Sabtu, 07 Januari 2012

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Sabtu, 07 Januari 2012"

Transkripsi

1 Sabtu, 07 Januari 2012 Dilema etik keperawatan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini menghadapi pasien yang dalam kondisi antara hidup dan mati kadang menimbulkan dilema. Meminta petimbangan keluarga pasien, seringkali tidak menyelesaikan masalah justru menimbulkan masalah baru. Pasien-pasien sakit berat yang mengandalkan bantuan ventilator dan alat-alat penunjang hidup lainnya, seringkali membingungkan dokter yang merawatnya. Dari sisi medis, pasien tidak ada harapan hidup karena hampir semua organ vital tubuhnya sudah rusak. Namun di sisi lain, mencabut semua alat bantu hidup dianggap sebagai tindakan pembunuhan yang tentunya bisa berbuntut peluang penuntutan oleh keluarga pasien. Di luar itu, biaya perawatan ICU yang tidak murah semakin membengkak dan bisa jadi keluarga pasien pun tak sanggup menanggungnya. Situasi tersebut seringkali dialami oleh dokter yang bertugas di ICU. End-of life decisions, atau keputusan untuk mengakhiri hidup pasien-pasien yang tidak ada harapan hidup, dilihat dari pertimbangan etis dan medis. Pasien kritis yang memiliki harapan hidup wajib masuk ICU. Namun hanya ada empat kemungkinan bagi pasien yang masuk ICU: sembuh (getting better), meninggal, mengalami mati batang otak (brain stem death), atau dalam kondisi tidak ada harapan hidup dan sepenuhnya bergantung dengan bantuan ventilator. Pasien jenis terakhir inilah yang terkadang menjadi dilema bagi dokter. Dari sisi penilaian medis, pemberian ventilator tidak akan bermanfaat, hanya memperpanjang proses kematian. Masalahnya di Indonesiabelum banyak dokter yang berani melakukan end-of-life decision. Padahal, sudah ada fatwa IDI yang membolehkan hal itu. Ada beberapa pilihan yang bisa dilakukan dokter terhadap pasien tanpa harapan hidup, yakni with-holding atau with-drawing life supports, yakni penundaan atau penghentian alat bantuan hidup. Kedua tindakan ini bisa dilakukan pada pasien yang dalam kondisi vegetatif (sindroma aplika atau mati sosial). Kondisi vegetatif bisa dijelaskan secara medis

2 bila terdapat kerusakan otak berat yang ireversibel pada pasien yang tetap tidak sadar dan tidak responsive, tetapi pasien memiliki EEG aktif dan beberapa refleks yang utuh.pada pasien bisa saja terdapat daur antara sadar dan tidur. Ini harus dibedakan dari mati serebral yang EEG-nya tenang atau dari mati batang otak (MBO), di mana tidak ada refleks saraf otak dan nafas spontan. Meski sebagian masyarakat masih sulit menerima, namun pasien yang sudah mati batang otak, dari sisi medis dinyatakan sudah meninggal. Normalnya, ventilator secara otomatis akan dilepaskan dari pasien dan jantung akan berhenti tidak lama kemudian. Namun secara legal maupun moral, sebenarnya tidak ada perbedaan di antara kedua tindakan tersebut.tindakan ini berbeda dengan eutanasia yang diartikan sebagai tindakan aktif dan langsung untuk mengakhiri kehidupan. Sebagian besar negara termasuk Indonesia melarang tindakan eutanasia. 1.3 Rumusan Masalah 1. Apakah euthanasia itu? 2. Bagaimana hubungan mati batang otak dengan euthanasia? 3. Apa dasar hukum yang melandasi diperbolehkannya tindakan euthanasia di Indonesia? 4. Mengapa euthanasia menyebabkan dilemma bagi para dokter klinisi? 5. Mengapa euthanasia menjadi pro dan kontra di Indonesia? 1.4 Tujuan Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini antara lain : 1. Untuk mengetahui pengertian euthanasia dan keterkaitannya dengan kejadian mati batang otak 2. Untuk mengetahui landasan hukum yang memperkuat tindakan euthanasia 3. Untuk memahami berbagai dilema yang terjadi pada kasus pasien mati batang otak euthanasia terhadap para klinisi di Indonesia.

3 2.1 Pengertian BAB II TINJAUAN PUSTAKA Istilah eutanasia berasal dari bahasa Yunani: eu (baik) dan thanatos (kematian), sehingga dari segi asalnya berarti kematian yang baik atau mati dengan baik. Istilah lain yang hampir semakna dengan itu dalam bahasa arab adalah qatl ar-rahmah (pembunuhan dengan kasih sayang) atau taisir al-maut (memudahkan kematian). Eutanasia sendiri sering diartikan sebagai tindakan memudahkan kematian seseorang dengan sengaja tanpa merasakan sakit, karena kasih sayang, dengan tujuan meringankan penderitaan si sakit, baik dengan cara positif maupun negatif. Kemudian jika jauh merujuk ke belakang. Menurut Philo (50-20 SM) eutanasia berarti mati dengan tenang dan baik, sedangkan Suetonis penulis Romawi dalam bukunya yang berjudul Vita Ceasarum mengatakan bahwa euthanasia berarti mati cepat tanpa derita (dikutip dari 5). Sejak abad 19 terminologi euthanasia dipakai untuk penghindaran rasa sakit dan

4 peringanan pada umumnya bagi yang sedang menghadapi kematian dengan pertolongan dokter. Kode Etik Kedokteran Indonesia menggunakan eutanasia dalam tiga arti, yaitu: 1. Berpindahnya ke alam baka dengan tenang dan aman tanpa penderitaan, buat yang beriman dengan nama Allah di bibir. 2. Waktu hidup akan berakhir, diringankan penderitaan sisakit dengan pemberikan obat penenang. 3. Mengakhiri penderitaan dan hidup seorang sakit dengan sengaja atas permintaan pasien sendiri dan keluarganya. Dari pengertian pengertian di atas maka eutanasia mengandung unsur-unsur sebagai berikut: 1. Berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu. 2. Mengakhiri hidup, mempercepat kematian, atau tidak memperpanjang hidup pasien. 3. Pasien menderita suatu penyakit yang sulit untuk disembuhkan. 4. Atas atau tanpa permintaan pasien dan atau keluarganya. 5. Demi kepentingan pasien dan atau keluarganya. Jadi sebenarnya secara harafiah, eutanasia tidak bisa diartikan sebagai suatu pembunuhan atau upaya menghilangkan nyawa seseorang. 2.2 Jenis-jenis Eutanasia Mengikuti J. Wunderli yang membedakan tiga arti etunasia: 1. Eutanasia Tidak semua kemungkinan teknik kedokteran yang sebetulnya tersedia untuk memperpanjang kehidupan seorang pasien dipergunakan. 2. Eutanasia tidak langsung Usaha untuk memperingan kematian dengan efek sampingan bahwa pasien barangkali meninggal dengan lebih cepat. Di sini termasuk pemberian segala macam obat narkotika, hipnotika, dan analgetika yang barangkali de facto dapat memperpendek kehidupan walaupun hal itu tidak disengaja. 3. Eutanasia aktif (mercy killing):

5 Proses kematian diperingan dengan memperpendek kehidupan secara terarah dan langsung. Dalam eutanasia aktif masih perlu dibedakan apakah pasien menginginkannya, tidak menginginkannya, atau tidak berada dalam keadaan di mana keinginannya dapat di ketahui. 2.3 Beberapa Aspek Dalam Eutanasia 1. Aspek Hukum Undang-undang yang tertulis dalam KUHP Pidana hanya melihat dari dokter sebagai pelaku utama euthanasia, khususnya euthanasia aktif dan dianggap sebagai suatu pembunuhan berencana, atau dengan sengaja menghilangkan nyawa seseorang. Sehingga dalam aspek hukum, dokter selalu pada pihak yang dipersalahkan dalam tindakan euthanasia, tanpa melihat latar belakang dilakukannya euthanasia tersebut. Tidak perduli apakah tindakan tersebut atas permintaan pasien itu sendiri atau keluarganya, untuk mengurangi penderitaan pasien dalam keadaan sekarat atau rasa sakit yang sangat hebat yang belum diketahui pengobatannya. Di lain pihak hakim dapat menjatuhkan pidana mati bagi seseorang yang masih segar bugar yang tentunya masih ingin hidup, dan bukan menghendaki kematiannya seperti pasien yang sangat menderita tersebut, tanpa dijerat oleh pasal pasal dalam undang undang yang terdapat dalam KUHP Pidana. 2. Aspek Hak Asasi Hak asasi manusia selalu dikaitkan dengan hak hidup, damai dan sebagainya. Tapi tidak tercantum dengan jelas adanya hak seseorang untuk mati. Mati sepertinya justru dihubungkan dengan pelanggaran hak asasi manusia. Hal ini terbukti dari aspek hukum euthanasia, yang cenderung menyalahkan tenaga medis dalam euthanasia. Sebetulnya dengan dianutnya hak untuk hidup layak dan sebagainya, secara tidak langsung seharusnya terbersit adanya hak untuk mati, apabila dipakai untuk menghindarkan diri dari segala ketidak nyamanan atau lebih tegas lagi dari segala penderitaan yang hebat. 3. Aspek Ilmu Pengetahuan Pengetahuan kedokteran dapat memperkirakan kemungkinan keberhasilan upaya tindakan medis untuk mencapai kesembuhan atau pengurangan penderitaan pasien. Apabila secara ilmu kedokteran hampir tidak ada kemungkinan untuk mendapatkan kesembuhan ataupun

6 pengurangan penderitaan, apakah seseorang tidak boleh mengajukan haknya untuk tidak diperpanjang lagi hidupnya? Segala upaya yang dilakukan akan sia-sia, bahkan sebaliknya dapat dituduhkan suatu kebohongan, karena di samping tidak membawa kepada kesembuhan, keluarga yang lain akan terseret dalam pengurasan dana. 4. Aspek Agama Kelahiran dan kematian merupakan hak dari Tuhan sehingga tidak ada seorangpun di dunia ini yang mempunyai hak untuk memperpanjang atau memperpendek umurnya sendiri. Pernyataan ini menurut ahli ahli agama secara tegas melarang tindakan euthanasia, apapun alasannya. Dokter bisa dikategorikan melakukan dosa besar dan melawan kehendak Tuhan yaitu memperpendek umur. Orang yang menghendaki euthanasia, walaupun dengan penuh penderitaan bahkan kadang kadang dalam keadaan sekarat dapat dikategorikan putus asa, dan putus asa tidak berkenan dihadapan Tuhan. Tapi putusan hakim dalam pidana mati pada seseorang yang segar bugar, dan tentunya sangat tidak ingin mati, dan tidak dalam penderitaan apalagi sekarat, tidak pernah dikaitkan dengan pernyataan agama yang satu ini. Aspek lain dari pernyataan memperpanjang umur, sebenarnya bila dikaitkan dengan usaha medis bisa menimbulkan masalah lain. Mengapa orang harus kedokter dan berobat untuk mengatasi penyakitnya, kalau memang umur mutlak di tangan Tuhan, kalau belum waktunya, tidak akan mati. Kalau seseorang berupaya mengobati penyakitnya maka dapat pula diartikan sebagai upaya memperpanjang umur atau menunda proses kematian. Jadi upaya medispun dapat dipermasalahkan sebagai melawan kehendak Tuhan. Dalam hal hal seperti ini manusia sering menggunakan standar ganda. Hal hal yang menurutnya baik, tidak perlu melihat pada hukum hukum yang ada, atau bahkan mencarikan dalil lain yang bisa mendukung pendapatnya, tapi pada saat manusia merasa bahwa hal tersebut kurang cocok dengan hatinya, maka dikeluarkanlah berbagai dalil untuk menopangnya. 2.4 Praktek Eutanasia di Negara YangMelegalkannya Di beberapa tempat sudah pernah diadakan jajak pendapat bahkan referendum untuk mengetahui pendapat masyarakat dalam hal eutanasia dan bunuh diri berbantuan. Tetapi kalaupun mayoritas masyarakat menyetujui, dengan itu masalahnya belum selesai, karena menurut hukum di hampir semua negara eutanasia tergolong tindakan kriminal menurut ukuran Kitab Hukum Pidana. Yang menarik adalah, selama beberapa tahun terakhir ini, di bidang hukum terjadi terobosan. Beberapa negara sudah memodifikasi hukumnya agar

7 eutanasia atau bunuh diri berbantuan diperbolehkan dan lebih banyak negara lagi sedang mengadakan percobaan ke arah itu. Belanda adalah negara pertama yang memungkinkan eutanasia. Tetapi perlu ditekankan, dalam Kitab Hukum Pidana Belanda secara formal eutanasia masih dipertahankan sebagai perbuatan kriminal. Hanya saja, kalau beberapa syarat dipenuhi, dokter yang melakukan tidak akan dituntut di pengadilan. Tindakannya akan dianggap sebagai force majeure atau keadaan terpaksa, di mana hukum tidak bisa dipenuhi. Sejak akhir tahun 1993, Belanda secara hukum mengatur kewajiban para dokter untuk melapor semua kasus eutanasia dan bunuh diri berbantuan. Instansi kehakiman selalu akan menilai betul tidaknya prosedurnya Negara bagian Australia, Northern Territory, menjadi tempat pertama di dunia dengan UU yang mengizinkan eutanasia dan bunuh diri berbantuan, meski reputasi ini tidak bertahan lama. Pada tahun 1995 Northern Territory menerima UU yang disebut Right of the terminally ill bill (UU tentang hak pasien terminal). Undang-undang baru ini beberapa kali dipraktikkan, tetapi bulan Maret 1997 ditiadakan oleh keputusan Senat Australia, sehingga harus ditarik kembali. Saat ini satu-satunya tempat di mana hukum secara eksplisit mengizinkan pasien terminal mengakhiri hidupnya adalah negara bagian AS, Oregon. Tahun 1997 Oregon melegalisasikan kemungkinan ini dengan memberlakukan The death with dignity act (UU tentang kematian yang pantas). Belum jelas entah undang-undang Oregon ini bisa dipertahankan di masa depan, sebab dalam Senat AS pun ada usaha untuk meniadakan UU negara bagian ini. Mungkin saja nanti nasibnya sama dengan UU Northern Territory di Australia. Bulan Februari lalu sebuah studi terbit tentang pelaksanaan UU Oregon selama tahun 1999 (The New England Journal of Medicine, ).[16] Sebuah fakta eutanasia di AS yang telah dilakukan oleh dr. Jack Kevorkian. Kevorkian yang dijuluki Doctor Death itu menolong pasien yang masih diragukan statusnya, sehingga menjadi tanda tanya apakah yang dilakukannya itu benar-benar menolong pasien atau malahan membunuhnya. Dari 69 pasien yang kematiannya dibantu oleh dr. Kevorkian antara , hanya 25% yang didiagnosis sebagai terminally-ill

8 berdasarkan hasil otopsi. Sebanyak 72% dari pasien itu diduga kuat semakin menurun kondisi kesehatannya, justru karena dorongan keinginannya untuk mati. Hal yang juga patut diperhatikan ialah 71% dari pasien yang dibantu oleh dr. Kevorkian ternyata adalah wanita, suatu fakta yang bertentangan dengan data epidemiologis di berbagai kawasan dunia yang justru menunjukkan bahwa kaum wanita yang ingin mati karena penyakitnya jauh lebih sedikit dibanding kaum laki-laki. Dengan demikian, apa yang dilakukan oleh Doctor Death itu sekarang menjadi perdebatan dari segi etika, sosial, dan hukum kedokteran, pantaskah dokter menentukan status dan kemudian langsung menolong pasien yang berkeinginan mati tersebut. Perlukah suatu badan atau dewan yang berwenang menentukan atau memutuskan bahwa seseorang telah sampai pada tahap terminally-ill dan untuk itu layak ditolong dengan euthanasia? Di Indonesia seruan akan legalisasi eutanasia belum terdengar lantang. Mungkin, Menteri Negara Urusan HAM kita belum pernah mendapat permintaan untuk menaruh perhatian kepada hak untuk mati. Tetapi tidak mungkin diragukan, perawatan pasien terminal juga merupakan suatu masalah medis yang mahapenting di Tanah Air kita.

9 BAB III TINJAUAN KASUS 2.1 Kasus pertama Pasien Tn. M, umur 60 tahun dengan diagnose dokter suspek syok kardiogenik, dirawat di icu RSUD PB baru beberapa jam, kesadaran koma, terpasang ventilator, obat-obatan sudah maksimal untuk mempertahankan fungsi jantung dan organ vital lainnya. Urine tidak keluar sejak pasien masuk icu. Keluarga menginginkan dicabut semua alat bantu yang ada pada pasien. Penjelasan sudah diberikan kepada keluarga, dokter meminta kesempatan kepada keluarga untuk mencoba menyelamatkan nyawa pasien, tetapi keluarga tetap pada pendiriannya. Keluarga menandatangani surat penolakan untuk diteruskannya perawatan di icu dan surat penolakan dilakukannya tindakan. Akhirnya ventilator dimatikan oleh anak pasien dan semua alat dicabut dari pasien dengan disaksikan oleh keluarga, dokter dan perawat icu dan pasien meninggal dunia. 2.2 Kasus Kedua Kasus ini benar-benar terjadi disuatu kota di Indonesia. Seorang pasien (72 tahun) sudah tidak bekerja dan tidak mempunyai mata pencaharian lagi, jatuh sakit. Hidupnya tergantung dari para saudara yang tidak bisa menolong banyak. Suatu hari dia jatuh pingsan dan dibawa ke suatu rumah sakit dan dimasukkan ke High Care Unit. Pasien diberikan oksigen. Pemeriksaan laboratorium menujukkan bahwa kedua ginjalnya sudah tidak berfungsi, sehingga harus dipasang kateter. Setelah dilakukan observasi beberapa jam, sang dokter menganjurkan memasukkan ke ICU karena perlu diberi bantuan pernafasan melalui ventilator. Dokter jaga meminta persetujuan anggota keluarganya. Saudaranya memutuskan untuk menolak menandatangani surat penolakan. Mengapa? karena

10 atas pertimbangan manfaat dan finansial walaupun dirawat di ICU, belum tentu pasien tersebut akan bisa disembuhkan dan bisa normal kembali seperti sedia kala. Apakah keputusan untuk menolak ini salah? Penolakan ini tentu sudah diperhitungkan dan dipikirkan matang-matang. Suatu hari dirawat diruang HCU dengan obat-obat saja sudah menelan biaya beberapa juta. Bagaimana jika harus diteruskan di ICU? pembiayannya akan tidak bisa terbayar dan bagaimna pemecahannya kelak? Apakah saudara itu dapat dipersalahkan karena tega tidak mau menolong saudaranya dengan memasukkan ke ICU? masalah yang dipertimbangkan : apakah bisa terbayar biaya-biaya ICU dan obat-obatannya yang mahal itu yang setiap hari harus dikeluarkan? Brapa lama pasien itu harus dirawat? Apakah masih bisa dikembalikan kesehatanya seperti semula, sedangkan umurnya sudah 72 tahun? seandainya bisa tertolong bagaimana selanjutnnya? bukan kah fungsi ginjalnya sudah tidak bekerja? ini berarti ia harus dilakukan dialisis seminggu dua kali yang perkalinya kurang lebih berjumlah beberapa ratus ribu rupiah. Bagaimana bissa membiayainya terus-menerus, sedangkan saudaranya juga orang bekerja dan mana mungkin membiayai cuci darah disamping mengongkosi rumah tangganya sendiri?apa salah jika ia menolak saudaranya dirawat di ICU? dan jika ia harus berbaring terus di tempat tidur, buang air harus ditolong, siapa yang bias mengurusnya dan bagaimana membiayainya? Rumusan dilema etik dilema keluarga yang tidak setuju dengan pemasangan ventilator dilema pasien yang ingin dimasukkan ke ICU dilema keluarga tentang biaya ICU dan obat-obatan yang mahal dilema dokter tentang pemasangan ventilator dilema keluarga tentang masa depan pasien. Suatu hari dia jatuh pingsan dan dibawa ke suatu rumah sakit dan dimasukkan ke High Care Unit. Pasien diberikan oksigen. kedua ginjalnya sudah tidak berfungsi, sehingga harus dipasang kateter. Sang dokter menganjurkan memasukkan ke ICU karena perlu diberi bantuan pernafasan melalui ventilator. Dokter jaga meminta persetujuan anggota keluarganya. ANALISIS: Pada kasus ini seorang dokter ingin melakukan yang terbaik buat pasiennya dan tidak ingin lebih memperburuk keadaan pasien dimana memasukkan pasien ke HCU dan memberikan bantuan oksigen serta memberikan informasi tentang apa yang yang sebaiknya dilakukan pasien. Menurut JOHNSON SIEGLER saudaranya memutuskan untuk menolak menandatangani surat penolakan. Apakah masih bisa dikembalikan kesehatanya seperti semula, sedangkan

11 umurnya sudah 72 tahun? seandainya bisa tertolong bagaimana selanjutnnya? bukan kah fungsi ginjalnya sudah tidak bekerja? ini berarti ia harus dilakukan dialisis seminggu dua kali yang perkalinya kurang lebih berjumlah beberapa ratus ribu rupiah. BAB IV PEMBAHASAN Pasien-pasien sakit berat yang mengandalkan bantuan ventilator dan alat-alat penunjang hidup lainnya, seringkali membingungkan dokter yang merawatnya. Dari sisi

12 medis, pasien tidak ada harapan hidup karena hampir semua organ vital tubuhnya sudah rusak. Namun di sisi lain, mencabut semua alat bantu hidup dianggap sebagai tindakan pembunuhan yang tentunya bisa berbuntut peluang penuntutan oleh keluarga pasien. Di luar itu, biaya perawatan ICU yang tidak murah semakin membengkak dan bisa jadi keluarga pasien pun tak sanggup menanggungnya. Situasi tersebut seringkali dialami oleh dokter dan perawat yang bertugas di ICU. End-of life decisions, atau keputusan untuk mengakhiri hidup pasien-pasien yang tidak ada harapan hidup,dilihat dari pertimbanganetis dan medis, menjadi pembuka acara Simposium Nasional ketiga yang diselenggarakan Perhimpunan Kedokteran Emergensi Indonesia (PDEI). Acara berlangsung Agutsus 2006 lalu di Hotel Milenium, Jakarta. Dijelaskan oleh Dr. Sun Sunatrio SpAn-KIC, semua pasien kritis yang memiliki harapan hidup wajib masuk ICU. Namun hanya ada empat kemungkinan bagi pasien yang masuk ICU: sembuh (getting better), meninggal, mengalami mati batang otak (brain stem death), atau dalam kondisi tidak ada harapan hidup dan sepenuhnya bergantung dengan bantuan ventilator. Pasien jenis terakhir inilah yang terkadang menjadi dilema bagi dokter. Dari sisi penilaian medis, pemberian ventilator tidak akan bermanfaat, hanya memperpanjang proses kematian. Apa yang akan Anda lakukan sebagai dokter? Sunatrio bertanya pada peserta simposium. Masalahnya di Indonesia, tambah dokter dari Departemen Anastesiologi FKUI/RSCM ini, belum banyak dokter yang berani melakukan end-of-life decision. Padahal, sudah ada fatwa IDI yang membolehkan hal itu. Ada beberapa pilihan yang bisa dilakukan dokter terhadap pasien tanpa harapan hidup, yakni with-holding atau with-drawing life supports, yakni penundaan atau penghentian alat bantuan hidup. Kedua tindakan ini bisa dilakukan pada pasien yang dalam kondisi vegetatif (sindroma aplika atau mati sosial). Kondisi vegetatif bisa dijelaskan secara medis bila terdapat kerusakan otak berat yang ireversibel pada pasien yang tetap tidak sadar dan tidak responsive, tetapi pasien memiliki EEG aktif dan beberapa refleks yang utuh. Pada pasien bisa saja terdapat daur antara sadar dan tidur. Ini harus dibedakan dari mati serebral yang EEG-nya tenang atau dari mati batang otak (MBO), di mana tidak ada refleks saraf otak dan napas spontan, ujar Sunatrio.

13 Meski sebagian masyarakat masih sulit menerima, namun pasien yang sudah mati batang otak, dari sisi medis dinyatakan sudah meninggal. Normalnya, ventilator secara otomatis akan dilepaskan dari pasien dan jantung akan berhenti tidak lama kemudian. With-holding diartikan sebagai tindakan untuk tidak memberikan terapi baru walau ada indikasi penyakit baru,namun tindakan yang sudah terlanjur diberikan tidak dihentikan. Sedangkan with-drawing adalah menghentikan semua terapi yang sudah diberikan kepada pasien sejak awal namun terbukti tidak bermanfaat. Jadi with-drawing lebih bersifat aktif dibandingkan with-holding yang cenderung pasif dalam mengakhiri hidup pasien. Withdrawing juga lebih cepat menghasilkan kematian secara cepat dan pasti. Namun secara legal maupun moral, sebenarnya tidak ada perbedaan di antara kedua tindakan tersebut. Tindakan ini berbeda dengan eutanasia yang diartikan sebagai tindakan aktif dan langsung untuk mengakhiri kehidupan. Sebagian besar negara termasuk Indonesia melarang tindakan eutanasia. With-holding maupun with-drawing dapat diterima dan dibenarkan bilamana penanganan medis hanya memperpanjang proses kematian, jelas Sunatrio lagi. Yang tergolong life support yang bisa dihentikan adalah perawatan ICU, CPR, alat pengontrol irama jantung, intubasi trakeal, ventilator, obat-obat vasoaktif, total nutrisi parenteral, organ buatan, transfusi darah, serta monitoring secara intensif. Di Indonesia, untuk pemberian antibiotik, nutrisi, dan cairan dasar bahkan termasuk life support yang dihentikan. Sunatrio sendiri lebih menganjurkan tindakan with-drawing daripada with-holding. Alasannya, jika tindakan with-drawing tidak dilakukan, maka ruang ICU akan dipenuhi oleh pasien yang sebenarnya tidak ada harapan hidup. Dan jika hal ini dibiarkan justru akan melanggar empat prinsip-prinsip etik. Keempat pelanggaran etik uang dimaksud adalah dari sisi manfaat buat pasien. Selain itu melanggar kewajiban untuk tidak menyiksa pasien dan melanggar hak pasien. Siapapun tidak ingin hidup seperti sayuran, jelas Sunatrio. Dan terakhir dari sisi keadilan, maka akan melanggar hak pasien lain. Artinya, pasien yang lebih memiliki harapan hidup seharusnya

14 lebih diprioritaskan. Dari segi finansial juga seharusnya biaya untuk perawatan yang sia-sia bisa dialokasikan ke hal lain yang lebih berguna. Sayangnya masih banyak dokter yang tidak berani melakukan tindakan with-drawing maupun with-holding. Mungkin karena memberi kesan sengaja membunuh. Padahal yang dituju bukan mengakhiri nyawa pasien namun menghentikan prosedur sulit yang sia-sia, jelas Sunatrio yang merupakan pelopor tindakan with-drawing. Ia mengaku sudah melakukan tindakan ini sejak Di Indonesia sendiri sudah ada aturan untuk melakukan tindakan with-holding dan with-drawing. Antara lain fatwa IDI tahun 1988 yang disempurnakan tahun 1990 tentang penentuan mati dan eutanasia pasif. Dalam waktu dekat bahkan akan keluar SK Menteri Kesehatan tentang mati dan with-holding/with-drawing. Keputusan ini merupakan hasil diskusi dengan IDSAI, PKGDI, Perdici, dan Organisasi Profesi Medis Klinis. Selain itu ada SK Direktur RSCM tahun 2006 tentang penentuan mati dan with-holding/with-drawing life support. Menurut ketentuan baik fatwa IDI maupun SK Direktur RSCM, with-drawing/withholding adalah keputusan medis dan etis oleh sebuah tim yang terdiri dari tiga orang dokter yang kompeten. Sebelum keputusan penghentian/penundaan bantuan hidup dilaksanakan, tim dokter wajib menjelaskan kepada keluarga pasien tentang keadaan pasien dan keputusan tim dokter. Dalam hal tidak dijumpai adanya keluarga pasien, maka harus diperoleh persetujuan dari pimpinan Rumah Sakit atau Komite Medis Rumah Sakit. Dipaparkan oleh Prof. Dr. Sjamsuhidayat SpB, KBD, persoalan End-of-life decisions sempat diteliti dalam studi di enam negara di Eropa, yang dimuat dalamthe Lancet, tahun 2003 lalu. Menurut pelaku studi, perkembangan ilmu kedokteran yang sangat pesat menghasilkan kemungkinan perbaikan yang berarti pada pasien sakit serius dan bisa memperpanjang usia hidup. Namun belakangan ditemukan, bahwa memperpanjang hidup pasien tidak selalu menjadi tujuan pengobatan yang diharapkan. Studi ini menyimpulkan, kebanyakan keputusan medis dalam hal mengakhiri hidup pasien, paling sering dilakukan pada pasien yang memang tidak ada harapan hidup

15 (sekarat/dying) di semua negara peserta studi. Dalam membuat keputusan, pasien dan keluarganya kebanyakan dilibatkan. Kesimpulan lain, keputusan medis yang dibuat untuk pasien-pasien kritis pada akhirnya akan melibatkan pertimbangan dari sisi medis, etikal, psikologis, dan aspek sosial. Petimbangan-pertimbangan ini, ditambah latar belakang hukum di masing-masing negara, pada akhirnya menghasilkan keputusan medis tentang end of life decisions, yang bisa melibatkan dokter, pasien dan keluarganya. BAB VI KESIMPULAN Bagi seorang dokter maupun perawat, masalah eutanasia merupakan suatu dilema yang menempatkannya pada posisi yang serba sulit. Di satu pihak, ilmu dan teknologi kedokteran telah sedemikian maju sehingga mampu mempertahankan hidup seseorang (walaupun yang istilahnya hidup secara vegetatif); sedangkan di pihak lain pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap hak-hak individu juga sudah sangat berubah. Dengan demikian, konsep kematian dalam dunia kedokteran masa kini dihadapkanpada kontradiksi antara etika, moral, dan hukum di satu pihak, dengan kemampuan serta teknologi kedokteran yang sedemikian maju (sehingga mampu mempertahankan hiduup vegetatif tadi) di pihak lain. Masalah eutanasia tidak akanpernah pergi. Sebab di era modern ini yang bentuk kehidupannya sudah jauh dari kata alamiah. Menuntut agar manusia dibiarkan mati secara alamiah nampak ilusoris. Dalam konteks eutanasia vis a vis dengan kemajuan ilmu dan teknologi kedokteran. Masalah baru dalam etika kedokteran akan terus timbul seiring dengan kemajuan ilmu dan teknologi kedokteran itu sendiri, tetapi menjadi patut disayangkan dan kemudian harus terus direnungkan secara mendalam. Bahwa sejauh ini solusi etis sangat jarang ditawarkan. Kenyataan menunjukkan bahwa seringkali para dokter dan tenaga medis lain harus barhadapan dengan kasus-kasus yang dikatakan sebagai eutanasia itu, dan di situlah tuntunan serta rambu-rambu etika, moral, dan hukum sangat dibutuhkan. Dan rambu-rambu itu harus

16 dibuat dengan berpegang pada keempat aspek eutanasia yang sudah saya paparkan sebelumnya, yakni aspek hukum, hak asazi, ilmu pengetahuan dan agama. DAFTAR PUSTAKA Andrew C. Varga, The Main Issues in Bioethics, New York 1984, hal Bertens, K, Eutanasia: Perdebatan Yang Berkepanjangan, Kompas, 28 September Laodesyamri. tanggal 07 Maret 2011 Simposium Dilema di Balik Eksekusi Mati Edisi Oktober 2006 (Vol.6 No.3) Suseno Magnis, Franz. Dalam majalah Higina dan kemudian digunakan lagi oleh beliau dalam buku nya: Berfilsafat Dari Konteks, Gramedia, hal Suseno Magnis, Franz, Berfilsafat Dari Konteks, Gramedia, hal. 176.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai negara berkembang tidak dapat menghindari adanya kemajuan dan perkembangan di bidang kedokteran khususnya dan bidang teknologi pada umumnya.

Lebih terperinci

BAB III ANALISIS DAN KAJIAN YURIDIS MENGENAI EUTHANASIA DIPANDANG DARI SEGI HAM

BAB III ANALISIS DAN KAJIAN YURIDIS MENGENAI EUTHANASIA DIPANDANG DARI SEGI HAM BAB III ANALISIS DAN KAJIAN YURIDIS MENGENAI EUTHANASIA DIPANDANG DARI SEGI HAM 3.1 Kronologi kasus Ayah Ana Widiana Kasus berikut merupakan kasus euthanasia yang terjadi pada ayah dari Ana Widiana salah

Lebih terperinci

Nomor : Fakultas : Angkatan / Semester : PETUNJUK PENGISIAN

Nomor : Fakultas : Angkatan / Semester : PETUNJUK PENGISIAN Nomor : Fakultas : Angkatan / Semester : PETUNJUK PENGISIAN 1. Bacalah pernyataan-pernyataan pada lembar berikut, kemudian jawablah dengan sungguh-sungguh sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. 2. Jawablah

Lebih terperinci

ASPEK HUKUM EUTHANASIA. By L. Ratna Kartika Wulan

ASPEK HUKUM EUTHANASIA. By L. Ratna Kartika Wulan ASPEK HUKUM EUTHANASIA By L. Ratna Kartika Wulan POKOK BAHASAN DEFINISI PERMASALAHAN EUTHANASIA HAK UNTUK MATI PANDANGAN HKM THD EUTHANASIA JENIS EUTHANASIA PRO & KONTRA EUTHANASIA DEFINISI SECARA HARAFIAH

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan berbagai permasalahannya, dan diakhiri dengan kematian. Dari proses

BAB I PENDAHULUAN. dengan berbagai permasalahannya, dan diakhiri dengan kematian. Dari proses BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap makhluk hidup termasuk manusia, akan mengalami siklus kehidupan yang dimulai dari proses pembuahan, kelahiran, kehidupan di dunia dengan berbagai permasalahannya,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kepada seluruh makhluk hidup di jagad raya ini, termasuk pula manusia yang

BAB I PENDAHULUAN. kepada seluruh makhluk hidup di jagad raya ini, termasuk pula manusia yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kematian merupakan suatu ketentuan yang telah digariskan oleh Tuhan kepada seluruh makhluk hidup di jagad raya ini, termasuk pula manusia yang telah ditentukan secara

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2014 TENTANG PENENTUAN KEMATIAN DAN PEMANFAATAN ORGAN DONOR

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2014 TENTANG PENENTUAN KEMATIAN DAN PEMANFAATAN ORGAN DONOR PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2014 TENTANG PENENTUAN KEMATIAN DAN PEMANFAATAN ORGAN DONOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA DAN KAITANNYA DENGAN HUKUM PIDANA

EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA DAN KAITANNYA DENGAN HUKUM PIDANA EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA DAN KAITANNYA DENGAN HUKUM PIDANA Oleh: NUR HAYATI Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonusa Esa Unggul ABSTRAK EUTHANASIA merupakan salah satu masalah etika

Lebih terperinci

BABI PENDAHULUAN. Di abad 20 ini ilmu pengetahuan dan teknologi mengalami kemajuan yang

BABI PENDAHULUAN. Di abad 20 ini ilmu pengetahuan dan teknologi mengalami kemajuan yang BABI PENDAHULUAN BABI PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Di abad 20 ini ilmu pengetahuan dan teknologi mengalami kemajuan yang pesat. Hal ini tetjadi karena adanya berbagai penemuan yang sangat bermanfaat

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MEDIS TENTANG AKHIR KEHIDUPAN. dr. Soetedjo, SpS(K) Bagian Neurologi/Histologi FK UNDIP

KEPUTUSAN MEDIS TENTANG AKHIR KEHIDUPAN. dr. Soetedjo, SpS(K) Bagian Neurologi/Histologi FK UNDIP KEPUTUSAN MEDIS TENTANG AKHIR KEHIDUPAN dr. Soetedjo, SpS(K) Bagian Neurologi/Histologi FK UNDIP PENDAHULUAN Bagi manusia ternyata tidak enak : Diingatkan akan kematian Berpikir akan kematian Membicarakan

Lebih terperinci

SEKOLAH ILMU DAN TEKNOLOGI HAYATI INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG 2010

SEKOLAH ILMU DAN TEKNOLOGI HAYATI INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG 2010 Tugas Filsafat Ilmu (BI7101) Dosen : Intan Ahmad, PhD BIOETIKA : EUTANASIA Disusun oleh : SEKOLAH ILMU DAN TEKNOLOGI HAYATI INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG 2010 BIOETIKA : EUTANASIA Bioetika (Wikipedia, 2009)

Lebih terperinci

EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF ISLAM

EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF ISLAM EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF ISLAM OLEH : RAMADHAN SYAHMEDI SIREGAR, S.Ag, MA Dosen FK USU Dosen Tetap Fak. Syari`ahah Intitut Agama Islam Negeri (IAIN-SU) Medan Euthanasia berasal dari kata Yunani, eu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Pada abad ke-21, teknologi dan ilmu pengetahuan mengalami kemajuan yang pesat. Kemajuan tersebut dapat terjadi karena adanya penemuan-penemuan yang bermanfaat untuk

Lebih terperinci

ANALISA PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA BAGI DOKTER TERHADAP KASUS EUTHANASIA DITINJAU DARI KUHP YANG BERTENTANGAN DENGAN HAK ASASI MANUSIA

ANALISA PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA BAGI DOKTER TERHADAP KASUS EUTHANASIA DITINJAU DARI KUHP YANG BERTENTANGAN DENGAN HAK ASASI MANUSIA ANALISA PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA BAGI DOKTER TERHADAP KASUS EUTHANASIA DITINJAU DARI KUHP YANG BERTENTANGAN DENGAN HAK ASASI MANUSIA Dewa Ayu Tika Pramanasari Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

BAB III ANALISA HASIL PENELITIAN

BAB III ANALISA HASIL PENELITIAN BAB III ANALISA HASIL PENELITIAN A. Analisa Yuridis Malpraktik Profesi Medis Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 merumuskan banyak tindak pidana

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN [LN 2009/144, TLN 5063]

UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN [LN 2009/144, TLN 5063] UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN [LN 2009/144, TLN 5063] BAB XX KETENTUAN PIDANA Pasal 190 (1) Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan yang melakukan praktik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sehat dengan umur yang panjang adalah harapan bagi setiap orang. Tidak

BAB I PENDAHULUAN. sehat dengan umur yang panjang adalah harapan bagi setiap orang. Tidak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesehatan merupakan anugerah yang tak ternilai harganya. Hidup sehat dengan umur yang panjang adalah harapan bagi setiap orang. Tidak ada satu orang pun di dunia

Lebih terperinci

Majalah Kedokteran Andalas No.1. Vol.34. Januari-Juni

Majalah Kedokteran Andalas No.1. Vol.34. Januari-Juni Majalah Kedokteran Andalas No.1. Vol.34. Januari-Juni 2010 26 PENDAHULUAN Pengertian aborsi menurut hukum adalah tindakan menghentian kehamilan atau mematikan janin sebelum waktu kelahiran, tanpa melihat

Lebih terperinci

PANDUAN PENOLAKAN RESUSITASI (DNR)

PANDUAN PENOLAKAN RESUSITASI (DNR) PANDUAN PENOLAKAN RESUSITASI (DNR) A. PENGERTIAN Resusitasi merupakansegala bentuk usaha medis, yang dilakukan terhadap mereka yang berada dalam keadaan darurat atau kritis, untuk mencegah kematian. Do

Lebih terperinci

SURAT KEPUTUSAN KEPALA RUMAH SAKIT TK.IV SINGKAWANG NOMOR :SK.

SURAT KEPUTUSAN KEPALA RUMAH SAKIT TK.IV SINGKAWANG NOMOR :SK. SURAT KEPUTUSAN KEPALA RUMAH SAKIT TK.IV 12.07.01 SINGKAWANG NOMOR :SK. TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PENENTUAN MATI DAN PENGHENTIAN RESUSITASI DARURAT SERTA PENGHENTIAN/ PENUNDAAN BANTUAN HIDUP KEPALA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tuhan Yang Maha Esa tersebut tidak boleh dicabut oleh siapapun termasuk oleh

BAB I PENDAHULUAN. Tuhan Yang Maha Esa tersebut tidak boleh dicabut oleh siapapun termasuk oleh BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tuhan Yang Maha Esa memberikan anugerah kepada manusia yaitu sebuah kehidupan yang harus dihormati oleh setiap orang. Kehidupan yang diberikan oleh Tuhan Yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. emosi harapan dan kekhawatiran makhluk insani. perjanjian terapeutik adalah Undang undang nomor 36 tahun 2009 tentang

BAB I PENDAHULUAN. emosi harapan dan kekhawatiran makhluk insani. perjanjian terapeutik adalah Undang undang nomor 36 tahun 2009 tentang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejak awal mengenai umat manusia sudah dikenal adanya hubungan kepercayaan antara dua insan, yaitu manusia penyembuh dan penderita yang ingin disembuhkan. Dalam zaman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu hal yang tidak menyenangkan dan kalau mungkin tidak dikehendaki. Namun

BAB I PENDAHULUAN. suatu hal yang tidak menyenangkan dan kalau mungkin tidak dikehendaki. Namun 8 A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Suatu keinginan kematian bagi sebagaian besar umat manusia merupakan suatu hal yang tidak menyenangkan dan kalau mungkin tidak dikehendaki. Namun demikian manusia

Lebih terperinci

KOALISI MASYARAKAT UNTUK KESEHATAN. Usulan Untuk Amendemen UUD 45 dan GBHN. Hak Terhadap Pelayanan Kesehatan 1

KOALISI MASYARAKAT UNTUK KESEHATAN. Usulan Untuk Amendemen UUD 45 dan GBHN. Hak Terhadap Pelayanan Kesehatan 1 KOALISI MASYARAKAT UNTUK KESEHATAN Usulan Untuk Amendemen UUD 45 dan GBHN Hak Terhadap Pelayanan Kesehatan 1 Prolog Beberapa tahun lalu seorang ibu mengalami kecelakaan di Lampung, namun sesampainya di

Lebih terperinci

BAB II TANGGUNG JAWAB DOKTER YANG MELAKUKAN EUTHANASIA. A. Tanggung Jawab Dokter Menurut Profesi Medis.

BAB II TANGGUNG JAWAB DOKTER YANG MELAKUKAN EUTHANASIA. A. Tanggung Jawab Dokter Menurut Profesi Medis. BAB II TANGGUNG JAWAB DOKTER YANG MELAKUKAN EUTHANASIA A. Tanggung Jawab Dokter Menurut Profesi Medis. Pada dasawarsa ini para dokter dan petugas kesehatan lain menghadapi sejumlah masalah dalam bidang

Lebih terperinci

KEMATIAN DALAM PERSPEKTIF ILMU KEDOKTERAN

KEMATIAN DALAM PERSPEKTIF ILMU KEDOKTERAN KEMATIAN DALAM PERSPEKTIF ILMU KEDOKTERAN Kematian menjadi suatu fenomena yang selalu menarik untuk dibicarakan karena setiap manusia pasti akan mengalaminya. Kematian merupakan bagian mutlak dalam sejarah

Lebih terperinci

BAB XX KETENTUAN PIDANA

BAB XX KETENTUAN PIDANA Undang-undang Kesehatan ini disyahkan dalam sidang Paripurna DPR RI tanggal 14 September 2009 1 PASAL-PASAL PENYIDIKAN DAN HUKUMAN PIDANA KURUNGAN SERTA PIDANA DENDA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...

Lebih terperinci

PRINSIP DASAR BIOETIKA. Oleh: E. Suryadi Fakultas Kedokteran UGM

PRINSIP DASAR BIOETIKA. Oleh: E. Suryadi Fakultas Kedokteran UGM PRINSIP DASAR BIOETIKA Oleh: E. Suryadi Fakultas Kedokteran UGM Pendahuluan: Pengertian Bioetika Awalnya adalah Etika bioteknologi yaitu suatu studi masalah etika terkait produksi, penggunaan dan modifikasi

Lebih terperinci

Tujuan pembangunan suatu negara adalah untuk pemenuhan kebutuhan masyarakatnya supaya mereka dapat hidup baik dan sejahtera. Untuk itu pembangunan

Tujuan pembangunan suatu negara adalah untuk pemenuhan kebutuhan masyarakatnya supaya mereka dapat hidup baik dan sejahtera. Untuk itu pembangunan PENDAHULUAN 1 Tujuan pembangunan suatu negara adalah untuk pemenuhan kebutuhan masyarakatnya supaya mereka dapat hidup baik dan sejahtera. Untuk itu pembangunan harus mencakup dua aspek yaitu aspek fisik

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA 16 BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA A. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

Lebih terperinci

BAB 4 STUDI KASUS 4.1 Kasus Posisi Uni versitas Indonesia

BAB 4 STUDI KASUS 4.1 Kasus Posisi Uni versitas Indonesia BAB 4 STUDI KASUS 4.1 Kasus Posisi Kasus ini merupakan kasus gugatan perbuatan melawan hukum antara Penggugat Mesdiwanda Sitepu, seorang ibu rumah tangga, melawan Bidan Herawati sebagai tergugat I, Rumah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan manusia, selain dapat memberikan kemudahan-kemudahan bagi manusia

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan manusia, selain dapat memberikan kemudahan-kemudahan bagi manusia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pola hidup modern sekarang ini menimbulkan dampak yang besar dalam kehidupan manusia, selain dapat memberikan kemudahan-kemudahan bagi manusia dalam menjalankan aktifitasnya,

Lebih terperinci

SKRIPSI DISUSUN O L E H. Nama NPM Program : : ILMU HUKUMM. studi HUKUM MEDAN Universitas Sumatera Utara

SKRIPSI DISUSUN O L E H. Nama NPM Program : : ILMU HUKUMM. studi HUKUM MEDAN Universitas Sumatera Utara 1 EUTHANASIAA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG N0. 39 TAHUN 1999 TENTANG HAM DAN DILIHATT DARI SEGII HUKUM PIDANA SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pada Fakultas Hukum DISUSUN

Lebih terperinci

Pedoman Pelaksanaan Persetujuan Tindakan Kedokteran (Informed Consent)

Pedoman Pelaksanaan Persetujuan Tindakan Kedokteran (Informed Consent) Pedoman Pelaksanaan Persetujuan Tindakan Kedokteran (Informed Consent) Rumah Sakit xy Pedoman Pelaksanaan Persetujuan Tindakan Kedokteran 1. Umum a. Bahwa masalah kesehatan seseorang (pasien) adalah tanggung

Lebih terperinci

KODE ETIK KEDOKTERAN/MEDICOLEGAL DAN PATIENT SAFETY

KODE ETIK KEDOKTERAN/MEDICOLEGAL DAN PATIENT SAFETY KODE ETIK KEDOKTERAN/MEDICOLEGAL DAN PATIENT SAFETY ANANG TRIBOWO IDI CABANG PALEMBANG HOTEL AMELIA, 1-2 APRIL 2017 PEMAHAMAN ETIKA ETIKA K. BERTENS 1997 ETIKA DAN ETIKET MORAL TATA KRAMA/ SOPAN SANTUN

Lebih terperinci

JURNAL TRANSPLANTASI ORGAN TUBUH MENURUT UNDANG-UNDANG

JURNAL TRANSPLANTASI ORGAN TUBUH MENURUT UNDANG-UNDANG JURNAL TRANSPLANTASI ORGAN TUBUH MENURUT UNDANG-UNDANG BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Teknologi masa kini terus menuju perubahan yang sangat signifikan seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN EUTHANASIA. misteri yang sangat besar. Proses pembuahan yang rumit mulai dapat dikenali dan

BAB II TINJAUAN EUTHANASIA. misteri yang sangat besar. Proses pembuahan yang rumit mulai dapat dikenali dan BAB II TINJAUAN EUTHANASIA 1. Pengertian Euthanasia Setiap makhluk hidup, termasuk manusia akan mengalami siklus kehidupan yang dimulai dari proses pembuahan, kelahiran, kehidupan di dunia dengan berbagai

Lebih terperinci

PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK RAKYAT CHINA MENGENAI BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA

PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK RAKYAT CHINA MENGENAI BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK RAKYAT CHINA MENGENAI BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA Republik Indonesia dan Republik Rakyat China (dalam hal ini disebut sebagai "Para

Lebih terperinci

BAB III KEBIJAKAN HUKUM PIDANA INDONESIA TENTANG EUTHANASIA. 1. Pengaturan Euthanasia dalam Hukum Pidana Indonesia (KUHP)

BAB III KEBIJAKAN HUKUM PIDANA INDONESIA TENTANG EUTHANASIA. 1. Pengaturan Euthanasia dalam Hukum Pidana Indonesia (KUHP) BAB III KEBIJAKAN HUKUM PIDANA INDONESIA TENTANG EUTHANASIA 1. Pengaturan Euthanasia dalam Hukum Pidana Indonesia (KUHP) Dilihat dari segi perundang-undangan dewasa ini, belum ada pengaturan yang baru

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang A. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara yang mengedepankan hukum seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar tahun 1945 dalam Pasal 1 ayat 3 sebagai tujuan utama mengatur negara.

Lebih terperinci

PANDUAN PELAYANAN MEMINTA PENDAPAT LAIN (SECOND OPINION)

PANDUAN PELAYANAN MEMINTA PENDAPAT LAIN (SECOND OPINION) PANDUAN PELAYANAN MEMINTA PENDAPAT LAIN (SECOND OPINION) A. DEFINISI 1. Opini Medis adalah pendapat, pikiran atau pendirian dari seorang dokter atau ahli medis terhadap suatu diagnosa, terapidan rekomendasi

Lebih terperinci

BAB III KASUS PERMOHONAN EUTHANASIA DARI PIHAK KELUARGA AGIAN ISNA NAULI DAN KASUS PERMOHONAN EUTHANASIA DARI PIHAK KELUARGA SITI JULAEHA

BAB III KASUS PERMOHONAN EUTHANASIA DARI PIHAK KELUARGA AGIAN ISNA NAULI DAN KASUS PERMOHONAN EUTHANASIA DARI PIHAK KELUARGA SITI JULAEHA BAB III KASUS PERMOHONAN EUTHANASIA DARI PIHAK KELUARGA AGIAN ISNA NAULI DAN KASUS PERMOHONAN EUTHANASIA DARI PIHAK KELUARGA SITI JULAEHA A. Kasus Posisi 1. Kasus Suami Agian Isna Nauli Ajukan Euthanasia

Lebih terperinci

Dengan Persetujuan Bersama. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:

Dengan Persetujuan Bersama. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti

Lebih terperinci

Masalah Malpraktek Dan Kelalaian Medik Dalam Pelayanan Kesehatan. Written by Siswoyo Monday, 14 June :21

Masalah Malpraktek Dan Kelalaian Medik Dalam Pelayanan Kesehatan. Written by Siswoyo Monday, 14 June :21 Di dalam berbagai tulisan bahwa penggunaan istilah malpraktek (malpractice) dan kelalaian medik (medical negligence) di dalam pelayanan kesehatan sering dipakai secara bergantian seolah-olah artinya sama,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pesatnya penemuan-penemuan teknologi modern, mengakibatkan

BAB I PENDAHULUAN. Pesatnya penemuan-penemuan teknologi modern, mengakibatkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pesatnya penemuan-penemuan teknologi modern, mengakibatkan terjadinya perubahan-perubahan yang sangat cepat di dalam kehidupan sosial budaya manusia. Semua problema,

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DATA. A. Analisis Terhadap Prosedur Pengajuan Izin Poligami Di Pengadilan Agama

BAB IV ANALISIS DATA. A. Analisis Terhadap Prosedur Pengajuan Izin Poligami Di Pengadilan Agama 54 BAB IV ANALISIS DATA A. Analisis Terhadap Prosedur Pengajuan Izin Poligami Di Pengadilan Agama Pernikahan poligami hanya terbatas empat orang isteri karena telah diatur dalam Kompilasi Hukum Islam pasal

Lebih terperinci

PANDUAN PERSETUJUAN TINDAKAN KEDOKTERAN RUMAH SAKIT RAWAMANGUN

PANDUAN PERSETUJUAN TINDAKAN KEDOKTERAN RUMAH SAKIT RAWAMANGUN PANDUAN PERSETUJUAN TINDAKAN KEDOKTERAN RUMAH SAKIT RAWAMANGUN RUMAH SAKIT RAWAMANGUN JAKARTA, INDONESIA 2013 Panduan Persetujuan Tindakan Kedokteran (Informed Consent) Rumah Sakit Rawamangun Paduan Pelaksanaan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. yang biasa disebut dengaan istilah mengugurkan kandungan. Aborsi

BAB 1 PENDAHULUAN. yang biasa disebut dengaan istilah mengugurkan kandungan. Aborsi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Aborsi adalah pembunuhan janin yang di ketahui oleh masyarakat yang biasa disebut dengaan istilah mengugurkan kandungan. Aborsi dibedakan antara aborsi yang terjadi

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.293, 2014 POLHUKAM. Saksi. Korban. Perlindungan. Perubahan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5602) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

KASUS PELANGGARAN HAM BERAT 1965*

KASUS PELANGGARAN HAM BERAT 1965* MASALAH IMPUNITAS DAN KASUS PELANGGARAN HAM BERAT 1965* Oleh MD Kartaprawira Bahwasanya Indonesia adalah Negara Hukum, dengan jelas tercantum dalam Pasal 1 ayat 3 UUD 1945. Siapa pun tidak bisa mengingkari.

Lebih terperinci

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA A. Batasan Pengaturan Tindak Pidana Kekekerasan Fisik

Lebih terperinci

EUTHANASIA DITINJAU DARI ASPEK HUKUM PIDANA DAN HAK ASASI MANUSIA SKRIPSI

EUTHANASIA DITINJAU DARI ASPEK HUKUM PIDANA DAN HAK ASASI MANUSIA SKRIPSI EUTHANASIA DITINJAU DARI ASPEK HUKUM PIDANA DAN HAK ASASI MANUSIA SKRIPSI Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Universitas Negeri Semarang Oleh : Rindi Ramadhini 3450405038 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN TRANSPLANTASI ORGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN TRANSPLANTASI ORGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN TRANSPLANTASI ORGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

RUMAH SAKIT UMUM AULIA Jl. Raya Utara No. 03 Telp. (0342) , Fax. (0342) Kembangarum - Sutojayan - Blitar

RUMAH SAKIT UMUM AULIA Jl. Raya Utara No. 03 Telp. (0342) , Fax. (0342) Kembangarum - Sutojayan - Blitar RUMAH SAKIT UMUM AULIA Jl. Raya Utara No. 03 Telp. (0342) 444168, Fax. (0342) 444289 Kembangarum - Sutojayan - Blitar PERJANJIAN KERJA ANTARA RUMAH SAKIT UMUM AULIA DAN DOKTER No. Yang bertanda tangan

Lebih terperinci

Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dalam Perspektif Budaya Oleh : M. Askar, S.Kep,Ns.,M.Kes

Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dalam Perspektif Budaya Oleh : M. Askar, S.Kep,Ns.,M.Kes Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dalam Perspektif Budaya Oleh : M. Askar, S.Kep,Ns.,M.Kes PETA KONSEP Budaya perawat Globalisasi menjadikan Alat kesehatan canggih dipakai Aplikasi tindakan keperawatan akibat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Rumah sakit sebagai satu lembaga sosio-ekonomi juga lembaga kemanusiaan yang memiliki nilai-nilai dan martabat luhur, sebaiknya mengutamakan nilai-nilai moral dan tidak

Lebih terperinci

Bab XIV : Kejahatan Terhadap Kesusilaan

Bab XIV : Kejahatan Terhadap Kesusilaan Bab XIV : Kejahatan Terhadap Kesusilaan Pasal 281 Diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah: 1. barang siapa dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. nampaknya mulai timbul gugatan terhadap dokter dan rumah sakit (selanjutnya

BAB I PENDAHULUAN. nampaknya mulai timbul gugatan terhadap dokter dan rumah sakit (selanjutnya 1 BAB I PENDAHULUAN Akhir-akhir ini di beberapa media baik media cetak maupun elektronik nampaknya mulai timbul gugatan terhadap dokter dan rumah sakit (selanjutnya akan di sebut RS) yang menyelenggarakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. problematika dan mengontrol perkembangan tersebut.salah satu problematika

BAB I PENDAHULUAN. problematika dan mengontrol perkembangan tersebut.salah satu problematika BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini banyak sekali berbagai permasalahan dan problematika yang sering muncul di tengah-tengah kehidupan masyarakat yang semakin berkembang dan tidak sedikit

Lebih terperinci

Program Pascasarjana Ilmu Hukum FAKULTAS HUKUM Universitas Brawijaya

Program Pascasarjana Ilmu Hukum FAKULTAS HUKUM Universitas Brawijaya Implementasi Undang-Undang Negara Republik Indonesia No. 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Negara Republik Indonesia No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dalam Sistem

Lebih terperinci

Kalender Doa. Oktober Berdoa Bagi Wanita Yang Menderita Karena Aborsi

Kalender Doa. Oktober Berdoa Bagi Wanita Yang Menderita Karena Aborsi Kalender Doa Oktober 2017 Berdoa Bagi Wanita Yang Menderita Karena Aborsi Dengan adanya 56 juta aborsi di seluruh dunia, maka tak terbilang jumlah wanita yang menghadapi penderitaan, rasa bersalah, kemarahan

Lebih terperinci

Pada UU No 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran khususnya pada pasal 52 juga diatur hak-hak pasien, yang meliputi:

Pada UU No 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran khususnya pada pasal 52 juga diatur hak-hak pasien, yang meliputi: Hak dan Kewajiban Pasien Menurut Undang-Undang Menurut Declaration of Lisbon (1981) : The Rights of the Patient disebutkan beberapa hak pasien, diantaranya hak memilih dokter, hak dirawat dokter yang bebas,

Lebih terperinci

POLITIK HUKUM PIDANA TERHADAP PERDAGANGAN ORGAN TUBUH MANUSIA (THE CRIMINAL LAW POLICY OF HUMAN BODY ORGAN TRAFFICKING)

POLITIK HUKUM PIDANA TERHADAP PERDAGANGAN ORGAN TUBUH MANUSIA (THE CRIMINAL LAW POLICY OF HUMAN BODY ORGAN TRAFFICKING) SKRIPSI POLITIK HUKUM PIDANA TERHADAP PERDAGANGAN ORGAN TUBUH MANUSIA (THE CRIMINAL LAW POLICY OF HUMAN BODY ORGAN TRAFFICKING) Y A T I K NIM.040710101243 UNIVERSITAS JEMBER FAKULTAS HUKUM 2009 SKRIPSI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UKDW

BAB I PENDAHULUAN UKDW BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan Memiliki anak adalah dambaan sebagian besar pasangan suami istri. Anak sebagai buah cinta pasangan suami-istri, kelahirannya dinantikan. Dalam usaha untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adalah pengetahuan. Kemudian Plato, menurutnya baik itu apabila ia dikuasai oleh

BAB I PENDAHULUAN. adalah pengetahuan. Kemudian Plato, menurutnya baik itu apabila ia dikuasai oleh BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Etika di mulai pada abad ke lima sebelum masehi. Berbagai mazhab di yunani yang ditandai dengan kehadiran Socrates, yang mengatakan bahwa kebaikan itu adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pembangunan kesehatan ditujukan untuk meningkatkan kesadaran,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pembangunan kesehatan ditujukan untuk meningkatkan kesadaran, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan kesehatan ditujukan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang dalam rangka mewujudkan derajat kesehatan yang optimal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Abortus provocatus di Indonesia lebih populer disebut sebagai aborsi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Abortus provocatus di Indonesia lebih populer disebut sebagai aborsi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Abortus provocatus di Indonesia lebih populer disebut sebagai aborsi (pengguguran kandungan). Maraknya aborsi dapat diketahui dari berita di surat kabar atau

Lebih terperinci

Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.

Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat. 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga

Lebih terperinci

maupun sebagai masyarakat profesional (Nursalam, 2013).

maupun sebagai masyarakat profesional (Nursalam, 2013). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keperawatan sebagai bagian integral dari pelayanan kesehatan, menuntut perawat bekerja secara profesional yang didasarkan pada standar praktik keperawatan dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan adalah hak setiap orang merupakan salah satu slogan yang

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan adalah hak setiap orang merupakan salah satu slogan yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG MASALAH Kesehatan adalah hak setiap orang merupakan salah satu slogan yang sering kita dengar dalam dunia kesehatan. Hal ini berarti setiap pasien yang dirawat di

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Bab ini membahas aspek yang terkait dengan penelitian ini yaitu : 1.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Spiritualitas

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Bab ini membahas aspek yang terkait dengan penelitian ini yaitu : 1.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Spiritualitas BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Bab ini membahas aspek yang terkait dengan penelitian ini yaitu : 1. Karakteristik Pemenuhan Kebutuhan Spiritualitas 1.1 Definisi Spiritualitas 1.2 Karakteristik Spiritualitas 1.3

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka

II. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Pembuktian Pengertian dari membuktikan ialah meyakinkan Hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan. Dengan demikian

Lebih terperinci

LAMPIRAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR : 8TAHUN 2010 TANGGAL : 6 SEPTEMBER 2010 TENTANG : TATA CARA PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

LAMPIRAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR : 8TAHUN 2010 TANGGAL : 6 SEPTEMBER 2010 TENTANG : TATA CARA PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH LAMPIRAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR : 8TAHUN 2010 TANGGAL : 6 SEPTEMBER 2010 TENTANG : TATA CARA PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH SISTEMATIKA TEKNIK PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DAN KERANGKA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Alinea Ke Empat yang menyebutkan bahwa tujuan pembentukan Negara Indonesia adalah melindungi segenap

Lebih terperinci

ABORTUS PROVOCATUS DAN HUKUM SYAFRUDDIN, SH, MH. Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

ABORTUS PROVOCATUS DAN HUKUM SYAFRUDDIN, SH, MH. Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ABORTUS PROVOCATUS DAN HUKUM SYAFRUDDIN, SH, MH Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara A. Pendahuluan : Pengertian Abortus (aborsi). Di kalangan ahli kedokteran dikenal dua macam abortus (keguguran

Lebih terperinci

Dying & Bereavement. Unita Werdi Rahajeng, M.Psi

Dying & Bereavement. Unita Werdi Rahajeng, M.Psi Dying & Bereavement Unita Werdi Rahajeng, M.Psi www.unita.lecture.ub.ac.id Kematian Berakhirnya fungsi-fungsi biologis tertentu, seperti pernafasan dan tekanan darah, serta kekakuan tubuh dianggap sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bayi yang belum lahir atau orang yang terpidana mati. 1

BAB I PENDAHULUAN. bayi yang belum lahir atau orang yang terpidana mati. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hak asasi manusia merupakan hak yang melekat pada manusia secara alami sejak ia di lahirkan, bahkan jika kepentingannya dikehendaki, walaupun masih dalam kandungan

Lebih terperinci

PEMBUKTIAN MALPRAKTIK

PEMBUKTIAN MALPRAKTIK Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia The Indonesian Association of Forensic Medicine Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan 2017 Proceeding Annual Scientific Meeting 2017 PEMBUKTIAN MALPRAKTIK Syarifah Hidayah

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT

PEMERINTAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT PEMERINTAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT NOMOR 3 TAHUN 2007 TENTANG IZIN PRAKTIK DOKTER, BIDAN, AHLI GIZI, PENGOBATAN TRADISIONAL, APOTEKER DAN ASISTEN

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PENCABULAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK. 1. Ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PENCABULAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK. 1. Ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 32 BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PENCABULAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK A. Pengaturan Hukum Tindak Pidana Pencabulan Terhadap Anak 1. Ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tindak pidana

Lebih terperinci

MENGAPA DIA HARUS MATI?

MENGAPA DIA HARUS MATI? MENGAPA DIA HARUS MATI? Ev. Andree Kho Di dalam semua agama, ada hal-hal tertentu yang sampai batas tertentu kelihatannya sama. Misalnya: Semua agama mengajarkan, supaya manusia berbuat baik. Semua agama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada zaman globalisasi dewasa ini tanpa disadari kita telah membuat nilainilai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada zaman globalisasi dewasa ini tanpa disadari kita telah membuat nilainilai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada zaman globalisasi dewasa ini tanpa disadari kita telah membuat nilainilai moral yang ada di dalam masyarakat kita semakin berkurang. Pergaulan bebas dewasa

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KOTA BOGOR. Nomor 93 Tahun 2016 Seri E Nomor 45 PERATURAN WALIKOTA BOGOR NOMOR 93 TAHUN 2016 TENTANG

BERITA DAERAH KOTA BOGOR. Nomor 93 Tahun 2016 Seri E Nomor 45 PERATURAN WALIKOTA BOGOR NOMOR 93 TAHUN 2016 TENTANG BERITA DAERAH KOTA BOGOR Nomor 93 Tahun 2016 Seri E Nomor 45 PERATURAN WALIKOTA BOGOR NOMOR 93 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN PRAKTIK DOKTER MANDIRI Diundangkan dalam Berita Daerah Kota Bogor Nomor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dicintai, dapat lebih memaknai kehidupannya dan memiliki perasaan. yang mengalami penderitaan dalam hidupnya.

BAB I PENDAHULUAN. dicintai, dapat lebih memaknai kehidupannya dan memiliki perasaan. yang mengalami penderitaan dalam hidupnya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hidup adalah suatu misteri. Berbagai pengalaman baik positif ataupun negatif tidak lepas dari kehidupan seseorang. Pengalamanpengalaman tersebut dapat memberikan

Lebih terperinci

RENDAHNYA KUALITAS PENDIDIKAN SEKOLAH MENENGAH ATAS DI KOTA LAMONGAN

RENDAHNYA KUALITAS PENDIDIKAN SEKOLAH MENENGAH ATAS DI KOTA LAMONGAN RENDAHNYA KUALITAS PENDIDIKAN SEKOLAH MENENGAH ATAS DI KOTA LAMONGAN BIDANG KEGIATAN : PKM GT Diusulkan oleh : Okky Wicaksono 09 / 282652 / SA / 14854 English Department UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan merupakan hak bagi setiap orang, sebagaimana diatur dalam Pasal

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan merupakan hak bagi setiap orang, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesehatan merupakan hak bagi setiap orang, sebagaimana diatur dalam Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. hidup sebagai makhluk sosial, melakukan relasi dengan manusia lain karena

I. PENDAHULUAN. hidup sebagai makhluk sosial, melakukan relasi dengan manusia lain karena 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada dasarnya kodrat manusia telah ditetapkan sejak lahir berhak untuk hidup dan diatur dalam hukum sehingga setiap manusia dijamin dalam menjalani hidup sebagai

Lebih terperinci

MAKALAH MEMAHAMI PANDANGAN AGAMA-AGAMA DI INDONESIA TERHADAP TINDAKAN MEDIS KEBIDANAN TENTANG EUTHANASIA

MAKALAH MEMAHAMI PANDANGAN AGAMA-AGAMA DI INDONESIA TERHADAP TINDAKAN MEDIS KEBIDANAN TENTANG EUTHANASIA MAKALAH MEMAHAMI PANDANGAN AGAMA-AGAMA DI INDONESIA TERHADAP TINDAKAN MEDIS KEBIDANAN TENTANG EUTHANASIA Disusun oleh : 1. Diah Novitasari 2. Lailatul Nasiroh 3. Zubaidah AKADEMI KEBIDANAN ISLAM AL HIKMAH

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 2014 TENTANG KEWAJIBAN RUMAH SAKIT DAN KEWAJIBAN PASIEN

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 2014 TENTANG KEWAJIBAN RUMAH SAKIT DAN KEWAJIBAN PASIEN PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 2014 TENTANG KEWAJIBAN RUMAH SAKIT DAN KEWAJIBAN PASIEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang memenuhi atau melebihi harapan. Maka dapat dikatakan, bahwa hal-hal

BAB I PENDAHULUAN. yang memenuhi atau melebihi harapan. Maka dapat dikatakan, bahwa hal-hal BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Kualitas Pelayanan Kesehatan tidak terlepas dari kualitas suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa manusia, proses dan lingkungan yang

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Perkara Nomor 4/PUU-V/2007

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Perkara Nomor 4/PUU-V/2007 RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Perkara Nomor 4/PUU-V/2007 I. PEMOHON dr. Anny Isfandyarie Sarwono, Sp.An., S.H. KUASA HUKUM Sumali, S.H. dkk II. NORMA YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN - sebanyak 11 (sebelas) norma

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kematian nomor dua di dunia setelah penyakit jantung. Di tahun 2008, stroke dan

BAB I PENDAHULUAN. kematian nomor dua di dunia setelah penyakit jantung. Di tahun 2008, stroke dan 1 BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Data epidemiologis menunjukkan bahwa stroke merupakan penyebab kematian nomor dua di dunia setelah penyakit jantung. Di tahun 2008, stroke dan penyakit cerebrovaskular

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Hukum Pidana Sebagaimana yang telah diuraikan oleh banyak pakar hukum mengenai hukum pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. uang. Begitu eratnya kaitan antara praktik pencucian uang dengan hasil hasil kejahatan

BAB I PENDAHULUAN. uang. Begitu eratnya kaitan antara praktik pencucian uang dengan hasil hasil kejahatan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Dalam kasus Korupsi sering kali berhubungan erat dengan tindak pidana pencucian uang. Begitu eratnya kaitan antara praktik pencucian uang dengan hasil hasil kejahatan

Lebih terperinci

vii DAFTAR WAWANCARA

vii DAFTAR WAWANCARA vii DAFTAR WAWANCARA 1. Apa upaya hukum yang dapat dilakukan pasien apabila hak-haknya dilanggar? Pasien dapat mengajukan gugatan kepada rumah sakit dan/atau pelaku usaha, baik kepada lembaga peradilan

Lebih terperinci

Dengan membaca buku ini kita akan banyak dibantu mengambil keputusan-keputusan etis yang sesuai dengan prinsip-prinsip Alkitab.

Dengan membaca buku ini kita akan banyak dibantu mengambil keputusan-keputusan etis yang sesuai dengan prinsip-prinsip Alkitab. Di dalam kehidupan kita banyak menjumpai persoalan-persoalan etika. Kalau persoalan itu jelas benar atau salah, kita dengan mudah dapat membuat keputusan. Tetapi kalau keputusan menyangkut banyak hal yang

Lebih terperinci

Menimbang: bahwa perlu ditetapkan peraturan tentang wajib simpan rahasia kedokteran.

Menimbang: bahwa perlu ditetapkan peraturan tentang wajib simpan rahasia kedokteran. Bentuk: Oleh: PERATURAN PEMERINTAH (PP) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 10 TAHUN 1966 (10/1966) Tanggal: 21 MEI 1966 (JAKARTA) Sumber: LN 1966/21; TLN NO. 2803 Tentang: Indeks: WAJIB SIMPAN RAHASIA

Lebih terperinci

PERJANJIAN KERJASAMA ANTARA RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KECAMATAN MANDAU DENGAN FORUM KOMUNIKASI MUBALIGH MUSHOLLA DAN MESJID

PERJANJIAN KERJASAMA ANTARA RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KECAMATAN MANDAU DENGAN FORUM KOMUNIKASI MUBALIGH MUSHOLLA DAN MESJID PERJANJIAN KERJASAMA ANTARA RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KECAMATAN MANDAU DENGAN FORUM KOMUNIKASI MUBALIGH MUSHOLLA DAN MESJID TENTANG PELAYANAN KEROHANIAN BAGI PASIEN RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KECAMATAN MANDAU

Lebih terperinci

Inform Consent. Purnamandala Arie Pradipta Novita Natasya Calvindra L

Inform Consent. Purnamandala Arie Pradipta Novita Natasya Calvindra L Inform Consent Purnamandala Arie Pradipta Novita Natasya Calvindra L 1 PENDAHULUAN Malpraktek pada dasarnya adalah tindakan tenaga profesional (profesi) yang bertentangan dengan Standard Operating Procedure

Lebih terperinci