BAB I PENGANTAR 1.1 LATAR BELAKANG

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENGANTAR 1.1 LATAR BELAKANG"

Transkripsi

1 BAB I PENGANTAR Remaja dalam perkembangannya, memiliki keunikan-keunikan yang bisa menjadi potensi dalam pengembangan dirinya ke arah yang lebih baik. Potensi-potensi yang dimiliki, akan mampu dikembangkan apabila wellbeing-nya diperhatikan dan terpenuhi. Dalam bab ini, akan diuraikan mengenai latar belakang penulis ingin melakukan penelitian mengenai subjective well-being remaja dan mengapa hal ini menjadi penting untuk diteliti. 1.1 LATAR BELAKANG Seiring dengan perkembangan psikologi positif, dunia psikologi memberikan penekanan dalam mengidentifikasi kekuatan atau potensi psikologi manusia, yang mana bisa membawa pada perkembangan yang lebih sehat. Dengan perkembangan yang menarik dalam psikologi positif, banyak studi mulai terus dikembangkan berkenaan dengan kenyamanan dan kesejahteraan hidup individu. Well-being merupakan salah satu topik dalam psikologi positif yang meneliti dan melihat bagaimana hidup yang bahagia, menyenangkan, dan sejahtera bagi manusia (Seligman dalam Snyder & Lopez, 2002). Apa yang membuat hidup menjadi hal yang layak dan menyenangkan? Apa yang menentukan kualitas yang tinggi dari satu kehidupan? Siapakah yang disebut dengan orang yang berbahagia? Semua pertanyaan tersebut sering merupakan pertanyaan-pertanyaan dalam studi mengenai well-being. Satu jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah perasaan seseorang dan pemikirannya bahwa hidupnya itu memang layak dan menyenangkan. Fenomena ini disebut subjective well-being yang

2 mengacu pada fakta bahwa seseorang secara subjektif meyakini bahwa hidupnya layak, menyenangkan, dan baik. Subjective well-being (selanjutnya disebut SWB) merupakan salah satu ukuran kualitas hidup individu dan masyarakat. Para filsuf telah banyak mendebatkan asal mula dari konsep mengenai hidup yang baik untuk waktu yang sangat lama, dan sampai pada satu kesimpulan yang muncul bahwa hidup yang baik adalah bahagia, tapi sebenarnya tidak cukup hanya dengan individu yang bahagia atau masyarakat yang bahagia saja. Bagaimana seseorang berpikir mengenai hidupnya sendiri merupakan esensi untuk memahami well-being (Diener, Oishi, & Lucas, 2003). SWB merupakan evaluasi subjektif seseorang mengenai hidupnya sendiri yang meliputi komponen emosional dan komponen kognitif (Diener & Biswas-Diener, 2008). Individu, khususnya remaja dengan level SWB yang rendah memiliki resiko yang besar dalam mengembangkan masalah-masalah psikologi seperti depresi dan perilaku yang tidak adaptif. Sebaliknya, mereka yang memiliki level SWB tinggi, akan mampu mengatur pekerjaan-pekerjaan sekolah mereka, bisa mengatur dan menjalin hubungan yang baik dengan orang tua, dan dapat mempersiapkan diri mereka dalam memasuki masa-masa transisi sebagai seorang dewasa (Conger & Petersen; Niemelä dkk.; Heaven; Saarela; Van Wel dkk. dalam Joronen, 2005). Namun demikian, tidak semua remaja dapat mengalami level SWB yang tinggi. Ada remaja yang tidak bisa merasa nyaman dengan hidup mereka dan sering merasa tidak puas dengan pengalaman kehidupan mereka selama ini. Oleh karena itu, dengan melihat penilaian mereka mengenai level SWB-nya maka potensi diri yang dimiliki oleh setiap remaja bisa dikembangkan, begitupun juga dengan lingkungan

3 dimana individu itu berada sehingga membawa pada perkembangan hidup yang lebih positif. SMA Negeri 1 telah lama dikenal oleh masyarakat kota Ambon sebagai salah satu SMA favorit dan unggulan di kota Ambon. Banyak siswa dari berbagai daerah di kota Ambon yang memiliki kemampuan unggulan diseleksi untuk bisa lolos dan melakukan aktivitas di sekolah ini. Sebagai sekolah dengan kualitas yang baik, tentunya tuntutan yang dibebankan kepada para siswanya juga berbeda dengan sekolah-sekolah lain pada umumnya. Apalagi sejak 27 Maret 2009, SMA ini telah terpilih sebagai salah satu dari 10 sekolah di Indonesia yang menjadi sekolah mitra Pemerintah Jerman melalui Lembaga Kebudayaan Jerman, Goethe Institut (Redaksi Berita Sore, 2009). Peningkatan prestasi yang berusaha dicapai oleh siswa dan pihak sekolah dari tahun ke tahun, menunjukkan bahwa siswa-siswi SMA Negeri 1 bersama dengan para staf sekolah, berusaha untuk membawa sekolah ini menuju persaingan global seperti visi yang dimiliki oleh sekolah ini. Dengan cita-cita untuk memberikan nuansa menghadapi persaingan global, siswa dituntut bersama untuk memberikan potensi terbaik, yang mereka miliki untuk pengembangan dirinya sendiri dan sekolah, baik dalam bidang akademik maupun kegiatan ektrakurikuler, menunjukkan bahwa para siswanya mampu mengembangkan potensi mereka dengan baik. Potensi diri yang berkembang dan pencapaian prestasi yang baik bisa menjadi indikasi adanya kepuasan yang dialami siswa di sekolah. Seperti diungkapkan Gilman dan Huebner (2006) dalam studi cross-sectionalnya, bahwa siswa yang melaporkan dirinya mengalami kepuasan hidup cenderung mendapatkan nilai GPA (Grade Point Averages) yang lebih tinggi dibandingkan siswa dengan kepuasan hidup yang rendah.

4 Melalui wawancara yang dilakukan dengan beberapa siswa SMA Negeri 1 Ambon pada 25 Maret 2012, ditemukan bahwa usaha para siswa dalam meningkatkan kualitas belajar dan pendidikan mereka didukung dengan keterbukaan dan kenyamanan yang mereka dapatkan di sekolah. Namun demikian, ada pula beberapa guru yang kurang memiliki relasi yang baik dengan para siswa sehingga siswa cenderung kurang menyukai guru-guru tersebut. Selain itu, sejak tahun 2008, SMU Negeri 1 menerapkan pola kegiatan belajar-mengajar dengan metode moving class. Dengan metode ini, siswa merasa ada segi positif yang mereka terima, misalnya mereka memperoleh pengetahuan mengenai pola kehidupan kampus yang juga tidak berada pada satu kelas saja, dan selain itu menghilangkan kejenuhan berada di kelas yang sama. Namun begitu, bagi mereka pola seperti ini juga mendatangkan masalah terutama ketika mereka harus pindah ke kelas yang berikutnya, karena kadangkala ada guru yang memberikan pelajaran sampai melewati batas waktu mengajarnya, sehingga mereka terlambat dan dianggap alpa karena keterlambatan. Ada pula siswa yang mengatakan merasa jenuh dengan tuntutan sekolah yang terlalu tinggi dan tugas yang setiap hari selalu ada. Namun demikian, mereka mengatakan bahwa hubungan keterbukaan yang diterima dari kepala sekolah, hubungan baik yang tercipta diantara teman-teman sekelas dan perlakuan baik yang diterima dari kebanyakan guru, baik yang seagama maupun yang tidak seagama, membuat mereka masih tetap merasa nyaman dan senang berada di sekolah. Dari penjelasan tersebut, terlihat bahwa ada kondisi-kondisi di lingkungan sekolah yang bisa membuat siswa merasa tidak nyaman dan bosan sehingga membuat mereka tidak senang berada di sekolah, namun ada pula kondisi-kondisi yang membuat mereka merasa senang di sekolah. Siswa mengungkapkan bahwa ketika mereka merasa senang dan nyaman, sekolah merupakan tempat yang sangat menyenangkan untuk belajar dan bersosialisasi dengan orang di

5 sekitarnya. Mereka merasa senang bisa bertemu dengan orang-orang yang mereka kenal dan melakukan rutinitas yang mereka senangi serta mengembangkan potensi yang mereka miliki baik dalam bidang akademik maupun ekstrakurikuler. Bertolak dari berbagai pendapat-pendapat di atas, maka dirasakan perlu untuk meneliti lebih jauh mengenai SWB siswa SMA Negeri 1 Ambon. SWB merupakan penilaian subyektif individu mengenai hidupnya sendiri, yang meliputi komponen kogntif dan komponen emosi (Diener, 2008). Remaja, khususnya siswa dengan SWB yang tinggi memiliki indikatorindikator, antara lain memiliki prestasi belajar yang baik, memiliki hubungan sosial yang baik dengan lingkungannya, terhindar dari perilaku-perilaku yang merusak kesehatan (misalnya, merokok dan kebiasaan meminumminuman keras), dan memiliki penyesuaian diri yang baik dengan lingkungan (Zullig dkk. dalam Murray-Harvey, 2010). Kualitas prestasi yang dimiliki oleh para siswa, baik dalam bidang akademik maupun ekstrakurikuler menunjukkan bahwa para siswa mengembangkan potensi diri mereka sebagai anak-anak muda berprestasi untuk memberikan yang terbaik dari apa yang mereka miliki. Dalam hal ini, pencapain yang positif, tentunya berkembang bukan saja karena potensi yang mereka miliki dari dalam dirinya sendiri, namun pula dipengaruhi oleh lingkungannya. Seperti yang diungkapkan oleh Brofenbrenner (dalam Meece dan Eccles, 2010) melalui empat sistem dalam ekologi perkembangan manusia, bahwa perkembangan manusia dipengaruhi oleh interaksi dinamis antara level yang majemuk dari lingkungan individu. Penelitian yang akan dilakukan saat ini lebih memfokuskan pada SWB remaja, khususnya siswa SMA. Studi mengenai SWB siswa, yang mana pada usia mereka tergolong dalam kelompok remaja menjadi penting, karena

6 dalam periode waktu ini, peristiwa-peristiwa dan transisi yang berbeda mungkin memengaruhi perkembangan serta well-being mereka. Selama masa kanak-kanak tengah (middle childhood) dan remaja, permasalahan kecil dan masalah sehari-hari kelihatannya menjadi sama dengan pengalaman peristiwa hidup yang penuh tekanan (McCullough, Huebner, & Laughlin, 2000). Namun demikian, remaja juga memiliki kekhasan sebagai orangorang muda yang memiliki potensi besar yang menarik dan layak untuk terus ditelusuri. Sebagai generasi yang menyimpan banyak potensi untuk berkembang, adalah merupakan hal yang sangat tepat apabila dilakukan penelitian mengenai bagaimana penilaian mereka mengenai SWB-nya. Selain itu, sejauh penelusuran penulis, penelitian-penelitian yang dilakukan sebelumnya lebih banyak meneliti mahasiswa (Wei, Yu-Hsin Liao, Tsun- Yao, dan Shaffer, 2011; Durkin dan Joseph, 2009; Busseri, Sadava, Molnar, DeCourville, 2009), kalangan orang tua (Heo, Lee, McCormick, Pedersen, 2010; Moon dan Mikami, 2007; Schüz, Wurm, Warner, Tesch-Römer, 2009; ), pekerja atau guru (Chan, 2009; Chan, 2010), komunitas orang dewasa (Maltby, Lewis, Day, 2008;) dan orang dengan penyakit tertentu (Pinquart dan Frohlich, 2009). Semua penelitian-penelitian ini dilakukan dengan asumsi bahwa orang dewasa atau orang dengan kondisi tertentu memiliki alasan yang lebih nyata tentang SWB mereka. Selain itu, orang dewasa telah mapan dan mampu untuk menilai bagaimana kepuasan hidup mereka. Jika individu memiliki level well-being yang tinggi, maka mereka akan memiliki kemampuan untuk bertahan dalam tekanan dan mampu mengembangkan perilaku yang adaptif. Faktor-faktor yang memengaruhi SWB seseorang bisa disimpulkan antara lain, faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi kepribadian dan temperamen, optimisme, harga diri (self-esteem), sedangkan faktor eksternal meliputi tujuan yang ingin dicapai, status sosio-

7 ekonomi, budaya, dukungan sosial, agama, jender, pendapatan pribadi, pernikahan-perceraian, hubungan sosial dengan orang lain, aktivitas yang dilakukan, dan keamanan diri. Lebih khusus, jika dilihat dalam konteks remaja dan sekolah, beberapa faktor yang penting dalam memengaruhi SWB remaja, antara lain dukungan sosial teman sebaya dan guru (Flaspohler, Elfstrom, Vanderzee, & Sink, 2009), orang tua (del Valle, Bravo & Lopez, 2010), school connectedness (Eccles, Early, Frasier, Belansky & McCarthy, 1997; Steinberg, dalam McNeely, Nonnemaker & Blum, 2002; Libbey, 2004), self-efficacy (Yang, Wang, Li & Teng, 2008). Dari faktor-faktor tersebut, penulis memilih school connectedness dan dukungan sosial teman sebaya sebagai dua variabel yang akan menjadi prediktor bagi SWB remaja, karena sejauh penelusuran penulis, dukungan sosial teman sebaya dan school coonnectedness merupakan variabel yang masih sedikit diteliti dalam konteks SWB remaja Indonesia, dan siswa di Ambon khususnya. Berhubungan dengan alasan di atas, penulis melihat bahwa sekolah memainkan peranan yang penting dalam kehidupan remaja dan pengalaman sekolah memiliki kaitan yang erat dengan bagaimana seseorang dikatakan sukses ataupun gagal (Palardy, 2008; Sun, Creemers, & de Jong, 2007; Konu, Lintonen, & Autio, dalam Morris, Martin, Hopson & Welch-Murphy, 2010). Lingkungan sekolah merupakan salah satu lingkungan utama selain keluarga ketika anak berada pada usia remaja. Pada masa-masa ini, remaja menghabiskan sebagain besar waktu mereka untuk beraktivitas di sekolah. Pada dasarnya, setiap remaja adalah unik, namun remaja Ambon memiliki keunikan tersendiri karena tumbuh di daerah yang rentan konflik. Oleh karena itu, ketika sekolah bisa menjadi salah satu lingkungan yang memberikan efek positif pada siswanya, maka siswa itu sendiri akan memiliki pemahaman yang positif dan terhindar dari perilaku-perilaku negatif karena pengajaran, pengetahuan dan nilai-nilai moral yang

8 ditanamkan dalam pengalaman nyatanya ketika bersekolah. Pengalaman nyatanya yang positif ketika berada di lingkungan sekolah akan membuat anak merasa menjadi bagian dari sekolah dan dengan sendirinya anak akan menanamkan rasa cinta kepada sekolah bukan hanya karena sekolah itu favorit atau diunggulkan, namun karena anak diperlakukan dengan benar oleh orang lain di sekolah. Dengan demikian, anak akan merasa bahwa hubungannya dengan sekolah memberikan dampak positif yang membawa pada kebahagiaan dan kenyamanan dirinya. Lebih daripada itu, seperti yang telah dijelaskan di atas, keterikatan atau adanya hubungan yang baik dengan sekolah, menjadi salah satu kunci utama kesuksesan seorang siswa di sekolah. Ketika siswa merasa dirinya dihargai, didukung, dan diterima dalam lingkungan sekolahnya, maka akan terjadi peningkatan dan perkembangan yang positif secara emosional maupun kualitas hidup siswa tersebut (Stracuzzi dan Mills, 2010). Dengan memahami pengaruh school connectedness terhadap SWB siswa, maka dapat membantu guru maupun para pemimpin di sekolah untuk mendesain lingkungan sekolah dan lingkungan belajar yang efektif. Dari penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya (misalnya, Resnick, dkk. 1997; McNeely dkk., 2002; Frydenberg, Care, Freeman & Chan, 2009), school connectedness menjadi salah satu variabel yang terbukti menjadi variabel protektif bagi remaja dengan memberikan hasil yang positif dalam perkembangannya. Berdasar pada studi cross-sectional, siswa dengan school connectedness yang baik biasanya kurang terlibat dalam perilaku-perilaku bermasalah (Battistich & Hom, 1997; Bond, Butler & Thomas, 2007; Carter, McGee, Taylor, & Williams, 2007; Resnick, Harris & Blum, 1993, Resnick dkk., 1997; Waters, Cross, dan Shaw, 2010), memiliki prestasi akademik di atas rata-rata (Anderman, 2002; Goodenow, 1993; Klem & Connell, 2004; Waters, Cross, dan Shaw, 2010), dan lebih daripada itu, siswa dengan level school

9 connectedness yang tinggi juga berasosiasi dengan sosio-emosional yang positif (Bonny, dkk. 2000; McNeely dkk., 2002; Stracuzzi, Mills, 2010). Namun dari kebanyakan penelitian yang dilakukan mengenai school connectedness, sangat sedikit studi yang menggambarkan karakteristik siswa atau ekologi sekolah yang mungkin meningkatkan hubungan siswa dengan sekolahnya, sehingga, penelitian-penelitian yang dilakukan sebelumnya belum tentu bisa digeneralisasi kepada siswa SMA Negeri 1 Ambon. Selain itu, anak dalam pertumbuhannya juga membutuhkan adanya keberadaan teman yang bisa menjadi tempat berbagi. Telah banyak penelitian yang menemukan bahwa teman sebaya memiliki peran yang besar dalam perkembangan anak usia remaja (misalnya, Scholte & Van Aken, 2006). Dalam banyak hal, remaja cenderung berbagi dan menghabiskan waktu dengan teman-temannya. Hal ini juga tidak berbeda jauh dengan siswa SMA Negeri 1 Ambon. Masing-masing dari setiap siswa memiliki teman, baik itu teman biasa ataupun sahabat yang biasanya mereka andalkan dalam banyak hal, misalnya mendengarkan masalah, memberi nasehat atau masukan, dan menolong mereka dalam meminjamkan barang atau uang dalam jumlah tertentu. Teman sebaya memiliki peran yang besar pada anakanak usia remaja ini. Anak merasa nyaman berbagi dengan temannya dibandingkan dengan orang tuanya sendiri. Inilah alasan mengapa kedua variabel ini penting dan sesuai untuk diteliti dalam melihat SWB siswa SMA Negeri 1 Ambon. Selain itu, variabel dukungan sosial teman sebaya yang menjadi variabel prediktor SWB kedua untuk penelitian ini dipilih karena pada masa remaja, perilaku sosial mereka berubah dari yang sepenuhnya bergantung pada orang tua menjadi lebih bergantung pada teman (Collins & Laursen, 2004). Scholte dan Van Aken (2006) dalam penelitiannya menemukan bahwa peran teman menjadi penting dan mereka berinteraksi dalam jumlah yang lebih besar pada usia remaja. Remaja juga kelihatannya

10 lebih senang berbicara dengan orang yang seusia dengan mereka, dan mereka mengindikasikan ketergantungan yang lebih besar pada teman (Arnett, 2003). Dukungan teman sebaya juga telah menjadi variabel yang memberikan pengaruh besar bagi perkembangan remaja. Dukungan teman sebaya telah memiliki hubungan positif dengan self-esteem dan prestasi sekolah siswa, dan berasosiasi negatif dengan komplain-komplain mengenai depresi dan gejala somatik lainnnya seperti sakit kepala dan pusing (Colarossi & Eccles, 2003; Domagala-Zysk, 2006; Torsheim & Wold, 2001; Flaspohler dkk., 2009). Namun demikian, ada juga penelitian yang menemukan bahwa jika dibandingkan dengan dukungan sosial teman sebaya, dukungan orang tua masih lebih memiliki peran yang penting bagi remaja. Meeus (dalam Del Valle dkk., 2010) dan Meeus dan dekovic (dalam Del Valle, 2010) menjelaskan bahwa dukungan dari orang tua berlanjut menjadi yang paling penting dalam konteks hubungan personal, sementara dukungan teman sebaya lebih relevan dalam waktu senggang saja, sehingga dukungan orang tua merupakan faktor well-being yang krusial dibandingkan teman sebaya pada tahap perkembangan remaja. Dengan alasan dan penemuan teoritis dari penelitian-penelitian sebelumnya, peneliti merasa perlu melakukan penelitian untuk mengetahui school connectedness dan dukungan sosial teman sebaya sebagai prediktor terhadap SWB siswa PERUMUSAN MASALAH Apakah school connectedness dan dukungan sosial teman sebaya secara simultan menjadi prediktor subjective well-being siswa? 1.3. TUJUAN PENELITIAN

11 Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji school connectedness dan dukungan sosial teman sebaya sebagai prediktor subjective well-being siswa MANFAAT PENELITIAN Sesuai tujuan penelitian di atas, maka penelitian ini diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut : 1. Manfaat Teoritis Dapat memperkaya konsep atau teori-teori psikologi dan menjadi bukti empiris mengenai subjective well-being remaja, serta diharapkan menjadi acuan bagi penelitian-penelitian yang relevan. 2. Manfaat bagi sekolah (SMU Negeri 1 Ambon) a. Bagi para guru : memberikan informasi mengenai pengaruh school connectedness dan dukungan sosial teman sebaya terhadap subjective well-being remaja. b. Hasil penelitian ini bisa memberikan masukan mengenai pengaruh school connectedness dan dukungan sosial teman sebaya terhadap subjective well-being siswa, sehingga dapat digunakan sebagai informasi berguna untuk pengembangan diri siswa ke arah yang lebih positif. 3. Manfaat bagi peneliti Penelitian ini memperkaya penulis tentang berbagai faktor yang bisa menjadi prediktor terhadap subjective well-being siswa, sehingga menjadi masukan untuk dasar-dasar riset dan selanjutnya berguna juga bagi pengetahuan penulis dalam pengembangan diri dan sosialisasi dengan para remaja (siswa) di kemudian hari.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Bagi remaja, sekolah tidak hanya berfungsi sebagai tempat belajar formal saja, namun juga menjadi salah satu

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Bagi remaja, sekolah tidak hanya berfungsi sebagai tempat belajar formal saja, namun juga menjadi salah satu BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Bagi remaja, sekolah tidak hanya berfungsi sebagai tempat belajar formal saja, namun juga menjadi salah satu lingkungan utama selain keluarga sebagai pusat kegiatan sosial.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa yang pada umumnya ditandai dengan perubahan fisik, kognitif, dan psikososial, tetapi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada perguruan tinggi mahasiswa tahun pertama harus bersiap menghadapi

BAB I PENDAHULUAN. Pada perguruan tinggi mahasiswa tahun pertama harus bersiap menghadapi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada perguruan tinggi tahun pertama harus bersiap menghadapi dunia baru yaitu dunia perkuliahan yang tentu saja berbeda jauh dengan kultur dan sistem pendidikan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Alasan Pemilihan Teori Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being menurut Diener (2005). Teori yang dipilih akan digunakan untuk meneliti gambaran

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia tidak terlepas dari interaksi dengan orang

BAB 1 PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia tidak terlepas dari interaksi dengan orang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagai mahluk sosial, manusia tidak terlepas dari interaksi dengan orang lain. Interaksi sosial membuat manusia bertemu dan berhubungan dengan berbagai macam orang.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. peristiwa yang menyenangkan maupun peristiwa yang tidak menyenangkan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. peristiwa yang menyenangkan maupun peristiwa yang tidak menyenangkan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Individu pasti melewati segala peristiwa dalam kehidupan mereka. Peristiwa-peristiwa yang dialami oleh setiap individu dapat beragam, dapat berupa peristiwa yang menyenangkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wellbeing merupakan kondisi saat individu bisa mengetahui dan mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya, menjalin hubungan yang baik dengan orang lain, dan secara

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. A. Latar Belakang Masalah. strategis di era globalisasi. Dengan adanya kemajuan tersebut, sesungguhnya

BAB I PENGANTAR. A. Latar Belakang Masalah. strategis di era globalisasi. Dengan adanya kemajuan tersebut, sesungguhnya BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Masalah Memasuki abad ke- 21, banyak pengembangan berbagai teknologi strategis di era globalisasi. Dengan adanya kemajuan tersebut, sesungguhnya trend Boarding School

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam menjalani kehidupan manusia memiliki rasa kebahagiaan dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam menjalani kehidupan manusia memiliki rasa kebahagiaan dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam menjalani kehidupan manusia memiliki rasa kebahagiaan dan memiliki rasa kesedihan. Kebahagiaan memiliki tujuan penting di dalam kehidupan manusia. Setiap individu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sifatnya subjektif. Kebahagiaan, kesejahteraan, dan rasa puas terhadap hidup yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sifatnya subjektif. Kebahagiaan, kesejahteraan, dan rasa puas terhadap hidup yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Individu dapat mencapai tujuan hidup apabila merasakan kebahagian, kesejahteraan, kepuasan, dan positif terhadap kehidupannya. Kebahagiaan yang dirasakan oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. tersebut muncul banyak perubahan baik secara fisik maupun psikologis.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. tersebut muncul banyak perubahan baik secara fisik maupun psikologis. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Remaja merupakan bagian dari masyarakat yang sedang mengalami proses transisi dari masa kanak-kanak menuju kepada masa dewasa. Dalam masa transisi tersebut muncul

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. akselerasi memberikan kesempatan bagi para siswa dalam percepatan belajar dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. akselerasi memberikan kesempatan bagi para siswa dalam percepatan belajar dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan di Indonesia sudah mengalami kemajuan yang begitu pesat. baik dari segi kurikulum maupun program penunjang yang dirasa mampu untuk mendukung peningkatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebahagiaan dengan semangat yang menggebu. Awalnya mereka menyebut

BAB I PENDAHULUAN. kebahagiaan dengan semangat yang menggebu. Awalnya mereka menyebut BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap manusia bukan hanya ingin sekedar memperbaiki kelemahan mereka. Mereka menginginkan kehidupan yang bermakna, bukan kegelisahan sampai ajal menjemput. Beberapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jumlah penduduk lansia sebanyak jiwa (BPS, 2010). dengan knowledge, attitude, skills, kesehatan dan lingkungan sekitar.

BAB I PENDAHULUAN. jumlah penduduk lansia sebanyak jiwa (BPS, 2010). dengan knowledge, attitude, skills, kesehatan dan lingkungan sekitar. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Jumlah penduduk Indonesia berjumlah 237.641.326 jiwa dengan jumlah penduduk lansia sebanyak 18.118.699 jiwa (BPS, 2010). Badan Pusat Statistik memprediksikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dalam rentang kehidupan, pastinya setiap individu akan mengalami sebuah fase kehidupan. Fase kehidupan tersebut berawal sejak dari kandungan, masa kanak-kanak,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak pernah terlepas dari

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak pernah terlepas dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak pernah terlepas dari hubungannya dengan orang lain. Keberadaan orang lain dibutuhkan manusia untuk melakukan suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah masyarakat. Manusia senantiasa berhubungan dengan manusia lain untuk memenuhi berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pendidikan pada abad ke-21 berupaya menerapkan pendidikan yang positif

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pendidikan pada abad ke-21 berupaya menerapkan pendidikan yang positif 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan pada abad ke-21 berupaya menerapkan pendidikan yang positif dengan menerapkan psikologi positif dalam pendidikan. Psikologi positif yang dikontribusikan

Lebih terperinci

Kesehatan Mental. Strategi Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis. Aulia Kirana, M.Psi, Psikolog. Modul ke: Fakultas Psikologi. Program Studi Psikologi

Kesehatan Mental. Strategi Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis. Aulia Kirana, M.Psi, Psikolog. Modul ke: Fakultas Psikologi. Program Studi Psikologi Modul ke: Kesehatan Mental Strategi Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis Fakultas Psikologi Aulia Kirana, M.Psi, Psikolog. Program Studi Psikologi www.mercubuana.ac.id Konsep Kebahagiaan atau Kesejahteraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Masalah Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan seseorang memasuki masa dewasa. Masa ini merupakan, masa transisi dari masa anak-anak menuju dewasa.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. proses pertumbuhan dan perkembangan. Individu pada masa remaja mulai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. proses pertumbuhan dan perkembangan. Individu pada masa remaja mulai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja dapat dipandang sebagai suatu masa dimana individu dalam proses pertumbuhan dan perkembangan. Individu pada masa remaja mulai meninggalkan kebiasaan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kebahagiaan. positif dengan kepuasan yang tinggi dalam hidup, memiliki tingkat afek positif

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kebahagiaan. positif dengan kepuasan yang tinggi dalam hidup, memiliki tingkat afek positif BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kebahagiaan 1. Definisi Kebahagiaan Kebahagiaan diartikan sebagai kesatuan karakteristik psikologis yang positif dengan kepuasan yang tinggi dalam hidup, memiliki tingkat afek

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kesejahteraan subjektif merupakan suatu hal yang penting dan sangat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kesejahteraan subjektif merupakan suatu hal yang penting dan sangat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesejahteraan subjektif merupakan suatu hal yang penting dan sangat berhubungan dengan kondisi psikologis individu, serta dapat melihat sejauh mana kepuasan hidup yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karena adanya hubungan darah, perkawinan atau adopsi dan saling berinteraksi satu sama

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karena adanya hubungan darah, perkawinan atau adopsi dan saling berinteraksi satu sama BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keluarga merupakan dua atau lebih individu yang hidup dalam satu rumah tangga karena adanya hubungan darah, perkawinan atau adopsi dan saling berinteraksi satu sama

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. A. Latar Belakang. remaja belum memperoleh status orang dewasa tetapi tidak lagi memiliki status

BAB I PENGANTAR. A. Latar Belakang. remaja belum memperoleh status orang dewasa tetapi tidak lagi memiliki status BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Masa remaja dinyatakan sebagai masa transisi atau peralihan karena remaja belum memperoleh status orang dewasa tetapi tidak lagi memiliki status kanak-kanak. Remaja masih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tidak setiap anak atau remaja beruntung dalam menjalani hidupnya.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tidak setiap anak atau remaja beruntung dalam menjalani hidupnya. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tidak setiap anak atau remaja beruntung dalam menjalani hidupnya. Beberapa anak dihadapkan pada pilihan bahwa anak harus berpisah dari keluarganya karena sesuatu

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI. Ada dua tradisi dalam memandang kebahagiaan, yaitu kebahagiaan

BAB 2 LANDASAN TEORI. Ada dua tradisi dalam memandang kebahagiaan, yaitu kebahagiaan BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Landasan Teori 2.1.1 Subjective Well Being Ada dua tradisi dalam memandang kebahagiaan, yaitu kebahagiaan eudaimonic dan kebahagiaan hedonis. Istilah eudaimonic berasal dari bahasa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Setiap manusia menginginkan apa yang disebut dengan kebahagiaan dan berusaha menghindari penderitaan dalam hidupnya. Aristoteles (dalam Seligman, 2011: 27) berpendapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Masa remaja (adolescence), merupakan masa yang berada pada tahap perkembangan psikologis yang potensial sekaligus rentan karena masalah dapat terjadi setiap hari. Remaja yang mencapai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kebahagiaan. mengacu pada emosi positif yang dirasakan individu serta aktivitas-aktivitas

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kebahagiaan. mengacu pada emosi positif yang dirasakan individu serta aktivitas-aktivitas 11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kebahagiaan 1. Definisi Kebahagiaan Seligman (2005) menjelaskan kebahagiaan merupakan konsep yang mengacu pada emosi positif yang dirasakan individu serta aktivitas-aktivitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyesuaian diri di lingkungan sosialnya. Seorang individu akan selalu berusaha

BAB I PENDAHULUAN. penyesuaian diri di lingkungan sosialnya. Seorang individu akan selalu berusaha 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia sebagai makhluk sosial yang selalu hidup berdampingan dengan orang lain tentunya sering dihadapkan pada berbagai permasalahan yang melibatkan dirinya

Lebih terperinci

Studi Deskriptif Children Well-Being pada Anak Kelas VI Sekolah Dasar Full-Day Darul Ilmi Bandung

Studi Deskriptif Children Well-Being pada Anak Kelas VI Sekolah Dasar Full-Day Darul Ilmi Bandung Prosiding Psikologi ISSN: 2460-6448 Studi Deskriptif Children Well-Being pada Anak Kelas VI Sekolah Dasar Full-Day Darul Ilmi Bandung 1 Nurcahyani Rahayu Rahman, 2 Siti Qodariah 1,2 Fakultas Psikologi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bangsa. Dalam pertumbuhannya, anak memerlukan perlindungan, kasih sayang

BAB I PENDAHULUAN. bangsa. Dalam pertumbuhannya, anak memerlukan perlindungan, kasih sayang BAB I PENDAHULUAN l.l Latar Belakang Masalah Anak merupakan aset bangsa yang tak ternilai harganya. Merekalah yang akan menerima kepemimpinan dikemudian hari serta menjadi penerus perjuangan bangsa. Dalam

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN Dalam melakukan suatu penelitian, khususnya penelitian kuantitatif, perlu secara jelas diketahui variabel-variabel apa saja yang akan diukur dan instrumen seperti apa yang akan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Salah satu tujuan nasional dari negara Indonesia yang tercantum dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Salah satu tujuan nasional dari negara Indonesia yang tercantum dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu tujuan nasional dari negara Indonesia yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) tahun 1945 adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Tujuan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. sebenarnya ada dibalik semua itu, yang jelas hal hal seperti itu. remaja yang sedang berkembang.

BAB 1 PENDAHULUAN. sebenarnya ada dibalik semua itu, yang jelas hal hal seperti itu. remaja yang sedang berkembang. BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Belakangan ini marak terjadi kasus perkelahian antar siswa sekolah yang beredar di media sosial. Permasalahannya pun beragam, mulai dari permasalahan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. usia 18 hingga 25 tahun (Santrock, 2010). Pada tahap perkembangan ini, individu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. usia 18 hingga 25 tahun (Santrock, 2010). Pada tahap perkembangan ini, individu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seorang individu dapat dikatakan menginjak masa dewasa awal ketika mencapai usia 18 hingga 25 tahun (Santrock, 2010). Pada tahap perkembangan ini, individu mengalami

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Setiap individu di dalam hidupnya selalu berusaha untuk mencari

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Setiap individu di dalam hidupnya selalu berusaha untuk mencari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setiap individu di dalam hidupnya selalu berusaha untuk mencari kesejahteraan. Mereka mencoba berbagai cara untuk mendapatkan kesejahteraan tersebut baik secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. setiap tahap perkembangannya, seperti pada tahap remaja.

BAB I PENDAHULUAN. setiap tahap perkembangannya, seperti pada tahap remaja. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri tanpa manusia lain. Sebagai makhluk sosial, manusia memiki keinginan untuk berkelompok. Keinginan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN Bab I merupakan bab perkenalan, di dalamnya dipaparkan mengenai; latar belakang penelitian, rumusan masalah penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan struktur organisasi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. keras untuk meraih kebahagiaaan (Elfida, 2008).

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. keras untuk meraih kebahagiaaan (Elfida, 2008). 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap manusia ingin hidup bahagia dunia dan akhirat. Manusia harus melakukan suatu usaha untuk mendapatkan kebahagiaan. Usaha yang dilakukan antara individu

Lebih terperinci

Studi Deskriptif Children Well-Being pada Anak yang Bekerja sebagai Buruh Nelayan di Desa Karangsong Indramayu

Studi Deskriptif Children Well-Being pada Anak yang Bekerja sebagai Buruh Nelayan di Desa Karangsong Indramayu Prosiding Psikologi ISSN: 2460-6448 Studi Deskriptif Children Well-Being pada Anak yang Bekerja sebagai Buruh Nelayan di Desa Karangsong Indramayu ¹Hemas Farah Khairunnisa, ²Fanni Putri Diantina 1,2 Fakultas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adalah masa remaja. Masa remaja merupakan masa transisi dari anak-anak

BAB I PENDAHULUAN. adalah masa remaja. Masa remaja merupakan masa transisi dari anak-anak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap manusia pasti akan mengalami perkembangan ke arah yang lebih sempurna. Salah satu tahap perkembangan dalam kehidupan manusia adalah masa remaja. Masa remaja merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. jenis kelamin, status ekonomi sosial ataupun usia, semua orang menginginkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. jenis kelamin, status ekonomi sosial ataupun usia, semua orang menginginkan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap manusia senantiasa mendambakan kehidupan yang bahagia. Mencari kebahagiaan dapat dikatakan sebagai fitrah murni setiap manusia. Tidak memandang jenis kelamin,

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Problematic Internet Use 2.1.1 Definisi Problematic Internet Use Awal penelitian empiris tentang penggunaan internet yang berlebihan ditemukan dalam literatur yang dilakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari,

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari, BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari, dan lain-lain. Setiap tugas dipelajari secara optimal pada waktu-waktu tertentu

Lebih terperinci

Perkembangan Sepanjang Hayat

Perkembangan Sepanjang Hayat Modul ke: Perkembangan Sepanjang Hayat Memahami Masa Perkembangan Dewasa Awal dalam Aspek Psikososial Fakultas PSIKOLOGI Hanifah, M.Psi, Psikolog Program Studi Psikologi http://mercubuana.ac.id Masa Dewasa

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. School Connectedness 1. Definisi School Connectedness Definisi school connectedness masih berkembang hingga saat ini. Secara umum school connectedness dijelaskan sebagai tingkat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa peralihan dari kanak-kanak menuju dewasa.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa peralihan dari kanak-kanak menuju dewasa. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa peralihan dari kanak-kanak menuju dewasa. (Stanley Hall dalam Panuju, 2005). Stres yang dialami remaja berkaitan dengan proses perkembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. akhir dan dewasa awal. Menurut Monks (dalam Desmita, 2012) remaja akhir

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. akhir dan dewasa awal. Menurut Monks (dalam Desmita, 2012) remaja akhir BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mahasiswa dalam tahap perkembangannya digolongkan sebagai remaja akhir dan dewasa awal. Menurut Monks (dalam Desmita, 2012) remaja akhir berada pada rentang usia 18-21

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Lieben und arbeiten, untuk mencinta dan untuk bekerja.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Lieben und arbeiten, untuk mencinta dan untuk bekerja. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Lieben und arbeiten, untuk mencinta dan untuk bekerja. Pernyataan Freud ini menggambarkan dua ranah utama dari kehidupan orang dewasa, dimana pekerjaan merupakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Banyak orang yang mengatakan masa remaja adalah masa yang paling

BAB 1 PENDAHULUAN. Banyak orang yang mengatakan masa remaja adalah masa yang paling 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Banyak orang yang mengatakan masa remaja adalah masa yang paling menyenangkan. Dimana individu tersebut tidak lagi dianggap sebagai anak-anak, mulai diberi kebebasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang,

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang, karena pada masa ini remaja mengalami perkembangan fisik yang cepat dan perkembangan psikis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi. Terjadi pada usia kurang lebih lima

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi. Terjadi pada usia kurang lebih lima 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja merupakan masa transisi. Terjadi pada usia kurang lebih lima belas tahun sampai dengan dua puluh dua tahun. Pada masa tersebut, remaja akan mengalami beberapa

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A Latar Belakang Mahasiswa dipersiapkan untuk menjadi agen perubahan, salah

BAB 1 PENDAHULUAN. A Latar Belakang Mahasiswa dipersiapkan untuk menjadi agen perubahan, salah BAB 1 PENDAHULUAN A Latar Belakang Mahasiswa dipersiapkan untuk menjadi agen perubahan, salah satunya untuk perubahan lingkungan maupun untuk dirinya sendiri yang bertujuan meningkatkan dan merubah kualitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kompleksnya kehidupan manusia di era globalisasi ini. Beberapa negara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kompleksnya kehidupan manusia di era globalisasi ini. Beberapa negara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesejahteraan menjadi suatu hal yang penting seiring dengan semakin kompleksnya kehidupan manusia di era globalisasi ini. Beberapa negara menggunakan kesejahteraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang unik dan terus mengalami perkembangan di

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang unik dan terus mengalami perkembangan di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah individu yang unik dan terus mengalami perkembangan di sepanjang kehidupannya sejalan dengan pertambahan usianya. Manusia merupakan individu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. yang dialaminya. Subjective well-being melibatkan evaluasi pada dua komponen, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. yang dialaminya. Subjective well-being melibatkan evaluasi pada dua komponen, yaitu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Subjective well-being merupakan sejauh mana individu mengevaluasi kehidupan yang dialaminya. Subjective well-being melibatkan evaluasi pada dua komponen, yaitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk hidup yang senantiasa berkembang dan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk hidup yang senantiasa berkembang dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk hidup yang senantiasa berkembang dan mengalami perubahan-perubahan bertahap dalam hidupnya. Sepanjang rentang kehidupannya tersebut,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Subjective Well Being. Menurut Diener (2009) definisi dari subjective well being (SWB) dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Subjective Well Being. Menurut Diener (2009) definisi dari subjective well being (SWB) dan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Subjective Well Being 1. Definisi Subjective Well Being Menurut Diener (2009) definisi dari subjective well being (SWB) dan kebahagiaan dapat dibuat menjadi tiga kategori. Pertama,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Remaja merupakan generasi penerus bangsa yang diharapkan menjadi calon-calon pemimpin bangsa maupun menjadi calon penggerak kehidupan bangsa dari sumbangsih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ini laju informasi dan teknologi berjalan dengan sangat cepat. Begitu juga dengan

BAB I PENDAHULUAN. ini laju informasi dan teknologi berjalan dengan sangat cepat. Begitu juga dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Abad XXI ini dikenal dengan era globalisasi dan era informasi. Dalam era ini laju informasi dan teknologi berjalan dengan sangat cepat. Begitu juga dengan pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan siswa. Pada masa remaja berkembang social cognition, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan siswa. Pada masa remaja berkembang social cognition, yaitu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan segmen kehidupan yang penting dalam siklus perkembangan siswa. Pada masa remaja berkembang social cognition, yaitu kemampuan memahami

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejak zaman dahulu manusia bertanya-tanya tentang bagaimana cara memperoleh kualitas hidup yang baik. Peneliti-peneliti yang mempelajari kepuasan hidup mengasumsikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. menciptakan manusia sebagai makhluk hidup-nya, akan tetapi makhluk hidup

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. menciptakan manusia sebagai makhluk hidup-nya, akan tetapi makhluk hidup BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia merupakan makhlik hidup ciptaan Allah SWT. Allah SWT tidak menciptakan manusia sebagai makhluk hidup-nya, akan tetapi makhluk hidup ciptaan Allah yang lain adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

BAB I PENDAHULUAN. perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN Anak adalah sumber daya bagi bangsa juga sebagai penentu masa depan dan penerus bangsa, sehingga dianggap penting bagi suatu negara untuk mengatur hak-hak

Lebih terperinci

Hubungan antara Self-Efficacy dengan Subjective Well-Being pada Siswa SMA Negeri 1 Belitang

Hubungan antara Self-Efficacy dengan Subjective Well-Being pada Siswa SMA Negeri 1 Belitang Hubungan antara Self-Efficacy dengan Subjective Well-Being pada Siswa SMA Negeri 1 Belitang Rhesaroka Pramudita rhesaroka.p@gmail.com Wiwien Dinar Pratisti wiwienpratisti@yahoocom Program Studi Psikologi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Masa remaja merupakan masa penting dalam kehidupan dimana remaja menjalani sejumlah transisi termasuk perubahan fisik dan emosional. Masa ini rentan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. ahli psikologi. Karena permasalahan remaja merupakan masalah yang harus di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. ahli psikologi. Karena permasalahan remaja merupakan masalah yang harus di 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada saat sekarang ini permasalahan remaja adalah masalah yang banyak di bicarakan oleh para ahli, seperti para ahli sosiologi, kriminologi, dan khususnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Coakley (dalam Lerner dkk, 1998) kadang menimbulkan terjadinya benturan antara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Coakley (dalam Lerner dkk, 1998) kadang menimbulkan terjadinya benturan antara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja adalah masa terjadinya banyak perubahan. Remaja haus akan kebebasan dalam memutuskan dan menentukan pilihan hidupnya secara mandiri. Erikson (dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. manusia, ditandai dengan perubahan-perubahan biologis, kognitif dan sosial-emosional

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. manusia, ditandai dengan perubahan-perubahan biologis, kognitif dan sosial-emosional BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja merupakan masa kehidupan yang penting dalam rentang hidup manusia, ditandai dengan perubahan-perubahan biologis, kognitif dan sosial-emosional (Santrock,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Anak merupakan amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Anak merupakan amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Anak merupakan amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa harus kita jaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kebahagiaan. mengacu pada emosi positif yang dirasakan individu serta aktivitas-aktivitas

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kebahagiaan. mengacu pada emosi positif yang dirasakan individu serta aktivitas-aktivitas BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kebahagiaan 1. Pengertian Kebahagiaan Menurut Seligman (2005) kebahagiaan hidup merupakan konsep yang mengacu pada emosi positif yang dirasakan individu serta aktivitas-aktivitas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kualitas Perkawinan. Definisi lain menurut Wahyuningsih (2013) berdasarkan teori Fowers dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kualitas Perkawinan. Definisi lain menurut Wahyuningsih (2013) berdasarkan teori Fowers dan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kualitas Perkawinan 1. Pengertian Kualitas Perkawinan Menurut Gullota (Aqmalia, 2009) kepuasan pernikahan merupakan perasaan pasangan terhadap pasangannya mengenai hubungan pernikahannya.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Abdi dalem merupakan orang yang mengabdi pada Keraton, pengabdian abdi

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Abdi dalem merupakan orang yang mengabdi pada Keraton, pengabdian abdi 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Abdi dalem merupakan orang yang mengabdi pada Keraton, pengabdian abdi dalem ini telah dilakukan selama belasan tahun, bahkan puluhan tahun. Kehidupan Keraton

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tugas perkembangan pada remaja salah satunya adalah mencapai kematangan hubungan sosial dengan teman sebaya baik pria, wanita, orang tua atau masyarakat. Dimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. maupun swasta namun, peningkatan jumlah perguruan tinggi tersebut tidak dibarengi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. maupun swasta namun, peningkatan jumlah perguruan tinggi tersebut tidak dibarengi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pangkalan Data Perguruan Tinggi (PDPT) Dikti tahun 2010 melaporkan bahwa jumlah perguruan tinggi di Indonesia mengalami peningkatan, baik perguruan tinggi negeri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Perceraian adalah puncak dari penyesuaian perkawinan yang buruk,

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Perceraian adalah puncak dari penyesuaian perkawinan yang buruk, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Fenomena perceraian merupakan hal yang sudah umum terjadi di masyarakat. Perceraian adalah puncak dari penyesuaian perkawinan yang buruk, yang terjadi apabila

Lebih terperinci

Jurnal. oleh. Maria Astri Wanda Sutarto Wijono Adi Setiawan

Jurnal. oleh. Maria Astri Wanda Sutarto Wijono Adi Setiawan SELF-ESTEEM, DUKUNGAN SOSIAL TEMAN SEBAYA, DAN SCHOOL CONNECTEDNESS SEBAGAI PREDIKTOR SUBJECTIVE WELL-BEING SISWA KELAS VIII SMP NEGERI 2 TUNTANG DITINJAU DARI JENIS KELAMIN Jurnal oleh Maria Astri Wanda

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Anak merupakan asset yang kelak akan menjadi penerus keluarga, menjadi

BAB I PENDAHULUAN. Anak merupakan asset yang kelak akan menjadi penerus keluarga, menjadi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Anak merupakan asset yang kelak akan menjadi penerus keluarga, menjadi pejuang tangguh yang akan membawa bangsa menjadi beradab. Banyak ahli telah melakukan

Lebih terperinci

5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN

5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN 149 5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN Pada bab pendahuluan telah dijelaskan bahwa penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran psychological well-being pada wanita dewasa muda yang menjadi istri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perhatian serius. Pendidikan dapat menjadi media untuk memperbaiki sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. perhatian serius. Pendidikan dapat menjadi media untuk memperbaiki sumber daya BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan salah satu bidang yang penting dan perlu mendapatkan perhatian serius. Pendidikan dapat menjadi media untuk memperbaiki sumber daya manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa 15 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Di usia remaja antara 10-13 tahun hingga 18-22 tahun (Santrock, 1998), secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tentang orang lain. Begitu pula dalam membagikan masalah yang terdapat pada

BAB I PENDAHULUAN. tentang orang lain. Begitu pula dalam membagikan masalah yang terdapat pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Wanita merupakan individu yang memiliki keterbukaan dalam membagi permasalahan kehidupan maupun penilaian mereka mengenai sesuatu ataupun tentang orang lain.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. manusia dapat hidup berkembang sejalan dengan aspirasi untuk maju, sejahtera,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. manusia dapat hidup berkembang sejalan dengan aspirasi untuk maju, sejahtera, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan bagi kehidupan umat manusia merupakan kebutuhan mutlak yang harus dipenuhi sepanjang hayat. Tanpa pendidikan mustahil suatu kelompok manusia dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Remaja merupakan generasi muda yang berperan sebagai penerus cita-cita

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Remaja merupakan generasi muda yang berperan sebagai penerus cita-cita BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Remaja merupakan generasi muda yang berperan sebagai penerus cita-cita bangsa, oleh karena itu remaja diharapkan dapat mengembangkan potensi diri secara optimal

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. belajar di sekolah. Hal ini sesuai pendapat Ahmadi (2005) yang menyebutkan

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. belajar di sekolah. Hal ini sesuai pendapat Ahmadi (2005) yang menyebutkan BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyesuaian diri merupakan salah satu faktor keberhasilan dalam proses belajar di sekolah. Hal ini sesuai pendapat Ahmadi (2005) yang menyebutkan faktor-faktor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. fase perkembangannya memiliki keunikan tersendiri. Papalia (2008) menyebutkan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. fase perkembangannya memiliki keunikan tersendiri. Papalia (2008) menyebutkan bahwa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Membahas suatu hal tentang remaja adalah suatu yang menarik karena dalam setiap fase perkembangannya memiliki keunikan tersendiri. Papalia (2008) menyebutkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dewasa, anak juga memiliki harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya,

BAB 1 PENDAHULUAN. dewasa, anak juga memiliki harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Anak merupakan karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang harus dijaga dengan baik, dalam tumbuh kembangnya menjadi manusia dewasa, anak juga memiliki harkat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Remaja tidak dapat dikatakan sebagai anak-anak dan belum termasuk pada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Remaja tidak dapat dikatakan sebagai anak-anak dan belum termasuk pada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Remaja tidak dapat dikatakan sebagai anak-anak dan belum termasuk pada kategori orang dewasa. Masa remaja merupakan tahap perkembangan kehidupan yang dilalui setelah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hubungan Antara Persepsi Terhadap Pola Kelekatan Orangtua Tunggal Dengan Konsep Diri Remaja Di Kota Bandung

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hubungan Antara Persepsi Terhadap Pola Kelekatan Orangtua Tunggal Dengan Konsep Diri Remaja Di Kota Bandung BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Idealnya, di dalam sebuah keluarga yang lengkap haruslah ada ayah, ibu dan juga anak. Namun, pada kenyataannya, saat ini banyak sekali orang tua yang menjadi orangtua

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dan kemampuan siswa. Dengan pendidikan diharapkan individu (siswa) dapat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dan kemampuan siswa. Dengan pendidikan diharapkan individu (siswa) dapat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan mempunyai peranan yang sangat penting bagi perkembangan dan kemampuan siswa. Dengan pendidikan diharapkan individu (siswa) dapat mengembangkan potensi-potensinya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ketika memulai relasi pertemanan, orang lain akan menilai individu diantaranya

BAB I PENDAHULUAN. Ketika memulai relasi pertemanan, orang lain akan menilai individu diantaranya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Ketika memulai relasi pertemanan, orang lain akan menilai individu diantaranya berdasarkan cara berpakaian, cara berjalan, cara duduk, cara bicara, dan tampilan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berinteraksi. Interaksi tersebut selalu dibutuhkan manusia dalam menjalani

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berinteraksi. Interaksi tersebut selalu dibutuhkan manusia dalam menjalani BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia sebagai makhluk sosial membutuhkan kehadiran orang lain untuk berinteraksi. Interaksi tersebut selalu dibutuhkan manusia dalam menjalani kehidupannnya.

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan suatu usaha yang dilakukan secara sadar dan terencana

PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan suatu usaha yang dilakukan secara sadar dan terencana BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan suatu usaha yang dilakukan secara sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan pengurus pondok pesantren tersebut. Pesantren memiliki tradisi kuat. pendahulunya dari generasi ke generasi.

BAB I PENDAHULUAN. dan pengurus pondok pesantren tersebut. Pesantren memiliki tradisi kuat. pendahulunya dari generasi ke generasi. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja adalah masa yang penuh dengan kekalutan emosi, instropeksi yang berlebihan, kisah yang besar, dan sensitivitas yang tinggi. Masa remaja adalah masa pemberontakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. kalangan masyarakat, misalnya penggunaan smartphone. Bagi masyarakat, smartphone

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. kalangan masyarakat, misalnya penggunaan smartphone. Bagi masyarakat, smartphone BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Semakin maju era globalisasi ini, teknologi telekomunikasi semakin gencar di kalangan masyarakat, misalnya penggunaan smartphone. Bagi masyarakat, smartphone memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN LATAR BELAKANG MASALAH. Masa remaja adalah masa transisi dari masa kanak-kanak ke masa

BAB I PENDAHULUAN LATAR BELAKANG MASALAH. Masa remaja adalah masa transisi dari masa kanak-kanak ke masa 1 BAB I PENDAHULUAN A LATAR BELAKANG MASALAH Masa remaja adalah masa transisi dari masa kanak-kanak ke masa dewasa.secara umum dapat diketahui bahwa sikap remaja saat ini masih dalam tahap mencari jati

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. potensi yang dimiliki peserta didik melalui proses pembelajaran (Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. potensi yang dimiliki peserta didik melalui proses pembelajaran (Undang-Undang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan salah satu sektor penting dalam pembangunan di setiap negara. Pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kristen. Setiap gereja Kristen memiliki persyaratan tersendiri untuk

BAB I PENDAHULUAN. Kristen. Setiap gereja Kristen memiliki persyaratan tersendiri untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang kaya akan perbedaan, salah satunya adalah agama. Setiap agama di Indonesia memiliki pemuka agama. Peranan pemuka agama dalam

Lebih terperinci