PERANAN INHIBITOR KATEPSIN ALAMI DARI IKAN PATIN (Pangasius hypophthalmus) DALAM MENGHAMBAT KEMUNDURAN MUTU IKAN BANDENG (Chanos chanos Forskal)

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PERANAN INHIBITOR KATEPSIN ALAMI DARI IKAN PATIN (Pangasius hypophthalmus) DALAM MENGHAMBAT KEMUNDURAN MUTU IKAN BANDENG (Chanos chanos Forskal)"

Transkripsi

1 PERANAN INHIBITOR KATEPSIN ALAMI DARI IKAN PATIN (Pangasius hypophthalmus) DALAM MENGHAMBAT KEMUNDURAN MUTU IKAN BANDENG (Chanos chanos Forskal) ARY APRILAND DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

2 RINGKASAN ARY APRILAND. C Peranan Inhibitor Katepsin Alami dari Ikan Patin (Pangasius hypophthalmus) dalam Menghambat Kemunduran Mutu Ikan Bandeng (Chanos chanos Forskal). Dibimbing oleh KOMARIAH TAMPUBOLON dan ELLA SALAMAH. Salah satu penyebab terjadinya proses kemunduran mutu ikan adalah adanya aktivitas enzim proteolitik. Katepsin merupakan salah satu enzim proteolitik yang terdapat pada jaringan tubuh ikan yang berperan dalam proses pelunakan tekstur daging ikan akibat degradasi protein miofibril selama proses kemunduran mutu ikan. Untuk menghambat kemunduran mutu ikan karena aktivitas enzim katepsin maka diperlukan suatu senyawa penghambat yang disebut dengan inhibitor. Inhibitor dapat diperoleh secara alami dari dalam tubuh ikan dengan melalui serangkaian proses ekstraksi. Aktivitas inhibitor katepsin pada ikan patin (omnivora) diduga lebih tinggi dibandingkan dengan ikan bandeng (herbivora). Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan inhibitor katepsin dari ikan patin dan mengaplikasikannya untuk menghambat kemunduran mutu ikan bandeng selama penyimpanan suhu chilling (0-4 ºC). Penelitian ini dilakukan dalam tiga tahap. Tahap (1) yaitu penentuan suhu optimum ekstraksi inhibitor katepsin, tahap (2) penentuan konsentrasi inhibitor katepsin yang efektif untuk aplikasi, dan tahap (3) aplikasi inhibitor katepsin dalam menghambat kemunduran mutu ikan bandeng. Pengamatan dilakukan terhadap ikan bandeng dengan dua perlakuan yang berbeda, yaitu ikan bandeng dengan perendaman inhibitor dan ikan bandeng yang direndam dengan buffer sebagai kontrol. Pengamatan post mortem ikan bandeng dilakukan setiap 24 jam selama 576 jam (24 hari) untuk mengetahui lama waktu yang diperlukan ikan untuk memasuki fase pre rigor, rigor, post rigor, dan busuk selama penyimpanan. Selain itu juga dilakukan uji pada setiap fase pre rigor, rigor, post rigor, dan busuk ikan bandeng selama penyimpanan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa suhu optimum untuk ekstraksi inhibitor adalah 80 ºC dengan aktivitas inhibisi sebesar 92,88 % dan pengenceran 1:1 adalah konsentrasi larutan inhibitor yang digunakan untuk tahap aplikasi dengan aktivitas inhibisi sebesar 85,29 %. Fase pre rigor, rigor mortis, post rigor, dan busuk ikan bandeng kontrol berlangsung selama 504 jam (21 hari) dengan interval waktu berturut-turut terjadi setelah penyimpanan selama 0 jam (0 hari), 96 jam (4 hari), 360 jam (15 hari), dan 504 jam (21 hari), sedangkan ikan bandeng dengan perlakuan perendaman inhibitor berlangsung selama 576 jam (24 hari) dengan interval waktu berturut-turut terjadi setelah penyimpanan selama 0 jam (0 hari), 96 jam (4 hari), 365 jam (24 hari), dan 576 jam (24 hari). Nilai organoleptik ikan bandeng mengalami penurunan dari fase pre rigor hingga busuk yang diikuti dengan kenaikan nilai TPC dan TVB. Nilai ph mengalami penurunan pada fase rigor mortis dan mengalami kenaikan pada fase post rigor hingga busuk. Pada penyimpanan suhu chilling tersebut pola kemunduran mutu ikan bandeng kontrol dari fase pre rigor hingga ikan busuk berlangsung lebih cepat dari pada ikan bandeng dengan perendaman inhibitor. Hal ini menunjukkan bahwa perendaman dengan inhibitor alami dari ikan patin dapat memperpanjang fase post mortem ikan bandeng sebanyak 3 hari (72 jam).

3 PERANAN INHIBITOR KATEPSIN ALAMI DARI IKAN PATIN (Pangasius hypophthalmus) DALAM MENGHAMBAT KEMUNDURAN MUTU IKAN BANDENG (Chanos chanos Forskal) ARY APRILAND Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Departemen Teknologi Hasil Perairan DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

4 Judul Skripsi : Nama NIM Peranan Inhibitor Katepsin Alami dari Ikan Patin (Pangasius hypophthalmus) dalam Menghambat Kemunduran Mutu Ikan Bandeng (Chanos chanos Forskal) : Ary Apriland : C Menyetujui, Pembimbing I, Pembimbing II, (Ir. Komariah Tampubolon, M.S.) (Dra. Ella Salamah, M.Si.) NIP NIP Mengetahui : Ketua Departemen, (Dr. Ir. Ruddy Suwandi, M.S, M.Phil.) NIP Tanggal Lulus :

5 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul Peranan Inhibitor Katepsin Alami dari Ikan Patin (Pangasius hypophthalmus) dalam Menghambat Kemunduran Mutu Ikan Bandeng (Chanos chanos Forskal) adalah hasil karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, Pebuari 2010 Ary Apriland C

6 KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat-nya sehingga skripsi dengan judul Peranan Inhibitor Katepsin Alami dari Ikan Patin (Pangasius hypophthalmus) dalam Menghambat Kemuduran Mutu Ikan Bandeng (Chanos chanos Forskal) ini dapat diselesaikan oleh penulis. Adapun tujuan dari peyusunan skripsi ini adalah sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana di Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini, terutama kepada: 1. Ibu Ir. Komariah Tampubolon, M.S dan ibu Dra. Ella Salamah, M.Si selaku komisi pembimbing, atas segala bimbingan dan pengarahan yang diberikan kepada penulis. 2. Ibu Dr. Tati Nurhayati, S.Pi, M.Si yang bersedia memberikan kesempatan kepada penulis untuk bergabung dalam program Hibah Bersaing 2009 dan penulis juga berterima kasih untuk nasehat dan masukannya. 3. Bapak Dr. Ir. Ruddy Suwandi, M.S, M.Phil selaku ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan. 4. Seluruh staf dosen dan TU THP, terima kasih atas dukungan dan bantuan selama ini. 5. Ayah dan ibu tercinta, atas semua dukungan dan kasih sayang yang diberikan serta doanya selama ini. 6. Ibu Emma, Rita (Laboran THP), mba Selin dan mas Wahyu (Laboran FKH) yang telah banyak membantu selama penelitian. 7. Teman-teman satu tim: Zen, Febri, Fahrul, mas Sevri, dan mba Tatty Yuniarti. 8. Pak ucit beserta keluarga di Tangerang, terima kasih atas bantuannya selama pengambilan sampel penelitian. 9. Ellis Permatasari untuk doa dan dukungannya kepada penulis. 10. Teman-teman THP 42, yaitu Ado, Melda, Ika, Seno, Inka, Irma, Dan, Ticil, Ulie, Dewi, Uut, Puspita, Sugara, Sofi, Junide, Nina, Rodi, Mifta,

7 Fathu, Binyo, Nina, Dini, Tyas, Fauzi, Indri, Ifa, Tika, Evi, Irfan, dan teman-teman yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu untuk kebersamaan dan semangat yang diberikan. 11. Adik-adik kelasku di THP 43 (Nanda, Uuk, dan Wati) dan THP 44 untuk semangat yang sudah diberikan kepada penulis. 12. Teman-teman satu tim asisten Biokimia Hasper, Iktiologi, Biotoksikologi, PHP, Diversifikasi, dan Limbah untuk kebersamaan yang sudah diberikan. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak sangat diharapkan. Bogor, Pebuari 2010 Ary Apriland

8 RIWAYAT HIDUP Ary Apriland, dilahirkan pada tanggal 4 April 1987 di Jakarta, sebagai anak keempat dari empat bersaudara pasangan Bapak Madju Sihombing dan Ibu Ida Ambarita. Penulis memulai pendidikan formal di Sekolah Dasar Negeri 05 Jakarta Timur dan lulus pada tahun 1999 kemudian melanjutkan ke Sekolah Menegah Pertama di SMP Negeri 252 Jakarta Timur dan lulus pada tahun Sekolah Menengah Atas penulis tempuh di SMA Negeri 71 Jakarta Timur dan lulus pada tahun Pada tahun 2005 penulis diterima menjadi mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) di Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Selama menjalani pendidikan akademik penulis pernah mengikuti organisasi Uni Konservasi Fauna (UKF) pada tahun 2005 dan Aquatic Processing Science Club (APSC) pada tahun Selain itu penulis juga aktif sebagai asisten paraktikum mata kuliah Penanganan Hasil Perairan tahun ajaran (2007/2008) dan (2008/2009), Biokimia Hasil Perairan pada tahun ajaran (2007/2008) dan (2008/2009), Iktiologi tahun ajaran (2008/2009), Diversifikasi dan Pengembangan Produk Hasil Perairan tahun ajaran (2008/2009), Teknologi Hasil Samping dan Limbah Hasil Perairan tahun ajaran (2008/2009), Dasar-dasar Teknologi Hasil Perairan tahun ajaran (2008/2009), dan koordinator asisten Biotoksikologi Hasil Perairan tahun ajaran (2009/2010). Penulis juga pernah mengikuti seminar dan pelatihan ISO yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Teknologi Hasil Perikanan (HIMASILKAN) pada tahun Penulis menyusun skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan dengan judul Peranan Inhibitor Katepsin Alami dari Ikan Patin (Pangasius hypophthalmus) dalam Menghambat Kemunduran Mutu Ikan Bandeng (Chanos chanos Forskal), dibimbing oleh Ir. Komariah Tampubolon, M.S dan Dra. Ella Salamah, M.Si.

9 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR... x DAFTAR LAMPIRAN... xi 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Bandeng (Chanos chanos Forskal) Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Patin (Pangasius hypophthalmus) Mutu Ikan Kemunduran Mutu Ikan Pre rigor Rigor mortis Post rigor Aktivitas Proteolitik Selama Post Mortem Ikan Enzim Katepsin Peranan Katepsin dalam Kemunduran Mutu Inhibitor Enzim Mekanisme kerja inhibitor enzim Inhibitor protease alami Inhibitor katepsin alami METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Tahapan Penelitian Penentuan suhu optimum ekstraksi inhibitor katepsin Pentuan konsentrasi inhibitor katepsin yang efektif untuk aplikasi Aplikasi inhibitor katepsin dalam menghambat kemunduran mutu ikan bandeng Prosedur Analisis Assay aktivitas enzim katepsin (Dinu et al. 2002) Assay aktivitas inhibitor katepsin (Dinu et al. 2002) vii

10 3.4.3 Pengukuran konsentrasi protein enzim (Bradford 1976) Uji organoleptik (BSN 2006) Uji nilai ph (Apriyantono et al. 1989) Uji total plate count (TPC) (Fardiaz 1987) Uji total volatile base (TVB) (Apriyantono et al. 1989) Analisis Data HASIL DAN PEMBAHASAN Penentuan Suhu Optimum Ekstraksi Inhibitor Katepsin Penentuan Konsentrasi Inhibitor Katepsin yang Efektif untuk Aplikasi Penentuan Fase Post Mortem Ikan Bandeng Pola Kemunduran Mutu Ikan Bandeng Nilai organoleptik Nilai ph Nilai TPC Nilai TVB Hubungan antar Parameter Kesegaran Ikan KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN viii

11 DAFTAR TABEL Halaman 1 Komposisi kimia ikan bandeng segar Komposisi kimia ikan patin segar Persyaratan mutu ikan basah (SNI ) Beberapa penelitian mengenai isolasi inhibitor protease dari jaringan ikan Pembuatan larutan BSA konsentrasi 0,1-1,0 mg/ml ix

12 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Morfologi ikan bandeng (Chanos chanos Forskal) Ikan patin (Pangasius hypophthalmus) Hasil pengujian aktivitas inhibitor katepsin dari ikan patin pada berbagai suhu ekstraksi Hasil pengujian aktivitas inhibitor katepsin dari ikan patin pada berbagai pengeceran Konsentrasi protein inhibitor katepsin dari ikan patin pada berbagai pengeceran Perbandingan nilai rata-rata organoleptik ikan bandeng dengan perendaman inhibitor dan tanpa perendaman dengan inhibitor (kontrol) pada penyimpanan suhu chilling Perbandingan nilai ph ikan bandeng dengan perendaman inhibitor dan tanpa perendaman dengan inhibitor (kontrol) pada penyimpanan suhu chilling Perbandingan nilai rata-rata log TPC ikan bandeng dengan perendaman inhibitor dan tanpa perendaman dengan inhibitor (kontrol) pada penyimpanan suhu chilling Perbandingan nilai rata-rata TVB ikan bandeng dengan perendaman inhibitor dan tanpa perendaman dengan inhibitor (kontrol) pada penyimpanan suhu chilling Hubungan antar parameter kesegaran ikan bandeng dengan perendaman dengan inhibitor dan ikan bandeng kontrol x

13 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Format uji organoleptik ikan segar (SNI ) a Bahan-bahan yang digunakan untuk ekstraksi enzim katepsin (Dinu et al. 2002) b Bahan-bahan yang digunakan untuk ekstraksi inhibitor katepsin (An et al. 1995) a Bahan-bahan yang digunakan untuk pengukuran aktivitas enzim dan inhibitor katepsin (Dinu et al. 2002) b Prosedur pengukuran aktivitas enzim katepsin c Prosedur pengukuran aktivitas inhibitor katepsin Kurva standar penentuan konsentrasi protein inhibitor a Hasil uji ragam (ANOVA) aktivitas katepsin pada berbagai suhu ekstraksi b Hasil uji ragam (ANOVA) aktivitas inhibitor katepsin pada berbagai pengenceran c Hasil uji ragam (ANOVA) konsentrasi protein inhibitor katepsin pada berbagai pengenceran Dokumentasi penelitian xi

14 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu faktor yang menentukan nilai jual ikan dan hasil perikanan yang lain adalah tingkat kesegaran. Semakin segar ikan sampai ke tangan pembeli maka harga jual ikan tersebut akan semakin mahal. Salah satu komoditi hasil perikanan yang umumnya dijual dalam keadaan segar adalah ikan bandeng. Ikan bandeng merupakan komoditi yang digunakan dalam beberapa jenis pemanfaatan seperti untuk tujuan konsumsi, umpan bagi industri perikanan tuna cakalang maupun untuk pasar ekspor dengan jumlah permintaan yang cukup tinggi (Warta Penelitian Perikanan Budidaya 2005). Produksi ikan bandeng di Indonesia terus mengalami peningkatan setiap tahun, yaitu ton pada tahun 2007 menjadi ton pada tahun 2008 dan diperkirakan pada tahun 2009 dapat mencapai ton (DKP 2009 diacu dalam Kompas 2009). Namun dibalik besarnya potensi tersebut terdapat suatu permasalahan, yaitu produk dalam bentuk segar ini cepat mengalami kemunduran mutu. Proses kemunduran mutu ikan segar terutama diawali dengan proses perombakan oleh aktivitas enzim yang secara alami terdapat di dalam jaringan tubuh ikan. Katepsin merupakan salah satu enzim proteolitik pada jaringan tubuh ikan yang sangat berperan dalam proses pelunakan tekstur daging ikan akibat degradasi protein miofibril sehingga turut mempercepat proses kemunduran mutu ikan (Jiang 2000). Kerusakan yang ditimbulkan oleh enzim ini, yaitu dapat menyebabkan timbulnya akumulasi metabolit, perubahan cita rasa, terbentuknya komponen volatil serta peningkatan jumlah bakteri yang pada akhirnya menimbulkan kebusukan pada ikan (Lawrie 1985). Kebusukan ikan ini tentu dapat menimbulkan kerugian karena nilai jual ikan menjadi turun dan bagi konsumen mengakibatkan ikan tidak sehat untuk dikonsumsi. Untuk menghambat kemunduran mutu yang disebabkan oleh aktivitas enzim katepsin, diperlukan suatu senyawa inhibitor yang dapat mengurangi laju aktivitas enzim tersebut. Inhibitor merupakan molekul atau ion yang dapat menghambat sisi aktif enzim untuk berikatan dengan substrat (Lehninger 1993).

15 2 Inhibitor dapat diperoleh secara kimiawi dan alami. Inhibitor kimiawi adalah inhibitor yang berasal dari suatu senyawa kimia, seperti ethylene diamine tetraacetic acid (EDTA) dan diisopropyl fluoro phosphate (DFP) (Zevaco & Desmazeaud 1976), sedangkan inhibitor alami berasal dari suatu bahan alami, seperti sistatin (putih telur), aprotinin (pankreas), dan hirudin (Hirudo medicinalis) (Carreno & Cortes 2000). Kerja atau aksi inhibitor alami ini sama baiknya dengan cara menambahkan logam atau mengatur ph lingkungan (Olonen 2004). Inhibitor alami juga dapat diperoleh dari dalam tubuh ikan. Aktivitas inhibitor alami di dalam tubuh ikan diduga dipengaruhi dari jenis makanan yang dimakan oleh ikan tersebut. Ikan pemakan tumbuhan dan hewan (omnivora) diduga memiliki aktivitas inhibitor enzim proteolitik yang lebih tinggi dibandingkan dengan ikan pemakan tumbuhan (herbivora). Ini diduga karena ikan omnivora memiliki enzim proteolitik dengan aktivitas yang lebih tinggi dibandingkan ikan herbivora. Enzim proteolitik ini digunakan untuk memecah protein yang ada pada makanan sehingga untuk mengendalikannya juga diperlukan inhibitor dengan aktivitas yang tinggi. Inhibitor yang ada pada jaringan tubuh ikan memiliki peranan penting dalam mengontrol aktivitas katepsin secara alami selama ikan hidup (Rondanelli 2002). Ikan patin adalah komoditi yang termasuk ke dalam kelompok ikan omnivora (Susanto & Amri 1996). Inhibitor katepsin yang berasal dari ikan patin diduga memiliki aktivitas yang lebih tinggi dibandingkan ikan bandeng yang termasuk ke dalam kelompok ikan herbivora (Gufron & Kardi 1997). Jika didapatkan inhibitor katepsin alami dari ikan patin dengan aktivitas penghambatan yang lebih tinggi dari pada inhibitor dari ikan bandeng maka akan menjadi suatu potensi untuk menghambat kemunduran mutu ikan bandeng.

16 Tujuan Tujuan penelitian ini adalah: 1) menentukan suhu optimum ekstraksi inhibitor katepsin dari ikan patin 2) menentukan konsentrasi inhibitor katepsin yang efektif untuk aplikasi 3) mengetahui pola kemunduran mutu ikan bandeng setelah perendaman dengan inhibitor katepsin dari ikan patin berdasarkan analisis tingkat kesegaran ikan pada penyimpanan suhu chilling (0-4 ºC)

17 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Bandeng (Chanos chanos Forskal) Ikan bandeng merupakan salah satu jenis ikan budidaya air payau yang potensial dikembangkan. Jenis ikan ini mampu mentolelir salinitas perairan yang luas (0-158 ppt) sehingga digolongkan sebagai ikan euryhaline. Ikan bandeng mampu beradaptasi terhadap perubahan lingkungan seperti suhu, ph, dan kekeruhan air serta tahan terhadap serangan penyakit (Ghufron & Kardi 1997). Menurut Bagarinao (1994) ikan bandeng memiliki hubungan yang erat dengan ikan-ikan yang hidup di air tawar. Ikan bandeng diduga berasal dari wilayah Eropa dan Amerika Utara serta melakukan migrasi ke wilayah laut tropis. Saat ini ikan bandeng lebih banyak ditemukan pada daerah tropis. Klasifikasi ikan bandeng menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut: Filum : Chordata Sub filum : Vertebrata Kelas : Pisces Sub kelas : Teleostei Ordo : Malacopterigii Family : Chanidae Genus : Chanos Spesies : Chanos chanos Forskal Ikan bandeng mempunyai badan yang memanjang seperti terpedo dengan sirip ekor bercabang sebagai tanda bahwa ikan bandeng tergolong sebagai perenang cepat. Kepala ikan bandeng tidak bersisik, mulut kecil terletak di ujung rahang tanpa gigi, lubang hidung terletak di depan mata. Mata diliputi oleh selaput bening (subcutaneus). Warna badan putih keperak-perakan dan punggung biru kehitaman (Ghufron & Kardi 1997). Morfologi ikan bandeng secara lengkap disajikan pada Gambar 1.

18 5 Gambar 1 Morfologi ikan bandeng (Chanos chanos Forskal) Sumber : Oceanleader (2009) Di Indonesia, ikan bandeng dapat dengan mudah ditemukan di daerah Sumatra Selatan, Borneo, Jawa, dan Sulawesi. Ikan bandeng mempunyai komposisi zat gizi yang cukup tinggi. Komposisi kimia ikan bandeng disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Komposisi kimia ikan bandeng segar Komponen kimia Kadar (%) Air 74,00 Protein 20,00 Lemak 4,80 Abu 1,19 Sumber : Saparinto et al. (2006) 2.2 Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Patin (Pangasius hypophthalmus) Ikan patin memiliki badan memanjang berwarna putih seperti perak dengan punggung berwarna kebiru-biruan. Kepala ikan patin relatif kecil dengan mulut terletak di ujung kepala agak di sebelah bawah yang merupakan ciri khas golongan cat fish. Sirip punggung patin memiliki sebuah jari-jari keras yang berubah menjadi patil yang bergerigi dan besar. Habitat asli ikan patin adalah di sungai-sungai besar dan muara sungai. Ikan patin termasuk ke dalam ikan dasar (demersal) (Susanto & Amri 1996). Ikan patin sangat toleran terhadap derajat keasaman (ph) air. Artinya ikan ini dapat bertahan hidup pada kisaran ph air yang luas, yaitu dari perairan yang agak asam (ph 5) sampai perairan yang basa (ph 9). Kandungan oksigen terlarut yang dibutuhkan adalah berkisar antara 3-6 ppm, sementara karbondioksida yang bisa ditolerir berkisar antara 9-20 ppm (Khairuman & Suhenda 2002). Pada bidang perikanan dan jasa boga, ikan ini dikenal sebagai komoditi yang

19 6 berprospek cerah, rasa dagingnya lezat dan gurih mengakibatkan harga jual ikan patin tinggi (Susanto & Amri 1996). Klasifikasi ikan patin menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut: Filum : Chordata Sub filum : Vertebrata Kelas : Pisces Sub kelas : Teleostei Ordo : Ostariophysi Sub Ordo : Siluridae Family : Pangasidae Genus : Pangasius Spesies : Pangasius hypophthalmus Ikan patin tidak memiliki sisik tetapi memiliki sirip dubur yang panjang, terdiri dari jari-jari lunak, sedangkan sirip perutnya memiliki enam jari-jari lunak. Sirip dada memiliki jari-jari lunak, dan sebuah jari-jari keras yang berubah menjadi senjata yang dikenal sebagai patil (Susanto & Amri 1996). Morfologi ikan patin dapat dilihat pada Gambar 2. Gambar 2 Ikan patin (Pangasius hypophthalmus) Sumber: Nautic Seafood (2009) Ikan patin di alam bebas biasanya selalu bersembunyi di dalam liang-liang tepi sungai atau kali. Ikan ini baru keluar dari liang persembunyiannya pada malam hari setelah hari mulai gelap. Hal ini sesuai dengan sifat hidupnya yang nocturnal (aktif pada malam hari). Ikan patin adalah ikan omnivora atau golongan ikan pemakan segala (Khairuman & Suhenda 2002). Di alam, makanan ikan ini antara lain adalah ikan-ikan kecil, cacing, detritus, serangga, biji-bijian, udang-

20 7 udang kecil, dan moluska (Susanto & Amri 2002). Komposisi kimia ikan patin disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Komposisi kimia ikan patin segar Komposisi Kadar (%) Air 75,70 Protein 16,10 Lemak 5,70 Abu 1,00 Sumber : BPMHP (1998) diacu dalam Erdiansyah (2006) 2.3 Mutu Ikan Mutu ikan segar adalah identik dengan kesegaran. Kesegaran ikan akan memberikan pengaruh bagi kesehatan orang yang mengkonsumsinya. Mutu pada ikan segar dapat diketahui melalui penilaian secara subjektif dan objektif (kimia/biokimia, fisika, dan mikrobiologi). Ikan yang sangat segar belum banyak mengalami perubahan-perubahan secara kimia, fisik, dan mikrobiologi (Alasavar & Taylor 2002). Adapun persyaratan mutu ikan segar dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Persyaratan mutu ikan basah (SNI ) Jenis Uji Satuan Persyaratan Mutu a) Organoleptik Nilai min. Angka (1-9) 7 b) Cemaran mikroba: - ALT - Escherichia coli - Vibrio cholerae - Salmonella c) Cemaran kimia: - Raksa (Hg) - Timbal (Pb) - Histamin - Cadmium koloni/g APM/g APM/25 g APM/25 g mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg maksimal 5 x 10 5 maksimal <2 Negatif Negatif maksimal 0,5 maksimal 0,4 maksimal 100 maksimal 0,1 Sumber: BSN (2006) Keterangan: ALT = Angka Lempeng Total, APM = Angka Paling Memungkinkan 2.4 Kemunduran Mutu Ikan Segera setelah ikan mati, terjadi perubahan-perubahan yang dapat mengakibatkan penurunan mutu ikan. Penurunan tingkat kesegaran ikan ini terlihat dengan adanya perubahan fisik, kimia, dan organoleptik pada ikan yang

21 8 disebabkan oleh aktivitas enzim, bakteri, dan kimiawi. Lamanya waktu perubahan yang berlangsung pada ikan tergantung pada jenis ikan, ukuran, cara kematian, metode penangkapan, penanganan, dan suhu penyimpanan (Robb 2002). Urutan proses perubahan yang terjadi setelah ikan mati, meliputi perubahan pre rigor, rigos mortis, dan post rigor Pre rigor Pre rigor merupakan kondisi pada saat otot ikan dalam keadaan relaksasi setelah ikan mengalami kematian. Pada kondisi ini terjadi penurunan kreatin fosfat (CP) secara cepat. Konsentrasi ATP coba dipertahankan untuk beberapa saat dengan proses resintesis dari ADP dan CP (Iwamoto et al diacu dalam Wang et al. 1998). Pada kondisi pre rigor juga terjadi peristiwa terlepasnya lendir dari kelenjar-kelenjar yang ada di dalam kulit (hyperaemia). Lendir tersebut terdiri dari glukoprotein dan merupakan substrat yang baik untuk pertumbuhan bakteri (Dwiari et al. 2008) Rigor mortis Pada saat ikan mati, otot ikan seluruhnya dalam keadaan relaksasi dan memiliki tekstur daging yang elastis. Setelah itu, otot ikan mengalami kontraksi yang mengakibatkan tubuh ikan menjadi keras, kaku, dan tidak fleksibel (FAO 1995). Penurunan kelenturan otot terus berlangsung seiring dengan semakin sedikitnya jumlah ATP. Hilangnya kelenturan otot ikan ini akibat ion Ca 2+ yang berikatan dengan protein troponin sehingga menyebabkan terjadinya ikatan elektrostatik antara filamen aktin dan miosin (aktomiosin) yang ditandai dengan terjadinya pengkerutan atau kontraksi serabut otot yang tidak dapat balik (irreversible) (Eskin 1990). Adenosin triposfat merupakan sumber energi tertinggi bagi aktivitas ikan. Setelah ikan mati, ATP diperoleh dari penguraian kreatin fosfat. Kemudian ATP mulai mengalami penguraian ketika kandungan kreatin fosfat dan ATP mencapai titik yang sama. Hidrolisis ATP menjadi ADP dengan bantuan enzim ATPase akan menghasilkan energi. Penguraian tersebut terjadi berdasarkan reaksi berikut ini (Eskin 1990): ATP + H 2 O ADP + H 3 PO 4 ATPase

22 9 Otot ikan ketika baru mati memiliki ph netral atau sedikit basa. Selama rigor mortis, nilai ph perlahan-lahan turun menjadi 6,2-6,5 karena akumulasi asam laktat. Kandungan glikogen yang lebih banyak pada otot ikan mati akan memperlambat dan memperpanjang fase rigor mortis (Govidan 1985). Penguraian ATP berkaitan erat dengan terjadinya rigor mortis. Pada saat ATP mulai mengalami penurunan, rigor mortis pun mulai terjadi dan mencapai kejang penuh (full-rigor) ketika kandungan ATP sekitar 1 µmol/g. Energi pada jaringan otot ikan setelah ikan mati diperoleh secara anaerobik dari pemecahan glikogen melalui proses glikolisis menghasilkan ATP dan asam laktat. Akumulasi asam laktat selain menurunkan ph otot, juga diikuti oleh peristiwa rigor mortis (Eskin 1990) Post rigor Pada saat otot ikan kembali elastis setelah melewati fase rigor mortis terjadi kenaikan ph ikan secara perlahan-lahan dengan meningkatnya laju perubahan autolitik yang ditandai dengan proses pelunakan daging ikan (Govidan 1985). Pada fase post rigor terjadi pelunakan daging yang disebabkan aktivitas enzim meningkat sehingga terjadi penguraian daging ikan yang selanjutnya menghasilkan substansi yang baik bagi pertumbuhan bakteri (Dwiari et al. 2008). Setelah ikan mati, enzim masih mempunyai kemampuan untuk bekerja secara aktif. Namun sistem kerja enzim menjadi tidak terkontrol karena organ pengontrol tidak berfungsi lagi. Akibatnya enzim dapat merusak organ tubuh ikan itu sendiri. Peristiwa ini disebut autolisis. Ciri terjadinya perubahan secara autolisis adalah dengan dihasilkannya amoniak sebagai hasil akhir. Penguraian protein dan lemak karena aktivitas autolisis menyebabkan perubahan rasa, tekstur, dan penampakan ikan (Afrianto & Liviawaty 1989). Selain terjadi penguraian protein, proses kemunduran mutu ikan juga ditandai dengan terjadinya kerusakan lemak akibat proses oksidasi menghasilkan sejumlah substansi yang dapat menyebabkan timbulnya bau dan rasa tengik yang disebut proses ketengikan. Tingginya kandungan asam lemak tidak jenuh pada daging ikan menyebabkan terjadinya autooksidasi radikal asam lemak tidak jenuh dengan oksigen membentuk senyawa hidroperoksida yang dapat menimbulkan

23 10 ketengikan. Proses ini dipercepat oleh adanya faktor enzim-enzim lipoksidase, cahaya, dan panas. Senyawa hasil pemecahan hidroperoksida merupakan produk sekunder yang sebagian besar berupa aldehid, keton, alkohol, asam karboksilat, dan alkana yang menyebabkan timbulnya diskolorisasi dan bau tengik pada ikan (FAO 1995). 2.5 Aktivitas Proteolitik Selama Fase Post Mortem Ikan Aktivitas protease endogenus merupakan masalah serius selama post mortem ikan. Protease endogenus adalah enzim proteolitik yang berasal dari tubuh ikan itu sendiri (Rondanelli 2002). Penguraian protein daging ikan karena aktivitas enzim proteolitik mengakibatkan daging ikan menjadi lunak, mudah dilepaskan dari tulang, kehilangan elastisitasnya, dan meninggalkan bekas jari pada saat ditekan (Govidan 1985). Peptida berbobot molekul rendah dan asam-asam amino bebas dihasilkan dari penguraian protein oleh enzim. Aktivitas autolisis juga menyediakan lingkungan yang mendukung untuk pertumbuhan bakteri (FAO 1995). Seluruh proses pelunakan daging ikan selama post mortem diduga adalah hasil aktivitas protease yang berasal dari sel di dalam daging ikan. Katepsin lisosomal diduga mempunyai peran dalam setiap aktivitas proteolitik dan pelunakan daging ikan selama fase post mortem (Rondanelli 2002). 2.6 Enzim Katepsin Lisosom diketahui sebagai sumber katepsin yang memiliki peranan dalam perubahan daging ikan selama fase post mortem. Diantara enzim lisosom tersebut, katepsin B,C, D, L, dan S berhasil dimurnikan dan dikarakterisasi dari daging ikan atau kerang. Jenis katepsin tersebut merupakan protease utama yang berperan dalam pemecahan protein intraseluler (Yamashita & Kanagaya 1990 diacu dalam Rondanelli 2002). Enzim katepsin di dalam tubuh ikan memiliki peranan yang penting selama ikan itu hidup, yaitu berperan dalam metabolisme intraseluler, aktivasi prohormon, proenzim, proalbumin, pembelahan sel, dan pelepasan fibrinogen (Olonen 2004; Otto & Schirmeister 1997). Katepsin A termasuk jenis eksopeptidase yang memiliki ph optimum 5-6, serta inaktif oleh panas dan alkali (Shahidi & Botta 1994). Katepsin B merupakan

24 11 enzim utama pada daging ikan tetapi memiliki aktivitas proteolitik yang lemah dengan protein miosin dan miofibril (Warrier et al diacu dalam Shahidi & Botta 1994). Katepsin B merupakan sistein eksopeptidase yang memiliki berat molekul sebesar 30 kda dan aktivitas maksimum pada ph 6,0 (Jiang 2000). Katepsin B mampu mendegradasi rantai miosin dengan cepat sementara katepsin L mampu mendegradasi troponin T, dan I, serta C-protein dengan cepat tetapi mendegradasi miosin, aktin dan tropomiosin dengan lambat. Katepsin D yang diisolasi dari daging putih Carassius auratus gibelio memiliki berat molekul sebesar Da dan ph optimum 3,5. Enzim Katepsin D mampu mendegradasi miosin, aktin, dan tropomiosin tetapi mampu dihambat oleh pepstatin (Dinu et al. 2002). Katepsin L merupakan jenis protease lain yang sangat aktif dalam mendegradasi protein miofibril. Aktivitas molekular dari katepsin L dengan substrat miosin adalah 10 kali lebih besar dari pada katepsin B. Katepsin L dapat mendegradasi miofibril termasuk aktin, miosin, dan tropomiosin pada ph 6,5 (Shahidi & Botta 1994). 2.7 Peranan Katepsin dalam Kemunduran Mutu Ketika ikan mati (fase pre rigor), maka kondisi menjadi anaerob dan ATP terurai oleh enzim yang terdapat di dalam tubuh ikan dengan melepaskan energi. Proses ini kemudian diikuti dengan peristiwa glikolisis yang akan menguraikan glikogen menjadi asam laktat. Pembentukan asam laktat akan menyebabkan terjadinya penurunan ph (Afrianto & Liviawaty 1989). Pada saat ph turun selama proses glikolisis post mortem membuat dinding lisosom melepaskan protease lisosomal, seperti katepsin B, H, dan L (Etherrington 1984; Jiang et al diacu dalam Rondanelli 2002). Pengaktifan enzim katepsin selanjutnya akan menyebabkan terjadinya penguraian protein menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana. Hal ini menimbulkan terjadinya akumulasi metabolit dan pembentukan senyawa-senyawa basa volatil yang berakibat terhadap kenaikan ph dan peningkatan jumlah bakteri karena senyawa-senyawa basa tersebut merupakan media yang sangat cocok bagi pertumbuhan bakteri terutama golongan bakteri pembusuk (Lawrie 1985).

25 Inhibitor Enzim Mekanisme enzim dalam suatu reaksi, yaitu melalui pembentukan kompleks enzim-substrat (ES). Oleh karena itu, hambatan atau inhibisi pada suatu reaksi yang menggunakan enzim sebagai katalis dapat terjadi apabila penggabungan pada bagian aktif enzim mengalami hambatan. Molekul atau ion yang dapat menghambat reaksi tersebut dinamakan inhibitor (Lehninger 1993) Mekanisme kerja inhibitor enzim Hambatan yang dilakukan oleh inhibitor dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu hambatan tidak dapat balik (irraversible) dan hambatan dapat balik (reversible). Hambatan tidak dapat balik pada umumnya disebabkan karena terjadinya proses destruksi atau modifikasi sebuah gugus atau lebih yang terdapat pada molekul enzim. Contoh inhibitor tidak dapat balik adalah senyawa diisopropil fluoro fosfat (DFP) yang menghambat enzim asetilkolinesterase yang penting di dalam proses transmisi impuls syaraf (Lehninger 1993). Hambatan dapat balik (reversible) terdiri dari hambatan bersaing (kompetitif) dan tidak bersaing (non-kompetitif). Hambatan bersaing disebabkan karena ada molekul yang mirip dengan substrat dan dapat pula membentuk kompleks, yaitu kompleks enzim inhibitor (EI). Pembentukan kompleks EI ini sama dengan pembentukan kompleks ES, yaitu melalui penggabungan inhibitor dengan enzim pada bagian aktif enzim sehingga terjadi persaingan antara inhibitor dengan sustrat terhadap bagian aktif enzim. Inhibitor bersaing menghalangi terbentuknya kompleks ES dengan cara membentuk kompleks EI. Berbeda dengan kompleks ES, kompleks EI tidak dapat membentuk produk (P). Ciri inhibitor kompetitif ini adalah penghambatan dapat dibalikkan atau diatasi hanya dengan meningkatkan konsentrasi substrat (Lehninger 1993). Hambatan tidak bersaing (non-kompetitif) tidak dipengaruhi oleh besarnya konsentrasi substrat dan inhibitor yang melakukannya atau disebut juga inhibitor tidak bersaing. Inhibitor dapat bergabung dengan enzim pada suatu bagian enzim di luar bagian aktif. Penggabungan antara inhibitor dengan enzim bebas menghasilkan kompleks EI, sedangkan penggabungan inhibitor dengan kompleks ES menghasilkan kompleks ESI. Baik kompleks EI maupun ESI bersifat inaktif.

26 13 Ini berarti bahwa kompleks tersebut tidak dapat menghasilkan produk reaksi yang diharapkan (Lenhninger 1993) Inhibitor protease alami Lebih dari 100 inhibitor protease alami sudah dapat diindentifikasi sejauh ini. Inhibitor protease ini dapat diisolasi dari berbagai organisme seperti bakteri, hewan, dan tanaman. Protease inhibitor terakumulasi dalam jumlah yang tinggi dalam biji tanaman, telur burung, dan berbagai cairan tubuh (Rondanelli 2002). Inhibitor protease pada ikan diperkirakan dapat memberikan perlindungan dari mikroorganisme dan berperan dalam proses embriogenesis pada regulasi pertumbuhan awal embrio. Inhibitor protease seperti sistatin juga berperan sebagai perlawanan untuk melawan protease virus yang dibutuhkan untuk replikasi virus (Ustadi et al. 2005). Beberapa hasil penelitian mengenai isolasi protease inhibitor dari jaringan ikan dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Beberapa penelitian mengenai isolasi inhibitor protease dari jaringan ikan Peneliti Bahan Aktivitas dan Keterangan karakteristik Toyohara et al. (1983) Daging ikan carp Calpastatin memiliki stabilitas yang tinggi sampai 100 ºC Calpastatin dan inhibitor tripsin Cao et al. (2000) Daging ikan croaker Optimum suhu 55 ºC Inhibitor protease serin Ustadi et al. (2005) Lie et al. (2008) Telur ikan glassfish Plasma ikan chum salmon Stabil pada suhu ºC dan ph 8 - ph 6,0-9,0 - optimum ph 7,0 - suhu ºC Inhibitor protease sistein Inhibitor protease sistein Inhibitor katepsin Alami Enzim proteolitik dapat dibagi menjadi empat kelas berdasarkan daya katalitiknya, yaitu serin, sistein, aspartat, dan logam. Penggolongan enzim ini berdasarkan komponen pada sisi aktifnya. Katepsin lisosomal umumnya termasuk

27 14 dalam kelompok besar protease sistein. Berdasarkan fungsi biologinya, sistein protease berperan dalam metabolisme intraseluler, aktivasi banyak prohormon dan proenzim. Kerja atau aksi dari protease sistein ini dapat dikendalikan dan dihambat oleh inhibitor alami sama baiknya dengan cara menambahkan logam atau mengatur ph lingkungan (Olonen 2004). Inhibitor katepsin dapat diperoleh secara alami dari organisme hidup. Inhibitor katepsin alami diantaranya, yaitu sistatin (putih telur), leupeptin (Actinomycetes), pepstatin (streptomyces testaceus), dan α-macroglobulin (plasma) (Carreno & Cortes 2000). Menurut penelitian Dinu et al. (2002), inhibitor pepstatin dengan konsentrasi 1 µm mampu menghambat aktivitas katepsin E sampai dengan 98,2 % dan mengambat aktivitas katepsin D sebesar 97,5 %.

28 3. METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan April 2009 sampai Bulan September 2009 di Laboratorium Karakteristik Bahan Baku Hasil Perikanan, Laboratorium Bioteknologi 2 Hasil Perikanan, Laboratorium Mikrobiologi Hasil Perikanan, Laboratorium Biokimia Hasil Perikanan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan serta Laboratorium Imunologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. 3.2 Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari bahan utama berupa ikan patin (Pangasius hypophthalmus) hidup yang berasal dari pasar Laladon, Bogor sebagai sumber inhibitor katepsin dan ikan bandeng (Chanos chanos Forskal) hidup yang berasal dari tambak Salembaran Jaya, Tangerang yang digunakan untuk pengamatan kemunduran mutu ikan. Bahan-bahan untuk analisis ph (larutan buffer standar ph 4 dan ph 7, akuades), analisis TPC (larutan garam 0,85 % steril, nutrient agar), dan analisis TVB (H 3 BO 3, K 2 CO 3, trichloroacetic acid (TCA) 7 %, HCl 0,01 N). Bahan-bahan yang digunakan untuk ekstraksi enzim katepsin adalah buffer tris HCl (ph 7,4) (Lampiran 2a), assay aktivitas enzim dan inhibitor katepsin (hemoglobin, TCA 5 %, pereaksi folin, tirosin) (Lampiran 3a), dan pengukuran konsentrasi protein enzim (bovine serum albumin (BSA), coomassie brilian blue G-250, etanol 95 % (v/v), asam fosfat 85 % (w/v), dan akuades). Bahan-bahan untuk ekstraksi inhibitor katepsin adalah akuades, asam sitrat, dan sodium fosfat (Lampiran 2b). Alat-alat yang digunakan, yaitu inkubator (Thermolyne), oven (Yamato), sentifuse suhu dingin (Sorvall), spektrofotometer UV-Vis (Yamato), mikropipet (Gilson), pipet tip, timbangan analitik (Sartorius), homogenizer (Nissei), pipet volumetrik, bulb, pipet tetes, tabung reaksi, erlenmeyer, ph meter, alumunium foil, bunsen, beaker glass, dan peralatan gelas lainnya serta peralatan uji organoleptik.

29 Tahapan Penelitian Penelitian ini dilakukan dalam tiga tahap. Meliputi penelitian tahap (1), yaitu penentuan suhu optimum ekstraksi inhibitor katepsin, tahap (2) penentuan konsentrasi inhibitor katepsin yang efektif untuk aplikasi, dan tahap (3) aplikasi inhibitor katepsin dalam menghambat kemunduran mutu ikan bandeng Penentuan suhu optimum ekstraksi inhibitor katepsin Penelitian tahap ini bertujuan untuk memperoleh suhu optimum ekstraksi katepsin dari daging ikan patin. Ekstraksi inhibitor katepsin dilakukan pada sampel ikan patin pada kondisi pre rigor. Proses ekstraksi inhibitor katepsin dilakukan dengan metode An et al. (1995). Pertama dilakukan preparasi untuk mendapatkan daging ikan. Kemudian daging ikan tersebut dicincang sampai halus dan ditimbang sebanyak 400 gram. Selanjutnya daging ikan yang telah halus ditambahkan dengan akuades sebanyak 400 ml, lalu dihomogenisasikan pada suhu 0-4 ºC. Sampel tersebut kemudian disentrifugasi pada kecepatan 5000 g selama 30 menit. Supernantan yang dihasilkan ditambahkan dengan larutan Mcllvaine s buffer (0,2 M sodium fosfat dan 0,1 M sitrat, ph 5,5) pada volume yang sama. Campuran ini dibagi dalam empat wadah dengan ukuran yang sama. Masing-masing wadah yang berisi larutan ekstrak diinkubasi pada suhu 60, 70, 80, dan 90 ºC selama 10 menit. Setelah itu ekstrak disentrifugasi kembali dengan kecepatan 7000 g selama 15 menit. Supernatan yang dihasilkan merupakan ekstrak kasar inhibitor katepsin yang siap untuk diukur aktivitas penghambatannya melalui metode analisis menurut Dinu et al. (2002) Penentuan konsentrasi inhibitor katepsin yang efektif untuk aplikasi Setelah didapatkan inhibitor dengan suhu ekstraksi yang terbaik maka selanjutnya dilakukan penentuan konsentrasi inhibitor yang efektif dengan cara pengenceran. Pengenceran dilakukan dengan cara mencampurkan larutan ekstrak inhibitor dengan Mcllvaine s buffer pada perbandingan 1:1, 1:2, dan 1:3. Masing-masing pengenceran inhibitor diukur aktivitas penghambatan dan konsentrasi proteinnya melalui metode analisis menurut Dinu et al. (2002) dan Bradford (1976).

30 Aplikasi inhibitor katepsin dalam menghambat kemunduran mutu ikan bandeng Setelah didapatkan inhibitor katepsin dari ikan patin dengan konsentrasi pengenceran yang efektif maka selanjutnya dilakukan perendaman ikan bandeng dengan inhibitor katepsin dari ikan patin selama 1 jam pada kondisi suhu chilling (0-4 ⁰C) sedangkan untuk kontrol digunakan Mcllvaine s buffer ph 5,5 sebagai media perendaman. Kemudian dilakukan pengamatan organoleptik setiap 24 jam selama penyimpanan suhu chilling (0-4 ºC) untuk menentukan pola kemunduran mutu ikan bandeng. Analisis dilakukan pada setiap fase kemunduran mutu ikan yang meliputi uji organoleptik menggunakan score sheet berdasarkan SNI (BSN 2006), uji nilai ph (Apriyantono et al. 1989), uji total plate count (TPC) (Fardiaz 1987), dan uji total volatil base (TVB) (Apriyantono et al. 1989). 3.4 Prosedur Analisis Analisis yang dilakukan sebelum tahap aplikasi, yaitu assay aktivitas katepsin, assay aktivitas inhibitor katepsin serta pengukuran konsentrasi protein enzim dan inhibitor katepsin. Pada tahap aplikasi dilakukan analisis tingkat kesegaran ikan pada setiap fase kemunduran mutu, meliputi penilaian organoleptik, penentuan nilai ph, perhitungan total bakteri dengan menggunakan metode TPC, dan perhitungan TVB Assay aktivitas katepsin (Dinu et al. 2002) Ekstraksi katepsin dilakukan pada sampel ikan bandeng pada fase post rigor. Tahap pertama dilakukan preparasi sampel untuk mendapatkan daging. Kemudian daging ikan bandeng disuspensikan dalam akuades dengan perbandingan daging ikan dan akuades sebesar 1:1, lalu dihomogenisasikan pada suhu 0-4 ºC. Selanjutnya ekstrak daging hasil homogenisasi ini disentrifugasi pada g selama 10 menit dan supernatan yang diperoleh kemudian disentrifugasi lagi pada g selama 10 menit. Pellet yang dihasilkan dari sentrifugasi ini kemudian dilarutkan dalam 0,1 M buffer tris HCl 7,4 dengan jumlah yang sama seperti jumlah akuades tadi dan disentrifugasi pada g selama 10 menit. Supernatan (ekstrak kasar enzim) yang diperoleh merupakan protein utama dari lisosom yang siap untuk diteliti aktivitasnya lebih lanjut.

31 18 Aktivitas proteolitik dari katepsin diuji dengan menggunakan hemoglobin terdenaturasi asam sebagai substratnya. Sebanyak 8 % (w/v) hemoglobin dilarutkan dalam akuades dengan perbandingan 1:3. Kemudian ph dibuat menjadi 2,0 dengan HCl 1 N dan konsentrasi akhir hemoglobin dibuat sebesar 2 % (w/v) dengan akuades. Selanjutnya 1 ml dari larutan substrat diinkubasi dengan 0,2 ml larutan enzim pada 37 ºC selama 10 menit. Reaksi dihentikan dengan penambahan 2 ml TCA 5 % (w/v). Campuran disaring dan hasil penyaringan (filtrat) ditambahkan dengan 1 ml pereaksi folin serta diukur absorban pada panjang gelombang 750 nm. Selain itu dilakukan pula pengukuran untuk larutan blanko dan larutan standar dengan prosedur yang sama seperti pada larutan sampel hanya untuk larutan blanko dan larutan standar, larutan enzim diganti dengan akuades dan tirosin (Lampiran 3b). Aktivitas enzim katepsin dapat dihitung dengan rumus berikut : UA = Absorbansi sampel absorbansi blanko x P x 1 Absorbansi standar absorbansi blanko T Keterangan: P = faktor pengenceran; T = waktu inkubasi Assay aktivitas inhibitor katepsin (Dinu et al. 2002) Pengujian ini dilakukan dengan mencampurkan 0,1 ml enzim dicampurkan dengan 0,1 ml larutan inhibitor (enzim : inhibitor = 1:1). Kemudian campuran diinkubasi pada 37 ºC selama 30 menit. Setelah itu ditambahkan 0,5 ml substrat hemoglobin terdenaturasi asam dan diinkubasi pada suhu 37 ºC selama 10 menit. Reaksi dihentikan dengan penambahan 2 ml TCA 5 % (w/v). Campuran disaring dan hasil penyaringan (filtrat) ditambah dengan 1 ml pereaksi folin, selanjutnya diukur absorbannya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 750 nm. Selain itu dilakukan pula pengukuran untuk larutan blanko dan larutan standar dengan prosedur yang sama seperti larutan sampel hanya untuk larutan blanko dan larutan standar, enzim diganti dengan akuades dan tirosin (Lampiran 3c). Inhibitor yang digunakan adalah inhibitor katepsin dari ikan patin dan pepstatin

32 19 Persentase penghambatan enzim dapat dihitung dengan rumus berikut : Keterangan: % inhibisi = [1-( Aktivitas inhibitor katepsin) x P x 1 ] x 100 % Aktivitas enzim katepsin T P = Faktor pengenceran; T = waktu inkubasi Pengukuran konsentrasi protein enzim dan inhibitor (Bradford 1976) Konsentrasi protein ditentukan dengan menggunakan metode Bradford dengan bovine serum albumin sebagai standar. Persiapan pereaksi Bradford dilakukan dengan cara melarutkan 25 mg coomasie brilliant blue G-250 dalam 12,5 ml etanol 95 % (v/v), lalu ditambahkan dengan 25 ml asam fosfat 85 % (w/v). Jika telah larut dengan sempurna maka ditambahkan akuades hingga 0,5 liter. Campuran disaring dengan kertas saring Whatman no.1 dan diencerkan lima kali sesaat sebelum digunakan. Sampel yang diuji untuk penelitian ini adalah enzim dan inhibitor. Konsentrasi protein ditentukan dengan cara 0,1 ml enzim atau inhibitor dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Kemudian ditambahkan sebanyak 5 ml pereaksi Bradford, diinkubasi selama lima menit dan diukur absorbannya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 595 nm. Demikian pula untuk larutan standar dilakukan pengujian yang sama seperti larutan sampel hanya sampel diganti dengan bovine serum albumin (BSA). Selain itu dibuat juga blanko dengan cara yang sama seperti larutan sampel dan standar hanya sampel atau BSA diganti dengan akuades. Hasil absorban dari sampel dan standar dikurangi dengan nilai absorban blanko. Nilai ini kemudian dimasukkan ke dalam kurva standar untuk menentukan konsentrasi protein yang terkandung dalam sampel enzim dan inhibitor. Larutan standar dibuat dengan cara melarutkan 100 mg protein BSA ke dalam 50 ml akuades, sebagai larutan stok dengan konsentrasi 2 mg/ml. Kemudian larutan stok BSA diencerkan menjadi beberapa larutan dengan konsentrasi yang lebih rendah yaitu 0,1-1,0 mg/ml. Komposisi volume larutan dalam pembuatan larutan standar konsentrasi 0,1-1,0 mg/ml dari larutan stok BSA konsentrasi 2 mg/ml disajikan pada Tabel 5.

33 20 Tabel 5 Pembuatan larutan standar BSA konsentrasi 0,1 1,0 mg/ml Konsentrasi BSA (mg/ml) Volume BSA (ml) 0,1 0,05 0,95 0,2 0,10 0,90 0,3 0,15 0,85 0,4 0,20 0,80 0,5 0,25 0,75 0,6 0,30 0,70 0,7 0,35 0,65 0,8 0,40 0,60 0,9 0,45 0,55 1,0 0,50 0,50 Volume akuades (ml) Uji organoleptik (BSN 2006) Metode yang digunakan untuk uji organoleptik adalah dengan menggunakan score sheet berdasarkan SNI (BSN 2006). Pengujian organoleptik merupakan cara pengujian yang bersifat subjektif menggunakan panca indera yang ditujukan pada mata, insang, lendir permukaan badan, daging, bau, dan tekstur (Lampiran 1). Pada uji organoleptik ini ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh seorang panelis (SNI ), antara lain tertarik dan mau berpartisipasi dalam uji organoleptik, terampil, dan konsisten dalam mengambil keputusan, siap sedia pada saat dibutuhkan dalam pengujian, tidak menolak contoh yang akan diuji, berbadan sehat, bebas dari penyakit THT dan tidak buta warna (psikologis), tidak merokok, serta jumlah panelis minimum untuk satu kali pengujian adalah 15 orang (panelis semi terlatih). Berdasarkan data yang diperoleh, kemudian dilakukan analisis kesegaran ikan dengan kriteria sebagai berikut (SNI ): Segar : nilai organoleptik berkisar antara 7-9 Agak segar : nilai organoleptik berkisar antara 5-6 Tidak segar : nilai organoleptik berkisar antara Uji nilai ph (Apriyantono et al. 1989) Nilai derajat keasaman (ph) ditentukan menggunakan alat ph meter yang sebelumnya telah dikalibrasi terlebih dahulu. Alat ph meter dinyalakan dan dibiarkan stabil selama menit, kemudian elektroda dibilas dengan larutan buffer atau akuades. Bila menggunakan akuades, elektroda dikeringkan dengan

34 21 kertas tisu. Elektroda dicelupkan ke dalam larutan buffer dan didiamkan beberapa saat hingga diperoleh pembacaan yang stabil. Angka ph meter disesuaikan dengan ph buffer, yaitu buffer ph 4 dan buffer ph 7. Daging ikan bandeng sebanyak 10 gram dihomogenkan dengan 90 ml akuades, lalu dibiarkan ± 15 menit untuk diukur ph-nya Uji total plate count (TPC) (Fardiaz 1987) Prinsip kerja analisis TPC adalah perhitungan jumlah bakteri yang ada di dalam sampel (daging ikan) dengan pengenceran sesuai keperluan dan dilakukan secara duplo. Pembuatan larutan contoh dilakukan dengan mencampurkan 10 gram daging ikan bandeng yang telah dihancurkan lalu dimasukkan ke dalam erlenmeyer yang berisi 90 ml larutan garam fisiologis 0,85 % steril, kemudian dikocok sampai larutan homogen. Campuran larutan contoh tersebut diambil 1 ml dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi berisi 9 ml larutan garam 0,85 % (w/v) steril sehingga diperoleh contoh dengan pengenceran 10-2, setelah itu dikocok agar homogen. Banyaknya pengenceran dilakukan sesuai dengan keperluan penelitian, biasanya sampai pengenceran Pemipetan dilakukan dari masing-masing tabung pengenceran sebanyak 1 ml larutan contoh dan dipindahkan ke dalam cawan petri steril secara duplo menggunakan pipet steril. Media agar dimasukkan ke dalam cawan petri sebanyak 10 ml dan digoyangkan sampai permukaan agar merata (metode tuang), kemudian didiamkan beberapa saat hingga dingin dan mengeras. Cawan petri yang telah berisi agar dan larutan contoh dimasukkan ke dalam inkubator pada suhu 30 ºC selama 48 jam dengan posisi cawan petri yang dibalik. Selanjutnya dilakukan pengamatan dengan menghitung jumlah koloni yang ada di dalam cawan petri tersebut. Jumlah koloni bakteri yang dihitung adalah cawan petri yang mempunyai koloni bakteri koloni Uji total volatile base (TVB) (Apriyantono et al. 1989) Penentuan TVB bertujuan untuk menentukan komponen volatil yang terbentuk akibat proses pembusukan daging ikan. Preparasi sampel dilakukan dengan cara menimbang 15 gram sampel yang diambil dari daging ikan, kemudian ditambahkan 45 ml TCA 7 % (w/v) dan dihomogenkan selama 1 menit. Hasil homogenisasi kemudian disaring sehingga diperoleh filtrat yang berwarna jernih. Setelah penyiapan sampel maka dilakukan uji TVB dengan cara

35 22 memasukkan 1 ml H 3 BO 3 ke dalam inner chamber cawan conway dan tutup cawan diletakkan dengan posisi hampir menutupi cawan. Pipet 1 ml yang lain digunakan untuk memasukkan filtrat ke dalam outer chamber di sebelah kiri. Kemudian 1 ml larutan K 2 CO 3 jenuh ditambahkan ke dalam outer chamber sebelah kanan sehingga filtrat dan K 2 CO 3 tidak tercampur. Cawan segera ditutup dengan sebelumnya pinggir cawan diolesi vaselin agar proses penutupan sempurna, lalu digerakkan memutar sehingga kedua cairan di outer chamber tercampur. Disamping itu dikerjakan blanko dengan prosedur yang sama tetapi filtrat diganti dengan TCA 7 % (w/v). Kemudian kedua cawan Conway tersebut diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37 ºC. Setelah diinkubasi, larutan asam borat dalam inner chamber cawan conway yang berisi blanko dititrasi dengan larutan HCl 0,01 N dan cawan digoyang-goyangkan sampai larutan asam borat berubah warna menjadi merah muda. Selanjutnya cawan Conway yang berisi sampel juga dititrasi dengan larutan yang sama dengan blanko. Kadar TVB dapat dihitung dengan menggunakan rumus: % N (mg N/100 g) = (j i) x n HCl x 100 x fp x 14 mg N/100 g g contoh 1 Keterangan : j : ml titrasi sampel fp : faktor pengenceran i : ml titrasi blanko n : normalitas HCl (0,01 N) 3.5 Analisis Data Hasil yang diperoleh dari pengamatan serta pengukuran terhadap nilai organoleptik, ph, TPC, TVB, aktivitas enzim katepsin, konsentrasi protein enzim, dan inhibitor katepsin dicari nilai rata-ratanya. Nilai rata-rata tersebut dihitung menggunakan rumus berikut (Walpole 1975): X n i = 1 = n Xi X = Nilai rata-rata n = Jumlah data Xi = Nilai X ke-i Rancangan percobaan yang digunakan untuk tahap penelitian penentuan suhu optimum ekstraksi dan konsentrasi inhibitor yang efektif adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan satu perlakuan dan dua kali ulangan. Perlakuan

36 23 yang diberikan ada dua macam, yaitu pertama perlakuan perbedaan suhu untuk penentuan suhu optimum ekstraksi inhibitor katepsin dan kedua, yaitu perlakuan pengenceran inhibitor untuk pengujian aktivitas dan konsentrasi protein inhibitor. Hipotesis yang digunakan adalah: H0 : pengaruh perlakuan tidak berbeda nyata H1 : minimal ada 1 perlakuan yang memberikan pengaruh berbeda nyata Persamaan umum model untuk rancangan tersebut sebagai berikut (Mattjik & Made 2002): Y ij = µ + τ i + ε ij Keterangan: Y ij = Nilai pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j µ = Rata-rata umum τ i ε ij = Pengaruh perlakuan ke-i = Pengaruh acak pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j Analisis data yang digunakan untuk tahap penelitian aplikasi inhibitor katepsin dari ikan patin pada ikan bandeng adalah menggunakan analisis deskriptif dengan membandingkan antara ikan bandeng dengan perendaman inhibitor dan ikan bandeng tanpa perendaman dengan inhibitor (kontrol).

37 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penentuan Suhu Optimum Ekstraksi Inhibitor Katepsin Penentuan suhu optimum ekstraksi inhibitor katepsin bertujuan untuk mengetahui suhu optimum untuk pemisahan antara kompleks inhibitor dengan enzim katepsin dari ikan patin. Pada penelitian ini ekstraksi inhibitor katepsin berasal dari daging ikan patin dalam kondisi pre rigor atau sangat segar. Pada kondisi pre rigor atau tepatnya setelah ikan baru memasuki fase post mortem diduga inhibitor katepsin belum mengalami kerusakan dibandingkan ketika ikan sudah memasuki fase rigor mortis dan post rigor. Proses ekstraksi inhibitor katepsin dilakukan menurut metode An et al. (1995), inhibitor didapatkan dengan cara mengekstrak inhibitor katepsin secara langsung dari daging ikan patin. Untuk 400 gram daging ikan patin didapatkan larutan inhibitor sebanyak ± 800 ml. Hasil pengujian aktivitas inhibitor katepsin dari ikan patin pada berbagai suhu ekstraksi dapat dilihat pada Gambar 3. Gambar 3 Hasil pengujian aktivitas inhibitor katepsin dari ikan patin pada berbagai suhu ekstraksi Berdasarkan Gambar 3 diketahui bahwa aktivitas inhibitor katepsin tertinggi didapatkan pada suhu ekstraksi 80 ºC dengan nilai inhibisi sebesar 92,88 %. Suhu 80 ºC diduga merupakan suhu optimum untuk pemisahan antara

38 25 kompleks inhibitor dengan enzim katepsin. Penggunaan suhu ekstraksi yang sama juga dilakukan oleh Ustadi et al. (2005) pada pemurnian telur ikan glassfish. Pada suhu ekstraksi 60 dan 70 ºC dihasilkan nilai inhibisi yang lebih rendah dari suhu ekstraksi 80 ºC karena kompleks inhibitor dan enzim belum terlepas secara maksimal. Nilai aktivitas inhibisi pada perlakuan suhu ekstraksi 60 dan 70 ºC berturut-turut, yaitu sebesar 68,46 % dan 85,78 %. Pada suhu ekstraksi ini juga diduga masih terdapat inhibitor lain selain dari golongan inhibitor sistein protease. Menurut Olonen (2004), enzim proteolitik dapat dibagi menjadi empat kelas berdasarkan daya katalitiknya, yaitu serin, sistein, aspartat, dan logam. Penggolongan enzim ini berdasarkan komponen pada sisi aktifnya. Katepsin lisosomal umumnya termasuk dalam kelompok besar protease sistein. Aktivitas protease sistein dapat dihambat dengan inhibitor dari golongan inhibitor protease sistein. Pengolongan enzim sangat penting untuk mengetahui inhibitor yang spesifik. Selain itu pada suhu ekstraksi 60 dan 70 ºC diduga masih terdapat aktivitas katepsin pada larutan inhibitor. Menurut Jiang (2000), jenis katepsin B, H, dan L mampu aktif pada suhu ºC (modori) yang dapat mengakibatkan kerusakan pada pembentukan gel surimi. Adanya aktivitas katepsin pada larutan inhibitor dapat mengakibatkan katepsin di dalamnya ikut bereaksi dengan substrat pada saat pengujian aktivitas. Inhibitor katepsin tetap menunjukkan aktivitas inhibisi yang tinggi pada suhu ekstraksi 90 ºC, yaitu sebesar 81,73 %. Aktivitas inhibisi pada suhu ekstraksi ini mengalami penurunan jika dibandingkan dengan suhu ekstraksi 80 ºC yang mencapai 92,88 %. Beberapa jenis inhibitor memiliki stabilitas yang tinggi terhadap suhu yang tinggi. Menurut Rondanelli (2002), asam-asam amino yang bersifat hidrofobik, interaksi elektrostatik, dan jembatan sulfida yang terdapat pada struktur inhibitor protease menentukan stabilitas inhibitor tersebut terhadap perubahan kondisi lingkungan. Umumnya sistein protease inhibitor (sistatin) dapat stabil pada suhu tinggi (lebih dari 100 ºC) dan ph ekstrim (ph 2-12) (Otto & Schirmeister 1997). Inhibitor yang digunakan pada penelitian ini merupakan ekstrak kasar yang masih mengandung berbagai jenis inhibitor dan masing-masing inhibitor memiliki stabilitas yang berbeda-beda. Berbagai macam

39 26 jenis inhibitor ini diduga dapat bereaksi dan menghambat kerja katepsin pada saat pengujian. Berdasarkan hasil uji ragam (ANOVA) dapat disimpulkan bahwa perlakuan perbedaan suhu ekstraksi memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap aktivitas inhibisi inhibitor katepsin pada selang kepercayaan 95 % (Lampiran 3a). Hasil uji lanjut menunjukkan bahwa perlakuan suhu ekstraksi 60 ºC memberi pengaruh yang berbeda nyata dengan perlakuan suhu ekstraksi 70 ºC, 80 ºC, dan 90 ºC. 4.2 Penentuan Konsentrasi Inhibitor Katepsin yang Efektif untuk Aplikasi Penentuan konsentrasi inhibitor katepsin dari ikan patin pada berbagai pengenceran dilakukan dengan cara mencampurkan larutan inhibitor katepsin (suhu ekstraksi 80 ºC) dengan larutan Mcllvaine buffer (0,2 M sodium fosfat dan 0,1 M sitrat ph 5,5) pada beberapa perbandingan. Perbandingan larutan inhibitor dengan buffer yang digunakan pada penelitian ini, yaitu 1:0, 1:1, 1:2, dan 1:3. Masing-masing pengenceran diuji aktivitas penghambatannya terhadap enzim katepsin. Adapun aktivitas inhibitor katepsin dari ikan patin yang diperoleh untuk masing-masing pengenceran disajikan pada Gambar 4. Gambar 4 Hasil pengujian aktivitas inhibitor katepsin dari ikan patin pada berbagai pengenceran Berdasarkan hasil pengujian pada Gambar 4 diperoleh nilai inhibisi dari inhibitor dengan pengenceran 1:0 (tanpa pengenceran) sebesar 90,20 %, inhibitor

40 27 dengan pengenceran 1:1 sebesar 85,29 %, inhibitor dengan pengenceran 1:2 sebesar 70,59 %, dan inhibitor dengan aktivitas terendah didapatkan dari aktivitas inhibitor pengenceran 1:3 sebesar 55,88 %. Menurut hasil pengujian tersebut dapat disimpulkan bahwa proses pengenceran mengakibatkan menurunnya aktivitas inhibisi dari inhibitor yang dihasilkan. Penurunan aktivitas inhibisi ini berkaitan dengan konsentrasi inhibitor yang terkandung di dalam larutan inhibitor. Berdasarkan hasil uji ragam (ANOVA) dapat disimpulkan bahwa perlakuan pengenceran memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap aktivitas inhibisi inhibitor katepsin pada selang kepercayaan 95 % (Lampiran 3b). Hasil uji lanjut menunjukkan bahwa perlakuan pengenceran 1:1 memberikan hasil yang tidak berbeda nyata terhadap perlakuan pengenceran 1:0 tetapi memberikan pengaruh yang berbeda nyata untuk perlakuan yang lain. Oleh karena itu inhibitor katepsin dengan pengenceran 1:1 dipilih sebagai konsentrasi inhibitor yang paling efektif. Sebagai perbandingan pepstatin 1 µm hasil pengujian didapatkan nilai inhibisi sebesar 86,95 %. Pepstatin merupakan salah satu jenis inhibitor yang mampu menghambat aktivitas katepsin (Carreno & Cortes 2000). Pada penelitian ini juga dilakukan pengukuran konsentrasi protein inhibitor katepsin dari ikan patin (Lampiran 4). Konsentrasi protein inhibitor katepsin dari ikan patin pada berbagai pengenceran dapat dilihat pada Gambar 5. Gambar 5 Konsentrasi protein inhibitor katepsin dari ikan patin pada berbagai pengenceran

41 28 Berdasarkan Gambar 5 diketahui bahwa konsentrasi protein inhibitor katepsin semakin menurun dengan meningkatnya pengenceran. Penambahan larutan buffer sebagai media pengencer mengakibatkan konsentrasi protein yang terkandung pada inhibitor berkurang. Konsentrasi protein inhibitor dengan pengenceran 1:0 (tanpa pengenceran) sebesar 1,23 mg/ml, inhibitor dengan pengenceran 1:1 sebesar 0,76 mg/ml, inhibitor dengan pengenceran 1:2 sebesar 0,28 mg/ml, dan inhibitor dengan pengenceran 1:3 sebesar 0,12 mg/ml. Menurut hasil uji ragam (ANOVA) dapat disimpulkan bahwa perlakuan pengenceran memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap konsentrasi protein inhibitor katepsin pada selang kepercayaan 95 % (Lampiran 3c). Inhibitor katepsin pada penelitian ini berasal dari ekstrak daging ikan patin yang mengandung protein. Menurut BPMHP (1998) diacu dalam Erdiansyah (2006), kadar protein daging ikan patin adalah sebesar 16,10 %. Inhibitor protease dapat diisolasi dari berbagai organisme seperti bakteri, hewan, dan tanaman. Diketahui bahwa inhibitor alami yang mengatur protease di dalam tubuh organisme ini adalah protein dan hanya beberapa mikroorganisme menghasilkan sedikit komponen inhibitor non-protein untuk menghalangi aktivitas protease dari inang yang diserang. Protease inhibitor terakumulasi dalam jumlah yang tinggi dalam biji tanaman, telur burung, jaringan hewan, dan berbagai cairan tubuh (Rondanelli 2002). Hasil ini juga menjelaskan bahwa inhibitor katepsin yang didapatkan diduga merupakan suatu protein. 4.3 Penentuan Fase Post Mortem Ikan Bandeng Penentuan fase post mortem ikan bandeng dilakukan untuk mengetahui dan menilai derajat kesegaran ikan bandeng serta waktu dan lama terjadinya beberapa tahapan kemunduran mutu pada ikan bandeng melalui metode penilaian sensori, yaitu secara organoleptik. Penentuan kesegaran ikan dengan cara ini menekankan pada pengamatan faktor-faktor mutu organoleptik yang dimiliki ikan seperti bau, rupa, cita rasa (flavor), dan tekstur atau konsistensi daging ikan tersebut secara visual (Lampiran 1). Sebelum dilakukan penentuan tahap post mortem, dilakukan penanganan ikan bandeng yang diperoleh dari Tambak Salembaran Jaya, Tangerang. Ikan bandeng dibawa dalam kondisi hidup dengan menggunakan kantong plastik

42 29 polybag yang berisi air dari tambak dimana ikan dipelihara dan diberi tambahan oksigen. Ikan bandeng kemudian langsung dimatikan dengan cara menusuk medula oblongatanya. Ikan bandeng yang baru mati langsung direndam secara bersamaan ke dalam larutan inhibitor dengan pengenceran 1:1 selama 1 jam dalam kondisi suhu chilling (<5 ºC). Kondisi suhu chilling dilakukan untuk menjaga kesegaran ikan selama proses perendaman berlangsung dan suhu ini juga dapat menjaga stabilitas inhibitor. Proses yang sama juga dilakukan untuk ikan kontrol, tetapi media perendaman yang digunakan adalah Mcllvaine buffer (0,2 M sodium fosfat dan 0,1 M sitrat, ph 5,5). Kedua proses ini dilakukan secara bersamaan dan ikan yang sudah melalui proses perendaman 1 jam lalu disimpan dalam media tupperware selama masa penyimpanan suhu chilling (0-4 ºC). Pengamatan terhadap kondisi post mortem ikan bandeng selama penyimpanan suhu chilling menghasilkan empat titik untuk dilakukan analisis pola kemunduran mutu ikan. Pada ikan bandeng dengan perendaman inhibitor dan ikan bandeng tanpa perendaman dengan inhibitor (kontrol), kondisi pre rigor (sesaat setelah ikan dimatikan) terjadi pada penyimpanan selama 0 jam (0 hari). Fase rigor mortis pada ikan bandeng dengan perendaman inhibitor dan kontrol dicapai setelah penyimpanan selama 96 jam (4 hari). Fase post rigor untuk ikan bandeng dengan perendaman inhibitor terjadi setelah penyimpanan selama 365 jam (15 hari) dan ikan bandeng kontrol terjadi setelah penyimpanan selama 360 jam (15 hari). Fase busuk untuk ikan bandeng dengan perendaman inhibitor terjadi setelah penyimpanan selama 576 jam (24 hari) dan ikan bandeng kontrol terjadi setelah penyimpanan selama 504 jam (21 hari). Fase pre rigor merupakan kondisi pada saat ikan baru mati dan tubuh ikan memiliki tekstur yang elastis (FAO 1995). Ikan badeng dengan perendaman inhibitor dan kontrol sama-sama mengalami fase pre rigor selama 96 jam (4 hari). Inhibitor pada fase ini belum bekerja dengan baik karena proses yang paling berperan pada fase ini adalah pembentukan ATP dari ADP dan kreatin fosfat (CP). Pada kondisi pre rigor terjadi penurunan CP secara cepat. Konsentrasi ATP coba dipertahankan untuk beberapa saat dengan proses resintesis dari ADP dan CP. Namun ketika konsentrasi CP sama dengan ATP maka terjadi proses

43 30 penurunan ATP dan rigor mortis pun dimulai (Iwamoto et al. (1988) diacu dalam Wang et al. 1998). Fase rigor mortis adalah keadaan pada saat otot ikan mengalami kontraksi yang mengakibatkan tubuh ikan manjadi keras dan kaku (Lawrie 1995). Pada ikan bandeng dengan perendaman inhibitor mengalami fase rigor mortis selama 269 jam (11 hari) dan ikan bandeng kontrol mengalami fase rigor mortis selama 264 jam (11 hari). Ikan bandeng dengan perendaman inhibitor mengalami fase rigor mortis lebih lama 5 jam dibanding dengan ikan bandeng kontrol. Pada fase ini diduga kerja inhibitor belum bekerja dengan baik. Lama atau tidaknya fase rigor mortis ditentukan oleh kandungan glikogen ikan pada saat ikan itu mati (Govidan 1985). Fase post rigor terjadi setelah ikan melewati fase rigor mortis, fase ini ditandai dengan melemasnya daging ikan kembali. Lembeknya daging ikan disebabkan aktivitas enzim yang semakin meningkat sehingga terjadi pemecahan daging ikan yang selanjutnya menghasilkan substansi yang baik bagi pertumbuhan bakteri (Dwiari et al. 2008). Ikan bandeng dengan perendaman inhibitor mengalami fase post rigor selama 211 jam (9 hari) dan ikan bandeng kontrol mengalami fase post rigor selama 144 jam (6 hari). Perendaman dengan inhibitor katepsin dapat memperpanjang fase post rigor ikan bandeng sebanyak 72 jam atau 3 hari lebih lama dibanding ikan bandeng kontrol. Inhibitor katepsin lebih berperan dalam menghambat kemunduran mutu pada saat ikan sudah memasuki fase post rigor. Menurut hasil penelitian Rustamadji (2009) menunjukkan bahwa aktivitas tertinggi enzim katepsin pada ikan bandeng terjadi pada saat ikan memasuki fase post rigor. Berdasarkan hal ini dapat diketahui bahwa inhibitor katepsin lebih terlihat perannya selama ikan memasuki fase post rigor atau pada saat aktivitas katepsin memiliki aktivitas tertinggi sehingga perannya tidak begitu terlihat pada fase pre rigor dan rigor mortis. Enzim lisosomal (katepsin) mempunyai peran dalam setiap aktivitas proteolitik dan pelunakan daging ikan selama fase post mortem. Hal ini dikarenakan enzim ini mendegradasi protein (substrat) yang sama selama fase post mortem daging ikan. Banyak enzim lisosomal juga menunjukkan aktivitas

44 31 yang sama pada saat nilai ph mendekati ph pada saat fase post rigor (Rondanelli 2002). Inhibitor katepsin dari ikan patin tidak bekerja sebaik dengan inhibitor katepsin dari ikan bandeng pada saat diaplikasikan untuk menghambat kemunduran mutu ikan bandeng. Menurut penelitian Zaenuri (2010) menunjukkan bahwa inhibitor katepsin dari ikan bandeng (aktivitas inhibisi 80,50 %) mampu menghambat kemunduran mutu ikan bandeng pada penyimpanan suhu chilling (0-4 ºC) sampai dengan 624 jam (26 hari) atau lebih lama 48 jam (2 hari) dibandingkan dengan ikan bandeng yang direndam dengan inhibitor katepsin dari ikan patin (aktivitas inhibisi 85,29 %). Hal ini diduga karena inhibitor katepsin dari ikan patin mengandung pigmen daging (mioglobin) dan hemoglobin yang lebih banyak dibandingkan inhibitor dari ikan bandeng. Larutan inhibitor katepsin dari ikan patin tampak berwarna lebih merah dibandingkan dengan inhibitor dari ikan bandeng (Lampiran 6). Warna pada daging secara nyata dipengaruhi oleh kandungan mioglobin. Mioglobin merupakan bagian dari protein sarkoplasma dan bersifat larut dalam air (Lawrie 1995). Proses pengeluaran darah yang tidak optimal juga mengakibatkan hemoglobin ikut terekstrak pada saat proses ekstraksi inhibitor. Proses kemunduran mutu ikan diantaranya disebabkan karena adanya aktivitas enzimatis, mikrobiologis, dan oksidasi. Adanya mioglobin dan hemoglobin pada larutan inhibitor ini diduga dapat mempercepat proses kemunduran mutu ikan melalui proses oksidasi. 4.4 Pola Kemunduran Mutu Ikan Bandeng Penentuan pola kemunduran mutu ikan bandeng bertujuan untuk mengetahui pola dan perbedaan pola kemunduran mutu antara ikan bandeng dengan perendaman inhibitor dan ikan kontrol (tanpa perendaman dengan inhibitor). Pengamatan terhadap sampel ikan dilakukan berdasarkan waktu yang diperoleh dari hasil penentuan fase post mortem secara subjektif dan objektif. Secara subjektif, yaitu dengan cara organoleptik dan secara objektif, yaitu dengan dilakukan uji ph, TPC, dan TVB. Sampel untuk uji objektif diambil dari bagian daging ikan bandeng. Pengujian secara objektif pada sampel dengan perendaman inhibitor dan kontrol dilakukan pada 4 titik, yaitu fase pre rigor, rigor mortis, post rigor, dan busuk.

45 Nilai organoleptik Penilaian mutu secara organoleptik merupakan cara pengujian mutu yang dilakukan hanya menggunakan panca indera. Cara ini sangat sederhana dan cepat dikerjakan, tetapi tingkat ketelitiannya sangat tergantung dari kepekaan penguji (Dwiari et al. 2008). Rata-rata nilai organoleptik ikan bandeng utuh untuk ikan dengan perendaman inhibitor dan tanpa perendaman dengan inhibitor (kontrol) disajikan pada Gambar 6. Gambar 6 Perbandingan nilai rata-rata organoleptik ikan bandeng dengan perendaman inhibitor ( ) dan tanpa perendaman dengan inhibitor (kontrol) ( ) pada penyimpanan suhu chilling Berdasarkan Gambar 6 diketahui bahwa nilai organoleptik ikan bandeng dengan perendaman inhibitor dan kontrol menunjukkan nilai organoleptik yang semakin menurun dengan semakin lamanya waktu penyimpanan. Pada umumnya semakin tinggi nilai organoleptik menunjukkan semakin segar keadaan ikannya. Nilai organoleptik untuk kedua ikan adalah sama karena uji organoleptik samasama dilakukan pada setiap fase kemunduran mutu, yaitu fase pre rigor, rigor, post rigor, dan busuk. Nilai organoleptik untuk ikan bandeng dengan perendaman inhibitor dan kontrol pada kondisi pre rigor adalah 9. Pada kondisi ini ikan belum banyak mengalami perubahan biokimia, fisika, dan mikrobiologis. Ciri-ciri ikan yang didapatkan, yaitu mempunyai ciri-ciri mata yang cerah, bola mata menonjol, kornea jernih, insang merah cemerlang, tanpa lendir atau lapisan lendir jernih,

46 33 transparan, memiliki dinding perut yang utuh. Bau ikan sangat segar, teksturnya padat, dan elastis bila ditekan dengan jari. Pada fase rigor mortis ikan bandeng dengan perendaman inhibitor dan kontrol memiliki nilai organoleptik 7 dengan ciri-ciri mata agak cerah, bola mata rata, insang berwarna merah agak kusam tanpa lendir, lapisan lendir mulai agak keruh, dinding perut daging utuh, bau netral, tekstur agak padat bila ditekan dengan jari serta sulit menyobek daging dari tulang belakang. Fase post rigor ikan bandeng dengan perendaman inhibitor dan kontrol memiliki nilai organoleptik 6. Nilai organoleptik ini merupakan ambang batas antara kondisi ikan baik dan jelek. Pada fase ini ikan telah mengalami banyak kerusakan baik itu oleh aktivitas enzim dan oleh aktivitas mikrobiologis. Adapun ciri-cirinya adalah bola mata agak cekung, pupil berubah keabu-abuan, dan kornea agak keruh. Lapisan lendir mulai keruh, berwarna putih agak kusam, dan kurang transparan. Sayatan daging mulai pudar, banyak pemerahan sepanjang tulang belakang serta dinding perut ikan menjadi lunak. Fase busuk ikan bandeng dengan perendaman inhibitor dan kontrol memiliki nilai organoleptik 3. Nilai organoleptik ini sudah tidak dapat diterima oleh konsumen lagi karena sudah dibawah nilai ambang batas untuk dikonsumsi. Ikan ini memiliki ciri-ciri bola mata sangat cekung dan kornea agak kuning. Insang berwarna merah coklat dengan lendir yang tebal, berbau amoniak, asam, dan busuk. Tekstur ikan menjadi lunak dan meninggalkan bekas jari bila ditekan Nilai ph Penentuan nilai ph merupakan salah satu indikator pengukuran tingkat kesegaran mutu ikan. Nilai ph daging ikan ketika masih hidup umumnya mempunyai ph netral dan setelah mati ph dapat turun menjadi sekitar 5,3-5,5 (Eskin 1990). Hasil pengukuran nilai ph daging ikan bandeng dengan perendaman inhibitor dan tanpa perendaman dengan inhibitor (kontrol) disajikan pada Gambar 7.

47 34 Gambar 7 Perbandingan nilai rata-rata ph ikan bandeng dengan perendaman inhibitor ( ) dan tanpa perendaman dengan inhibitor (kontrol) ( ) pada penyimpanan suhu chilling Berdasarkan Gambar 7 diketahui bahwa ph daging ikan bandeng dengan perendaman inhibitor dan ikan bandeng kontrol mengalami penurunan pada fase rigor mortis dan mengalami kenaikan pada fase post rigor serta busuk. Pada fase pre rigor ikan bandeng dengan perendaman inhibitor dan ikan bandeng kontrol masing-masing memiliki ph 6,3 dan 6,2. Nilai ph daging ikan yang rendah ini dipengaruhi oleh larutan ph buffer yang digunakan untuk perendaman, yaitu larutan buffer ph 5,5. Larutan buffer ini memiliki nilai ph yang rendah sehingga ikut menyebabkan ph ikan alami yang pada umumnya mendekati netral menjadi lebih asam dibandingkan pada keadaan normalnya. Nilai ph akan semakin menurun seiring semakin banyaknya asam laktat yang terbentuk dan penurunan ATP. Pada Akhirnya ph akan semakin asam, yaitu pada fase rigor mortis. Nilai ph dari daging ikan bandeng dengan perendaman inhibitor pada fase rigor mortis sebesar 6,1 dan ikan bandeng kontrol sebesar 6,0. Katabolime ATP dan glikogen mengakibatkan ph daging ikan turun. Nilai ph daging ikan bergantung dari jumlah substrat (glikogen) yang terkandung di dalam daging ikan sebelum ikan itu mati dan kapasitas buffer dari daging ikan tersebut (Jiang 2000). Nilai ph ini terus mengalami kenaikan pada fase post rigor dan busuk karena terjadinya akumulasi basa-basa volatil. Nilai ph daging ikan bandeng pada

48 35 fase post rigor dengan perendaman inhibitor sebesar 6,6 dan ikan bandeng kontrol sebesar 6,82. Pada fase busuk nilai ph daging ikan bandeng dengan perendaman inhibitor mencapai 7,2 dan ikan kontrol mencapai 7,4. Peningkatan nilai ph tergantung pada lama penyimpanan ikan. Selain itu juga dipengaruhi oleh komposisi garam, kondisi fisiologis, kandungan protein, dan aktivitas enzim (Taskaya et al. 2003) Nilai TPC Bakteri ditemukan pada seluruh permukaan luar (kulit dan insang) dan pada saluran pencernaan ketika ikan masih hidup. Namun pada saat ikan mati secara perlahan-lahan bakteri masuk ke dalam daging ikan dan dapat mengakibatkan kerusakan yang parah pada jaringan daging (FAO 1995). Semakin busuk seekor ikan maka akan semakin besar pula jumlah bakterinya. Hasil penghitungan nilai TPC daging ikan bandeng dengan perendaman inhibitor dan tanpa perendaman dengan inhibitor (kontrol) disajikan pada Gambar 8. Gambar 8 Perbandingan nilai rata-rata TPC ikan bandeng dengan perendaman inhibitor ( ) dan tanpa perendaman dengan inhibitor (kontrol) ( ) pada penyimpanan suhu chilling Berdasarkan Gambar 8 diketahui bahwa nilai TPC daging ikan bandeng dengan perendaman inhibitor dan ikan bandeng kontrol secara umum meningkat seiring dengan bertambahnya waktu penyimpanan. Nilai TPC pada tiap fase terus meningkat mulai dari fase pre rigor sampai akhirnya memasuki fase busuk. Nilai

49 36 TPC pada fase pre rigor untuk ikan bandeng dengan perendaman inhibitor adalah 3,54 log koloni/g dan untuk ikan bandeng kontrol sebesar 3,54 log koloni/g Nilai TPC pada fase ini terus meningkat ketika ikan memasuki fase rigor mortis, yaitu 4,83 log koloni/g untuk ikan bandeng dengan perendaman inhibitor dan ikan bandeng kontrol sebesar 4,82 log koloni/g. Pada fase post rigor, nilai TPC ikan bandeng dengan perendaman dengan inhibitor meningkat menjadi 6,72 log koloni/g dan ikan bandeng kontrol sebesar 6,72 log koloni/g. Fase post rigor merupakan awal terjadinya peristiwa autolisis. Aktivitas autolisis yang dilakukan oleh enzim proteolitik akan mengakibatkan protein daging ikan terurai menjadi komponen-komponen sederhana yang merupakan media ideal untuk pertumbuhan bakteri pembusuk (Govidan 1985). Nilai TPC mencapai nilai tertinggi pada saat ikan memasuki fase busuk, yaitu sebesar 7,49 log koloni/g untuk ikan bandeng dengan perendaman dengan inhibitor dan ikan bandeng kontrol sebesar 7,52 log koloni/g. Nilai TPC daging ikan bandeng fase post rigor dan busuk sudah berada di atas batas maksimum jumlah mikroba yang ditetapkan dalam SNI , yaitu dengan nilai maksimum 5x10 5 koloni/g atau nilai TPC sebesar 5,70 log koloni/g. Ikan bandeng pada kedua fase ini memiliki nilai TPC antara 6,71-7,52 log koloni/g. Pada ikan yang disimpan pada suhu chilling membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mencapai jumlah bakteri yang sama dengan ikan yang disimpan pada suhu ruang pada setiap tahap kemunduran mutu. Pada kondisi ini suhu mempunyai pengaruh yang besar terhadap jenis dan kecepatan pertumbuhan bakteri pembusuk. Pengaruh suhu pada pertumbuhan bakteri akan tampak jelas pada siklus pertumbuhannya, terutama perpanjangan atau perpendekan masa adaptasi yang tergantung pada tinggi rendahnya suhu. Suhu yang tinggi akan menyebabkan fase adaptasi menjadi lebih pendek. Sebaliknya suhu rendah akan menyebabkan fase adaptasi menjadi lebih panjang. Bagian-bagian tubuh ikan yang sering menjadi target serangan bakteri adalah seluruh permukaan tubuh, isi perut, dan insang (Dwiari et al. 2008). Pada penelitian ini digunakan suhu chilling (0-4 о C) untuk penyimpanan ikan bandeng. Bakteri mempunyai suhu pertumbuhan yang berbeda-beda. Pada

50 37 suhu ini, bakteri yang dapat tumbuh dengan optimum adalah bakteri psychrophylic sedangkan bakteri maesophylic (20-40 о C) tumbuh dengan lambat Bakteri psychrophylic dapat tumbuh dengan kecepatan yang relatif pada suhu 0 о C (Mucthtadi 2008). Jenis bakteri pembusuk yang menyebabkan pembusukan ikan pada penyimpanan suhu 0-5 о C adalah Pseudomonas, Achromobacter, dan Flavobacterium (Graikoski 1973) Nilai TVB Indeks kemunduran mutu hasil perikanan dapat diketahui melalui kandungan TVB. Berbagai komponen, seperti basa volatil, terakumulasi pada daging sesaat setelah mati. Akumulasi ini terjadi akibat reaksi biokimia selama post mortem dan aktivitas mikroba pada daging (Taskaya 2003). Pada penelitian ini perbandingan nilai TVB pada daging ikan bandeng dengan perendaman inhibitor dan tanpa perendaman dengan inhibitor (kontrol) dapat dilihat pada Gambar 9. Gambar 9 Perbandingan nilai rata-rata TVB ikan bandeng dengan perendaman inhibitor ( ) dan tanpa perendaman dengan inhibitor (kontrol) ( ) pada penyimpanan suhu chilling Berdasarkan Gambar 9 diketahui bahwa nilai TVB ikan bandeng dengan perendaman inhibitor dan kontrol mengalami kenaikan dengan semakin lamanya penyimpanan. Pada fase pre rigor ikan bandeng dengan perendaman inhibitor dan kontrol memiliki nilai TVB yang sama, yaitu 8,4 mg N/100 g. Nilai tersebut

51 38 menunjukkan ikan pada awal penyimpanan masih dalam keadaan sangat segar. Ikan pada fase pre rigor belum banyak mengalami perubahan biokimia di dalam tubuhnya dan aktivitas bakteri pembusukpun masih rendah pada fase ini. Nilai TVB meliputi senyawa-senyawa volatil, seperti ammonia, trimetilamin (TMA), dan dimetilamin (DMA) (Hossain et al. 2005). Kesegaran ikan menurut Farber (1965) dibagi menjadi 4 kriteria berdasarkan nilai TVB. Ikan termasuk kriteria sangat segar apabila nilai TVB kurang dari 10 mg N/100 g. Ikan dengan nilai TVB antara mg N/100 g masuk dalam kriteria segar. Nilai TVB antara mg N/100 g merupakan batas penerimaan ikan untuk dikonsumsi sedangkan jika nilai TVB lebih dari 30 mg N/100 g termasuk ikan busuk. Berdasarkan batasan tersebut, ikan bandeng dengan perendaman inhibitor dan kontrol yang disimpan pada suhu chilling masih dapat diterima dan layak untuk dikonsumsi sampai waktu penyimpanan selama jam (15 hari) dengan nilai TVB antara 24,4-26,4 mg N/100 g. Nilai TVB daging ikan bandeng tertinggi dicapai pada fase busuk, yaitu sebesar 76,1 mg N/100 g untuk ikan bandeng dengan perendaman inhibitor dan sebesar 72,1 mg N/100 g untuk ikan bandeng kontrol. Daging ikan bandeng pada fase ini sudah mengalami pembusukan yang parah karena aktivitas enzim dan bakteri. Nilai TVB pada ikan bandeng pada fase ini sudah melebihi batas maksimum untuk ikan yang dapat dikonsumsi. Batas maksimum nilai TVB untuk ikan yang dapat diterima untuk konsumsi adalah 30 mg N/100 g (Farber 1965; Hossain et al. 2005). 4.5 Hubungan antar Parameter Kesegaran Ikan Mutu atau kesegaran ikan dapat diketahui melalui beberapa parameter kesegaran kegaran ikan. Parameter kesegaran ikan yang diamati pada penelitian ini, yaitu organoleptik, Total volatile base (TVB), Total Plate Count (TPC), dan ph. Masing-masing parameter ini saling berhubungan antara yang satu dengan yang lain. Hubungan antar parameter kesegaran ikan bandeng dengan perendaman inhibitor dan tanpa perendaman dengan inhibitor (kontrol) dapat dilihat pada Gambar 10 dan Gambar 11. Berdasarkan Gambar 10 dan Gambar 11 diketahui bahwa nilai organoleptik ikan bandeng dengan perendaman inhibitor dan kontrol mengalami

52 39 penurunan dari fase pre rigor hingga busuk yang diikuti dengan kenaikan nilai TPC dan nilai TVB. Nilai ph mengalami penurunan pada fase rigor mortis dan mengalami kenaikan pada fase post rigor hingga busuk. Nilai organoleptik ikan terus menurun dari fase pre rigor hingga busuk disebabkan oleh kerusakan aktivitas enzim dan bakteri. Hal ini dapat dilihat dari nilai TPC yang terus meningkat dan diikuti dengan naiknya nilai TVB. Aktivitas enzim yang berasal dari ikan dan bakteri mengakibatkan kerusakan organ-organ ikan. Hasil kerusakan yang ditimbulkan oleh aktivitas enzim ini berupa senyawasenyawa sederhana yang selanjutnya dimanfaatkan oleh bakteri. Aktivitas keduanya menghasilkan senyawa-senyawa basa-basa menguap (TVB). TVB menunjukkan nilai senyawa nitrogen mudah menguap yang dihasilkan dari aktivitas bakteri dan enzim. Nilai TVB terus meningkat seiring dengan meningkatnya pertumbuhan bakteri (Gopakumar 2000). Nilai ph ikan dari fase pre rigor menuju rigor mortis mengalami penurunan. Ini dikarenakan akumulasi asam laktat pada daging ikan selama ikan mengalami kejang otot (rigor mortis). Pada fase post rigor dan busuk, ph ikan bandeng meningkat karena terakumulasinya senyawa-senyawa basa hasil penguraian enzim dan bakteri. Hal ini dapat diamat dari naiknya nilai ph yang diikuti dengan naiknya nilai TPC dan TVB pada fase post rigor dan busuk. Secara umum ikan bandeng dengan perendaman inhibitor dan ikan bandeng tanpa perendaman inhibitor (kontrol) mempunyai pola kemunduran mutu yang sama karena analisis organoleptik, ph, TPC, dan TVB dilakukan pada fase yang sama (pre rigor, rigor mortis, post rigor, dan busuk) hanya masing-masing fase dicapai pada waktu yang berbeda. Ikan bandeng dengan perendaman inhibitor mengalami fase post mortem yang lebih lama dibandingkan ikan bandeng kontrol.

53 Rata-rata nilai ph 6 4 Rata-rata nilai TVB (mg N/100 g) Rata-rata nilai TPC (log koloni/g) 6 4 Rata-rata nilai organoleptik Waktu penyimpanan suhu chilling (jam) (A) Ikan bandeng dengan perendaman inhibitor Rata-rata nilai ph Rata-rata nilai TVB (mg N/100 g) Rata-rata nilai TPC (log koloni/g) Rata-rata nilai organoleptik Waktu penyimpanan suhu chilling (jam) (B) Ikan bandeng tanpa perendaman dengan inhibitor (kontrol) Gambar 10 Hubungan antar parameter kesegaran untuk ikan bandeng dengan perendaman inhibitor dan ikan bandeng kontrol rata-rata nilai TVB (mg N/100 g) rata-rata nilai ph rata-rata nilai log TPC rata-rata nilai organoleptik

54 5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Suhu optimum untuk ekstraksi inhibitor katepsin dari ikan patin adalah 80 ºC dengan aktivitas inhibisi sebesar 92,88 %. Pengenceran 1:1 adalah konsentrasi larutan inhibitor yang digunakan untuk tahap aplikasi dengan aktivitas inhibisi sebesar 85,29 % dan konsentrasi protein inhibitor semakin menurun dengan meningkatnya volume buffer yang digunakan untuk pengenceran. Kondisi pre rigor, rigor mortis, post rigor, dan busuk pada penyimpanan suhu chilling (0-4 ºC) ikan bandeng dengan perendaman inhibitor (kontrol) berlangsung selama 504 jam (21 hari) dengan interval waktu berturut-turut terjadi setelah penyimpanan selama 0 jam (0 hari), 96 jam (4 hari), 360 jam (15 hari), dan 504 jam (21 hari), sedangkan ikan bandeng dengan perendaman inhibitor berlangsung selama 576 jam (24 hari) dengan interval waktu berturut-turut terjadi setelah penyimpanan selama 0 jam (0 hari), 96 jam (4 hari), 365 jam (15 hari), dan 576 jam (24 hari). Nilai organoleptik ikan bandeng selama penyimpanan mengalami penurunan dari fase pre rigor hingga busuk yang diikuti dengan kenaikan nilai TPC dan TVB, sedangkan nilai ph mengalami penurunan pada fase rigor mortis dan mengalami kenaikan pada fase post rigor hingga busuk. Perendaman dengan inhibitor katepsin alami dari ikan patin dapat memperpanjang fase post mortem ikan bandeng lebih lama 3 hari (72 jam) dibandingkan ikan bandeng kontrol pada penyimpanan suhu chilling. 5.2 Saran Saran yang didapatkan dari penelitian ini, yaitu: 1) Diperlukan teknik yang tepat untuk preparasi ikan patin agar didapatkan daging ikan patin dengan kandungan pigmen daging (mioglobin) dan hemoglobin yang lebih sedikit 2) Aplikasi inhibitor katepsin pada penyimpanan suhu ruang untuk membandingkannya dengan penyimpanan pada suhu chilling

55 DAFTAR PUSTAKA Afrianto E, Liviawaty E Pengawetan dan Pengolahan Ikan. Yogyakarta: Kanisius. An H, Margo Y, Peter, Thomas A, Seymour, Michael TM Isolation and activation of cathepsin L-inhibitor complex from pacific whiting (Merluccius productus). J Agric Food Chem 43(2): Alasavar C Seafoods: quality, technology, and nutraceutical applicationsan overview. Di dalam: Alasavar C, Taylor T, editor. Seafood-Quality, Technology and Nutraceutical Applications. Germany: Springer-Verlag Berlin Heidelberg. Apriyantono A, Fardiaz D, Puspitasari NL, Sedarnawati Y, Budianto S Petunjuk Laboratorium Analisis Pangan. Bogor: Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. [BSN] Badan Standarisasi Nasional Standar Nasional Indonesia Uji Organoleptik Ikan Segar. Jakarta: Badan Standarisasi Nasional Indonesia. Bagarinao T Systematics, distribution, genetics and life history of milkfish, Chanos chanos Forskal. Environ Biol of Fish 39(1): Bradford, Marion M A Rapid and sensitive for the quantitation of mocrogram quantities of protein utilization the principles of protein-dye binding. Analytical Biochem 7(1): Cao MJ, Osatomi K, Matsuda R, Ohkubo M Purification of a novel serine proteinase inhibitor from skeletal muscle of white croaker (Argyromus argentatus). J Bioch and Biophys Re Com 272(2): Carreno FLG, Cortes PH Use of protease inhibitors in seafood products. Di dalam: Haard NF, Simpson BK, editor. Seafood Enzymes. New York: Marcel Dekker, Inc. Desmazeaud MJ, Zevaco C General properties and substrate specificity of an intracellular neutral protease from Streptococcus diacetilactis. Ann Biol Anim Bioch Biophys 16(6): Dinu D, Dumitru IF, Nichifor MT Isolation and characterization of two chatepsins from muscle of Carasiuss auratus gibelio. Roum Biotechnol Lett 7(3): Dwiari SR, Asadayanti DD, Nurhayati, Sofyaningsih M, Yudhanti SFAR, Yoga IBKW Teknologi Pangan. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

56 43 Erdiansyah Teknologi penanganan bahan baku terhadap mutu sosis ikan patin (Pangasius pangasius) [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Eskin NAM Biochemistry of Foods. Second Edition. San Diego Academic: Press, Inc. [FAO] Food and Agriculture Organization Quality and Quality Changes in Fresh Fish. Rome: FAO Fisheris Technical Paper No pp Farber L Freshness test. Di dalam: Borgstrom G, editor. Fish as Food Vol IV. New York: Academic Press. Fardiaz S Penuntun Praktek Mikrobiologi Pangan. Bogor: LSI-IPB. Ghufron M, Kardi H Budi Daya Kepiting dan Ikan Bandeng di Tambak Sistem Polikultur. Semarang: Dahara Prize. Gopakumar K Enzymes and enzyme product as quality indices. Di dalam: Haard NF, Simpson BK, editor. Seafood Enzymes. New York: Marcel Dekker, Inc. Govidan TK Fish Processing Technology. New Delhi: Oxford and IBH Publishing Co. PVT. LTD. Graikoski JT Microbiology of cured dan fermented fish. Di dalam: Chichester CO, Graham HD, editor. Microbial Safety of Fishery Product. London: Academic Press. Hossain MI, Islam MS, Shikha FH, Kamal M, Islam MN Physicochemical changes in thai pangas (Pangasius sutchi) muscle during ice-storage in an insulated box. J of Biol Sci 8(6): Jiang ST Enzymes and their effect on seafood texture. Di dalam: Haard NF, Simpson BK, editor. Seafood Enzymes. New York: Marcel Dekker, Inc. Khairuman, Suhenda D Budidaya Patin Secara Intensif. Jakarta: PT Agro Media Pustaka. Kompas Produksi perikanan budidaya menurut komoditas utama. [19 Juli 2009]. Lawrie RA Meat Science. 4 th Edition. Lowa: MC Brown Comp. Publisher. Lawrie RA Ilmu Daging. Parakkasi A, penerjemah; Amwila Y, editor. Jakarta: UI Press. Terjemahan dari: Meat Science. 5 th Edition. Lehninger AL Dasar-dasar Biokimia Jilid I. Thenawidjaya M, penerjemah; Jakarta: Erlangga. Terjemahan dari: The Foundations of Biochemistry. Li DK, Lin H, Kim SM Purification and characterization of a cysteine protease inhibitor from chum salmon (Oncorhynchus keta) plasma. J Agric and Food Chem 56(1):

57 44 Mattjik AA, Made S Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab. Bogor: IPB Press. Muchtadi TR Teknologi Proses Pengolahan Pangan. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Nautic Seafood Pangasius. [14 Febuari 2009]. Oceanleader Chanos chanos. [12 Juli 2009]. Olonen A High molecular wight cysteine proteinase inhibitor in atlantic salmon and other fish species [dissertation]. Helsinski: Faculty of Bioscience, University of Helsinski. Otto HH, Schirmeister T Cysteine protease and their inhibitor. Chem Rev. 97(1): Robb D The killing of quality: the impact of slaughter procedures on fish flesh. Di dalam: Alasavar C, Taylor T, editor. Seafood-Quality, Technology and Nutraceutical Applications. Germany: Springer-Verlag Berlin Heidelberg. Rondanelli Difusion of protease inhibitor in the muscle cell [dissertation]. North Carolina: Departement of Food Science, North Carolina State University. Rustamadji Aktivitas enzim katepsin dan kolagenase dari daging ikan bandeng (Chanos chanos Forskal) selama periode kemunduran mutu ikan [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Saanin H Taksonomi dan Kunci Indentifikasi ikan Jilid I dan II. Bandung: Bina Cipta. Saparinto C, Ida P, Diana H Bandeng Duri Lunak. Yogyakarta: Kanisius. Shahidi F, Botta JR Seafood: Chemistry, Processing Technology and Quality. Glasgow: Blackie Academic and Professional. Susanto K, Amri K Budidaya Ikan Patin. Jakarta: PT Penebar Swadaya. Taskaya L, Cakli S, Celik U A study on the quality changes of cultured gilthead seabream (Sparus aurata L.,1758) and seabass (Dicentrarchus labrax L.,1758) under the market conditions. J of Fisheries and Aquatic Sci 20(3-4): Toyohara H, Makinodan Y, Tanaka K, Ikeda S Detection of calpastatin and tripsin inhibitor in carp muscle. Agric Biol Chem 47(5): Ustadi, KY Kim, SM Kim Purification and indentification of a protease inhibitor from glassfish (Liparis tanakai) eggs. J Agric Food Chem 53(20):

58 45 Walpole Pengantar Statistik. Sumantri B, penerjemah. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Terjemahan dari: The Introduction of Statistics. Wang D, Tang J, Correia LR, Gill TA Postmortem changes of cultivated atlantic salmon and their effects salt uptake. J of Food Sci 63(4): Warta Penelitian Perikanan Budidaya Budidaya ikan kaya gizi. [05 April 2008]. Zaenuri M Peranan inhibitor katepsin dalam menghambat kemunduran mutu ikan bandeng (Chanos chanos Forskal) pada suhu chilling [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

59 LAMPIRAN

60 47 Lampiran 1 Format uji organoleptik ikan segar (SNI ) Nama Panelis : Tanggal : Cantumkan kode contoh pada kolom yang tersedia sebelum melakukan pengujian. Berilah tanda V pada nilai yang dipilih sesuai kode contoh yang diuji. Spesifikasi Nilai Kode contoh A. Kenampakan 9 1. Mata - Cerah, bola mata menonjol, kornea jernih. - Cerah, bola mata rata, kornea jernih. 8 - Agak cerah, bola mata rata, pupil agak 7 keabu-abuan, kornea agak keruh. - Bola mata agak cekung, pupil berubah 6 keabu-abuan, kornea agak keruh. - Bola mata agak cekung, pupil keabu-abuan, 5 kornea agak keruh. - Bola mata cekung, pupil mulai berubah 3 menjadi putih susu, kornea keruh. - Bola mata sangat cekung, kornea agak kuning Insang 9 - Warna merah cemerlang, tanpa lendir. - Warna merah kurang cemerlang, tanpa 8 lendir. - Warna merah agak kusam, tanpa lendir. 7 - Merah agak kusam, sedikit lendir. 6 - Mulai ada perubahan warna, merah 5 kecoklatan, sedikit lendir, tanpa lendir. - Warna merah coklat, lendir tebal. 3 - Warna merah coklat ada sedikit putih, lendir tebal Lendir permukaan badan 9 - Lapisa lendir jernih, transparan, mengkilat cerah, belum ada perubahan warna. - Lapisan lendir jernih, transparan, cerah, 8 belum ada perubahan warna. - Lapisan lendir mulai agak keruh, warna agak 7 putih, kurang transparan. - Lapisan lendir mulai keruh, warna putih agak 6 kusam, kurang transparan. - Lendir tebal menggumpal, mulai berubah 5 warna putih, keruh. - Lendir tebal menggumpal, warna putih 3 kuning. - Lendir tebal menggumpal, warna kuning 1

61 48 kecoklatan 4. Daging (warna dan kenampakan) 9 - Sayatan daging sangat cemerlang, spesifik jenis, tidak ada perubahan sepanjang tulang belakang, dinding perut daging utuh. - Sayatan daging cemerlang, spesifik jenis, 8 tidak ada pemerahan sepanjang tulang belakang, dinding perut utuh. - Sayatan daging sedikit kurang cemerlang, 7 spesifik jenis, tidaka ada pemerahan sepanjang tulang belakang, dinding perut daging utuh. - Sayatan daging mulai pudar, banyak 5 pemerahan sepanjang tulang belakang, dinding perut lunak. - Sayatan daging kusam, warna merah jelas 3 sekali sepanjang tulang belakang, dinding perut lunak. - Sayatan daging kusam sekali, warna merah 1 jelas sekali sepanjang tulang belakang, dinding perut sangat lunak. II. Bau 9 - Bau sangat segar, spesifikasi jenis. - Segar, spesifik jenis. 8 - Netral. 7 - Bau amoniak mulai tercium, sedikit bau 5 asam. - Bau amoniak kuat, ada bau H 2 S, bau asam 3 jelas dan busuk. - Bau busuk jelas. 1 III. Tekstur 9 - Padat, elastis bila ditekan dengan jari, sulit menyobek daging dari tulang belakang. - Agak padat, elastis bila ditekan dengan jari, 8 sulit menyobek daging dari tulang belakang. - Agak padat, agak elastis bila ditekan dengan 7 jari, sulit menyobek daging dari tulang belakang. - Agak lunak, kurang elastis bila ditekan 5 dengan jari, agak mudah menyobek daging dari tulang belakang. - Lunak, bekas jari terlihat bila ditekan, mudah 3 menyobek daging dari tulang belakang. - Sangat lunak, bekas jari tidak hilang bila ditekan, mudah sekali menyobek daging dari tulang belakang. 1

62 49 Lampiran 2a Bahan-bahan yang digunakan untuk ekstraksi enzim katepsin (Dinu et al. 2002) 1. Buffer Tris-HCl 0,1 M (ph 7,4) Tris base (Mr = 121,14) sebanyak 12,114 gram dilarutkan ke dalam 995 ml akuades. Lalu ditepatkan ph nya hingga 7,4 dengan penambahan HCl pekat (1 N) sedikit demi sedikit. Kemudian ditepatkan volumenya hingga satu liter. Lampiran 2b Bahan-bahan yang digunakan untuk ekstraksi inhibitor katepsin (An et al. 1995) 1. Mcllvaine s buffer (0,2 M sodium fosfat dan 0,1 M sitrat, ph 5,5) Asam sitrat (Mr = 210,14) sebanyak 21,014 gram dilarutkan dengan akuades sampai 1000 ml dan sodium fosfat (Mr = 380,12) sebanyak 76,024 gram dilarutkan dengan akuades sampai 1000 ml. Larutan sodium fosfat ditambahkan sedikit-sedikit ke dalam larutan asam sitrat sampai ph campuran menjadi 5,5.

63 50 Lampiran 3a Bahan-bahan yang digunakan untuk pengukuran aktivitas enzim dan inhibitor katepsin (Dinu et al. 2002) a. Hemoglobin 2 % dengan ph 2,0 Hemoglobin 8 % sebanyak 50 ml dilarukan ke dalam 145 ml akuades (perbandingan hemoglobin : akuades adalah 1:3). Kemudian ph dibuat menjadi 2,0 dengan penambahan HCl 1 N dan volume akhir ditepatkan menjadi 150 ml. b. TCA 5 % Sebanyak 5 gram TCA dilarutkan ke dalam akuades hingga volume akhir 100 ml. Lampiran 3b Prosedur pengukuran aktivitas enzim katepsin Pereaksi Sampel (ml) Blanko (ml) Standar (ml) Substrat Enzim Tirosin Akuades 1,00 0, , ,20 1,00-0,20 - Diinkubasi pada suhu 37 ºC selama 10 menit TCA 5 % 2,00 2,00 2,00 Kemudian disaring dengan menggunakan kertas saring Supernatan ditambah dengan 1 ml folin Diukur Absorban dengan spektrofotometer pada λ = 750 nm

64 51 Lampiran 3c Prosedur pengukuran aktivitas inhibitor katepsin Pereaksi Sampel (ml) Blanko (ml) Standar (ml) Enzim Tirosin Akuades Inhibitor 0, , ,20 0,20-0,20-0,20 Diinkubasi pada suhu 37 ºC selama 30 menit Substrat 1,00 1,00 1,00 Diinkubasi pada suhu 37 ºC selama 10 menit TCA 2,00 2,00 2,00 Kemudian disaring dengan menggunakan kertas saring Supernatan ditambah dengan 1 ml folin Diukur Absorban dengan spektrofotometer pada λ = 750 nm

65 52 Lampiran 4 Kurva standar penentuan konsentrasi protein enzim dan inhibitor katepsin Penentuan konsentrasi protein inhibitor katepsin pada berbagai pengenceran, yaitu 1:0, 1:1, 1:2, dan 1:3 dan konsentrasi protein enzim katepsin. (a) Standar BSA Konsentrasi Absorban 0,1 0,071 0,2 0,085 0,3 0,102 0,4 0,119 0,5 0,129 0,6 0,135 0,7 0,142 0,8 0,152 0,9 0,162 1,0 0,174 1,2 0,183 (b) Kurva standar BSA

66 53 Contoh perhitungan konsentrasi inhibitor katepsin (pengenceran 1:1): Y = 0,101X + 0,070 0,147 = 0,101X + 0,070 X = 0,147 0,070 0,101 = 0,760

67 54 Lampiran 5a Hasil uji ragam (ANOVA) aktivitas inhibitor katepsin pada berbagai suhu ekstraksi ANOVA Respon Jumlah kwadrat df Rata-rata kwadrat F Sig diantara grup 634, ,533 10,943 0,021 dalam grup 77, ,330 Total 711,918 7 Keterangan : Jika nilai Sig<0,05 maka tolak Ho dan dilanjutkan dengan uji Duncan Duncan Perlakuan N Subset untuk alfa = 0, , , , ,8800 Sig. 1,000 0,068 Keterangan : Jika perlakuan tidak berada dalam satu kolom subset (α=0,05) maka berbeda nyata Lampiran 5b Hasil uji ragam (ANOVA) aktivitas inhibitor katepsin pada berbagai pengenceran ANOVA Respon Jumlah kwadrat df Rata-rata kwadrat F Sig. diantara grup 1394, ,827 38,683 0,002 dalam grup 48, ,016 Total 1442,547 7 Keterangan : Jika nilai Sig<0,05 maka tolak Ho dan dilanjutkan dengan uji Duncan

68 55 Duncan N Subset untuk alfa = 0,05 Perlakuan :3 2 55,7300 1:2 2 75,4900 1:1 2 85,2900 1:0 2 90,2000 Sig. 1,000 1,000 0,230 Keterangan : Jika nilai perlakuan tidak berada dalam satu kolom subset (α=0,05) maka berbeda nyata Lampiran 5c Hasil uji ragam (ANOVA) konsentrasi protein inhibitor katepsin pada berbagai pengenceran ANOVA Respon Jumlah kwadrat df Rata-rata kwadrat F Sig. diantara grup 1, , ,815 0,000 dalam grup 0, ,000 Total 1,483 7 Keterangan : Jika nilai Sig<0,05 maka tolak Ho dan dilanjutkan dengan uji Duncan Duncan N Subset untuk alfa = 0,05 Perlakuan :30 2 0,1200 1:20 2 0,2800 1:10 2 0,7600 1:00 2 1,2300 Sig ,000 1,000 1,000 Keterangan : Jika nilai perlakuan tidak berada dalam satu kolom subset (α=0,05) maka berbeda nyata

69 56 Lampiran 6 Dokumentasi penelitian a. Daging ikan patin b. Hasil sentrifugasi pertama c. Hasil sentrifugasi kedua (inhibitor) d. Tambak tempat pengambilan sampel e. Penangkapan ikan bandeng f. Pemasukan ikan bandeng ke dalam wadah

70 57 g. Transportasi ikan bandeng h. Perendaman dengan inhibitor katepsin dari ikan patin i. Keadaan ikan di dalam wadah j. Penyimpanan suhu chilling k. Ikan bandeng pada fase pre rigor l. Ikan bandeng pada fase rigor mortis

71 58 m. Ikan bandeng pada fase post rigor n. Ikan bandeng pada fase busuk o. Uji ph dan TVB p. Uji TPC q. Uji aktivitas enzim dan inhibitor r. Larutan inhibitor katepsin dari katepsin ikan bandeng

3. METODE 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat

3. METODE 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat 3. METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan April 2009 sampai Bulan September 2009 di Laboratorium Karakteristik Bahan Baku Hasil Perikanan, Laboratorium Bioteknologi 2 Hasil

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Bandeng ( Chanos chanos Forskal)

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Bandeng ( Chanos chanos Forskal) 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Bandeng (Chanos chanos Forskal) Ikan bandeng merupakan salah satu jenis ikan budidaya air payau yang potensial dikembangkan. Jenis ikan ini mampu

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penentuan Suhu Optimum Ekstraksi Inhibitor Katepsin Penentuan suhu optimum ekstraksi inhibitor katepsin bertujuan untuk mengetahui suhu optimum untuk pemisahan antara kompleks

Lebih terperinci

3. METODOLOGI 3.1 Pelaksanaan Penelitian 3.2 Bahan dan Alat Penelitian

3. METODOLOGI 3.1 Pelaksanaan Penelitian 3.2 Bahan dan Alat Penelitian 3. METODOLOGI 3.1 Pelaksanaan Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Karakteristik Bahan Baku Hasil Perairan, Laboratorium Biokiomia Hasil Perairan, Laboratorium Mikrobiologi Hasil Perairan,

Lebih terperinci

AKTIVITAS ENZIM KATEPSIN DAN KOLAGENASE DARI DAGING IKAN BANDENG (Chanos chanos Forskall) SELAMA PERIODE KEMUNDURAN MUTU IKAN.

AKTIVITAS ENZIM KATEPSIN DAN KOLAGENASE DARI DAGING IKAN BANDENG (Chanos chanos Forskall) SELAMA PERIODE KEMUNDURAN MUTU IKAN. 1 AKTIVITAS ENZIM KATEPSIN DAN KOLAGENASE DARI DAGING IKAN BANDENG (Chanos chanos Forskall) SELAMA PERIODE KEMUNDURAN MUTU IKAN Rustamaji DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

3. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2 Alat dan Bahan

3. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2 Alat dan Bahan 3. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dimulai pada bulan Januari 2009 dan selesai pada bulan November 2009. Penelitian dilakukan di Laboratorium Biokimia dan Bioteknologi II, Departemen

Lebih terperinci

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat 3.3 Metode Penelitian

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat 3.3 Metode Penelitian 3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan bulan November 2011 sampai Januari 2012. Pengambilan sampel dilakukan di Cisolok, Palabuhanratu, Jawa Barat. Analisis sampel dilakukan di Laboratorium

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Nilai Organoleptik Ikan Layang Data hasil penelitian pengaruh konsentrasi belimbing terhadap nilai organoleptik ikan layang dapat dilihat pada Lampiran 2. Histogram hasil

Lebih terperinci

0 C. Ikan dimatikan dengan cara menusuk pada kepala bagian medula oblongata yang menyebabkan ikan langsung mati.

0 C. Ikan dimatikan dengan cara menusuk pada kepala bagian medula oblongata yang menyebabkan ikan langsung mati. 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan yang dilakukan adalah penentuan fase kemunduran mutu (post mortem) pada ikan bandeng. Penentuan fase post mortem pada ikan bandeng

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Laboratorium Pembinaan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan (LPPMHP)

BAB III METODE PENELITIAN. Laboratorium Pembinaan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan (LPPMHP) BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September sampai Oktober 2013 di Laboratorium Pembinaan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan (LPPMHP) Provinsi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Data hasil penelitian pengaruh penambahan garam terhadap nilai organoleptik

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Data hasil penelitian pengaruh penambahan garam terhadap nilai organoleptik Nilai Organoleptik BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Nilai Organoleptik Data hasil penelitian pengaruh penambahan garam terhadap nilai organoleptik ikan lolosi merah (C. chrysozona) dapat di lihat pada analisis

Lebih terperinci

Nova Nurfauziawati Kelompok 11 A V. HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN

Nova Nurfauziawati Kelompok 11 A V. HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN V. HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN Praktikum yang dilaksanakan pada 12 September 2011 mengenai perubahan fisik, kimia dan fungsional pada daging. Pada praktikum kali ini dilaksanakan pengamatan perubahan

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Karakterisasi Komposisi Kimia 1. Analisa Kadar Air (SNI ) Kadar Air (%) = A B x 100% C

Lampiran 1. Prosedur Karakterisasi Komposisi Kimia 1. Analisa Kadar Air (SNI ) Kadar Air (%) = A B x 100% C LAMPIRAN Lampiran 1. Prosedur Karakterisasi Komposisi Kimia 1. Analisa Kadar Air (SNI 01-2891-1992) Sebanyak 1-2 g contoh ditimbang pada sebuah wadah timbang yang sudah diketahui bobotnya. Kemudian dikeringkan

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Ikan Bandeng (Chanos chanos, Forskal) (www.ag.auburn.edu /fish/image_gallery/data/media/13/milk.

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Ikan Bandeng (Chanos chanos, Forskal) (www.ag.auburn.edu /fish/image_gallery/data/media/13/milk. 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Bandeng (Chanos chanos, Forskal) Ikan bandeng atau milkfish termasuk ikan yang sudah lama dikenal di Indonesia. Ikan bandeng termasuk jenis ikan pelagis

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Biologi dan Laboratorium Biokimia, Departemen Kimia Fakultas Sains dan

BAB III METODE PENELITIAN. Biologi dan Laboratorium Biokimia, Departemen Kimia Fakultas Sains dan BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi, Departemen Biologi dan Laboratorium Biokimia, Departemen Kimia Fakultas Sains dan Teknologi,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 2 faktor, faktor pertama terdiri dari 3

BAB III METODE PENELITIAN. Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 2 faktor, faktor pertama terdiri dari 3 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 2 faktor, faktor pertama terdiri dari 3 perlakuan, sedangkan

Lebih terperinci

The Study of Catfish (Pangasius hypophthalmus) Freshness by Handling with Different Systems By Yogi Friski 1 N. Ira Sari 2 and Suparmi 2 ABSTRACT

The Study of Catfish (Pangasius hypophthalmus) Freshness by Handling with Different Systems By Yogi Friski 1 N. Ira Sari 2 and Suparmi 2 ABSTRACT The Study of Catfish (Pangasius hypophthalmus) Freshness by Handling with Different Systems By Yogi Friski 1 N. Ira Sari 2 and Suparmi 2 ABSTRACT The objective of this research was to determine the differences

Lebih terperinci

I. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April - Juli 2012 di Laboratorium. Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Lampung.

I. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April - Juli 2012 di Laboratorium. Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Lampung. 1 I. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April - Juli 2012 di Laboratorium Biokimia, Laboratorium Instrumentasi Jurusan Kimia Fakultas Matematika

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Morfologi ikan patin (Susanto dan Heru 1999).

2 TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Morfologi ikan patin (Susanto dan Heru 1999). 4 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Patin (Pangasius sp.) Ikan patin (Pangasius sp.) mempunyai ciri-ciri morfologi berbadan panjang, berwarna putih perak dengan punggung berwarna kebiru-biruan.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini, antara lain: waterbath,

BAB III METODE PENELITIAN. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini, antara lain: waterbath, 31 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Alat dan Bahan Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 3.1.1 Alat Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini, antara lain: waterbath,

Lebih terperinci

PENGUJIAN TINGKAT KESEGARAN MUTU IKAN DISUSUN OLEH: NAMA : F. I. RAMADHAN NATSIR NIM : G KELOMPOK : IV (EMPAT)

PENGUJIAN TINGKAT KESEGARAN MUTU IKAN DISUSUN OLEH: NAMA : F. I. RAMADHAN NATSIR NIM : G KELOMPOK : IV (EMPAT) TUGAS PENDAHULUAN APLIKASI TEKNOLOGI PENGOLAHAN HASIL LAUT PENGUJIAN TINGKAT KESEGARAN MUTU IKAN DISUSUN OLEH: NAMA : F. I. RAMADHAN NATSIR NIM : G 311 09 003 KELOMPOK : IV (EMPAT) LABORATORIUM PENGAWASAN

Lebih terperinci

3. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Bahan

3. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Bahan 3. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November hingga Desember 2009 di Laboratorium Teknologi Penanganan dan Pengolahan Hasil Pertanian, Departemen Teknik Pertanian,

Lebih terperinci

PEMANFAATAN GELATIN DARI KULIT IKAN PATIN (Pangasius sp) SEBAGAI BAHAN BAKU PEMBUATAN EDIBLE FILM. Oleh : Melly Dianti C

PEMANFAATAN GELATIN DARI KULIT IKAN PATIN (Pangasius sp) SEBAGAI BAHAN BAKU PEMBUATAN EDIBLE FILM. Oleh : Melly Dianti C PEMANFAATAN GELATIN DARI KULIT IKAN PATIN (Pangasius sp) SEBAGAI BAHAN BAKU PEMBUATAN EDIBLE FILM Oleh : Melly Dianti C03400066 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

Lebih terperinci

Lampiran 1 Metode pengujian aktivitas protease (Walter 1984)

Lampiran 1 Metode pengujian aktivitas protease (Walter 1984) LAMPIRAN Lampiran 1 Metode pengujian aktivitas protease (Walter 1984) Pereaksi Blanko (µl) Standar (µl) Sampel (µl) Penyangga Tris HCl (0.2 M) ph 7.5 Substrat kasein for biochemistry (1 %) Ekstrak kasar

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Isolasi enzim fibrinolitik Cacing tanah P. excavatus merupakan jenis cacing tanah yang agresif dan tahan akan kondisi pemeliharaan yang ekstrim. Pemeliharaan P. excavatus dilakukan

Lebih terperinci

Kadar protein (%) = (ml H 2 SO 4 ml blanko) x N x x 6.25 x 100 % bobot awal sampel (g) Keterangan : N = Normalitas H 2 SO 4

Kadar protein (%) = (ml H 2 SO 4 ml blanko) x N x x 6.25 x 100 % bobot awal sampel (g) Keterangan : N = Normalitas H 2 SO 4 LAMPIRAN Lampiran 1. Prosedur Analisis. 1. Kadar Air (AOAC, 1999) Sebanyak 3 gram sampel ditimbang dalam cawan alumunium yang telah diketahui bobot keringnya. tersebut selanjutnya dikeringkan dalam oven

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN CARA KERJA. Penelitian dilakukan di Laboratorium Teknologi Bioindustri, Pusat

BAB III BAHAN DAN CARA KERJA. Penelitian dilakukan di Laboratorium Teknologi Bioindustri, Pusat BAB III BAHAN DAN CARA KERJA A. LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN Penelitian dilakukan di Laboratorium Teknologi Bioindustri, Pusat Teknologi Bioindustri, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (LTB- PTB-BPPT)-Serpong.

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Analisis Pati Sagu

Lampiran 1. Prosedur Analisis Pati Sagu LAMPIRAN Lampiran 1. Prosedur Analisis Pati Sagu 1. Bentuk Granula Suspensi pati, untuk pengamatan dibawah mikroskop polarisasi cahaya, disiapkan dengan mencampur butir pati dengan air destilasi, kemudian

Lebih terperinci

LAMPIRAN. Lampiran 1. Foto Lokasi Pengambilan Sampel Air Panas Pacet Mojokerto

LAMPIRAN. Lampiran 1. Foto Lokasi Pengambilan Sampel Air Panas Pacet Mojokerto LAMPIRAN Lampiran 1. Foto Lokasi Pengambilan Sampel Air Panas Pacet Mojokerto Lampiran 2. Pembuatan Media dan Reagen 2.1 Pembuatan Media Skim Milk Agar (SMA) dalam 1000 ml (Amelia, 2005) a. 20 gram susu

Lebih terperinci

AKTIVITAS ENZIM KATEPSIN DAN KOLAGENASE PADA KULIT IKAN BANDENG (Chanos chanos, Forskal) SELAMA PERIODE KEMUNDURAN MUTU MOHAMMAD IRFAN C

AKTIVITAS ENZIM KATEPSIN DAN KOLAGENASE PADA KULIT IKAN BANDENG (Chanos chanos, Forskal) SELAMA PERIODE KEMUNDURAN MUTU MOHAMMAD IRFAN C AKTIVITAS ENZIM KATEPSIN DAN KOLAGENASE PADA KULIT IKAN BANDENG (Chanos chanos, Forskal) SELAMA PERIODE KEMUNDURAN MUTU MOHAMMAD IRFAN C34051397 DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Organoleptik Bakso Ikan Nila Merah Uji organoleptik mutu sensorik yang dilakukan terhadap bakso ikan nila merah yang dikemas dalam komposisi gas yang berbeda selama

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian akan dilaksanakan pada bulan November 2016 di Laboratorium

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian akan dilaksanakan pada bulan November 2016 di Laboratorium 11 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian akan dilaksanakan pada bulan November 2016 di Laboratorium Kimia dan Gizi Pangan Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro, Semarang. Pengujian yang

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Analisis Karakteristik Pati Sagu. Kadar Abu (%) = (C A) x 100 % B

Lampiran 1. Prosedur Analisis Karakteristik Pati Sagu. Kadar Abu (%) = (C A) x 100 % B Lampiran 1. Prosedur Analisis Karakteristik Pati Sagu 1. Analisis Kadar Air (Apriyantono et al., 1989) Cawan Alumunium yang telah dikeringkan dan diketahui bobotnya diisi sebanyak 2 g contoh lalu ditimbang

Lebih terperinci

dimana a = bobot sampel awal (g); dan b = bobot abu (g)

dimana a = bobot sampel awal (g); dan b = bobot abu (g) Lampiran 1. Metode analisis proksimat a. Analisis kadar air (SNI 01-2891-1992) Kadar air sampel tapioka dianalisis dengan menggunakan metode gravimetri. Cawan aluminium dikeringkan dengan oven pada suhu

Lebih terperinci

II. MATERI DAN METODE PENELITIAN. 1. Materi Penelitian, Lokasi dan Waktu Penelitian

II. MATERI DAN METODE PENELITIAN. 1. Materi Penelitian, Lokasi dan Waktu Penelitian II. MATERI DAN METODE PENELITIAN 1. Materi Penelitian, Lokasi dan Waktu Penelitian 1.1. Materi Penelitian 1.1.1. Alat Alat yang digunakan adalah akuarium berukuran 40 X 60 X 60 cm 3 dan ketinggian air

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Ikan patin siam merupakan salah satu komoditas ikan yang dikenal sebagai

II. TINJAUAN PUSTAKA. Ikan patin siam merupakan salah satu komoditas ikan yang dikenal sebagai II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Ikan Patin Siam Ikan patin siam merupakan salah satu komoditas ikan yang dikenal sebagai komoditi yang berprospek cerah, karena memiliki harga jual yang

Lebih terperinci

Bab III Bahan dan Metode

Bab III Bahan dan Metode Bab III Bahan dan Metode A. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2012 di daerah budidaya rumput laut pada dua lokasi perairan Teluk Kupang yaitu di perairan Tablolong

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Komposisi Proksimat Fillet Gurami Komponen penting dari komposisi kimia ikan adalah protein dan lemak. Ikan gurami mengandung 75-80% protein dan 6-9% lemak (basis kering) (Tabel 3).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perikanan yang sangat besar. Oleh karena itu sangat disayangkan bila. sumber protein hewani, tingkat konsumsi akan ikan yang tinggi

BAB I PENDAHULUAN. perikanan yang sangat besar. Oleh karena itu sangat disayangkan bila. sumber protein hewani, tingkat konsumsi akan ikan yang tinggi BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Indonesia merupakan negara kepulauan yang sebagian besar wilayahnya terdiri atas perairan, dan mempunyai laut serta potensi perikanan yang sangat besar. Oleh

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian eksperimental. Tempat yang digunakan dalam penelitian ini adalah Laboratorium Mikrobiologi Fakultas

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan November 2006 sampai dengan Januari 2008. Penelitian bertempat di Laboratorium Mikrobiologi, Departemen Biologi,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dengan metode eksperimental menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) faktorial. Sampel yang digunakan berjumlah 24, dengan

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE PENELITIAN

MATERI DAN METODE PENELITIAN II. MATERI DAN METODE PENELITIAN A. Materi, Lokasi, dan Waktu Penelitian 1. Materi Penelitian 1.1. Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah labu Erlenmeyer, 1.2. Bahan beaker glass, tabung

Lebih terperinci

DINI SURILAYANI, S. Pi., M. Sc.

DINI SURILAYANI, S. Pi., M. Sc. DINI SURILAYANI, S. Pi., M. Sc. dhinie_surilayani@yahoo.com Ikan = perishable food Mengandung komponen gizi: Lemak, Protein, Karbohidrat, dan Air Disukai Mikroba Mudah Rusak di Suhu Kamar Setelah ikan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Percobaan yang dilakukan pada penelitian ini yaitu penggunaan amonium

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Percobaan yang dilakukan pada penelitian ini yaitu penggunaan amonium 24 BAB III METODOLOGI PENELITIAN Percobaan yang dilakukan pada penelitian ini yaitu penggunaan amonium sulfat dalam menghasilkan enzim bromelin dan aplikasinya sebagai koagulan pada produksi keju. 3.1

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan April 2012 sampai dengan bulan Juni 2012 di

METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan April 2012 sampai dengan bulan Juni 2012 di III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan April 2012 sampai dengan bulan Juni 2012 di Laboratorium Biokimia Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. menggunakan Rancangan Acak Kelompok yang melibatkan 2 faktor perlakuan

BAB III METODE PENELITIAN. menggunakan Rancangan Acak Kelompok yang melibatkan 2 faktor perlakuan BAB III METODE PENELITIAN 3.1 RANCANGAN PENELITAN Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan Rancangan Acak Kelompok yang melibatkan 2 faktor perlakuan dengan 3

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan November 2013 di PT. AGB Palabuhanratu Kabupaten Sukabumi-Jawa Barat. 3.2 Alat dan Bahan Penelitian 3.2.1 Alat

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Jurusan Biologi

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Jurusan Biologi 17 III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Lampung pada Januari

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan Biomassa, Laboratorium Analisis Hasil Pertanian Jurusan Teknologi Hasil

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Ikan Selais (O. hypophthalmus). Sumber : Fishbase (2011)

2 TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Ikan Selais (O. hypophthalmus). Sumber : Fishbase (2011) 3 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Selais (Ompok hypophthalmus) Ikan Ompok hypophthalmus dikenal dengan nama daerah selais, selais danau dan lais, sedangkan di Kalimantan disebut lais

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari hingga Juli 2013 di Laboratorium Kimia Riset Makanan dan Material Jurusan Pendidikan Kimia FMIPA Universitas

Lebih terperinci

Y ij = µ + B i + ε ij

Y ij = µ + B i + ε ij METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan dari bulan September 2008 sampai bulan September 2009. Penelitian dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Bagian Teknologi Hasil Ternak Perah dan Laboratorium

Lebih terperinci

II. MATERI DAN METODE PENELITIAN. 1. Materi Penelitian, Lokasi dan Waktu Penelitian

II. MATERI DAN METODE PENELITIAN. 1. Materi Penelitian, Lokasi dan Waktu Penelitian 5 II. MATERI DAN METODE PENELITIAN 1. Materi Penelitian, Lokasi dan Waktu Penelitian 1.1. Materi Penelitian 1.1.1. Alat Alat yang digunakan adalah akuarium berukuran 40 X 60 X 60 cm 3 dan ketinggian air

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 21 HASIL DAN PEMBAHASAN Pada setiap sediaan otot gastrocnemius dilakukan tiga kali perekaman mekanomiogram. Perekaman yang pertama adalah ketika otot direndam dalam ringer laktat, kemudian dilanjutkan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5. Rataan Nilai Warna (L, a, b dan HUE) Dendeng Sapi dengan Metode Perlakuan Curing yang Berbeda

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5. Rataan Nilai Warna (L, a, b dan HUE) Dendeng Sapi dengan Metode Perlakuan Curing yang Berbeda HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Warna Dendeng Sapi Warna merupakan salah satu indikator fisik yang dapat mempengaruhi konsumen terhadap penerimaan suatu produk. Derajat warna menunjukkan tingkat warna

Lebih terperinci

PERANAN INHIBITOR KATEPSIN DALAM MENGHAMBAT KEMUNDURAN MUTU IKAN BANDENG (Chanos chanos Forskall) PADA SUHU CHILLING MOHAMMAD ZAENURI

PERANAN INHIBITOR KATEPSIN DALAM MENGHAMBAT KEMUNDURAN MUTU IKAN BANDENG (Chanos chanos Forskall) PADA SUHU CHILLING MOHAMMAD ZAENURI PERANAN INHIBITOR KATEPSIN DALAM MENGHAMBAT KEMUNDURAN MUTU IKAN BANDENG (Chanos chanos Forskall) PADA SUHU CHILLING MOHAMMAD ZAENURI DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ikan patin siam (Pangasius hypopthalmus) merupakan salah satu ikan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ikan patin siam (Pangasius hypopthalmus) merupakan salah satu ikan 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikan Patin Siam (Pangasius hypopthalmus) Ikan patin siam (Pangasius hypopthalmus) merupakan salah satu ikan inroduksi yang telah lebih dulu dikenal masyarakat indonesia. Budidaya

Lebih terperinci

Lampiran 1 Prosedur uji aktivitas protease (Walter 1984, modifikasi)

Lampiran 1 Prosedur uji aktivitas protease (Walter 1984, modifikasi) 76 Lampiran Prosedur uji aktivitas protease (Walter 984, modifikasi) Pereaksi Blanko (ml) Standard (ml) Contoh ml) Penyangga TrisHCl (.2 M) ph 7. Substrat Kasein % Enzim ekstrak kasar Akuades steril Tirosin

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 14 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan melalui dua tahap selama bulan April-Oktober 2010. Tahap pertama adalah proses pencekokan serbuk buah kepel dan akuades dilakukan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Jurusan Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Maulana

BAB III METODE PENELITIAN. Jurusan Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Maulana BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi dan Genetika Jurusan Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Maulana

Lebih terperinci

3. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Tempat 3.2. Bahan dan Alat

3. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Tempat 3.2. Bahan dan Alat 3. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus sampai dengan bulan Desember 2009 di Laboratorium Teknologi Pengolahan Pangan Hasil Pertanian, Departemen Teknik Pertanian,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan cepat mengalami penurunan mutu (perishable food). Ikan termasuk komoditi

I. PENDAHULUAN. dan cepat mengalami penurunan mutu (perishable food). Ikan termasuk komoditi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bahan pangan mentah merupakan komoditas yang mudah rusak sejak dipanen. Bahan pangan mentah, baik tanaman maupun hewan akan mengalami kerusakan melalui serangkaian reaksi

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juli sampai bulan September 2010 di

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juli sampai bulan September 2010 di 20 III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juli sampai bulan September 2010 di Laboratorium Instrumentasi dan Laboratorium Biokimia Jurusan Kimia

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian eksperimen. Termasuk

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian eksperimen. Termasuk BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian eksperimen. Termasuk penelitian eksperimen karena dalam penelitian ini terdapat kontrol sebagai acuan antara

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Terpadu (uji kimia dan mikrobiologi) dan di bagian Teknologi Hasil Ternak (uji organoleptik), Departemen Ilmu Produksi dan

Lebih terperinci

AKTIVITAS ENZIM KATEPSIN DAN KOLAGENASE DARI DAGING IKAN BANDENG (Chanos chanos Forskall) SELAMA PERIODE KEMUNDURAN MUTU IKAN.

AKTIVITAS ENZIM KATEPSIN DAN KOLAGENASE DARI DAGING IKAN BANDENG (Chanos chanos Forskall) SELAMA PERIODE KEMUNDURAN MUTU IKAN. 1 AKTIVITAS ENZIM KATEPSIN DAN KOLAGENASE DARI DAGING IKAN BANDENG (Chanos chanos Forskall) SELAMA PERIODE KEMUNDURAN MUTU IKAN Rustamaji DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan November Desember 2016 di

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan November Desember 2016 di 13 BAB III MATERI DAN METODE 3.1. Materi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan November Desember 2016 di Laboratorium Kimia dan Gizi Pangan untuk pembuatan produk, menguji total bakteri asam

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Waktu pelaksanaan penelitian pada bulan Juni 2013.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Waktu pelaksanaan penelitian pada bulan Juni 2013. BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian 1. Waktu Penelitian Waktu pelaksanaan penelitian pada bulan Juni 2013. 2. Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Patologi,

Lebih terperinci

KEMUNDURAN MUTU IKAN LELE DUMBO (Clarias gariepinus) PADA PENYIMPANAN SUHU CHILLING DENGAN PERLAKUAN CARA MATI. Oleh: Rahadian Hardja Utama C

KEMUNDURAN MUTU IKAN LELE DUMBO (Clarias gariepinus) PADA PENYIMPANAN SUHU CHILLING DENGAN PERLAKUAN CARA MATI. Oleh: Rahadian Hardja Utama C KEMUNDURAN MUTU IKAN LELE DUMBO (Clarias gariepinus) PADA PENYIMPANAN SUHU CHILLING DENGAN PERLAKUAN CARA MATI Oleh: Rahadian Hardja Utama C34103042 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Alur penelitian ini seperti ditunjukkan pada diagram alir di bawah ini:

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Alur penelitian ini seperti ditunjukkan pada diagram alir di bawah ini: BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian Alur penelitian ini seperti ditunjukkan pada diagram alir di bawah ini: Gambar 3.1 Diagram alir penelitian 22 23 3.2 Metode Penelitian Penelitian ini

Lebih terperinci

BAB III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan dari Bulan Januari sampai dengan bulan Juni 2015

BAB III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan dari Bulan Januari sampai dengan bulan Juni 2015 BAB III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dari Bulan Januari sampai dengan bulan Juni 2015 yang meliputi kegiatan di lapangan dan di laboratorium. Lokasi pengambilan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan Pertumbuhan dan Peremajaan Isolat Pengamatan Morfologi Isolat B. thuringiensis

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan Pertumbuhan dan Peremajaan Isolat Pengamatan Morfologi Isolat B. thuringiensis 13 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi, Departemen Biologi, IPB, dari bulan Oktober 2011 Mei 2012. Bahan Isolasi untuk memperoleh isolat B. thuringiensis

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. waterbath, set alat sentrifugase, set alat Kjedalh, AAS, oven dan autoklap, ph

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. waterbath, set alat sentrifugase, set alat Kjedalh, AAS, oven dan autoklap, ph BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Alat dan Bahan Dalam pembuatan dan analisis kualitas keju cottage digunakan peralatan waterbath, set alat sentrifugase, set alat Kjedalh, AAS, oven dan autoklap, ph meter,

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Jurusan Biologi

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Jurusan Biologi 13 III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Lampung. Penelitian

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitianini dilaksanakandaribulanagustus - Desember 2015 di

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitianini dilaksanakandaribulanagustus - Desember 2015 di III. METODOLOGI PENELITIAN A. WaktudanTempat Penelitianini dilaksanakandaribulanagustus - Desember 2015 di LaboratoriumBiokimiaFakultasMatematikadanIlmuPengetahuanAlamUniversitas Lampung. B. AlatdanBahan

Lebih terperinci

Lampiran 1. Kriteria penilaian beberapa sifat kimia tanah

Lampiran 1. Kriteria penilaian beberapa sifat kimia tanah 30 LAMPIRAN 31 Lampiran 1. Kriteria penilaian beberapa sifat kimia tanah No. Sifat Tanah Sangat Rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi 1. C (%) < 1.00 1.00-2.00 2.01-3.00 3.01-5.00 > 5.0 2. N (%)

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Juli sampai September 2012,

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Juli sampai September 2012, III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Juli sampai September 2012, bertempat di Laboratorium Biokimia Jurusan Kimia Fakultas MIPA Universitas

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini berlangsung selama bulan Oktober sampai Desember 2013.

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini berlangsung selama bulan Oktober sampai Desember 2013. 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian BAB III METODE PENELITIAN Penelitian ini berlangsung selama bulan Oktober sampai Desember 2013. Ikan teri (Stolephorus sp) asin kering yang dijadikan sampel berasal dari

Lebih terperinci

LAMPIRAN Lampiran 1: Komposisi dan Penyiapan Media Skim Milk Agar, Komposisi Media Feather Meal Agar, Komposisi Media Garam Cair.

LAMPIRAN Lampiran 1: Komposisi dan Penyiapan Media Skim Milk Agar, Komposisi Media Feather Meal Agar, Komposisi Media Garam Cair. LAMPIRAN Lampiran 1: Komposisi dan Penyiapan Media Skim Milk Agar, Komposisi Media Feather Meal Agar, Komposisi Media Garam Cair. a. Komposisi media skim milk agar (Widhyastuti & Dewi, 2001) yang telah

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. variasi suhu yang terdiri dari tiga taraf yaitu 40 C, 50 C, dan 60 C. Faktor kedua

BAB III METODE PENELITIAN. variasi suhu yang terdiri dari tiga taraf yaitu 40 C, 50 C, dan 60 C. Faktor kedua BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap (RAL) pola faktorial yang terdiri dari 2 faktor. Faktor pertama adalah variasi

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Analisa Karakteristik Tepung Empulur Sagu

Lampiran 1. Prosedur Analisa Karakteristik Tepung Empulur Sagu LAMPIRAN Lampiran 1. Prosedur Analisa Karakteristik Tepung Empulur Sagu 1. Analisa Proksimat a. Kadar Air (AOAC 1999) Sampel sebanyak 2 g ditimbang dan ditaruh di dalam cawan aluminium yang telah diketahui

Lebih terperinci

II. BAHAN DAN METODE

II. BAHAN DAN METODE II. BAHAN DAN METODE 2.1 Rancangan Perlakuan Penelitian ini terdiri dari enam perlakuan yang masing-masing diberi 3 kali ulangan. Perlakuan yang diberikan berupa perendaman dengan dosis relhp berbeda yaitu

Lebih terperinci

PEMANFAATAN FILTRAT TAOGE UNTUK MEREDUKSI KADAR UREA IKAN CUCUT (Carcharinus sp)

PEMANFAATAN FILTRAT TAOGE UNTUK MEREDUKSI KADAR UREA IKAN CUCUT (Carcharinus sp) PEMANFAATAN FILTRAT TAOGE UNTUK MEREDUKSI KADAR UREA IKAN CUCUT (Carcharinus sp) Anna C.Erungan 1, Winarti Zahiruddin 1 dan Diaseniari 2 Abstrak Ikan cucut merupakan ikan yang potensi produksinya cukup

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Rancangan Penelitian ialah menggunakan pola faktorial 4 x 4 dalam

BAB III METODE PENELITIAN. Rancangan Penelitian ialah menggunakan pola faktorial 4 x 4 dalam BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Rancangan Penelitian ialah menggunakan pola faktorial 4 x 4 dalam Rancangan Acak Lengkap dan ulangan yang dilakukan sebanyak empat kali Faktor pertama:

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. Bahan dan Alat Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah teh hitam yang diperoleh dari PT Perkebunan Nusantara VIII Gunung Mas Bogor grade BP1 (Broken Pekoe 1).

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi lele menurut SNI (2000), adalah sebagai berikut : Kelas : Pisces. Ordo : Ostariophysi. Famili : Clariidae

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi lele menurut SNI (2000), adalah sebagai berikut : Kelas : Pisces. Ordo : Ostariophysi. Famili : Clariidae 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Lele Klasifikasi lele menurut SNI (2000), adalah sebagai berikut : Filum: Chordata Kelas : Pisces Ordo : Ostariophysi Famili : Clariidae Genus : Clarias Spesies :

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli 2012 sampai bulan Desember 2012 di

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli 2012 sampai bulan Desember 2012 di 23 III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli 2012 sampai bulan Desember 2012 di Laboratorium Biokimia Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. energi untuk kepentingan berbagai kegiatan dalam kehidupan. Bahan makanan terdiri

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. energi untuk kepentingan berbagai kegiatan dalam kehidupan. Bahan makanan terdiri BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bahan Pangan Makanan merupakan kebutuhan pokok bagi setiap manusia, karena di dalamnya terkandung senyawa-senyawa yang sangat diperlukan untuk memulihkan dan memperbaiki jaringan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. (Pandanus amaryllifolius Roxb.) 500 gram yang diperoleh dari padukuhan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. (Pandanus amaryllifolius Roxb.) 500 gram yang diperoleh dari padukuhan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Preparasi Sampel Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah pandan wangi (Pandanus amaryllifolius Roxb.) 500 gram yang diperoleh dari padukuhan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk mengkarakterisasi simplisia herba sambiloto. Tahap-tahap yang dilakukan yaitu karakterisasi simplisia dengan menggunakan

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Bagian Teknologi Hasil Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan

BAB III METODE PENELITIAN. yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental. Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan 6 ulangan,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai September 2014 di Green

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai September 2014 di Green BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai September 2014 di Green House dan Laboratorium Genetika dan Molekuler jurusan Biologi Fakultas Sains dan

Lebih terperinci

PENGARUH LAMA PENYIMPANAN DAGING RAJUNGAN (Portunus pelagicus) REBUS PADA SUHU KAMAR

PENGARUH LAMA PENYIMPANAN DAGING RAJUNGAN (Portunus pelagicus) REBUS PADA SUHU KAMAR PENGARUH LAMA PENYIMPANAN DAGING RAJUNGAN (Portunus pelagicus) REBUS PADA SUHU KAMAR Sri Purwaningsih 1, Josephine W 2, Diana Sri Lestari 3 Abstrak Rajungan (Portunus pelagicus) merupakan hasil laut yang

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan di Laboratorium Biokimia dan Laboratorium Instrumentasi

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan di Laboratorium Biokimia dan Laboratorium Instrumentasi III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Biokimia dan Laboratorium Instrumentasi Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan dengan rancang bangun penelitian

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan dengan rancang bangun penelitian BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dengan rancang bangun penelitian eksperimental laboratorik. Proses ekstraksi dilakukan dengan menggunakan pelarut methanol

Lebih terperinci

Lampiran 1 Rancangan penelitian

Lampiran 1 Rancangan penelitian LAMPIRAN 18 19 Lampiran 1 Rancangan penelitian Cacing tanah E. foetida dewasa Kering oven vakum (Setiawan) Tepung cacing kering Ekstraksi buffer dan sentrifugasi Ekstrak kasar protease Salting-out dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. nila (Oreochromis niloticus) merupakan salah satu hasil perikanan budidaya

BAB I PENDAHULUAN. nila (Oreochromis niloticus) merupakan salah satu hasil perikanan budidaya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ikan nila (Oreochromis niloticus) merupakan salah satu jenis ikan budidaya air tawar yang mempunyai prospek cukup baik untuk dikembangkan. Berdasarkan data dari Kementerian

Lebih terperinci

setelah pengeringan beku) lalu dimasukan ke dalam gelas tertutup dan ditambahkan enzim I dan enzim II masing-masing sebanyak 1 ml dan aquadest 8

setelah pengeringan beku) lalu dimasukan ke dalam gelas tertutup dan ditambahkan enzim I dan enzim II masing-masing sebanyak 1 ml dan aquadest 8 40 setelah pengeringan beku) lalu dimasukan ke dalam gelas tertutup dan ditambahkan enzim I dan enzim II masing-masing sebanyak 1 ml dan aquadest 8 ml. Reaksi enzimatik dibiarkan berlangsung selama 8 jam

Lebih terperinci