bagi tanaman,
Lebih terperinciIV HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil penelitian pengaruh nisbah C/N campuran feses sapi perah dan jerami
34 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Perlakuan Terhadap Kandungan N-NH 4 Hasil penelitian pengaruh nisbah C/N campuran feses sapi perah dan jerami padi terhadap kandungan N vermicompost dapat dilihat
Lebih terperinciPENGARUH KADAR AIR TERHADAP HASIL PENGOMPOSAN SAMPAH ORGANIK DENGAN METODE COMPOSTER TUB
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, Edisi Spesial 2017 114 PENGARUH KADAR AIR TERHADAP HASIL PENGOMPOSAN SAMPAH ORGANIK DENGAN METODE COMPOSTER TUB Sindi Martina Hastuti 1, Ganjar Samudro 2, Sri Sumiyati
Lebih terperinciHASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN. jerami padi dan feses sapi perah dengan berbagai tingkat nisbah C/N disajikan pada
IV HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Nisbah C/N Campuran Feses Sapi Perah dan Jerami Padi terhadap Kandungan N Pupuk Organik Cair (POC) Kandungan unsur N pada pupuk organik cair hasil pengomposan
Lebih terperinciPemanfaatan Lindi sebagai Bahan EM4 dalam Proses Pengomposan
TEMU ILMIAH IPLBI 26 Pemanfaatan Lindi sebagai Bahan EM4 dalam Proses Pengomposan Evelin Novitasari (), Edelbertha Dalores Da Cunha (2), Candra Dwiratna Wulandari (3) () Program Kreativitas Mahasiswa,
Lebih terperinciII KAJIAN KEPUSTAKAAN. tersebut serta tidak memiliki atau sedikit sekali nilai ekonominya (Sudiarto,
8 II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1. Limbah Ternak 2.1.1. Deksripsi Limbah Ternak Limbah didefinisikan sebagai bahan buangan yang dihasilkan dari suatu proses atau kegiatan manusia dan tidak digunakan lagi pada
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
23 HASIL DAN PEMBAHASAN KarakteristikBahan Kompos Karakteristik kompos yang dihasilkan tergantung kepada jenis dan komposisi bahan organik yang dikomposkan, proses pengomposan dan tingkat kematangan kompos.bahan
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. Kompos. sampah dapur, sampah kota dan lain-lain dan pada umumnya mempunyai hasil
TINJAUAN PUSTAKA Kompos Kompos adalah zat akhir suatu proses fermentasi tumpukan sampah/serasah tanaman dan adakalanya pula termasuk bangkai binatang. Sesuai dengan humifikasi fermentasi suatu pemupukan
Lebih terperinciKAJIAN KEPUSTAKAAN. apabila diterapkan akan meningkatkan kesuburan tanah, hasil panen yang baik,
II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Pengomposan Pengomposan adalah dekomposisi biologis yang dikontrol agar bahan organik menjadi stabil. Proses pengomposan sama seperti dekomposisi alami kecuali ditingkatkan dan
Lebih terperinciIV. HASIL DAN PEMBAHASAN
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Populasi Bakteri Penambat N 2 Populasi Azotobacter pada perakaran tebu transgenik IPB 1 menunjukkan jumlah populasi tertinggi pada perakaran IPB1-51 sebesar 87,8 x 10 4 CFU/gram
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pupuk Bokasi adalah pupuk kompos yang diberi aktivator. Aktivator yang digunakan adalah Effective Microorganism 4. EM 4 yang dikembangkan Indonesia pada umumnya
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. A. Mineralisasi N dari Bahan Organik yang Dikomposkan
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Mineralisasi N dari Bahan Organik yang Dikomposkan Bahan organik adalah bagian dari tanah yang merupakan suatu sistem kompleks dan dinamis, yang bersumber dari bahan-bahan yang
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Berat Total Limbah Kandang Ternak Marmot. Tabel 3. Pengamatan berat total limbah kandang ternak marmot
IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Berat Total Limbah Kandang Ternak Marmot pada Tabel 3. Data hasil pengamatan berat total limbah kandang ternak marmot disajikan Tabel 3. Pengamatan berat total limbah kandang
Lebih terperincirv. HASIL DAN PEMBAHASAN
17 rv. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Tinggi Tanaman (cm) Hasil sidik ragam parameter tinggi tanaman (Lampiran 6 ) menunjukkan bahwa penggunaan pupuk kascing dengan berbagai sumber berbeda nyata terhadap tinggi
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. peternakan tidak akan jadi masalah jika jumlah yang dihasilkan sedikit. Bahaya
4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biogas Biogas menjadi salah satu alternatif dalam pengolahan limbah, khususnya pada bidang peternakan yang setiap hari menyumbangkan limbah. Limbah peternakan tidak akan
Lebih terperinciElysa Dwi Oktaviana Dosen Pembimbing : Dr. Ir. Sri Rachmania Juliastuti, M. Eng. Ir. Nuniek Hendrianie, MT L/O/G/O
PERAN MIKROORGANISME AZOTOBACTER CHROOCOCCUM, PSEUDOMONAS FLUORESCENS, DAN ASPERGILLUS NIGER PADA PEMBUATAN KOMPOS LIMBAH SLUDGE INDUSTRI PENGOLAHAN SUSU Hita Hamastuti 2308 100 023 Elysa Dwi Oktaviana
Lebih terperinci4. HASIL DAN PEMBAHASAN
25 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Bahan Baku Karekteristik bahan baku merupakan salah satu informasi yang sangat diperlukan pada awal suatu proses pengolahan, termasuk pembuatan pupuk. Bahan
Lebih terperinciNiken Wijayanti, Winardi Dwi Nugraha, Syafrudin Jurusan Teknik Lingkungan,Fakultas Teknik,Universitas Diponegoro
PENGOMPOSAN SLUDGE HASIL PENGOLAHAN LIMBAH CAIR PT. INDOFOOD CBP DENGAN PENAMBAHAN LUMPUR AKTIF DAN EM4 DENGAN VARIASI KULIT BAWANG DAN BAWANG GORENG (Utilization of sludge wastewater treatment plant PT.Indofood
Lebih terperinciEVALUASI KINERJA CO-COMPOSTING BAGAS DENGAN BLOTONG PADA KAPASITAS PROSES YANG DITINGKATKAN MOH SUBIYANTORO
EVALUASI KINERJA CO-COMPOSTING BAGAS DENGAN BLOTONG PADA KAPASITAS PROSES YANG DITINGKATKAN MOH SUBIYANTORO DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. A. Pertumbuhan Tanaman. lingkungan atau perlakuan. Berdasarkan hasil sidik ragam 5% (lampiran 3A)
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pertumbuhan Tanaman 1. Tinggi tanaman Tinggi tanaman merupakan ukuran tanaman yang mudah untuk diamati dan sering digunakan sebagai parameter untuk mengukur pengaruh dari lingkungan
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kopi merupakan tanaman yang dapat mudah tumbuh di Indonesia. Kopi
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tanaman Kopi Tanaman kopi merupakan tanaman yang dapat mudah tumbuh di Indonesia. Kopi merupakan tanaman dengan perakaran tunggang yang mulai berproduksi sekitar berumur 2 tahun
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. kebutuhan unsur hara tanaman. Dibanding pupuk organik, pupuk kimia pada
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Pupuk kimia merupakan bahan kimia yang sengaja diberikan untuk memenuhi kebutuhan unsur hara tanaman. Dibanding pupuk organik, pupuk kimia pada umumnya mengandung
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 PENELITIAN PENDAHULUAN
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN.1 PENELITIAN PENDAHULUAN Penelitian pendahuluan dilakukan untuk menentukan titik kritis pengenceran limbah dan kondisi mulai mampu beradaptasi hidup pada limbah cair tahu. Limbah
Lebih terperinciIV. HASIL DAN PEMBAHASAN
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Sifatsifat Fisik Perubahan warna, suhu, dan pengurangan volume selama proses pengomposan disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Perubahan Warna, Bau, Suhu, dan Pengurangan Volume
Lebih terperinciKAJIAN RASIO KARBON TERHADAP NITROGEN (C/N) PADA PROSES PENGOMPOSAN DENGAN PERLAKUAN AERASI DALAM PEMANFAATAN ABU KETEL DAN SLUDGE INDUSTRI GULA
KAJIAN RASIO KARBON TERHADAP NITROGEN (C/N) PADA PROSES PENGOMPOSAN DENGAN PERLAKUAN AERASI DALAM PEMANFAATAN ABU KETEL DAN SLUDGE INDUSTRI GULA SKRIPSI ESSIYANA DWIYANTY F34070091 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pembangunan instalasi pengolahan limbah dan operasionalnya. Adanya
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pabrik tahu merupakan industri kecil (rumah tangga) yang jarang memiliki instalasi pengolahan limbah dengan pertimbangan biaya yang sangat besar dalam pembangunan
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. utama MOL terdiri dari beberapa komponen yaitu karbohidrat, glukosa, dan sumber
5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Mikroorganisme Lokal (MOL) Mikroorganisme lokal (MOL) adalah mikroorganisme yang dimanfaatkan sebagai starter dalam pembuatan pupuk organik padat maupun pupuk cair. Bahan utama
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. A. Kompos Kulit Buah Jarak Pagar. Kadar air, ph, C-Organik, Bahan Organik, N total. Berikut data hasil analisis
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kompos Kulit Buah Jarak Pagar Analisis kompos dilakukan untuk mengetahui dan memastikan bahwa kompos jarak pagar yang digunakan sebagai perlakuan dapat meningkatkan pertumbuhan
Lebih terperinciBAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Sifat Fisik Tanah Sifat fisik tanah yang di analisis adalah tekstur tanah, bulk density, porositas, air tersedia, serta permeabilitas. Berikut adalah nilai masing-masing
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. KARAKTERISTIK BAHAN BAKU
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. KARAKTERISTIK BAHAN BAKU 2.1.1 Karakteristik Bagas Ampas tebu atau disebut dengan bagas (Gambar 1) merupakan hasil samping dari proses ekstraksi (pemerahan) tebu di stasiun pengilingan.
Lebih terperinciCARA MEMBUAT KOMPOS OLEH: SUPRAYITNO THL-TBPP BP3K KECAMATAN WONOTIRTO
CARA MEMBUAT KOMPOS OLEH: SUPRAYITNO THL-TBPP BP3K KECAMATAN WONOTIRTO Kompos merupakan pupuk yang dibuat dari sisa-sisa mahluk hidup baik hewan maupun tumbuhan yang dibusukkan oleh organisme pengurai.
Lebih terperinciSTUDI OPTIMASI TAKAKURA DENGAN PENAMBAHAN SEKAM DAN BEKATUL
STUDI OPTIMASI TAKAKURA DENGAN PENAMBAHAN SEKAM DAN BEKATUL Arya Rezagama*, Ganjar Samudro Program Studi Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro Jl. Prof Soedharto No 1, Tembalang, Semarang.
Lebih terperinciV. HASIL DAN PEMBAHASAN
V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Kondisi Umum Saat Ini Faktor Fisik Lingkungan Tanah, Air, dan Vegetasi di Kabupaten Kutai Kartanegara Kondisi umum saat ini pada kawasan pasca tambang batubara adalah terjadi
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Amonia Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diperoleh data berupa nilai dari parameter amonia yang disajikan dalam bentuk grafik. Dari grafik dapat diketahui
Lebih terperinciA = berat cawan dan sampel awal (g) B = berat cawan dan sampel yang telah dikeringkan (g) C = berat sampel (g)
LAMPIRAN 42 Lampiran 1. Prosedur Analisis mutu kompos A. Kadar Air Bahan (AOAC, 1984) Cawan porselen kosong dan tutupnya dimasukkan ke dalam oven selama 15 menit pada suhu 100 o C.Cawan porselen kemudian
Lebih terperinciIII. HASIL DAN PEMBAHASAN
III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil Berikut ini adalah hasil penelitian dari perlakuan perbedaan substrat menggunakan sistem filter undergravel yang meliputi hasil pengukuran parameter kualitas air dan
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Onggok Sebelum Pretreatment Onggok yang digunakan dalam penelitian ini, didapatkan langsung dari pabrik tepung tapioka di daerah Tanah Baru, kota Bogor. Onggok
Lebih terperinciIV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil analisis P-larut batuan fosfat yang telah diasidulasi dapat dilihat pada Tabel
26 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian 4.1.1 P-larut Hasil analisis P-larut batuan fosfat yang telah diasidulasi dapat dilihat pada Tabel 9 (Lampiran), dan berdasarkan hasil analisis ragam pada
Lebih terperinciBAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Pengaruh Media terhadap Pertambahan biomassa Cacing Tanah Eudrilus eugeniae.
Pertambahan bobot (gram) BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Pengaruh Media terhadap Pertambahan biomassa Cacing Tanah Eudrilus eugeniae. Pengambilan data pertambahan biomassa cacing tanah dilakukan
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. A. Pengamatan Kompos Pelepah Daun Salak. (terkontrol) dengan hasil akhir berupa humus dan kompos (Simamora dan Salundik,
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pengamatan Kompos Pelepah Daun Salak Pengomposan merupakan proses perombakan (dekomposisi) dan stabilisasi bahan organik oleh mikroorganisme dalam keadaan lingkungan yang terkendali
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. digunakan untuk meningkatkan aktivitas proses komposting. Bioaktivator
7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Bioaktivator Menurut Wahyono (2010), bioaktivator adalah bahan aktif biologi yang digunakan untuk meningkatkan aktivitas proses komposting. Bioaktivator bukanlah pupuk, melainkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Tanah mengandung fosfat (P) sebagai salah satu unsur hara makro yang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah mengandung fosfat (P) sebagai salah satu unsur hara makro yang dibutuhkan dalam jumlah besar oleh tanaman yang berperan penting dalam proses pertumbuhan,
Lebih terperinciHUBUNGAN AIR DAN TANAMAN STAF LAB. ILMU TANAMAN
HUBUNGAN AIR DAN TANAMAN STAF LAB. ILMU TANAMAN FUNGSI AIR Penyusun tubuh tanaman (70%-90%) Pelarut dan medium reaksi biokimia Medium transpor senyawa Memberikan turgor bagi sel (penting untuk pembelahan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 AREN (Arenga pinnata) Pohon aren (Arenga pinnata) merupakan pohon yang belum banyak dikenal. Banyak bagian yang bisa dimanfaatkan dari pohon ini, misalnya akar untuk obat tradisional
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. diambil bagian utamanya, telah mengalami pengolahan, dan sudah tidak
TINJAUAN PUSTAKA Sampah Sampah adalah sisa-sisa bahan yang telah mengalami perlakuan, telah diambil bagian utamanya, telah mengalami pengolahan, dan sudah tidak bermanfaat, dari segi ekonomi sudah tidak
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. A. Kompos Kulit Buah Jarak Pagar
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kompos Kulit Buah Jarak Pagar Kompos merupakan bahan organik yang telah menjadi lapuk, seperti daundaunan, jerami, alang-alang, rerumputan, serta kotoran hewan. Di lingkungan alam,
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Awal Bahan Baku Pembuatan Biogas Analisis bahan baku biogas dan analisis bahan campuran yang digunakan pada biogas meliputi P 90 A 10 (90% POME : 10% Aktivator), P 80 A 20
Lebih terperinciBAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
13 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Penelitian 5.1.1 Sifat Kimia Tanah Data sekunder hasil analisis kimia tanah yang diamati yaitu ph tanah, C-Org, N Total, P Bray, kation basa (Ca, Mg, K, Na), kapasitas
Lebih terperinciIV. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Pertumbuhan Jamur Tiram. digunakan. Jenis dan komposisi media akan menentukan kecepatan pertumbuhan
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pertumbuhan Jamur Tiram Pertumbuhan jamur tiram ditentukan oleh jenis dan komposisi media yang digunakan. Jenis dan komposisi media akan menentukan kecepatan pertumbuhan miselium,
Lebih terperinciBAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian Berdasarkan hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa media tanam yang digunakan berpengaruh terhadap berat spesifik daun (Lampiran 2) dan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Pisang merupakan komoditas buah-buahan yang populer di masyarakat karena
1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Pisang merupakan komoditas buah-buahan yang populer di masyarakat karena harganya terjangkau dan sangat bermanfaat bagi kesehatan. Pisang adalah buah yang
Lebih terperinciIII. HASIL DAN PEMBAHASAN
III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Kadar Oksigen Terlarut Hasil pengukuran konsentrasi oksigen terlarut pada kolam pemeliharaan ikan nila Oreochromis sp dapat dilihat pada Gambar 2. Dari gambar
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Dinamika Populasi Jumlah Bakteri Total Pada Proses Dekomposisi Awal Terhadap Berbagai Nisbah C/N Campuran Feses Ayam Petelur dan Serbuk Gergaji Jumlah bakteri total pada proses
Lebih terperinciIII. METODOLOGI PENELITIAN
III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Bahan dan Alat Penelitian Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini yaitu blotong dan sludge industri gula yang berasal dari limbah padat Pabrik Gula PT. Rajawali
Lebih terperinciTINJAUN PUSTAKA. Sifat sifat Kimia Tanah. tekstur tanah, kepadatan tanah,dan lain-lain. Sifat kimia tanah mengacu pada sifat
TINJAUN PUSTAKA Sifat sifat Kimia Tanah Tanah memiliki sifat fisik, sifat kimia dan sifat biologi. Sifat fisik dan biologi tanah dapat dilihat secara kasat mata dan diteliti dengan warna tanah, tekstur
Lebih terperinciPENUNTUN PRAKTIKUM TEKNOLOGI PENGOLAHAN LIMBAH PETERNAKAN
PENUNTUN PRAKTIKUM TEKNOLOGI PENGOLAHAN LIMBAH PETERNAKAN Disusun Oleh: Ir. Nurzainah Ginting, MSc NIP : 010228333 Departemen Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara 2007 Nurzainah Ginting
Lebih terperinciPENGOMPOSAN K1UDGE HASIL PENGOLAHAN LIMBAH CAIR PT
PENGOMPOSAN K1UDGE HASIL PENGOLAHAN LIMBAH CAIR PT. INDOFOOD CBP DENGAN PENAMBAHAN LUMPUR AKTIF DAN EM4 DENGAN VARIASI SAMPAH DOMESTIK DAN KULIT BAWANG Bening Laksa Intan, Syafrudin, Winardi Dwi Nugraha
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. Tebu ( Saccharum officinarum L.) merupakan tanaman penting sebagai penghasil
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Tebu Tebu ( Saccharum officinarum L.) merupakan tanaman penting sebagai penghasil gula dan lebih dari setengah produksi gula berasal dari tanaman tebu (Sartono, 1995).
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. A. Salak Pondoh. Menurut data dari Badan Pusat Stastistik tahun (2004) populasi tanaman
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Salak Pondoh Menurut data dari Badan Pusat Stastistik tahun (2004) populasi tanaman salak di daerah Sleman sebanyak 4.653.790 rumpun, dan 88% diantaranya jenis salak pondoh (4.095.178
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Penanaman rumput B. humidicola dilakukan di lahan pasca tambang semen milik PT. Indocement Tunggal Prakasa, Citeurep, Bogor. Luas petak yang digunakan untuk
Lebih terperinciKAJIAN PENINGKATAN KAPASITAS PROSES CO- COMPOSTING ABU KETEL DAN BLOTONG ELVA SURYA AL GHIFARY
11 KAJIAN PENINGKATAN KAPASITAS PROSES CO- COMPOSTING ABU KETEL DAN BLOTONG ELVA SURYA AL GHIFARY DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kelangsungan Hidup Berdasarkan hasil pengamatan selama 40 hari massa pemeliharaan terhadap benih ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) diketahui rata-rata tingkat kelangsungan
Lebih terperinciKarakteristik Limbah Padat
Karakteristik Limbah Padat Nur Hidayat http://lsihub.lecture.ub.ac.id Tek. dan Pengelolaan Limbah Karakteristik Limbah Padat Sifat fisik limbah Sifat kimia limbah Sifat biologi limbah 1 Sifat-sifat Fisik
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. Botani Tanaman. dicotyledoneae. Sistem perakaran kailan adalah jenis akar tunggang dengan
18 TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Tanaman kailan adalah salah satu jenis sayuran yang termasuk dalam kelas dicotyledoneae. Sistem perakaran kailan adalah jenis akar tunggang dengan cabang-cabang akar
Lebih terperinciBab V Hasil dan Pembahasan. Gambar V.10 Konsentrasi Nitrat Pada Setiap Kedalaman
Gambar V.10 Konsentrasi Nitrat Pada Setiap Kedalaman Dekomposisi material organik akan menyerap oksigen sehingga proses nitrifikasi akan berlangsung lambat atau bahkan terhenti. Hal ini ditunjukkan dari
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Proses Dekomposisi Vinasse untuk dibuat menjadi pupuk organik cair harus melalui proses dekomposisi, hal ini seperti yang dinyatakan oleh
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. selanjutnya diaplikasikan pada tanaman jagung manis (Zea Mays Saccharata
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini terdiri dari dua tahap kegiatan yaitu pembuatan kompos kompos jerami dengan pengaturan nilai C/N rasio melalui penambahan azolla dan selanjutnya diaplikasikan pada
Lebih terperinci