Sifat Kimia Tanah pada Hutan Primer dan Areal TPTJ

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Sifat Kimia Tanah pada Hutan Primer dan Areal TPTJ"

Transkripsi

1 Sifat Kimia Tanah pada Hutan Primer dan Areal TPTJ Hasil analisis kimia tanah yang meliputi status bahan organik tanah dan kuantitas N tersedia pada hutan primer, hutan bekas tebangan 1 bulan dan areal TPTJ disajikan pada Tabel 18 dan Gambar 10 di bawah ini. Status C- organik tanah dan N-total Indikasi penurunan bahan organik tanah biasanya diukur dari kandungan C-organik dan N-total tanah. Hasil analisa kandungan C-organik, N-total, nisbah C/N serasah dan ph pada seluruh plot penelitian ditampilkan pada Tabel 18. Tabel 18. Kandungan C-organik, N-total, ph dan nisbah C/N serasah pada hutan primer dan areal TPTJ pada kedalaman tanah 0-10 cm dan cm Corg Ntot C/N ph (g/kg) (g/kg) serasah Tegakan HP d*) b 1.35 b 1.12 bc 4.5 a 4.5 a 32 T bcd b 1.55 b 0.97 c 4.4 a 4.4 a 36 TJ bcd b 1.47 b 1.17 bc 4.3 a 4.5 a 42 TJ cd b 1.40 b 1.05 c 4.4 a 4.5 a 43 TJ a a 2.20 a 1.70 a 4.1 b 4.4 a 46 TJ ab ab 1.90 ab 1.40 ab 4.4 a 4.5 a 56 TJ bc ab 1.55 b 1.40 ab 4.2 ab 4.5 a 40 Ket : *) Angka yang diikuti huruf yang sama dalam kolom yang sama, tidak berbeda nyata pada taraf pengujian 0.05 To = Hutan bekas tebangan 1 bulan TJ 4 = Tanaman 4 tahun TJ 1 = Tanaman 1 tahun TJ 5 = Tanaman 5 tahun TJ 2 = Tanaman 2 tahun HP = Hutan primer TJ 3 = Tanaman 3 tahun Untuk mendapatkan gambaran status bahan organik tanah pada areal TPTJ umur 1 tahun sampai 5 tahun, maka dilakukan uji beda rata-rata dengan hutan primer dan hutan bekas tebangan 1 bulan. Secara keseluruhan kandungan C- organik pada seluruh plot penelitian termasuk dalam kategori rendah sampai sedang, yaitu berkisar antara 1.08% sampai 2.25% ( g/kg) dan tergolong rendah untuk N-total yaitu antara 0.1 sampai 0.2% atau g/kg dengan variabilitas antar plot relatif kecil. Hasil penilaian menunjukkan bahwa kandungan C-organik dan N-total di seluruh plot TPTJ pada kedalaman 0-10 cm maupun cm ternyata lebih besar dibandingkan dengan hutan primer, dengan kandungan terbesar pada tanaman umur 3 tahun. Perbedaan nyata hanya terlihat 60

2 antara hutan primer dengan tanaman umur 3 tahun, 4 tahun dan 5 tahun pada kedalaman 0-10 cm, sedangkan untuk kedalaman cm perbedaan nyata hanya tampak antara hutan primer dengan tanaman umur 3 tahun. Fenomena yang sama terlihat pada N-total. Untuk lebih jelas fluktuasi kandungan C-organik dan N-total antar plot dapat dilihat pada Gambar 10. Berdasarkan Gambar 10 di bawah ini terlihat bahwa simpanan C-organik mengalami peningkatan pada saat tanaman berumur 3 tahun dan setelah itu menurun hingga tanaman berumur 5 tahun. C-org tanah (g/kg) 25,00 20,00 15,00 10,00 5, N-total (g/kg) {0-10} {10-20} 0,00 HP TO TJ1 TJ2 TJ3 TJ4 TJ5 Plot 0 HP TO TJ1 TJ2 TJ3 TJ4 TJ5 Plot (a) (b) Keterangan : To = Hutan bekas tebangan 1 bulan TJ4 = Tanaman 4 tahun TJ1 = Tanaman 1 tahun TJ5 = Tanaman 5 tahun TJ2 = Tanaman 2 tahun HP = Hutan primer TJ3 = Tanaman 3 tahun Gambar 10. Fluktuasi kandungan C-organik (a) dan N-total (b) pada kedalaman 0-10 cm dan cm pada plot penelitian Kandungan N Tersedia Data hasil analisis kandungan N-mineral ditampilkan pada Tabel 19. Secara umum respon NH 4 dan NO 3 pada hutan primer berbeda nyata dibandingkan dengan plot TPTJ dengan kandungan tertinggi terdapat pada hutan primer, disusul TPTJ umur 4 tahun, sedangkan terendah dijumpai pada TPTJ umur 2 tahun. 61

3 Tabel 19. Kandungan NH 4, NO 3, dan N tersedia/n-total pada hutan primer dan areal TPTJ pada kedalaman tanah 0-10 cm dan cm NH 4 NO 3 N total tersedia/n Tegakan (mg/kg) (mg/kg) (%) HP a a a a T b b bcd bc TJ b bc abc abc TJ c d d c TJ bc cd bcd c TJ b b ab ab TJ bc b cd bc Ket : *) Angka yang diikuti huruf yang sama dalam kolom yang sama, tidak berbeda nyata pada taraf pengujian 0.05 To = Hutan bekas tebangan 1 bulan TJ 4 = Tanaman 4 tahun TJ 1 = Tanaman 1 tahun TJ 5 = Tanaman 5 tahun TJ 3 = Tanaman 3 tahun TJ 2 = Tanaman 2 tahun HP = Hutan primer Tabel 19 menunjukkan bahwa kemampuan hutan primer untuk menghasilkan ammonium dan nitrat pada kedalaman 0-10 cm masing-masing sebesar mg/kg dan mg/kg. Setelah penebangan (T 0 ), kemampuan melepas ammonium menjadi sebesar mg/kg dan nitrat mg/kg. Selanjutnya dengan sistem TPTJ, kemampuan menghasilkan N mineral sekitar 4 mg/kg sampai 40 mg/kg untuk ammonium dan 195 mg/kg sampai 404 mg/kg untuk nitrat. Fluktuasi kandungan ammonium dan nitrat pada plot penelitian dapat dilihat pada Gambar 11. Gambar 11 menunjukkan bahwa pada areal TPTJ, baik ammonium maupun nitrat mencapai konsentrasi terendah pada saat tanaman berumur 2 tahun dan setelah itu cenderung meningkat hingga umur 4 tahun. Namun kalau diperhatikan kemampuan tiap plot TPTJ dalam memproduksi ammonium maupun nitrat relatif sama. 62

4 HP TO TJ1 TJ2 TJ3 TJ4 TJ5 Plot HP TO TJ1 TJ2 TJ3 TJ4 TJ5 Plot (a) Keterangan : T 0 = Hutan bekas tebangan 1 bulan TJ 1 = Tanaman 1 tahun TJ 2 = Tanaman 2 tahun TJ 3 = Tanaman 3 tahun (b) TJ 4 = Tanaman 4 tahun TJ 5 = Tanaman 5 tahun HP = Hutan primer Gambar 11. Fluktuasi kandungan ammonium (a) dan nitrat (b) pada kedalaman 0-10 dan cm pada plot penelitian Sifat Biologi Tanah pada Hutan Primer dan Areal TPTJ Biomassa Carbon Mikroorganisme (C-mic) Dalam ekosistem tanah, mikroorganisme merupakan faktor penting karena berpengaruh terhadap siklus dan ketersediaan hara tanaman serta stabilitas agregat tanah (Sparling 1992). Data kandungan C-mic, C-organik dan nisbah C-mic/Corg ditampilkan pada Tabel 20. Tabel 20. Kandungan Cmic, C-org dan nisbah Cmic/C-org pada hutan primer dan areal TPTJ kedalaman tanah 0-10 cm dan cm Tegakan C-mic (mg/kg) C-org (g/kg) C-mic/C-org (%) HP c* b d b T abc b bcd b TJ c b bcd b TJ c b cd b TJ ab b a a TJ a a ab ab TJ bc b bc ab Keterangan: * angka yang di ikuti huruf yang sama dalam kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf pengujian 0,05 To = Hutan bekas tebangan 1 bulan TJ 4 = Tanaman 4 tahun TJ 1 = Tanaman 1 tahun TJ 5 = Tanaman 5 tahun TJ 2 = Tanaman 2 tahun HP = Hutan primer TJ 3 = Tanaman 3 tahun 63

5 Tabel 20 menunjukkan bahwa respon biomasa carbon mikroorganisme (Cmic) pada masing-masing plot TPTJ meningkat mulai dari tanaman umur 1 tahun (TJ 1 ) sampai umur 4 tahun (TJ 4 ) namun menurun pada tahun ke 5 (TJ 5 ). Kalau kita perhatikan pada saat tanaman meranti mencapai umur 1 dan 2 tahun terjadi penurunan kandungan C-mic sebesar 4.5% sampai 10% dibandingkan hutan primer meskipun perbedaannya tidak nyata. Data menunjukkan adanya peningkatan C-mic sebesar 101% pada TJ 3 dan 123% pada TJ 4, sedangkan untuk C-organik juga mengalami peningkatan sebesar 67% pada TJ 3 dan 23% pada TJ 4 dibandingkan hutan primer. Plot lainnya menunjukkan kecenderungan yang sama. Tabel 20 menunjukkan bahwa nilai nisbah C-mic terhadap C-organik bervariasi antara 1.2% sampai 2.5% dengan kecenderungan semakin besar menurut umur tanaman TPTJ. Peningkatan nisbah tersebut diikuti pula dengan meningkatnya C-mic dari mg/kg sampai mg/kg, namun untuk C- organik peningkatannya cenderung tidak konsisten. Nisbah tersebut digunakan sebagai salah satu indikator ketersediaan substrat organik untuk metabolisme mikroorganisme. Selain itu juga mengindikasikan adanya perubahan kandungan bahan organik tanah akibat dari berubahnya pengelolaan suatu lahan menurut waktu. Gambar 12 menggambarkan fluktuasi suhu dan kadar air tanah terhadap kandungan C-mic. Tidak ada pola C-mic yang konsisten, baik terhadap suhu maupun kadar air tanah HP TO TJ1TJ2TJ3TJ4TJ5 Plot (a) C-mic Suhu tanah HP TOTJ1TJ2TJ3TJ4TJ5 Plot (b) C-mic KA Tanah Keterangan : To = Hutan bekas tebangan 1 bulan TJ4 = Tanaman 4 tahun TJ1 = Tanaman 1 tahun TJ5 = Tanaman 5 tahun TJ2 = Tanaman 2 tahun HP = Hutan primer TJ3 = Tanaman 3 tahun Gambar 12. Fluktuasi suhu tanah (a) dan kadar air tanah (b) terhadap Cmic 64

6 Data dari hasil penelitian menunjukkan adanya koefisien korelasi Pearson yang lemah (-0.49) dan tidak berbeda nyata antara kandungan C-mic dengan suhu tanah, demikian pula dengan kadar air tanah yang memiliki korelasi lemah (0.420) dan tidak berbeda nyata. Meskipun hubungan antara kedua peubah tersebut dengan C-mic tergolong kurang erat, namun tidak berarti bahwa keduanya tidak mempengaruhi kandungan C-mic. Fluktuasi suhu tanah pada seluruh plot penelitian di kedalaman 0-10 cm berkisar antara 24 0 C sampai 25 0 C, sedangkan untuk kadar air tanah berada pada kisaran 20% sampai 34%. Untuk mengetahui lebih jelas fluktuasi kandungan C-organik dan C-mic pada plot penelitian, dapat dilihat pada Gambar {0-10} (10-20) (0-10) (10-20) HP TO TJ1 TJ2 TJ3 TJ4 TJ HP TO TJ1 TJ2 TJ3 TJ4 TJ5 Plot Plot (a) (b) Keterangan : To = Hutan bekas tebangan 1 bulan TJ4 = Tanaman 4 tahun TJ1 = Tanaman 1 tahun TJ5 = Tanaman 5 tahun TJ2 = Tanaman 2 tahun HP = Hutan primer TJ3 = Tanaman 3 tahun Gambar 13. Fluktuasi kandungan C-organik (a) dan C-mic (b) pada kedalaman 0-10 cm dan cm pada seluruh plot penelitian Klasifikasi Plot TPTJ Berdasarkan Indikator Kualitas Tanah Pengelompokan plot tanaman berdasarkan indikator kualitas tanah dilakukan dengan menggunakan analisis cluster atau gerombol. Prinsip analisis gerombol didasarkan pada ukuran kemiripan (kedekatan) dari setiap individu (plot TPTJ). Indikator kualitas tanah yang digunakan meliputi, C-mic (X 1 ), C-organik (X 2 ), N-total (X 3 ), NH 4 (X 4 ), NO 3 (X 5 ), ph (X 6 ), Bobot isi (X 7 ), Porositas (X 8 ) 65

7 dan Stabilitas agregat (X 9 ). Klasifikasi diarahkan untuk mengevaluasi dari segi indikator kualitas tanahnya. Hasil analisis gerombol ditampilkan dalam bentuk dendrogram dan pemotongan dilakukan pada selisih penggabungan jarak terbesar atau yang menghasilkan gerombol yang lebih bermakna dapat dilihat pada Gambar 14. Pada Tabel 21 ditampilkan nilai rata-rata keseluruhan dan masing-masing peubah untuk tiap gerombol. Gambar 14 menunjukkan bahwa berdasarkan ukuran kedekatan indikator kualitas tanah maka plot TPTJ dikelompokkan atas 4 gerombol. Plot TJ 1 masuk ke dalam gerombol I, berdasarkan ukuran kemiripannya plot TJ 2 dan TJ 5 termasuk ke dalam gerombol II, plot TJ 3 masuk ke dalam gerombol III dan plot TJ 4 termasuk gerombol IV.. TJ 1 TJ 2 TJ 5 TJ 3 TJ 4 Gambar 14. Dendrogram klasifikasi plot TPTJ Gambaran umum dari tiap gerombol sebagai berikut : 1. Gerombol I Hampir sebagian besar indikator kualitas tanah dalam gerombol ini sama nilainya dengan rataan keseluruhan, kecuali untuk peubah C-mic lebih rendah, sedangkan untuk NH 4 dan NO 3 lebih tinggi dari rataan keseluruhan. Dalam hal 66

8 ini dapat dikatakan bahwa kualitas tanah pada plot TJ 1 mencerminkan kualitas tanah keseluruhan. Tindakan pengelolaan lahan melalui pemberian bahan organik perlu dilakukan dalam rangka menstimulasi pertumbuhan tanaman meranti, mengingat rata-rata pertumbuhan diameter meranti pada plot ini (0.86 cm) masih lebih rendah dibandingkan rata-rata pertumbuhan meranti keseluruhan (1.27 cm). 2. Gerombol II Plot-plot yang termasuk ke dalam gerombol ini memiliki nilai indikator C- mic, NH 4, NO 3 dan stabilitas agregat lebih rendah dibandingkan dengan nilai rataan keseluruhan, sedangkan untuk peubah lainnya sama dengan rataan keseluruhan. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas tanah pada plot-plot tersebut masih di bawah rataan keseluruhan sehingga membutuhkan perbaikan tanah agar tanah memiliki kemampuan lebih besar dalam mendukung pertumbuhan tanaman meranti. Pertumbuhan tanaman meranti pada plot-plot ini masih lebih tinggi (1.38 cm) dibandingkan rataan totalnya (1.27 cm). 3. Gerombol III Beberapa nilai indikator kualitas tanah pada plot TJ3 lebih tinggi dari pada rataan total. Kandungan C-mic, C-organik dan N-total lebih tinggi, hanya saja untuk NO3 lebih rendah dari rata-rata keseluruhan. Indikator lainnya relatif sama dengan ukuran rata-rata keseluruhan. Hal ini berarti kualitas tanah pada plot TJ3 berada sedikit di atas rata-rata keseluruhan. Kondisi ini menunjang pertumbuhan diameter tanaman meranti yang ditunjukkan dengan riap diameter sebesar 1.67 cm, nilai ini tertinggi dibandingkan dengan rataan total (1.27 cm). 4. Gerombol IV Hampir sebagian besar nilai indikator kualitas tanah seperti, C-mic, N- total, NH 4 dan NO 3 pada plot TJ 4 lebih tinggi dibandingkan dengan ukuran ratarata keseluruhan. Indikator lainnya hampir sama dengan rata-rata keseluruhan. Dengan demikian dapat dikatakan bawa kualitas tanah pada plot ini di atas ratarata kualitas tanah keseluruhan. Pertumbuhan diameter tanaman meranti pada plot ini mencapai 1.05 cm masih lebih rendah dibandingkan rata-rata keseluruhan. 67

9 Tabel 21. Nilai rataan masing-masing gerombol untuk tiap peubah Peubah C-mic C-organik N-total NH4 NO3 ph Bobot isi Porositas Stab agregat Rataan Rataan gerombol total I II III IV Perbedaan Sifat Tanah antara Jalur Tanam dan Jalur Antara Untuk melihat apakah ada perbedaan sifat fisik, kimia dan bilogi tanah antara jalur tanam dan jalur antara di masing-masing umur tanaman dilakukan uji statistik Mann-Witney. Data hasil pengujian ditampilkan pada Tabel 22. Pada prinsipnya uji Mann-Witney digunakan untuk membantu dalam mengambil keputusan apakah sifat fisik, kimia dan biologi tanah pada kedua jalur tersebut identik atau berbeda sebagai akibat dari perbedaan perlakuan lebar jalur tanam. Tabel 22. Pengaruh jalur tanam dan jalur antara terhadap sifat fisik, kimia dan biologi tanah pada kedalaman 0-10 cm di masing-masing plot TPTJ. Sifat tanah TJ 1 JT JA JT TJ 2 JA JT TJ 3 JA JT TJ 4 JA JT TJ 5 JA Bobot Isi Porositas Stab. Agregat C-org Ntot NH 4 NO 3 Cmic 1.00 a) 0.90 a a a a a 1.52 a 1.66 a 0.13 a 0.15 a a a a a a a 1.05 a 0.99 a a a a a 1.67 a 1.60 a 0.15 a 0.15 a a a a a a a 1.12 a 1.00 a a a a a 2.29 a 2.23 a 0.21 a 0.23 a a a a a a a 1.13 a 1.21 a a a a a 2.01 a 1.90 a 0.19 a 0.18 a a a a a a a 1.06 a 1.13 a a a a a 1.67 a 1.91 a 0.14 a 0.17 a a a a a a a Ket : a) Angka yang diikuti huruf yang sama pada baris yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5%. JT = Jalur tanam JA= Jalur antara 68

10 Tabel 22 menunjukkan bahwa dari sifat fisik tanah yang diuji, yaitu bobot isi, porositas dan stabilitas agregat di jalur tanam dan jalur antara pada plot tanaman meranti umur 1, 2, 3, 4 dan 5 tahun, ternyata tidak ada perbedaan, baik pada kedalaman 0-10 cm maupun cm. Adapun untuk sifat kimia tanah, peubah yang diuji adalah C-organik, N-total, NH 4, dan NO 3 dan hasilnya menyimpulkan bahwa sifat kimia tanah pada kedua jalur tersebut di masingmasing umur tanaman meranti juga tidak menunjukkan adanya perbedaan. Hal yang sama juga dijumpai pada sifat biologi tanah, yaitu C-mic. Pertumbuhan Tanaman Meranti Pada Jalur Tanam Produktivitas tanaman dapat diukur melalui beberapa parameter, salah satunya adalah pertumbuhan diameter, disamping karena mudah pelaksanaannya juga memiliki keakuratan dan konsistensi cukup tinggi. Oleh karena itu pertumbuhan diameter dapat digunakan untuk menjelaskan produktivitas tanaman (pohon). Untuk dapat tumbuh secara optimal maka dukungan faktor fisik lingkungan, seperti kualitas tempat tumbuh dan iklim mikro akan sangat menentukan. Tiga jenis tanaman meranti merah, yaitu S. leprosula, S. parvifolia dan S. johorensis mulai umur 1 sampai 5 tahun diamati pertumbuhannya pada jalur tanam dengan lebar bervariasi sesuai dengan umurnya. Hasil pengukuran pertumbuhan diameter (riap diameter) dalam periode 2004 dan 2005 (satu tahun) dapat dilihat pada Tabel 23. Tabel 23. Riap diameter rata-rata tiga jenis meranti pada plot TPTJ Plot Riap diameter (cm) S. leprosula S. parvifolia S. johorensis TJ 1 TJ 2 TJ 3 TJ 4 TJ Ket : - : tidak ada tanaman pada jalur pengamatan TJ 1 = Tanaman umur 1 tahun, TJ 2 = Tanaman umur 2 tahun TJ 3 = Tanaman umur 3 tahun, TJ 4 = Tanaman umur 4 tahun TJ 5 = Tanaman umur 5 tahun 69

11 Data tersebut menunjukkan ada kemiripan respon pertumbuhan diameter pada ketiga jenis meranti tersebut pada masing-masing umur, kecuali pada umur 5 tahun. Dengan kata lain meskipun terjadi pelebaran jalur tanam pada setiap tahunnya mulai dari 3 meter hingga 10 meter namun respon masing-masing jenis tanaman terhadap pertumbuhan diameter menunjukkan adanya keeratan, kecuali pada tanaman umur 5 tahun. Pada tahun ke-5 terlihat bahwa pertumbuhan diameter pada jenis S. parvifolia dapat mencapai 3 cm jauh melebihi kedua jenis lainnya, untuk lebih jelasnya dapat pula dilihat pada Gambar 15. Riap diameter (cm/th) TJ1 TJ2 TJ3 TJ4 TJ5 Plot S. leprosula S parvifolia S. johorensis Keterangan : TJ 1 = Tanaman umur 1 tahun, TJ 2 = Tanaman umur 2 tahun TJ 3 = Tanaman umur 3 tahun, TJ 4 = Tanaman umur 4 tahun, TJ 5 = Tanaman umur 5 tahun Gambar 15. Perubahan riap diameter rata-rata tiga jenis meranti pada plot TPTJ Penilaian Kualitas Tanah Nilai Tertimbang Indikator Kualitas Tanah Indikator kualitas tanah yang dipergunakan untuk menentukan nilai kualitas tanah adalah bobot isi, stabilitas agregat, C-organik, N-total dan C-mic. Oleh karena ada pengaruh dependensi antar indikator tanah tersebut, maka penentuan nilai kualitas tanah pada plot penelitian dilakukan dengan menggunakan Analytic Network Process (ANP). Tingkat pengaruh suatu indikator terhadap indikator lainnya pada sistem penilaian kualitas tanah disajikan pada Tabel

12 Tabel 24. Matriks perbandingan berpasangan tingkat pengaruh indikator terhadap kualitas tanah BI SA C-org N-tot C-mic Nilai tertimbang BI SA C-org N-tot C-mic 1/1 2/1 3/1 3/1 5/1 1/2 1/1 3/1 2/1 3/1 1/3 1/3 1/1 1/1 2/1 1/3 1/2 1/1 1/1 2/1 1/5 1/3 1/2 1/2 1/ Keterangan : BI = Bobot isi, SA = Stabilitas agregat Sumber : Hasil penilaian penulis Tabel 24 menunjukkan bahwa perbandingan 1/1 mengandung pengertian bahwa kedua indikator memiliki pengaruh yang sama terhadap kualitas tanah. Perbandingan 2/1 berarti bahwa pengaruh suatu indikator dinilai sedikit agak tinggi dibandingkan dengan indikator lainnya. Perbandingan 3/1 memberi makna bahwa suatu indikator dinilai memiliki tingkat pengaruh agak tinggi dibandingkan indikator lainnya. Perbandingan 5/1 menunjukkan bahwa suatu indikator dinilai lebih tinggi tingkat pengaruhnya terhadap indikator lainnya. Perbandingan 2 dengan 1 (2/1) diberikan pada perbandingan antara stabilitas agregat dengan bobot isi, dan N-total dengan stabilitas agregat. Perbandingan 3 dengan 1 (3/1) dapat dilihat pada perbandingan antara C-organik dengan bobot isi, C-organik dengan stabilitas agregat, N-total dengan bobot isi dan C-organik dengan bobot isi. perbandingan 5/1. C-mic dengan bobot isi adalah contoh Matriks perbandingan berisi penilaian dengan teknik perbandingan berpasangan (pairwise comparison) terhadap elemen-elemen pada suatu tingkatan hirarki. Matriks tersebut memberikan gambaran kepentingan relatif antara satu elemen dengan elemen lainnya. Angka terbesar yang mungkin muncul adalah 9, sedangkan terkecil adalah 1/9. Skala nilai yang digunakan pada perbandingan berpasangan disajikan pada Tabel

13 Tabel 25. Skala nilai metode perbandingan berpasangan Intensitas Definisi Keterangan 1 Sama penting Dua elemen memberikan kontribusi yang sama 3 Agak lebih penting Elemen yang satu sedikit lebih dipilih dibandingkan elemen yang lain 5 Lebih penting Elemen yang satu lebih dipilih dibandingkan elemen yang lain 7 Sangat penting Elemen yang satu sangat lebih dipilih dibandingkan elemen yang lain 9 Mutlak lebih penting Satu elemen terbukti lebih dipilih dalam tingkat penegasan tertinggi Matriks perbandingan berpasangan untuk indikator yang mempengaruhi atau dipengaruhi oleh indikator lainnya dapat dilihat pada Lampiran 21 sampai Lampiran 25. Nilai tertimbang untuk setiap indikator berdasarkan dependensi yang didapat pada Lampiran 21 25, ditampilkan pada Tabel 26. Tabel 26. Nilai tertimbang untuk tiap indikator berdasarkan dependensi BI SA C-org N-tot C-mic BI SA C-org N-tot C-mic Keterangan : BI = Bobot isi, SA = Stabilitas agregat Sumber : Hasil penilaian penulis Nilai tertimbang akhir pada setiap indikator kualitas tanah didapat dengan cara mengalikan antara pembobotan pada Tabel 24 dengan nilai pembobotan berdasarkan dependensi pada Tabel 26. Nilai tertimbang akhir setiap indikator dapat dilihat pada Tabel

14 Tabel 27. Nilai tertimbang akhir tiap indikator kualitas tanah BI SA C-org N-tot C-mic Nilai tertimbang akhir BI SA C-org N-tot C-mic Keterangan : BI = Bobot isi, SA = Stabilitas agregat Sumber = Hasil penilaian penulis Tabel 27 menunjukkan bahwa nilai tertimbang akhir C-mic lebih besar dibandingkan indikator lainnya. Dengan kata lain, C-mic memberikan kontribusi yang paling besar (0.302) terhadap kualitas tanah dibandingkan dengan indikator lainnya, sedangkan bobot isi (0.075) memberkan kontribusi paling kecil terhadap kualitas tanah. Hal ini mengindikasikan bahwa C-mic memegang peranan penting dalam menentukan kualitas tanah. Nilai Kualitas Tanah Penetapan nilai kualitas tanah pada masing-masing plot penelitian didasarkan pada nilai batas ambang kualitas tanah, seperti ditampilkan pada Tabel 28. Tabel 28. Nilai batas ambang kualitas tanah Kelas nilai Kategori kualitas tanah Sangat baik Baik Sedang Rendah Sangat rendah Kelas nilai merupakan nilai akhir kualitas tanah yang didapat dari hasil perkalian nilai skor masing-masing indikator (Lampiran 33 37) dan nilai tertimbang akhir untuk tiap indikator. Berdasarkan Tabel 28, kondisi hutan berada pada kualitas tanah sangat baik jika nilai akhirnya antara 8-10, sedangkan untuk kualitas tanah sangat rendah berada pada nilai

15 Kondisi Kualitas Tanah pada Plot Penelitian Berdasarkan penilaian kualitas tanah yang diperoleh dari perkalian antara skor dan nilai tertimbang, maka dihasilkan nilai kualitas tanah pada masingmasing plot, seperti ditampilkan pada Tabel 29. Tabel 29. Nilai akhir kualitas tanah pada plot penelitian Plot Nilai kualitas tanah Kategori HP TJ 1 TJ 2 TJ 3 TJ 4 TJ 5 To Rendah Sangat rendah Sangat rendah Sedang Sedang Rendah Rendah Keterangan : HP = Hutan Primer TJ 1 = Tanaman 1 tahun, TJ 4 = Tanaman 4 tahun TJ 2 = Tanaman 2 tahun, TJ 5 = Tanaman 5 tahun TJ 3 =Tanaman 3 tahun, To = Hutan bekas tebangan 1 bulan Tabel 29 menunjukkan bahwa kualitas tanah pada plot penelitian berada pada selang sangat rendah sampai sedang. Kondisi kualitas tanah pada areal TPTJ umur 3 dan 4 tahun berada pada kelas sedang, lebih baik dibandingkan dengan plot-plot lainnya. Data menunjukkan bahwa kondisi kualitas tanah pada hutan primer berada pada kelas yang sama dengan TJ 5 dan To. Model Hubungan Antara Kondisi Tanah, Iklim dan Pertumbuhan Diameter Tanaman Meranti Oleh karena model keterkaitan antara lebar jalur tanam, kondisi tanah, iklim dan pertumbuhan diameter tanaman meranti merupakan hubungan yang kompleks maka diperlukan batasan-batasan untuk menyederhanakan pengertian hubungan dalam model tersebut. Batasan Model Batasan-batasan yang diasumsikan dalam model ini adalah bahwa perubahan suhu tanah ditentukan oleh besarnya lebar jalur tanam yang dibuat pada masing-masing umur tanaman. Besarnya hara yang masuk ke tanah hutan ditentukan oleh masukan bahan organik tanah (C-organik, C-mic dan N-total) dan curah hujan. bahan organik tanah tersebut bersama dengan sifat tanah lainnya 74

16 menentukan kualitas tanah. Hara tanah selanjutnya akan berkurang karena diserap oleh tanaman untuk pertumbuhan (riap) yang akan menentukan diameter. Kehilangan hara akibat pencucian atau erosi dianggap kecil karena penutupan lahan masih relatif rapat. Formulasi Diagram Umpan Balik Model sistem dinamik hubungan antara lebar jalur tanam dengan pertumbuhan diameter tanaman meranti dipengaruhi oleh kondisi tanah dan iklim. Selanjutnya dari peubah-peubah penyusun model dinamik pertumbuhan diameter, dicari hubungan antar peubah. Hubungan yang terjadi antar peubah penyusun model dapat positif dan dapat pula negatif. Hal ini sangat tergantung pada pengaruh antara peubah yang satu dengan lainnya. Skema hubungan antara kondisi tanah, iklim dan pertumbuhan diameter dapat dilihat pada Gambar 16. Lebar jalur + + Radiasi cahaya + Fotosintesis - Suhu tanah - C-mic - - C-organik - N-total + Bobot isi + Stab. agregat Hara Tanah + + Kualitas tanah Curah hujan Riap diameter + Diameter Gambar 16. Diagram umpan balik hubungan lebar jalur, tanah, iklim dan riap diameter tanaman meranti 75

17 Berdasarkan diagram causal loop tersebut, dapat dilihat bahwa pembuatan jalur tanam berakibat pada meningkatnya radiasi cahaya pada jalur tanam tersebut yang selanjutnya akan meningkatkan suhu tanah. Selanjutnya suhu tanah menyebabkan perubahan pada kandungan C-organik, C-mic dan N-total yang menentukan hara tanah hutan. Riap diameter ditentukan oleh hara tanah dan radiasi cahaya melalui proses fotosintesis. Diagram Alir Keterkaitan Antara Lebar Jalur, Tanah, Iklim dan Riap Diameter Meranti Berdasarkan Gambar 16, maka dibuat diagram alir model hubungan antara lebar jalur tanam dengan pertumbuhan diameter tanaman meranti, seperti terlihat pada Gambar 17. pencucian Curah_Hujan kehilangan_hara input_hara Akumulasi_Hara Riap Diameter Fotosintesis Lebar_Jalur Kualitas_tanah Bobot_N_Tot_thd_KT Intensitas_cahaya Bobot_C_mic_thd_KT C_mic SA Bobot_SA_thd_KT Bobot_C_Org_thd_KT N_Total Suhu_tanah Bobot_Isi C_Org Bobot_Bbt_Isi_thd_KT Gambar 17. Diagram alir hubungan antara lebar jalur tanam dan riap diameter meranti Gambar 17 menjelaskan bahwa akumulasi hara tanah hutan dipengaruhi oleh penambahan hara dari C-organik, C-mic dan N-total yang diperoleh dari proses dekomposisi bahan organik dan berasal dari curah hujan. Selanjutnya riap 76

18 diameter tanaman meranti sangat dipengaruhi oleh bukaan tajuk (intensitas cahaya melalui proses fotosintesis) dan akumulasi hara. Riap selanjutnya menentukan diameter tanaman meranti. Berdasarkan Gambar 17, maka dapat dibuat simulasi untuk mengetahui interaksi antar peubah yang satu dengan lainnya. Simulasi pertumbuhan diameter (riap) tanaman meranti pada berbagai lebar jalur tanam dilakukan untuk mengetahui lebar jalur tanam yang masih layak dari aspek pertumbuhan diameter dan kualitas tanah untuk diterapkan di lapangan. Lebar jalur tanam awal yang dijadikan sebagai acuan dasar untuk membuat simulasi pertumbuhan diameter tanaman meranti adalah 3 meter yang selanjutnya diperlebar secara bertahap menjadi 4 meter, 6 meter dan 10 meter. Berdasarkan simulasi, pertumbuhan diameter (riap) cenderung meningkat sebesar 2.44 cm pada saat jalur tanam diperlebar menjadi 10 meter, seperti terlihat pada Tabel 30. Tabel 30. Pertumbuhan diameter meranti jika jalur tanam awal 3 meter dan maksimum 10 meter Time Lebar_Jalur Kualitas_tanah Akumulasi_Hara Riap Diameter Respon riap diameter tanaman meranti pada jalur tanam awal 3 meter dan maksimum 10 meter dapat dilihat pada Gambar

19 Diameter (cm) Waktu (tahun) a Riap (cm/th) b Waktu (tahun) 6.5 c 6.0 Kualitas tanah Waktu (tahun) Gambar 18. Grafik hubungan antara diameter (a), riap diameter (b) dan kualitas tanah (c) dengan waktu pada pola Gambar 18 menunjukkan bahwa untuk mencapai diameter 50 cm, sebagai batasan diameter yang boleh ditebang, dengan menggunakan pola yang sekarang ini ( ) membutuhkan waktu 29 tahun, baru dapat dilakukan penebangan. Terjadi peningkatan terhadap diameter yang awalnya perlahan, namun semakin lama semakin cepat dan selanjutnya akan melambat hingga mencapai kondisi 78

20 steady state (keseimbangan). Dari Gambar 18 terlihat bahwa pertumbuhan diameter tanaman meranti mengalami peningkatan secara cepat hingga tahun ke- 4, yaitu pada saat lebar jalur tanam sebesar 10 meter, namun setelah itu mengalami penurunan secara eksponensial sejalan dengan bertambahnya waktu. Kurva yang menampilkan hubungan antara kualitas tanah dengan waktu, terlihat mengalami fluktuasi dimana puncaknya terjadi pada tahun ke-2 sebesar 6.59 (kategori sedang) dan kondisi ini tetap bertahan hingga akhirnya mengalami perubahan menjadi status rendah pada tahun ke-74 dan kondisi tersebut tetap hingga tahun ke-100. Simulasi pertumbuhan diameter tanaman meranti Simulasi ini dimaksudkan untuk mengetahui respon pertumbuhan diameter tanaman meranti pada berbagai skenario lebar jalur tanam. Tabel 31 berikut menampilkan skenario beberapa lebar jalur tanam. Tabel 31. Skenario lebar jalur tanam menurut umur tanaman meranti Tanaman tahun ke- Skenario I II III IV Tabel 31 menunjukkan bahwa lebar jalur tanam maksimum hanya sampai tahun ke-5, artinya untuk tahun ke-6 dan seterusnya tidak ada lagi pelebaran jalur tanam. Pada skenario I, lebar awal adalah 3 meter kemudian diperlebar secara bertahap menjadi 4 meter dan terakhir 6 meter. Dibandingkan dengan pola yang saat ini diterapkan oleh HPH PT. SBK, pada skenario I dan II terjadi penurunan lebar jalur tanam maksimum dari 10 meter menjadi 6 meter dan 8 meter, sedangkan untuk skenario III tetap 10 meter dan skenario IV ada peningkatan lebar dari 10 meter menjadi 12 meter. 79

21 Skenario I : lebar jalur tanam awal 3 meter dan maksimum 6 meter Simulasi skenario I dimaksudkan untuk mengetahui respon pertumbuhan diameter tanaman meranti jika lebar jalur tanam awal tetap 3 meter, kemudian diperlebar menjadi 4 meter pada tahun ke-2 dan diperlebar lagi menjadi 6 meter pada tahun ke-3 dan seterusnya. Respon pertumbuhan diameter dapat dilihat pada Gambar 19. Diameter (cm) a Waktu (tahun) Riap (cm/th) b Waktu (tahun) 6.5 Kualitas tanah c Waktu (tahun) Gambar 19. Grafik hubungan antara diameter (a), riap diameter (b), dan kualitas tanah (c) dengan waktu pada skenario I 80

22 Gambar 19 menunjukkan bahwa peningkatan diameter tanaman meranti sangat lambat dimana bahwa pada tahun ke-50, diameter tanaman meranti baru mencapai cm. Untuk mencapai diameter sebesar 50 cm dibutuhkan waktu yang sangat lama (di atas 100 tahun). Riap tertinggi dicapai pada tahun ke-3 sebesar 0.98 cm/tahun dan setelah itu terus mengalami penurunan menurut waktu secara eksponensial. Perubahan kualitas tanah berfluktuasi menurut waktu dimana status tertinggi terjadi pada tahun ke-2 sebesar 6.59 (kategori sedang) dan mengalami penurunan menuju status rendah (3.81) mulai tahun ke-40 dan statusnya tidak berubah hingga tahun ke-100. Skenario II : lebar jalur tanam awal 3 meter dan maksimum 8 meter Simulasi dengan menggunakan skenario II dimaksudkan untuk mengetahui respon pertumbuhan diameter tanaman meranti pada lebar jalur awal 3 meter, kemudian pada tahun ke-2 diperlebar menjadi 4 meter dan pada tahun ke-3 diperlebar lagi menjadi 8 meter yang merupakan lebar maksimum. Respon pertumbuhan diameter dapat dilihat pada Gambar 20. Gambar 20 menunjukkan bahwa dengan lebar jalur awal 3 meter dan maksimum 8 meter, untuk mencapai diameter sebesar 50 cm dibutuhkan waktu selama 53 tahun. Hal ini mengindikasikan bahwa rata-rata riap diameter hanya mencapai sekitar 1 cm/tahun. Dari hasil simulasi di atas terlihat bahwa riap diameter terbesar dicapai pada saat tanaman berumur 3 tahun, yaitu sebesar 1.61 cm/tahun dan setelah itu menurun secara eksponensial sejalan dengan waktu. Perubahan pada kualitas tanah, seperti kurva sebelumnya, terjadi peningkatan pada tahun ke-2 dengan status sedang (6.59) dan setelah itu kondisinya tidak mengalami perubahan (tetap status sedang) kemudian berubah menjadi status rendah (3.81) pada tahun ke-57 hingga tahun ke

23 Diameter (cm) a Waktu (tahun) 2.0 b Riap (cm/th) Waktu (tahun) c Kualitas tanah Waktu (tahun) Gambar 20. Grafik hubungan antara diameter (a), riap diameter (b) dan kualitas tanah (c) dengan waktu pada skenario II Skenario III : lebar jalur tanam awal 4 meter dan maksimum 10 meter Simulasi dengan skenario III dimaksudkan untuk mengetahui respon pertumbuhan diameter tanaman meranti dengan lebar jalur tanam awal 4 meter, 82

24 kemudian diperlebar menjadi 6 meter pada tahun ke-2 dan maksimum 10 meter pada tahun ke-3. Respon pertumbuhan meranti dapat dilihat pada Gambar 21. Diameter (cm) Waktu (tahun) a 2.5 b Riap (cm/th) Waktu (tahun) Kualitas tanah c Waktu (tahun) Gambar 21. Grafik hubungan antara diameter (a), riap diameter (b) dan kualitas tanah (c) dengan waktu pada skenario III Terlihat pada Gambar 21 bahwa diameter tanaman meranti mengalami kenaikan yang cukup drastis setelah tahun ke-3 ketika jalur tanam diperlebar 83

25 menjadi 10 meter. Dari simulasi terlihat bahwa pada tahun ke-29 diameter tanaman meranti sudah mencapai cm atau rata-rata riap diameternya mencapai 1.7 cm/tahun. Riap diameter mengalami peningkatan yang sangat cepat pada periode 3 tahun pertama dan setelah itu mengalami penurunan secara eksponensial. Adapun untuk kualitas tanah terlihat bahwa pada awal penanaman statusnya sudah mencapai sedang dan tetap bertahan hingga tahun ke-72, namun mulai tahun ke-73 statusnya berubah menjadi rendah (3.81) hingga pada tahun ke Skenario IV : lebar jalur tanam awal 3 meter dan maksimum 12 meter Simulasi dengan skenario IV bertujuan untuk mengetahui respon pertumbuhan diameter tanaman meranti jika lebar jalur tanam awal 3 meter, kemudian diperlebar menjadi 4 meter pada tahun ke-2 dan 6 meter pada tahun ke- 3 dan maksimum 12 meter pada tahun ke-4. Respon pertumbuhan diameter dapat dilihat pada Gambar 22. Berdasarkan Gambar 22 tersebut, pada tahun ke-20 diameter tanaman meranti telah mencapai cm atau rata-rata ria diameternya mencapai 2.5 cm/tahun. Terlihat dari simulasi tersebut, terjadi kenaikan diameter yang sangat cepat setelah jalur tanam diperlebar menjadi 12 meter, yaitu pada tahun ke-4. Kondisi tersebut diikuti oleh kenaikan pertumbuhan diameter (riap) yang sangat cepat pada 4 tahun pertama, namun setelah itu mengalami penurunan secara eksponensial dengan bertambahnya waktu. Dari kurva kualitas tanah terlihat bahwa pada tahun ke-2 statusnya mencapai kategori sedang (6.59) dan kondisi tersebut tetap hingga tahun ke-88, setelah itu (tahun ke-89) menurun menjadi rendah (3.81) sampai tahun ke

26 Diameter (cm) a Waktu (tahun) Riap (cm/th) b Waktu (tahun) 6.5 c Kualitas tanah Waktu (tahun) Gambar 22. Grafik hubungan antara diameter (a), riap diameter (b) dan kualitas tanah (c) dengan waktu pada skenario IV Pembahasan Hasil penelitian menunjukkan bahwa proporsi jenis komersial pada seluruh plot studi lebih kecil dibandingkan dengan jenis non-komersial. Besarnya kontribusi jenis komersial pada masing-masing plot bervariasi namun jika 85

27 mengacu kontribusinya pada hutan primer yang mencapai 18.4%, maka penurunan kelompok komersial khususnya jenis Dipterocarpaceae pada plot TPTJ belum begitu nyata karena fokus penebangan masih diberlakukan juga pada kelompok jenis non-dipterocarpaceae komersial. Fenomena ini sesuai dengan hasil penelitian terhadap evaluasi sistem TPTJ dengan limit diameter tebang 40 cm di Kalteng yang dilakukan oleh Alrasyid (2000). Dilaporkan dari penelitian tersebut bahwa kontribusi kelompok jenis komersial Dipterocarpaceae tingkat pohon pada hutan bekas tebangan 2 tahun besarnya mencapai 29%. Kondisi yang sama juga ditemukan pada penelitian evaluasi terhadap sistem TPTI di Jambi yang dilakukan Riyanto (1995). Dalam penelitian tersebut dilaporkan bahwa kontribusi jenis komersial dari kelompok Dipterocarpaceae pada 1 tahun dan 5 tahun setelah penebangan masing-masing sebesar 10.2% dan 16.6%. Kondisi ini berlainan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Indrawan (2000) yang melaporkan bahwa pada hutan bekas tebangan TPTI umur 2 dan 4 tahun, untuk tingkat pohon masih didominasi oleh jenis komersial Dipterocarpaceae. Dari hasil penelitian dapat dikatakan bahwa akibat penebangan dengan limit diameter 40 cm terhadap keberadaan jenis komersial pada masing-masing plot TPTJ relatif sama yang dicerminkan dari besarnya kontribusi, kecuali pada plot tanaman umur 5 tahun (TJ 5 ). Rendahnya kontribusi jenis non- Dipterocarpaceae komersial pada plot TJ 5 yang besarnya 7% menunjukkan bahwa dampak penebangan terhadap keberadaan jenis non-dipterocarpaceae komersial pada plot tersebut lebih nyata. Distribusi tingkat pohon pada areal TPTJ berfluktuasi menurut kelas diameter, tidak menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan atau penurunan yang konsisten. Rendahnya jumlah pohon pada kelas diameter > 60 cm di plot TJ 5 (Tabel 5) sangat nyata. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh dampak penebangan yang sangat besar pada kelas diameter tersebut atau keberadaan individu pohon memang sedikit. Jika mengacu pada aturan TPTI, secara tegas dapat dinyatakan bahwa jumlah pohon inti pada seluruh areal studi lebih dari cukup (Tabel 6). Kondisi ini sesuai dengan hasil penelitian Alrasyid (2000) yang melaporkan bahwa jumlah 86

28 pohon inti pada areal 2 tahun setelah penebangan mencapai 56 pohon/ha. Bila diperhatikan jumlah pohon tinggal dalam plot tanaman umur 5 tahun (TJ 5 ) yang besarnya 40 pohon/ha perlu pertimbangan secara seksama karena harus diperhatikan besarnya faktor kematian pohon (potential mortality) selama jangka waktu hingga tebangan berikutnya. Secara umum areal TPTJ memiliki kesempatan dalam hal recruitment pohon inti dalam jumlah yang lebih banyak melalui upgrowth dari permudaan tingkat tiang. Di dalam plot hutan primer ditemukan sebanyak 38 jenis dan 16 famili per ha. Temuan yang mirip juga dilaporkan oleh Mauricio (1991) di Filipina, yang mencatat jumlah jenis di hutan primer mencapai 31 jenis dengan 17 famili per ha, sedangkan pada hutan bekas tebangan 5 tahun sebanyak 38 jenis dan 21 famili per ha. Dari aspek kekayaan jenis, kondisi vegetasi pada seluruh plot penelitian tergolong tinggi. Namun kalau dibandingkan antara plot TPTJ dengan hutan primer, khususnya untuk jenis komersial dari kelompok Dipterocarpaceae, maka di plot TPTJ tidak dijumpai jenis Kamper yang merupakan jenis dominan pada hutan primer. Dengan kata lain dampak penebangan mengakibatkan terjadinya penggantian dominasi jenis pada plot TPTJ. Jenis Meranti merah merupakan jenis kodominan pada beberapa plot TPTJ, sedangkan beberapa jenis anggota Dipterocarpaceae lainnya, seperti Bangkirai, Mersawa, Meranti kuning dan Meranti putih tidak merata penyebarannya di seluruh plot penelitian. Oleh karena itu penanaman jenis-jenis tersebut harus menjadi prioritas disamping jenis yang sudah dikembangkan selama ini. Dari hasil perhitungan indeks keanekaragaman jenis tingkat pohon menunjukkan bahwa keanekaragaman jenis pada seluruh plot studi cukup tinggi yaitu berada pada kisaran 2 hingga 3, namun keanekaragaman jenis pada hutan primer itu sendiri lebih rendah dibandingkan dengan plot lainnya. Ada kecenderungan peningkatan keanekaragaman jenis dengan makin meningkatnya umur tanaman. Total luas bidang dasar pada areal TPTJ berfluktuasi menurut periode penanaman (Tabel 9). Kalau diperhatikan, penebangan dengan limit diameter 40 cm menyebabkan menurunnya kontribusi jenis komersial dari kelompok 87

29 Dipterocarpaceae sebesar 52.9% hingga 66.4% dari hutan primer, sedangkan untuk jenis non-dipterocarpaceae justru mengalami peningkatan hingga dua kali lipatnya. Kondisi yang sama juga dilaporkan oleh Alrasyid (2000) bahwa dengan limit diameter tebang 40 cm dalam sistem TPTJ telah menurunkan luas bidang dasar kelompok Dipterocarpaceae pada areal hutan bekas tebangan 2 tahun sebesar 63%. Namun secara umum dapat dikatakan bahwa proporsi jenis komersial dan non-komersial pada plot TPTJ relatif seimbang. Kondisi awal sebelum penebangan dan besarnya intensitas penebangan merupakan faktor yang menentukan besarnya jumlah luas bidang dasar tegakan tinggal. Menurut hasil pengukuran, luas bidang dasar pada hutan primer di areal HPH PT. Sari Bumi Kusuma sebesar m 2 /ha, nilai ini kurang lebih mendekati nilai rata-rata yang mewakili hutan tropis, yaitu sekitar 30 m 2 /ha (Weidelt 1994). Hal ini sesuai dengan hasil beberapa penelitian lainnya, seperti Sist dan Saridan (1997) sebesar m 2 /ha di hutan primer, Berau, Kalimantan Timur dan Noorlaksmono (1993) sebesar m 2 /ha di hutan primer Riau, dan Riyanto (1995) sebesar m 2 /ha di hutan primer, Jambi. Selain itu Weidelt and Banaag (1982) juga melaporkan luas bidang dasar di Lauan Forest, Filipina sebesar 33.8 m 2 /ha. Jumlah luas bidang dasar pada kelas diameter di bawah 60 cm (< 60 cm) lebih besar dibandingkan dengan kelas diameter di atasnya (> 60 cm). Terdapat tiga alasan untuk menjelaskan data tersebut, yaitu pertama tingkat kerusakan vegetasi akibat penebangan pada kelas diameter kurang dari 60 cm relatif kecil. Hal ini disebabkan oleh intensitas penebangan (logging intensity) yang relatif rendah dan terkait juga dengan periode recovery atau tahun setelah penebangan di tiap-tiap tegakan berbeda. Alasan kedua adalah diterapkannya prinsip penebangan reduced impact logging di lapangan. Alasan ketiga adalah jumlah pohon berdiameter besar (> 60 cm) relatif sedikit. Pada seluruh plot TPTJ jumlah permudaan semai dari kelompok Dipterocarpaceae lebih rendah dibandingkan dengan non Dipterocarpaceae dan jenis non komersial (Tabel 10). Hal ini disebabkan kelompok Dipterocarpaceae mengalami kesulitan untuk berkompetisi dengan jenis lainnya pada kondisi tajuk 88

30 rapat atau tertutup. Jenis anggota Dipterocarpaceae sangat sensitif terhadap cahaya sehingga memiliki preferensi terhadap kondisi iklim mikro tertentu. Secara umum jumlah permudaan tingkat semai pada seluruh plot penelitian tergolong di atas rata-rata jika mengacu pada peraturan TPTI yang menyebutkan angka 1000 semai per ha sebagai syarat kecukupan untuk permudaan semai. Sistem TPTJ memberikan pengaruh positif terhadap regenerasi tingkat semai. Hal ini ditunjukkan oleh jumlah permudaan tingkat semai yang ada pada plot TPTJ lebih tinggi dibandingkan dengan kerapatan semai di hutan primer (16 187/ha) kecuali pada TJ 2. Secara umum dapat dikatakan jumlah permudaan tingkat semai pada seluruh plot penelitian tergolong di atas rata-rata jika mengacu pada peraturan TPTI yang menyebutkan angka 1000 semai per ha sebagai syarat kecukupan untuk permudaan semai. Berdasarkan kondisi permudaan tingkat pancang dapat dikatakan bahwa sistem TPTJ tidak memberikan stimulus terhadap permudaannya. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh tingkat semai yang sudah ada sebelum penebangan mengalami pertumbuhan yang lambat sehingga pertumbuhannya pada saat ini masih belum mencapai pancang. Keberadaan jenis anggota Dipterocarpaceae untuk tingkat pancang masih lebih rendah dibandingkan non Dipterocarpaceae dan jenis non-komersial. Namun secara umum jumlah permudaan pancang per ha pada seluruh plot studi masih lebih tinggi jika mengacu pada persyaratan TPTI yang hanya 240 pancang/ha. Hal yang sama juga dijumpai pada permudaan tingkat tiang dimana jumlah permudaannya pada seluruh plot penelitian masih lebih besar dibandingkan kriteria yang dibangun oleh TPTI sebesar 75 tiang/ha. Berdasarkan pengamatan regenerasi pada semua tingkatan, baik semai, pancang maupun tiang, terlihat bahwa jumlah maksimumnya dicapai pada areal TPTJ berumur 4 tahun. Dengan memperhatikan kondisi tersebut, maka perlakuan silvikultur pada jalur antara hendaknya dipertimbangkan untuk dijadwalkan pada periode tersebut untuk menghindari atau memperkecil kematian permudaan akibat kompetisi yang begitu berat antar jenis. Distribusi akar tanaman dan ketebalan horison O merupakan faktor yang menentukan nilai bobot isi, baik pada hutan primer maupun areal TPTJ. Hal ini 89

31 ditunjukkan oleh tidak adanya perbedaan bobot isi yang nyata antara hutan primer dan areal TPTJ. Kemungkinan lain, yaitu adanya kaitan antara bobot isi dengan kelas tekstur tanah. Kalau diperhatikan hutan primer dan areal TPTJ memiliki kelas tekstur sama yaitu lempung liat berpasir. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan liat pada hutan primer sebesar 28%, TJ 5 memiliki liat terbesar yaitu 35% dan terendah pada To sebesar 8%, sedangkan pada TJ 1 sampai TJ 4 berkisar antara 31-32%. Data menunjukkan bahwa To ternyata memiliki rata-rata bobot isi terbesar. Namun untuk plot lainnya tidak menunjukkan adanya kecenderungan yang konsisten. Jumlah dan sifat liat sangat mempengaruhi banyaknya C yang diikat sehingga liat banyak dikaitkan dengan peningkatan jumlah dan aktivitas mikroba. Oleh karena itu, maka tanah yang memiliki kadar liat tinggi akan mengakumulasi lebih banyak jumlah C organik. Memperhatikan bahwa kandungan C-organik pada seluruh plot penelitian yang tergolong rendah yaitu berada pada kisaran 1%-2%, sepertinya C-organik belum berada pada level yang secara nyata mempengaruhi bobot isi. Sebagai konsekuensi dari pemakaian tractor dalam sistem tebang pilih untuk penyaradan kayu (tractor logging) telah terjadi peningkatan bobot isi pada hutan bekas tebangan 1 bulan (To) namun masih berada dalam kategori sedang (medium). Setelah dilakukan penanaman pada blok bekas tebangan dengan sistem jalur, mulai terjadi pemulihan sehingga nilainya mendekati atau hampir sama dengan hutan primer (Tabel 17). Adapun meningkatnya bobot isi pada tanaman umur 4 tahun (TJ 4 ) sebesar 1.15g/ cm 3 disebabkan karena jalur tanaman pada areal tersebut sebagian besar merupakan bekas jalan sarad. Penggunaan tractor dalam kegiatan penebangan menyebabkan kerusakan tanah, namun kerusakan yang terjadi pada sistem tebang habis jauh lebih besar dibandingkan tebang pilih. Pemadatan tanah dan hilangnya lapisan topsoil merupakan dua bentuk kerusakan yang diakibatkan pemakaian tractor (Cheatle 1991). Pemadatan disebabkan oleh lintasan atau injakan tractor yang berdampak terhadap, antara lain, menurunnya pori-pori makro sehingga permeabilitas tanah menurun, akibatnya ketersediaan air dan hara bagi akar juga menurun, selanjutnya menghambat penetrasi dan perkembangan akar. Bentuk kerusakan lain adalah hilangnya lapisan top soil akibat pengupasan tractor (tractor blading) yang 90

32 berakibat menurunnya simpanan hara sehingga secara keseluruhan status hara berkurang. Stabilisasi agregat diperlukan dalam kaitannya dengan pengolahan tanah, yaitu mudah tidaknya tanah hancur jika diolah. Lebih lanjut, stabilisasi agregat seringkali dihubungkan dengan mudah tidaknya tanah mengalami erosi. Menurut Lynch and Bragg (1985), stabilitas agregat dapat berubah sebagai respon menurunnya level bahan organik dalam rangkaian kegiatan pemanenan. Agregat tanah terutama dibentuk oleh kekuatan fisik sementara stabilisasi dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti bahan organik, Fe-oksida, Al-oksida, ph dan liat. Fenomena yang dapat dilihat dari penelitian ini, yaitu kondisi agregat tanah pada ekosistem hutan primer tergolong stabil namun setelah penebangan mengalami penurunan sehingga tanah pada areal TPTJ tersebut menjadi kurang stabil. Dalam studi ini, terdapat kecenderungan yang tidak konsisten apabila stabilitas agregat dikaitkan dengan level bahan organik (Tabel 18). Seperti diketahui jenis tanah pada plot penelitian, mengacu pada terminologi dalam SK Mentan No. 837/1980, adalah Podsolik yang memiliki sifat, diantaranya bahan organik rendah dan ph rendah. Namun temuan lapang menunjukkan bahwa pada bahan organik rendah dan ph rendah ternyata agregat tanahnya stabil, contoh pada hutan primer. Seperti disebutkan di atas, beberapa sifat tanah merupakan indikator bagi stabilitas agregat, diantaranya Fe/Al-oksida, ph dan liat. Stabilitas agregat pada ekosistem hutan primer kemungkinan terkait dengan keberadaan Fe dan Al yang membentuk Fe 2 O 3 dan Al 2 O 3. Keduanya dapat juga berfungsi sebagai cementing agent (perekat) butiran-butiran tanah sehingga menjadikan stabil. Kemungkinan lainnya adalah bahan organik yang berfungsi sebagai pemantap agregat tergolong kedalam kelompok persisten, yaitu berupa senyawasenyawa aromatik yang berasosiasi dengan kation logam yang memilki ciri tidak mudah berubah. Ketidakstabilan agregat pada areal TPTJ, kemungkinan ada hubungannya dengan kelompok bahan organik yang bersifat temporer berupa akar dan hifa yang kestabilan agregatnya mudah berubah akibat pengolahan tanah sehingga menyebabkan tanahnya sedikit lebih padat dibandingkan hutan primer. Hal ini sesuai dengan gambaran di lapangan yang menunjukkan bahwa dalam areal TPTJ 91

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di dalam areal Hak Pengusahaan Hutan (HPH) PT. Sari Bumi Kusuma, Unit S. Seruyan, Kalimantan Tengah. Areal hutan yang dipilih untuk penelitian

Lebih terperinci

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 KAJIAN ASPEK VEGETASI DAN KUALITAS TANAH SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM JALUR (STUDI KASUS DI AREAL HPH PT. SARI BUMI KUSUMA, KALIMANTAN TENGAH) PRIJANTO PAMOENGKAS SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 37 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Pola Sebaran Pohon Pemetaan sebaran pohon dengan luas petak 100 ha pada petak Q37 blok tebangan RKT 2011 PT. Ratah Timber ini data sebaran di kelompokkan berdasarkan sistem

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian tentang Perkembangan Tegakan Pada Hutan Alam Produksi Dalam Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) dilaksanakan di areal

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Letak dan Ciri-ciri Lintasan Sepeda Gunung Letak lintasan sepeda gunung di HPGW disajikan dalam Gambar 5. Ciricirinya disajikan dalam Tabel 9. Tabel 9 Keadaan plot penelitian

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan waktu Penelitian lapangan dilaksanakan di areal IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma Propinsi Kalimantan Tengah. Areal penelitian merupakan areal hutan yang dikelola dengan

Lebih terperinci

Kenapa Perlu Menggunakan Sistem Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) Teknik Silvikultur Intensif (Silin) pada IUPHHK HA /HPH. Oleh : PT.

Kenapa Perlu Menggunakan Sistem Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) Teknik Silvikultur Intensif (Silin) pada IUPHHK HA /HPH. Oleh : PT. Kenapa Perlu Menggunakan Sistem Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) Teknik Silvikultur Intensif (Silin) pada IUPHHK HA /HPH Oleh : PT. Sari Bumi Kusuma PERKEMBANGAN HPH NASIONAL *) HPH aktif : 69 % 62% 55%

Lebih terperinci

Gambar 1. Lahan pertanian intensif

Gambar 1. Lahan pertanian intensif 14 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Umum Penggunaan Lahan Seluruh tipe penggunaan lahan yang merupakan objek penelitian berada di sekitar Kebun Percobaan Cikabayan, University Farm, IPB - Bogor. Deskripsi

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di hutan hujan tropika yang berlokasi di areal IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur, Kalimantan Barat. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

1 BAB I. PENDAHULUAN. tingginya tingkat deforestasi dan sistem pengelolan hutan masih perlu untuk

1 BAB I. PENDAHULUAN. tingginya tingkat deforestasi dan sistem pengelolan hutan masih perlu untuk 1 BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan tropis merupakan sumber utama kayu dan gudang dari sejumlah besar keanekaragaman hayati dan karbon yang diakui secara global, meskupun demikian tingginya

Lebih terperinci

BAB IV METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian 4.2 Bahan dan Alat 4.3 Metode Pengambilan Data Analisis Vegetasi

BAB IV METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian 4.2 Bahan dan Alat 4.3 Metode Pengambilan Data Analisis Vegetasi BAB IV METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian Kegiatan penelitian ini dilaksanakan mulai bulan April sampai bulan Juni tahun 2009, pada areal hutan produksi perusahaan pemegang Izin Usaha Pemanfaatan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 14 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN.1. Hasil Penelitian.1.1 Pertumbuhan diameter S. leprosula Miq umur tanam 1 4 tahun Hasil pengamatan dan pengukuran pada 4 plot contoh yang memiliki luas 1 ha (0 m x 0 m) dapat

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Hutan rawa gambut adalah salah satu komunitas hutan tropika yang terdapat di

PENDAHULUAN. Hutan rawa gambut adalah salah satu komunitas hutan tropika yang terdapat di PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan rawa gambut adalah salah satu komunitas hutan tropika yang terdapat di Indonesia. Hutan rawa gambut mempunyai karakteristik turnbuhan maupun hewan yang khas yaitu komunitas

Lebih terperinci

PERUBAHAN SIFAT FISIK DAN KIMIA TANAH DALAM PELAKSANAAN SISTEM TEBANG PILIH TANAM JALUR (TPTJ) DI HPHTI PT. SARI BUMI KUSUMA UNIT S

PERUBAHAN SIFAT FISIK DAN KIMIA TANAH DALAM PELAKSANAAN SISTEM TEBANG PILIH TANAM JALUR (TPTJ) DI HPHTI PT. SARI BUMI KUSUMA UNIT S PERUBAHAN SIFAT FISIK DAN KIMIA TANAH DALAM PELAKSANAAN SISTEM TEBANG PILIH TANAM JALUR (TPTJ) DI HPHTI PT. SARI BUMI KUSUMA UNIT S. SERUYAN, KALIMANTAN TENGAH Rr. AJENG DWI HAPSARI HAYUNINGTYAS E 14202030

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN Letak dan Luas Lokasi penelitian terletak di dalam areal HPH PT. Sari Bumi Kusuma Unit Seruyan (Kelompok Hutan Sungai Seruyan Hulu) yang berada pada koordinat 111 0 39 00-112

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaturan hasil saat ini yang berlaku pada pengelolaan hutan alam produksi di Indonesia menggunakan sistem silvikultur yang diterapkan pada IUPHHK Hutan Produksi dalam P.11/Menhut-II/2009.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan pengamatan setelah melaksanakan penelitian, diperoleh hasil yang disusun dengan sistematika hasil pengomposan, kualitas kompos dari berbagai bahan organik, pengaruh kompos

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN Terdapat 11 profil tanah yang diamati dari lahan reklamasi berumur 0, 5, 9, 13 tahun dan lahan hutan. Pada lahan reklamasi berumur 0 tahun dan lahan hutan, masingmasing hanya dibuat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tinggi sehingga rentan terhadap terjadinya erosi tanah, terlebih pada areal-areal

BAB I PENDAHULUAN. tinggi sehingga rentan terhadap terjadinya erosi tanah, terlebih pada areal-areal BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara beriklim tropis dengan curah hujan yang tinggi sehingga rentan terhadap terjadinya erosi tanah, terlebih pada areal-areal tidak berhutan.

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Penelitian Parameter pertumbuhan yang diamati pada penelitian ini adalah diameter batang setinggi dada ( DBH), tinggi total, tinggi bebas cabang (TBC), dan diameter tajuk.

Lebih terperinci

KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM

KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM Muhdi Staf Pengajar Program Studi Teknologi Hasil Hutan Departemen Kehutanan USU Medan Abstract A research was done at natural tropical

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hutan alam yang ada di Indonesia banyak diandalkan sebagai hutan produksi

BAB I PENDAHULUAN. Hutan alam yang ada di Indonesia banyak diandalkan sebagai hutan produksi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan alam yang ada di Indonesia banyak diandalkan sebagai hutan produksi untuk mencukupi kebutuhan kayu perkakas dan bahan baku industri kayu. Guna menjaga hasil

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Ekosistem

TINJAUAN PUSTAKA. Ekosistem TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Ekosistem adalah suatu sistem di alam yang terdiri dari komponen biotik (organisme) dan abiotik (non hayati) dimana terjadi interaksi antara kedua komponen tersebut. Pendekatan

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang karakteristik habitat Macaca nigra dilakukan di CA Tangkoko yang terletak di Kecamatan Bitung Utara, Kotamadya Bitung, Sulawesi

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Karbon Biomassa Atas Permukaan Karbon di atas permukaan tanah, meliputi biomassa pohon, biomassa tumbuhan bawah (semak belukar berdiameter < 5 cm, tumbuhan menjalar dan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Sifat Fisik Tanah Sifat fisik tanah yang di analisis adalah tekstur tanah, bulk density, porositas, air tersedia, serta permeabilitas. Berikut adalah nilai masing-masing

Lebih terperinci

2 dilakukan adalah redesign manajemen hutan. Redesign manajemen hutan mengarah pada pencapaian kelestarian hutan pada masing-masing fungsi hutan, teru

2 dilakukan adalah redesign manajemen hutan. Redesign manajemen hutan mengarah pada pencapaian kelestarian hutan pada masing-masing fungsi hutan, teru I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keterpurukan sektor kehutanan sudah berjalan hampir 14 tahun belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. Masih besarnya angka laju kerusakan hutan serta bangkrutnya

Lebih terperinci

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN 19 BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Sifat Fisik Tanah 5.1.1. Bobot Isi dan Porositas Total Penambahan bahan organik rumput signal pada lahan Kathryn belum menunjukkan pengaruh baik terhadap bobot isi (Tabel

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Analisis Sifat Fisik Awal Tanah Latosol yang di ambil dari lahan percobaan IPB Cikabayan Darmaga memiliki bobot isi 0,86 gram cm -3, pori air tersedia < 20%, pori drainase

Lebih terperinci

III. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

III. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN III. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 3.1. Letak dan Luas Lokasi penelitian terletak di dalam areal IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma Unit Seruyan (Kelompok Hutan Sungai Seruyan Hulu) yang berada pada koordinat

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kopi merupakan tanaman yang dapat mudah tumbuh di Indonesia. Kopi

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kopi merupakan tanaman yang dapat mudah tumbuh di Indonesia. Kopi II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tanaman Kopi Tanaman kopi merupakan tanaman yang dapat mudah tumbuh di Indonesia. Kopi merupakan tanaman dengan perakaran tunggang yang mulai berproduksi sekitar berumur 2 tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. unsur unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam tanah, air, vegetasi serta

BAB I PENDAHULUAN. unsur unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam tanah, air, vegetasi serta BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam tanah, air, vegetasi serta sumberdaya manusia.das

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 13 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Hasil 5.1.1. Sifat Kimia Tanah Variabel kimia tanah yang diamati adalah ph, C-organik, N Total, P Bray, Kalium, Kalsium, Magnesium, dan KTK. Hasil analisis sifat kimia

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pengaruh Pemberian dan Terhadap Sifat sifat Kimia Tanah Penelitian ini mengevaluasi pengaruh pemberian amelioran bahan humat dan abu terbang terhadap kandungan hara tanah

Lebih terperinci

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. C-organik Tanah Andosol Dusun Arca 4.1.1. Lahan Hutan Hasil pengukuran kadar C-organik tanah total, bebas, terikat liat, dan terikat seskuioksida pada tanah Andosol dari

Lebih terperinci

MODEL SISTEM PENGELOLAAN HUTAN ALAM SETELAH PENEBANGAN DENGAN SISTEM TEBANG PILIH TANAM INDONESIA (TPTI) I ABSTRACT PENDAHULUAN

MODEL SISTEM PENGELOLAAN HUTAN ALAM SETELAH PENEBANGAN DENGAN SISTEM TEBANG PILIH TANAM INDONESIA (TPTI) I ABSTRACT PENDAHULUAN Jurnal Manajemen Hutan Tropika Vol. IX No. 2 : 1933 (2003) Artikel (Article) MODEL SISTEM PENGELOLAAN HUTAN ALAM SETELAH PENEBANGAN DENGAN SISTEM TEBANG PILIH TANAM INDONESIA (TPTI) I Modelling System

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tanah Ultisol atau dikenal dengan nama Podsolik Merah Kuning (PMK)

I. PENDAHULUAN. Tanah Ultisol atau dikenal dengan nama Podsolik Merah Kuning (PMK) 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Tanah Ultisol atau dikenal dengan nama Podsolik Merah Kuning (PMK) merupakan bagian yang paling luas dari total keseluruhan lahan kering di Indonesia. Penyebaranya

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 13 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Penelitian 5.1.1 Sifat Kimia Tanah Data sekunder hasil analisis kimia tanah yang diamati yaitu ph tanah, C-Org, N Total, P Bray, kation basa (Ca, Mg, K, Na), kapasitas

Lebih terperinci

Penelitian dilakukan di areal HPH PT. Kiani. penelitian selama dua bulan yaitu bulan Oktober - November 1994.

Penelitian dilakukan di areal HPH PT. Kiani. penelitian selama dua bulan yaitu bulan Oktober - November 1994. IV. METODOLOGI PENELITIAN A. LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN Penelitian dilakukan di areal HPH PT. Kiani Lestari, Kalimantan Timur. Waktu penelitian selama dua bulan yaitu bulan Oktober - November 1994. B.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Lahan merupakan sumberdaya alam strategis bagi pembangunan di sektor

TINJAUAN PUSTAKA. Lahan merupakan sumberdaya alam strategis bagi pembangunan di sektor II. TINJAUAN PUSTAKA Lahan merupakan sumberdaya alam strategis bagi pembangunan di sektor pertanian, kehutanan, perumahan, industri, pertambangan dan transportasi.di bidang pertanian, lahan merupakan sumberdaya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan dibidang kehutanan saat ini terus ditingkatkan dan diarahkan untuk menjamin kelangsungan tersedianya hasil hutan, demi kepentingan pembangunan industri, perluasan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 17 HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Kandungan Hara Tanah Analisis kandungan hara tanah pada awal percobaan maupun setelah percobaan dilakukan untuk mengetahui ph tanah, kandungan C-Organik, N total, kandungan

Lebih terperinci

KERAGAMAN JENIS ANAKAN TINGKAT SEMAI DAN PANCANG DI HUTAN ALAM

KERAGAMAN JENIS ANAKAN TINGKAT SEMAI DAN PANCANG DI HUTAN ALAM KARYA TULIS KERAGAMAN JENIS ANAKAN TINGKAT SEMAI DAN PANCANG DI HUTAN ALAM OLEH : DIANA SOFIA H, SP, MP NIP 132231813 FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2007 KATA PENGANTAR Syukur Alhamdulillah,

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pemanenan Hutan Pemanenan merupakan kegiatan mengeluarkan hasil hutan berupa kayu maupun non kayu dari dalam hutan. Menurut Suparto (1979) pemanenan hasil hutan adalah serangkaian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Nanas merupakan salah satu tanaman hortikultura, yang sangat cocok

I. PENDAHULUAN. Nanas merupakan salah satu tanaman hortikultura, yang sangat cocok 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Nanas merupakan salah satu tanaman hortikultura, yang sangat cocok dibudidayakan didaerah tropis. Tanaman ini berasal dari amerika selatan ( Brazilia). Tanaman

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Data Hujan Curah hujan adalah jumlah air yang jatuh dipermukaan tanah datar selama periode tertentu di atas permukaan horizontal bila tidak terjadi evaporasi, run off dan

Lebih terperinci

METODOLOGI. Lokasi dan Waktu

METODOLOGI. Lokasi dan Waktu METODOLOGI Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan di Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau, pada 3 tipe penggunaan lahan gambut yaitu; Hutan Alam, Kebun Rakyat dan Areal HTI Sagu, yang secara geografis

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 28 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Komposisi dan Struktur Tegakan 5.1.1. Komposisi Jenis Komposisi jenis merupakan salah satu faktor yang dapat digunakan untuk mengetahui proses suksesi yang sedang berlangsung

Lebih terperinci

E ROUP PUROBli\1 .IURUSAN TEKNOLOGI BASIL HUTAN E C\KULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR. Oleh :

E ROUP PUROBli\1 .IURUSAN TEKNOLOGI BASIL HUTAN E C\KULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR. Oleh : PERKEMBANGAN KEADAAN TEGAKAN TINGGAL DAN RIAI' DIAMETER POHON SETELAH PEMANENAN KAYU DENGAl\' SISTEM TPTI DI AREAL HPH PT. KlANI LESTARI KALIMANTAN TIMUR Oleh : ROUP PUROBli\1 E 27.0932.IURUSAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 27 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pengaruh Mulsa terhadap Bobot Isi Pengamatan bobot isi dilakukan setelah pemanenan tanaman kacang tanah. Pengaruh pemberian mulsa terhadap nilai bobot isi tanah disajikan

Lebih terperinci

Kualitas Tanah pada Areal Tebang Pilih Tanam Jalur di IUPHHK/HA PT. Sari Bumi Kusuma Provinsi Kalimantan Tengah

Kualitas Tanah pada Areal Tebang Pilih Tanam Jalur di IUPHHK/HA PT. Sari Bumi Kusuma Provinsi Kalimantan Tengah JURNAL SILVIKULTUR TROPIKA 66 Prijanto Pamoengkas et al. Vol. 03 No. 01 Agustus 2011, Hal. 66 70 ISSN: 2086-8227 Kualitas Tanah pada Areal Tebang Pilih Tanam Jalur di IUPHHK/HA PT. Sari Bumi Kusuma Provinsi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. di lahan sawah terus berkurang seiring perkembangan dan pembangunan di

I. PENDAHULUAN. di lahan sawah terus berkurang seiring perkembangan dan pembangunan di I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Padi merupakan bahan pangan terpenting di Indonesia mengingat makanan pokok penduduk Indonesia sebagian besar adalah beras. Sementara itu, areal pertanian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sekitar 500 mm per tahun (Dowswell et al., 1996 dalam Iriany et al., 2007).

I. PENDAHULUAN. sekitar 500 mm per tahun (Dowswell et al., 1996 dalam Iriany et al., 2007). I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jagung merupakan tanaman serealia yang paling produktif di dunia, cocok ditanam di wilayah bersuhu tinggi. Penyebaran tanaman jagung sangat luas karena mampu beradaptasi

Lebih terperinci

Baharinawati W.Hastanti 2

Baharinawati W.Hastanti 2 Implementasi Sistem Silvikultur TPTI : Tinjauan eberadaan Pohon Inti dan ondisi Permudaannya (Studi asus di Areal IUPHH PT. Tunas Timber Lestari, Provinsi Papua) 1 Baharinawati W.Hastanti 2 BP Manokwari

Lebih terperinci

125 permukaan dan perhitungan erosi berasal dari data pengukuran hujan sebanyak 9 kejadian hujan. Perbandingan pada data hasil tersebut dilakukan deng

125 permukaan dan perhitungan erosi berasal dari data pengukuran hujan sebanyak 9 kejadian hujan. Perbandingan pada data hasil tersebut dilakukan deng 124 Bab VI Kesimpulan Lokasi penelitian, berupa lahan pertanian dengan kondisi baru diolah, tanah memiliki struktur tanah yang remah lepas dan jenis tanah lempung berlanau dengan persentase partikel tanah

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN METODOLOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan tanggal 22 April sampai 9 Mei 2007 di hutan rawa habitat tembesu Danau Sumbu dan Danau Bekuan kawasan Taman Nasional Danau

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 21 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Berdasarkan data dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Wilayah Dramaga, keadaan iklim secara umum selama penelitian (Maret Mei 2011) ditunjukkan dengan curah

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 16 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 HASIL Parameter yang diamati dalam penelitian ini adalah pertumbuhan tinggi, diameter, berat kering dan NPA dari semai jabon pada media tailing dengan penambahan arang

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Karakteristik Latosol Cikabayan IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Bahan tanah yang digunakan dalam percobaan pupuk organik granul yang dilaksanakan di rumah kaca University Farm IPB di Cikabayan, diambil

Lebih terperinci

Topik C4 Lahan gambut sebagai cadangan karbon

Topik C4 Lahan gambut sebagai cadangan karbon Topik C4 Lahan gambut sebagai cadangan karbon 1 Presentasi ini terbagi menjadi lima bagian. Bagian pertama, memberikan pengantar tentang besarnya karbon yang tersimpan di lahan gambut. Bagian kedua membahas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) Sistem Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) adalah sistem silvikultur yang digulirkan sebagai alternatif pembangunan hutan tanaman

Lebih terperinci

HASIL ANALISA VEGETASI (DAMPAK KEGIATAN OPERASIONAL TERHADAP TEGAKAN HUTAN)

HASIL ANALISA VEGETASI (DAMPAK KEGIATAN OPERASIONAL TERHADAP TEGAKAN HUTAN) HASIL ANALISA VEGETASI (DAMPAK KEGIATAN OPERASIONAL TERHADAP TEGAKAN HUTAN) 1. Kerapatan Kerapatan Jenis yang ditemukan pada kondisi hutan, 10 tahun setelah, sebelum dan setelah. ( RKT 2005) Kerapatan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Tanah Tanah adalah kumpulan benda alam di permukaan bumi yang tersusun dalam horison-horison, terdiri dari campuran bahan mineral, bahan organik, air dan udara,

Lebih terperinci

SINTESA HASIL PENELITIAN PENGELOLAAN HUTAN ALAM PRODUKSI LESTARI KOORDINATOR: DARWO

SINTESA HASIL PENELITIAN PENGELOLAAN HUTAN ALAM PRODUKSI LESTARI KOORDINATOR: DARWO SINTESA HASIL PENELITIAN PENGELOLAAN HUTAN ALAM PRODUKSI LESTARI KOORDINATOR: DARWO PERMASALAHAN HUTAN ALAM TERFRAGMENTASI HUTAN PRIMER LOA (KONDISI BAIK, SEDANG) LOA RUSAK PENERAPANTEKNOLOGI PENGELOLAAN

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Kondisi Umum Saat Ini Faktor Fisik Lingkungan Tanah, Air, dan Vegetasi di Kabupaten Kutai Kartanegara Kondisi umum saat ini pada kawasan pasca tambang batubara adalah terjadi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Hutan merupakan salah satu ekosistem yang jumlahnya cukup luas di Indonesia,

I. PENDAHULUAN. Hutan merupakan salah satu ekosistem yang jumlahnya cukup luas di Indonesia, I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Hutan merupakan salah satu ekosistem yang jumlahnya cukup luas di Indonesia, luasnya mencapai 130.609.014,98 ha (Departemen Kehutanan, 2011). Ekosistem tersebut

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tanaman kacang hijau (Vigna radiata L.) sampai saat ini masih merupakan

I. PENDAHULUAN. Tanaman kacang hijau (Vigna radiata L.) sampai saat ini masih merupakan 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Tanaman kacang hijau (Vigna radiata L.) sampai saat ini masih merupakan komoditas strategis kacang-kacangan yang banyak dibudidayakan setelah kedelai dan

Lebih terperinci

KERAGAMAN PERTUMBUHAN TANAMAN MERANTI MERAH (Shorea leprosula Miq.) PADA BERBAGAI TAPAK

KERAGAMAN PERTUMBUHAN TANAMAN MERANTI MERAH (Shorea leprosula Miq.) PADA BERBAGAI TAPAK 11/1/13 MAKALAH SEMINAR/EKSPOSE HASIL PENELITIAN TAHUN 13 BALAI BESAR PENELITIAN DIPTEROKARPA SAMARINDA KERAGAMAN PERTUMBUHAN TANAMAN MERANTI MERAH (Shorea leprosula Miq.) PADA BERBAGAI TAPAK Oleh: Asef

Lebih terperinci

Peran PUP dalam Perencanaan Pengaturan Hasil untuk Mendukung Kelestarian Hutan

Peran PUP dalam Perencanaan Pengaturan Hasil untuk Mendukung Kelestarian Hutan // Seminar & kspose asil Penelitian Restorasi kosistem Dipterokarpa dalam rangka Peningkatan Produktivitas utan Samarinda, Oktober Peran PUP dalam Perencanaan Pengaturan asil untuk Mendukung elestarian

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. kompos limbah tembakau memberikan pengaruh nyata terhadap berat buah per

HASIL DAN PEMBAHASAN. kompos limbah tembakau memberikan pengaruh nyata terhadap berat buah per IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa kombinasi pupuk Urea dengan kompos limbah tembakau memberikan pengaruh nyata terhadap berat buah per tanaman, jumlah buah per tanaman dan diameter

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 13 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian Variabel yang diamati pada penelitian ini adalah diameter pangkal, diameter setinggi dada (dbh), tinggi total, tinggi bebas cabang, tinggi tajuk, panjang

Lebih terperinci

Pemantauan Kerusakan Lahan untuk Produksi Biomassa

Pemantauan Kerusakan Lahan untuk Produksi Biomassa Pemantauan Kerusakan Lahan untuk Produksi Biomassa Rajiman A. Latar Belakang Pemanfaatan lahan memiliki tujuan utama untuk produksi biomassa. Pemanfaatan lahan yang tidak bijaksana sering menimbulkan kerusakan

Lebih terperinci

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI SIDANG

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI SIDANG KESIMPULAN DAN REKOMENDASI SIDANG 133 PROSIDING Workshop Nasional 2006 134 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI SIDANG PERTAMA KESIMPULAN 1. Ramin dan ekosistemnya saat ini terancam kelestariannya. Hal ini disebabkan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lahan penelitian yang digunakan merupakan lahan yang selalu digunakan untuk pertanaman tanaman padi. Lahan penelitian dibagi menjadi tiga ulangan berdasarkan ketersediaan

Lebih terperinci

No. Parameter Sifat Fisik Metode Bobot Isi Porositas Total Pori Drainase Indeks Stabilitas Agregat Tekstur

No. Parameter Sifat Fisik Metode Bobot Isi Porositas Total Pori Drainase Indeks Stabilitas Agregat Tekstur No. Parameter Sifat Fisik Metode 1. 2. 3. 4. 5. Bobot Isi Porositas Total Pori Drainase Indeks Stabilitas Agregat Tekstur Gravimetri Gravimetri pf Pengayakan Kering dan Basah Bouyoucus (Hidrometer) 6.

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kondisi Tegakan Sebelum Pemanenan Kegiatan inventarisasi tegakan sebelum penebangan (ITSP) dilakukan untuk mengetahui potensi tegakan berdiameter 20 cm dan pohon layak tebang.

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Data penelitian yang diperoleh pada penelitian ini berasal dari beberapa parameter pertumbuhan anakan meranti merah yang diukur selama 3 bulan. Parameter yang diukur

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Awal Tanah Gambut

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Awal Tanah Gambut 20 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Awal Tanah Gambut Hasil analisis tanah gambut sebelum percobaan disajikan pada Tabel Lampiran 1. Hasil analisis didapatkan bahwa tanah gambut dalam dari Kumpeh

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Vegetasi Hutan Hutan merupakan ekosistem alamiah yang sangat kompleks mengandung berbagai spesies tumbuhan yang tumbuh rapat mulai dari jenis tumbuhan yang kecil hingga berukuran

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 14 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Awal Lahan Bekas Tambang Lahan bekas tambang pasir besi berada di sepanjang pantai selatan desa Ketawangrejo, Kabupaten Purworejo. Timbunan-timbunan pasir yang

Lebih terperinci

SYARAT TUMBUH TANAMAN KAKAO

SYARAT TUMBUH TANAMAN KAKAO SYARAT TUMBUH TANAMAN KAKAO Sejumlah faktor iklim dan tanah menjadi kendala bagi pertumbuhan dan produksi tanaman kakao. Lingkungan alami tanaman cokelat adalah hutan tropis. Dengan demikian curah hujan,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Sifat Fisikokimia Tanah Percobaan dan Sifat Kimia Kotoran Sapi

HASIL DAN PEMBAHASAN Sifat Fisikokimia Tanah Percobaan dan Sifat Kimia Kotoran Sapi IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Sifat Fisikokimia Tanah Percobaan dan Sifat Kimia Kotoran Sapi 4.1.1. Kakteristik Ultisol Gunung Sindur Hasil analisis pendahuluan sifat-sifat kimia tanah disajikan pada tabel.1.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 25 HASIL DAN PEMBAHASAN Produktivitas Tegakan Berdasarkan Tabel 3 produktivitas masing-masing petak ukur penelitian yaitu luas bidang dasar (LBDS), volume tegakan, riap volume tegakan dan biomassa kayu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam mengatur tata air, mengurangi erosi dan banjir. Hutan mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. dalam mengatur tata air, mengurangi erosi dan banjir. Hutan mempunyai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan sebagai komunitas tumbuhan juga memiliki fungsi hidrologis dalam mengatur tata air, mengurangi erosi dan banjir. Hutan mempunyai peran yang sangat penting dalam

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN A.

BAB I. PENDAHULUAN A. BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq) merupakan salah satu primadona tanaman perkebunan yang memiliki prospek pengembangan cukup cerah, Indonesia memiliki luas areal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di tahun 2006 menjadi lebih dari 268,407 juta ton di tahun 2015 (Anonim, 2015).

BAB I PENDAHULUAN. di tahun 2006 menjadi lebih dari 268,407 juta ton di tahun 2015 (Anonim, 2015). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hasil tambang merupakan salah satu kekayaan alam yang sangat potensial. Penambangan telah menjadi kontributor terbesar dalam pembangunan ekonomi Indonesia selama lebih

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian ini dilaksanakan di lahan kering dengan kondisi lahan sebelum pertanaman adalah tidak ditanami tanaman selama beberapa bulan dengan gulma yang dominan sebelum

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Penanaman rumput B. humidicola dilakukan di lahan pasca tambang semen milik PT. Indocement Tunggal Prakasa, Citeurep, Bogor. Luas petak yang digunakan untuk

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Ultisol merupakan salah satu jenis tanah di Indonesia yang mempunyai sebaran luas,

PENDAHULUAN. Ultisol merupakan salah satu jenis tanah di Indonesia yang mempunyai sebaran luas, 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Ultisol merupakan salah satu jenis tanah di Indonesia yang mempunyai sebaran luas, mencapai 45.794.000 ha atau sekitar 25% dari total luas daratan Indonesia

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pemanenan Hutan Pemanenan hutan merupakan serangkaian kegiatan kehutanan yang mengubah pohon atau biomassa lain menjadi bentuk yang bisa dipindahkan ke lokasi lain sehingga

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Sebaran luas lahan gambut di Indonesia cukup besar, yaitu sekitar 20,6 juta hektar, yang berarti sekitar 50% luas gambut tropika atau sekitar 10,8% dari luas daratan Indonesia.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Sifat dan Ciri Tanah Ultisol. Ultisol di Indonesia merupakan bagian terluas dari lahan kering yang

TINJAUAN PUSTAKA. Sifat dan Ciri Tanah Ultisol. Ultisol di Indonesia merupakan bagian terluas dari lahan kering yang TINJAUAN PUSTAKA Sifat dan Ciri Tanah Ultisol Ultisol di Indonesia merupakan bagian terluas dari lahan kering yang tersebar luas di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Irian Jaya serta sebagian kecil di pulau

Lebih terperinci

Struktur Dan Komposisi Tegakan Sebelum Dan Sesudah Pemanenan Kayu Di Hutan Alam. Muhdi

Struktur Dan Komposisi Tegakan Sebelum Dan Sesudah Pemanenan Kayu Di Hutan Alam. Muhdi Struktur Dan Komposisi Tegakan Sebelum Dan Sesudah Pemanenan Kayu Di Hutan Alam Muhdi Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara I. PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara tropika yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Hujan atau presipitasi merupakan jatuhnya air dari atmosfer ke permukaan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Hujan atau presipitasi merupakan jatuhnya air dari atmosfer ke permukaan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hujan atau presipitasi merupakan jatuhnya air dari atmosfer ke permukaan bumi baik dalam bentuk cairan maupun es. Hujan merupakan faktor utama pengendali daur hidrologis

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Infiltrasi

TINJAUAN PUSTAKA Infiltrasi 2 TINJAUAN PUSTAKA Infiltrasi Infiltrasi didefinisikan sebagai proses masuknya air ke dalam tanah melalui permukaan tanah. Umumnya, infiltrasi yang dimaksud adalah infiltrasi vertikal, yaitu gerakan ke

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 13 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Tanah Awal Seperti umumnya tanah-tanah bertekstur pasir, lahan bekas tambang pasir besi memiliki tingkat kesuburan yang rendah. Hasil analisis kimia pada tahap

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Siklus dan Neraca Nitrogen (N) Menurut Hanafiah (2005 :275) menjelaskan bahwa siklus N dimulai dari fiksasi N 2 -atmosfir secara fisik/kimiawi yang meyuplai tanah bersama

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanah dan Air Secara Umum Tanah merupakan suatu sistem mekanik yang kompleks terdiri dari bahan padat, cair dan gas. Tanah yang ideal terdiri dari sekitar 50% padatan, 25% cairan,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 2. Bobot isi tanah pada berbagai dosis pemberian mulsa.

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 2. Bobot isi tanah pada berbagai dosis pemberian mulsa. 38 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pengaruh Mulsa Terhadap Sifat Fisik Tanah 4.1.1. Bobot Isi Pengaruh pemberian sisa tanaman jagung sebagai mulsa terhadap bobot isi tanah adalah seperti tertera pada Tabel

Lebih terperinci

BKM IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Parameter dan Kurva Infiltrasi

BKM IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Parameter dan Kurva Infiltrasi % liat = [ H,( T 68),] BKM % debu = 1 % liat % pasir 1% Semua analisis sifat fisik tanah dibutuhkan untuk mengetahui karakteristik tanah dalam mempengaruhi infiltrasi. 3. 3... pf pf ialah logaritma dari

Lebih terperinci