BAB I PENDAHULUAN. Pesatnya penemuan-penemuan teknologi modern, mengakibatkan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. Pesatnya penemuan-penemuan teknologi modern, mengakibatkan"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pesatnya penemuan-penemuan teknologi modern, mengakibatkan terjadinya perubahan-perubahan yang sangat cepat di dalam kehidupan sosial budaya manusia. Semua problema, ruang gerak dan waktu telah dapat terpecahkan oleh teknologi dan modernitas yang menyebabkan manusia menjadi semakin cakap menyelenggarakan hidupnya, dan meningkat pula kemakmuran hidup materiilnya, berkat makin cepatnya teknologi modern tersebut. Sekian banyak penemuan-penemuan teknologi tersebut, tidak kalah pesatnya perkembangan teknologi di bidang medis. Perkembangan ini bukan mustahil akan mengundang masalah pelik dan rumit. Pengetahuan dan teknologi kedokteran yang sangat maju tersebut, mengakibatkan diagnosa mengenai suatu penyakit dapat lebih sempurna dilakukan. Pengobatan penyakitpun dapat berlangsung secara efektif, dengan peralatan kedokteran yang modern itu. Rasa sakit seorang penderita dapat diperingan, hidup seseorang dapat juga diperpanjang untuk jangka waktu tertentu dan bahkan perhitungan kematian seseorang yang menderita suatu penyakit tertentu dapat diketahui lebih tepat. Masalah cepat atau lambatnya proses kematian seseorang pasien, seolah-olah dapat diatur oleh teknologi yang modern tersebut.

2 Ilmu pengetahuan membagi cara terjadi kematian dalam 3 jenis yaitu: 1 1. Orthothanasia, yaitu kematian yang terjadi karena suatu proses alamiah 2. Dysthanasia, yaitu kematian yang terjadi secara tidak wajar 3. Euthanasia, yaitu kematian yang terjadi dengan pertolongan atau tidak dengan pertolongan dokter. Masalah kematian yang dikenal dengan euthanasia atau mercy killing mulai dikenal dewasa ini baik di dunia maupun di Indonesia. Dunia mulai mengenal euthanasia setelah dilangsungkannya Konferensi Hukum sedunia, yang diselenggarakan oleh World Peace Though Law Centre di Manila (Filipina) tanggal Agustus Konferensi tersebut di dalamnya telah diadakan Sidang Peradilan Semu (Peradilan Tiruan) mengenai hak manusia untuk mati atau the right to die. Sidang tersebut di dalamnya berperan tokoh-tokoh dibidang hukum dan kedokteran dari berbagai dunia, sehingga mendapat perhatian yang besar 2. Jenis kematian euthanasia yang menjadi permasalahan sudah ada sejak para pelaku kesehatan menghadapi penyakit yang tidak bisa disembuhkan dimana pasien dalam keadaan sekarat dan merana. Situasi yang demikian tidak jarang pasien meminta agar dibebaskan dari penderitaan seperti itu, atau dalam kondisi lain dimana si pasien sudah tidak sadar dan keluarga si pasien tidak tega melihat penderitan yang dialami menjelang ajalnya sehingga meminta kepada dokter 1 Djoko Prakoso, Euthanasia,Hak Asasi Manusia dan Hukum Pidana, Jakarta:Ghalia Indonesia,1984,hal Ibid

3 untuk tidak meneruskan pengobatan atau bila perlu memberikan obat yang mempercepat kematiannya. Ditemukannya alat-alat kedokteran modern, seperti respirator (alat bantu pernapasan) dan sistem transplantasi, maka kriteria kematian justru lebih sulit ditetapkan. Pengadilan selalu beranggapan bahwa selama orang masih bernapas, maka orang tersebut tidak dapat dikatakan telah meninggal dunia, namun dalam perkembangannya, dimana defenisi kematian merupakan persoalan medis maka orang yang dalam keadaan tersebut diatas belum tentu sudah meninggal karena jika dilakukan pemeriksaan lebih lanjut produksi listrik pada otak masih merangsang. Lain halnya jika produksi listrik pada otak sudah tidak merangsang lagi atau disebut dengan braindeath barulah dikatakan telah terjadi kematian 3. Perbuatan euthanasia ini merupakan perbuatan yang bertentangan dengan hukum karena merenggut nyawa manusia dengan menghentikan pengobatan kepada pasien yang sedang menderita tersebut namun ada juga yang perlu diperhatikan bahwa pembahasan tentang euthanasia yang paling menentukan adalah hak untuk menentukan nasib sendiri (the rightof self-determination) 4 Masalah-masalah euthanasia ini semakin berkembang namun tidak memiliki kepastian hukum. Hal tersebutlah yang menjadi latar belakang untuk dilakukan pembahasan didalam skripsi ini. Banyak pertanyaan-pertanyaan yang timbul, mengapa muncul permintaan euthanasia ini. Permintaan-permintaan 3 Ibid, hal 56 4 Chrisdiono M achadiat, Dinamika Etika & Hukum kedokteran dalam Tantangan Zaman, Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2004, hal 181

4 tersebut menunjukkan bahwa belum adanya pemahaman yang baik mengenai euthanasia tersebut. Pemahaman-pemahaman tersebut juga harus mempertimbangkan dampak dari segi hukum, segi moral, segi agama dan dari segi etika kedokteran. Ada beberapa pendapat mengenai euthanasia: 5 1. Pendapat yang pertama adalah golongan yang tidak menyetujui tindakan euthanasia karena euthanasia merupakan pembunuhan terselubung. Oleh karena itu tindakan ini secara tidak langsung bertentangan dengan kehendak Tuhan. 2. Pendapat yang kedua adalah golongan yang menyetujui tindakan euthanasia dengan pertimbangan bahwa tindakan tersebut disetujui oleh pasien, keluarga, dan dokter yang menanganinya. Salah satu yang menjadi permasalahan sekarang adalah bagaimana jika seorang pasien yang sudah sekarat dan tidak sadar selama berbulan-bulan, kemudian mengetahui pula bahwa tidak lama lagi dia akan meninggal dunia. Baik penderita maupun keluarganya telah berkali-kali mendesak dokter yang merawatnya supaya mengakhiri penderitaan yang dialami pasien tersebut karena sakitnya dengan mencabut respirator (alat bantu pernapasan) tersebut. Bagaimana sikap seorang dokter dalam menghadapi kenyataan seperti itu. Masalah euthanasia timbul dari persoalan diatas, apakah seorang dokter mempunyai hak untuk mengakhiri hidup seorang pasien walaupun atas 5 Ibid, hal 88

5 permintaan pasien ataupun keluarganya dengan dalih untuk menghilangkan atau mengakhiri penderitaan yang dialami oleh pasien tanpa dokter itu sendiri mengetahui konsekuensi hukum. 6 Ada beberapa jenis euthanasia yang umum dikenal,yaitu: 7 1. Euthanasia aktif, yaitu: tindakan yang secara sengaja dilakukan dokter atau tenaga kesehatan lain untuk memperpendek hidup si pasien 2. Euthanasia Pasif, yaitu: dimana dokter atau tenaga kesehatan secara sengaja tidak (lagi) memberikan bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup pasien Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia tidak memberikan pengaturan yang jelas tentang euthanasia. Satu-satunya landasan hukum yang dapat dipakai adalah Pasal 344 KUHP yang berbunyi: Barang siapa yang menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang disebutkannya dengan nyata dan dengan sungguh-sungguh dihukum penjara selama-lamanya 12 tahun. 8 Pasal inilah yang dianggap mendekati masalah euthanasia. Adanya unsur permintaan orang itu sendiri yang dinyatakan dengan kesungguhan hati, mengakibatkan sulitnya pembuktian penuntutan bahwa seorang dokter tersebut telah melakukan euthanasia, terlebih jika si pasien dalam keadaan incompetent (tidak mampu berkomunikasi) sehingga si pasien tidak dapat 6 Ibid, hal 57 7 Ari Yunanto dan Helmi, Hukum Pidana Malpraktik Medik, Yogyakarta: CV.Andi Offset, 2010, hal Ibid, hal 69

6 menyatakan kehendaknya. Keadaan seperti itu tidak mungkin untuk membuktikan adanya permintaan orang itu sendiri yang dinyatakan dengan kesungguhan hati. 9 Oleh karena itu dalam permasalahan euthanasia ini jika dilihat kaitannya dengan hukum pidana haruslah mengacu pada tiga pokok permasalahan yaitu adanya perbuatan yang dilarang, adanya orang yang melakukan perbuatan yang dilarang tersebut, dan adanya ancaman pidana. Tiga pokok permasalahan hukum pidana yang terdapat dalam pasal 344 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tersebut yaitu: pertama adanya perbuatan yang dilarang yaitu menghilangkan nyawa orang lain, kedua adanya orang yang melakukan perbuatan yang dilarang tersebut yaitu dokter ataupun tenaga medis lainnya, ketiga adanya ancaman pidana yaitu pidana penjara paling lama dua belas (12) tahun sudah memenuhi ketiga permasalahan tersebut namun dalam kenyataannya sangat sulit diterapkan untuk menyaring euthanasia sebagai tindak pidana. Hal itu disebabkan permasalahan euthanasia yang sering terjadi di Negara ini adalah Euthanasia Pasif. Sedangkan kasus euthanasia sampai saat ini sangat jarang sampai pada tahap ke pengadilan. 10 Berdasarkan latar belakang tersebut, untuk mengetahui lebih lanjut mengenai euthanasia maka diangkat menjadi sebuah tulisan skripsi dengan judul KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TENTANG EUTHANASIA KHUSUSNYA EUTHANASIA PASIF 9 Moeljatno, Azas-Azas Hukum Pidana, Jakarta: Bina Aksara,1987, hal 19

7 B. PERUMUSAN MASALAH Adapun hal-hal yang diangkat menjadi rumusan masalah yaitu: 1. Bagaimana perkembangan euthanasia dewasa ini? 2. Bagaimana kebijakan hukum pidana tentang euthanasia? 3. Bagaimana kebijakan hukum pidana tentang euthanasia pasif? C. TUJUAN DAN MANFAAT PENULISAN Adapun tujuan dan manfaat dari penulisan skripsi ini adalah : 1. Untuk mengetahui apa itu sebenarnya euthanasia, sejarah terjadinya euthanasia, jenis-jenis euthanasia, Negara-negara yang menganut euthanasia, Negara yang tidak menganut euthanasia dan perkembangannya 2. Untuk mengetahui bagaimana pengaturan euthanasia dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta bagaimana penerapan pengaturan tersebut di Indonesia dewasa ini 3. Untuk mengetahui bagaimana kebijakan hukum pidana terhadap euthanasia pasif, perbuatan yang dimaksud dengan euthanasia pasif serta perkembangan euthanasia pasif di Indonesia, dan bagaimana kebijakan hukum pidana mengenai euthanasia pasif saat ini dan yang akan datang

8 D. KEASLIAN PENULISAN Penulisan skripsi ini merupakan hasil dari gagasan pemikiran yang dilakukan melalui penelusuran di perpustakaan, walaupun ada beberapa yang membahas euthanasia namun yang membedakan tulisan ini dengan tulisan yang lain adalah penulisan skripsi ini membahas bagaimana pengaturan yang diharapkan kedepannya mengenai euthanasia, selain itu dalam penulisan skripsi ini juga membahas tentang bagaimana perkembangan euthanasia terkhususnya euthanasia pasif di Indonesia. Adapun beberapa pendapat atau kutipan dalam penulisan ini semata-mata adalah sebagai faktor pendukung dan pelengkap dalam penulisan yang memang sangat dibutuhkan untuk penyempurnaan tulisan ini. E. TINJAUAN PUSTAKA 1. Defenisi Hukum Pidana Pidana berasal dari kata straf (Belanda), yang adakalanya disebut dengan istilah hukuman. Istilah pidana lebih tepat dari istilah hukuman, karena hukum sudah lazim merupakan terjemahan dari recht. 11 Ada beberapa pendapat para sarjana mengenai pengertian ataupun defenisi hukum pidana, diantaranya yaitu: a. Hukum pidana menurut C.S.T. Kansil adalah: Hukum yang mengatur pelanggaran-pelanggaran dan kejahatankejahatan terhadap kepentingan umum, perbuatan yang diancam dengan hukuman yang merupakan suatu penderitaan atau siksaan, 11 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, Jakarta, 2007, hal 24

9 selanjutnya ia menyimpulkan bahwa hukum pidana itu bukanlah suatu hukum yang mengandung norma-norma baru, melainkan hanya mengatur pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap norma-norma hukum mengenai kepentingan umum 12. b. Menurut Simons Hukum Pidana adalah: 1. Keseluruhan larangan atau perintah yang oleh Negara diancam dengan nestapa yaitu suatu pidana apabila tidak ditaati; 2. Keseluruhan peraturan yang menetapkan syarat-syarat untuk penjatuhan pidana dan; 3. Keseluruhan ketentuan yang memberikan dasar untuk penjatuhan dan penetapan pidana 13. c. Hukum Pidana termasuk dalam hukum publik. Menurut Simorangkir, hukum pidana ada 2 (dua) pengertian. Pengertian secara obyektif dan subyektif: 1. Hukum pidana (subyektif), adalah semua larangan atau perintah, yang mengakibatkan dijatuhkannya suatu penderitaan atau siksaan sebagai hukuman oleh negara kepada siapa saja yang melanggarnya. Hukum ini juga disebut hukum pidana positif (ius peonale) 2. Hukum pidana (obyektif), adalah dalam arti luas meliputi hukum pidana materiil (memuat uraian tindak pidana, siapa yang dapat 12 La Ode Ali Alfin,Pengertian Hukum Pidana Menurut Beberapa Ahli,, diakses tanggal 22 Februari Sudarto, Hukum Pidana Jilid 1A, Badan Penyediaan Bahan Kuliah Fakultas Hukum UNDIP, Semarang, 2009, hal. 9

10 2. Perbuatan Pidana dihukum, besarnya hukuman) dan hukum pidana formil (cara mempertahankan dan melaksanakan hukum pidana materiil), dalam arti sempit hanya hukum pidana materiil saja 14 Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut. Dalam rumusan tersebut, bahwa yang dilarang adalah perbuatan yang menimbulkan akibat yang dilarang dan yang diancam sanksi pidana ialah orang yang melakukan perbuatan yang menimbulkan akibat yang dilarang tersebut. Menurut Prof. Moeljatno, SH kata perbuatan dalam perbuatan pidana mempunyai arti yang abstrak yaitu suatu pengertian yang menunjuk pada dua kejadian yang kongkrit,yaitu: 15 a. Adanya kejadian yang tertentu. b. Adanya orang yang berbuat yang menimbulkan kejadian itu. Perbuatan pidana ini kiranya dapat kita samakan dengan istilah Inggris, criminal act. Pertama, karena criminal act ini juga berarti kelakuan dan akibat, atau dengan lain perkataan: akibat dari suatu kelakuan, yang dilarang oleh hukum. Criminal act ini juga dipisahkan dari pertanggungjawaban pidana yang dinamakan criminal liability atau responsibility. Untuk adanya criminal liability (jadi untuk dapat dipidananya seseorang) selain daripada melakukan criminal act (perbuatan pidana) orang itu juga harus mempunyai kesalahan (guilt). Antara 14 C.S.T. Simorangkir dan Woerjono Sastropranoto, Peladjaran Hukum Indonesia, Jakarta: Gunung Agung, 1959 hal Moeljatno,Loc.cit

11 perbuatan dan orang yang berbuat ada hubungan yang erat, dan tak mungkin dipisah-pisahkan. Oleh karena itu, yang dimaksud dengan perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, barangsiapa melanggar larangan tersebut. 3. Pertanggungjawaban pidana Pertanggungjawaban pidana yang disebut juga criminal responsibility adalah menentukan apakah seseorang tersebut dapat dipertanggungjawabkan atas suatu tindakan pidana atau tidak. Seseorang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan tersebut apabila tindakan tersebut melawan hukum serta tidak ada alasan pembenar atau peniadaan sifat melawan hukum terhadap perbuatan pidana yang dilakukannya. Dipidananya seseorang yang melakukan perbuatan sebagaimana yang telah diatur, tergantung dari apakah dalam melakukan perbuatan pidana tersebut orang tersebut memiliki kesalahan. Kemampuan bertanggungjawab merupakan unsur kesalahan maka untuk membuktikannya harus adanya pembuktian lagi. Dalam KUHP masalah kemampuan bertanggungjawab terdapat dalam Pasal 44 ayat 1 yaitu barang siapa mengerjakan suatu perbuatan, yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya karena kurang sempurna akalnya atau karena sakit berubah akal tidak boleh dihukum 16 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP atau WvS di Belanda) sendiri tidak memberikan penjelasan mengenai kemampuan bertanggungjawab 16 R.Soesilo, Loc.cit

12 ini, namun KUHP hanya memuat alasan-alasan yang terdapat pada diri pelaku sehingga oleh karenanya perbuatannya tidak dapat dipertanggungjawabkan. Alasan tersebut berupa keadaan pribadi pelaku karena penyakit. Dalam keadaan demikian pelaku tidak mempunyai kebebasan kehendak, oleh karena itu tidak dapat menentukan kehendaknya atas perbuatannya. Sehubungan dengan kemampuan bertanggungjawab ini, dalam menentukan apakah seseorang itu salah atau tidak, menurut hukum ditentukan oleh 3 (tiga) faktor, yaitu: 17 Kesatu, keadaan batin orang yang melakukan itu, erat berkait dengan kemampuan bertanggungjawab. Yang dimaksudkan dengan keadaan batin orang yang melakukan perbuatan ialah apabila pelaku tidak menyadari bahwa perbuatannya itu merupakan perbuatan yang dilarang oleh Undang-Undang (wet). Kedua, adanya hubungan batin antara pelaku dengan perbuatan yang dilakukannya. Yang dimaksudkan dengan hubungan batin antara pelaku dengan perbuatan yang dilakukannya itu dapat berupa: kesengajaa (dolus), kealpaan/kelalaian (culpa). Kesengajaan dan kealpaan penting terutama dalam menentukan hukumannya. Ketiga, tidak adanya alasan pemaaf. Yang dimaksudkan dengan alasan pemaaf ialah dalam hal misalnya pembelaan diri dalam hal melampaui batas (noodweer exes) 4. Defenisi Euthanasia 17 Adami Chazawi. Op.cit hal 30

13 Euthanasia berasal dari kata eu dan thanatos (Yunani). Eu artinya baik dan thanatos artinya kematian atau mati. 18 Dengan demikian euthanasia secara harafiah berarti kematian yang baik atau kematian yang menyenangkan. Seutinius dalam buku Vitaceasarum merumuskan bahwa euthanasia adalah mati cepat tanpa derita. Menurut Richard Lamerton, euthanasia pada abad ke 20 ditafsirkan sebagai pembunuhan atas dasar belas kasihan (mercy killing), selain itu juga diartikan sebagai perbuatan membiarkan seseorang mati dengan sendirinya, atau tanpa berbuat apa-apa membiarkan orang mati 19. Berdasarkan caranya, euthanasia dapat digolongkan dalam dua kelompok, yaitu euthanasia pasif dan euthanasia aktif. Euthanasia pasif adalah mempercepat kematian dengan cara menolak memberikan tindakan pertolongan biasa atau dengan menghentikan tindakan pertolongan biasa yang sedang berlangsung, misalnya tidak memberikan bantuan oksigen bagi pasien yang mengalami kesulitan dalam pernapasan. Sedangakan euthanasia aktif adalah mengambil tindakan yang baik secara langsung maupun tidak langsung mengakibatkan kematian. 5. Dasar Hukum Euthanasia Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak memberikan pengaturan yang pasti mengenai euthanasia. Satu-satunya landasan hukum yang dapat dipakai adalah Pasal 344 KUHP yang berbunyi : Barang siapa yang menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang disebutkannya dengan 18 Euthanasia diakses tanggal 30 Juni Adami Chazawi, Malpraktik Kedokteran Tinjauan Norma dan Doktrin Hukum, Malang: Bayu Media Publishing, 2007, Hal 5

14 nyata dan dengan sungguh-sungguh dihukum penjara selama-lamanya 12 tahun. 20 Pasal inilah yang dianggap mendekati masalah euthanasia. Adanya unsur permintaan orang itu sendiri yang dinyatakan dengan kesungguhan hati, mengakibatkan sulitnya pembuktian penuntutan bahwa seorang dokter tersebut telah melakukan euthanasia, terlebih jika si pasien dalam keadaan incompetent (tidak mampu berkomunikasi) sehingga si pasien tidak dapat menyatakan kehendaknya. Dalam keadaan seperti itu tidak mungkin untuk membuktikan adanya permintaan orang itu sendiri yang dinyatakan dengan kesungguhan hati. F. METODE PENELITIAN 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah penelitian yang dilakukan secara normatif juridis ( penelitian hukum doktrinal ). Penelitian hukum normatif disebut juga dengan penelitian kepustakaan atau studi dokumen. Penelitian hukum normatif disebut juga dengan penelitian hukum doktriner, karena penelitian ini dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis atau bahan hukum yang lain. Penelitian hukum ini juga disebut dengan penelitian kepustakaan ataupun studi dokumen disebabkan penelitian ini lebih banyak dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder yang ada di perpustakaan. 20 R.Soesilo, Op.cit hal 243

15 Langkah pertama yang dilakukan adalah penelitian hukum normatif yang didasarkan pada bahan hukum primer dan sekunder yaitu iventarisasi peraturanperaturan yang berkaitan dengan euthanasia. Selain itu dipergunakan juga bahanbahan tulisan yang berkaitan dengan persoalan ini. Penelitian ini juga bertujuan menemukan landasan hukum yang jelas dalam meletakkan persoalan ini dalam perspektif hukum pidana, yang kemudian dikaitkan dengan penelitian hukum empiris yaitu untuk melihat bagaimana pihakpihak yang terkait seperti dokter, masyarakat, dan pemuka agama yang terkait dengan hal tersebut. 2. Data dan Sumber Data Sumber data terdiri dari 2 yaitu: data primer dan data sekunder. Adapun dalam penulisan skripsi ini menggunakan kedua data diatas. Data primer yang terdiri dari hasil wawancara dengan beberapa dokter praktek yang ada di Medan, beberapa masyarakat di Medan dan beberapa tokoh ataupun pemuka agama di Medan. A. Dokter : a. dr.rita Mawarni.SpF b. dr.kartika br Karo c. dr.linda Zahara Khairiza B. Pemuka Agama: Islam : Ust. Fauzi Rahman, Drs Zakiah Kristen : Pdt. Arif Bangun, Pdt. Larena Sinuhaji, Pdt. Obeth Ginting

16 C. Masyarakat/Lembaga Masyarakat: a. Bapak Yoe Anto b. Bapak Atan c. Bapak Thomas d. Ibu Eintin Data sekunder terdiri dari : a. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang sifatnya mengikat dan berkaitan erat dengan masalah yang diteliti, berupa peraturan perundangundangan di bidang hukum yang mengikat b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, yaitu hasil karya di kalangan hukum yang ada relevansinya dengan masalah-masalah yang diteliti berupa buku-buku, pendapat-pendapat para sarjana yang berhubungan dengan skripsi ini. c. Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan atau bahan hukum sekunder, yaitu kamus hukum, ensiklopedia, majalah, media massa, internet dan sebagainya. 3. Metode Pengumpulan Data Adapun untuk memperoleh suatu kebenaran ilmiah dalam penulisan skripsi ini, maka didalam penulisan skripsi ini menggunakan metode pengumpulan data dengan cara sebagai berikut : a. Dengan mengunakan metode studi kepustakaan yaitu mencari dan mengumpulkan data dari perpustakaan berupa buku-buku, media

17 elektronik, internet, tulisan ilmiah yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas didalam skripsi ini. b. Dengan melakukan wawancara untuk mengumpulkan data-data yang mendukung penulisan ini. G. SISTEMATIKA PENULISAN menguraikan : Penulisan skripsi ini terdiri dari 4 bab, dimana tiap-tiap babnya akan BAB I PENDAHULUAN Bab ini merupakan bab pendahuluan yang menguraikan hal-hal yang berkaitan dengan latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, dan sedikit tinjauan kepustakaan yang akan membahas mengenai defenisi hukum pidana, defenisi tindak pidana, pertanggungjawaban pidana, defenisi euthanasia, dasar hukum euthanasia dan diakhiri oleh metode penelitian dan sistematika penulisan BAB II TINJAUAN UMUM EUTHANASIA Pada bagian ini akan dibahas mengenai hal-hal yang berkaitan dengan pengertian euthanasia, sejarah terjadinya euthanasia, jenis-jenis euthanasia, Negara-negara yang menganut dan yang tidak menganut euthanasia dan perkembangannya.

18 BAB III KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TENTANG EUTHANASIA Pada bagian ini akan dibahas bagaimana pengaturan kebijakan pengaturan euthanasia dalam KUHP dan RUU KUHP penerapan ketentuan euthanasia di Indonesia. BAB IV KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TENTANG EUTHANASIA PASIF Pada bagian ini akan dibahas bagaimana perkembangan euthanasia pasif di Indonesia, klasifikasi perbuatan yang dikategorikan euthanasia pasif, dan kebijakan hukum pidana saat ini dan yang akan datang menegenai euthanasia pasif. BAB IV PENUTUP Pada bab ini akan dibahas kesimpulan dan saran sebagai hasil dari pembahasan dan penguraian skripsi secara keseluruhan.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai negara berkembang tidak dapat menghindari adanya kemajuan dan perkembangan di bidang kedokteran khususnya dan bidang teknologi pada umumnya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu hal yang tidak menyenangkan dan kalau mungkin tidak dikehendaki. Namun

BAB I PENDAHULUAN. suatu hal yang tidak menyenangkan dan kalau mungkin tidak dikehendaki. Namun 8 A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Suatu keinginan kematian bagi sebagaian besar umat manusia merupakan suatu hal yang tidak menyenangkan dan kalau mungkin tidak dikehendaki. Namun demikian manusia

Lebih terperinci

BAB III KEBIJAKAN HUKUM PIDANA INDONESIA TENTANG EUTHANASIA. 1. Pengaturan Euthanasia dalam Hukum Pidana Indonesia (KUHP)

BAB III KEBIJAKAN HUKUM PIDANA INDONESIA TENTANG EUTHANASIA. 1. Pengaturan Euthanasia dalam Hukum Pidana Indonesia (KUHP) BAB III KEBIJAKAN HUKUM PIDANA INDONESIA TENTANG EUTHANASIA 1. Pengaturan Euthanasia dalam Hukum Pidana Indonesia (KUHP) Dilihat dari segi perundang-undangan dewasa ini, belum ada pengaturan yang baru

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan tindak pidana, Moeljatno merumuskan istilah perbuatan pidana, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. dengan tindak pidana, Moeljatno merumuskan istilah perbuatan pidana, yaitu BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hukum adalah himpunan peraturan-peraturan, yang berupa perintah atau larangan yang mengharuskan untuk ditaati oleh masyarakat itu. Berkaitan dengan tindak pidana,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana Tindak pidana merupakan suatu perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai dengan hukuman pidana.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN. dasar dari dapat dipidananya seseorang adalah kesalahan, yang berarti seseorang

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN. dasar dari dapat dipidananya seseorang adalah kesalahan, yang berarti seseorang BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN 2.1. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Dasar dari adanya perbuatan pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dari dapat dipidananya

Lebih terperinci

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2008

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2008 1 PENYANTUNAN BAGI KELUARGA MENINGGAL ATAU LUKA BERAT KECELAKAAN LALU LINTAS DALAM HUBUNGANNYA DENGAN PENGAMBILAN PUTUSAN HAKIM Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Syarat-Syarat Guna

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perputaran zaman dari masa kemasa membawa kehidupan. masyarakat selalu berubah, berkembang menurut keadaan, tempat dan

BAB I PENDAHULUAN. Perputaran zaman dari masa kemasa membawa kehidupan. masyarakat selalu berubah, berkembang menurut keadaan, tempat dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perputaran zaman dari masa kemasa membawa kehidupan masyarakat selalu berubah, berkembang menurut keadaan, tempat dan waktu. Oleh karena itu timbullah bermacam

Lebih terperinci

BAB III ANALISIS DAN KAJIAN YURIDIS MENGENAI EUTHANASIA DIPANDANG DARI SEGI HAM

BAB III ANALISIS DAN KAJIAN YURIDIS MENGENAI EUTHANASIA DIPANDANG DARI SEGI HAM BAB III ANALISIS DAN KAJIAN YURIDIS MENGENAI EUTHANASIA DIPANDANG DARI SEGI HAM 3.1 Kronologi kasus Ayah Ana Widiana Kasus berikut merupakan kasus euthanasia yang terjadi pada ayah dari Ana Widiana salah

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA. suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis

I. TINJAUAN PUSTAKA. suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis I. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kepada seluruh makhluk hidup di jagad raya ini, termasuk pula manusia yang

BAB I PENDAHULUAN. kepada seluruh makhluk hidup di jagad raya ini, termasuk pula manusia yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kematian merupakan suatu ketentuan yang telah digariskan oleh Tuhan kepada seluruh makhluk hidup di jagad raya ini, termasuk pula manusia yang telah ditentukan secara

Lebih terperinci

BAB III ANALISA HASIL PENELITIAN

BAB III ANALISA HASIL PENELITIAN BAB III ANALISA HASIL PENELITIAN A. Analisa Yuridis Malpraktik Profesi Medis Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 merumuskan banyak tindak pidana

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Ali Dahwir, SH., MH Hukum Pidana

BAB 1 PENDAHULUAN. Ali Dahwir, SH., MH Hukum Pidana BAB 1 PENDAHULUAN A. Istilah Hukum Pidana Merumuskan hukum pidana ke dalam rangakaian kata untuk dapat memberikan sebuah pengertian yang komprehensif tentang apa yang dimaksud dengan hukum pidana adalah

Lebih terperinci

ANALISA PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA BAGI DOKTER TERHADAP KASUS EUTHANASIA DITINJAU DARI KUHP YANG BERTENTANGAN DENGAN HAK ASASI MANUSIA

ANALISA PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA BAGI DOKTER TERHADAP KASUS EUTHANASIA DITINJAU DARI KUHP YANG BERTENTANGAN DENGAN HAK ASASI MANUSIA ANALISA PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA BAGI DOKTER TERHADAP KASUS EUTHANASIA DITINJAU DARI KUHP YANG BERTENTANGAN DENGAN HAK ASASI MANUSIA Dewa Ayu Tika Pramanasari Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. menyerukan manusia untuk mematuhi segala apa yang telah ditetapkan oleh Allah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. menyerukan manusia untuk mematuhi segala apa yang telah ditetapkan oleh Allah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Agama Islam, yang merupakan agama mayoritas yang dianut oleh bangsa Indonesia adalah agama yang menyerukan manusia untuk menyerahkan diri hanya kepada Allah, dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio.

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejahatan pembunuhan mengalami peningkatan yang berarti dari segi kualitas dan kuantitasnya. Hal ini bisa diketahui dari banyaknya pemberitaan melalui media massa maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Meningkatnya kasus kejahatan pencurian kendaraan bermotor memang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Meningkatnya kasus kejahatan pencurian kendaraan bermotor memang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Meningkatnya kasus kejahatan pencurian kendaraan bermotor memang tidak dapat terelakkan akibat meningkatnya laju pertumbuhan kendaraan bermotor yang cukup tinggi

Lebih terperinci

PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENCEMARAN NAMA BAIK (SUATU KAJIAN TERDAPAT PASAL 310 KUHP)

PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENCEMARAN NAMA BAIK (SUATU KAJIAN TERDAPAT PASAL 310 KUHP) PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENCEMARAN NAMA BAIK (SUATU KAJIAN TERDAPAT PASAL 310 KUHP) Oleh : Ketut Yoga Maradana Adinatha A.A. Ngurah Yusa Darmadi I Gusti Ngurah Parwata

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana 1. Kekuasaan Kehakiman Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang

I. PENDAHULUAN. Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang siapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan

Lebih terperinci

TINDAK PIDANA ASUSILA TERHADAP HEWAN DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM PIDANA

TINDAK PIDANA ASUSILA TERHADAP HEWAN DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM PIDANA TINDAK PIDANA ASUSILA TERHADAP HEWAN DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM PIDANA Oleh I Nyoman Adi Wiradana Anak Agung Sagung Wiratni Darmadi Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT This

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian pidana yang bersifat khusus ini akan menunjukan ciri-ciri dan sifatnya yang khas

I. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian pidana yang bersifat khusus ini akan menunjukan ciri-ciri dan sifatnya yang khas I. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Dan Unsur-Unsur Tindak Pidana Pidana pada umumnya sering diartikan sebagai hukuman, tetapi dalam penulisan skripsi ini perlu dibedakan pengertiannya. Hukuman adalah pengertian

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. umur harus dipertanggungjawabkan. Dalam hukum pidana konsep responsibility

II. TINJAUAN PUSTAKA. umur harus dipertanggungjawabkan. Dalam hukum pidana konsep responsibility II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Perbuatan cabul yang dilakukan orang dewasa kepada anak yang masih dibawah umur harus dipertanggungjawabkan. Dalam hukum pidana konsep responsibility

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Belakangan ini banyak sekali ditemukan kasus-kasus tentang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Belakangan ini banyak sekali ditemukan kasus-kasus tentang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Belakangan ini banyak sekali ditemukan kasus-kasus tentang pengguguran kandungan atau aborsi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia 1, aborsi /abor.si/ berarti

Lebih terperinci

EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN ETIKA KEDOKTERAN

EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN ETIKA KEDOKTERAN EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN ETIKA KEDOKTERAN Oleh : Syamsul Hadi, SH., M.H.* Abstract Euthanasia is a dead issue requests from patients suffering from a disease that can not be addressed

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. arti yang luas dan berubah-ubah, karena istilah tersebut dapat berkonotasi dengan bidang-bidang

II. TINJAUAN PUSTAKA. arti yang luas dan berubah-ubah, karena istilah tersebut dapat berkonotasi dengan bidang-bidang II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban pidana 1. Pengertian Pidana Istilah pidana atau hukuman yang merupakan istilah umum dan konvensional dapat mempunyai arti yang luas dan berubah-ubah, karena istilah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana. Belanda yaitu strafbaar feit yang terdiri dari tiga kata, yakni straf

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana. Belanda yaitu strafbaar feit yang terdiri dari tiga kata, yakni straf II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana 1. Pengertian Tindak Pidana Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu strafbaar feit yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tertentu, bagi siapa yang melanggar larangan tersebut. umumnya maksud tersebut dapat dicapai dengan menentukan beberapa elemen,

BAB I PENDAHULUAN. tertentu, bagi siapa yang melanggar larangan tersebut. umumnya maksud tersebut dapat dicapai dengan menentukan beberapa elemen, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perbuatan pidana merupakan perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai dengan ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi siapa

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatu, fungsi

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatu, fungsi 14 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban Pidana Pertanggungjawaban adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatu, fungsi dalam menerima pembebanan sebagai akibat dari sikap atas tindakan sendiri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. eksistensi negara modern, dan oleh karena itu masing-masing negara berusaha

BAB I PENDAHULUAN. eksistensi negara modern, dan oleh karena itu masing-masing negara berusaha BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum sebagai subsistem sosial menempati posisi penting dalam eksistensi negara modern, dan oleh karena itu masing-masing negara berusaha membangun sistem hukum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. emosi harapan dan kekhawatiran makhluk insani. perjanjian terapeutik adalah Undang undang nomor 36 tahun 2009 tentang

BAB I PENDAHULUAN. emosi harapan dan kekhawatiran makhluk insani. perjanjian terapeutik adalah Undang undang nomor 36 tahun 2009 tentang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejak awal mengenai umat manusia sudah dikenal adanya hubungan kepercayaan antara dua insan, yaitu manusia penyembuh dan penderita yang ingin disembuhkan. Dalam zaman

Lebih terperinci

II.TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian tentang Tindak Pidana atau Strafbaar Feit. Pembentuk Undang-undang telah menggunakan kata Strafbaar Feit untuk

II.TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian tentang Tindak Pidana atau Strafbaar Feit. Pembentuk Undang-undang telah menggunakan kata Strafbaar Feit untuk II.TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian tentang Tindak Pidana atau Strafbaar Feit Pembentuk Undang-undang telah menggunakan kata Strafbaar Feit untuk menyebutkan kata Tindak Pidana di dalam KUHP. Selain itu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan norma serta

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan norma serta BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum sebagai konfigurasi peradaban manusia berjalan seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat sebagai komunitas dimana manusia tumbuh dan berkembang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ketidakadilan yang dilakukan oleh hakim kepada pencari keadilan. Disparitas. hakim dalam menjatuhkan suatu putusan.

BAB I PENDAHULUAN. ketidakadilan yang dilakukan oleh hakim kepada pencari keadilan. Disparitas. hakim dalam menjatuhkan suatu putusan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dilihat secara empiris disparitas pidana merupakan bentuk dari ketidakadilan yang dilakukan oleh hakim kepada pencari keadilan. Disparitas pidana juga membawa

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang terdiri dari kesengajaan (dolus atau opzet) dan kelalaian (culpa). Seperti

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang terdiri dari kesengajaan (dolus atau opzet) dan kelalaian (culpa). Seperti II. TINJAUAN PUSTAKA A. Bukti Permulaan yang Cukup Istilah kesalahan ( schuld) adalah pengertian hukum yang tidak sama dengan pengertian harfiah:fout. Kesalahan dalam hukum pidana berhubungan dengan pertanggungjawaban,

Lebih terperinci

II TINJAUAN PUSTAKA. mencari untung. Sedangkan penipuan sendiri berdasarkan Kamus Besar Bahasa

II TINJAUAN PUSTAKA. mencari untung. Sedangkan penipuan sendiri berdasarkan Kamus Besar Bahasa II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Penipuan Penipuan berasal dari kata tipu, yang berarti perbuatan atau perkataan yang tidak jujur, bohong, atau palsu dengan maksud untuk menyesatkan, mengakali,atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum dan tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka, negara Indonesia merupakan negara demokratis yang menjunjung

Lebih terperinci

SOAL DAN JAWABAN TENTIR UTS ASAS-ASAS HUKUM PIDANA 2016 BY PERSEKUTUAN OIKUMENE (PO)

SOAL DAN JAWABAN TENTIR UTS ASAS-ASAS HUKUM PIDANA 2016 BY PERSEKUTUAN OIKUMENE (PO) SOAL DAN JAWABAN TENTIR UTS ASAS-ASAS HUKUM PIDANA 2016 BY PERSEKUTUAN OIKUMENE (PO) 1. Jelaskan pengertian hukum pidana menurut Moeljatno, Pompe, dan Van Hamel Jawaban: Menurut Moeljatno: Hukum Pidana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. harus diselesaikan atas hukum yang berlaku. Hukum diartikan sebagai

BAB I PENDAHULUAN. harus diselesaikan atas hukum yang berlaku. Hukum diartikan sebagai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara hukum, sehingga segala sesuatu permasalahan yang melanggar kepentingan warga negara indonesia (WNI) harus diselesaikan atas hukum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3) BAB I PENDAHULAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara berdasarkan hukum. Hal ini ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3) yang berbunyi

Lebih terperinci

BAB III PENGANIAYAAN YANG BERAKIBAT LUKA BERAT DALAM KUHP

BAB III PENGANIAYAAN YANG BERAKIBAT LUKA BERAT DALAM KUHP 40 BAB III PENGANIAYAAN YANG BERAKIBAT LUKA BERAT DALAM KUHP 1. Pengertian Penganiayaan yang berakibat luka berat Dalam Undang-Undang tidak memberikan perumusan apa yang dinamakan penganiayaan. Namun menurut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat yaitu hukum public dan hukum privat. Hukum public adalah

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat yaitu hukum public dan hukum privat. Hukum public adalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di Indonesia saat ini ada 2 (dua) aturan yang mengatur kepentingan masyarakat yaitu hukum public dan hukum privat. Hukum public adalah hukum yang mengatur hubungan

Lebih terperinci

UNSUR MELAWAN HUKUM DALAM PASAL 362 KUHP TENTANG TINDAK PIDANA PENCURIAN

UNSUR MELAWAN HUKUM DALAM PASAL 362 KUHP TENTANG TINDAK PIDANA PENCURIAN UNSUR MELAWAN HUKUM DALAM PASAL 362 KUHP TENTANG TINDAK PIDANA PENCURIAN Oleh I Gusti Ayu Jatiana Manik Wedanti A.A. Ketut Sukranatha Program Kekhususan Hukum Pidana Fakultas Hukum, Universitas Udayana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Adanya hukum dan di buat tumbuh dan berkembang dalam masyarakat

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Adanya hukum dan di buat tumbuh dan berkembang dalam masyarakat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Adanya hukum dan di buat tumbuh dan berkembang dalam masyarakat dengan tujuan untuk mengatur kehidupan masyarakat baik masyarakat modren maupun masyarakat

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam Undang-

II. TINJAUAN PUSTAKA. tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam Undang- 13 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Pertanggungjawaban pidana memiliki makna bahwa setiap orang yang melakukan tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam

Lebih terperinci

Pengantar Hukum Indonesia Materi Hukum Pidana. Disampaikan oleh : Fully Handayani R.

Pengantar Hukum Indonesia Materi Hukum Pidana. Disampaikan oleh : Fully Handayani R. Pengantar Hukum Indonesia Materi Hukum Pidana Disampaikan oleh : Fully Handayani R. Pendahuluan Istilah Hukum Pidana menurut Prof. Satochid mengandung beberapa arti atau dapat dipandang dari beberapa sudut,

Lebih terperinci

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA A. Batasan Pengaturan Tindak Pidana Kekekerasan Fisik

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Tindak Pidana Pembunuhan Berencana 2.1.1. Pengertian Tindak Pidana Pembunuhan Berencana Pembunuhan berencana sesuai Pasal 340 KUHP adalah suatu pembunuhan biasa seperti Pasal

Lebih terperinci

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 Lex Crimen, Vol.II/No.1/Jan-Mrt/2013 KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun yang benar-benar menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia serta

BAB I PENDAHULUAN. Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun yang benar-benar menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia serta 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Republik Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang benar-benar menjunjung

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi 13 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban Pidana 1. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi a. Peranan korporasi menjadi penting dalam tindak pidana karena sebagai akibat dari perubahan yang terjadi dalam

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Istilah hukuman berasal dari kata straf dan istilah di hukum yang berasal dari

II. TINJAUAN PUSTAKA. Istilah hukuman berasal dari kata straf dan istilah di hukum yang berasal dari 21 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pidana dan Hukum Pidana Istilah hukuman berasal dari kata straf dan istilah di hukum yang berasal dari perkataan wordt gestraf menurut Mulyanto merupakan istilah-istilah

Lebih terperinci

Toddy Anggasakti dan Amanda Pati Kawa. Abstrak

Toddy Anggasakti dan Amanda Pati Kawa. Abstrak Toddy Anggasakti dan Amanda Pati Kawa Abstrak Penelitian ini mengkaji dan menjawab beberapa permasalahan hukum,pertama, apakah proses peradilan pidana konsekuensi hukum penerapan asas praduga tidak bersalah

Lebih terperinci

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 9/Okt-Des/2016

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 9/Okt-Des/2016 PERAN FORENSIK DALAM KASUS MALPRAKTEK MENURUT PASAL 133 KUHAP 1 Oleh : Ridwan Darma 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana peran ilmu kedokteran forensik dalam mengusut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mahluk sosial dan sebagai mahluk individu. Dalam kehidupan sehari-harinya

BAB I PENDAHULUAN. mahluk sosial dan sebagai mahluk individu. Dalam kehidupan sehari-harinya 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap manusia pada umumnya mempunyai kedudukan sebagai mahluk sosial dan sebagai mahluk individu. Dalam kehidupan sehari-harinya untuk dapat mengembangkan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini menganut asas kesalahan sebagai salah satu asas disamping asas legalitas.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 Perubahan ke-4 Undang-Undang Dasar Hal ini. tindakan yang dilakukan oleh warga negara Indonesia.

I. PENDAHULUAN. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 Perubahan ke-4 Undang-Undang Dasar Hal ini. tindakan yang dilakukan oleh warga negara Indonesia. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah Negara sebagaimana diatur dalam Penjelasan Umum Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 Perubahan ke-4 Undang-Undang Dasar 1945. Hal ini menunjukkan bahwa

Lebih terperinci

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. mempunyai tiga arti, antara lain : 102. keadilanuntuk melakukan sesuatu. tindakansegera atau di masa depan.

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. mempunyai tiga arti, antara lain : 102. keadilanuntuk melakukan sesuatu. tindakansegera atau di masa depan. BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Menurut Black's Law Dictionary, tanggung jawab (liability) mempunyai tiga arti, antara lain : 102 a. Merupakan satu kewajiban terikat dalam hukum atau keadilanuntuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana (kepada barangsiapa yang melanggar larangan tersebut), untuk singkatnya dinamakan

Lebih terperinci

Nomor : Fakultas : Angkatan / Semester : PETUNJUK PENGISIAN

Nomor : Fakultas : Angkatan / Semester : PETUNJUK PENGISIAN Nomor : Fakultas : Angkatan / Semester : PETUNJUK PENGISIAN 1. Bacalah pernyataan-pernyataan pada lembar berikut, kemudian jawablah dengan sungguh-sungguh sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. 2. Jawablah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penegakan hukum merupakan salah satu usaha untuk menciptakan tata tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan usaha pencegahan maupun

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana Kekuasaan kehakiman merupakan badan yang menentukan dan kekuatan kaidahkaidah hukum positif dalam konkretisasi oleh hakim melalui

Lebih terperinci

EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA DAN KAITANNYA DENGAN HUKUM PIDANA

EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA DAN KAITANNYA DENGAN HUKUM PIDANA EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA DAN KAITANNYA DENGAN HUKUM PIDANA Oleh: NUR HAYATI Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonusa Esa Unggul ABSTRAK EUTHANASIA merupakan salah satu masalah etika

Lebih terperinci

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TENTANG EUTHANASIA KHUSUSNYA EUTHANASIA PASIF SKRIPSI DEPARTEMEN HUKUM PIDANA. Oleh : CHRISTY ANANDA NIM :

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TENTANG EUTHANASIA KHUSUSNYA EUTHANASIA PASIF SKRIPSI DEPARTEMEN HUKUM PIDANA. Oleh : CHRISTY ANANDA NIM : KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TENTANG EUTHANASIA KHUSUSNYA EUTHANASIA PASIF SKRIPSI Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu pengetahuan pada dasarnya muncul karena adanya hasrat ingin tahu

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu pengetahuan pada dasarnya muncul karena adanya hasrat ingin tahu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Ilmu pengetahuan pada dasarnya muncul karena adanya hasrat ingin tahu yang teramat besar dari dalam diri manusia itu sendiri. Hasrat tersebut muncul dikarenakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hidup tenteram, damai, tertib serta berkeadilan merupakan dambaan setiap

BAB I PENDAHULUAN. Hidup tenteram, damai, tertib serta berkeadilan merupakan dambaan setiap BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hidup tenteram, damai, tertib serta berkeadilan merupakan dambaan setiap orang yang hidup di dunia ini. Oleh karena itu untuk mewujudkan tujuan tersebut perlu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

BAB I PENDAHULUAN. Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 menegaskan bahwa cita-cita Negara Indonesia ialah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA PELAKU PEMBAKARAN LAHAN

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA PELAKU PEMBAKARAN LAHAN BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA PELAKU PEMBAKARAN LAHAN Hukum merupakan sebuah instrumen yang dibentuk oleh pemerintah yang berwenang, yang berisikan aturan, larangan, dan sanksi yang bertujuan untuk mengatur

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kaya, tua, muda, dan bahkan anak-anak. Saat ini penyalahgunaan narkotika tidak

I. PENDAHULUAN. kaya, tua, muda, dan bahkan anak-anak. Saat ini penyalahgunaan narkotika tidak 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyalahgunaan narkotika melingkupi semua lapisan masyarakat baik miskin, kaya, tua, muda, dan bahkan anak-anak. Saat ini penyalahgunaan narkotika tidak hanya terjadi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. alat transportasi yang diperlukan untuk pemenuhan kebutuhan, dari berbagai

I. PENDAHULUAN. alat transportasi yang diperlukan untuk pemenuhan kebutuhan, dari berbagai 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Transportasi merupakan sarana yang digunakan masyarakat untuk melakukan aktifitasnya. Seiring dengan berkembangnya zaman, maka semakin banyak pula alat transportasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dilengkapi dengan kewenangan hukum untuk memberi pelayanan umum. bukti yang sempurna berkenaan dengan perbuatan hukum di bidang

BAB I PENDAHULUAN. dilengkapi dengan kewenangan hukum untuk memberi pelayanan umum. bukti yang sempurna berkenaan dengan perbuatan hukum di bidang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Notaris sebagai pejabat umum merupakan salah satu organ Negara yang dilengkapi dengan kewenangan hukum untuk memberi pelayanan umum kepada masyarakat, teristimewa dalam

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. dimana keturunan tersebut secara biologis berasal dari sel telur laki-laki yang kemudian

II. TINJAUAN PUSTAKA. dimana keturunan tersebut secara biologis berasal dari sel telur laki-laki yang kemudian II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Anak dibawah Umur Pengertian anak menurut Kamus Bahasa Indonesia yang dapat disimpulkan ialah keturunan yang kedua yang berarti dari seorang pria dan seorang wanita yang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang dilarang atau diharuskan dan diancam dengan pidana oleh undang-undang,

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang dilarang atau diharuskan dan diancam dengan pidana oleh undang-undang, II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana adalah suatu tindakan pada tempat, waktu dan keadaan tertentu yang dilarang atau diharuskan dan diancam dengan pidana oleh undang-undang,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Penegakan hukum di Indonesia, pembinaan dan pengarahan, perlu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Penegakan hukum di Indonesia, pembinaan dan pengarahan, perlu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penegakan hukum di Indonesia, pembinaan dan pengarahan, perlu dilakukan supaya hukum mampu memenuhi kebutuhan sesuai dengan tingkat kemajuan masyarakat Indonesia.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adanya kehendak untuk memenuhi kebutuhan hidup dengan cara yang

BAB I PENDAHULUAN. adanya kehendak untuk memenuhi kebutuhan hidup dengan cara yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Umumnya tindak pidana atau pelanggaran hukum pidana didasari adanya kehendak untuk memenuhi kebutuhan hidup dengan cara yang mudah, jalan pintas serta mendapatkan

Lebih terperinci

ASPEK HUKUM EUTHANASIA. By L. Ratna Kartika Wulan

ASPEK HUKUM EUTHANASIA. By L. Ratna Kartika Wulan ASPEK HUKUM EUTHANASIA By L. Ratna Kartika Wulan POKOK BAHASAN DEFINISI PERMASALAHAN EUTHANASIA HAK UNTUK MATI PANDANGAN HKM THD EUTHANASIA JENIS EUTHANASIA PRO & KONTRA EUTHANASIA DEFINISI SECARA HARAFIAH

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kekuasaan tertinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Konsep Negara

BAB I PENDAHULUAN. kekuasaan tertinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Konsep Negara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah negara yang meletakkan hukum sebagai supremasi kekuasaan tertinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Konsep Negara hukum dalam berbangsa

Lebih terperinci

PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA DI DALAM KUHP SEBAGAI UPAYA KESELARASAN SISTEM PEMIDANAAN ATURAN HUKUM DENGAN UNDANG UNDANG KHUSUS DI LUAR KUHP

PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA DI DALAM KUHP SEBAGAI UPAYA KESELARASAN SISTEM PEMIDANAAN ATURAN HUKUM DENGAN UNDANG UNDANG KHUSUS DI LUAR KUHP PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA DI DALAM KUHP SEBAGAI UPAYA KESELARASAN SISTEM PEMIDANAAN ATURAN HUKUM DENGAN UNDANG UNDANG KHUSUS DI LUAR KUHP Oleh Bram Suputra I Gusti Nyoman Agung Bagian Hukum Pidana Fakultas

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. diancam dengan pidana. Pembentuk undang-undang menggunakan perkataan

II. TINJAUAN PUSTAKA. diancam dengan pidana. Pembentuk undang-undang menggunakan perkataan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Jenis Tindak Pidana 1. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM MENGENAI TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN. A. Tindak Pidana Pembunuhan dan Pembunuhan Berencana

BAB II PENGATURAN HUKUM MENGENAI TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN. A. Tindak Pidana Pembunuhan dan Pembunuhan Berencana BAB II PENGATURAN HUKUM MENGENAI TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA A. Tindak Pidana Pembunuhan dan Pembunuhan Berencana 1. Tindak pidana pembunuhan Kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain itu oleh

Lebih terperinci

SKRIPSI DISUSUN O L E H. Nama NPM Program : : ILMU HUKUMM. studi HUKUM MEDAN Universitas Sumatera Utara

SKRIPSI DISUSUN O L E H. Nama NPM Program : : ILMU HUKUMM. studi HUKUM MEDAN Universitas Sumatera Utara 1 EUTHANASIAA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG N0. 39 TAHUN 1999 TENTANG HAM DAN DILIHATT DARI SEGII HUKUM PIDANA SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pada Fakultas Hukum DISUSUN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Didalam proses perkara pidana terdakwa atau terpidana

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Didalam proses perkara pidana terdakwa atau terpidana BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Didalam proses perkara pidana terdakwa atau terpidana dimungkinkan untuk melakukan upaya hukum. Ada upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa. Upaya hukum

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kepolisian dalam mengemban tugasnya sebagai aparat penegak hukum

I. PENDAHULUAN. Kepolisian dalam mengemban tugasnya sebagai aparat penegak hukum I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kepolisian dalam mengemban tugasnya sebagai aparat penegak hukum mempunyai berbagai cara dan daya upaya untuk menjaga ketertiban dan keamanan dimasyarakat demi terciptanya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban pidana didasarkan pada asas kesalahan (culpabilitas), yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban pidana didasarkan pada asas kesalahan (culpabilitas), yang 20 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban Pidana Pertanggungjawaban pidana didasarkan pada asas kesalahan (culpabilitas), yang didasarkan pada keseimbangan monodualistik bahwa asas kesalahan yang didasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembunuhan. Data dari Badan Pusat Statistik menunjukkan, jumlah kasus. pembunuhan, dan tahun 2015 menjadi 48 kasus pembunuhan.

BAB I PENDAHULUAN. pembunuhan. Data dari Badan Pusat Statistik menunjukkan, jumlah kasus. pembunuhan, dan tahun 2015 menjadi 48 kasus pembunuhan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu tindak pidana jumlahnya makin meningkat adalah pembunuhan. Data dari Badan Pusat Statistik menunjukkan, jumlah kasus pembunuhan pada tahun 2010 mencapai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seimbang. Dengan di undangakannya Undang-Undang No. 3 tahun Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No.

BAB I PENDAHULUAN. seimbang. Dengan di undangakannya Undang-Undang No. 3 tahun Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak merupakan bagian dari generasi muda yang memiliki peran strategis dan mempunyai ciri-ciri dan sifat khusus. Oleh karena itu anak memerlukan perlindungan

Lebih terperinci

PSIKIATER DALAM MENENTUKAN KETIDAKMAMPUAN BERTANGGUNG JAWAB DALAM PASAL 44 KUHP. Oleh Rommy Pratama*) Abstrak

PSIKIATER DALAM MENENTUKAN KETIDAKMAMPUAN BERTANGGUNG JAWAB DALAM PASAL 44 KUHP. Oleh Rommy Pratama*) Abstrak PSIKIATER DALAM MENENTUKAN KETIDAKMAMPUAN BERTANGGUNG JAWAB DALAM PASAL 44 KUHP Oleh *) Abstrak Kondisi perekonomian Indonesia yang belum stabil, keadaan masyarakat yang jauh dari kata sejahtera (unwelfare),

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. akhir-akhir ini mengakibatkan perubahan-perubahan yang demikian cepat dalam

BAB I PENDAHULUAN. akhir-akhir ini mengakibatkan perubahan-perubahan yang demikian cepat dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang demikian pesat pada akhir-akhir ini mengakibatkan perubahan-perubahan yang demikian cepat dalam kehidupan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Uraian Teori 2.1.1. Pengertian Tindak Pidana Penggelapan Dalam suatu tindak pidana, mengetahui secara jelas tindak pidana yang terjadi adalah suatu keharusan. Beberapa tindak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Maraknya tindak pidana yang terjadi di Indonesia tentu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Maraknya tindak pidana yang terjadi di Indonesia tentu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Maraknya tindak pidana yang terjadi di Indonesia tentu menimbulkan keresahan serta rasa tidak aman pada masyarakat. Tindak pidana yang terjadi di Indonesia juga

Lebih terperinci

BAB III SANKSI PIDANA ATAS PENGEDARAN MAKANAN TIDAK LAYAK KONSUMSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

BAB III SANKSI PIDANA ATAS PENGEDARAN MAKANAN TIDAK LAYAK KONSUMSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN BAB III SANKSI PIDANA ATAS PENGEDARAN MAKANAN TIDAK LAYAK KONSUMSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN A. Pengedaran Makanan Berbahaya yang Dilarang oleh Undang-Undang

Lebih terperinci

Inform Consent. Purnamandala Arie Pradipta Novita Natasya Calvindra L

Inform Consent. Purnamandala Arie Pradipta Novita Natasya Calvindra L Inform Consent Purnamandala Arie Pradipta Novita Natasya Calvindra L 1 PENDAHULUAN Malpraktek pada dasarnya adalah tindakan tenaga profesional (profesi) yang bertentangan dengan Standard Operating Procedure

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Istilah tindak pidana atau strafbaar feit diterjemahkan oleh pakar hukum

II. TINJAUAN PUSTAKA. Istilah tindak pidana atau strafbaar feit diterjemahkan oleh pakar hukum II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Istilah tindak pidana atau strafbaar feit diterjemahkan oleh pakar hukum pidana Indonesia dengan istilah yang berbeda-beda. Diantaranya ada yang memakai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 ditegaskan bahwa Negara

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 ditegaskan bahwa Negara BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 ditegaskan bahwa Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (Rechtstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machstaat). Ini

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban pidana ( criminal liability) atau ( straafbaarheid),

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban pidana ( criminal liability) atau ( straafbaarheid), II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban Pidana Pertanggungjawaban pidana ( criminal liability) atau ( straafbaarheid), sesungguhnya tidak hanya menyangkut soal hukum semata-mata, melainkan juga menyangkut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yaitu, pleger, doen pleger, medepleger, uitlokker. Suatu penyertaan. dilakukan secara psikis maupun pisik, sehingga harus dicari

BAB I PENDAHULUAN. yaitu, pleger, doen pleger, medepleger, uitlokker. Suatu penyertaan. dilakukan secara psikis maupun pisik, sehingga harus dicari 9 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Penyertaan dalam pasal 55 KUHP di klasifikasikan atas 4 bagian yaitu, pleger, doen pleger, medepleger, uitlokker. Suatu penyertaan dikatakan terjadi jika dalam suatu

Lebih terperinci

NASKAH PUBLIKASI SKRIPSI PERBANDINGAN PENJATUHAN SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERTAMA DAN RESIDIVIS.

NASKAH PUBLIKASI SKRIPSI PERBANDINGAN PENJATUHAN SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERTAMA DAN RESIDIVIS. NASKAH PUBLIKASI SKRIPSI PERBANDINGAN PENJATUHAN SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERTAMA DAN RESIDIVIS. Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Syarat-syarat Guna Mencapai Derajat

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Menurut Roeslan Saleh (1983:75) pengertian pertanggungjawaban pidana adalah suatu yang dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap seseorang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Globalisasi menyebabkan ilmu pengetahuan kian berkembang pesat termasuk bidang ilmu hukum, khususnya dikalangan hukum pidana. Banyak perbuatan-perbuatan baru yang

Lebih terperinci