I.2. Rumusan Masalah I.3. Tujuan Penelitian I.3.1 Tujuan umum I.3.2 Tujuan khusus

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "I.2. Rumusan Masalah I.3. Tujuan Penelitian I.3.1 Tujuan umum I.3.2 Tujuan khusus"

Transkripsi

1 Laporan Penelitian GAMBARAN SINO-NASAL OUTCOME TEST 20 (SNOT-20) PADA PENDERITA RINOSINUSITIS DI DESA YEH EMBANG NEGARA, DESA TAMBLANG SINGARAJA DAN DESA TIHINGAN KLUNGKUNG Oleh: Putu Dian Ariyanti Putri, Sari Wulan Dwi Sutanegara Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok-Bedah Kepala Leher FK Universitas Udayana/RSUP Sanglah I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Rinosinusitis adalah peradangan yang mengenai mukosa hidung dan sinus paranasal. Penyakit ini hingga saat ini masih merupakan tantangan di bidang THT-KL, karena berdampak besar dalam berbagai aspek antara lain aspek kualitas hidup dan aspek sosioekonomi masyarakat. Penyebabnya bermacam macam, antara lain alergi, infeksi bakteri, virus, dan jamur, perubahan cuaca, hormonal, obat - obatan. 1 Rinosinusitis merupakan masalah kesehatan yang signifikan sebagai cermin dari peningkatan frekuensi rinitis alergi dan berakibat dalam masalah keuangan yang besar untuk masyarakat. Insiden dari rinosinusitis akut berdasarkan Multi-nasional Questionnaire survey yang dilakukan pada tahun 2011 mencapai 6-10% dari keseluruhan populasi. Prevalensi dari rinosinusitis kronis juga dilaporkan terjadi pada 16% orang dewasa di Amerika Serikat. Prevalensi meningkat seiring dengan peningkatan usia dimana pada kelompok usia tahun dan tahun mencapai 2.7% dan 6.6%. Rinosinusitis kronis lebih sering dijumpai pada wanita dibandingkan dengan pria. Di Indonesia prevalensi rinosinusitis kronis pada tahun 2004 dilaporkan sebesar 12,6% dengan perkiraan sebanyak 30 juta penduduk menderita rinosinusitis kronis. 1,2,3 Kualitas hidup merupakan konsep yang mencakup karakter fisik maupun psikologis dalam konteks sosial. Dalam dunia kedokteran kualitas hidup juga 1

2 sangat terkait dengan status kesehatan. Dewasa ini aspek kualitas hidup mulai dipertimbangkan sehubungan dengan pengambilan keputusan untuk penatalaksanaan pasien. Adanya penilaian kualitas hidup terkait status kesehatan berguna untuk mengetahui dampak suatu penyakit terhadap penderita dan untuk mengevaluasi efek terapi. Rinosinusitis masih merupakan tantangan dan masalah dalam praktik kedokteran. Rinosinusitis secara nyata menyebabkan gangguan fisik yang cukup serius sehingga mengakibatkan penurunan kualitas hidup terkait kesehatan. 4 Sino-Nasal Outcome Test 20 (SNOT-20) merupakan salah satu instrumen yang digunakan untuk menilai kualitas hidup dari penderita dengan rinosinusitis. SNOT 20 terdiri dari 20 poin yang dinilai secara personal oleh penderita rinosinusitis. Hingga saat ini belum ada data tentang karakteristik penderita rinosinusitis berdasarkan kuisioner SNOT-20, maka peneliti ingin melakukan penelitian tentang gambaran kualitas hidup penderita rinosinusitis berdasarkan SNOT I.2. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian diatas, masalah dalam penelitian ini yaitu bagaimanakah gambaran kualitas hidup penderita rinosinusitis berdasarkan SNOT-20? I.3. Tujuan Penelitian I.3.1 Tujuan umum Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualitas hidup penderita rinosinusitis berdasarkan SNOT 20. I.3.2 Tujuan khusus 1. Mengetahui karakterisktik penderita rinosinusitis di Desa Yeh Embang Negara, Desa Tamblang Singaraja dan Desa Tihingan Klungkung. 2. Mengetahui dampak rinosinusitis terhadap kualitas hidup penderita rinosinusitis di Desa Yeh Embang Negara, Desa Tamblang Singaraja dan Desa Tihingan Klungkung. 2

3 I.4. Manfaat Dalam bidang akademik penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang gambaran kualitas hidup penderita rinosinusitis di Desa Yeh Embang Negara, Desa Tamblang Singaraja dan Desa Tihingan Klungkung. Disamping itu hasil penelitian diharapkan dapat dijadikan dasar strategi manajemen penyakit secara holistik, terapi dan edukasi, sehingga diharapkan dapat mencegah rekurensi dari penyakit ini. II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi dan Fisiologi Sinus Paranasal Struktur hidung luar berbentuk piramida tersusun oleh sepasang tulang hidung pada bagian superior lateral dan kartilago pada bagian inferior lateral. Struktur tersebut membentuk piramid sehingga memungkinkan terjadinya aliran udara di dalam kavum nasi. Dinding lateral kavum nasi tersusun atas konka inferior, media, superior dan meatus. Meatus merupakan ruang diantara konka. Meatus media terletak diantara konka media dan inferior yang mempunyai peran penting dalam patofisiologi rinosinusitis karena melalui meatus ini kelompok sinus anterior berhubungan dengan hidung. 6,7 Septum nasi merupakan struktur tengah hidung yang tersusun atas lamina perpendikularis os etmoid, kartilago septum, premaksila dan kolumela membranosa. Deviasi septum yang signifikan dapat menyebabkan obstruksi hidung dan menekan konka media yang menyebabkan obstruksi kompleks ostiomeatal dan hambatan aliran sinus. Meatus inferior berada diantara konka inferior dan rongga hidung. Pada permukaan lateral meatus lateral terdapat muara duktus nasolakrimalis. 6,7 3

4 Gambar 1. Penampang sagital dari hidung dan sinus paranasal. 6 Perdarahan hidung berasal dari a. etmoid anterior, a. etmoid posterior cabang dari a. oftalmika dan a. sfenopalatina. Bagian anterior dan superior septum dan dinding lateral hidung mendapatkan aliran darah dari a. etmoid anterior, sedangkan cabang a. etmoid posterior yang lebih kecil hanya mensuplai area olfaktorius. Terdapat anastomosis diantara arteri-arteri hidung di lateral dan arteri etmoid di daerah antero-inferior septum yang disebut pleksus Kiesselbach. Sistem vena di hidung tidak memiliki katup dan hal ini menjadi predisposisi penyebaran infeksi menuju sinus kavernosus. Persarafan hidung terutama berasal dari cabang oftalmikus dan cabang maksina nervus trigeminus. 6,7 Fungsi fisiologi hidung adalah penghidu, filtrasi, proteksi, humidifikasi, penghangat udara dan resonansi suara. Saat inspirasi udara masuk ke vestibulum dengan arah vertikal oblik dan mengalami aliran laminar. Ketika udara mencapai nasal valve terjadi turbulen sehingga udara inspirasi langsung mengadakan kontak dengan permukaan mukosa hidung yang luas. Aliran turbulen tersebut tidak hanya meningkatkan fungsi penghangat dan humidifikasi tetapi juga fungsi proteksi. 6,7 Sinus paranasal terdiri atas empat pasang yaitu sinus maksila, sinus etmoid, sinus sfenoid dan sinus frontal. Mukosa sinus dilapisi oleh epitel respiratorius pseudostratified yang terdiri atas empat jenis sel yaitu sel kolumnar bersilia, sel kolumnar tidak bersilia, sel mukus tipe goblet dan sel basal. Membran mukosa bersilia bertugas menghalau mukus menuju ostium sinus dan bergabung 4

5 dengan sekret dari hidung. Jumlah silia makin bertambah saat mendekati ostium. Ostium adalah celah alamiah tempat sinus mengalirkan drainasenya ke hidung. 7 Secara klinis berdasarkan lokasi perlekatan konka media dengan dinding lateral hidung, sinus dibagi menjadi kelompok sinus anterior dan posterior. Kelompok sinus anterior terdiri dari sinus frontal, maksila dan etmoid anterior yang bermuara ke dalam atau dekat infundibulum. Kelompok sinus posterior terdiri dari etmoid posterior dan sinus sfenoid yang bermuara di atas konka media. Fungsi utama sinus paranasal adalah mengeliminasi benda asing dan sebagai pertahanan tubuh terhadap infeksi melalui tiga mekanisme yaitu terbukanya kompleks osteomeatal, transport mukosiliar dan produksi mukus yang normal. 8 Gambar 2. Penampang Koronal 4 pasang sinus paranasal. 6 Kompleks ostiomeatal atau KOM adalah jalur pertemuan drainase kelompok sinus anterior yang terdiri dari meatus media, prosesus unsinatus, hiatur semilunaris, infundibulum etmoid, bula etmoid, ostium sinus maksila dan resesus frontal. KOM bukan merupakan struktur anatomi tetapi merupakan suatu jalur yang jika mengalami obstruksi karena mukosa yang inflamasi atau massa yang akan menyebabkan obstruksi ostium sinus, stasis silia dan terjadi infeksi sinus. 6,7,9 5

6 Gambar 3. Kompleks ostiomeatal (KOM), potongan koronal. 6 Sinus maksila disebut juga antrum Highmore merupakan sinus paranasal terbesar. Dasar sinus dibentuk oleh prosesus alveolaris os maksila dan palatum durum. Dinding anteriornya berhadapan dengan fosa kanina. Gigi premolar kedua, gigi molar pertama dam kedua tumbuh dekat dengan dasar sinus dan hanya dipisahkan oleh membran mukosa, sehingga proses supuratif di sekitar gigi tersebut dapat menjalar ke mukosa sinus. Silia sinus maksila membawa mukus dan debris langsung ke ostium alamiah di meatus media. Perdarahan sinus maksila dilayani oleh cabang a.maksila interna yaitu a.infraorbita, a.sfenopalatina cabang nasal lateral, a.palatina descendens, a.alveolar superior anterior dan posterior. Inervasi mukosa sinus maksila dilayani oleh cabang nasal lateroposterior dan cabang alveolar superior n. infraorbital. 6,7 Sinus frontal merupakan pneumatisasi superior os frontal oleh sel etmoid anterior. Sinus ini mengalirkan drainasenya melalui resesus frontal. Perdarahan dilayani oleh cabang supratroklear dan suborbital a. oftalmika, sedangkan vena dialirkan ke sinus kavernosus. Inervasi mukosa dilayani oleh cabang 6,7 supratrokhlear dan supraorita n. V 1. Sinus etmoid terdiri dari sel etmoid anterior yang bermuara ke infundibulum di meatus media dan sel etmoid posterior yang bermuara ke meatus superior. Cabang nasal a.sfenopalatina dan a.etmoid anterior dan posterior, cabang a.oftalmika dari sistem karotis interna melayani sinus etmoid dan aliran venanya menuju sinus kavernosus. Inervasi dilayani oleh cabang nasal posterior nervus V2 dan cabang etmoid anterior dan posterior nervus V1. 6,7 6

7 Sinus sfenoid merupakan sinus terakhir yang mengalami perkembangan yaitu pada usia dewasa awal. Struktur penting yang terletak dekat dengan sinus ini yaitu n.optikus dan kelenjar hipofisis yang terletak di atas sinus, pons serebri di posterior, di lateral sinus sfenoid terdapat sinus kavernosus, fisura orbitalis superior, a.karotis dan beberapa serabut nervus kranialis. Perdarahan dilayani oleh cabang a.sfenopalatina dan a.etmoid posterior. Inervasinya dipersarafi oleh cabang etmoid posterior nervus V1 dan cabang sfenopalatina nervus V2. 6,7 Faktor yang berperan dalam memelihara fungsi sinus paranasalis adalah patensi KOM, fungsi transport mukosiliar dan produksi mukus yang normal. Patensi KOM memiliki peranan yang penting sebagai tempat drainase mukus dan debris serta memelihara tekanan oksigen dalam keadaan normal sehingga mencegah tumbuhnya bakteri. Faktor transport mukosiliar sangat tergantung pada karakteristik silia yaitu struktur, jumlah dan koordinasi gerakan silia. Produksi mukus juga bergantung kepada volume dan viskoelastisitas mukus yang dapat mempengaruhi transport mukosiliar. 5, Definisi dan Epidemiologi Rinosinusitis Rinosinusitis adalah proses inflamasi yang mengenai mukosa hidung dan sinus paranasal. Secara embriologis mukosa sinus merupakan lanjutan dari mukosa hidung, sehingga sinusitis hampir selalu didahului dengan rinitis dan gejala-gejala obstruksi nasi, rinore serta hiposmia dijumpai pada rinitis maupun sinusitis. 10,11 Insiden dari rinosinusitis akut berdasarkan Multi-nasional Questionnaire survey yang dilakukan pada tahun 2011 mencapai 6-10% dari keseluruhan populasi. Prevalensi dari rinosinusitis kronis juga dilaporkan terjadi pada 16% orang dewasa di Amerika Serikat. Prevalensi meningkat seiring dengan peningkatan usia dimana pada kelompok usia tahun dan tahun mencapai 2.7% dan 6.6%. Rinosinusitis kronis lebih sering dijumpai pada wanita dibandingkan dengan pria. Di Indonesia prevalensi rinosinusitis kronis pada tahun 2004 dilaporkan sebesar 12,6% dengan perkiraan sebanyak 30 juta penduduk menderita rinosinusitis kronis. 1,2,3 7

8 2.3. Etiologi Rinosinusitis Umumnya penyebab sinusitis adalah rinogenik yang merupakan perluasan infeksi dari hidung dan dentogenik yang berasal dari infeksi pada gigi. Infeksi pada sinus paranasal dapat disebabkan oleh interaksi dari beberapa etiologi seperti faktor mikrobial, lingkungan, dan faktor host yang terdiri dari gangguan anatomi, genetik fisiologi dan imunitas Patogenesis Rinosinusitis Patogenesis sinus dipengaruhi oleh patensi dari ostium-ostium sinus dan kelancaran pembersihan mukosiliar di dalam kompleks osteomeatal (KOM). Disamping itu mukus juga mengandung substansi mikrobial dan zat-zat yang berfungsi sebagai pertahanan terhadap kuman yang masuk ke saluran pernafasan. Bila terdapat gangguan didaerah KOM seperti peradangan, edema atau polip maka hal itu akan menyebabkan gangguan drainase sehingga terjadi sinusitis. Bila ada kelainan anatomi seperti deviasi atau spina septum, konka bulosa atau hipertrofi konka media, maka celah yang sempit itu akan bertambah sempit sehingga memperberat gangguan yang ditimbulkannya. 10,11 Infundibulum etmoid dan resesus frontal yang termasuk bagian dari KOM, berperan penting pada patofisiologi sinusitis. Permukaan mukosa ditempat ini berdekatan satu sama lain dan transportasi lendir pada celah yang sempit ini dapat lebih efektif karena silia bekerja dari dua sisi atau lebih. Apabila terjadi edema, mukosa yang berhadapan akan saling bertemu sehingga silia tidak dapat bergerak dan lendir tidak dapat dialirkan, maka akan terjadi gangguan drainase dan ventilasi sinus maksila dan frontal. Gangguan ventilasi akan menyebabkan penurunan ph dalam sinus, silia menjadi kurang aktif dan lendir yang diproduksi menjadi lebih kental sehingga merupakan media yang baik untuk tumbuh kuman patogen. Patogenesis dari rinosinusitis kronis berawal dari adanya suatu inflamasi dan infeksi yang menyebabkan dilepasnya mediator diantaranya vasoactive amine, proteases, arachidonic acid metabolit, imune complek, lipolisaccharide dan lainlain. Hal tersebut menyebabkan terjadinya kerusakan mukosa hidung dan akhirnya menyebabkan disfungsi mukosiliar yang mengakibatkan stagnasi mukus 8

9 dan menyebabkan bakteri semakin mudah untuk berkolonisasi dan infeksi inflamasi akan kembali terjadi. 10,11 Bakteri dapat berkembang menjadi kuman patogen bila lingkungannya sesuai. Bila sumbatan berlangsung terus akan terjadi hipoksia dan retensi lendir, sehingga bakteri anaerob akan berkembang baik. Bakteri juga akan memproduksi toksin yang akan merusak silia. Selanjutnya dapat terjadi perubahan jaringan menjadi hipertropi, polipoid atau terbentuk polip dan kista. Kuman didalam sinus dapat berasal dari rongga hidung sebelum ostium tertutup ataupun merupakan kuman komensal didalam rongga sinus. Virus dan bakteri yang masuk kedalam mukosa akan menembus kedalam submukosa, yang diikuti adanya infiltrasi sel polimorfonuklear, sel mast dan limfosit, kemudian akan diikuti lepasnya zat-zat kimia seperti histamin dan prostaglandin. Zat-zat kimia ini akan menyebabkan vasodilatasi kapiler, sehingga permeabilitas pembuluh darah meningkat dan terjadilah udema di submukosa. Selain virus dan bakteri sebagai penyebab infeksi pada peradangan rongga sinus juga dipengaruhi oleh faktor predisposisi lokal dan sistemik. 10,11 Faktor predisposisi lokal antara lain: septum deviasi, edema atau hipertrofi konka, rinitis alergi, rinitis vasomotor, barotrauma, korpus alienum, rinolit dan sebagainya. Faktor predisposisi sistemik yang mempengaruhi antara lain infeksi saluran nafas atas oleh karena virus, keadaan umum yang lemah, malnutrisi, DM yang tidak terkontrol dan iritasi udara sekitar. 10, Gejala dan Tanda Klinis Berdasarkan anamnesis, penderita biasanya mengeluh adanya nyeri terutama pada daerah sinus yang terkena disertai dengan sakit kepala, hidung buntu, hidung berair atau gangguan penghidu. Keluhan lain yang antara lain adanya rasa dahak di tenggorok, nyeri gigi, nafas berbau, nyeri telinga atau telinga terasa penuh, nyeri pada gigi dan demam. 1,10,11 Pada pemeriksaan fisik dapat dilihat terjadinya edema atau perubahan warna pada daerah disekitar wajah. Bila terdapat sinusitis pada saat di palpasi maka bagian disekitar pipi dan sekitar mata akan terasa sakit. Pemeriksaan 9

10 intraoral dilakukan untuk mengevaluasi keadaan gigi, dimana gigi yang terjadi ganggren atau karies dapat menjadi penyebab terjadinya sinusitis dentogen. 10,11 Rinoskopi anterior dilakukan utnuk mengevaluasi keadaan mukosa hidung, menilai adakah inflamasi, sekret pada mukosa hidung dan meatus media, deformitas atau deviasi pada septum. 10, Pemeriksaan Penunjang Transluminasi mempunyai manfaat yang terbatas, hanya dapat dipakai untuk pemeriksaan sinus maksila dan sinus frontal, bila fasilitas pemeriksaan radiologik tidak tersedia. Pemeriksaan radiologik yang dapat dibuat antara lain Waters, PA dan Lateral. Tepi mukosa sinus yang sehat tidak tampak pada foto rontgen, tetapi jika ada infeksi tepi mukosa akan tampak karena udema permukaan mukosa. Permukaan mukosa yang membengkak dan edema tampak seperti suatu densitas yang paralel dengan dinding sinus. Pembengkakan permukaan mukosa yang berbatas tegas pada resesus alveolaris antrum maksila biasanya terjadi akibat infeksi yang berasal dari gigi atau daerah periodontal. Jika cairan tidak mengisi seluruh rongga sinus, selalu dapat dilihat adanya air fluid level pada foto dengan posisi tegak. 10,11 Sinus maksila, rongga hidung, septum nasi dan konka terlihat pada penampang CT-Scan aksial dan koronal. Pada sinusitis dengan komplikasi, CT- Scan adalah cara yang terbaik untuk memperlihatkan sifat dan sumber masalah. CT-Scan koronal dari sinus paling baik untuk pembedahan, memberikan visualisasi yang baik tentang anatomi rongga hidung, komplek osteomeatal, rongga-rongga sinus dan struktur-struktur yang mengelilinginya seperti orbita, lamina kribiformis, dan kanalis optikus. Obstruksi anatomi pada komplek osteomeatal dan kelainan-kelainan gigi akan terlihat jelas. 10,11 CT-Scan dapat menilai tingkat keparahan inflamasi dengan menggunakan sistem gradasi yaitu staging Lund-Mackay. Sistem ini sangat sederhana untuk digunakan secara rutin dan didasarkan pada skor angka hasil gambaran CT scan. Lund-MacKay Radiologic Staging System ditentukan dari lokasi Gradasi Radiologik sinus maksila, etmoid anterior, etmoid posterior dan sinus sphenoid, 10

11 Penilaian Gradasi radiologik dari 0-2, Gradasi 0 : Tidak ada kelainan, Gradasi 1 : Opasifikasi parsial Gradasi 2 : Opasifikasi komplit. 10,11 Nasoendoskopi ini akan mempermudah dan memperjelas pemeriksaan karena dapat melihat bagian-bagian rongga hidung yang berhubungan dengan faktor lokal penyebab sinusitis. Pemeriksaan nasoendoskopi dapat melihat adanya kelainan septum nasi, meatus media, konka media dan inferior, juga dapat mengetahui adanya polip atau tumor. 10, Diagnosis Berdasarkan Task Force on Rhinosinusitis yang dibentuk oleh American Academy of Otolaryngology Head and Neck Surgery (AAO-HNS) diagnosis rinosinusitis ditegakkan apabila dijumpai adanya 2 gejala mayor atau satu gejala mayor disertai dengan 2 gejala minor. Kriteria mayor antara lain nyeri pada wajah, hidung tersumbat, hidung berair atau sekret purulen, hiposmia atau anosmia, dan demam pada kondisi akut. Kriteria minor antara lain nyeri kepala, demam, halitosis, kelelahan, nyeri gigi, batuk dan nyeri atau rasa penuh pada telinga. Rinosinusitis dikatakan akut bila gejala tersebut terjadi 4 minggu atau kurang, subakut bila gejala terjadi 4-12 minggu dan kronik bila gejala terjadi lebih dari 12 minggu. 10, Penatalaksanaan Jika pada pemeriksaan ditemukan adanya faktor predisposisi seperti deviasi septum, kelainan atau variasi anatomi KOM, hipertrofi adenoid pada anak, polip, kista, jamur, karies atau ganggren gigi penyebab sinusitis, dianjurkan untuk melakukan penatalaksanaan yang sesui dengan kelainan yang ditemukan. 1,10,11 Jika tidak ditemukan faktor predisposisi, diduga kelainan adalah bakterial yang memerlukan pemberian antibiotik dan pengobatan medik lainnya. Antibiotika dapat diberikan sebagai terapi awal. Pilihan antibiotika harus mencakup β-laktamase seperti pada terapi sinusitis akut lini ke II, yaitu amoksisillin klavulanat atau ampisillin sulbaktam, sefalosporin generasi kedua, makrolid, klindamisin. Jika ada perbaikan antibiotik diteruskan mencukupi atau lebih jika diperlukan. Jika tidak ada perbaikan dapat dipilih antibiotika 11

12 alternatif seperti siprofloksasin, golongan kuinolon atau yang sesuai dengan kultur. Jika diduga ada bakteri anaerob, dapat diberi metronidazole. Jika dengan antibiotika alternatif tidak ada perbaikan, maka eveluasi kembali apakah ada faktor predisposisi yang belum terdiagnosis dengan pemeriksaan nasoendoskopi maupun CT-Scan. 1,10,11 Dekongestan berperan penting sebagai terapi awal mendampingi antibiotik. Dekongestan oral menstimulasi reseptor α-adrenergik dimukosa hidung dengan efek vasokontriksi yang dapat mengurang keluhan sumbatan hidung, meningkatkan diameter ostium dan meningkatkan ventilasi. Preparat yang umum adalah pseudoefedrine dan phenyl-propanolamine. Karena efek peningkatan tekanan darah tinggi dan penyakit jantung harus dilakukan dengan hatihati.dekongestan topikal mempunyai efek yang lebih cepat terhadap sumbatan hidung, namun efeknya ini sebetulnya tidak fisiologik dan pemakaian jangka lama (lebih dari 7 hari) akan menyebabkan rinitis medika mentosa. 1,10,11 Alergi berperan sebagai penyebab rinosinusitis kronis pada lebih dari 50% kasus, karenanya penggunaan antihistamin justru dianjurkan, demikian juga kemungkinan imunoterapi. Karena antihistamin generasi pertama mempunyai efek antikolinergik yang tinggi, generasi kedua lebih disukai seperti azelastine, acrivastine, cetirizine, fexofenadine dan loratadine. 1,10,11 Kortikosteroid topikal mempunyai efek lokal terhadap bersin, sekresi lendir, sumbatan hidung dan hipo/anosmia. Penemuannya merupakan perkembangan besar dalam pengobatan rinitis dan sinusitis. Penggunaannya kortikosteroid topikal meluas pada kelainan alergi dan non-alergi. Meskipun obat semprot ini tidak mencapai komplek osteomeatal, keluhan pasien berkurang karena udema di rongga hidung dan meatus medius hilang. Sedangkan kortikosteroid oral dapat mencapai seluruh rongga sinus. Terapi singkat selama dua minggu sudah efektif menghilangkan beberapa keluhan. Preparat oral dapat diberikan mendahului yang topikal, obat oral dapat membuka sumbatan hidung terlebih dahulu sehingga distribusi obat semprot merata. 1,10,11 Rinosinusitis kronis yang tidak sembuh dengan pengobatan medik adekuat dan optimal serta adanya kelainan mukosa menetap merupakan indikasi tindakan bedah. Beberapa macam tindakan bedah mulai dari antrostomi meatus inferior, 12

13 Caldwell-Luc, trepanasi sinus frontal, dan Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF) dapat dilaksanakan. Bedah sinus konvensional tidak memperlihatkan usaha pemulihan drainase dan ventilasi sinus melalui ostium alami. Namun dengan berkembangnya pengetahuan patogenesis sinusitis, maka berkembang pula modifikasi bedah sinus konvensional misalnya operasi Caldwell-Luc yang hanya mengangkat jaringan patologik dan meninggalkan jaringan normal agar tetap berfungsi dan melakukan antrostomi meatus medius sehingga drainase dapat sembuh kembali. 1,10,11 Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF) merupakan kemajuan pesat dalam bedah sinus. Jenis operasi ini lebih dipilih karena merupakan tindakan konservatif yang lebih efektif dan fungsional. Keuntungan BSEF adalah dengan penggunaan endoskop yang memiliki pencahayaan yang terang, sehingga lapangan operasi lebih jelas dan rinci. Bila terdapat kelainan patologi dironggarongga sinus, jaringan patologik dapat diangkat tanpa melukai jaringan normal dan ostium sinus yang tersumbat diperlebar. Dengan ini ventilasi sinus lancar secara alami, jaringan normal tetap berfungsi dan kelainan didalam sinus maksila dan frontal dapat teratasi. 1,10, Komplikasi Kompikasi rinosinusitis telah menurun sejak ditemukan antibiotika. Komplikasi yang dapat terjadi ialah osteomielitis dan abses subperiostal yang paling sering timbul akibat sinusitis frontal dan biasanya ditemukan pada anakanak. Pada osteomielitis sinus maksila dapat timbul fistula oroantral. Komplikasi lain yang dapat terjadi yaitu kelainan orbita yang disebabkan oleh sinus paranasal yang berdekatan dengan mata. Penyebaran infeksi dapat terjadi melalui tromboflebitis dan perkontinuitatum. Variasi yang dapat timbul ialah udema palpebra, selulitis orbita, abses subperiostal, abses orbita dan selanjutnya dapat terjadi trombosis sinus kavernosus. Kelainan intrakranial dapat berupa meningitis, abses ektradural, abses otak dan trombosis sinus kavernosus. Kelainan paru seperti bronkitis kronis dan brokiektasis. Adanya kelainan sinus paranasal disertai dengan kelainan paru ini disebut sinobronkitis. Selain itu dapat juga timbul asma bronkial

14 2.10. Efek Rinosinusitis Terhadap Kualitas Hidup Kualitas hidup merupakan pengalaman personal yang merefleksikan bukan hanya status kesehatan tetapi faktor lain yang mempengaruhi kehidupan penderita yang hanya bisa dideskripsikan oleh penderita tersebut sendiri. Salah satu bagian dari kualitas hidup adalah kualitas hidup yang berhubungan dengan status kesehatan, yang dapat didefinisikan sebagai pengalaman individu yang subjektif baik secara langsung maupun tidak langsung dipengaruhi oleh tingkat kesehatan, penyakit, dan disabilitas. Hal tersebut diatas sangat tergantung pada usia penderita, kebiasaan, ekspektasi dan kemampuan fisik serta mental. 4 Rinosinusitis masih merupakan tantangan dan masalah dalam praktik kedokteran. Rinosinusitis secara nyata menyebabkan gangguan fisik yang cukup serius sehingga mengakibatkan penurunan kualitas hidup terkait kesehatan. Hal tersebut disebabkan karena gejala yang ditimbulkan seperti hidung tersumbat yang diikuti oleh rinore, gangguan penciuman, nyeri pada wajah dan nyeri kepala yang dapat memberikan dampak terhadap aktivitas harian penderita. Gejala tersebut mengakibatkan penurunan prodiktifitas dan kehilangan hari kerja yang cukup signifikan yaitu sekitar 3% hari kerja penduduk produktif atau 73 juta hari kerja. Jika terjadi pada anak sekolah maka akan menurunkan kemampuan belajar anak tersebut. Masalah yang lebih kompleks seperti gangguan tidur, gangguan psikologis seperti perubahan suasana hari, depresi, cemas, lemas, dan disfungsi seksual merupakan hal yang bisa muncul karena gejala rinosinusitis yang timbul. 4,12,13,14 Saat ini penilaian penatalaksanaan rinosinusitis menyangkut kualitas hidup terkait kesehatan menjadi sangat penting. Pengukuran kualitas hidup terkait kesehatan terhadap rinosinusitis terus dikembangkan yang ditandai dengan banyaknya alat ukur yang telah di validasi antara lain nasal symptom questionnare, Rhinosinusitis Outcome Measure (RSOM-31), Sinonasal Outcome Test-16 (SNOT-16), SNOT-20, SNOT-22, Chronic Sinusitis Survey (CSS), Rhinosinusitis Disability Index (RSDI), Rhinosinusitis Symptom Inventory (RSI), Rhinosinusitis Quality of Life survey (RhinoQoL). 4 14

15 2.11. Sino-Nasal Outcome Test 20 (SNOT-20) SNOT-20 adalah salah satu instrument yang digunakan untuk menilai kualitas hidup penderita rinosinusitis. SNOT-20 terdiri dari 20 poin penilaian yang diisi secara personal dengan memberikan skor pada masing-masing poinnya. Instrumen ini menilai masalah kesehatan yang berkaitan dengan sinusitis dengan hubungannya ada masalah fisik, keterbatasan fungsional dan kondisi emosional. SNOT-20 merupakan modifikasi dari 31-item Rhinosinusitis Outcome Measure. Validitas SNOT-20 untuk menilai kualitas hidup penderita sudah dilakukan dengan konsistensi internal, reliabilitas dan hasil tes validitas yang dianalisis. SNOT-20 merupakan instrumen yang mudah dilengkapi oleh penderita dan dapat digunakan pada praktek klinik sehari-hari. SNOT-20 juga dapat membantu menilai derajat dan efek dari rinosinusitis terhadap status kesehatan, kualitas hidup dan mengukur respon terapi yang diberikan. 5,16,17,18 Total skor SNOT-20 dihitung sebagai nilai rata-rata untuk semua 20 item. Kisaran skor SNOT-20 adalah 0-5, dengan skor yang lebih tinggi menunjukkan terkait rinosinusitis beban kesehatan yang lebih besar. 4 SNOT-20 terdiri dari 4 konstruksi mayor yaitu pertanyaan yang berkaitan dengan gejala hidung, gejala hidung dan wajah, fungsi dan gangguan tidur dan hal-hal yang berkaitan dengan masalah psikologis. Poin pertanyaan yang berhubungan dengan gejala rinologi yaitu hidung buntu, bersin, hidung berair, sekret kental dan post nasal drip. Poin yang berkaitan dengan gejala telinga dan wajah yaitu telinga terasa penuh, pusing, nyeri telinga dan nyeri pada wajah atau nyeri tekan. Susah tidur, terbangun pada malam hari dan tidur kurang berkualitas merupakan poin yang berkaitan dengan gangguan tidur. Lemas, penurunan produktifitas, penurunan konsentrasi, frustasi atau kurang istirahat atau iritabel, sedih dan malu merupakan poin yang berkaitan dengan masalah psikologis. Dua pertanyaan lain yaitu batuk dan terbangun dengan lelah tidak diklasifikasikan sebagai salah satu dari 4 konstruksi mayor diatas

16 III. KERANGKA KONSEP Infeksi (bakteri, virus, jamur) Lingkungan Host Obstruksi KOM Rinosinusitis Kualitas hidup IV. METODE PENELITIAN 4.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Desa Yeh Embang Negara pada tanggal 25 Oktober 2014, Desa Tamblang Kubutambahan tanggal 23 November 2014 dan Desa Tihingan Klungkung tanggal 5 Desember Jenis dan Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif menggunakan rancangan potong lintang. Kuisioner SNOT-20 digunakan untuk menilai kualitas hidup penderita rinosinusitis Penentuan Sumber Data Populasi penelitian Populasi terjangkau adalah penderita rinosinusitis di Desa Yeh Embang, Desa Tamblang dan Desa Tihingan Klungkung Sampel penelitian Seluruh penderita rinosinusitis di Desa Yeh Embang, Desa Tihingan Klungkung dan Desa Tamblang Kubutambahan yang datang pada saat dilakukan 16

17 pemeriksaan kesehatan di balai desa setempat. Sampel diambil dengan teknik purposive sampling berdasarkan ciri atau sifat tertentu yang berkaitan dengan karakteristik populasi. Kriteria inklusi untuk penelitian ini adalah penderita yang memenuhi kriteria mayor dan minor berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Kriteria Eksklusi adalah penderita dengan keganasan pada kepala leher dan penderita tidak kooperatif Variabel Penelitian Identifikasi Variabel Variabel bebas : rinosinusitis Variabel tergantung : kualitas hidup Definisi Operasional Variabel 1. Rinosinusitis adalah proses inflamasi yang mengenai mukosa hidung dan sinus paranasal. Diagnosis rinosinusitis ditegakkan apabila dijumpai adanya 2 gejala mayor atau satu gejala mayor disertai dengan 2 gejala minor. Kriteria mayor antara lain nyeri pada wajah, hidung tersumbat, hidung berair atau sekret purulen, hiposmia atau anosmia, dan demam pada kondisi akut. Kriteria minor antara lain nyeri kepala, demam, halitosis, kelelahan, nyeri gigi, batuk dan nyeri atau rasa penuh pada telinga. Rinosinusitis dikatakan akut bila gejala tersebut terjadi 4 minggu atau kurang, subakut bila gejala terjadi 4-12 minggu dan kronik bila gejala terjadi lebih dari 12 minggu. 2. Kualitas hidup adalah komponen penilaian terhadap kesehatan, dan kualitas hidup yang dipengaruhi oleh kesehatan yang terdiri dari aspek problem fisik, keterbatasan fungsional dan emosional. Variabel ini diukur menggunakan kuisioner Sino Nasal Outcome Test-20 (SNOT-20). 3. Jenis kelamin adalah karakteristik baik secara biologi maupun fisiologi yang dikategorikan sebagai perempuan dan laki-laki. 4. Usia adalah lama hidup yang dihitung dari tahun kelahiran. 17

18 4.5. Kerangka Penelitian Populasi Kriteria Inklusi dan eksklusi Anamnesis Pemeriksaan THT Sampel SNOT-20 Hasil Analisa Data 4.6. Analisis Data Hasil penelitian disajikan secara desriptif dalam bentuk tabel dan narasi. V. HASIL PENELITIAN Penelitian telah dilakukan di Desa Yeh Embang Negara, Desa Tamblang Singaraja dan Desa Tihingan Klungkung. Pada penelitian ini didapatkan total sampel yang memenuhi kriteria inklusi sebanyak 68 orang. Data karakteristik sampel berdasarkan masing-masing desa disajikan dalam tabel 1. Total sampel dari Desa Yeh Embang yaitu 35 orang yang terdiri dari laki-laki sebanyak 19 orang (54,3%) dan 16 orang (45,7%) perempuan. Rentang usia terbanyak yaitu tahun sebanyak 16 orang (45,7%). Sampel Desa Tamblang terdiri dari 10 orang (58,8%) laki-laki dan 7 orang (41,2%) perempuan. Rentang usia terbanyak yaitu tahun sebanyak 6 orang (35,3%). Dari Desa Tihingan didapatkan sampel laki-laki sebanyak 9 orang (56,3%) dan 7 orang (43,7%) perempuan. 18

19 Tabel 1. Distribusi sampel berdasarkan jenis kelamin dan umur Desa Karakteristik N % Yeh Embang Jenis Kelamin Laki-laki 19 54,3 Perempuan 16 45,7 Umur 25 tahun tahun tahun 65 tahun ,3 45,7 28,6 82,8 Tamblang Jenis Kelamin Laki-laki 10 58,8 Perempuan 7 41,2 Umur 25 tahun tahun tahun 65 tahun ,8 35,3 29,4 23,5 Tihingan Jenis Kelamin Laki-laki 9 56,3 Perempuan 7 43,7 Umur 25 tahun tahun tahun 65 tahun ,25 50,0 37,5 6,25 Total Jenis Kelamin Laki-laki 38 55,9 Perempuan 30 44,1 Umur 25 tahun 8 11, tahun 30 44, tahun 21 30,9 65 tahun 9 13,2 19

20 Berdasarkan total skor kuisioner SNOT-20 yang didapatkan di Desa Yeh Embang, 5 nilai rata-rata tertinggi yaitu hidung buntu (2.62), bersin (2.51), sekret pada hidung (2,49), lemas (2.43) dan penurunan konsentrasi (2.4). Nilai rata-rata total skor SNOT-20 yaitu Hal ini dapat dilihat pada tabel 2. Tabel 2. Skor SNOT-20 di Desa Yeh Embang Hidung buntu Bersin Hidung berair Batuk Postnasal drip Sekret kental pada hidung Telinga penuh Pusing Nyeri telinga Nyeri wajah/nyeri tekan Sulit tidur Terbangun di malam hari Tidur kurang berkualitas Lelah saat bangun Lemas Produktivitas menurun Penurunan konsentrasi Frustasi/kurang istirahat/iritabel Sedih Malu Total skor SNOT-20 Nilai Rata-rata Berdasarkan total skor kuisioner SNOT-20 yang didapatkan di Desa Tamblang, 5 nilai rata-rata tertinggi yaitu bersin (2.41), hidung buntu (2.24), 20

21 sekret pada hidung (2,29), post nasal drip (2.17) dan lemas (2.05). Nilai rata-rata total skor SNOT-20 yaitu Hal ini dapat dilihat pada tabel 3. Tabel 3. Skor SNOT-20 di Desa Tamblang Hidung buntu Bersin Hidung berair Batuk Postnasal drip Sekret kental pada hidung Telinga penuh Pusing Nyeri telinga Nyeri wajah/nyeri tekan Sulit tidur Terbangun di malam hari Tidur kurang berkualitas Lelah saat bangun Lemas Produktivitas menurun Penurunan konsentrasi Frustasi/kurang istirahat/iritabel Sedih Malu Total skor SNOT-20 Nilai Rata-rata Berdasarkan total skor kuisioner SNOT-20 yang didapatkan di Desa Tihingan, 5 nilai rata-rata tertinggi yaitu hidung buntu (2.93), bersin (2.56), hidung berair (2.50), sekret pada hidung (2,43) dan lemas (2.31). Nilai rata-rata total skor SNOT-20 yaitu Hal ini dapat dilihat pada tabel 4. 21

22 Tabel 4. Skor SNOT-20 di Desa Tihingan Hidung buntu Bersin Hidung berair Batuk Postnasal drip Sekret kental pada hidung Telinga penuh Pusing Nyeri telinga Nyeri wajah/nyeri tekan Sulit tidur Terbangun di malam hari Tidur kurang berkualitas Lelah saat bangun Lemas Produktivitas menurun Penurunan konsentrasi Frustasi/kurang istirahat/iritabel Sedih Malu Total skor SNOT-20 Nilai Rata-rata VI. PEMBAHASAN Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan menggunakan rancangan potong lintang. Anamnesis dan pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengetahui adakah gangguan pada hidung dan sinus paranasal dan kemudian dilanjutkan dengan pengisian SNOT-20 digunakan untuk mengetahui gambaran kualitas hidup penderita rinosinusitis. 22

23 SNOT-20 adalah salah satu instrument yang digunakan untuk menilai kualitas hidup penderita rinosinusitis. SNOT-20 terdiri dari 4 konstruksi mayor yaitu poin pertanyaan berkaitan dengan gejala rinologi, gejala hidung dan wajah, fungsi dan gangguan tidur dan hal-hal yang berkaitan dengan masalah psikologis. SNOT-20 merupakan modifikasi dari RSOM-31 yang sudah divalidasi untuk menilai kualitas hidup penderita sudah dilakukan dengan konsistensi internal, reliabilitas dan hasil tes validitas yang dianalisis. Schalek 4 mengemukakan bahwa diperlukan tiga kriteria dalam merumuskan pengukuran dari kualitas hidup yaitu penggunaan nilai secara global, menilai keparahan dan gejala yang paling berpengaruh dan kemungkinan untuk penderita menambahkan gejala lain yang mengganggu. Hal ini menunjukkan bahwa SNOT-20 merupakan pengukuran yang terbaik terutama untuk menilai hasil operasi. Penelitian yang dilakukan van Oene 12 juga menyebutkan bahwa poin tertinggi untuk pemilihan kuisioner kualitas hidup untuk rinosinusitis adalah RSOM-31 dan SNOT-20. Pada penelitian ini didapatkan total 68 orang dari 3 desa yaitu Desa Yeh Embang, Desa Tamblang dan Desa Tihingan. Dari ketiga desa, sampel yang terbanyak merupakan sampel dengan jenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 38 orang (55,9%) dan 30 orang (44,1%) berjenis kelamin perempuan. Usia terbanyak merupakan rentang usia tahun yaitu sebanyak 30 orang (44,1%). Penelitian yang dilakukan oleh Zbislawski 13 juga menunjukkan bahwa penderita rinosinusitis lebih banyak berjenis kelamin laki-laki dibandingkan dengan perempuan yaitu 52,7% dan 47,3%. Hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan Wang 2 yang menunjukkan bahwa rinosinusitis lebih banyak terjadi pada perempuan daripada laki-laki. Berdasarkan nilai rata-rata tiap poin pertanyaan SNOT-20 yang didapatkan di Desa Yeh Embang, 5 nilai rata-rata tertinggi yaitu hidung buntu (2.62), bersin (2.51), sekret pada hidung (2,49), lemas (2.43) dan penurunan konsentrasi (2.4). Hal tersebut menunjukkan bahwa 3 poin tertinggi merupakan bagian dari gejala hidung dan 2 poin selanjutnya merupakan masalah psikologis yang terjadi akibat adanya gangguan pada hidung tersebut. Hasil yang sama juga ditunjukkan pada sampel yang ada di Desa Tamblang, dimana 4 pertanyaan tertinggi merupakan gejala pada hidung yaitu bersin (2.41), hidung buntu (2.24), sekret pada hidung 23

24 (2,29), post nasal drip (2.17) dan aspek psikologis yaitu lemas (2.05). Hasil yang didapatkan pada sampel di Desa Tihingan dimana 5 nilai rata-rata tertinggi yaitu hidung buntu (2.93), bersin (2.56), hidung berair (2.50), sekret pada hidung (2,43) dan lemas (2.31). Hal tersebut diatas sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Pynnonen 5, poin tertinggi dari pertanyaan SNOT-20 yaitu hidung buntu, hidung berair, terbangun saat malam dan penurunan konsentrasi. Hasil yang sama juga ditunjukkan oleh Piccirillo 16 dimana 5 poin dengan nilai rata-rata tertinggi yaitu post nasal drip, nyeri wajah atau nyeri tekan, hidung buntu, terbangun dengan lelah dan lemas. Bezerra dkk 18 juga menemukan bahwa item pertanyaan yang dirasakan paling buruk meliputi hidung buntu, bersin, post nasal drip, sekret kental, dan susah tidur. Seluruh penelitian ini menunjukkan adanya hubungan gejala yang dirasakan, dalam hal ini merupakan gejala pada hidung yang akan menyebabkan gangguan pada psikologis dan gangguan tidur pada penderita. Kualitas hidup penderita rinosinusitis dipengaruhi oleh berat ringannya gejala yang muncul, umur, kebiasaan, ekspektasi serta ketidakmampuan secara fisik dan psikologis. VII. SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan menggunakan rancangan potong lintang. Anamnesis dan pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengetahui adakah gangguan pada hidung dan sinus paranasal dan kemudian dilanjutkan dengan pengisian SNOT-20 digunakan untuk mengetahui gambaran kualitas hidup penderita rinosinusitis. Pada penelitian ini didapatkan total 68 orang dari 3 desa yaitu Desa Yeh Embang, Desa Tamblang dan Desa Tihingan. Distribusi jenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 38 orang (55,9%) dan perempuan 30 orang (44,1%). Usia terbanyak merupakan rentang usia tahun yaitu sebanyak 30 orang (44,1%). Nilai rata-rata pertanyaan tertinggi didapatkan pada pertanyaan yang berhubungan dengan gejala hidung yaitu hidung buntu, hidung berair, sekret 24

25 kental, dan post nasal drip. Nilai rata-rata pertanyaan lainnya didapatkan dari poin yang berkaitan dengan masalah psikologis yaitu lemas dan penurunan konsentrasi Saran Penelitian mengenai penilaian kualitas hidup yang berkaitan dengan rinosinusitis perlu dilakukan untuk membantu menilai derajat dan efek dari rinosinusitis terhadap status kesehatan, kualitas hidup serta mengukur keberhasilan tindakan operasi yang dilakukan. 25

26 DAFTAR PUSTAKA 1. Fokkens w, Lund Vm Bachert C, Clement P, Hellings P, Holmstrom M, Jones N, et al. European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps Rhinology. 2012;50(23): 45: Wang DY, Wardani RS, SinghK, Thanaviratananich S, Vicente G, Xu G, et al. A survey on the management of acute rhinosinusitis among Asian physicians. Rhinology Sep;49(3): Soetjipto D, Wardhani RS. Guidline Penyakit THT di Indonesia. PP PERHATI-KL Schalek P. Rhinosinusitis-Its Impact on Quality of Life. Dalam : Marseglia GL, editor. Peculiar Aspects of Rhinosinusitis. Edisi ke-1. China: InTech, 2011;h Pynnonen MA, KimHM, Terrell JE. Validation of the Sino-Nasal Outcome Test 20 (SNOT-20) Domains in Nonsurgical Patients. Am J Rhinol Allergy. 2009;23: Krouse JH and Stachler RJ. Anatomy and Physiology of the Paranasal Sinuses. Dalam : Brook I, penyunting. Sinusitis From Microbiology To Managemen. New York: Taylor & Francis Group. 2006; hal: Ballenger JJ. Anatomy and Physiology of The Nose and Paranasal Sinuses. Dalam: Snow JB and Ballenger JJ, penyunting. Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery. Edisi ke-16. Spanyol: BC Decker Inc. 2003; hal: Walsh WE and Kern RC. Sinonasal Anatomy and Physiology. Dalam: Bailey BJ and Johnson JT, penyunting. Head & Neck Surgery Otolaryngology. Edisi ke-5. Volume ke-1. Philadelpia: Lippincott Williams & Wilkins. 2014; hal: Welch KC and Goldberg AN. Sinusitis. Dalam: Mahmoudi M, penyunting. Allergy & Asthma, Practical Diagnosis and Management. New York: McGrawHill. 2008; hal: Rosenfeld RM, Piccirillo JF, Chandrasekhar SS, Brook I, Kumar KA, Kramper M, et al. Clinical Practice Guideline (Update) : Adult Sinusitis. Otolaryngology-Head and Neck Surgery. 2015;152(2S):S1-S39. 26

27 11. Johnson JT, Rosen CA, editor. Bailey s Head and Neck Surgery Otolaryngology. Edisi ke-5. Volume ke-1. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins, 2014:h Van Oene CM, van Reij EJF, Sprangers MAG, Fokkens WJ. Quality Assessment of Disease-Spesific Quality of Life Questionnaires for Rhinitis and Rhinosinusitis: A systematic review. Allergy. 2007;62: Teul I, Zbislawski W, Baran S, Czerwinski F, Lorkowski J. Quality of Life of Patients With Diseases of Sinuses. Journal of Physiology and Pharmacology. 2007;58(5): Kalpaklioglu AF, Baccioglu A. Evaluation of Quality of Life: Impact of Allergic Rhinitis on Asthma. J Investig Allergol Clin Immunol. 2008;18(3): Browne JP, Hopkins C, Slack R, Cano SJ. The Sinonasal Outcome Test (SNOT): Can we make it more clinically meaningful?. Otolaryngology-Head and Neck Surgery. 2007;136: Piccirillo JF, Merritt MG, Richards ML. Psycometric and Clinimetric Validity of The 20-item Sino-Nasal Outcome Test (SNOT-20). Otolaryngology-Head and Neck Surgery. 2002;126: Lupoi D, Sarafoleanu C. SNOT-20 and VAS Questionnaires in Establishing The Success of Different Surgical Approaches in Chronic Rhinosinusitis. Romanian Journal of Rhinology. 2012;2(8): Bezerra TFP, Piccirillo JF, Fornazieri MA, Pilan RM, Adi TRT, Pinna FR, et al. Cross-Cultural Adaptation and Validation of SNOT-20 in Portuguese. International Journal of Otolaryngology. 2011:20:

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. (simptoms kurang dari 3 minggu), subakut (simptoms 3 minggu sampai

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. (simptoms kurang dari 3 minggu), subakut (simptoms 3 minggu sampai 8 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sinusitis Sinusitis adalah proses peradangan atau infeksi dari satu atau lebih pada membran mukosa sinus paranasal dan terjadi obstruksi dari mekanisme drainase normal. 9,15

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pakar yang dipublikasikan di European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal

BAB 1 PENDAHULUAN. pakar yang dipublikasikan di European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sinusitis adalah peradangan pada salah satu atau lebih mukosa sinus paranasal. Sinusitis juga dapat disebut rinosinusitis, menurut hasil beberapa diskusi pakar yang

Lebih terperinci

Anatomi Sinus Paranasal Ada empat pasang sinus paranasal yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri.

Anatomi Sinus Paranasal Ada empat pasang sinus paranasal yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Anatomi Sinus Paranasal Ada empat pasang sinus paranasal yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi (RA) adalah penyakit yang sering dijumpai. Gejala utamanya

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi (RA) adalah penyakit yang sering dijumpai. Gejala utamanya 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Rinitis alergi (RA) adalah penyakit yang sering dijumpai. Gejala utamanya adalah bersin, hidung beringus (rhinorrhea), dan hidung tersumbat. 1 Dapat juga disertai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. karakteristik dua atau lebih gejala berupa nasal. nasal drip) disertai facial pain/pressure and reduction or loss of

BAB I PENDAHULUAN. karakteristik dua atau lebih gejala berupa nasal. nasal drip) disertai facial pain/pressure and reduction or loss of BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menurut European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps (EP3OS) tahun 2012, rinosinusitis didefinisikan sebagai inflamasi pada hidung dan sinus paranasalis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dasar diagnosis rinosinusitis kronik sesuai kriteria EPOS (European

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dasar diagnosis rinosinusitis kronik sesuai kriteria EPOS (European BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dasar diagnosis rinosinusitis kronik sesuai kriteria EPOS (European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyposis) 2012 adalah inflamasi hidung dan sinus paranasal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidung dan sinus paranasal ditandai dengan dua gejala atau lebih, salah

BAB I PENDAHULUAN. hidung dan sinus paranasal ditandai dengan dua gejala atau lebih, salah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menurut European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps (EPOS) 2012, rinosinusitis kronis didefinisikan sebagai suatu radang hidung dan sinus paranasal

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. diperantarai oleh lg E. Rinitis alergi dapat terjadi karena sistem

BAB 1 PENDAHULUAN. diperantarai oleh lg E. Rinitis alergi dapat terjadi karena sistem BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Definisi Rinitis Alergi (RA) menurut ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) merupakan reaksi inflamasi pada mukosa hidung akibat reaksi hipersensitivitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. paranasal dengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih

BAB I PENDAHULUAN. paranasal dengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rinosinusitis kronik (RSK) merupakan inflamasi mukosa hidung dan sinus paranasal dengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih gejala, salah satunya

Lebih terperinci

Profil Pasien Rinosinusitis Kronik di Poliklinik THT-KL RSUP DR.M.Djamil Padang

Profil Pasien Rinosinusitis Kronik di Poliklinik THT-KL RSUP DR.M.Djamil Padang 77 Artikel Penelitian Profil Pasien Rinosinusitis Kronik di Poliklinik THT-KL RSUP DR.M.Djamil Padang Hesty Trihastuti, Bestari Jaka Budiman, Edison 3 Abstrak Rinosinusitis kronik adalah inflamasi kronik

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi 2.1.1. Anatomi Hidung Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagian dari atas ke bawah yaitu: pangkal hidung (bridge), batang hidung (dorsum nasi), puncak hidung

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Hidung dan Sinus Paranasal Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya sehingga menjadi kavum

Lebih terperinci

BAB 3 KERANGKA PENELITIAN

BAB 3 KERANGKA PENELITIAN BAB 3 KERANGKA PENELITIAN 3.1 Kerangka Konseptual Dari hasil tinjauan kepustakaan serta kerangka teori tersebut serta masalah penelitian yang telah dirumuskan tersebut, maka dikembangkan suatu kerangka

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rinosinusitis kronis (RSK) adalah penyakit inflamasi mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung lebih dari 12 minggu. Pengobatan RSK sering belum bisa optimal

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. yang dapat ditegakkan berdasarkan riwayat gejala yang diderita sudah lebih dari

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. yang dapat ditegakkan berdasarkan riwayat gejala yang diderita sudah lebih dari BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Defenisi Rinosinusitis Kronis Rinosinusitis kronis adalah inflamasi mukosa hidung dan sinus paranasal yang dapat ditegakkan berdasarkan riwayat gejala yang diderita sudah lebih

Lebih terperinci

Hubungan gejala dan tanda rinosinusitis kronik dengan gambaran CT scan berdasarkan skor Lund-Mackay

Hubungan gejala dan tanda rinosinusitis kronik dengan gambaran CT scan berdasarkan skor Lund-Mackay Laporan Penelitian Hubungan gejala dan tanda rinosinusitis kronik dengan gambaran CT scan berdasarkan skor Lund-Mackay Jeanny Bubun, Aminuddin Azis, Amsyar Akil, Fadjar Perkasa Bagian Ilmu Kesehatan Telinga

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Penelitian dilakukan sampai jumlah sampel terpenuhi.

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Sinus Paranasal Sinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang sulit dideskripsi karena bentuknya sangat bervariasi pada tiap individu. Ada empat pasang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Rinosinusitis kronis merupakan inflamasi kronis. pada mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Rinosinusitis kronis merupakan inflamasi kronis. pada mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Rinosinusitis kronis merupakan inflamasi kronis pada mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung selama minimal 12 minggu berturut-turut. Rinosinusitis kronis

Lebih terperinci

GAMBARAN KUALITAS HIDUP PENDERITA SINUSITIS DI POLIKLINIK TELINGA HIDUNG DAN TENGGOROKAN RSUP SANGLAH PERIODE JANUARI-DESEMBER 2014

GAMBARAN KUALITAS HIDUP PENDERITA SINUSITIS DI POLIKLINIK TELINGA HIDUNG DAN TENGGOROKAN RSUP SANGLAH PERIODE JANUARI-DESEMBER 2014 1 GAMBARAN KUALITAS HIDUP PENDERITA SINUSITIS DI POLIKLINIK TELINGA HIDUNG DAN TENGGOROKAN RSUP SANGLAH PERIODE JANUARI-DESEMBER 2014 Oleh: Sari Wulan Dwi Sutanegara 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Secara fisiologis hidung berfungsi sebagai alat respirasi untuk mengatur

BAB 1 PENDAHULUAN. Secara fisiologis hidung berfungsi sebagai alat respirasi untuk mengatur BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara fisiologis hidung berfungsi sebagai alat respirasi untuk mengatur kondisi udara dengan mempersiapkan udara inspirasi agar sesuai dengan permukaan paru-paru,

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. tulang kepala yang terbentuk dari hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala. 7 Sinus

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. tulang kepala yang terbentuk dari hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala. 7 Sinus BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Sinus Paranasal Sinus atau lebih dikenal dengan sinus paranasal merupakan rongga di dalam tulang kepala yang terbentuk dari hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. endoskopis berupa polip atau sekret mukopurulen yang berasal dari meatus

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. endoskopis berupa polip atau sekret mukopurulen yang berasal dari meatus BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang kronik (RSK) merupakan inflamasi mukosa hidung dan sinus paranasal dengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih gejala, salah satunya berupa hidung

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Hidung Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya sehingga menjadi kavum nasi kanan dan

Lebih terperinci

Rhinosinusitis. Bey Putra Binekas

Rhinosinusitis. Bey Putra Binekas Rhinosinusitis Bey Putra Binekas Anatomi Fisiologi Sebagai pengatur kondisi udara Sebagai penahan suhu Membantu keseimbangan kepala Membantu resonansi suara Sebagai peredam perubahan tekanan udara Membantu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sinus Paranasalis (SPN) terdiri dari empat sinus yaitu sinus maxillaris,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sinus Paranasalis (SPN) terdiri dari empat sinus yaitu sinus maxillaris, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sinus Paranasalis (SPN) terdiri dari empat sinus yaitu sinus maxillaris, sinus frontalis, sinus sphenoidalis dan sinus ethmoidalis. Setiap rongga sinus ini

Lebih terperinci

RINOSINUSITIS KRONIS

RINOSINUSITIS KRONIS RINOSINUSITIS KRONIS Muhammad Amir Zakwan (07/25648/KU/12239) Dokter Muda Periode 2-25 Januari 2013 Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok-Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada/RSUP

Lebih terperinci

BAB III METODE DAN PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik THT-KL RSUD Dr. Moewardi

BAB III METODE DAN PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik THT-KL RSUD Dr. Moewardi BAB III METODE DAN PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik THT-KL RSUD Dr. Moewardi Surakarta, Poliklinik THT-KL RSUD Karanganyar, Poliklinik THT-KL RSUD Boyolali.

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Hidung terdiri dari bagian internal dan eksternal. Bagian eksternal menonjol dari wajah dan disangga oleh tulang hidung dan kartilago. Lubang hidung merupakan ostium

Lebih terperinci

ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL

ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL REFERAT ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL PEMBIMBING: Dr. H. Yuswandi Affandi Sp. THT-KL Dr. M. Ivan Djajalaga M.Kes, Sp. THT-KL DISUSUN OLEH: Noer Kamila Dedeh Asliah Bernadeta Rosa Diyana

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Sinus Paranasal Sinus paranasal adalah rongga berisi udara yang berbatasan langsung dengan rongga hidung. Bagian lateralnya merupakan sinus maksila (antrum) dan sel-sel

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Hidung Bentuk luar hidung sangat bervariasi dalam hal ukuran dan bentuk, terutama karena perbedaan tulang-tulang rawan hidung. Punggung hidung meluas dari akar hidung

Lebih terperinci

Laporan Kasus SINUSITIS MAKSILARIS

Laporan Kasus SINUSITIS MAKSILARIS Laporan Kasus SINUSITIS MAKSILARIS Pembimbing: drg. Ernani Indrawati. Sp.Ort Disusun Oleh : Oktiyasari Puji Nurwati 206.12.10005 LABORATORIUM GIGI DAN MULUT RSUD KANJURUHAN KEPANJEN FAKULTAS KEDOKTERAN

Lebih terperinci

BAB III METODE DAN PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD

BAB III METODE DAN PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD BAB III METODE DAN PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD Dr. Moewardi Surakarta, RSUD Karanganyar, RSUD Sukoharjo, dan RSUD Boyolali.

Lebih terperinci

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN. Telinga, Hidung, dan Tenggorok Bedah Kepala dan Leher, dan bagian. Semarang pada bulan Maret sampai Mei 2013.

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN. Telinga, Hidung, dan Tenggorok Bedah Kepala dan Leher, dan bagian. Semarang pada bulan Maret sampai Mei 2013. 28 BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini mencakup bidang Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, dan Tenggorok Bedah Kepala dan Leher, dan bagian pulmonologi Ilmu

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Sinus 2.1.1. Sinus Frontalis Bentuk dan ukuran sinus frontal sangat bervariasi, dan seringkali juga sangat berbeda bentuk dan ukurannya dari sinus pasangannya. Ukuran

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hidung 2.1.1 Anatomi Hidung 2.1.1.1 Anatomi Hidung Luar Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah: pangkal hidung (bridge), batang hidung (dorsum

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN. Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis

BAB IV HASIL PENELITIAN. Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis BAB IV HASIL PENELITIAN Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis kronik yang berobat di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL. Selama penelitian diambil sampel sebanyak 50 pasien

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hidung luar dan hidung dalam. Struktur hidung luar ada 3 bagian yang dapat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hidung luar dan hidung dalam. Struktur hidung luar ada 3 bagian yang dapat BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hidung dan Sinus Paranasal 1. Anatomi dan Fisiologi Hidung Hidung merupakan organ yang penting karena fungsinya sebagai pelindung dari lingkungan luar yang tidak menguntungkan.

Lebih terperinci

ABSTRAK KARAKTERISTIK PASIEN SINUSITIS DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR PADA APRIL 2015 SAMPAI APRIL 2016 Sinusitis yang merupakan salah

ABSTRAK KARAKTERISTIK PASIEN SINUSITIS DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR PADA APRIL 2015 SAMPAI APRIL 2016 Sinusitis yang merupakan salah ABSTRAK KARAKTERISTIK PASIEN SINUSITIS DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR PADA APRIL 2015 SAMPAI APRIL 2016 Sinusitis yang merupakan salah satu penyakit THT, Sinusitis adalah peradangan pada membran

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis kronik yang berobat di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD Dr. Moewardi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang muncul membingungkan (Axelsson et al., 1978). Kebingungan ini tampaknya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang muncul membingungkan (Axelsson et al., 1978). Kebingungan ini tampaknya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Banyak kendala yang sering dijumpai dalam menentukan diagnosis peradangan sinus paranasal. Gejala dan tandanya sangat mirip dengan gejala dan tanda akibat infeksi saluran

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rinosinusitis Kronis 2.1.1. Definisi Berdasarkan European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps 2012 (EPOS 2012), RSK didefinisikan sebagai inflamasi pada hidung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di negara maju maupun negara berkembang.1 Berdasarkan data World Health

BAB I PENDAHULUAN. di negara maju maupun negara berkembang.1 Berdasarkan data World Health BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rokok merupakan zat adiktif yang dapat mengancam kelangsungan hidup di negara maju maupun negara berkembang.1 Berdasarkan data World Health Organization (WHO) konsumsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. WHO menunjukkan jumlah perokok di Indonesia menduduki peringkat ketiga

BAB I PENDAHULUAN. WHO menunjukkan jumlah perokok di Indonesia menduduki peringkat ketiga 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kuantitas perokok di Indonesia semakin tahun semakin meningkat. Data WHO menunjukkan jumlah perokok di Indonesia menduduki peringkat ketiga dibawah Cina dan India.

Lebih terperinci

BAB II. Landasan Teori. keberhasilan individu untuk menyesuaikan diri terhadap orang lain pada

BAB II. Landasan Teori. keberhasilan individu untuk menyesuaikan diri terhadap orang lain pada BAB II Landasan Teori A. Penyesuaian Sosial 1. Pengertian Penyesuaian Sosial Hurlock (1999) menjelaskan bahwa penyesuaian sosial diartikan sebagai keberhasilan individu untuk menyesuaikan diri terhadap

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah. mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan pada mukosa hidung

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah. mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan pada mukosa hidung BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama

Lebih terperinci

REFERAT DEVIASI SEPTUM NASI

REFERAT DEVIASI SEPTUM NASI REFERAT DEVIASI SEPTUM NASI LANIRA ZARIMA N. H1A 008 038 DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA BAGIAN ILMU PENYAKIT TELINGA, HIDUNG, DAN TENGGOROKAN RUMAH SAKIT UMUM PROVINSI NTB FAKULTAS KEDOKTERAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh reaksi alergi pada penderita yang sebelumnya sudah tersensitisasi

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh reaksi alergi pada penderita yang sebelumnya sudah tersensitisasi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rinitis Alergi (RA) merupakan salah satu penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada penderita yang sebelumnya sudah tersensitisasi alergen yang sama

Lebih terperinci

KORELASI VARIASI ANATOMI HIDUNG DAN SINUS PARANASALIS BERDASARKAN GAMBARAN CT SCAN TERHADAP KEJADIAN RINOSINUSITIS KRONIK

KORELASI VARIASI ANATOMI HIDUNG DAN SINUS PARANASALIS BERDASARKAN GAMBARAN CT SCAN TERHADAP KEJADIAN RINOSINUSITIS KRONIK KORELASI VARIASI ANATOMI HIDUNG DAN SINUS PARANASALIS BERDASARKAN GAMBARAN CT SCAN TERHADAP KEJADIAN RINOSINUSITIS KRONIK CORRELATION OF NASAL AND SINUS ANATOMICAL VARIATIONS PARANASALIS CT IMAGE BASED

Lebih terperinci

12/3/2010. Nasal asessory sinuses Rongga dalam tulang kepala berisi udara. Sinus maksila Sinus frontal Sinus etmoid Sinus sfenoid

12/3/2010. Nasal asessory sinuses Rongga dalam tulang kepala berisi udara. Sinus maksila Sinus frontal Sinus etmoid Sinus sfenoid SINUSITIS AKUT DAN KRONIS Dr. dr. Delfitri Munir Sp.THT-KL(K) Sub-devisi Rinologi Dept. Ilmu Telinga Hidung Tenggorok Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Sinus para-nasal Nasal asessory sinuses

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai sumber infeksi, seperti: gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga

BAB I PENDAHULUAN. berbagai sumber infeksi, seperti: gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Abses leher dalam adalah terkumpulnya nanah (pus) di dalam ruang potensial yang terletak di antara fasia leher dalam, sebagai akibat penjalaran dari berbagai sumber

Lebih terperinci

2.1. Sinusitis Maksilaris Odontogen

2.1. Sinusitis Maksilaris Odontogen BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sinusitis Maksilaris Odontogen 2.1.1. Definisi Sinusitis merupakan suatu proses peradangan pada mukosa atau selaput lendir sinus paranasal. Akibat peradangan ini dapat menyebabkan

Lebih terperinci

Author : Edi Susanto, S.Ked. Faculty of Medicine University of Riau. Pekanbaru, Riau. 0 Files of DrsMed FK UNRI (http://www.files-of-drsmed.

Author : Edi Susanto, S.Ked. Faculty of Medicine University of Riau. Pekanbaru, Riau. 0 Files of DrsMed FK UNRI (http://www.files-of-drsmed. Author : Edi Susanto, S.Ked Faculty of Medicine University of Riau Pekanbaru, Riau 2009 0 Files of DrsMed FK UNRI (http://www.files-of-drsmed.tk PENDAHULUAN Sinus paranasal merupakan ruang udara yang berada

Lebih terperinci

Diagnosis Dan Penatalaksanaan Rinosinusitis Dengan Polip Nasi

Diagnosis Dan Penatalaksanaan Rinosinusitis Dengan Polip Nasi Diagnosis Dan Penatalaksanaan Rinosinusitis Dengan Polip Nasi Bestari j Budiman, Ade Asyari Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher (THT-KL) Abstrak Rinosinusitis merupakan masalah yang penting

Lebih terperinci

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung BILATERAL RECURRENT NASAL POLYPS STADIUM 1 IN MEN WITH ALLERGIC RHINITIS Pratama M 1) 1) Medical Faculty of Lampung University Abstract Background. Nasal polyps are soft period that contains a lot of fluid

Lebih terperinci

DIAGNOSIS CEPAT (RAPID DIAGNOSIS) DENGAN MENGGUNAKAN TES SEDERHANA DARI SEKRET HIDUNG PADA PENDERITA RINOSINUSITIS

DIAGNOSIS CEPAT (RAPID DIAGNOSIS) DENGAN MENGGUNAKAN TES SEDERHANA DARI SEKRET HIDUNG PADA PENDERITA RINOSINUSITIS ARTIKEL PENELITIAN DIAGNOSIS CEPAT (RAPID DIAGNOSIS DENGAN MENGGUNAKAN TES SEDERHANA DARI SEKRET HIDUNG PADA PENDERITA RINOSINUSITIS Siti Masliana Siregar 1 1 Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan

Lebih terperinci

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung POLIP NASI REKUREN BILATERAL STADIUM 2 PADA WANITA DENGAN RIWAYAT POLIPEKTOMI DAN RHINITIS ALERGI PERSISTEN Amaliyah-Taufiq FP 1) 1) Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Lampung Abstrak Latar Belakang.

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi 2.1.1. Anatomi Hidung Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagian dari atas ke bawah yaitu: pangkal hidung (bridge), batang hidung (dorsum nasi), puncak hidung

Lebih terperinci

FAKTOR PREDISPOSISI TERJADINYA RINOSINUSITIS KRONIK DI POLIKLINIK THT-KL RSUD Dr. ZAINOEL ABIDIN BANDA ACEH

FAKTOR PREDISPOSISI TERJADINYA RINOSINUSITIS KRONIK DI POLIKLINIK THT-KL RSUD Dr. ZAINOEL ABIDIN BANDA ACEH FAKTOR PREDISPOSISI TERJADINYA RINOSINUSITIS KRONIK DI POLIKLINIK THT-KL RSUD Dr. ZAINOEL ABIDIN BANDA ACEH Teuku Husni dan Amallia Pradista Abstrak. Rinosinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang penelitian. Rinitis alergika merupakan penyakit kronis yang cenderung meningkat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang penelitian. Rinitis alergika merupakan penyakit kronis yang cenderung meningkat BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang penelitian Rinitis alergika merupakan penyakit kronis yang cenderung meningkat tidak hanya di negara barat juga negara berkembang.dewasa ini rinitis alergika merupakan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI 6 BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Rinosinusitis a. Definisi Istilah sinusitis merujuk pada keadaan inflamasi pada sinus, sedangkan rinitis merupakan inflamasi pada membrana mukosa hidung.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kompleksitas dari anatomi sinus paranasalis dan fungsinya menjadi topik

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kompleksitas dari anatomi sinus paranasalis dan fungsinya menjadi topik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kompleksitas dari anatomi sinus paranasalis dan fungsinya menjadi topik yang menarik untuk dipelajari. Sinus paranasalis dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. mungkin akan terus meningkat prevalensinya. Rinosinusitis menyebabkan beban

BAB 1 PENDAHULUAN. mungkin akan terus meningkat prevalensinya. Rinosinusitis menyebabkan beban BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rinosinusitis merupakan penyakit inflamasi yang sering ditemukan dan mungkin akan terus meningkat prevalensinya. Rinosinusitis menyebabkan beban ekonomi yang tinggi

Lebih terperinci

Gambaran Rinosinusitis Kronis Di RSUP Haji Adam Malik pada Tahun The Picture Of Chronic Rhinosinusitis in RSUP Haji Adam Malik in Year 2011.

Gambaran Rinosinusitis Kronis Di RSUP Haji Adam Malik pada Tahun The Picture Of Chronic Rhinosinusitis in RSUP Haji Adam Malik in Year 2011. Gambaran Rinosinusitis Kronis Di RSUP Haji Adam Malik pada Tahun 2011. The Picture Of Chronic Rhinosinusitis in RSUP Haji Adam Malik in Year 2011. Privina Arivalagan 1, Andrina Rambe 2, 1 Mahasiswa F.

Lebih terperinci

PENUNTUN KETERAMPILAN KLINIS. PEMERIKSAAN HIDUNG Dan PEMASANGAN TAMPON BLOK 2.6 GANGUAN RESPIRASI

PENUNTUN KETERAMPILAN KLINIS. PEMERIKSAAN HIDUNG Dan PEMASANGAN TAMPON BLOK 2.6 GANGUAN RESPIRASI PENUNTUN KETERAMPILAN KLINIS PEMERIKSAAN HIDUNG Dan PEMASANGAN TAMPON BLOK 2.6 GANGUAN RESPIRASI KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI & PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS ANDALAS FAKULTAS KEDOKTERAN PADANG 2016 Konstributor

Lebih terperinci

Diagnosis dan Penanganan Rinosinusitis

Diagnosis dan Penanganan Rinosinusitis 18 Diagnosis dan Penanganan Rinosinusitis Teuku Husni T.R. Divisi Rinologi, Bagian Telinga Hidung Tenggorokan-Kepala Leher, Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala/RSU Dr. Zainoel Abidin, Banda Aceh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. organisme berbahaya dan bahan-bahan berbahaya lainnya yang terkandung di

BAB I PENDAHULUAN. organisme berbahaya dan bahan-bahan berbahaya lainnya yang terkandung di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara Fisiologis hidung berfungsi sebagai alat respirasi untuk mengatur kondisi udara dengan mempersiapkan udara inspirasi agar sesuai dengan permukaan paru-paru, pengatur

Lebih terperinci

Validasi Foto Polos Sinus Paranasal 3 Posisi untuk Diagnosis Rinosinusitis Kronik

Validasi Foto Polos Sinus Paranasal 3 Posisi untuk Diagnosis Rinosinusitis Kronik Validasi Foto Polos Sinus Paranasal 3 Posisi untuk Diagnosis Rinosinusitis Kronik Vimala Acala, Kartono Sudarman, Anton Christanto, Slamet Widodo Bagian Telinga Hidung dan Tenggorok Fakultas Kedokteran

Lebih terperinci

Epistaksis dapat ditimbulkan oleh sebab lokal dan sistemik.

Epistaksis dapat ditimbulkan oleh sebab lokal dan sistemik. LAPORAN KASUS RUMAH SAKIT UMUM YARSI II.1. Definisi Epistaksis adalah perdarahan dari hidung yang dapat terjadi akibat sebab lokal atau sebab umum (kelainan sistemik). II.2. Etiologi Epistaksis dapat ditimbulkan

Lebih terperinci

Efektivitas larutan cuci hidung air laut steril pada penderita rinosinusitis kronis

Efektivitas larutan cuci hidung air laut steril pada penderita rinosinusitis kronis Laporan Penelitian Efektivitas larutan cuci hidung air laut steril pada penderita rinosinusitis kronis Ade Rahmy Sujuthi, Abdul Qadar Punagi, Muhammad Fadjar Perkasa Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung

Lebih terperinci

LAPORAN KASUS (CASE REPORT)

LAPORAN KASUS (CASE REPORT) LAPORAN KASUS (CASE REPORT) I. Identitas Nama Umur Jenis Kelamin Pekerjaan Alamat : Amelia : 15 Tahun : Perempuan : Siswa : Bumi Jawa Baru II. Anamnesa (alloanamnesa) Keluhan Utama : - Nyeri ketika Menelan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hidung 2.1.1 Anatomi Hidung Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang, dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan

Lebih terperinci

Kaviti hidung membuka di anterior melalui lubang hidung. Posterior, kaviti ini berhubung dengan farinks melalui pembukaan hidung internal.

Kaviti hidung membuka di anterior melalui lubang hidung. Posterior, kaviti ini berhubung dengan farinks melalui pembukaan hidung internal. HIDUNG Hidung adalah indera yang kita gunakan untuk mengenali lingkungan sekitar atau sesuatu dari aroma yang dihasilkan. Kita mampu dengan mudah mengenali makanan yang sudah busuk dengan yang masih segar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Definisi klinis rinitis alergi adalah penyakit. simptomatik pada hidung yang dicetuskan oleh reaksi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Definisi klinis rinitis alergi adalah penyakit. simptomatik pada hidung yang dicetuskan oleh reaksi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Definisi klinis rinitis alergi adalah penyakit simptomatik pada hidung yang dicetuskan oleh reaksi inflamasi yang dimediasi oleh immunoglobulin E (IgE)

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Rhinitis alergi merupakan peradangan mukosa hidung yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Rhinitis alergi merupakan peradangan mukosa hidung yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Rhinitis alergi merupakan peradangan mukosa hidung yang disebabkan mediasi oleh reaksi hipersensitifitas atau alergi tipe 1. Rhinitis alergi dapat terjadi

Lebih terperinci

2.3 Patofisiologi. 2.5 Penatalaksanaan

2.3 Patofisiologi. 2.5 Penatalaksanaan 2.3 Patofisiologi Otitis media dengan efusi (OME) dapat terjadi selama resolusi otitis media akut (OMA) sekali peradangan akut telah teratasi. Di antara anak-anak yang telah memiliki sebuah episode dari

Lebih terperinci

for preparing endoscopic sinus surgery, 34 males and 42

for preparing endoscopic sinus surgery, 34 males and 42 I Variasi Gambaran Tomografi Komputer Pada Pasien Rinosinusitis Kronis Setelah rerapi Medikamentosa Maksimal di RsUp. DR. M. Djamil padang Periode Januari 20l0-Desember 2012 Bestari Jaka Budiman, Dolht

Lebih terperinci

BAB 4 METODE PENELITIAN

BAB 4 METODE PENELITIAN 31 BAB 4 METODE PENELITIAN 4.1. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah bidang Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan leher 4.2. Rancangan Penelitian Desain penelitian

Lebih terperinci

REFERAT SINUSITIS. Oleh : KELOMPOK VI. Eka Evia R.A Mustika Anggane Putri

REFERAT SINUSITIS. Oleh : KELOMPOK VI. Eka Evia R.A Mustika Anggane Putri REFERAT SINUSITIS Oleh : KELOMPOK VI Eka Evia R.A Mustika Anggane Putri KEPANITERAAN KLINIK RSUP FATMAWATI STASE THT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2009 BAB I PENDAHULUAN Sinusitis

Lebih terperinci

SURVEI KESEHATAN HIDUNG MASYARAKAT DI DESA TINOOR 2

SURVEI KESEHATAN HIDUNG MASYARAKAT DI DESA TINOOR 2 SURVEI KESEHATAN HIDUNG MASYARAKAT DI DESA TINOOR 2 1 Windy S. Ishak 2 Olivia Pelealu 2 R.E.C Tumbel 1 Kandidat Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado 2 Bagian Telinga Hidung Tenggorok-Bedah

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sinusitis 2.1.1. Defenisi Menurut Kamus Kedokteran Dorland (2002), sinusitis adalah peradangan sinus, biasanya sinus paranasales; mungkin purulen atau nonpurulen, akut atau

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Anatomi dan Histologi Hidung Gambar 2.1 Anatomi Dinding Lateral Hidung (Netter, 2014) 20 Kavum nasi atau yang sering disebut sebagai rongga hidung memiliki bentuk seperti terowongan

Lebih terperinci

BAB 2 ANATOMI SEPERTIGA TENGAH WAJAH. berhubungan antara tulang yang satu dengan tulang yang lainnya. 7

BAB 2 ANATOMI SEPERTIGA TENGAH WAJAH. berhubungan antara tulang yang satu dengan tulang yang lainnya. 7 BAB 2 ANATOMI SEPERTIGA TENGAH WAJAH Sepertiga tengah wajah dibentuk oleh sepuluh tulang, dimana tulang ini saling berhubungan antara tulang yang satu dengan tulang yang lainnya. 7 2.1 Tulang-tulang yang

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. nasi, kolumela dan lubang hidung (nares anterior). 1

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. nasi, kolumela dan lubang hidung (nares anterior). 1 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi dan Fisiologi Hidung Hidung dari luar berbentuk seperti piramid dengan bagian-bagiannya berupa pangkal hidung (bridge), batang hidung (dorsum nasi), puncak hidung (hip),

Lebih terperinci

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan Sistem Immunitas Niken Andalasari Sistem Imunitas Sistem imun atau sistem kekebalan tubuh

Lebih terperinci

TRAUMA MUKA DAN DEPT. THT FK USU / RSHAM

TRAUMA MUKA DAN DEPT. THT FK USU / RSHAM TRAUMA MUKA DAN HIDUNG DEPT. THT FK USU / RSHAM PENDAHULUAN Hidung sering fraktur Fraktur tulang rawan septum sering tidak diketahui / diagnosis hematom septum Pemeriksaan dapat dilakukan dengan palpasi

Lebih terperinci

Bronkitis pada Anak Pengertian Review Anatomi Fisiologi Sistem Pernapasan

Bronkitis pada Anak Pengertian Review Anatomi Fisiologi Sistem Pernapasan Bronkitis pada Anak 1. Pengertian Secara harfiah bronkitis adalah suatu penyakit yang ditanda oleh inflamasi bronkus. Secara klinis pada ahli mengartikan bronkitis sebagai suatu penyakit atau gangguan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadi di Indonesia, termasuk dalam daftar jenis 10 penyakit. Departemen Kesehatan pada tahun 2005, penyakit sistem nafas

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadi di Indonesia, termasuk dalam daftar jenis 10 penyakit. Departemen Kesehatan pada tahun 2005, penyakit sistem nafas BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penyakit infeksi saluran nafas atas akut yang sering terjadi di Indonesia, termasuk dalam daftar jenis 10 penyakit terbanyak di rumah sakit. Menurut laporan

Lebih terperinci

Validitas dan reliabilitas kuesioner Nasal Obstruction Symptom Evaluation (NOSE) dalam Bahasa Indonesia

Validitas dan reliabilitas kuesioner Nasal Obstruction Symptom Evaluation (NOSE) dalam Bahasa Indonesia ORLI Vol. 7 No. Tahun 7 Laporan Penelitian Validitas dan reliabilitas kuesioner Nasal Obstruction Symptom Evaluation (NOSE) dalam Bahasa Indonesia Windy Woro Paramyta*, Dini Widiarni*, Retno Sulistyo Wardani*,

Lebih terperinci

BENDA ASING HIDUNG. Ramlan Sitompul DEPARTEMEN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2016

BENDA ASING HIDUNG. Ramlan Sitompul DEPARTEMEN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2016 BENDA ASING HIDUNG Ramlan Sitompul DEPARTEMEN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2016 Benda asing pada hidung salah satu kasus yang banyak

Lebih terperinci

Bedah Sinus Endoskopi Fungsional Revisi Pada Rinosinusitis Kronis

Bedah Sinus Endoskopi Fungsional Revisi Pada Rinosinusitis Kronis Bedah Sinus Endoskopi Fungsional Revisi Pada Rinosinusitis Kronis Bestari Jaka Budiman, Rossy Rosalinda Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Andalas/RSUP Dr.

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Rinosinusitis kronis disertai dengan polip hidung adalah suatu penyakit

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Rinosinusitis kronis disertai dengan polip hidung adalah suatu penyakit BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Rinosinusitis kronis disertai dengan polip hidung adalah suatu penyakit inflamasi yang melibatkan mukosa hidung dan sinus paranasal, dapat mengenai satu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. patofisiologi, imunologi, dan genetik asma. Akan tetapi mekanisme yang mendasari

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. patofisiologi, imunologi, dan genetik asma. Akan tetapi mekanisme yang mendasari BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Asma Dari waktu ke waktu, definisi asma mengalami perubahan beberapa kali karena perkembangan dari ilmu pengetahuan beserta pemahaman mengenai patologi, patofisiologi,

Lebih terperinci

HUBUNGAN SKOR LUND-MACKAY CT SCAN SINUS PARANASAL DENGAN SNOT-22 PADA PENDERITA RINOSINUSITIS KRONIS TESIS IRWAN TRIANSYAH

HUBUNGAN SKOR LUND-MACKAY CT SCAN SINUS PARANASAL DENGAN SNOT-22 PADA PENDERITA RINOSINUSITIS KRONIS TESIS IRWAN TRIANSYAH UNIVERSITAS ANDALAS HUBUNGAN SKOR LUND-MACKAY CT SCAN SINUS PARANASAL DENGAN SNOT-22 PADA PENDERITA RINOSINUSITIS KRONIS TESIS IRWAN TRIANSYAH 1050310202 FAKULTAS KEDOKTERAN PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS

Lebih terperinci

GAMBARAN TRANSILUMINASI TERHADAP PENDERITA SINUSITIS MAKSILARIS DAN SINUSITIS FRONTALIS DI POLI THT RSUD Dr. ZAINOEL ABIDIN

GAMBARAN TRANSILUMINASI TERHADAP PENDERITA SINUSITIS MAKSILARIS DAN SINUSITIS FRONTALIS DI POLI THT RSUD Dr. ZAINOEL ABIDIN GAMBARAN TRANSILUMINASI TERHADAP PENDERITA SINUSITIS MAKSILARIS DAN SINUSITIS FRONTALIS DI POLI THT RSUD Dr. ZAINOEL ABIDIN Teuku Husni Abstrak. Sinusitis adalah proses peradangan pada ruang sinus. Penelitian

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Universitas Sumatera Utara

DAFTAR PUSTAKA. Universitas Sumatera Utara DAFTAR PUSTAKA Al-Mujaini A, et all, 2009. Functional Endoscopic Sinus Surgery : Indications and Complications in the Ophthalmic Field. OMJ. 24, 70-80; doi :10.5001/omj.2009.18 Amaruddin dkk, 2005. Hubungan

Lebih terperinci

HUBUNGAN TIPE DEVIASI SEPTUM NASI MENURUT KLASIFIKASI MLADINA DENGAN KEJADIAN RINOSINUSITIS DAN FUNGSI TUBA EUSTACHIUS

HUBUNGAN TIPE DEVIASI SEPTUM NASI MENURUT KLASIFIKASI MLADINA DENGAN KEJADIAN RINOSINUSITIS DAN FUNGSI TUBA EUSTACHIUS HUBUNGAN TIPE DEVIASI SEPTUM NASI MENURUT KLASIFIKASI MLADINA DENGAN KEJADIAN RINOSINUSITIS DAN FUNGSI TUBA EUSTACHIUS RELATIONSHIP TYPE OF NASAL SEPTAL DEVIATION BY MLADINA WITH RHINOSINUSITIS AND FUNCTION

Lebih terperinci

BAB 6 PEMBAHASAN. Penelitian ini mengikutsertakan 61 penderita rinitis alergi persisten derajat

BAB 6 PEMBAHASAN. Penelitian ini mengikutsertakan 61 penderita rinitis alergi persisten derajat BAB 6 PEMBAHASAN 6.1. Karakteristik subyek penelitian Penelitian ini mengikutsertakan 61 penderita rinitis alergi persisten derajat ringan, sedang-berat dengan rerata usia subyek 26,6 ± 9,2 tahun, umur

Lebih terperinci

Hubungan tipe deviasi septum nasi klasifikasi Mladina dengan kejadian rinosinusitis dan fungsi tuba Eustachius

Hubungan tipe deviasi septum nasi klasifikasi Mladina dengan kejadian rinosinusitis dan fungsi tuba Eustachius Laporan Penelitian Hubungan tipe deviasi septum nasi klasifikasi Mladina dengan kejadian rinosinusitis dan fungsi tuba Eustachius Tanty Tanagi Toluhula, Abdul Qadar Punagi, Muhammad Fadjar Perkasa Bagian

Lebih terperinci