ETIKA BUSHIDO DALAM NOVEL SHIOSAI KARYA YUKIO MISHIMA (YUKIO MISHIMA NO SAKUHIN NO SHIOSAI NO SHOSETSU NI OKERU BUSHIDO NO DOUTOKU) SKRIPSI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ETIKA BUSHIDO DALAM NOVEL SHIOSAI KARYA YUKIO MISHIMA (YUKIO MISHIMA NO SAKUHIN NO SHIOSAI NO SHOSETSU NI OKERU BUSHIDO NO DOUTOKU) SKRIPSI"

Transkripsi

1 ETIKA BUSHIDO DALAM NOVEL SHIOSAI KARYA YUKIO MISHIMA (YUKIO MISHIMA NO SAKUHIN NO SHIOSAI NO SHOSETSU NI OKERU BUSHIDO NO DOUTOKU) SKRIPSI Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian sarjana dalam bidang Ilmu Sastra Jepang Oleh: ANTO GULTOM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS SASTRA PROGRAM STUDI S-1 SASTRA JEPANG MEDAN 2009

2 ETIKA BUSHIDO DALAM NOVEL SHIOSAI KARYA YUKIO MISHIMA (YUKIO MISHIMA NO SAKUHIN NO SHIOSAI NO SHOSETSU NI OKERU BUSHIDO NO DOUTOKU) SKRIPSI Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian sarjana dalam bidang Ilmu Sastra Jepang Oleh: ANTO GULTOM Pembimbing I Pembimbing II Drs. Eman Kusdiyana,M.Hum M. Pujinono,SS. M.Hum NIP NIP UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS SASTRA PROGRAM STUDI S-1 SASTRA JEPANG MEDAN 2009

3 Disetujui oleh Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan Program Studi S-1 Sastra Jepang Ketua Program Studi Drs. Hamzon Situmorang, M.S, Ph.D NIP

4 KATA PENGANTAR Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang. Segala Puji milik Allah yang telah menciptakan manusia dan mengajarkan apa-apa yang tidak diketahui. Atas berkat dan anugrahnya-nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul ANALISA PERBANDINGAN PANDANGAN DAUR HIDUP (TSUKA GIREI) DALAM MASYARAKAT JEPANG DAN BETAWI, yang merupakan syarat untuk mencapai gelar sarjana di Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara. Tidak sedikit hambatan dan rintangan yang penulis hadapi dalam menyelesaikan skripsi ini, baik dari keterbatasan bahan maupun keterbatasan penulis sendiri dalam menyelesaikan skripsi ini. Pada kesempatan ini penulis menghaturkan ucapan terima kasih kepada orangorang yang dengan izin Yang Maha Kuasa telah menjadi perantara untuk membantu penulis menyelesaikan skripsi ini : 1. Bapak Drs. Syaifuddin, M.A.,Ph.D, selaku Dekan Fakultas Sastra Universitas Sumater Utara. 2. Bapak Drs. Hamzon Situmorang, M.S., Ph.D sebagai Ketua Jurusan Sastra Jepang. 3. Bapak Drs. Eman Kusdiyana, M.Hum selaku Pembimbing I. 4. Bapak M. Pujiono, SS., M.Hum selaku Pembimbing II. 5. Para Dosen dan Staf Pegawai Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara, khususnya para Dosen dan Staf Pegawai di Jurusan Sastra Jepang Universitas Sumatera Utara.

5 6. Seluruh sahabat dan rekan-rekan Mahasiswa/I Sastra Jepang Friska NS, Ibeth, Reynold, Erna, Anto, Reza, Wendy, Era, Tiur, Maria, dan seluruh kerabat Sastra Jepang. Terima kasih untuk doa dan dukungannya. 7. Sahabat terbaikku Shelvy yang telah banyak membantu dan meluangkan waktunya untuk penulis. Terima kasih untuk kasih sayangnya. 8. Secara khusus penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kedua orang tuaku (Alm. S.M.P Gultom dan R. Siahaan,B.A) yang selama ini telah memperhatikanku, mengasihiku dan selalu mendoakanku sehingga penulis dapat menyelesaikan kuliah dan penulisan skripsi ini. Terimakasih untuk cinta dan doanya.

6 DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... iii BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perumusan Masalah Ruang Lingkup pemabahasan Tinjauan Pustaka Dan Kerangka Teori Tujuan Dan Manfaat Penelitian Metode Penelitian Halaman BAB II. TINJAUAN UMUM TERHADAP LATAR BELAKANG BUSHIDO DAN NOVEL SHIOSAI 2.1. Pengertian Bushido Sejarah Bushido Etika Moral Bushido Novel Shiosai Tema Alur/Plot Penokohan Sudut Pandang Latar/Setting Amanat Riwayat Pengarang Studi Semiotik Sastra... 40

7 BAB III. ANALISA ETIKA BUSHIDO DALAM NOVEL SHIOSAI KARYA YUKIO MISHIMA 3.1. Rangkuman Cerpen Analisis Etika Bushido Dalam Novel Shiosai BAB IV. KESIMPULAN DAN SARAN 4.1. Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA ABSTRAK

8 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan hasil karya salah satu cabang kebudayaan, yakni kesenian. Seperti hasil karya kesenian pada umumnya, sebuah karya sastra memiliki nilai apabila ia dapat dinikmati dan memberikan manfaat bagi masyarakat pembaca atau penikmat karya tersebut. Pada karya sastra tersirat unsur keindahan yang menimbulkan rasa senang, nikmat, terharu, menarik perhatian dan menyegarkan perasaan penikmatnya. Dengan demikian jelaslah kedudukan dan manfaat karya sastra bagi penikmatnya. Seorang pencipta karya sastra tidak hanya ingin mengekspresikan pengalaman jiwanya saja, namun secara implisit bermaksud mendorong, mempengaruhi pembaca agar ikut memahami, menghayati dan menyadari berbagai masalah kehidupan serta ide yang diungkapkan dalam karyanya. Pengalaman jiwa dalam karya sastra dapat memperkaya kehidupan batin pembaca sehingga pembaca lebih sempurna keadaannya. Pengungkapan yang estetis dan artistik menjadikan karya sastra lebih mempesona dari pada karya lainnya. Karya sastra membicarakan manusia dan aspek-aspek kehidupannya, sehingga sastra merupakan sarana penting dalam mengenal manusia dan zamannya. Pada karya sastra tercermin masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat pada suatu masa serta usaha pemecahan sesuai dengan cita-cita mereka. Sastra merupakan kata serapan dari bahasa Sansekerta yaitu sastra, yang berarti teks yang mengandung instruksi, dari kata dasar sas- yang berarti instruksi atau ajaran. Dalam bahasa Indonesia kata ini biasa merujuk kepada kesusasteraan atau

9 sebuah jenis tulisan yang memiliki arti atau keindahan tertentu. Tetapi kata sastra bisa pula merujuk kepada semua jenis tulisan, apakah itu indah atau tidak. Selain itu dalam kesusasteraan, sastra bisa dibagi menjadi sastra tertulis dan sastra lisan (oral). Disini sastra tidak banyak berhubungan dengan tulisan, tetapi dengan bahasa yang dijadikan wahana untuk mengekspresikan pengalaman atau pemikiran tertentu. Jadi, yang termasuk dalam kategori sastra adalah, prosa atau novel, Cerita/cerpen, syair, pantun, sandiwara/drama, lukisan/kaligrafi. Struktur formal sastra adalah struktur yang terefleksi dalam satuan teks. Karena itu, struktur formal karya sastra dapat disebut sebagai elemen atau unsur-unsur yang membentuk karya sastra. Elemen tersebut lazim disebut sebagai unsur ekstrinsik dan intrinsik. Namun berdasarkan genrenya telaah struktur dapat menjadi dua bagian, yaitu prosa dan puisi. Prosa adalah suatu jenis tulisan yang berbeda dengan puisi karena variasi ritme (rhythm) yang dimilikinya lebih besar, serta bahasanya yang lebih sesuai dengan arti leksikalnya. Kata prosa berasal dari bahasa Latin prosa yang artinya "terus terang". Jenis tulisan prosa biasanya digunakan untuk mendeskripsikan suatu fakta atau ide. Karenanya, prosa dapat digunakan untuk surat kabar, majalah, novel, ensiklopedia, surat, serta berbagai jenis media lainnya. Prosa biasanya dibagi menjadi empat jenis, yaitu prosa naratif, prosa deskriptif, prosa eksposisi, dan prosa argumentatif. Prosa dibagi menjadi dua, yaitu Roman dan Novel. Roman adalah cerita yang mengisahkan tokoh sejak lahir sampai meninggal, sedangkan novel hanya mengisahkan sebagian kehidupan tokoh yang mengubah nasibnya. Ciri novel yang membedakannya dengan karya sastra lainnya : 1. Novel adalah karya sastra berjenis narasi. 2. Novel adalah karya sastra berbentuk prosa.

10 3. Novel adalah karya sastra yang bersifat realis, artinya menceritakan kehidupan tokoh secara nyata, tanpa disertai peristiwa-peristiwa yang gaib dan ajaib. Umumnya novel merupakan tanggapan pengarang terhadap lingkungan sosial budaya sekelilingnya. 4. Novel adalah karya sastra yang berfungsi sebagai tempat menuangkan pemikiran pengarangnya sebagai reaksinya atas keadaan sekitarnya. Dalam aliran imprisionisme, pengarang menempatkan dirinya dalam kehidupan yang diceritakan. Perenungan-perenungan pembaca setelah membaca sebuah novel akan tiba pada sebuah pemikiran baru tentang makna hidup. Menurut Wellek dan Warren dalam Nurgiyantoro (1998: 3) bahwa novel sebagai karya sastra fiksi haruslah tetap merupakan cerita yang menarik, tetap merupakan bangunan struktur yang koheren dan tetap mempunyai tujuan yang estetik. Oleh karena itu novel dibentuk oleh unsur-unsur pembangunan yang membentuk cerita yang kemudian membuat sebuah novel menjadi berwujud.unsur-unsur pembangun yang membentuk sebuah novel terdiri dari, unsur ekstrinsik adalah unsur pembagunan karya sastra yang berada di luar suatu karya sastra namun ikut mempengaruhi karya sastra tersebut. Yang merupakan unsur intrinsik suatu karya sastra adalah, tema, alur, penokohan, sudut pandang, latar, gaya bahasa, amanat. Berbicara mengenai etika tradisional bangsa Jepang, akan terdapat hal-hal yang menonjol bahwa masyarakat Jepang memiliki unsur budaya berupa semangat samurai atau etika bushido yang tertanam dalam mayarakat Jepang yang dapat memberikan motivasi tersendiri ke arah peningkatan kualitas sumber daya manusia. Keberadaan bushido sangat membantu terhadap perubahan-perubahan yang terjadi pada bangsa Jepang. Dari mulai perubahan bidang pendidikan, politik dan ekonomi

11 serta pada tingkat penguasaan teknologi dan industri yang tidak dapat dipisahkan dari adanya warisan nilai samurai yang selalu melekat pada masyarakat Jepang. Bushido (jalan prajurit) sangatlah penting bagi setiap upaya mempelajari nilainilai dan etika masa Tokugawa dan masa Jepang modern. Bushido merupakan nilainilai dasar yang awalnya berkembang dari kebutuhan dasar prajurit. Istilah bushido yang digunakan untuk menggambarkan etika status kelas samurai atau bushi. Bushido lahir dari sentuhan Shinto, Zen Budhism dan ajaran konfusius yang menjadikannya menjadi suatu kode etik bagi samurai pada zaman feodalisme. Setiap samurai menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran, kesetiaan, keberanian, kemurahan hati, kesopanan, kesungguhan, memelihara kehormatan serta pengendalian diri (Soryohadiprojo, 1987:197). Zaman Edo ( ) adalah zaman dimana Jepang diperintah oleh keluarga Tokugawa. Disebut zaman Edo karena pemerintahan keshogunan Tokugawa pada waktu itu berpusat di kota Edo (Tokyo). Lembaga keshogunan ini disebut juga bakufu (Situmorang, 1995 : 41). Masyarakat feodal atau 封建社会 (hōkenshakai) lahir bersamaan dengan lahirnya shoenseidō (sistem wilayah) yaitu wilayah pertanian yang berdiri sendiri terpisah dari pemerintahan Kaisar, wilayah tersebut dikelola oleh kizoku (keluarga bangsawan). Keluarga bangsawan disini adalah keturunan Kaisar yang tidak menjadi pewaris istana. Mereka menguasai bagian lahan, dengan mempunyai petani sendiri. Sistem ini berjalan sampai zaman Kamakura tahun 1185 (Situmorang, 2006:80). Bushi adalah golongan masyarakat yang tertinggi. Pada zaman Edo, bushi juga disebut sebagai guru masyarakat yang merupakan golongan yang menjadi teladan di masyarakat. Untuk menumbuhkan rasa kesetiaan yang kuat dari samurai terhadap

12 penguasa, Tokugawa Ieyashu mewajibkan mereka mempelajari ajaran konfusius yang dianggap dapat memupuk ketaatan samurai terhadap pemerintah. Dalam ajaran konfusius dipaparkan tentang lima hubungan manusia,, yaitu hubungan antara atasan dan bawahan, suami dengan isteri, orang tua dengan anaknya, kakak dengan adiknya, serta hubungan antar teman, yang disebut juga dengan prisip gorin (Benedict, 1982:120). Kelima macam hubungan itu didasari prinsip perbedaan antara atasan dengan bawahan, yang mana diatas harus jadi pelindung dan panutan, sedangkan yang dibawah tunduk dan taat terhadap atasan. Hubungan inilah yang meningkatkan rasa ikut memiliki dan rasa kesetiaan. Pemerintahan Tokugawa mengajarkan shido (bushido baru), sebagai ideologi baru bagi para bushi di Jepang yang bercirikan kesetiaan terhadap keshogunan (Situmorang, 1995:9). Hal ini disebabkan karena bushi atau samurai memadukan nilai-nilai budaya Jepang, dan juga karena etika bushido telah menjadi etika nasional sejak zaman Tokugawa hingga zaman modern. Walaupun pada awalnya bushido hanya untuk kaum samurai saja, namun akhirnya dengan berakhirnya system feudal, pengaruhnya semakin meluas hingga menjadi standar bagi kehidupan masyarakat Jepang. Kemudian, penulis mencoba untuk menghubungkannya dengan kecenderungan beberapa kalangan masyarakat Jepang dan pemerintahan yang mencoba menggali kembali nilai-nilai masa lalu Jepang, diantaranya adalah etika bushido yang berlaku di zaman feodal. Nilai-nilai etika feudal tersebut banyak yang disisipkan dalam berbagai hal, diantaranya adalah tayangan-tayangan film dan drama di TV, kisah cerita di novel, ataupun pembahasan-pembahasan secara ilmiah baik di mass media maupun di lingkungan pendidikan.

13 Salah satunya yang mengekspresikan kebudayaan Jepang khususnya bushido yang diungkapkan Yukio Mishima dalam novel Shiosai. Novel ini mengangkat tentang kisah percintaan seorang pemuda nelayan miskin dengan seorang gadis kaya di sebuah desa di daerah pesisir Jepang yang terpencil. Novel Shiosai ini menceritakan tentang kehidupan asmara antara Shinji dan Hatsue, dimana Shinji adalah seorang buruh bongkar muat di kapal milik ayah Hatsue. Di sinilah muncul sebuah intrik tentang ketegaran seorang laki-laki dalam menghadapi gelombang fitnah. Berikut adalah salah satu kutipan dari novel Shiosai: sampai ke masalah tentang tugas-tugas tang di berikan dan dipunyai sejak zaman dulu. Jadi mereka bisa merasakan diri mereka sebagai bagian dari hidup bersama dan menemukan kepuasaan batin, walaupun beban yang dietakkan dipundaknya terasa berat namun diterima sebagai orang yang dewasa (hal 21) Dari kutipan di atas, seperti dalam kehidupan samurai atau bushi, sangat menekankan pentingnya sebuah kesetiaan dalam menjalankan suatu tanggung jawab walaupun beban tugas yang diberikan cukup berat.. Menurut Situmorang dalam Wulandari (2005:13) mengatakan bahwa kesetiaan adalah kesediaan melaksanakan perintah atau keinginan orang lain dengan mengorbankan kepentingan pribadi. Hal diatas sangat menarik untuk dibahas dalam skripsi ini yaitu dengan judul, Etika Bushido Dalam Novel Shiosai Karya Yukio Mishima Perumusan masalah Masyarakat Jepang berdasarkan sejarahnya sejak jaman Bakufu sudah mengenal etika bushido. Memang, hakekat sebenarnya dari Bushido; Jalan Prajurit adalah untuk mati seperti yang tercantum dalam Hagakure, bushi taru mono wa

14 shinu koto mitsuketari. Namun, makna sesungguhnya yang dapat dipetik dari kalimat tersebut adalah anugerah hidup ini hendaknya dijalani dengan sungguh-sungguh. Bekerja keras hingga berhasil adalah cita-cita luhur dari setiap manusia. Untuk meraih hal tersebut diperlukan kerja keras dan disiplin yang tinggi. Bagi para samurai, kematian dalam rangka mewujudkan kesetiaan tertinggi pada sang tuan adalah citacita tertinggi. Namun, bagi manusia Jepang dewasa ini kerja keras dalam rangka mewujudkan keberhasilan itulah cita-cita tertinggi. Masalah-masalah yang ingin diteliti dari penjelasan latar belakang dalam novel Shiosai karya Yukio Mishima di atas adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana etika bushido direalisasikan dalam kehidupan masyarakat Jepang? 2. Bagaimana perwujudan etika bushido dalam kehidupan tokoh Shinji dalam novel shiosai? 1.3. Ruang lingkup pembahasan Dalam penelitian ini, agar tulisan ini terarah dan teratur maka ruang lingkup pembahasan harus dibatasi. Sehubungan dengan itu maka penelitian ini menitik beratkan mengenai etika bushido yang direalisasikan dalam kehidupan masyarakat Jepang dilihat dalam dunia novel, yang berjudul Shiosai karya Yukio Mishima. Agar pembahasan atau penelitian lebih akurat, maka akan lebih dijelaskan lagi pada bab II dalam skripsi ini Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori Tinjauan Pustaka

15 Bushi adalah golongan militer yang dikenal juga sebagai ahli-ahli pedang Jepang atau disebut juga Samurai. Benedict (1982 : 335) mengatakan bahwa Samurai adalah prajurit feodal yang berpedang dua. Sedangkan menurut Nurhayati (1987 : 10) samurai adalah pasukan pengikut tuan tanah / penguasa setempat yang disebut Daimyo. Situmorang (1995 : 11) menjelaskan bahwa Bushi adalah kelompok petani yang dipersenjatai untuk mengabdi kepada tuannya (keluarga bangsawan) dalam mempertahankan eksistensi Shoen dan Kizoku tuannya yang mengakibatkan para Bushi saling berperang. Setelah Bushi berhasil menjalankan tugasnya, lama kelamaan mereka tidak bergantung lagi pada Kizoku melainkan Kizoku akhirnya bergantung pada Bushi. Sehingga kelompok Bushi ini menjadi kelompok yang disegani. Balas budi kelihatan juga dalam pandangan kōshikannen (publik dan privat). Kō = publik atau juga atasan, sedangkan shi = pribadi atau bawahan. Kepentingan pribadi harus tunduk kepada kepentingan umum, atau juga harus tunduk kepada kepentingan perusahaan, atau kepentingan bawahan harus tunduk kepada kepentingan atasan. Ketika kepentingan privat tunduk kepada kepentingan umum, disinilah adanya chū. Pada masyarakat Jepang lebih mengutamakan chū daripada kō, artinya lebih mengutamakan balas budi terhadap atasan atau perusahaan daripada balas budi terhadap orang tua. Ketidakmampuan membalaskan budi inilah rasa malu yang paling besar bagi masyarakat Jepang. Bushidō (jalan prajurit) sangatlah penting bagi setiap upaya mempelajari nilainilai dan etika masa Tokugawa dan masa Jepang modern. Hal ini disebabkan karena bushi atau samurai memadukan nilai-nilai budaya Jepang, dan juga baik pada masa Tokugawa maupun zaman modern, etika bushidō ini telah menjadi etika nasional bangsa Jepang. Menurut Situmorang dalam Wulandari (2005:13) mengatakan bahwa

16 kesetiaan adalah kesediaan melaksanakan perintah atau keinginan orang lain dengan mengorbankan kepentingan pribadi Kerangka Teori Menurut Soekanto (2003:27), suatu teori pada hakikatnya merupakan hubungan antara dua fakta atau lebih, atau pengaturan fakta menurut cara-cara tertentu. Suatu teori akan sangat berguna dalam mengembangkan fakta, membina struktur konsep-konsep serta mengembangkan definisi-definisi yang penting untuk penelitian. Untuk memahami peristiwa-peristiwa pada zaman dahulu (zaman Edo) di Jepang, yang mengungkapkan kesetiaan bushi, maka penulis juga menggunakan pendekatan historis untuk melihat latar belakang sejarah ajaran bushidō dalam kehidupan masyarakat Jepang serta memahami unsur-unsur sejarahnya dan juga agar penelitian ini dapat dilihat dari perspektif serta waktu terjadinya fenomena-fenomena yang diselidiki. Kevin dalam Kaelan (2005:61) berpendapat bahwa sejarah adalah pengetahuan yang tepat terhadap apa yang telah terjadi. Sejarah adalah deskripsi yang terpadu dari keadaan-keadaan, kejadian-kejadian atau fakta-fakta yang terjadi di masa lampau yang ditulis berdasarkan penelitian serta studi yang kritis untuk mencari kebenaran. Kartodirjo dalam Kaelan (2005:61) juga mengatakan bahwa ilmu sejarah adalah ilmu yang membahas peristiwa di masa lampau, yang mengungkapkan fakta mengenai apa, kapan dan di mana, serta juga menerangkan bagaimana sesuatu itu terjadi beserta sebab akibatnya.

17 Ratna (2004:65) berpendapat bahwa pendekatan historis memusatkan perhatian pada masalah bagaimana hubungannya terhadap karya yang lain, sehingga dapat diketahui kualitas unsur-unsur kesejarahannya. Benedict (1982:333) mengatakan bushidō adalah perpaduan antara keadilan, keberanian, kebaikan hati, kehormatan, kesopanan, kesetiaan, dan pengendalian diri. Dalam kamus umum Bahasa Indonesia, etika diartikan ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral). Menurut Ahmad Amin, etika adalah ilmu pengetahuan yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia, menyatakan tujuan yang harus dicapai oleh manusia dalam perbuatan mereka, dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang seharusnya diperbuat oleh manusia. Menurut Soegarda Poerbakawatja, etika adalah filsafat nilai, pengetahuan tentang nilai-nilai, ilmu yang mempelajari soal kebaikan dan keburukan di dalam hidup manusia semuanya, terutama mengenai gerak-gerik pikiran dan rasa yang merupakan pertimbangan dan perasaan sampai mengenai tujuannya bentuk perbuatan. Dalam pengertiannya yang secara khusus dikaitkan dengan seni pergaulan manusia, etika ini kemudian dirupakan dalam bentuk aturan (code) tertulis yang secara sistematik sengaja dibuat berdasarkan prinsip-prinsip moral yang ada; dan pada saat yang dibutuhkan akan bisa difungsikan sebagai alat untuk menghakimi segala macam tindakan yang secara logika-rasional umum (common sense) dinilai menyimpang dari kode etik Dengan demikian etika adalah refleksi dari apa yang disebut dengan "self control", karena segala sesuatunya dibuat dan diterapkan dari dan untuk kepentingan kelompok sosial itu sendiri Tujuan dan Manfaat Penelitian

18 Tujuan penelitian Adapun tujuan penelitian adalah: 1. Untuk menjelaskan etika bushido yang diungkapkan oleh Yukio Mishima dalam novel Shiosai. 2. Untuk menjelaskan kaitan antara nilai bushido dengan tokoh Shinji dalam novel karya Yukio Mishima Manfaat penelitian 1. Untuk menambah wawasan penulis dan pembaca mengenai etika bushido dalam kehidupan masyatakat Jepang dewasa ini. 2. Untuk membahas referensi yang berkaitan dengan kebudayaan Jepang khususnya etika bushido Metode Penelitian Dalam pengumpulan data dengan menggunakan penelaahan kepustakaan (library research), yaitu mengumpulkan bahan dari sumber-sumber yang diterapkan berupa buku-buku referensi, literature, ensiklopedia, majalah, surat kabar dan sumber lain yang dianggap relevan dengan penelitian ini. Metode dalam penulisan skripsi yaitu dengan metode penelitian deskriptif, yakni dengan memberi gambaran secermat mungkin mengenai suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu (Koentjaraningrat, 1976:30). Sesuai dengan tema dan permasalahan yang akan dianalisis dalam novel Shiosai, maka penelitian ini menggunakan metode deskriptif dalam cakupan penelitian kualitatif dan studi literature, mengambil kutipan-kutipan yang memiliki relevansi dengan masalah penelitian. Data yang digunakan untuk

19 penelitian ini adalah Novel yang berjudul Shiosai (Nyanyian Laut) terjemahan Max Arifin, yang diterbitkan oleh Penerbit Matahari pada tahun Sedangkan langkah-langkah penelitiannya adalah sebagai berikut: 1. Menguraikan bushido sebagai suatu etika yang mencakup pengertian, asal mula, sumber-sumber dan nilai pokok dalam prinsip bushido. 2. Melakukan analisa terhadap novel Shiosai dengan mengambil kutipan-kutipan yang berhubungan dengan prinsip bushido. 3. Membuat analisis mengenai perwujudan nilai-nilai bushido dalam tokoh Shinji. Pendekatan semiotik adalah pemahaman suatu makna karya sastra melalui tanda. Hal itu didasarkan pada kenyataan bahwa bahasa adalah sistem tanda, sign, dan tanda merupakan kesatuan antara dua aspek yang tidak terpisahkan satu sama lain, yaitu signifiant (penanda) adalah aspek formal atau bunyi pada tanda itu, dan signifie (petanda) adalah aspek kemaknaan dan konseptualnya. Media sastra adalah bahasa karena bahasa dalam sistem tanda, untuk memahami konsep makna dalam karya sastra, penelaah haruslah menguasai sistem tanda atau lambang-lambang, sistem-sistem lambang, dan proses-proses perlambangan yang ada dalam bahasa tersebut. Pemahaman terhadap esensi makna tersebut tentunya tidak hanya sekedar pemahaman terhadap struktur tekstual. Di antara segala sistem tanda, sastralah yang paling menarik dan komplek, antara lain karena satra itu sendiri merupakan eksplorasi dan perenungan terus-menerus mengenai pemberian makna dengan segala bentuknya, penafsiran pengalaman, komentar mengenai keberlakuan berbagai cara menafsirkan pengalaman, peninjauan tentang kekuasaan bahasa yang kreatif, kritik terhadap kode-kode dan proses tentang interpretasi yang terwujud dalam sastra yang mendahului.

20 BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP LATAR BELAKANG BUSHIDO DAN NOVEL SHIOSAI 2.1. Pengertian Bushido Pemunculan Jepang modern berakar pada masyarakat tradisional di zaman Tokugawa. Walaupun pembaharuan baru di mulai sejak resorasi meiji, namun dasardasar yang diletakkan pada zaman Tokugawa memberikan landasan yang penting bagi proses modernisasi Jepang sehingga dapat berlangsung dengan sangat pesat. Nilainilai yang berkembang pada zaman tersebut memberikan dasar untuk sebuah masyarakat yang disiplin dan teratur sebagai kekuatan yang mempunyai daya pendorong yang besar bagi dinamika perubahan menuju modernisasi. Bushi adalah golongan masyarakat yang tertinggi. Pada zaman Edo, bushi juga disebut sebagai guru masyarakat yang merupakan golongan yang menjadi teladan di masyarakat. Untuk menumbuhkan rasa kesetiaan yang kuat dari samurai terhadap penguasa, Tokugawa Ieyashu mewajibkan mereka mempelajari ajaran konfusius yang dianggap dapat memupuk ketaatan samurai terhadap pemerintah. Dalam ajaran konfusius dipaparkan tentang lima hubungan manusia,, yaitu hubungan antara atasan dan bawahan, suami dengan isteri, orang tua dengan anaknya, kakak dengan adiknya, serta hubungan antar teman, yang disebut juga dengan prisip gorin (Benedict, 1982:120). Kelima macam hubungan itu didasari prinsip perbedaan antara atasan dengan bawahan, yang mana diatas harus jadi pelindung dan panutan, sedangkan yang

21 dibawah tunduk dan taat terhadap atasan. Hubungan inilah yang meningkatkan rasa ikut memiliki dan kesetiaan. Bushido (jalan prajurit) sangatlah penting bagi setiap upaya mempelajari nilainilai dan etika masa Tokugawa dan masa Jepang modern. Bushido merupakan nilainilai dasar yang awalnya berkembang dari kebutuhan dasar prajurit. Istilah bushido yang digunakan untuk menggambarkan etika status kelas samurai atau bushi. Bushido lahir dari sentuhan Shinto, Zen Budhism dan ajaran konfusius yang menjadikannya menjadi suatu kode etik bagi samurai pada zaman feodalisme. Setiap samurai menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran, kesetiaan, keberanian, kemurahan hati, kesopanan, kesungguhan, memelihara kehormatan serta pengendalian diri. Pada perwujudan etika bushido oleh para bushi pada zaman Tokugawa adalah adanya pengabdian diri secara mutlak kepada tuannya, gejalanya yang lebih jelas yaitu adanya perilaku junshi (bunuh diri untuk mengikuti kematian tuannya) dan perilaku adauchi (mewujudkan dendam tuan)(stumorang, 1995:21) Sejarah Bushido Sejak zaman feudal, system pemerintahan dikenal dengan system ritsuryo yang berlaku hingga zaman heian (abad ke-7 sampai abad ke-12). Dalam system ritsuryo, tenno atau kaisar sebagai penguasa administrasi pemerintahan tertinggi dan para kizoku atau bangsawan bertugas sebagai pelaksana administrasi pemerintahan di pusat dan daerah (Situmorang, 1995:9-10). Pada masa itu belum dikenal kepemilikan dan kepemilikan hak tanah atas nama perseorangan, tetapi dikenal dengan istilah kochi komin (wilayah umum dan masyarakat umum). Dalam perkembangannya kemudian, di daerah-daerah lahir sonraku kyodo tai (kelompok kerjasama didaerah),

22 yaitu kelompok petani dibawah kekuasaan kizoku, keluarga bangsawan yang bertugas didaerah. Administrasi kelompok sonraku kyodo tai tersebut terpisah dari pemerintahan ritsuryo. Para petani kemudian banyak yang meninggalkan kochi komin dan masuk kedalam kelompok pertanian kizoku, karena mereka mendapat perlindungan dari kizoku. Selain itu, mereka juga diberi kebebasan untuk mengolah bagian lahan mereka, dengan begitu para petani tersebut diakui menjadi anggota ie (keluarga) kizoku tersebut. Ada juga petani yang meninggalkan system kochi komin dan tidak memiliki tuan yang disebut ronin, tetapi mereka dapat dikumpulkan oleh kizoku sehingga kedudukan mereka semakin kuat. Tanah pertanian yang terpisah dari administrasi ritsuryo disebut shoen. Penggarapan shoen ini melahirkan ie atau rumaj tangga yang tidak hanya sebatas pada hubungan darah saja. Kemudian didalam ie tersebut lahir hubungan antara atasan dan bawahan yang disebut mibunsei atau system jenjang kedudukan antara tuan dan pengikut dalam ie. Kelompok-kelompok ini diikat dengan pemujaan dewa yang sama, mengkonsumsi jenis makanan yang sama dan minum sake bersama, kemudian kelompok ini disebut dozoku. Persaingan antara dozoku ini memicu perang. Untuk itu mereka membentuk prajurit professional yang disebut bushi, yang sebelumnya adalah petani yang dipersenjatai. Sebelumnya dalam system ritsuryo, prajurit diambil dari masyarakat umum yang dipersenjatai oleh pemerintah. Dengan demikian, muncullah kekuatankekuatan yang berusaha memisahkan diri dari pemerintah pusat, shoen kizoku memperluas wilayah dengan melakukan ekspansi terhadap shoen kizoku lainnya. Pada zaman heian (abad ke-8), keluarga bangsawan Fujiwara yang berstatus sebagai kizoku, melakukan pendekatan secara diplomatis dengan kaisar dengan cara

23 mengawinkan putra-putri mereka dengan keturunan kaisar. Dari hasil hubungan kekluargaan ini, pada tahun 1017, Fujiwara No Michinaga diangkat menjadi kanpaku (wakil kaisar) karena kaisar pada saat itu sedang melaksanakan insei yaitu tinggal di kuil dengan mengisolasi diri dari masyarakat. Pada saat itu terjadi kekacauan di daerah, dimana antar kizoku terjadi perang yang menyisakan kizoku-kizoku yang kuat. Kedudukan keluarga Fujiwara semakin kuat, karena sebagian besar anggota keluarga Fujiwara mendapat kesempatan besar untuk menjadi penguasa atas tanah dengan tidak memiliki kewajiban membayar pajak, yang selanjutnya menjadi hak milik secara turun temurun. Pajak tanah yang diberikan pemerintah pusat cukup tinggi, karena kebutuhan akan dana untuk memenuhi kebutuhan negara. Para petani akhirnya menyerahkan tanahnya kepada kizoku untuk dikelola dan menjadi buruh penggarap. Akibatnya para kizoku menjadi tuan tanah yang lama kelamaan tumbuh menjadi sebuah kekuatan politik yang berdiri sendiri dan menguasai perekonomian negara. Rakyat yang tadinya milik negara akhirnya berlindung di bawah shoen dan mengalihkan kesetiaan terhadap tuannya. Para penguasa pada saat itu hanya ingin mempertahankan kemakmuran sendiri, dan aparat pemerintah banyak yang korup, sehingga di daerah mereka seting terjadi peperangan untuk mempertahankan kedudukan. Pertempuran yang sering terjadi melahirkan suatu golongan masyarakat baru, yaitu golongan militer. Pada awal abad ke-10 golongan ini mulai menunjukkan kekuatan dengan saling nenyerang keluarga lain. Keluarga Minamoto dan keluarga Taira adalah keluarga yang terkuat. Pada tahun 1159, keluarga Minamoto No Yoritomo menghancurkan dan memusnahkan keluarga Taira, sehingga Minamoto memegang kekuasaan militer. Dalam memimpin pemerintahan yang diatur secara militer,

24 Minamoto tetap berada di Kamakura, tetapi untuk urusan sipil dan keagamaan tetap berpusat di istana kaisar. Pada tahun 1185, Minamoto meletakkan dasar-dasar pemerintahan militer dengan menciptakan jabatan shugo (polisi) dan jito yang bertugas untuk mengawasi pembayaran pajak. Minamoto memiliki kekuasaaan mutlak diseluruh negara, dengan demikian hak untuk mengawasi negara jatuh ketangan militer yang melahirkan pemerintahan militer (bakufu). Permulaan kepemimpinan oleh shogun dianggap sebagai awal dari berlakunya system feudal yang menyebabkan ikatan yang kuat antara tuan dan hambanya. Yakni antara Minamoto dengan shugo dan jito serta para shoen di daerah. Para shugo akhirnya menguasai daerah dengan menghapus shoen dengan sebutan daimyo, kemudian membentuk aristrokasi feudal yang mempunyai pengikut yang bersenjata yang disebut samurai. Menilik dari sejarah perkembangannya, nilai-nilai bushido mulai muncul dan berkembang pada zaman feodal memegang pemerintahan Jepang kuno. Pada zaman feodal ini, stratifikasi sosial atau pengelompokan dalam masyarakat amat ketat dijalankan, dimana bushi atau samurai menempati posisi tertinggi dalam struktur masyarakat. Golongan samurai amat disegani dan ditakuti oleh masyarakat golongan lain di bawahnya, terlebih pada zaman Tokugawa, saat diterapkannya politik sakoku (penutupan diri) dari dunia luar. Hampir selama 250 tahun samurai berada di posisi tertinggi, sehingga nilai-nilai kesamuraian menjadi sangat tersosialisasikan dalam masyarakat Jepang. Pun walau akhirnya sakoku berakhir, dan Jepang melakukan pembukaan diri secara paksa oleh Comodor Perry dari Amerika Serikat (saat restorasi Meiji) terjadi, nilai-nilai ini tidak tergoyahkan karena sudah terfragmentasi dalam masyarakat secara kuat (proses selama ratusan tahun).

25 Etika bushido berasal dari tiga sumber utama yang terdapat pada masyrakat Jepang, yaitu: Budhisme, Shinto, dan Konfusionisme. Budhisme Ajaran Budhisme dimana terdapat perasaan percaya, tenang pada nasib, pasrah damai dalam hal-hal yang tidak terelakkan. Contoh : ketenangan hati menghadapi bahaya atau bencana, rasa bosan hidup, akrab dengan maut. Selain itu, dalam Budha tidak ada konsep Sang Pencipta dan konsep dosa. Maka dalam kasus ini, mati bunuh diri tidak ada sangkut pautnya dengan nilai norma doktrinal agama. Yang ada hanyalah konsep karma dimana "perbuatan yang baik akan berakibat baik pula", dan begitu pula sebaliknya. Secara historis, pengaruh agama budha di Jepang berasal dari Cina, yang sekaligus menjadi wadah masuknya peradaban Cina (Reischauer, 1982:284). Pengaruh budaya Cina muncul dalam berbagai bidang, antara lain seni, arsitektur, filsafat, aksara, ilmu pengetahuan sampai administrasi ketatanegaraan. Pengaruh ini dapat dilihat dengan diadopsinya aksara tulisan Kanji. Arti penting kehadiran agama Budha di Jepang pada awalnya terletak pada aspek magis nya. Mantra kerap kali di baca bukan untuk memahami hakikat isinya, melainkan untuk menggunakan khasiat magisnya, untuk meminta atau meredakan hujan, menjauhkan bencana, maupun untuk menyembuhkan penyakit. Pada tingkat psikologis, daya tariknya terletak pada Budha sebagai lembang kesempurnaan jiwa yang diperlukan dalam mencapai kehidupan akhirat yang sempurna pula. Menusia diharapkan menjalani kehidupan duniawinya sebaik mungkin sebagai suatu pencerahan. Masuknya agama Budha bukan berarti agama pribumi menjadi ditinggalkan, para pendeta menegaskan bahwa pada hakekatnya tidak ada perbedaan letak atau posisi dewa diantara agama Budha dan agama pribumi yaitu

26 Shinto. Dewa matahari bisa disejajarkan dengan sang Budha, dewa Shinto yang lebih rendah kedudukannya identik dengan dewa Budha yang lebih rendah juga. Dalam perkembangan agama Budha sendiri yaitu pada abad ke-12 dan abad ke-13, menandai suatu titik balik dimana timbul kecenderungan kuat untuk melepaskan agama ini dari unsur-unsur magisnya. Sekte terpenting dan yang paling besar pengaruhnya adalah sekte Zen. Ajaran ini menekankan bahwa pengetahuan manusia mengenai pemikiran-pemikiran sang Budha dapat diperoleh melalui meditasi, ajaran ini memiliki peranan yang besar pada periode pemerintahan shogun Tokugawa. Shinto Shinto adalah agama asli banga Jepang, yang menjadi kultur bagi mereka jauh sebelum agama atau kepercayaan lain memasuki kehidupan mereka. Shinto secara harfiah berart jalan para dewa, tidak memiliki naskah atau kitab resmi serta ajaran yang terorganisir seperti lazimnya sebuah agama atau kepercayaan, bahkan penemu agama ini tidak diketahui. Tetapi agama ini mampu menjadi landasan religius bagi hampir seluruh masyarakat Jepang. Satu-satunya pengaruh Shinto terletak pada mitos yang dikandungnya, mengenai asal usul kaisar dan sifat kaisar yang diaggap sebagai keturunan langsung dari dewa. Bangsa Jepang digambarkan berasal dari satu uji, suatu bentuk unit kekeluargaan semacam marga (Smith, 1974:7). Setiap pemimpin uji bertanggung jawab dalam menjaga wilayah sendiri, melindungi anggota uji, serta memimpin upacara pemujaan terhadap dewa pelindung uji atau ujikami. Tidak ada kepastian yang dipuja tersebut adalah leluhur uji yang didewakan atau dewa yang dianggap sebagai leluhur suatu uji.

27 Untuk meningkatkan kekuasaan dan memperluas wilayah, beberapa uji melakukan ekspansi ke wilayah tetangga mereka. Akibatnya lambat laun keanggotaan uji bukan hanya sebatas anggota keluarga saja, tetapi mereka yang ingin bergabung dengan uji yang lebih kuat karena mereka telah kalah dan menguasai uji yang lebih kecil atau lemah. Selanjutnya muncul dinasti kekaisaran Yamato yang menjadi penguasa atas seluruh uji. Sebelum muncul catatan sejarah yang pertama kali yaitu kojiki pada tahun 712 dan nihonshoki pada tahun 720, telah berkembang suatu konsepsi mengenai leluhur kekaisaran. Diyakini bahwa leluhur kaisar adalah dewi matahari amaterasu o mikami yang menurut legenda memberikan tiga buah lambing kekuasaan, yaitu pedang, permata dan cermin, kepada cucu laki-lakinya yang diturunkan ke bumi bersama dewa lainnya. Cicit laki-laki adalah Jimmu Tenno tang menjadi kaisar pertama Jepang. Dalam tradisi masyarakat Jepang dewi Matahari dipuja dengan mendirikan sebuah kuil pemujaan yaitu tse. Sementara para kaisar selanjutnya adalah keturunan langsung dari kaisar Jimmu Tenno, disembah secara khusus di pusara-pusara mereka, meskipun tidak semua pusara mereka belum bisa dipastikan sebagai pusara yang sebenarnya (Smith, 1974:8). Mitos Shinto telah menanamkan dalam pemikiran masyarakat Jepang bahwa kaisar adalah keturunan langsung dari dewi Matahari, oleh sebab itu harus diberlakukan dan dihormati sebagai makhluk suci. Sampai sekarang, walaupun kaisar Hirohito pada tahun 1946 mengeluarkan pernyataan bahwa kaisar bukan keturunan dewa, tetapi kaisar Jepang tetap menjadi pemuka agama bagi agama Shinto dan merupakan lambang persatuan rakyat Jepang. Kedudukan kaisar di puncak hirarki sosial bagi dalam struktur masyarakat melahirkan loyalitas dan pengabdian setiap orang Jepang terhadap kaisar itu sendiri.

28 Dewa Shinto dipercaya mendiami kuil-kuil, benda-benda alam seperti batu, gunung, sungai, tanah serta gejala-gejala alam seperti angin, badai dan gempa. Maka agama Shinto menjadi suatu kombinasi animisme dan pemujaan terhadap alam. Kami atau dewa disembah malalui sarana upacara-upacara dan pesta-pesta. Syarat penting untuk berpartisipasi dalam peribadahan kesucian diri dari semua yang dianggap kotor, seperti paenyakit dan kematian. Bentuk-bentuk tirual yang kurang lebih sama primitifnya terus ada sampai awal abad ke-13, diamana bekembang gejala-gejala rasionalisme filosofis dan etis. Dokumen yng disusun oleh para pendeta menyatakan bahwa sesungguhnya kami lebih menginginkan kajujuran dan ketulusan hati, serta menyukai kebaikan dari pada penyembahan yang bersifat meterialistis (Bellah, 1965:64). Dengan demikian pengertian awal tentang dewa-dewa telah digantikan oleh konsep ketuhanan yang kedua. Gaya ritual baru Shinto mensyaratkan setiap pemuja dewa di kuil-kuil Shinto untuk terlebih dahulu melakukan dua macam penyucian diri, yaitu pengendalian diri dari pikiran-pikiran yang ambisius akan keinginan duniawi dan yang kedua adalah memlihara fisik dari kekotoran, yang merupakan sarana untuk mencapai penyatuan dengan kami. Konfusius Kode moral dari ajaran konfusius bersifat universal, mencakup hampir semua nilai-nilai dalam masyarakat yang agraris pada umumnya. Dan perilaku sosial politik masyrakat Jepang yang bersumber pada kultur rakyatnya, sesungguhnya hanya dasar pemikiran rasional oleh pembendarahan konfusius (Bellah, 1965:171). Masyarakat pada jaman Tokugawa berpijak pada ajaran konfusius. Dalam ajaran tersebut dikemukakan lima macam hubungan manusia, yaitu hubungan antara

29 atasan dan bawahan, hubungan antara suami dengan istri, hubungan antara anak dengan orang tua, hubungan antara kakak dengan adiknya dan hubungan antar sesama. Hubungan ini disebut dengan prinsip gorin. Kelima macam hubuingan ini didasari pada hubungan antara atasan dengan bawahan, dimana yang diatas menjadi panutan dan pedoman serta menjadi pelindung, dan bawahan tunduk dan taat kepada atasan. Pada zaman keshogunan Tokugawa juga dikenal adanya struktur masyarakat, yaitu: Shi (Bushi) yaitu golongan militer, No (Nomin) yaitu golongan petani, Ko (Shokunin) yaitu golongan pekerja, Sho (Shonin) yaitu golongan pedagang. Tetapi walaupun demikian mereka tidak nerhasil membuat suatu konsep shido baru yang didasarkan pada konsep gorin diatas. Atas desakan tersebut, maka tampil seorang pemikir Minkan Gakusha (pemikir yang berasal dari kalangan swasta) yang bernama Yamaga Soko. Namanya sangat dikenal dikalangan shogun, karena dia sempat diizinkan untuk belajar di istana keshogunan. Konsep ajaran shido baru dari Soko ini menitikberatkan pada penjelasan akan gorin terhadap tuan dan bawahan secara mendetail. Menurut Soko ada 10 sikap yang harus dimiliki oleh bushi dalam mewujudkan moral shido: 1. menjaga perasaan 2. mempunyai kebebasan hati 3. mempunyai harapan 4. kemurahan 5. kecerahan 6. membicarakan giri 7. menerima takdir jiwa dengan pasrah 8. hidup jernih

30 9. kejujuran 10. teguh hati (gusho) Kesepuluh sikap tersebut, menurut Soko (Watsuji dalam Situmorang, 1995:54) harus ditetapkan dalam tingkah laku sehari-hari dengan melakukan pekerjaan sebagai berikut: 1. mengupayakan chuko (kesetiaan pengabdian terhadap tuan dan terhadap ayah) 2. mengutamakan jinggi (kamusiaan) 3. melakukan berbagai penelitian terhadap alam 4. mempelajari tulisan Kemudian Soko mengatakan bushi harus mempertahankan igi (kesan/penampilan) dalam kehidupan sehari-hari. Igi tersebut diterapkan dalam cara berpakaian, cara makan dan tempat tinggal, karena menurutnya luar adalah gambaran dari isi, jikalau dalam benar maka luarnya akan benar pula. Penegertian Igi adalah: 1. cara pandang tentang yang dilihat dan didengar 2. etiket dalam berbicara 3. memperhatikan yobo (tampang) 2.3. Etika Moral Bushido Memasuki jaman Meiji, dimana pemerintahan pusat dikembalikan kepada kaisar, maka pemerintahan pun dapat mengendalikan rasa kebangsaan penduduknya. Pada zaman ini hingga berakhirnya perang dunia kedua, segenap masyarakat Jepang mempunyai hak yang sama dalam urusan bela negara. Namun, karena kebanyakan pemegang kendali pemerintahan Meiji, Taisho, dan Showa berasal dari keturunan golongan prajurit (bushi) pada Zaman Feodal, akibatnya nilai-nilai bushido pun turut

31 diterapkan dalam semua lini kehidupan masyarakat Jepang, terutama di bidang pendidikan dan militer. Diantara nilai-nilai bushido yang diterapkan tersebut adalah sikap rela mati untuk keagungan Kaisar yang berlaku sebagai kepala pemerintahan yang sekaligus keturunan dewa tersebut. Pengendalian sikap politik penduduk Jepang oleh golongan militer pada masa perang Cina-Jepang dan Perang Asia Raya menimbulkan dampak negative bagi sebagian besar penduduk Jepang sendiri, yakni terampasnya hak-hak individual untuk menenentukan nasibnya sendiri. Karena bushido merupakan system moral maka sesungguhnya etika yang terkandung adalah etika moral. Kandungan etika moral bersifat altruistik, yaitu etika moral yang berpusat pada rasa kemanusiaan. Potensi moral yang diwarisi oleh bangsa Jepang telah menemukan bentuknya sebagai tatanan moral setelah konfusionisme datang. Etika konfusionisme yang bersifat kemanusiaan sangat cepat diterima bangsa Jepang, hal ini terjadi karena bangsa Jepang memiliki karakteristik yang hampir sama dengan bangsa Cina yang membawa ajaran konfusionis. Etika moral bushido menurut Nitobe (1969: 23-93) adalah: keberanian, kejujuran, keteguhan hati, kehormatan, kesopanan, ketulusan hati, kebajikan serta kesetiaan. Keberanian Keberanian ini dapat dilihat dari sikap orang Jepang dalam mempertahankan kelompoknya (pengaruh "sistem ie"). Orang Jepang bahkan sampai berani dan rela mati demi membela kelompoknya tersebut. Sikap ini sangat terkait dengan nilai-nilai bushido lainnya. Apabila pada suatu ketika dimana orang Jepang merasa tugas yang dijalankannya gagal, ia merasa bertanggung jawab dan sangat malu. Sebagai konsekuensinya, ia rela menjalani hukuman mati dengan melakukan seppuku atau harakiri demi menjaga nama baik dirinya dan lembaga tempatnya mengabdi. Ia lebih

32 memilih mati, karena masyarakat Jepang menganggap mati lebih terhormat daripada hidup menanggung malu. Kejujuran Kejujuran merupakan keyakinan dalam ajaran code of the samurai. Di dalam diri samurai tidak ada yang lebih buruk dari pada curang dalam pergaulan dan perbuatan yang tidak jujur. Ajaran bushido mendefenisikan kejujuran sebagai suatu kekuatan resolusi, kejujuran adalah kekuatan pasti pada setiap tingkah laku tanpa keragu-raguan. Samurai siap mati jika dianggap pantas untuk mati dan berhenti sebagai samurai jika dianggap sebagai suatu kebenaran. Konsep kejujuran dalam bushido adalah pembuatan keputusan dengan alasan yang tepat. Alasan yang tepat ini adalah giri. Giri adalah alasan oleh seseorang untuk memutuskan berbuat sesuatu dan bersikap terhadap orang tua, senior atau superioritas dan kepada masyarakat luas. Kejujuran adalah sifat yang wajib dimiliki oleh samurai. Jika seseorang bersikap jujur dan berjalan diatas jalan lurus, dapat dipastikan bahwa dia adalah orang yang berani. Pengertian berani bukan hanya mengacu pada keberanian, tetapi juga pada berani menghadapi cobaan hidup. Kejujuran dikalangan samurai merupakan suatu etika yang tidak dapat diragukan lagi. Samurai harus tegas kapan harus membunuh dan kapan harus mati, asalkan demi kebenaran yang dianutnya. Keberanian seorang samurai harus sesuai dan didasari oleh kejujuran dan akal sehat, tanpa kecerobohan dan kecurangan. Keteguhan hati Keteguhan hati merupakan sikap yang pantang menyerah, yaitu seseorang yang dapat bangkit dari keterpurukan atau kekalahan karena berlandaskan pengalaman yang berulang-ulang.

33 Etika keteguhan hati ini sejalan dengan tiga prinsip dasar samurai, yaitu chi, jin dan yuu. Chi menekankan pada ajaran kebijaksanaan, jin menekankan pada kasih sayang dan keserasian dengan alam dan yuu menekankan pada keberanian dan keteguhan hati. Kebajikan Cinta, kemurahan hati, kasih sayang untuk orang lain. Simpati dan rasa belas kasihan diakui menjadi unsur tertinggi dalam kebajikan. Kebajikan merupakan semangat dalam membangun pribadi kaum samurai dan mencegah mereka berbuat sewenang-wenang. Menurut Nitobe bahwa rasa kasih sayang yang dimiliki kaum samurai tidak jauh berbeda dengan yang dimiliki rakyat biasa. Tetapi pada seorang samurai harus didukung oleh sebuah kekuatan untuk membela dan melindungi. Kesopanan Menurut Nitobe bahwa etika kesopanan masyarakat Jepang sudah terkenal ke seluruh dunia. Dan sifat itu merupakan unsur kemanusiaan tertinggi dan hasil terbaik dari hubungan masyarakat. Kesopanan dalam masyrakat Jepang bermula dari tata cara yang bersifat rutinitas. Bagaimana seseorang harus tunduk pada teguran orang lain, bagaiman sikap dalam berjalan, duduk, diajar dan mengajar dalam bentuk kepedulian. Kehormatan Kehormatan merupakan implikasi dari suatu kesadaran hidupakan martabat individu yang berharga. Menurut Nitobe seroang samurai dibesarkan dengan nilainilai kewajiban dan keistimewaan profesi atau kedudukan mereka, bahwa kehormatan adalah kemuliaan pribadi yang mewarnai jiwa mereka. Di dalam bahasa Jepang ada istilah na (nama), memoku (wajah), guaibun (pendengaran), yang merupakan sebagai reputasi atau nama baik seseorang. Nama baik adalah bagian yang tidak kelihatan dalam diri manusia, tetapi dapat dirasakan.

34 Kalau tidak dijaga reputasi itu bisa jatuh dan memberikan kesan yang tidak baik pada orang lain, dan kehormatan itu telah ada sejak manusia itu ada dalam kandungan ibunya. Hilangnya kehormatan bagi masyarakat Jepang adalah hal yang sangat buruk dan merupakan hukuman yang sangat dihindari. Kesadaran akan mempertahankan kehormatan bagi masyarakat Jepang adalah menolak segala bentuk penghinaan. Seppuku atau bunuh diri dengan cara memotong perut sendiri adalah merupakan suatu upacara ritual untuk mempertahankan kehoramtan dan keberanian. Landasan filosofi yang diperlihatkan dalam etikan kehormatan ini adalah adanya kebutuhan bagi suatu undividu untuk menerima suatu penghargaan berupa hasil kerja. Dalam etika bushido adalah kehormatan bisa dicapai sejalan dengan bertambahnya usia dan pengalaman hidup dan reputasi. Reputasi ini harus dijaga dengan baik, karena reputasi yang dibangun selama hidup seorang samurai dapat hilang dengan seketika bila berbuat suatu kesalahan. Kesetiaan Kesetiaan adalah Kesetiaan yang diterapkan dalam ajaran bushidō adalah kesetiaan seorang bushi dalam menjalankan tugas yang diberikan oleh tuannya. Dalam menjalankan tugasnya ini mereka dituntut untuk tunduk terhadap aturanaturan yang ditetapkan oleh tuannya. Ajaran konfusius menempatkan kesetiaan kepada orang tua adalah hal yang paling utama. Di Jepang kesetiaan terhadap atasan adalah hal yang menempati urutan teratas. Makna kesetiaan pertamakali terlihat dari adanya rasa solidaritas yang memunculkan rasa kebersamaan dalam kehidupan sosial kolektif untuk mempertahankan wilayah mereka dari ancaman dari luar. Pemerintahan yang berkuasa pertamakali adalah kaisar Jimmu (abad 6 SM). Makna kesetiaan yang muncul pada pemerintahan kaisar ini adalah disamping makna solidaritas kolektif dan juga sikap patuh dan taat terhadap kasisar sebagai orang yang

35 memiliki derajat kesucian yang tinggi sebagi anak cucu dewa matahari.kesetiaan terhadap kaisar ini tidak hanya dalam hal keduniawian tetapi juga dalam hal keabadian. Pemenuhan kewajiban yang dapat diartikan dari sifat religius dilakukan dengan bertindak setaat mungkin terhadap nilai-nilai kemasyarakatan dengan cara mengabdi sepenuhnya terhadap atasan. Hal ini dianggap sebagai cara terbaik sebagai cara terbaik untuk mendapatkan berkah lindungan dari para leluhur dan para dewa untuk mencapai kondisi yang harmonis. Setelah masuknya ajaran konfusionisme dan budhisme dari china (abad 6), telah memunculkan makna-makna baru dari kesetiaan. Dengan berlandaskan pada kita-kitab konfusionisme makna kesetiaan menjadi bernuansa moral. Nilai moral yang terkandung didalamnya adalah nilai moral sosial, karena berdasarkan adanya hubungan antara anak dengan orang tua, kakak dengan adik, antar sesame, terhadap pejabat pemerintahan dan terhadap kaisar. Pengaruh konfusionisme terhadap perkembangan makna kesetiaan semakin tampak nyata dengan perintah kaisar terhadap rakyat Jepang, yang menghendaki rakyat memiliki kesetiaan yang besar terhadap kaisar. Pada masa pemerintahan bakufu, yaitu pemerintahan yang dipegang oleh shogun dan kaisar hanya sebagai symbol memunculkan suatu makna baru dari kesetiaan. Makna kesetiaan yang lebih bersifat politik, yaitu kesetiaan terhadap pejabat pemerintah, terutama daimyo dan shogun, dimana system pemerintahan bersifat feodalisme.kebudayaan feodal Jepang berbeda dengan feodalisme Cina, walaupun mendapat pengaruh dari Cina. Hal ini tampak pada pengaruh samurai meletakkan tekanan-tekanan utama pada kebikan militer tentang keberanian, kehormatan, disiplin diri dan siap menerima maut dengan tabah. Kewajiban utama

BAB I PENDAHULUAN. keagamaan yang keberadaannya tidak merupakan keharusan (Soeratno dalam

BAB I PENDAHULUAN. keagamaan yang keberadaannya tidak merupakan keharusan (Soeratno dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan bagian dari kebudayaan yang dipengaruhi oleh segi-segi sosial dan budaya. Istilah sastra dipakai untuk menyebut gejala budaya yang dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keluarga Tokugawa. Disebut zaman Edo karena pemerintahan keshogunan

BAB I PENDAHULUAN. keluarga Tokugawa. Disebut zaman Edo karena pemerintahan keshogunan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Zaman Edo (1603-1867) adalah zaman dimana Jepang diperintah oleh keluarga Tokugawa. Disebut zaman Edo karena pemerintahan keshogunan Tokugawa pada waktu itu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dijamah. Sedangkan Ienaga Saburo (dalam Situmorang, 2008: 3) membedakan

BAB I PENDAHULUAN. dijamah. Sedangkan Ienaga Saburo (dalam Situmorang, 2008: 3) membedakan 15 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Ada terdapat berbagai macam definisi kebudayaan, ada yang membedakan antara budaya dan kebudayaan. Budaya adalah sesuatu yang semiotik, tidak kentara atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Arni Febriani, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Arni Febriani, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Jepang adalah sebuah negara kepulauan di Asia Timur. Letaknya di ujung barat Samudra Pasifik, di sebelah timur Laut Jepang, dan bertetangga dengan Republik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kusut. Karya novel biasanya mengangkat berbagai fenomena yang terjadi

BAB I PENDAHULUAN. kusut. Karya novel biasanya mengangkat berbagai fenomena yang terjadi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sastra merupakan hasil cipta atau karya manusia yang dapat dituangkan melalui ekspresi yang berupa tulisan yang menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Selain

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dikaruniai berbagai kelebihan dibandingkan dengan ciptaan lainnya. Karunia itu

BAB I PENDAHULUAN. dikaruniai berbagai kelebihan dibandingkan dengan ciptaan lainnya. Karunia itu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia adalah makhluk hidup ciptaan Tuhan Yang Maha Esa dan dikaruniai berbagai kelebihan dibandingkan dengan ciptaan lainnya. Karunia itu berupa akal, cipta, rasa,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adalah manusia dan kehidupannya, dengan menggunakan bahasa sebagai

BAB I PENDAHULUAN. adalah manusia dan kehidupannya, dengan menggunakan bahasa sebagai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sastra adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya, dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Jepang juga dikenal sebagai negara penghasil karya sastra, baik itu karya sastra

BAB I PENDAHULUAN. Jepang juga dikenal sebagai negara penghasil karya sastra, baik itu karya sastra BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Jepang selain dikenal sebagai negara maju dalam bidang industri di Asia, Jepang juga dikenal sebagai negara penghasil karya sastra, baik itu karya sastra prosa,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesamaan rumpun. Koentjaraningrat (1976 : 28) menjelaskan budaya adalah daya

BAB I PENDAHULUAN. kesamaan rumpun. Koentjaraningrat (1976 : 28) menjelaskan budaya adalah daya 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Kebudayaan dimiliki oleh setiap bangsa,oleh karena itu kebudayaan dari setiap bangsa saling berbeda, walaupun terkadang ada kesamaan seperti halnya kesamaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang kaya kebudayaan. Kebudayaan tersebut

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang kaya kebudayaan. Kebudayaan tersebut 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara yang kaya kebudayaan. Kebudayaan tersebut tersebar di daerah-daerah sehingga setiap daerah memiliki kebudayaan yang berbeda-beda.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekspresi dan kegiatan penciptaan. Karena hubungannya dengan ekspresi, maka

BAB I PENDAHULUAN. ekspresi dan kegiatan penciptaan. Karena hubungannya dengan ekspresi, maka BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sastra merupakan seni dan karya yang sangat berhubungan erat dengan ekspresi dan kegiatan penciptaan. Karena hubungannya dengan ekspresi, maka karya sastra

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra merupakan suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya, dengan medium bahasa. Sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pulau besar dan kecil dengan luas wilayah sekitar km 2. Kepulauan Jepang

BAB I PENDAHULUAN. pulau besar dan kecil dengan luas wilayah sekitar km 2. Kepulauan Jepang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jepang merupakan sebuah negara kepulauan yang terdiri dari kira-kira 4000 pulau besar dan kecil dengan luas wilayah sekitar 370.000 km 2. Kepulauan Jepang terletak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sastra sebagai cabang dari seni, yang keduanya unsur integral dari

BAB I PENDAHULUAN. Sastra sebagai cabang dari seni, yang keduanya unsur integral dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sastra sebagai cabang dari seni, yang keduanya unsur integral dari kebudayaan. Usianya sudah cukup tua. Kehadiran hampir bersamaan dengan adanya manusia. Karena ia diciptakan

Lebih terperinci

DEPARTEMEN SASTRA JEPANG FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009

DEPARTEMEN SASTRA JEPANG FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009 ANALISIS KESETIAAN PADA TOKOH-TOKOH SAMURAI DALAM KOMIK SHANAOU YOSHITSUNE KARYA SAWADA HIROFUMI Skripsi Skripsi Ini Diajukan Kepada Panitia Ujian Fakultas Sastra Medan Untuk Melengkapi Salah Satu Syarat

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP DAN LANDASAN TEORI. Dalam melakukan sebuah penelitian memerlukan adanya kajian pustaka.

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP DAN LANDASAN TEORI. Dalam melakukan sebuah penelitian memerlukan adanya kajian pustaka. BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP DAN LANDASAN TEORI 2.1 Kajian Pustaka Dalam melakukan sebuah penelitian memerlukan adanya kajian pustaka. Kajian pustaka merupakan pedoman terhadap suatu penelitian sekaligus

Lebih terperinci

Menurut kamus bahasa Indonesia, Karakter memiliki arti sifat-sifat. Negara dan bangsa akan maju jika ada prinsip kejujuran. Salah satu bangsa yang

Menurut kamus bahasa Indonesia, Karakter memiliki arti sifat-sifat. Negara dan bangsa akan maju jika ada prinsip kejujuran. Salah satu bangsa yang BAB II GAMBARAN UMUM PRODUKTIFITAS ORANG JEPANG 2.1 Pengertian Karakter Menurut kamus bahasa Indonesia, Karakter memiliki arti sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. juga memberikan pengalaman dan gambaran dalam bermasyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. juga memberikan pengalaman dan gambaran dalam bermasyarakat. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karya sastra merupakan cerminan keadaan sosial masyarakat yang dialami pengarang, yang diungkapkan kembali melalui perasaannya ke dalam sebuah tulisan. Dalam tulisan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sastra merupakan ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman,

BAB I PENDAHULUAN. Sastra merupakan ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sastra merupakan ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat, keyakinan dalam suatu bentuk gambaran konkrit yang membangkitkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dimiliki oleh setiap bangsa, oleh karena itu kebudayaan dari setiap bangsa saling berbedabeda.

BAB I PENDAHULUAN. dimiliki oleh setiap bangsa, oleh karena itu kebudayaan dari setiap bangsa saling berbedabeda. BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG MASALAH Budaya adalah daya dari budi yang berupa cipta dan rasa, sedangkan kebudayaan adalah hasil dari cipta rasa, karsa, dan rasa tersebut Koentjaraningrat (1976:28).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia tidak cukup dengan tumbuh dan berkembang akan tetapi. dilakukan dengan proses pendidikan. Manusia sebagai makhluk sosial

BAB I PENDAHULUAN. manusia tidak cukup dengan tumbuh dan berkembang akan tetapi. dilakukan dengan proses pendidikan. Manusia sebagai makhluk sosial BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendidikan merupakan masalah yang sangat penting bagi manusia, karena pendidikan akan menentukan kelangsungan hidup manusia. Seorang manusia tidak cukup dengan tumbuh

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP FEODALISME DAN KONDISI MASYARAKAT JEPANG PADA ZAMAN EDO. Martin (1990 : ) mengatakan bahwa masyarakat feodal

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP FEODALISME DAN KONDISI MASYARAKAT JEPANG PADA ZAMAN EDO. Martin (1990 : ) mengatakan bahwa masyarakat feodal BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP FEODALISME DAN KONDISI MASYARAKAT JEPANG PADA ZAMAN EDO 2.1 Konsep Feodalisme Pada Zaman Edo Martin (1990 : 165-166) mengatakan bahwa masyarakat feodal adalah masyarakat yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. imajinatif sebagai manifestasi kehidupan manusia, (dan masyarakat) melalui

BAB I PENDAHULUAN. imajinatif sebagai manifestasi kehidupan manusia, (dan masyarakat) melalui BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sastra atau kesusastraan adalah pengungkapan dari fakta artistik dan imajinatif sebagai manifestasi kehidupan manusia, (dan masyarakat) melalui bahasa sebagai

Lebih terperinci

I.PENDAHULUAN. kebiasaan-kebiasaan tersebut adalah berupa folklor yang hidup dalam masyarakat.

I.PENDAHULUAN. kebiasaan-kebiasaan tersebut adalah berupa folklor yang hidup dalam masyarakat. I.PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah Negara kepulauan, yang memiliki berbagai macam suku bangsa yang kaya akan kebudayaan serta adat istiadat, bahasa, kepercayaan, keyakinan dan kebiasaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. 1 Drs. Atar Semi. Kritik Sastra, 1984: Ibid. Hal. 52.

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. 1 Drs. Atar Semi. Kritik Sastra, 1984: Ibid. Hal. 52. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesusastraan merupakan sebuah bentuk ekspresi atau pernyataan kebudayaan dalam suatu masyarakat. Sebagai ekspresi kebudayaan, kesusastraan mencerminkan sistem sosial,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekspresi, maka karya sastra sangat banyak mengandung unsur kemanusiaan.

BAB I PENDAHULUAN. ekspresi, maka karya sastra sangat banyak mengandung unsur kemanusiaan. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kata sastra diambil dari bahasa latin dan juga sansekerta yang secara harafiah keduanya diartikan sebagai tulisan. Sastra merupakan seni dan karya yang berkaitan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. etimologis, fiksi berasal dari akar kata fingere (Latin) yang berarti berpurapura.

BAB I PENDAHULUAN. etimologis, fiksi berasal dari akar kata fingere (Latin) yang berarti berpurapura. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karya sastra adalah rekaan, sebagai terjemahan fiksi secara etimologis, fiksi berasal dari akar kata fingere (Latin) yang berarti berpurapura. Dalam novel baik pengarang

Lebih terperinci

ANALISIS MORALITAS BUSHIDO DALAM NOVEL SAMURAI SUZUME NO KUMO KARYA TAKASHI MATSUOKA

ANALISIS MORALITAS BUSHIDO DALAM NOVEL SAMURAI SUZUME NO KUMO KARYA TAKASHI MATSUOKA ANALISIS MORALITAS BUSHIDO DALAM NOVEL SAMURAI SUZUME NO KUMO KARYA TAKASHI MATSUOKA (MATSUOKA TAKASHI NO SAKUHIN NO SAMURAI SUZUME NO KUMO NO SHOUSETSU NI OKERU BUSHIDO NO DOUTOKU NO BUNSEKI) SKRIPSI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra adalah alat yang digunakan sastrawan untuk mengungkapkan

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra adalah alat yang digunakan sastrawan untuk mengungkapkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra adalah alat yang digunakan sastrawan untuk mengungkapkan berbagai fenomena kehidupan manusia. Fenomena kehidupan manusia menjadi hal yang sangat menarik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bagi kehidupan, karena dapat memberi kesadaran kepada pembaca tentang

BAB I PENDAHULUAN. bagi kehidupan, karena dapat memberi kesadaran kepada pembaca tentang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra merupakan ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat, keyakinan dalam suatu bentuk gambaran kehidupan yang dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra bersumber dari kenyataan yang berupa fakta sosial bagi masyarakat sekaligus sebagai pembaca dapat

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra bersumber dari kenyataan yang berupa fakta sosial bagi masyarakat sekaligus sebagai pembaca dapat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra bersumber dari kenyataan yang berupa fakta sosial bagi masyarakat sekaligus sebagai pembaca dapat memberikan tanggapannya dalam membangun karya sastra.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan wujud dari pengabdian perasaan dan pikiran pengarang yang muncul ketika ia berhubungan dengan lingkungan sekitar. Sastra dianggap sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan hasil kreasi sastrawan melalui kontemplasi dan refleksi setelah menyaksikan berbagai fenomena kehidupan dalam lingkungan sosialnya. Fenomena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terhadap suatu olahraga. Dapat dibuktikan jika kita membaca komik dan juga

BAB I PENDAHULUAN. terhadap suatu olahraga. Dapat dibuktikan jika kita membaca komik dan juga BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Di Jepang terdapat bermacam-macam budaya, salah satunya adalah olahraga. Jepang merupakan salah satu negara yang memiliki ketertarikan tinggi terhadap suatu olahraga.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Karya sastra muncul karena karya tersebut berasal dari gambaran kehidupan

BAB 1 PENDAHULUAN. Karya sastra muncul karena karya tersebut berasal dari gambaran kehidupan BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra selalu muncul dari zaman ke zaman di kalangan masyarakat. Karya sastra muncul karena karya tersebut berasal dari gambaran kehidupan manusia yang

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. masyarakat itu sendiri. Akan tetapi, masyarakat itu sangatlah kompleks. Untuk menjadikan

BAB II LANDASAN TEORI. masyarakat itu sendiri. Akan tetapi, masyarakat itu sangatlah kompleks. Untuk menjadikan BAB II LANDASAN TEORI Eksistensi dari karya sastra di tengah masyarakat tidak lepas dari pengakuan masyarakat itu sendiri. Akan tetapi, masyarakat itu sangatlah kompleks. Untuk menjadikan karya sastra

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atau yang disebut sebagai Sakoku (negeri tertutup). Akibat isolasi politik tersebut

BAB I PENDAHULUAN. atau yang disebut sebagai Sakoku (negeri tertutup). Akibat isolasi politik tersebut BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada zaman Edo (1602-1868) pemerintah Jepang melakukan isolasi politik atau yang disebut sebagai Sakoku (negeri tertutup). Akibat isolasi politik tersebut timbullah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. surut. Dua periode penting tersebut adalah masa Kaisar Meiji ( ) dan. yang kemudian dikenal dengan Restorasi Meiji.

BAB I PENDAHULUAN. surut. Dua periode penting tersebut adalah masa Kaisar Meiji ( ) dan. yang kemudian dikenal dengan Restorasi Meiji. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sepanjang sejarah, kekaisaran Jepang beberapa kali mengalami masa pasang surut. Dua periode penting tersebut adalah masa Kaisar Meiji (1868-1912) dan Kaisar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sastra merupakan tulisan yang bernilai estetik dengan kehidupan manusia sebagai

I. PENDAHULUAN. Sastra merupakan tulisan yang bernilai estetik dengan kehidupan manusia sebagai 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sastra merupakan tulisan yang bernilai estetik dengan kehidupan manusia sebagai objeknya dan bahasa sebagai mediumnya. Menurut Esten (2000: 9), sastra merupakan pengungkapan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jepang adalah sebuah negara maju yang berada di Asia Timur. Dalam Hal keyakinan, Jepang merupakan negara yang membebaskan warga negaranya dalam beragama, seperti yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari luapan emosional. Karya sastra tidak menyuguhkan ilmu pengetahuan dalam

BAB I PENDAHULUAN. dari luapan emosional. Karya sastra tidak menyuguhkan ilmu pengetahuan dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sastra adalah suatu kegiatan kreatif pada sebuah karya seni yang tertulis atau tercetak (Wellek 1990: 3). Sastra merupakan karya imajinatif yang tercipta dari luapan

Lebih terperinci

Bab 1. Pendahuluan. lain. Keluarga adalah lingkungan interaksi manusia yang pertama. Keluarga

Bab 1. Pendahuluan. lain. Keluarga adalah lingkungan interaksi manusia yang pertama. Keluarga Bab 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Dalam menjalani kehidupannya manusia selalu membutuhkan interaksi dengan orang lain. Keluarga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gerakan sosial yang dibahas dalam studi ini terjadi di Semenanjung

BAB I PENDAHULUAN. Gerakan sosial yang dibahas dalam studi ini terjadi di Semenanjung BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Gerakan sosial yang dibahas dalam studi ini terjadi di Semenanjung Shimabara, Kyushu. Sebagian besar pelaku dari gerakan ini adalah para petani dan ronin (samurai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Darma Persada

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Darma Persada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bila membicarakan Jepang, maka hal yang akan terbayang adalah sebuah Negara modern di mana penduduknya memiliki kedisiplinan yang tinggi, maju, kaya, dan sebutan-sebutan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkembang di tengah-tengah masyarakat. Kehidupan sastra daerah itu dapat. Mitchell (dalam Nurgiyantoro, 2005 : 163) yakni,

BAB I PENDAHULUAN. berkembang di tengah-tengah masyarakat. Kehidupan sastra daerah itu dapat. Mitchell (dalam Nurgiyantoro, 2005 : 163) yakni, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sastra daerah merupakan bagian dari suatu kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat. Kehidupan sastra daerah itu dapat dikatakan masih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan sosial, dan karya sastra memiliki kaitan yang sangat erat. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan sosial, dan karya sastra memiliki kaitan yang sangat erat. Menurut 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Moral, kebudayaan, kehidupan sosial, dan karya sastra memiliki ruang lingkup yang luas di kehidupan masyarakat, sebab sastra lahir dari kebudayaan masyarakat. Aspek

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (keindahan bahasa) yang dominan.karya sastra merupakan ungkapan pribadi

BAB I PENDAHULUAN. (keindahan bahasa) yang dominan.karya sastra merupakan ungkapan pribadi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan suatu hasil karya manusia baik lisan maupun nonlisan yang menggunakan bahasa sebagai media pengantar dan memiliki nilai estetik (keindahan

Lebih terperinci

BAB II PENGABDIAN DIRI MASYARAKAT JEPANG DAN KAMIKAZE. Jepang adalah masyarakat yang berkebudayaan rasa malu. Ruth Benedict

BAB II PENGABDIAN DIRI MASYARAKAT JEPANG DAN KAMIKAZE. Jepang adalah masyarakat yang berkebudayaan rasa malu. Ruth Benedict BAB II PENGABDIAN DIRI MASYARAKAT JEPANG DAN KAMIKAZE 2.1 Masyarakat Berkebudayaan Rasa Malu Ruth Benedict dalam Situmorang mengatakan (1995 : 64) bahwa masyarakat Jepang adalah masyarakat yang berkebudayaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tentang kisah maupun kehidupan sehari-hari. Seseorang dapat menggali,

BAB I PENDAHULUAN. tentang kisah maupun kehidupan sehari-hari. Seseorang dapat menggali, 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Karya sastra adalah hasil imajinasi manusia yang dapat menimbulkan kesan pada jiwa pembaca. Karya sastra merupakan ungkapan pikiran dan perasaan, baik tentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Seorang manusia sebagai bagian dari sebuah komunitas yang. bernama masyarakat, senantiasa terlibat dengan berbagai aktifitas sosial

BAB I PENDAHULUAN. Seorang manusia sebagai bagian dari sebuah komunitas yang. bernama masyarakat, senantiasa terlibat dengan berbagai aktifitas sosial BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Seorang manusia sebagai bagian dari sebuah komunitas yang bernama masyarakat, senantiasa terlibat dengan berbagai aktifitas sosial yang berlaku dan berlangsung

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Kebudayaan dapat diartikan sebagai suatu nilai dan pikiran yang hidup pada sebuah masyarakat, dan dalam suatu nilai, dan pikiran ini berkembang sejumlah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maupun kehidupan sehari-hari. Seseorang dapat menggali, mengolah, dan

BAB I PENDAHULUAN. maupun kehidupan sehari-hari. Seseorang dapat menggali, mengolah, dan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra merupakan ungkapan pikiran dan perasaan, baik tentang kisah maupun kehidupan sehari-hari. Seseorang dapat menggali, mengolah, dan mengekspresikan gagasan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. suatu objek tertentu. Rene Wellek mengatakan bahwa sastra adalah institusi sosial

BAB 1 PENDAHULUAN. suatu objek tertentu. Rene Wellek mengatakan bahwa sastra adalah institusi sosial BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Rumusan Masalah 1.1.1. Latar Belakang Sastra 1 merupakan curahan hati manusia berupa pengalaman atau pikiran tentang suatu objek tertentu. Rene Wellek mengatakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lainnya. Hal ini disebabkan masing-masing pengarang mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. lainnya. Hal ini disebabkan masing-masing pengarang mempunyai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra lahir karena adanya daya imajinasi yang di dalamnya terdapat ide, pikiran, dan perasaan seorang pengarang. Daya imajinasi inilah yang mampu membedakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP NOVEL DAN BUSHIDO. karya fiksi yang merupakan hasil kreasi berdasarkan luapan emosi yang spontan

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP NOVEL DAN BUSHIDO. karya fiksi yang merupakan hasil kreasi berdasarkan luapan emosi yang spontan BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP NOVEL DAN BUSHIDO 2.1 Novel 2.1.1 Novel sebagai Sebuah Karya Fiksi Fananie (2000:6) mengungkapkan bahwa secara umum sastra merupakan karya fiksi yang merupakan hasil kreasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Modernisasi Jepang dimulai pada saat Jepang melakukan Restorasi Meiji.

BAB I PENDAHULUAN. Modernisasi Jepang dimulai pada saat Jepang melakukan Restorasi Meiji. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Modernisasi Jepang dimulai pada saat Jepang melakukan Restorasi Meiji. Sebelum melakukan Restorasi, Jepang mengalami masa isolasi selama kurang lebih 250 tahun selama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penikmatnya. Karya sastra ditulis pada kurun waktu tertentu langsung berkaitan

BAB I PENDAHULUAN. penikmatnya. Karya sastra ditulis pada kurun waktu tertentu langsung berkaitan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra terbentuk atas dasar gambaran kehidupan masyarakat, karena dalam menciptakan karya sastra pengarang memadukan apa yang dialami dengan apa yang diketahui

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu fenomena yang menarik pada zaman modern di Indonesia adalah pemahaman dan implementasi tentang nilai-nilai moral dalam kehidupan masyarakat kita yang semakin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai fakta sosial, manusia sebagai makhluk kultural (Ratna, 2005:14). Dalam

BAB I PENDAHULUAN. sebagai fakta sosial, manusia sebagai makhluk kultural (Ratna, 2005:14). Dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan salah satu hasil karya seni yang sekaligus menjadi bagian dari kebudayaan. Sebagai salah satu hasil kesenian, karya sastra mengandung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kata-kata yang indah, gaya bahasa, dan gaya bercerita yang menarik (Zainuddin, 1992:99).

BAB I PENDAHULUAN. kata-kata yang indah, gaya bahasa, dan gaya bercerita yang menarik (Zainuddin, 1992:99). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sastra adalah karya seni yang dikarang menurut standar bahasa kesusastraan, penggunaan kata-kata yang indah, gaya bahasa, dan gaya bercerita yang menarik (Zainuddin,

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. dengan judul Nilai-Nilai Moral dalam Novel Nyanyian Lembayung Karya Sin

BAB II LANDASAN TEORI. dengan judul Nilai-Nilai Moral dalam Novel Nyanyian Lembayung Karya Sin 8 BAB II LANDASAN TEORI A. Penelitian Sebelumnya yang Relevan Penelitian tentang nilai-nilai moral sudah pernah dilakukan oleh Lia Venti, dengan judul Nilai-Nilai Moral dalam Novel Nyanyian Lembayung Karya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI. 2.1 Tinjauan Pustaka Dewi Lestari adalah salah seorang sastrawan Indonesia yang cukup

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI. 2.1 Tinjauan Pustaka Dewi Lestari adalah salah seorang sastrawan Indonesia yang cukup BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI 2.1 Tinjauan Pustaka Dewi Lestari adalah salah seorang sastrawan Indonesia yang cukup diperhitungkan karya-karyanya dan dianggap sebagai pengarang produktif

Lebih terperinci

Jepang (Bagian III) Feodalisme Jepang

Jepang (Bagian III) Feodalisme Jepang Jepang (Bagian III) Feodalisme Jepang Sistem kepemilikan hak atas tanah di Jepang berbeda dengan Eropa (sistem shoen) Biaya untuk Samurai Jepang lebih murah, tanah imbalan untuk samurai lebih kecil daripada

Lebih terperinci

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian Metode dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Dalam penelitian yang menggunakan metode deskriptif maka data yang dipoeroleh dianalisis dan diuraikan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. berkeinginan untuk mengakhiri hidup mereka) (http://wikipedia.org/wiki/bunuhdiri). Salah satu cara yang paling populer bagi

BAB 1 PENDAHULUAN. berkeinginan untuk mengakhiri hidup mereka) (http://wikipedia.org/wiki/bunuhdiri). Salah satu cara yang paling populer bagi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Masyarakat Jepang merupakan bagian dari masyarakat yang mudah terpengaruh dengan keadaan sekitar yang dapat membuat mereka merasa tertekan. Tekanan terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Menurut Simon Kemoni yang dikutip oleh Esten (2001: 22) globalisasi dalam bentuk yang alami akan meninggikan berbagai budaya dan nilai-nilai budaya. Globalisasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pedoman hidup sehari-hari. Keberagaman tersebut memiliki ciri khas yang

BAB I PENDAHULUAN. pedoman hidup sehari-hari. Keberagaman tersebut memiliki ciri khas yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setiap negara memiliki beragam norma, 1 moral, 2 dan etika 3 yang menjadi pedoman hidup sehari-hari. Keberagaman tersebut memiliki ciri khas yang berbeda-beda

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra adalah salah satu bentuk karya seni yang pada dasarnya merupakan sarana menuangkan ide atau gagasan seorang pengarang. Kehidupan manusia dan pelbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia dalam berekspresi dapat diwujudkan dengan berbagai macam cara. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan menciptakan sebuah karya sastra baik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan pada hakikatnya secara sederhana merupakan bentuk

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan pada hakikatnya secara sederhana merupakan bentuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan pada hakikatnya secara sederhana merupakan bentuk kerjasama kehidupan antara pria dan wanita di dalam masyarakat. Perkawinan betujuan untuk mengumumkan

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Adapun konsep yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Adapun konsep yang digunakan dalam penelitian ini adalah: BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Adapun konsep yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 2.1.1 Sastra Sastra pada dasarnya merupakan ciptaan, kreasi bukan sebuah imitasi.

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI 6 BAB II LANDASAN TEORI A. Nilai Humanisme 1. Nilai Nilai (value) dan sikap (attitude) merupakan dua konsep yang saling berkaitan. Nilai dianggap sebagai bagian dari kepribadian individu yang dapat mewarnai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra merupakan bagian dari kehidupan manusia, yang berkaitan dengan memperjuangkan kepentingan hidup manusia. Sastra merupakan media bagi manusia untuk berkekspresi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Sastrawan yang dicetak pun semakin banyak pula dengan ide-ide dan karakter. dengan aneka ragam karya sastra yang diciptakan.

BAB 1 PENDAHULUAN. Sastrawan yang dicetak pun semakin banyak pula dengan ide-ide dan karakter. dengan aneka ragam karya sastra yang diciptakan. BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karya sastra merupakan hasil kreasi sastrawan melalui kontemplasi dan refleksi setelah menyaksikan berbagai fenomena kehidupan dalam lingkungan sosialnya. Fenomena kehidupan

Lebih terperinci

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP)

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP) RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP) Sekolah : SMP-K PERMATA BUNDA CIMANGGIS Mata Pelajaran : Pendidikan Agama Katolik Kelas/Semester : VIII / 1 Alokasi Waktu : 2 x 40 menit A. Standar Kompetensi : Memahami

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dikenal masyarakat luas sampai saat ini adalah prosa rakyat. Cerita prosa rakyat

BAB I PENDAHULUAN. dikenal masyarakat luas sampai saat ini adalah prosa rakyat. Cerita prosa rakyat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Indonesia memiliki banyak warisan kebudayaan dari berbagai etnik. Warisan kebudayaan yang disampaikan secara turun menurun dari mulut kemulut secara lisan biasa disebut

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat,

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat, BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sosiologi dan Sastra Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat, sedangkan objek ilmu-ilmu kealaman adalah gejala alam. Masyarakat adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dari segi sosialnya, Jepang merupakan negara yang maju dan. moderen. Walaupun demikian, negara tersebut memiliki banyak

BAB I PENDAHULUAN. Dari segi sosialnya, Jepang merupakan negara yang maju dan. moderen. Walaupun demikian, negara tersebut memiliki banyak 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dari segi sosialnya, Jepang merupakan negara yang maju dan moderen. Walaupun demikian, negara tersebut memiliki banyak keanekaragaman budaya tradisional termasuk

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI. mutakhir yang pernah diteliti oleh peneliti sebelumnya yang berkaitan dengan

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI. mutakhir yang pernah diteliti oleh peneliti sebelumnya yang berkaitan dengan BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI 2.1 Kajian Pustaka Kajian pustaka berfungsi untuk mengetahui faktor-faktor keaslian suatu penelitian. Kajian pustaka menjelaskan gagasan, pemikiran, atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam karya sastra terdapat nilai-nilai kehidupan masyarakat yang dituangkan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam karya sastra terdapat nilai-nilai kehidupan masyarakat yang dituangkan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Dalam karya sastra terdapat nilai-nilai kehidupan masyarakat yang dituangkan ke dalam bentuk tulisan dengan media bahasa. Orang dapat mengetahui nilai-nilai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI RELIGI DI JEPANG. Dalam kehidupan manusia kegiatan religi akan selalu dilaksanakan. Ada

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI RELIGI DI JEPANG. Dalam kehidupan manusia kegiatan religi akan selalu dilaksanakan. Ada BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI RELIGI DI JEPANG 2.1 Pengertian Religi Dalam kehidupan manusia kegiatan religi akan selalu dilaksanakan. Ada yang melakukan secara sungguh-sungguh, namun tidak orang yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan, yang dapat membangkitkan pesona dengan alat bahasa dan dilukiskan

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan, yang dapat membangkitkan pesona dengan alat bahasa dan dilukiskan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Karya sastra adalah ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat, keyakinan dalam suatu bentuk gambaran kehidupan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (isolasi) dari dunia luar dengan sistem feodal, yang merupakan transisi ke. Restorasi Meiji kelak sebagai antiklimaks isolasinya.

BAB I PENDAHULUAN. (isolasi) dari dunia luar dengan sistem feodal, yang merupakan transisi ke. Restorasi Meiji kelak sebagai antiklimaks isolasinya. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Jepang merupakan salah satu negara di kawasan Asia Timur yang patut diperhitungkan.dengan kehebatannya dalam memadukan tradisi dan modernisasi, menjadikan Jepang

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN. A. Simpulan. Secara keseluruhan penelitian dan pembahasan tentang novel Serat

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN. A. Simpulan. Secara keseluruhan penelitian dan pembahasan tentang novel Serat 181 BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN A. Simpulan Secara keseluruhan penelitian dan pembahasan tentang novel Serat Prabangkara karya Ki Padmasusastra menghasilkan beberapa temuan penting yang dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Secara etimologis kata kesusastraan berasal dari kata su dan sastra. Su berarti

BAB I PENDAHULUAN. Secara etimologis kata kesusastraan berasal dari kata su dan sastra. Su berarti BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara etimologis kata kesusastraan berasal dari kata su dan sastra. Su berarti baik dan sastra (dari bahasa Sansekerta) berarti tulisan atau karangan. Dari pengertian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berperan penting atau tokoh pembawa jalannya cerita dalam karya sastra.

BAB I PENDAHULUAN. berperan penting atau tokoh pembawa jalannya cerita dalam karya sastra. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Karya sastra memuat perilaku manusia melalui karakter tokoh-tokoh cerita. Hadirnya tokoh dalam suatu karya dapat menghidupkan cerita dalam karya sastra. Keberadaan

Lebih terperinci

NILAI PENDIDIKAN KARAKTER DALAM NOVEL SANG PEMIMPI KARYA ANDREA HIRATA DAN SKENARIO PEMBELAJARANNYA DI KELAS XI SMSA

NILAI PENDIDIKAN KARAKTER DALAM NOVEL SANG PEMIMPI KARYA ANDREA HIRATA DAN SKENARIO PEMBELAJARANNYA DI KELAS XI SMSA NILAI PENDIDIKAN KARAKTER DALAM NOVEL SANG PEMIMPI KARYA ANDREA HIRATA DAN SKENARIO PEMBELAJARANNYA DI KELAS XI SMSA Oleh: Intani Nurkasanah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas

Lebih terperinci

ANALISIS PESAN MORAL DALAM NOVEL FURINKAZAN KARYA YASUSHI INOUE YASUSHI INOUE NO FURIKAZAN TO IU SHOUSETSU NI OKERU DOUTOKU NO DENGON NO BUNSEKI

ANALISIS PESAN MORAL DALAM NOVEL FURINKAZAN KARYA YASUSHI INOUE YASUSHI INOUE NO FURIKAZAN TO IU SHOUSETSU NI OKERU DOUTOKU NO DENGON NO BUNSEKI ANALISIS PESAN MORAL DALAM NOVEL FURINKAZAN KARYA YASUSHI INOUE YASUSHI INOUE NO FURIKAZAN TO IU SHOUSETSU NI OKERU DOUTOKU NO DENGON NO BUNSEKI SKRIPSI Skripsi ini Diajukan Kepada Panitia Ujian Fakultas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pandangan tentang wanita Jepang yang masih kuno dan tradisional masih

BAB I PENDAHULUAN. Pandangan tentang wanita Jepang yang masih kuno dan tradisional masih BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Pandangan tentang wanita Jepang yang masih kuno dan tradisional masih tetap ada sampai sekarang ini. Wanita Jepang memiliki citra sebagai seorang wanita yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sastra memiliki kekhasan dari pengarangnya masing-masing. Hal inilah yang

BAB I PENDAHULUAN. sastra memiliki kekhasan dari pengarangnya masing-masing. Hal inilah yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Karya sastra merupakan suatu karya yang sifatnya estetik. Karya sastra merupakan suatu karya atau ciptaan yang disampaikan secara komunikatif oleh penulis

Lebih terperinci

Bab 1. Pendahuluan. Selama hampir 700 tahun, dari 1192 sampai 1867, Jepang dikuasai oleh pemerintahan

Bab 1. Pendahuluan. Selama hampir 700 tahun, dari 1192 sampai 1867, Jepang dikuasai oleh pemerintahan Bab 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Selama hampir 700 tahun, dari 1192 sampai 1867, Jepang dikuasai oleh pemerintahan samurai. Pada mulanya samurai adalah ksatria yang mengendarai kuda yang kemudian terorganisir

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Jepang merupakan salah satu negara yang terkenal akan ragam

BAB I PENDAHULUAN. Jepang merupakan salah satu negara yang terkenal akan ragam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Jepang merupakan salah satu negara yang terkenal akan ragam kebudayaannya. Situmorang (1995: 3) menjelaskan bahwa kebudayaan adalah sebuah jaringan makna yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. keduanya. Sastra tumbuh dan berkembang karena eksistensi manusia dan sastra

BAB 1 PENDAHULUAN. keduanya. Sastra tumbuh dan berkembang karena eksistensi manusia dan sastra 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sastra bukanlah hal yang asing bagi manusia, bahkan sastra begitu akrab karena dengan atau tanpa disadari terdapat hubungan timbal balik antara keduanya.

Lebih terperinci

membuka diri terhadap dunia internasional. Peristiwa ini mengakibatkan kepercayaan Daimyo terhadap kekuasaan Tokugawa menjadi menurun.

membuka diri terhadap dunia internasional. Peristiwa ini mengakibatkan kepercayaan Daimyo terhadap kekuasaan Tokugawa menjadi menurun. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Jepang merupakan negara di Asia yang pernah menjadi Negara imperialis. Dengan usaha melakukan politik ekspansi ke kawasan Asia Pasifik termasuk Indonesia, Jepang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan refleksinya. Penyajiannya disusun secara menarik dan terstruktur dalam

BAB I PENDAHULUAN. dan refleksinya. Penyajiannya disusun secara menarik dan terstruktur dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karya sastra merupakan suatu bentuk kontemplasi dan refleksi pengarang terhadap keadaan di luar dirinya, misalnya lingkungan atau masyarakat. Hal ini sejalan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sastra adalah penafsiran kebudayaan yang jitu. Sastra bukan sekadar seni

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sastra adalah penafsiran kebudayaan yang jitu. Sastra bukan sekadar seni BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sastra adalah penafsiran kebudayaan yang jitu. Sastra bukan sekadar seni yang merekam kembali alam kehidupan, akan tetapi yang memperbincangkan kembali lewat suatu

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI. karena kajian pustaka merupakan langkah awal bagi peneliti dalam

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI. karena kajian pustaka merupakan langkah awal bagi peneliti dalam BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI 2.1 Kajian Pustaka Kajian pustaka mempunyai peranan penting dalam melakukan penelitian karena kajian pustaka merupakan langkah awal bagi peneliti dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. secara sadar dengan tujuan untuk menyampaikan ide, pesan, maksud,

BAB I PENDAHULUAN. secara sadar dengan tujuan untuk menyampaikan ide, pesan, maksud, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bahasa merupakan rangkaian bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia secara sadar dengan tujuan untuk menyampaikan ide, pesan, maksud, perasaan, dan pendapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam sastra kita dapat menemukan gambaran hidup dan rangkaian sejarah yang

BAB I PENDAHULUAN. dalam sastra kita dapat menemukan gambaran hidup dan rangkaian sejarah yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Salah satu karya manusia yang menarik untuk dikaji adalah sastra, karena dalam sastra kita dapat menemukan gambaran hidup dan rangkaian sejarah yang sesuai

Lebih terperinci

KODE ETIK DOSEN STIKOM DINAMIKA BANGSA

KODE ETIK DOSEN STIKOM DINAMIKA BANGSA KODE ETIK DOSEN STIKOM DINAMIKA BANGSA STIKOM DINAMIKA BANGSA MUKADIMAH Sekolah Tinggi Ilmu Komputer (STIKOM) Dinamika Bangsa didirikan untuk ikut berperan aktif dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan

Lebih terperinci