PEMETAAN DAYA SAING PERTANIAN INDONESIA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PEMETAAN DAYA SAING PERTANIAN INDONESIA"

Transkripsi

1 LAPORAN AKHIR TA 2015 PEMETAAN DAYA SAING PERTANIAN INDONESIA Oleh: Saktyanu Kristyantoadi Dermoredjo Tahlim Sudaryanto Hutabarat Budiman F Rusman Heriawan Sahat M Pasaribu Hermanto Arief Iswariyadi Adi Setiyanto Roosganda Elizabeth Rizma Aldilah PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2015

2 Pendahuluan RINGKASAN EKSEKUTIF 1. Dinamika perkembangan ekonomi global akhir-akhir ini memberikan sinyal tentang pentingnya peningkatan daya saing pertanian. Di tingkat regional, Indonesia akan dihadapkan dengan implementasi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), yang konsekuensinya adalah semakin tajamnya tingkat persaingan antar negara ASEAN. Peningkatan daya saing produk pertanian akan semakin dibutuhkan mengingat pertumbuhan penduduk Indonesia yang diperkirakan mencapai lebih dari 255 juta yang berpotensi sebagai pasar yang besar bagi produk sejenis dari negara lain. 2. Posisi Indonesia dalam perdagangan pertanian dunia semakin tergeser oleh negara-negara ASEAN lainnya. Pergeseran tersebut disebabkan oleh menurunnya daya saing komoditas pertanian Indonesia relatif dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya dan oleh keterbatasan kapasitas produksi pertanian di dalam negeri. Sampai saat ini, sektor pertanian Indonesia masih dihadapkan dengan berbagai tantangan, antara lain: konversi lahan, kompetisi pemanfaatan serta degradasi sumberdaya lahan dan air, menurunnya jumlah tenaga kerja di sektor peranian, dampak perubahan iklim global, serta persaingan perdagangan internasional dan liberisasi yang makin terbuka. Selain itu, kebijakan pemerintah daerah yang kurang berpihak pada sektor semakin menambah deretan tantangan pembangunan sektor pertanian. 3. Untuk menghadapi liberalisasi perdagangan, Indonesia harus mempercepat peningkatan daya saing pertanian baik dari sisi permintaan maupun dari sisi penawaran. Dari sisi permintaan, harus disadari bahwa permintaan konsumen terhadap suatu produk semakin kompleks yang menuntut berbagai atribut atau produk yang dipersepsikan bernilai tinggi oleh konsumen (consumer s value perception), sedangkan dari sisi penawaran, produsen dituntut untuk dapat bersaing berkaitan dengan kemampuan merespons atribut produk yang diinginkan oleh konsumen secara efisien. 4. Daya saing pertanian dan kebijakan yang mendukungnya belum sepenuhnya mendorong kekuatan untuk memasuki pasar global. Oleh karena itu, isu daya saing pertanian di setiap daerah menarik untuk dikaji. Faktor-faktor yang menentukan daya saing antar daerah perlu diidentifikasi serinci mungkin. Selanjutnya, faktor-faktor yang menentukan tersebut perlu dikondisikan untuk meningkatkan perbaikan ekonomi nasional. Badan Litbang Pertanian memiliki peranan penting dalam menyusun peta daya saing pertanian seluruh provinsi di Indonesia, sehingga kebijakan peningkatan daya saing sektor pertanian, dapat dirumuskan secara terstruktur dan komprehensif. Oleh karena itu, penelitian ini diarahkan untuk memetakan posisi daya saing sektor pertanian dalam dimensi pembangunan pertanian secara nasional. Tujuan 5. Secara umum tujuan penelitian ini adalah menyusun rancangan kebijakan untuk meningkatkan daya saing pertanian. Secara spesifik tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: iv

3 a. Mengidentifikasi faktor-faktor yang menentukan daya saing pertanian. b. Memetakan posisi daya saing sektor pertanian nasional dan provinsi. c. Mengidentifikasi faktor-faktor pengungkit daya saing pertanian di masingmasing provinsi. Metodologi 6. Untuk menjawab tujuan penelitian ini digunakan alat analisis: Analysis Hierarchy Process (AHP), Multidimensional Scaling (MDS) Analysis, dan Participatory Prospective Analysis (PPA). Ketiga alat analisis tersebut dilakukan pada tingkat pusat dan provinsi melalui pengumpulan data primer dan sekunder. Adapun untuk data sekunder diambil di tingkat pusat maupun provinsi untuk menyusun peta daya saing pertanian. Selain itu dikumpulkan pula data primer yang terkait dengan analisis AHP, MDS dan PPA melalui focus group discussion (FGD) sesuai dengan kriteria yang disusun. 7. Kumpulan kriteria yang dimaksud adalah sebagai berikut: A. Makroekonomi: (1) Kekuatan makro ekonomi, (2) Keterbukaan perdagangan dan jasa, dan (3) Daya tarik investor asing. B. Pemerintah dan kelembagaan: (1) Kebijakan pemerintah dan keberlanjutan fiskal, (2) Lembaga, pemerintahan dan kepemimpinan, dan (3) Kompetisi, peraturan standar serta aturan hukum. C. Kondisi keuangan, bisnis dan tenaga kerja: (1) Keuangan dan bisnis, (2) Kelenturan pasar tenaga kerja buruh, dan (3) Kinerja produktivitas. D. Kualitas hidup dan infrastruktur: (1) Infrastruktur fisik, (2) Infrastruktur teknologi, dan (3) Standar hidup dan stabilitas pendidikan dan sosial. 8. Berdasarkan PDRB pertanian dan hasil analisis daya saing wilayah dipilih provinsi contoh sebagai berikut:jawa Tengah, Sulawesi Selatan,Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Nusa Tenggara Timur, Jawa Barat, Kalimantan Selatan,Kepulauan Riau, Sulawesi Utara dan Bangka Belitung. Sementara responden yang dipilih untuk masing-masing provinsi adalah para wakil (representasi) dari (a) Dinas terkait pengambil keputusan, (b) eksportir atau pedagang, (c) pengolah, dan (d) produsen/petani (kelompok). Hasil dan Pembahasan Faktor-faktor yang Menentukan Peringkat Daya Saing Pertanian 9. Secara umum, pilar makroekonomi memberikan bobot 29,50 persen dalam memengaruhi daya saing pertanian, diikuti secara berturut-turut oleh pilar kondisi keuangan, bisnis dan tenaga kerja (25.38%), pilar pemerintahan dan kelembagaan (23,95%), serta pilar kualitas hidup dan infrastruktur (21,17%). 10. Hasil analisis bobot dalam pilar makroekonomi menunjukkan bahwa pilar makroekonomi dengan aspek keterbukaan perdagangan dan jasa menempati prioritas utama (40,71%) dibandingkan kedua lainnya yaitu aspek kekuatan makroekonomi(32,86%) serta aspek daya tarik investor pertanian (26,43%). Lebih lanjut, dari aspek keterbukaan perdagangan dan jasa terhadap daya saing pertanian ini dipengaruhi terutama oleh indikator impor pertanian v

4 sebesar 40,71 %, diikuti dua selanjutnya indikator ekspor produk pertanian (32,86%) dan rasio ekspor/impor pertanian (26,43%). Aspek kekuatan makroekonomi menunjukkan pengaruh pertumbuhan PDRB pertanian memegang peranan utama hingga bobot prioritasnya sebesar 18,96%, diikuti oleh enam indikator lainnya berkisar antara 10,38 hingga 17,64 persen. 11. Pilar pemerintahan dan kelembagaan menempati prioritas kedua, dengan aspek penguatan lembaga, pemerintahan dan kepemimpinan menempati urutan utama (bobot prioritas sebesar 41,11%). Pemberi bobot prioritas tertinggi dari aspek tersebut adalah indikator aksesibilitas litbang pertanian (17,96%) dan indikator lainnya dalam aspek yang sama berkisar (11,69-16,18%). Aspek kompetisi, peraturan standar dan aturan hukum dengan bobot 32,78% memiliki dua indikator utama, yakni indikator kesesuaian komoditas dan lokasi pada RTRW Provinsi serta penggunaan regulasi yang terkait daya saing, masing-masing sebesar 24,34%. Pada aspek kebijakan pemerintah dan keberlanjutan fiskal, indikator utama yang memengaruhi daya saing adalah indikator pengaruh pangsa penerimaan pemerintah dari sektor pertanian terhadap penerimaan pemerintah total (PAD). 12. Dalam pilar kondisi keuangan, bisnis dan tenaga kerja, aspek kelenturan pasar tenaga kerja menempati bobot prioritas utama sebesar 41,11 %, diikuti oleh indikator tenaga kerja jasa pertanian sebesar 23,05 % dengan 4 indikator lainnya berkisar 17,60-20,53 persen. Sementara itu, dalam aspek urutan kedua, yaitu kecukupan keuangan dan efisiensi bisnis, indikator utamanya adalah yang terkait penyerapan sumberdaya manusia pertanian (11,28 persen) diikuti oleh indikator lainnya yang relatif tidak berjauhan berkisar 8,80-10,97 persen. Dalam prioritas yang terendah, aspek kinerja produktivitas dipengaruhi oleh indikator produktivitas perkebunan dimana mencapai bobot 41,11 % sedangkan untuk tanaman pangan dan hortikultura serta peternakan berkisar 26,11-32,78 persen. 13. Pada pilar kualitas hidup dan infrastruktur, aspek kecukupan infrastruktur fisik menempati bobot utama dengan kontribusi sebesar 41,11 persen, sedangkan kedua aspek lainnya hanya berkisar 26,11-32,78 persen. Aspek kecukupan infrastruktur fisik dipengaruhi oleh empat indikator, yaitu (a) volume ekspor pertanian via pelabuhan laut internasional, (b) persentase RT Pertanian yang menggunakan listrik, (c) jumlah pasar pendukung pertanian, dan (d) persentase jaringan irigasi yang dalam keadaan baik. Dalam kaitannya dengan aspek urutan kedua, yaitu aspek kecukupan standar hidup dan stabilitas pendidikan dan sosial, terdapat indikator utama yaitu indikator pembangunan manusia sebesar 24,91 persen, sedangkan keempat indikator lainnya hanya mencapai 11,83-21,68 persen. Aspek terakhir yang merupakan urutan terendah dalam pilar kualitas hidup dan infrastruktur, yaitu aspek kecukupan infrastruktur teknologi, dipengaruhi indikator utama, yakni kesenjangan produktivitas (16,76%) yang dilihat dari rasio antara produktivitas aktual perkebunan dan produktivitas perkebunan potensial. Peta Daya Saing Pertanian Indonesia 14. Hasil kajian menunjukkan bahwa lima provinsi utama yang memiliki daya saing pertanian utama adalahprovinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, vi

5 Sulawesi Selatan dan Lampung. Seberapa jauh tingkat daya saing pertanian ini memiliki daya saing atau kurang memiliki daya saing, maka posisi tersebut diperoleh dengan melihat skor yang di atas rata-rata nasional adalah provinsi yang memiliki daya saing pertanian dengan skor positif sebanyak 15 provinsi, sedangkan selebihnya adalah provinsi kurang berdaya saing dengan skor negatif. Adapun ke 15 provinsi yang memiliki daya saing adalah: (1) Jatim, (2) Jateng, (3) Jabar, (4) Sulsel, (5) Lampung, (6) Riau, (7) Sumut, (8) Sumsel, (9) Kalsel, (10) Sumbar, (11) Jambi, (12) Kaltim, (13) Bali, (14) Kalbar dan (15) Kalteng, sedangkan provinsi yang kurang berdaya saing : (1) Bengkulu, (2) NAD, (3) Sulteng, (4) DIY, (5) NTB, (6) Babel, (7) Sulut, (8) Banten, (9) Sultra, (10) Sulbar, (11) Kepri, (12) NTT, (13) Malut, (14) Papua, (15) Papua Barat, (16) Gorontalo, (17) Maluku, dan (18) DKI Jakarta. 15. Kalau dibandingkan dengan data yang dihasilkan oleh NUS (National University of Singapore), bisa diklasifikasikan dengan hal yang sama dimana dengan skor positif memiliki daya saing sedangkan negatif kurang memiliki daya saing. Dari tabel tersebut ditunjukkan terdapat 12 provinsi yang memiliki daya saing wilayah yaitu (1) Jatim, (2) Jateng, (3) Jabar, (4) Sulsel, (5) Riau, (6) Kalsel, (7) Kaltim, (8) DIY, (9) Sulut, (10) Banten, (11) Kepri, dan (12) DKI Jakarta, sedangkan yang kurang berdaya saing wilayah yaitu : (1) Lampung, (2) Sumut, (3) Sumsel, (4) Sumbar, (5) Jambi, (6) Bali, (7) Kalbar, (8) Kalteng, (9) Bengkulu, (10) NAD, (11) Sulteng, (12) NTB, (13) Babel, (14) Sultra, (15) Sulbar, (16) NTT, (17) Malut, (18) Papua, (19) Papua Barat, (20) Gorontalo, dan (21) Maluku. 16. Jika digabungkan antara data hasil analisis daya saing pertanian dan wilayah dengan membentuk kuadran, maka jelas tergambarkan bahwa kebijakan pembangunan pertanian untuk masing-masing 33 provinsi di Indonesia berbeda. Kuadran I adalah provinsi yang memiliki daya saing wilayah dan daya saing pertanian, yakni 7 provinsi (Jatim, Jateng, Jabar, Sulsel, Riau, Kalsel, dan Kaltim), kuadran II yang memiliki daya saing pertanian tetapi kurang memiliki daya saing wilayah berjumlah 8 provinsi (Lampung, Sumut, Sumsel, Bali, Jambi, Sumbar, Kalbar, dan Kalteng), kuadran III yang menunjukkan kurang memiliki daya saing wilayah dan daya saing pertanian berjumlah 13 provinsi (Bengkulu, Aceh, Sulteng, Kep. Babel, NTB, Sultra, Sulbar, NTT, Malut, Papua Barat, dan Papua), sedangkan yang terakhir kuadaran IV, yaitu provinsi yang menunjukkan kurang memiliki daya saing wilayah dan kurang memiliki daya saing pertanian berjumlah 5 provinsi DIY, Banten, Sulut, Kepri, dan DKI Jakarta). Pengungkit Daya Saing Pertanian 17. Hasil analisis secara multidimensi (multidimensional scaling/mds) menunjukkan bahwa nilai indeks keberlanjutan daya saing pertanian saat ini (existing condition) adalah: (1) pada tingkat kepercayaan 95 persen, hasil analisis MDS sedikit lebih tinggi jika dibandingkan dengan hasil analisis Monte Carlo. Perbedaan antara keduanya di bawah 1 persen dan kesalahan dalam melakukan analisis MDS dapat diperkecil, baik dalam hal pembuatan skoring setiap atribut, variasi pemberian skor karena perbedaan opini relatif kecil, dan proses analisis data yang dilakukan secara berulang-ulang stabil, serta vii

6 menghindari kesalahan dalam menginput data atau data hilang; (2) Analisis MDS menunjukkan bahwa semua atribut yang dikaji, cukup akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. Hasil analisis menunjukkan nilai Stress model MDS sekitar 17,21 persen hingga 24,75 persen atau di bawah 25 persen dan nilai koefisien determinasi (R2)adalah antara 86,43 persen hingga 93,85 persen atau cukup mendekati 100 persen. Kavanagh dan Pitcher (2004) menyatakan bahwa nilai stress yang dapat diperbolehkan adalah apabila berada dibawah nilai 0.25 (menunjukkan hasil analisis sudah cukup baik). Sedangkan nilai R 2 diharapkan mendekati nilai 1 (100%) yang berarti bahwa atribut-atribut yang terpilih saat ini dapat menjelaskan mendekati 100 persen dari model yang ada. Pengungkit Daya Saing Pada Provinsi yang Memiliki Daya Saing Pertanian 18. Provinsi yang memiliki daya saing pertanian terdapat pada kuadran I dan II dengan nilai indeks total multidimensi daya saing, masing-masing 45,72 dan 44,79 persen. Artinya, walaupun provinsi ini masuk ke dalam kategori berdaya saing, namun secara umum kurang berkelanjutan (di bawah 50 persen). Walaupun demikian, dalam kuadran I, beberapa provinsi yang menunjukkan keberkelanjutan (Provinsi Jabar, Jateng, Jatim dan Sulsel), sedangkan provinsi Riau, Kalsel dan Kaltim kurang berkelanjutan daya saingnya. Pada kuadran II, hanya provinsi Lampung yang menunjukkan daya saing yang cukup berkelanjutan, selebihnya daya saing di provinsi Sumut, Sumbar, Jambi, Sumsel, Bali, Kalbar dan Kalteng masih kurang berkelanjutan. Pengungkit Daya Saing Pada Provinsi yang Kurang Berdayasaing Pertanian 19. Provinsi yang kurang memiliki daya saing pertanian adalah provinsi yang berada pada kuadran III dan IV. Nilai indeks keberlanjutan untuk kedua kuadran tersebut menunjukkan total multidimensi daya saing kuadran III dan IV secara berurutan adalah dan persen, artinya secara umum kurang berkelanjutan. Pada kuadran III dan IV tidak ada provinsi yang daya saingnya berkelanjutan (18 provinsi tidak memiliki daya saing berkelanjutan). Pengungkit Daya Saing Pertanian Nasional 20. Hasil analisis daya saing nasional menunjukkan bahwa secara umum daya saing nasional kurang berkelanjutan dimana nilai MDS di bawah 50 persen, yaitu sebesar persen. Namun demikian beberapa provinsi yang menunjukkan daya saing yang berkelanjutan yaitu Jabar, Jateng, Jatim dan Sulsel. Provinsi Lampung tidak masuk lagi dalam skala nasional, karena hanya pilar 2 dan 3 yang berkelanjutan yaitu pilar pemerintahan dan kelembagaan serta pilar kondisi keuangan, bisnis dan tenaga kerja. Rancangan Kebijakan Peningkatan Daya Saing Pertanian 21. Secara rinci hasil analisis PPA menunjukkan terdapat perbedaan arah kebijakan daya saing untuk masing-masing kuadran dan nasional. Kebijakan daya saing pertanian terfokus kebijakan penentu atau input, kebijakan penghubung atau stakes, dan kebijakan terikat atau output. Perbedaan ketiga jenis kebijakan tersebut terletak pada tingkat ketergantungan dan pengaruhnya. Kebijakan penghubung memiliki tingkat ketergantungan yang viii

7 lebih besar dibandingkan dengan kebijakan penentu, sedangkan kebijakan terikat lebih rendah pengaruhnya dibandingkan dengan kebijakan penentu dan penghubung. Secara rinci arah kebijakan daya saing terurai dalam sub bab berikut ini. Kebijakan Daya Saing Pada Provinsi yang Memiliki Daya Saing Pertanian 22. Kebijakan daya saing pertanian kuadran I yang memiliki daya saing pertanian dan wilayah memiliki arah kebijakan penentu (input) hanya dari Pilar 2 (tenaga PPL/pemandu pertanian, kesesuaian komoditas, aksesibilitas litbang dan subsidi) dan Pilar 4 (aksesibilitas transportasi). Arah kebijakan penghubungnya berasal dari Pilar 1 (investasi dan impor), Pilar 3 (keuntungan, tenaga kerja, pendapatan petani, upah, tenaga kerja pengolahan/pemasaran), dan Pilar 4 (kesenjangan produktivitas perkebunan dan tanaman pangan/ hortikultura, IPM dan ketersediaan pasar). Dengan demikian, fokus output dalam kuadran I terdapat pada ekspor produk pertanian dan penerimaan sektor pertanian. Artinya, kebijakan input dan penghubung provinsi dalam kuadran I hanya untuk peningkatan penerimaan negara dan ekspor pertanian. Kebijakan Daya Saing Pada Provinsi yang Kurang Memiliki Dayasaing Pertanian 23. Kebijakan daya saing pertanian kuadran III yang kurang memiliki daya saingpertanian dan wilayah memiliki arah kebijakan penentu (input) hanya dari Pilar 2 (kesesuian komoditas, subsidi, dan aksesibilitas kebijakan dan peraturan), Pilar 3 (tenaga kerja budidaya dan pemasaran/pengolahan, dan upah), serta Pilar 4 (aksesibilitas transportasi dan irigasi yang baik), sedangkan arah kebijakan penghubungnya dari Pilar 1 (pinjaman), Pilar 2 (alokasi anggaran pertanian, aksesibilitas litbang, dan tenaga PPL), dan Pilar 4 (ketersediaan pasar dan stabilitas sospol). Dengan demikian, fokus output dalam kuadran III terdapat pada Pilar 1 (nilai tukar petani, rasio ekspor/impor, pendapatan petani), Pilar 3 (produktivitas perkebunan dan tanaman pangan/hortikultura), dan Pilar 4 (kesenjangan produktivitas peternakan, perkebunan dan tanaman pangan/hortikultura, serta IPM), artinya keseluruhan kebijakan input dan penghubung provinsi dalam kuadran IV ditujukan masih untuk memperbaiki produktivitas, keuntungan dan pendapatan petani serta perbaikan kualitas hidup, belum terarah pada peningkatan ekspor dan penciptaan penerimaan negara. Oleh karena itu, diperlukan ketersediaan sarana dan prasarana ekonomi dasar, antara lain: jaringan angkutan (darat dan perairan) dan irigasi yang dalam keadaan baik; kestabilan sosial politik: keamanan dan ketertiban sosial. Kebijakan Daya Saing Pertanian Nasional 24. Kebijakan daya saing pertanian nasional secara agregat memiliki arah kebijakan penentunya (input) pada Pilar 1 (pinjaman), Pilar 2 (regulasi dayasaing dan alokasi anggaran pertanian), Pilar 3 (upah), dan Pilar 4 (irigasi yang baik dan akses internet), sedangkan arah kebijakan penghubungnya dari Pilar 2 (aksesibilitas litbang dan aksesibilitas diklat), Pilar 3 (tenaga kerja pemasaran/pengolahan), serta Pilar 4 (kesenjangan produktivitas perkebunan dan peternakan). Dengan demikian, fokus output dalam agregat nasional ix

8 terdapat pada Pilar 1 (rasio ekspor/impor, nilai tukar petani dan pendapatan petani), Pilar 2 (penerimaan pemerintah dari sektor pertanian) dan Pilar 3 (produktivitas petani tanaman pangan/hortikultura dan keuntungan usahatani). Artinya, penerapan kebijakan input dan penghubung secara agregat nasional adalah juga untuk peningkatan pendapatan petani, penerimaan negara, dan produktivitas, termasuk perimbangan antara ekspor dan impor pertanian. Kesimpulan dan Implikasi Kebijakan Kesimpulan Penentu Peringkat Daya Saing Pertanian 25. Penentu daya saing pertanian dilihat dari bobot penentunya yaitu untuk: (i) Makroekonomi (29,50%), (ii) Pemerintah Dan Kelembagaan (23,95%), (iii) Kondisi Keuangan, Bisnis dan Tenaga Kerja (25,38%), dan (iv) Kualitas Hidup Dan Infrastruktur (21,17%). Begitu pula untuk aspek dan indikator masingmasing pilar, memiliki persentase bobot yang berbeda sehingga komponen inilah yang akan memberikan kontribusi delineasi daya saing di setiap provinsi. Peta Daya Saing Pertanian Indonesia 26. Ke 15 provinsi yang memiliki daya saing pertanian hasil analisis adalah (1) Jatim, (2) Jateng, (3) Jabar, (4) Sulsel, (5) Lampung, (6) Riau, (7) Sumut, (8) Sumsel, (9) Kalsel, (10) Sumbar, (11) Jambi, (12) Kaltim, (13) Bali, (14) Kalbar dan (15) Kalteng. Provinsi yang kurang memiliki daya saing pertanian adalah (1) Bengkulu, (2) NAD, (3) Sulteng, (4) DIY, (5) NTB, (6) Babel, (7) Sulut, (8) Banten, (9) Sultra, (10) Sulbar, (11) Kepri, (12) NTT, (13) Malut, (14) Papua, (15) Papua Barat, (16) Gorontalo, (17) Maluku, dan (18) DKI Jakarta. 27. Hasil analisis menunjukkan bahwa (1) kuadran I adalah provinsi yang memiliki daya saing wilayah dan daya saing pertanian sebanyak 7 provinsi (Jabar, Jateng, Jatim, Sulsel, Riau, Kalsel dan Kaltim), (2) kuadran II yang memiliki daya saing pertanian tetapi kurang memiliki daya saing wilayah berjumlah 8 provinsi (Lampung, Sumut, Jambi, Sumsel,Sumbar, Bali, Kalteng, dan Kalbar), (3) kuadran III yang menunjukkan kurang memiliki daya saing wilayah dan daya saing pertanian berjumlah 13 provinsi (Bengkulu, NAD, Sulteng, Babel, NTB, Sultra, Subar, NTT, Malut, Papua Barat, Papua, Gorontalo, dan Maluku), serta (4) kuadran IV yaitu provinsi yang menunjukkan kurang memiliki daya saing wilayah tetapi kurang memiliki daya saing pertanian berjumlah 5 provinsi (DKI Jakarta, Banten, Sulut, DIY dan Kepri). Pengungkit Daya Saing Pertanian 28. Secara agregat, pengungkit pembangunan adalah: (a) Pertumbuhan PDRB pertanian per kapita, (b) Nilai tukar petani, (c) Rasio ekspor terhadap impor pertanian, (d) Dukungan perbankan terhadap investasi, (e) Penerimaan pemerintah dari sektor pertanian, (f) Alokasi anggaran pertanian, (g) Aksesibilitas diklat pertanian, (h) Aksesibilitas litbang pertanian, (i) Regulasi pendorong daya saing, (j) Rasio keuntungan terhadap biaya usahatani, (k) Penyerapan tenaga kerja pengolahan hasil pertanian, (l) Pertumbuhan upah x

9 pertanian per bulan, (m) Rasio nilai output TPH terhadap TK TPH, (n) Jaringan irigasi dalam kondisi baik, (o) Jumlah desa yang dapat diakses kendaraan roda empat/kapal/motor air, (p) Populasi ternak yang dipotong, (q) Senjang produktivitas perkebunan, (r) Stabilitas sosial politik keamanan. Rancangan Kebijakan Peningkatan Daya Saing Pertanian 29. Hasil analisis PPA menunjukkan pengelompokan arah kebijakan secara spesifik dari kuadran I, II, III, IV dan nasional. Setiap kuadran memiliki arah kebijakan yang berbeda sesuai dengan karakteriktik masing-masing kuadran. 30. Kebijakan daya saing pertanian nasional secara agregat memiliki arah kebijakan penentu (input) pada Pilar 1 (pinjaman), Pilar 2 (regulasi dayasaing, dan alokasi anggaran pertanian), Pilar 3 (upah), dan Pilar 4 (irigasi yang baik, dan akses internet). Arah kebijakan penghubungnya dari Pilar 2 (aksesibilitas litbang dan diklat), Pilar 3 (tenaga kerja pemasaran/pengolahan), serta Pilar 4 (kesenjangan produktivitas perkebunan dan peternakan). 31. Keseluruhan kebijakan di mengarah pada peningkatan: (1) pembangunan sarana dan prasarana pedesaan dan pertanian, (2) investasi penelitian dan pengembangan pertanian, (3) kapasitas SDM melalui pendidikan dan pelatihan, (4) anggaran pembangunan pertanian), (5) pengembangan industri hilir (pengolahan dan pemasaran hasil), (6) koordinasi dan sinergi kebijakan antar sektor), dan (7) penciptaan stabilitas sosial politik (keamanan, ketertiban dan kerawanan sosial). Implikasi Kebijakan 32. Keterkaitan (linkages) antara suatu desa dan berbagai daerah lain, merupakan mata rantai ekonomi yang perlu dikembangkan dalam menunjang peningkatan daya saing pertanian. Transportasi yang baik akan memudahkan terjadinya interaksi antara penduduk lokal dengan dunia luar serta mendukung pelayanan ekspor. Oleh karena itu, upaya peningkatan daya saing pertanian memerlukan adanya pembangunan dan rehabilitasi sarana dan prasarana transportasi, terutama pada daerah-daerah yang masih terisolasi. 33. Pendamping merupakan aktor penting yang memiliki pengetahuan dan pengalaman dalam melakukan tindakan kolektif kolegial untuk mempercepat proses pembangunan pertanian di perdesaan. Kerja pendampingan berupaya meningkatkan pengetahuan, sikap, keterampilan, perilaku, kemampuan, kesadaran, serta memanfaatkan sumber daya untuk kamajuan pertanian. Kebijakan merekrut dan mendelegasikan pendamping pertanian harus mengacu pada standar kompetensi pendamping, yaitu sekurang-kurangnya memenuhi unsur kualifikasi, antara lain (a) memiliki pengetahuan dan kemampuan dalam pemberdayaan masyarakat; (b) memiliki pengalaman dalam pengorganisasian petani/kelompok tani; (c) mampu melakukan pendampingan usaha ekonomi masyarakat desa; dan (d) mampu melakukan berbagai teknik pertanian dan memfasilitasi kelompok-kelompok tani dalam usaha meningkatkan daya saing pertanian. 34. Inovasi teknologi pertanian sangat dibutuhkan untuk meningkatkan produktivitas, namun kemampuan aksesibilitas petani terhadap informasi teknologi masih rendah. Oleh karena itu, upaya peningkatan daya saing xi

10 pertanian memerlukan adanya pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam bidang pertanian. Pemanfaatan ini dapat dilakukan di semua aktivitas pertanian, mulai dari proses produksi sampai pada pemasaran hasilnya. Informasi pemasaran, praktek pengelolaan ternak dan tanaman yang baru, penyakit dan hama tanaman atau ternak, ketersediaan transportasi, informasi peluang pasar dan harga pasar input maupun output pertanian sangat penting untuk meningkatkan efisiensi produksi. 35. Investasi penelitian dan pengembangan di Indonesia saat ini masih rendah, sekitar 0,3% dari PDB pertanian. Sebagai perbandingan, anggaran litbang di Malaysia dan Tiongkok, masing-masing sudah mencapai sekitar 1.05% dan 0,5% dari PDB pertanian. Diperlukan peningkatan intensitas litbang (termasuk diseminasinya) yang didukung anggaran yang memadai pada seluruh aspek dari rantai pasok komoditas strategis. Penerapan inovasi yang berasal dari kegiatan litbang diorientasikan berdampak langsung terhadap peningkatan produktivitas dan kualitas produk pertanian, termasuk penurunan biaya produksi dan diprioritaskan untuk komoditas perkebunan dan peternakan untuk memenuhi permintaan domestik maupun ekspor. 36. Upaya peningkatan daya saing pertanian membutuhkan adanya pengembangan subsidi pertanian terpadu. Subsidi seperti ini merupakan penyatuan semua instrumen kebijakan subsidi dalam satu paket, baik dalam rancang bangun maupun dalam pelaksanaannya. Komponen utama yang diperlukan dalam subsidi tersebut, yaitu pertama, subsidi sarana produksi seperti benih, pupuk dan pestisida; kedua, subsidi modal kerja untuk membayar upah. Subsidi tersebut diberikan kepada petani secara terpadu dalam satu paket sesuai dengan kebutuhan lahan, bukan kebutuhan petani, dan diikuti oleh kebijakan dukungan harga output. 37. Berbagai penelitian tentang rantai pasok komoditas pertanian menunjukkan bahwa pengembangan industri hilir berperan sebagai pendorong (driver) terhadap modernisasi dari keseluruhan rantai pasok komoditas. Perluasan pengolahan hasil dapat meningkatkan nilai tambah yang membuka kesempatan kerja baru dan meningkatkan pendapatan penduduk pedesaan. Hal ini terkait erat dengan Rencana strategis Kementerian Pertanian ( ) yang menekankan pengembangan bioindustri dengan memanfaatkan biomasa pertanian. Pengembangan pemasaran hasil pertanian, baik domestik maupun internasional sebaiknya diarahkan pada upaya untuk memperkuat keterkaitan petani kecil dengan rantai pasok komoditas. 38. Indonesia tidak hanya mempertimbangkan isu daya saing pertanian dalam konteks peningkatan volume dan nilai ekspor semata, tetapi juga di lingkup dalam negeri agar impor pertanian tidak semakin mendesak produk dalam negeri. Untuk itu upaya-upaya penyelarasan kebijakan di bidang produksi, politik perdagangan dan perdagangan luar negeri juga perlu dilakukan. Penyelarasan peraturan-peraturan ini di antar fihak pengambil kebijakan di tingkat pusat, antar tingkat pusat dan daerah serta antar fihak pengambil kebijakan di tingkat daerah (provinsi/kabupaten/kota). 39. Pada tahun 2014, kontribusi sektor pertanian terhadap PDB nasional sekitar 13,4%. Namun anggaran terkait sektor pertanian secara nasional masih jauh xii

11 dibawah persentase tersebut. Oleh karena itu untuk meningkatkan kinerja dan daya saing pertanian diperlukan peningkatan anggaran pembangunan mendukung pertanian. Selain besarannya alokasi penggunaan anggaran pada bidang-bidang yang tepat juga sangat penting. Investasi dalam bidangbidang tersebut diyakini dapat meningkatkan produktivitas, kualitas dan efisiensi usahatani tanpa mendistorsi mekanisme pasar output maupun input. 40. Pada umumnya, petani tidak bankable sehingga diperlukan penguatan modal kerja berusahatani dibutuhkan dan kebijakan penyediaan modal/investasi untuk usaha pertanian perlu disiapkan agar petani memperoleh kesempatan menikmati fasilitas kredit perbankan. Kredit Usaha Rakyat (KUR) model baru dengan suku bunga rendah masih dapat dipertimbangkan sebagai salah satu sumber penyedia modal usaha pertanian kedepan, misalnya dengan menyediakan paket kredit dengan subsidi bunga yang berasal dari KUR. Dalam kaitan ini perlu diprioritaskan strategi penyediaan modal kerja untuk usaha pertanian melalui lembaga keuangan mikro di perdesaan. Penguatan lembaga keuangan mikro, seperti LKM-A yang dibentuk atas kebijakan Pengembangan Usaha Agribisnis Pertanian (PUAP) sejak 2008 dengan bantuan modal sebesar Rp. 100 juta per Gapoktan dan telah diterima oleh lebih dari Gapoktan dapat dievaluasi dan didorong menjadi lembaga keuangan mikro yang mandiri. Hal ini juga sejalan dengan amanat UU No. 19/2013 tentang perlindungan dan pemberdayaan petani. 41. Peningkatan daya saing pertanian memerlukan kebijakan terintegrasi antar sektor dan multidisiplin, baik teknis maupun manajemen dan sosial-ekonomi. Dalam konteks ini, diperlukan mekanisme untuk mensinergikan dan mengkoordinasikan kebijakan antar sektor oleh Kementerian Koordinator Perekonomian sebagai focal point. Mengingat pertanian dan perdagangan adalah urusan pemerintahan kongruen pilihan dalam UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, maka pemerintah pusat seyogianya mengawasi secara ketat penyelenggaraan urusan ini sesuai dengan azas akuntabilitas, efisiensi, dan eksternalitas, serta kepentingan strategis nasional sesuai dengan potensi yang dimiliki daerah. Upaya-upaya penyelarasan kebijakan di bidang produksi, politik perdagangan dan perdagangan luar negeri juga perlu dilakukan, termasuk penyesuaian komoditas antara program pertanian dengan RTRW/RUTR Daerah. Penyelarasan peraturan-peraturan diperlukan pengambil kebijakan di tingkat pusat, antara instansi tingkat pusat dan daerah serta antar instansi tingkat daerah (provinsi/kabupaten/kota). 42. Direkomendasikan agar penelitian lanjutan dilakukan pada tingkat provinsi/kabupatan secara lebih operasional. Kebijakan peningkatan daya saing perlu dirancang berdasarkan potensi wilayah dan kekuatan pilar di setiap provinsi/kabupaten. Dari penelitian lanjutan tersebut diharapkan dapat diperoleh faktor pengungkit daya saing tingkat provinsi/kabupaten dengan peta daya saing pertanian masing-masing di tingkat provisi/kabupaten dengan memerhatikan potensi wilayah, komoditas dan agroekologinya. xiii

PEMETAAN DAYA SAING PERTANIAN INDONESIA

PEMETAAN DAYA SAING PERTANIAN INDONESIA Pendahuluan Policy Brief PEMETAAN DAYA SAING PERTANIAN INDONESIA 1. Dinamika perkembangan ekonomi global akhir-akhir ini memberikan sinyal tentang pentingnya peningkatan daya saing pertanian. Di tingkat

Lebih terperinci

Keynote Speech. Menteri Pertanian Republik Indonesia PENINGKATAN PRODUKTIVITAS DAN DAYA SAING KOMODITAS PERTANIAN

Keynote Speech. Menteri Pertanian Republik Indonesia PENINGKATAN PRODUKTIVITAS DAN DAYA SAING KOMODITAS PERTANIAN Keynote Speech Menteri Pertanian Republik Indonesia PENINGKATAN PRODUKTIVITAS DAN DAYA SAING KOMODITAS PERTANIAN PADA SEMINAR NASIONAL AGRIBISNIS DALAM RANGKA DIES NATALIS KE 19 UNIVERSITAS GALUH, CIAMIS,

Lebih terperinci

PEMETAAN DAYA SAING PERTANIAN INDONESIA. Saktyanu K. Dermoredjo

PEMETAAN DAYA SAING PERTANIAN INDONESIA. Saktyanu K. Dermoredjo 1 PEMETAAN DAYA SAING PERTANIAN INDONESIA Saktyanu K. Dermoredjo Pendahuluan 1. Dinamika perkembangan ekonomi global akhir-akhir ini memberikan sinyal terhadap pentingnya peningkatan daya saing. Seiring

Lebih terperinci

PENINGKATAN PRODUKTIVITAS DAN DAYA SAING KOMODITAS PERTANIAN

PENINGKATAN PRODUKTIVITAS DAN DAYA SAING KOMODITAS PERTANIAN PENINGKATAN PRODUKTIVITAS DAN DAYA SAING KOMODITAS PERTANIAN Kementerian Pertanian Seminar Nasional Agribisnis, Universitas Galuh Ciamis, 1 April 2017 Pendahuluan Isi Paparan Kinerja dan permasalahan Posisi

Lebih terperinci

WORKSHOP (MOBILITAS PESERTA DIDIK)

WORKSHOP (MOBILITAS PESERTA DIDIK) WORKSHOP (MOBILITAS PESERTA DIDIK) KONSEP 1 Masyarakat Anak Pendidikan Masyarakat Pendidikan Anak Pendekatan Sektor Multisektoral Multisektoral Peserta Didik Pendidikan Peserta Didik Sektoral Diagram Venn:

Lebih terperinci

POTRET PENDIDIKAN PROVINSI JAWA TENGAH (Indikator Makro)

POTRET PENDIDIKAN PROVINSI JAWA TENGAH (Indikator Makro) POTRET PENDIDIKAN PROVINSI JAWA TENGAH (Indikator Makro) Pusat Data dan Statistik Pendidikan - Kebudayaan Setjen, Kemendikbud Jakarta, 2015 DAFTAR ISI A. Dua Konsep Pembahasan B. Potret IPM 2013 1. Nasional

Lebih terperinci

POTRET PENDIDIKAN PROVINSI SULAWESI BARAT (Indikator Makro)

POTRET PENDIDIKAN PROVINSI SULAWESI BARAT (Indikator Makro) POTRET PENDIDIKAN PROVINSI SULAWESI BARAT (Indikator Makro) Pusat Data dan Statistik Pendidikan - Kebudayaan Kemendikbud Jakarta, 2015 DAFTAR ISI A. Dua Konsep Pembahasan B. Potret IPM 2013 1. Nasional

Lebih terperinci

VIII. PROSPEK PERMINTAAN PRODUK IKAN

VIII. PROSPEK PERMINTAAN PRODUK IKAN 185 VIII. PROSPEK PERMINTAAN PRODUK IKAN Ketersediaan produk perikanan secara berkelanjutan sangat diperlukan dalam usaha mendukung ketahanan pangan. Ketersediaan yang dimaksud adalah kondisi tersedianya

Lebih terperinci

4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan

4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan 4 GAMBARAN UMUM 4.1 Kinerja Fiskal Daerah Kinerja fiskal yang dibahas dalam penelitian ini adalah tentang penerimaan dan pengeluaran pemerintah daerah, yang digambarkan dalam APBD Provinsi dan Kabupaten/Kota

Lebih terperinci

POTRET PENDIDIKAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU (Indikator Makro)

POTRET PENDIDIKAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU (Indikator Makro) POTRET PENDIDIKAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU (Indikator Makro) Pusat Data dan Statistik Pendidikan - Kebudayaan Setjen, Kemendikbud Jakarta, 2015 DAFTAR ISI A. Dua Konsep Pembahasan B. Potret IPM 2013 1.

Lebih terperinci

Kegiatan Penelitian. Kegiatan Penelitian

Kegiatan Penelitian. Kegiatan Penelitian Kegiatan Penelitian Dalam memasuki periode Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahap ke-2 yaitu tahun 2010 2014 setelah periode RPJMN tahap ke-1 tahun 2005 2009 berakhir, pembangunan pertanian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejak tahun 1970-an telah terjadi perubahan menuju desentralisasi di antara negaranegara,

BAB I PENDAHULUAN. Sejak tahun 1970-an telah terjadi perubahan menuju desentralisasi di antara negaranegara, BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Sejak tahun 1970-an telah terjadi perubahan menuju desentralisasi di antara negaranegara, baik negara ekonomi berkembang maupun negara ekonomi maju. Selain pergeseran

Lebih terperinci

INDEKS TENDENSI BISNIS DAN INDEKS TENDENSI KONSUMEN TRIWULAN I-2013

INDEKS TENDENSI BISNIS DAN INDEKS TENDENSI KONSUMEN TRIWULAN I-2013 BADAN PUSAT STATISTIK No. 34/05/Th. XVI, 6 Mei 2013 INDEKS TENDENSI BISNIS DAN INDEKS TENDENSI KONSUMEN TRIWULAN I-2013 KONDISI BISNIS DAN EKONOMI KONSUMEN MENINGKAT A. INDEKS TENDENSI BISNIS A. Penjelasan

Lebih terperinci

PANDUAN PENGGUNAAN Aplikasi SIM Persampahan

PANDUAN PENGGUNAAN Aplikasi SIM Persampahan PANDUAN PENGGUNAAN Aplikasi SIM Persampahan Subdit Pengelolaan Persampahan Direktorat Pengembangan PLP DIREKTORAT JENDRAL CIPTA KARYA KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT Aplikasi SIM PERSAMPAHAN...(1)

Lebih terperinci

PEMETAAN DAN KAJIAN CEPAT

PEMETAAN DAN KAJIAN CEPAT Tujuan dari pemetaan dan kajian cepat pemetaan dan kajian cepat prosentase keterwakilan perempuan dan peluang keterpilihan calon perempuan dalam Daftar Caleg Tetap (DCT) Pemilu 2014 adalah: untuk memberikan

Lebih terperinci

INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI PAPUA TRIWULAN I-2017

INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI PAPUA TRIWULAN I-2017 BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI PAPUA INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI PAPUA TRIWULAN I-2017 A. Penjelasan Umum 1. Indeks Tendensi Konsumen (ITK) I-2017 No. 27/05/94/Th. VII, 5 Mei 2017 Indeks Tendensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Penanaman modal atau investasi merupakan langkah awal kegiatan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Penanaman modal atau investasi merupakan langkah awal kegiatan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penanaman modal atau investasi merupakan langkah awal kegiatan produksi. Pada posisi semacam ini investasi pada hakekatnya juga merupakan langkah awal kegiatan pembangunan

Lebih terperinci

INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN III-2015 DAN PERKIRAAN TRIWULAN IV-2015

INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN III-2015 DAN PERKIRAAN TRIWULAN IV-2015 BPS PROVINSI LAMPUNG No. 10/11/18.Th.V, 5 November 2015 INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN III-2015 DAN PERKIRAAN TRIWULAN IV-2015 INDEKS TENDENSI KONSUMEN LAMPUNG TRIWULAN III-2015 SEBESAR

Lebih terperinci

POTRET PENDIDIKAN PROVINSI JAWA TIMUR (Indikator Makro)

POTRET PENDIDIKAN PROVINSI JAWA TIMUR (Indikator Makro) POTRET PENDIDIKAN PROVINSI JAWA TIMUR (Indikator Makro) Pusat Data dan Statistik Pendidikan - Kebudayaan Setjen, Kemendikbud Jakarta, 2015 DAFTAR ISI A. Dua Konsep Pembahasan B. Potret IPM 2013 1. Nasional

Lebih terperinci

TABEL 1 LAJU PERTUMBUHAN PDRB MENURUT LAPANGAN USAHA (Persentase) Triw I 2011 Triw II Semester I 2011 LAPANGAN USAHA

TABEL 1 LAJU PERTUMBUHAN PDRB MENURUT LAPANGAN USAHA (Persentase) Triw I 2011 Triw II Semester I 2011 LAPANGAN USAHA No. 01/08/53/TH.XIV, 5 AGUSTUS PERTUMBUHAN EKONOMI NTT TRIWULAN II TUMBUH 5,21 PERSEN Pertumbuhan ekonomi NTT yang diukur berdasarkan kenaikan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) pada triwulan II tahun

Lebih terperinci

INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI PAPUA TRIWULAN IV-2016

INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI PAPUA TRIWULAN IV-2016 BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI PAPUA INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI PAPUA TRIWULAN A. Penjelasan Umum No. 11/02/94/Th. VII, 6 Februari 2017 Indeks Tendensi Konsumen (ITK) adalah indikator perkembangan

Lebih terperinci

INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN I-2016 DAN PERKIRAAN TRIWULAN II-2016

INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN I-2016 DAN PERKIRAAN TRIWULAN II-2016 BPS PROVINSI LAMPUNG No. 10/05/18/Th. VI, 4 Mei 2016 INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN I-2016 DAN PERKIRAAN TRIWULAN II-2016 INDEKS TENDENSI KONSUMEN LAMPUNG TRIWULAN I-2016 SEBESAR 101,55

Lebih terperinci

MENTERI PEKERJAAN UMUM REPUBLIK INDONESIA

MENTERI PEKERJAAN UMUM REPUBLIK INDONESIA MENTERI PEKERJAAN UMUM REPUBLIK INDONESIA Disampaikan pada: SEMINAR NASIONAL FEED THE WORLD JAKARTA, 28 JANUARI 2010 Pendekatan Pengembangan Wilayah PU Pengembanga n Wilayah SDA BM CK Perkim BG AM AL Sampah

Lebih terperinci

INDEK KOMPETENSI SEKOLAH SMA/MA (Daya Serap UN Murni 2014)

INDEK KOMPETENSI SEKOLAH SMA/MA (Daya Serap UN Murni 2014) F INDEK KOMPETENSI SEKOLAH SMA/MA (Daya Serap UN Murni 2014) Kemampuan Siswa dalam Menyerap Mata Pelajaran, dan dapat sebagai pendekatan melihat kompetensi Pendidik dalam menyampaikan mata pelajaran 1

Lebih terperinci

INDONESIA Percentage below / above median

INDONESIA Percentage below / above median National 1987 4.99 28169 35.9 Converted estimate 00421 National JAN-FEB 1989 5.00 14101 7.2 31.0 02371 5.00 498 8.4 38.0 Aceh 5.00 310 2.9 16.1 Bali 5.00 256 4.7 30.9 Bengkulu 5.00 423 5.9 30.0 DKI Jakarta

Lebih terperinci

DIREKTORAT JENDERAL KETENAGALISTRIKAN KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL

DIREKTORAT JENDERAL KETENAGALISTRIKAN KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL PROGRAM LISTRIK PERDESAAN DI INDONESIA: KEBIJAKAN, RENCANA DAN PENDANAAN Jakarta, 20 Juni 2013 DIREKTORAT JENDERAL KETENAGALISTRIKAN KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL KONDISI SAAT INI Kondisi

Lebih terperinci

IPM KABUPATEN BANGKA: CAPAIAN DAN TANTANGAN PAN BUDI MARWOTO BAPPEDA BANGKA 2014

IPM KABUPATEN BANGKA: CAPAIAN DAN TANTANGAN PAN BUDI MARWOTO BAPPEDA BANGKA 2014 IPM KABUPATEN BANGKA: CAPAIAN DAN TANTANGAN PAN BUDI MARWOTO BAPPEDA BANGKA 2014 LATAR BELAKANG Sebelum tahun 1970-an, pembangunan semata-mata dipandang sebagai fenomena ekonomi saja. (Todaro dan Smith)

Lebih terperinci

VI. ARAH PENGEMBANGAN PERTANIAN BEDASARKAN KESESUAIAN LAHAN

VI. ARAH PENGEMBANGAN PERTANIAN BEDASARKAN KESESUAIAN LAHAN VI. ARAH PENGEMBANGAN PERTANIAN BEDASARKAN KESESUAIAN LAHAN Pada bab V telah dibahas potensi dan kesesuaian lahan untuk seluruh komoditas pertanian berdasarkan pewilayahan komoditas secara nasional (Puslitbangtanak,

Lebih terperinci

INDEKS TENDENSI BISNIS DAN INDEKS TENDENSI KONSUMEN TRIWULAN I-2015

INDEKS TENDENSI BISNIS DAN INDEKS TENDENSI KONSUMEN TRIWULAN I-2015 BADAN PUSAT STATISTIK No. 46/05/Th. XVIII, 5 Mei 2015 INDEKS TENDENSI BISNIS DAN INDEKS TENDENSI KONSUMEN TRIWULAN I-2015 KONDISI BISNIS MENURUN NAMUN KONDISI EKONOMI KONSUMEN SEDIKIT MENINGKAT A. INDEKS

Lebih terperinci

INDEKS TENDENSI KONSUMEN

INDEKS TENDENSI KONSUMEN No. 10/02/91 Th. VI, 6 Februari 2012 INDEKS TENDENSI KONSUMEN A. Penjelasan Umum Indeks Tendensi Konsumen (ITK) adalah indikator perkembangan ekonomi terkini yang dihasilkan Badan Pusat Statistik melalui

Lebih terperinci

AKSES PELAYANAN KESEHATAN. Website:

AKSES PELAYANAN KESEHATAN. Website: AKSES PELAYANAN KESEHATAN Tujuan Mengetahui akses pelayanan kesehatan terdekat oleh rumah tangga dilihat dari : 1. Keberadaan fasilitas kesehatan 2. Moda transportasi 3. Waktu tempuh 4. Biaya transportasi

Lebih terperinci

C UN MURNI Tahun

C UN MURNI Tahun C UN MURNI Tahun 2014 1 Nilai UN Murni SMP/MTs Tahun 2014 Nasional 0,23 Prov. Sulbar 1,07 0,84 PETA SEBARAN SEKOLAH HASIL UN MURNI, MENURUT KWADRAN Kwadran 2 Kwadran 3 Kwadran 1 Kwadran 4 PETA SEBARAN

Lebih terperinci

5. PROFIL KINERJA FISKAL, PEREKONOMIAN, DAN KEMISKINAN SEKTORAL DAERAH DI INDONESIA

5. PROFIL KINERJA FISKAL, PEREKONOMIAN, DAN KEMISKINAN SEKTORAL DAERAH DI INDONESIA 86 5. PROFIL KINERJA FISKAL, PEREKONOMIAN, DAN KEMISKINAN SEKTORAL DAERAH DI INDONESIA Profil kinerja fiskal, perekonomian, dan kemiskinan sektoral daerah pada bagian ini dianalisis secara deskriptif berdasarkan

Lebih terperinci

INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI PAPUA TRIWULAN I-2016

INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI PAPUA TRIWULAN I-2016 No. 25/05/94/Th. VI, 4 Mei 2016 INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI PAPUA TRIWULAN A. Penjelasan Umum Indeks Tendensi Konsumen (ITK) adalah indikator perkembangan ekonomi konsumen terkini yang dihasilkan

Lebih terperinci

Evaluasi Kegiatan TA 2016 dan Rancangan Kegiatan TA 2017 Ditjen Prasarana dan Sarana Pertanian *)

Evaluasi Kegiatan TA 2016 dan Rancangan Kegiatan TA 2017 Ditjen Prasarana dan Sarana Pertanian *) Evaluasi Kegiatan TA 2016 dan Rancangan Kegiatan TA 2017 Ditjen Prasarana dan Sarana Pertanian *) Oleh : Dr. Ir. Sumarjo Gatot Irianto, MS, DAA Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian *) Disampaikan

Lebih terperinci

RENCANA KEGIATAN DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN TAHUN 2018

RENCANA KEGIATAN DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN TAHUN 2018 RENCANA KEGIATAN DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN TAHUN 2018 Disampaikan pada: MUSYAWARAH PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERTANIAN NASIONAL Jakarta, 30 Mei 2017 CAPAIAN INDIKATOR MAKRO PEMBANGUNAN PERKEBUNAN NO.

Lebih terperinci

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT JENDERAL TANAMAN PANGAN TRIWULAN III TAHUN 2017

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT JENDERAL TANAMAN PANGAN TRIWULAN III TAHUN 2017 LAPORAN KINERJA DIREKTORAT JENDERAL TANAMAN PANGAN TRIWULAN III TAHUN 2017 KEMENTERIAN PERTANIAN-RI DIREKTORAT JENDERAL TANAMAN PANGAN OKTOBER 2017 2017 Laporan Kinerja Triwulan III DAFTAR ISI KATA PENGANTAR

Lebih terperinci

Info Singkat Kemiskinan dan Penanggulangan Kemiskinan

Info Singkat Kemiskinan dan Penanggulangan Kemiskinan Info Singkat Kemiskinan dan Penanggulangan Kemiskinan http://simpadu-pk.bappenas.go.id 137448.622 1419265.7 148849.838 1548271.878 1614198.418 1784.239 1789143.87 18967.83 199946.591 294358.9 2222986.856

Lebih terperinci

INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN I-2017 DAN PERKIRAAN TRIWULAN II-2017

INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN I-2017 DAN PERKIRAAN TRIWULAN II-2017 BPS PROVINSI LAMPUNG No. 10/05/18/Th. VII, 5 Mei 2017 INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN I-2017 DAN PERKIRAAN TRIWULAN II-2017 INDEKS TENDENSI KONSUMEN LAMPUNG TRIWULAN I-2017 SEBESAR 101,81

Lebih terperinci

LAPORAN MINGGUAN DIREKTORAT PERLINDUNGAN TANAMAN PANGAN PERIODE 18 MEI 2018

LAPORAN MINGGUAN DIREKTORAT PERLINDUNGAN TANAMAN PANGAN PERIODE 18 MEI 2018 LAPORAN MINGGUAN DIREKTORAERLINDUNGAN TANAMAN PANGAN PERIODE 18 MEI 2018 LUAS SERANGAN OPT UTAMA PADA TANAMAN PADI 1. LUAS SERANGAN OPT UTAMA PADA TANAMAN PADI MK 2018 2. LUAS SERANGAN OPT UTAMA PADA TANAMAN

Lebih terperinci

KEBIJAKAN DAN STRATEGI PEMBERDAYAAN KOPERASI, USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH

KEBIJAKAN DAN STRATEGI PEMBERDAYAAN KOPERASI, USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH KEBIJAKAN DAN STRATEGI PEMBERDAYAAN KOPERASI, USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH Oleh: DR. Syarief Hasan, MM. MBA. Menteri Negara Koperasi dan UKM Pada Rapimnas Kadin Yogyakarta, 3 4 Oktober 2012 UMKM DALAM

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu negara. Hubungan keduanya dijelaskan dalam Hukum Okun yang menunjukkan

BAB I PENDAHULUAN. suatu negara. Hubungan keduanya dijelaskan dalam Hukum Okun yang menunjukkan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengangguran merupakan satu dari banyak permasalahan yang terjadi di seluruh negara di dunia, terutama di negara berkembang seperti Indonesia. Hal ini terjadi karena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masalah kemiskinan menjadi persoalan serius yang di hadapi oleh banyak

BAB I PENDAHULUAN. Masalah kemiskinan menjadi persoalan serius yang di hadapi oleh banyak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah kemiskinan menjadi persoalan serius yang di hadapi oleh banyak negara di dunia, karena dalam negara maju pun terdapat penduduk miskin. Kemiskinan identik dengan

Lebih terperinci

PUSAT DISTRIBUSI DAN CADANGAN PANGAN BADAN KETAHANAN PANGAN RENCANA PENGEMBANGAN SISTEM DISTRIBUSI DAN STABILITAS HARGA PANGAN TAHUN 2015

PUSAT DISTRIBUSI DAN CADANGAN PANGAN BADAN KETAHANAN PANGAN RENCANA PENGEMBANGAN SISTEM DISTRIBUSI DAN STABILITAS HARGA PANGAN TAHUN 2015 PUSAT DISTRIBUSI DAN CADANGAN PANGAN BADAN KETAHANAN PANGAN RENCANA PENGEMBANGAN SISTEM DISTRIBUSI DAN STABILITAS HARGA PANGAN TAHUN 2015 Workshop Perencanaan Ketahanan Pangan Tingkat Nasional Tahun 2015

Lebih terperinci

INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN IV-2016 DAN PERKIRAAN TRIWULAN I-2017

INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN IV-2016 DAN PERKIRAAN TRIWULAN I-2017 BPS PROVINSI LAMPUNG No. 10/02/18 TAHUN VII, 6 Februari 2017 INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN IV-2016 DAN PERKIRAAN TRIWULAN I-2017 INDEKS TENDENSI KONSUMEN LAMPUNG TRIWULAN IV-2016 SEBESAR

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI DAN HARGA PRODUSEN GABAH BULAN JUNI 2016

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI DAN HARGA PRODUSEN GABAH BULAN JUNI 2016 PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI DAN HARGA PRODUSEN GABAH BULAN JUNI A. PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI No. 36/07/63/Th.XIX, 1 Juli NILAI TUKAR PETANI (NTP) BULAN JUNI TURUN 0,18 PERSEN Pada NTP Kalimantan

Lebih terperinci

INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN II-2017 DAN PERKIRAAN TRIWULAN III-2017

INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN II-2017 DAN PERKIRAAN TRIWULAN III-2017 BPS PROVINSI LAMPUNG No. 10/08/18/Th.VII, 7 Agustus 2017 INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN II-2017 DAN PERKIRAAN TRIWULAN III-2017 INDEKS TENDENSI KONSUMEN LAMPUNG TRIWULAN II-2017 SEBESAR

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN

BAB IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN BAB IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN A. Kondisi Geografis Negara Indonesia Penulis menyajikan gambaran umum yang meliputi kondisi Geografis, kondisi ekonomi di 33 provinsi Indonesia. Sumber : Badan Pusat Statistik

Lebih terperinci

Analisis Kebijakan Pembiayaan Sektor Pertanian

Analisis Kebijakan Pembiayaan Sektor Pertanian LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2007 Analisis Kebijakan Pembiayaan Sektor Pertanian Oleh : Sahat M. Pasaribu Bambang Sayaza Jefferson Situmorang Wahyuning K. Sejati Adi Setyanto Juni Hestina PUSAT ANALISIS

Lebih terperinci

ISU STRATEGIS PROVINSI DALAM PENYUSUNAN RKP 2012

ISU STRATEGIS PROVINSI DALAM PENYUSUNAN RKP 2012 REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/BAPPENAS ISU STRATEGIS PROVINSI DALAM PENYUSUNAN RKP 2012 DIREKTUR PENGEMBANGAN WILAYAH KEMENTERIAN PPN/BAPPENAS Jakarta, 10 Maret 2011 OUTLINE

Lebih terperinci

SELAYANG PANDANG SIMLUH KP

SELAYANG PANDANG SIMLUH KP SELAYANG PANDANG SIMLUH KP Jakarta, 29 April 2014 PUSAT PENYULUHAN KELAUTAN DAN PERIKANAN BADAN PENGEMBANGAN SDM KELAUTAN DAN PERIKANAN KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN 2014 IMPLEMENTASI SISTEM PENYULUHAN

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI DAN HARGA PRODUSEN GABAH JAWA TENGAH BULAN AGUSTUS 2016

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI DAN HARGA PRODUSEN GABAH JAWA TENGAH BULAN AGUSTUS 2016 No. 63/09/33/Th.X, 01 September 2016 PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI DAN HARGA PRODUSEN GABAH JAWA TENGAH BULAN AGUSTUS 2016 A. PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI NILAI TUKAR PETANI (NTP) AGUSTUS 2016 SEBESAR

Lebih terperinci

DAFTAR ISI BUKU III RPJMN TAHUN PEMBANGUNAN BERDIMENSI KEWILAYAHAN : MEMPERKUAT SINERGI ANTARA PUSAT-DAERAH DAN ANTARDAERAH

DAFTAR ISI BUKU III RPJMN TAHUN PEMBANGUNAN BERDIMENSI KEWILAYAHAN : MEMPERKUAT SINERGI ANTARA PUSAT-DAERAH DAN ANTARDAERAH DAFTAR ISI BUKU III RPJMN TAHUN 2010-2014 PEMBANGUNAN BERDIMENSI KEWILAYAHAN : MEMPERKUAT SINERGI ANTARA PUSAT-DAERAH DAN ANTARDAERAH BAB.I ARAH KEBIJAKAN NASIONAL PENGEMBANGAN WILAYAH 2010-2014 1.1 Pendahuluan...

Lebih terperinci

HASIL Ujian Nasional SMP - Sederajat. Tahun Ajaran 2013/2014

HASIL Ujian Nasional SMP - Sederajat. Tahun Ajaran 2013/2014 HASIL Ujian Nasional SMP - Sederajat Tahun Ajaran 213/21 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta, 13 Juni 21 1 Ringkasan Hasil Akhir UN - SMP Tahun 213/21 Peserta UN 3.773.372 3.771.37 (99,9%) ya

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI DAN HARGA PRODUSEN GABAH BULAN FEBRUARI 2016

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI DAN HARGA PRODUSEN GABAH BULAN FEBRUARI 2016 PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI DAN HARGA PRODUSEN GABAH BULAN FEBRUARI A. PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI No. 15/03/63/Th.XIX, 1 Maret NILAI TUKAR PETANI (NTP) BULAN FEBRUARI TURUN 0,22 PERSEN Pada NTP

Lebih terperinci

DINAMIKA PDB SEKTOR PERTANIAN DAN PENDAPATAN PETANI

DINAMIKA PDB SEKTOR PERTANIAN DAN PENDAPATAN PETANI DINAMIKA PDB SEKTOR PERTANIAN DAN PENDAPATAN PETANI Hermanto dan Gatoet S. Hardono PENDAHULUAN Sebagai negara berkembang yang padat penduduknya, Indonesia memerlukan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB)

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang. Tabel 1 Peringkat daya saing negara-negara ASEAN tahun

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang. Tabel 1 Peringkat daya saing negara-negara ASEAN tahun 1 1 PENDAHULUAN Daya saing merupakan suatu hal yang mutlak dimiliki dalam persaingan pasar bebas. Perkembangan daya saing nasional di tingkat internasional juga tidak terlepas dari perkembangan daya saing

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. sumber daya alam tidak diragukan lagi Indonesia memiliki kekayaan alam yang

BAB 1 PENDAHULUAN. sumber daya alam tidak diragukan lagi Indonesia memiliki kekayaan alam yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara berkembang yang memiliki potensi sumber daya yang sangat besar baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia, untuk sumber daya alam tidak

Lebih terperinci

INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN III-2016 DAN PERKIRAAN TRIWULAN IV-2016

INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN III-2016 DAN PERKIRAAN TRIWULAN IV-2016 BPS PROVINSI LAMPUNG No. 10/11/18/Th. VI, 7 November 2016 INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN III-2016 DAN PERKIRAAN TRIWULAN IV-2016 INDEKS TENDENSI KONSUMEN LAMPUNG TRIWULAN III-2016 SEBESAR

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK

BERITA RESMI STATISTIK Inflai BERITA RESMI STATISTIK BPS PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT No. 74/11/52/Th VII, 7 November 2016 INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) TRIWULAN III-2016 A. Penjelasan Umum Indeks Tendensi Konsumen (ITK) adalah

Lebih terperinci

Pemanfaatan Hasil Ujian Nasional MTs untuk Perbaikan Akses dan Mutu Pendidikan

Pemanfaatan Hasil Ujian Nasional MTs untuk Perbaikan Akses dan Mutu Pendidikan Pemanfaatan Hasil Ujian Nasional MTs untuk Perbaikan Akses dan Mutu Pendidikan Asep Sjafrudin, S.Si, M.Si Jenjang Madrasah Tsanawiyah/Sekolah Menengah Pertama (MTs/SMP) memiliki peranan yang sangat penting

Lebih terperinci

INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN II-2016 DAN PERKIRAAN TRIWULAN III-2016

INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN II-2016 DAN PERKIRAAN TRIWULAN III-2016 BPS PROVINSI LAMPUNG No. 10/08/18/Th. VI, 5 Agustus 2016 INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN II-2016 DAN PERKIRAAN TRIWULAN III-2016 INDEKS TENDENSI KONSUMEN LAMPUNG TRIWULAN II-2016 SEBESAR

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI (NTP) PROVINSI PAPUA BULAN FEBRUARI 2014

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI (NTP) PROVINSI PAPUA BULAN FEBRUARI 2014 No. 14 / 03 / 94 / Th. VII, 2 Maret 2015 PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI (NTP) PROVINSI PAPUA BULAN FEBRUARI 2014 Nilai Tukar Petani Papua pada Februari 2015 sebesar 97,12 atau mengalami kenaikan 0,32

Lebih terperinci

Assalamu alaikum Wr. Wb.

Assalamu alaikum Wr. Wb. Sambutan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia Assalamu alaikum Wr. Wb. Sebuah kebijakan akan lebih menyentuh pada persoalan yang ada apabila dalam proses penyusunannya

Lebih terperinci

KINERJA TATA KELOLA PROVINSI SULTENG

KINERJA TATA KELOLA PROVINSI SULTENG KINERJA TATA KELOLA PROVINSI SULTENG SEKILAS TENTANG IGI Indonesia Governance Index (IGI) adalah pengukuran kinerja tata kelola pemerintahan (governance) di Indonesia yang sangat komprehensif. Pada saat

Lebih terperinci

PETA KEMAMPUAN KEUANGAN PROVINSI DALAM ERA OTONOMI DAERAH:

PETA KEMAMPUAN KEUANGAN PROVINSI DALAM ERA OTONOMI DAERAH: PETA KEMAMPUAN KEUANGAN PROVINSI DALAM ERA OTONOMI DAERAH: Tinjauan atas Kinerja PAD, dan Upaya yang Dilakukan Daerah Direktorat Pengembangan Otonomi Daerah deddyk@bappenas.go.id Abstrak Tujuan kajian

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI DAN HARGA PRODUSEN GABAH JAWA TENGAH BULAN MEI 2017

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI DAN HARGA PRODUSEN GABAH JAWA TENGAH BULAN MEI 2017 No. 41/06/33/Th.XI, 2 Juni 2017 PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI DAN HARGA PRODUSEN GABAH JAWA TENGAH BULAN MEI 2017 A. PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI NILAI TUKAR PETANI (NTP) MEI 2017 SEBESAR 98,70 ATAU

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA LEMBAGA PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA LEMBAGA PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA LEMBAGA PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL,

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI DAN HARGA PRODUSEN GABAH JAWA TENGAH BULAN JULI 2015

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI DAN HARGA PRODUSEN GABAH JAWA TENGAH BULAN JULI 2015 No. 53/08/33/Th.IX, 03 Agustus 2015 PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI DAN HARGA PRODUSEN GABAH JAWA TENGAH BULAN JULI 2015 A. PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI NILAI TUKAR PETANI (NTP) JULI 2015 SEBESAR 98,99

Lebih terperinci

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI KALIMANTAN TENGAH. 07 November 2016

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI KALIMANTAN TENGAH. 07 November 2016 BADAN PUSAT STATISTIK 07 November 2016 Berita Resmi Statistik Pertumbuhan Ekonomi Kalimantan Tengah (Produk Domestik Regional Bruto) Indeks Tendensi Konsumen 7 November 2016 BADAN PUSAT STATISTIK Pertumbuhan

Lebih terperinci

Disabilitas. Website:

Disabilitas. Website: Disabilitas Konsep umum Setiap orang memiliki peran tertentu = bekerja dan melaksanakan kegiatan / aktivitas rutin yang diperlukan Tujuan Pemahaman utuh pengalaman hidup penduduk karena kondisi kesehatan

Lebih terperinci

PENYALURAN DAK FISIK DAN DANA DESA TA 2017

PENYALURAN DAK FISIK DAN DANA DESA TA 2017 PENYALURAN DAK FISIK DAN DANA DESA TA 2017 PELAKSANAAN PENYALURAN 1. Penyaluran melalui KPPN dilaksanakan berdasarkan PMK nomor 112/PMK.07/2017 tentang Perubahan PMK nomor 50/PMK.07/2017 tentang Pengelolaan

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI DAN HARGA PRODUSEN GABAH BULAN MEI 2017

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI DAN HARGA PRODUSEN GABAH BULAN MEI 2017 NILAI TUKAR PETANI (NTP) BULAN MEI TURUN 0,06 PERSEN Pada Mei NTP Kalimantan Selatan tercatat 96,67 atau turun 0,06 persen dibanding NTP April yang mencapai 96,73. Turunnya NTP ini disebabkan indeks harga

Lebih terperinci

KEBIJAKAN LOKASI PROGRAM PERBAIKAN IRIGASI BERDASARKAN PELUANG PENINGKATAN INDEKS PERTANAMAN (IP) 1

KEBIJAKAN LOKASI PROGRAM PERBAIKAN IRIGASI BERDASARKAN PELUANG PENINGKATAN INDEKS PERTANAMAN (IP) 1 KEBIJAKAN LOKASI PROGRAM PERBAIKAN IRIGASI BERDASARKAN PELUANG PENINGKATAN INDEKS PERTANAMAN (IP) 1 Sudi Mardianto, Ketut Kariyasa, dan Mohamad Maulana Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi

Lebih terperinci

PENETAPAN KINERJA TAHUN 2011 DIREKTORAT PERLINDUNGAN PERKEBUNAN

PENETAPAN KINERJA TAHUN 2011 DIREKTORAT PERLINDUNGAN PERKEBUNAN PENETAPAN KINERJA TAHUN 2011 DIREKTORAT PERLINDUNGAN PERKEBUNAN Dalam rangka mewujudkan manajemen pemerintahan yang efektif, transparan, dan akuntabel serta berorientasi pada hasil, kami yang bertandatangan

Lebih terperinci

SURVEI HARGA PROPERTI RESIDENSIAL

SURVEI HARGA PROPERTI RESIDENSIAL SURVEI HARGA PROPERTI RESIDENSIAL Triwulan IV - 2016 Harga Properti Residensial pada Triwulan IV-2016 Meningkat Indeks Harga Properti Residensial pada triwulan IV-2016 tumbuh sebesar 0,37% (qtq), sedikit

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI DAN HARGA PRODUSEN GABAH BULAN JUNI 2017

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI DAN HARGA PRODUSEN GABAH BULAN JUNI 2017 NILAI TUKAR PETANI (NTP) BULAN JUNI SEBESAR 96,06 ATAU TURUN 0,64 PERSEN Pada Juni NTP Kalimantan Selatan tercatat 96,06 atau turun 0,64 persen dibanding NTP Mei yang mencapai 96,67. Turunnya NTP ini disebabkan

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI DAN HARGA PRODUSEN GABAH JAWA TENGAH BULAN MARET 2015

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI DAN HARGA PRODUSEN GABAH JAWA TENGAH BULAN MARET 2015 No. 27/04/33/Th.IX, 01 April 2015 PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI DAN HARGA PRODUSEN GABAH JAWA TENGAH BULAN MARET 2015 A. PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI NILAI TUKAR PETANI (NTP) MARET 2015 SEBESAR 99,92

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI DAN HARGA PRODUSEN GABAH BULAN APRIL 2016

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI DAN HARGA PRODUSEN GABAH BULAN APRIL 2016 PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI DAN HARGA PRODUSEN GABAH BULAN APRIL A. PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI No. 24/05/63/Th.XIX, 2 Mei NILAI TUKAR PETANI (NTP) BULAN APRIL TURUN 0,14 PERSEN Pada NTP Kalimantan

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI DAN HARGA PRODUSEN GABAH BULAN MEI 2015

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI DAN HARGA PRODUSEN GABAH BULAN MEI 2015 No. 35/06/63/Th.XIX, 1 Juni PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI DAN HARGA PRODUSEN GABAH BULAN MEI A. PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI NILAI TUKAR PETANI (NTP) BULAN MEI TURUN 0,36 PERSEN Pada Mei NTP Kalimantan

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI DAN HARGA PRODUSEN GABAH BULAN AGUSTUS 2017

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI DAN HARGA PRODUSEN GABAH BULAN AGUSTUS 2017 NILAI TUKAR PETANI (NTP) BULAN AGUSTUS SEBESAR 95,82 ATAU NAIK 0,44 PERSEN No. 51/09/63/Th.XXI, 4 September PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI DAN HARGA PRODUSEN GABAH BULAN AGUSTUS A. PERKEMBANGAN NILAI

Lebih terperinci

PEMBIAYAAN KESEHATAN. Website:

PEMBIAYAAN KESEHATAN. Website: PEMBIAYAAN KESEHATAN Pembiayaan Kesehatan Pembiayaan kesehatan adalah besarnya dana yang harus disediakan untuk menyelenggarakan dan atau memanfaatkan upaya kesehatan/memperbaiki keadaan kesehatan yang

Lebih terperinci

PEMBINAAN KELEMBAGAAN KOPERASI

PEMBINAAN KELEMBAGAAN KOPERASI Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia PEMBINAAN KELEMBAGAAN KOPERASI Oleh: DEPUTI BIDANG KELEMBAGAAN Pada Acara : RAPAT KOORDINASI TERBATAS Jakarta, 16 Mei 2017 ISI 1 PEMBUBARAN

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI DAN HARGA PRODUSEN GABAH BULAN AGUSTUS 2011

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI DAN HARGA PRODUSEN GABAH BULAN AGUSTUS 2011 No. 46 /09/63/Th.XV, 5 September 2011 PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI DAN HARGA PRODUSEN GABAH BULAN AGUSTUS 2011 A. PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI NILAI TUKAR PETANI ( NTP) AGUSTUS 2011 SEBESAR 108,22

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sosial. Selain itu pembangunan adalah rangkaian dari upaya dan proses yang

BAB I PENDAHULUAN. sosial. Selain itu pembangunan adalah rangkaian dari upaya dan proses yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pembangunan adalah kemajuan yang diharapkan oleh setiap negara. Pembangunan adalah perubahan yang terjadi pada semua struktur ekonomi dan sosial. Selain itu

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI DAN HARGA PRODUSEN GABAH JAWA TENGAH BULAN JULI 2017

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI DAN HARGA PRODUSEN GABAH JAWA TENGAH BULAN JULI 2017 No. 53/08/33/Th.XI, 1 Agustus 2017 PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI DAN HARGA PRODUSEN GABAH JAWA TENGAH BULAN JULI 2017 A. PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI NILAI TUKAR PETANI (NTP) JULI 2017 SEBESAR 100,22

Lebih terperinci

IPM 2013 Prov. Kep. Riau (Perbandingan Kab-Kota)

IPM 2013 Prov. Kep. Riau (Perbandingan Kab-Kota) IPM 2013 Prov. Kep. Riau (Perbandingan Kab-Kota) DISTRIBUSI PENCAPAIAN IPM PROVINSI TAHUN 2013 Tahun 2013 Tahun 2013 DKI DIY Sulut Kaltim Riau Kepri Kalteng Sumut Sumbar Kaltara Bengkulu Sumsel Jambi Babel

Lebih terperinci

Analisis Hasil Ujian Nasional Madrasah Tsanawiyah Tahun 2008

Analisis Hasil Ujian Nasional Madrasah Tsanawiyah Tahun 2008 Analisis Hasil Ujian Nasional Madrasah Tsanawiyah Tahun 2008 Oleh : Asep Sjafrudin, M.Si 1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Sebagai jenjang terakhir dalam program Wajib Belajar 9 Tahun Pendidikan Dasar

Lebih terperinci

Propinsi Kelas 1 Kelas 2 Jumlah Sumut Sumbar Jambi Bengkulu Lampung

Propinsi Kelas 1 Kelas 2 Jumlah Sumut Sumbar Jambi Bengkulu Lampung 2.11.3.1. Santri Berdasarkan Kelas Pada Madrasah Diniyah Takmiliyah (Madin) Tingkat Ulya No Kelas 1 Kelas 2 1 Aceh 19 482 324 806 2 Sumut 3 Sumbar 1 7-7 4 Riau 5 Jambi 6 Sumsel 17 83 1.215 1.298 7 Bengkulu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian merupakan suatu tindakan untuk mengubah kondisi

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian merupakan suatu tindakan untuk mengubah kondisi 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan pertanian merupakan suatu tindakan untuk mengubah kondisi pertanian dari kondisi yang kurang menguntungkan menjadi kondisi yang lebih menguntungkan (long

Lebih terperinci

KINERJA TATA KELOLA PROVINSI GORONTALO

KINERJA TATA KELOLA PROVINSI GORONTALO KINERJA TATA KELOLA PROVINSI GORONTALO SEKILAS TENTANG IGI Indonesia Governance Index (IGI) adalah pengukuran kinerja tata kelola pemerintahan (governance) di Indonesia yang sangat komprehensif. Pada saat

Lebih terperinci

PEMANTAUAN CAPAIAN PROGRAM & KEGIATAN KEMENKES TA 2015 OLEH: BIRO PERENCANAAN & ANGGARAN JAKARTA, 7 DESEMBER 2015

PEMANTAUAN CAPAIAN PROGRAM & KEGIATAN KEMENKES TA 2015 OLEH: BIRO PERENCANAAN & ANGGARAN JAKARTA, 7 DESEMBER 2015 PEMANTAUAN CAPAIAN PROGRAM & KEGIATAN KEMENKES TA 2015 OLEH: BIRO PERENCANAAN & ANGGARAN JAKARTA, 7 DESEMBER 2015 Penilaian Status Capaian Pelaksanaan Kegiatan/ Program Menurut e-monev DJA CAPAIAN KINERJA

Lebih terperinci

KINERJA TATA KELOLA PROVINSI PAPUA

KINERJA TATA KELOLA PROVINSI PAPUA KINERJA TATA KELOLA PROVINSI PAPUA SEKILAS TENTANG IGI Indonesia Governance Index (IGI) adalah pengukuran kinerja tata kelola pemerintahan (governance) di Indonesia yang sangat komprehensif. Pada saat

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI DAN HARGA PRODUSEN GABAH JAWA TENGAH BULAN JULI 2016

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI DAN HARGA PRODUSEN GABAH JAWA TENGAH BULAN JULI 2016 No. 53/08/33/Th.X, 01 Agustus 2016 PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI DAN HARGA PRODUSEN GABAH JAWA TENGAH BULAN JULI 2016 A. PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI NILAI TUKAR PETANI (NTP) JULI 2016 SEBESAR 99,93

Lebih terperinci

KINERJA TATA KELOLA PROVINSI SUMATERA SELATAN

KINERJA TATA KELOLA PROVINSI SUMATERA SELATAN KINERJA TATA KELOLA PROVINSI SUMATERA SELATAN SEKILAS TENTANG IGI Indonesia Governance Index (IGI) adalah pengukuran kinerja tata kelola pemerintahan (governance) di Indonesia yang sangat komprehensif.

Lebih terperinci

Laksono Trisnantoro Ketua Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada

Laksono Trisnantoro Ketua Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Laksono Trisnantoro Ketua Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada 1 Pembahasan 1. Makna Ekonomi Politik 2. Makna Pemerataan 3. Makna Mutu 4. Implikasi terhadap

Lebih terperinci

NAMA, LOKASI, ESELONISASI, KEDUDUKAN, DAN WILAYAH KERJA

NAMA, LOKASI, ESELONISASI, KEDUDUKAN, DAN WILAYAH KERJA 2012, No.659 6 LAMPIRAN I PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI NOMOR PER.07/MEN/IV/2011

Lebih terperinci

INDEKS KEBAHAGIAAN KALIMANTAN SELATAN TAHUN 2017

INDEKS KEBAHAGIAAN KALIMANTAN SELATAN TAHUN 2017 Nomor : 048/08/63/Th.XX, 15 Agustus 2017 INDEKS KEBAHAGIAAN KALIMANTAN SELATAN TAHUN 2017 INDEKS KEBAHAGIAAN KALIMANTAN SELATAN TAHUN 2017 SEBESAR 71,99 (SKALA 0-100) Kebahagiaan Kalimantan Selatan tahun

Lebih terperinci

KINERJA TATA KELOLA PROVINSI DIY

KINERJA TATA KELOLA PROVINSI DIY KINERJA TATA KELOLA PROVINSI DIY SEKILAS TENTANG IGI Indonesia Governance Index (IGI) adalah pengukuran kinerja tata kelola pemerintahan (governance) di Indonesia yang sangat komprehensif. Pada saat ini

Lebih terperinci

KINERJA TATA KELOLA PROVINSI JAWA TIMUR

KINERJA TATA KELOLA PROVINSI JAWA TIMUR KINERJA TATA KELOLA PROVINSI JAWA TIMUR SEKILAS TENTANG IGI Indonesia Governance Index (IGI) adalah pengukuran kinerja tata kelola pemerintahan (governance) di Indonesia yang sangat komprehensif. Pada

Lebih terperinci