VII. MODEL PERMINTAAN IKAN DI INDONESIA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "VII. MODEL PERMINTAAN IKAN DI INDONESIA"

Transkripsi

1 161 VII. MODEL PERMINTAAN IKAN DI INDONESIA Pemodelan suatu fenomena seringkali tidak cukup hanya dengan satu persamaan, namun diperlukan beberapa persamaan. Pada Bab IV telah disebutkan bahwa ditinjau dari sifat hubungan antar persamaan terdapat model persamaan tunggal dan model persamaan simultan. Penggunaan metode Ordinary Least Square (OLS) untuk menduga parameter persamaan tungga sangat populer karena penggunaannya yang relatif mudah. Namun penggunaan metode ini seringkali dihadapkan pada masalah heteroskedastisitas dan autokorelasi. Masalah heteroskedastisitas sering terjadi pada analisis data yang bersifat cross section, sedangkan masalah autokorelasi sering terjadi pada data runtun waktu. Pelanggaran terhadap asumsi tersebut mengakibatkan dugaan yang dihasilkan tetap tak bias tapi tidak efisien (Gujarati, 1986). Masalah heteroskedastisitas sering terjadi pada analisis fungsi konsumsi (permintaan). Hal ini terjadi karena pada fungsi tersebut besarnya konsumsi (permintaan) terhadap suatu barang dipengaruhi oleh besarnya pendapatan. Di sisi lain, semakin besar pendapatan, semakin banyak alternatif untuk menggunakan pendapatannya tersebut atau semakin beragam pengeluaran untuk konsumsi. Oleh karena itu untuk membuat model yang menggambarkan fenomena tersebut, diperlukan beberapa persamaan konsumsi yang harus dipandang sebagai suatu sistem karena saling terkait. Adanya saling keterkaitan diantara permintaan komoditas membuat fungsi permintaan bersifat sistem menimbulkan masalah dalam pendugaan parameternya. Metode pendugaan yang digunakan harus berupa metode sistem, dengan kata lain semua persamaan dalam model digunakan secara bersama-sama dan akan memberikan hasil pendugaan parameter secara simultan. Pada penelitian ini,

2 162 model yang digunakan untuk menganalisis permintaan terhadap produk ikan adalah model Quadratic Almost Ideal Demand System (QUAIDS) dengan pendekatan multistage budgeting approach. Studi pendahuluan yang dilakukan oleh Virgantari et al (2010) menunjukkan bahwa model QUAIDS memberikan hasil yang lebih baik daripada model LA/AIDS. Selain terlihat dari peningkatan nilai koefisien determinasi sistem, hal tersebut juga diindikasikan oleh kurva Engel masing-masing komoditas yang tidak linear berdasarkan hasil pengujian (Lampiran 28). Ketidaklinearan kurva Engel ini sering dijumpai pada studi permintaan empiris, seperti ditunjukkan oleh Banks et.al (1997), Dey (2000), Katchova dan Chern (2004). Pada penelitian ini diasumsikan bahwa seorang konsumen mengalokasikan pendapatannya secara bertahap. Pada tahap pertama konsumen mengalokasikan pendapatannya untuk pengeluaran makanan dan bukan makanan. Tahap kedua konsumen mengalokasikan porsi pengeluaran untuk makanan ke dalam kelompok ikan dan bukan ikan. Sedangkan pada tahap ketiga konsumen mengalokasikan porsi pengeluaran ikan berdasarkan kelompok ikan yang digunakan yaitu ikan segar (kelompok 1), udang/hewan air lain yang segar (kelompok 2), ikan awetan (kelompok 3), udang/hewan air lain yang diawetkan (kelompok 4). Penggolongan jenis ikan secara lebih rinci dapat dilihat pada Bab V. Pada tahap pertama (stage 1) pendugaan parameter model dilakukan dengan metode kuadrat terkecil (Ordinary least Square/OLS). Selanjutnya nilai dugaan dari tahap pertama tersebut digunakan untuk melakukan pendugaan pada tahap 2 (stage 2) dengan menggunakan metode kemungkinan maksimum. Nilai dugaan dari tahap ini selanjutnya digunakan untuk menduga fungsi permintaan setiap jenis kelompok ikan dengan pendekatan sistem (stage 3). Nilai dugaan dari ketiga tahap tersebut akan

3 163 dibahas pada sub bab berikut. Sub bab berikutnya membahas nilai elastisitas pendapatan, elastisitas harga sendiri dan elastisitas harga silang Dugaan Parameter Model Permintaan Dugaan Parameter Model Permintaan pada Stage-1 Dugaan parameter fungsi pengeluaran pangan pada stage 1 disajikan pada Tabel 34, sedangkan program dan outputnya dapat dilihat pada Lampiran 29. Model yang diperoleh dari stage-1 terlihat cukup baik seperti terlihat dari nilai koefisien determinasi lebih dari 70 persen. Pada tahap ini diperoleh dugaan koefisien dummy wilayah desa-kota bertanda positif dan signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pengeluaran pangan masyarakat perkotaan secara signifikan lebih tinggi dibandingkan masyarakat perdesaan. Koefisien jumlah anggota rumah tangga juga berpengaruh secara signifikan dan bertanda positif, yang mengindikasikan bahwa semakin banyak anggota rumah tangga, maka semakin besar pula tingkat pengeluaran pangannya. Pada tahap pertama ini, golongan pengeluaran ternyata tidak berpengaruh secara signifikan. Dummy wilayah Sumatera, Jawa-Bali dan Sulawesi bertanda positif dan signifikan, sedangkan koefisien wilayah Maluku bertanda negatif dan signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pengeluaran di ketiga wilayah tersebut termasuk paling tinggi dan lebih tinggi daripada wilayah Papua, sedangkan wilayah Maluku adalah yang paling rendah. Dummy 3 (Nusa Tenggara) dan dummy 4 (Kalimantan) tidak berpengaruh secara signifikan. Koefisien indeks harga pangan bertanda negatif dan berpengaruh signifikan, menunjukkan bahwa semakin tinggi harga suatu komoditas pangan, maka tingkat pengeluarannya akan semakin kecil. Pada tahap ini terlihat bahwa faktor kuadratik dari logaritma

4 164 pengeluaran per kapita berpengaruh secara signifikan, hal ini menunjukkan bahwa respon pengeluaran pangan terhadap total pendapatan tidak linear. Tabel 34. Dugaan Koefisien Fungsi Permintaan Pangan (Stage 1) Berdasarkan Data Susenas Tahun 2008 Peubah Intersep Wilayah(desa-kota) Jumlah anggota RT Golongan Pengeluaran Dummy 1 (Sumatera) Dummy 2 (Jawa-Bali) Dummy 3 (NT) Dummy 4 (Kalimantan) Dummy 5 (Sulawesi) Dummy 6 (Maluku) Indeks Harga pangan Log Pengeluaran non-pangan Log Pengeluaran Kuadrat Log Pengeluaran Dugaan Parameter tn tn tn ** Koefisien Determinasi 70.7% Keterangan: ** : signifikan pada taraf =1%, : signifikan pada taraf =5%, tn : tidak signifikan Dugaan Parameter Model Permintaan pada Stage-2 Tabel 35 menyajikan dugaan koefisien fungsi permintaan ikan (stage 2), sedangkan program dan output analisis dapat dilihat pada Lampiran 30. Pada tahap ini, seluruh peubah berpengaruh signifikan terhadap permintaan ikan. Koefisien wilayah desa-kota bertanda positif, menunjukkan bahwa secara signifikan permintaan ikan di kota lebih besar daripada di desa. Koefisien jumlah anggota rumahtangga bertanda positif, menunjukkan bahwa semakin banyak jumlah anggota tumahtangga semakin besar pula tingkat permintaan ikan. Dummy wilayah kepulauan semua bertanda negatif, menunjukkan bahwa tingkat permintaan di semua wilayah berbeda nyata dengan permintaan ikan di Papua, dengan permintaan tertinggi adalah wilayah Maluku dan terendah adalah wilayah Sumatera. Indeks harga ikan bertanda negatif dengan angka yang cukup besar,

5 165 menunjukkan bahwa bila harga ikan menurun, makan tingkat permintaan akan naik dan sebaliknya. Bentuk kuadratik dari logaritma pengeluaran pangan juga berpengaruh signifikan dan bertanda negatif. Hal ini menunjukkan bahwa respon pengeluaran ikan terhadap perubahan pengeluaran pangan tidak linear dengan arah sebaliknya. Tabel 35. Dugaan Koefisien Fungsi Permintaan Ikan (Stage 2) Berdasarkan Data Susenas Tahun 2008 Peubah Intersep Wilayah(desa-kota) Jumlah anggota RT Golongan pengeluaran Dummy 1 (Sumatera) Dummy 2 (Jawa-Bali) Dummy 3 (NT) Dummy 4 (Kalimantan) Dummy 5 (Sulawesi) Dummy 6 (Maluku) Indeks Harga Ikan Log Pengeluaran Pangan Kuadrat Log Pengeluaran Pangan Keterangan: : signifikan pada taraf =1%, Dugaan Koefisien Dugaan Parameter Model Permintaan pada Stage-3 Tabel 36 menyajikan nilai dugaan koefisien sistem permintaan ikan (ikan segar, udang/hewan air lain yang segar, ikan awetan, dan udang/hewan air lain yang diawetkan) dari tahap ketiga, sedangkan program dan output analaisis dapat dilihat pada Lampiran 31. Dari tahap ini terlihat bahwa semua peubah berpengaruh signifikan terhadap fungsi permintaan masing-masing kelompok ikan dengan nilai koefisien determinasi sistem 67.3%. Pada fungsi permintaan ikan segar terlihat bahwa koefisien wilayah desakota bertanda positif, menunjukkan bahwa tingkat pengeluaran ikan di perkotaan lebih besar daripada di perdesaan. Peubah jumlah anggota rumah tangga juga

6 166 berpengaruh positif, yang menunjukkan bahwa semakin banyak jumlah anggota rumahtangga semakin tinggi permintaan terhadap ikan segar. Dummy wilayah kepulauan semua bertanda positif, menunjukkan bahwa pemintaan rumahtangga terhadap kelompok ikan segar di Sumatra, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi, Kalimantan, dan Maluku semuanya lebih besar daripada di Papua dan Papua Barat. Semua koefisien dummy wilayah pada fungsi permintaan keempat kelompok ikan menunjukkan angka tertinggi di wilayah Kalimantan dan terendah di wilayah Jawa-Bali. Koefisien harga sendiri bertanda negatif, menunjukkan bahwa semakin tinggi harga ikan segar, maka permintaannya semakin rendah, dan sebaliknya semakin rendah harga ikan segar, maka permintaannya semakin tinggi, dan hal tersebut sesuai dengan hukum Ekonomi mengenai teori permintaan. Koefisien pengeluaran ikan bertanda negatif, sedangkan bentuk kuadratiknya bertanda positif dan signifikan. Hal ini mengindikasikan bahwa kurva Engel untuk komoditas ikan segar tidak bersifat linear, artinya bahwa tingkat pendapatan mengalami kenaikan yang lebih cepat daripada tingkat permintaan ikan segar. Pada fungsi permintaan udang segar terlihat bahwa koefisien wilayah desa-kota bertanda positif, menunjukkan bahwa tingkat pengeluaran udang segar di perkotaan lebih besar daripada di perdesaan. Peubah jumlah anggota rumah tangga juga berpengaruh positif, yang menunjukkan bahwa semakin banyak jumlah anggota rumahtangga semakin tinggi permintaan terhadap udang segar. Dummy wilayah kepulauan semua bertanda positif, menunjukkan bahwa pemintaan rumahtangga terhadap kelompok udang segar di Sumatra, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi, Kalimantan, dan Maluku semuanya lebih besar daripada di Papua dan Papua Barat.

7 167 Tabel 36. Dugaan koefisien sistem permintaan ikan segar, udang/hewan air lain yang segar, ikan awetan, dan udang/hewan air lain yang diawetkan dengan model QUAIDS Koefisien Komoditas Ikan Segar Udang Ikan awetan Segar Intersep ** Wilayah(desa-kota) Jumlah anggota RT Golongan pengeluaran ** Dummy 1 (Sumatera) Dummy 2 (Jawa-Bali) ** Dummy 3 (NT) Dummy 4 (Kalimantan) Dummy 5 (Sulawesi) Dummy 6 (Maluku) Log Pikan segar Log Pudang segar Log Pikan awetan ** Log Pudang awetan Log Pengeluaran ikan Kuadrat Log Pengeluaran ikan 2 R sistem 67.3% Keterangan: : signifikan pada taraf =1%, ** : signifikan pada taraf =5% Udang awetan ** ** ** ** ** ** Koefisien harga sendiri semuanya bertanda negatif, menunjukkan bahwa semakin tinggi harga udang segar, maka permintaannya semakin rendah, dan sebaliknya semakin rendah harga udang segar, maka permintaannya semakin tinggi, dan hal tersebut sesuai dengan hukum Ekonomi mengenai teori permintaan. Koefisien pengeluaran udang segar bertanda negatif, sedangkan bentuk kuadratiknya bertanda positif dan signifikan. Hal ini mengindikasikan bahwa kurva Engel untuk komoditas udang segar tidak bersifat linear, artinya bahwa tingkat pendapatan mengalami kenaikan yang lebih cepat daripada tingkat permintaan udang segar. Pada fungsi permintaan ikan awetan terlihat bahwa koefisien wilayah desa-kota juga bertanda positif, menunjukkan bahwa tingkat pengeluaran ikan awetan di perkotaan lebih besar daripada di perdesaan. Peubah jumlah anggota

8 168 rumah tangga juga berpengaruh positif, yang menunjukkan bahwa semakin banyak jumlah anggota rumahtangga semakin tinggi permintaan terhadap ikan awetan. Dummy wilayah kepulauan semua bertanda positif, menunjukkan bahwa pemintaan rumahtangga terhadap kelompok ikan awetan di Sumatra, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi, Kalimantan, dan Maluku semuanya lebih besar daripada di Papua dan Papua Barat. Koefisien harga sendiri bertanda negatif, menunjukkan bahwa semakin tinggi harga ikan awetan, maka permintaannya semakin rendah, dan sebaliknya semakin rendah harga ikan awetan, maka permintaannya semakin tinggi, dan hal tersebut sesuai dengan hukum Ekonomi mengenai teori permintaan. Koefisien pengeluaran ikan awetan bertanda negatif, sedangkan bentuk kuadratiknya bertanda positif dan signifikan. Hal ini mengindikasikan bahwa kurva Engel untuk komoditas ikan awetan juga tidak bersifat linear. Berbeda dengan fungsi permintaan ikan segar, ikan awetan dan udang segar, pada fungsi permintaan udang awetan terlihat bahwa koefisien wilayah desa-kota bertanda negatif, menunjukkan bahwa tingkat pengeluaran udang awetan di perkotaan lebih kecil daripada di perdesaan. Peubah jumlah anggota rumah tangga berpengaruh negatif, yang menunjukkan bahwa semakin banyak jumlah anggota rumahtangga semakin rendah permintaan terhadap udang awetan. Dummy wilayah kepulauan semua bertanda positif, menunjukkan bahwa pemintaan rumahtangga terhadap kelompok udang awetan di Sumatra, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi, Kalimantan, dan Maluku semuanya lebih besar daripada di Papua dan Papua Barat. Koefisien harga sendiri bertanda negatif, menunjukkan bahwa semakin tinggi harga udang awetan, maka permintaannya semakin rendah, dan sebaliknya semakin rendah harga udang awetan, maka permintaannya semakin tinggi, dan hal tersebut sesuai dengan hukum Ekonomi mengenai teori permintaan. Koefisien pengeluaran udang

9 169 awetan bertanda negatif, sedangkan bentuk kuadratiknya bertanda positif dan signifikan. Hal ini mengindikasikan bahwa kurva Engel untuk komoditas udang awetan juga tidak bersifat linear, artinya bahwa tingkat pendapatan mengalami kenaikan yang lebih cepat daripada tingkat permintaanudang awetan Elastisitas Permintaan Elastisitas merupakan salah satu konsep penting untuk memahami beragam permasalahan di bidang ekonomi. Kondisi ekonomi selalu mengalami perubahan, misalnya perubahan pendapatan, perubahan harga, perubahan anggota keluarga, dan lain-lain. Dari fungsi permintaan dapat diperoleh gambaran bagaimana pengaruh perubahan-perubahan tersebut terhadap kuantitas permintaan. Namun dalam prakteknya, seringkali tidak cukup hanya sekedar mengetahui apakah kuantitas permintaan tersebut naik atau turun sebagai akibat perubahan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Dalam hal ini pengukuran seberapa jauh besarnya reaksi perubahan kuantitas permintaan tersebut terhadap perubahan harga dan faktor lainnya merupakan informasi yang berguna, baik bagi produsen maupun bagi pemerintah. Elastisitas permintaan mengukur seberapa seberapa banyak permintaan barang dan jasa (konsumsi) berubah ketika harga atau pendapatan berubah. Elastisitas permintaan ditunjukkan dalam bentuk persentase perubahan atas kuantitas yang diminta sebagai akibat dari satu persen perubahan harga atau pendapatan. Pada bagian ini akan disajikan dan dibahas tiga macam elastisitas yang sering digunakan, yaitu elastisitas pendapatan, elastisitas harga sendiri, dan elastisitas harga silang dari komoditas ikan segar, udang segar, ikan awetan dan udang awetan.

10 Elastisitas Pendapatan Tabel 37 menyajikan nilai elastisitas pengeluaran pangan, pengeluaran ikan dan pengeluaran setiap jenis ikan berdasarkan tingkat pendapatan. Elastisitas permintaan pangan yang diperoleh dari stage-1 terlihat semakin besar dengan semakin meningkatnya pendapatan. Pada tingkat pendapatan 1 sampai 5 (kurang dari Rp /kapita/bulan) permintaan pangan tidak responsif terhadap perubahan tingkat pendapatan, dengan nilai elastisitas berkisar dari 0.1 sampai 0.2. Mulai kelompok pendapatan ke-6 (di atas Rp /kapita/bulan) permintaan terhadap pangan baru terlihat elastis dengan koefisien elastisitas berkisar dari 1.3 sampai 1.4. Hal ini menunjukkan bahwa semakin besar tingkat pendapatan semakin besar pula bagian pendapatan yang digunakan untuk membelanjakan komoditas pangan, sehingga permintaannya semakin elastis. Elastisitas permintaan ikan yang diperoleh berdasarkan pendugaan parameter pada stage-2, nilainya berkisar dari 1.7 sampai 3.9, menunjukkan bahwa permintaan ikan secara umum sangat responsif (elastis) terhadap perubahan tingkat pendapatan pada semua golongan pengeluaran. Hal ini menunjukkan bahwa ikan secara umum merupakan barang mewah (luxury goods), di mana permintaannya dipengaruhi oleh perubahan pendapatan. Tabel 31 juga menunjukkan pola elastisitas permintaan ikan yang nilainya semakin kecil dengan semakin meningkatnya pendapatan. Hasil kajian Rachman (1999) mengenai pola konsumsi pangan di wilayah Indonesia bagian timur dengan data Susenas 1996, menunjukkan pola yang serupa, di mana nilai elastisitas pendapatan untuk komoditas ikan pada kelompok pendapatan rendah adalah 0.721, kelompok pendapatan sedang 0.673, dan kelompok pendapatan tinggi Kaelan (2005) berdasarkan data Susenas 2005 juga menyimpulkan bahwa, elastisitas pendapatan ikan laut semakin rendah dengan semakin

11 171 meningkatnya pendapatan. Studi yang dilakukan oleh Dey (2000), Piumsombun et.al (2003), Quang (2005) juga menunjukkan pola yang sama, elastisitas pendapatan untuk komoditas ikan semakin rendah dengan semakin meningkatnya pendapatan (Lampiran 32). Fenomena ini mengindikasikan bahwa permintaan terhadap ikan pada rumahtangga berpendapatan rendah lebih responsif terhadap perubahan pendapatan dibanding pada kelompok pendapatan tinggi. Implikasi dari temuan ini adalah perlunya prioritas kebijakan yang mendorong peningkatan pendapatan (dan atau stabilisasi harga) bagi kelompok penduduk pendapatan rendah. Hal ini untuk menjamin tercukupinya kebutuhan konsumsi ikan dari sisi kuantitas maupun kualitas. Bila dibandingkan dengan beberapa studi sebelumnya seperti yang dilakukan oleh Kuntjoro (1984) dengan data Susenas 1978, Teklu and Johnson (1988) dengan data Susenas 1980, Rachman (2001) dengan data Susenas 1996, Kusumastanto dan Joly (1997) dengan data runtun waktu tahun , terlihat adanya perubahan elastisitas pendapatan. Hasil kajian dari empat penelitian tersebut menunjukkan bahwa elastisitas pendapatan untuk komoditas ikan bernilai kurang dari 1 atau tidak elastis, sedangkan hasil penelitian dengan data Susenas 2008 menunjukkan bahwa elastisitas pendapatan untuk komoditas ikan secara umum bernilai lebih dari 1 untuk semua kelompok pendapatan, yang berarti kenaikan pendapatan 1 persen akan direspon dengan kenaikan permintaan ikan yang lebih dari 1 persen, dan sebaliknya bila pendapatan turun 1 persen akan direspon pula dengan penurunan permintaan ikan lebih dari 1 persen.

12 172 Tabel 37. Elastisitas Pengeluaran Pangan, Pengeluaran Ikan dan Tiap Kelompok Ikan, 2008 *) Jenis Elastisitas Golongan Pengeluaran Elastisitas Pengeluaran Pangan terhadap Total Pendapatan (stage 1) 0,298 0,247 0,207 0,163 0,106 1,435 1,389 1,319 Elastisitas Pengeluaran Ikan terhadap Total Pengeluaran Pangan (stage 2) 3,919 3,472 3,222 2,851 2,435 2,097 1,928 1,744 Elastisitas Pengeluaran Kelompok Ikan terhadap Total Pengeluaran Ikan (stage 3) Ikan segar 0,46 0,43 0,40 0,44 0,46 0,49 0,49 0,51 Udang/hewan air lain yang segar 1,27 1,71 1,64 1,84 1,81 1,54 1,32 1,17 Ikan awetan 1,38 1,42 1,42 1,52 1,62 1,67 1,62 1,61 Udang/hewan air lain yang diawetkan 1,62 2,24 1,99 2,42 2,69 2,40 2,11 1,63 Elastisitas Permintaan (Stage1x Stage 2xStage 3) Ikan segar 0,53 0,37 0,27 0,20 0,12 1,48 1,32 1,18 Udang/hewan air lain yang segar 1,49 1,47 1,09 0,85 0,47 4,65 3,55 2,70 Ikan awetan 1,61 1,22 0,95 0,70 0,42 5,03 4,33 3,71 Udang/hewan air lain yang diawetkan 1,89 1,92 *): Data dasar dari Susenas (2008), diolah 1,33 1,12 0,69 5,22 4,65 3,75 Elastisitas pengeluaran setiap kelompok ikan yang diperoleh dari stage-3 terhadap total pengeluaran ikan semua juga bertanda positif dengan nilai berkisar dari 0.4 sampai 2,69. Hal ini menunjukkan bahwa keempat kelompok ikan yang dianalisis merupakan barang normal, bukan barang inferior. Elastisitas kelompok ikan segar terlihat semakin besar dengan semakin meningkatnya pendapatan dengan nilai berkisar dari 0.4 sampai 0.5 pada semua golongan pengeluaran atau bersifat inelastis. Hal ini menunjukkan bahwa permintaan ikan segar tidak dipengaruhi oleh perubahan pendapatan atau dapat dikatakan bahwa ikan segar merupakan barang kebutuhan (necessity) dalam susunan menu keluarga di Indonesia.

13 173 Elastisitas permintaan udang segar untuk semua golongan pengeluaran bernilai 1.2 sampai 1.8 atau bersifat elastis, artinya bahwa permintaan udang segar dipengaruhi oleh perubahan pendapatan. Bila pendapatan naik satu persen, maka permintaan udang segar akan naik sebesar 1.2 sampai 1.8 persen. Berdasarkan angka elastisitas, terlihat bahwa kelompok pendapatan 4 dan 5 (Rp /kap/bulan sampai Rp kap/bulan) paling responsif terhadap permintaan udang segar bila terjadi perubahan tingkat pendapatan. Tahun 2000an, di Thailand elastisitas pendapatan untuk komoditas udang segar juga bersifat elastis, sedangkan di Bangladesh elastis untuk kelompok pendapatan rendah dan tidak elastis untuk kelompok pendapatan menengah ke atas. Di Philipina elastisitas pendapatan untuk komoditas udang segar sangat tinggi (lebih dari 3), baik bagi kelompok miskin (poor) maupun kaya (non-poor). Hal ini menunjukkan bahwa di Indonesia, Thailand dan Philipina udang segar termasuk luxury goods untuk semua kelompok pendapatan, sedangkan di Bangladesh udang segar termasuk luxury goods bagi golongan miskin dan necessity goods bagi golongan kaya. Elastisitas permintaan ikan awetan pada semua golongan pengeluaran bernilai 1.3 sampai 1.7 atau bersifat elastis, seperti halnya udang segar; artinya bahwa permintaan ikan awetan dipengaruhi oleh perubahan pendapatan. Bila pendapatan naik satu persen, maka permintaan ikan awetan akan naik sebesar 1.3 sampai 1.7 persen. Berdasarkan angka elastisitas, terlihat bahwa semakin tinggi tingkat pendapatan, semakin besar nilai elastisitasnya, atau semakin responsif permintaan ikan awetan terhadap perubahan tingkat pendapatan. Tahun 2000an di Thailand dried fish juga elastis terhadap perubahan pendapatan pada semua kelompok pendapatan dengan nilai elastisitas berkisar dari 1.3 sampai 1.5; sedangkan di Bangladesh dried fish elastis pada kelompok

14 174 pendapatan rendah dan tidak elastis pada kelompok pendapatan menengah ke atas, seperti halnya udang segar. Elastisitas permintaan udang awetan pada semua golongan pengeluaran bernilai 1.6 sampai 2.7 atau bersifat elastis, seperti halnya udang segar dan ikan awetan; artinya bahwa permintaan udang awetan sangat dipengaruhi oleh perubahan pendapatan. Bila pendapatan naik satu persen, maka permintaan ikan awetan akan naik sebesar 1.6 sampai 2.7 persen. Berdasarkan angka elastisitas, terlihat bahwa kelompok pendapatan 4 sampai kelompok pendapatan 6 (Rp /kap/bulan sampai Rp kap/bulan) paling responsif terhadap permintaan udang awetan apabila terjadi perubahan tingkat pendapatan. Elastisitas pendapatan total (dari stage 1, stage 2, dan stage 3) untuk semua kelompok ikan semua juga bertanda positif dengan nilai berkisar dari 0.12 sampai Hal ini menunjukkan bahwa keempat kelompok ikan yang dianalisis merupakan barang normal, bukan barang inferior. Nilai elastisitas keempat kelompok ikan tersebut menunjukkan pola yang sama, yaitu semakin kecil dari kelompok pendapatan satu sampai kelompok pendapatan kelima, kemudian naik tajam, dan menurun lagi dari kelompok pendapatan keenam sampai kedelapan. Hal ini menunjukkan bahwa pada rumah tangga dengan pendapatan di atas Rp ,- per bulan lebih responsif terhadap perubahan pendapatan. Jika pendapatan meningkat 1 persen, maka permintaan terhadap ikan segar dan awetan serta udang/hewan air yang segar dan yang diawetkan akan meningkat lebih dari 1 persen. Elastisitas kelompok ikan segar berkisar dari 0.12 sampai Pada kelompok pendapatan kesatu sampai kelima permintaan ikan segar terlihat inelastis dengan kisaran 0.12 sampai 0.53 dan nilainya semakin kecil dengan semakin meningkatnya pendapatan. Hal ini menunjukkan bahwa pada kelompok

15 175 pendapatan rendah dan menengah (kurang dari Rp /kapita/bulan) permintaan ikan segar tidak responsif terhadap perubahan pendapatan atau dapat dikatakan bahwa ikan segar merupakan barang kebutuhan (necessity) dalam susunan menu keluarga di Indonesia pada kelompok pendapatan satu sampai lima. Pada kelompok pendapatan di atas Rp /kapita/bulan permintaan ikan segar lebih elastis dengan nilai elastisitas 1.18 sampai 1.48 dan nilainya semakin kecil dengan semakin meningkatnya pendapatan. Hal ini mengindikasikan bahwa pada kelompok pendapatan tinggi komoditas ikan segar lebih dianggap sebagai barang mewah. Elastisitas kelompok udang segar berkisar dari 0.47 sampai Pada kelompok pendapatan keempat sampai kelima permintaan udang segar terlihat inelastis dengan kisaran 0.47 sampai 0.85, sedangkan pada kelompok pendapatan rendah dan tinggi permintaannya elastis. Hal ini menunjukkan bahwa pada kelompok pendapatan menengah permintaan udang segar tidak responsif terhadap perubahan pendapatan, sedangkan pada kelompok pendapatan rendah dan tinggi lebih responsif. Dapat dikatakan bahwa udang segar merupakan barang kebutuhan (necessity) dalam susunan menu keluarga di Indonesia pada kelompok pendapatan menengah dan merupakan barang mewah pada kelompok pendapatan rendah dan tinggi. Tahun 2000an, di Thailand elastisitas pendapatan untuk komoditas udang segar juga bersifat elastis, sedangkan di Bangladesh elastis untuk kelompok pendapatan rendah dan tidak elastis untuk kelompok pendapatan menengah ke atas. Di Philipina elastisitas pendapatan untuk komoditas udang segar sangat tinggi (lebih dari 3), baik bagi kelompok miskin (poor) maupun kaya (non-poor). Hal ini menunjukkan bahwa di Indonesia, Thailand dan Philipina udang segar termasuk luxury goods untuk beberapa kelompok pendapatan, sedangkan di Bangladesh udang segar

16 176 termasuk luxury goods bagi golongan miskin dan necessity goods bagi golongan kaya. Elastisitas permintaan ikan awetan berkisar 0.42 sampai Pada kelompok pendapatan ketiga sampai kelima permintaan ikan awetan terlihat inelastis dengan kisaran 0.42 sampai 0.95, sedangkan pada kelompok pendapatan rendah dan tinggi permintaannya elastis. Hal ini menunjukkan bahwa pada kelompok pendapatan menengah permintaan ikan awetan tidak responsif terhadap perubahan pendapatan, sedangkan pada kelompok pendapatan rendah dan tinggi lebih responsif dengan kisaran 1.2 sampai Dapat dikatakan bahwa ikan awetan merupakan barang kebutuhan (necessity) dalam susunan menu keluarga di Indonesia pada kelompok pendapatan menengah dan merupakan barang mewah pada kelompok pendapatan rendah dan tinggi. Tahun 2000an di Thailand dried fish juga elastis terhadap perubahan pendapatan pada semua kelompok pendapatan dengan nilai elastisitas berkisar dari 1.3 sampai 1.5; sedangkan di Bangladesh dried fish elastis pada kelompok pendapatan rendah dan tidak elastis pada kelompok pendapatan menengah ke atas, seperti halnya udang segar. Elastisitas permintaan udang awetan bernilai 0.69 sampai 5.2. Pada kelompok pendapatan kelima permintaan udang awetan terlihat inelastis dengan nilai elastisitas 0.69, sedangkan pada kelompok pendapatan rendah dan tinggi permintaannya elastis dengan kisaran 1.1 sampai 5.2. Hal ini menunjukkan bahwa pada kelompok pendapatan menengah permintaan udang awetan tidak responsif terhadap perubahan pendapatan, sedangkan pada kelompok pendapatan rendah dan tinggi lebih responsif. Dapat dikatakan bahwa udang awetan merupakan barang kebutuhan (necessity) dalam susunan menu keluarga di Indonesia pada kelompok pendapatan menengah dan merupakan barang mewah pada kelompok pendapatan rendah dan tinggi.

17 Elastisitas Harga Sendiri Untuk melihat bagaimana respon permintaan keempat kelompok ikan apabila terjadi perubahan harga, maka berikut disajikan nilai elastisitas harga sendiri (Tabel 38). Tabel tersebut menunjukkan bahwa tanda dari elastisitas harga sendiri semuanya negatif, sesuai dengan hukum permintaan yang menyatakan bahwa apabila harga naik, maka permintaan akan turun, dan sebaliknya. Elastisitas harga ikan segar, baik uncompensated maupun compensated bernilai kurang dari satu atau inelastis dengan kisaran -0.3 sampai -0.9, artinya bahwa kenaikan harga ikan segar akan diikuti oleh penurunan permintaan dengan proporsi yang lebih kecil, sebaliknya bila terjadi penurunan harga ikan segar maka akan diikuti pula oleh kenaikan permintaan dengan proporsi yang lebih kecil; dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa permintaan terhadap ikan segar tidak terlalu dipengaruhi oleh perubahan harganya. Dari tabel tersebut juga dapat dilihat bahwa pada komoditas ikan segar, semakin tinggi tingkat pendapatan, semakin responsif terhadap perubahan harga ikan, seperti terlihat dari nilai elastisitas uncompensated maupun compensated. Konsumen yang tinggi tingkat pendapatannya merespon dengan kuat setiap perubahan harga ikan mungkin disebabkan karena ada kelebihan pendapatan untuk realokasi anggaran pembelanjaan ikan segar yang sudah menjadi kebutuhan dalam susunan menu sehari-hari. Sementara itu dengan semakin rendahnya tingkat pendapatan secara umum kebutuhan minimal akan protein ikan sudah terpenuhi sehingga adanya perubahan harga tidak besar responnya terhadap permintaan komoditas yang bersangkutan. Beberapa jenis ikan segar di Thailand, Philipina maupun Bangladesh mempunyai elastisitas lebih kecil dari satu (nilai mutlak),

18 178 dan nilainya semakin rendah dengan semakin meningkatnya pendapatan (Lampiran 32). Elastisitas harga udang segar juga terlihat semakin besar dengan semakin tingginya tingkat pendapatan, baik pada nilai uncompensated maupun compensated, dengan kisaran nilai yang tidak terlalu bervariasi yaitu -0.9 sampai -1. Hal ini menunjukkan bahwa kenaikan harga udang segar akan diikuti oleh penurunan permintaan dengan proporsi yang bisa dikatakan sama, sebaliknya bila terjadi penurunan harga udang segar maka akan diikuti pula oleh kenaikan permintaan dengan proporsi yang kira-kira juga sama. Di Philipina dan Bangladesh komoditas udang segar tidak elastis (tidak responsif) terhadap perubahan harga. Pada semua kelompok pendapatan nilai elastisitasnya kurang dari 1. Sedangkan di Thailand elastisitas harga udang segar bersifat elastis pada semua kelompok pendapatan, baik compensated maupun uncompensated. Elastisitas harga ikan awetan bernilai kurang dari satu atau inelastis dengan kisaran -0.4 sampai Pada elastisitas uncompensated terlihat nilainya semua lebih kecil dari satu (secara mutlak) atau inelastis, sedangkan elastisitas compensated semua bernilai lebih besar atau sama dengan satu (elastis), dapat diartikan bahwa kenaikan harga ikan awetan akan diikuti oleh penurunan permintaan dengan proporsi yang lebih kecil atau sama besar, sebaliknya bila terjadi penurunan harga maka akan diikuti pula oleh kenaikan permintaan dengan proporsi yang lebih kecil atau sama. Hal ini bisa terjadi karena pada komoditas ikan asin elastisitas pendapatan dan share kelompok ikan atau udang yang lain ikut berpengaruh. Tidak terlihat pola yang spesifik, namun secara umum dapat dikatakan nilai elastisitas semakin kecil dengan semakin meningkatnya pendapatan. Hal serupa dapat dijumpai di Thailand dan Bangladesh. Nilai elastisitas harga dari beberapa studi dapat dilihat pada Lampiran 32.

19 179 Tabel 38. Elastisitas Harga Sendiri Kelompok Ikan Segar, Udang Segar, Ikan Awetan, dan Udang Awetan, 2008 *) Golongan Kelompok Ikan Pengeluaran Ikan Segar Udang Segar Ikan Awetan Udang Awetan Compensated Uncompensated *): Data dasar dari Susenas (2008), diolah Sedangkan untuk udang/hewan air lain yang diawetkan dapat dikatakan bahwa nilai elastisitasnya adalah -1 (elastisitas uniter), baik compensated maupun uncompensated, yang artinya bahwa kenaikan harga dalam persentase tertentu akan diikuti oleh penurunan jumlah yang diminta dalam persentase yang sama, dan sebaliknya penurunan harga udang awetan akan diikuti oleh kenaikan jumlah yang diminta dalam persentase yang sama. Secara umum, semakin banyak suatu komoditas mempunyai substitusinya maka semakin elastis permintaannya. Selain itu, semakin besar bagian pendapatan yang dibelanjakan untuk membeli suatu barang, maka semakin elastis pula permintaannya. Mungkin hal inilah yang menyebabkan secara umum, nilai elastisitas semua jenis ikan yang dianalisis semakin besar dengan semakin meningkatnya kelas pendapatan, khususnya ikan segar dan udang segar.

20 Elastisitas Harga Silang Elastisitas harga silang menunjukkan hubungan antara jumlah barang yang diminta terhadap perubahan harga barang lain yang mempunyai hubungan dengan barang tersebut. Hubungan tersebut dapat bersifat pengganti, dapat pula bersifat pelengkap. Terdapat tiga macam respons perubahan permintaan suatu barang karena perubahan harga barang lain, yaitu positif, negatif, dan nol. Elastisitas silang bernilai menunjukkan hubungan dua barang yang dapat saling menggantikan (barang substitutif). Elastisitas silang bernilai negatif menunjukkan hubungan dua jenis barang tersebut yang bersifat komplementer (pelengkap). Elastisitas silang bernilai nol menunukkan bahwa kedua macam barang tidak saling berkaitan. Elastisitas silang antar jenis kelompok ikan yang mewakili golongan pendapatan rendah, sedang, dan tinggi dapat dilihat pada Tabel 39. Berdasarkan tabel tersebut terlihat bahwa sebagian besar (sekitar 58 persen) nilai elastisitas silang bertanda positif, sebagian bertanda negatif (22 persen) dan sisanya bernilai nol (20 persen). Namun nilai elastisitas yang bertanda positif pun sebagian besar bernilai sangat kecil, mendekati nol. Hal ini merupakan indikasi bahwa diantara keempat jenis komoditas ikan yang dianalisis sebagian besar tidak saling berkaitan. Nilai elastisitas yang sebagian besar bertanda positif menunjukkan bahwa diantara kedua kelompok ikan yang dianalisis bersifat saling menggantikan. Pada golongan pendapatan rendah kenaikan harga ikan segar sebesar 1 persen saja akan direspon dengan kenaikan harga udang awetan sebesar 1.3 persen (compensated). Hal ini menunjukkan bahwa pada kelompok pendapatan rendah, ikan segar dan udang awetan bersifat substitusi, namun tidak berlaku sebaliknya.

21 181 Tabel 39. Elastisitas Silang Kelompok Ikan Segar, Udang Segar, Ikan Awetan, dan Udang Awetan, 2008 *) Kelompok Ikan Pendapatan Rendah Kelompok Ikan Ikan Segar Udang Segar Ikan Awetan Udang Awetan Compensated Ikan Segar Udang Segar Ikan Awetan Udang Awetan Uncompensated Ikan Segar Udang Segar Ikan Awetan Udang Awetan Pendapatan Menengah Compensated Ikan Segar Udang Segar Ikan Awetan Udang Awetan Uncompensated Ikan Segar Udang Segar Ikan Awetan Udang Awetan Pendapatan Tinggi Compensated Ikan Segar Udang Segar Ikan Awetan Udang Awetan Uncompensated Ikan Segar Udang Segar Ikan Awetan Udang Awetan 0.00 *): Data dasar dari Susenas (2008), diolah Pada golongan pendapatan menengah kenaikan harga ikan segar tersebut akan direspon dengan kenaikan permintaan udang segar sebesar 5.9 persen atau kenaikan permintaan ikan awetan sebesar 1.5 persen. Sedangkan pada golongan pendapatan tinggi, kenaikan harga ikan segar akan direspon

22 182 dengan kenaikan permintaan udang segar sebesar 4.5 persen (compensated) atau 1.6 persen kenaikan ikan awetan, sedang nilai elastisitas uncompensated kenaikan harga ikan segar tersebut hanya direspon oleh kenaikan permintaan udang segar sebesar 3.5 persen. Hal ini menunjukkan bahwa pada golongan menengah ke atas ikan segar dan udang segar merupakan barang yang bersifat saling menggantikan (substitusi), namun tidak berlaku sebaliknya. Elastisitas silang ikan segar udang segar pada golongan pendapatan rendah terlihat bertanda negatif dengan nilai yang cukup besar, yaitu sekitar -11 pada elastisitas compensated maupun uncompensated. Artinya bila terjadi kenaikan harga ikan segar akan direspon dengan penurunan permintaan udang segar, sebaliknya bila terjadi penurunan harga ikan segar akan direspon dengan kenaikan permintaan udang segar, dengan kata lain ikan segar dan udang segar bersifat saling melengkapi. Hal ini mungkin terjadi karena kemungkinan pada golongan pendapatan rendah (kurang dari Rp /kap/bulan) mereka mendapatkan ikan atau udang tidak dari pembelian, namun menangkap sendiri atau pemberian. Angka negatif yang sangat besar tersebut juga menunjukkan bahwa efek pendapatan jauh lebih besar dibandingkan efek substitusi. Nilai elastisitas silang yang cukup besar juga dijumpai pada komoditas udang awetan-ikan awetan, yaitu sebesar -27 dan -28 (compensated dan uncompensated) pada golongan pendapatan rendah. Artinya bila terjadi kenaikan harga ikan awetan akan direspon dengan penurunan permintaan udang awetan, sebaliknya bila terjadi penurunan harga ikan awetan akan direspon dengan kenaikan permintaan udang awetan, dengan kata lain ikan awetan dan udang awetan bersifat saling melengkapi. Hal ini juga mungkin terjadi karena pada golongan pendapatan rendah (kurang dari Rp /kap/bulan) mereka mendapatkan ikan atau udang tidak dari pembelian, namun menangkap sendiri atau pemberian, dan kemudian dikonsumsi dalam bentuk awetan. Angka negatif

23 183 yang sangat besar tersebut juga menunjukkan bahwa efek pendapatan jauh lebih besar dibandingkan efek substitusi. Di Bangladesh, pada umumnya antar jenis ikan bersifat saling menggantikan (substitusi), demikian juga udang dan ikan awetan dengan jenis ikan lain. Sedangkan di Philipina dan Thailand antar kelompok jenis ikan umumnya bersifat saling melengkapi (komplemen). Di Indonesia, data Susenas tahun 2005 menunjukkan hubungan komplemen ditemukan antara ikan laut dan ikan darat serta ditemukan bahwa ikan awetan adalah komoditas subtitusi dari ikan segar (Kaelan, 2005). Pada golongan pendapatan menengah sampai tinggi, secara umum terlihat bahwa diantara komoditas ikan segar, udang segar, ikan awetan, dan udang awetan tidak saling berkaitan, kecuali yang sudah dibahas.

24 184

IX. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

IX. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 199 IX. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 9.1. Kesimpulan 1. Berdasarkan data Susenas tahun 2008, dapat dikatakan bahwa sebagian besar penduduk Indonesia di berbagai wilayah lebih banyak mengkonsumsi

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. lapangan kerja, memeratakan pembagian pendapatan masyarakat, meningkatkan

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. lapangan kerja, memeratakan pembagian pendapatan masyarakat, meningkatkan BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi adalah serangkaian usaha dan kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, memperluas lapangan kerja, memeratakan pembagian

Lebih terperinci

Penerapan model Almost Ideal Demand System ( AIDS ) pada pola konsumsi pangan rumah tangga nelayan di Kecamatan Tambak Kabupaten Banyumas

Penerapan model Almost Ideal Demand System ( AIDS ) pada pola konsumsi pangan rumah tangga nelayan di Kecamatan Tambak Kabupaten Banyumas Penerapan model Almost Ideal Demand System ( AIDS ) pada pola konsumsi pangan rumah tangga nelayan di Kecamatan Tambak Kabupaten Banyumas Kim Budiwinarto * ) * ) Fakultas Ekonomi Universitas Surakarta

Lebih terperinci

II. LANDASAN TEORI A.

II. LANDASAN TEORI A. 7 II. LANDASAN TEORI A. Penelitian Terdahulu Penelitian Michael (1985) yang berjudul Estimating Cross Elasticities of Demand for Beef, menggunakan variabel harga daging sapi, harga ikan, harga daging unggas,

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN ANTAR KOMODITAS PROTEIN DENGAN MENGGUNAKAN MODEL ALMOST IDEAL DEMAND SYSTEM (AIDS)

ANALISIS KETERKAITAN ANTAR KOMODITAS PROTEIN DENGAN MENGGUNAKAN MODEL ALMOST IDEAL DEMAND SYSTEM (AIDS) Jurnal Matematika UNAND Vol. 2 No. 3 Hal. 162 166 ISSN : 2303 2910 c Jurusan Matematika FMIPA UNAND ANALISIS KETERKAITAN ANTAR KOMODITAS PROTEIN DENGAN MENGGUNAKAN MODEL ALMOST IDEAL DEMAND SYSTEM (AIDS)

Lebih terperinci

Konsep Dasar Elastisitas Elastisitas Permintaan ( Price Elasticity of Demand Permintaan Inelastis Sempurna (E = 0) tidak berpengaruh

Konsep Dasar Elastisitas Elastisitas Permintaan ( Price Elasticity of Demand Permintaan Inelastis Sempurna (E = 0) tidak berpengaruh Konsep Dasar Elastisitas Elastisitas merupakan salah satu konsep penting untuk memahami beragam permasalahan di bidang ekonomi. Konsep elastisitas sering dipakai sebagai dasar analisis ekonomi, seperti

Lebih terperinci

ANALISIS PERMINTAAN IKAN DI INDONESIA: PENDEKATAN MODEL QUADRATIC ALMOST IDEAL DEMAND SYSTEM (QUAIDS)

ANALISIS PERMINTAAN IKAN DI INDONESIA: PENDEKATAN MODEL QUADRATIC ALMOST IDEAL DEMAND SYSTEM (QUAIDS) ANALISIS PERMINTAAN IKAN DI INDONESIA: PENDEKATAN MODEL QUADRATIC ALMOST IDEAL DEMAND SYSTEM (QUAIDS) Fitria Virgantari 1, Arief Daryanto 2, Harianto 2 dan Sri Utami Kuntjoro 2 1 Mahasiswa S3 Program Studi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang penting dilakukan suatu Negara untuk tujuan menghasilkan sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. yang penting dilakukan suatu Negara untuk tujuan menghasilkan sumber daya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan manusia merupakan salah satu syarat mutlak bagi kelangsungan hidup bangsa dalam rangka menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas. Menciptakan pembangunan

Lebih terperinci

KAJIAN PENGARUH HARGA DAN PENDAPATAN TERHADAP PROPORSI PENGELUARAN MAKANAN RUMAH TANGGA (PENDEKATAN MODEL LINIER PERMINTAAN LENGKAP)

KAJIAN PENGARUH HARGA DAN PENDAPATAN TERHADAP PROPORSI PENGELUARAN MAKANAN RUMAH TANGGA (PENDEKATAN MODEL LINIER PERMINTAAN LENGKAP) KAJIAN PENGARUH HARGA DAN PENDAPATAN TERHADAP PROPORSI PENGELUARAN MAKANAN RUMAH TANGGA (PENDEKATAN MODEL LINIER PERMINTAAN LENGKAP) Juni Trisnowati 1, Kim Budiwinarto 2 1) 2) Progdi Manajemen Fakultas

Lebih terperinci

BAB III METODELOGI PENELTIAN. Riau, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI. Yogyakarta, Jawa Timur,

BAB III METODELOGI PENELTIAN. Riau, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI. Yogyakarta, Jawa Timur, BAB III METODELOGI PENELTIAN A. Obyek/Subyek Penelitian Obyek dalam penelitian ini meliputi seluruh wilayah atau 33 provinsi yang ada di Indonesia, meliputi : Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau,

Lebih terperinci

TEORI ELASTISITAS. Tata Tachman

TEORI ELASTISITAS. Tata Tachman TEORI ELASTISITAS Hubungan sebab akibat berapa persen satu variable (y) berubah jika variable lain (x) berubah sebesar satu persen? Analisis sensitivitas atau elastisitas Angka elastisitas (koefisien elastisitas)

Lebih terperinci

ELASTISITAS PERMINTAAN DAN PENAWARAN Pertemuan 9

ELASTISITAS PERMINTAAN DAN PENAWARAN Pertemuan 9 ELASTISITAS PERMINTAAN DAN PENAWARAN Pertemuan 9 Elastisitas... adalah ukuran seberapa besar para pembeli dan penjual memberikan reaksi terhadap perubahanperubahan kondisi yang terjadi di pasar. 2 Elastisitas

Lebih terperinci

PROFIL PEMANFAATAN TEKNOLOGI INFORMASI OLEH MASYARAKAT

PROFIL PEMANFAATAN TEKNOLOGI INFORMASI OLEH MASYARAKAT No. 42 / IX / 14 Agustus 2006 PROFIL PEMANFAATAN TEKNOLOGI INFORMASI OLEH MASYARAKAT Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2005 Dari hasil Susenas 2005, sebanyak 7,7 juta dari 58,8 juta rumahtangga

Lebih terperinci

VI. PERILAKU PRODUKSI RUMAHTANGGA PETANI PADI DI SULAWESI TENGGARA

VI. PERILAKU PRODUKSI RUMAHTANGGA PETANI PADI DI SULAWESI TENGGARA VI. PERILAKU PRODUKSI RUMAHTANGGA PETANI PADI DI SULAWESI TENGGARA Penelitian ini membagi responden berdasarkan jenis lahan, yaitu lahan sawah irigasi dan tadah hujan, serta keikutsertaan petani dalam

Lebih terperinci

Modul 3. Elastisitas Permintaan Dan Penawaran

Modul 3. Elastisitas Permintaan Dan Penawaran Modul 3. Elastisitas Permintaan Dan Penawaran Deskripsi Modul Ketika diperkenalkan tentang konsep permintaan, kita lihat bahwa para konsumen biasanya membeli lebih dari satu barang ketika harga turun,

Lebih terperinci

ELASTISITAS PERMINTAAN. LECTURE NOTE AGRONIAGA By: Tatiek Koerniawati

ELASTISITAS PERMINTAAN. LECTURE NOTE AGRONIAGA By: Tatiek Koerniawati ELASTISITAS ERMINTAAN LECTURE NOTE AGRONIAGA By: Tatiek Koerniawati Elastisitas Harga Elastisitas harga adalah rasio yang menyatakan persentase perubahan kuantitas dibagi dengan persentase perubahan harga.

Lebih terperinci

Elastisitas Permintaan dan Penawaran. Pengantar Ilmu Ekonomi TIP FTP UB

Elastisitas Permintaan dan Penawaran. Pengantar Ilmu Ekonomi TIP FTP UB Elastisitas Permintaan dan Penawaran Pengantar Ilmu Ekonomi TIP FTP UB ELASTISITAS PERMINTAAN TERHADAP HARGA Elastisitas Permintaan Elastisitas permintaan mengukur perubahan relatif dalam jumlah unit barang

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. 5.1 Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi terhadap Ketimpangan Pendapatan

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. 5.1 Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi terhadap Ketimpangan Pendapatan BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi terhadap Ketimpangan Pendapatan Identifikasi pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap ketimpangan dilakukan melalui analisa data panel dengan model

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori 2.1.1. Teori Permintaan Dan Kurva Permintaan Teori permintaan pada dasarnya merupakan perangkat analisis untuk melihat besaran jumlah barang atau jasa yang diminta

Lebih terperinci

Kata Kunci : Konsumsi Pangan Hewani, Almost Ideal Demand System (AIDS), Elastisitas, Konsumen Rumatangga.

Kata Kunci : Konsumsi Pangan Hewani, Almost Ideal Demand System (AIDS), Elastisitas, Konsumen Rumatangga. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KONSUMSI PANGAN HEWANI PADA KONSUMEN RUMAHTANGGA DI KOTA PADANG Noni Novarista, Rahmat Syahni, Jafrinur Abstract: The objectives of this research were to determine: (1)

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Semangka merah tanpa biji adalah salah satu buah tropik yang diproduksi dan

III. METODE PENELITIAN. Semangka merah tanpa biji adalah salah satu buah tropik yang diproduksi dan 49 III. METODE PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Batasan Operasional Konsep dasar dan batasan operasional mencakup seluruh pengertian yang digunakan untuk keperluan analisis dan menjawab tujuan yang telah

Lebih terperinci

PROPOSAL SKRIPSI. : ANALISIS PERMINTAAN KONSUMSI SAYURAN DI JAWA TENGAH

PROPOSAL SKRIPSI. : ANALISIS PERMINTAAN KONSUMSI SAYURAN DI JAWA TENGAH PROPOSAL SKRIPSI. : ANALISIS PERMINTAAN KONSUMSI SAYURAN DI JAWA TENGAH PROPOSAL SKRIPSI Nama : Anindita Ardha Pradibtia Kelas : 4 SE 1 NIM : 09.5878 Judul Proposal : Analisis Permintaan Konsumsi Sayuran

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Beras merupakan salah satu komoditas penting dalam kehidupan sosial

II. TINJAUAN PUSTAKA. Beras merupakan salah satu komoditas penting dalam kehidupan sosial 12 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Beras sebagai komoditas pokok Beras merupakan salah satu komoditas penting dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia. Posisi komoditas beras bagi sebagian besar penduduk Indonesia

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kesejahteraan adalah hal atau keadaan sejahtera, keamanan, keselamatan, ketentraman. Dalam istilah umum, sejahtera menunjuk ke

Lebih terperinci

PROSIDING SEMINAR NASIONAL STATISTIKA UNIVERSITAS DIPONEGORO 2013 ISBN:

PROSIDING SEMINAR NASIONAL STATISTIKA UNIVERSITAS DIPONEGORO 2013 ISBN: APLIKASI SISTEM PERSAMAAN SEEMINGLY UNRELATED REGRESSIONS PADA MODEL PERMINTAAN PANGAN Kim Budiwinarto 1 1 Progdi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Surakarta Abstrak Fenomena ekonomi yang kompleks

Lebih terperinci

VIII. PROSPEK PERMINTAAN PRODUK IKAN

VIII. PROSPEK PERMINTAAN PRODUK IKAN 185 VIII. PROSPEK PERMINTAAN PRODUK IKAN Ketersediaan produk perikanan secara berkelanjutan sangat diperlukan dalam usaha mendukung ketahanan pangan. Ketersediaan yang dimaksud adalah kondisi tersedianya

Lebih terperinci

PROYEKSI PERMINTAAN KEDELAI DI KOTA SURAKARTA

PROYEKSI PERMINTAAN KEDELAI DI KOTA SURAKARTA PROYEKSI PERMINTAAN KEDELAI DI KOTA SURAKARTA Tria Rosana Dewi dan Irma Wardani Staf Pengajar Fakultas Pertanian, Universitas Islam Batik Surakarta Email : triardewi@yahoo.co.id ABSTRAK Penelitian ini

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. oleh kelompok menengah yang mulai tumbuh, daya beli masyarakat yang

I. PENDAHULUAN. oleh kelompok menengah yang mulai tumbuh, daya beli masyarakat yang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 241 juta dengan ditandai oleh kelompok menengah yang mulai tumbuh, daya beli masyarakat yang meningkat dan stabilitas ekonomi yang

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. series dan (2) cross section. Data time series yang digunakan adalah data tahunan

III. METODE PENELITIAN. series dan (2) cross section. Data time series yang digunakan adalah data tahunan 29 III. METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder berupa data panel, yaitu data yang terdiri dari dua bagian : (1)

Lebih terperinci

Boks.1 PENGARUH PERUBAHAN HARGA TERHADAP JUMLAH PERMINTAAN KOMODITI BAHAN MAKANAN DI KOTA JAMBI

Boks.1 PENGARUH PERUBAHAN HARGA TERHADAP JUMLAH PERMINTAAN KOMODITI BAHAN MAKANAN DI KOTA JAMBI Boks.1 PENGARUH PERUBAHAN HARGA TERHADAP JUMLAH PERMINTAAN KOMODITI BAHAN MAKANAN DI KOTA JAMBI Pangan merupakan kebutuhan pokok (basic need) yang paling azasi menyangkut kelangsungan kehidupan setiap

Lebih terperinci

POKOK BAHASAN: ELASTISITAS DAN PENAWARAN. Suharyanto

POKOK BAHASAN: ELASTISITAS DAN PENAWARAN. Suharyanto POKOK BAHASAN: ELASTISITAS PERMINTAAN DAN PENAWARAN Suharyanto Tujuan Perkuliahan ini: Mahasiswa dapat menganalisis sensitivitas respon perubahan permintaan dan penawaran akibat perubahan harga dan faktor

Lebih terperinci

RESPON PERMINTAAN IKAN DI PROVINSI RIAU

RESPON PERMINTAAN IKAN DI PROVINSI RIAU RESPON PERMINTAAN IKAN DI PROVINSI RIAU Dinda Julia, Djaimi Bakce, Jumatri Yusri Fakultas Pertanian Universitas Riau Hp: 085278262490; Email: dinda_agb08@yahoo.com ABSTRACT This research aim to analyze

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Teori Permintaan dan Kurva Permintaan. permintaan akan suatu barang atau jasa berdasarkan hukum permintaan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Teori Permintaan dan Kurva Permintaan. permintaan akan suatu barang atau jasa berdasarkan hukum permintaan. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Teori Permintaan dan Kurva Permintaan Teori permintaan pada dasarnya merupakan perangkat analisis untuk melihat besaran jumlah barang atau jasa yang diminta

Lebih terperinci

Elastisitas. SRI SULASMIYATI, S.SOS., MAP

Elastisitas. SRI SULASMIYATI, S.SOS., MAP Elastisitas SRI SULASMIYATI, S.SOS., MAP www.sulasmiyati.lecture.ub.ac.id Pendahuluan Elastisitas merupakan persentase perubahan pada variabel dependen/tak bebas/ terikat dikarenakan adanya perubahan variabel

Lebih terperinci

BAB II URAIAN TEORITIS

BAB II URAIAN TEORITIS BAB II URAIAN TEORITIS 2.1 Pengertian Permintaan Menurut pengertian sehari-hari permintaan diartikan sebagai jumlah barang yang dibutuhkan. Permintaan ini hanya didasarkan atas kebutuhan saja atau manusia

Lebih terperinci

4 METODE PENELITIAN Jenis dan Sumber Data Metode Pengolahan dan Analisis Data

4 METODE PENELITIAN Jenis dan Sumber Data Metode Pengolahan dan Analisis Data 29 4 METODE PENELITIAN Jenis dan Sumber Data Jenis data utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder tahunan deret waktu (time series), dari tahun 1985 hingga 2011. Adapun sumbersumber

Lebih terperinci

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 75 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Pemerintah Penerimaan pemerintah terdiri dari PAD dan dana perimbangan. PAD terdiri dari pajak, retribusi, laba BUMD, dan lain-lain

Lebih terperinci

A. ELASTISITAS PERMINTAAN DAN ELASTISITAS PENAWARAN

A. ELASTISITAS PERMINTAAN DAN ELASTISITAS PENAWARAN K-13 Kelas X ekonomi ELASTISITAS Tujuan embelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan mampu memahami jenis elastisitas yang terjadi pada suatu komoditas akibat faktor yang memengaruhinya.

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2008 KONSORSIUM PENELITIAN: KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PETANI PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2008 KONSORSIUM PENELITIAN: KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PETANI PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2008 KONSORSIUM PENELITIAN: KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PETANI PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM KARAKTERISTIK DAN ARAH PERUBAHAN KONSUMSI DAN PENGELUARAN RUMAH TANGGA Oleh : Harianto

Lebih terperinci

VIII. DAMPAK PERUBAHAN FAKTOR INTERNAL DAN EKSTERNAL TERHADAP EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI

VIII. DAMPAK PERUBAHAN FAKTOR INTERNAL DAN EKSTERNAL TERHADAP EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI VIII. DAMPAK PERUBAHAN FAKTOR INTERNAL DAN EKSTERNAL TERHADAP EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI Bagian ini akan menganalisis hasil melakukan simulasi, yaitu melakukan perubahan-perubahan pada satu atau beberapa

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI DAN HIPOTESIS. Sebagai bahan pertimbangan dalam penelitian ini maka dicantumkan

BAB II LANDASAN TEORI DAN HIPOTESIS. Sebagai bahan pertimbangan dalam penelitian ini maka dicantumkan A. Tinjauan Penelitian Terdahulu BAB II LANDASAN TEORI DAN HIPOTESIS Sebagai bahan pertimbangan dalam penelitian ini maka dicantumkan beberapa hasil penelitian terdahulu oleh beberapa peneliti diantaranya

Lebih terperinci

KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran Teoritis Teori Penawaran

KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran Teoritis Teori Penawaran III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Teori Penawaran Teori penawaran secara umum menjelaskan ketersediaan produk baik itu barang dan jasa di pasar yang diharapkan dapat memenuhi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. umumnya, khususnya sebagai sumber penyediaan energi dan protein. Neraca

I. PENDAHULUAN. umumnya, khususnya sebagai sumber penyediaan energi dan protein. Neraca 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Beras merupakan bahan pangan pokok bagi penduduk Indonesia pada umumnya, khususnya sebagai sumber penyediaan energi dan protein. Neraca Bahan Makanan (NBM) Indonesia

Lebih terperinci

EKONOMI & MANAJEMEN 2 BAB 3 ELASTISITAS

EKONOMI & MANAJEMEN 2 BAB 3 ELASTISITAS EKONOMI & MANAJEMEN 2 BAB 3 ELASTISITAS 1 ELASTISITAS PERMINTAAN Elastisitas permintaan mengukur seberapa besar kepekaan perubahan jumlah permintaan barang terhadap perubahan harga Terdapat tiga macam

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN A.

III. METODE PENELITIAN A. III. METODE PENELITIAN A. Metode Dasar Penelitian Penelitian ini menggunakan metode descriptive analitis. Metode ini berkaitan dengan pengumpulan data yang berguna untuk memberikan gambaran atau penegasan

Lebih terperinci

Elastisitas. SRI SULASMIYATI, S.SOS., MAP

Elastisitas. SRI SULASMIYATI, S.SOS., MAP Elastisitas SRI SULASMIYATI, S.SOS., MAP www.sulasmiyati.lecture.ub.ac.id Pendahuluan Elastisitas merupakan persentase perubahan pada variabel dependen/tak bebas/ terikat dikarenakan adanya perubahan variabel

Lebih terperinci

KERANGKA PENDEKATAN TEORI. antara permintaan dan harga. Teori ini lebih dikenal dengan hukum permintaan,

KERANGKA PENDEKATAN TEORI. antara permintaan dan harga. Teori ini lebih dikenal dengan hukum permintaan, II. KERANGKA PENDEKATAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Teori Permintaan Teori permintaan adalah teori yang menjelaskan tentang ciri hubungan antara permintaan dan harga. Teori ini lebih dikenal dengan hukum

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI SOSIAL EKONOMI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

BAB IV KONDISI SOSIAL EKONOMI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR BAB IV KONDISI SOSIAL EKONOMI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Per Kapita dan Struktur Ekonomi Tingkat pertumbuhan ekonomi Provinsi Nusa Tenggara Timur dalam lima tahun terakhir

Lebih terperinci

PROPOSAL SKRIPSI. : Analisis Permintaan Konsumsi Sayuran di Jawa Tengah

PROPOSAL SKRIPSI. : Analisis Permintaan Konsumsi Sayuran di Jawa Tengah PROPOSAL SKRIPSI Nama : Anindita Ardha Pradibtia Kelas : 4 SE 1 NIM : 09.5878 Judul Proposal : Analisis Permintaan Konsumsi Sayuran di Jawa Tengah Dosen Pembimbing : Dr. Hamonangan Ritonga M.Sc. LATAR

Lebih terperinci

5. DETERMINAN KETAHANAN PANGAN REGIONAL DAN RUMAH TANGGA

5. DETERMINAN KETAHANAN PANGAN REGIONAL DAN RUMAH TANGGA 5. DETERMINAN KETAHANAN PANGAN REGIONAL DAN RUMAH TANGGA 5.1 Determinan Ketahanan Pangan Regional Analisis data panel dilakukan untuk mengetahui determinan ketahanan pangan regional di 38 kabupaten/kota

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hubungan Antara Penerimaan DAU dengan Pertumbuhan PDRB Dalam melihat hubungan antara PDRB dengan peubah-peubah yang mempengaruhinya (C, I, DAU, DBH, PAD, Suku Bunga dan NX)

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. disusun, ditabulasi, dianalisis, kemudian diterangkan hubungan dan dilakukan uji

METODE PENELITIAN. disusun, ditabulasi, dianalisis, kemudian diterangkan hubungan dan dilakukan uji III. METODE PENELITIAN A. Metode Dasar Metode dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif analisis, yaitu penelitian yang didasarkan pemecahan masalah-masalah aktual yang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi Umum Cabai Merah

TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi Umum Cabai Merah II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Deskripsi Umum Cabai Merah Cabai merah merupakan salah satu komoditi hortikultura yang sangat terkenal di Indonesia bahkan hampir seluruh negara di dunia mengenal cabai merah.

Lebih terperinci

ANALISIS POLA KONSUMSI PANGAN DAERAH PERKOTAAN DAN PEDESAAN SERTA KETERKAITANNYA DENGAN KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI DI PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

ANALISIS POLA KONSUMSI PANGAN DAERAH PERKOTAAN DAN PEDESAAN SERTA KETERKAITANNYA DENGAN KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI DI PROVINSI KALIMANTAN TIMUR ANALISIS POLA KONSUMSI PANGAN DAERAH PERKOTAAN DAN PEDESAAN SERTA KETERKAITANNYA DENGAN KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI DI PROVINSI KALIMANTAN TIMUR Oleh : Nilam Anggar Sari.,SE.,M.Si Penulis adalah Pengajar

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS 2.1 Kajian Pustaka Pada bab ini akan disampaikan beberapa kajian pustaka mengenai teori permintaan, elastisitas permintaan dan BBM. 2.1.1 Teori

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Setiabudi 8

METODE PENELITIAN. Setiabudi 8 IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian mengenai sikap konsumen terhadap daging sapi lokal dan impor ini dilakukan di DKI Jakarta, tepatnya di Kecamatan Setiabudi, Kotamadya Jakarta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menunjang pertumbuhan ekonomi yang pesat. Akan tetapi jika bergantung pada

BAB I PENDAHULUAN. menunjang pertumbuhan ekonomi yang pesat. Akan tetapi jika bergantung pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumber daya alam yang berlimpah pada suatu daerah umumnya akan menunjang pertumbuhan ekonomi yang pesat. Akan tetapi jika bergantung pada sumber daya alam yang tidak

Lebih terperinci

IV. DINAMIKA DISPARITAS WILAYAH DAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR

IV. DINAMIKA DISPARITAS WILAYAH DAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR IV. DINAMIKA DISPARITAS WILAYAH DAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR 4.1. Dinamika Disparitas Wilayah Pembangunan wilayah merupakan sub sistem dari pembangunan koridor ekonomi dan provinsi dan merupakan bagian

Lebih terperinci

POLA KONSUMSI MASYARAKAT PERKOTAAN BERDASARKAN TINGKAT PENDAPATAN DAN UKURAN KELUARGA STUDI KASUS DI KOTA MATARAM

POLA KONSUMSI MASYARAKAT PERKOTAAN BERDASARKAN TINGKAT PENDAPATAN DAN UKURAN KELUARGA STUDI KASUS DI KOTA MATARAM ABSTRAK GaneÇ Swara Vol. 5 No.2 September 2011 POLA KONSUMSI MASYARAKAT PERKOTAAN BERDASARKAN TINGKAT PENDAPATAN DAN UKURAN KELUARGA STUDI KASUS DI KOTA MATARAM IDA BGS EKA ARTIKA Fak. Ekonomi Univ. Mahasaraswati

Lebih terperinci

BAB V HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Uji Asumsi Klasik 1. Uji heteroskedastisitas Berdasarkan hasil Uji Park, nilai probabilitas dari semua variable independen tidak signifikan pada tingkat 5 %. Keadaan

Lebih terperinci

V. FAKTOR PENENTU KETAHANAN PANGAN RUMAH TANGGA DI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

V. FAKTOR PENENTU KETAHANAN PANGAN RUMAH TANGGA DI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR V. FAKTOR PENENTU KETAHANAN PANGAN RUMAH TANGGA DI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR Penelitian ini menggunakan model regressi logistik ordinal untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi ketahanan pangan

Lebih terperinci

2.5. Nilai Tukar Nelayan dan Nilai Tukar Pembudidaya Ikan

2.5. Nilai Tukar Nelayan dan Nilai Tukar Pembudidaya Ikan 2.5. Nilai Tukar Nelayan dan Nilai Tukar Pembudidaya Ikan 2.5.1. Nilai Tukar Nelayan Nilai Tukar Nelayan (NTN) merupakan salah satu proxy indikator untuk melihat tingkat kesejahteraan nelayan di pedesaan

Lebih terperinci

ELASTISITAS. Ngatindriatun PERTEMUAN 4 & 5

ELASTISITAS. Ngatindriatun PERTEMUAN 4 & 5 ELATIITA Ngatindriatun ERTEMUAN 4 & 5 engertian Elastisitas Elastisitas menggambarkan reaksi kepekaan produsen atau konsumen yang disebabkan adanya faktor tertentu yang mempengaruhi konsumen untuk membeli

Lebih terperinci

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK MALUKU SEPTEMBER 2016 MENURUN

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK MALUKU SEPTEMBER 2016 MENURUN BADAN PUSAT STATISTIK No.06/02/81/Th.2017, 6 Februari 2017 TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK MALUKU SEPTEMBER 2016 MENURUN GINI RATIO MALUKU PADA SEPTEMBER 2016 SEBESAR 0,344 Pada September 2016,

Lebih terperinci

III OBJEK DAN METODE PENELITIAN. kandang dan bibit terhadap penerimaan usaha, dengan subjek penelitian peternak

III OBJEK DAN METODE PENELITIAN. kandang dan bibit terhadap penerimaan usaha, dengan subjek penelitian peternak 24 III OBJEK DAN METODE PENELITIAN 3.1 Objek dan Subjek Penelitian Objek penelitian yang diamati yaitu pengaruh aplikasi teknologi pakan, kandang dan bibit terhadap penerimaan usaha, dengan subjek penelitian

Lebih terperinci

Kata kunci : jumlah alumni KKD, opini audit BPK, kinerja pembangunan daerah.

Kata kunci : jumlah alumni KKD, opini audit BPK, kinerja pembangunan daerah. HERTANTI SHITA DEWI. Kinerja Pembangunan Daerah : Suatu Evaluasi terhadap Kursus Keuangan Daerah. Dibimbing oleh EKA INTAN KUMALA PUTRI dan BAMBANG JUANDA. Sejak diberlakukan otonomi daerah di bidang keuangan,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Jumlah penduduk adalah salah satu input pembangunan ekonomi. Data

BAB 1 PENDAHULUAN. Jumlah penduduk adalah salah satu input pembangunan ekonomi. Data 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN Jumlah penduduk adalah salah satu input pembangunan ekonomi. Data jumlah penduduk Indonesia tahun 2010 sampai 2015 menunjukkan kenaikan setiap tahun. Jumlah penduduk

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teori-Teori Teori Permintaan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teori-Teori Teori Permintaan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teori-Teori 2.1.1 Teori Permintaan Permintaan menunjukkan jumlah barang dan jasa yang akan dibeli konsumen pada periode waktu dan keadaan tertentu. Hubungan antara jumlah

Lebih terperinci

METODE ANALISIS HARGA PANGAN 1

METODE ANALISIS HARGA PANGAN 1 METODE ANALISIS HARGA PANGAN 1 Handewi P.S. Rachman Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Jl. A. Yani No. 70 Bogor 16161 Abstrak Harga dan kaitannya dengan peningkatan pendapatan dan kesejahteraan

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP. 6.1 Kesimpulan

BAB VI PENUTUP. 6.1 Kesimpulan BAB VI PENUTUP 6.1 Kesimpulan Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisa pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap ketimpangan pendapatan dan kemiskinan, serta menganalisa keberpihakan pertumbuhan ekonomi

Lebih terperinci

BAB V HASIL ESTIMASI DAN ANALISIS MODEL. Tabel 5.1. Output regresi model persentase penduduk miskin absolut (P 0 )

BAB V HASIL ESTIMASI DAN ANALISIS MODEL. Tabel 5.1. Output regresi model persentase penduduk miskin absolut (P 0 ) 97 BAB V HASIL ESTIMASI DAN ANALISIS MODEL 5.1. Hasil Estimasi Model Persentase Penduduk Miskin Absolut (P 0 ) Head count index (P 0 ) merupakan jumlah persentase penduduk yang berada dibawah garis kemiskinan.

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Ruang lingkup penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh pertumbuhan

III. METODE PENELITIAN. Ruang lingkup penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh pertumbuhan 49 III. METODE PENELITIAN A. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh pertumbuhan ekonomi, inflasi dan kualitas sumber daya manusia terhadap tingkat pengangguran

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERMINTAAN BERAS DI KOTA SURAKARTA

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERMINTAAN BERAS DI KOTA SURAKARTA ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERMINTAAN BERAS DI KOTA SURAKARTA Tria Rosana Dewi, Libria Widiastuti (Staf Pengajar Fakultas Pertanian Universitas Islam Batik Surakarta) Email: triardewi@yahoo.co.id

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. dihadapi oleh semua negara di dunia. Amerika Serikat yang tergolong sebagai

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. dihadapi oleh semua negara di dunia. Amerika Serikat yang tergolong sebagai BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Sharp et al. (1996) mengatakan kemiskinan merupakan masalah yang dihadapi oleh semua negara di dunia. Amerika Serikat yang tergolong sebagai negara maju dan merupakan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. mengambil objek di seluruh provinsi di Indonesia, yang berjumlah 33 provinsi

BAB III METODE PENELITIAN. mengambil objek di seluruh provinsi di Indonesia, yang berjumlah 33 provinsi BAB III METODE PENELITIAN A. Objek Penelitian Untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam penelitian ini, penulis mengambil objek di seluruh provinsi di Indonesia, yang berjumlah 33 provinsi di 5 pulau

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Terwujudnya Indonesia yang Sejahtera, Demokratis, dan Berkeadilan

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Terwujudnya Indonesia yang Sejahtera, Demokratis, dan Berkeadilan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014 telah menggariskan bahwa Visi Pembangunan 2010-2014 adalah Terwujudnya Indonesia yang Sejahtera, Demokratis,

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Ruang lingkup penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh Upah

III. METODE PENELITIAN. Ruang lingkup penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh Upah 63 III. METODE PENELITIAN A. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh Upah Minimum Provinsi (UMP) dan Belanja Barang dan Jasa (BBJ) terhadap pembangunan

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA SEPTEMBER 2011

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA SEPTEMBER 2011 BADAN PUSAT STATISTIK No. 06/01/Th. XV, 2 Januari 2012 PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA SEPTEMBER 2011 JUMLAH PENDUDUK MISKIN SEPTEMBER 2011 MENCAPAI 29,89 JUTA ORANG Jumlah penduduk miskin (penduduk dengan

Lebih terperinci

VI. HASIL PENDUGAAN FUNGSI KEUNTUNGAN, ELASTISITAS PENAWARAN OUTPUT DAN PERMINTAAN INPUT

VI. HASIL PENDUGAAN FUNGSI KEUNTUNGAN, ELASTISITAS PENAWARAN OUTPUT DAN PERMINTAAN INPUT VI. HASIL PENDUGAAN FUNGSI KEUNTUNGAN, ELASTISITAS PENAWARAN OUTPUT DAN PERMINTAAN INPUT 6.1. Pendugaan Fungsi Keuntungan Translog Menurut Shidu and Baanante (1981) bahwa fungsi keuntungan yang direstriksi

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 21 III. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Desa Babakan Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor. Pemilihan tersebut dengan pertimbangan bahwa wilayah tersebut merupakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masalah kompleks yang telah membuat pemerintah memberikan perhatian khusus

I. PENDAHULUAN. masalah kompleks yang telah membuat pemerintah memberikan perhatian khusus 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang. Kemiskinan merupakan isu sentral yang dihadapi oleh semua negara di dunia termasuk negara sedang berkembang, seperti Indonesia. Kemiskinan menjadi masalah kompleks yang

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder deret waktu

III. METODE PENELITIAN. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder deret waktu III. METODE PENELITIAN A. Jenis dan Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder deret waktu (time-series data) bulanan dari periode 2004:01 2011:12 yang diperoleh dari PT.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melaksanakan pembangunan ekonomi. Pertumbuhan juga merupakan ukuran

BAB I PENDAHULUAN. melaksanakan pembangunan ekonomi. Pertumbuhan juga merupakan ukuran BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan syarat yang diperlukan dalam melaksanakan pembangunan ekonomi. Pertumbuhan juga merupakan ukuran utama keberhasilan pembangunan. Pertumbuhan

Lebih terperinci

BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR ahk BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR No. 34/05/64/Th.XIX, 2 Mei 2016 PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI (NTP) KALIMANTAN TIMUR*) MENURUT SUB SEKTOR BULAN APRIL 2016 Nilai Tukar Petani Provinsi Kalimantan Timur

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Analisis Regresi Hubungan antara variabel terikat Y dengan variabel bebas biasanya dilukiskan dalam sebuah garis, yang disebut dengan garis regresi. Garis regresi ada yang berbentuk

Lebih terperinci

ELASTISITAS TEAM TEACHING I. ELASTISITAS PERMINTAAN

ELASTISITAS TEAM TEACHING I. ELASTISITAS PERMINTAAN ELASTISITAS TEAM TEACHING I. ELASTISITAS PERMINTAAN Jika terjadi kegagalan panen maka dapat digambarkan sebagai pergeseran kurva penawaran kekiri, yaitu dari S ke S Gambar 4.1(i) menggambarkan suatu kasus

Lebih terperinci

V. ANALISIS PENGARUH BANTUAN STIMULUS INFRASTRUKTUR TERHADAP PEREKONOMIAN, KETIMPANGAN DAN KEMISKINAN KABUPATEN TERTINGGAL

V. ANALISIS PENGARUH BANTUAN STIMULUS INFRASTRUKTUR TERHADAP PEREKONOMIAN, KETIMPANGAN DAN KEMISKINAN KABUPATEN TERTINGGAL V. ANALISIS PENGARUH BANTUAN STIMULUS INFRASTRUKTUR TERHADAP PEREKONOMIAN, KETIMPANGAN DAN KEMISKINAN KABUPATEN TERTINGGAL 5.1. Hasil Estimasi Analisis mengenai pengaruh bantuan infrastruktur (P2IPDT)

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA BAB II. TINJAUAN PUSTAKA Secara garis besar kebutuhan rumah tangga dapat dikelompokkan dalam 2 kategori besar, yaitu kebutuhan pangan dan non pangan. Dengan demikian pada tingkat pendapatan tertentu, rumah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. Oleh sebab itu produksi telur ayam ras diartikan sebagai proses untuk

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. Oleh sebab itu produksi telur ayam ras diartikan sebagai proses untuk 6 II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN A. Tinjauan Pustaka 1. Teori Produksi Produksi merupakan sebuah proses menghasilkan suatu barang atau jasa. Oleh sebab itu produksi telur ayam ras diartikan

Lebih terperinci

III METODE PENELITIAN. dilakukan secara purposive, dengan pertimbangan provinsi ini merupakan wilayah

III METODE PENELITIAN. dilakukan secara purposive, dengan pertimbangan provinsi ini merupakan wilayah III METODE PENELITIAN 3.1 Metode Penentuan Daerah Penelitian Penelitian dilakukan di Provinsi Sumatera Utara. Penentuan daerah ini dilakukan secara purposive, dengan pertimbangan provinsi ini merupakan

Lebih terperinci

III. ELASTISITAS PERMINTAAN DAN PENAWARAN

III. ELASTISITAS PERMINTAAN DAN PENAWARAN Kardodno-nuhfil 1 III. ELASTISITAS PERMINTAAN AN PENAWARAN Apakah yang akan terjadi pada permintaan atau penawaran suatu barang apabila harga barang itu turun atau naik satu persen? Jawaban pertanyaan

Lebih terperinci

Pada umumnya ilmu ekonomi mempelajari hubungan-hubungan antara. variabel ekonomi. Hubungan-hubungan yang fungsional tersebut mendefinisikan

Pada umumnya ilmu ekonomi mempelajari hubungan-hubungan antara. variabel ekonomi. Hubungan-hubungan yang fungsional tersebut mendefinisikan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada umumnya ilmu ekonomi mempelajari hubungan-hubungan antara variabel ekonomi. Hubungan-hubungan yang fungsional tersebut mendefinisikan ketergantungan variabel

Lebih terperinci

PERMINTAAN DAN PENAWARAN HASIL PERTANIAN

PERMINTAAN DAN PENAWARAN HASIL PERTANIAN PENGANTAR EKONOMI PERTANIAN PERMINTAAN DAN PENAWARAN HASIL PERTANIAN (Menurut Perubahan supply-demand Cob-web theory) Oleh: Agustina Bidarti Sosek Pertanian FP Unsri Tiga unsur permintaan dan penawaran

Lebih terperinci

VI. HASIL PENDUGAAN MODEL EKONOMI PUPUK DAN SEKTOR PERTANIAN

VI. HASIL PENDUGAAN MODEL EKONOMI PUPUK DAN SEKTOR PERTANIAN VI. HASIL PENDUGAAN MODEL EKONOMI PUPUK DAN SEKTOR PERTANIAN 6.1. Hasil Pendugaan Model Ekonomi Pupuk dan Sektor Pertanian Kriteria pertama yang harus dipenuhi dalam analisis ini adalah adanya kesesuaian

Lebih terperinci

PERMINTAAN KEDELAI DI KOTA SAMARINDA

PERMINTAAN KEDELAI DI KOTA SAMARINDA EPP. Vol.5.No.2.2008:28-33 28 PERMINTAAN KEDELAI DI KOTA SAMARINDA (Soybean Demand at Samarinda City) Elvina Rohana dan Nella Naomi Duakaju Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Mulawarman,

Lebih terperinci

VI. FAKTOR - FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERMINTAAN RUMAH TANGGA TERHADAP CABAI MERAH KERITING

VI. FAKTOR - FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERMINTAAN RUMAH TANGGA TERHADAP CABAI MERAH KERITING VI. FAKTOR - FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERMINTAAN RUMAH TANGGA TERHADAP CABAI MERAH KERITING 6.1. Model Permintaan Rumah Tangga Terhadap Cabai Merah Keriting Model permintaan rumah tangga di DKI Jakarta

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI SULAWESI BARAT MARET 2017

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI SULAWESI BARAT MARET 2017 BPS PROVINSI SULAWESI BARAT No. 41/07/76/Th.XI, 17 Juli 2017 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI SULAWESI BARAT MARET 2017 JUMLAH PENDUDUK MISKIN sebesar 149,76 RIBU JIWA (11,30 PERSEN) Persentase penduduk miskin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kemiskinan merupakan fenomena umum yang terjadi pada banyak

BAB I PENDAHULUAN. Kemiskinan merupakan fenomena umum yang terjadi pada banyak BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kemiskinan merupakan fenomena umum yang terjadi pada banyak negara di dunia dan menjadi masalah sosial yang bersifat global. Hampir semua negara berkembang memiliki

Lebih terperinci

KAJIAN PERMINTAAN MINYAK GORENG PADA BERBAGAI GOLONGAN PENDAPATAN DAN SEGMEN PASAR DI INDONESIA ')

KAJIAN PERMINTAAN MINYAK GORENG PADA BERBAGAI GOLONGAN PENDAPATAN DAN SEGMEN PASAR DI INDONESIA ') KAJIAN PERMINTAAN MINYAK GORENG PADA BERBAGAI GOLONGAN PENDAPATAN DAN SEGMEN PASAR DI INDONESIA ') Oleh : Delima H. Azahari Darmawan 2), I Wayan Rusastra 2) dan Nizwar Sjafa'at Abstrak Masalah kekurangan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Desain, Sumber dan Jenis Data

METODE PENELITIAN Desain, Sumber dan Jenis Data 20 METODE PENELITIAN Desain, Sumber dan Jenis Data Penelitian ini menggunakan data Susenas Modul Konsumsi tahun 2005 yang dikumpulkan dengan desain cross sectional. Data Susenas Modul Konsumsi terdiri

Lebih terperinci