BAB II TINJAUAN EUTHANASIA. misteri yang sangat besar. Proses pembuahan yang rumit mulai dapat dikenali dan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN EUTHANASIA. misteri yang sangat besar. Proses pembuahan yang rumit mulai dapat dikenali dan"

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN EUTHANASIA 1. Pengertian Euthanasia Setiap makhluk hidup, termasuk manusia akan mengalami siklus kehidupan yang dimulai dari proses pembuahan, kelahiran, kehidupan di dunia dengan berbagai permasalahannya, dan diakhiri dengan kematian. Dari berbagai siklus kehidupan di atas, kematian merupakan salah satu yang masih mengandung misteri yang sangat besar. Proses pembuahan yang rumit mulai dapat dikenali dan dipelajari, bahkan akhir-akhir ini sudah dapat dilakukan proses pembuahan buatan, yang meniru proses alamiah, dan terjadilah inseminasi buatan, yang tidak menimbulkan masalah etika pada dunia hewan, tetapi menjadi sangat kompleks dalam dunia manusia. 21 Perkembangan teknologi dan ilmu kedokteran yang begitu pesat akhirakhir ini, ternyata tidak diikuti dengan perkembangan dalam bidang hukum dan etika. Professor Separovic, seorang pakar hukum kedokteran menyatakan contemporary developments have posed a whole series of new problem. One could even say: If medicine is in trouble because of too much change, law is trouble because of too little change. 22 Bagi para dokter, masalah euthanasia merupakan suatu dilema yang menempatkannya pada posisi yang serba sulit. Di satu pihak tekhnologi kedokteran telah sedemikian maju, sehingga mampu mempertahankan hidup 21 Pengertian Euthanasia, Euthanasia dalam Pandangan Islam diakses tanggal 1 April Chrisdiono M Achadiat, Op. cit hal 180

2 seseorang, sedangkan disisi lain pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap hak-hak individu juga berkembang tak kalah pesat. 23 Sebelum membahas tentang euthanasia lebih lanjut ada baiknya terlebih dahulu membahas tentang konsep kematian itu sendiri. Hal itu dikarenakan masalah euthanasia erat kaitannya dengan kematian. a. Kematian Untuk dapat lebih memahami lebih lagi timbulnya masalah euthanasia, perlu dipahami mengenai konsep mati. Konsep mati pada waktu dulu adalah apabila jantung dan paru-paru sudah tidak berfungsi lagi atau tidak bekerja lagi orang tersebut sudah dinyatakan mati dan tidak diperlukan pertolongan lagi. Kini keadaan sudah berubah, jika seseorang dalam perawatan yang intensif, dan jantungnya sudah berhenti dengan tekhnologi yang ada jantung tersebut dapat dipacu untuk bekerja lagi. 24 Perubahan-perubahan tersebut menyebabkan standar matinya seseorang yang dari berhentinya jantung dan paru-paru sudah tidak relevan lagi. Kerusakan yang terjadi pada otakpun, jika fungsi organ masih dapat dipertahankan, belum dapat dikatakan seseorang tersebut telah mati. Oleh karena itu dalam hal ini sangat penting untuk dapat mengetahui apa sebanarnya konsep mati yang dapat diterima oleh masyarakat, sehingga untuk menentukan mati (secara teknis) dokter harus memiliki (secara moral) keyakinan untuk mempertemukan keduanya (moral-teknis). 23 Ibid hal Ns.Ta Adi, Hukum Kesehatan: Pengantar Menuju Keperawatan Profesional, Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2009, hal 52

3 Untuk melihat permasalahan tentang konsep mati, Kartono Mohammad mengemukakan tentang konsep kematian sebagai berikut: Mati sebagai berhentinya darah mengalir. Konsep ini bertolak dari kriteria mati berupa berhentinya jantung, organ yang memompa darah mengalir keseluruh tubuh. Dalam Peraturan Pemerintah No 18 tahun 1981 dinyatakan bahwa mati adalah berhentinya fungsi jantung dan paru-paru. Dalam kedokteran, teknologi resusitasi telah memungkinkan jantung dan paru-paru yang semula berhenti adakalanya dapat dipulihkan kembali, sehingga dapat dilihat dari perkembangan teknologi, kriteria mati yang ditetapkan Peraturan Pemerintah No 18 tahun 1981 perlu ditinjau ulang. 2. Mati sebagai terlepasnya nyawa dari tubuh. Pada umumnya banyak yang berasumsi bahwa nyawa terlepas dari tubuh ketika darh berhenti mengalir. Tetapi dikaitkan dengan perkembangan teknologi yang telah dikemukakan diatas, dapatkah nyawa ditarik kembali melalui teknologi resusitasi? Jika beranggapan bahwa sekali nyawa terlepas, tidak mungkin manusia dapat menariknya kembali, maka kriteria berhentinya darah mengalir pada saat nyawa meninggalkan tubuh tidak tepat lagi. 3. Hilangnya kemampuan tubuh secara permanen (irreversible lost ability). Dalam pengertian ini, fungsi organ-organ tubuh yang semula bekerja terpadu kini berfungsi sendiri tanpa terkendali, karena fungsi pengendali (otak), sudah rusak dan tidak mampu mengendalikan lagi. Pandangan ini memang sudah sangat teknis tetapi belum memastikan bahwa otak telah 25 Ibid hal 52-54

4 mati tetapi hanya mengatakan bahwa otak telah tidak mampu lagi mengendalikan fungsi organ-organ lain secara terpadu. Pandangan ini diwarnai oleh pengalaman dalam teknologi transplantasi organ. Secara teknis medis untuk kepentingan transplantasi, memang pandangan ini memadai. Tetapi, secara moral masih menjadi pertanyaan, jika organorgan masih berfungsi, meski tidak terpadu lagi, benarkah orang tersebut sudah mati? 4. Hilangnya kemampuan manusia secara permanen untuk kembali sadar dan melakukan interaksi sosial. Konsep ini dikembangkan dari konsep yang ketiga diatas, tetapi dengan penekanan nilai moral yaitu dengan memeperhatikan fungsi manusia sebagai mahluk sosial. Manusia digambarkan oleh Henry Beecher sebagai. individu yang memiliki kepribadian, menyadari kehidupannya, kekhususannya, kemampuannya mengingat, menentukan sikap, dan mengambil keputusan, mengajukan alasan yang masuk akal, mampu berbuat, menikmati, mengalami kecemasan, dan sebagainya. Keempat konsep yang dikemukakan oleh Kartono Mohammad ini sudah tidak melihat apakah organ-organ lain masih berfungsi atau tidak, tetapi apakah otak masih mampu atau tidak menjalankan fungsi pengendalian, baik secara jasmani maupun sosial. Dalam konsep ini kepentingan transplantasi 26 (pemindahan seluruh atau sebagian organ dari satu tubuh ke tubuh yang lain, atau 26 diakses tanggal 5 Juli 2012

5 dari suatu tempat ke tempat yang lain pada tubuh yang sama) tidak menjadi pertimbangan utama lagi, tetapi juga tidak dilupakan. Pengembangan kriteria mati yang baru didunia kedokteran, secara moral, bukan hanya demi kepentingan transplantasi saja, tetapi juga untuk memastikan kapan alat-alat bantu resusitasi 27 (sebuah upaya menyediakan oksigen ke otak, jantung dan organ-organ vital lainnya melalui sebuah tindakan) boleh dihentikan. Oleh karena itu, para pakar kedokteran mencari tanda-tanda baru tentang kematian yang memenuhi kriteria teknis dan kriteria moral. Konsep yang paling dekat dengan konsep mati ini adalah konsep yang keempat karena pusat penggerak berbagai fungsi dalam tubuh manusia itu secara anatomis diketahui terletak di batang otak. Bila batang otak sudah mati, dapat diyakini manusia tersebut sudah mati secara fisik dan sosial Selain itu ada juga yang berpendapat bahwa kematian dapat dibagi menjadi 2 (dua) fase, yaitu: 29 somatic death (Kematian Somatik) dan biological death (Kematian Biologik). Kematian somatik merupakan fase kematian dimana tidak didapati tanda-tanda kehidupan seperti denyut jantung, gerakan pernafasan, suhu badan yang menurun dan tidak adanya aktifititas listrik otak pada rekaman EEG 30 (Electro Enselo Grafi). Dalam waktu 2 (dua) jam, kematian somatik akan diikuti fase kematian biologik yang ditandai dengan kematian sel. Kurun waktu 2 (dua) jam diantaranya dikenal sebagai fase mati suri Ibid 28 Ibid hal Loc.cit 30 Elektro Enselo Grafi (EEG) adalah suatu alat yang mempelajari gambar dari rekaman aktifitas listrik di otak, termasuk teknik perekaman EEG dan interpretasinya.

6 Makin sulit seorang ilmuwan medik menentukan terjadinya kematian pada manusia. Apakah kematian somatik secara lengkap harus terlihat sebagai tanda penentu adanya kematian, atau cukup bila terdapat salah satu dari tanda kematian somatic seperti kematian batang otak saja, berhentinya nafas saja atau berhentinya detak jantung saja sudah dapat dipakai sebagai patokan penentuan kematian manusia. Permasalahan penentuan saat kematian ini sangat penting bagi pengambilan keputusan baik oleh dokter maupun keluarganya dalam kelanjutan pengobatan. Apakah pengobatan dilanjutkan atau dihentikan. Dilanjutkan belum tentu membawa hasil, tetapi yang jelas akan menghabiskan materi, sedangkan bila dihentikan pasti akan membawa ke fase kematian. Penghentian tindakan pengobatan ini merupakan salah satu bentuk dari euthanasia. 31 b. Euthanasia Istilah Euthanasia berasal dari bahasa Yunani, yaitu eu yang artinya baik, dan thanatos yang berarti mati. Dengan demikian secara harafiah euthanasia berarti kematian yang baik atau kematian yang menyenangkan dan mudah tanpa mengalami penderitaan. Dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah qatlu arrahma atau taysir al-maut. 32 Menurut kalangan medis sendiri, euthanasia merupakan tindakan yang diambil kalangan medis ketika tidak adalagi yang bisa dilakukan untuk meningkatkan harapan hidup seseorang (pasien) dan dilakukan berdasarkan 31 Ibid 32 Op. cit, hal 5

7 permintaan atau persetujuan dari pasien tersebut atau orang yang bertanggung jawab atas pasien tersebut. 33 Istilah euthanasia dalam Kode Etik Kedokteran mengandung 3 arti yaitu : Pindah ke alam baka dengan tenang dan aman, tanpa penderitan 2. Ketika hidup berakhir, penderitaan si sakit diringankan dengan memberikan obat penenang, dan 3. Mengakhiri penderitaan dan hidup seseorang yang sakit dengan sengaja atas permintaan pasien sendiri dan keluarganya Menurut Philo (50-20 SM) euthanasia berarti mati dengan tenang dan baik, sedangkan Seutinius dalam buku Vitaceasarum merumuskan bahwa euthanasia adalah mati cepat tanpa derita. Menurut Richard Lamerton, euthanasia pada abad ke 20 ditafsirkan sebagai pembunuhan atas dasar belas kasihan (mercy killing), selain itu juga diartikan sebagai perbuatan membiarkan seseorang mati dengan sendirinya, atau tanpa berbuat apa-apa membiarkan orang mati. Pengertian tersebut tampaknya semata-mata hanya dilihat dari sudut sifat kematian (tanpa kematian) atau dari sudut pandang perbuatan pasif yang berupa membiarkan seseorang mati tanpa usaha mempertahankan kehidupannya. 35 Pengertian itu tidak menggambarkan yang sesungguhnya terjadi karena belum menggambarkan kehendak orang yang mau mati tersebut. Padahal 33 Hasil wawancara dengan dr. Kartika br Karo, Salah satu dokter umum di RS. Columbia Asia/RMO,pada hari Rabu, 09 Mei Ratna Suprapti Samil,2001,Etika Kedokteran Indonesia,Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo,Jakarta,hal Ari Yunanto dan Helmi, Loc.cit, hal 57

8 kehendak tersebut yang penting dan menjadi unsur esensieel (inti). Oleh karena itu sebaiknya euthanasia diartikan sebagai membunuh atas kehendak sendiri 36 Atas kehendak sendiri ini merupakan salah satu contoh hak dasar individual dalam pelayanan kesehatan, yaitu hak menentukan nasib sendiri (the right of self determination) seperti yang tertuang dalam Kode Etik Rumah Sakit Indonesia. 37 Hak menentukan nasib sendiri adalah hak fundamental manusia. Sekalipun hak tersebut berbeda antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain, namun pada hakekatnya keinginan manusia untuk mengatur kehidupannya sendiri sesuai dengan pandangan pribadinya, mengadakan pilihan-pilihannya sendiri, bahkan merencanakan sendiri pembentukan dan pengambilan keputusan untuk dirinya sendiri merupakan sesuatu yang diakui umum. 38 Euthanasia dan bunuh diri pada dasarnya tidak terlalu jauh berbeda, dua-duanya berarti tindakan mengakhiri hidup sendiri akibat putus asa dan kekecewaan yang berlarut-larut. Kasus euthanasia itu sendiri terjadi karena tindakan bunuh diri akibat menderita dan rasa nyeri yang tidak tertahankan lagi dan tidak bisa disembuhkan dan biasanya dibantu oleh orang lain yang biasanya dilakukan oleh dokter. Sementara dalam kasus bunuh diri, lebih banyak disebabkan kekecewaan baik dalam karier, rumah tangga, kesulitan ekonomi dan sebagainya yang pada dasarnya ingin keluar dari derita hidup sehingga merekayasa kematian dirinya sendiri misalnya dengan cara menggantung diri, 36 Adami Chanawi,Op.cit hal Freddy Tengker,2007,Hak Pasien,CV.Mandar Maju,Bandung,hal Ibid hal 53

9 melompat dari tempat yang tinggi, menembak ataupun menusuk diri sendiri, meminum racun dan sebagainya Sejarah euthanasia Sejak zaman dahulu, euthanasia mengundang perdebatan antara pro dan kontra yang seakan tiada habis-habisnya. Istilah eutanasia pertama kali dipopulerkan oleh Hippokrates dalam manuskripnya yang berjudul sumpah Hippokrates, naskah ini ditulis pada tahun SM. Dalam sumpahnya tersebut Hippokrates menyatakan: I will follow that system of regimen which, according to my ability and judgement, I consider for the benefit of my patients, and mischievous. I will give no deadly medicine to any one if asked, nor suggest any such counsel. 40 (saya tidak akan menyarankan dan atau memberikan obat yang mematikan kepada siapapun meskipun telah dimintakan untuk itu). Dari dokumen tertua tentang euthanasia di atas, dapat dilihat bahwa, justru anggapan yang dimunculkan oleh Hippocrates adalah penolakan terhadap praktek euthanasia. Sejak abad ke-19, euthanasia telah memicu timbulnya perdebatan dan pergerakan di wilayah Amerika Utara dan di Eropa Pada tahun 1828 Undang- Undang anti euthanasia mulai diberlakukan di Negara bagian New York, yang pada beberapa tahun kemudian diberlakukan pula oleh beberapa Negara bagian. Setelah masa Perang Saudara, beberapa advokat dan beberapa dokter mendukung dilakukannya euthanasia secara sukarela. Kelompok-kelompok pendukung 39 Adami Chanawi,Loc. cit 40 Euthanasia, diakses tanggal 30 Juni 2012

10 euthanasia mulanya terbentuk di Inggris pada tahun 1935 dan di Amerika pada tahun 1938 yang memberikan dukungannya pada pelaksanaan euthanasia agresif, walaupun demikian perjuangan untuk melegalkan euthanasia tidak berhasil di Amerika maupun Inggris. 41 Pada tahun 1939, pasukan Nazi Jerman melakukan suatu tindakan kontroversial dalam suatu program euthanasia terhadap anak-anak di bawah umur 3 (tiga)tahun yang menderita keterbelakangan mental, cacat tubuh, ataupun gangguan lainnya yang menjadikan hidup mereka tak berguna. Program ini dikenal dengan nama Aksi T4 ( Action T4 ) yang kelak diberlakukan juga terhadap anak-anak usia di atas 3 (tiga) tahun dan para jompo ataupun lansia. Pada awalnya hanya difokuskan pada bayi yang baru lahir dan anak-anak yang masih sangat kecil. Para dokter dan ibu rumah tangga diperintahkan untuk mendaftarkan anak-anak dibawah 3 (tiga) tahun kepada pemerintah Jerman. Kemudian, keputusan untuk membiarkan anak tersebut hidup atau tidak diambil oleh tiga ahlis medis tanpa pemeriksaan maupun memperhatikan hasil kesehatan anak tersebut. 42 Tiap ahli medis menambah tanda positif (+) dengan pensil merah atau tanda negative (-) dengan pensil biru di setiap lembar kasus para anak-anak tersebut. Tanda positif (+) merah berarti keputusan untuk membunuh anak tersebut, dan tanda negatif (-) biru berarti keputusan untuk membiarkannya hidup. Jika tiga tanda positif (+) merah telah dikeluarkan, maka anak tersebut akan 41 Sejarah dan Hukum Euthanasia di Berbagai Negara diakses tanggal 19 Maret Euthanasia diakses tanggal 1 April 2012

11 dikirim ke Departemen Khusus Anak di mana mereka akan menerima kematian dengan suntik mati atau dengan cara dibiarkan mati kelaparan. Program Nazi Euthanasia akhirnya berkembang dengan menyertakan anak-anak yang lebih tua yang memiliki cacat juga para orang dewasa. Putusan Hitler pada bulan Oktober 1939, menyatakan pemberian hak untuk para ahli medis tertentu untuk memberikan euthanasia pada orang-orang yang tidak dapat disembuhkan lagi. Putusan tersebut disebarkan ke seluruh rumah sakit dan tempat medis lainnya. 43 Sebagai hasilnya, pada tanggal 23 Agustus, Hitler menghentikan Aktion T 4, yang telah mengambil nyawa ratusan ribu orang. Namun bagaimanapun juga, program Nazi euthanasia secara diam-diam terus berlanjut, tapi bukan dengan menggunakan gas beracun, melainkan dengan menggunakan obat-obat dan dibiarkan kelaparan. Setelah dunia menyaksikan kekejaman Nazi dalam melakukan kejahatan euthanasia, pada era tahun 1940 dan 1950 maka berkuranglah dukungan terhadap eutanasia, terlebih lagi terhadap tindakan eutanasia yang dilakukan secara tidak sukarela ataupun karena disebabkan oleh cacat genetika. Sejauh ini Indonesia memang belum mengatur secara spesifik mengenai euthanasia atau suntik mati terhadap pasien yang sudah tidak memiliki kemampuan mengobati penyakitnya sama dengan perbuatan pidana menghilangkan nyawa seseorang. Lembaga Bantuan Hukum Kesehatan menyerukan perlunya peraturan baku mengenai euthanasia. Selanjutnya, dalam 43 Ibid

12 ketiadaan peraturan baku tersebut pemerintah seharusnya mencarikan jalan keluar bagi pihak-pihak yang mempermasalahkan euthanasia. Euthanasia dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) masih dimasukkan ke dalam tindakan bunuh diri yang dibantu (assisted suicide) dan bisa dianggap sebagai suatu tindakan pidana Jenis-Jenis Euthanasia Euthanasia dibagi dalam beberapa jenis, jika dilihat dari cara dilaksanakannya euthanasia tersebut dibagi atas : Euthanasia aktif, yaitu : perbuatan yang dilakukan secara medis melalui intervensi aktif oleh seorang dokter dengan tujuan untuk mengakhiri hidup manusia. Euthanasia aktif ini dibagi 2 yaitu: a. Euthanasia aktif langsung (direct) adalah dilakukannya tindakan medis secara terarah yang akan mengakhiri hidup pasien atau memperpendek hidup pasien. Jenis euthanasia ini dikenal juga sebagai mercy killing. b. Euthanasia aktif tidak langsung (indirect) adalah saat dimana dokter atau tenaga kesehatan melakukan tindakan medis untuk meringankan penderitaan pasien, namun terdapat adanya adanya resiko tersebut dapat memperpendek atau mengakhiri hidup pasien. 2. Euthanasia pasif adalah perbuatan menghentikan atau mencabut segala tindakan atau pengobatan yang perlu untuk mempertahankan hidup manusia LBHK: Perlu Aturan Baku Euthanasia,diakses tanggal 1 April Jenis Euthanasia, diakses tanggal 19 Maret 2012

13 3. Auto-Euthanasia adalah penolakan dengan tegas oleh pasien untuk memperoleh bantuan atau perawatan medis untuk dirinya sendiri dan dia tahu hal itu dapat memperpendek umurnya. Jika ditinjau dari sudut permintaan, euthanasia dibagi atas: 1. Euthanasia voluntir atau euthanasia sukarela (atas permintaan pasien) adalah euthanasia yang dilakukan atas permintaan pasien secara sadar dan diminta berulang-ulang. 2. Euthanasia involuntir (tidak atas permintaan pasien) adalah euthanasia yang dilakukan pada pasien yang (sudah) tidak sadar, dan biasanya keluarga pasien yang meminta. Selain itu, Dr. J.E Sahetapy SH didalam tulisannya pada majalah Badan Pembinaan Hukum Nasional, membedakan euthanasia dalam tiga jenis yaitu : Action to permit death to occur 2. Failure to take action to prevent death 3. Positive action to cause death Dari ketiga perbedaan euthanasia tersebut diatas, dapat dijelaskan bahwa pada jenis euthanasia yang pertama, kematian dapat terjadi karena pasien dengan sungguh-sungguh dan secara cepat mengingimkan untuk mati. Pasien tersebut sadar dan tahu bahwa penyakit yang dideritanya itu tidak dapat disembuhkan walaupun diadakan pengobatan dan perawatan secara baik. Oleh sebab itu pasien tersebut kemudian meminta kepada dokter agar dokter tidak lagi memberikan 46 Djoko Prakoso, Op.cit hal 73

14 pengobatan kepadanya guna penyembuhan terhadap penyakit yang dideritanya itu. Di samping itu pasien memohon untuk tidak melakukan perawatan di Rumah Sakit lagi, namun supaya dibiarkan saja di rumah pasien sendiri. Pasien tersebut merasa bahagia, bahwa ia akan dapat dengan segera meninggal dunia dengan tenang disamping keluarganya. Jadi kematian si pasien itu terjadi seolah-olah merupakan kerja sama antara si pasien dan dokter yang semula merawatnya. Jenis euthanasia inilah yang biasa disebut sebagai euthanasia dalam arti yang pasif atau permission. 47 Berbeda dengan jenis euthanasia yang pertama, maka pada jenis euthanasia yang kedua kematian terjadi karena kelalaian atau kegagalan dari seorang dokter dalam mengambil suatu tindakan untuk mencegah adanya kematian.hal ini terjadi bilamana dokter akan mengambil suatu tindakan guna mencegah kematian, akan tetapi dokter tersebut tidak berbuat apa-apa, karena ia tahu bahwa pengobatan yang akan diberikan kepada pasien itu akan sia-sia. Jika dokter tersebut memberikan pengobatan, maka pengobatan tersebut dipandang sebagai suatu tindakan yang tidak berarti, sehingga sudah tidak ada lagi untuk penyembuhan secara normal. Akhirnya pasien dibiarkan begitu saja, sampai ajalnya tiba dengan sendirinya. Pada dasarnya euthanasia jenis yang pertama sama dengan jenis yang kedua. Letak pembedaannya adalah pada tindakan membiarkan pasien meninggal dunia dengan sendirinya tanpa mengadakan pencegahan. Jika pada jenis yang pertama, tindakan membiarkan ini timbul karena adanya persetujuan kedua belah pihak yaitu si pasien dan dokter yang 47 Ibid

15 merawatnya, sedangkan pada jenis yang kedua tindakan itu timbul hanya datang dari salah satu pihak saja, yaitu dari dokter yang merawatnya. 48 Euthanasia pada jenis yang ketiga, merupakan tindakan yang positif dari dokter untuk mempercepat terjadinya kematian. Jadi, berbeda dengan jenis pertama yang bersifat pasif, maka pada jenis yang ketiga ini bersifat aktif atau causation. Dari tindakan aktif ini, seorang pasien akan segera mati dengan tenang, misalnya dengan memberikan injeksi dengan obat yang menimbulkan kematian, obat penghilang rasa kesadaran dalam dosis tinggi, dan lain-lain. Antara euthanasia jenis yang pertama dan yang ketiga ini sama-sama didasarkan atas permintaan atau desakan dari pasien ataupun keluarganya kepada dokter. Hanya saja pada jenis yang ketiga dokter lebih bersifat aktif dalam mengambil tindakan untuk mempercepat proses terjadinya kematian. 49 Ada juga pendapat dari Commisie yang membedakan bentuk euthanasia itu sebagai berikut: Vrijwillige euthanasia yaitu euthanasia ya ng dilakukan dengan adanya permintaan yang nyata-nyata dan sungguh-sungguh dari pasien 2. Onvrijwillige euthanasia yaitu tidak adanya permintaan yang nyata dan sungguh-sungguh dari si pasien 48 Ibid, hal Ibid 50 Bachtiar Agus Salim,Hukum Pidana dan Euthanasia,dalam Temu Ilmiah VII Perhuki Wilayah Sumut,Medan,1990,hal 34

16 3. Passive authanasia yang maksudnya dalam hal itu tidak ada lagi digunakan alat-alat ataupun perbuatan yang memperpanjang hidup pasien 4. Active euthanasia yang maksudnya dalam hal ini menggunakan alat-alat ataupun perbuatan yang memperpendek hidup pasien. Namun pada umumnya, euthanasia dibagi 3 jenis yaitu : Euthanasia aktif, yaitu tindakan yang sengaja dilakukan dokter atau tenaga kesehatan lain yang memperpendek hidup si pasien. 2. Auto-Euthanasia, yaitu seorang pasien yang menolak secara tegas dengan sadar untuk menerima perawatan medis dan ia tidak mengetahui bahwa hal itu akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. 3. Euthanasia pasif, yaitu dimana dokter atau tenaga kesehatan lain secara sengaja tidak (lagi) memberikan bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup si pasien. Eutanasia pasif dapat juga dikategorikan sebagai tindakan euthanasia negatif yang tidak menggunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan seorang pasien. Eutanasia pasif dilakukan dengan memberhentikan pemberian bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup pasien secara sengaja. Beberapa contohnya adalah dengan tidak memberikan bantuan oksigen bagi pasien yang mengalami kesulitan dalam pernapasan, tidak memberikan antibiotika kepada penderita pneumonia berat, meniadakan tindakan operasi yang seharusnya dilakukan guna memperpanjang hidup pasien, ataupun pemberian obat penghilang rasa sakit seperti morfin yang disadari justru akan 51 Ari Yunanto dan Helmi Op.cit hal 55-56

17 mengakibatkan kematian. Tindakan eutanasia pasif seringkali dilakukan secara terselubung oleh kebanyakan rumah sakit. Penyalahgunaan eutanasia pasif bisa dilakukan oleh tenaga medis maupun pihak keluarga yang menghendaki kematian seseorang, misalnya akibat keputusasaan keluarga karena ketidak sanggupan menanggung beban biaya pengobatan. Pada beberapa kasus keluarga pasien yang tidak mungkin membayar biaya pengobatan, akan ada permintaan dari pihak rumah sakit untuk membuat "pernyataan pulang paksa". Meskipun akhirnya meninggal, pasien diharapkan meninggal secara alamiah sebagai upaya defensif medis Perkembangan Euthanasia di Berbagai Negara Sejauh ini, eutanasia telah menjadi perdebatan hangat dan banyak bermunculan kelompok-kelompok yang pro maupun yang kontra terhadap praktek pencabutan nyawa ini. Di beberapa Negara di dunia, eutanasia telah dilegalkan dan diatur dengan prosedur-prosedur khusus misalnya di Negara Belanda, Belgia serta ditoleransi di Negara bagian Oregon di Amerika, dan Swiss, namun di beberapa Negara dinyatakan sebagai kejahatan seperti di India, Jepang dan Indonesia. a. Euthanasia di Belanda Legalisasi euthanasia dalam hukum Belanda mendapat liputan luas pers internasional. Diterimanya Undang-Undang Eutahanasia dinilai sebagai 52 Euthanasia, diakses tanggal 1 April 2012

18 revolusi di bidang hukum. Belanda menyatakan bahwa euthanasia dan permintaan bunuh diri tidak dapat dihukum jika tindakan dokter berdasarkan criteria kehati-hatian dan menyangkut permintaan pasien, penderitaan pasien yang tak tertahankan berdasarkan informasi yang diberikan kepada pasien berdasarkan konsultasi dari dokter yang bersangkutan untuk mengakhiri hidup pasien. 53 Undang-Undang pemutusan kehidupan euthanasia dan permintaan bunuh diri mulai berlaku 1 april 2012 melegalkan bunuh diri dengan cara euthanasia dan dokter jika dalam kondisi sebagai berikut: 54 a. penderitaan yang tak tertahankan yang dialamin pasien b. permintaan pasien untuk melakukan euthanasia harus sukarela dan bertahan dari waktu ke waktu (permintaan tidak dapat diberikan ketika berada dibawah pengaruh orang lain, penyakit psikologis, obat-obatan) c. pasien harus menyadari kondisi dan pilihan yang diambil sepenuhnya d. harus ada konsultasi dengan setidaknya satu dokter independen lain yang perlu menginformasikan kondisi tersebut diatas e. kematian harus dilakukan secara medis yang tepat oleh dokter atau pasien, dalam hal ini dokter harus hadir f. pasien setidaknya berumur 12 tahun ( pasien antara umur 12 tahun sampai 16 tahun memerlukan persetujuan orang tua) 53 Euthanasia in Netherlands, diakses tanggal 30 juni Ibid

19 Undang-undang ini juga mengatur keabsahan pernyataan tertulis akan pasien tentang euthanasia dan dapat digunakan ketika pasien berada dalam keadaan koma atau tidak mampu untuk menyarakan jika mereka melakukan euthanasia. Banyak pihak yang tidak setuju, baik di Belanda sendiri maupun di dunia internasional. Partai Demokrat Kristen di Jerman malah mempertimbangkan menggugat keabsahan Undang-Undang Belanda ini pada Mahkamah Pengadilan Eropa karena sianggap bertentangan dengan Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia. Tetapi dalam demokrasi modern, undang-undang dibentuk oleh institusi-institusi yang demokratis. Dalam hal ini, keabsahan Undang-Undang Belanda ini tidak dapat diragukan. Dalam parlemen, Undang-Undang ini diterima dengan mayoritas 104 suara melawan 40 suara (November 2000). Belanda menjadi Negara pertama di dunia yang melegalkan tindakan euthanasia yaitu hak yang diberikan kepada seorang dokter melakukan pembunuhan berbelas kasihan dengan alasan-alasan apabila pasien menderita secara terus-menerus, sakit yang tak tertahankan, telah berulang kali meminta untuk mati dan pendapat dua orang medis setuju dengan diagnosa tersebut. Praktik euthanasia di Belanda sudah lama ditolerir, namun praktik seperti ini masih illegal. Undang-Undang Euthanasia merupakan upaya pertama melegalkan praktik euthanasia. 55 Pada tanggal 10 April 2001 Belanda menerbitkan undang-undang yang mengizinkan euthanasia, undang-undang ini dinyatakan efektif berlaku sejak tanggal1 April 2002, yang menjadikan Belanda menjadi Negara pertama di dunia yang melegalisasi praktik euthanasia. Pasien-pasien yang mengalami sakit 55 Op.cit

20 bertahun-tahun dan tidak dapat disembuhkan lagi, diberi hak untuk mengakhiri penderitaannya. Tetapi perlu ditekankan, bahwa dalam Kitab Hukum Pidana Belanda secara formal euthanasia dan bunuh diri berbantuan masih dipertahankan sebagai perbuatan kriminal. Sejak akhir tahun 1993, Belanda secara hukum mengatur kewajiban para dokter untuk melapor semua kasus euthanasia dan bunuh diri berbantuan. Instansi kehakiman selalu akan menilai betul tidaknya prosedurnya. Pada tahun 2002,sebuah konvensi yang berusia 30 tahun telah dikodifikasi oleh undang-undang Belanda, dimana seorang dokter yang melakukan euthanasia pada suatu kasus tertentu tidak akan dihukum. Karena itu, praktik euthanasia di Belanda hampir tidak mengalami perubahan, tetapi posisi dokter terhadap hukum lebih jelas dan aman. Sebelumnya dokter sering segan melapor tindakan euthanasia karena merasa ragu bagaimana tanggapan instansi kehakiman. Kini kekhawatiran tersebut tidak ada lagi, karena tindakan euthanasia sudah menjadi legal. 56 b. Euthanasia di Belgia Parlemen Belgia telah melegalisasi tindakan euthanasia pada akhir September Para pendukung euthanasia menyatakan bahwa ribuan tindakan euthanasia setiap tahunnya telah dilakukan sejak di legalisasikannya tindakan euthanasia di negara ini, namun mereka juga mengkritik sulitnya prosedur pelaksanaan euthanasia ini sehingga timbul suatu kesan adaya upaya untuk menciptakan birokrasi kematian. Belgia kini menjadi Negara ketiga yang 56 Ibid

21 melegalisasi euthanasia. Senator Philippe Mahoux, dari partai sosialis yang merupakan salah satu penyusun rancangan undang-undang tersebut menyatakan bahwa seorang pasien yang menderita secara jasmani dan psikologis adalah merupakan orang yang memiliki hak penuh untuk memutuskan kelangsungan hidupnya dan penentuan saat-saat akhir hidupnya. 57 c. Euthanasia di Amerika Eutanasia agresif dinyatakan ilegal di banyak Negara bagian di Amerika. Saat ini satu-satunya Negara bagian di Amerika yang hukumnya secara eksplisit mengizinkan pasien terminal ( pasien yang tidak mungkin lagi disembuhkan) mengakhiri hidupnya adalah Negara bagian Oregon, yang pada tahun 1997 melegalisasikan kemungkinan dilakukannya euthanasia dengan memberlakukan Undang-Undang tentang kematian yang pantas. Tetapi undang-undang ini hanya menyangkut bunuh diri berbantuan, bukan euthanasia. Syarat-syarat yang diwajibkan cukup ketat, dimana pasien terminal berusia 18 tahun ke atas boleh minta bantuan untuk bunuh diri, jika mereka diperkirakan akan meninggal dalam enam bulan dan keinginan ini harus diajukan sampai tiga kali pasien, dimana dua kali secara lisan (dengan tenggang waktu 15 hari di antaranya) dan sekali secara tertulis (dihadiri dua saksi dimana salah satu saksi tidak boleh memiliki hubungan keluarga dengan pasien). Dokter kedua harus mengkonfirmasikan diagnosis penyakit dan prognosis serta memastikan bahwa pasien dalam mengambil keputusan itu tidak berada dalam keadaan gangguan 57 Euthanasia, tanggal 20 Mei 2012

22 mental. Hukum juga mengatur secara tegas bahwa keputusan pasien untuk mengakhiri hidupnya tersebut tidak boleh berpengaruh terhadap asuransi yang dimilikinya baik asuransi kesehatan, jiwa maupun kecelakaan ataupun juga simpanan hari tuanya. Belum jelas apakah undang-undang Oregon ini bisa dipertahankan di masa depan, sebab dalam Senat Amerika Serikat pun ada usaha untuk meniadakan Undang-Undang Negara bagian ini. Mungkin saja nanti nasibnya sama dengan Undang-Undang Northern Territory di Australia. Bulan Februari lalu sebuah studi terbit tentang pelaksanaan Undang-Undang Oregon seama tahun Sebuah lembaga jajak pendapat terkenal yaitu Poling Gallup (Gallup Poll) menunjukkan bahwa 60% orang Amerika mendukung dilakukannya euthanasia 58 d. Euthanasia di Swiss Di Swiss, obat yang mematikan dapat diberikan baik kepada warga Negara Swiss ataupun orang asing apabila yang bersangkutan memintanya sendiri. Secara umum, pasal 115 dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Swiss yang ditulis pada tahun 1937 dan dipergunakan sejak tahun 1942, yang pada intinya menyatakan bahwa membantu suatu pelaksanaan bunuh diri adalah merupakan suatu perbuatan melawan hukum apabila motivasinya semata untuk kepentingan diri sendiri. Pasal 115 tersebut hanyalah menginterpretasikan suatu izin untuk 58 Ibid

23 melakukan pengelompokan terhadap obat-obatan yang dapat digunakan untuk mengakhiri kehidupan seseorang 59 e. Euthanasia di Jepang Jepang tidak memiliki suatu aturan hukum yang mengatur tentang eutanasia demikian pula Pengadilan Tertinggi Jepang tidak pernah mengatur mengenai euthanasia tersebut. Ada 2 kasus eutanasia yang pernah terjadi di Jepang yaitu di Nagoya pada tahun 1962 yang dapat dikategorikan sebagai "euthanasia pasif" dan yang satunya lagi terjadi setelah peristiwa insiden ditokai university pada tahun 1995 yang dikategorikan sebagai euthanasia aktif. Keputusan hakim dalam kedua kasus tersebut telah membentuk suatu kerangka hukum dan suatu alasan pembenar dimana euthanasia secara aktif dan pasif boleh dilakukan secara legal. Meskipun demikian euthanasia yang dilakukan selain pada kedua kasus tersebut adalah tetap dinyatakan melawan hukum,dimana dokter yang melakukannya akan dianggap bersalah oleh karena merampas kehidupan pasiennya. Oleh karena keputusan pengadilan ini masih diajukan banding ke tingkat federal maka keputusan tersebut belum mempunyai kekuatan hukum sebagai sebuah yurisprudensi, namun meskipun demikian saat ini 59 Euthanasia, tanggal 20 Mei 2012

24 Jepang memiliki suatu kerangka hukum sementara guna melaksanakan eutanasia. 60 f. Euthanasia di Indonesia Berdasarkan hukum di Indonesia maka euthanasia adalah sesuatu perbuatan yang melawan hukum, hal ini dapat dilihat pada peraturan perundangundangan yang ada yaitu pada Pasal 344 Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang menyatakan bahwa Barang siapa yang menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang disebutkannya dengan nyata dan dengan sungguh-sungguh dihukum penjara selama-lamanya 12 tahun. Juga demikian halnya nampak pada pengaturan pasal-pasal yang terdapat dalam KUHP seperti: a. 338 KUHP yang menyatakan: barangsiapa sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun. b. 340 KUHP yang menyatakan: barangsiapa sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun. Pasal-pasal tersebut diatas memenuhi unsur-unsur perbuatan pidana yaitu: adanya perbuatan yang dilarang, adanya orang yang melakukan perbuatan yang dilarang tersebut, dan adanya ancaman pidana Ibid

25 Tiga pokok permasalahan hukum pidana yang terdapat dalam pasal 344 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tersebut yaitu: pertama adanya perbuatan yang dilarang yaitu menghilangkan nyawa orang lain, kedua adanya orang yang melakukan perbuatan yang dilarang tersebut yaitu dokter ataupun tenaga medis lainnya, ketiga adanya ancaman pidana yaitu pidana penjara paling lama dua belas (12) tahun sudah memenuhi ketiga permasalahan tersebut 61

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai negara berkembang tidak dapat menghindari adanya kemajuan dan perkembangan di bidang kedokteran khususnya dan bidang teknologi pada umumnya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kepada seluruh makhluk hidup di jagad raya ini, termasuk pula manusia yang

BAB I PENDAHULUAN. kepada seluruh makhluk hidup di jagad raya ini, termasuk pula manusia yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kematian merupakan suatu ketentuan yang telah digariskan oleh Tuhan kepada seluruh makhluk hidup di jagad raya ini, termasuk pula manusia yang telah ditentukan secara

Lebih terperinci

EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA DAN KAITANNYA DENGAN HUKUM PIDANA

EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA DAN KAITANNYA DENGAN HUKUM PIDANA EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA DAN KAITANNYA DENGAN HUKUM PIDANA Oleh: NUR HAYATI Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonusa Esa Unggul ABSTRAK EUTHANASIA merupakan salah satu masalah etika

Lebih terperinci

BAB III ANALISIS DAN KAJIAN YURIDIS MENGENAI EUTHANASIA DIPANDANG DARI SEGI HAM

BAB III ANALISIS DAN KAJIAN YURIDIS MENGENAI EUTHANASIA DIPANDANG DARI SEGI HAM BAB III ANALISIS DAN KAJIAN YURIDIS MENGENAI EUTHANASIA DIPANDANG DARI SEGI HAM 3.1 Kronologi kasus Ayah Ana Widiana Kasus berikut merupakan kasus euthanasia yang terjadi pada ayah dari Ana Widiana salah

Lebih terperinci

ASPEK HUKUM EUTHANASIA. By L. Ratna Kartika Wulan

ASPEK HUKUM EUTHANASIA. By L. Ratna Kartika Wulan ASPEK HUKUM EUTHANASIA By L. Ratna Kartika Wulan POKOK BAHASAN DEFINISI PERMASALAHAN EUTHANASIA HAK UNTUK MATI PANDANGAN HKM THD EUTHANASIA JENIS EUTHANASIA PRO & KONTRA EUTHANASIA DEFINISI SECARA HARAFIAH

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pesatnya penemuan-penemuan teknologi modern, mengakibatkan

BAB I PENDAHULUAN. Pesatnya penemuan-penemuan teknologi modern, mengakibatkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pesatnya penemuan-penemuan teknologi modern, mengakibatkan terjadinya perubahan-perubahan yang sangat cepat di dalam kehidupan sosial budaya manusia. Semua problema,

Lebih terperinci

BAB II TANGGUNG JAWAB DOKTER YANG MELAKUKAN EUTHANASIA. A. Tanggung Jawab Dokter Menurut Profesi Medis.

BAB II TANGGUNG JAWAB DOKTER YANG MELAKUKAN EUTHANASIA. A. Tanggung Jawab Dokter Menurut Profesi Medis. BAB II TANGGUNG JAWAB DOKTER YANG MELAKUKAN EUTHANASIA A. Tanggung Jawab Dokter Menurut Profesi Medis. Pada dasawarsa ini para dokter dan petugas kesehatan lain menghadapi sejumlah masalah dalam bidang

Lebih terperinci

ANALISA PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA BAGI DOKTER TERHADAP KASUS EUTHANASIA DITINJAU DARI KUHP YANG BERTENTANGAN DENGAN HAK ASASI MANUSIA

ANALISA PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA BAGI DOKTER TERHADAP KASUS EUTHANASIA DITINJAU DARI KUHP YANG BERTENTANGAN DENGAN HAK ASASI MANUSIA ANALISA PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA BAGI DOKTER TERHADAP KASUS EUTHANASIA DITINJAU DARI KUHP YANG BERTENTANGAN DENGAN HAK ASASI MANUSIA Dewa Ayu Tika Pramanasari Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan berbagai permasalahannya, dan diakhiri dengan kematian. Dari proses

BAB I PENDAHULUAN. dengan berbagai permasalahannya, dan diakhiri dengan kematian. Dari proses BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap makhluk hidup termasuk manusia, akan mengalami siklus kehidupan yang dimulai dari proses pembuahan, kelahiran, kehidupan di dunia dengan berbagai permasalahannya,

Lebih terperinci

BAB III KEBIJAKAN HUKUM PIDANA INDONESIA TENTANG EUTHANASIA. 1. Pengaturan Euthanasia dalam Hukum Pidana Indonesia (KUHP)

BAB III KEBIJAKAN HUKUM PIDANA INDONESIA TENTANG EUTHANASIA. 1. Pengaturan Euthanasia dalam Hukum Pidana Indonesia (KUHP) BAB III KEBIJAKAN HUKUM PIDANA INDONESIA TENTANG EUTHANASIA 1. Pengaturan Euthanasia dalam Hukum Pidana Indonesia (KUHP) Dilihat dari segi perundang-undangan dewasa ini, belum ada pengaturan yang baru

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. emosi harapan dan kekhawatiran makhluk insani. perjanjian terapeutik adalah Undang undang nomor 36 tahun 2009 tentang

BAB I PENDAHULUAN. emosi harapan dan kekhawatiran makhluk insani. perjanjian terapeutik adalah Undang undang nomor 36 tahun 2009 tentang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejak awal mengenai umat manusia sudah dikenal adanya hubungan kepercayaan antara dua insan, yaitu manusia penyembuh dan penderita yang ingin disembuhkan. Dalam zaman

Lebih terperinci

EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF ISLAM

EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF ISLAM EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF ISLAM OLEH : RAMADHAN SYAHMEDI SIREGAR, S.Ag, MA Dosen FK USU Dosen Tetap Fak. Syari`ahah Intitut Agama Islam Negeri (IAIN-SU) Medan Euthanasia berasal dari kata Yunani, eu

Lebih terperinci

BABI PENDAHULUAN. Di abad 20 ini ilmu pengetahuan dan teknologi mengalami kemajuan yang

BABI PENDAHULUAN. Di abad 20 ini ilmu pengetahuan dan teknologi mengalami kemajuan yang BABI PENDAHULUAN BABI PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Di abad 20 ini ilmu pengetahuan dan teknologi mengalami kemajuan yang pesat. Hal ini tetjadi karena adanya berbagai penemuan yang sangat bermanfaat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perputaran zaman dari masa kemasa membawa kehidupan. masyarakat selalu berubah, berkembang menurut keadaan, tempat dan

BAB I PENDAHULUAN. Perputaran zaman dari masa kemasa membawa kehidupan. masyarakat selalu berubah, berkembang menurut keadaan, tempat dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perputaran zaman dari masa kemasa membawa kehidupan masyarakat selalu berubah, berkembang menurut keadaan, tempat dan waktu. Oleh karena itu timbullah bermacam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu hal yang tidak menyenangkan dan kalau mungkin tidak dikehendaki. Namun

BAB I PENDAHULUAN. suatu hal yang tidak menyenangkan dan kalau mungkin tidak dikehendaki. Namun 8 A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Suatu keinginan kematian bagi sebagaian besar umat manusia merupakan suatu hal yang tidak menyenangkan dan kalau mungkin tidak dikehendaki. Namun demikian manusia

Lebih terperinci

SEKOLAH ILMU DAN TEKNOLOGI HAYATI INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG 2010

SEKOLAH ILMU DAN TEKNOLOGI HAYATI INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG 2010 Tugas Filsafat Ilmu (BI7101) Dosen : Intan Ahmad, PhD BIOETIKA : EUTANASIA Disusun oleh : SEKOLAH ILMU DAN TEKNOLOGI HAYATI INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG 2010 BIOETIKA : EUTANASIA Bioetika (Wikipedia, 2009)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan manusia, selain dapat memberikan kemudahan-kemudahan bagi manusia

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan manusia, selain dapat memberikan kemudahan-kemudahan bagi manusia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pola hidup modern sekarang ini menimbulkan dampak yang besar dalam kehidupan manusia, selain dapat memberikan kemudahan-kemudahan bagi manusia dalam menjalankan aktifitasnya,

Lebih terperinci

EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN ETIKA KEDOKTERAN

EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN ETIKA KEDOKTERAN EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN ETIKA KEDOKTERAN Oleh : Syamsul Hadi, SH., M.H.* Abstract Euthanasia is a dead issue requests from patients suffering from a disease that can not be addressed

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2014 TENTANG PENENTUAN KEMATIAN DAN PEMANFAATAN ORGAN DONOR

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2014 TENTANG PENENTUAN KEMATIAN DAN PEMANFAATAN ORGAN DONOR PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2014 TENTANG PENENTUAN KEMATIAN DAN PEMANFAATAN ORGAN DONOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

Inform Consent. Purnamandala Arie Pradipta Novita Natasya Calvindra L

Inform Consent. Purnamandala Arie Pradipta Novita Natasya Calvindra L Inform Consent Purnamandala Arie Pradipta Novita Natasya Calvindra L 1 PENDAHULUAN Malpraktek pada dasarnya adalah tindakan tenaga profesional (profesi) yang bertentangan dengan Standard Operating Procedure

Lebih terperinci

PANDUAN PENOLAKAN RESUSITASI (DNR)

PANDUAN PENOLAKAN RESUSITASI (DNR) PANDUAN PENOLAKAN RESUSITASI (DNR) A. PENGERTIAN Resusitasi merupakansegala bentuk usaha medis, yang dilakukan terhadap mereka yang berada dalam keadaan darurat atau kritis, untuk mencegah kematian. Do

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bersosialisasi dan sebagainya. Setiap orang dianggap mampu untuk menjaga

BAB I PENDAHULUAN. bersosialisasi dan sebagainya. Setiap orang dianggap mampu untuk menjaga 1 BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG MASALAH Sehat merupakan suatu keadaan yang ideal oleh setiap orang. Orang yang sehat akan hidup dengan teratur, mengkonsumsi makanan bergizi, berolah raga, bersosialisasi

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MEDIS TENTANG AKHIR KEHIDUPAN. dr. Soetedjo, SpS(K) Bagian Neurologi/Histologi FK UNDIP

KEPUTUSAN MEDIS TENTANG AKHIR KEHIDUPAN. dr. Soetedjo, SpS(K) Bagian Neurologi/Histologi FK UNDIP KEPUTUSAN MEDIS TENTANG AKHIR KEHIDUPAN dr. Soetedjo, SpS(K) Bagian Neurologi/Histologi FK UNDIP PENDAHULUAN Bagi manusia ternyata tidak enak : Diingatkan akan kematian Berpikir akan kematian Membicarakan

Lebih terperinci

EUTHANASIA DITINJAU DARI ASPEK HUKUM PIDANA DAN HAK ASASI MANUSIA SKRIPSI

EUTHANASIA DITINJAU DARI ASPEK HUKUM PIDANA DAN HAK ASASI MANUSIA SKRIPSI EUTHANASIA DITINJAU DARI ASPEK HUKUM PIDANA DAN HAK ASASI MANUSIA SKRIPSI Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Universitas Negeri Semarang Oleh : Rindi Ramadhini 3450405038 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Pada abad ke-21, teknologi dan ilmu pengetahuan mengalami kemajuan yang pesat. Kemajuan tersebut dapat terjadi karena adanya penemuan-penemuan yang bermanfaat untuk

Lebih terperinci

PRINSIP DASAR BIOETIKA. Oleh: E. Suryadi Fakultas Kedokteran UGM

PRINSIP DASAR BIOETIKA. Oleh: E. Suryadi Fakultas Kedokteran UGM PRINSIP DASAR BIOETIKA Oleh: E. Suryadi Fakultas Kedokteran UGM Pendahuluan: Pengertian Bioetika Awalnya adalah Etika bioteknologi yaitu suatu studi masalah etika terkait produksi, penggunaan dan modifikasi

Lebih terperinci

Majalah Kedokteran Andalas No.1. Vol.34. Januari-Juni

Majalah Kedokteran Andalas No.1. Vol.34. Januari-Juni Majalah Kedokteran Andalas No.1. Vol.34. Januari-Juni 2010 26 PENDAHULUAN Pengertian aborsi menurut hukum adalah tindakan menghentian kehamilan atau mematikan janin sebelum waktu kelahiran, tanpa melihat

Lebih terperinci

RELEVANSI Skm gatra

RELEVANSI Skm gatra SURAT KETERANGAN DOKTER DIVISI BIOETIKA DAN MEDIKOLEGAL FK USU RELEVANSI Skm gatra SURAT KETERANGAN DOKTER Dalam menjalankan tugas profesinya, seorang dokter kadang kalanya harus menerbitkan surat-surat

Lebih terperinci

BAB III PENGANIAYAAN YANG BERAKIBAT LUKA BERAT DALAM KUHP

BAB III PENGANIAYAAN YANG BERAKIBAT LUKA BERAT DALAM KUHP 40 BAB III PENGANIAYAAN YANG BERAKIBAT LUKA BERAT DALAM KUHP 1. Pengertian Penganiayaan yang berakibat luka berat Dalam Undang-Undang tidak memberikan perumusan apa yang dinamakan penganiayaan. Namun menurut

Lebih terperinci

BAB III ANALISA HASIL PENELITIAN

BAB III ANALISA HASIL PENELITIAN BAB III ANALISA HASIL PENELITIAN A. Analisa Yuridis Malpraktik Profesi Medis Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 merumuskan banyak tindak pidana

Lebih terperinci

Sabtu, 07 Januari 2012

Sabtu, 07 Januari 2012 Sabtu, 07 Januari 2012 Dilema etik keperawatan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini menghadapi pasien yang dalam kondisi antara hidup dan mati kadang menimbulkan dilema. Meminta petimbangan

Lebih terperinci

PROPOSAL TESIS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PASIEN SEBAGAI KONSUMEN JASA DI BIDANG PELAYANAN MEDIS (SUATU TINJAUAN DARI SUDUT HUKUM PERDATA)

PROPOSAL TESIS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PASIEN SEBAGAI KONSUMEN JASA DI BIDANG PELAYANAN MEDIS (SUATU TINJAUAN DARI SUDUT HUKUM PERDATA) PROPOSAL TESIS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PASIEN SEBAGAI KONSUMEN JASA DI BIDANG PELAYANAN MEDIS (SUATU TINJAUAN DARI SUDUT HUKUM PERDATA) 1.1.Latar Belakang Masalah Dalam dunia medis yang semakin berkembang,

Lebih terperinci

Nomor : Fakultas : Angkatan / Semester : PETUNJUK PENGISIAN

Nomor : Fakultas : Angkatan / Semester : PETUNJUK PENGISIAN Nomor : Fakultas : Angkatan / Semester : PETUNJUK PENGISIAN 1. Bacalah pernyataan-pernyataan pada lembar berikut, kemudian jawablah dengan sungguh-sungguh sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. 2. Jawablah

Lebih terperinci

JURNAL TRANSPLANTASI ORGAN TUBUH MENURUT UNDANG-UNDANG

JURNAL TRANSPLANTASI ORGAN TUBUH MENURUT UNDANG-UNDANG JURNAL TRANSPLANTASI ORGAN TUBUH MENURUT UNDANG-UNDANG BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Teknologi masa kini terus menuju perubahan yang sangat signifikan seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan.

Lebih terperinci

BAB VI MORAL AKHIR HIDUP MANUSIA

BAB VI MORAL AKHIR HIDUP MANUSIA Modul ke: BAB VI MORAL AKHIR HIDUP MANUSIA Fakultas MKCU Dosen : Drs. Petrus Yusuf Adi Suseno, M.H. Program Studi Psikologi www.mercubuana.ac.id 1 A. PENDAHULUAN Moral : perbuatan/tindakan yang baik atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dengan pesatnya penemuan-penemuan teknologi modern, mengakibatkan terjadinya perubahan-perubahan yang sangat cepat di dalam kehidupan sosial budaya manusia. Di antar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Seperti kita ketahui bahwa masalah kesehatan bukanlah merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Seperti kita ketahui bahwa masalah kesehatan bukanlah merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Seperti kita ketahui bahwa masalah kesehatan bukanlah merupakan hal yang baru dalam kehidupan, sebab hal tersebut banyak ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PEMENJARAAN BAGI PELAKU TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA PUTUSAN NO.203/PID.SUS/2011/PN.

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PEMENJARAAN BAGI PELAKU TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA PUTUSAN NO.203/PID.SUS/2011/PN. BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PEMENJARAAN BAGI PELAKU TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA PUTUSAN NO.203/PID.SUS/2011/PN.SKH A. Analisis Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan

Lebih terperinci

MAKALAH MEMAHAMI PANDANGAN AGAMA-AGAMA DI INDONESIA TERHADAP TINDAKAN MEDIS KEBIDANAN TENTANG EUTHANASIA

MAKALAH MEMAHAMI PANDANGAN AGAMA-AGAMA DI INDONESIA TERHADAP TINDAKAN MEDIS KEBIDANAN TENTANG EUTHANASIA MAKALAH MEMAHAMI PANDANGAN AGAMA-AGAMA DI INDONESIA TERHADAP TINDAKAN MEDIS KEBIDANAN TENTANG EUTHANASIA Disusun oleh : 1. Diah Novitasari 2. Lailatul Nasiroh 3. Zubaidah AKADEMI KEBIDANAN ISLAM AL HIKMAH

Lebih terperinci

PANDUAN PELAYANAN MEMINTA PENDAPAT LAIN (SECOND OPINION)

PANDUAN PELAYANAN MEMINTA PENDAPAT LAIN (SECOND OPINION) PANDUAN PELAYANAN MEMINTA PENDAPAT LAIN (SECOND OPINION) A. DEFINISI 1. Opini Medis adalah pendapat, pikiran atau pendirian dari seorang dokter atau ahli medis terhadap suatu diagnosa, terapidan rekomendasi

Lebih terperinci

Penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan tidak ada obatnya, kematian tidak dapat dihindari dalam waktu yang bervariasi. (Stuard & Sundeen, 1995).

Penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan tidak ada obatnya, kematian tidak dapat dihindari dalam waktu yang bervariasi. (Stuard & Sundeen, 1995). PENYAKIT TERMINAL Pengertian Penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan tidak ada obatnya, kematian tidak dapat dihindari dalam waktu yang bervariasi. (Stuard & Sundeen, 1995). Penyakit pada stadium lanjut,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tuhan Yang Maha Esa tersebut tidak boleh dicabut oleh siapapun termasuk oleh

BAB I PENDAHULUAN. Tuhan Yang Maha Esa tersebut tidak boleh dicabut oleh siapapun termasuk oleh BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tuhan Yang Maha Esa memberikan anugerah kepada manusia yaitu sebuah kehidupan yang harus dihormati oleh setiap orang. Kehidupan yang diberikan oleh Tuhan Yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN [LN 2009/144, TLN 5063]

UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN [LN 2009/144, TLN 5063] UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN [LN 2009/144, TLN 5063] BAB XX KETENTUAN PIDANA Pasal 190 (1) Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan yang melakukan praktik

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang A. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara yang mengedepankan hukum seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar tahun 1945 dalam Pasal 1 ayat 3 sebagai tujuan utama mengatur negara.

Lebih terperinci

I S D I Y A N T O NIM : C

I S D I Y A N T O NIM : C TANGGUNG JAWAB DOKTER DALAM MELAKUKAN OPERASI BEDAH JANTUNG DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT Dr. SARDJITO YOGYAKARTA SKRIPSI Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Syarat syarat Guna Mencapai Derajat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pribadi maupun makhluk sosial. Dalam kaitannya dengan Sistem Peradilan Pidana

BAB I PENDAHULUAN. pribadi maupun makhluk sosial. Dalam kaitannya dengan Sistem Peradilan Pidana BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah Negara berdasarkan hukum bukan semata-mata kekuasaan penguasa. Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, maka seluruh warga masyarakatnya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatu, fungsi

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatu, fungsi 14 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban Pidana Pertanggungjawaban adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatu, fungsi dalam menerima pembebanan sebagai akibat dari sikap atas tindakan sendiri

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Hukum Pidana Sebagaimana yang telah diuraikan oleh banyak pakar hukum mengenai hukum pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi terhadap

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA. suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis

I. TINJAUAN PUSTAKA. suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis I. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

RAHASIA KEDOKTERAN. Dr.H Agus Moch. Algozi, SpF, DFM. Bagian Ilmu Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga PENDAHULUAN

RAHASIA KEDOKTERAN. Dr.H Agus Moch. Algozi, SpF, DFM. Bagian Ilmu Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga PENDAHULUAN RAHASIA KEDOKTERAN Dr.H Agus Moch. Algozi, SpF, DFM Bagian Ilmu Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga PENDAHULUAN Dokter harus sadar bahwa masyarakat kita sekarang ini sudah kritis

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. yang biasa disebut dengaan istilah mengugurkan kandungan. Aborsi

BAB 1 PENDAHULUAN. yang biasa disebut dengaan istilah mengugurkan kandungan. Aborsi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Aborsi adalah pembunuhan janin yang di ketahui oleh masyarakat yang biasa disebut dengaan istilah mengugurkan kandungan. Aborsi dibedakan antara aborsi yang terjadi

Lebih terperinci

Moral Akhir Hidup Manusia

Moral Akhir Hidup Manusia Modul ke: 07Fakultas Psikologi Pendidikan Agama Katolik Moral Akhir Hidup Manusia Oleh : Drs. Sugeng Baskoro, M.M Program Studi Psikologi Bagian Isi TINJAUAN MORAL KRISTIANI AKHIR HIDUP MANUSIA (HUKUMAN

Lebih terperinci

Euthanasia ditinjau dari segi HAM dan Bioetika Kedokteran

Euthanasia ditinjau dari segi HAM dan Bioetika Kedokteran Euthanasia ditinjau dari segi HAM dan Bioetika Kedokteran Hak merupakan unsur normatif yang melekat pada diri setiap manusia yang dalam penerapannya berada pada ruang lingkup hak persamaan dan hak kebebasan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Euthanasia dan Hak Hidup Menurut Perspektif Sosiologis

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Euthanasia dan Hak Hidup Menurut Perspektif Sosiologis BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Euthanasia dan Hak Hidup Menurut Perspektif Sosiologis Masyarakat yang sedang mengalami perubahan karena upaya pembangunan, hukum juga akan mengalami perubahan sesuai dengan

Lebih terperinci

Kalender Doa. Oktober Berdoa Bagi Wanita Yang Menderita Karena Aborsi

Kalender Doa. Oktober Berdoa Bagi Wanita Yang Menderita Karena Aborsi Kalender Doa Oktober 2017 Berdoa Bagi Wanita Yang Menderita Karena Aborsi Dengan adanya 56 juta aborsi di seluruh dunia, maka tak terbilang jumlah wanita yang menghadapi penderitaan, rasa bersalah, kemarahan

Lebih terperinci

13. KESIMPULAN. Majelis Hakim Yang Terhormat

13. KESIMPULAN. Majelis Hakim Yang Terhormat 13. KESIMPULAN Majelis Hakim Yang Terhormat Maksud saya menuliskan Pembelaan saya sendiri adalah untuk menyampaikan kebenaran dengan cara yang mudah dipahami, dengan demikian agar tidak ada lagi keraguan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat terhadap profesi kedokteran di Indonesia akhir-akhir ini makin

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat terhadap profesi kedokteran di Indonesia akhir-akhir ini makin BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Meningkatnya pengetahuan masyarakat seiring pesatnya perkembangan teknologi dan kemudahan dalam mendapatkan informasi, membuat masyarakat lebih kritis terhadap pelayanan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang

Lebih terperinci

A. Latar Belakang Masalah

A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengalaman yang sering kali disebut pengalaman dekat dengan kematian atau Near-Death Experience (NDE) dialami oleh sebagian individu. Para peneliti menggunakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa. sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa. sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa sebagaimana diatur dalam Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. problematika dan mengontrol perkembangan tersebut.salah satu problematika

BAB I PENDAHULUAN. problematika dan mengontrol perkembangan tersebut.salah satu problematika BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini banyak sekali berbagai permasalahan dan problematika yang sering muncul di tengah-tengah kehidupan masyarakat yang semakin berkembang dan tidak sedikit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. serta ketidakpastian situasi sosial politik membuat gangguan jiwa menjadi

BAB I PENDAHULUAN. serta ketidakpastian situasi sosial politik membuat gangguan jiwa menjadi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tingginya beban ekonomi, makin lebarnya kesenjangan sosial, serta ketidakpastian situasi sosial politik membuat gangguan jiwa menjadi suatu hal yang mengancam bagi setiap

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara I. PEMOHON Bachtiar Abdul Fatah. KUASA HUKUM Dr. Maqdir Ismail, S.H., LL.M., dkk berdasarkan surat

Lebih terperinci

Dengan membaca buku ini kita akan banyak dibantu mengambil keputusan-keputusan etis yang sesuai dengan prinsip-prinsip Alkitab.

Dengan membaca buku ini kita akan banyak dibantu mengambil keputusan-keputusan etis yang sesuai dengan prinsip-prinsip Alkitab. Di dalam kehidupan kita banyak menjumpai persoalan-persoalan etika. Kalau persoalan itu jelas benar atau salah, kita dengan mudah dapat membuat keputusan. Tetapi kalau keputusan menyangkut banyak hal yang

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI DKI JAKARTA RUMAH SAKIT UMUM KELAS D KOJA Jl. Walang Permai No. 39 Jakarta Utara PANDUAN ASESMEN PASIEN TERMINAL

PEMERINTAH PROVINSI DKI JAKARTA RUMAH SAKIT UMUM KELAS D KOJA Jl. Walang Permai No. 39 Jakarta Utara PANDUAN ASESMEN PASIEN TERMINAL PEMERINTAH PROVINSI DKI JAKARTA RUMAH SAKIT UMUM KELAS D KOJA Jl. Walang Permai No. 39 Jakarta Utara PANDUAN ASESMEN PASIEN TERMINAL I. DEFINISI Pelayanan pada tahap terminal adalah pelayanan yang diberikan

Lebih terperinci

TINJAUAN MEDIKOLEGAL PERKIRAAN SAAT KEMATIAN

TINJAUAN MEDIKOLEGAL PERKIRAAN SAAT KEMATIAN TINJAUAN MEDIKOLEGAL PERKIRAAN SAAT KEMATIAN 1 Eklesia A. Senduk 2 Johannis F. Mallo 2 Djemi Ch. Tomuka 1 Kandidat Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado 2 Bagian Ilmu Kedokteran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kebebasan Pers. Seperti yang sering dikemukakan, bahwa kebebasan bukanlah semata-mata

BAB I PENDAHULUAN. Kebebasan Pers. Seperti yang sering dikemukakan, bahwa kebebasan bukanlah semata-mata BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Banyak orang terutama kaum awam (karena tidak tahu) bahwa pers memiliki sesuatu kekhususan dalam menjalankan Profesi nya yaitu memiliki suatu Kemerdekaan dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. nampaknya mulai timbul gugatan terhadap dokter dan rumah sakit (selanjutnya

BAB I PENDAHULUAN. nampaknya mulai timbul gugatan terhadap dokter dan rumah sakit (selanjutnya 1 BAB I PENDAHULUAN Akhir-akhir ini di beberapa media baik media cetak maupun elektronik nampaknya mulai timbul gugatan terhadap dokter dan rumah sakit (selanjutnya akan di sebut RS) yang menyelenggarakan

Lebih terperinci

PANDUAN INFORMED CONSENT

PANDUAN INFORMED CONSENT PANDUAN INFORMED CONSENT A. PENGERTIAN Persetujuan tindakan medik atau yang sering di sebut informed consent sangat penting dalam setiap pelaksanaan tindakan medic di rumah sakit baik untuk kepentingan

Lebih terperinci

PANDUAN PERSETUJUAN TINDAKAN KEDOKTERAN RUMAH SAKIT RAWAMANGUN

PANDUAN PERSETUJUAN TINDAKAN KEDOKTERAN RUMAH SAKIT RAWAMANGUN PANDUAN PERSETUJUAN TINDAKAN KEDOKTERAN RUMAH SAKIT RAWAMANGUN RUMAH SAKIT RAWAMANGUN JAKARTA, INDONESIA 2013 Panduan Persetujuan Tindakan Kedokteran (Informed Consent) Rumah Sakit Rawamangun Paduan Pelaksanaan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi 13 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban Pidana 1. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi a. Peranan korporasi menjadi penting dalam tindak pidana karena sebagai akibat dari perubahan yang terjadi dalam

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DISTRIBUSI II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa salah satu alat

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. dimana keturunan tersebut secara biologis berasal dari sel telur laki-laki yang kemudian

II. TINJAUAN PUSTAKA. dimana keturunan tersebut secara biologis berasal dari sel telur laki-laki yang kemudian II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Anak dibawah Umur Pengertian anak menurut Kamus Bahasa Indonesia yang dapat disimpulkan ialah keturunan yang kedua yang berarti dari seorang pria dan seorang wanita yang

Lebih terperinci

Masalah Malpraktek Dan Kelalaian Medik Dalam Pelayanan Kesehatan. Written by Siswoyo Monday, 14 June :21

Masalah Malpraktek Dan Kelalaian Medik Dalam Pelayanan Kesehatan. Written by Siswoyo Monday, 14 June :21 Di dalam berbagai tulisan bahwa penggunaan istilah malpraktek (malpractice) dan kelalaian medik (medical negligence) di dalam pelayanan kesehatan sering dipakai secara bergantian seolah-olah artinya sama,

Lebih terperinci

Digantung karena menjadi seorang Kristen di Iran

Digantung karena menjadi seorang Kristen di Iran Digantung karena menjadi seorang Kristen di Iran Delapan belas tahun lalu, ayah dari Rashin Soodmand digantung di Iran karena ia meninggalkan Islam dan menjadi seorang Kristen. Saat ini, saudara laki-lakinya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada zaman globalisasi dewasa ini tanpa disadari kita telah membuat nilainilai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada zaman globalisasi dewasa ini tanpa disadari kita telah membuat nilainilai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada zaman globalisasi dewasa ini tanpa disadari kita telah membuat nilainilai moral yang ada di dalam masyarakat kita semakin berkurang. Pergaulan bebas dewasa

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : a. bahwa salah satu alat

Lebih terperinci

BAB III KASUS PERMOHONAN EUTHANASIA DARI PIHAK KELUARGA AGIAN ISNA NAULI DAN KASUS PERMOHONAN EUTHANASIA DARI PIHAK KELUARGA SITI JULAEHA

BAB III KASUS PERMOHONAN EUTHANASIA DARI PIHAK KELUARGA AGIAN ISNA NAULI DAN KASUS PERMOHONAN EUTHANASIA DARI PIHAK KELUARGA SITI JULAEHA BAB III KASUS PERMOHONAN EUTHANASIA DARI PIHAK KELUARGA AGIAN ISNA NAULI DAN KASUS PERMOHONAN EUTHANASIA DARI PIHAK KELUARGA SITI JULAEHA A. Kasus Posisi 1. Kasus Suami Agian Isna Nauli Ajukan Euthanasia

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 2014 TENTANG KEWAJIBAN RUMAH SAKIT DAN KEWAJIBAN PASIEN

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 2014 TENTANG KEWAJIBAN RUMAH SAKIT DAN KEWAJIBAN PASIEN PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 2014 TENTANG KEWAJIBAN RUMAH SAKIT DAN KEWAJIBAN PASIEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

Lebih terperinci

Pedoman Pelaksanaan Persetujuan Tindakan Kedokteran (Informed Consent)

Pedoman Pelaksanaan Persetujuan Tindakan Kedokteran (Informed Consent) Pedoman Pelaksanaan Persetujuan Tindakan Kedokteran (Informed Consent) Rumah Sakit xy Pedoman Pelaksanaan Persetujuan Tindakan Kedokteran 1. Umum a. Bahwa masalah kesehatan seseorang (pasien) adalah tanggung

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG MEMBANTU MELAKUKAN TERHADAP TINDAK PIDANA ABORSI DI INDONESIA

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG MEMBANTU MELAKUKAN TERHADAP TINDAK PIDANA ABORSI DI INDONESIA BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG MEMBANTU MELAKUKAN TERHADAP TINDAK PIDANA ABORSI DI INDONESIA A. Pembantuan Dalam Aturan Hukum Pidana 1. Doktrin Pembantuan dalam Hukum Pidana Dalam pembantuan akan terlibat

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.915, 2012 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KESEHATAN. Data. Informasi Kesehatan. Rahasia Kedokteran. PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2012 TENTANG RAHASIA KEDOKTERAN

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN (yang telah disahkan dalam Rapat Paripurna DPR tanggal 18 Juli 2006) RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bayi yang belum lahir atau orang yang terpidana mati. 1

BAB I PENDAHULUAN. bayi yang belum lahir atau orang yang terpidana mati. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hak asasi manusia merupakan hak yang melekat pada manusia secara alami sejak ia di lahirkan, bahkan jika kepentingannya dikehendaki, walaupun masih dalam kandungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memberikan pelayanan rawat inap, rawat jalan dan gawat darurat. Rumah

BAB I PENDAHULUAN. memberikan pelayanan rawat inap, rawat jalan dan gawat darurat. Rumah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Rumah sakit merupakan institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang memberikan pelayanan rawat inap,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2004 TENTANG PRAKTIK KEDOKTERAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2004 TENTANG PRAKTIK KEDOKTERAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2004 TENTANG PRAKTIK KEDOKTERAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan kesehatan ditujukan untuk

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UKDW

BAB I PENDAHULUAN UKDW BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan Memiliki anak adalah dambaan sebagian besar pasangan suami istri. Anak sebagai buah cinta pasangan suami-istri, kelahirannya dinantikan. Dalam usaha untuk

Lebih terperinci

Hospital by laws. Dr.Laura Kristina

Hospital by laws. Dr.Laura Kristina Hospital by laws Dr.Laura Kristina Definisi Hospital : Rumah sakit By laws : peraturan Institusi Seperangkat peraturan yang dibuat oleh RS (secara sepihak) dan hanya berlaku di rumah sakit yang bersangkutan,dapat

Lebih terperinci

maupun sebagai masyarakat profesional (Nursalam, 2013).

maupun sebagai masyarakat profesional (Nursalam, 2013). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keperawatan sebagai bagian integral dari pelayanan kesehatan, menuntut perawat bekerja secara profesional yang didasarkan pada standar praktik keperawatan dan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 73, 1985 (ADMINISTRASI. KEHAKIMAN. LEMBAGA NEGARA. Mahkamah Agung. Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3316) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. penyalahgunaan, tetapi juga berdampak sosial, ekonomi dan keamanan nasional,

PENDAHULUAN. penyalahgunaan, tetapi juga berdampak sosial, ekonomi dan keamanan nasional, 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyalahgunaan narkotika dapat mengakibatkan sindroma ketergantungan apabila penggunaannya tidak di bawah pengawasan dan petunjuk tenaga kesehatan yang mempunyai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. termaktub dalam Pasal 28H Ayat (1) Undang-undang Dasar Negara Republik

BAB I PENDAHULUAN. termaktub dalam Pasal 28H Ayat (1) Undang-undang Dasar Negara Republik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pelayanan kesehatan merupakan Hak bagi setiap warga Negara sebagaimana termaktub dalam Pasal 28H Ayat (1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang

Lebih terperinci

a. Kepastian hari, tanggal, bulan, tahun dan pukul menghadap; b. Para pihak (siapa-orang) yang menghadap pada Notaris;

a. Kepastian hari, tanggal, bulan, tahun dan pukul menghadap; b. Para pihak (siapa-orang) yang menghadap pada Notaris; 59 dengan mencari unsur-unsur kesalahan dan kesengajaan dari Notaris itu sendiri. Hal itu dimaksudkan agar dapat dipertanggungjawabkan baik secara kelembagaan maupun dalam kapasitas Notaris sebagai subyek

Lebih terperinci

BAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN

BAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN BAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN A. Hal-Hal Yang Menjadi Dasar Penyidik Memerlukan Keterangan Ahli Di Tingkat Penyidikan Terkait dengan bantuan

Lebih terperinci

KODE ETIK KEDOKTERAN/MEDICOLEGAL DAN PATIENT SAFETY

KODE ETIK KEDOKTERAN/MEDICOLEGAL DAN PATIENT SAFETY KODE ETIK KEDOKTERAN/MEDICOLEGAL DAN PATIENT SAFETY ANANG TRIBOWO IDI CABANG PALEMBANG HOTEL AMELIA, 1-2 APRIL 2017 PEMAHAMAN ETIKA ETIKA K. BERTENS 1997 ETIKA DAN ETIKET MORAL TATA KRAMA/ SOPAN SANTUN

Lebih terperinci