PEMANTAUAN HAMA PENYAKIT IKAN HIAS GOLONGAN TETRA DAN EVALUASINYA TERHADAP PARAMETER LINGKUNGAN AQUATIK DI WILAYAH JABOTABEK DIKRY NOVEL SHATRIE

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PEMANTAUAN HAMA PENYAKIT IKAN HIAS GOLONGAN TETRA DAN EVALUASINYA TERHADAP PARAMETER LINGKUNGAN AQUATIK DI WILAYAH JABOTABEK DIKRY NOVEL SHATRIE"

Transkripsi

1 PEMANTAUAN HAMA PENYAKT KAN HAS GOLONGAN TETRA DAN EVALUASNYA TERHADAP PARAMETER LNGKUNGAN AQUATK D WLAYAH JABOTABEK DKRY NOVEL SHATRE SEKOLAH PASCASARJANA NSTTUT PERTANAN B'OGOR BOGOK 2006

2 SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis saya yang berjudul : PEMANTAUAN HAMA PENYAKT KAN HAS GOLONGAN TETRA DAN EVALUASNYA TERHADAP PARAMETER LNGKUNGAN AQUATK D WLAYAH JABOTABEK, merupakan gagasan atau hasil penelitian tesis saya sendiri, dengan pembimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Tesis ini belurn pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya. Bogor, Mei 2006 Dikry Novel Shatrie NRP : B

3 ABSTRAK DKRY NOVEL SHATRE. Pemantauan Hama Penyakit kan Hias Golongan Tetra Dan Evaluasinya Terhadap Parameter Lingkungan Aquatik di Wilayah Jabotabek. Dibimbing oleh FACHRYAN H. PASARBU, ETTY RAN dan DEW1 RATH AGUNGPRYONO. Ekspor ikan hias dari ndonesia hanya sebesar 15 % dari seluruh total ekspor ikan hias dunia. Salah satu penyebabnya adalah banyaknya penyakitpenyakit ikan yang disebabkan oleh bakteri, parasit dan jamur. Pengamatan pada 4 lokasi ikan hias Tetra di Bogor, Cibinong, Bekasi dan Tangerang dilakukan selama bulan Pebruari sampai Juli Data yang diambil ditujukan untuk mengetahui hubungan antara parameter kualitas air, seperti suhu, ph, DO, kesadahan, nitrat dan nitrit; dengan kejadian penyakit. Data yang didapat kemudian dianalisa menggunakan analisa regresi sederhana dan T-test. Berdasarkan pengarnatan diketahui bahwa 66% dari total 1500 ekor sampel ikan tetra terinfeksi oleh bakteri, parasit dan jamur. Hasil evaluasi menunjukkan bahwa suhu air merupakan faktor yang paling berperan terhadap kejadian penyakit pada ikan. Bila suhu air meningkat, maka jumlah kejadian penyakit bakterial meningkat Persentase penyakit yang disebabkan oleh Aeromonas hydrophila mencapai 23% dan Pseudomonas j7uorescens mencapai 14,80%. Sedangkan bila suhu air menurun, maka angka kejadian penyakit yang disebabkan oleh parasit dan jamur akan meningkat. Persentase kejadian penyakit yang disebabkan oleh Dactylogvrus sp adalah 10,13 %, sedangkan Gyrodactylus sp 9,87 %, Argulus sp 5,27 %. dan Saprolegnia sp 3,27 %. Dengan uji histopatologi ditemukan adanya myositis, peritonitis dan enteritis dari non spesifik viral dan beberapa kista Pleistophora sp. di dalam jaringan otot ikan yang sehat. Penelitian membuktikan bahwa menj'aga suhu air sangat penting untuk meminimalisasi kerugian yang disebabkan oleh organisme-organisme patogen pada ikan dan uji histopatologi dapat dipertimbangkan sebagai cara yang efektif untuk memastikan kesehatan ikan.

4 Abstract DKRY NOVEL SHATRE. Tetra Fish Diseases Monitoring and ts Evaluation to Aquatic Environment Parameters in the Jabotabek Area. Under the direction of FACHRYAN H. PASARBU, ETTY RAN and DEW1 RATH AGUNGPRYONO ndonesian ornamental freshwater fish only retain 15% of total exporting ornamental freshwater fish all over the world. This matter is due by numerous causes offish disease such as bacterial, parasites and fungal infection. Disease of tetra fish which sampled from some fishes collectedfrom Bogor, Cibinong, Bekasi and Tangerang areas were monitored during February up to July The data were interrelated with water quality parameters such as air and water temperature, ph, DO, hardness, ammonia and nitrite content and analyzed using simple linear regression and T-test. Disease monitoring showed that 66% from 1500 tetra fishes were infected by bacterial, parasite and fungi. The data's statistic evaluation demonstrated that the water temperature was appeared to be the most significant factor that influences the appearance of various fish diseases. The incidence of Aeromonas hydrophila got to 23.07% and Pseudomonas fluorescens was 14.80%. The incidences of bacterial disease rose when the water temperature increases. However, the parasites and fungal infection had a tendency to increase while water ternperature was decreased. The incidence of parasites such as Dacfylogyrus sp., Gyrodactylus sp., and Argulus sp. are 10.13%, 9.87%, and 5.2 7%, respectively and Saprolegnia sp., fungal infection is 3.27%. Myositis, peritonitis and non spec@c viral enteritis were observed by histopathology examination and some protozoan Pleistophora sp. cyst observed within the muscular tissue from fish which clinically healthy. The study pointed that maintaining water temperature is very important in order to minimize several damages from pathogenic organism in fish and histopathology examination could be a handy tool to ensure health status offish.

5 O Hak cipta milik nstitut Pertanian Bogor,, tahun 2006 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari nstitut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam beniuk apapun, baik cetak, fotocopi, mikrofilm, dan sebagainya

6 PEMANTAUAN HAMA PENYAKT KAN HAS GOLONGAN TETRA DAN EVALUASNYA TERHADAP PARAMETER LNGKUNGAN AQUATK D WLAYAH JABOTABEK DKRY NOVEL SHATRE Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Sains Veteriner SEKOLAH PASCASARJANA NSTTUT PERTANAN BOGOR BOGOR 2006

7 Judul Tesis : Pemantauan Harna Penyakit kan Hias Golongan Tetra Dan Evaluasinya Terhadap Parameter Lingkungan Aquatik di Wilayah Jabotabek Nama : Dikry Novel Shatrie NRP : B Disetujui Komisi Pembimbing Prof. Dr. drh. Fachriyan H.Pasaribu Ketua Dr. r. dttv Riani. M.S. Anggota drh. Dewi Ratih Anunapriyono, Ph.D. Anggota Diketahui Ketua Program Studi Sains Veteriner n f ah Pascasarjana M.S.

8 PRAKATA Segala puji bagi Allah Azza Wa Ja'Alla, pencipta langit dan burni, pemilik sekalian ilmu dan hakim atas segala sesuatu urusan. Sesungguhnya karena berkah dan rahrnatnya penelitian dan penulisan tesis ini dapat diselesaikan. Tesis ini disusun untuk memenuhi tugas yang diberikan dalam proses penyelesaian studi di Program Sains Veteriner - Sekolah Pasca Sarjana, nstitut Pertanian Bogor. Tema penelitian yang dikerjakan adalah pemantauan dan evaluasi hama penyakit untuk mengetahui korelasi dan pola penyebaran penyakit ikan hias golongan tetra di wilayah Jabotabek dengan perubahan suhu udara. Terima kasih yang tak terhingga kami sampaikan kepada para dosen pembimbing, Prof. Dr.drh. Fachriyan H. Pasaribu, Dr. r. Etty Riani, MS. dm drh. Dewi Ratih Agungpriyono Ph.D., yang telah bersedia untuk menjadi pembimbing kami, dan membagikan ilmunya yang tidak ternilai kepada kami selaku mahasiswa. Demikian juga kepada anak dan isteri tercinta atas dukungan dan doanya. Disadari bahwa banyak kekurangan yang ada dalam penelitian ini, oleh karena itu diperlukan saran dan pertimbangan untuk menyempurnakannya lebih lanjut. Bogor, Mei 2006 Dikry Novel Shatrie

9 Penulis dilahirkan di kota Bogor pada tanggal 20 November 1968 dari pasangan Moedrik Shatrie (Alm.) dan Nurlaila. Penulis merupakan anak pertarna dari dua bersaudara. Tahun 1987 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Bogor dan pada tahun 1988 melanjutkan ke Sekolah Ahli Usaha Perikanan, Jurusan Akuakultur di Jakarta, dan lulus pada tahun Pada tahun 1994 melanjutkan ke Fakultas Perikanan, Jurusan Budidaya, Universitas Juanda Bogor. Pada tahun 2002 menempuh pendidikan pada program Magister Sains Veteriner di Sekolah Pasca Sarjana nstitut Pertanian Bogor. Sejak tahun 1992 penulis bekerja sebagai staff pada Balai Karantina kan Soekarno-Hatta, Pusat Karantina Pertanian, Departemen Pertanian. Tahun 2001 sampai sekarang penulis bekerja pada Pusat Karantina kan, Departemen Kelautan dan Perikanan, di Jakarta.

10 DAFTAR S1 DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPRAN... PENDAHULUAN... Latar Belakang... Tujuan Penelitian... Perumusan Masalah Penelitian... Hipotesa... Man faat Penelitian... TNJAUAN PUSTAKA... Kualitas Air dan Kesehatan kan... Suhu Air... ph (Derajat Keasaman)... Oksigen Terlarut... Kesadahan... Kadar Amonia (NH3)... Kadar Nitrit (N02)... kan Hias Golongan Tetra... Penyakit-penyakit pada kan... Sistem dan Regulasi Karantina... Halaman... Vlll BAHAN DAN METODA Tempat dan Waktu Sampel kan dan Metode Pemeriksaan Sampel Air dan Metode Pemeriksaan Kerangka Kerja Penelltian Analisis Pengolahan Data HASL DAN PEMBAHASAN Parameter Kualitas Air Suhu Air ph Oksigen Terlarut (DO) Kesadahan Air Amonia Nitrit Persentase Kejadian Penyakit A eromonus hydrophila P.seudomonus.fluorcscens Korelasi antara Suhu Air dan Prevalensi Penyakit Bakterial Hasil Pemeriksaan Histopatologi Argulu.s.sp Dactylo~ru.s.sl~... 44

11 Gyrodactylus sp... Korelasi antara Suhu Air dan Prevalensi Penyakit Parasiter... Saprolegnia sp... Korelasi antara Suhu Air dan Prevalensi Penyakit Fungi... Daerah dentifikasi Penyakit... KESMPULAN... SARAN... DAFTAR PUSTAKA... LAMPRAN...

12 DAFTAR TABEL Halaman Pengaruh ph terhadap komunitas biologi perairan... Hubungan kadar oksigen terlarut dengan suhu air... Kation penyusun kesadahan dan anion penyusunnya... Klasifikasi nilai kesadahan air... Toksisitas akut (LDS0 96 jam) arnonia tak terionisasi pada organisme akuatik... Hubungan ph dan suhu terhadap kadar amonia total... Parameter kualitas air yang diamati dan lokasi pengamatannya... Rata-rata kualitas air dan persentase penyakit pada sampel ikan di lokasi A (Bogor) per bulan penelitian... Rata-rata kualitas air dan persentase penyakit pada sampel ikan di lokasi B (Cibinong) per bulan penelitian... Rata-rata kualitas air dan persentase penyakit pada sampel ikan di lokasi C (Bekasi) per bulan penelitian... Rata-rata kualitas air dan persentase penyakit pada sarnpel ikan di lokasi D (Tangerang) per bulan penelitian... Rata-rata kualitas air dan persentase penyakit pada sampel ikan... selama 25 minggu penelltian... Perbandingan kualitas air penelitian dengan standar Langdon... Rata-rata suhu air dan angka prevalensi (%) penyakit dari 4 daerah penelitian...

13 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Serpae tetra longfin (Hyphessobrycon serpae) Rossy tetra (Hyphessobrycon roseus) Neon tetra (Paracheirodon innesi) Red nose tetra (Hemigrammus bleheri) Emperor tetra (Nemato brycon palmery) Kerangka kerja penel~t~an Grafik hubungan suhu air dengan prevalensi penyakit ikan tetra di lokasi A (Bogor) Grafik hubungan suhu air dengan prevalensi penyakit ikan tetra di lokasi B (Cibinong) Grafik hubungan suhu air dengan prevalensi penyakit ikan tetra di lokasi C (Bekasi) Grafik hubungan suhu air dengan prevalensi penyakit ikan tetra di lokasi D (Tangerang) Grafik hubungan suhu air rata-rata dengan prevalensi penyakit ikan tetra di semua lokasi penelitian Sebaran suhu air dengan prevalensi penyakit kan tetra dengan infeksi Aeromonas hydrophila kan tetra dengan infeksi Pseudomonas.fluorescens Korelasi suhu air dengan penyakit bakterial Kista Pleistophora sp Arplus sp Dactylogirus sp Gyrodactylus sp Korelasi suhu air dengan penyakit parasiter kan tetra dengan infeksi Saprolegnia sp Korelasi suhu air dengan penyakit fungi...

14 DAFTAR LAMPRAN Halaman Kualitas air dan kejadian penyakit yang ditemukan Hasil pemeriksaan kualitas air dan persentase kejadian penyakit Rata-rata seluruh kualitas air dan prevalensi kejadian penyakit Analisa regresi dan korelasi suhu air dan prevalensi A. hydrophila Analisa regresi dan korelasi suhu air dan prevalensi P.Juorescens Analisa regresi dan korelasi suhu air dan prevalensi Argulus sp Analisa regresi dan korelasi suhu air dan prevalensi Dactylog~rusp Analisa regresi dan korelasi suhu air dan prevalensi Gyrodactylus sp Analisa regresi dan korelasi suhu air dan prevalensi Saprolegnia sp Data hama dan penyakit ikan yang dilalulintaskan Rataan data penelitian selama bulan Februari-April Rataan data penelitian selama bulan Mei - Juli Rataan data penelitian selama bulan Agustus Metoda pemeriksaan sampel ikan Hasil isolasi dan identifikasi bakteri Data curah hujan Lampiran KEPMEN. NO. 17/MEN/

15 PENDAHULUAN Latar Belakang Kegiatan perikanan di ndonesia terus mengalami kemajuan dengan semakin meningkatnya lalu lintas komoditas perikanan antar pulau maupun antar negara. Kegiatan ekspor perikanan mempunyai peranan cukup strategis bagi ndonesia, karena saat ini ikan merupakan komoditi ekspor non migas yang cukup banyak menyumbang devisa negara. Hal ini terlihat dari semakin banyaknya pengusaha ikan, baik skala kecil maupun skala besar dan meningkatnya aktifitas ekspor dan impor. Komoditas yang diperdagangkan tidak hanya ikan-ikan konsumsi, tapi juga komoditas ikan hias. Tingginya minat para pengusaha ini didorong oleh tingginya permintaan akan komoditas perikanan dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Namun berbagai kendala, terutama hama dan penyakit ikan, seringkali menyebabkan kerugian yang tidak sedikit bagi para petanilpengusaha ikan. Semakin maraknya perdagangan antar pulau dan antar negara, memberikan peluang semakin banyaknya penyakit-penyakit ikan yang ditemukan di ndonesia. Penyakit golongan bakteri yang banyak ditemukan dalam budidaya perikanan di ndonesia, seperti Aeromanas sp., Vibrio sp., Pseudomonas sp. dan lain-lain, telah menimbulkan kerugian bagi para petanilpengusaha ikan. Selain penyakit ikan yang disebabkan oleh bakteri, ditemukan pula penyakit ikan yang disebabkan ole h parasit seperti Argulus sp., Dactylogvrus sp., Gyrodactylus sp., Lerneae sp. dan fungi (Saprolegnia sp). kan-ikan jenis tetra merupakan ikan yang banyak dibudidayakan oleh petani di ndonesia, karena permintaan terhadap jenis ini sangat besar, sehingga menarik bagi para petani untuk membudidayakannya. Narnun ikan sangat bergantung pada lingkungannya, terutarna kualitas air tempat hidupnya, yang bukan saja akan mempengaruhi kehidupan ikan, namun juga merupakan ha1 yang mempengaruhi kesehatan ikan. Ada beberapa parameter kualitas air yang hams selalu dipantau, parameter tersebut adalah: suhu air, ph, oksigen terlarut (DO), kesadahan, kadar amonia dan kadar nitrit. Perubahan pada salah satu parameter kualitas air secara mendadak,

16 terutarna suhu air akan menyebabkan perubahan-perubahan pada parameter kualitas air yang lainnya, sehingga perubahan-perubahan ini akan menyebabkan stres pada ikan yang pada akhirnya dapat menimbulkan penyakit (Langdon 1988; Effendi 2000). Bila dalam suatu perairan terjadi peningkatan kadar arnonia dan nitrat, terjadi perubahan ph (tidak optimum) dan kesadahan serta tingginya bahan organik, maka akan menyebabkan stres pada ikan. Stres adalah kondisi dimana ikan tidak mampu mempertahankan keadaan fisiologis norrnalnya karena berbagai faktor penyebab: Penyebab kimiawi, seperti: kualitas air yang buruk, rendahnya DO, ph yang tidak tepat, polusi, komposisi diet, nitrat dan buangan metabolisme. Penyebab biologis, seperti: padat tebar tinggi, spesies ikan lain, mikroorganisme patogenik dan non patogenik, serta parasit internal dan eksternal. Penyebab fisik, seperti: suhu yang merupakan salah satu parameter kualitas air yang paling berpengaruh pada sistem imun ikan, cahaya, suara dan kadar gasgas terlarut Penyebab prosedural, seperti: handling, shipping dan pengobatan terhadap suatu penyakit (Floyd 2001). Kesehatan ikan merupakan syarat utama kelayakan sebagai ikan hias komersial. Kondisi ikan hias yang sehat sangat dibutuhkan dalam pemasaran maupun pengangkutan, terutarna untuk ekspor, karena membutuhkan waktu perjalanan yang lama. Untuk mengetahui ikan hias yang benar-benar sehat dan tidak membawa bibit penyakit dibutuhkan pemeriksaan laboratoriurn, yang pada saat ini harus dilakukan oleh Unit Pelaksana Teknis Karantina kan. Bila ikan dinyatakan sehat, maka ikan diberikan ijin untuk dilalulintaskan dan Unit Pelaksana Teknis Karantina 1kan akan mengeluarkan swat keterangan layak ekspor. Unit Pelaksana Teknis Karantina kan adalah lembaga pemerintah yang berfungsi mencegah masuknya dan tersebarnya penyakit ikan karantina yang berpotensi menyebarkan penyakit ke dalam lingkungan keldi dalarn wilayah Republik ndonesia, baik yang berasal dari luar negeri maupun dari suatu daerah ke daerah lain di dalam wilayah Republik ndonesia. Program kzrantina untuk ikan secara khas melibatkan suatu protokol pemeriksaan yaitu penggunaan hewan '

17 uji coba untuk mengetahui adanya agen penyakit, sertifikasi, pengeluaran suatu sertifikat yang menyatakan bahwa kelompok hewan tertentu atau suatu fasilitas produksi telah diperiksa dan bebas dari infeksi oleh patogen tertentu (Arthur 1996). Karantina ndonesia sudah selangkah lebih maju, karena ndonesia merupakan negara Asia Tenggara pertama yang menetapkan jasa pemeriksaan karantina yang diatur dalam UU Karantina tahun 1992 (Arthur 1995), yang implementasinya dituangkan dalam Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No 17 tahun Selain ha1 tersebut di atas, juga dilakukan kerjasama regional dan internasional untuk mencegah masuknya suatu penyakit baru. Di dalam pelaksanaannya, petugas karantina ikan hams mengetahui jenisjenis hama dan penyakit karantina beserta media pembawanya yang ada di suatu daerah. Hal ini diperlukan untuk mencegah masuk dan tersebarnya hama dan penyakit ikan karantina dari suatu area ke area lain. Oleh karena itu dibutuhkan suatu datatinformasi mengensti penyebaran hama dan penyakit ikan karantina di dalam wilayah negara ndonesia dalam bentuk peta daerah sebar hama dan penyakit ikan karantina, sehingga dapat dilakukan prediksi mengenai penyakit yang biasanya terjadi pada suatu spesies ikan dalam suatu musim. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk memantau dan mengevaluasi prevalensi hama penyakit ikan bakterial, ektoparasit dan fungi pada ikan hias golongan tetra terhadap parameter kualitas air di lokasi ekspotir ikan hias di daerah Bogor, Cibinong, Bekasi dan Tangerang. Hasil penelitian ini diharapkan akan memberi informasi tentang prevalensi penyakit ikan khususnya ikan hias golongan tetra di daerah Bogor, Cibinong, Bekasi dan Tangerang yang banyak dilalulintaskan di sekitar Jabotabek. Perurnusan Masalah Penelitian Berdasarkan data pemantauan yang dilakukan oleh Balai Karantina kan ' Soekarno-Hatta, Jakarta, antara tahur , diketahui bahwa tingkat penyebaran penyakit-penyakit parasiter, bakterial dan jamur pada ikan-ikan yang

18 dibudidayakan, semakin meningkat. Hal ini sangat mempengaruhi mutu dan jumlah ikan yang diekspor dari ndonesia. Tingginya permintaan pasar terhadap ikan-ikan jenis tetra dan mudah dalarn pembudidayaannya, menyebabkan ekspor ikan hias dari ndonesia, terutama ikan hias air tawar, didominasi oleh ikan jenis ini. Selain masalah yang disebabkan oleh penyakit, rendahnya tingkat ekspor ikan hias ~ndonesia juga disebabkan kurangnya pengetahuan para eksportir tentang negara-negara importir di luar negeri, sehingga hampir semua eksportir ikan hias di ndonesia hanya mengekspor ke Singapura, yang kemudian mengekspor lagi ikan-ikan tersebut ke seluruh dunia. Sampai saat ini Singapura merupakan negara pengekpor ikan hias terbesar di dunia (Dinas Perikanan - Jabar 2005). Mutu ikan hias sangat dipengaruhi oleh kondisi kesehatannya, yang berkaitan langsung dengan kualitas air di lingkungan hidupnya. Parameter- parameter kualitas air saling mempengaruhi satu sama lain, sehingga pola penyebaran penyakit ikan diduga mempunyai hubungan dengan parameter kualitas air. Di antara masalah-masalah tersebut di atas, informasi tentang hubungan antara kualitas ikan di tingkat eksportir dan kualitas air tempat ikan itu dipelihara masih minim, untuk itu diperlukan suatu penelitian yang mengamati hubungan antara liejadian penyakit dengan parameter kualitas air. Bila didapatkan suatu pola hubungan antara parameter kualitas air dan kemungkinan penyebaran penyakit ikan, maka langkah-langkah antisipatif dan preventif dapat segera diambil untuk mencegah kerugian yang lebih meluas. Hipotesa Diduga terdapat suatu pola hubungan antara kualitas air (suhu, ph, kesadahan, kadar amonia, kadar nitrit dan jumlah oksigen terlarut) dengan penyebaran beberapa penyakit ikan yang akan digambarkan oleh angka persentase kejadian penyakit untuk mendapatkan skala rasio yang akan digunakan dalam pengujian hipatesa secara kuantitatif.

19 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran dalam melakukan prediksi penyebaran penyakit ikan berdasarkan perubahan-perubahan pada parameter kualitas air. Sehingga dapat segera diambil tindakan antisipatif dan preventif untuk mencegah meluasnya kerugian. Mengetahui pola penyebaran penyakit ikan dan korelasinya dengan perubahan kualitas air akan membentuk suatu sistem deteksi dini yang sangat bermanfaat untuk perkembangan dan perlindungan pada kegiatan budidaya ikan di ndonesia.

20 TNJAUAN PUSTAKA Kualitas Air dan Kesehatan kan Studi mengenai penyebaran penyakit pada suatu populasi sangat membutuhkan pemahaman mengenai asosiasi atau hubungan-hubungan yang terjadi antara inang, agen dan lingkungan sekitarnya. Tingkat hubungan ini akan menentukan tingkat kerapatan ruang dan waktu kejadian infeksi penyakit, iklim akan sangat mempengaruhi daya hidup inang, vektor dan agen patogen, serta mempengaruhi secara langsung tingkat distribusi vektor (Thrusfield 1995). Agen patogen yang terlibat pada timbulnya penyakit pada ikan, tidak dapat bekerja sendiri untuk menimbulkan infeksi pada ikan, harus terdapat faktor predisposisi sebagai pemicu stres (stressor), ha1 ini dapat berupa perubahan kualitas air, toksin dan perubahan siklus hidup (Hanson & Grizzle 1985). Peraturan Pemerintah No. 20 tahun 1990, tentang pengendalian pencemaran air, mendefinisikan kualitas air adalah sifat air dan kandungan mahluk hidup, zat, energi atau komponen lain dalam air. Kualitas air dinyatakan dengan beberapa parameter (Anonim 1990), yaitu: 1. Parameter fisika (suhu; kekeruhan, padatan terlarut dan sebagainya.) 2. Parameter kimia (ph, oksigen terlarut, kadar logam dm sebagainya. j 3. Parameter biologi blankton, bakteri dan sebagainya.) Kualitas air dalam suatu usaha akuakultur harus diperhatikan dengan seksama karena sangat mempengaruhi kualitas produk yang dihasilkan, adapun beberapa parameter kualitas air yang sangat berpengaruh pada ikan adalah suhu, ph, oksigen terlarut, kesadahan, kadar NO2 dan kadar NH3 (Alabaster & Loyd 1980). Suhu Air kan adalah hewan ektoterm atau poikiloterm yang suhu tubuhnya tergantung pada suhu lingkungannya. Oleh karena itu suhu lingkungan sangat besar pengaruhnya bagi kesehatan ikan, terutama apabila suhu berada di luar kisaran suhu optimalnya. '

21 Suhu air dipengaruhi oleh musim, letak geografis, ketinggian, sirkulasi udara, penutupan awan, adanya aliran dan kedalaman. Perubahan suhu akan berpengaruh secara langsung terhadap proses fisika, kimia dan biologi air. Peningkatan suhu mengakibatkan peningkatan viskositas, reaksi kimia, evaporasi, volatilisasi, dan akan mengakibatkan penurunan kadar kelarutan gas dalam air, seperti : 02, C02, N2, CH4 dan sebagainya. (Effendi 2000). Kecepatan metabolisme ikan tergantung pada suhu air. Penurunan suhu air akan menyebabkan kecepatan metabolisme ikan akan menurun, demikian juga sebaliknya metabolisme ikan akan meningkat sejalan dengan peningkatan suhu air. Beberapa faktor lain seperti : sistem imun, proses penyembuhan penyakit dan proses pencemaan makanan juga sangat dipengaruhi oleh suhu air. Penurunan suhu akan menyebabkan daya tahan ikan menurun, sehingga ikan mudah terinfeksi oleh agen patogen (Langdon 1988). ph (Derajat Keasaman) Menurut Effendi (2000) ph atau derajat keasaman menggambarkan keberadaan ion hidrogen yang bersifat asam, konsentrasi ion hidrogen pada air murni netral adalah 1 x gll, sedangkan nilai disosiasi air (Kw) adalah 10-l4 pada suhu 25' sebagai berikut : C, sehingga nilai ph dapat digambarkan sesuai dengan reaksi 2 H20 +========l) H30+ + OH- H20 +========+ H+ + OH- [H'] + [OH] = Kw ; KW = 10-l4 [~~]=~w/[0~~=10~~~/10-~=10~~g/l ;OH-=l~-~g/l. ph= -Log lo [H'] = Log lo 1 / [H'] Sehingga klasifikasi nilai ph air adalah : ph=7 7<pH<14 : netral : basa / alkali Tebbut (1 992) berpendapat bahwa ph hanya menggambarkan konsentrasi ion hidrogen, sedangkan Mackereth el a1 (1989) berpe~idapat banwa ph berkaitan erat dengan karbondioksida dan alkalinitas, dalam ha1 ini pada ph < 5 alkalinitas

22 akan mencapai nol, sehingga semakin tinggi nilai ph akan menyebabkan nilai alkalinitas semakin meningkat dan akan semakin sedikit kadar karbondioksida bebas. Toksisitas suatu senyawa kimia juga dipengaruhi oleh ph, senyawa amonium yang dapat terionisasi banyak ditemukan pada perairan dengan ph rendah, bila ph meningkat maka jumlah amonium yang tak terionisasi (unionized) juga akan meningkat dan pada keadaan ini akan bersifat toksik (Tebbut 1992). Biota akuatik sensitif terhadap perubahan ph, dan rata-rata lebih menyukai kisaran ph 7-8,5, fenomena ini berkaitan dengan proses biokimiawi air seperti nitrifikasi yang dipengaruhi oleh ph, dimana proses nitrifikasi akan berakhir pada ph rendah (asam). Toksisitas logam juga akan meningkat pada ph rendah (Novotny & Olem 1994). Pengaruh ph terhadap komunitas biologi perairan dapat dilihat pada Tabel 1. Tabei 1. Pengaruh ph terhadap komunitas biologi perairan Nilai ph Pengaruh 6,O - 6,5 -Keanekaragaman plankton dan benthos mengalami sedikit penurunan -Kelimpahan total biomasa dan produktivitas tak berubah 5,s - 6,O. -Kelimpahan total biomasa dan produktivitas sedikit berubah 5,O - 5,5 -Keanekaragaman plankton dan benthos mengalami penurunan -Algae hijau berfilamen tampak pada zona litoral -Keanekaragaman plankton, perifiton dan benthos mengalami penurunan yang semakin besar -Kelimpahan total biomasa zooplankton dan benthos menurun -Algae hijau berfilamen tampak semakin banyak pada mna litoral -Proses nitrifikasi terhambat 4,5-5,O -Keanekaragaman plankton, perifiton dan benthos mengalami penurunan yang besar -Kelimpahan total biomasa zooplankton dan benthos menurun -Algae hijau berfilamen tampak semakin banyak.. :Proses nitrifikasi terhambat Sumber : Novotny dan Olem, 1994

23 Oksigen ~erlarut (Dissolve Oxygen) Kadar oksigen terlarut di perairan alarni akan bervariasi tergantung pada suhu, salinitas, turbulensi air dan tekanan atmosfer. Kadar oksigen akan semakin berkurang dengan semakin meningkatnya suhu, ketinggian dan berkurangnya tekanan atmosfer, semakin tinggi suatu tempat dari perrnukaan laut, maka tekanan atmosfer akan semakin rendah, yang mengakibatkan akan semakin sedikit oksigen yang terlarut dalam air. Kadar oksigen terlarut pada perairan tawar berkisar antara 15 mgll pada suhu 0' C dan 8 mgll pada suhu 25' C, sedangkan pada perairan laut berkisar antara 11 mgll pada suhu 0' C dan 7 mgll pada suhu 25' C. (Mc. Neely et a1 1979). Pengaruh perubahan suhu terhadap oksigen terlarut dapat dilihat pada Tabel 2.. Suhu (O C) 0 1 Sumber : Cole, 1988 Tabel 2. Hubungan kadar oksigen terlarut dengan suhu air Oksigen Terlarut (mg~~) 14,62 14, , , ,ll 5 12, , , , , , , , ,54 Catatan : pengukuran pada Kadar oksigen pada perairan alarni biasanya kurang dari 10 mgll. Sumber oksigen terlarut yang masuk ke dalam perairan alami berasal dari difusi oksigen yang terdapat di atmosfer sekitar 35 % dan aktifitas fotosintesis oleh tumbuhan air dan fitoplankton, kadar oksigen di atmosfer biasanya berkisar pada angka 210 mg/l (Novotny & Olem 1994). Suhu e c ) tekanan udara Oksigen Terlarut (mg~~) 10,31 10,08 9,87 9,66 9,47 9,28 9,09 8,91 8,74 8,58 8,42 8,26 8,11 7, mm Hg. Suhu e c) Oksigen Terlarut (mcr/~) 7,83 7,69 7,56 7,43 7,30 7,18 7,OQ 6,95 6,84 6,73 6,62 6,s 1 6,41

24 Kebutuhan oksigen terlarut tidak sama pada setiap jenis ikan, bahkan pada jenis ikan yang sama akan terdapat perbedaan, tergantung pada suhu air tempat hidupnya. Jika dalam perairan tidak terdapat senyawa beracun, maka kandungan oksigen minimum yang diperlukan adalah sekitar 2 mgll, dan kadar ini sudah cukup untuk memberikan kehidupan yang normal bagi organisme akuatik (Langdon 1988). Kesadahan Kesadahan (hardness) adalah gambaran kation logam divalen (bervalensi 2), kation-kation ini dapat bereaksi dengan sabun dan membentuk endapan presipitat (presipitasi). Selain itu kation-kation ini dapat bereaksi dengan anion- anion yang terdapat di dalam air dan akan membentuk endapan atau karat pada barang logam. Tingkat kesadahan pada air tawar ditentukan oleh jurnlah kalsium dan magnesi-urn, dimana kalsium dan magnesium ini akan berikatan dengan anion penyusun sifat alkalinitas yaitu bikarbonat dan karbonat, sehingga kesadahan akan mempengaruhi stabilitas ph air (Effendi 2000). Kation dan anion penyusunnya dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Kation penyusun kesadahan dan anion penyusunnya Kation Ca '+ Mg 2+ Anion HC03- so4'- yaitu: Sumber : Sawyer & Mc Carty, 1978 Klasifikasi kesadahan menurut Effendi (2000) didasarkan pada 2 hal, 1. Berdasarkan ion logam, atau kesadahan kalsium dan kesadahan magnesium 2. Berdasarkan anion yang berasosiasi dengan ion logam, yait~i kesadahan karborlat dan kesadahan non-karbonat. Nilai kesadahan total = kesadahan kalsium + kesadahan magnesium

25 Sedangkan untuk mendapatkan kadar kalsium dan magnesium dari nilai kesadahan, menurut Cole (1 988) adalah sebagai berikut : Kadar kalsium (mg / 1) = 0,4 x kesadahan kalsium Kadar magnesium (mg/l) = 0,243 x kesadahan magnesium. Air dengan kesadahan tinggi mempunyai kandungan kalsiurn, magnesium, karbonat dan sulfat yang tinggi, air jenis ini bila dipanaskan akan membentuk deposit kerak (Brown 1987). Tetapi kesadahan yang tinggi tidak memiliki pengaruh langsung pada kesehatan manusia, bahkan kesadahan tinggi dapat menghambat sifat toksik logam berat, dimana kalsium dan magnesium akan membentuk senyawa kompleks dengan logam berat. Timbal (Pb) dengan kadar 1 mg/l akan bersifat toksik pada ikan yang di air dengan kesadahan rendah (so# water), tetapi kadar timbal yang sama tidak mematikan ikan yang hidup di air dengan kesadahan 150 mg/l CaC03 (Tebbut 1992). Air dengan nilai kesadahan kurang dari 120 mg/l CaC03, dan melebihi 500 mg/l CaC03 dianggap kurang baik bagi keperluan rumah tangga, pertanian dan industri. Air sadah ( mg/l CaC03) disukai oleh organisme akuatik sebagai lingkungan hidupnya (Effendi 2000). Klasifikasi dalam penilaian nilai kesadahan dapat dilihat dalam Tabel 4. Tabel 4. Klasifikasi nilai kesadahan air Kesadahan (rngll CaCO3) / Klasifikasi Air < 50 Lunak (soft) > 300 Sumber : Peavy et a Menengah (moderately hard) Sadah (hard) Sangat sadah (very hard) Kadar Amonia (NH3) Sumber arnonia di perairan adalah hasil penguraian nitrogen organik, yang berasal dari protein dan urea, dan nitrogen anorganik yang berasal dari dekomposisi bahan organik yang telah mati, seperti tumbuhan dan biota laut yang dilakuksn oleh mikroba melali~i proses amoriifikasi, dengar, reaksi.sebagai berikut:

26 N organik + O2 3 NH3-N NO2-N NO3-N AmoniJikasi Nitr$kasi Amonia dan bentuk garamnya sangat mudah larut dalam air dan akan membentuk ion amonium sebagai bentuk transisinya. Tinja yang berasal dari biota akuatik, reduksi gas nitrogen yang berasal dari proses difusi udara atmosfer, limbah industri dan domestik merupakan sumber amonia yang lain (Effendi 2000). Pada ph 7 atau kurang, sebagian besar amonia akan mengalami ionisasi dan pada ph yang lebih besar dari 7, amonia tak terionisasi dan bersifat toksik (Novotny Olem 1994). Avertebrata akuatik memiliki toleransi yang lebih tinggi terhadap toksisitas amonia bila dibandingkan dengan ikan, karena pada ikan kadar amonia yang terlalu tinggi akan mengakibatkan gangguan pada proses pengikatan oksigen oleh darah dan akan menyebabkan sufokasi (Effendi 2000). Kadar amonia bebas pada perairan alami biasanya kurang dari 0,l mg/l (Mc Neely et al. 1979) dan kadar amonia bebas yang talc terionisasi (NH3) pada perairan tawar sebaiknya tidak melebihi 0,02 mg/l karena sifat toksiknya pada organisme akuatik. Pada kadar lebih dari 0,2 mg/l bersifat toksik bagi ikan (Sawyer & Mc Carty 1978). Konsentrasi pemaparan ammonia yang bersifat toksik bagi biota hewan air dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Toksisitas akut (L,D5096 jam) amonia tak terionisasi pada organisme akuatik Spesies 96 jam (mg/l) Oligochaeta Limnodrillus hoffmeisteri Gastropoda Lymnaea stagnalis Crustacea Gammarus pulex Asellus aquaticus Ephemeroptera (Mayfly) Baetis rhodani (nymph) Trichoptera (Caddisfly) Hydropsyche angust ipennis (larva) Chironomidae C'hironornus riparzrs (larva) Sumber : Moore,

27 Amonia yang terukur di perairan adalah amonia total yang terdiri dari NH3 dan NH~+. ~ersentase amonia bebas akan meningkat sejalan dengan peningkatan ph dan suhu air. Toksisitas amonia terhadap organisme akuatik akan meningkat dengan penurunan kadar oksigen terlarut, ph dan suhu (Boyd 1988). Hubungan ammonia bebas (NH3 ) terhadap ammonia total (dalam %) dapat dilihat pada Tabel 6. Hubungan ph dan suhu terhadap kadar amonia total Sumber : Boyd, 1988 Kadar Nitrit (NOz) Kadar nitrit di perairan alami pada umumnya akan lebih rendah dari kadar nitrat, karena nitrit bersifat tidak stabil bila terdapat oksigen. Nitrit adalah be~ltuk peralihan antara arnonia dan nitrat (nitrifikasi), dan juga bentuk peralihan antara

28 nitrat dan gas nitrogen (denitrifikasi), denitrifikasi adalah reduksi nitrat oleh aktivitas mikroba yang berlangsung pada kondisi anaerob (Novotny & Olem 1 994). Nitrit menggambarkan adanya proses biologis perubahan bahan organik dengan kadar oksigen terlarut sangat rendah. Kadar nitrit di perairan alami sekitar 0,001 mgll, dan sebaiknya tidak melebihi 0,06 mg/l (Anonim 1987). Namun demikian menurut Sawyer & Mc Carty (1978) kadar nitrit jarang sekali melebihi 1 mg/l. Sumber nitrit adalah limbah industri dan limbah domestik, kadar nitrit lebih dari 0,05 mg/l bersifat toksik bagi organisme akuatik yang sensitif. Nitrit lebih bersifai toksik dibandingkan nitrat terhadap hewan dan manusia, batas aman kadar nitrit pada air minum menurut WHO sebaiknya tidak melebihi 1 mg/l, karena konsumsi nitrit yang berlebihan akan menyebabkan terganggunya proses pengikatan oksigen oleh hemoglobin darah yang selanjutnya akan membentuk methemoglobin yang tidak mampu mengikat oksigen (Moore 1991). kan Hias Golongan Tetra kan-ikan yang akan dijadikan obyek pengamatan adalah jenis-jenis ikan tetra sebagai berikut: 1. Serpae tetra (Hyphessobrycon serpae atau Hyphessobrycon eques) Serpae tetra dikenal juga dengan sebutan blood characin. kan ini berukuran maksimum 4 cm, dengan suhu berkisar C dan ph 5,5-73. kan ini adalah ikan yang mudah dibudidayakan Adapun klasifikasi ikan serpae tetra adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia Phylum Chordata Class Actinopterygii Ordo Characiformes Family C haracidae Genus Hyplr esso brycon Spesies Hyplr essobrycon serpae.

29 Gambar 1. Spesies Hyphessobrycon serpae atau serpae tetra dapat dilihat pada Gambar 1. Serpae tetra longfin (Hyphessobrycon serpae) Sumber : ( 2. Rossy Tetra (Hyphessobrycon bentosi) Rossy tetra adalah kerabat dekat dari serpae tetra. kan ini berukuran maksimum 4 cm, dengan suhu bekisar C dan ph 5,5-7,5. kan ini adalah ikan yang mudah dibudidayakan Klasifikasi ikan rossy tetra adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia Phylum Chordata Class Actinopterygii Ordo Characiformes Family Characidae Genus Hyphessobrycon Spesies Hyphessobrycon bentosi Spesies Hyphessobrycon bentosi atau rossy tetra dapat dilihat pada Garnbar 2. Gambar 2. Rossy tetra (Hyphessobrycon roseus) Sumber : (

30 3. Neon Tetra (Paracheirodon innesi) Neon tetra adalah ikan kecil dengan warna yang sangat terang. kan ini jarang mencapai panjang lebih dari 4 cm. kan jenis tetra ini dinarnakan neon karena adanya garis yang memanjang dari mata sampai ekor yang berwarna biru kehijau-hijauan seperti neon. kan neon tetra dapat hidup pada kisaran ph 66,5 dan suhu 22" - 24 C. Adapun klasifikasi ikan neon tetra adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia Phylum Chordata Class Actinopterygii Ordo Characiformes Famili Characidae Genus Paracheirodon Spesies Paracheirodon innesi Spesies Paracheirodon innesi atau Neon tetra dapat dilihat pada Gambar 3. Gambar 3. Neon Tetra (Paracheirodon innesi) Surnber: (htt~:iiwww.centralvets.com) 4. Red Nose Tetra (Hemigrammus bleheri) Nama umumnya adalah red-nose tetra atau rummy-nose tetra. kan ini berasal dari benua Afrika dan meruipakan ikan yang mudah dibudidayakan. kan red nose tetra dapat hidup dengan baik pada kisaran ph 6-6,5 dan pada suhu 22" - 26 C.

31 Klasifikasi ikan red nose tetra dapat dilihat di bawah ini : Kingdom : Animalia Phylum Chordata Subphylum : Vertebrata Class Actinopterygii Sub Class : Neopterygii Ordo Characiformes Famili Characidae Genus Hemigrammus (Gill 1858) Species Hemigrammus bleheri (GCry and Mahnert 1986) Spesies Hemigrammus bleheri atau red nose tetra dapat dilihat pa& Gambar 4. Gambar 4. Red nose tetra (Hemigrammus bleheri) Sumber : ( 5. Emperor Tetra (Nematobrycon palmery) Narna lain dari ikan ini adalah rainbow tetra., ukuran ikan emperor tetra dewasa dapat mencapai 5 cm. kan ini dapat hidup dalam ph 5-7,8 dan pada kisaran suhu C. Klasifikasi ikan emperor tetra dapat dilihat di bawah ini: Kingdom : Animalia Phylum Chordata Subphylum : Vertebrata Class Actinopterygii Sub Class : Neopterygii Ordo Characiformes

32 Genus Nematobiycon Spesies Nematobrycon palmery. Spesies Nematobiycon palmeiy atau emperor tetra dapat dilihat pada Gambar 5. Gambar 5. Emperor tetra (Nematobrycon palmery) Sumber : (n~p:iifre~naquarium.ab~~t.com) Penyakit-penyakit pada kan 1. Penyakit yang disebabkan oleh bakteri Menurut Wikipedia ndonesia tahun 2006, bakteri, berasal dari bahasa Latin bacterium (jamak, bacteria), yang berarti kelompok raksasa dari organisme hidup. Mereka sangatlah kecil (mikroskopik) dan kebanyakan uniselular (bersel tunggal), dengan struktur sel yang relatif sederhana tanpa nukleuslinti sel, cytoskeleton, dan organelle lain seperti mitokondria dan kloroplas. Bakteri merupakan prokaryota, untuk membedakan mereka dengan organisme yang memiliki sel lebih kompleks, disebut eukaryota. stilah "bakteri" telah diterapkan untuk semua prokaryote atau untuk kelompok besar mereka. Bakteri adalah organisme yang paling berkelimpahan dari semua organisme yang ada. Mereka berada di mana-mana, di tanah, air, dan sebagai simbiosis dari organisme lain. Banyak pathogen merupakan bakteri. Kebanyakan berukuran kecil, biasanya hanya berukuran 0,5-5 pm, meskipun ada jenis tertentu yang dapat mencapai diameter hingga 0,3 mm. Mereka umumnya memiliki dinding sel, seperti sel hewan dan jamur, tetapi dengan komposisi yang sangat berbeda (peptidoglycan). Menurut Munday (1988) ada dua cara penularan penyakit yang disebabkan oleh bakteri, yaitu: secara vertikal dan secara horisontal. Cara vertikal, yaitu: penularan bakteri dari induk ke anak ikan melalui darah dan kemudian ke dalam

33 telur atau menempel di luar telur dengan cairan ovarium, seperti pada Aeromonas salmonicida. Sedangkan penularan secara horisontal, yaitu melalui kontak langsung antara ikan yang sakit dengan ikan yang tidak sakit, atau melalui medium air yang telah mengandung bakteri, seperti pada Vibrio sp., Aeromonas hydrophila dan Pseudomonas sp. Virulensi bakteri dipengaruhi oleh banyak faktor. Bakteri-bakteri Gram negatif menghasilkan endotoksin yang dilepaskan ketika sel mati atau terdisintegrasi. Endotoksin ini adalah dinding sel bakteri yang tersusun atas komponen-komponen lipopolisakarida (terutama bagian lipid A). Untuk meningkatkan virulensi toksinnya, kebanyakan dari bakteri juga menghasilkan enzim ekstraseluler yang menyerang sel-sel ikan sehat (Anonim 2006b). Pada Aeromonas hydrophila, faktor permukaan yang berhubungan dengan pili dari lapisan -5 asam liposakarida dan faktor enzim ekstra seluler yaitu siderophore untuk mengakuisisi besi dan mengatur eksoenzim dan eksotoksin, seperti anterotoksin, lipase dan protease, merupakan faktor yang berperan. Selain itu, peranan kualitas air dalam suatu mekanisme kejadian penyakit juga hams menjadi pertimbangan. Peranan dari faktor-faktor yang menentukan virulensi oleh bakteri patogenik itu, menjadi pertimbangan penting selama masa infeksi dan penularan untuk mengetahui etiologi penyakit (Anonim 2006b). Tujuan utama suatu infeksi oleh bakteri adalah untuk menyerang sistim pertahanan inang. Pada saat bakteri dapat menyerang sistim imun dan menemukan tempat yang tepat, bakteri berkembang dengan cepat dan mengalahkan pertahanan inang, sehingga terjadilah penyakit. 2. Penyakit yang disebabkan oleh parasit Semua ikan adalah inang potensial bagi parasit. Parasit dalam jumlah kecil adalah ha1 yang biasa dan mungkin hanya tidak berbahaya, namun semua parasit bisa bereproduksi dengan cepat dan dalam kondisi yang tepat dapat dengan cepat akan menjadi ancaman bagi ikan dalam kolam atau akuarium (Anonim 2006b). Tipe parasit ada dua, yaitu: endoparasit dan ektoparasit. Endoparasit adalah parasit yang ditemukan di dalarn jaringan dan organ-organ dalzm, dan

34 jarang ditemukan pada ikan hias. Ektoparasit adalah parasit yang ditemukan pada bagian luar tubuh ikan seperti pada kulit, sirip dan insang. Terbatasnya kontak antar ikan akan mencegah parasit berpindah ke inang yang baru. Namun dalam industri perikanan, dimana kepadatan ikan tinggi, ikan terus menerus melakukan kontak satu sama lain sehingga parasit juga terus menerus ditularkan antar ikan. Hal ini meningkatkan survival rate juvenil yang baru menetas dan simpanan kista di dalam kolam atau akuariurn. Ektopzrasit dapat menyebabkan kerusakan pada integumen karena aktifitas makan dan atau perpindahan mereka yang terus menerus (karena mereka menempel menggunakan pengait). ritasi yang disebabkan ektoparasit menyebabkan produksi lendir yang berlebihan sehingga menyebabkan masalah pernapasan apabila sudah mempengaruhi insang. Parasit golongan ektoparasit misalnya berbagai jenis monogenea ( Gyrodactylus spp., Dactylogyrus spp., Neobenedenia spp.) kutu ikan (Argulus sp.); sealice (Caligus sp., Lepeophtheirus salmonis), gill maggot (Ergasilus sp.); mites (Hydroacarus). 3. Penyakit yang disebabkan oleh jamur Jamur adalah penyakit yang biasa ditemukan pada ikan. Kebanyakan infeksi fi~ngi melibatkan jamur air dari kelas Oomycetes. Jamur ini yang paling sering ditemukan adalah Saprolegnia sp., fungi yang berfilamen. Fungi ini makan dengan mensekresi enzim pencernaan diatas area disekitarnya. Enzim ini menghancurkan sel-sel jaringan sehingga memungkinkan bagi fungi untuk menyerap nutrien seperti protein dan karbohidrat. Saprolegnia sp. adalah appotrooph (yang biasanya memakan material organik mati seperti buangan ikan, sisa pakan dan lain-lain), tetapi saprolegnia merupakan parasit opertunis, yang bisa mengambil kesempatan untuk menginfeksi ikan-ikan yang stres. Jarnur bereproduksi dengan melepaskan sprora, jamur ini sangat tahan terhadap kekeringan dan serangan kimia sehingga spora Saprolegnia sp. biasanya ditemukan pada semua kolam dan tangki. Saprolegnia sp. adalah infeksi sekunder yang paling banyak ditemukan setelah terjadinya kerusaltan integurnen ikan (kulit dan insang) yang disebabkan oleh infeksi bakteri, para~it dan virus. Faktor pemicu lainnya termasuk polusi air dan padat penebaran yang tinggi. Walaupun jarang

35 terjadi, Saprolegnia sp. dapat menjadi patogen primer, terutama karena menurunnya suhu sehingga sistim imun menurun. Sistim Regulasi Karantina kan Pelaksanaan pengendalian tingkat penyebaran harna dan penyakit ikan karantina diatur dalarn Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor : Kep.17lMed2003, tentang penetapan jenis-jenis hama dan penyakit ikan karantina, golongan, media pembawa dan sebarannya. Jenis harna dan penyakit karantina yang ditetapkan meliputi : virus (18 spesies), bakteri (11 spesies), parasit (17 spesies) dan mikotik (5 spesies). Pemeriksaan untuk tindakan pencegahan dan penangkalan bagi penyakit ikan dan organisme akuatik yang dilakukan di Balai Karantina kan di Bandara Soekarno- Hatta meliputi pemeriksaan fisik, gejala klinis dan pemeriksaan laboratorium. Penemuan hama dan penyakit ikan di laboratorium akan didokumentasikan sebelu~n dilakukan tindakan karantina pada ikan atau organisme akuatik yang bersangkutan. Tindakan karantina dilaksanakan sesuai dengan : 1. Undang-Undang nomor 16 tahun 1992, tentang Karantina Hewan, kan dan Tumbuhan. 2. Peraturan Pemerintah nomor 15 tahun 2002, tentang Karantina kan. 3. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan nomor Kep.29lMen12002, tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Karantina kan.

36 BAHAN DAN METODA Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan di 4 lokasi penarnpungan eksportir ikan hias yang terletak di Bogor, Cibinong, Bekasi dan Tangerang, dengan menggunakan peralatan standar pemeriksaan Balai Besar Karantina kan, Bandara Sukarno- Hatta. Pemeriksaan sampel ikan akan dilaksanakan di Laboratorium Karantina, Balai Besar Karantina kan Bandara Soekarno-Hatta dan Balai Uji Standar Karantina kan Jakarta. Penelitian dilaksanakan selama 25 minggu pada rentang bulan Februari - Agustus Sampel kan dan Metoda Pemeriksaan Sampel ikan yang digunakan pada penelitian ini adalah ikan hias golongan tetra dengan jurnlah sampel 3 ekor x 5 jenis ikan hias tetra per minggu yang diambil dari-4 lokasi peternakan ikan hias di Jabotabek, dengan jenis-jenis ikan sebagai berikut : 1. Serpae tetra (Hyphessobrycon serpae atau Hyphessobrycon eques) 2. Rossy tetra (Hyphessobrycon bentosi) 3. Neon tetra (Paracheirodon innesi) 4. Red nose tetra (Hemigrammus bleheri) 5. Emperor tetra (Nematobrycon palmery) Metoda pemeriksaan yang dilakukan pada sampel ikan meliputi : 1. Pemeriksaan preparat ulas darah dan cairan tubuh dengan isolasi dan identifikasi bakteri yang berasal dari insang dan hepatopankreas. 2. dentifikasi parasit dengan melakukan pemeriksaan patologi makroskopis, pemeriksaan sediaan natif insang dan kerokan kulit dan sirip dilakukan untuk identifikasi parasit yang diarnati dibawah mikroskop. 3. Uj i pemeri ksaan histopatologi untuk melengkapi pemeriksaan makroskopis. Jumlah kejadian penyakit &an dibedakan menjadi 3 golongan yaitu bakteria!, parasiter dan fungi yarlg dinyatakan dalam persentase dari jumlah sarnpel yang diambil. Pemeriksaan terhadap penyakit viral tidak dilakukan pada penelitian ini.

37 Sampel Air dan Metoda Pemeriksaan Sampel air diambil dari 4 lokasi peternakan ikan hias di Jabotabek. Pada setiap sampel air akan dilakukan pemeriksaan parameter-parameter kualitas air yang sangat berpengaruh pada ikan, yaitu: suhu air, ph, oksigen terlarut, kesadahan, kadar amonia dan kadar nitrit (Alabaster & Loyd 1980). Parameter pemeriksaan kualitas air ini merupakan parameter standar pemeriksaan Balai Karantina kan di ndonesia. Adapun parameter kualitas air dan lokasi pengambilan sampel air dapat dilihat pada Tabel 7 di bawah ini: Tabel 7. Parameter kualitas air yang diamati dan lokasi pengamatannya No. Parameter yang diamati Lokasi pengamatan 1. Suhu in situ 2. ph in situ 3. Oksigen terlarut in situ 4. Kadar Amonia Laboratoriurn 5. Kadar Nitrit Laboratorium 6. Kesadahan Laboratorium Kerangka Kerja Penelitian Pelaksanaan penelitian ini dimulai dengan menentukan tempat dan waktu pengambilan sampel. Setelah tempat dan pengambilan sampel ditentukan, maka penelitian mulai dilakukan dengan mengambil data suhu udara lingkungan bersamaan dengan pemeriksaan sampel air dan pengukuran beberapa parameter kualitas air secara in situ.(suhu air, ph dan DO), sebagian sampel air di bawa ke laboratorium untuk melanjutkan pemeriksaan parameter kualitas (kesadahan, kadar arnonia dan nitrit). Untuk mengidentifikasi hama dan penyakit ikan diambil sampel ikan dan selanjutnya dilakukan pengamatan di laboratorium (detail prosedur pada Lampiran 14) dan hasilnya dicocokkan dengan daftar hama dan penyakit ikan karantina. Adapun kerangka kerja penelitian dapat dilihat dari skema pada Gambar 6 sebagai berikut:

38 Sarnpel Kualitas Air Sarnpel kan Perneriksaan Penyakit kan Hama dan Penyakit kan Daftar penyakit karantina Kep.l7/Men/Z003 Jenis-jenis Hama dan penyakit ikan karantina Korelasi antara Kualitas Air dengan Penyakit kan Gambar 6. Kerangka kerja penelitian Analisis Pengolahan Data Data-data yang diperoleh pada penelitian ini, terutama rataan kualitas air dan persentase kejadian penyakit (prevalensi), dianalisis dengan regresi linear sederhana dan korelasi, dengan model sbb : Keterangan : Y = Variabel tak bebas kuantitatif dan terukur X = Variabel bebas Po = Konstanta = Koefisien regresi E, = Simpangan hasil pendugaan dari nilai sebenarnya, (Steel & Torrie 1991 ; Mattjik & Sumertajaya 2002) Uji signifikansi menggunakan uji-t dan tingkat korelasi akan dinyatakan dalam koefisien determinasi (Steel & Torrie 1991 ; Mattjik & Sumertajaya 2002). Pada analisa data regresi dan antara kualitas air dan jumlah kejadian penyakit, parameter kualitas air yang paling berpengaruh (suhu air), akan digunakan sebagai variabel bebas (X) dan jumlah kejadian penyakit menjadi variabel tak bebas (Y).

39 HASL DAN PEMBAHASAN Rataan hasil pemeriksaan kualitas air dan persentase kejadian penyakit pada sarnpel ikan di lokasi A (Bogor) disajikan pada Lampiran 1 1, 12, 13, Tabel 8 dm Garnbar 7 sebagai berikut: Tabel 8. Rata-rata kualitas air dan persentase penyakit pada sarnpel ikan di lokasi A (Bogor) per bulan penelitian. Deskripsi Suhu udara ("C) Suhu air("c) PH DO Kesadahan (mg/l CaC03) Amonia (mgll) Nitrit (mgll) Jenis harna penyakit : (%) Aeromonas hydrophila Pseudomonas fluorescens Argulus sp. Dactylogyrus sp. Gyrodactylus sp. Saprolegnia sp. Feb Mar , BULAN Mei Jun Jul Ags Suhu -A. hydmphila +P. AuoreSCBN -A@ussP. ~ b 2 t Y l ~ ~ ~ ' p ' +GymdtKtylus=P. +SapidWasp- Feb Mrr AP~ Mei Jun Jld Agu Wan Gambar 7. Grafik hubungan suhu air dengan prevalensi penyakit ikan tetra di lokasi A (Bogor). Dari Tabel 8 dan Garnbar 7, dapat diketahui bahwa terdapat kecenderungan adanya korelasi antara suhu air dengan prevalensi penyakit

40 bakterial, parasiter dan fungi. Dalam ha1 ini bila suhu air naik, maka prevalensi bakterial akan cenderung naik, sedangkan prevalensi parasiter dan dan fungi cenderung akan turun. Sehingga pada bulan-bulan musim hujan, prevalensi bakterial cenderung rendah sedangkan parasiter dan fimgi cenderung tinggi. Keadaan yang sebaliknya terjadi di bulan-bulan musim kemarau. Hal ini sesuai dengan pendapat (Davis et al. 1980) yang menyatakan bahwa pada suhu yang lebih rendah dari suhu optimumnya, akan menghambat proses sintesa protein yang disebabkan oleh lemahnya ikatan lipid sehingga pertumbuhan bakteri akan menurun. Sedangkankan siklus hidup parasit dan jamur akan lebih panjang pada saat suhu lebih, sehingga tingkat prevalensinya akan menurun. Rataan hasil pemeriksaan kualitas air dan persentase kejadian penyakit pada sampel ikan di lokasi B (Cibinong) disajikan pada Lampiran 11, 12, 13, Tabel 9 dan Gambar 8 sebagai berikut: Tabel 9. Rata-rata kualitas air dan persentase penyakit pada sampel ikan di lokasi B (Cibinong) per bulan penelitian. Deskripsi Feb Mar BULAN Apr Mei Jun Jul Ags Suhu udara (OC) Suhu air("c) P H DO (rngll) Kesadahan (rng/l CaCO3) Amonia (mg/l) Nitrit (mgil) Jenis harna penyakit : (%) Aerontonus ydroplr ilu Pseudomonas~uorescens Argulus sp. Dactylogyrus sp. Gyrodactylus sp. Saprolegnia sp C

41 Feb Ma- Mei Jm Jul Bulan Gambar 8. Grafik hubungan suhu air dengan prevalensi penyakit ikan tetra di lokasi B (Cibinong). Dari Tabel 9 dan Gambar 8 dapat diketahui bahwa terdapat kecenderungan adanya korelasi antara suhu air dengan prevalensi penyakit bakterial, parasiter dan fungi, dalam hal ini bila suhu air naik maka prevalensi bakterial akan cenderung naik, sedangkan parasiter dan dan fungi cenderung akan turun. Sehingga pada bulan-bulan musim hujan prevalensi bakterial cenderung rendah, sedangkan parasiter dan fungi cenderung tinggi. Keadaan sebaliknya te rjadi di bulan-bulan musim kemarau. Hal ini sesuai dengan pendapat (Davis et al. 1980) yang menyatakan bahwa pada suhu yang lebih rendah dari suhu optimurnnya, akan menghambat proses sintesa protein yang disebabkan oleh lemahnya ikatan lipid sehingga perturnbuhan bakteri akan menurun. Sedangkankan siklus hidup parasit dan jamur akan lebih panjang pada saat suhu lebih, sehingga tingkat prevalensinya akan menurun Rataan hasil pemeriksaan kualitas air dan persentase kejadian penyakit pada sarnpel ikan di lokasi C (Bekasi) disajikan pada Lampiran 11, 12, 13 dan Tabel 10 serta Gambar 9 sebagai berikut:

42 Tabel 10. Rata-rata kualitas air dan persentase penyakit pada sarnpel ikan di lokasi C (Bekasi) per bulan penelitian. Deskripsi Suhu udara ("C) Suhu air("c) PH DO (mg/l) Kesadahan (mg/l CaCO3) Amonia (mg/l) Nitrit (mg/l) Jenis hama penyakit : (%) Aeromonas hydrophila Pseudomonas_fluorescens Argulus sp. Dactylogvrus sp. Gyrodactylus sp. Saprolegnia sp. Feb Mar Apr BULAN Mei Jun Jul Ags Feb Mei Jun AW Wan Gambar 9. Grafik hubungan suhu air dengan prevalensi penyakit ikan tetra di lokasi C (Bekasi). Dari Tabel 10 dan Gambar 9 dapat diketahui bahwa terdapat kecenderungan adanya korelasi antara suhu air dengan prevalensi penyakit bakterial, parasiter dan fungi, dalam hal ini bila suhu air naik maka prevalensi bakterial akan cenderung naik, sedangkan parasiter dan dan fungi cenderung akan turun. Sehingga pada bulan-bulan musim hujan prevalensi bakterial cenderung rendah sedangkan parasiter dan fungi cenderung tinggi. Keadaan yang sebaliknya terjadi pada bulan-bulan di musim kemarau. Hal ini sesuai dengan pendapat (Davis et al. 1980) yang menyatakan bahwa pada suhu yang lebih rendah dari

43 suhu optimwnnya, akan menghambat proses sintesa protein yang disebabkan oleh lemahnya ikatan lipid sehingga pertumbuhan bakteri akan menurun. Sedangkankan siklus hidup parasit dan jamur akan lebih panjang pada saat suhu lebih, sehingga tingkat prevalensinya akan menurun. Rataan hasil pemeriksaan kualitas air dan persentase kejadian penyakit pada sampel ikan di lokasi D (Tangerang) disajikan pada Lampiran 11, 12, 13 dan Tabel 1 1 serta Gambar 10 sebagai berikut: Tabel 11. Rata-rata kualitas air dan persentase penyakit pada sampel ikan di lokasi D (Tangerang) per bulan penelitian. Deskripsi BULAN Feb ( Mar Apr ( Mei Jun Jul Ags - suhu -A. hydrophila +P. RwresOens -A@ussp. *DktylOgyM -Gyrodactylus tswdegniasp. SP. SP. Feb Mar Me1 Jun Jul Butan Gambar 10 Grafik hubungan suhu air dengan prevalensi penyakit ikan tetra di lokasi D (Tanggerang).

44 Dari Tabel 11 dan Gambar 10 dapat diketahui bahwa terdapat kecenderungan adanya korelasi antara suhu air dengan prevalensi penyakit bakterial, parasiter dan fungi, dalam ha1 ini bila suhu air naik maka prevalensi bakterial akan cenderung naik, sedangkan parasiter dan dan fungi cenderung akan turun. Sehingga pada bulan-bulan musim hujan prevalensi bakterial cenderung rendah, sedangkan parasiter dan fungi cenderung tinggi. Keadaan yang sebaliknya terjadi pada bulan-bulan musim kemarau. Hal ini sesuai dengan pendapat (Davis et al. 1980) yang menyatakan bahwa pada suhu yang lebih rendah dari suhu optimumnya; akan menghambat proses sintesa protein yang disebabkan oleh lemahnya ikatan lipid sehingga pertumbuhan bakteri akan menurun. Sedangkankan siklus hidup parasit dan jamur akan lebih panjang pada saat suhu lebih, sehingga tingkat prevalensinya akan menurun. Rataan hasil pemeriksaan kualitas air dan persentase kejadian penyakit pada sarnpel ikan yang bertujuan mengetahui perbandingan prevalensi kejadian penyakit selama bulan Februari hingga Agustus 2005 di lokasi-lokasi yang berbeda di Jabotabek dapat dilihat pada Tabel 12 dan Gambar 11, serta Lampiran 2. Tabel 12. Rata-rata kualitas air clan persentase penyakit pada sampel ikan selama 25 minggu penelitian Deskripsi Suhu udara (OC) Suhu air("c) PH DO (mgfl) Kesadahan (mgll CaC03) Amonia (mgll) Nitrit (mg/l) Jenis hama penyakit : (%) Aeromonas hydrophila Pseudomonas fluorescens Argulus sp. Dactyogyrus sp. Gyrodactylus sp. Saprolegnia sp.

45 S u h u *A. hydrophila *P. mr - Bogor Cibinong Bekasi Tanggerang LOKAS PENELlTlAN Gambar 11. Hubungan suhu air rata-rata dengan prevalensi penyakit ikan tetra di semua lokasi penelitian. Dari Tabel 12 dan Gambar 11 dapat diketahui bahwa rataan hasil pemeriksaan pada sampel air selama 25 minggu menunjukkan suatu hail yang hampir seragam, lokasi-lokasi pemeriksaan yang berbeda (A di Bogor, B di Cibinong, C di Bekasi dan D di Tangerang) yang secara klimatologi agak berbeda, tampak telah di antisipasi oleh pengelola lokasi penampungan 1 peternakan ikan dengan manajemen air yang cukup baik. Selisih suhu air dan parameter mutu air lainnya di lokasi Cibinong, Bekasi dan Tangerang yang secara klimatologi memiliki suhu lingkungan yang lebih panas, dengan lokasi terletak di Bogor dengan suhu lingkungan yang lebih rendah, tarnpak telah mendekati seragam, yang berarti pengusaha di lokasi Cibinong, Bekasi dan Tangerang berusaha untuk memperbaiki kualitas air dengan manajemen yang cukup intensif. Paramete* balitas Air Perbandingan rata-rata nilai parameter kualitas air selama 25 minggu penelitian (Lampiran 2) dengan kualitas air menurut Langdon (1988) dapat dilihat pada Tabel 13.

46 Tabel 13. Perbandingan kualitas air penelitian dengan standar Langdon. Lokasi Penelitian Langdon Deskripsi Aman Bahaya Suhu udara (" C) Suhu air (" C) ph DO (mgll) Kesadahan (mgll) Amonia (mgll) Nitrit (m~ll) 0.03 Sumber : Langdon (1988) Keterangan : A=Bogor, B=Cibinong, C=Bekasi, D=Tangerang Suhu air Secara umum tampak bahwa semua parameter kualitas air telah menunjukkan kisaran angka aman bila dibandingkan dengan standar kualitas air menurut Langdon (1 988), tetapi pada rata-rata parameter suhu air terdapat perbedaan yang dapat menggambarkan stratifikasi suhu air pada masing-masing lokasi dan akan berpengaruh pada kesehatan ikm. Tabel 13 menunjukkan bahwa rataan suhu air terendah ditemukan di lokasi A (Bogor), yaitu 24,72 "C; selanjutnya B (Cibinong), yaitu 25,16 "C; C (Bekasi),yaitu 25,24 "C; dan D (Tangerang) 25,34 "C. A 27,8 24, B , C , D , Tergantung spesies 6,7-8,6 >O <0,02 <O, 1 <4-5 ; >9-10 <3 >200 >0,2-1,O >2,0 Lebih lanjut Effendi (2000) menyatakan bahwa suhu air akan sangat dipengaruhi oleh musim, ketinggian dari permukaan laut, sirkulasi udara, awan, aliran air, kedalaman air dan perubahan suhu akan berpengaruh terhadap proses fisika, kimia dan biologi air. Hal ini tampaknya sesuai dengan hasil penelitian dalam ha1 ini lokasi A (Bogor) adalah lokasi tertinggi di antara ke 3 lokasi yang lain, sedangkan lokasi D (Tangerang) adalah lokasi terendah. Suhu lingkungan tempat tinggal adalah salah satu komponen dalam faktor determinan makroklimat yang dapat mempengaruhi tingkat kesehatan suatu populasi (Thrusfield 1995 ; Slauson et al. 1990), dalam ha1 ini suhu air adalah faktor determinan yang dapat mempengaruhi tingkat kesehatan ikan yang hidup di dalarnnya. Perbedaan psda suhu air juga dipengaruhi oleh suhu udara lingkungan. Boyd (1988) menyatakan bahwa strata suhu pada permukaan air hingga kedalaman 1 meter dari permukaannya, disebut sebagai lapisan epilimnion dan

47 akan terpengaruhi oleh suhu lingkungan sekitarnya antara 2 O C - 4 OC. Tingkat kejernihan air juga sangat mempengaruhi penyerapan panas udara lingkungan, ha1 ini disebabkan oleh adanya penyerapan panas udara lingkungan oleh partikelpartikel yang terdapat dalam air, sehingga bila air semakin keruh maka tingkat penyerapan panas akan semakin cepat dan semakin tinggi panas yang diserapnya. ph ph berhubungan erat dengan kesadahan air. Kesadahan air berhngsi sebagai buffer dalarn perairan, yang menjaga fluktuasi ion-ion dalam air, sehingga nilai ph menjadi stabil. Rataan nilai ph air pada sampel air relatif hampir seragam di semua lokasi, Tebbut (1992) menyatakan bahwa ph hanya menggarnbarkan konsentrasi ion hidrogen, karena molekul air akan selalu membentuk keseimbangan reaksi antara ion H: dm OH-., ph dan asiditas adalah dua ha1 yang agak berbeda karena asiditas air dipengaruhi oleh 2 komponen, yaitu jumlah asam (asam kuat atau asam lemah) dm konsentrasi ion hidrogen, sehingga asiditas lebih menggambarkan kemampuan air untuk menetralkan sifat basa hingga mencapai ph tertentu (base-neutralizing capacity : BNC) (Anonim 1976). Rataan hasil penelitian pada Ta.bel 13 menunjukkan bahwa ke empat lokasi memiliki rataan ph yang hampir sama, yaitu: A (Bogor) sebesar 6,99; B (Cibinong) sebesar 6,98; C (Bekasi) sebesar 7,16; dan D (Tangerang) sebesar 7,25. Perbandingan dengan parameter kualitas air yang arnan untuk mahluk hidup menurut Langdon (1988), yaitu pada kisaran ph 6,7-8,6, menguatkan hasil penelitian bahwa ph air sampel dalam batas aman lingkungan hidup untuk ikan hias. Oksigen terlarut (DO) Oksigen terlarut dapat dikatakan sebagai faktor paling penting dalam kehidupan ikan. Tanpa oksigen terlarut dalam air ikan tidak dapat hidup. Kadar kelarutan oksigen dalam air dipengaruhi oleh banyak faktor: diantaranyz suhu.. Makin tinggi suhu, maka kelarutan oksigen dalam air semakin rendah. Padahal

48 semakin tinggi suhu, metabolisme juga meningkat sehingga kebutuhan oksigen pun meningkat (Anonim 1992). Kurangnya kandungan oksigen terlarut pada akuariurn dapat menjadi salah satu faktor penyebab stress pada ikan. Dalam keadaan stress, pemafasan pada ikan meningkat, sehingga tekanan darah juga meningkat. Hal ini mendorong ikan untuk melepaskan cadangan sel darah merah ke dalam sirkulasi darah. Keadaan ini menyebabkan menurunnya fungsi osmoregulasi ikan dan gangguan pada sistem pertahanan terhadap penyakit (Floyd 2001). Rataan hasil pemeriksaan sampel air untuk kadar oksigen terlarut (DO) pada Tabel 13 memberikan hasil yang relatif seragam, yaitu: A (Bogor) sebesar 7,87 mgll; B (Cibinong) sebesar 7,91 mg/l; C (Bekasi) sebesar 7,87 mg/l; dan D (Tangerang) sebesar 7,87 mgll; dan menurut Langdon (1988) masih berada dalam kisaran aman untuk mahluk hidup, yaitu > 6 mg/l. Effendi (2000) menyatakan bahwa kadar oksigen terlarut sangat bervariasi, tergantung pada suhu, salinitas, turbulensi air dan tekanan atmosfer. Kadar oksigen akan berkurang dengan semakin meningkatnya suhu, bertambahnya ketinggian dan berkurangnya tekanan atmosfer. Kesadahan air Kesadahan air menggambarkan kadar kation logarn divalen yang dapat bereaksi dengan anion-anion dalam air dan akan membentuk endapan atau karat pada logam, sedangkan pada air tawar kation divalen yang terbanyak adalah kalsium dan magnesium yang akan berikatan dengan anion penyusun alkalinitas yaitu bikarbonat dan karbonat (Effendi 2000). Kesadahan air sangat berpengaruh pada ph dan kestabilan ph. Selain itu, kesadahan juga akan mempengaruhi toksisitas dari banyak substansi yang ada di perairan. Peranan yang tidak kalah penting dari kesadahan adalah peranannya dalam menjaga kestabilan osmoregulasi pada ikan. Osmoregulasi adalah proses penting bagi 'ikan untuk menjaga keseimbangan konsentrasi ion-ion dalam tubuhnya. Apabila proses osmoregulasi terganggu, maka ikan tidak bisa menjaga keseimbangan ion-ion dalam tubuhnya, sehingga ikan air tawar akan menyerap air secara berlebihan dari lingkungan (Anonim 2006a).

49 Kesadahan air yang tinggi menunjukkan bahwa air tersebut mengandung kalsiurn, magnesium, karbonat dan sulfat yang tinggi (Brown 1987). Kesadahan yang tinggi membuat proses osmoregulasi lebih mudah bagi ikan karena lebih sedikit air yang masuk dan sangat penting dalam kasus-kasus infeksi bakteri, dimana air dapat mengalir masuk ke jaringan yang terbuka (Anonim 2006a). Setiap spesies ikan mempunyai kebutuhan akan tingkat kesadahan air yang berbeda-beda. Kebanyakan ikan-ikan hias air tawar memerlukan total kesadahan antara mglliter CaC03. Rataan hasil pemeriksaan sampel air untuk kesadahan pada Tabel 13, memberikan hasil yang relatif seragam, yaitu: A (Bogor) sebesar 149,48 mgll; B (Cibinong) sebesar 149,16 mgll; C (Bekasi) sebesar 148,44 mgll; dan D (Tangerang) 150,92 mgll; dan menurut Langdon (1988) masih berada dalam kisaran aman untuk mahluk hidup, yaitu pada kisaran mgll. Amonia Kadar amonia dalslln air sangat dipengaruhi oleh ph, karena sebagian besar amonia akan mengalami ionisasi pada ph 7 atau kurang, sedangkan pada ph di atas 7 amonia tidak terionisasi dan akan bersifat toksik (Novotny & Olem 1994). Rataan hasil pemeriksaan sampel air untuk kadar amonia pada Tabel 13, memberikan hasil yang sama untuk keempat lokasi yaitu 0,02 mgll, yang menunjukkan bahwa rataan kadar amonia masih berada dalam batas aman menurut Langdon (1 988), yaitu < 0,02 mg/l. Nitrit Sumber nitrit adalah limbah yang terdapat dalam air, karena adanya nitrit menggarnbarkan adanya proses biologis perubahan bahan organik dengan kadar oksigen terlarut yang rendah (Moore 1991 ; Sawyer & Mc Carty 1978). Selain itu nitrit tidak stabil bila terdapat oksigen. Rataan hasil pemeriksaan sampel air untuk kadar nitri t, memberikan hasil yang seragam yai!u 0,03 nlgll, dan menurut Langdon (1988) rataan kadar nitrit

50 sampel air masih berada dalam kisaran aman untuk mahluk hidup, yaitu < 0,l mgll. Persentase Kejadian Penyakit Pada penelitian ini diperiksa sebanyak 1500 ekor sampel ikan tetra dari empat lokasi yang berbeda selama 25 minggu, atau 15 ekor sampel ikan dengan 5 jenis yang berbeda per minggu ( 3 ekor per jenis ikan). Jenis penyakit yang ditemukan dinyatakan sebagai persentase dari jumlah sampel yang diperiksa per minggu per lokasi atau : Persentase kejadian penyakit = nil5 x 100 %, dalam ha1 ini n = jumlah kasus Persentase kejadian penyakit yang tampak perbedaan yang cukup tinggi di antara masing-masing lokasi dapat dilihat pada Gambar 12. Secara urnum tampak bahwa kasus penyakit bakterial lebih banyak ditemukan dibandingkan dengan penyakit parasiter. Sedangkan kasus fungi (Saprolegnia sp.) hanya ditemukan di lokasi A (Bogor) dan B (Cibinong) dengan persentase kejadian penyakit 12,OO Rataan Suhu Air (C). +A. hydrophila P.fluorescens Argulus sp + Dactylogyrus sp. X Gyrodactylus sp. Sapmlegnia sp Gambar 12. Sebaran suhu air dengan prevalensi penyakit

51 Aeromonas hydrophila Aeromonas hydrophila adalah bakteri Gram negatif, batang dengan ujung membulat, berdiameter pm X pm., tidak mempunyai tahapan spors, motil, dan merupakan bakteri fakultatif anaerobic. Aeromonas hydrophila tumbuh optimal pada suhu 22-28"C, bahkan kadang-kadang dapat tumbuh dengan baik pada suhu 37 C. Persentase penyakit yang disebabkan oleh bakteri Aeromonas hydrophila tertinggi didapatkan di lokasi C (Bekasi) sebesar 25,87%.kemudian berturut-turut di lokasi A (Bogor ) 25,07 %, D (Tangerang) 2 1,07 % dan B (Cibinong) 20,27%. Gejala yang tampak pada sampel ikan akibat infeksi bakteri ini adalah adanya luka-luka pada permukaan tubuh, kerontokan sirip dan perdarahan pada otot, dan dapat dilihat pada Gambar 13 Luka terbuka pada ikan yang terinfeksi Aeromonas biasanya ditemukan pada bagian kulit kepala, bagian tengah badan dan daerah dorsal ikan, karakterisitik dari luka-luka ini disebut dengan epizootic ulcerative syndrome (EUS) (Rahrnan et al. 2002). atau disebut juga dengan furunculosis (Rabaan et al ). Hasit analisa statistika untuk mengetahui korelasi antara suhu air dan prevalensi penyakit yang disebabkan oleh bakteri Aeromonas hydrophila (Lampiran 4) di empat lokasi penelitian memberikan hasil korelasi yang sangat signifikan (P > 0,Ol) dengan persamaan regresi : Y = - 109,73 + 5,28 Xi + e, dan koefisien determinasi 0,7407 atau 74,07 % keragarnan penyakit yang disebabkan oleh Aeromonas hydrophila dapat diterangkan oleh faktor suhu air. Pada dasamya Aeromonas hydrophila bukan patogen utarna, untuk menjadi patogen diperlukan kondisi stres yang disebabkan oleh perubahan lingkungan seperti : densitas yang tinggi, kenaikan suhu air, kelarutan oksigen yang rendah dan adanya partikel organik dalam jumlah yang cukup besar dalarn air (Munday 1988).

52 Gambar 13. kan tetra dengan infeksi Aeromonas hydrophila Secara umum tampak bahwa kejadian penyakit yang disebabkan oleh Aeromonas hydrophila ada di setiap lokasi penelitian, sehingga dapat dikatakan bahwa bakteri ini endemis untuk daerah Jabotabek. Hal ini dikuatkan oleh hasil penelitian Dalimunthe (1989) yang menyimpulkan bahwa bakteri Gram negatif adalah bakteri yang paling banyak menimbulkan penyakit pada ikan dan lebih kurang 63,6 % mikroorganisme penyebab penyakit bakterial pada ikan-ikan air tawar termasuk dalam genus Aeromonas sp., yang telah tersebar ke seluruh dunia. Pseudomonns jluorescens Pseudomonns,fluorescens adalah bakteri Gram negatif, berbentuk batang, berukuran pm X 1-3 pm, aerobik, motil dengan polar flagella, oksidatif, kemoorganotropik metabolisme, tidak memerlukan faktor organik untuk tumbuh. Pseudornonasfluorescens turnbuh dengan optimal pada suhu C. Taksonomi Pseudomonas Juorescens adalah sebagai berikut: Phylum: Proteobacteria, Klas: Gammaproteobacteria, Ordo: Pseudomonadales, Famili: Pseudomonadaceae,Genus: Pseudomonas, Spesies: Pseudomonas jluorescens (Migula 1895). nfeksi oleh bakteri ini biasa terjadi pada ikan karper, ikan nila merah, ikan hias tropis dan ikan jenis-jenis salmon, timbulnya gejala klinis berhubungan langsung dengan stres lingkungan, terutarna suhu air yang tinggi dan densitas yang tinggi (Munday 1988).

53 Kasus penyakit yang disebabkan oleh Pseudomonas jluorescens ditemukan di iokasi A (Bogor) 16,00%, B (Cibinong) 17,33%, C (Bekasi) 16,27% dan D (Tangerang) 9,6 %. Pada Gambar 14 dapat dilihat gejala yang tampak pada sampel ikan akibat infeksi bakteri ini adalah adanya perdarahan otot, perdarahan peritoneum, perdarahan pada pangkal sirip. Gambar 14. kan tetra dengan infeksi Pseudomonas~uorescens Hasil analisa statistika untuk mengetahui korelasi antara suhu air dan prevalensi penyakit yarig ciisebabkan oleh bakteri Pseudomonas fluorescens (Lampiran 5) di empat lokasi penelitian memberikan hasil korelasi yang sangat signifikan (P > 0,Ol) dengan persamaan regresi : Y = - 109,02 + 4,93 Xi + e, dan koefisien determinasi 0,8094 atau 80,94% keragarnan penyakit yang disebabkan oleh Pseudomonasfluorescens dapat diterangkan oleh faktor suhu air. Korelasi antara suhu air dan prevalensi penyakit bakterial Suata ha1 yang menarik bahwa terdapat pola regresi yang sama di dapatkan pada persamaan regresi penyakit yang disebabkan oleh Aeromonas hydrophila dan Pseudomonasfluorescens, dalam ha1 ini bila suhu air meningkat maka angka prevalensi juga akan meningkat. Kecenderungan antara peningkatan suhu air dan peningkatan prevalensi kejadian penyakit dapat dilihat pada Ganl bar 15. Langdon (1988) yang menyatakan bahwa bila suhu air meningkat secara fluktuatif maka terdapat kecenderungan peningkatan kecepatan multiplikasi

54 patogen, terutama bakteri, atau dengan kata lain suhu air yang sangat dipengaruhi oleh suhu udara, akan mempunyai pengaruh kuat pada jumlah kejadian penyakit bakterial pada ikan. Kemungkinan lain yang berkaitan dengan ha1 ini adalah pada suhu air yang tinggi maka kadar oksigen terlarut akan menurun, sedangkan pada saat yang sama laju metabolisme pada ikan akan meningkat, termasuk diantaranya adalah kebutuhan oksigen semakin meningkat (Whiting & Carolane 1983 ; Chessman & Robinson 1987 ; Mc.Neely et al. 1979), sehingga terdapat kecenderungan ikan tidak mendapatkan kebutuhan oksigen dengan cukup, dan ha1 ini akan bersifat sebagai stresor pada ikan. Umumnya, penyakit penyakit bakterial pada ikan hias disebabkan oleh bakteri opertunistik, dimana kebanyakan infeksi bakteri itu disebabkan perubahan dalarn hubungan bakteri dan ikan. Bakteri-bakteri ini sudah ada diperairan tetapi tidak selalu dapat menyebabkan peyakit pada ikan. Dalarn kondisi normal, bakteri-bakteri ini tidak terlalu berbahaya bagi kesehatan ikan, karena ikan mampu bertahan terhadap serangan penyakit dengan berbagai mekanisme sistem imun. Namun, jika jumlah atau virulensi patogen meningkat dan daya tahan ikan menurun karena adanya faktor-faktor penyebab stres, baik itu secara kimia maupun secara fisika., maka ikan akan terinfeksi (Anonim 2006a). Bakteri opportunis akan menjadi patogenik bila: terjadi kerusakan integumen (kulit) karena abrasi akibat aktifitas parasit atau karena kerusakan secara kimia (akibat ammonia, nitrit atau tinggi rendahnya ph), dikarenakan pertahanan normal tertekan akibat perubahan lingkungan dan penyakit seperti: buruknya kualitas air, parasit, padat tebar tinggi, dan perubahan suhu. Hal yang sama didapatkan dari hasil penelitian Callinan (1988) yang menunjukkan adanya korelasi yang positif antara peningkatan suhu air dengan jurnlah kejadian penyakit oleh infeksi Aeromonas hydrophila dan Pseudomonas ji'uorescens pada ikan Geotria australis. Kebanyakan bakteri dapat berkembang dengan baik pada suhu lebih dari 30 C, dan kisaran tekanan osmosis dan ph yang besar. Orgarisme ini dapat dengan mudah menyesuaikan diri dan memperbaiki struktur dan fungsi makromolekulnya. Pzda saat suhu meningkat biosintesa ellzim lneningkat pula. Tapi pada suhu yang rendah, laju pertumbuhan menjadi

55 terhambat, karena menurunnya kepadatan membran lipid, yang ditandai dengan menurunnya sintesa protein (Davis et al. 1980). Hal ini membuktikan bahwa pada saat suhu meningkat kegiatan pertumbuhan bakteri akan meningkat pula, sehingga prevalensi bakteri banyak terjadi pada saat suhu air lebih hangat c - 0? 15!! Rataan Suhu Air (C) A.hydmphib (Y= 109,73+5,28 X h P.fluorescens (Y= -109,02+4,93Xi+e) L i n e a r (A.hydrophila C/= -109,73+6,28 Xi*) --Linear (P.fluoruscens(Y= -109,02+4,93Xi+e)) Gambar 15. Korelasi suhu air dengan penyakit bakterial Hasil pemeriksaan histopatologi Pemeriksaan histopatologi digunakan untuk menambah data yang berasal dari temuan secara makroskopis dan isolasi parasit, pada penelitian digunakan sampel ikan hias sehat dari lokasi B (Cibinong) dan Lokasi A(Bogor). Hasil pemeriksaan pada sampel ikan sehat dari lokasi A(Bogor) menunjukkan adanya myositis dan peritonitis, juga ditemukan adanya kista protozoa (Pleistophora sp.) pada otot. Hasil pemeriksaan histopatologi dapat dilihat pada Gambar 16. Pleistophora sp. terrnasuk agen penyakit golongan 1 yang berarti ikan pembawa penyakit hams dimusnahkan menurut Kepmen no 17 tahun Hasil pemeriksaan patalogi anatomi pada beberapa sampel ikan yang tidak menunjukkan gejala klinis atau terlihat dalam keadaan sehat yang berasal dari lokasi B (Cibinong) memberikan hasil bakterial peritonitis dan enteritis viral non spesifik.

56 Hasil pemeriksaan histopatologi menunjukkan bahwa walaupun sampel ikan tidak menunjukkan gejala klinis yang terlihat, tetapi ternyata hasil pemeriksaan membuktikan bahwa sampel ikan terinfeksi oleh bakteri patogen, virus dan protozoa. Gambar 16. Kista Pleistophora sp., pada jaringan otot ikan Neon Tetra yang mengalami peradangan graqulomatosa. (K= kista Pleistophora sp., G=: fokus granuloma), pewarnaan H&E Pleistophora hyphessobrycon diketahui menyerang 18 jenis ikan tetra, beberapa jenis ciclid seperti, manvis, dan cyprinid, seperti barb dan rasbora, juga dapat terinfeksi. Gejalanya warna ikan memucat dan disertai hilangnya garis merah. Bila infeksinya ringan tidak terlihat adanya gejalanya. Bila infeksinya berat (parah) akan kehilangan warna merah dan timbul bercak-bercak di bawah kulit. Organ lain yang diserang adalah usus, ovarium. Penyakit ini baru narnpak setelah 2-4 minggu. Ukuran spora 4 x 6pm. Pansporoblast berukuran 26-33pm. Setiap spora mempunyai satu polar filament dan mengandung sporoplasma (BUS -Jakarta 2005,. Canning & Hazard 1982). Argulus sp. Argulus sp. (Gambar 1'7) termasuk kelas crusfacea yang berbentuk iiutu penghisap darah, gejala klinis yang khas pada ikan adalah adanya erosi pada

57 epidermis (Butler 2005, Robert 2005, Widayanti 2003). Ektoparasit ini digolongkan dalarn subklas branchiura, ditemukan pada ikan air tawar dan ikan laut, menyebabkan kerugian yang sangat besar pada industri budidaya salmon (Heckmann 2003). Gambar 17. Argulus sp. KOH, pembesaran 400 x. Kejadian penyakit yang disebabkan oleh Argulus sp. ditemukan di lokasi A (Bogor) 14,67 %, B (Cibinong) 2,67 %, C (Bekasi) 2,93% dan D (Tangerang) 0,80%. Angka prevalensi di lokasi A (Bogor) tertinggi diantara ke tiga lokasi yang iain, diduga ha1 ini disebabkan oleh metoda pemeliharaan ikan di lokasi A yang ditampung di dalam kolam di luar ruangan, sedangkan di tiga lokasi yang lain ikan dipelihara di dalarn akuarium di dalam ruangan. Hal ini sesuai dengan pendapat Heckmann (2003) yang menyatakan bahwa Argulus sp. mudah ditemukan pada ikan liar atau ikan yang dipelihara dalam kolam dan jarang ditemukan pada ikan yang dipelihara dalam akuarium. Hasil analisa statistika untuk mengetahui korelasi antara suhu air dan prevalensi penyakit yang disebabkan oleh Argulus sp. (Larnpiran 6) di empat lokasi penelitian memberikan hasil korelasi yang sangat signifikan (P > 0,Ol) dengan persamaan regresi : Y = 84,75-3,16 Xi + e, dan koefisien determinasi 0,6667 atau 66,67% keragaman penyakit yang disebabkan oleh Argulus sp. dapat diterangkan oleh faktor suhu air.

58 Dactylogyrus sp. Dactyloayrus sp. adalah klas trematoda, sub klas monogenea yang mempunyai ciri-ciri: bentuknya pipih menyerupai daun, mempunyai 4 (empat) titik mata, sepasang kait besar dan 7 (tujuh) pasang kait kecil (Gambar 18). Dactylogyrus sp. adalah parasit ovivipar yang bertelur dan biasanya menempel pada insang. Telur itu kemudian berkembang menjadi onchomiricidium yang menempel pada ikan dan menyerang ikan-ikan pada air tawar. Target organ pada ikan umumnya adalah insang (Grabda 1991). Parasit dewasa akan melekat pada insang kemudian telurnya menetas menjadi larva yang dinarnai onchomiricidium yang kemudian mencari ikan lain dan menginfeksi ikan tersebut. Kejadian penyakit yang disebabkan oleh Dactylogyrus sp. terdapat di semua lokasi penelitian, dengan prevalensi 16,OO % (A), 10,93 % (B), 6,67% (C) dan 6,93 % (D). Gambar 18. Dactylogyrus sp. carmine, 400 x. Hasil analisa statistika untuk mengetahui korelasi antara suhu air dan prevalensi penyakit yang disebabkan oleh Dactylogyrus sp. (Lampiran 7) di empat lokasi penelitian memberikan hasil korelasi yang sangat signifikan (P > 0,Ol) dengan persamaan regresi : Y = 119,7-4,36 Xi + e, dan koefisien determinasi 0,7030 atau 70,30% keragaman penyakit yang disebabkan oleh Dactylogyrus sp. dapat diterangkan oleh faktor suhu air. Gyrodactylus sp. Gyrodacty1u.s sp. ternlasuk pada klas trematoda, sub klas monogenea yang mempunyai ciri-ciri: bentuk kepala menyerupai huruf V, ada 2 (dua) pasang titik

59 mata, vivar, menginfeksi sebagian besar jenis ikan, mempunyai 2 (dua) kait besar dengan 16 kait kecil, mempunyai organ untuk menempel (haptor), menyerang kulit sirip dan insang (Garnbar 19). Siklus hidupnya, parasit dewasa menghasilkan larva yang dilepaskan ke perairan dan menempel dengan cepat ke inang lain. Gejala klinis akibat parasit ini adalah ikan benvarna pucat, sirip melipat, kulit berlendir, terdapat bintik darah pada kulit dan pangkal sirip, insang tidak dapat menutup, terdapat perdarahan pada insang (Butler 2005, Robert 2005, Widayanti 2003). Kejadian penyakit yang disebabkan oleh Gyrodactylus sp. terdapat di semua lokasi penelitian, dengan persentase kejadian penyakit 16,27 % (A, Bogor), 9,6 % (By Cibinong), 7,2% (C, Bekasi) dan 6,4% (D, Tangerang). Hasil analisa statistika untuk mengetahui korelasi antara suhu air dan prevalensi penyakit yang disebabkan oleh Gyrodactylus sp. (Lampiran 8) di empat lokasi penelitian memberikan hasil korelasi yang sangat signifikan (P > 0,Ol) dengan persamaan regresi : Y = 118,82-4,34 Xi + e, dan koefisien determinasi 0,6950 atau 69,50 % keragaman penyakit yang disebabkan oleh Gyrodactylus sp. dapat diterangkan oleh faktor suhu air. Gambar 19. Gyrodactylus sp. carmine, 400 X Korelasi antara suhu air dan prevalensi penyakit parasiter ~uatu ha1 yang menarik bahwa terdapat pola regresi yang sama di dapatkan pada persamaan regresi penyakit yang disebabkan oleh Dactylagyrus sp.

60 dan Gyrodactylus sp., dalam ha1 ini bila suhu air menurun maka angka prevalensi juga akan meningkat. Terdapat suatu hubungan yang erat antara rendahnya suhu air dan tejadinya penyakit yang disebabkan oleh protozoa pada ikan, seperti yang ditemukan pada Paralichthys dentatus yang terinfeksi oleh Trypanoplasma bullocki (Burreson & Zwerner 1984). Langdon et al. (1985) menyatakan bahwa terjadinya infeksi parasiter pada ikan disebabkan oleh faktor predisposisi yang disebabkan bila suhu air semakin rendah maka respon imun ikan juga akan semakin menurun. Penelitian ini mengindikasikan bahwa suhu merupakan faktor penting pada terjadinya kelimpahan parasit, terutama monogenea (Koskivaara 1992). Siklus hidup parasit sangat tergantung oleh suhu. Proses dalam siklus hidup parasit akan terharnbat jika suhu meningkat dan akan lebih cepat pada suhu rendah.. Namun, hams diingat bahwa suhu bukan satu-satunya faktor yang berperan dalam perturnbuhan parasit, karena peningkatan populasi parasit memang terjadi pada saat suhu menurun (Chubb 1977). Untuk mengetahui hubungan dengan suhu air dapat dilihat pada Gambar 20. prevalensi kejadian penyakit parasiter Argulus sp (Y*, ,16Xi*e) x Dactylogyrus sp (Y= ,36Xi*e) 15 X Gyrodactylus sp (Y418,82-4,34Xi*6) c. 55 Linear (Argulus sp '5 (Y384,75 = - 3,16Xi*e)) 10 -a t.- Linear (Dactylogyrus sp 6 (~419,~ - 4,36xi*e)) 0 - Linear (Gyrodactylus sp 5 (Y418,82-4,34Xi)) Rataan Suhu Air (C) Gambar 20. Korelasi suhu air dengan penyakit parasiter

61 Saprolegnia sp. Saprolegnia sp. adalah genus dari jamur yang menginfeksi ikan dan telur ikan air tawar. Saprolegnia sp. adalah jamur air yang mempunyai oogonia dan oospora.perkembang-biakkannya secara a-seksual. Ujung hyphanya membesar dm diisi dengan protoplasma padat yang akan membentuk suatu oogonium berbentuk bola. Telur berbentuk bola terpisah dari protoplasma dm membentuk oospora. Oospora dapat bertahan terhadap gangguan cuaca dan iklim selama bertahun-tahun, dan akan memulai kehidupan yang baru apabila kondisi sudah memungkinkan. Pada penelitian hanya satu jenis fungi yang ditemukan sebagai penyebab kejadian penyakit fungi pada sampel ikan hias penelitian, yaitu Saprolegnia sp. Kejadian penyakit yang disebabkan oleh Saprolegnia sp. ditemukan di lokasi A (Bogor) 12,OO %.dan B (Cibinong) 1,07 %, ha1 di duga berkaitan dengan suhu udara dan suhu air yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan 2 lokasi yang lain. Gejala klinis pada ikan yang terinfeksi oleh Saprolegnia sp., menampakkan koloni fungi berbentuk seperti kapas benvarna putih atau abu-abu pada kulit atau insang, pada kasus berat akan terjadi kerusakan jaringan yang menyebabkan terjadinya nekrosis (Carlson 2005). Jenis fungi ini biasa ditemukan pada air tawar, air yang kotor dan tanah yang basah, dapat hidup pada rentang suhu antara 3" C - 31" C, tetapi jauh lebih subur pada air yang dingin (Butler 2005; Carlson 2005; Robert 2005). Pada Gambar 2 1 terlihat jamur Saprolegnia sp. yang menyerang kulit ikan. Hal ini terlihat adanya hyphae yaitu filamen yang terbentuk dari jamur saprolegnia fase dewasa, dan terlihat mycelium yaitu kumpulan hyphae yang membentuk masa yang penarnpakannya seperti kapas. Hasil analisa statistika untuk mengetahui korelasi antara suhu air dan prevalensi penyakit yang disebabkan oleh Saprolegnia sp. (Larnpiran 9) di empat lokasi penelitian memberikan hasil korelasi yang sangat signifikan (P > 0,Ol) dengan persamaan regresi : Y = 30,71-1,09 Xi + e, dm koefisien determinasi 0,353 1 atau 35,3 1 % keragaman penyakit yang disebabkan oleh Saprolegnia sp. dapat diterangkan oleh faktor suhu air.

62 Gambar 21. kan tetra dengan infeksi Saprolegnia sp. nfeksi fungi ini biasa disebut dengan saprolegniasis dan biasa terjadi sebagai infeksi sekunder setelah terjadi kerusakan integumen kulit dan insang pada ikan karena infeksi parasit, bakteri atau virus, dengan faktor predisposisi densitas yang tinggi dan rendahnya mutu air. Sangat jarang fungi ini menjadi patogen secara primer, tetapi pada beberapa kasus infeksi primer oleh fungi ini berkaitan erat dengan suhu air yang rendah, yang mungkin menyebabkan turunnya imunitas pada ikan (Anonim 2005). Korelasi antara suhu air dan prevalensi penyakit fungi Dari persamaan regresi dapat diketahui bahwa terdapat kecenderungan kejadian penyakit fungi akan semakin meningkat dengan semakin turunnya suhu air (Garnbar 22). Penyakit yang disebabkan oleh jamur (fungi) adalah penyakit yang biasa ditemukan pada ikan air tawar dan dipotensiasi oleh adanya stres akibat turunnya kualitas air, perubahan suhu air, tekanan secara fisik (Anonim 2005 ; Carlson 2005).

63 :-6-0 $ Rataan Suhu Air (C) Saprolegnia sp L i n e a r (Saprolegnia sp) Gambar 22. Korelasi suhu air dengan penyakit fungi Daerah dentifikasi Penyakit Dari hasil identifikasi kejadian penyakit pada ikan hias golongan tetra selama 25 minggu (Februari-Agustus 2005) (Lampiran 2) di dapatkan angka prevalensi kejadian penyakit di empat lokasi (Bogor, Cibinong, Bekasi dan Tangerang) disajikan pada Tabel 14. Tabel 14. Rata-rata suhu air dan angka prevalensi (%) penyakit dari 4 daerah identifikasi pada bulan Februari - Agustus Agen Penyakit Bogor Cibinong Bekasi Tangerang Suhu air("c) Aeromonas hydrophila (%) Pseudomonasfluorescens(%) Argulus sp. (%) Dactyloflrus sp. (YO) Gyrodactylus sp. (%) Saprolegnia sp. (%) 24, , , , Berdasarkan data pada Tabel 12, Gambar 15, 20, 22 dan analisa regresi linear sederhana didapatkan bahwa terdapat kecenderungan :

64 Peningkatan prevalensi penyakit bakterial terjadi pada musim kemarau. Peningkatan prevalensi penyakit parasiter terjadi pada musim hujan Peningkatan prevalensi penyakit fungi terjadi pada musim hujan Konfirmasi data penyakit ikan yang ditemukan oleh Balai Karantina kan-bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng, pada bulan Februari-Agustus 2005 (Lampiran 1 O), hanya dapat mengkonfirmasi keberadaan hama penyakit yang telah ditemukan pada penelitian ini, sedangkan data kuantitatif prevalensi kejadian penyakit tidak dapat dikonfirmasikan dalam penelitian ini karena data tidak ada.

65 KESMPULAN Dari -basil penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa perubahan pada salah satu parameter kualitas air, yaitu suhu air akan memberikan pengaruh langsung pada angka prevalensi kejadian penyakit ikan hias golongan Tetra. Berdasarkan persamaan regresi, dapat dilihat bahwa : Prevalensi penyakit bakterial (Aeromonas hydrophila & Pseudomonas fluorescens) akan meningkat sejalan dengan peningkatan suhu air. Prevalensi penyakit parasiter (Argullus sp., Dactylog~rus sp., Gyrodactylus sp.) dan mikosis (Saprolegnia sp.) akan meningkat sejalan dengan penurunan suhu air. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyakit bakterial (Aeromonas hydrophila & Pseudomonas fluorescens) adalah endemis di daerah penelitian (Bogor, Cibinong, Bekasi dm Tangerang), ha1 yang sama ditemukan pada penyakit parasiter. Prevalensi rata-rata kejadian penyakit di Bogor, Cibinong, Bekasi dan Tangerang pada 1500 ekor sampel ikan hias jenis tetra antara bulan Februari- Agustus 2005 adalah sebagai berikut Aeromonas hydrophila 23,07 %, Pszudomonas fluorescens 14,80 %, Argulus sp. 5,27 %, Dactylogyrus sp. 10,13 %, Gyrodactylus sp 9,87 %, Saprolegnia sp. 3,27 %, sehingga 66 % sampel ikan dalam kondisi sakit dan hanya 34 % sampel ikan dalam kondisi sehat. Pemeriksaan histopatologi diperlukdpenting dilakukan pada prosedur pemeriksaan karantina ikan untuk mengetahui infeksi pada jaringan, sehingga hasil yang didapat lebih akurat.

66 SARAN Pengontrolan parameter kualitas air secara terus-menerus dan sistematik dapat digunakan sebagai salah satu prasyarat ekspor-impor bagi perusahaan ikan hias di Jabotabek. Perlu diadakan program monitoring dan surveilance yang dilakukan secara teratur. Diperlukan suatu sistem pemeriksaan laboratorium lengkap, cepat dan akurat, terutama untuk bibit ikan dengan memasukkan pemeriksaan histopatologi sebagai salah komponen pemeriksaan yang harus dilakukan. Diperlukan penelitian lebih lanjut di tingkat petani budidaya ikan untuk mengetahui pola penyebaran hama penyakit secara menyeluruh.

67 DAFTAR PUSTAKA Alabaster JS, Loyd R Water quality criteria for freshwater fish. FA0 / Buttenvorths. New York. Arthur, J.R., Efforts to prevent the international spread of diseases of aquatic organisms, with emphasis on the Southeast Asian Region. n M.Shatiff, J.R. Arthur and R.P. Subasinghe. (eds.) Diseases in Asian Aquaculture. Proceedings of the 2nd Symposium on Diseases in Asian Aquaculture, October, 1993, Phuket, Thailand. Asian Fish. Soc., Fish Health Sect., Kuala Lumpur. (n press). Arthur, J.R Fish and shellfish quarantine: the reality for Asia-Pacific. n Health Management in Asian Aquaculture. n R.P. Subasinghe, J.R. Arthur & M. Shariff (eds.). Proceedings of the Regional Expert Consultation on Aquaculture Health Management in Asia and the PaclJic p [Anonim] Standard methods for the examination of water and wastewater. 4" edition. American Public Health Association. Washington DC. p [Anonim] Canadian water quality. Canadian Council of Resource and Environment Ministers. Ontario. Canada. [Anonim] Peraturan Pemerintah Republik ndonesia No. 20. Tahun tentang : Pengendalian Pencemaran Air. Jakarta. [Anonim] Fish fungus - Saprolegnia sp.. fungus.htm [Maret [Anonim] 2006a. Fish metabolism. [Pebruari [Anonim] 2006b. Fish diseases. [Pebruari Boyd CE Water quality in warmwater fish ponds. 4th printing. Auburn University Agricultural Experiment Station. Alabama. Brown AL Freshwater ecology. Heinemann Educational Books. London. Burreson EM, Zwerner DE Junevile summer flounder, Paralichthys dentatus, mortalities in the western Atlantic Ocean caused by the hemoflagellate Trypanoplasma bullocki : evidence from field and ' experimental studies. Helgol. Meeresunters [BUS] Balai Uji Standar Metode Pemeriksaan,HPK golongan parasit. Jakarta: DKP.

68 Butler R Disease that affect tropical freshwater fish. com/disease.htm [Juli Callinan RB Disease of Australian native fishes. Fish Diseases. Refresher course for Veterinarians. Proceeding 106. Post Graduate Committee in Veterinary Science. University of Sydney. pp : 459. Canning, EU., Hazard, E Genus Pleistophora Gurley 1893, an assemblage of at least three genera. J. Protozool Carlson RE Saprolegnia - water fungus. html/articles [8 Juni Chessman BC, Robinson DP Some effects of the drought on water quality and macro invertebrate fauna in the lower La Trobe River Victoria. Aust.J.Mar.Freshw.Res Chubb, J. C Seasonal occurrence of helminthes in freshwater fish. Part. Monogenea. Adv. Parasitol : 15.~ Cole GA Textbook of lirnnology. 3rd edition. Waveland Press.1nc. llinois. pp:40 1. Davis, BD., Dulbecco, R, Eisen, H.N, Ginsberg, HS Microbiology 31d edition. Harper and Row Publisher. Philladelphia. pp Dalimunthe N Pola kepekaan Aeromonas hydrophila terhadap beberapa antibiotika. (skripsi). Fakultas Kedokteran Hewan. nstitut Pertanian Bogor. Effendi H Telaahan kualitas air. Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan lmu Kelautan. PB. Bogor. Grabda, J Marine fish parasitology : An outline. John Willey & Son Ltd. USA. pp 306. Hanson LA, Grizzle JM Nitrite-induced predisposition of channel catfish to bacterial diseases. Prog.Fish.Cult. 47. pp : Heckmann R Other ectoparasites infesting fish; Copepods, Branchiurans, sopods, Mites and Bivalves. Aquaculture Magazine NovemberDecember pp : 1-7. Koskivaara,.M Environmental factors affecting monogeneans parasitic on freshwater fishes. Farasitol Today 8. p

69 Langdon JS History and causes of fish kill. Fish Diseases. Refresher course for ~eierinarians. Proceeding 106. Post Graduate Committee in Veterinary Science. University of Sydney. Langdon JS, Gudkovs N, Humprey JD, Saxon EC Deaths in Australian freshwater fishes associated with Chilodonella hexasticha infection. Aust.Vet.J.62(12) Mackereth FJH., Heron J. Talling JF Water Analysis. Freshwater Biological Association. Cumbria. UK. Mattjik AA, Sumertajaya M Perancangan percobaan. Jilid 1. Edisi 2. PB Press. Bogor. Mc Neely RN. Nelmanis VP and Dwyer L Water quality source book, A guide to water quality parameter. nland Water Directorate. Water Quality Branch. Ottawa. Canada. pp : 89. Moore JW norganic contaminants of surface water. Springer-Verlag. New York. pp:334. Munday BL Bacterial disease of fish. Fish Diseases. Refresher course for Veterinarians. Proceeding 106. pp : Post Graduate Committee in Veterinary Science. University of Sydney. Novotny V, Olem H Water quality prevention, identification and management of diffuse pollution. Van Nostrans Reinhold. New York. Pp : Peavy HS. Rowe DR. Tchobanoglous Environmental engineering. Mc Graw-Hill nternational Editions. Singapore. pp :,699. Rabaan AA; Gryllos, Tomas JM, Shaw JG Motility and the polar flagellum are required for Aeromonas caviae adherence to HEp-2 cells. nfection and mmunity.69:7( ). Rahrnan M, Navarro PC, Kuhn, Huys G, Swings J, Mollby R dentification and characterization of pathogenic Aeromonas veronii biovar sobria associated with epizootic ulcerative syndrome in fish in Bangladesh. Applied and Environmental Microbiology. 68:2 ( ). Robert F Freshwater fish infectious and parasitic disease. [Juli Sawyer CN, Mc Carty PL Chemistry for environmental engineering. 3rd edition. hlc Graw-Hill Book Company. Tokyo. pp: 532.

70 Slauson DO, Cooper BJ, Suter MM Mechanism of disease. 2".edition. Williams & Wilkins. Baltimore. Steel RGD, Torrie JH Prinsip dan prosedur statistika : Suatu pendekatan biometrik. Edisi ke 2, Grarnedia Pustaka Utama. Jakarta. Thrusfield M Veterinary epidemiology. 2nd. Edition. Blackwell Science Ltd. Cambridge. Tebbut THY Principles of water quality control. 4" edition. Pergamon Press. Oxford. Whiting CE, Carolane RK Fish farming and the drought. Aust.Aquacult. 4(21), Widayanti R Parasit pada ikan. Pelatihan Dasar Karantina kan. Pusat Karantina kan. PMPSDMP. Ciawi. Yunchis, 0. N Some ecological factors affecting the monogenean infection of roach. n: nvestigation of monogeneans in the USSR. Scarlato. p

71 Lampiran 1. Kualitas air dan kejadian penyakit yang ditemukan dari 15 ekor sampel ikan per minggu Tahun : 2005 LOKM z C ~~~UONG Tahun : 2005 NlTRlT JERS PERVAKT : 1. Ae ma oms bvdmphla 2Pseudomnasfhorescens &clyhgyrur sp. 5 Gvrw'actvbs sp. 6. Sepm e.q:qnie sp. OD OC ' ~

72 Lampiran 1. Lanjutan LOW1 1. HEKAS Tahun : ZOO5 Tahun : ZM5

73 Lampiran 2. Hasil pemeriksaan kualitas air dan presentasi kejadian penyakit yang ditemukan LOKM z CWMG Tahun : 2005

74 Lampiran 2. Laniutan LOKRS 3. BEKAQ Tahun : 2005 LDKA514. TmGE MUG Tahun : 2005

75 Lampiran 3. Rata-rata seluruh kualitas air dan prevalensi yang ditemukan selama 25 minggu di 4 lokasi Tahun : 2005

76 Lampiran 4. Analisis regresi dan korelasi rataan suhu air dan prevalensi Aeromonas hydrophikc No. Sampel n Rataan FnFn Xi Rataan suhu slr 23,50 23,75 24,OO 24,OO 24,50 24, ,50 24, ,25 25,25 25,50 25,50 25,75 25,OO , , ,OO 26,OO 25,75 26,OO 627,88 25, ,02 Y A.hydmphila 15,00 15,OO 15,OO 16,67 16,67 20,OO 21,67 21, ,OO 25,OO 25,OO 25,OO 26,67 28, , ,67 23, ,67 31,67 30,OO 576,67 23, ,44 XiY 352,50 356,25 360,OO 400,OO 408,33 490,OO 536,25 530,83 530,83 507,50 631, , ,50 686,67 708,33 643,75 686,67 595,OO 686,67 600,83 650,OO 693, ,42 780,OO ,67 XiXi 552,25 564,06 576,OO ,25 600, ,25 600,25 643,89 637,56 637,56 650, ,25 663,06 625,OO 663,06 663,06 650,25 663,06 663,06 676,OO 676,OO 663,06 676,OO ,02 W ,OO ,78 277,78 400,OO 469,44 469, ,OO ,OO 625,OO 71 1,11 802, ,11 544, ,ll 1002,78 900,OO ,78 pi = nxiyi - ExiYi n 1 XiXi - ( 1 Xi)(EXi) TABEL ANALSS SlDlK RAGAM SK Regresi Galat Total db JK 389,61 136,39 526,OO KT 389, F hitung 65,70 P0.05 4,28 PO.O1 7,88 Kesimpulan Tolak Ho sangat siqnifikan 40 : p l == 0 Tolak Ho bila F hitung lebih besar atau sama dengan F tabel i: pl == 0 Suhu air berpengaruh sangat signifikan pada kejadian penyakit bakterial (P> 0,Ol) Koefisien Determinasi : JWUJKT 0, % keragaman kejadian penyakit bakterial A.hydrophiia dapat diterangkan faktor suhu air

77 Lampiran 5. Analisis regresi dan korelasi rataan suhu air dan prevalensi Pseudomonas jluorescens No. Sampel n Rataan ynyn Xi RataanSuhu Air e , Y P.fluorescens , XiY , XiXi W , pi = nxiyi - ZxiYi n XiXi - ( 1 Xi)(Xi) SK Regresi Galat Total db JK KT F hitung P0.05 4,28 PO.O Kesimpulan Tolak Ho sangat signifikan 40: pl == 0 Tolak Ho bila F hitung lebih besar atau sama dengan F tabel ii: pl == 0 Suhu air berpengaruh sangat signifikan pada kejadian penyakit bakterial (P> 0,Ol) Koefisien Determinasi : JKRJKT % keragaman kejadian penyakit bakterial P.fluorescens dapat diterangkan faktor suhu air

78 Lampiran 6. Analisis regresi dan korelasi rataan suhu air dan prevalensi Argulus sp. No. Sampel zn Rataan TnFn Xi Rataan suhu air , Y Argulus sp , XiY , XiXi , YY pi = nxxiyi - ExiZY i rl : XiXi - ( 1 Xi)(xXi) TABEL ANALSS SlDlK RAGAM SK Regresi Galat Total db JK KT F hitung P0.05 4,28 PO.O Kesirnpulan Tolak Ho sangat signifikan Tolak Ho bila F hitung lebih besar atau sarna dengan F tabel Suhu air berpengaruh sangat signifikan pada kejadian (P> 0,Ol) Koefisien Determinasi : JKRJKT % keragarnan kejadian penyakit Argulus sp. dapat diterangkan oleh faktor suhu air

79 65 Lampiran 7. Analisis regresi dan korelasi rataan suhu air dan prevalensi Dactylogyrus sp. No. Sarnpel n Rataan Fnxn Xi Rataan suhu air 23,50 23,75 24,W 24,OO 24,50 24,50 24,75 24,50 24, ,25 25,25 25,50 25,50 25,75 25,OO 25,75 25,75 25,50 25,75 25,75 26,OO 26,OO 25,75 26,OO 627,88 25, ,02 Y Dactylogyrus sp. 18,33 16,67 16,67 13,33 15,OO 11,67 13, ,67 10,OO 15,OO 6,67 8,33 6,67 8,33 8,33 6,67 8,33 6,67 8,33 6,67 3,33 10,OO 5,OO 8,33 253,33 10, ,78 XiY 430,83 395,83 400,OO 320,OO 367,50 285,83 330,OO 245,OO 285,83 253,75 378, , ,OO 214,58 208,33 171,67 214,58 170,OO 214,58 171,67 86,67 260,OO 128,75 216, ,67 XiXi 552,25 564,06 576,OO 576,OO 600,25 600,25 612,56 600,25 600,25 643,89 637,56 637,56 650,25 650,25 663,06 625,OO 663,06 663,06 650,25 663,06 663, ,OO 663,06 676,OO ,02 W 336,ll 277,78 277,78 177,78 225,OO 136,ll 177,78 100,OO 136,ll ,OO 44,44 69,44 44, ,44 44,44 69,44 44,44 69,44 44,44 11,ll 100,OO 25,OO 69, ,44 pi = nzxi~i - ExixYi n 1 XiXi - (2: Xi)(zXi) TABEL ANALSS SlDlK RAGAM SK Regresi Galat Total db JK 265,28 112,06 377,33 KT 265,28 4,87 F hitung 54,45 P0.05 4,28 PO.01 7,88 Kesimpulan Tolak Ho sangat signifikan Ho: pi ==0 Hi: pl =/=0 Tolak Ho bila F hlung lebih besar atau sama dengan F tabel Suhu air berpengaruh sangat signifikan pada kejadian penyakit (P> 0,Ol) Koefisien Determinasi : JKRJKT ,30% keragaman kejadian penyakl Dactylogyms sp. dapat diterangkan oleh faktor suhu air

80 Lampiran 8. Analisis regresi dan korelasi rataan suhu air dan prevalensi Gyrodactylus sp. No. Sampel n Rataan FnFn Xi Rataan suhu air 23,50 23, ,OO 24,50 24,50 24,75 24,50 24,50 25,38 25,25 25,25 25,50 25,50 25,75-25,OO 25,75 25,75 25,50 25,75 25,75 26,OO 26,OO 25,75 26,OO 627, ,02 Y Gyrodactylus sp. 13,33 16,67 16,67 15,OO 13,33 13,33 15,OO 13,33 8,33 10,OO 10,OO 6,67 6,67 10,OO ,33 8,33 8,33 5,OO ,33 3,33 3,33 246,67 9, XiY 313,33 395,83 400,OO ,67 326,67 371,25 326,67 204,17 253,75 252,50 168,33 170,OO 255,OO 171,67 333,33 214,58 214,58 127,50 214,58 171,67 173,33 216,67 85,83 86, ,58 XiXi YY 552,25 177,78 564,06 277,78 576,OO 277,78 576,OO 225,OO 600,25 177, ,78 612,56 225,OO 600,25 177,78 600,25 69, ,OO 637,56 100,OO 637,56 44, ,44 650,25 100,OO 663,06 44,44 625,OO 177, ,44 663,06 69,44 650,25 25,OO 663,06 69,44 663,06 44,44 676,OO 44,44 676,OO 69,44 663,06 11,11 676,OO 11, , ,11 pi = nzxiyi - ZxizYi 1 n ): XiXi - ( 1 Xi)(xXi) SK Regresi Galat Total db JK ,lO 377,33 KT 262,23 5,OO F hitung 52,40 P0.05 4,28 PO.O Kesimpuian Tolak Ho sang at signifikan Ho: pl== 0 Hi: pl =/=0 Tolak Ho bila F hitung lebih besar atau sama dengan F tabel Suhu air berpengaruh sangat signifikan pada kejadian penyakii (P> 0,Ol) Koefisien Determinasi : JKRJKT 0, ,5056 keragaman kejadian penyakit parasit Gyrodscfylus sp dapat diterangkan oleh faktor suhu air

81 67 Lampiran 9. Analisis regresi dan korelasi rataan suhu air dan prevalensi Saprolegnia sp. No. Sampel n Rataan TnTn Xi Rataan suhu air.23,50 23,75 24,OO 24,OO 24,50 24,50 24,75 24,50 24,50 25,38 25,25 25,25 25,50 25,50 25,75 25,OO ,75 25, ,75 26,OO '26,OO 25,75 26,OO , ,02 Y Saprolegnia sp. 8,33 3,33 5,OO 3,33 3,33 3,33 5,OO 3,33 3,33 3,33 1,67 3,33 3,33 3,33 3,33 1,67 3,33 3,33 1,67 3,33 1,67 1,67 1,67 3,33 3,33 81,67 3, ,44 XiY 195,83 79,17 120,OO 80,OO 81,67 81,67 123,75 81,67 81,67 84,58 42,08 84,17 85,OO 85,OO 85,83 41,67 85,83 85,83 42,50 85,83 42,92 43,33 43,33 85,83 86, ,83 XiXi 552,25 564,06 576,OO 576,OO 600,25 600,25 612,56 600,25 600,25 643,89 637,56 637,56 650,25 650,25 663,06 625,OO 663,06 663,06 650,25 663,06 663,06 676,OO 676,OO 663,06 676,OO YY ,ll 25,OO 11,ll 11,ll 11,ll 25,OO 11,ll 11,ll 11,ll 2,78 11,ll 11,ll 11,ll 11,ll 2,78 11,ll 11,11 2,78 11,ll 2,78 2,78 2,78 11,ll 11,ll pi = nexiyi - 1 xipi n 1 XiXi - ( 1 Xi)(EXi) TABEL ANALSS SlDlK RAGAM SK Regresi Galat Total db JK , KT F hitung P0.05 4,28 PO.01 7,88 Kesimpulan Tolak Ho sangat signifikan lo: pl ==0 ii: pl =/=O Tolak Ho bila F hitung lebih besar atau sama dengan F tabel Suhu air berpengaruh sangat signifikan pada kejadian penyakit (P> 0,Ol) Koefisien Determinasi : JKFUJKT 0, ,31% keragaman kejadian penyakit Saprolegniasis dapat diterangkan oleh faktor suhu air

82 Lampiran 10. Data pemantauan hama dan penyakit ikan pada ikan hias yang dilalulintaskan melalui Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta Tahun 2005 Ehlh Suhu Air Hama Penyakit JANUAR 2526 A. pdrqphda A. canar Plm'dmonas shipbids Awomonec q FlaxibacdPr Aaci$ogms q Tridwrdina F'orficolla cwiopbirus mitrflis Agdas Lerneu Cop~poda 5i,proegn&2 PEBRUAR A. hydrophila A. caviar Pdeis'mnas shigalloich Aeronvms sp Fknrbacfrr Dacijdoglrus muli$is ~rodacblusp Trichordina Vorfice Ua k MiopiJnms ml6plic Argulw Lrnra aprdepn MARET A. caviae A. hydrophils A. pucafn A. wrbia Psoudomna makophyb P. dim'mmta P. alcaigrnr s P.$uorrjcons Alcaliggnrsjorcab's Lactobacillus sp. Tn'chorlfina chflpopfhirus mrlq~yis )acf~40~rus wlhj'ibj Argulus APRL A caviae A hydrophila A pucaia A sorbia Psrmdomona mallophyla P. dimmm?a P. alcuiganrs P.jluorrxons AdcaBgmm$rcabj Laciobac illus sp. Edc honiina khibyopfhirus m&flis Qc@logrus m6yilis &plus ME A. cavias A. hydrophila A. pucata A. xrbia Psoudomnas malfoph@ P. dimimifa P. alcaigums P.jluor~mns AkaligrnesfbrcaliJ Lndobacillus p. Trichordina c hfhyop fhu~ mlfifilis hci$ogy m s muli$lis Armlus JUM A cavdae A hjdmphila Apucata A wrbia Pseudornonas mlfophyh P. dinim'ta P. alcaiganes P.f[wrrscpnr Akaligunos/orc& hdohcillus y. Trichordina lchfhyopfh~u~ mu&@ljs l;bcfilogyrus ml@yis /b.,pluj?hlan Suh~ Air Hama PqMt JlLl A. canao A. hydrqhira A pmta A. mbia Psludonmas mkphjla P. &mi& P. dcaigonos P. alcaigmms P.$xonscans Aloaligsnesforcal~s Lucfobaciflw ~ p. ~richordma c.lsthlopthirus mltgmis Dadylog)lms&plijlis us AGUSWS SEPTEMBER A cam'ae A. hydrophila A. hydrophila A. cavisr A. p ~ d a Pris'mna sbigelloidj A. srbh Arm mnal sp Psudonvnas murophyla Floxibacfer P. dim&b Dactybglrvs mlfrfjhj Gyrcdacfp!us JP P.jfuone+ons Tfichordina Akdgrnufircdis Vorticona LrdokiYUs sp chtiopt hirw dhfilis ~?~hordinff ~rgulus khtwptlapua mltlfilis Lgrnea hzctylaglms multfilis Gpepoda rgulus &prolegnia A hydrophila A coriae Pkisimonac jhigefoads Amnwnas sp FbrjbacfPr hp!ogms mltifdiij Qradacbbs jp bic hoxfina Vortierlla chtiopthims mulfifilis ~rgulus fip~olegnia OKMBER A. hydrophila A. cavia Pdrismrms shigelloids Agromms sp Fdrxibacf~r Dpcfylop m s md$!is Cigrodacfylu s sp Tricbrdim Vorticr lla khfiapthirus nrmlb~is Argulus Lrnra Copepoda Saprdsgnia NOPEMBEB A hj dmphila A caviae Pleisimonas shiglloids Ammoms q Rexfbacfer DzQlogyrus mt$ltis Qmdacfilus q Trichordina Vortiealk chthpthims mlfijws * ~ l w Lmra C6pepoda xapdegnia DESEMBER 25-26

83 Lampiran 1 1. Rataan data penelitian selama bulan Februari s/d April 2005

84 Larnpiran 12. Rataan data penelitian selama bulan Mei s/d Juli 2005

85 Lampiran 1 3. Rataan data penelitian selama Agustus 2005

86 Lampiran 14 : Metoda pemeriksaan sampel ikan Pemeriksaan bakteri. Alat dan bahan No Alat Dissecting set Jarum ose Cover glass Objek glass Petridisk Bunsen Mikropipet Vortex Neraca elektrik Mikroskop (stereo, binokuler, trinokuler) Centrifuge nkubator Refrigerator Spider Penggerus Pipet Microtube Laminar air flow Tabung reaksi Pewarnaan Gram Bahan kan sarnpel NaCl fisiologis steril Aquades steril Alkohol70 % KOH3%&KOH10% Larutan H202 3 % dan 30 % Parafin cair Media Triptic Soy Agar (TSA) 1.5 %, 3 % dan 6.5 % Larutan Kovacs Kertas saring Stick oxidase Escullin Media OF, Media M0 dan SM Media Simmons Citrate Agar (SCA) Triple Sugar ron Agar (TSA) Nutrien gelatin Media glukosa, sukrosa, sukrosa 1 dan maltosa Media MR dan Media VP Broth Media Blood Agar Base Lysin ron Agar (LA) dan Kingler ron Agar (KA) Media uj i nitrat Nutrient Agar (NA) Mc. Conkey Agar Gram A (larutan kristal violet) Gram B (larutan iodine) Gram C (Alkohol70 %) Gram D (Safranin)

87 11. Tahapan pemeriksaan Untuk mengetahui bakteri yang menginfeksi ikan diperlukan beberapa langkah. Langkah-langkah tersebut adalah : 2.1. Melakukan pengamatan fisik terhadap kondisi tubuh ikan sampel, dengan cara: a. ~kn~ukur panjang ikan b. Menimbang berat ikan c. Menentukan jenis kelamin ikan d. Memeriksa kondisi ikan dan kelainan fisik (ekstemal) yang meliputi kulit, insang, lendir, sirip, dan lain-lain. e. Memeriksa kelainan organ dalam (internal) yang meliputi hati, ginjal, limpa, usus, jantung, dan lain-lain Setelah melakukan pemeriksaan kondisi tubuh ikan, kemudian dilanjutkan dengan pengarnbilan sampel untuk pemeriksaan bakteri, dengan melakukan langkah-langkah seperti berikut : a. Mengambil organ insang dan hepatopankreas secara aseptis untuk melakukan pengujian bakteri b. Dengan menggunakan ose yang sebelurnnya dibakar sampai ujungnya merah diatas nyala bunsen, ose ditempelkan pada bagian organ lalu digoreskan pada media agar TSA dengan cara dioleskan secarz zig-zag didekat nyala bunsen. c. Sedangkan daging ikan digerus sampai halus ditambah NaCl fisiologis kemudian dicentrifus 1000 rpm selama 15 menit. Selanjutnya supernatan diambil dengan menggunakan mikropipet untuk diteteskan pada media umum yaitu larutan TSA untuk ditumbuhkan. d. Selanjutnya diinkubasi pada suhu 37 C selama jam. e. Bakteri yang turnbuh dari hasil inkubasi selama 24 jam, dimurnikan lagi berdasarkan warna, bentuk dan ukuran koloni yang ada menggunakan TSA 1.5 %, 3 % dan 6.5 % agar dapat dilihat keefektifan turnbuhnya. Lalu diinkubasi lagi pada suhu 37 C selama 24 jam.

88 111. Tahapan identifikasi Setelah diperoleh koloni bakteri, maka dilakukan uji biokimia terhadap koloni tersebut. Uji-uji yang dilakukan meliputi uji utama, yang merupakan uji biokimia, yang terdiri dari uji Gram; uji katalase; uji oksidase; uji motilitas dengan cara hanging drop (tetes gantung); uji motilitas dengan media kultur; uji OF (oksidatiflfermentatif) dan uji glukosa, dan kemudian dilanjutkan dengan uji lanjutan. Tujuan dari uji utama adalah untuk menentukan golongan suatu bakteri, sedangkan uji lanjutan bertujuan untuk menentukan spesies suatu bakteri. Uji lanjutan terdiri dari uji haemolysis, uji nitrat, uji lysin / LA, uji TSAKA, uji TSA, uji Mc. Conkey, uji gelatin, uji MRNP, uji sukrosa, uji maltosa dan uji manitol dan uji escullin. A. Uji utama 1. Uji Gram Pewarnaan Gram Tujuan pewarnaan Gram adalah untuk mengetahui apakah suatu bakteri termasuk bakteri Gram positif atau bakteri Gram negatif. Pewarnaan Gram dilakukan dengan cara sebagai berikut : menteteskan aquades secara terpisah sebanyak 3 tetes diatas kaca preparat. > mengambil 1 (satu) ose bakteri, kemudian suspensikan dengan tetesan pertarna. Selanjutnya dilakukan pengenceran. > kemudian difiksasi diatas nyala bunsen agar bakteri menempel pada kaca preparat tanpa merusak sel bakteri. setelah itu ditetesi dengan kristal violet A selama 1 menit, lalu dicuci dengan air mengalir dan dikering-anginkan tetesi dengan iodine selama 1 menit, kemudian dicuci dengan air mengalir dan dikering-anginkan > tetesi dengan alkohol 70 % selama 30 detik, kemudian dicuci dengan air mengalir dan dikering-anginkar~ > tetesi dengan safranin selama 2 menit, kemudian dicuci dengan air mengalir dan dikering-anginkan

89 > setelah itu dilakukan pengamatan di bawah mikroskop dengan pembesaran 40x x, jika berwarna biru berarti Gram positif (+) dan jika berwarna merah berarti Gram negatif (-). pewarnaan Gram dapat juga digunakan untuk mengetahui bentuk dari bakteri. KOH Uji KOH merupakan salah satu cara untuk menentukan bakteri tersebut termasuk gram positif (+) atau gram negatif (-). Uji KOH dilakukan dengan cara sebagai berikut : > nienteteskan KOH 3 % dan 30 % di atas objek glass > kemudian mengambil satu ose bakteri dicelupkan dalarn larutan KOH 3% lalu diangkat, ulangi beberapa kali > kemudian dipindahkan ke larutan KOH 30%, jika hasil pengamatan 2. Uji katalase berlendir berarti bakteri tesebut adalah Gram negatif (-), bila tidak berlendir berarti bakteri tersebut adalah Gram positif (+). Uji ini adalah untuk mengetahui ada tidaknya enzim katalase pada bakteri. Uji katalase dilakukan dengan cara sebagai berikut : P larutan H202 3% dan 30% diteteskan pada objek glass. > setelah itu satu ose bakteri dicelupkan kedalam larutan H202 3% dilanjutkan ke larutan H202 30%; bila bakteri terlihat menghasilkan gelembung (busa) maka bakteri tersebut bersifat katalase positif (+); jika tidak menghasilkankan gelembung (busa) maka bakteri tersebut bersifat katalase negatif (-). 3. Uji oksidase Uji oksidase bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya enzim oksidase pada bakteri. Oksidase bersifat positif apabila "stick oksidase" kertas saring berubah warna menjadi ungu, dan oksidase negatif apabila tidak berubah warna. Uji oksidase dilakukan dengan cara sebagai berikut : > mengambil inokulum bakteri dari media TSA dengan jarum ose.

90 3 kemudian dioleskan pada kertas saring yang telah ditetesi dengan larutan kovacs. 3 lalu dioleskan pada chytochrom stick oxidase. mengamati perubahan warna. Apabila stick oxidaselkertas saring berubah warna menjadi bidungu pekat maka berarti oksidase positif (+), dan apabila tidak berubah warna, maka berarti oksidase negatif (-). 4. Uji motilitas dengan cara "hanging drop" (tetes gantung) Tujuan dari uji motilitas adalah untuk mengetahui pergerakan bakteri. Uji dilakukan dengan cara sebagai berikut : 3 menetesi cover glass dengan aquades, kemudian suspensikan satu ose bakteri dalam aquadest tersebut. 3 menempelkan objek glass dengan cekungan ditengahnya pada cover glass (tetesan hams tetap dalam cekungan, tidak menyentuh slide). 3 amati dibawah mikroskop untuk melihat pergerakan bakteri. 5. Uji motilitas dengan media kultur Uji ini juga bertujuan untuk mengetahui pergerakan bakteri. Media yang digunakan untuk uji ini adalah media SM (Sulfit ndole Motility) dan M0 (Motility ndole Omithin). Uji ini dilakukan dengan cara sebagai berikut : 3 satu ose bakteri secara tegak lurus diinokulasikan ditengah media. P diinkubasi pada suhu 37'~ selama 24 jam. 3 bakteri motil akan tumbuh menyebar dari garis tusukan, sedangkan bakteri non motil hanya turnbuh pada garis tusukan. 6. Uji O/F (oksidatiflfermentatif) Uji O/F bertujuan untuk mengetahui sifat oksidasi dan fermentasi bakteri terhadap glukosa. Uji O/F dilakukan dengan cara sebagai berikut : bakteri pada dua media O/F dalam tabung reaksi diinokulasikan. 3 menambahkan parafin cair steril pada salah satu tabung reaksi untuk menghalangi hubungan dengan udara. P diinkubasi pada suhu 37'~ selama 24 jam. > bakteri bersifat fermentatif jika kedua media berubah warna menjadi kuning, sedangkan bakteri bersifat oksidatif; jika media yang terbuka benvarna kuning sedangkan media yang tertutup parafin tidak berubah;

91 dan jika kedua tabung tidak berubah wama (hijau) maka bersifat not testable. 7. Uji glukosa Pengujian ini bertujuan untuk mendeterminasi kemampuan bakteri dalam mencemalmendegradasi glukosa dan menghasilkan asam (acid). Uji glukosa dilakukan dengan cara sebagai berikut : > mengambil satu ose bakteri dengan jarum ose steril. Masukkan ke tabung kocok dengan ose tersebut kemudian tutup kembali. > diinkubasi pada suhu 37'~ selama 24 jam. > hasil pengujian dapat diamati berdasarkan perubahan wama. > jika warna media berubah dari merah menjadi kuning, berarti positif (+) sedangkan jika benvarna merah berarti negatif (-). B. Uji Lanjutan 1. Uji haemolisis Uji haemolisis adalah uji yang dilakukan untuk mengetahui kemampuan bakteri dalam mencerna sel darah merah. Dari uji tersebut dapat diketahui apakah bakteri tersebut a haemolisin, P haemolisin, atau y haemolisin. Dikatakan a haemoiisin apabila wama agar disekeliling koloni memudar tetapi tidak terdapat clear zone, p haemolisin apabila wama agar di sekeliling koloni memudar dan terdapat clear zone, dan y haemolisin apabila tidak terdapat perubahan pada agar. Uji haemolisis dilakukan dengan cara sebagai berikut : > mengambil satu ose bakteri dari biakan murni kemudian goreskan pada permukaan blood agar secara zig-zag. > diinkubasi pada suhu 37'~ selama 24 jam > lalu dilakukan pengamatan. 2. Uji nitrat Tujuan uji nitrat adalah untuk mengetahui kemampuan suatu bakteri mengubah nitrat menjadi nitrit. Uji nitrat dilakukan dengan cara sebagai berikut : > mengambil satu ose bakteri dengm janim ose steril, lalu di masukkan ke. dalam tabung kocok bersarna-sama dengan ose tersebut, kemudian tutup kern bali.

92 > diinkubasi pada suhu 37'~ selama 24 jam. > mengamati perubahan warna; jika warna media berubah menjadi merah, maka artinya positif (+) dan apabila tidak terjadi perubahan warna (kuning bening) maka berarti negatif (-). 3. Uji Simrnon's citrate Tujuan dari uji sitrat adalah untuk mengetahui kemampuan bakteri untuk memanfaatkan sitrat sebagai sumber karbon. Uji sitrat dilakukan dengan cara sebagai berikut : > mengambil satu ose bakteri dengan jarum ose steril, lalu digoreskan pada permukaan miring agar. > diinkubasi pada suhu 37'~ selama 24 jam. > mengamati perubahan warna; jika warna media berubah menjadi biru, maka berarti positif (+), dan jika warna media tetap hijau, maka berarti negatif (-). 4. Uji lysin / LA Tujuan dari uji lysin adalah untuk mengetahui kemampuan bakteri memproduksi lysin. Uji lysin dilakukan dengan cara sebagai berikut : > mengambil satu ose bakteri dengan jarum ose steril, lalu digoreskan pada permukaan miring agar. > diinkbbasi pada suhu 37'~ selama 24 jam. > mengamati perubahan warna; jika bakteri tumbuh pada permukaan agar dan warnanya ungu tua, maka artinya positif (+) dan jika tidak terdapat perubahan, maka berarti negatif (-). 5. Uji TSA 1 KA Tujuan dilakukan uji TSAKA adalah untuk mendeterminasi kemampuan bakteri menggunakan gabungan beberapa karbohidrat khusus Uji TSA dilakukan dengan cara sebagai berikut : mengambil satu ose bakteri dengan jarum ose steril, lalu digoreskan pada permukaan miring agar. P diinkubasi pada suhu 37'~ selama 24 jam.

93 P mengamati perubahan baik slant maupun tusukkan jika berubah merah berarti reaksi alkali (K), jika berubah kuning berarti reaksi asam (A) dan jika tidak berubah maka berarti not reaction (NR). 9 Mengamati pembentukan gas pada tusukan jika terbentuk gas (G). 6. Uji Triptic Soy Agar (TSA) Tujuan dari uji ini adalah untuk melihat kemampuan bakteri untuk tumbuh pada suhu tertentu. Uji TSA dilakukan dengan cara sebagai berikut : P mengambil satu ose bakteri dengan jarum ose steril, lalu digoreskan pada permukaan agar secara zig-zag. P diinkubasi pada suhu 22 C dan 42 C selama 24 jam. > hasil pengujian dapat diamati berdasarkan tumbuh tidaknya bakteri pada media jika tumbuh maka berarti positif (+) dan jika tidak tumbuh berarti negatif (-). 7. Uji Mc. Conkey Mc. Conkey agar merupakan meedia selektif untuk mengisolasi bakteri Salmonella, Shigella dan bakteri berbentuk coli. Uji NA dilakukan dengan cara sebagai berikut : 9 mengambil satu ose bakteri dengan jarum ose steril, lalu digoreskan pada permukazn agar secara zig-zag. P diinkubasi pada suhu 37 C selama 24 jam. 9 hasil pengujian dapat diamati berdasarkan tumbuh tidaknya bakteri pada media, jika tumbuh maka artinyapositif (+), dan jika tidak turnbuh berarti negatif (-). 8. Uji gelatin Tujuan dari uji gelatin adalah untuk mengamati produksi enzim proteolitik gelatinase. Uji gelatin dilakukan dengan cara sebagai berikut : 9 menginokulasi medium gelatin dalam tabung dengan cara tusukan tegak. 9 diinkubasi pada suhu 37 C selama 24 jam. P setelah itu dimasukkan dalam refrigerator selama 30 menit

94 > hasil pengujian dapat dibaca jika terjadi pencairan medium maka reaksi positif (+) dan jika medium memadat pada suhu rendah maka reaksi negatif (-). 9. Uji MRVP ~uju& dari uji ini adalah untuk melihat kemampuan bakteri memfermentasi glukosa untuk menghasilkan asam. Uji MR 1 VP dilakukan dengan cara sebagai berikut : 9 menginokulasikan bakteri dalam media MR 1 VP 9 diinkubasi pada suhu 37 C selama 24 jam > setelah itu menambahkan indikator methyl red sebanyak 5 tetes untuk MR, sedangkan untuk VP tambahkan 6 tetes reagen a - Napthol 40 % dan 1 tetes KOH 40 %, kemudian kocok. 9 mengamati perubahan warna; jika permukaan berwarna merah, maka berarti positif (+) sedangkan jika permukaan berwarna kuning, maka artinya negatif (-). 10. Uji sukrosa Uji sukrosa dilakukan dengan cara sebagai berikut : > mengambil satu ose bakteri dengan jarum ose steril, kemudian masukkan ke dalam tabung kocok bersama-sama dengan jarum ose, lalu ditutup kembali. P diinkubasi pada suhu 37 C selama 24 jam. > mengamati perubahan warna; jika warna media berubah, maka berarti positif (+) sedangkan jika warna tidak berubah (ungu), maka artinya negatif (-). 11. Uji maltosa dan uji manitol Uji maltosa dilakukan dengan cara sebagai berikut : 9 mengambil satu ose bakteri dengan jarum ose steril, kemudian dimasukkan ke dalam tabung kocok bersama-sama dengan ose tersebut, lalu tutup kembali. P diinkubasi pada suhu 37 C selama 24 jam. > mengamzti perubahan warna; jika warna media berubah menjadi kuning, lnaka artinya positif (-k) sedangkan jika warna tidak berubah (merah muda), maka berarti negatif (-).

95 12. Uji escullin Uji escullin dilakukan dengan cara sebagai berikut : P mengambil satu ose bakteri dengan jarum ose steril, lalu dimasukkan ke dalarn tabung kocok bersam-sama dengan ose tersebut, kemudian tutup kembali. 9 diinkubasi pada suhu 37 C selama 24 jam. > mengamati perubahan warna yang terjadi; jika warna media berubah menjadi kuning, maka artinya positif (+) dan jika warna tidak berubah (merah muda), maka artinya negatif (-). Pemeriksaan parasit eksternal. Alat dan Bahan No Alat Dissecting set Narnpan bedah Neraca elektrik Mistar Deck glass Objek glass Bunsen Mikroskop Mounting Pewarnaan Bahan kan sampel NaCl fisiologis steril Aquades Alkohol70% Formalin 10% KOH 10% Alkohol bertingkat berupa alkohol 35%, 50%, 70% dan 90% Xylol Entellan Pewarna giemsa dan carmin red 11. Tahapan pemeriksaan 2.1. Melakukan pengamatan secara fisik terhadap kondisi tubuh ikan sampel antara lain dengan cara: a. Mengukur panjang ikan b. Menimbang berat ikan c. Menentukan jenis kelamin ikan d. Memeriksa kondisi ikan dan kelainan fisik (eksternal) yang meliputi kulit, insang, lendir, sirip, dan lain-lain. e. Memeriksa kelainan organ dalarn (internal) yang rneliputi hati, ginjal, limpa, usus, jantung, dm lain-lain.

96 2.2. Melakukan nekropsi berupa pemeriksaan parasit eksternal, dengan melakukan langkah-langkah sebagai berikut : a. Mengambil kerokan lendir kulit dari permukaan tubuh serta sirip dan potongan insang (eksternal), sedangkan untuk organ dalam (internal) dilakukan pembedahan untuk melihat kelainan patologi pada organ dalam b. Kemudian diletakkan pada slidelobjek glass yang telah diberi NaCl fisiologis c. Mengamati dengan mikroskop, dengan pembesaran 40 x x Melakukan pewarnaan parasit. Prosedur yang dilakukan adalah sebagai berikut: a. Pewarnaan Dactylogyrus sp, Gyrodactylus sp. - melakukan fiksasi pada potongan insang dengan menggunakan alkohol 70 % selama 3 menit - mewarnai preparat dengan meneteskan pewarna giemsa - kemudian dicuci dengan air mengalir - lalu dilakukan mounting menggunakan entellan. b. Pewarnaan Argulus sp - melakukan fiksasi menggunakan forrnalin 10% selama 3 menit - kemudian preparat ditetesi larutan KOH 10 % selama 3 inenit - lalu dilanjutkan dengan proses dehidrasi menggunakan alkohol bertingkat yaitu dengan alkohol 35 %, 50 %, 70% dan 90 %, selama 1-3 menit - setelah itu dilakukan clearing menggunakan xylol selama 1-3 menit - kemudian melakukan mounting menggunakan entellan 111. Angka Prevalensi kejadian penyakit parasiter Setelah didapatkan hasil dan jumlah perhitungan parasit, kemudian dihitung jumlah prevalensi penyakit yang disebabkan parasit dengan menggunakan rumus : Jumlah kan yang Terinfeksi Prevalensi (%) = x 100% Jumlah kan yang Diperiksa

97 Pemeriksaan fungi eksternal. Alat dan Bahan No Alat Dissecting set Narnpan bedah Neraca elektrik Mistar Deck glass Objek glass Bunsen Mikroskop Bahan kan sampel NaCl fisiologis steril Aquades Alkohol70% Formalin 10% KOH 10% Alkohol bertingkat berupa alkohol 35%, 50%, 70% dan 90% Xylol 11. Tahapan pemeriksaan 2.1. Melakukan pengamatan terhadap kondisi tubuh ikan sampel antara lain : a. Mengukur panjang ikan b. Menimbang berat ikan c. Manentukan jenis kelamin ikan d. Memeriksa kondisi ikan dan kelainan fisik (eksternal) yang meliputi kulit, insang, lendir, sirip, dan lain-lain. e. Memeriksa kelainan organ dalam (internal) yang meliputi hati, ginjal, limpa, usus, jantung, dan lain-lain Melakukan nekropsi berupa pemeriksaan fungi eksternal, dengan cara: a. Mengarnbil kerokan lendir kulit dari permukaan tubuh serta sirip dan potongan insang (eksternal), sedangkan untuk organ dalam (internal) dilakukan pembedahan untuk melihat kelainan patologi pada organ dalam b. Kemudian diletakkan pada slide 1 objek glass yang telah diberi NaCl fisiologis c. Diamati dengan mikroskop pada pembesaran 40 x x Angka Prevalensi kejadian penyakit mikotik Setelah didapatkan hasil dan jumlah perhitungan fungi, kemudian dihitung jumlah prevalensi periyakit yang disebabkan fungi dengan menggunakan rumus :

98 Jumlah kan yang Terinfeksi Prevalensi ( Oh) = x 100% Jumlah kan yang Diperiksa Pemeriksaan histopatologi kan yang telah dieuthanasia dengan suhu rendah, kemudian difiksasi ke dalarn larutan buffer formalin 10 % Tubuh ikan di iris memanjang dan diproses secara rutin untuk pembuatan sediaan histopatologi di Bagian Patologi FKH-PB. Sediaan histopat diwarnai dengan pewarna umum jaringan Heamtoxyllin- Eosin dan diamati di bawah mikroskop.

99 Larnpiran 15. Hasil isolasi dan identifikasi bakterj Bakteri Aerornonas sp. Pseudornonas sp. Bentuk Batang Batang Gram - - Katalase + + Oksidase + + UJ UTAMA Motilitas Tetes Gantung Media Kultur F F 0 Glukosa Bakteri Aeronronas hydrophila Pseudornonas fluorescens Hemolisis + -- Nitrat Citrat + Lysin - -- TSAKA UJ LANJUTAN TSA Mc.Conkey + Gelatin + + MRNP + Sukrosa + + Maltosa + + Manitol + Escullin

100 Lampiran 16. Data curah hujan Data Curah Hujan tahun 2005 Wilayah Bekasi Sumber : Badan Meteorologi dan Geofisika Data Curah Hujan Tahun 2005 Wtlayah Tangerang Jan lpeb lmar lapr lmei ljun ljul lags lsep lokt lnop ldes (22Z ( )61R ) Sumber. Badan Meteorologi dan Geofisika Pos Hujan : Cibinong Tahun 2005 DATA CURAH HUJAN Sumber. Badan Meteorolo~i d~n Geofisika

101 Larnpiran 16. Lanjutan Pos Hujan : Bogor Tahun 2005 DATA CURAH HUJAN Sumber : Badan Meteorologi dan Geofisika

Di dalam pelaksanaannya, petugas karantina ikan hams mengetahui jenisjenis

Di dalam pelaksanaannya, petugas karantina ikan hams mengetahui jenisjenis PENDAHULUAN Latar Belakang Kegiatan perikanan di Indonesia terus mengalami kemajuan dengan semakin meningkatnya lalu lintas komoditas perikanan antar pulau maupun antar negara. Kegiatan ekspor perikanan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. 2. Parameter kimia (ph, oksigen terlarut, kadar logam dm sebagainya. j

TINJAUAN PUSTAKA. 2. Parameter kimia (ph, oksigen terlarut, kadar logam dm sebagainya. j TNJAUAN PUSTAKA Kualitas Air dan Kesehatan kan Studi mengenai penyebaran penyakit pada suatu populasi sangat membutuhkan pemahaman mengenai asosiasi atau hubungan-hubungan yang terjadi antara inang, agen

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini, data yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabel dan grafik. Penyajian grafik dilakukan berdasarkan variabel konsentrasi terhadap kedalaman dan disajikan untuk

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Kadar Oksigen Terlarut Hasil pengukuran konsentrasi oksigen terlarut pada kolam pemeliharaan ikan nila Oreochromis sp dapat dilihat pada Gambar 2. Dari gambar

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Amonia Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diperoleh data berupa nilai dari parameter amonia yang disajikan dalam bentuk grafik. Dari grafik dapat diketahui

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Fisika Kimia Air Parameter fisika kimia air yang diamati pada penelitian ini adalah ph, CO 2, NH 3, DO (dissolved oxygen), kesadahan, alkalinitas, dan suhu. Pengukuran

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kualitas Air Kualitas hidup ikan akan sangat bergantung dari keadaan lingkunganya. Kualitas air yang baik dapat menunjang pertumbuhan, perkembangan, dan kelangsungan hidup

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil 4.1.1 Kualitas Air Kualitas air merupakan parameter lingkungan yang memegang peranan penting dalam kelangsungan suatu kegiatan budidaya. Parameter kualitas air yang

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pertumbuhan Mikroalga Laut Scenedesmus sp. Hasil pengamatan pengaruh kelimpahan sel Scenedesmus sp. terhadap limbah industri dengan dua pelakuan yang berbeda yaitu menggunakan

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Hasil Berdasarkan hasil yang diperoleh dari kepadatan 5 kijing, persentase penurunan total nitrogen air di akhir perlakuan sebesar 57%, sedangkan untuk kepadatan 10 kijing

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil Berikut ini adalah hasil penelitian dari perlakuan perbedaan substrat menggunakan sistem filter undergravel yang meliputi hasil pengukuran parameter kualitas air dan

Lebih terperinci

PERANAN MIKROORGANISME DALAM SIKLUS UNSUR DI LINGKUNGAN AKUATIK

PERANAN MIKROORGANISME DALAM SIKLUS UNSUR DI LINGKUNGAN AKUATIK PERANAN MIKROORGANISME DALAM SIKLUS UNSUR DI LINGKUNGAN AKUATIK 1. Siklus Nitrogen Nitrogen merupakan limiting factor yang harus diperhatikan dalam suatu ekosistem perairan. Nitrgen di perairan terdapat

Lebih terperinci

2.2. Parameter Fisika dan Kimia Tempat Hidup Kualitas air terdiri dari keseluruhan faktor fisika, kimia, dan biologi yang mempengaruhi pemanfaatan

2.2. Parameter Fisika dan Kimia Tempat Hidup Kualitas air terdiri dari keseluruhan faktor fisika, kimia, dan biologi yang mempengaruhi pemanfaatan 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Chironomida Organisme akuatik yang seringkali mendominasi dan banyak ditemukan di lingkungan perairan adalah larva serangga air. Salah satu larva serangga air yang dapat ditemukan

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3 Data perubahan parameter kualitas air

4 HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3 Data perubahan parameter kualitas air 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Kualitas Air Kualitas air merupakan faktor kelayakan suatu perairan untuk menunjang kehidupan dan pertumbuhan organisme akuatik yang nilainya ditentukan dalam kisaran

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kelangsungan Hidup (%) BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kelangsungan Hidup (SR) Kelangsungan hidup merupakan suatu perbandingan antara jumlah organisme yang hidup diakhir penelitian dengan jumlah organisme

Lebih terperinci

BY: Ai Setiadi FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSSITAS SATYA NEGARA INDONESIA

BY: Ai Setiadi FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSSITAS SATYA NEGARA INDONESIA BY: Ai Setiadi 021202503125002 FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSSITAS SATYA NEGARA INDONESIA Dalam budidaya ikan ada 3 faktor yang sangat berpengaruh dalam keberhasilan budidaya, karena hasil

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 PENELITIAN PENDAHULUAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 PENELITIAN PENDAHULUAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN.1 PENELITIAN PENDAHULUAN Penelitian pendahuluan dilakukan untuk menentukan titik kritis pengenceran limbah dan kondisi mulai mampu beradaptasi hidup pada limbah cair tahu. Limbah

Lebih terperinci

PENENTUAN KUALITAS AIR

PENENTUAN KUALITAS AIR PENENTUAN KUALITAS AIR Analisis air Mengetahui sifat fisik dan Kimia air Air minum Rumah tangga pertanian industri Jenis zat yang dianalisis berlainan (pemilihan parameter yang tepat) Kendala analisis

Lebih terperinci

MANAJEMEN KUALITAS AIR

MANAJEMEN KUALITAS AIR MANAJEMEN KUALITAS AIR Ai Setiadi 021202503125002 FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS SATYA NEGARA INDONESIA Dalam budidaya ikan ada 3 faktor yang sangat berpengaruh dalam keberhasilan budidaya,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. memiliki empat buah flagella. Flagella ini bergerak secara aktif seperti hewan. Inti

TINJAUAN PUSTAKA. memiliki empat buah flagella. Flagella ini bergerak secara aktif seperti hewan. Inti II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Biologi Tetraselmis sp. Tetraselmis sp. merupakan alga bersel tunggal, berbentuk oval elips dan memiliki empat buah flagella. Flagella ini bergerak secara aktif

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. manusia atau oleh proses alam, sehingga kualitas lingkungan turun sampai

TINJAUAN PUSTAKA. manusia atau oleh proses alam, sehingga kualitas lingkungan turun sampai TINJAUAN PUSTAKA Pencemaran Pencemaran lingkungan adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain kedalam lingkungan oleh kegiatan manusia atau oleh proses alam, sehingga

Lebih terperinci

Bab V Hasil dan Pembahasan. Gambar V.10 Konsentrasi Nitrat Pada Setiap Kedalaman

Bab V Hasil dan Pembahasan. Gambar V.10 Konsentrasi Nitrat Pada Setiap Kedalaman Gambar V.10 Konsentrasi Nitrat Pada Setiap Kedalaman Dekomposisi material organik akan menyerap oksigen sehingga proses nitrifikasi akan berlangsung lambat atau bahkan terhenti. Hal ini ditunjukkan dari

Lebih terperinci

RESPON ORGANISME AKUATIK TERHADAP VARIABEL LINGKUNGAN (ph, SUHU, KEKERUHAN DAN DETERGEN)

RESPON ORGANISME AKUATIK TERHADAP VARIABEL LINGKUNGAN (ph, SUHU, KEKERUHAN DAN DETERGEN) 1 RESPON ORGANISME AKUATIK TERHADAP VARIABEL LINGKUNGAN (ph, SUHU, KEKERUHAN DAN DETERGEN) Angga Yudhistira, Dwi Rian Antono, Hendriyanto Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kegiatan budidaya perikanan (akuakultur) saat ini telah berkembang tetapi

BAB I PENDAHULUAN. Kegiatan budidaya perikanan (akuakultur) saat ini telah berkembang tetapi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kegiatan budidaya perikanan (akuakultur) saat ini telah berkembang tetapi terdapat kendala yang dapat menurunkan produksi berupa kematian budidaya ikan yang disebabkan

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Oksigen terlarut dibutuhkan oleh semua jasad hidup untuk pernapasan, proses metabolisme, atau pertukaran zat yang kemudian menghasilkan energi untuk pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gejala Klinis Benih Lele Sangkuriang yang terinfeksi Aeromonas hydrophila Pengamatan gejala klinis benih lele sangkuriang yang diinfeksikan Aeromonas hydrophila meliputi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Derajat Kelangsungan Hidup Derajat kelangsungan hidup atau survival rate (SR) benih ikan patin yang dipelihara dengan masa pemeliharaan 30 hari memiliki hasil

Lebih terperinci

BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA

BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA A. Deskripsi Data 1. Kondisi saluran sekunder sungai Sawojajar Saluran sekunder sungai Sawojajar merupakan aliran sungai yang mengalir ke induk sungai Sawojajar. Letak

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Dari hasil pengukuran terhadap beberapa parameter kualitas pada

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Dari hasil pengukuran terhadap beberapa parameter kualitas pada IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Kualitas Air Dari hasil pengukuran terhadap beberapa parameter kualitas pada masingmasing perlakuan selama penelitian adalah seperti terlihat pada Tabel 1 Tabel 1 Kualitas Air

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. tidak dimiliki oleh sektor lain seperti pertanian. Tidaklah mengherankan jika kemudian

TINJAUAN PUSTAKA. tidak dimiliki oleh sektor lain seperti pertanian. Tidaklah mengherankan jika kemudian TINJAUAN PUSTAKA Ikan Patin Sektor perikanan memang unik beberapa karakter yang melekat di dalamnya tidak dimiliki oleh sektor lain seperti pertanian. Tidaklah mengherankan jika kemudian penanganan masalah

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. yang sering diamati antara lain suhu, kecerahan, ph, DO, CO 2, alkalinitas, kesadahan,

PENDAHULUAN. yang sering diamati antara lain suhu, kecerahan, ph, DO, CO 2, alkalinitas, kesadahan, 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kualitas air memegang peranan penting dalam bidang perikanan terutama untuk kegiatan budidaya serta dalam produktifitas hewan akuatik. Parameter kualitas air yang sering

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Produktivitas Primer Fitoplankton Berdasarkan hasil penelitian di Situ Cileunca didapatkan nilai rata-rata produktivitas primer (PP) fitoplankton pada Tabel 6. Nilai PP

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil Hasil dari penelitian yang dilakukan berupa parameter yang diamati seperti kelangsungan hidup, laju pertumbuhan bobot harian, pertumbuhan panjang mutlak, koefisien keragaman

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Analisis Deskriptif Fisika Kimia Air dan Sedimen

4 HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Analisis Deskriptif Fisika Kimia Air dan Sedimen 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Deskriptif Fisika Kimia Air dan Sedimen Kualitas air merupakan salah satu sub sistem yang berperan dalam budidaya, karena akan mempengaruhi kehidupan komunitas biota

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kelangsungan Hidup Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelangsungan hidup dari setiap perlakuan memberikan hasil yang berbeda-beda. Tingkat kelangsungan hidup yang paling

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ikan laut bernilai ekonomis penting yang terdapat di perairan Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. ikan laut bernilai ekonomis penting yang terdapat di perairan Indonesia. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) merupakan salah satu jenis ikan laut bernilai ekonomis penting yang terdapat di perairan Indonesia. Permintaan pasar

Lebih terperinci

Gambar 4. Kelangsungan Hidup Nilem tiap Perlakuan

Gambar 4. Kelangsungan Hidup Nilem tiap Perlakuan Kelangsugan Hidup (%) BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kelangsungan Hidup Nilem Pada penelitian yang dilakukan selama 30 hari pemeliharaan, terjadi kematian 2 ekor ikan dari total 225 ekor ikan yang digunakan.

Lebih terperinci

Bab V Hasil dan Pembahasan

Bab V Hasil dan Pembahasan biodegradable) menjadi CO 2 dan H 2 O. Pada prosedur penentuan COD, oksigen yang dikonsumsi setara dengan jumlah dikromat yang digunakan untuk mengoksidasi air sampel (Boyd, 1988 dalam Effendi, 2003).

Lebih terperinci

BAB 4 SIKLUS BIOGEOKIMIA

BAB 4 SIKLUS BIOGEOKIMIA Siklus Biogeokimia 33 BAB 4 SIKLUS BIOGEOKIMIA Kompetensi Dasar: Menjelaskan siklus karbon, nitrogen, oksigen, belerang dan fosfor A. Definisi Siklus Biogeokimia Siklus biogeokimia atau yang biasa disebut

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Ekosistem air terdiri atas perairan pedalaman (inland water) yang terdapat

TINJAUAN PUSTAKA. Ekosistem air terdiri atas perairan pedalaman (inland water) yang terdapat TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Air Ekosistem air terdiri atas perairan pedalaman (inland water) yang terdapat di daratan, perairan lepas pantai (off shore water) dan perairan laut. Ekosistem air yang terdapat

Lebih terperinci

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kehidupan Plankton. Ima Yudha Perwira, SPi, Mp

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kehidupan Plankton. Ima Yudha Perwira, SPi, Mp Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kehidupan Plankton Ima Yudha Perwira, SPi, Mp Suhu Tinggi rendahnya suhu suatu badan perairan sangat mempengaruhi kehidupan plankton. Semakin tinggi suhu meningkatkan kebutuhan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Fisika Kimia Perairan Lokasi budidaya rumput laut diketahui memiliki dasar perairan berupa substrat pasir dengan serpihan karang mati. Direktorat Jendral Perikanan Budidaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Benih ikan mas (Cyprinus carpio) tergolong ikan ekonomis penting karena ikan ini sangat dibutuhkan masyarakat dan hingga kini masih belum dapat dipenuhi oleh produsen

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. ekonomis penting yang terdapat di perairan Indonesia. Ikan kerapu bernilai gizi

I. PENDAHULUAN. ekonomis penting yang terdapat di perairan Indonesia. Ikan kerapu bernilai gizi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ikan kerapu (Groupers) merupakan salah satu jenis ikan laut bernilai ekonomis penting yang terdapat di perairan Indonesia. Ikan kerapu bernilai gizi tinggi dan telah dapat

Lebih terperinci

Tingkat Kelangsungan Hidup

Tingkat Kelangsungan Hidup BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Tingkat Kelangsungan Hidup Tingkat kelangsungan hidup merupakan suatu nilai perbandingan antara jumlah organisme yang hidup di akhir pemeliharaan dengan jumlah organisme

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Kelimpahan Nannochloropsis sp. pada penelitian pendahuluan pada kultivasi

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Kelimpahan Nannochloropsis sp. pada penelitian pendahuluan pada kultivasi 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian Pendahuluan Kelimpahan Nannochloropsis sp. pada penelitian pendahuluan pada kultivasi kontrol, kultivasi menggunakan aerasi (P1) dan kultivasi menggunakan karbondioksida

Lebih terperinci

1 Asimilasi nitrogen dan sulfur

1 Asimilasi nitrogen dan sulfur BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tumbuhan tingkat tinggi merupakan organisme autotrof dapat mensintesa komponen molekular organik yang dibutuhkannya, selain juga membutuhkan hara dalam bentuk anorganik

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. berflagel. Selnya berbentuk bola berukuran kecil dengan diameter 4-6 µm.

2. TINJAUAN PUSTAKA. berflagel. Selnya berbentuk bola berukuran kecil dengan diameter 4-6 µm. 3 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Nannochloropsis sp Mikroalga adalah tumbuhan tingkat rendah yang memiliki klorofil, yang dapat digunakan untuk melakukan proses fotosintesis. Mikroalga tidak memiliki

Lebih terperinci

bio.unsoed.ac.id TELAAH PUSTAKA A. Morfologi dan Klasifikasi Ikan Brek

bio.unsoed.ac.id TELAAH PUSTAKA A. Morfologi dan Klasifikasi Ikan Brek II. TELAAH PUSTAKA A. Morfologi dan Klasifikasi Ikan Brek Puntius Orphoides C.V adalah ikan yang termasuk anggota Familia Cyprinidae, disebut juga dengan ikan mata merah. Ikan brek mempunyai garis rusuk

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. Gambar 4. Borok Pada Ikan Mas yang Terinfeksi Bakteri Aeromonas hydrophila

BAB IV PEMBAHASAN. Gambar 4. Borok Pada Ikan Mas yang Terinfeksi Bakteri Aeromonas hydrophila BAB IV PEMBAHASAN 4.1 Gejala Klinis Ikan Mas yang Terinfeksi Aeromonas hydrophila Pengamatan gejala klinis pada ikan mas yang diinfeksi Aeromonas hydrophila meliputi kerusakan jaringan tubuh dan perubahan

Lebih terperinci

Konsentrasi (mg/l) Titik Sampling 1 (4 April 2007) Sampling 2 (3 Mei 2007) Sampling

Konsentrasi (mg/l) Titik Sampling 1 (4 April 2007) Sampling 2 (3 Mei 2007) Sampling Tabel V.9 Konsentrasi Seng Pada Setiap Titik Sampling dan Kedalaman Konsentrasi (mg/l) Titik Sampling 1 (4 April 2007) Sampling 2 (3 Mei 2007) Sampling A B C A B C 1 0,062 0,062 0,051 0,076 0,030 0,048

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 19 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Pertumbuhan beberapa tanaman air Pertumbuhan adalah perubahan dimensi (panjang, berat, volume, jumlah, dan ukuran) dalam satuan waktu baik individu maupun komunitas.

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kelangsungan Hidup Ikan Nila Nirwana Selama Masa Pemeliharaan Perlakuan Kelangsungan Hidup (%)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kelangsungan Hidup Ikan Nila Nirwana Selama Masa Pemeliharaan Perlakuan Kelangsungan Hidup (%) BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kelangsungan Hidup Berdasarkan hasil pengamatan dari penelitian yang dilakukan selama 30 hari, diperoleh bahwa pengaruh salinitas terhadap kelangsungan hidup benih nila

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. bidang preventif (pencegahan), kuratif (pengobatan), rehabilitatif maupun

I. PENDAHULUAN. bidang preventif (pencegahan), kuratif (pengobatan), rehabilitatif maupun I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Rumah sakit merupakan institusi pelayanan bidang kesehatan dengan bidang preventif (pencegahan), kuratif (pengobatan), rehabilitatif maupun promotif (Kusumanto,

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan pada April hingga Juni 2008. Isolasi dan identifikasi bakteri, cendawan serta parasit dilakukan di Laboratorium Kesehatan Ikan, Departemen

Lebih terperinci

Ima Yudha Perwira, S.Pi, MP, M.Sc (Aquatic)

Ima Yudha Perwira, S.Pi, MP, M.Sc (Aquatic) PENGELOLAAN KUALITAS AIR DALAM KEGIATAN PEMBENIHAN IKAN DAN UDANG Ima Yudha Perwira, S.Pi, MP, M.Sc (Aquatic) DISSOLVED OXYGEN (DO) Oksigen terlarut ( DO ) adalah jumlah oksigen terlarut dalam air yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Waduk merupakan salah satu bentuk perairan menggenang yang dibuat

I. PENDAHULUAN. Waduk merupakan salah satu bentuk perairan menggenang yang dibuat I. PENDAHULUAN Waduk merupakan salah satu bentuk perairan menggenang yang dibuat dengan cara membendung aliran sungai sehingga aliran air sungai menjadi terhalang (Thohir, 1985). Wibowo (2004) menyatakan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kelangsungan Hidup Berdasarkan hasil pengamatan selama 40 hari massa pemeliharaan terhadap benih ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) diketahui rata-rata tingkat kelangsungan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Sungai merupakan suatu bentuk ekosistem akuatik yang mempunyai

TINJAUAN PUSTAKA. Sungai merupakan suatu bentuk ekosistem akuatik yang mempunyai TINJAUAN PUSTAKA Sungai Sungai merupakan suatu bentuk ekosistem akuatik yang mempunyai peranan penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air (catchment area) bagi daerah disekitarnya,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Penelitian pembuatan pupuk organik cair ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Limbah Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Secara

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komposisi dan Kelimpahan Plankton Hasil identifikasi komunitas plankton sampai tingkat genus di Pulau Biawak terdiri dari 18 genus plankton yang terbagi kedalam 14 genera

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Tanah Tanah adalah kumpulan benda alam di permukaan bumi yang tersusun dalam horison-horison, terdiri dari campuran bahan mineral, bahan organik, air dan udara,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu : 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Sungai adalah suatu perairan yang airnya berasal dari mata air, air hujan, air permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Aliran air

Lebih terperinci

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PEMANFAATAN PAKAN

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PEMANFAATAN PAKAN 4. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PEMANFAATAN PAKAN Faktor lingkungan dapat mempengaruhi proses pemanfaatan pakan tidak hanya pada tahap proses pengambilan, pencernaan, pengangkutan dan metabolisme saja, bahkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori Keberadaan amonium di alam dapat berasal dari dekomposisi senyawa-senyawa protein. Senyawa ini perlu didegradasi menjadi gas nitrogen (N2) karena amonium menyebabkan

Lebih terperinci

KESEHATAN IKAN. Achmad Noerkhaerin P. Jurusan Perikanan-Untirta

KESEHATAN IKAN. Achmad Noerkhaerin P. Jurusan Perikanan-Untirta KESEHATAN IKAN Achmad Noerkhaerin P. Jurusan Perikanan-Untirta Penyakit adalah Akumulasi dari fenomena-fenomena abnormalitas yang muncul pada organisme (bentuk tubuh, fungsi organ tubuh, produksi lendir,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Budidaya ikan hias dapat memberikan beberapa keuntungan bagi pembudidaya antara lain budidaya ikan hias dapat dilakukan di lahan yang sempit seperti akuarium atau

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSATAKA. Prinsipnya jumlah air di alam ini tetap dan mengikuti sebuah alur yang

BAB II TINJAUAN PUSATAKA. Prinsipnya jumlah air di alam ini tetap dan mengikuti sebuah alur yang BAB II TINJAUAN PUSATAKA 2.1 Air 2.1.1 Air Bersih Prinsipnya jumlah air di alam ini tetap dan mengikuti sebuah alur yang dinamakan siklus hidrologi. Air yang berada di permukaan menguap ke langit, kemudian

Lebih terperinci

EFEKTIFITAS SISTEM AKUAPONIK DALAM MEREDUKSI KONSENTRASI AMONIA PADA SISTEM BUDIDAYA IKAN ABSTRAK

EFEKTIFITAS SISTEM AKUAPONIK DALAM MEREDUKSI KONSENTRASI AMONIA PADA SISTEM BUDIDAYA IKAN ABSTRAK e-jurnal Rekayasa dan Teknologi Budidaya Perairan Volume III No 1 Oktober 2014 ISSN: 2302-3600 EFEKTIFITAS SISTEM AKUAPONIK DALAM MEREDUKSI KONSENTRASI AMONIA PADA SISTEM BUDIDAYA IKAN Riska Emilia Sartika

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 27 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Distribusi Vertikal Oksigen Terlarut Oksigen terlarut merupakan salah satu faktor pembatas bagi sumberdaya suatu perairan karena akan berpengaruh secara langsung pada kehidupan

Lebih terperinci

TOKSISITAS MERKURI (Hg) TERHADAP TINGKAT KELANGSUNGAN HIDUP, PERTUMBUHAN, GAMBARAN DARAH DAN KERUSAKAN PADA IKAN NILA Oreochromis niloticus

TOKSISITAS MERKURI (Hg) TERHADAP TINGKAT KELANGSUNGAN HIDUP, PERTUMBUHAN, GAMBARAN DARAH DAN KERUSAKAN PADA IKAN NILA Oreochromis niloticus TOKSISITAS MERKURI (Hg) TERHADAP TINGKAT KELANGSUNGAN HIDUP, PERTUMBUHAN, GAMBARAN DARAH DAN KERUSAKAN ORGAN PADA IKAN NILA Oreochromis niloticus VIKA YUNIAR DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI PARASIT PADA IKAN KERAPU (Epinephelus sp.) PASCA TERJADINYA HARMFULL ALGAL BLOOMS (HABs) DI PANTAI RINGGUNG KABUPATEN PESAWARAN ABSTRAK

IDENTIFIKASI PARASIT PADA IKAN KERAPU (Epinephelus sp.) PASCA TERJADINYA HARMFULL ALGAL BLOOMS (HABs) DI PANTAI RINGGUNG KABUPATEN PESAWARAN ABSTRAK e-jurnal Rekayasa dan Teknologi Budidaya Perairan Volume IV No 2 Februari 2016 ISSN: 2302-3600 IDENTIFIKASI PARASIT PADA IKAN KERAPU (Epinephelus sp.) PASCA TERJADINYA HARMFULL ALGAL BLOOMS (HABs) DI PANTAI

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Kultur Chaetoceros sp. dilakukan skala laboratorium dengan kondisi

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Kultur Chaetoceros sp. dilakukan skala laboratorium dengan kondisi 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pertumbuhan Chaetoceros sp. Kultur Chaetoceros sp. dilakukan skala laboratorium dengan kondisi parameter kualitas air terkontrol (Lampiran 4). Selama kultur berlangsung suhu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ikan lele sangkuriang (Clarias gariepinus) merupakan ikan lele hasil persilangan antara induk betina F 2 dengan induk jantan F 6 sehingga menghasilkan F 26. Induk jantan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Ikan Nila Merah Nila merah (Oreochromis niloticus) didatangkan ke Indonesia awal tahun 1981 oleh Balai Penelitian Perikanan Air Tawar (Santoso 2000).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan yang dialami ekosistem perairan saat ini adalah penurunan kualitas air akibat pembuangan limbah ke

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan yang dialami ekosistem perairan saat ini adalah penurunan kualitas air akibat pembuangan limbah ke 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan yang dialami ekosistem perairan saat ini adalah penurunan kualitas air akibat pembuangan limbah ke perairan yang menyebabkan pencemaran. Limbah tersebut

Lebih terperinci

ANALISISN AIR METODE TITRIMETRI TENTANG KESADAHAN AIR. Oleh : MARTINA : AK

ANALISISN AIR METODE TITRIMETRI TENTANG KESADAHAN AIR. Oleh : MARTINA : AK ANALISISN AIR METODE TITRIMETRI TENTANG KESADAHAN AIR Oleh : MARTINA : AK.011.046 A. PENGERTIAN AIR senyawa kimia yang sangat penting bagi kehidupan umat manusia dan makhluk hidup lainnya karena fungsinya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. produksi, baik industri maupun domestik, yang kehadirannya pada suatu saat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. produksi, baik industri maupun domestik, yang kehadirannya pada suatu saat BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Limbah Limbah adalah zat atau bahan buangan yang dihasilkan dari suatu proses produksi, baik industri maupun domestik, yang kehadirannya pada suatu saat tertentu tidak dikehendaki

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi lele menurut SNI (2000), adalah sebagai berikut : Kelas : Pisces. Ordo : Ostariophysi. Famili : Clariidae

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi lele menurut SNI (2000), adalah sebagai berikut : Kelas : Pisces. Ordo : Ostariophysi. Famili : Clariidae 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Lele Klasifikasi lele menurut SNI (2000), adalah sebagai berikut : Filum: Chordata Kelas : Pisces Ordo : Ostariophysi Famili : Clariidae Genus : Clarias Spesies :

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Pengamatan Gejala Klinis Pengamatan gejala klinis pada benih ikan mas yang diinfeksi bakteri Aeromonas hydrophila meliputi kelainan fisik ikan, uji refleks, dan respon

Lebih terperinci

BAB 1 KIMIA PERAIRAN

BAB 1 KIMIA PERAIRAN Kimia Perairan 1 BAB 1 KIMIA PERAIRAN Kompetensi Dasar: Menjelaskan komponen penyusun, sifat fisika dan sifat kimia di perairan A. Definisi dan Komponen Penyusun Air Air merupakan senyawa kimia yang sangat

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pertambangan timah di Indonesia dimulai pada abad ke-18. Sejak tahun 1815 penambangan timah di pulau Bangka dilaksanakan oleh pemerintah Hindia Belanda dan berlanjut sampai PT.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Air laut merupakan suatu medium yang unik. Sebagai suatu sistem, terdapat hubungan erat antara faktor biotik dan faktor abiotik, karena satu komponen dapat

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peningkatan kesejahteraan hidup rakyat melalui pembangunan di bidang industri, nampak memberikan dampak terhadap perubahan lingkungan perairan pesisir dan laut karena

Lebih terperinci

Beberapa Sifat Kimia Tanah antara lain :

Beberapa Sifat Kimia Tanah antara lain : SIFAT KIMIA TANAH Beberapa Sifat Kimia Tanah antara lain : 1. Derajat Kemasaman Tanah (ph) Reaksi tanah menunjukkan sifat kemasaman atau alkalinitas tanah yang dinyatakan dengan nilai ph. Nilai ph menunjukkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Lele Dumbo 2.1.1. Taksonomi Klasifikasi atau pengelompokkan ikan lele dumbo menurut Bachtiar (2007) adalah sebagai berikut : Filum Kelas Sub kelas Ordo Sub ordo Famili

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Danau Maninjau merupakan danau yang terdapat di Sumatera Barat, Kabupaten Agam. Secara geografis wilayah ini terletak pada ketinggian 461,5 m di atas permukaan laut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. dibicarakan karena mengancam masa depan dari kehidupan di bumi

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. dibicarakan karena mengancam masa depan dari kehidupan di bumi BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Perubahan iklim dewasa ini menjadi isu yang paling hangat dibicarakan karena mengancam masa depan dari kehidupan di bumi termasuk manusia. Pelepasan gas-gas yang disebabkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ikan nila merah (Oreochromis niloticus) merupakan salah satu komoditas budidaya perikanan yang banyak dikonsumsi, karena dagingnya enak, juga merupakan sumber protein

Lebih terperinci

: Komposisi impurities air permukaan cenderung tidak konstan

: Komposisi impurities air permukaan cenderung tidak konstan AIR Sumber Air 1. Air laut 2. Air tawar a. Air hujan b. Air permukaan Impurities (Pengotor) air permukaan akan sangat tergantung kepada lingkungannya, seperti - Peptisida - Herbisida - Limbah industry

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Parameter Fisik Kimiawi dan Biologi Perairan Dari hasil penelitian didapatkan data parameter fisik (suhu) kimiawi (salinitas, amonia, nitrat, orthofosfat, dan silikat) dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Keberhasilan dalam sistem budidaya dapat dipengaruhi oleh kualitas air, salah

I. PENDAHULUAN. Keberhasilan dalam sistem budidaya dapat dipengaruhi oleh kualitas air, salah 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keberhasilan dalam sistem budidaya dapat dipengaruhi oleh kualitas air, salah satu unsur yang dapat mempengaruhi kualitas air yakni unsur karbon (Benefield et al., 1982).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pesatnya pertumbuhan dan aktivitas masyarakat Bali di berbagai sektor

BAB I PENDAHULUAN. Pesatnya pertumbuhan dan aktivitas masyarakat Bali di berbagai sektor BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pesatnya pertumbuhan dan aktivitas masyarakat Bali di berbagai sektor seperti pariwisata, industri, kegiatan rumah tangga (domestik) dan sebagainya akan meningkatkan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pencemaran Perairan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pencemaran Perairan 8 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pencemaran Perairan Menurut Odum (1971), pencemaran adalah perubahan sifat fisik, kimia dan biologi yang tidak dikehendaki pada udara, tanah dan air. Sedangkan menurut Saeni

Lebih terperinci

ANALISIS KUALITAS AIR MINUM SAPI PERAH RAKYAT DI KABUPATEN BANYUMAS JAWA TENGAH

ANALISIS KUALITAS AIR MINUM SAPI PERAH RAKYAT DI KABUPATEN BANYUMAS JAWA TENGAH ANALISIS KUALITAS AIR MINUM SAPI PERAH RAKYAT DI KABUPATEN BANYUMAS JAWA TENGAH Doso Sarwanto 1) dan Eko Hendarto 2) ABSTRAK Produksi susu sapi perah dipengaruhi oleh kuantitas dan kualitas air yang dikonsumsinya.

Lebih terperinci

Bab V Hasil dan Pembahasan

Bab V Hasil dan Pembahasan terukur yang melebihi 0,1 mg/l tersebut dikarenakan sifat ortofosfat yang cenderung mengendap dan membentuk sedimen, sehingga pada saat pengambilan sampel air di bagian dasar ada kemungkinan sebagian material

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan sumber daya alam yang sangat dibutuhkan oleh semua makhluk hidup, oleh karena itu kualitas air perlu dipertahankan sesuai dengan peruntukannya, khususnya

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 20 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Parameter Oseanografi Pesisir Kalimantan Barat Parameter oseanografi sangat berperan penting dalam kajian distribusi kontaminan yang masuk ke laut karena komponen fisik

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. : Volvocales. : Tetraselmis. Tetraselmis sp. merupakan alga bersel tunggal, berbentuk oval elips dan memiliki

II. TINJAUAN PUSTAKA. : Volvocales. : Tetraselmis. Tetraselmis sp. merupakan alga bersel tunggal, berbentuk oval elips dan memiliki II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tetraselmis sp. Menurut B u t c h e r ( 1 9 5 9 ) klasifikasi Tetraselmis sp. adalah sebagai berikut: Filum : Chlorophyta Kelas : Chlorophyceae Ordo : Volvocales Sub ordo Genus

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Udang putih (Litopenaeus vannamei) merupakan salah satu komoditas

I. PENDAHULUAN. Udang putih (Litopenaeus vannamei) merupakan salah satu komoditas I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Udang putih (Litopenaeus vannamei) merupakan salah satu komoditas perikanan laut Indonesia yang memiliki nilai ekonomi tinggi baik di pasar domestik maupun global. 77%

Lebih terperinci