II. TINJAUAN PUSTAKA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "II. TINJAUAN PUSTAKA"

Transkripsi

1 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kemiskinan Kemiskinan mengandung banyak pengertian, berbeda antara satu lokasi/daerah dengan daerah yang lain pada setiap waktu. Definisi kemiskinan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) , adalah kondisi yang membuat seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak terpenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. BPS mendefinisikan kemiskinan adalah ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar untuk makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Menurut Chamber (1995) kemiskinan mengacu pada kekurangan akan kebutuhan fisik, aset dan pendapatan untuk dapat hidup sejahtera. Kemiskinan mencakup dimensi fisik, sosial, ekonomi, politik, psikologis/spiritual, termasuk kelemahan fisik, keterisolasian, kerentanan, kemiskinan musiman, kurangnya penghargaan dan ketidakberdayaan. Secara umum kemiskinan adalah kondisi ketidakmampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhan dasar hidupnya baik pangan dan non pangan serta kebutuhan sosialnya. Tingkat kemiskinan diukur dengan menggunakan garis kemiskinan. Seseorang dikatakan miskin apabila ukuran standar hidupnya berada di bawah standar hidup minimum yang disebut dengan garis kemiskinan. Penentuan garis kemiskinan dihitung melalui dua pendekatan yaitu pendekatan relatif dan absolut. Menurut Ravallion (1992) kemiskinan relatif mengacu pada posisi tingkat pendapatan seseorang atau rumah tangga dibandingkan dengan pendapatan ratarata di negara tersebut. Menurut BPS (2008b) kemiskinan relatif merupakan kondisi miskin karena pengaruh kebijakan pembangunan yang belum mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat sehingga menyebabkan ketimpangan distribusi pendapatan. Standar minimum disusun berdasarkan kondisi hidup suatu negara pada waktu tertentu dan perhatian terfokus pada golongan penduduk termiskin, misalnya 20 persen atau 40 persen lapisan terendah dari total penduduk yang telah diurutkan menurut pendapatan/pengeluaran.

2 10 Kemiskinan absolut mengacu pada posisi tingkat pendapatan seseorang atau rumah tangga dalam hubungannya terhadap garis kemiskinan yang didasarkan pada nilai riil yang tetap antar waktu (Ravallion 1992). Todaro dan Smith (2006) menyatakan kemiskinan absolut adalah apabila tingkat pendapatannya berada di bawah garis kemiskinan atau sejumlah pendapatannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup minimal, antara lain pangan, sandang, kesehatan, perumahan, dan pendidikan. Bank Dunia mendefinisikan kemiskinan absolut sebagai orang yang pendapatannya di bawah USD $1/hari. Definisi kemiskinan absolut menurut BPS adalah ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar yaitu makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Ketidakmampuan ini dibatasi oleh suatu standar tertentu yang disebut dengan garis kemiskinan dimana seseorang hanya dapat memenuhi kebutuhan makannya kurang dari kkalori per kapita sehari dan kebutuhan dasar minimum untuk non makanan seperti perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan yang totalnya kurang dari garis kemiskinan. Penghitungan garis kemiskinan yang dihitung BPS dibedakan untuk daerah perkotaan dan perdesaan. Penghitungan tersebut didasarkan dari pengeluaran rumah tangga berdasarkan data Susenas. Garis kemiskinan per provinsi berbedabeda. Penduduk miskin ditentukan berdasarkan pengeluaran atas kebutuhan pokok, yang terdiri dari bahan makanan maupun non makanan yang dianggap dasar. Berdasarkan cara ini, maka kemiskinan diukur sebagai rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah suatu standar tertentu yang disebut sebagai garis kemiskinan. Mereka yang pengeluarannya berada di bawah garis kemiskinan tersebut dikategorikan sebagai miskin. Garis kemiskinan dihitung dengan cara menjumlahkan (1) biaya untuk memperoleh minimum makanan yang disetarakan dengan kkalori per kapita per hari, dan (2) biaya untuk memperoleh kebutuhan minimum non makanan yang dianggap dasar, seperti pakaian, perumahan, kesehatan, transportasi dan pendidikan. Tabel 2.1. menunjukkan jumlah penduduk miskin Indonesia pada tahun 2004 adalah 36,10 juta orang (11,40 juta orang di perkotaan dan 24,80 juta orang di perdesaan). Adanya berbagai program penanggulangan kemiskinan yang dilaksanakan oleh pemerintah maka pada tahun 2010 jumlah penduduk miskin

3 11 menjadi sebesar 31,02 juta orang (11,10 juta orang di perkotaan dan 19,93 juta orang di perdesaan). Tabel 2.1. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Indonesia Menurut Daerah, Tahun Jumlah Penduduk Miskin (Juta) Persentase Penduduk Miskin Kota Desa Kota+Desa Kota Desa Kota+Desa ,40 24,80 36,10 12,13 20,11 16, ,40 22,70 35,10 11,68 19,98 15, ,49 24,81 39,30 13,47 21,81 17, ,56 23,61 37,17 12,52 20,37 16, ,77 22,19 34,96 11,65 18,93 15, ,91 20,62 32,53 10,72 17,35 14, ,10 19,93 31,02 9,87 16,56 13,33 Sumber : Berita Resmi Statistik Pola Konsumsi Rumah tangga Rumah tangga didefinisikan sebagai seorang atau sekelompok orang yang mendiami sebagian atau seluruh bangunan fisik atau bangunan sensus, dan biasanya tinggal bersama serta makan dari satu dapur. Rumah tangga umumnya terdiri dari bapak, ibu, dan anak disebut sebagai rumah tangga biasa. Anggota rumah tangga adalah semua orang yang biasanya bertempat tinggal di suatu rumah tangga (BPS 2009b). Setiap anggota rumah tangga membutuhkan pangan setiap hari. Setiap anggota rumah tangga juga membutuhkan dan menggunakan berbagai jenis barang lainnya selain pangan atau dengan kata lain setiap anggota rumah tangga mengkonsumsi berbagai jenis barang dan jasa agar tetap dapat melakukan aktivitas sehari-hari. Hal ini mendorong terjadinya permintaan dan penawaran akan suatu barang sehingga tercipta aktivitas ekonomi. Besarnya permintaan/konsumsi pada dasarnya dibatasi oleh kemampuan untuk mengkonsumsi atau membeli barang/jasa tersebut. Kemampuan tersebut sangat ditentukan terutama oleh pendapatan dari rumah tangga dan harga barang yang dikehendaki. Apabila jumlah pendapatan yang dapat dibelanjakan berubah maka jumlah barang yang diminta juga akan berubah. Demikian pula halnya bila harga barang yang dikehendaki berubah. Hal ini menjadi kendala bagi rumah

4 12 tangga dalam mengkonsumsi suatu barang. Keterbatasan pendapatan yang dimiliki antar rumah tangga membuat tingkat konsumsi akan suatu barang berbeda-beda pula, sehingga membentuk pola konsumsi yang berbeda antar rumah tangga. Pada negara berkembang pengeluaran untuk pangan lebih besar dibandingkan pengeluaran untuk bukan pangan. Hal ini disebabkan oleh tingkat pendapatan yang rendah sehingga pemenuhan kebutuhan makanan menjadi prioritas utama. Pada kurun waktu dari tahun di Indonesia, rata-rata pengeluaran untuk konsumsi makanan terutama bahan pokok lebih tinggi dari konsumsi non makanan. Komoditi beras mendominasi besaran konsumsi makanan, sedangkan untuk konsumsi non makanan khususnya komoditi barang dan jasa seperti perumahan dan pendidikan masih menempati prioritas yang utama (BPS 2010) Variabel Sosial Demografi Pola konsumsi dapat dilihat dari perilaku dan karakteristik kosumen. Karakteristik konsumen dapat dikelompokkan berdasarkan usia, lokasi tempat tinggal, jumlah anggota rumah tangga, pendidikan kepala rumah tangga, status pekerjaan kepala rumah tangga dan lain-lain. Pengelompokan konsumen berdasarkan karakteristiknya dapat mencirikan perbedaan perilaku konsumen antarkelompok. Perbedaan perilaku konsumen menyebabkan pola konsumsi rumah tangga juga berbeda. Pada Howard and Sheth model dalam Sumarwan (2002), perilaku konsumen dalam mengambil keputusan untuk membeli atau mengkonsumsi barang dan jasa dipengaruhi oleh adanya kegiatan pemasaran yang dilakukan produsen, faktor perbedaan individu dan faktor lingkungan. Faktor lingkungan ini terdiri dari: (1) budaya, (2) karakteristik sosial ekonomi, (3) keluarga dan rumah tangga, (4) kelompok acuan, dan (5) situasi konsumen. Lokasi tempat tinggal konsumen akan mempengaruhi pola konsumsinya (Yuliana 2008, Syafwil 2002, Kahar 2010). Rumah tangga yang tinggal di perdesaan memiliki akses terbatas pada berbagai produk barang dan jasa. Sebaliknya, rumah tangga yang tinggal di perkotaan lebih mudah memperoleh semua barang dan jasa yang dibutuhkan. Pada umumnya penduduk perkotaan

5 13 membelanjakan sebagian besar pengeluarannya untuk memenuhi kebutuhan bukan makanan, sedangkan sebaliknya penduduk perdesaan mengutamakan pemenuhan kebutuhan pokok berupa makanan. Secara nasional, penduduk perkotaan membelanjakan 45,69 persen pengeluarannya untuk makanan, sedangkan penduduk perdesaan mencapai 58,57 persen (BPS 2009b). Keadaan ini mengindikasikan bahwa tingkat kesejahteraan penduduk perkotaan jauh lebih baik dibandingkan penduduk di perdesaan. Ukuran rumah tangga berbeda pengaruhnya terhadap permintaan makanan dimana ukuran rumah tangga berpengaruh positif terhadap permintaan makanan pokok tetapi berpengaruh negatif terhadap permintaan makanan lainnya (Teklu & Johnson 1987, Nurfarma 2005). Peningkatan jumlah anggota rumah tangga biasanya akan meningkatkan permintaan komoditi pangan dibandingkan komoditi non pangan. Apabila rumah tangga memiliki pendapatan yang sama maka peningkatan jumlah anggota rumah tangga akan menurunkan kemampuan rumah tangga untuk membeli makanan yang bergizi yang akan dikonsumsi oleh anggota rumah tangga. Terkait dengan pendidikan, hasil penelitian Suryaningsih (2010) menunjukkan bahwa tingkat pendidikan istri berpengaruh negatif terhadap permintaan sembako rumah tangga miskin. Kahar (2010) menunjukkan pendidikan kepala rumah tangga yang rendah berpengaruh negatif terhadap konsumsi pendidikan di daerah perkotaan. Semakin tinggi tingkat pendidikan kepala rumah tangga berpengaruh positif terhadap jumlah permintaan terhadap komoditi ikan/daging/telur/susu di daerah perkotaan Pengeluaran Telekomunikasi Penelitian Jiwanta (1982) dalam Suprapto (2009) menunjukkan bawa komunikasi merupakan kebutuhan utama dalam melakukan interaksi sosial dimana 90 persen dari kehidupan manusia sehari-hari merupakan komunikasi. Komunikasi didefinisikan sebagai suatu proses penyampaian suatu pesan oleh seseorang kepada orang lain untuk memberi tahu atau untuk mengubah sikap, pendapat, atau perilaku, baik langsung secara lisan maupun tak langsung melalui media. Beberapa teori komunikasi telah dikemukakan oleh para ahli salah satunya

6 14 adalah Harold D. Lasswell yang menyatakan bahwa cara yang terbaik untuk menerangkan kegiatan komunikasi adalah menjawab pertanyaan Who Says What In Which Channel To Whom With What Effect? (Effendy 1986). Pertanyaan ini dikenal dengan rumusan Lasswell yang menerangkan unsur-unsur yang membangun komunikasi yaitu : - Who? (Siapakah komunikatornya?) - Says What? (Pesan apa yang dinyatakan?) - In Which Channel? (Media apa yang digunakan?) - To Whom? (Siapa komunikannya?) - With What Effect? (Efek apa yang diharapkan?) Komunikasi dilakukan dengan cara bertatap muka langsung maupun dengan media. Komunikasi melalui media pada umumnya digunakan untuk komunikasi informatif misalnya dengan menggunakan media surat kabar, televisi, radio, film, pameran, poster, pamflet, telepon, internet dan lain sebagainya. Komunikasi melalui media dilakukan karena ada jarak antara komunikator dan komunikan atau disebut juga telekomunikasi. Selain itu, komunikasi melalui media juga dilakukan karena banyaknya jumlah komunikan yang akan diberikan pesan. Kemajuan teknologi telah mempermudah arus informasi diakses dari dalam rumah sehingga informasi dunia dapat dengan cepat diketahui. Informasi yang diakses oleh rumah tangga dapat memberikan efek langsung dalam perubahan tingkah laku rumah tangga misalnya perubahan pola konsumsi rumah tangga sebagai respon dari intensitas iklan yang dilakukan media televisi atau internet. Kebutuhan akan informasi dan komunikasi yang semakin mudah didapatkan juga mempengaruhi keputusan rumah tangga dalam mengalokasikan pendapatan guna memenuhi kebutuhan ini. Pengeluaran rumah tangga untuk konsumsi telekomunikasi menurut BPS mencakup pengeluaran untuk telepon rumah, pulsa HP, nomor perdana, telepon umum/wartel, benda pos, warnet, internet dan lainnya Subsidi Secara umum pengertian subsidi adalah penetapan harga beli di bawah harga umum. Subsidi merupakan pembayaran yang mengurangi harga pembeli

7 15 dibawah harga penjual dan dapat disebut sebagai pajak negatif (Pindyck & Rubinfeld, 2005). Pemberian subsidi menimbulkan efek yang positif dan negatif. Efek positif subsidi adalah peningkatan daya beli masyarakat yang mendorong peningkatan output, sedangkan efek negatif subsidi adalah terjadinya distorsi perekonomian yaitu alokasi sumber daya yang tidak efisien. Hal ini tercermin adanya kecenderungan masyarakat mengkonsumsi barang yang disubsidi secara berlebihan. Penyelenggaraan subsidi berkaitan dengan APBN karena bila terjadi selisih antara harga jual dengan harga jual sebenarnya maka itu menjadi tanggungan pemerintah yang ditetapkan dalam APBN. Pada tahun 2005 pemerintah mengambil kebijakan menaikan harga BBM guna mengurangi beban APBN. Subsidi pemerintah untuk BBM dialihkan dalam bentuk santunan langsung tunai yang diberikan secara langsung kepada rumah tangga miskin. Program tersebut berlanjut menjadi program keluarga harapan yang memberikan subsidi langsung tunai bersyarat kepada rumah tangga miskin. Subsidi pemerintah yang lain berupa subsidi beras miskin dimana rumah tangga miskin dapat membeli beras dengan harga yang lebih murah dari harga pasar karena pemerintah telah membayar sebagian harga jual beras tersebut Tinjauan teoritis Fungsi Permintaan Konsumen Berawal dari asumsi konsumen bersifat rasional dan mempunyai tujuan memaksimumkan kepuasannya dengan cara memilih berbagai kombinasi sejumlah n barang yang akan menghasilkan dayaguna yang maksimum dengan jumlah pendapatan atau anggaran belanja yang tersedia. Fungsi dayaguna konsumen dituliskan dengan rumus U = f (q 1,q 2, q n ) (2.1) dan kendala anggaran konsumen dituliskan dengan rumus : (2.2) y adalah pendapatan (tetap), p i adalah harga barang ke-i. Maka tujuan konsumen untuk memaksimumkan fungsi dayaguna dengan kendala anggaran digunakan

8 16 fungsi Lagrangian yaitu fungsi dayaguna yang sudah disesuaikan dengan kendala terbatasnya anggaran. (2.3) λ adalah dayaguna marjinal dari pendapatan. Guna mendapatkan jumlah barang yang diminta maksimum maka dibutuhkan dua syarat. Syarat pertama sebagai syarat perlu yaitu karena q merupakan nilai ekstrim maka fungsi turunan pertama dari fungsi lagrangian terhadap q i dan λ harus sama dengan nol. Syarat yang kedua adalah nilai ekstrim merupakan nilai maksimum bila turunan kedua dari fungsi tersebut adalah negatif yang disebut sebagai syarat cukup. Fungsi permintaan ini dikembangkan dari fungsi permintaan sederhana/baku (Marshallian Demand Function) atau disebut juga uncompensated demand function yang menyatakan bahwa suatu besaran konsumsi atau permintaan komoditi oleh seorang konsumen dipengaruhi oleh tingkat harga komoditi tersebut, harga komoditi lain, dan pendapatan. Dua kesimpulan penting dari fungsi permintaan ini adalah : (1) permintaan terhadap komoditas apapun adalah fungsi single-value dari harga-harga dan pendapatan, dan (2) fungsi permintaan adalah homogen derajat nol dalam harga dan pendapatan dimana bila semua harga dan pendapatan berubah dalam proporsi yang sama maka jumlah barang yang diminta tetap, tidak akan berubah (Henderson and Quandt, 1980). Kesimpulan pertama merupakan nilai maksimum dari turunan pertama fungsi dayaguna yang ditunjukkan dengan nilai Rate of Commodity Subtitution (CRS) sama dengan rasio harga. Kesimpulan yang kedua menunjukkan bahwa syarat turunan kedua harus terpenuhi. Dalam permintaan n barang turunan kedua menghasilkan penurunan RCS antara tiap pasang komoditi. Dalam model permintaan untuk n komoditi maka elastisitas yang dihasilkan harus memenuhi kondisi: a. Homogeneity Syarat homogeneity atau disebut Slutsky-schultz condition adalah hasil penjumlahan seluruh elastisitas baik itu elastisitas harga sendiri, elastisitas harga

9 17 silang dan elastisitas pendapatan untuk komoditi i sama dengan nol (Tewari dan Singh 1996), dirumuskan : (2.4) dimana ε ii adalah elastisitas harga sendiri, ε ij adalah elatisitas harga silang dan adalah elastisitas pendapatan. b. Agregasi Cournot Agregasi cournot merupakan rata-rata tertimbang dari elatisitas harga sendiri dan elastisitas harga silang sebuah komoditi dengan penimbang rata-rata pangsa pendapatan atau proporsi pengeluaran barang tersebut terhadap total pengeluaran, sama dengan negatif dari pangsa pendapatan barang tersebut. Dinotasikan dengan rumus : (2.5) adalah proporsi pengeluaran komoditi ke-i terhadap total pengeluaran, adalah proporsi pengeluaran komoditi ke-j terhadap total pengeluaran, adalah elastisitas harga sendiri dan elastisitas harga silang. Untuk fungsi permintaan terkompensasi maka aggregasi Cournot harus sama dengan nol. Dinotasikan dengan rumus : (2.6) adalah elatisitas harga terkompensasi. c. Aggregasi Engel Aggregasi Engel menunjukkan hubungan antara elastisitas pendapatan dengan berbagai komoditi yang dibelanjakan konsumen. Jumlah elastisitas pendapatan tertimbang semua komoditi yang dibelanjakan konsumen sama dengan satu. Dinotasikan dengan rumus : (2.7)

10 18 adalah proporsi pengeluaran komoditi ke-j terhadap total pengeluaran dan adalah elastisitas pendapatan (Henderson and Quandt 1980) Efek Substitusi dan Efek Pendapatan Hubungan permintaan suatu jenis barang dengan adanya perubahan harga dibedakan menjadi dua yaitu efek substitusi dan efek pendapatan. Efek substitusi (X 1 B) dalam penelitian ini adalah efek substitusi/penggantian jumlah konsumsi komoditi telekomunikasi dengan komoditi rokok akibat adanya perubahan harga telekomunikasi dan utilitas konsumen bergerak sepanjang kurva indiferen. Rokok Y 1 E 2 Y 2 E 1 T U 2 U 1 B 1 O B X 2 X 2 X 1 Telekomunikasi Efek substitusi Efek pendapatan Efek total Sumber: Nicholson (1995) Gambar 1. Efek Substitusi dan Efek Pendapatan dari Penurunan Harga Telekomunikasi Efek pendapatan (B X 2 ) pada penelitian ini adalah perubahan konsumsi kedua jenis barang yaitu telekomunikasi dan rokok akibat adanya perubahan pendapatan (prinsip maksimisasi utilitas) dengan harga barang tetap. Penjumlahan dari kedua efek ini disebut efek total perubahan permintaan suatu barang karena terjadi perubahan harga. Perbedaan efek substitusi dan efek pendapatan dapat digunakan untuk menentukan jenis barang. Barang normal mempunyai efek

11 19 pendapatan positif dan barang inferior memiliki efek pendapatan negatif. Bila efek pendapatan positif lebih besar dari nilai absolut, efek substitusi barang ini tergolong superior, bila efek pendapatan negatif lebih besar daripada nilai absolut, efek substitusi menimbulkan efek substitusi yang negatif pula maka barang ini disebut barang giffen (Sudarsono 1995). Dua barang dikatakan bersubstitusi jika kedua barang tersebut dapat memenuhi kebutuhan yang sama, dengan kata lain sifat dua barang yang jika harga salah satunya meningkat, kuantitas barang lainnya yang diminta akan meningkat. Dua barang dikatakan komplemen jika kedua barang bersama-sama dikonsumsi untuk memenuhi satu kebutuhan atau dengan kata lain sifat dua barang yang jika harga salah satu barang meningkat, permintaan barang lain akan menurun (asumsi ceteris paribus). Apakah dua jenis barang bersubstitusi atau berkomplemen sangat tergantung dari kurva indiferen LA-AIDS Model Salah satu model untuk mempelajari fungsi konsumsi dengan variabel sosial ekonomi adalah model Linear Approximation Almost Ideal Demand System (LA- AIDS). Model LA-AIDS merupakan pengembangan dari kurva Engel dan persamaan Marshall yang diturunkan dari teori maksimisasi kepuasan. Working (1943) dalam Deaton (1980a) menyatakan bahwa terdapat hubungan antara pendapatan (pengeluaran) dengan tingkat konsumsi yang dinyatakan dalam bentuk budget share, sebagai berikut: w i = α i + β i log x...2.8) Model permintaan AIDS dibangun berdasarkan fungsi biaya yang didefinisikan sangat spesifik sehingga dapat mewakili struktur preferensi individu. Struktur preferensi ini dimungkinkan dilakukannya agregasi preferensi dari tingkat mikro sampai level yang lebih tinggi secara konsisten. Deaton dan Muellbauer (1980a) membangun model permintaan AIDS berdasarkan fungsi biaya yang menunjukkan biaya minimum dari kebutuhan konsumen dalam memaksimalkan utilitasnya pada tingkat dan harga tertentu. Fungsi biaya dapat dinyatakan dengan: log c(u, p) = (1 u) log[a( p)]+ u log[b( p)]...2.9)

12 20 c menunjukkan total pengeluaran, u dan p menunjukkan nilai utilitas dan vektor harga. Pada persamaan 2.9 fungsi a(p) dan b(p) bersifat linear positif dan homogen berderajat satu terhadap harga. Fungsi a(p) bernilai antara nol dan satu sehingga dapat diinterpretasikan sebagai biaya subsisten jika nilai u adalah nol. Sedangkan b(p) merupakan biaya kenikmatan (cost of bliss) jika nilai u adalah satu. Bentuk logaritmanya dengan sejumlah k komoditi persamaan 2.9 dapat ditulis: (2.10) α, β, dan γ adalah parameter. Derivasi parsial dilakukan terhadap harga log c(u, p) / log p i = q i dan dengan asumsi nilai u yang konstan serta mengalikan kedua sisi dengan, maka, sehingga persamaan 2.10 menghasilkan fungsi permintaan berupa budget share komoditi i atau dinotasikan w i : (2.11) Berdasarkan tujuan memaksimalkan kepuasaan konsumen, total pengeluaran X sama dengan c(u, p), sehingga u dan budget share dapat dinyatakan sebagai fungsi dari pengeluaran dan harga dalam bentuk: { } (2.12) Persamaan 2.12 dikenal sebagai model LA-AIDS Deaton & Muellbauer (1980a). P adalah indeks harga, dengan bentuk fungsional : (2.13) Indeks harga dalam bentuk fungsional tersebut akan membentuk persamaan AIDS yang cenderung non linear, sehingga nilai P (Price indeks) diestimasi dengan Stone s Price indeks : (2.14) dengan demikian persamaan 2.12 menjadi model Linear Approximation AIDS :

13 21 (2.15) Model AIDS dapat bersifat restricted atau unrestricted, dimana model yang restricted mengharapkan terpenuhinya beberapa asumsi dari fungsi permintaan adalah: Adding Up : Homogeneity : untuk setiap i Symmetry : γ ij = γ ji Fungsi biaya AIDS yang berbentuk fleksibel mengakibatkan fungsi permintaan persamaan 2.12 merupakan first order approximation dari perilaku konsumen dalam memaksimumkan kepuasaannya. Apabila maksimasi kepuasaan tidak terpenuhi atau tidak diasumsikan terjadi, fungsi permintaan AIDS tetap merupakan fungsi yang berhubungan dengan pendapatan dan harga, sehingga tanpa restriksi homogeneity dan symmetry, fungsi tersebut masih merupakan first order approximation terhadap fungsi permintaan secara umum. Beberapa kelebihan model LA-AIDS, di antaranya: 1. Dapat digunakan untuk mengestimasi sistem persamaan yang terdiri atas beberapa kelompok komoditi yang saling berkaitan. 2. Model lebih konsisten dengan data pengeluaran konsumsi yang telah tersedia, sehingga estimasi permintaan dapat dilakukan tanpa data kuantitas. 3. Karena model merupakan semilog, maka secara ekonometrik model akan menghasilkan parameter yang lebih efisien artinya dapat digunakan sebagai penduga yang baik. 4. Secara umum konsisten dengan teori permintaan karena adanya restriksi yang dapat dimasukkan dalam model dan dapat digunakan untuk mengujinya SUR (Seemingly Unrelated Regression) dan GLS (Generalized Least Squares) Estimasi model LA-AIDS dilakukan dengan menggunakan metode statistik SUR dengan prosedur GLS. Metode SUR atau Seemingly Unrelated Regression

14 22 (seolah-olah kelihatannya tidak berkaitan) terdiri dari sekumpulan persamaan yang berkaitan karena ada korelasi antar sisaan persamaan (Juanda 2009). SUR diartikan sebagai regresi yang seolah-olah tidak berkaitan satu sama lain yang disebabkan oleh kedekatan secara teoritis antar persamaan tersebut. Suatu ketidakefisienan terjadi karena metode seperti 2SLS dan peubah instrumental tidak mempertimbangkan korelasi antar sisaan dari persamaan-persamaan yang dibentuk. SUR terdiri atas sekumpulan persamaan yang masing-masing variabel endogen saling berhubungan satu sama lain karena adanya korelasi antar sisaan untuk setiap kelompok persamaan. Metode SUR menggunakan prosedur GLS dan dapat meningkatkan efiensi dugaan dengan cara mempertimbangkan secara eksplisit bahwa terdapat korelasi sisaan. Metode SUR ini pertama kali diperkenalkan oleh Zellner pada tahun 1962, yang pada intinya melakukan iterasi dua tahap. Prosedur GLS (Generalized Least Square) digunakan dalam kasus bahwa asumsi klasik OLS seperti homoskedasticity (ragam konstan) dan nonautokorelasi (sisaan tidak berkorelasi) tidak terpenuhi. Substitusi antar barang menunjukkan permintaan setiap komoditi memiliki hubungan satu sama lain sehingga estimasi parameter lebih efisien menggunakan GLS Penelitian Terdahulu Deaton & Muellbauer (1980a) menggunakan model LA-AIDS untuk mengestimasi 8 kelompok komoditi yaitu; makanan, pakaian, perumahan, bahan bakar, minuman dan tembakau, transportasi dan komunikasi dan pengeluaran lainnya di Inggris dengan data tahun Hasil penelitian menunjukkan bahwa komoditi yang tergolong kebutuhan dasar adalah kelompok komoditi makanan dan perumahan. Sengul dan Tuncer (2005) dengan menggunakan model LA-AIDS meneliti tentang fungsi permintaan makanan pada rumah tangga miskin di Turki. Hasil penelitian memberikan kesimpulan bahwa respon permintaan antar kelompok makanan bervariasi antara rumah tangga miskin dan sangat miskin. Pengeluaran untuk komoditi roti, padi-padian dan gula sangat tinggi dan pengeluaran untuk ikan, daging dan lemak sangat rendah pada rumah tangga sangat miskin. Ketersediaan pangan pada rumah tangga sangat miskin sangat responsif terhadap

15 23 perubahan harga dan pendapatan dibandingkan rumah tangga miskin. Seale et al. (2003) menggunakan model LA-AIDS meneliti pola konsumsi makanan di 114 negara meliputi negara berpendapatan rendah, sedang dan tinggi. Hasil penelitiannya adalah negara berpendapatan rendah lebih responsif terhadap perubahan harga dan pendapatan. Negara-negara berpenghasilan rendah/miskin menghabiskan sebagian besar anggarannya pada kebutuhan makanan terutama makanan pokok (sereal). Ariningsih (2004) menggunakan model LA-AIDS meneliti tentang perbedaan dan besarnya konsumsi pangan hewani seperti telur, daging antara daerah perkotaan dan pedesaan di Jawa. Hasil penelitian memberikan kesimpulan bahwa pangsa pengeluaran untuk pangan sumber protein hewani sangat rendah tetapi sangat tinggi untuk pangan sumber protein nabati. Pola pengeluaran rumah tangga untuk komoditi telur, daging, ikan pada daerah perkotaan jauh lebih tinggi dibandingkan daerah pedesaan. Busch et al. (2004) dengan menggunakan model LA-AIDS meneliti pengeluaran tembakau terhadap pola konsumsi rumah tangga di Amerika Serikat. Hasil penelitian didapatkan kecilnya pengeluaran untuk perumahan bagi rumah tangga perokok. Peningkatan harga rokok berpengaruh positif terhadap permintaan makanan pada rumah tangga, untuk beberapa amatan berpengaruh negatif pada pengeluaran untuk pakaian dan perumahan. Penelitian Suryaningsih (2010) khusus pada rumah tangga miskin di Pulau Jawa dengan menggunakan analisis regresi berganda. Hasil penelitian adalah elastisitas pengeluaran untuk rokok pada rumah tangga miskin di pulau Jawa cikup tinggi atau sangat elastis. Kajian deskriptif yang dilakukan Irawan (2005) di Indonesia, meneliti hubungan konsumsi rokok dan kemiskinan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penduduk termiskin (golongan pendapatan 20% terbawah), belanja tembakau mencapai sekitar 3 kali lipat dibandingkan dengan biaya pendidikan, dan 4,3 kali lipat dibandingkan untuk biaya kesehatan. Penelitian yang sama dilakukan oleh Liu et al. (2006) di China dengan menggunakan analisis regresi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengeluaran medis akibat merokok dan belanja rokok meningkatkan kemiskinan baik di pedesaan maupun di perkotaan.

16 24 Kahar (2010) dengan menggunakan model LA-AIDS meneliti pola konsumsi daerah perkotaan dan pedesaan dan keterkaitannya dengan karakteristik sosial ekonomi di propinsi Banten. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada rumah tangga berpendapatan rendah, peningkatan jumlah anggota keluarga menyebabkan permintaan di sektor pendidikan di wilayah perkotaan rendah. Peningkatan jumlah anak yang sekolah menyebabkan permintaan atau partisipasi untuk sektor pendidikan di wilayah perkotaan juga rendah. Aker et al. (2008) menggunakan model pencarian sekuensial meneliti hubungan perkembangan ponsel dengan dispersi harga di Nigeria dan didapatkan hasil bahwa dengan ponsel mampu mengurangi dispersi harga pasar untuk gandum membuat harga gandum yang diterima konsumen lebih rendah sehingga meningkatkan kuantitas permintaan gandum oleh rumah tangga. Penelitian mengenai pola konsumsi dan fungsi permintan telah banyak dilakukan oleh peneliti terdahulu, baik itu dalam lingkup lokal maupun internasional. Banyak peneliti memfokuskan penelitian pada analisis permintaan pangan termasuk di Indonesia. Penelitian pola konsumsi rumah tangga miskin yang dihubungkan dengan konsumsi rokok dengan menggunakan pendekatan LA- AIDS seperti penelitian yang dilakukan di China dan Amerika belum dilakukan di Indonesia. Hal yang sama untuk konsumsi telekomunikasi, belum adanya penelitian terhadap pola konsumsi rumah tangga miskin yang dihubungkan dengan konsumsi telekomunikasi di Indonesia, oleh karena itu penelitian ini difokuskan pada pengaruh konsumsi telekomunikasi pada rumah tangga miskin di pulau Jawa didasari oleh perkembangan pelanggan selular yang mencapai 180 juta pelanggan di tahun 2010 atau sekitar 80 persen populasi penduduk Indonesia dan masih terpusatnya perkembangan infrastruktur telekomunikasi di Indonesia bagian barat Kerangka Pemikiran Kebutuhan rumah tangga dapat dikelompokan menjadi dua kelompok besar yaitu kebutuhan pangan dan non pangan. Pemenuhan kebutuhan ini dibatasi oleh tingkat pendapatan. Rumah tangga akan mengalokasikan pendapatannya pada komoditi pangan dan non pangan. Rumah tangga dengan pendapatan rendah

17 25 cenderung mengalokasikan pengeluarannya pada komoditi pangan lebih besar dibandingkan dengan komoditi non pangan. Komoditi non pangan yang menjadi kebutuhan dasar untuk dapat melakukan aktivitas sehari-hari seharusnya menjadi prioritas dalam mengalokasikan pendapatan rumah tangga. Namun keterbatasan pendapatan pada rumah tangga miskin membuat rumah tangga tidak mampu mengalokasikan pendapatannya untuk kebutuhan dasar ini. Selain itu tingkat harga pada kebutuhan dasar non pangan cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat harga pada kebutuhan pangan. Berdasarkan kebutuhan pangan dan non pangan dapat dikemukakan bahwa permintaan terhadap kebutuhan tersebut tidak lain untuk memaksimumkan utilitas yang diinginkan oleh rumah tangga. Namun demikian, tujuan pemaksimuman utilitas ini harus memperhatikan kendala pendapatan, sehingga masalahnya adalah bagaimana memaksimumkan utilitas yang diderivasi dari konsumsi pangan dan non pangan rumah tangga dengan kendala pendapatan tertentu. Di samping itu, perilaku permintaan konsumsi rumah tangga miskin diharapkan tidak hanya merefleksikan pendapatan dan biaya tetapi termasuk karakteristik demografi dan sosial tempat rumah tangga berada karena hal-hal ini dapat memengaruhi fungsi utilitas rumah tangga miskin tersebut. Penentuan kelompok komoditi di samping berdasarkan literatur, juga didasarkan kepada fakta bahwa antar komoditi makanan tersebut memang diduga berkaitan satu sama lain, misalnya di saat pendapatan naik maka dimungkinkan suatu rumah tangga mengkonsumsi non makanan lebih banyak dari biasanya dibandingkan kebutuhan untuk membeli makanan pokok (padi-padian). Hal yang sama juga dapat terjadi pada kelompok non makanan, dimana jika terjadi peningkatan pendapatan atau adanya konsumsi baru terhadap telekomunikasi, maka komposisi konsumsi akan berubah sesuai prinsip substitusi, kurva indiferen, dan maksimisasi utilitas. Berdasarkan beberapa hal tersebut, maka fungsi permintaan rumah tangga miskin yang akan dibentuk meliputi: - lokasi tempat tinggal yaitu daerah perkotaan dan pedesaan. Berdasarkan hasil penelitian tingkat konsumsi komoditi khususnya makanan seperti konsumsi

18 26 ikan, daging, dan telur berbeda antara perdesaan dan perkotaan (Ariningsih 2004) - tingkat pendidikan kepala rumah tangga sebagai salah satu variabel sosial, yaitu rumah tangga dengan pendidikan kepala rumah tangga sekolah dasar ke bawah (<SD, tamat SD) dan rumah tangga dengan pendidikan kepala rumah tangga sekolah dasar ke atas (> tamat SD) - periode tahun untuk melihat perkembangan tren elastisitasnya - ukuran rumah tangga sebagai salah satu variabel demografi yang mempengaruhi pola konsumsi rumah tangga - sumbangan terbesar terhadap garis kemiskinan pada bulan Maret 2010, komoditi makanan yang memberi sumbangan terbesar pada garis kemiskinan adalah beras, rokok kretek filter. Komoditi bukan makanan yang memberi sumbangan besar untuk garis kemiskinan adalah biaya perumahan, biaya listrik, angkutan dan biaya pendidikan. Maka cakupan konsumsi makanan dikelompokkan menjadi empat kelompok yaitu kelompok konsumsi komoditi makanan pokok yang terdiri dari sub kelompok padi-padian dan umbi-umbian, kelompok komoditi rokok dan tembakau, kelompok komoditi lauk pauk yang terdiri dari sub kelompok ikan/daging/telur/susu/ditambah tempe dan tahu, serta kelompok komoditi makanan lainnya yang mencakup seluruh komoditi selain yang telah dicakup pada kelompok komoditi yang telah disebutkan di atas seperti sub kelompok komoditi sayuran, buah-buahan dan makanan jadi. Cakupan konsumsi bukan makanan dikelompokkan menjadi tiga kelompok yaitu kelompok komoditi telekomunikasi yang terdiri dari konsumsi telepon rumah, pulsa HP, benda pos dan internet, kelompok komoditi pendidikan dan kelompok komoditi non makanan lainnya yang terdiri dari seluruh pengeluaran bukan makanan dikurangi dengan pengeluaran untuk pendidikan dan telekomunikasi. Model LA-AIDS diterapkan untuk kelompok komoditi makanan dan kelompok komoditi non makanan. Sebanyak 4 komoditi makanan yang dipilih adalah kelompok komoditi makanan pokok, lauk pauk, rokok (termasuk tembakau) dan makanan lainnya. Sedangkan kelompok komoditi non makanan yang dipilih adalah kelompok komoditi telekomunikasi, pendidikan dan non

19 27 makanan lainnya serta ukuran rumah tangga. Model secara langsung dibentuk dengan memasukkan variabel dummy guna mendapatkan parameter untuk mengestimasi elastisitas harga dan pengeluaran menurut perdesaan dan perkotaan, tingkat pendidikan kepala rumah tangga yang dibedakan berdasarkan tingkat pendidikan SD ke bawah dan tingkat pendidikan SD ke atas serta untuk mengestimasi elastisitas harga dan pengeluaran pada tahun 2008 sampai 2010 sehingga dapat dilihat perkembangan/tren elastisitas pada periode tersebut Hipotesis Berdasarkan kurva permintaan Marshalian maka hipotesis dari penelitian ini adalah : 1. Harga dan pendapatan dapat memengaruhi secara signifikan tingkat konsumsi untuk setiap kelompok komoditi baik pada komoditi makanan maupun komoditi non makanan. 2. Efek substitusi dan efek pendapatan terjadi pada konsumsi komoditi makanan di saat arus informasi menjadi konsumsi dari rumah tangga miskin. 3. Berdasarkan elatisitas pengeluaran diduga telekomunikasi dan rokok merupakan barang mewah. 4. Karakteristik sosial tempat rumah tangga berada sangat memengaruhi konsumsi rumah tangga miskin dan diduga sangat berbeda polanya antara pedesaan dan perkotaan.

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Sumber Data Penelitian ini menggunakan data sekunder yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS). Data yang digunakan adalah data rumah tangga, khususnya untuk

Lebih terperinci

IV. POLA KONSUMSI RUMAH TANGGA MISKIN DI PULAU JAWA

IV. POLA KONSUMSI RUMAH TANGGA MISKIN DI PULAU JAWA IV. POLA KONSUMSI RUMAH TANGGA MISKIN DI PULAU JAWA Data pola konsumsi rumah tangga miskin didapatkan dari data pengeluaran Susenas Panel Modul Konsumsi yang terdiri atas dua kelompok, yaitu data pengeluaran

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN ANTAR KOMODITAS PROTEIN DENGAN MENGGUNAKAN MODEL ALMOST IDEAL DEMAND SYSTEM (AIDS)

ANALISIS KETERKAITAN ANTAR KOMODITAS PROTEIN DENGAN MENGGUNAKAN MODEL ALMOST IDEAL DEMAND SYSTEM (AIDS) Jurnal Matematika UNAND Vol. 2 No. 3 Hal. 162 166 ISSN : 2303 2910 c Jurusan Matematika FMIPA UNAND ANALISIS KETERKAITAN ANTAR KOMODITAS PROTEIN DENGAN MENGGUNAKAN MODEL ALMOST IDEAL DEMAND SYSTEM (AIDS)

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Ruang Lingkup, Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Pulau Jawa yang terdiri dari 6 provinsi yaitu, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur

Lebih terperinci

ANALISIS POLA KONSUMSI PANGAN DAERAH PERKOTAAN DAN PEDESAAN SERTA KETERKAITANNYA DENGAN KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI DI PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

ANALISIS POLA KONSUMSI PANGAN DAERAH PERKOTAAN DAN PEDESAAN SERTA KETERKAITANNYA DENGAN KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI DI PROVINSI KALIMANTAN TIMUR ANALISIS POLA KONSUMSI PANGAN DAERAH PERKOTAAN DAN PEDESAAN SERTA KETERKAITANNYA DENGAN KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI DI PROVINSI KALIMANTAN TIMUR Oleh : Nilam Anggar Sari.,SE.,M.Si Penulis adalah Pengajar

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH SEPTEMBER 2012

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH SEPTEMBER 2012 No. 05/01/33/Th. VII, 2 Januari 2013 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH SEPTEMBER 2012 JUMLAH PENDUDUK MISKIN SEPTEMBER 2012 MENCAPAI 4,863 JUTA ORANG RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI BANTEN SEPTEMBER 2013

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI BANTEN SEPTEMBER 2013 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI BANTEN SEPTEMBER 2013 No. 04/01/36/Th.VIII, 2 Januari 2014 JUMLAH PENDUDUK MISKIN SEPTEMBER 2013 MENCAPAI 682,71 RIBU ORANG Pada bulan September 2013, jumlah penduduk miskin

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI BANTEN MARET 2014

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI BANTEN MARET 2014 No. 31/07/36/Th. VIII, 1 Juli 2014 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI BANTEN MARET 2014 JUMLAH PENDUDUK MISKIN MARET 2014 MENCAPAI 622,84 RIBU ORANG Pada bulan Maret 2014, jumlah penduduk miskin (penduduk dengan

Lebih terperinci

BPS PROVINSI LAMPUNG

BPS PROVINSI LAMPUNG BPS PROVINSI LAMPUNG No. 07/01/18/TH.VII, 2 Januari 2015 ANGKA KEMISKINAN LAMPUNG SEPTEMBER 2014 Angka kemiskinan Lampung pada September 2014 sedikit mengalami penurunan dibanding Maret 2014 yakni dari

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH SEPTEMBER 2014

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH SEPTEMBER 2014 No. 05/01/33/Th. IX, 2 Januari 2015 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH SEPTEMBER 2014 JUMLAH PENDUDUK MISKIN SEPTEMBER 2014 MENCAPAI 4,562 JUTA ORANG RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk yang

Lebih terperinci

VII. MODEL PERMINTAAN IKAN DI INDONESIA

VII. MODEL PERMINTAAN IKAN DI INDONESIA 161 VII. MODEL PERMINTAAN IKAN DI INDONESIA Pemodelan suatu fenomena seringkali tidak cukup hanya dengan satu persamaan, namun diperlukan beberapa persamaan. Pada Bab IV telah disebutkan bahwa ditinjau

Lebih terperinci

BPS PROVINSI LAMPUNG

BPS PROVINSI LAMPUNG BPS PROVINSI LAMPUNG No. 07/09/18/TH.VII, 15 September 2015 ANGKA KEMISKINAN LAMPUNG MARET 2015 Jumlah penduduk miskin di Lampung pada Maret 2015 mencapai 1.163,49 ribu orang (14,35 persen), bertambah

Lebih terperinci

KAJIAN PENGARUH HARGA DAN PENDAPATAN TERHADAP PROPORSI PENGELUARAN MAKANAN RUMAH TANGGA (PENDEKATAN MODEL LINIER PERMINTAAN LENGKAP)

KAJIAN PENGARUH HARGA DAN PENDAPATAN TERHADAP PROPORSI PENGELUARAN MAKANAN RUMAH TANGGA (PENDEKATAN MODEL LINIER PERMINTAAN LENGKAP) KAJIAN PENGARUH HARGA DAN PENDAPATAN TERHADAP PROPORSI PENGELUARAN MAKANAN RUMAH TANGGA (PENDEKATAN MODEL LINIER PERMINTAAN LENGKAP) Juni Trisnowati 1, Kim Budiwinarto 2 1) 2) Progdi Manajemen Fakultas

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI BANTEN SEPTEMBER 2015

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI BANTEN SEPTEMBER 2015 No. 05/01/36/Th.X, 4 Januari 2016 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI BANTEN SEPTEMBER 2015 JUMLAH PENDUDUK MISKIN SEPTEMBER 2015 MENCAPAI 690,67 RIBU ORANG Pada bulan ember 2015, jumlah penduduk miskin (penduduk

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teori-Teori Teori Permintaan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teori-Teori Teori Permintaan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teori-Teori 2.1.1 Teori Permintaan Permintaan menunjukkan jumlah barang dan jasa yang akan dibeli konsumen pada periode waktu dan keadaan tertentu. Hubungan antara jumlah

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH MARET 2015

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH MARET 2015 No. 66/09/33/Th. IX, 15 ember 2015 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH MARET 2015 JUMLAH PENDUDUK MISKIN MARET 2015 MENCAPAI 4,577 JUTA ORANG RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada

Lebih terperinci

TINGKAT KEMISKINAN BALI, SEPTEMBER 2015

TINGKAT KEMISKINAN BALI, SEPTEMBER 2015 No. 06/01/51/Th. X, 4 Januari 2016 TINGKAT KEMISKINAN BALI, SEPTEMBER 2015 Terjadi kenaikan persentase penduduk miskin di Bali pada September 2015 jika dibandingkan dengan 2015. Tingkat kemiskinan pada

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH SEPTEMBER 2013

PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH SEPTEMBER 2013 No. 07/01/62/Th. VIII, 2 Januari 2014 PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH SEPTEMBER 2013 RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan)

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA SEPTEMBER 2011

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA SEPTEMBER 2011 BADAN PUSAT STATISTIK No. 06/01/Th. XV, 2 Januari 2012 PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA SEPTEMBER 2011 JUMLAH PENDUDUK MISKIN SEPTEMBER 2011 MENCAPAI 29,89 JUTA ORANG Jumlah penduduk miskin (penduduk dengan

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA MARET 2010

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA MARET 2010 BADAN PUSAT STATISTIK No. 45/07/Th. XIII, 1 Juli 2010 PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA MARET 2010 JUMLAH PENDUDUK MISKIN MARET 2010 MENCAPAI 31,02 JUTA Jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI JAWA TENGAH SEPTEMBER 2015

PROFIL KEMISKINAN DI JAWA TENGAH SEPTEMBER 2015 PROFIL KEMISKINAN DI JAWA TENGAH SEPTEMBER 2015 No. 05/01/33/Th. X, 4 Januari 2016 PERSENTASE PENDUDUK MISKIN SEPTEMBER 2015 MENCAPAI 13,32 PERSEN Pada bulan ember 2015, jumlah penduduk miskin (penduduk

Lebih terperinci

TINGKAT KEMISKINAN DI PROVINSI BENGKULU SEPTEMBER 2014

TINGKAT KEMISKINAN DI PROVINSI BENGKULU SEPTEMBER 2014 No. 05/01/17/IX, 2 Januari 2015 TINGKAT KEMISKINAN DI PROVINSI BENGKULU SEPTEMBER 2014 - JUMLAH PENDUDUK MISKIN SEPTEMBER 2014 MENCAPAI 316,50 RIBU ORANG - TREN KEMISKINAN SEPTEMBER 2014 MENURUN DIBANDINGKAN

Lebih terperinci

Penerapan model Almost Ideal Demand System ( AIDS ) pada pola konsumsi pangan rumah tangga nelayan di Kecamatan Tambak Kabupaten Banyumas

Penerapan model Almost Ideal Demand System ( AIDS ) pada pola konsumsi pangan rumah tangga nelayan di Kecamatan Tambak Kabupaten Banyumas Penerapan model Almost Ideal Demand System ( AIDS ) pada pola konsumsi pangan rumah tangga nelayan di Kecamatan Tambak Kabupaten Banyumas Kim Budiwinarto * ) * ) Fakultas Ekonomi Universitas Surakarta

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH SEPTEMBER 2014

PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH SEPTEMBER 2014 No. 07/01/62/Th. IX, 2 Januari 2015 PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH SEPTEMBER 2014 RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan)

Lebih terperinci

BPS PROVINSI LAMPUNG ANGKA KEMISKINAN LAMPUNG SEPTEMBER PERKEMBANGAN PENDUDUK MISKIN DI LAMPUNG. No. 08/07/18/TH.

BPS PROVINSI LAMPUNG ANGKA KEMISKINAN LAMPUNG SEPTEMBER PERKEMBANGAN PENDUDUK MISKIN DI LAMPUNG. No. 08/07/18/TH. BPS PROVINSI LAMPUNG ANGKA KEMISKINAN LAMPUNG SEPTEMBER 2016 No. 08/07/18/TH.IX, 3 Januari 2017 Angka kemiskinan Lampung dari penghitungan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) September 2016

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH MARET 2014

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH MARET 2014 No. 40/07/33/Th. VIII, 1 Juli 2014 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH MARET 2014 JUMLAH PENDUDUK MISKIN MARET 2014 MENCAPAI 4,836 JUTA ORANG RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI BALI SEPTEMBER 2014

PROFIL KEMISKINAN DI BALI SEPTEMBER 2014 No. 06/01/51/Th. IX, 2 Januari 2015 PROFIL KEMISKINAN DI BALI SEPTEMBER 2014 JUMLAH PENDUDUK MISKIN SEPTEMBER 2014 MENCAPAI 195,95 RIBU ORANG Jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita

Lebih terperinci

BPS PROVINSI LAMPUNG ANGKA KEMISKINAN LAMPUNG MARET PERKEMBANGAN PENDUDUK MISKIN DI LAMPUNG. No. 08/07/18/TH.

BPS PROVINSI LAMPUNG ANGKA KEMISKINAN LAMPUNG MARET PERKEMBANGAN PENDUDUK MISKIN DI LAMPUNG. No. 08/07/18/TH. BPS PROVINSI LAMPUNG ANGKA KEMISKINAN LAMPUNG MARET 2016 No. 08/07/18/TH.VIII, 18 Juli 2016 Angka kemiskinan Lampung dari penghitungan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2016 mencapai

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAMBI MARET 2017

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAMBI MARET 2017 No.38/07/15/Th.XI, 17 Juli 2017 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAMBI MARET 2017 PERSENTASE PENDUDUK MISKIN MARET 2017 MENCAPAI 8,19 PERSEN Jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DAN TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK PROVINSI ACEH MARET 2017

PROFIL KEMISKINAN DAN TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK PROVINSI ACEH MARET 2017 B P S P R O V I N S I A C E H No. 32/07/Th.XX, 17 Juli 2017 PROFIL KEMISKINAN DAN TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK PROVINSI ACEH MARET 2017 JUMLAH PENDUDUK MISKIN MARET 2017 MENCAPAI 872 RIBU DENGAN

Lebih terperinci

BPS PROVINSI KEPULAUAN RIAU

BPS PROVINSI KEPULAUAN RIAU BPS PROVINSI KEPULAUAN RIAU No. 06/01/21/Th.VII, 2 Januari 2012 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU, SEPTEMBER 2011 Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada di bawah Garis Kemiskinan) di Provinsi

Lebih terperinci

BADAN PUSAT STATISTIK

BADAN PUSAT STATISTIK BADAN PUSAT STATISTIK No. 05/09/53/Th.XVIII, 15 Sept 2015 PROFIL KEMISKINAN DI NUSA TENGGARA TIMUR MARET 2015 JUMLAH PENDUDUK MISKIN MARET 2015 MENCAPAI 1.159,84 RIBU ORANG (22,61PERSEN) Jumlah penduduk

Lebih terperinci

PROSIDING SEMINAR NASIONAL STATISTIKA UNIVERSITAS DIPONEGORO 2013 ISBN:

PROSIDING SEMINAR NASIONAL STATISTIKA UNIVERSITAS DIPONEGORO 2013 ISBN: APLIKASI SISTEM PERSAMAAN SEEMINGLY UNRELATED REGRESSIONS PADA MODEL PERMINTAAN PANGAN Kim Budiwinarto 1 1 Progdi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Surakarta Abstrak Fenomena ekonomi yang kompleks

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI ACEH MARET 2015

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI ACEH MARET 2015 B P S P R O V I N S I A C E H No. 46/09/TH.XVIII, 15 September 2015 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI ACEH MARET 2015 JUMLAH PENDUDUK MISKIN Maret 2015 MENCAPAI 851 RIBU ORANG RINGKASAN Pada Maret 2015, jumlah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. cenderung meningkat dari waktu ke waktu. Pada tahun 2010 prevalensi merokok

BAB I PENDAHULUAN. cenderung meningkat dari waktu ke waktu. Pada tahun 2010 prevalensi merokok 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, mengkonsumsi rokok dan produk tembakau lainnya sudah merupakan kebiasaan. Prevalensi konsumsi rokok cenderung meningkat dari

Lebih terperinci

IV. POLA KONSUMSI RUMAHTANGGA

IV. POLA KONSUMSI RUMAHTANGGA 31 IV. POLA KONSUMSI RUMAHTANGGA 4.1. Pengeluaran dan Konsumsi Rumahtangga Kemiskinan tidak terlepas dari masalah tingkat pendapatan yang masih rendah dan hal ini umumnya terjadi di wilayah pedesaan Distribusi

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH MARET 2013

PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH MARET 2013 No. 07/07/62/Th. VII, 1 Juli 2013 PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH MARET 2013 RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan) di

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI BANTEN MARET 2015

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI BANTEN MARET 2015 No. 44/09/36/Th. IX, 15 September 2015 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI BANTEN MARET 2015 JUMLAH PENDUDUK MISKIN MARET 2015 MENCAPAI 702,40 RIBU ORANG Pada bulan 2015, jumlah penduduk miskin (penduduk dengan

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI SULAWESI BARAT SEPTEMBER 2016

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI SULAWESI BARAT SEPTEMBER 2016 BPS PROVINSI SULAWESI BARAT No. 05/01/76/Th.XI, 3 Januari 2017 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI SULAWESI BARAT SEPTEMBER 2016 JUMLAH PENDUDUK MISKIN sebesar 146,90 RIBU JIWA (11,19 PERSEN) Persentase penduduk

Lebih terperinci

KONDISI KEMISKINAN PROVINSI GORONTALO SEPTEMBER 2014

KONDISI KEMISKINAN PROVINSI GORONTALO SEPTEMBER 2014 No. 05/01/75/Th.IX, 2 Januari 2015 KONDISI KEMISKINAN PROVINSI GORONTALO SEPTEMBER 2014 Pada September 2014 persentase penduduk miskin di Provinsi Gorontalo sebesar 17,41 persen. Angka ini turun dibandingkan

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI BALI MARET 2014

PROFIL KEMISKINAN DI BALI MARET 2014 No. 45/07/51/Th. VIII, 1 Juli 2014 PROFIL KEMISKINAN DI BALI MARET 2014 JUMLAH PENDUDUK MISKIN MARET 2014 MENCAPAI 185,20 RIBU ORANG Jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI NUSA TENGGARA BARAT SEPTEMBER 2012

PROFIL KEMISKINAN DI NUSA TENGGARA BARAT SEPTEMBER 2012 BADAN PUSAT STATISTIK No. 6/01/52/TH.VII, 2 JANUARI 2013 PROFIL KEMISKINAN DI NUSA TENGGARA BARAT SEPTEMBER 2012 JUMLAH PENDUDUK MISKIN SEPTEMBER 2012 MENCAPAI 828,33 RIBU ORANG Jumlah penduduk miskin

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI ACEH MARET 2014

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI ACEH MARET 2014 B P S P R O V I N S I A C E H No. 31/07/Th.XVII, 1 Juli 2014 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI ACEH MARET 2014 JUMLAH PENDUDUK MISKIN MARET 2014 MENCAPAI 881 RIBU ORANG RINGKASAN Persentase penduduk miskin

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA SEPTEMBER 2012

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA SEPTEMBER 2012 BADAN PUSAT STATISTIK No. 06/01/Th. XVI, 2 Januari 2013 PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA SEPTEMBER 2012 JUMLAH PENDUDUK MISKIN SEPTEMBER 2012 MENCAPAI 28,59 JUTA ORANG Pada bulan September 2012, jumlah penduduk

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU, MARET 2017

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU, MARET 2017 BPS PROVINSI KEPULAUAN RIAU Nomor 51/07/21/Th. XII, 17 Juli 2017 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU, MARET 2017 Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada di bawah Garis Kemiskinan) di Provinsi

Lebih terperinci

4 METODE PENELITIAN Jenis dan Sumber Data Metode Pengolahan dan Analisis Data

4 METODE PENELITIAN Jenis dan Sumber Data Metode Pengolahan dan Analisis Data 29 4 METODE PENELITIAN Jenis dan Sumber Data Jenis data utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder tahunan deret waktu (time series), dari tahun 1985 hingga 2011. Adapun sumbersumber

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI ACEH SEPTEMBER 2014

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI ACEH SEPTEMBER 2014 B P S P R O V I N S I A C E H No. 4/01/Th.XVIII, 2 Januari 2015 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI ACEH SEPTEMBER 2014 JUMLAH PENDUDUK MISKIN SEPTEMBER 2014 MENCAPAI 837 RIBU ORANG RINGKASAN Pada September

Lebih terperinci

BPS PROVINSI LAMPUNG ANGKA KEMISKINAN LAMPUNG MARET No. 08/07/18/TH.IX, 17 Juli 2017

BPS PROVINSI LAMPUNG ANGKA KEMISKINAN LAMPUNG MARET No. 08/07/18/TH.IX, 17 Juli 2017 BPS PROVINSI LAMPUNG No. 08/07/18/TH.IX, 17 Juli 2017 ANGKA KEMISKINAN LAMPUNG MARET 2017 Angka kemiskinan Lampung dari penghitungan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2017 mencapai 13,69

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH MARET 2014

PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH MARET 2014 No. 07/07/62/Th. VIII, 1 Juli 2014 PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH MARET 2014 RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan)

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI SULAWESI BARAT SEPTEMBER 2013

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI SULAWESI BARAT SEPTEMBER 2013 BPS PROVINSI SULAWESI BARAT No. 05/01/76/Th.VIII, 2 Januari 2014 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI SULAWESI BARAT SEPTEMBER 2013 JUMLAH PENDUDUK MISKIN SEPTEMBER 2013 SEBANYAK 154,20 RIBU JIWA Persentase penduduk

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH MARET 2017

PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH MARET 2017 No. 06/07/62/Th. XI, 17 Juli 2017 1. PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH MARET 2017 RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan)

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH MARET 2016

PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH MARET 2016 No. 07/07/62/Th. X, 18 Juli 2016 PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH MARET 2016 RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan) di

Lebih terperinci

TINGKAT KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN BARAT MARET 2011

TINGKAT KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN BARAT MARET 2011 BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT No. 37/08/61/Th. XIV, 5 Agustus 2011 TINGKAT KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN BARAT MARET 2011 Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan) di Kalimantan

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH SEPTEMBER 2013

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH SEPTEMBER 2013 No. 05/01/33/Th. VIII, 2 Januari 2014 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH SEPTEMBER 2013 JUMLAH PENDUDUK MISKIN SEPTEMBER 2013 MENCAPAI 4,705 JUTA ORANG RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI JAWA TENGAH MARET 2017

PROFIL KEMISKINAN DI JAWA TENGAH MARET 2017 PROFIL KEMISKINAN DI JAWA TENGAH MARET 2017 No. 47/07/33/Th. XI, 17 Juli 2017 PERSENTASE PENDUDUK MISKIN MARET 2017 MENCAPAI 13,01 PERSEN Pada bulan 2017, jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI BALI SEPTEMBER 2013

PROFIL KEMISKINAN DI BALI SEPTEMBER 2013 No. 05/01/51/Th. VIII, 2 Januari 2014 PROFIL KEMISKINAN DI BALI SEPTEMBER 2013 JUMLAH PENDUDUK MISKIN SEPTEMBER 2013 MENCAPAI 186,53 RIBU ORANG Jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH MARET 2016

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH MARET 2016 No. 49/07/33/Th. X, 18 Juli 2016 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH MARET 2016 JUMLAH PENDUDUK MISKIN MARET 2016 MENCAPAI 4,507JUTA ORANG RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah

Lebih terperinci

TINGKAT KEMISKINAN DI DKI JAKARTA MARET 2013

TINGKAT KEMISKINAN DI DKI JAKARTA MARET 2013 No. 32/07/31/XV, 1 Juli 2013 TINGKAT KEMISKINAN DI DKI JAKARTA MARET 2013 Pada bulan Maret 2013, jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan) di DKI

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU, SEPTEMBER 2016

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU, SEPTEMBER 2016 BPS PROVINSI KEPULAUAN RIAU No 07/01/21/Th. XII, 3 Januari 2017 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU, SEPTEMBER 2016 Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada di bawah Garis Kemiskinan) di Provinsi

Lebih terperinci

TINGKAT KEMISKINAN DI DKI JAKARTA MARET 2012

TINGKAT KEMISKINAN DI DKI JAKARTA MARET 2012 BPS PROVINSI DKI JAKARTA No. 30/07/31/Th. XIV, 2 Juli 2012 TINGKAT KEMISKINAN DI DKI JAKARTA MARET 2012 RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada di bawah Garis Kemiskinan) di DKI Jakarta

Lebih terperinci

BPSPROVINSI JAWATIMUR

BPSPROVINSI JAWATIMUR BPSPROVINSI JAWATIMUR No. 06/01/35/Th.XIII, 2 Januari 2015 PROFIL KEMISKINAN DI JAWA TIMUR SEPTEMBER 2014 RINGKASAN Jumlah penduduk miskin di Jawa Timur pada bulan September 2014 dibandingkan turun sebesar

Lebih terperinci

TINGKAT KEMISKINAN BALI, MARET 2017

TINGKAT KEMISKINAN BALI, MARET 2017 No. 46/07/51/Th. X, 17 Juli 2017 TINGKAT KEMISKINAN BALI, MARET 2017 Terjadi kenaikan persentase penduduk miskin di Bali pada 2017 jika dibandingkan dengan September 2016. Tingkat kemiskinan pada 2017

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI SULAWESI BARAT MARET 2017

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI SULAWESI BARAT MARET 2017 BPS PROVINSI SULAWESI BARAT No. 41/07/76/Th.XI, 17 Juli 2017 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI SULAWESI BARAT MARET 2017 JUMLAH PENDUDUK MISKIN sebesar 149,76 RIBU JIWA (11,30 PERSEN) Persentase penduduk miskin

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI NUSA TENGGARA BARAT MARET 2016

PROFIL KEMISKINAN DI NUSA TENGGARA BARAT MARET 2016 BADAN PUSAT STATISTIK No. 47/07/52/TH.X, 18 JULI 2016 PROFIL KEMISKINAN DI NUSA TENGGARA BARAT MARET 2016 JUMLAH PENDUDUK MISKIN MARET 2016 MENCAPAI 804,44 RIBU ORANG Jumlah penduduk miskin di Nusa Tenggara

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU, MARET 2016

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU, MARET 2016 BPS PROVINSI KEPULAUAN RIAU No. 57/07/21/Th. XI, 18 Juli 2016 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU, MARET 2016 Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada di bawah Garis Kemiskinan) di Provinsi

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK BPS KABUPATEN BLITAR

BERITA RESMI STATISTIK BPS KABUPATEN BLITAR BERITA RESMI STATISTIK BPS KABUPATEN BLITAR No. 02/06/3505/Th.I, 13 Juni 2017 PROFIL KEMISKINAN KABUPATEN BLITAR TAHUN 2016 RINGKASAN Persentase penduduk miskin (P0) di Kabupaten Blitar pada tahun 2016

Lebih terperinci

BPS PROVINSI KEPULAUAN RIAU

BPS PROVINSI KEPULAUAN RIAU BPS PROVINSI KEPULAUAN RIAU No. 06/01/21/Th.VIII, 2 Januari 2013 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU, SEPTEMBER 2012 Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada di bawah Garis Kemiskinan) di

Lebih terperinci

KEMISKINAN PROVINSI BENGKULU SEPTEMBER 2016

KEMISKINAN PROVINSI BENGKULU SEPTEMBER 2016 No. 05/01/17/XI, 3 Januari 2017 KEMISKINAN PROVINSI BENGKULU SEPTEMBER 2016 JUMLAH PENDUDUK MISKIN SEPTEMBER 2016 MENCAPAI 325.600 ORANG (17,03 PERSEN) PERSENTASE KEMISKINAN SEPTEMBER 2016 TURUN JIKA DIBANDINGKAN

Lebih terperinci

TINGKAT KEMISKINAN DI DKI JAKARTA TAHUN 2010

TINGKAT KEMISKINAN DI DKI JAKARTA TAHUN 2010 BPS PROVINSI DKI JAKARTA No. 21/07/31/Th. XII, 1 Juli 2010 TINGKAT KEMISKINAN DI DKI JAKARTA TAHUN 2010 RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada di bawah Garis Kemiskinan) di DKI Jakarta

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAMBI SEPTEMBER 2016

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAMBI SEPTEMBER 2016 10,00 5,00 0,00-5,00 4,91 1,37 0,83-0,60 0,44 0,43 1,18 Bahan Mkn Jadi, Mnman, Rokok & Tbk Perumahan Sandang No.05/05/15/Th. XI, 3 Januari 2017 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAMBI SEPTEMBER 2016 JUMLAH

Lebih terperinci

KEMISKINAN DAN KETIMPANGAN PROVINSI SULAWESI UTARA MARET 2017

KEMISKINAN DAN KETIMPANGAN PROVINSI SULAWESI UTARA MARET 2017 No. 47/07/71/Th. XX, 17 Juli 2017 KEMISKINAN DAN KETIMPANGAN PROVINSI SULAWESI UTARA MARET 2017 Angka-angka kemiskinan yang disajikan dalam Berita Resmi Statistik ini merupakan angka yang dihasilkan melalui

Lebih terperinci

BPS PROVINSI KEPULAUAN RIAU

BPS PROVINSI KEPULAUAN RIAU BPS PROVINSI KEPULAUAN RIAU No. 06/01/21/Th X, 2 Januari 2015 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU, SEPTEMBER 2014 Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada di bawah Garis Kemiskinan) di Provinsi

Lebih terperinci

TINGKAT KEMISKINAN DI DKI JAKARTA MARET 2015

TINGKAT KEMISKINAN DI DKI JAKARTA MARET 2015 BPS PROVINSI DKI JAKARTA No. 44/09/31/Th XVII, 15 September 2015 TINGKAT KEMISKINAN DI DKI JAKARTA MARET 2015 Jumlah penduduk miskin di DKI Jakarta pada bulan Maret 2015 sebesar 398,92 ribu orang (3,93

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI NUSA TENGGARA BARAT MARET 2015

PROFIL KEMISKINAN DI NUSA TENGGARA BARAT MARET 2015 BADAN PUSAT STATISTIK No. 64 /09/52/TH.IX, 15 SEPTEMBER 2015 PROFIL KEMISKINAN DI NUSA TENGGARA BARAT MARET 2015 JUMLAH PENDUDUK MISKIN MARET 2015 MENCAPAI 823,89 RIBU ORANG Jumlah penduduk miskin di Nusa

Lebih terperinci

ANGKA KEMISKINAN PROVINSI BANTEN MARET 2017

ANGKA KEMISKINAN PROVINSI BANTEN MARET 2017 No. 40/07/36/Th.XI, 17 Juli 2017 ANGKA KEMISKINAN PROVINSI BANTEN MARET 2017 ANGKA KEMISKINAN PROVINSI BANTEN MARET NAIK MENJADI 5,45 PERSEN Angka kemiskinan Provinsi Banten hasil Survei Sosial Ekonomi

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Desain, Sumber dan Jenis Data

METODE PENELITIAN Desain, Sumber dan Jenis Data 20 METODE PENELITIAN Desain, Sumber dan Jenis Data Penelitian ini menggunakan data Susenas Modul Konsumsi tahun 2005 yang dikumpulkan dengan desain cross sectional. Data Susenas Modul Konsumsi terdiri

Lebih terperinci

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT No. 40/7/61/Th. XVII, 1 Juli 2014 TINGKAT KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN BARAT MARET 2014 Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan) di Kalimantan

Lebih terperinci

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT No. 54/09/61/Th.XVIII, 15 September 2015 TINGKAT KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN BARAT MARET 2015 Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan) di

Lebih terperinci

TINGKAT KEMISKINAN DI DKI JAKARTA MARET 2014

TINGKAT KEMISKINAN DI DKI JAKARTA MARET 2014 No. 34/07/31/Th. XVI, 1 Juli 2014 TINGKAT KEMISKINAN DI DKI JAKARTA MARET 2014 Pada bulan Maret 2014, jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan)

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI NUSA TENGGARA BARAT SEPTEMBER 2015

PROFIL KEMISKINAN DI NUSA TENGGARA BARAT SEPTEMBER 2015 BADAN PUSAT STATISTIK No. 05 /01/52/TH.X, 4 JANUARI 2016 PROFIL KEMISKINAN DI NUSA TENGGARA BARAT SEPTEMBER 2015 JUMLAH PENDUDUK MISKIN SEPTEMBER 2015 MENCAPAI 802,29 RIBU ORANG Jumlah penduduk miskin

Lebih terperinci

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT No. 05/01/61/Th. XVIII, 2 Januari 2015 TINGKAT KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN BARAT JANUARI 2015 Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan) di

Lebih terperinci

Jumlah total komoditas yang ingin dibeli oleh semua rumah tangga disebut. jumlah yang diminta (quantity demanded) untuk komoditas tersebut.

Jumlah total komoditas yang ingin dibeli oleh semua rumah tangga disebut. jumlah yang diminta (quantity demanded) untuk komoditas tersebut. III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1Permintaan Jumlah total komoditas yang ingin dibeli oleh semua rumah tangga disebut jumlah yang diminta (quantity demanded) untuk komoditas

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN SULAWESI SELATAN, MARET 2017

PROFIL KEMISKINAN SULAWESI SELATAN, MARET 2017 BPS PROVINSI SULAWESI SELATAN PROFIL KEMISKINAN SULAWESI SELATAN, MARET 2017 PERSENTASE PENDUDUK MISKIN MARET 2017 SEBESAR 9,38 PERSEN No. 39/07/73/Th. XI, 17 Juli 2017 Penduduk miskin di Sulawesi Selatan

Lebih terperinci

TINGKAT KEMISKINAN DI PROVINSI BENGKULU MARET 2015 SEBESAR 17,88 PERSEN.

TINGKAT KEMISKINAN DI PROVINSI BENGKULU MARET 2015 SEBESAR 17,88 PERSEN. No. 55/09/17/Th.IX, 15 September 2015 TINGKAT KEMISKINAN DI PROVINSI BENGKULU MARET 2015 SEBESAR 17,88 PERSEN. Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan) di Provinsi Bengkulu

Lebih terperinci

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT No. 05/01/61/Th. XVI, 2 Januari 2013 TINGKAT KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN BARAT JANUARI 2013 Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan) di Kalimantan

Lebih terperinci

TINGKAT KEMISKINAN DI DKI JAKARTA SEPTEMBER 2014

TINGKAT KEMISKINAN DI DKI JAKARTA SEPTEMBER 2014 BPS PROVINSI DKI JAKARTA Jumlah penduduk miskin di DKI Jakarta pada bulan September 2014 sebesar 412,79 ribu orang (4,09 persen). Dibandingkan dengan Maret 2014 (393,98 ribu orang atau 3,92 persen), jumlah

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI BALI MARET 2016

PROFIL KEMISKINAN DI BALI MARET 2016 No. 47/07/51/Th. X, 18 Juli 2016 PROFIL KEMISKINAN DI BALI MARET 2016 JUMLAH PENDUDUK MISKIN MARET 2016 MENCAPAI 178.18 RIBU ORANG Jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

PROFIL KEMISKINAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA BPS PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA No. 05/01/34/Th.XVII, 2 Januari 2015 PROFIL KEMISKINAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RINGKASAN Garis kemiskinan di Daerah Istimewa Yogyakarta pada sebesar Rp 321.056,-

Lebih terperinci

BPS PROVINSI KEPULAUAN RIAU

BPS PROVINSI KEPULAUAN RIAU BPS PROVINSI KEPULAUAN RIAU No. 125/07/21/Th. III, 1 Juli 2009 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU MARET 2009 Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan) di Provinsi

Lebih terperinci

IX. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

IX. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 199 IX. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 9.1. Kesimpulan 1. Berdasarkan data Susenas tahun 2008, dapat dikatakan bahwa sebagian besar penduduk Indonesia di berbagai wilayah lebih banyak mengkonsumsi

Lebih terperinci

BADAN PUSAT STATISTIK

BADAN PUSAT STATISTIK BADAN PUSAT STATISTIK No. 05/07/53/Th.XX, 17 Juli 2017 PROFIL KEMISKINAN DI NUSA TENGGARA TIMUR Maret 2017 JUMLAH PENDUDUK MISKIN Maret 2017 MENCAPAI 1.150,79 RIBU ORANG (21,85 PERSEN) Jumlah penduduk

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI JAWA TENGAH SEPTEMBER 2016

PROFIL KEMISKINAN DI JAWA TENGAH SEPTEMBER 2016 PROFIL KEMISKINAN DI JAWA TENGAH SEPTEMBER 2016 No. 05/01/33/Th. XI, 3 Januari 2017 PERSENTASE PENDUDUK MISKIN SEPTEMBER 2016 MENCAPAI 13,19 PERSEN Pada bulan ember 2016, jumlah penduduk miskin (penduduk

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI NUSA TENGGARA BARAT MARET 2017

PROFIL KEMISKINAN DI NUSA TENGGARA BARAT MARET 2017 BADAN PUSAT STATISTIK No. 45 /07/52/TH.XI, 17 Juli 2017 PROFIL KEMISKINAN DI NUSA TENGGARA BARAT MARET 2017 JUMLAH PENDUDUK MISKIN MARET 2017 MENCAPAI 793,78 RIBU ORANG Jumlah penduduk miskin di Nusa Tenggara

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK

BERITA RESMI STATISTIK Profil Kemiskinan Provinsi Bengkulu September 2017 No. 06/01/17/Th. XII, 2 Januari 2018 BERITA RESMI STATISTIK PROVINSI BENGKULU Profil Kemiskinan Provinsi Bengkulu September 2017 Persentase Penduduk Miskin

Lebih terperinci

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT No. 05/01/61/Th. XV, 2 Januari 2012 TINGKAT KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN BARAT SEPTEMBER 2011 Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan) di Kalimantan

Lebih terperinci

TINGKAT KEMISKINAN DI DKI JAKARTA SEPTEMBER 2013

TINGKAT KEMISKINAN DI DKI JAKARTA SEPTEMBER 2013 No. 04/01/31/Th. XVI/ 2 Januari 2014 TINGKAT KEMISKINAN DI DKI JAKARTA SEPTEMBER 2013 RINGKASAN Jumlah penduduk miskin di DKI Jakarta pada bulan September 2013 sebesar 375,70 ribu orang (3,72 persen).

Lebih terperinci

ANALISIS PERMINTAAN PANGAN HEWANI RUMAH TANGGA DI PROVINSI JAWA BARAT ENDAH NORA SUSANTI

ANALISIS PERMINTAAN PANGAN HEWANI RUMAH TANGGA DI PROVINSI JAWA BARAT ENDAH NORA SUSANTI ANALISIS PERMINTAAN PANGAN HEWANI RUMAH TANGGA DI PROVINSI JAWA BARAT ENDAH NORA SUSANTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI NUSA TENGGARA BARAT SEPTEMBER 2016

PROFIL KEMISKINAN DI NUSA TENGGARA BARAT SEPTEMBER 2016 BADAN PUSAT STATISTIK No. 05 /01/52/Th. XI, 3 Januari 2017 PROFIL KEMISKINAN DI NUSA TENGGARA BARAT SEPTEMBER 2016 JUMLAH PENDUDUK MISKIN SEPTEMBER 2016 MENCAPAI 786,58 RIBU ORANG Jumlah penduduk miskin

Lebih terperinci

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT No. 05/01/61/Th.XIX, 04 Januari 2016 TINGKAT KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN BARAT SEPTEMBER 2015 Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan) di

Lebih terperinci

BPS PROVINSI SUMATERA SELATAN

BPS PROVINSI SUMATERA SELATAN BPS PROVINSI SUMATERA SELATAN No. 39/07/16/ Th. XIX, 17 Juli 2017 PROFIL KEMISKINAN PROVINSI SUMATERA SELATAN MARET 2017 PERSENTASE PENDUDUK MISKIN KEADAAN MARET 2017 MENCAPAI 13,19 PERSEN Keadaan Maret

Lebih terperinci