IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "IV. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Persiapan dan Karakteristik Bahan Baku 1. Lateks Pekat Jenis lateks pekat yang digunakan dalam penelitian ini adalah lateks pekat perdagangan yang telah ditambahkan amonia. Lateks pekat kemudian dianalisis karakteristiknya seperti kadar alkalinitas (amonia), KJP, KKK, bilangan KOH, Waktu Kemantapan Mekanik (WKM), viskositas Mooney, viskositas brookfield, bilangan volatile fatty acid (VFA), dan kadar nitrogen. Data hasil analisis dapat dilihat pada Lampiran 10. Penggunaan lateks pekat dalam penelitian ini bertujuan agar hasil penelitian ini dapat diaplikasikan dalam industri yang umumnya menggunakan lateks pekat untuk menurunkan biaya pengangkutan, penyimpanan, dan pemrosesan. Amonia di dalam lateks akan menyebabkan permukaan partikel karet memiliki muatan negatif, sehingga menimbulkan gaya tolak menolak antar partikel karet selanjutnya sistem koloid menjadi mantap dan tidak terjadi penggumpalan. Penambahan amonia ke dalam lateks pekat juga berfungsi untuk mencegah atau menghambat penggumpalan lateks selama penyimpanan akibat asam hasil metabolisme mikroorganisme. Kadar amonia yang terukur adalah sebesar 0,835%. Lateks pekat ini tergolong ke dalam lateks pekat high ammonia (kandungan ammonia tinggi) karena mengandung ammonia lebih dari 0,6%. Lateks pekat yang digunakan dalam penelitian ini adalah lateks pekat dengan KKK 58,4%, artinya terdapat 58,4 gram partikel karet dalam 100 ml lateks pekat. KKK merupakan parameter terukur yang menunjukkan presentase jumlah karet dalam lateks. Kadar jumlah padatan (KJP) lateks pekat yang digunakan adalah 59,19%, artinya terdapat 59,19 gram padatan total dalam 100 ml lateks pekat. Selisih antara nilai KJP dan KKK pada lateks pekat kurang dari 2%, yaitu 0,79%, hal tersebut menandakan bahwa lateks pekat mengandung padatan bukan karet dan pengotor dalam jumlah relatif rendah bila dibandingkan dengan angka penerimaan KJP, yaitu KKK + 2%. 31

2 Setelah analisis KKK dan KJP, selanjutnya dilakukan analisis kadar nitrogen. Hasil analisis kadar nitrogen adalah sebesar 0,24%. Dari analisis kadar nitrogen ini maka dapat diketahui jumlah protein yang terdapat dalam lateks pekat ini. Kadar protein dapat dihitung dengan kadar nitrogen dikalikan dengan faktor 6,25. Penambahan amonia yang tinggi dapat mendegradasi protein dalam lateks. sehingga akan mengurangi kadar protein dalam lateks tersebut. Lateks pekat juga dianalisis viskositas Mooney nya sebagai indikator atau pembanding yang menunjukkan kecenderungan perubahan bobot molekul karet alam. Dari hasil uji viskositas Mooney pada lateks pekat diketahui bahwa nilai viskositas Mooney nya sebesar 77,60 (ML (1 +4 ) 100 o C). Viskositas Mooney karet alam menunjukkan panjangnya rantai molekul karet atau berat molekul. Pada umumnya, semakin tinggi berat molekul (BM) karet, maka semakin panjang rantai molekulnya dan semakin tinggi sifat tahanan aliran bahannya atau dengan kata lain karetnya semakin viskos. Pengukuran viskositas Mooney dilakukan dengan Mooney Viscosimeter. Prinsip kerja alat tersebut berdasarkan pengukuran nilai torsi rotor yang dapat berputar. Nilai viskositas Mooney berlawanan dengan nilai plastisitas. Semakin plastis karet, maka semakin cepat rotor berputar yang berarti tenaga yang dibutuhkan untuk memutar rotor semakin kecil. Hal tersebut menunjukkan bahwa viskositas karet rendah. Sebaliknya, jika karet kurang plastis, maka tenaga yang dibutuhkan untuk memutar rotor semakin besar dan rotor akan berputar lambat sehingga nilai viskositasnya tinggi. Selain nilai viskositas Mooney, dianalisis juga nilai viskositas Brookfield lateks pekat. Nilai viskositas Brookfield lateks pekat sebesar 98 centipoise (cp). Viskositas Brookfield ini menunjukan kekentalan dari suatu lateks. Semakin tinggi nilai viskositas Brookfield, maka lateks semakin kental. Sebaliknya, semakin rendah nilai viskositas Brookfield, maka semakin cair lateks tersebut. Parameter karakteristik lateks pekat yang dianalisis berikutnya adalah waktu kemantapan mekanik (WKM). Analisis waktu kemantapan mekanik bertujuan untuk mengetahui ketahanan karet terhadap gaya sobek. Dari hasil 32

3 analisis lateks pekat didapatkan nilai WKM sebesar 767 detik. Hasil ini telah memenuhi standar SNI yaitu minimal 650 detik. Menurut Goutara et al. (1985), analisis bilangan VFA (volatile fatty acid) atau asam lemak eteris bertujuan untuk melihat jumlah asam lemak menguap yang dihasilkan dari kerusakan bahan bukan karet oleh mikroorganisme. Bilangan ini merupakan uji khusus yang menggambarkan tingkat pengawetan yang telah dilakukan pada lateks dan juga mengindikasikan umur dan mutu dari lateks pekat. Hasil analisis menunjukkan nilai VFA sebesar 0,02 gr KOH per 100 gr total padatan. Hasil ini sudah memenuhi standar SNI yaitu maksimal 0,2 gr KOH per 100 gr total padatan. Bilangan VFA ini dihasilkan dari keaktifan mikroorganisme terhadap bahan bukan karet. Mikroorganisme ini akan menguraikan senyawa karbohidrat atau protein dalam lateks menjadi asam lemak eteris seperti asam format, asam asetat, dan asam propionat. Asam-asam ini mengakibatkan penurunan ph sehingga menganggu kestabilan lateks dan dapat menggumpalkan lateks. 2. Lateks Depolimerisasi Selain lateks pekat, lateks yang digunakan dalam penelitian ini adalah lateks depolimerisasi. Lateks depolimerisasi adalah lateks yang mengalami proses pemutusan rantai polimer isoprena yang panjang menjadi rantai polimer yang pendek. Depolimerisasi merupakan salah satu cara mengubah struktur molekul karet menjadi lebih lunak dan mempunyai bobot molekul rendah. Tahapan lebih lanjut yang diharapkan adalah dapat diaplikasikan sebagai bahan baku produk yang membutuhkan sifat lekat yang baik. Jika rantai molekulnya lebih pendek, diharapkan kemampuan partikel karet alam tersebut melekat pada permukaan media akan lebih baik, sehingga meningkatkan daya rekatnya. Keberhasilan proses depolimerisasi sangat tergantung pada kestabilan atau kemantapan lateks selama proses depolimerisasi. Selama proses depolimerisasi berlangsung, aglomerasi (penggumpalan) partikel karet harus diusahakan dapat dicegah. Kemantapan atau kestabilan lateks selama proses 33

4 depolimerisasi dapat dijaga dengan menambahkan bahan penstabil lain, yakni surfaktan. Gugus hidrofilik pada surfaktan akan berinteraksi dengan air, sedangkan gugus hidrofobiknya akan berinteraksi dengan lapisan fosfolipid pada partikel karet. Dengan demikian, dispersi partikel karet di dalam air pada sistem lateks lebih stabil. Pada saat surfaktan dimasukkan ke dalam lateks, maka partikel-partikel karet yang semula diam akan bergerak untuk berikatan dengan surfaktan. Penambahan surfaktan harus sesuai dengan dosisnya. Jika surfaktan yang ditambahkan jumlahnya terlalu kecil, maka surfaktan tidak dapat melindungi seluruh partikel karet sehingga masih ada partikel karet yang bergerak dan memungkinkan terjadinya tumbukan antar partikel karet yang menyebabkan lateks menggumpal. Penambahan surfaktan sebagai anti koagulan sebelum proses depolimerisasi perlu dilakukan. Surfaktan jenis sodium lauril sulfat termasuk jenis surfaktan anionik yang lebih dapat mempertahankan kestabilan lateks dibandingkan surfaktan polietilene lauril eter, karena surfaktan tersebut mempunyai muatan negatif, sehingga sesuai digunakan pada lateks yang mengandung partikel karet bermuatan negatif. Muatan negatif pada surfaktan sodium lauril sulfat dapat menurunkan tegangan antar muka antara partikel karet dan serumnya, sehingga dispersi partikel karet dalam lateks semakin stabil. Proses degradasi bisa menjadi lebih efektif dengan ditambahkannya toluen ke dalam lateks dengan KKK yang tinggi. Penambahan toluen ke dalam lateks berguna untuk mengembangkan molekul karet. Hal tersebut diduga disebabkan oleh semakin tinggi kadar karet dalam lateks, berarti jarak antar molekul karet dalam lateks semakin dekat dan jumlah air dalam lateks lebih sedikit, sehingga toluen dapat dengan mudah mengembangkan molekul karet. Oleh karena itu, bahan-bahan pedegradasi (H 2 O 2 dan NaOCl) lebih mudah masuk ke dalam rantai hidrokarbon karet alam dan memutus rantai molekulnya menjadi lebih pendek. Di sisi lain, semakin rendah kadar karet dalam lateks, berarti semakin banyak jumlah air dalam lateks dan semakin jauh jarak antar molekul karet 34

5 dalam lateks. Jumlah air yang banyak dan jarak antar molekul karet yang semakin jauh dapat menghalangi pengembangan molekul karet oleh toluen, karena toluen bersifat hidrofobik (sulit larut dalam air yang menyelubungi molekul karet), sehingga toluen sulit mencapai partikel karet dalam lateks dan sulit mengembangkan molekul karet dan menyebabkan bahan pendegradasi sulit masuk ke dalam molekul karet untuk memutus rantai molekulnya atau rantai polimernya. Proses degradasi rantai polimer karet alam dapat terjadi secara kimia melalui suatu reaksi reduksi-oksidasi (redoks) dengan bantuan senyawasenyawa tertentu. Pada sistem reaksi redoks, senyawa yang umumnya berperan sebagai oksidator adalah hidrogen peroksida (H 2 O 2 ), sedangkan senyawa reduktornya adalah klorit (OCl - ). Penambahan hidrogen peroksida akan mendegradasi rantai molekul melalui pembentukan senyawa radikal bebas. Mekanisme reaksi pembentukan radikal bebas oleh H 2 O 2 adalah sebagai berikut: ROOR 2OR H 2 O 2 2 OH* (radikal hidroksil) Selain membentuk radikal, sebagian senyawa hidrogen peroksida juga akan mengalami reaksi disproporsionasi, yaitu suatu jenis reaksi reduksi oksidasi yang terjadi apabila senyawa tunggal dioksidasi dan direduksi. Senyawa ini ditambahkan pertama kali ke dalam lateks, sehingga sebagian akan mengalami reaksi disproporsionasi membentuk air dan oksigen yang ditandai dengan munculnya gelembung-gelembung gas pada sistem. Senyawa yang ditambahkan ke dalam lateks selanjutnya adalah natrium hipoklorit (NaOCl). Natrium hipoklorit merupakan reduktor yang digunakan sebagai bahan peptiser yang dapat mempercepat reaksi degradasi molekul oleh peroksida pada suhu rendah. Selain itu, natrium hipoklorit berfungsi untuk menyediakan oksigen yang akan digunakan oleh hidrogen peroksida dalam proses oksidasi. Lateks hasil depolimerisasi kemudian diuji juga karakteristiknya. Pengujian karakteristik lateks depolimerisasi sama seperti pengujian karakteristik yang dilakukan pada lateks pekat. Hasil analisis atau pengujian 35

6 karakteristik lateks depolimerisasi dapat dilihat pada Lampiran 10. Karakteristik lateks depolimerisasi yang pertama kali dianalisis adalah kadar alkalinitas atau kadar amonia lateks. Dari hasil analisis didapatkan bahwa kadar amonia pada lateks depolimerisasi adalah sebesar 0,14%. Kadar amonia pada lateks depolimerisasi lebih rendah daripada lateks pekat, karena pada amonia menguap selama proses depolimerisasi akibat pengadukan dan pemanasan. Sama halnya dengan lateks pekat, KKK lateks depolimerisasi juga dianalisis dan didapatkan hasil KKK lateks depolimerisasi sebesar 46,73%. KKK diukur berdasarkan persentase perbandingan antara bobot karet kering dengan bobot lateks. KKK lateks depolimerisasi lebih rendah daripada KKK lateks pekat karena pada saat proses depolimerisasi terjadi penambahan bahan-bahan lain yang menyebabkan volume dan bobot lateks bertambah, tetapi kadar karet dalam lateks tetap. Hal tersebut yang menyebabkan KKK lateks depolimerisasi lebih rendah daripada lateks pekat. Hasil analisis KJP menunjukkan bahwa KJP dari lateks depolimerisasi adalah sebesar 51,47%. Hasil tersebut lebih rendah dari KJP lateks pekat. Hal itu juga terjadi karena selama proses depolimerisasi, penambahan bahanbahan kimia yang bersifat cair hanya meningkatkan volume dan bobot lateks, akan tetapi, jumlah bahan-bahan padatan (karet dan non karet) dalam lateks tidak berubah, maka dari itu KJP lateks depolimerisasi lebih rendah daripada lateks pekat. Hampir sama dengan KKK, KJP diukur dari perbandingan bobot padatan setelah pemanasan dengan bobot lateks sebelum pemanasan. Waktu kemantapan mekanik lateks depolimerisasi yang didapatkan lebih rendah daripada waktu kemantapan mekanik lateks pekat, yaitu sebesar 109 detik. Waktu kemantapan mekanik yang lebih rendah ini disebabkan karena lateks mengalami penurunan kemantapan atau ketahanan terhadap pengadukan selama proses depolimerisasi. Sebenarnya, lateks pekat mengalami kenaikan WKM selama penyimpanan dengan pengadukan perlahan hingga batas waktu tertentu, kemudian WKM lateks pekat akan menurun kembali. Kemungkinan proses depolimerisasi telah mempercepat siklus WKM lateks, sehingga WKM lateks depolimerisasi menjadi rendah. 36

7 Kadar VFA atau asam lemak eteris pada lateks depolimerisasi lebih tinggi dari kadar VFA dalam lateks pekat, yaitu sebesar 0,047 g KOH/100 g JP. Nilai VFA yang lebih tinggi ini disebabkan selama proses depolimerisasi dan penyimpanan, telah terjadi penguraian bahan-bahan non karet seperti karbohidrat atau protein oleh mikroorganisme dalam lateks menjadi asam lemak eteris seperti asam format, asam asetat, dan asam propionat. Kadar VFA yang terlalu tinggi dan melebihi SNI kurang dikehendaki karena asamasam yang dihasilkan akan mengganggu ph dan kemantapan lateks. Selain itu, kadar VFA yang tinggi akan mempengaruhi (menurunkan) mutu dari lateks tersebut. Kadar nitrogen adalah jumlah zat-zat yang mengandung nitrogen yang terdiri dari protein dan turunannya. Kadar nitrogen diuji untuk mengetahui jumlah protein yang ada dalam lateks. hal ini dilakukan karena protein merupakan salah satu pelindung molekul karet. Kadar nitrogen pada lateks depolimerisasi adalah sebesar 0,14%. Hal ini menunjukkan bahwa protein yang terkandung dalam karet berkurang. Penurunan kadar nitrogen disebabkan oleh beberapa hal, antara lain terbuangnya fase protein pada saat proses sentrifugasi (pemekatan) lateks, larutnya protein dalam aseton pasa saat lateks digumpalkan, dan HNS yang ditambahkan berhasil mengikat gugus amida. Penurnan kadar nitrogen juga dapat disebabkan selama depolimerisasi, hidrogen peroksida yang memiliki sifat asam mampu merusak protein. Selain itu, selama proses pemeraman lateks dengan toluen, ada sebagian protein yang larut dalam toluen. Viskositas Brookfield pada lateks depolimerisasi ternyata lebih rendah daripada viskositas Brookfield pada lateks pekat. Nilai viskositas Brookfield lateks depolimerisasi adalah sebesar 18,3 cp. Viskositas Brookfield lateks depolimerisasi lebih rendah juga disebabkan oleh proses depolimerisasi lateks. Pada awal proses depolimerisasi, pemeraman lateks oleh toluena dapat mengembangkan molekul karet, sehingga kekentalan lateks menurun. Setelah itu, pada akhir proses depolimerisasi, telah terjadi pemutusan rantai molekul poliisoprenayang panjang menjadi lebih pendek, sehingga bobot 37

8 molekul lateks depolimerisasi menjadi lebih rendah yang mengakibatkan viskositasnya menurun. Viskositas Mooney merupakan salah satu parameter penting dalam penelitian depolimerisasi, karena dapat memberikan gambaran kasar bobot molekul sampel. Proses depolimerisasi berhasil jika viskositas Mooney lateks depolimerisasi lebih rendah dari viskositas Mooney lateks pekat. Viskositas Mooney lateks depolimerisasi juga lebih rendah dari viskositas Mooney lateks pekat. Viskositas Mooney lateks depolimerisasi adalah sebesar 16,50 (ML (1+4) 100 o C). Hal tersebut menunjukkan bahwa proses depolimerisasi telah berhasil memperpendek rantai molekul karet (menurunkan bobot molekul karet alam) yang terlihat dari nilai viskositas Mooney lateks depolimerisasi yang lebih kecil dari nilai viskositas Mooney lateks pekat. B. Homogenitas Campuran Lateks dengan Aspal Secara Visual Pada penelitian ini, lateks karet alam dipilih untuk dicampurkan dengan aspal karena pencampuran lateks dengan aspal menghasilkan produk yang lebih efisien dibandingkan dengan bentuk lain dari karet dalam jumlah yang sama. Selain itu, harga lateks karet alam lebih rendah daripada harga produk karet lainnya, khususnya produk karet olahan dan juga penggunaan lateks mempermudah produksi atau pembuatan aspal berkaret. Penggunaan lateks pekat lebih disukai dalam pencampuran lateks dengan aspal, karena lateks pekat memiliki KKK lebih tinggi dari lateks kebun. Selain itu, lebih tahan lama untuk disimpan dan pada proses pencampuran dengan aspal, menghasilkan lebih sedikit buih karena kandungan air yang lebih sedikit dibandingkan dengan lateks kebun. Hal ini dapat membantu kemudahan dan keamanan pada saat proses pencampuran. Pencampuran lateks ke dalam aspal diawali dengan pemanasan aspal pada suhu o C. pada suhu tersebut aspal mencair sempurna. Aspal tersebut dipanaskan atau dicairkan pada wadah dengan volume aspal 2/3 volume wadah. Hal tersebut bertujuan agar memberikan ruang untuk campuran yang mengembang pada saat lateks dimasukkan ke dalam aspal panas. Pengembangan volume campuran tersebut disebabkan oleh penguapan 38

9 air dalam lateks. Memasukkan atau mencampurkan lateks ke dalam aspal harus secara perlahan-lahan, karena jika lateks dicampurkan sekaligus, maka akan terjadi pengembangan buih yang tidak terkontrol. Pencampuran lateks ke dalam aspal dalam jumlah yang cukup banyak harus dilakukan secara hatihati karena lateks mengandung sekitar 40% air dan temperatur pencampuran lebih tinggi daripada titik didih air. Pengadukan dilakukan selama 30 menit setelah lateks dimasukkan semua ke dalam aspal dan kestabilan temperatur harus tetap dijaga untuk menghasilkan homogenitas karet dalam aspal yang baik. Pencampuran lateks pekat dalam konsentrasi atau jumlah besar ke dalam aspal menyebabkan campuran aspal dan karet (aspal modifikasi) menjadi lebih viskos dan menjadi kurang homogen. Hal tersebut dapat dilihat dengan cara pengujian visual campuran aspal dan karet secara sederhana. Pengujian visual aspal modifikasi dapat dilakukan dengan cara penuangan aspal modifikasi cair ke permukaan wadah yang datar. Penuangan aspal modifikasi cair tersebut bertujuan untuk melihat keseragaman penyebaran karet dalam aspal. Cara pengujian homogenitas dapat dilihat pada Gambar 14. Gambar 14. Pengujian Homogenitas Aspal Modifikasi Secara Visual Karet yang tidak homogen atau tidak menyebar secara merata dalam aspal akan terlihat gumpalan-gumpalan pada aliran aspal cair pada saat dijatuhkan dan pada saat jatuh di permukaan wadah yang datar, akan terjadi penumpukan aspal modifikasi pada satu pusat atau dengan kata lain aspal modifikasi tersebut tidak menyebar di atas wadah. Sebaliknya, pada aspal 39

10 modifikasi dengan homogenitas karet yang baik, pada saat aspal cair dialirkan atau dituang, tidak terlihat adanya gumpalan-gumpalan dan pada saat aspal cair jatuh di atas permukaan wadah datar, aspal tersebut langsung menyebar ke seluruh bagian permukaan wadah. Dari hasil pengujian secara visual dapat terlihat bahwa semakin banyak kosentrasi atau dosis karet dalam aspal, maka homogenitasnya semakin berkurang yang terlihat dari semakin banyaknya gumpalan-gumpalan pada aliran aspal cair. Dari hasil pengujian juga terlihat perbandingan homogenitas antara aspal yang dicampur dengan lateks pekat dengan aspal yang dicampur dengan lateks depolimerisasi. Aspal yang dicampur dengan lateks depolimerisai homogenitasnya lebih baik daripada aspal yang dicampur dengan lateks pekat. Aspal yang dicampur dengan lateks depolimerisasi hampir tidak terlihat adanya gumpalan pada aliran aspal cair dan pada saat aspal menyentuh permukaan wadah, aspal menyebar merata. Sebaliknya, aspal yang dicampur dengan lateks pekat terlihat gumpalan-gumpalan pada aliran aspal cair dan pada saat aspal menyentuh permukaan wadah, aspal menumpuk di satu pusat atau dengan kata lain tidak jatuh menyebar secara merata ke seluruh bagian permukaan wadah. Hasil pengukuran secara visual atau kualitatif memperlihatkan bahwa aspal yang dicampurkan dengan lateks jenis lateks pekat dan bahan tambahannya atau disimbolkan dengan kode L1, L2, L3 dan L4 pada konsentrasi 7% karet dalam aspal (K7), menghasilkan campuran yang tidak homogen, sedangkan pada konsentrasi 5% karet dalam aspal (K5), menghasilkan campuran yang kurang homogen dan pada konsentrasi 3% karet dalam aspal (K3), menghasilkan campuran yang agak homogen. Aspal yang dicampurkan dengan lateks jenis lateks depolimerisasi dan bahan tambahannya atau disimbolkan dengan kode L5, L6, L7 dan L8 pada konsentrasi 7% karet dalam aspal (K7), menghasilkan campuran yang agak homogen, sedangkan pada konsentrasi 5% karet dalam aspal (K5) dan pada konsentrasi 3% karet dalam aspal (K3), menghasilkan campuran yang homogen. 40

11 Perbedaan homogenitas antara aspal yang dicampur dengan lateks pekat (L1, L2, L3 dan L4 ) serta lateks depolimerisasi (L5, L6, L7 dan L8) disebabkan oleh perbedaan bobot molekul atau panjang rantai molekul polimer serta kemudahan polimer karet untuk berikatan dengan senyawa lain dan kemudahan untuk dimodifikasi. Lateks depolimerisasi memiliki rantai polimer yang lebih pendek daripada lateks pekat dan juga bobot molekul yang lebih kecil daripada lateks pekat yang ditandai dengan nilai viskositas Mooney lateks depolimerisasi yang lebih kecil daripada lateks pekat. Pendeknya rantai polimer atau bobot molekul yang kecil menyebabkan lateks depolimerisasi lebih mudah untuk bercampur dan berikatan dengan aspal, sehingga partikel karet dapat menyebar lebih merata dalam aspal. C. Pengaruh Lateks Terhadap Kekerasan (Penetrasi) Aspal Penetrasi aspal atau tingkat kekerasan aspal merupakan parameter utama untuk mengklasifikasikan kelas dan kualitas aspal untuk perkerasan jalan. Uji empiris ini merupakan pendekatan utama yang digunakan untuk menentukan ketahanan aspal terhadap deformasi permanen. Proses modifikasi aspal oleh penambahan lateks karet alam dinyatakan berhasil, jika nilai penetrasi aspal modifikasi lebih rendah daripada nilai penetrasi kontrol (aspal pen 60). Nilai penetrasi sampel dapat dilihat pada histogram nilai penetrasi (Gambar 15). Dari Gambar 15 dapat dilihat bahwa penetrasi aspal modifikasi yang dihasilkan berkisar antara 49,33 sampai 61,25 dmm, sedangkan nilai penetrasi kontrol adalah 68,00 dmm. Hal tersebut menunjukkan bahwa penambahan lateks dan campurannya telah berhasil membuat aspal menjadi lebih keras yang ditunjukkan dengan nilai penetrasi aspal modifikasi yang lebih rendah daripada kontrol. Berdasarkan nilai penetrasi pada histogram di atas, terlihat bahwa nilai penetrasi aspal modifikasi yang tertinggi adalah aspal modifikasi pada konsentrasi 3% (karet dalam aspal), yang nilainya berkisar antara 50,50 sampai 61,25 dmm, kemudian nilai penetrasi aspal modifikasi pada konsentrasi 5% berkisar antara 51,45 sampai 59,15 dmm, dan nilai penetrasi yang terendah adalah aspal modifikasi pada konsentrasi 7% dengan kisaran nilai 49,33 sampai 57,45 dmm. Hampir seluruh sampel aspal modifikasi 41

12 memenuhi standar aspal polimer. Tetapi, terdapat dua sampel yang berada di luar standar persyaratan minimum aspal polimer sebesar 50,00 dmm, yaitu sampel dengan kode L7K7 sebesar 49,52 dmm dan L1K7 sebesar 49,33 dmm. Penetrasi (dmm) ( ) L6 L5 L3 L4 L8 L2 L7 L1 Jenis Lateks Kontrol 3% Karet dalam Aspal 5% Karet dalam Aspal 7% Karet dalam Aspal L1 : Lateks Pekat L2 : Lateks Pekat + Bahan pemvulkanisasi L3 : Lateks Pekat + Resin I L4 : Lateks Pekat + Resin II L5 : Lateks Depolimerisasi L6 : Lateks Depolimerisasi + Bahan pemvulkanisasi L7 : Lateks Depolimerisasi + Resin I L8 : Lateks Depolimerisasi + Resin II Gambar 15. Histogram Nilai Penetrasi Sampel padaa Tiap Konsentrasi Berdasarkan hasil analisis keragaman pada tingkatt kepercayaan 95% dan α = 0,05, menunjukkan bahwa perlakuan variasi konsentrasi karet dalam aspal berpengaruh nyata terhadap nilai penetrasi. Hasil uji lanjut Duncan dapat dilihat pada Gambar 16 Dari histogram tersebut, terlihat bahwa nilai penetrasi aspal modifikasi konsentrasi 3% berbeda nyata dengan nilai penetrasi aspal modifikasi konsentrasi 5% dan 7%. Nilai penetrasi aspal modifikasi konsentrasi 5% juga berbeda nyata dengann nilai penetrasi aspal mdifikasi konsentrasi 3% dan 7%. Begitu pula dengan nilai penetrasi aspal modifikasi 7% berbeda nyata dengan nilai penetrasi aspal modifikasi konsentrasi 3% dan 5%. 42

13 58 Penetrasi (dmm) Konsentrasi Karet dalam Aspal (%) 3% Karet dalam Aspal 5% Karet dalam Aspal 7% Karet dalam Aspal Gambar 16. Histogram Signifikansi Penetrasi Berdasarkan ANOVA pada Faktor Konsentrasi Karet Semakin tinggi kadar karet dalam aspal maka semakin rendah nilai penetrasinya. Nilai penetrasi yang rendah menunjukkan tingkat kekerasan aspal tinggi, sedangkan nilai penetrasi yang tinggi menunjukkan tingkat kekerasan aspal rendah. Hal tersebut disebabkan semakin tinggi kadar karet dalam aspal, makaa semakin banyak partikel karet yang memenuhi ruang- tersebut ruang antar partikel aspal. Partikel karet masuk ke dalam ruang-ruang pada saat jarak antar partikel menjadi renggang atau dengan kataa lain pada saat aspal tersebut berwujud cair (dipanaskan). Terdapat dua bentuk fraksi pada aspal, yaitu asphalten (fraksi padat) dan malten (fraksi cair) ). Kadar asphalten dalam aspal sangat menentukan sifat rheologi aspal. Kenaikan kadar asphalten menyebabkan aspal menjadi keras. Adanyaa karet dalam aspal membuat jumlah fraksi padat dalam aspal menjadi bertambah, peningkatan jumlah fraksi padat dalam aspal mengakibatkan aspal menjadi lebih keras (penetrasi aspalnya menjadi rendah). Dengan masuknya karet ke dalam aspal, maka akan menambah jumlah fraksi padat dalam aspal. Oleh karena itu, dengan ditambahkannya lateks ke dalam aspal, maka membuat aspal menjadi semakin keras. Berdasarkan hasil analisis keragaman pada tingkatt kepercayaan 95% dan α = 0,05, menunjukkan bahwa perlakuan variasi jenis lateks berpengaruh nyata terhadap nilai penetrasi. Hasil uji lanjut Duncan dapat dilihat pada Gambar 17. Dari histogram tersebut, terlihat bahwaa nilai penetrasi aspal 43

14 modifikasi L6 berbeda nyata dengan aspal modifikasi L5, L3, L4, L8, L2, L7, dan L1. Nilai penetrasi aspal modifikasi L5 berbeda nyata dengan aspal modifikasi L6, L3, L4, L8, L2, L7, dan L1. Nilai penetrasi aspal modifikasi L3 tidak berbeda nyata dengann aspal modifikasi L4 dan L8, tetapi berbeda nyata dengan aspal modifikasi L6, L5, L2, L7, dan L1. Penetrasi (dmm) L6 L5 L3 L4 L8 Jenis Lateks L2 L7 L1 L1 : Lateks Pekat L2 : Lateks Pekat + Bahan pemvulkanisasi L3 : Lateks Pekat + Resin I L4 : Lateks Pekat + Resin II L5 : Lateks Depolimerisasi L6 : Lateks Depolimerisasi + Bahan pemvulkanisasi L7 : Lateks Depolimerisasi + Resin I L8 : Lateks Depolimerisasi + Resin II Gambar 17. Histogram Signifikansi Penetrasi Berdasarkan ANOVA pada Faktor Jenis Lateks Nilai penetrasi aspal modifikasi L4 tidak berbeda nyata dengan aspal modifikasi L3 dan L8, tetapi berbeda nyataa dengan aspal modifikasi L6, L5, L2, L7, dan L1. Nilai penetrasi aspal modifikasi L8 tidak berbeda nyata dengan aspal modifikasi L3 dan L4, tetapi berbeda nyata dengan aspal modifikasi L6, L5, L2, L7, dan L1. Nilai penetrasi aspal modifikasi L2 berbeda nyata dengan aspal modifikasi L6, L5, L3, L4, L8, L7, dan L1. Nilai penetrasi aspal modifikasi L7 berbeda nyata dengan aspal modifikasi L6, L5, L3, L4, L8, L2, dan L1. Nilai penetrasi aspal modifikasi L1 berbeda nyata dengan aspal modifikasi L6, L5, L3, L4, L8, L2, dan L7. Berdasarkan Gambar 17, terlihat bahwa aspal yang dicampurkan dengan lateks pekat (L1) tanpa bahan tambahan menghasilkan campuran dengan nilai penetrasi terendah (aspal modifikasi yang paling keras), yaitu sebesar 50,42 44

15 dmm. Namun, nilai penetrasi campuran tersebut terlalu dekat dengan batas minimal nilai penetrasi sesuai dengan SNI (50 dmm). Campuran aspal dengan lateks pekat yang ditambahkan bahan pemvulkanisasi (L2) menghasilkan nilai penetrasi sebesar 52,60 dmm, yang lebih tinggi dari L1. Kegunaan bahan pemvulkanisasi adalah untuk membuat karet memiliki sifat elastis karena karet berikatan dengan belerang yang menyebabkan terjadinya proses vulkanisasi. Campuran aspal dengan lateks pekat yang ditambahkan Resin I (L3) menghasilkan nilai penetrasi sebesar 55,82 dmm, yang lebih tinggi dari L1. Resin I merupakan resin yang berasal dari getah pinus. Resin tersebut juga memiliki nama lain, yaitu gondorukem dan siongka. Campuran aspal dengan lateks pekat yang ditambahkan Resin II (L4) menghasilkan nilai penetrasi sebesar 55,60 dmm, yang lebih tinggi dari L1. Resin II adalah resiprene yang merupakan resin hasil siklikasi karet alam. Kegunaan dari kedua resin tersebut dalam aspal adalah membantu meningkatkan kelengketan aspal sebagai binder serta membantu meningkatkan kekerasan aspal (menurunkan nilai penetrasi aspal). Namun, pada campuran L3 dan L4 resin tidak membantu menurunkan nilai penetrasi. Hal ini kemungkinan disebabkan resin tersebut tidak berikatan secara optimal dengan karet dalam lateks pekat yang kurang tercampur secara homogen dalam aspal. Aspal yang dicampurkan dengan lateks depolimerisasi (L5) tanpa bahan tambahan menghasilkan campuran dengan nilai penetrasi 57,25 dmm. Campuran aspal dengan lateks depolimerisasi yang ditambahkan bahan pemvulkanisasi (L6) menghasilkan nilai penetrasi sebesar 59,28 dmm, yang lebih tinggi dari L5. Berdasarkan hasil penelitian, bahan pemvulkanisasi yang ditambahkan, baik ke dalam lateks pekat maupun ke dalam lateks depolimerisasi, dapat meningkatkan nilai penetrasi aspal. Campuran aspal dengan lateks depolimerisasi yang ditambahkan Resin I (L7) menghasilkan nilai penetrasi sebesar 52,60 dmm, yang lebih rendah dari L5. Campuran aspal dengan lateks depolimerisasi yang ditambahkan Resin II (L8) menghasilkan nilai penetrasi sebesar 55,22 dmm, yang lebih rendah dari L5. 45

16 Penetrasi (dmm) Pada campuran L7 dan L8, resin dalam campuran dapat menurunkan nilai penetrasi aspal. Hal ini kemungkinan disebabkan resin dapat berikatan secara optimal dengan lateks depolimerisasi, sehingga resin tersebut bisa tersebar secara merata di dalam aspal. Berdasarkan hasil analisis keragaman pada tingkatt kepercayaan 95% dan α = 0,05, menunjukkan bahwa interaksi antara variasi jenis lateks dan variasi konsentrasi karet dalam aspal berpengaruh nyata terhadap nilaii penetrasi. Hasil uji lanjut Duncan dapat dilihat pada Gambar 18. Dari histogram tersebut, terlihat bahwa nilai penetrasi aspal modifikasi kombinasi L6K3 tidak berbeda nyataa dengan kombinasi L3K3, tetapi berbeda nyata dengan kombinasi lainnya. Aspal kombinasi L3K3 tidak berbeda nyata dengan kombinasi L6K3, L4K3, dan L5K3, tetapi berbeda nyata dengan kombinasi lainnya. Aspal kombinasi L4K3 tidak berbeda nyata dengan aspal kombinasi L3K3, L5K3, dan L6K5, tetapi berbeda nyata dengan aspal kombinasi lainnya. L6K3 L3K3 L4K3 L5K3 L6K5 L6K7 L5K5 L8K3 L7K3 L2K3 L4K5 L8K5 L5K7 L3K5 L8K7 L2K5 L3K7 L2K7 L4K7 L7K5 L1K5 L1K3 L7K7 L1K7 Jenis Lateks Minimal SNI Maksimal SNI Gambar 18. Histogram Signifikansi Penetrasi padaa Faktor Interaksi Aspal kombinasi L5K3 tidak berbeda nyata dengan aspal kombinasi L3K3, L4K3, dan L6K5, tetapi berbeda nyata dengan aspal kombinasi lainnya. Aspal kombinasi L6K5 tidak berbeda nyata dengan aspal kombinasi L4K3 dan L5K3, tetapi berbeda nyata dengan aspal kombinasi lainnya. Aspal kombinasi L6K7 tidak berbeda nyata dengan aspal kombinasi L5K5, L8K3, L7K3, tetapi berbeda nyata dengan aspal kombinasi lainnya. Aspal kombinasi L5K5 tidak berbeda nyata dengan aspal kombinasi L6K7, L8K3, L7K3, tetapi 46

17 berbeda nyata dengan aspal kombinasi lainnya. Aspal kombinasi L8K3 tidak berbeda nyata dengan aspal kombinasi L5K5, L6K7, L7K3, tetapi berbeda nyata dengan aspal kombinasi lainnya. Aspal kombinasi L7K3 tidak berbeda nyata dengan aspal kombinasi L5K5, L8K3, L6K7, tetapi berbeda nyata dengan aspal kombinasi lainnya. Aspal kombinasi L2K3 tidak berbeda nyata dengan aspal kombinasi L4K5, L8K5, L5K7, dan L3K5, tetapi berbeda nyata dengan aspal kombinasi lainnya. Aspal kombinasi L4K5 tidak berbeda nyata dengan aspal kombinasi L2K3, L8K5, L5K7, L3K5, dan L8K7, tetapi berbeda nyata dengan aspal kombinasi lainnya. Aspal kombinasi L8K5 tidak berbeda nyata dengan aspal kombinasi L2K3, L4K5, L5K7, L3K5, dan L8K7, tetapi berbeda nyata dengan aspal kombinasi lainnya. Aspal kombinasi L5K7 tidak berbeda nyata dengan aspal kombinasi L2K3, L4K5, L8K5, L3K5, L8K7, dan L2K5, tetapi berbeda nyata dengan aspal kombinasi lainnya. Aspal kombinasi L3K5 tidak berbeda nyata dengan aspal kombinasi L2K3, L4K5, L8K5, L5K7, L8K7, dan L2K5, tetapi berbeda nyata dengan aspal kombinasi lainnya. Aspal kombinasi L8K7 tidak berbeda nyata dengan aspal kombinasi L4K5, L8K5, L5K7, L3K5, dan L2K5, tetapi berbeda nyata dengan aspal kombinasi lainnya. Aspal kombinasi L2K5 tidak berbeda nyata dengan aspal kombinasi L5K7, L3K5, dan L8K7, tetapi berbeda nyata dengan aspal kombinasi lainnya. Aspal kombinasi L3K7 tidak berbeda nyata dengan aspal kombinasi L2K7, L4K7, L7K5, dan L1K5, tetapi berbeda nyata dengan aspal kombinasi lainnya. Aspal kombinasi L2K7 tidak berbeda nyata dengan aspal kombinasi L3K7, L4K7, L7K5, dan L1K5, tetapi berbeda nyata dengan aspal kombinasi lainnya. Aspal kombinasi L4K7 tidak berbeda nyata dengan aspal kombinasi L3K7, L2K7, L7K5, dan L1K5, tetapi berbeda nyata dengan aspal kombinasi lainnya. Aspal kombinasi L7K5 tidak berbeda nyata dengan aspal kombinasi L3K7, L2K7, L4K7, L1K5, dan L1K3, tetapi berbeda nyata dengan aspal kombinasi lainnya. Aspal kombinasi L1K5 tidak berbeda nyata dengan aspal kombinasi L3K7, L2K7, L4K7, L7K5, dan L1K3, tetapi berbeda nyata dengan aspal kombinasi lainnya. Aspal kombinasi L1K3 tidak berbeda nyata dengan aspal kombinasi L7K5, L1K5, dan L7K7, tetapi berbeda nyata dengan 47

18 aspal kombinasi lainnya. Aspal kombinasi L7K7 tidak berbeda nyata dengan aspal kombinasi L1K3 dan L1K7, tetapi berbeda nyata dengan aspal kombinasi lainnya. Aspal kombinasi L1K7 tidak berbeda nyata dengan aspal kombinasi L7K7, tetapi berbeda nyata dengan aspal kombinasi lainnya. Hampir seluruh jenis kombinasi variasi jenis lateks dan variasi konsentrasi karet dalam aspal memenuhi standar yang ada untuk aspal polimer jenis elastomer. Standar untuk aspal polimer menyebutkan bahwa nilai penetrasi minimal agar aspal modifikasi masuk memenuhi standar adalah 50,00, sedangkan nilai maksimal penetrasi agar aspal modifikasi memenuhi standar adalah 75,00. Namun, ada dua jenis kombinasi aspal yang berada di luar range standar, yaitu sampel dengan kombinasi L7K7 dengan nilai penetrasi 49,52 dan L1K7 dengan nilai penetrasi 49,33. Hal tersebut diakibatkan oleh banyaknya fraksi padat (asphalten dan karet) dalam aspal, sehingga aspal modifikasi yang dihasilkan memiliki nilai penetrasi yang rendah dan berarti bahwa aspal modifikasi tersebut terlalu keras untuk digunakan sebagai bahan perkerasan jalan. D. Pengaruh Lateks Terhadap Titik Lembek Aspal Titik lembek aspal atau titik leleh aspal aspal merupakan parameter utama untuk mengklasifikasikan kelas dan kualitas aspal untuk perkerasan jalan. Uji empiris ini merupakan pendekatan utama selain penetrasi aspal yang digunakan untuk menentukan ketahanan aspal terhadap deformasi permanen. Proses modifikasi aspal oleh penambahan lateks karet alam dinyatakan berhasil jika nilai titik lembek aspal modifikasi lebih tinggi daripada nilai titik lembek kontrol (aspal pen 60). Nilai titik lembek sampel dapat dilihat pada histogram nilai penetrasi (Gambar 19). Dari Gambar 19 dapat dilihat bahwa titik lembek aspal modifikasi yang dihasilkan berkisar antara 56,11 sampai 65,27 ( o C), sedangkan nilai titik lembek kontrol adalah 46,50 (dmm). Hal tersebut menunjukkan bahwa penambahan lateks dan campurannya telah berhasil meningkatkan titik lembek yang ditunjukkan dengan nilai titik lembek aspal modifikasi yang lebih tinggi daripada kontrol. Berdasarkan nilai titik lembek pada histogram 48

19 di atas, terlihat bahwa nilai titik lembek aspal modifikasi yang tertinggi adalah aspal modifikasi pada konsentrasi 7% (karet dalam aspal), yang nilainyaa berkisar antara 58,62 sampai 65,27, kemudian nilai titik lembek aspal modifikasi pada konsentrasi 5% berkisar antara 57,94 sampai 60,94, dan nilai titik lembek yang terendah adalah aspal modifikasi pada konsentrasi 3% dengan kisaran nilaii 56,11 sampai 58,00. Titik Lembek ( o C) L1 L3 L7 L5 L4 L8 L6 L2 Jenis Lateks Kontrol 3% Karet dalam Aspal 5% Karet dalam Aspal 7% Karet dalam Aspal L1 : Lateks Pekat L2 : Lateks Pekat + Bahan pemvulkanisasi L3 : Lateks Pekat + Resin I L4 : Lateks Pekat + Resin III L5 : Lateks Depolimerisasi L6 : Lateks Depolimerisasi + Bahan pemvulkanisasi L7 : Lateks Depolimerisasi + Resin I L8 : Lateks Depolimerisasi + Resin II Gambar 19. Histogram Nilai Titik Lembek Sampel pada Tiap Konsentrasi Berdasarkan hasil analisis keragaman pada tingkatt kepercayaan 95% dan α = 0,05, menunjukkan bahwa perlakuan variasi konsentrasi karet dalam aspal berpengaruh nyata terhadap nilai titik lembek. Hasil uji lanjut Duncan dapat dilihat pada Gambar 20. Dari histogram tersebut, terlihat bahwa nilai titik lembek aspal modifikasi konsentrasi 3% berbeda nyata dengann nilai titik lembek aspal modifikasi konsentrasi 5% dan 7%. Nilai titik lembek aspal modifikasi konsentrasi 5% juga berbeda nyata dengan nilai titik lembek aspal mdifikasi konsentrasi 3% dan 7%. Begitu pula dengan nilai titik lembek aspal modifikasi 7% berbeda nyata dengan nilai titik lembek aspal modifikasi konsentrasi 3% dan 5%. 49

20 64 Titik Lembek ( o C) Konsentrasi Karet dalam Aspal (%) 7% Karet dalam Aspal 5% Karet dalam Aspal 3% Karet dalam Aspal Gambar 20. Histogram Signifikansi Titik Lembek Berdasarkan ANOVA pada Faktor Konsentrasi Semakin tinggii kadar karet dalam aspal maka semakin tinggi nilai titik lembeknya. Hal tersebut disebabkan semakin tinggi kadar karet dalam aspal, maka semakin banyak partikel karet yang memenuhi ruang-ruang antar partikel aspal. Aspal memiliki titik lunak yang lebih rendah daripada karet, jadi aspal lebih mudah melunak bila dibandingkan dengan karet. Apabila partikel karet terkandung dalam aspal, maka usaha untuk membuat aspal modifikasi menjadi lunak lebih sulit bila dibandingkan dengan aspal biasa. Ada suatu hubungan yang berbanding terbalik antara nilai penetrasi dengan nilai titik lembek. Apabila nilai penetrasi aspal menurun, makaa nilai titik lembek meningkat. Sebaliknya, apabila nilai penetrasi meningkat, maka nilai titik lembek menurun. Berdasarkan hasil analisis keragaman pada tingkatt kepercayaan 95% dan α = 0,05, menunjukkan bahwa perlakuan variasi jenis lateks berpengaruh nyata terhadap nilai titik lembek. Hasil uji lanjut Duncan dapat dilihat pada Gambar 21. Dari histogram tersebut, terlihat bahwa nilai titik lembek aspal modifikasi L1 tidak berbeda nyata dengann L3 dan L7, tetapi berbeda nyata dengan aspal modifikasi L5, L4, L8, L6, dan L2. Nilai titik lembek aspal modifikasi L3 tidak berbeda nyata dengann L1 dan L7, tetapi berbeda nyata dengan aspal modifikasi L5, L4, L8, L6, dan L2. Nilai titik lembek aspal modifikasi L7 tidak berbeda nyata dengann aspal modifikasi L1, L3, L5, L4, dan L8, tetapi berbeda nyata dengan aspal modifikasi L6 dan L2. 50

21 Titik Lembek ( o C) L1 L3 L7 L5 L4 L8 L6 L2 Jenis Lateks L1 : Lateks Pekat L2 : Lateks Pekat + Bahan pemvulkanisasi L3 : Lateks Pekat + Resin I L4 : Lateks Pekat + Resin II L5 : Lateks Depolimerisasi L6 : Lateks Depolimerisasi + Bahan pemvulkanisasi L7 : Lateks Depolimerisasi + Resin I L8 : Lateks Depolimerisasi + Resin II Gambar 21. Histogram Signifikansi Titik Lembek Berdasarkan ANOVA pada Faktor Jenis Lateks Nilai titik lembek aspal modifikasi L5 tidak berbeda nyata dengan aspal modifikasi L7, L4, dan L8, tetapi berbeda nyata dengan aspal modifikasi L1, L3, L6, dan L2. Nilai titik lembek aspal modifikasi L4 tidak berbeda nyata dengan aspal modifikasi L7, L5, dan L8, tetapi berbeda nyata dengan aspal modifikasi L1, L3, L6 dan L2. Nilai titik lembek aspal modifikasi L8 tidak berbeda nyata dengan L7, L5, dan L4, tetapi berbeda nyata dengan aspal modifikasi L1, L3, L6, dan L2. Nilai titik lembek aspal modifikasi L6 tidak berbeda nyata dengan L2, tetapi berbeda nyata dengann aspal modifikasi L1, L3, L7, L5, L4, dan L8. Nilai titik lembek aspal modifikasi L2 tidak berbeda nyata dengan L6, tetapi berbeda nyata dengan aspal modifikasi L1, L3, L7, L5, L4, dan L8. Berdasarkan Gambar 21, terlihat bahwa aspal yang dicampurkan dengan lateks pekat (L1) tanpa bahan tambahan menghasilkan campuran dengan nilai titik lembek tertinggi, yaitu sebesar 61,40 o C. Campuran aspal dengan lateks pekat yang ditambahkan bahan pemvulkanisasi (L2) menghasilkann nilai titik lembek sebesar 57,52 o C. Campuran aspal dengan lateks pekat yang ditambahkan Resin I (L3) menghasilkan nilai titik lembek sebesar 61, 34 o C. 51

22 Campuran aspal dengan lateks pekat yang ditambahkan Resin II (L4) menghasilkan nilai titik lembek sebesar 59,97 o C. Campuran aspal dengan lateks depolimerisasi tanpa bahantambahan (L5) menghasilkan nilai titik lembek sebesar 60,06 o C. Campuran aspal dengan lateks depolimerisasi yang ditambahkan bahan pemvulkanisasi (L6) menghasilkan nilai titik lembek sebesar 58,34 o C. Campuran aspal dengan lateks depolimerisasi yang ditambahkan Resin I (L7) menghasilkan nilai titik lembek sebesar 60,40 o C. Campuran aspal dengan lateks depolimerisasi yang ditambahkan Resin II (L8) menghasilkan nilai titik lembek sebesar 58,35 o C. Berdasarkan hasil penelitian, penambahan bahan pemvulkanisasi, baik pada lateks pekat maupun lateks depolimerisasi dapat menurunkan titik lembek aspal. Penambahan resin ke dalam campuran tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap kenaikan titik lembek aspal, bahkan cenderung menurunkan nilai titik lembek aspal. Berdasarkan hasil analisis keragaman pada tingkat kepercayaan 95% dan α = 0,05, menunjukkan bahwa interaksi antara variasi jenis lateks dan variasi konsentrasi karet dalam aspal berpengaruh nyata terhadap nilai titik lembek. Hasil uji lanjut Duncan dapat dilihat pada Gambar 22. Dari histogram tersebut terlihat bahwa nilai titik lembek aspal kombinasi L1K7 tidak berbeda nyata dengan aspal kombinasi L3K7 dan L3K5, tetapi berbeda nyata dengan aspal kombinasi lainnya. Aspal kombinasi L3K7 tidak berbeda nyata dengan aspal kombinasi L1K7, L3K5, dan L4K7, tetapi berbeda nyata dengan aspal kombinasi lainnya. Aspal kombinasi L3K5 tidak berbeda nyata dengan aspal kombinasi L1K7, L3K7, L4K7, L8K7, L7K7, dan L5K7, tetapi berbeda nyata dengan aspal kombinasi lainnya. 52

23 Titik Lembek ( o C) L1K7 L3K7 L3K5 L4K7 L8K7 L7K7 L5K7 L1K5 L5K5 L4K5 L7K5 L6K7 L8K5 L6K3 L2K7 L7K3 L1K3 L2K5 L5K3 L2K3 L4K3 L6K5 L8K3 L3K3 Jenis Lateks Minimal SNI Gambar 22. Histogram Signifikansi Titik Lembek pada Faktor Interaksi Aspal kombinasi L4K7 tidak berbeda nyata dengan aspal kombinasi L3K5, L3K7, L4K7, L8K7, L7K7, dan L5K7, tetapi berbeda nyata dengan aspal kombinasi lainnya. Aspal kombinasi L8K7 tidak berbeda nyata dengan aspal kombinasi L3K5, L4K7, L7K7, dan L5K7, tetapi berbeda nyata dengan aspal kombinasi lainnya. Aspal kombinasi L7K7 tidak berbeda nyata dengan aspal kombinasi L3K5, L4K7, L8K7, L5K7, dan L1K5, tetapi berbeda nyata dengan aspal kombinasi lainnya. Aspal kombinasi L5K7 tidak berbeda nyata dengan L3K5, L4K7, L8K7, L7K7, L1K5, L5K5, dan L4K5, tetapi berbeda nyata dengan aspal kombinasi lainnya. Aspal kombinasi L1K5 tidak berbeda nyata dengann L7K7, L5K7, L5K5, L4K5, L7K5, L6K7, dan L8K5, tetapi berbeda nyata dengan aspal kombinasi lainnya. Aspal kmombinasi L5K5 tidak berbeda nyata dengan aspal kombinasi L5K7, L1K5, L4K5, L7K5, L6K7, L8K5, L6K3, dan L2K7, tetapi berbeda nyata dengan aspal kombinasi lainnya. Aspal kombinasi L4K5 tidak berbeda nyata dengan aspal kombinasi L5K7, L1K5, L5K5, L7K5, L6K7, L8K5, L6K3, dan L2K7, tetapi berbeda nyata dengan aspal kombinasi lainnya. Aspal kombinasi L7K5 tidak berbeda nyata dengan aspal kombinasi L1K5, L4K5, L5K5, L6K7, L8K5, L6K3, L2K7, dan L7K3, tetapi berbeda nyata dengan aspal kombinasi lainnya. Aspal kombinasi L6K7 tidak berbeda nyata dengan aspal kombinasii L1K5, L4K5, L5K5, L7K5, L8K5, L6K3, L2K7, dan L7K3, tetapi berbeda nyata dengan aspal kombinasi lainnya. Aspal 53

24 kombinasi L8K5 tidak berbeda nyata dengan aspal kombinasi L1K5, L4K5, L5K5, L6K7, L7K5, L6K7, L6K3, L2K7, dan L7K3, tetapi berbeda nyata dengan aspal kombinasi lainnya. Aspal kombinasi L6K3 tidak berbeda nyata dengan aspal kombinasi L5K5, L4K5, L6K7, L7K5, L6K7, L6K3, L8K5, L2K7, L7K3, L1K3, L2K5, dan L5K3, tetapi berbeda nyata dengan aspal kombinasi lainnya. Aspal kombinasi L2K7 tidak berbeda nyata dengan aspal kombinasi L5K5, L4K5, L6K7, L7K5, L6K7, L6K3, L8K5, L7K3, L1K3, L2K5, dan L5K3, tetapi berbeda nyata dengan aspal kombinasi lainnya. Aspal kombinasi L7K3 tidak berbeda nyata dengan aspal kombinasi L7K5, L6K7, L6K3, L8K5, L2K7, L1K3, L2K5, dan L5K3, tetapi berbeda nyata dengan aspal kombinasi lainnya. Aspal kombinasi L1K3 tidak berbeda nyata dengan aspal kombinasi L6K3, L2K7, L7K3, L2K5, L5K3, L2K3, L4K3, dan L6K5, tetapi berbeda nyata dengan aspal kombinasi lainnya. Aspal kombinasi L2K5 tidak berbeda nyata dengan aspal kombinasi L6K3, L2K7, L7K3, L1K3, L5K3, L2K3, L4K3, dan L6K5, tetapi berbeda nyata dengan aspal kombinasi lainnya. Aspal kombinasi L5K3 tidak berbeda nyata dengan aspal kombinasi L6K3, L2K7, L7K3, L1K3, L2K5, L2K3, L4K3, L6K5, L8K3, dan L3K3, tetapi berbeda nyata dengan aspal kombinasi lainnya. Aspal kombinasi L2K3 tidak berbeda nyata dengan aspal kombinasi L1K3, L2K5, L5K3, L4K3, L6K5, L8K3, dan L3K3, tetapi berbeda nyata dengan aspal kombinasi lainnya. Aspal kombinasi L4K3 tidak berbeda nyata dengan aspal kombinasi L1K3, L2K5, L5K3, L2K3, L6K5, L8K3, dan L3K3, tetapi berbeda nyata dengan aspal kombinasi lainnya. Aspal kombinasi L6K5 tidak berbeda nyata dengan aspal kombinasi L1K3, L2K5, L5K3, L2K3, L4K3, L8K3, dan L3K3, tetapi berbeda nyata dengan aspal kombinasi lainnya. Aspal kombinasi L8K3 tidak berbeda nyata dengan aspal kombinasi L5K3, L2K3, L4K3, L6K5, dan L3K3, tetapi berbeda nyata dengan aspal kombinasi lainnya. Aspal kombinasi L3K3 tidak berbeda nyata dengan aspal kombinasi L5K3, L2K3, L4K3, L6K5, dan L8K3, tetapi berbeda nyata dengan aspal kombinasi lainnya. 54

25 Seluruh jenis kombinasi variasi jenis lateks dan variasi konsentrasi karet dalam aspal memenuhi standar yang ada untuk aspal polimer jenis elastomer. Standar untuk aspal polimer menyebutkan bahwa nilai titik lembek minimal agar aspal modifikasi masuk memenuhi standar adalah 54,00. Jadi, aspal yang dimodifikasi dengan variasi jenis lateks dan konsentrasi karet dalam aspal bisa dikatakan telah memenuhi standar. Penetrasi dan titik lembek merupakan parameter yang paling penting dalam menentukan mutu suatu aspal. Kedua parameter tersebut merupakan dasar untuk menentukan kelayakan suatu aspal untuk digunakan sebagai bahan perkerasan jalan. Aspal yang tidak memenuhi persyaratan kedua parameter tersebut berarti tidak layak untuk dijadikan bahan perkerasan jalan. Oleh karena itu, kedua parameter tersebut cukup mewakili untuk menentukan kelayakan dan mutu aspal. Perlakuan yang terbaik pada penelitian ini adalah perlakuan L5K5 (Lateks Depolimerisasi, Konsentrasi 5%), aspal modifikasi dari perlakuan tersebut memiliki penetrasi sebesar 57,40 dmm dan titik lembek sebesar 60,65 o C. Penentuan sampel yang terbaik didasarkan pada tiga kriteria, yaitu niali penetrasi, nilai titik lembek dan homogenitas campuran aspal dengan lateks. Sampel L5K5 tersebut memiliki nilai penetrasi yang berada di antara batas minimal dan batas maksimal nilai penetrasi aspal berdasarkan SNI. Sampel L5K5 memiliki titik lembek di atas batas maksimal nilai titik lembek berdasarkan SNI. Selain itu, parameter yang juga menentukan sampel L5K5 menjadi yang terbaik adalah homogenitas campurannya yang baik. Campuran tersebut homogen berdasarkan pengujian secara visual dan penampakannya mirip dengan aspal tanpa campuran. 55

Tabel 3. Hasil uji karakteristik SIR 20

Tabel 3. Hasil uji karakteristik SIR 20 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISTIK BAHAN BAKU 1. Karakteristik SIR 20 Karet spesifikasi teknis yang digunakan dalam penelitian ini adalah SIR 20 (Standard Indonesian Rubber 20). Penggunaan SIR 20

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE A. Bahan Dan Alat 1. Bahan Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah lateks pekat perdagangan KKK 60%. Bahan-bahan lain yang berfungsi sebagai bahan pembantu dalam penelitian

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Karakterisasi Bahan Baku Karet Crepe

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Karakterisasi Bahan Baku Karet Crepe IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakterisasi Bahan Baku 4.1.2 Karet Crepe Lateks kebun yang digunakan berasal dari kebun percobaan Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Ciomas-Bogor. Lateks kebun merupakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan produsen karet alam nomor dua di dunia setelah Thailand. Produksi karet alam Indonesia tahun 2007 mencapai 2,55 juta ton dengan luas lahan perkebunan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI 3.1 Bahan dan Alat 3.2 Waktu dan Tempat Penelitian 3.3 Metode Penelitian

III. METODOLOGI 3.1 Bahan dan Alat 3.2 Waktu dan Tempat Penelitian 3.3 Metode Penelitian III. METODOLOGI 3.1 Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah lateks pekat, lateks karbohidrat rendah (Double Centrifuge latex/lds), lateks DPNR (Deproteinized Natural Rubber),

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. KARET ALAM DAN KARET ALAM PADAT (SIR 20) Karet alam adalah senyawa hidrokarbon yang dihasilkan melalui penggumpalan getah dari hasil penyadapan tanaman tertentu. Getah tersebut

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT B. TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN

METODE PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT B. TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT 1. Bahan Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: SIR (Standard Indonesian Rubber) 20, Aspal Pen 60 yang berasal dari Dinas Pekerjaan Umum Binamarga,

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 14 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Pembuatan glukosamin hidroklorida (GlcN HCl) pada penelitian ini dilakukan melalui proses hidrolisis pada autoklaf bertekanan 1 atm. Berbeda dengan proses hidrolisis glukosamin

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN MESA off grade merupakan hasil samping dari proses sulfonasi MES yang memiliki nilai IFT lebih besar dari 1-4, sehingga tidak dapat digunakan untuk proses Enhanced Oil Recovery

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. dicatat volume pemakaian larutan baku feroamonium sulfat. Pembuatan reagen dan perhitungan dapat dilihat pada lampiran 17.

HASIL DAN PEMBAHASAN. dicatat volume pemakaian larutan baku feroamonium sulfat. Pembuatan reagen dan perhitungan dapat dilihat pada lampiran 17. Tegangan Permukaan (dyne/cm) Tegangan permukaan (dyne/cm) 6 dihilangkan airnya dengan Na 2 SO 4 anhidrat lalu disaring. Ekstrak yang diperoleh kemudian dipekatkan dengan radas uap putar hingga kering.

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN. Adapun alat alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

BAB 3 METODE PENELITIAN. Adapun alat alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 30 BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1. Alat dan Bahan 3.1.1. Alat Adapun alat alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah : Beaker glass 250 ml Blender Cawan platina Gelas ukur 200 ml Gunting Kertas saring

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Lateks Lateks merupakan cairan yang berwarna putih atau putih kekuningkuningan, yang terdiri atas partikel karet dan bukan karet yang terdispersi di dalam air (Triwijoso dan Siswantoro,1989).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sejumlah kecil bagian bukan karet, seperti lemak, glikolipid, fosfolid, protein,

BAB I PENDAHULUAN. sejumlah kecil bagian bukan karet, seperti lemak, glikolipid, fosfolid, protein, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lateks alam adalah subtansi yang diperoleh dari getah karet (Hevea Brasilliensis). Lateks alam tersusun dari hidrokarbon dan mengandung sejumlah kecil bagian bukan

Lebih terperinci

BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1 Pengaruh Variabel Terhadap Warna Minyak Biji Nyamplung Tabel 9. Tabel hasil analisa warna minyak biji nyamplung Variabel Suhu (C o ) Warna 1 60 Hijau gelap 2 60 Hijau gelap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lateks pekat sebagai bahan utama pada penelitian ini tetap berada dalam bentuk emulsi sebelum diolah menjadi bahan baku pada industri. Biasanya lateks pekat banyak

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 KARAKTERISASI LIMBAH MINYAK Sebelum ditambahkan demulsifier ke dalam larutan sampel bahan baku, terlebih dulu dibuat blanko dari sampel yang diujikan (oli bekas dan minyak

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Onggok Sebelum Pretreatment Onggok yang digunakan dalam penelitian ini, didapatkan langsung dari pabrik tepung tapioka di daerah Tanah Baru, kota Bogor. Onggok

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. peningkatan devisa Indonesia. Pada dasarnya karet berasal dari alam yaitu dari getah

BAB 1 PENDAHULUAN. peningkatan devisa Indonesia. Pada dasarnya karet berasal dari alam yaitu dari getah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Negara Indonesia merupakan salah satu negara penghasil karet alam terbesar di dunia. Awal mulanya karet hanya ada di Amerika Selatan, namun sekarang sudah berhasil

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 21 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Polimer Emulsi 2.1.1 Definisi Polimer Emulsi Polimer emulsi adalah polimerisasi adisi terinisiasi radikal bebas dimana suatu monomer atau campuran monomer dipolimerisasikan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorium dengan A. PENENTUAN FORMULA LIPSTIK

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorium dengan A. PENENTUAN FORMULA LIPSTIK BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorium dengan membuat sediaan lipstik dengan perbandingan basis lemak cokelat dan minyak jarak yaitu 60:40 dan 70:30

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Surfaktan merupakan suatu molekul yang sekaligus memiliki gugus hidrofilik dan gugus lipofilik sehingga dapat mempersatukan campuran yang terdiri dari air dan minyak.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENENTUAN JENIS BAHAN PENGENTAL

HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENENTUAN JENIS BAHAN PENGENTAL IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENENTUAN JENIS BAHAN PENGENTAL Pada awal penelitian ini, telah diuji coba beberapa jenis bahan pengental yang biasa digunakan dalam makanan untuk diaplikasikan ke dalam pembuatan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian Tahap Satu

HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian Tahap Satu HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian Tahap Satu Penentuan Formula Pembuatan Sabun Transparan Penelitian tahap satu merupakan tahap pemilihan formula pembuatan sabun trasnparan. Hasil penelitian tahap satu ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Lateks karet alam didapat dari pohon Hevea Brasiliensis yang berasal dari famili Euphorbia ceae ditemukan dikawasan tropikal Amazon, Amerika Selatan. Lateks karet

Lebih terperinci

PEMBAHASAN 4.1. Pengaruh Kombinasi Protein Koro Benguk dan Karagenan Terhadap Karakteristik Mekanik (Kuat Tarik dan Pemanjangan)

PEMBAHASAN 4.1. Pengaruh Kombinasi Protein Koro Benguk dan Karagenan Terhadap Karakteristik Mekanik (Kuat Tarik dan Pemanjangan) 4. PEMBAHASAN 4.1. Pengaruh Kombinasi Protein Koro Benguk dan Karagenan Terhadap Karakteristik Mekanik (Kuat Tarik dan Pemanjangan) Karakteristik mekanik yang dimaksud adalah kuat tarik dan pemanjangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karet alam merupakan cairan getah dari tumbuhan Hevea brasiliensis

BAB I PENDAHULUAN. Karet alam merupakan cairan getah dari tumbuhan Hevea brasiliensis BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karet alam merupakan cairan getah dari tumbuhan Hevea brasiliensis merupakan polimer alam dengan monomer isoprena. Karet alam memiliki ikatan ganda dalam konfigurasi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 KARAKTERISASI MINYAK Sabun merupakan hasil reaksi penyabunan antara asam lemak dan NaOH. Asam lemak yang digunakan untuk membuat sabun transparan berasal dari tiga jenis minyak,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 KOMPOSISI SAMPEL PENGUJIAN Pada penelitian ini, komposisi sampel pengujian dibagi dalam 5 grup. Pada Tabel 4.1 di bawah ini tertera kode sampel pengujian untuk tiap grup

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Aspal adalah material perekat berwarna coklat kehitam hitaman sampai hitam dengan unsur utama bitumen. Aspal merupakan senyawa yang kompleks, bahan utamanya disusun

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Polistirena bekas merupakan bahan polimer sintetis yang banyak digunakan terutama yang dalam bentuk stereoform, polistirena sendiri tidak dapat dengan mudah direcycle

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. dijadikan tanaman perkebunan secara besaar besaran, karet memiliki sejarah yang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. dijadikan tanaman perkebunan secara besaar besaran, karet memiliki sejarah yang BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sejarah Karet Sejak pertama kali ditemukan sebagai tanaman yang tumbuh secara liar sampai dijadikan tanaman perkebunan secara besaar besaran, karet memiliki sejarah yang cukup

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Pengujian Agregat Penelitian ini menggunakan agregat kasar, agregat halus, dan filler dari Clereng, Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta. Hasil pengujian agregat ditunjukkan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA A. KARET

II. TINJAUAN PUSTAKA A. KARET II. TINJAUAN PUSTAKA A. KARET Partikel karet adalah butiran polimer karet yang diselubungi suatu lapisan yang terdiri protein dan lipid (lemak). Karet merupakan hidrokarbon poli isoprena, yaitu suatu polimer

Lebih terperinci

OPTIMASI KADAR HIDROGEN PEROKSIDA DAN FERO SULFAT

OPTIMASI KADAR HIDROGEN PEROKSIDA DAN FERO SULFAT VI. OPTIMASI KADAR HIDROGEN PEROKSIDA DAN FERO SULFAT Pendahuluan Penelitian pada tahapan ini didisain untuk mengevaluasi sifat-sifat papan partikel tanpa perekat yang sebelumnya diberi perlakuan oksidasi.

Lebih terperinci

Aspal merupakan bahan perkerasan untuk jalan raya. Tentu "penghuni" jurusan Teknik Sipil mengenalnya. Mari kita bahas bersama mengenai aspal.

Aspal merupakan bahan perkerasan untuk jalan raya. Tentu penghuni jurusan Teknik Sipil mengenalnya. Mari kita bahas bersama mengenai aspal. Pengertian Aspal Aspal merupakan bahan perkerasan untuk jalan raya. Tentu "penghuni" jurusan Teknik Sipil mengenalnya. Mari kita bahas bersama mengenai aspal. Pengertian Aspal adalah bahan yang bersifat

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Hasil Pengujian Agregat. Hasil pengujian agregat ditunjukkan dalam Tabel 5.1.

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Hasil Pengujian Agregat. Hasil pengujian agregat ditunjukkan dalam Tabel 5.1. BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Pengujian Agregat Hasil pengujian agregat ditunjukkan dalam Tabel 5.1. Tabel 5.1 Hasil pengujian agregat kasar dan halus No Jenis Pengujian Satuan Hasil Spesifikasi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENELITIAN PENDAHULUAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mengetahui kadar proksimat dari umbi talas yang belum mengalami perlakuan. Pada penelitian ini talas yang digunakan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Laboratorium Peternakan Universiatas Muhammadiyah Malang dan Laboratorium

III. METODOLOGI PENELITIAN. Laboratorium Peternakan Universiatas Muhammadiyah Malang dan Laboratorium III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian telah dilaksanakan pada bulan April - Mei 2016 bertempat di Laboratorium Peternakan Universiatas Muhammadiyah Malang dan Laboratorium Pengujian

Lebih terperinci

PEMBAHASAN. I. Definisi

PEMBAHASAN. I. Definisi PEMBAHASAN I. Definisi Gel menurut Farmakope Indonesia Edisi IV (1995), merupakan sistem semi padat, terdiri dari suspensi yang dibuat dari partikel anorganik yang kecil atau molekul organik yang besar,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Tanaman Karet. 2.2 Lateks

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Tanaman Karet. 2.2 Lateks II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Karet Karet alam dapat diperoleh dari tanaman Hevea brasiliensis yang menghasilkan getah berupa cairan berwarna putih ketika permukaan kulit pohonnya disadap. Tanaman yang

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Karakterisasi Minyak Jarak. B. Pembuatan Faktis Gelap

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Karakterisasi Minyak Jarak. B. Pembuatan Faktis Gelap IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakterisasi Minyak Jarak Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mengetahui karakteristik minyak jarak yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan faktis gelap. Karakterisasi

Lebih terperinci

SIFAT SIFAT FISIK ASPAL

SIFAT SIFAT FISIK ASPAL Oleh : Unggul Tri Wardana (20130110102) Dea Putri Arifah (20130110103) Muhammad Furqan (20130110107) Wahyu Dwi Haryanti (20130110124) Elsa Diana Rahmawati (20130110128) Bitumen adalah zat perekat (cementitious)

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengujian kali ini adalah penetapan kadar air dan protein dengan bahan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengujian kali ini adalah penetapan kadar air dan protein dengan bahan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Pengujian kali ini adalah penetapan kadar air dan protein dengan bahan yang digunakan Kerupuk Udang. Pengujian ini adalah bertujuan untuk mengetahui kadar air dan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISTIK METIL ESTER SULFONAT (MES) Pada penelitian ini surfaktan MES yang dihasilkan berfungsi sebagai bahan aktif untuk pembuatan deterjen cair. MES yang dihasilkan merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kandungan isoprene yang berikatan dengan konfigurasi cis 1,4. Isoprene tersusun

BAB I PENDAHULUAN. kandungan isoprene yang berikatan dengan konfigurasi cis 1,4. Isoprene tersusun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karet alam Hevea brasiliensis merupakan suatu polimer alam yang memiliki kandungan isoprene yang berikatan dengan konfigurasi cis 1,4. Isoprene tersusun oleh banyak

Lebih terperinci

4 Pembahasan Degumming

4 Pembahasan Degumming 4 Pembahasan Proses pengolahan biodiesel dari biji nyamplung hampir sama dengan pengolahan biodiesel dari minyak sawit, jarak pagar, dan jarak kepyar. Tetapi karena biji nyamplung mengandung zat ekstraktif

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Hasil Uji Pembedaan Segitiga Ikan Teri (Stolephorus sp.) Kering

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Hasil Uji Pembedaan Segitiga Ikan Teri (Stolephorus sp.) Kering BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Uji Pembedaan Segitiga Ikan Teri (Stolephorus sp.) Kering Uji pembedaan segitiga dilakukan untuk melihat perbedaan ikan teri hasil perlakuan dengan ikan teri komersial.

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pengaruh Perlakuan Terhadap Sifat Fisik Buah Pala Di Indonesia buah pala pada umumnya diolah menjadi manisan dan minyak pala. Dalam perkembangannya, penanganan pascapanen diarahkan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL 1. Pembuatan sediaan losio minyak buah merah a. Perhitungan HLB butuh minyak buah merah HLB butuh minyak buah merah yang digunakan adalah 17,34. Cara perhitungan HLB

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. membentuk konsistensi setengah padat dan nyaman digunakan saat

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. membentuk konsistensi setengah padat dan nyaman digunakan saat BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL 1. Evaluasi Krim Hasil evaluasi krim diperoleh sifat krim yang lembut, mudah menyebar, membentuk konsistensi setengah padat dan nyaman digunakan saat dioleskan pada

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakterisasi awal blotong dan sludge pada penelitian pendahuluan menghasilkan komponen yang dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Karakteristik blotong dan sludge yang digunakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lateks adalah cairan koloid yang berwarna putih susu yang diperoleh dari pohon karet (Havea Brasiliensis) dengan partikel-partikel karet terdispersi air. Lateks dikenal

Lebih terperinci

Struktur Aldehid. Tatanama Aldehida. a. IUPAC Nama aldehida dinerikan dengan mengganti akhiran a pada nama alkana dengan al.

Struktur Aldehid. Tatanama Aldehida. a. IUPAC Nama aldehida dinerikan dengan mengganti akhiran a pada nama alkana dengan al. Kamu tentunya pernah menyaksikan berita tentang penyalah gunaan formalin. Formalin merupakan salah satu contoh senyawa aldehid. Melalui topik ini, kamu tidak hanya akan mempelajari kegunaan aldehid yang

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pengumpulan Getah Jarak Pengumpulan getah jarak (Jatropha curcas) berada di Bandarjaya, Lampung Tengah yang berusia 6 tahun. Pohon jarak biasanya dapat disadap sesudah berumur

Lebih terperinci

Pembuatan Koloid, Denaturasi Protein dan Lem Alami

Pembuatan Koloid, Denaturasi Protein dan Lem Alami Pembuatan Koloid, Denaturasi Protein dan Lem Alami I. Tujuan Pada percobaan ini akan dipelajari beberapa hal mengenai koloid,protein dan senyawa karbon. II. Pendahuluan Bila garam dapur dilarutkan dalam

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Awal Bahan Baku Pembuatan Biogas Analisis bahan baku biogas dan analisis bahan campuran yang digunakan pada biogas meliputi P 90 A 10 (90% POME : 10% Aktivator), P 80 A 20

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. diketahui kandungan airnya. Penetapan kadar air dapat dilakukan beberapa cara.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. diketahui kandungan airnya. Penetapan kadar air dapat dilakukan beberapa cara. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Kandungan air dalam suatu bahan perlu diketahui untuk menentukan zatzat gizi yang terkandung dalam bahan pangan tersebut. Kadar air dalam pangan dapat diketahui melakukan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Data Ekstrak Buah Tomat (Solanum lycopersicum L.) Ekstark buah tomat memiliki organoleptis dengan warna kuning kecoklatan, bau khas tomat, rasa manis agak asam, dan bentuk

Lebih terperinci

Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan

Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan Bab IV asil Penelitian dan Pembahasan IV.1 Isolasi Kitin dari Limbah Udang Sampel limbah udang kering diproses dalam beberapa tahap yaitu penghilangan protein, penghilangan mineral, dan deasetilasi untuk

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. ph 5,12 Total Volatile Solids (TVS) 0,425%

HASIL DAN PEMBAHASAN. ph 5,12 Total Volatile Solids (TVS) 0,425% HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Awal Bahan Baku Pembuatan Biogas Sebelum dilakukan pencampuran lebih lanjut dengan aktivator dari feses sapi potong, Palm Oil Mill Effluent (POME) terlebih dahulu dianalisis

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Konsentrasi NH3. protein dan non protein nitrogen (NPN). Amonia merupakan bentuk senyawa

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Konsentrasi NH3. protein dan non protein nitrogen (NPN). Amonia merupakan bentuk senyawa 33 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Konsentrasi NH3 NH3 atau amonia merupakan senyawa yang diperoleh dari hasil degradasi protein dan non protein nitrogen (NPN). Amonia merupakan

Lebih terperinci

FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA BAHAN AJAR KIMIA DASAR

FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA BAHAN AJAR KIMIA DASAR No. BAK/TBB/SBG201 Revisi : 00 Tgl. 01 Mei 2008 Hal 1 dari 9 BAB X AIR Air merupakan komponen penting dalam bahan makanan karena air dapat mempengaruhi penampakan, tekstur, serta cita rasa makanan kita.

Lebih terperinci

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IV HASIL DAN PEMBAHASAN IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISASI AWAL BAHAN Karakterisistik bahan baku daun gambir kering yang dilakukan meliputi pengujian terhadap proksimat bahan dan kadar katekin dalam daun gambir kering.

Lebih terperinci

Untuk mengetahui pengaruh ph medium terhadap profil disolusi. atenolol dari matriks KPI, uji disolusi juga dilakukan dalam medium asam

Untuk mengetahui pengaruh ph medium terhadap profil disolusi. atenolol dari matriks KPI, uji disolusi juga dilakukan dalam medium asam Untuk mengetahui pengaruh ph medium terhadap profil disolusi atenolol dari matriks KPI, uji disolusi juga dilakukan dalam medium asam klorida 0,1 N. Prosedur uji disolusi dalam asam dilakukan dengan cara

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4:1, MEJ 5:1, MEJ 9:1, MEJ 10:1, MEJ 12:1, dan MEJ 20:1 berturut-turut

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4:1, MEJ 5:1, MEJ 9:1, MEJ 10:1, MEJ 12:1, dan MEJ 20:1 berturut-turut BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL 5. Reaksi Transesterifikasi Minyak Jelantah Persentase konversi metil ester dari minyak jelantah pada sampel MEJ 4:1, MEJ 5:1, MEJ 9:1, MEJ 10:1, MEJ 12:1, dan MEJ

Lebih terperinci

LAMPIRAN. Lampiran 1. Metode Analisis Lateks

LAMPIRAN. Lampiran 1. Metode Analisis Lateks LAMPIRAN Lampiran 1. Metode Analisis Lateks 1.1. Penetapan Total Alkalinitas (ASTM D 1076-97) Pertama masukkan sejumlah ± 5 g lateks ke dalam botol timbang 10 cm 3. Setelah itu timbang botol timbang yang

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. s n. Pengujian Fitokimia Biji Kelor dan Biji. Kelor Berkulit

HASIL DAN PEMBAHASAN. s n. Pengujian Fitokimia Biji Kelor dan Biji. Kelor Berkulit 8 s n i1 n 1 x x i 2 HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian Fitokimia Kelor dan Kelor Berkulit s RSD (%) 100% x Pengujian Fitokimia Kelor dan Kelor Berkulit Pengujian Alkaloid Satu gram contoh dimasukkan ke dalam

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 1. Optimasi pembuatan mikrokapsul alginat kosong sebagai uji

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 1. Optimasi pembuatan mikrokapsul alginat kosong sebagai uji BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. HASIL PENELITIAN 1. Optimasi pembuatan mikrokapsul alginat kosong sebagai uji pendahuluan Mikrokapsul memberikan hasil yang optimum pada kondisi percobaan dengan

Lebih terperinci

Studi Penggunaan Limbah Las Karbit Sebagai Substitusi Sebagian Aspal Shell Pen 60

Studi Penggunaan Limbah Las Karbit Sebagai Substitusi Sebagian Aspal Shell Pen 60 Reka Racana Jurnal Online Institut Teknologi Nasional Jurusan Teknik Sipil Itenas No.x Vol. Xx Agustus 2015 Studi Penggunaan Limbah Las Karbit Sebagai Substitusi Sebagian Aspal Shell Pen 60 MOHAMAD MUKI

Lebih terperinci

Perbandingan aktivitas katalis Ni dan katalis Cu pada reaksi hidrogenasi metil ester untuk pembuatan surfaktan

Perbandingan aktivitas katalis Ni dan katalis Cu pada reaksi hidrogenasi metil ester untuk pembuatan surfaktan Perbandingan aktivitas katalis Ni dan katalis Cu pada reaksi hidrogenasi metil ester untuk pembuatan surfaktan Tania S. Utami *), Rita Arbianti, Heri Hermansyah, Wiwik H., dan Desti A. Departemen Teknik

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Evaluasi kestabilan formula krim antifungi ekstrak etanol rimpang

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Evaluasi kestabilan formula krim antifungi ekstrak etanol rimpang BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian Evaluasi kestabilan formula krim antifungi ekstrak etanol rimpang lengkuas (Alpinia galanga L.) memberikan hasil sebagai berikut : Tabel 2 :

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN. Tabel 4.1 Hasil Pemeriksaan Bahan Baku Ibuprofen

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN. Tabel 4.1 Hasil Pemeriksaan Bahan Baku Ibuprofen BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN Pemeriksaan bahan baku dilakukan untuk menjamin kualitas bahan yang digunakan dalam penelitian ini. Tabel 4.1 dan 4.2 menunjukkan hasil pemeriksaan bahan baku. Pemeriksaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Dewasa ini, pembuatan produk lateks karet alam dengan penambahan pengisi organik maupun anorganik telah menyita banyak perhatian peneliti karena menunjukkan adanya

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Rendemen merupakan suatu parameter yang penting untuk mengetahui nilai

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Rendemen merupakan suatu parameter yang penting untuk mengetahui nilai BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Tepung Tulang Ikan Tuna 4.1.1 Rendemen Rendemen merupakan suatu parameter yang penting untuk mengetahui nilai ekonomis dan efektivitas suatu produk atau bahan. Perhitungan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Berdasarkan hasil percobaan pendahuluan, ditentukan lima formula

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Berdasarkan hasil percobaan pendahuluan, ditentukan lima formula BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL 1. Formulasi Granul Mengapung Teofilin Berdasarkan hasil percobaan pendahuluan, ditentukan lima formula untuk dibandingkan karakteristiknya, seperti terlihat pada Tabel

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. SIFAT FISIKO-KIMIA BIJI DAN MINYAK JARAK PAGAR Biji jarak pagar (Jatropha curcas L.) yang digunakan dalam penelitian ini didapat dari PT. Rajawali Nusantara Indonesia di daerah

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 KARAKTERISASI MINYAK Sabun merupakan hasil reaksi penyabunan antara asam lemak dan NaOH. Asam lemak yang digunakan pada produk sabun transparan yang dihasilkan berasal dari

Lebih terperinci

REAKSI SAPONIFIKASI PADA LEMAK

REAKSI SAPONIFIKASI PADA LEMAK REAKSI SAPONIFIKASI PADA LEMAK TUJUAN : Mempelajari proses saponifikasi suatu lemak dengan menggunakan kalium hidroksida dan natrium hidroksida Mempelajari perbedaan sifat sabun dan detergen A. Pre-lab

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kontribusi terhadap flavor dan berperan terhadap pembentukan warna.

BAB I PENDAHULUAN. kontribusi terhadap flavor dan berperan terhadap pembentukan warna. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Redistilat asap cair merupakan suatu campuran larutan dan dispersi koloid dari uap asap dalam air yang diperoleh dari pirolisis kayu (Maga,1987). Redistilat asap

Lebih terperinci

Cara uji titik lembek aspal dengan alat cincin dan bola (ring and ball)

Cara uji titik lembek aspal dengan alat cincin dan bola (ring and ball) Standar Nasional Indonesia Cara uji titik lembek aspal dengan alat cincin dan bola (ring and ball) ICS 93.080.20; 75.140 Badan Standardisasi Nasional Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang menyalin

Lebih terperinci

Reaksi Dehidrasi: Pembuatan Sikloheksena. Oleh : Kelompok 3

Reaksi Dehidrasi: Pembuatan Sikloheksena. Oleh : Kelompok 3 Reaksi Dehidrasi: Pembuatan Sikloheksena Oleh : Kelompok 3 Outline Tujuan Prinsip Sifat fisik dan kimia bahan Cara kerja Hasil pengamatan Pembahasan Kesimpulan Tujuan Mensintesis Sikloheksena Menentukan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Perubahan Protein Kasar. Hasil penelitian pengaruh penambahan asam propionat dan formiat dengan

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Perubahan Protein Kasar. Hasil penelitian pengaruh penambahan asam propionat dan formiat dengan IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Perubahan Protein Kasar Hasil penelitian pengaruh penambahan asam propionat dan formiat dengan berbagai perlakuan, terhadap perubahan kandungan protein

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perak Nitrat Perak nitrat merupakan senyawa anorganik tidak berwarna, tidak berbau, kristal transparan dengan rumus kimia AgNO 3 dan mudah larut dalam alkohol, aseton dan air.

Lebih terperinci

Proses Pembuatan Biodiesel (Proses Trans-Esterifikasi)

Proses Pembuatan Biodiesel (Proses Trans-Esterifikasi) Proses Pembuatan Biodiesel (Proses TransEsterifikasi) Biodiesel dapat digunakan untuk bahan bakar mesin diesel, yang biasanya menggunakan minyak solar. seperti untuk pembangkit listrik, mesinmesin pabrik

Lebih terperinci

PENERAPAN IPTEKS PERBANDINGAN ASAM ASETAT DENGAN ASAM FORMIAT SEBAGAI BAHAN PENGGUMPAL LATEKS. Oleh Rudi Munzirwan Siregar

PENERAPAN IPTEKS PERBANDINGAN ASAM ASETAT DENGAN ASAM FORMIAT SEBAGAI BAHAN PENGGUMPAL LATEKS. Oleh Rudi Munzirwan Siregar PERBANDINGAN ASAM ASETAT DENGAN ASAM FORMIAT SEBAGAI BAHAN PENGGUMPAL LATEKS Oleh Rudi Munzirwan Siregar Abstrak Penelitian tentang perbandingan asam asetat dengan asam formiat sebagai bahan penggumpal

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Proses polimerisasi stirena dilakukan dengan sistem seeding. Bejana

BAB III METODE PENELITIAN. Proses polimerisasi stirena dilakukan dengan sistem seeding. Bejana 34 BAB III METODE PENELITIAN Proses polimerisasi stirena dilakukan dengan sistem seeding. Bejana reaktor diisi dengan seed stirena berupa campuran air, stirena, dan surfaktan dengan jumlah stirena yang

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI 5 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Biogas Biogas adalah gas yang terbentuk melalui proses fermentasi bahan-bahan limbah organik, seperti kotoran ternak dan sampah organik oleh bakteri anaerob ( bakteri

Lebih terperinci

Lemak dan minyak adalah trigliserida atau triasil gliserol, dengan rumus umum : O R' O C

Lemak dan minyak adalah trigliserida atau triasil gliserol, dengan rumus umum : O R' O C Lipid Sifat fisika lipid Berbeda dengan dengan karbohidrat dan dan protein, lipid bukan merupakan merupakan suatu polimer Senyawa organik yang terdapat di alam Tidak larut di dalam air Larut dalam pelarut

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Kandungan Protein Kasar. Tabel 4. Rataan Kandungan Protein Kasar pada tiap Perlakuan

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Kandungan Protein Kasar. Tabel 4. Rataan Kandungan Protein Kasar pada tiap Perlakuan 29 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Kandungan Protein Kasar Rataan kandungan protein kasar asal daun singkong pada suhu pelarutan yang berbeda disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Rataan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Perubahan Ion Leakage Ion merupakan muatan larutan baik berupa atom maupun molekul dan dengan reaksi transfer elektron sesuai dengan bilangan oksidasinya menghasilkan ion.

Lebih terperinci

KIMIA. Sesi HIDROKARBON (BAGIAN II) A. ALKANON (KETON) a. Tata Nama Alkanon

KIMIA. Sesi HIDROKARBON (BAGIAN II) A. ALKANON (KETON) a. Tata Nama Alkanon KIMIA KELAS XII IPA - KURIKULUM GABUNGAN 16 Sesi NGAN HIDROKARBON (BAGIAN II) Gugus fungsional adalah sekelompok atom dalam suatu molekul yang memiliki karakteristik khusus. Gugus fungsional adalah bagian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sejarah karet Sejak pertama kali ditemukan sebagai tanaman yang tumbuh secara liar sampai dijadikan tanaman perkebunan secara besar besaran, karet memiliki sejarah yang cukup

Lebih terperinci

BAB V METODOLOGI. 5.1 Alat dan Bahan yang Digunakan Alat yang Digunakan

BAB V METODOLOGI. 5.1 Alat dan Bahan yang Digunakan Alat yang Digunakan BAB V METODOLOGI 5.1 Alat dan Bahan yang Digunakan 5.1.1 Alat yang Digunakan Tabel 5. Alat yang Digunakan No. Nama Alat Ukuran Jumlah 1. Baskom - 3 2. Nampan - 4 3. Timbangan - 1 4. Beaker glass 100ml,

Lebih terperinci

BAB 3 METODOLOGI 3.1 Pendekatan Penelitian

BAB 3 METODOLOGI 3.1 Pendekatan Penelitian BAB 3 METODOLOGI 3.1 Pendekatan Penelitian Mulai Identifikasi Masalah Studi Literatur Persiapan Alat dan Bahan Pengujian Aspal Pengujian Agregat Pengujian filler Syarat Bahan Dasar Tidak Memenuhi Uji Marshall

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 2. Karakteristik menir segar Karakteristik. pengujian 10,57 0,62 0,60 8,11 80,20 0,50 11,42 18,68.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 2. Karakteristik menir segar Karakteristik. pengujian 10,57 0,62 0,60 8,11 80,20 0,50 11,42 18,68. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISTIK MENIR SEGAR Pengujian karakteristik dilakukan untuk mengetahui apakah bahan baku yang nantinya akan digunakan sebagai bahan pengolahan tepung menir pragelatinisasi

Lebih terperinci

PENENTUAN UKURAN PARTIKEL OPTIMAL

PENENTUAN UKURAN PARTIKEL OPTIMAL IV. PENENTUAN UKURAN PARTIKEL OPTIMAL Pendahuluan Dalam pembuatan papan partikel, secara umum diketahui bahwa terdapat selenderness rasio (perbandingan antara panjang dan tebal partikel) yang optimal untuk

Lebih terperinci

Protein (asal kata protos dari bahasa Yunani yang berarti "yang paling utama") adalah senyawa organik kompleks berbobot molekul tinggi yang merupakan

Protein (asal kata protos dari bahasa Yunani yang berarti yang paling utama) adalah senyawa organik kompleks berbobot molekul tinggi yang merupakan A. Protein Protein (asal kata protos dari bahasa Yunani yang berarti "yang paling utama") adalah senyawa organik kompleks berbobot molekul tinggi yang merupakan polimer dari monomer-monomer asam amino

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN BAHASAN

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN BAHASAN BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN BAHASAN Mikroemulsi merupakan emulsi yang stabil secara termodinamika dengan ukuran globul pada rentang 10 nm 200 nm (Prince, 1977). Mikroemulsi dapat dibedakan dari emulsi biasa

Lebih terperinci

LAPORAN KIMIA ANORGANIK II PEMBUATAN TAWAS DARI LIMBAH ALUMUNIUM FOIL

LAPORAN KIMIA ANORGANIK II PEMBUATAN TAWAS DARI LIMBAH ALUMUNIUM FOIL LAPORAN KIMIA ANORGANIK II PEMBUATAN TAWAS DARI LIMBAH ALUMUNIUM FOIL KELOMPOK : 3 NAMA NIM APRIANSYAH 06111010020 FERI SETIAWAN 06111010018 ZULKANDRI 06111010019 AMALIAH AGUSTINA 06111010021 BERLY DWIKARYANI

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Pengaruh kosentrasi limbah terhadap gerakan insang Moina sp Setelah dilakukan penelitian tentang gerakan insang dan laju pertumbuhan populasi Moina sp dalam berbagai kosentrasi

Lebih terperinci