BAB III KEBIJAKAN HUKUM PIDANA INDONESIA TENTANG EUTHANASIA. 1. Pengaturan Euthanasia dalam Hukum Pidana Indonesia (KUHP)

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB III KEBIJAKAN HUKUM PIDANA INDONESIA TENTANG EUTHANASIA. 1. Pengaturan Euthanasia dalam Hukum Pidana Indonesia (KUHP)"

Transkripsi

1 BAB III KEBIJAKAN HUKUM PIDANA INDONESIA TENTANG EUTHANASIA 1. Pengaturan Euthanasia dalam Hukum Pidana Indonesia (KUHP) Dilihat dari segi perundang-undangan dewasa ini, belum ada pengaturan yang baru dan lengkap tentang euthanasia. Akan tetapi, masalah euthanasia merupakan masalah yang menyangkut masalah keselamatan jiwa manusia, maka harus ada pengaturan atau pasal yang mengaturnya atau setidaknya pengaturan atau pasal yang mendekati unsur-unsur euthanasia tersebut. Oleh karena itu satusatunya pasal ataupun pengaturan yang dapat dipakai sebagai landasan hukum bagi euthanasia yaitu yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia khususnya pasal-pasal yang membicarakan masalah kejahatan yang menyangkut jiwa manusia. Dan pasal yang mendekati dengan masalah euthanasia adalah yang terdapat dalam Buku ke II Bab IX Pasal 344 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia. 62 Secara singkat, dari sejarah pembentukan KUHP dapat diketahui bahwa pembentuk undang-undang pada saat itu juga menganggap bahwa jiwa manusia adalah milik manusia yang paling berharga. Oleh sebab itu, setiap perbuatan apapun motif dan coraknya sepanjang perbuatan tersebut mengancam keamanan dan keselamatan jiwa manusia tersebut, maka hal itu dianggap sebagai kejahatan yang besar oleh Negara. Masalah keselamatan jiwa warga Negara selalu 62 Djoko Prakoso dan Djaman Andhi Nirwanto, Op.cit,hal 69-70

2 dilinduungi oleh Negara. Dalam hal ini adanya dua kepentingan yaitu kepentingan masyarakat dan kepentingan yang dituntut. Kepentingan masyarakat, bahwa seseorang yang telah melanggar suatu peraturan hukum pidana, harus mendapatkan hukuman yang setimpal dengan kesalahannya,guna keamanan masyarakat, dan kepentingan orang yang dituntut, bahwa ia harus diperlakukan sedemikian rupa sehingga jangan sampai orang yang tidak berdosa mendapat hukuman, atau kalau memang ia berdosa, jangan sampai ia mendapat hukuman terlalu berat, tidak seimbang dengan kesalahannya 63 Pandangan dari pembentuk undang-undang Hindia Belanda itu rupanya masih tetap dianut oleh pemerintah sampai dengan sekarang. Ini terbukti bahwa dalam KUHP sendiri, perihal keselamatan dan keamanan jiwa manusia masih dijamin tanpa adanya perubahan sedikitpun. Tanpa membedakan agama, ras, warna kulit, dan idiologi tentang keselamatan dan keamanan jiwa manusia dijamin oleh undang-undang. Hal ini juga merupakan pencerminan dari prinsip equality before the law yang tentunya harus juga diterapkan terhadap keamanan dan keselamatan jiwa manusia. Dalam pasal 344 KUHP disebutkan bahwa: Barang siapa yang menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang disebutkannya dengan nyata dan dengan sungguh-sungguh dihukum penjara selama-lamanya 12 tahun. Dari bunyi pasal tersebut, dapat disimpulkan bahwa seseorang tidak diperbolehkan melakukan pembunuhan terhadap orang lain, walaupun pembunuhan itu dilakukan dengan alasan atas dasar permintaan si 63 Ibid

3 korban sendiri. Sulit rasanya membayangkan seseorang sampai hati membunuh atau merampas nyawa orang lain apalagi yang perlu pertolongan. 64 Dalam hal diatas, kalimat permintaan sendiri yang dinyatakan dengan kesungguhan hati haruslah mendapatkan perhatian, karena unsur inilah yang akan menentukan apakah orang yang melakukannya dapat dipidana berdasarkan pasal 344 KUHP atau tidak. Supaya unsur tersebut tidak disalah gunakan maka dalam menentukan besar tidaknya seseorang telah melakukan pembunuhan ini, unsur permintaan yang tegas (unitdrukkelijk) dan unsur sungguh (ernstig), haruslah dapat dibuktikan baik dengan adanya saksi ataupun oleh alat-alat bukti yang lainnya, sebagaimana disebutkan dalam pasal 184 KUHAP sebagai berikut : 1. Keterangan saksi 2. Keterangan ahli 3. Surat 4. Petunjuk 5. Keterangan terdakwa Apabila diperhatikan lebih lanjut yaitu pasal 338 KUHP, pasal 340 KUHP, dan pasal 344 KUHP, ketiga-tiganya adalah mengandung makna larangan untuk membunuh. Pasal 338 KUHP merupakan aturan umum daripada perampasan nyawa orang lain. Pasal 338 KUHP menyatakan bahwa barangsiapa sengaja merampas 64 Ibid hal 71

4 nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun. Pasal 340 KUHP merupakan aturan khususnya, karena adanya unsur dengan rencana lebih dahulu yang menyebutkan bahwa barangsiapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain diancam karena pembunuhan dengan rencana (moord),dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun. Oleh karena itu, pasal 340 KUHP dapat dikatakan pasal pembunuhan berencana. Kalau diperhatikan unsur pasal 340 KUHP ini, maka pasal ini tidak dapat diterapkan, walaupun perbuatan dokter merupakan suatu tindakan untuk mengakhiri hidup pasien namun hal tersebut bukanlah atas keinginan si dokter tetapi atas permintaan si pasien sendiri ataupun keluarganya. Begitu pula jika diperhatikan lebih lanjut, bahwa pasal 344 KUHP pun merupakan aturan khusus daripada pasal 338 KUHP. Hal ini, karena disamping pasal 344 KUHP adanya makna perampasan nyawa atau pembunuhan sebagaimana diatur dalam pasal 338 KUHP, namun dalam pasal 344 terdapat unsur permintaan sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati. Jadi masalah euthanasia dapat menyangkut 2 aturan hukum yaitu pasal 338 KUHP dan pasal 344 KUHP. Dalam hal ini, terdapat apa yang disebut sebagai concursus idelis, yang merupakan sistem pemberian pidana yang masuk dalam beberapa

5 perraturan hukum. Concursus idealis ini diatur dalam pasal 63 KUHP yang menyebutkan bahwa: Jika suatu perbuatan pidana masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka yang dikenakan hanya salah satu diantara aturan-aturan itu, jika berbedabeda yang dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat 2. Jika suatu perbuatan yang masuk dalam suatu aturan pidana yang umum diatur pula dalam aturan pidana yang khusus maka hanya yang khusus tersebutlah yang digunakan Pasal 63(2) ini mengandung asas Lex Specialis de rogat lex Generalis, yaitu bahwa peraturan-peraturan yang khusus akan mendesak atau mengalahkan peraturan-peraturan yang sifatnya umum. Dimaksud sebagai peraturan yang sifatnya khusus disini adalah: peraturan pidana yang mempunyai atau memuat unsur-unsur yang termuat dalam peraturan pidana yang umum, akan tetapi juga memuat peraturan-peraturan pidana yang tak termuat dalam peraturan pidana umum. Dengan adanya hal-hal tersebut diatas, dapat dikatakan bahwa masalah euthanasia menyangkut dua aturan hukum yaitu Pasal 338 KUHP dan Pasal 344 KUHP maka yang diterapkan adalah Pasal 344 KUHP. Apabila tidak terdapat asas lex specialis de rogat Lex Generalis yang disebutkan dalam Pasal 63 ayat (2) KUHP tersebut, maka aturan pemidanaan yang dipakai adalah Pasal 338 KUHP. Hal ini disebabkan karena ancaman pidana penjara pada pasal 338 KUHP adalah 65 Moeljatno,Op.cit hal 42

6 lima belas tahun (15 tahun) lebih berat daripada ancaman pidana penjara yang terdapat pada pasal 334 KUHP yang hanya dua belas tahun (12 tahun). Hal ini dapat dimengerti karena dalam concursus idealis akan diterapkan system absorbs, sebagaimana disebutkan dalam pasal 63 ayat (1) KUHP, yang memilih ancaman pidananya yang terberat. Oleh sebab itu, di dalam KUHP hanya ada satu pasal saja yang mengatur masalah euthanasia yaitu pasal 344 KUHP. Jadi euthanasia tetap dilarang di Indonesia. Larangan ini terdapat dalam pasal 344 KUHP yang sampai sekarang masih berlaku. Akan tetapi, perumusan dalam pasal 344 KUHP yang sekarang ini, dapat menimbulkan kesulitan bagi jaksa untuk menerapkannya atau mengadakan penuntutan berdasarkan ketentuan tersebut. Oleh karena itu, maka sebaiknya bunyi pasal 344 KUHP tersebut dapatlah kiranya untuk dirumuskan kembali berdasarkan kenyataan-kenyataan yang terjadi sekarang, dan telah disesuaikan dengan perkembangan medis dewasa ini. Rumusan baru ini diharapkan dapat memungkinkan atau memudahkan untuk mengadakan penuntutan terhadap kasus yang bersangkutan dengan masalah euthanasia Pengaturan Euthanasia dalam Konsep RUU KUHP Indonesia Dalam RUU KUHP tahun 2010 ada dua pasal yang mengatur masalah euthanasia yaitu terdapat pada Bab XXII mengenai tindak pidana terhadap nyawa. Adapun pasal yang mengaturnya adalah Pasal 575 RUU KUHP 2010 dan Pasal 576 RUU KUHP Pasal 575 RUU KUHP 2010 menyatakan bahwa : Setiap orang yang merampas nyawa orang lain atas permintaan orang lain 66 Djoko Prakoso dan Djaman Andhi Nirwanto,Op.cit hal 77-78

7 tersebut yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati atau atas permintaan keluarganya dalam hal orang lain tersebut tidak sadar, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 9 (sembilan) tahun.. Sedangkan pasal 576 RUU KUHP 2010 menyatakan bahwa Dokter yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 575 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun. 67 Di dalam penjelasan pasal 575 RUU KUHP 2010 dinyatakan bahwa ketentuan dalam pasal ini mengatur tindak pidana yang dikenal dengan euthanasia aktif. Bentuk euthanasia pasif tidak diatur dalam ketentuan ini karena masyarakat maupun dunia kedokteran tidak menganggap perbuatan tersebut sebagai perbuatan yang dilarang. Namun pada kenyataannya justru euthanasia pasif yang sering terjadi di masyarakat maupun di dunia kedokteran yang tidak tersentuh hukum. Meskipun euthanasia aktif dilakukan atas permintaan orang yang bersangkutan itu sendiri yang dinyatakan dengan kesungguhan hati, namun perbuatan tersebut tetap diancam pidana. Hal ini didasarkan pada suatu pertimbangan karena perbuatan tersebut dinilai bertentangan dengan moral dan agama. Di samping itu juga untuk mencegah terjadinya kemungkinan yang tidak dikehendaki misalnya oleh si pembuat tindak pidana justru diciptakan suatu keadaan yang sedemikian rupa sehingga timbul permintaan untuk merampas nyawa dari yang bersangkutan. Ancaman pidana disini tidak ditujukan terhadap kehidupan seseorang, tetapi ditujukan kepada 67 RUU KUHP tahun 2010 diakses tanggal 28 Mei 2012

8 penghormatan kehidupan manusia pada umumnya, meskipun dalam kondisi orang tersebut menderita baik jasmani maupun rohani. Jadi motif pembuat tidak relevan untuk dipertimbangkan dalam tindak pidana. Pengertian tidak sadar dalam ketentuan pasal 575 RUU KUHP 2010 ini harus diartikan sesuai dengan perkembangan dalam dunia kedokteran. Sedangkan dalam pasal 576 RUU KUHP 2010 merupakan pemberatan dari pasal 575 RUU KUHP 2010 yang apabila melakukan hal tersebut adalah seorang dokter. 68 Jadi jika dibandingkan dengan pasal 344 KUHP, maka hukuman terhadap euthanasia lebih ringan lagi, yaitu yang tadinya dalam pasal 344 KUHP dihukum pidana penjara dua belas tahun (12 tahun) menjadi sembilan tahun (9 tahun) dalam pasal 575 RUU KUHP Hukuman untuk euthanasia juga pada akhirnya dipakai pasal 575 RUU KUHP 2010 karena pada pasal 572 RUU KUHP yang mengatur tentang pembunuhan (perampasan nyawa orang lain) hukumannya lebih berat yaitu dipidana penjara paling singkat tiga tahun (3 tahun) dan paling lama lima belas tahun (15 tahun). Jadi peraturan dalam RUU KUHP ini berbeda dengan KUHP, dimana KUHP tidak mengatur masalah euthanasia yang dilakukan oleh seorang dokter dengan tindak pidana pemberatan dengan hukuman dua belas tahun (12 tahun) penjara yang lebih ringan dibanding dengan pasal 575 RUU KUHP yang mengatur hukuman euthanasia yang dilakukan orang yang bukan dokter hanya dihukum dengan pidana penjara sembilan tahun (9 tahun). Jadi dalam RUU KUHP terdapat dua pasal yang mengatur masalah euthanasia yaitu Pasal 575 dan Pasal Ibid

9 3. Penerapan Ketentuan Euthanasia di Indonesia Munculnya permintaan euthanasia dewasa ini menunjukkan bahwa masyarakat belum memahami dengan baik euthanasia. Perlu dipertimbangkan dampak hukum, moral, agama, dengan tidak selalu menduga, permintaan muncul karena keluarga pasien tak sanggup membiayai pengobatan si pasien. Namun, alasan itu tidak bisa diterima begitu saja. Seharusnya keluarga pasien dan pihak rumah sakit dapat duduk bersama-sama untuk melakukan negosiasi mengenai biaya pengobatan pasien. Undang-undang yang tertulis dalam KUHP hanya melihat dari sisi dokter sebagai pelaku utama euthanasia, khususnya euthanasia aktif dan dianggap sebagai pembunuhan berencana, atau dengan sengaja menghilangkan nyawa seseorang. Sehingga dalam aspek hukum, dokter selalu pada pihak yang dipersalahkan dalam tindakan euthanasia, tanpa melihat latar belakang dilakukannya euthanasia tersebut, tidak peduli apakah tindakan tersebut atas permintaan pasien itu sendiri atau keluarganya, untuk mengurangi penderitaan pasien dalam keadaan sekarat atau rasa sakit yang sangat hebat yang belum diketahui pengobatannya. Di lain pihak, hakim dapat menjatuhkan pidana mati bagi seseorang yang masih segar bugar yang tentunya masih ingin hidup, dan tidak menghendaki kematiannya seperti pasien yang sangat menderita tersebut, tanpa dijerat pasalpasal dalam undang-undang dalam KUHP.

10 Kemudian SK PB IDI no.336/pb/4/88 mengenai Pernyataan Dokter Indonesia tentang Mati. Sayangnya SKPB IDI ini tidak atau belum tersosialisasikan dengan baik di kalangan IDI ( Ikatan Dokter Indonesia) sendiri maupun di kalangan pengelola rumah sakit. Sehingga, tiap dokter dan rumah sakit masih memiliki pandangan dan kebijakan yang berlainan. 69 Pada prinsipnya, hak untuk hidup merupakan hak fundamental atau hak asasi dari setiap manusia. Konstitusi kita yakni UUD 1945 melindungi hak untuk hidup ini dalam Pasal 28A UUD 1945 yang menyebutkan bahwa setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya. Jika dikaitkan dengan pasal 28 A UUD 1945, tentu saja euthanasia dilarang terjadi di Negara kita. Namun walaupun demikian masih banyak praktek euthanasia yang masih tidak tersentuh oleh hukum. Pengaturan euthanasia sendiri terdapat dalam pasal 344 KUHP yang menyatakan bahwa : Barang siapa yang menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang disebutkannya dengan nyata dan dengan sungguh-sungguh dihukum penjara selama-lamanya 12 tahun. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mengisyaratkan kepada kalangan medis bahwa bahwa perbuatan euthanasia adalah perbuatan yang melanggar hukum dan dapat diancam dengan pidana. Hal tersebut dapat dilihat dalam pasal 344 KUHP tersebut. ada 3 (tiga) pokok permasalahan dalam hukum pidana yaitu tentang perbuatan yang dilarang, orang yang melakukan perbuatan yang dilarang tersebut, dan adanya ancaman pidana, untuk menelaah perbuatan euthanasia 69 Aspek Hukum dalam Pelaksanaan Euthanasia di Indonesia diakses tanggal 2 April 2012

11 masuk kedalam perbuatan pidana harus mengacu pada tiga pokok permasalahan diatas. Jika dilihat dari pasal 344 KUHP tersebut, euthanasia yang diatur merupakan euthanasia yang sifatnya aktif dan sukarela. Maksudnya, permintaan untuk melakukan euthanasia itu sendiri berasal dari orang atau si pasien tersebut dan dinyatakan dengan sungguh-sungguh sehingga dalam prakteknya, pasal 344 KUHP ini sulit diterapkan untuk menyaring perbuatan euthanasia sebagai perbuatan pidana sebab euthanasia yang sering terjadi di Negara ini adalah jenis euthanasia pasif seperti memulangkan pasien yang dalam keadaan sekarat atau tidak melakukan tindakan medis apapun terhadap pasien yang dalam keadaan sekarat atau koma karena si dokter berpikir tidak ada gunanya lagi memberikan pengobatan terhadap si pasien tersebut. 70 Sedangkan pengaturan pasal 344 KUHP yang ada mengatur euthanasia aktif dan sukarela. Tidak dirumuskan bentuk euthanasia pasif, oleh karena kedokteran dan masyarakat tidak menganggap hal itu sebagai perbuatan anti sosial. Meskipun ada kata-kata atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati. Namun walaupun demikian untuk mencegah kemungkinan yang tidak dikehendaki, misalnya oleh si pembuat justru diciptakan suatu keadaan yang demikian rupa sehingga timbul permintaan untuk merampas nyawa dari orang yang bersangkutan. Ancaman pidana disini tidak ditujukan terhadap kehidupan 70 Hasil wawancara Dr.Linda Zahara,dokter umum disalah satu rumah sakit umum, pada hari Minggu 20 Mei 2012, pukul 20.00wib

12 seseorang, melainkan ditujukan terhadap penghormatan kehidupan manusia pada umumnya, Meskipun dalam kondisi pasal ini, orang tersebut sangat menderita baik secara fisik maupun secara rohani. Jadi motif dari si pembuat tidaklah ada hubungannya (relevan) untuk dipertimbangkan disini. 71 Pengaturan tentang euthanasia pada dasarnya belum ada diatur secara khusus dan lebih rinci dalam Kitab Undang-Undang hukum Pidana Indonesia. Namun pasal 344 KUHP inilah yang dianggap mendekati perbuatan euthanasia tersebut. perbuatan euthanasia sendiripun jarang sampai dibawa ke pengadilan. Hal tersebut dikarenakan sulitnya pembuktian untuk menjerat kasus euthanasia tersebut sebagai perbuatan/tindak pidana. Oleh karena itu penerapan terhadap pasal 344 KUHP tersebut belum begitu efektif. Selain itu, dalam pengaturan pasal 344 KUHP euthanasia yang dilarang adalah jenis euthanasia aktif. Hal itu dikarenakan pada jenis euthanasia aktif dokter mengambil peranan yang cukup aktif dan penting untuk mempercepat proses kematian pasien oleh karena itu pasal 344 KUHP ini dianggap pengaturan terhadap euthanasia aktif. Sedangkan dalam prakteknya perbuatan euthanasia baik aktif maupun pasif jarang sampai pada tahap pengadilan, hal tersebut dikarenakan sulitnya bagi jaksa untuk melakukan pembuktian. Selain itu perbuatan euthanasia yang sering dilakukan di kalangan masyarakat sendiri adalah euthanasia pasif sehingga penerapan ketentuan pasal 344 KUHP tidak menjangkau pada pebuatan euthanasia pasif tersebut. 71 Leden Marpaung,2000,Tindak Pidana Terhadap Nyawa Dan Tubuh,Sinar Grafika,Jakarta,hal 45

13 BAB IV KEBIJAKAN HUKUM PIDANA INDONESIA TENTANG EUTHANASIA PASIF 1. Perkembangan Euthanasia Pasif di Indonesia Euthanasia merupakan kasus yang kontroversial yang masih banyak diperdebatkan oleh berbagai pihak. Banyaknya gejolak permasalahan yang dihadapi tak hayal membuat berbagai pihak merasa bigung apakah euthanasia diperbolehkan atau tidak. Jika melihat penjelasan di awal tentang euthanasia sendiri, banyak pro dan kontra terhadap pelaksanaan euthanasia. Apalagi jika tindakan yang dilakukan adalah euthanasia aktif. Banyak kalangan yang mengecam tindakan tersebut karena menganggap euthanasia aktif merupakan perbuatan yang sangat kejam dan tak bermoral. Beda halnya dengan euthanasia pasif. Dalam dunia kedokteran atau dunia medis sendiri, tanpa disadari sudah banyak masyarakat melakukan tindakan euthanasia pasif ini. Yang dimaksud dengan euthanasia pasif adalah tindakan yang dilakukan dimana dokter atau tenaga kesehatan lain secara sengaja tidak (lagi) memberikan bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup si pasien Dr.Ari Yunanto,Op.cit,hal58

14 Istilah euthanasia ini merupakan istilah yang tabu (jarang) didengar di masyarakat sendiri. Namun dalam prakteknya euthanasia pasif ini sudah sering terjadi di masyarakat Indonesia. Perbuatan euthanasia pasif ini terjadi tanpa disadari oleh pasien yang menderita suatu penyakit dimana dokter ataupun tenaga medis telah berupaya semampunya untuk menyembuhkan penyakit si pasien namun tidak memberikan kesembuhan bagi si pasien sehingga orang yang bertanggung jawab kepada pasien meminta dokter untuk menghentikan tindakan medis. Atau dalam dokter sudah berupaya semampunya untuk menyembuhkan si pasien namun tidak membuahkan hasil sehingga sehingga dokter tidak melakukan upaya untuk kesembuhan si pasien sehingga si pasien dibiarkan bergantung pada alat-alat kedokteran untuk menopang kehidupannya. Biasanya, ini dilakukan jika si pasien dalam keadaan comma (tidak sadarkan diri) untuk jangka waktu yang lama. Atau dapat juga jika si pasien menderita suatu penyakit stadium akhir yang tidak bisa untuk disembuhkan lagi dan si pasien meminta kepada di dokter untuk menghentikan atau tidak melakukan perbuatan medis kepadanya. Tak hayal dalam situasi seperti ini baik pasien sendiri meminta hak menentukan nasib sendiri atau orang yang bertanggung jawab terhadap pasien tersebut seperti keluarga si pasien tersebut memohon kepada dokter untuk melakukan tindakan euthanasia pasif.

15 Hak untuk menentukan nasib sendiri yang juga disebut the right to selfdetermination adalah hak atas keamanan pribadi yang menyangkut mengenai hidup, bagian tubuh, kesehatan, kehormatan, serta hak atas kebebasan pribadi 73 Dalam masyarakat demokratis belum terdapat adanya satu kesatuan pendapat mengenai batasan ruang lingkup fungsi manusia sebagai individu dalam mencapai tujuannya dalam hidup bermasyarakat. 74 Memang tak dapat disangkal bahwa dalam masyarakat yang berwatak kolektivitas tidak sama luas lingkup hak dasar ini dibanding dengan apa yang berlaku bagi warga Negara masyarakat yang individualitas. Jadi, dapat disimpulkan disini otonomi manusia merupakan fundamen eksistensinya sebagaimana yang tercantum dalam deklarasi internasional hak-hak asasi manusia. Dengan kata lain, hak menentukan nasib sendiri sebagai salah satu hak asasi manusia diperoleh karena ia manusia. Hak ini asli dan murni, tidak diberikan kepada manusia oleh negara atau masyarakat, sekalipun tidak tertutup kemungkinan bahwa dalam Negara dan masyarakat terdapat pembatasan-pembatasan tertentu terhadap hak-hak asasi manusia. 75 Apabila ditinjau dari segi pendekatan yuridis sosiologis dan dikaitkan dengan hak untuk menentukan nasib sendiri maka jelas bahwa dalam instansi terakhir manusia sebagai individu mempunyai hak untuk menentukan hari depan bagi dirinya. Hak untuk menentukan nasib sendiri itu baru mempunyai efek apabila manusia sebagai individu mendapat kesempatan secara mandiri untuk 73 Hermien Hadiati Koeswadji,1984,Hukum dan Masalah Medik,Airlangga University Press,Surabaya,hal Ibid 75 Freddy Tengker,Op.cit,hal 53

16 bebas dan atas tanggung jawab sendiri memutuskan apa yang menjadi tujuan hidupnya dan untuk memenuhi tujuan hidupnya. 76 Namun jika dilihat dari pendekatan filosofis terhadap hak menetukan nasib sendiri bertolak dari pemikiran bahwa manusia mempunyai kebebasan dan otonomi untuk menentukan kehendaknya sendiri. 77 Apabila kembali pada pemasalahan hak untuk menentukan nasib sendiri yang lahir dari hubungan antara pasien dan dokter yang merupakan suatu fase dimana tidak perlu diragukan lagi bahwa setiap gangguan terhadap individualitas seseorang yang memerlukan bantuan medis, pengakuan kedewasaan terhadap siapa yang diberi pertolongan medis tersebut merupakan kesempatan yang selalu ada (terbuka). Disamping itu harus juga dipertimbangkan bahwa pasien bebas untuk menyerahkan semua keputusan yang seharusnya diputuskan olehnya itu kepada dokternya, bila dokter tersebut juga menyetujuinya. Dari hubungan kepercayaan yang tibul antara dokter dan pasien yang seperti itu mungkin saja keadaan semacam itu tumbuh dan berkembang setidak-tidaknya kenyataan dalam masyarakat menunjukkan bahwa kebanyakan pasien menyerahkan hal tersebut kepada dokter begitu saja tanpa alasan-alasan mengapa hal itu dilakukan. 78 Sering kali pasien menjadi objek bagi sesuatu yang seharusnya diputuskan berdasarkan alasan-alasan yang semi ilmiah tanpa menyadari apa motif dan konsekuensi dari keputusan yang diambilnya itu, bahkan tanpa adanya kesempatan baginya untuk ikut serta memikirkan alternatif serta resiko apa yang 76 Hermien Hadiati Koeswadji, Op.cit hal Freddy Tengker,Loc.cit 78 Hermien Hadiati,Op.cit hal 54-55

17 mungkin dihadapinya untuk dipertimbangkan. Pasien seharusnya mendapatkan informasi untuk dapat dipergunakan sebagai bahan dalam memepertimbangkan dan kemudian memutuskan segala sesuatu yang menyangkut kepentingannya. Dalam kenyataannya dokter dan pasien melihat suatu keadaan yang nyata dalam sudut pandang yang berbeda. Apabila cara pendekatan dari kedua belah pihak dapat dipertemukan, sehingga merupakan suatu keputusan yang bertolak dari suatu prinsip yaitu untuk kepentingan si pasien. Dokter melakukan apa yang seharusnya ia lakukan untuk penyakit si pasien dengan segala upaya perawatanperawatan medis yang menurutnya sudah merupakan upaya optimal yang dimilikinya. 79 Dalam hal demikian, sebenarnya pasien sendirilah yang paling dapat menentukan, karena pasien tersebutlah yang merasakan rasa sakit yang dideritanya. Setelah dipertimbangkannya dengan dokter barulah ia dapat memutuskan tindakan ato langkah apa yang akan dilakukan terhadap dirinya setelah memepertimbangkan segala kerugian dan resiko yang akan dialaminya. Pasienlah satu-satunya orang yang dapat memberikan dan mengambil keputusan terakhir sehingga dengan demikian dia perlu dan berhak atas informasi akan segala sesuatu yang berhubungan dengan penyakitnya sehingga pada akhirnya ia dapat mengambil keputusan yang tepat. Mungkin saja pertimbangan dari segi kepentingan pasien akan berbeda, atau bahkan bertentangan dengan pertimbangan objektif dari segi analisa medis dokter. Untuk itu pasien juga harus mengetahui 79 Ibid

18 batas-batas kemampuan dokter ditinjau dari segi ilmu kedokteran, karena dokterpun manusia yang mungkin juga dapat membuat kesalahan (analisa). 80 Dengan demikian agar dokter dapat menganggap pasien tersebut sebagai bagian daripadanya dan dengan demikian dapat pula menempatkan dirinya dalam keadaan dan kedudukannya sehingga akhirnya dapat diajak bersama-sama untuk mencari jalan keluar dalam mengatasi permasalahannya. Hal ini tidak harus diartikan bahwa setiap perkembangan diagnosa yang dilakukan oleh dokter harus diberitahukan kepada si pasien. Karena hal itu akan mengakibatkan gangguan psikis terhadap si pasien tersebut dalam hal menentukan nasib sendiri yang harus dipikirkannya secara dewasa tanpa ada timbulnya keragu-raguan. Dengan demikian maka hak untuk menentukan nasib sendiri mengharuskan adanya hak atas informasi. Hak untuk menentukan nasib sendiri baru dapat terlaksana jika si pasien dapat memperoleh informasi yang berhubungan langsung dengan kepentingan jasmani dan rohaninya. Hak untuk menentukan nasib sendiri inilah yang biasanya menjadi alasan bagi si pasien untuk meminta kepada dokter agar pengobatan terhadap dirinya tidak dilakukan lagi. Namun walaupun demikian dokter tidak dapat langsung menyetujui keinginan si pasien tersebut. Terlebih dahulu dokter harus menjelaskan informasi yang berhubungan dengan sakit yang diderita si pasien. Begitu juga halnya jika dalam pengambilan keputusan medis dilakukan oleh orang yang bertanggung jawab terhadap pasien tersebut. Tentu saja tidak 80 Ibid

19 mudah mengambil suatu keputusan dimana keputusan tersebut menyangkut nyawa orang lain. Tentu saja dihadapkan dilema yang sangat besar. Segala usaha telah dilakukan untuk menyembuhkan si pasien dan dokter telah berupaya semampunya untuk melakukan tindakan-tindakan yang terbaik terhadap si pasien namun hal itu tidak membantu memberikan penyembuhan kepada si pasien. 2. Beberapa Contoh Perbuatan yang Dikategorikan sebagai Euthanasia Pasif Seperti yang dikemukakan di atas tadi, bahwa tanpa disadari banyak masyarakat sudah melakukan euthanasia pasif ini. Namun terkadang mereka tidak menyadari telah melakukan euthanasia pasif tersebut. Seperti halnya yang dilakukan oleh keluarga Bapak Yoe Anto terhadap orang tua perempuan (ibu) yang pada saat itu mengalami suatu penyakit yang merupakan efek dari penyakit ibunya yang sebelumnya. Dimana pada saat itu ibunya menginap penyakit cancer serviks (kanker mulut rahim) yang pada saat itu sudah stadium akhir. Banyak usaha yang sudah dilakukan keluarganya dari mulai berobat kerumah sakit terbaik yang ada di Medan hingga kerumah sakit yang ada di luar negri. Setelah berusaha melakukan pengobatan yang terbaik untuk ibunya akhirnya penyakit tersebut dapat disembuhkan. Namun beberapa tahun kemudian orang tua perempuan dari ibu Yoe Anto kembali mengalami penyakit sehingga perlu dilakukan pengobatan kembali. Awalnya dokter di Medan tidak menemukan apa sebab penyakit yang diderita. Tidak puas dengan hasil yang diberikan dokter akhirnya keluarga memutuskan untuk memberikan pengobatan keluar negri. Setelah diperiksa, orang tua operempuan dari Bapak Yoe Anto tersebut menderita

20 kebocoran lambung yang disebabkan dari efek pengobatan yang dilakukan terhadap penyakit ibunya yang sebelumnya. Makin hari makin lama kondisi ibunya menurun dan pihak dokter sudah memvonis bahwa umur ibunya sudah tidak lama lagi. Setelah melakukan diskusi yang sangat panjang antara pihak keluarga dengan si dokter diambil suatu keputusan untuk tidak lagi memberikan pengobatan kepada ibunya dengan beberapa pertimbangan seperti pengobatan yang dilakukan tidak memberikan kesembuhan kepada si pasien, menyiksa si pasien yang terus menerus diberikan pengobatan sedangkan tubuhnya tidak sanggup lagi menerima pengobatan tersebut. Akhirnya si pasien dibawa pulang kembali ke Medan dengan surat rekomendasi dari dokter. 81 Tindakan yang diambil oleh keluarga Bapak Yoe Anto tersebut tanpa disadari merupakan tindakan euthanasia pasif. Hal itu seperti yang dikemukakan oleh Dr.Linda Zahara Khairiza yang menyatakan bahwa salah satu bentuk dari euthanasia pasif adalah dengan mengizinkan pasien yang tidak bisa disembuhkan lagi untuk dipulangkan ke rumah si pasien. 82 Tindakan yang dilakukan oleh keluarga Bapak Yoe Anto tersebut sangat sering terjadi di masyarakat kita. Tak jarang hal itu merupakan keputusan akhir yang harus diambil bagi si pasien dengan beberpa alasan seperti pengobatan yang dilakukan tidak memberikan kesembuhan bagi si pasien justru akan menyiksa tubuh si pasien. Selain itu keputusan untuk memulangkan si pasien juga terjadi 81 Hasil Wawancara dengan Bapak Yoe Anto, pada hari Selasa tanggal 22 Mei 2012, pukul 18.30wib 82 Hasil wawancara dengan Dr.Linda Zahara,dokter umum disalah satu rumah sakit umum, pada hari Minggu 20 Mei 2012, pukul 20.00wib

21 berdasarkan keputusan dari si pasien tersendiri seperti yang diungkapkan oleh Eintin yang salah satu anggota keluarganya mengalami penyakit cancer. Dokter juga sudah memvonis bahwa penyakitnya tidak bisa disembuhkan lagi karena sudah sampe stadium akhir dan si pasien telat melakukan pengobatan. Setelah mengetahui hasil vonis dari dokter tersebut si pasien meminta kepada si dokter untuk tidak melakukan pengobatan lagi karena akan membuatnya tersiksa. Setelah melakukan perundingan dan diberikan beberapa pandangan-pandangan oleh dokter bahwa keputusan yang diambil itu merupakan keputusan yang sadar dan bukan keputusan yang diambil karena emosi sesaat si pasien dan keluarga, maka tetap pada pendirian untuk tidak melakukan pengobatan lagi. Dengan alasan bahwa si pasien mau mengunakan sisa hidupnya untuk berkumpul bersama keluarga dan meningkatkan kehidupan kerohaniannya kepada Tuhan. 83 Lain halnya dengan yang dilakukan oleh keluarga bapak Atan yang salah satu anggota keluarganya yang mengidap suatu penyakit parah. Setelah dilakukan beberapa upaya pengobatan bagi si pasien namun tetap juga tidak ada hasil ataupun kemajuan yang ditunjukkan terhadap pengobatan yang dilakukan maka keluarga pasien memutuskan untuk tidak memberikan pengobatan lagi kepada pasien dengan alasan tidak memiliki biaya lagi. 84 Hal itu seperti juga yang dikemukan oleh Dr Kartika br Karo yang mengatakan bahwa setelah semua usaha telah dilakukan baik dari pasien ataupun keluarga pasien dan dokter tidak menunjukkan adanya peningkatan terhadap kesembuhan si pasien sementara biaya 83 Hasil wawancara dengan Ibu Eintin, pada hari Selasa, 22 Mei 2012, pukul 13.00wib 84 Hasil wawancara dengan Bapak Atan, pada hari Senin, 21 Mei 2012, pukul 20.00wib

22 yang dikeluarkan semakin tinggi, pihak keluarga meminta untuk menghentikan semua penunjang kehidupan bagi pasien dan hal inilah yang sering terjadi. 85 Dari beberapa kasus yang sering diatas, masih banyak lagi kasus-kasus euthanasia pasif yang sangat sering terjadi masyarakat kita. Banyak faktor-faktor yang menyebabkan pasien, keluarga pasien ataupun pihak dokter sendiri mengambil tindakan euthanasia pasif. Beberapa diantaranya seperti yang dialami oleh Bapak Yoe Anto, Ibu Eintin dan Bapak Atan yang sangat sering terjadi di praktik kehidupan masyarakat kita. Beberapa perbuatan yang bisa dikategorikan sebagai perbuatan euthanasia pasif diantaranya yaitu : 1. Memulangkan pasien dengan alasan pengobatan yang dilakukan tidak berguna lagi bagi kesembuhan pasien 2. Memulangkan pasien dengan alasan si pasien menolak menerima pengobatan yang dilakukan oleh pihak dokter 3. Memulangkan pasien dengan alasan pasien ingin disisa waktunya untuk berkumpul bersama keluarga dan meningkatkan kerohaniannya kepada Tuhan 4. Menghentikan pengobatan kepada pasien dengan alasan tidak memiliki biaya lagi 5. Menghentikan pengobatan si pasien dengan alasan bahwa si pasien tersiksa luar biasa dengan penyakitnya tersebut dan sudah tidak ada 85 Hasil wawancara dengan Dr.Kartika br Karo, Salah seorang dokter di RS Columbia Asia/RMO,pada hari Rabu 09 Mei 2012

23 harapan untuk kesembuhannya dan permintaan itu berasal dari pasien ataupun orang yang bertanggung jawab terhadap pasien tersebut seperti keluarga terdekat dari pasien tersebut 6. Membiarkan pasien tanpa melakukan pengobatan-pengobatan dengan alasan pengobatan yang dilakukan tidak memberikan penyembuhan bagi si pasien dan penghentian pengobatan tersebut atas ppersetujuan dari orang yang bertanggung jawab terhadap pasien tersebut seperti keluarga terdekat pasien tersebut Hal-hal tersebut diatas beberapa perbuatan-perbuatan yang dikatakan euthanasia pasif yang sering terjadi di tengah-tengah masyarakat kita. Menurut para pemuka agama, tentu saja permintaan untuk melakukan euthanasia dilarang. Hal itu dikarenakan mencabut nyawa seseorang walaupun atas izin dari orang tersebut merupakan perbuatan yang mendahului kehendak Tuhan. Hal itu dapat ditarik kesimpulan dari beberapa pemua agama dimana semua masalah yang terjadi di dalam hidup baik berupa sakit penyakit terlebih dahulu melakukan usaha untuk menyembuhkannya. Manusia diberi kemampuan untuk mengupayakan segala usaha untuk penyembuhan terhadap penyakitnya. Karena urusan kematian merupakan kehendak Tuhan. Manusia hanya boleh berusaha dan berusaha untuk melakukan segala upaya untuk menyembuhkan penyakitnya Hasil wawancara dengan Ibu Drs Zakiah pada hari Kamis tanggal 18 Mei 2012

24 Dalam pandangan agama manapun perbuatan euthanasia tersebut dilarang baik dalam ajaran agama Islam maupun Kristen. Namun ada saat-saat dimana pengobatan yang dilakukan harus dihentikan jika dalam hal pasien yang tidak sadarkan diri dan sudah mendekati ajalnya dalam hal ini biasanya dokter mengetahui jika seorang pasien sudah mendekati ajalnya 87 datang 3. Kebijakan hukum Pidana tentang Euthanasia Pasif saat ini dan yang akan Munculnya pro dan kontra seputar masalah euthanasia menjadi beban tersendiri bagi komunitas hukum. Sebab, pada persoalan legalitas inilah persoalan legalitas akan bermuara. Kejelasan tentang sejauh mana hukum pidana positif memberikan pengaturan terhadap persoalan euthanasia akan sangat membantu masyarakat. Secara yuridis, dalam hukum positif di Indonesia hanya dikenal satu bentuk euthanasia yang dilakukan atas permintaan pasien/korban itu sendiri (voluntary euthanasia) yaitu yang diatur dalam Pasal 344 KUHP yang menyatakan bahwa Barang siapa yang menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang disebutkannya dengan nyata dan dengan sungguh-sungguh dihukum penjara selama-lamanya 12 tahun Dari pasal 344 KUHP diatas dapat disimpulkan bahwa pembunuhan atas permintaan si pasien tersebut tetap diancam pidana bagi pelakunya. Dengan 87 Hasil wawancara dengan Ust Fauzi Rahman dan Pdt Arif Bangun

25 demikian, dalam konteks hukum hukum positif di Indonesia tidak dimungkinkan dilakukan pengakhiran hidup seseorang sekalipun atas permintaan orang itu sendiri. Perbuatan tersebut tetap dikatakan sebagai tindak pidana yaitu sebagai perbuatan yang diancam dengan pidana bagi siapa yang melakukannya. Namun dalam pasal 344 KUHP ini juga tidak bisa menyaring perbuatan euthanasia termasuk dalam tindak pidana hal itu dikarenakan perbuatan euthanasia yang sering terjadi di Indonesia adalah euthanasia pasif. Namun walaupun demikian tetap saja euthanasia pasif masih sering terjadi di Negara kita dengan berbagai alasan-alasan maupun pertimbangan-pertimbangan yang berasal dari pasien ataupun keluarga pasien dan bisa berasal dari dokter tersebut. Keputusan-keputusan tersebut juga diambil berdasarkan pemikiran yang betul-betul dianggap yang terbaik bagi si pasien. Susahnya perbuatan euthanasia pasif dibawa ke pengadilan dikarenakan euthanasia pasif tersebut dilakukan atas permintaan dan pasien sendiri ataupun dari orang yang bertanggung jawab atas pasien tersebut. Hal itu disebabkan adanya hak untuk menentukan nasib sendiri yang dipegang oleh si pasien dan hak tersebut tidak dapat dihindari baik oleh dokter sekalipun. Karena dalam melakukan tindakan medis baik oleh dokter maupun rumah sakit sendiri harus meminta ijin kepada si pasien tersbut ataupun kepada orang yang bertanggung jawab kepada pasien tersebut. Apabila dalam hal ini si pasien ataupun orang yang bertanggung jawab menolak untuk melakukan tindakan medis tentu saja itu diluar kemampuan dokter ataupun rumah sakit. Namun terlebih

26 dahulu baik dokter ataupun pihak medis memberikan informasi mengenai penyakit yang diderita si pasien. Pengaturan tentang euthanasia pasif ini belum begitu jelas pengaturannya. Pengaturan terhadap euthanasia sendiri hanya dikenal yaitu pada pasal 344 KUHP dimana pada pasal tersebut lebih mengatur kepada euthanasia aktif. Yang jika dibandingkan dengan yang terjadi di Indonesia perbuatan yang sering dilakukan adalah euthanasia pasif. Dalam pembentukan RUU KUHP tahun 2010 juga belum terdapat pengaturan terhadap euthanasia pasif yang lebih spesifik masih mengatur euthanasia secara umum.

27 BAB V PENUTUP 1. Kesimpulan Dari penulisan skripsi ini dapat ditarik kesimpulan yaitu : a. Perkembangan euthanasia dewasa ini terus berkembang dikalangan masyarakat sendiri. Ada beberapa pengertian untuk mendeskripsikan apa itu euthanasia, namun pada dasarnya yang dimaksud dengan euthanasia itu adalah sebuah tindakan yang dilakukan untuk mengakhiri penderitaan pasien yang disebabkan oleh penyakit yang dideritanya dengan jalan kematian yang tenang tanpa adanya penderitaan terhadap si pasien tersebut. Tindakan yang dilakukan tersebut dapat berupa tindakan langsung ataupun tindakan tidak langsung. Tindakan langsung dapat berupa pemberian morfin (penghilang rasa sakit) menghilangkan rasa sakit yang menyebabkan si pasien menderita dalam dosis yang berlebihan yang dapat menyebabkan si pasien meninggal dunia. Sedangkan perbuatan tidak langsung adalah pasien yang dalam keadaan comma yang oleh dokter tidak dilakukan upaya penyembuhan kepada si pasien. Dokter membiarkan pasien yang hanya bertahan dengan menggunakan alat bantu penunjang kehidupannya dan apabila terjadi kematian, kematian tersebut terjadi dengan sendirinya tanpa ada campur tangan dokter didalamnya.

28 Biasanya perbuatan euthanasia ini atas permintaan dari si pasien sendiri ataupun dari orang yang bertanggung jawab atas pasien tersebut. Permintaan yang diminta oleh si pasien atas dasar adanya hak untuk menentukan nasib sendiri yang diberikan kepada pasien dalam melakukan tindakan medis. Baik pihak dokter ataupun pihak rumah sakit harus menghormati hak untuk menentukan nasib sendiri ini karena dalam melakukan setiap tindakan medis seorang dokter harus memberitahukan terlebih dahulu kepada si pasien atau orang yang bertanggung jawab kepada si pasien dan jika disetujui maka tindakan medis tersebut dapat dilakukan begitu juga sebaliknya. Euthanasia ini juga dibagi-bagi menurut cara melaksanakannya, dari sudut pemintaannya, dan ada juga beberapa pendapat beberapa ahli yang membagi jenis-jenis euthanasia tersebut. Namun pada umumnya euthanasia tersebut dibagi dalam 2 jenis. Pertama adalah euthanasia aktif yaitu tindakan yang sengaja dilakukan oleh dokter atau tenaga medis untuk memperpendek hidup pasien. Sedangkan jenis euthanasia yang kedua adalah euthanasia pasif yaitu dimana dokter atau tenaga medis secara sengaja tidak lagi memberikan bantuan medis untuk memperpanjang kehidupan pasien. Adapun perbedaan dari kedua jenis euthanasia ini adalah terletak dari peran dokter dalam melakukan tindakan medis terhadap pasien. Didalam euthanasia aktif peran dokter sangat aktif dalam memperpendek umur si pasien walaupun tindakan tersebut atas sepengetahuan dari pasien ataupun

29 orang yang bertanggung jawab terhadap pasien tersebut. sedangkan dalam euthanasia pasif, dokter tidak berperan langsung dalam memperpendek umur si pasien misalnya pasien yang dalam keadaan comma dokter tidak membuat agar si pasien tersebut sadar dari commanya, dokter membiarkan pasien bergantung pada alat-alat yang melekat di tubuh pasien yang menunjang kehidupannya, atau pasien yang divonis dokter yang hidupnya tidak akan lama lagi karena suatu penyakit atas permintaan si pasien agar dokter tidak melakukan tindakan medis apa-apa atau mengijinkan si pasien untuk pulang kerumah dan berkumpul bersama keluarganya merupakan salah satu contoh dari euthanasia pasif. Tindakan euthanasia ini juga dikenal di berbagai Negara. Ada Negara yang sudah melegalkan perbuatan euthanasia ini seperti halnya di Belanda dan Swiss. Sedangkan Negara yang tidak menyetujui perbuatan euthanasia ini dilakukan seperti halnya Indonesia. Masyarakat lebih sering menggunakan euthanasia pasif dibanding dengan euthanasia aktif. Hal ini dipandang bahwa euthanasia pasif merupakan tindakan terakhir yang dilakukan setelah semua usaha dan upaya untuk kesembuhan pasien sudah dilakukan, Selain itu masyarakat lebih memandang kalau euthanasia pasif lebih manusiawi dan dapat dilakukan dibanding dengan euthanasia aktif. Selain itu euthanasia pasif juga dipandang dapat meringankan penderitaan yang dialami si pasien yang sakit dan dapat juga meringankan beban keluarga misalnya dalam hal biaya pengobatan bagi si pasien.

30 b. Kebijakan hukum pidana tentang pengaturan euthanasia itu sendiri belum jelas. Hal itu disebabkan juga karena sulitnya pembuktian yang dilakukan terhadap euthanasia ini. karena pada dasarnya tindakan euthanasia tersebut dilakukan atas permintaan oleh si pasien tersebut ataupun orang yang bertanggung jawab atas pasien tersebut. Namun walaupun demikian harus ada suatu pengaturan yang memberi kepastian hukum terhadap perbuatan euthanasia ini agar tidak disalah gunakan oleh orang-orang tertentu. Adapun pengaturan yang mendekati perbuatan euthanasia ini adalah pasal 344 KUHP yang menyatakan Barang siapa yang menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang disebutkan dengan nyata dan dengan sungguh-sungguh dihukum penjara selama-lamanya dua belas tahun. Namun tentunya pengaturan ini juga memiliki suatu kelemahan dimana pasal ini lebih mengatur terhadap euthanasia aktif sedangkan di kalangan masyarakat dan dokter sendiri euthanasia pasiflah yang sering terjadi. Dalam RUU KUHP tahun 2010 juga belum ditegaskan pengaturan tentang euthanasia. Namun terdapat perubahan-perubahan dalam RUU KUHP tahun 2010 misalnya dalam hal jangka waktu pemidanaan. c. Kebijakan Hukum pidana tentang euthanasia pasif juga belum ada pengaturannya. Didalam hukum pidana Indonesia yang mengatur masalah euthanasia adalah pasal 344 KUHP. Namun, pada pasal itu lebih mendiskripsikan pengaturan euthanasia aktif, sedangkan dalam prakteknya euthanasia pasif yang lebih sering terjadi di kalangan masyarakat. Salah

31 satu yang mungkin menjadi dasar belum diaturnya pengaturan mengenai euthanasia pasif ini adalah karena dikalangan masyarakat perbuatan ataupun tindakan euthanasia pasif ini masih lebih manusiawi dibanding dengan euthanasia aktif. Disatu sisi dilakukannya euthanasia pasif ini atas permintaan pasien sendiri yang tidak tahan atas sakit yang dideritanya ataupun karena karena pasien tersebut sudah mengetahui vonis dokter yang umurnya tidak akan lama lagi lebih menginginkan untuk berkumpul bersama keluarganya dan meningkatkan kerohaniannya kepada Tuhan. Selain itu di satu sisi juga permintaan euthanasia pasif ini diminta juga oleh keluarga pasien dikarenakan biaya rumah sakit yang begitu tinggi. 2. Saran Adapun saran yang diharapkan pada penulisan skripsi ini adalah : a. Perlu adanya perhatian pemerintah yang lebih lagi terhadap perkembangan euthanasia ini. Perhatian tersebut dapat berupa pengaturan yang lebih jelas dan lebih rinci lagi terhadap euthanasia ini. b. Selain itu pemerintah lebih lagi memberikan bantuan berupa peringanan dana terhadap masyarakat dari golongan yang kurang mampu agar biaya bukan merupakan alasan dilakukannya euthanasia. c. Jika memang euthanasia pasif merupakan keputusan yang harus diambil maka seharusnya ada beberapa syarat-syarat yang harus diberikan terhadap pasien ataupun orang yang bertanggung jawab terhadap pasien tersebut jika akan melakukan euthanasia khususnya euthanasia pasif. Beberapa persyaratan itu misalnya:

32 1. Jika pasien yang menderita suatu penyakit dan di vonis dokter hidupnya tidak akan bertahan lama maka tindakan euthanasia terutama euthanasia pasif diminta oleh pasien yang bersangkutan bukan oleh keluarganya. 2. Permintaan itu dilakukan jika memang dokter sendiri telah melakukan segala upaya dan usaha untuk menyembuhkan penyakit yang diderita pasien namun penyakit tersebut tidak dapat sembuh dan sudah ada vonis dokter kalau hidupnya tidak akan lama lagi. 3. Permintaan itu dilakukan karena tubuh pasien tidak sanggup lagi menerima segala pengobatan yang akan dilakukan dan akan beresiko pada organ-organ tubuh yang lainnya 4. Permintaan yang dilakukan oleh pasien tersebut juga atas persetujuan anggota keluarganya setelah diberi beberapa pandangan ataupun dampak positif atau negatif dari pengambilan keputusan tersebut 5. Harus jelas apa alasan permintaan tersebut dilakukan, bukan karena paksaan atau karena putus asa atau karena adanya motif-motif lain yang berhubungan terhadap pengambilan keputusan itu 6. Dokter dapat menolak permintaan dilakukannya euthanasia pasif tersebut jika dokter merasa alasan-alasan yang diberikan oleh pasien atau orang yang bertanggung jawab atas pasien tersebut tidak sesuai dengan kenyataan. 7. Jika dalam kondisi pasien tidak sadarkan diri oleh karena itu pengambilan keputusan tersebut dilakukan oleh kerabat terdekat pasien tersebut dan ada

33 pernyataan tertulis bahwa permintaan tersebut memang disetujui oleh kerabat terdekat pasien 8. Diharapkan juga dalam pengambilan ketusan tersebut pasien ataupun orang yang bertanggung jawab kepada pasien mendengarkan pandanganpandangan dari beberapa dokter bukan hanya kepada satu dokter aja. Karena jika hanya mendengarkan hanya dari seorang dokter saja bisa terjadi salah vonis atau human error oleh karena itu diharapkan dalam pengambilan keputusan tersebut pasien ataupun orang yang bertanggung jawab terhadap pengambilan keputusan itu bertanya kepada beberapa dokter yang ahli dibidangnya.

BAB I PENDAHULUAN. kepada seluruh makhluk hidup di jagad raya ini, termasuk pula manusia yang

BAB I PENDAHULUAN. kepada seluruh makhluk hidup di jagad raya ini, termasuk pula manusia yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kematian merupakan suatu ketentuan yang telah digariskan oleh Tuhan kepada seluruh makhluk hidup di jagad raya ini, termasuk pula manusia yang telah ditentukan secara

Lebih terperinci

BAB III ANALISIS DAN KAJIAN YURIDIS MENGENAI EUTHANASIA DIPANDANG DARI SEGI HAM

BAB III ANALISIS DAN KAJIAN YURIDIS MENGENAI EUTHANASIA DIPANDANG DARI SEGI HAM BAB III ANALISIS DAN KAJIAN YURIDIS MENGENAI EUTHANASIA DIPANDANG DARI SEGI HAM 3.1 Kronologi kasus Ayah Ana Widiana Kasus berikut merupakan kasus euthanasia yang terjadi pada ayah dari Ana Widiana salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pesatnya penemuan-penemuan teknologi modern, mengakibatkan

BAB I PENDAHULUAN. Pesatnya penemuan-penemuan teknologi modern, mengakibatkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pesatnya penemuan-penemuan teknologi modern, mengakibatkan terjadinya perubahan-perubahan yang sangat cepat di dalam kehidupan sosial budaya manusia. Semua problema,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai negara berkembang tidak dapat menghindari adanya kemajuan dan perkembangan di bidang kedokteran khususnya dan bidang teknologi pada umumnya.

Lebih terperinci

EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA DAN KAITANNYA DENGAN HUKUM PIDANA

EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA DAN KAITANNYA DENGAN HUKUM PIDANA EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA DAN KAITANNYA DENGAN HUKUM PIDANA Oleh: NUR HAYATI Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonusa Esa Unggul ABSTRAK EUTHANASIA merupakan salah satu masalah etika

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang A. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara yang mengedepankan hukum seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar tahun 1945 dalam Pasal 1 ayat 3 sebagai tujuan utama mengatur negara.

Lebih terperinci

ANALISA PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA BAGI DOKTER TERHADAP KASUS EUTHANASIA DITINJAU DARI KUHP YANG BERTENTANGAN DENGAN HAK ASASI MANUSIA

ANALISA PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA BAGI DOKTER TERHADAP KASUS EUTHANASIA DITINJAU DARI KUHP YANG BERTENTANGAN DENGAN HAK ASASI MANUSIA ANALISA PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA BAGI DOKTER TERHADAP KASUS EUTHANASIA DITINJAU DARI KUHP YANG BERTENTANGAN DENGAN HAK ASASI MANUSIA Dewa Ayu Tika Pramanasari Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

BAB III PENGANIAYAAN YANG BERAKIBAT LUKA BERAT DALAM KUHP

BAB III PENGANIAYAAN YANG BERAKIBAT LUKA BERAT DALAM KUHP 40 BAB III PENGANIAYAAN YANG BERAKIBAT LUKA BERAT DALAM KUHP 1. Pengertian Penganiayaan yang berakibat luka berat Dalam Undang-Undang tidak memberikan perumusan apa yang dinamakan penganiayaan. Namun menurut

Lebih terperinci

ASPEK HUKUM EUTHANASIA. By L. Ratna Kartika Wulan

ASPEK HUKUM EUTHANASIA. By L. Ratna Kartika Wulan ASPEK HUKUM EUTHANASIA By L. Ratna Kartika Wulan POKOK BAHASAN DEFINISI PERMASALAHAN EUTHANASIA HAK UNTUK MATI PANDANGAN HKM THD EUTHANASIA JENIS EUTHANASIA PRO & KONTRA EUTHANASIA DEFINISI SECARA HARAFIAH

Lebih terperinci

PEMBUNUHAN DENGAN RENCANA DAN PASAL 340 KUHP

PEMBUNUHAN DENGAN RENCANA DAN PASAL 340 KUHP PEMBUNUHAN DENGAN RENCANA DAN PASAL 340 KUHP Oleh: Yerrico Kasworo, S.H., M.H * Naskah diterima: 8 September 2016; disetujui: 20 September 2016 Negara Indonesia adalah negara hukum yang menjunjung tinggi

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA 16 BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA A. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada zaman globalisasi dewasa ini tanpa disadari kita telah membuat nilainilai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada zaman globalisasi dewasa ini tanpa disadari kita telah membuat nilainilai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada zaman globalisasi dewasa ini tanpa disadari kita telah membuat nilainilai moral yang ada di dalam masyarakat kita semakin berkurang. Pergaulan bebas dewasa

Lebih terperinci

BAB III ANALISA HASIL PENELITIAN

BAB III ANALISA HASIL PENELITIAN BAB III ANALISA HASIL PENELITIAN A. Analisa Yuridis Malpraktik Profesi Medis Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 merumuskan banyak tindak pidana

Lebih terperinci

BAB II TANGGUNG JAWAB DOKTER YANG MELAKUKAN EUTHANASIA. A. Tanggung Jawab Dokter Menurut Profesi Medis.

BAB II TANGGUNG JAWAB DOKTER YANG MELAKUKAN EUTHANASIA. A. Tanggung Jawab Dokter Menurut Profesi Medis. BAB II TANGGUNG JAWAB DOKTER YANG MELAKUKAN EUTHANASIA A. Tanggung Jawab Dokter Menurut Profesi Medis. Pada dasawarsa ini para dokter dan petugas kesehatan lain menghadapi sejumlah masalah dalam bidang

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA. suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis

I. TINJAUAN PUSTAKA. suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis I. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. secara konstitusional terdapat dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945

BAB 1 PENDAHULUAN. secara konstitusional terdapat dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara berdasarkan atas hukum, penegasan ini secara konstitusional terdapat dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Globalisasi menyebabkan ilmu pengetahuan kian berkembang pesat termasuk bidang ilmu hukum, khususnya dikalangan hukum pidana. Banyak perbuatan-perbuatan baru yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu hal yang tidak menyenangkan dan kalau mungkin tidak dikehendaki. Namun

BAB I PENDAHULUAN. suatu hal yang tidak menyenangkan dan kalau mungkin tidak dikehendaki. Namun 8 A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Suatu keinginan kematian bagi sebagaian besar umat manusia merupakan suatu hal yang tidak menyenangkan dan kalau mungkin tidak dikehendaki. Namun demikian manusia

Lebih terperinci

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA A. Batasan Pengaturan Tindak Pidana Kekekerasan Fisik

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. pembahasan, maka telah didapat pokok-pokok kesimpulan dalam penulisan

BAB V PENUTUP. pembahasan, maka telah didapat pokok-pokok kesimpulan dalam penulisan BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan rumusan masalah yang telah dijawab dalam pembahasan, maka telah didapat pokok-pokok kesimpulan dalam penulisan hukum ini antara lain sebagai berikut: 1. Awal mula

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. bentuk kejahatan terhadap nyawa manusia, diatur dalam Pasal 340 yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. bentuk kejahatan terhadap nyawa manusia, diatur dalam Pasal 340 yang II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pembunuhan Berencana Pembunuhan dengan rencana terlebih dahulu atau disingkat pembunuhan berencana adalah pembunuhan yang paling berat ancaman pidananya dari seluruh

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang

I. PENDAHULUAN. Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang siapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana Tindak pidana merupakan suatu perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai dengan hukuman pidana.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang.

Lebih terperinci

KEJAHATAN DAN PELANGGARAN TERHADAP NYAWA DAN TUBUH ORANG

KEJAHATAN DAN PELANGGARAN TERHADAP NYAWA DAN TUBUH ORANG KEJAHATAN DAN PELANGGARAN TERHADAP NYAWA DAN TUBUH ORANG A. PENGANIAYAAN Kejahatan terhadap tubuh orang lain dalam KUHP diatur pada pasal 351-358 KUHP. Penganiayaan diatur dalam pasal 351 KUHP yang merumuskan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DISTRIBUSI II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa salah satu alat

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang

Lebih terperinci

BAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN

BAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN BAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN A. Hal-Hal Yang Menjadi Dasar Penyidik Memerlukan Keterangan Ahli Di Tingkat Penyidikan Terkait dengan bantuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia adalah Negara yang berdiri berlandaskan Pancasila

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia adalah Negara yang berdiri berlandaskan Pancasila BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah Negara yang berdiri berlandaskan Pancasila yang dimana dalam sila pertama disebutkan KeTuhanan Yang Maha Esa, hal ini berarti bahwa Negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap anak adalah bagian dari penerus generasi muda yang merupakan faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita perjuangan bangsa

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Tindak Pidana Pembunuhan Berencana 2.1.1. Pengertian Tindak Pidana Pembunuhan Berencana Pembunuhan berencana sesuai Pasal 340 KUHP adalah suatu pembunuhan biasa seperti Pasal

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT PANJA KOMISI III DPR-RI DENGAN DIRJEN PERUNDANG-UNDANGAN DALAM RANGKA PEMBAHASAN DIM RUU TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA ---------------------------------------------------

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pribadi maupun makhluk sosial. Dalam kaitannya dengan Sistem Peradilan Pidana

BAB I PENDAHULUAN. pribadi maupun makhluk sosial. Dalam kaitannya dengan Sistem Peradilan Pidana BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah Negara berdasarkan hukum bukan semata-mata kekuasaan penguasa. Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, maka seluruh warga masyarakatnya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN. dasar dari dapat dipidananya seseorang adalah kesalahan, yang berarti seseorang

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN. dasar dari dapat dipidananya seseorang adalah kesalahan, yang berarti seseorang BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN 2.1. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Dasar dari adanya perbuatan pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dari dapat dipidananya

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT INTERNAL TIMUS KOMISI III DPR-RI DALAM RANGKA PEMBAHASAN RANCANGAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA --------------------------------------------------- (BIDANG HUKUM, HAM

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana 1. Kekuasaan Kehakiman Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN (yang telah disahkan dalam Rapat Paripurna DPR tanggal 18 Juli 2006) RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam Undang-

II. TINJAUAN PUSTAKA. tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam Undang- 13 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Pertanggungjawaban pidana memiliki makna bahwa setiap orang yang melakukan tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam

Lebih terperinci

INDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013

INDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013 LAMPIRAN PASAL-PASAL RUU KUHAP PELUMPUH KPK Pasal 3 Pasal 44 Bagian Kedua Penahanan Pasal 58 (1) Ruang lingkup berlakunya Undang-Undang ini adalah untuk melaksanakan tata cara peradilan dalam lingkungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu perkara disandarkan pada intelektual, moral dan integritas hakim terhadap

BAB I PENDAHULUAN. suatu perkara disandarkan pada intelektual, moral dan integritas hakim terhadap 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hakim adalah aparat penegak hukum yang paling dominan dalam melaksanakan penegakan hukum. Hakimlah yang pada akhirnya menentukan putusan terhadap suatu perkara disandarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tindak pidana atau perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang dilakukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tindak pidana atau perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang dilakukan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tindak pidana atau perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang dilakukan karena merupakan suatu kejahatan. Jika seseorang melakukan suatu tindak pidana maka ia harus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan bimbingan dan

BAB I PENDAHULUAN. kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan bimbingan dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan bangsa dan negara. Dalam konstitusi Indonesia, anak memiliki peran strategis

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI 20 BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI A. Undang-Undang Dasar 1945 Adapun terkait hal keuangan, diatur di dalam Pasal 23 Undang-Undang Dasar 1945, sebagaimana

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : a. bahwa salah satu alat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tuhan Yang Maha Esa tersebut tidak boleh dicabut oleh siapapun termasuk oleh

BAB I PENDAHULUAN. Tuhan Yang Maha Esa tersebut tidak boleh dicabut oleh siapapun termasuk oleh BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tuhan Yang Maha Esa memberikan anugerah kepada manusia yaitu sebuah kehidupan yang harus dihormati oleh setiap orang. Kehidupan yang diberikan oleh Tuhan Yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan berbagai permasalahannya, dan diakhiri dengan kematian. Dari proses

BAB I PENDAHULUAN. dengan berbagai permasalahannya, dan diakhiri dengan kematian. Dari proses BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap makhluk hidup termasuk manusia, akan mengalami siklus kehidupan yang dimulai dari proses pembuahan, kelahiran, kehidupan di dunia dengan berbagai permasalahannya,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Hukum Pidana Sebagaimana yang telah diuraikan oleh banyak pakar hukum mengenai hukum pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi terhadap

Lebih terperinci

A. Analisis Terhadap Tinjauan Aborsi Menurut PP. Nomor 61 Tahun Menurut ketentuan yang ada dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana

A. Analisis Terhadap Tinjauan Aborsi Menurut PP. Nomor 61 Tahun Menurut ketentuan yang ada dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP TINDAKAN ABORSI KARENA KEDARURATAN MEDIS MENURUT PERATURAN PEMERINTAH (PP) NOMOR 61 TAHUN 2014 TENTANG KESEHATAN REPRODUKSI A. Analisis Terhadap Tinjauan Aborsi

Lebih terperinci

dengan aparatnya demi tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan harkat dan martabat manusia. Sejak berlakunya Undang-undang nomor 8 tahun 1981

dengan aparatnya demi tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan harkat dan martabat manusia. Sejak berlakunya Undang-undang nomor 8 tahun 1981 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah merupakan negara hukum yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 bukan berdasarkan atas kekuasaan semata. Indonesia

Lebih terperinci

PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA PEMALSUAN MATA UANG DOLLAR. Suwarjo, SH., M.Hum.

PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA PEMALSUAN MATA UANG DOLLAR. Suwarjo, SH., M.Hum. PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA PEMALSUAN MATA UANG DOLLAR Suwarjo, SH., M.Hum. Abstrak Pemberantasan dollar AS palsu di Indonesia terbilang cukup sulit karena tidak terjangkau oleh hukum di Indonesia.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sehat dengan umur yang panjang adalah harapan bagi setiap orang. Tidak

BAB I PENDAHULUAN. sehat dengan umur yang panjang adalah harapan bagi setiap orang. Tidak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesehatan merupakan anugerah yang tak ternilai harganya. Hidup sehat dengan umur yang panjang adalah harapan bagi setiap orang. Tidak ada satu orang pun di dunia

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi 13 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban Pidana 1. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi a. Peranan korporasi menjadi penting dalam tindak pidana karena sebagai akibat dari perubahan yang terjadi dalam

Lebih terperinci

Moral Akhir Hidup Manusia

Moral Akhir Hidup Manusia Modul ke: 07Fakultas Psikologi Pendidikan Agama Katolik Moral Akhir Hidup Manusia Oleh : Drs. Sugeng Baskoro, M.M Program Studi Psikologi Bagian Isi TINJAUAN MORAL KRISTIANI AKHIR HIDUP MANUSIA (HUKUMAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan wujud penegakan hak asasi manusia yang melekat pada diri. agar mendapatkan hukuman yang setimpal.

BAB I PENDAHULUAN. merupakan wujud penegakan hak asasi manusia yang melekat pada diri. agar mendapatkan hukuman yang setimpal. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Segala bentuk kekerasan yang dapat mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang harus dapat ditegakkan hukumnya. Penghilangan nyawa dengan tujuan kejahatan, baik yang disengaja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menurut Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 amandemen ke- Empat, telah ditegaskan bahwa Negara Indonesia merupakan negara yang berdasarkan atas hukum.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perputaran zaman dari masa kemasa membawa kehidupan. masyarakat selalu berubah, berkembang menurut keadaan, tempat dan

BAB I PENDAHULUAN. Perputaran zaman dari masa kemasa membawa kehidupan. masyarakat selalu berubah, berkembang menurut keadaan, tempat dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perputaran zaman dari masa kemasa membawa kehidupan masyarakat selalu berubah, berkembang menurut keadaan, tempat dan waktu. Oleh karena itu timbullah bermacam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. emosi harapan dan kekhawatiran makhluk insani. perjanjian terapeutik adalah Undang undang nomor 36 tahun 2009 tentang

BAB I PENDAHULUAN. emosi harapan dan kekhawatiran makhluk insani. perjanjian terapeutik adalah Undang undang nomor 36 tahun 2009 tentang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejak awal mengenai umat manusia sudah dikenal adanya hubungan kepercayaan antara dua insan, yaitu manusia penyembuh dan penderita yang ingin disembuhkan. Dalam zaman

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1979 TENTANG PEMBERHENTIAN PEGAWAI NEGERI SIPIL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, MEMUTUSKAN :

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1979 TENTANG PEMBERHENTIAN PEGAWAI NEGERI SIPIL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, MEMUTUSKAN : PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1979 TENTANG PEMBERHENTIAN PEGAWAI NEGERI SIPIL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa ketentuan-ketentuan mengenai pemberhentian Pegawai

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang dilarang atau diharuskan dan diancam dengan pidana oleh undang-undang,

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang dilarang atau diharuskan dan diancam dengan pidana oleh undang-undang, II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana adalah suatu tindakan pada tempat, waktu dan keadaan tertentu yang dilarang atau diharuskan dan diancam dengan pidana oleh undang-undang,

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.293, 2014 POLHUKAM. Saksi. Korban. Perlindungan. Perubahan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5602) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Tindak Pidana pembunuhan termasuk dalam tindak pidana materiil ( Materiale

1. PENDAHULUAN. Tindak Pidana pembunuhan termasuk dalam tindak pidana materiil ( Materiale 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak Pidana pembunuhan termasuk dalam tindak pidana materiil ( Materiale delicht), artinya untuk kesempurnaan tindak pidana ini tidak cukup dengan dilakukannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio.

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejahatan pembunuhan mengalami peningkatan yang berarti dari segi kualitas dan kuantitasnya. Hal ini bisa diketahui dari banyaknya pemberitaan melalui media massa maupun

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini menganut asas kesalahan sebagai salah satu asas disamping asas legalitas.

Lebih terperinci

Dengan Persetujuan Bersama. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:

Dengan Persetujuan Bersama. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti

Lebih terperinci

SUATU TINJAUAN TERHADAP PENERAPAN PASAL 45A UU NO 5 TH 2004 TERHADAP TERDAKWA SEORANG PRAJURIT TNI. Sugeng Sutrisno *

SUATU TINJAUAN TERHADAP PENERAPAN PASAL 45A UU NO 5 TH 2004 TERHADAP TERDAKWA SEORANG PRAJURIT TNI. Sugeng Sutrisno * SUATU TINJAUAN TERHADAP PENERAPAN PASAL 45A UU NO 5 TH 2004 TERHADAP TERDAKWA SEORANG PRAJURIT TNI Sugeng Sutrisno * Ketidak puasan dalam menerima putusan adalah hal yang biasa bagi pencari keadilan namun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3) BAB I PENDAHULAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara berdasarkan hukum. Hal ini ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3) yang berbunyi

Lebih terperinci

HAK MANTAN NARAPIDANA SEBAGAI PEJABAT PUBLIK DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA

HAK MANTAN NARAPIDANA SEBAGAI PEJABAT PUBLIK DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA HAK MANTAN NARAPIDANA SEBAGAI PEJABAT PUBLIK DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima : 29 September 2014; disetujui : 13 Oktober 2014 Indonesia adalah negara yang berdasar

Lebih terperinci

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. mempunyai tiga arti, antara lain : 102. keadilanuntuk melakukan sesuatu. tindakansegera atau di masa depan.

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. mempunyai tiga arti, antara lain : 102. keadilanuntuk melakukan sesuatu. tindakansegera atau di masa depan. BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Menurut Black's Law Dictionary, tanggung jawab (liability) mempunyai tiga arti, antara lain : 102 a. Merupakan satu kewajiban terikat dalam hukum atau keadilanuntuk

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan

Lebih terperinci

Nomor : Fakultas : Angkatan / Semester : PETUNJUK PENGISIAN

Nomor : Fakultas : Angkatan / Semester : PETUNJUK PENGISIAN Nomor : Fakultas : Angkatan / Semester : PETUNJUK PENGISIAN 1. Bacalah pernyataan-pernyataan pada lembar berikut, kemudian jawablah dengan sungguh-sungguh sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. 2. Jawablah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penegakan hukum merupakan salah satu usaha untuk menciptakan tata tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan usaha pencegahan maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana (kepada barangsiapa yang melanggar larangan tersebut), untuk singkatnya dinamakan

Lebih terperinci

BAB I. Hakim sebagai salah satu penegak hukum bertugas memutus perkara yang. diajukan ke Pengadilan. Dalam menjatuhkan pidana hakim berpedoman pada

BAB I. Hakim sebagai salah satu penegak hukum bertugas memutus perkara yang. diajukan ke Pengadilan. Dalam menjatuhkan pidana hakim berpedoman pada 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hakim sebagai salah satu penegak hukum bertugas memutus perkara yang diajukan ke Pengadilan. Dalam menjatuhkan pidana hakim berpedoman pada ketentuan peraturan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pidana yang berupa pembayaran sejumlah uang dinamakan pidana denda. Kedua

BAB I PENDAHULUAN. Pidana yang berupa pembayaran sejumlah uang dinamakan pidana denda. Kedua 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum pidana di negara kita selain mengenal pidana perampasan kemerdekaan juga mengenal pidana yang berupa pembayaran sejumlah uang. Pidana yang berupa pembayaran

Lebih terperinci

PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG - UNDANG TENTANG PERAMPASAN ASET * Oleh : Dr. Ramelan, SH.MH

PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG - UNDANG TENTANG PERAMPASAN ASET * Oleh : Dr. Ramelan, SH.MH 1 PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG - UNDANG TENTANG PERAMPASAN ASET * I. PENDAHULUAN Oleh : Dr. Ramelan, SH.MH Hukum itu akal, tetapi juga pengalaman. Tetapi pengalaman yang diperkembangkan oleh akal, dan akal

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. yang biasa disebut dengaan istilah mengugurkan kandungan. Aborsi

BAB 1 PENDAHULUAN. yang biasa disebut dengaan istilah mengugurkan kandungan. Aborsi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Aborsi adalah pembunuhan janin yang di ketahui oleh masyarakat yang biasa disebut dengaan istilah mengugurkan kandungan. Aborsi dibedakan antara aborsi yang terjadi

Lebih terperinci

peradilan dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa, mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Dalam hal ini, untuk

peradilan dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa, mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Dalam hal ini, untuk BAB II JENIS- JENIS PUTUSAN YANG DIJATUHKAN PENGADILAN TERHADAP SUATU PERKARA PIDANA Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman diserahkan kepada badan- badan peradilan dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa,

Lebih terperinci

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga 4 Perbedaan dengan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Bagaimana Ketentuan Mengenai dalam Undang Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga? Undang Undang Nomor

Lebih terperinci

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA Oleh : Sumaidi, SH.MH Abstrak Aparat penegak hukum mengalami kendala dalam proses pengumpulan alat-alat bukti yang sah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana Kekuasaan kehakiman merupakan badan yang menentukan dan kekuatan kaidahkaidah hukum positif dalam konkretisasi oleh hakim melalui

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

Presiden Republik Indonesia,

Presiden Republik Indonesia, Copyright 2000 BPHN PP 32/1979, PEMBERHENTIAN PEGAWAI NEGERI SIPIL *28126 Bentuk: PERATURAN PEMERINTAH (PP) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 32 TAHUN 1979 (32/1979) Tanggal: 29 SEPTEMBER 1979 (JAKARTA)

Lebih terperinci

EUTHANASIA DITINJAU DARI ASPEK HAK ASASI

EUTHANASIA DITINJAU DARI ASPEK HAK ASASI EUTHANASIA DITINJAU DARI ASPEK HAK ASASI MANUSIA DAN PENGATURAN HUKUM PIDANA 1 Oleh: Milithia Ch. Y. Legi 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana Euthanasia ditinjaudariundang-undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk selanjutnya dalam penulisan ini disebut Undang-Undang Jabatan

BAB I PENDAHULUAN. untuk selanjutnya dalam penulisan ini disebut Undang-Undang Jabatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 diperbaharui dan dirubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris yang untuk selanjutnya dalam penulisan

Lebih terperinci

BAB III DESKRIPSI PASAL 44 AYAT 4 UU NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG KETENTUAN PIDANA KEKERASAN SUAMI KEPADA ISTERI DALAM RUMAH TANGGA

BAB III DESKRIPSI PASAL 44 AYAT 4 UU NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG KETENTUAN PIDANA KEKERASAN SUAMI KEPADA ISTERI DALAM RUMAH TANGGA 1 BAB III DESKRIPSI PASAL 44 AYAT 4 UU NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG KETENTUAN PIDANA KEKERASAN SUAMI KEPADA ISTERI DALAM RUMAH TANGGA A. Sejarah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan

Lebih terperinci

BAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat

BAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat BAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 1. Sanksi

Lebih terperinci

EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN ETIKA KEDOKTERAN

EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN ETIKA KEDOKTERAN EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN ETIKA KEDOKTERAN Oleh : Syamsul Hadi, SH., M.H.* Abstract Euthanasia is a dead issue requests from patients suffering from a disease that can not be addressed

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN Hasil PANJA 12 Juli 2006 Dokumentasi KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI Hasil Tim perumus PANJA, santika 12 Juli

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, . PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1979 TENTANG PEMBERHENTIAN PEGAWAI NEGERI SIPIL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa ketentuan-ketentuan mengenai pemberhentian Pegawai

Lebih terperinci

I.PENDAHULUAN. Fenomena yang aktual saat ini yang dialami negara-negara yang sedang

I.PENDAHULUAN. Fenomena yang aktual saat ini yang dialami negara-negara yang sedang I.PENDAHULUAN A. Latar Belakang Fenomena yang aktual saat ini yang dialami negara-negara yang sedang berkembang maupun negara maju sekalipun yaitu pencapaian kemajuan di bidang ekonomi dan ilmu pengetahuan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatu, fungsi

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatu, fungsi 14 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban Pidana Pertanggungjawaban adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatu, fungsi dalam menerima pembebanan sebagai akibat dari sikap atas tindakan sendiri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. problematika dan mengontrol perkembangan tersebut.salah satu problematika

BAB I PENDAHULUAN. problematika dan mengontrol perkembangan tersebut.salah satu problematika BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini banyak sekali berbagai permasalahan dan problematika yang sering muncul di tengah-tengah kehidupan masyarakat yang semakin berkembang dan tidak sedikit

Lebih terperinci

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sesuai dengan apa yang tertuang dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana bahwa wewenang penghentian penuntutan ditujukan kepada

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) adalah warga negara Indonesia yang

I. PENDAHULUAN. Anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) adalah warga negara Indonesia yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) adalah warga negara Indonesia yang memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dan diangkat oleh pejabat

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ]

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ] UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ] BAB II TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG Pasal 2 (1) Setiap orang yang melakukan perekrutan,

Lebih terperinci

Penyiksaan dalam RUU KUHP: Beberapa catatan kritis

Penyiksaan dalam RUU KUHP: Beberapa catatan kritis Penyiksaan dalam RUU KUHP: Beberapa catatan kritis Indriaswati Dyah Saptaningrum Seminar Sehari Perlindungan HAM Melalui Hukum Pidana Hotel Nikko Jakarta, 5 Desember 2007 Konvensi Menentang penyiksaan

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT PANJA KOMISI III DPR-RI DENGAN KEPALA BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL (BPHN) DALAM RANGKA PEMBAHASAN DIM RUU TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA ---------------------------------------------------

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci