SELEKSI DAN KARAKTERISASI BAKTERI BIOKONTROL UNTUK MENGENDALIKAN PENYAKIT LAYU BAKTERI (Ralstonia solanacearum) PADA TOMAT ABDJAD ASIH NAWANGSIH

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "SELEKSI DAN KARAKTERISASI BAKTERI BIOKONTROL UNTUK MENGENDALIKAN PENYAKIT LAYU BAKTERI (Ralstonia solanacearum) PADA TOMAT ABDJAD ASIH NAWANGSIH"

Transkripsi

1 SELEKSI DAN KARAKTERISASI BAKTERI BIOKONTROL UNTUK MENGENDALIKAN PENYAKIT LAYU BAKTERI (Ralstonia solanacearum) PADA TOMAT ABDJAD ASIH NAWANGSIH Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Entomologi/Fitopatologi SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006

2 ABSTRAK ABDJAD ASIH NAWANGSIH. Seleksi dan karakterisasi bakteri biokontrol untuk mengendalikan penyakit layu bakteri (Ralstonia solanacearum) pada tomat. Dibimbing oleh BUDI TJAHJONO, ANTONIUS SUWANTO, MEITY SURADJI SINAGA dan GUSTAF ADOLF WATTIMENA. Penyakit layu bakteri yang disebabkan oleh Ralstonia solanacearum merupakan salah satu penyakit penting pada beberapa tanaman pertanian di wilayah tropis, subtropis dan wilayah yang hangat di dunia. Penyakit ini penting selain karena sebaran geografisnya juga kisaran inangnya sangat luas. Pengendalian dengan senyawa antibiotik sintetis dikhawatirkan menimbulkan resistensi. Pengendalian dengan varietas tahan juga mengalami kendala karena patogen memiliki banyak ras. Cara pengendalian lain yang memungkinkan untuk dikembangkan dan relatif aman adalah pengendalian secara biologi menggunakan agens biokontrol. Dalam penelitian ini agens biokontrol diisolasi dari rizosfer tanaman sehat yang terdapat pada pertanaman tomat yang terserang penyakit layu bakteri. Isolat yang diperoleh diuji kemampuan penghambatannya terhadap Ralstonia solanacearum melalui mekanisme antibiosis pada berbagai media agar dan kompetisi pada media King s B cair.. Berdasarkan hasil pengujian tersebut diperoleh tiga isolat yang potensial dalam menekan perkembangan R. solanacearum. Ketiga isolat tersebut adalah: Bacillus subtilis AB89, RH4003 dan L32. Identifikasi berdasarkan karakterisasi sifat fisiologi dan sekuens sebagian dari 16S rdna, isolat RH4003 adalah Pseudomonas fluorescens RH4003 dan isolat L32 adalah Bacillus cereus L32. Keefektifan pengendalian di rumah kaca oleh P. fluorescens dan B. cereus L32 masing-masing mencapai 62%, sedangkan di lapangan keefektifan pengendalian oleh B. subtilis AB89, P. fluorescens RH4003 dan B. cereus L32 berturut-turut adalah 35, 32 dan 22%. Ketiga agens biokontrol yang diuji tidak menimbulkan pengaruh fitotoksik dan hingga hari ke- 24 setelah diaplikasikan ke dalam tanah, populasi agens biokontrol tetap tinggi, yaitu ± 10 7 cfu/gram akar. Analisis mekanisme ketahanan pada tanaman inang yang mendapat perlakuan agens biokontrol menunjukkan bahwa P. fluorescens RH4003, B. subtilis AB89 dan B. cereus L32 mampu menginduksi ketahanan tomat melalui peningkatan aktivitas enzim peroksidase pada akar. Ketiga bakteri biokontrol tersebut juga menghasilkan siderofor. Selain itu B. subtilis AB89 dan B. cereus L32 diketahui menghasilkan enzim protease sedangkan P. fluorescens RH4003 tidak. Ketiga agens biokontrol tidak menghasilkan enzim kitinase dan HCN. P. fluorescens yang diberikan melalui benih, infestasi tanah dan kombinasinya memberikan penekanan tertinggi terhadap penyakit layu bakteri dibandingkan dengan B. subtilis AB89 dan B. cereus L32. Berdasarkan nilai Synergy Factor (SF), hubungan antar agens biokontrol bersifat antagonistik. P. fluorescens RH4003 lebih efektif menekan penyakit layu bakteri pada varietas yang relatif rentan (Money Maker dan San Marzano) dibandingkan pada varietas yang relatif tahan ( Ratna dan TM39). Total koloni P. fluorescens RH4003 yang berhasil diisolasi dari perakaran tomat varietas Ratna relatif lebih tinggi dibandingkan dari varietas tomat lainnya.

3 ABSTRACT ABDJAD ASIH NAWANGSIH. Selection and caracterization of biocontrol bacteria to control the bacterial wilt disease (Ralstonia solanacearum) of tomato. Supervised by BUDI TJAHJONO, ANTONIUS SUWANTO, MEITY SURADJI SINAGA dan GUSTAF ADOLF WATTIMENA. Bacterial wilt disease caused by Ralstonia solanacearum is one of the important disease on some comodities in tropical, subtropical and warmer area in the world. The disease is important not only because of the geografic distribution, but also because of its wide host range. Application of some antibiotics will caused of resistance. Disease control using the resistant varieties was difficult because the pathogen have some races. The other alternatives for disease control is the application of biocontrol agents. In this experiments the biocontrol agents were isolated from the rhizosphere of healthy tomato among the one infected by tomato bacterial wilt. The isolates of biocontrol agents were investigated of their suppression to R. solanacearum by antibiosis mechanism in some agar media and their competitiveness in King s B broth medium. From these experiment, three isolates were found potential to suppress the population of R. solanacearum. Identification based on the fisiological characteristics and partial sequence of 16S rdna, the isolate RH4003 was identified as Pseudomonas fluorescens RH4003 while isolate L32 was identified as B. cereus L32. Control effectiveness in the green house of P.fluorescens RH4003 or B. cereus L32 was up to 62% while in the open field control effectiveness of B. subtilis AB89, P. fluorescens RH4003 and B. cereus L32 was up to 35, 32 and 22%, respectively. All of the biocontrol agents tested have no phytotoxic effects on seed viability and the growth of tomato seedlings and the population of biocontrol agents was still high, i.e. ± 10 7 cfu/gram root until 24 days after application into the soil. P. Fluorescens RH4003, B. subtilis AB89 and B. cereus L32 were able to induced the host defence by increasing the activity of peroxidase in the root. The bacteria were also produce siderophore. B. subtilis AB89 and B. cereus L32 produced protease but P. fluorescens RH4003 was not. All of the biocontrol agents did not produce chitinase and HCN. P. fluorescens RH4003 applied as seed treatment, soil infestation and combination both of them gave the highest suppression to the disease compared with B. subtilis AB89 or B. cereus L32. Based on the Synergy Factor (SF) value, combination among the biocontrol agents resulted in antagonistic relationship. P. fluorescens RH4003 relatively effective to control the bacterial wilt disease on the relative susceptible varieties (Money Maker and San Marzano) compared with the relatively resistant ones (Ratna and TM39). Total colonies of P. fluorescens RH4003 isolated from the root of Ratna variety were relatively higher than on the other tomato varieties.

4 Judul Disertasi : Seleksi dan Karakterisasi Bakteri Biokontrol untuk Mengandalikan Penyakit Layu Bakteri (Ralstonia solanacearum) pada Tomat Nama : Abdjad Asih Nawangsih NIM : P Disetujui Komisi Pembimbing Dr. Ir. Budi Tjahjono, MAgr. Ketua Prof. Dr. Ir. Antonius Suwanto, MSc. Anggota Dr. Ir. Meity Suradji Sinaga,MSc. Anggota Prof. Dr. Ir. G. A. Wattimena, MSc. Anggota Diketahui Ketua Program Studi Entomologi/ Fitopatologi Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. Sri Hendrastuti Hidayat, MSc. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS. Tanggal Ujian : 28 Agustus 2006 Tanggal Lulus:...

5 SELEKSI DAN KARAKTERISASI BAKTERI BIOKONTROL UNTUK MENGENDALIKAN PENYAKIT LAYU BAKTERI (Ralstonia solanacearum) PADA TOMAT ABDJAD ASIH NAWANGSIH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006

6 Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2006 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotocopi, microfilm, dan sebagainya

7 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kudus, Jawa Tengah, pada tanggal 21 Juni 1965 sebagai anak ketiga dari tujuh bersaudara dari pasangan Abdul Djamil (alm.) dan Nasrifah (alm.). Pendidikan Dasar sampai Menengah Atas diselesaikan di Kudus, Jawa Tengah. Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian IPB, lulus pada tahun Pada tahun 1993, penulis diterima di Program Studi Entomologi/Fitopatologi pada Program Pascasarjana IPB dan menamatkannya pada tahun Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada program studi dan perguruan tinggi yang sama diperoleh pada tahun Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Program QUE (Quality Improvement of Undergraduate Education Project), Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian IPB. Penulis bekerja sebagai tenaga pengajar di Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian IPB sejak tahun Bidang penelitian yang menjadi pilihan penulis adalah bakteriologi tumbuhan terutama pengendalian hayati bakteri patogen tumbuhan. Selama mengikuti program S3, penulis menjadi anggota Perhimpunan Fitopatologi Indonesia (PFI), Perhimpunan Mikrobiologi Indonesia (Permi) dan The International Society of Southeast Asian Agricultural Sciences (ISSAAS). Sebuah artikel telah diterbitkan berjudul Biological control of tomato bacterial wilt, Ralstonia solanacearum, by Bacillus sp. L32 pada Journal of ISSAAS Vol. 11, No. 2, November Artikel lain berjudul Effects of tomato varieties and biocontrol mixtures to the effectiveness of Pseudomonas fluorescens RH4003 sudah dikirimkan ke Journal of ISSAAS. Karya-karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari program S3 penulis. Penulis menikah dengan Ir. Heri Purwanto, S.P pada tanggal 1 Januari 1990 dan dikaruniai tiga orang anak, yaitu: Ukhradiya Magharaniq Safira Purwanto (15 tahun), Affan Chahyahusna Purwanto (12 tahun) dan Ryuntania Aqdiyannisa Putri Purwanto (9 tahun).

8 BIODATA Penulis dilahirkan di Kudus, Jawa Tengah, pada tanggal 21 Juni 1965 sebagai anak ketiga dari pasangan Abdul Djamil (alm.) dan Nasrifah (alm.). Pendidikan Dasar sampai Menengah Atas diselesaikan di Kudus, Jawa Tengah. Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian IPB, lulus pada tahun Pada tahun 1993, penulis diterima di Program Studi Entomologi/Fitopatologi pada Program Pascasarjana IPB dan menamatkannya pada tahun Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada program studi dan perguruan tinggi yang sama diperoleh pada tahun Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Program QUE (Quality Improvement of Undergraduate Education Project), Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian IPB. Penulis bekerja sebagai tenaga pengajar di Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian IPB sejak tahun Bidang penelitian yang menjadi pilihan penulis adalah bakteriologi tumbuhan terutama pengendalian hayati patogen tumbuhan. Selama mengikuti program S3, penulis menjadi anggota Perhimpunan Fitopatologi Indonesia (PFI), Perhimpunan Mikrobiologi Indonesia (Permi) dan The International Society of Southeast Asian Agricultural Sciences (ISSAAS). Sebuah artikel telah diterbitkan berjudul Biological control of tomato bacterial wilt, Ralstonia solanacearum, by Bacillus sp. L32 pada Journal of ISSAAS Vol. 11, No. 2, November Artikel lain berjudul Effects of tomato varieties and biocontrol mixtures to the effectiveness of Pseudomonas fluorescens RH4003 sudah dikirimkan ke Journal of ISSAAS. Karya-karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari program S3 penulis. Penulis menikah dengan Ir. Heri Purwanto, S.P pada tahun 1990 dan dikaruniai tiga orang anak, yaitu: Ukhradiya Magharaniq Safira Purwanto (15 tahun), Affan Chahyahusna Purwanto (12 tahun) dan Ryuntania Aqdiyannisa Putri Purwanto (9 tahun).

9 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunianya sehingga disertasi ini berhasil diselesaikan. Penelitian ini dilaksanakan sejak bulan Februari 2002 dengan judul Seleksi dan Karakterisasi Bakteri Biokontrol untuk Mengendalikan Penyakit Layu Bakteri (Ralstonia solanacearum) pada Tomat. Disertasi ini terdiri dari empat bab yang merupakan pengembangan dari naskah artikel yang diajukan ke jurnal ilmiah. Artikel berjudul Biological control of tomato bacterial wilt, Ralstonia solanacearum, by Bacillus sp. L32 telah diterbitkan dalam Journal of ISSAAS Vol. 11, No. 2, November Artikel lain berjudul Effects of tomato varieties and biocontrol mixtures to the effectiveness of Pseudomonas fluorescens RH4003 sudah dikirimkan ke Journal of ISSAAS. Ucapan terimakasih terutama penulis sampaikan kepada pembimbing, yaitu: Dr. Ir. Budi Tjahjono, MAgr, Prof. Dr. Ir. Antonius Suwanto, MSc., Dr. Ir. Meity Suradji Sinaga, MSc. dan Prof. Dr. Ir. G.A. Wattimena, MSc., yang telah banyak memberikan bimbingan dan saran selama penulis menempuh studi S3. Terimakasih juga penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Kazuo SUYAMA dan Dr. Hiromitsu NEGISHI yang telah berperan sebagai pembimbing dan induk semang selama penulis melaksanakan penelitian di Laboratory of Phytopathology, Tokyo University of Agriculture. Penulis juga menyampaikan penghargaan dan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. Ir. Suryo Wiyono, MSc., Dr. Karden Mulya serta Dr. Ir. Widodo, MS., selaku Penguji Luar Komisi yang telah banyak memberikan kritik dan saran untuk perbaikan disertasi ini. Terimakasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian-IPB, khususnya kepada Program QUE (Quality Improvement of Undergraduate Education Project) yang telah memberikan kepercayaan kepada penulis untuk memanfaatkan beasiswa Program Sandwich. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada The Academic Frontier Research Project (AFRP), Tokyo University of Agriculture atas bantuan dana yang diberikan untuk pelaksanaan sebagian penelitian ini.

10 Penulis juga sangat berterimakasih kepada Bapak-Ibu, rekan-rekan staf pengajar di Departemen Proteksi Tanaman, Fak. Pertanian-IPB atas dukungan moril yang diberikan sehingga penulis mampu menyelesaikan disertasi ini. Ungkapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada Bapak (alm.), Ibu (alm.), Bapak mertua, Ibu mertua, suami, anak-anak dan seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya. Tak lupa kepada rekan-rekan ENT/FIT: Bu Rini, Pak Heru dan yang lainnya yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, penulis mengucapkan banyak terimakasih atas bantuan dan kebersamaannya. Penulis menyadari bahwa disertasi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran sangat diharapkan. Penulis berharap semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi pembaca. Bogor, Juli 2006 Abdjad Asih Nawangsih

11 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL. xi DAFTAR GAMBAR xii DAFTAR LAMPIRAN... xiv PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Tujuan Penelitian.. 4 TINJAUAN PUSTAKA 6 Penyakit Layu Bakteri.. 6 Beberapa Teknik Pengendalian Penyakit Layu Bakteri.. 7 Pengendalian Biologi Penyakit Layu Bakteri 7 SELEKSI DAN IDENTIFIKASI BAKTERI BIOKONTROL UNTUK MENGENDALIKAN PENYAKIT LAYU BAKTERI PADA TOMAT YANG DISEBABKAN OLEH Ralstonia solanacearum Abstrak 11 Abstract.. 11 Pendahuluan 12 Bahan dan Metode.. 13 Hasil dan Pembahasan 19 Kesimpulan. 34 Daftar Pustaka. 34 MEKANISME PENGHAMBATAN AGENS BIOKONTROL TER- HADAP PENYAKIT LAYU BAKTERI PADA TOMAT.. 37 Abstrak 37 Abstract.. 37 Pendahuluan 38 Bahan dan Metode.. 40 Hasil dan Pembahasan 43 Kesimpulan. 51 Daftar Pustaka. 51

12 PENGARUH CARA APLIKASI AGENS BIOKONTROL TERHADAP KEEFEKTIFAN PENGENDALIAN PENYAKIT LAYU BAKTERI 54 Abstrak 54 Abstract.. 54 Pendahuluan 55 Bahan dan Metode.. 56 Hasil dan Pembahasan 59 Kesimpulan. 69 Daftar Pustaka. 73 KEEFEKTIFAN Pseudomonas fluorescens RH4003 DALAM MENGENDALIKAN PENYAKIT LAYU BAKTERI PADA BEBERAPA VARIETAS TOMAT. 72 Abstrak 72 Abstract.. 72 Pendahuluan 73 Bahan dan Metode.. 74 Hasil dan Pembahasan 77 Kesimpulan. 84 Daftar Pustaka. 85 PEMBAHASAN UMUM. 87 KESIMPULAN 98 DAFTAR PUSTAKA 99 LAMPIRAN 106

13 DAFTAR TABEL Halaman 1. Pengaruh jenis media terhadap pembentukan zone hambatan oleh agens biokontrol Pengaruh agens biokontrol terhadap pertumbuhan kecambah tomat melalui penyiraman media tumbuh (germination sheets) Pengaruh agens biokontrol terhadap pertumbuhan kecambah tomat setelah perlakuan perendaman benih (seed treatment) Pengaruh aplikasi agens biokontrol melalui benih dan infestasi tanah terhadap tinggi bibit di rumah kaca Keefektifan pengendalian (Index Penekanan) agens biokontrol pada aplikasi tunggal dan kombinasi Nilai SF (Synergism Factor) dan jenis hubungan beberapa kombinasi antar agens biokontrol Rata-rata keparahan penyakit layu bakteri pada enam varietas Pengaruh aplikasi P. fluorescens RH4003 terhadap keparahan penyakit layu bakteri pada tomat Selisih keparahan penyakit pada beberapa varietas tomat yang tidak diberi agens biokontrol dengan yang diberi agens biokontrol Populasi P. fluorescens RH4003 rif r pada permukaan akar dan tanah rizosfer dari beberapa varietas tomat Aktifitas enzim peroksidase pada berbagai varietas tomat setelah perendaman akar dengan P. fluorescens RH4003 selama 14 jam. 84

14 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Bagan alir penelitian Pot plastik yang digunakan untuk menumbuhkan benih tomat secara steril Pembentukan zone hambatan oleh agens biokontrol pada beberapa media uji Kemampuan penghambatan beberapa isolate agens biokontrol terhadap populasi R. solanacearum pada media cair KBB Pengaruh agens biokontrol terhadap perkembangan penyakit layu bakteri di dalam rumah kaca kemampuan agens biokontrol dalam menekan penyakit layu bakteri di lapangan Dinamika populasi agens biokontrol pada permukaan perakaran bibit tomat Sekuens parsial 16S rdna isolat RH4003 ( ) dengan primer 16S-2F dan primer 16S-3R Sekuens parsial 16S rdna isolat l32 ( ) dengan primer 16S-2F dan primer 16S-3R Karakter P. fluorescens RH Karakter B. cereus L Bentuk koloni pada medium TSA Produksi asam dari xylosa oleh agens biokontrol Pengaruh perendaman akar tomat dengan agens biokontrol terhadap aktivitas enzim peroksidase Aktivitas proteolitik oleh B. cereus L32 dan B. subtilis AB89 pada medium King s B agar yang mengandung skim milk 2% Zimogram dari filtrat bakteri agens biokontrol tanpa pemurnian 47 xii

15 Halaman 17. Aktivitas protease oleh B. subtilis AB89 dan B. cereus L32 setelah diinkubasikan selama 14 dan 24 jam pada suhu 28 o C dalam media King B cair Pembentukan siderofor (warna jingga) di sekeliling koloni bakteri Pengaruh aplikasi agens biokontrol terhadap keparahan penyakit layu bakteri Keparahan penyakit layu bakteri tomat pada berbagai perlakuan agens biokontrol secara tunggal dan campuran Keparahan penyakit pada beberapa varietas tomat 78 xiii

16 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Analisis ragam pengaruh aplikasi agens biokontrol pada benih dan infestasi tanah pembenihan terhadap keparahan penyakit pada pengamatan hst Analisis ragam pengaruh aplikasi agens biokontrol melalui perendaman akar bibit terhadap keparahan penyakit pada pengamatan hst Analisis ragam pengaruh aplikasi agens biokontrol melalui perendaman akar bibit terhadap keparahan penyakit pada pengamatan hst Analisis ragam pengaruh aplikasi agens biokontrol pada benih dan infestasi tanah pembenihan terhadap tinggi bibit tomat di dalam rumah kaca pada pengamatan hari setelah aplikasi (has) Analisis ragam pengaruh aplikasi agens biokontrol melalui perendaman benih terhadap tinggi kecambah tomat (pengaruh fitotoksisitas) pada pengamatan 5 15 hari setelah aplikasi (hsa) Analisis ragam pengaruh aplikasi agens biokontrol melalui penyiraman media tumbuh terhadap tinggi kecambah tomat (pengaruh fitotoksisitas) pada pengamatan 5 15 hari setelah aplikasi (hsa) Perbandingan sekuens parsial 16S rdna dari isolat RH4003 menggunakan primer 16S - 2F dengan data Gene Bank NCBI Perbandingan sekuens parsial 16S rdna dari isolat RH4003 menggunakan primer 16S - 2F dengan data Gene Bank NCBI Perbandingan sekuens parsial 16S rdna dari isolat RH4003 menggunakan primer 16S 3R dengan data Gene Bank NCBI Perbandingan sekuens parsial 16S rdna dari isolat RH4003 menggunakan primer 16S 3R dengan data Gene Bank NCBI 113 xiv

17 11. Perbandingan sekuens parsial 16S rdna dari isolat L32 menggunakan primer 16S - 2F dengan data Gene Bank NCBI Perbandingan sekuens parsial 16S rdna dari isolat L32 menggunakan primer 16S - 2F dengan data Gene Bank NCBI Perbandingan sekuens parsial 16S rdna dari isolat L32 menggunakan primer 16S - 2F dengan data Gene Bank NCBI Perbandingan sekuens parsial 16S rdna dari isolat L32 menggunakan primer 16S 3R dengan data Gene Bank NCBI Perbandingan sekuens parsial 16S rdna dari isolat L32 menggunakan primer 16S 3R dengan data Gene Bank NCBI Perbandingan sekuens parsial 16S rdna dari isolat L32 menggunakan primer 16S 3R dengan data Gene Bank NCBI xv

18 PENDAHULUAN Latar belakang Penyakit layu bakteri yang disebabkan oleh Ralstonia solanacearum merupakan salah satu penyakit penting pada beberapa tanaman pertanian di wilayah tropis, subtropis dan wilayah yang hangat di dunia (Hayward 1991). Penyakit ini penting selain karena sebaran geografisnya juga kisaran inangnya sangat luas (Arlat et al. 1993). Luasnya kisaran inang tersebut menyebabkan pengendalian dengan sistem rotasi tanaman relatif sulit dilakukan. Penyakit layu bakteri terutama menyerang tanaman dari famili Solanaceae. Salah satu spesies tanaman yang banyak terserang adalah tomat, Lycopersicon esculentum Mill (Young & Danesh 1994). Penyakit ini terutama merusak selama musim panas atau musim yang basah dan hangat. Pada tomat hibrida di Taiwan penyakit ini menyebabkan kehilangan produksi buah segar hingga 29% (Hartman et al. 1993; Hsu et al. 1993). Di Indonesia, selama tahun 2003 luas serangan yang diakibatkan penyakit ini adalah 159,7 Ha (Ditlin 2004). Berbagai upaya pengendalian yang telah dilakukan antara lain dengan cara bercocok tanam dan penggunaan varietas tahan (Arlat et al. 1993). Beberapa keberhasilan telah dicapai dengan menggunakan kultivar komersial yang toleran terhadap bakteri ini (Trigalet et al. 1994) tetapi kultivar yang memiliki ketahanan tinggi belum dapat dikembangkan (Hsu et al. 1993). Walaupun beberapa varietas yang resisten telah dikembangkan tetapi ketahanannya seringkali patah apabila ditanam di daerah pertanaman lain. Hal tersebut terjadi karena adanya perbedaan ras atau biovar dari patogen dan/atau ketahanan yang tidak mencukupi pada kondisi yang menguntungkan patogen (Scott et al. 1993). Selain itu juga terdapat variasi genetik yang cukup besar diantara strain-strain dalam satu ras seperti yang berhasil diidentifikasi dari pertanaman tomat di Taiwan oleh Thierry & Wang (1998). Upaya pengendalian lain yang paling banyak dilakukan petani adalah penggunaan antibiotik sebagai bakterisida. Tetapi penggunaan senyawa ini secara terus-menerus dan dalam jumlah besar dapat mengakibatkan matinya musuh alami dan timbulnya resistensi patogen. Gadewar et al. (1992) menyatakan bahwa

19 2 bakteri ini yang tidak berlendir (tidak virulen) apabila ditumbuhkan pada media yang mengandung tetracycline 4 ug/ml akan menghasilkan keturunan yang sebagian berlendir dengan laju pengurangan koloni yang tidak berlendir mencapai 71% sedangkan pada media yang mengandung terramycin 10 ug/ml laju pengurangannya 53% dibanding pada media tanpa antibiotik tersebut. Adanya sifat oligogenik dari resistensi tanaman, besarnya perbedaan keagresifan isolat-isolat yang berbeda di seluruh dunia (Trigalet et al. 1994) dan adanya dampak negatif dari senyawa antibiotik maka perlu dicarikan alternatif pengendalian yang lebih aman. Cara pengendalian lain yang memungkinkan untuk dikembangkan dan relatif aman adalah pengendalian secara biologi menggunakan agens biokontrol. Mekanisme pengendalian biologi yang berpotensi efektif yaitu yang berdasarkan pada kemampuan agens pengendali untuk berkompetisi pada rizosfer, menghasilkan antibiotik atau menginduksi suatu respons pada inang yang menguntungkan bagi pertumbuhan agens biokontrol dan/atau menghambat pertumbuhan R. solanacearum (Howie & Suslow 1991; Hartman & Elphinstone 1994). Penelitian tentang mikrob antagonis, seperti Pseudomonas fluorescens (Hsu et al. 1993; Hartman et al. 1993) dan Bacillus spp. (Shekhawat et al. 1993), telah dilaporkan efektif untuk pengendalian penyakit layu bakteri ini. Patogen, seperti halnya dengan organisme lain, akan berusaha mempertahankan diri terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi kehidupannya. Patogen juga mengalami perubahan atau evolusi dalam populasinya untuk menghadapi kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan. Tekanan yang kuat akan menyebabkan reaksi atau perubahan yang cepat terhadap perilaku patogen. Senyawa antibiotik sintetis misalnya dapat menyebabkan terjadinya resistensi secara cepat. Resistensi kemungkinan juga dapat terjadi dalam aplikasi agens biokontrol walaupun kemungkinannya lebih kecil dibandingkan dengan antibiotik sintetis. Agens biokontrol umumnya menghasilkan antibiotik dalam jumlah relatif kecil sehingga konsentrasi di alam relatif rendah, walaupun senyawa tersebut mempunyai spektrum yang luas namun tidak memberikan tekanan yang terlalu kuat terhadap patogen sehingga tidak cepat menimbulkan resistensi. Hal tersebut

20 3 merupakan salah satu keuntungan dalam penggunaan agens biokontrol yang menghasilkan senyawa antibiotik. Selama ini seleksi awal terhadap agens biokontrol yang potensial dilakukan berdasarkan adanya zone hambatan pada media agar. Hal tersebut dapat dilakukan hanya pada bakteri-bakteri yang menghasilkan senyawa-senyawa penghambat, seperti senyawa antibiotik atau siderofor. Pada bakteri-bakteri yang tidak menghasilkan senyawa penghambat, yang bersifat kompetitor, kemampuan penghambatannya kemungkinan tidak terdeteksi. Untuk itu dalam penelitian ini bakteri-bakteri yang tidak menghasilkan zone hambatan pada media agar akan diuji kemampuan penghambatannya terhadap populasi R. solanacearum dalam media cair. Kemampuan suatu agens biokontrol dalam menekan patogen biasanya melibatkan satu atau beberapa cara atau mekanisme penghambatan. Mekanisme penghambatan yang terjadi antara agens biokontrol dengan patogen adalah: kompetisi ruang dan/atau nutrisi, antibiosis dan induksi resistensi. Pengetahuan tentang mekanisme penghambatan dapat membantu dalam aplikasi agar agens biokontrol bekerja efektif. Kemampuan suatu agens biokontrol dalam menekan penyakit dapat ditingkatkan antara lain dengan memadukan dua atau lebih agens biokontrol. Dalam memadukan beberapa agens biokontrol perlu diperhatikan bahwa masingmasing tidak saling menghambat. Graham & Mitchell (1999) menyebutkan salah satu syarat untuk aplikasi dua atau lebih agens biokontrol secara bersama-sama adalah memiliki mekanisme pengendalian yang berbeda, misalnya kompetisi dan antibiosis. Selain kombinasi agens biokontrol, keefektivan pengendalian juga dapat ditingkatkan melalui cara aplikasi yang berbeda. Aplikasi agens biokontrol melalui benih diharapkan memberi perlindungan sejak awal munculnya tanaman melalui kolonisasi perakaran saat pertama muncul dari benih. Untuk agens biokontrol yang bersifat menginduksi ketahanan tanaman, perendaman akar bibit sebelum pindah tanam diharapkan dapat memberikan efek induksi lebih cepat. Kehidupan agens biokontrol di dalam rizosfer seperti halnya dengan mikroorganisme lain juga dipengaruhi oleh beberapa faktor. Salah satu faktor adalah spesies tanaman. Brimecombe et al. (2001) menyatakan dari berbagai

21 4 sumber bahwa hal tersebut berkaitan dengan adanya exudat yang dikeluarkan oleh suatu spesies kemungkinan berbeda dengan spesies lain. Cieslinski et al. (1965 dalam Brimecombe et al. 2001) menyatakan bahwa jumlah senyawa asam organik dengan bobot molekul rendah yang dikeluarkan oleh akar dari lima kultivar gandum dan empat kultivar flax berbeda nyata antar kultivar. Perbedaan aktivitas bakteri diantara kultivar pada spesies yang sama berhubungan dengan perbedaan senyawa yang dikeluarkan oleh akar dari kultivar yang berbeda. Berdasarkan uraian tersebut maka pengaruh varietas terhadap keefektifan dan karakter agens biokontrol juga perlu diketahui kaitannya dengan pemanfaatan varietas tahan dalam mengendalikan penyakit layu bakteri pada tomat. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1) mendapatkan satu atau beberapa isolat agens biokontrol yang potensial untuk mengendalikan penyakit layu bakteri pada tomat, 2) mengetahui identitas (spesies) dan karakter fisiologis agens biokontrol tersebut, 3) mengetahui tingkat kolonisasi agens biokontrol pada perakaran tomat, 4) mengetahui karakter terkait mekanisme penekanan yang dilakukan oleh agens biokontrol, 5) mengetahui pengaruh aplikasi agens biokontrol melalui perlakuan benih dan infestasi tanah terhadap penekanan penyakit layu bakteri, 6) mengetahui pengaruh aplikasi agens biokontrol secara tunggal dan kombinasi terhadap penekanan penyakit layu bakteri, dan 7) mengetahui pengaruh varietas tomat terhadap perilaku agens biokontrol: keefektifan penekanan penyakit layu bakteri, produksi enzim peroxidase dan kebugaran agens biokontrol. Bagan alir penelitian disajikan dalam Gambar 1.

22 Isolasi agens biokontrol Bibit tomat Kecambah tomat Uji toksisitas Keefektifan pengendalian penyakit layu bakteri Uji antagonisme in-vitro Produksi senyawa penghambat Penekanan populasi pada media cair Peranan varietas Cara aplikasi Aktivitas peroksidase Populasi patogen Sekuens 16S rdna Identifikasi dan karakterisasi Mekanisme penghambatan Karakter morfologi & fisiologi perendaman akar bibit benih dan siram tanah tunggal dan campuran Produksi siderofor & HCN Induksi resistensi: aktivitas peroksidase Produksi enzim:kitinase, protease DISERTASI 5 Gambar 1. Bagan alir penelitian

23 6 TINJAUAN PUSTAKA Penyakit layu bakteri Di Indonesia, sejarah tentang penyakit ini banyak ditulis oleh Semangun (1994). Dalam bukunya tersebut antara lain Semangun menyatakan bahwa penyakit ini dilaporkan oleh Van Breda de Haan pada tahun 1897 terdapat pada pertanaman tembakau di Deli dan Pulau Jawa. Kemudian pada tahun 1901 Hunger melaporkan bahwa penyakit ini menyerang tanaman tomat di daerah Sumatera Barat dan Jawa Barat dan menyebabkan kehilangan hasil yang cukup tinggi. Pada tahun 1912 Van Hall melaporkan serangan penyakit ini pada tanaman kentang di daerah Karo, Sumatera Utara dan sejak itu penyakit ini terus menyebar ke daerah lain di Indonesia. Gejala khas yang ditimbulkan oleh bakteri ini adalah terjadinya kelayuan, tanaman menjadi kerdil dan penguningan daun. Semakin muda umur tanaman yang terserang maka gejala yang ditimbulkan semakin parah (Brown et al. 1980). Pada tanaman dewasa, gejala awal berupa daun menguning kemudian sebagian tanaman menjadi layu, tanaman menjadi kerdil, akhirnya tanaman layu total dan mati (Semangun 1994). Pada tanaman tomat, gejala diawali dengan menguning nya tangkai daun pada waktu cuaca sangat panas selama beberapa hari. Pada tanaman yang layu seringkali terbentuk celah-celah kebasahan berwarna coklat. Untuk mengimbangi penyumbatan pada jaringan pembuluh, tanamn yang terserang seringkali membentuk akar-akar samping pada batang bagian bawah. Tanaman menjadi kerdil dan mengalami klorosis (Hartman & Elphinstone 1994) Gejala pada bagian dalam tanaman umumnya sama. Apabila dibuat potongan memanjang maka jaringan pembuluh terlihat berwarna coklat. Jika batang dipotong melintang akan terlihat adanya ooze berwarna putih kotor hingga kecoklatan dan apabila dimasukkan ke dalam air maka akan terlihat aliran ooze seperti benang berwarna putih (Brown et al. 1980). Bakteri patogen menginfeksi melalui luka pada jaringan akar. Setelah masuk ke dalam jaringan pembuluh, bakteri kemudian menyebar dan memperbanyak diri dalam jaringan tersebut, merusak dinding sel dengan

24 7 memproduksi enzim pectinesterase, cellulase, protease dan senyawa EPS (Hayward 1995). Berdasarkan tabel yang dibuat oleh Cook & Sequeira (1994) bakteri yang dapat menyebabkan penyakit layu pada tanaman tomat termasuk dalam ras 1 atau 3 dan biovar 1, 2, 3, dan 4. Pengelompokan ke dalam ras didasarkan pada kisaran inang, sedangkan pengelompokan kedalam biovar didasarkan pada pemanfaatan senyawa gula dan gula alkohol tertentu. Beberapa teknik pengendalian penyakit layu bakteri Berbagai upaya sudah banyak dilakukan untuk mengendalikan penyakit layu bakteri pada tanaman tomat. Beberapa upaya pengendalian tersebut ada yang berhasil tetapi beberapa lainnya gagal. Hartman et al. (1993) menyatakan bahwa suatu senyawa bakterisida, Terlai, ternyata efektif dalam mengurangi penyakit layu di rumah kaca. Tetapi senyawa ini tidak dikomersialkan. Pengendalian dengan sistem bercocok tanam yang dilaporkan berhasil adalah rotasi tanaman menggunakan jagung pada tanaman kentang di Peru (Elphinstone & Aley 1993). Di Indonesia, Machmud (1993) melaporkan bahwa rotasi tanaman selama 2 tahun dengan tanaman bukan inang, seperti padi atau jagung, dapat mengendalikan penyakit layu bakteri pada kacang tanah. Teknik pengendalian yang secara potensial paling efisien adalah penanaman varietas tahan. Pada beberapa tanaman, seperti tembakau, terong, kentang, cabai, dan tomat sudah banyak ditemukan varietas-varietas yang tahan terhadap serangan bakteri layu (Hartman & Elphinstone 1994). Tetapi Akiew & Trevorrow (1994) tetap menyarankan untuk mengembangkan teknik pengendalian lain dan digunakan secara gabungan dengan tanaman resisten. Penggunaan tanaman resisten semata-mata sangat tidak direkomendasikan karena adanya kemungkinan perubahan patogen menjadi populasi yang lebih virulen. Pengendalian biologi penyakit layu bakteri Pengendalian biologi didefinisikan oleh Baker dan Cook (1974 dalam Nigam dan Mukerji 1988) sebagai pengurangan jumlah inokulum atau penyakit yang disebabkan adanya aktifitas patogen atau parasit dalam fase aktif atau

25 8 dormannya oleh satu atau lebih organisme yang hidup bersama secara alamiah atau melalui manipulasi lingkungan, inang atau antagonis. Pengendalian biologi didasarkan pada antagonisme mikroba yang dapat bersifat langsung (kompetisi, antibiosis) atau tidak langsung (induksi resistensi inang) Antagonisme langsung. Bakteri yang bersifat antagonis terhadap R. solanacearum telah diisolasi dari berbagai sumber, seperti misalnya tanah suppressive dan rizosfer tanaman inang (Trigalet et al. 1994). P. fluorescens, Bulkholderia cepacia dan P. gladioli dapat menghambat pertumbuhan R. solanacearum pada media. P. gladioli (Pg10) yang diaplikasikan dalam tanah 7 hari sebelum inokulasi R. solanacearum dapat mengurangi terjadinya layu hingga 60% dibanding kontrol (Hartman et al. 1993). Produksi pigmen fluoresen berwarna kuning-hijau yang berfungsi sebagai siderofor oleh Pseudomonas kelompok fluoresen telah terbukti berperan dalam pengendalian berbagai penyakit tular tanah (Leong 1986; Weller 1988). Hal tersebut dibuktikan juga oleh Hsu et al. (1993) dari hasil penelitiannya bahwa apabila ditambahkan FeCl3 sebanyak 100 um atau lebih ke dalam medium King s B maka Pseudomonas kelompok fluorescens (FP) strain D-4, T-9-1, G-14 dan G- 59 tidak menghasilkan pigmen lagi dan juga kehilangan kemampuan untuk menghambat R. solanacearum. Selain siderofor, beberapa bakteri Pseudomonas kelompok fluoresen ada yang menghasilkan senyawa beracun yaitu 2,4-Diacetylphloroglucinol (Phl). Senyawa Phl memiliki peranan penting dalam menekan berbagai patogen tular tanah (Keel et al. 1992; Raaijmakers et al. 1999). Raaijmakers et al. (1999) selanjutnya menyatakan bahwa produksi Phl di rizosfer gandum sangat erat hubungannya dengan kemampuan strain yang diintroduksikan dalam mengkolonisasi perakaran. Bakteri lain yang banyak digunakan untuk mengendalikan R. solanacearum adalah Bacillus spp. Shekhawat et al. (1993) melaporkan bahwa Bacillus spp. dapat mengurangi kelayuan pada kentang rata-rata 72% dibanding kontrol di rumah kaca dan nilai tersebut konsisten selama tiga tahun. Di lapangan bakteri tersebut dapat mengurangi terjadinya layu sebanyak 79% dan meningkatkan hasil 85 90% dibanding kontrol.

26 9 Pada tomat yang ditanam di rumah kaca, B. subtilis NB22 yang diisolasi dari kompos dapat menekan penyakit layu bakteri sampai 80% dibanding kontrol. Senyawa yang berperan pada agens antagonis ini adalah iturin yang melisis dinding sel (Phae et al. 1992; Bernal et al. 2002). Keuntungan penggunaan agens biokontrol dari bakteri Gram positif, dalam hal ini Bacillus spp., antara lain adalah kemudahan dalam membuat formulasi. Mikroorganisme Gram positif yang bersporulasi membentuk spora yang tahan panas dan tahan kekeringan sehingga dapat diformulasikan dalam bentuk serbuk kering (Emmert & Handelsman 1999). Resistensi terinduksi. Resistensi sistemik terinduksi (Induced Systemic Resistance = ISR) didefinisikan sebagai perlindungan sistemik pada tanaman yang ditimbulkan oleh suatu agens apabila diaplikasikan pada salah satu bagian tanaman (Kuc 1983). Secara klasik agens penginduksi dapat berupa patogen, patogen yang sudah dimatikan atau dilemahkan, bahan kimia sintetis, produk metabolit dari inang agens yang menginfeksi dan patogen yang inkompatibel (Liu et al. 1995). Induksi resistensi tanaman inang sebagai akibat dari inokulasi buatan dengan strain virulen yang dimatikan dengan pemanasan, mutan avirulen atau strain R. solanacearum yang inkompatibel pada akar, batang dan daun tanaman inang telah banyak dilaporkan (Trigalet et al. 1994). Frey et al. (1993) menyatakan bahwa mutan hrp (GMI8171, GMI8172 dan GMI8173) yang diaplikasikan dapat menginduksi resistensi tanaman. Demikian juga mutan avirulen Str-10 yang diisolasi dari Strelitzia reginae (Str-10 op type) secara nyata dapat melindungi tanaman tomat dari penyakit layu bakteri (Arwiyanto et al. 1994). Mutan avirulen jenis kedua masih tetap dapat menghasilkan EPS dari tipe alami tetapi kehilangan kemampuan untuk menimbulkan respons hipersensitif pada inang yang tahan maupun menimbulkan penyakit pada inang yang rentan. Beberapa mutasi tersebut terjadi pada kelompok gen hrp yang berukuran 23 kb (Boucher et al. 1992). Mutan hrp bersifat avirulen pada tomat tetapi masih tetap memiliki kemampuan untuk menginfeksi melalui akar dan berkembangbiak dalam inang yang rentan (Trigalet et al. 1994). Dari hasil awal penggunaan mutan hrp

27 10 R. solanacearum untuk pengendalian biologi layu bakteri pada tomat menimbulkan dugaan bahwa cara ini memungkinkan untuk diterapkan di lapangan. Menurut Frey et al. (1994) inokulasi dengan mutan avirulen tidak menimbulkan efek negatif terhadap hasil buah. Penyebaran mutan ini secara sistemik sangat terbatas dan populasinya biasanya menurun, kemungkinan disebabkan aglutinasi oleh senyawa lektin tanaman dan/atau terjerap pada dinding sel tanaman (Sequeira 1982). Frey et al. (1994) menyatakan bahwa tiga bulan setelah inokulasi strain GMI8172 pada perakaran tomat, bakteri avirulen tersebut tidak pernah ditemukan pada jaringan tengah batang atau jaringan kambium. Hal tersebut berlawanan dengan bakteri yang virulen, yang menyebar secara sistemik ke seluruh tanaman yang terserang. Mutan yang sedikit virulen ternyata lebih dapat menginduksi pertahanan dibanding mutan yang benar-benar avirulen (Hara & Ono 1991). Selain mutan avirulen dari patogen, agens penginduksi lain adalah dari kelompok PGPR (Plant Growth Promoting Rhizobacteria) yang telah dilaporkan dapat mengendalikan beberapa patogen tular tanah (Defago et al. 1990). Mekanisme pengendalian biologi oleh PGPR umumnya meliputi kompetisi (Elad & Chet 1987) atau produksi metabolit seperti siderofor yang berperan dalam antagonisme melawan patogen (Weller 1988). Pseudomonas kelompok fluoresen dan Bacillus merupakan contoh PGPR yang efektif untuk menekan penyakit (Leong et al. 1991). Mathre et al. (1999) menyatakan bahwa Bacillus juga menghasilkan spora sehingga mempunyai potensi untuk mampu bertahan hidup lebih lama. Liu et al. (1995) menyatakan bahwa berdasarkan hasil penelitiannya tidak ada hubungan antara aktivitas ISR dengan populasi bakteri penginduksi (Pseudomonas putida strain 89B-27 dan Serratia marcescens strain ). ISR terus meningkat walaupun populasi bakteri menurun.

28 SELEKSI DAN IDENTIFIKASI BAKTERI BIOKONTROL UNTUK MENGENDALIKAN PENYAKIT LAYU BAKTERI PADA TOMAT YANG DISEBABKAN OLEH Ralstonia solanacearum (Selection and identification of biocontrol bacteria to control bacterial wilt disease of tomato caused by Ralstonia solanacearum) ABSTRAK Pengendalian penyakit layu bakteri menggunakan agens biokontrol masih sulit dilakukan karena agens biokontrol yang dikembangkan umumnya efektif di laboratorium tetapi seringkali gagal di lapangan dan bersifat spesifik lokasi. Berdasarkan hal tersebut pencarian agens biokontrol yang efektif baik di laboratorium maupun di lapangan masih perlu dilakukan. Penelitian ini dilakukan untuk menseleksi dan mengidentifikasi agens biokontrol yang potensial dalam mengendalikan penyakit layu bakteri pada tomat. Enam belas isolat agens biokontrol telah diuji kemampuannya untuk menekan keparahan penyakit layu bakteri pada tomat yang disebabkan oleh Ralstonia solanacearum. Salah satu isolat yang efektif menekan keparahan penyakit adalah Bacillus subtilis AB89. Berdasarkan karakterisasi dan identifikasi sekuens sebagian dari 16S rdna, dua isolat lain yang efektif teridentifikasi sebagai Bacillus cereus L32 dan Pseudomonas fluorescens RH4003. Percobaan di dalam rumah kaca menunjukkan bahwa keefektifan pengendalian oleh P. fluorescens dan B. cereus L32 masing-masing mencapai 62%. Berdasarkan hasil percobaan di lapangan, keefektifan pengendalian oleh B. subtilis AB89, P. fluorescens RH4003 dan B. cereus L32 berturut-turut adalah 34, 30 dan 28%. Ketiga agens biokontrol yang diuji tidak menimbulkan pengaruh fitotoksik terhadap daya kecambah benih dan pertumbuhan bibit tomat secara in-vitro maupun in-vivo di dalam rumah kaca. B. subtilis AB89 membentuk zona hambatan pada media King s B, NA, YDCA, CPGA, CPMA dan CPMA-Ca 2+ sedangkan P. fluorescens RH4003 hanya pada media King s B, CPGA and CPMA-Ca 2+. B. cereus L32 tidak membentuk zone hambatan pada semua media yang diuji. Populasi agens biokontrol tetap tinggi, ± 10 7 cfu/gram akar, pada hari ke-24 setelah diaplikasikan ke dalam tanah. Kata kunci: Pseudomonas fluorescens, Bacillus sp., perlakuan benih ABSTRACT Bacterial wilt disease control using biocontrol agents still difficult to be applied because the biocontrol agents generally effective in the laboratory but not effective in the field and they work in specific location. Based on that reason, the exploration of effective biocontrol agents is still needed. These experiments were conducted to select and identify the potential biocontrol agents to control the bacterial wilt disease of tomato. Sixteen isolates of biocontrol agents were evaluated to reduce the disease index of bacterial wilt on tomato caused by

29 Ralstonia solanacearum. One of the isolate is Bacillus subtilis AB89, was effective to reduce index of the disease. Based on physiological characterization and partial sequence of 16S rdna, the other two isolates were identified as Bacillus cereus L32 and Pseudomonas fluorescens RH4003. Based on the green house experiment, control effectiveness of P.fluorescens RH4003 or B. cereus L32was more than 62%. In the open field, control effectiveness of B. subtilis AB89, P. fluorescens RH4003 and B. cereus L32 was up to 35, 32 and 22%, respectively. All of the biocontrol agents tested have no phytotoxic effects on seed viability and the growth of tomato seedlings in-vitro or in-vivo in the green house. B. subtilis AB89 produced inhibition zone on media King s B, NA, YDCA, CPGA, CPMA and CPMA-Ca 2+ while P. fluorescens RH4003 only on media King s B, CPGA and CPMA-Ca 2+. B. cereus L32 did not produce inhibition zone on all media tested. At the 24 th day after application into the soil, the population of biocontrol agents was still high, i.e. ± 10 7 cfu/gram root. Keywords: Pseudomonas fluorescens, Bacillus sp., seed treatment 12 PENDAHULUAN Isolasi dan seleksi merupakan langkah awal untuk mendapatkan agens biokontrol yang potensial. Walaupun sudah banyak agens biokontrol yang dikembangkan untuk mengendalikan penyakit layu bakteri tetapi penyakit ini masih sulit dikendalikan karena umumnya agens biokontrol yang dikembangkan masih bersifat spesifik lokasi atau kemampuannya berkurang di lapangan. Oleh karena itu masih terbuka peluang untuk mencari dan menseleksi kandidat agens biokontrol dari wilayah-wilayah yang belum diteliti. Dalam melakukan seleksi agens biokontrol perlu dipilih metode yang sesuai. Beberapa metode seleksi in-vitro tidak dapat memprediksi penampilan di lapangan secara baik walaupun metode yang sesuai dapat memberi keuntungan besar bagi program pengendalian biologi karena murah dan merupakan metode standar. Secara umum, pengujian di lapangan seringkali terlalu sulit dilaksanakan atau terlalu mahal untuk menseleksi isolat dalam jumlah yang besar (Andrews 1992). Selama ini seleksi awal terhadap agens biokontrol yang potensial biasanya dilakukan berdasarkan adanya zone hambatan pada media agar. Pada bakteribakteri yang tidak menghasilkan senyawa penghambat tetapi bersifat kompetitor, kemampuan penghambatannya kemungkinan tidak terdeteksi. Dalam penelitian

30 13 ini bakteri-bakteri yang tidak menghasilkan zone hambatan pada media agar akan diuji kemampuan penghambatannya terhadap populasi R. solanacearum dalam media cair dan kemampuan menekan penyakit layu bakteri pada tanaman tomat. Menurut Johnson (1994) kemampuan agens biokontrol menekan penyakit tergantung kerapatan populasi mikroorganisme antagonis, tetapi dalam kasus Fusarium oxysporum, perbandingan kerapatan populasi antara yang patogen dan bukan patogen lebih penting dibandingkan dengan nilai mutlak kepadatan populasinya. Alabouvette et al. (1998) menyatakan bahwa untuk mengendalikan penyakit, selain konsentrasi agens biokontrol harus tepat juga harus aktif dalam mengekspresikan aktivitas antagonismenya. Penelitian dilakukan untuk menseleksi beberapa agens biokontrol dan melakukan identifikasi serta karakterisasi sifat-sifat fisiologi agens biokontrol yang potensial dalam mengendalikan penyakit layu bakteri pada tomat. BAHAN DAN METODE Isolat patogen dan agens biokontrol Isolat R. solanacearum KN118 (Ras 1, Biovar 3) yang digunakan dalam percobaan ini diperoleh dari Dr Nishiyama, National Institute for Agro- Environmental Sciences, Tsukuba. Agens biokontrol diisolasi dari rizosfer tanaman tomat sehat yang terdapat pada pertanaman tomat yang mengalami penyakit layu bakteri. Isolat yang diperoleh diuji kemampuannya menghambat R. solanacearum pada berbagai media agar untuk mendeteksi mekanisme antibiosis berdasarkan adanya zone hambatan. Isolat-isolat yang tidak menghasilkan zone hambatan selanjutnya diuji kemampuannya menghambat R. solanacearum melalui kompetisi pada media King s B cair. Berdasarkan hasil penapisan melalui pembentukan zone hambatan pada medium King s B agar dan kecepatan pertumbuhan pada isolat yang tidak menghasilkan zone hambatan terpilih 16 isolat untuk digunakan dalam pengujian selanjutnya. Enam belas isolat agens biokontrol tersebut diuji kemampuannya dalam menghambat pertumbuhan populasi R. solanacearum secara in-vitro dan kemampuannya menekan perkembangan penyakit layu bakteri di rumah kaca dan di lapangan. Empat isolat berasal dari koleksi Laboratory of Phytopathology,

31 14 Tokyo University of Agriculture, Japan, yaitu: Pseudomonas kelompok fluorescence R4011 dan RH4003, Bacillus subtilis AB89 dan B. subtilis AN; satu isolat Pseudomonas fluorescens Gi-19 merupakan koleksi dari Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan, Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian-IPB dan sebelas isolat agens biokontrol lainnya diisolasi dari pertanaman tomat di Bogor dan Lembang, Jawa Barat. Pengaruh media terhadap pembentukan zone hambatan Biakan bakteri agens biokontrol pada media King s B agar yang berumur jam masing-masing disuspensikan dalam aquadest steril dan kerapatannya diusahakan cfu/ml. Semua media yang diuji dipanaskan hingga mencair dan setelah suhunya kira-kira o C ditambahkan suspensi R. solanacearum dengan kerapatan cfu/ml. Setiap 9 ml media ditambah 1 ml suspensi patogen dicampur hingga merata dan kemudian dituang ke dalam cawan petri steril. Selanjutnya satu potongan kertas saring steril dengan diameter 8 mm yang sudah dicelupkan ke dalam suspensi agens biokontrol diletakkan di tengah permukaan agar. Sebagai kontrol, potongan kertas saring dicelupkan ke dalam aquadest steril. Masing-masing agens biokontrol diuji sebanyak tiga kali dan diameter zone hambatan diukur setelah inkubasi pada suhu ruang selama 3 4 hari. Media-media yang diuji adalah: NA (meat extract, 10 g; peptone, 10 g; NaCl, 1.5 g; Agar, 15 g; Aquadest, 1000 ml); King`s B Agar 10% (Proteose peptone No.3, 2 g; glycerol, 1 g; K 2 HPO 4, 0.15 g; MgSO 4.7H 2 O, 0.15 g; Agar, 15 g; Aquadest, 1000 ml); CPMA (mannitol, 10 g; cassamino acids, 1 g; peptone, 10 g; Agar, 15 g; Aquadest, 1000 ml); CPMA-Ca 2+ (mannitol, 10 g; casamino acids, 1 g; peptone, 10 g; CaCl 2.2H 2 O, 5 g; Agar, 15 g; Aquadest, 1000 ml); CPGA (glucose, 10 g; casamino acids, 1 g; peptone, 10 g; Agar, 15 g; aquadest, 1000 ml); YPDA (peptone, 0.6 g; dextrose, 3 g; yeast extract, 3 g; Agar, 15 g; Aquadest, 1000 ml). Kemampuan penghambatan bakteri pada media cair Kandidat agens biokontrol yang tidak menghasilkan zone hambatan, pengujian kemampuan antagonisme dilakukan dengan menumbuhkan masingmasing agens biokontrol bersama-sama dengan patogen dalam media King s B cair (KBB) 10%. Patogen R. solanacearum yang digunakan dalam percobaan ini

32 adalah bakteri yang resisten secara spontan terhadap rifampisin 50 µg/ml. Suspensi R. solanacearum dan agens biokontrol yang mempunyai kerapatan cfu/ml, masing-masing diambil sebanyak 1 ml dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer yang berisi 50 ml KBB 10%. Sebagai kontrol, ke dalam erlenmeyer ditambahkan 1 ml suspensi patogen dan 1 ml aquadest steril. Inkubasi dilakukan pada suhu ruang dan digoyang menggunakan shaker dengan kecepatan 150 rpm/menit. Populasi R. solanacearum dihitung dengan metode pencawanan 24 jam setelah inkubasi. Pencawanan dilakukan secara duplo pada media King s B 10% yang mengandung rifampisin 50 µg/ml. Penghitungan populasi R. solanacearum dilakukan pada periode inkubasi 1, 3, dan 7 hari setelah inokulasi dan pencawanan dilakukan sebanyak dua kali. Pengaruh agens biokontrol terhadap pertumbuhan kecambah tomat (uji pengaruh fitotoksisitas) Benih tomat hibrida varietas Big Fukujyu disterilkan dengan alkohol 70% selama 5 menit kemudian direndam dalam NaOCl 1% selama 10 menit dan selanjutnya dibilas dengan aquadest steril. Agens biokontrol diaplikasikan dengan dua cara yaitu : 1. Kontaminasi kertas pembenihan (PC); 3 ml suspensi agens biokontrol dengan kerapatan cfu/ml dituangkan ke dalam cawan petri sehingga membasahi kertas pembenihan. Untuk kontrol, kertas pembenihan disiram dengan 3 ml aquadest steril. Selanjutnya sebanyak 50 benih steril diletakkan di atas kertas tersebut; 2. Perlakuan benih (ST); sebanyak 50 benih yang sudah steril direndam dalam suspensi agens biokontrol selama 14 jam dan kemudian diletakkan dalam cawan petri. Untuk kontrol, benih direndam dalam aquadest steril. Masing-masing perlakuan dilakukan dengan tiga ulangan. Masing-masing cawan petri tanpa penutup selanjutnya diberi kerudung kantong plastik bening dan diletakkan di laboratorium dengan suhu 26 o C dan diberi cahaya selama 12 jam. Pengukuran tinggi kecambah dilakukan pada periode 5, 10, dan 15 hari setelah perlakuan. Keefektifan agens biokontrol terhadap penyakit layu bakteri Kemampuan agens biokontrol dalam menekan penyakit layu bakteri diuji dengan cara perendaman akar bibit sebelum pindah tanam. Percobaan dilakukan di dalam rumah kaca dan di lapangan. 15

33 Rumah kaca. Bibit tomat yang berumur dua minggu setelah tanam dicabut dari media pembibitan dan setelah akarnya dicuci dengan air kemudian direndam dalam suspensi agens biokontrol dengan kerapatan cfu/ml selama 14 jam. Untuk kontrol, akar direndam dalam aquadest steril. Pot plastik berukuran 20 cm x 20 cm x 40 cm diisi dengan tanah steril setinggi ± 8 cm kemudian ditambahkan tanah yang sudah diinokulasi R. solanacearum setinggi ± 5 cm dan terakhir ditambahkan tanah steril setinggi ± 2 cm. Bibit yang sudah direndam akarnya dalam suspensi agens biokontrol kemudian ditanam dalam potpot tersebut. Tiap-tiap pot ditanami dengan 10 bibit dan masing-masing perlakuan diulang dua kali. Keparahan penyakit dihitung menggunakan rumus Townsend dan Hueberger (Unterstenhover 1963). Kriteria penyakit dihitung menggunakan skala yang disebutkan oleh Arwiyanto et al. (1994) dengan beberapa modifikasi, yaitu: 0 = tidak ada gejala, 1 = 0 < kelayuan daun 10%, 2 = 10 < kelayuan daun 30%, 3 = 30, kelayuan daun 60%, 4 = 60 < kelayuan daun 90%, dan 5 = 90 < kelayuan daun 100%. Rumus keparahan penyakit adalah : 5 n i x v i i=0 Keparahan penyakit (%) = x 100% N x Z n i = jumlah tanaman dengan skala penyakit ke-i v i = skala penyakit ke-i N = Jumlah tanaman pada tiap perlakuan Z = Skala penyakit tertinggi Rumus index penekanan penyakit: DIc DIb Indeks penekanan penyakit = x 100% Dic DIc = Index penyakit pada kontrol DIb = index penyakit pada perlakuan agens biokontrol 16 Lapangan. Metode aplikasi agens biokontrol dilakukan seperti pada percobaan di rumah kaca, kecuali umur bibit yang digunakan adalah tiga minggu setelah tanam. Bibit yang sudah direndam kemudian ditanam pada plot percobaan di luar rumah kaca yang sudah diinfestasi dengan R. solanacearum. Masingmasing plot berukuran 2 m x 1,5 m. Dalam satu plot ditanam 20 bibit dan

34 17 masing-masing perlakuan diulang dua kali. Tingkat keparahan penyakit, index penyakit dan index penekanan penyakit dihitung menggunakan rumus seperti disebut terdahulu. Kemampuan agens biokontrol mengkolonisasi akar Kemampuan agens biokontrol dalam mengkolonisasi perakaran diuji pada bibit tomat di laboratorium secara gnotobiotik dengan dua perlakuan yaitu : infestasi tanah dan perlakuan benih. Kontaminasi tanah. Pot plastik transparan (AGRIPOT) berdiameter 8 cm dan tinggi 15 cm yang bertutup (Gambar 1) diisi dengan 55 g tanah dan disterilkan pada suhu 121 o C selama 15 menit. Tanah dalam pot disiram dengan 10 ml suspensi agens biokontrol yang memiliki kerapatan cfu/ml. Benih tomat yang sudah disterilkan permukaannya ditanam dalam pot tersebut, satu benih dalam satu pot. Pot-pot tersebut ditempatkan di laboratorium dengan suhu 26 o C dan 12 jam penyinaran. Pada interval waktu tertentu bibit yang sudah tumbuh dicabut secara hatihati supaya perakarannya tidak banyak yang terputus. Partikel-partikel tanah yang melekat di permukaan akar dihilangkan. Akar dipotong di dekat pangkal batang dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang berisi 10 ml aquadest steril. Setelah dikocok menggunakan vortex selama 5 menit dan dilakukan pengenceran berseri. Sebanyak 100 µl suspensi dari masing-masing pengenceran disebar pada permukaan media King s B agar dalam cawan petri. Cawan petri tersebut diinkubasi pada suhu 26 o C dan populasi agens biokontrol dihitung tiga hari setelah inkubasi. Akar-akar yang ada dalam tabung reaksi kemudian diambil, dikeringkan menggunakan kertas tissue dan ditimbang. Perlakuan benih. Benih yang sudah steril direndam dalam suspensi agens biokontrol selama 14 jam. Benih kemudian ditanam dalam pot seperti yang digunakan pada perlakuan kontaminasi tanah. Pada interval waktu tertentu populasi agens biokontrol dihitung dengan metode yang sama dengan perlakuan infestasi tanah.

35 18 Gambar 2. Pot plastik yang digunakan untuk menumbuhkan benih tomat secara steril Identifikasi dan karakterisasi sifat-sifat fisiologi agens biokontrol Dua isolat agens biokontrol yaitu isolat RH4003 dan L32 selanjutnya diidentifikasi dan dikarakterisasi sifat-sifat fisiologisnya. Karakterisasi dilakukan dengan metode yang disebutkan dalam Klement et al. (1990) dan Schaad et al. (2001). Identifikasi dilakukan berdasarkan sekuens parsial dari 16S rdna menggunakan BigDye Terminator v3.0 Ready Reaction Cycle Sequencing Kit. Isolasi dan pemurnian DNA dilakukan berdasarkan metode yang dikemukakan oleh Schaad et al. (2001). DNA diekstraksi dengan phenol-chloroform kemudian diamplifikasi menggunakan mesin PCR ( dengan primer 16S-1F : 5 AGTGGCGGACGG GTGAGTAA3 dan 16S-4R: 5 TGACGGGCGGTGTGTACAAG3. Total volume reaksi 20 µl yang terdiri dari 10xEx-Taq buffer 2 µl, dntp 1,6 µl, primer 16S-1F 10 pmol/µl, primer 16S-4R 10 pmol/ µl, DNA template 0,5 µl atau ng DNA, Ex-Taq 0,1 µl. Kondisi awal PCR terdiri dari denaturasi pada suhu 94 o C selama 4 menit, pelekatan primer (annealing) pada suhu 64 o C selama 30 detik dan ekstensi pada 72 o C selama 2 menit diikuti dengan 35 siklus yang terdiri dari denaturasi pada suhu 94 o C selama 30 detik, pelekatan primer (annealing)

36 19 pada suhu 64 o C selama 30 detik dan ekstensi pada suhu 72 o C selama 30 detik dan ekstensi akhir pada 72 o C selama 7 menit. Sekuensing dilakukan menggunakan Big Dye Terminator V3.0 Kit (Applied Biosystems, Tokyo) sesuai dengan instruksi produsen. Reaksi PCR untuk sekuensing dilakukan dengan Gene Amp System 9600 (Perkin Elmer Applied Biosystems, Tokyo). Amplifikasi parsial 16S rdna (kurang lebih 1,3- kpb) dilakukan dengan 2 pasang primer, yaitu; 16S-2F: 5 TGCCA GCAGCCGCGG3 dan 16S-2R: 5 CCGCGGCTGCTGGCA3 serta 16S-3F: 5 CCGCAA-CGAGCGCAA3 dan 16S-3R: 5 TTGCGCTCGT TGCGG3. Total volume reaksi PCR untuk DNA yang akan disekuens adalah 20 µl yang terdiri dari Terminator Ready Reaction Mix 8,0 µl, DNA template 20 ng, primer 3,2 pmol atau 3,2 µl dan air bebas ion sesuai kebutuhan. PCR untuk sekuensing dilakukan sebanyak 25 siklus yang terdiri dari denaturasi pada suhu 96 o C selama 10 detik, pelekatan (annealing) pada suhu 50 o C selama 5 detik dan pemanjangan (extension) pada 60 o C selama 4 menit. Potongan DNA hasil amplifikasi dipisahkan dari agarose gel menggunakan metode presipitasi ethanol sesuai petunjuk produsen. Sekuensing DNA dilakukan dengan mesin DNA sekuenser otomatis Applied Biosystem prism 3100 (Perkin Elmer Applied Biosystems) dengan perangkat Sequencing Analysis ver. 3.7 dan Data collection ver Data hasil sekuensing dicocokkan dengan data Gene Bank NCBI menggunakan program BLAST pada HASIL DAN PEMBAHASAN Kemampuan pembentukan zone hambatan pada berbagai jenis media agar Pembentukan zone hambatan akibat pemberian agens biokontrol ternyata bervariasi pada berbagai media yang berbeda. Pada Tabel 1 terlihat bahwa isolat RH4003 dan R4011 tidak menghasilkan zone hambatan pada media NA tetapi pada media King s B dan CPMA-Ca 2+ keduanya menunjukkan hasil positif. Luas zone hambatan juga dipengaruhi jenis media. Diantara media yang dicoba,

37 20 ternyata King s B mampu menstimulasi terbentuknya zone hambatan lebih baik dibanding media lain. Media King s B merupakan media yang memiliki kandungan Fe sangat rendah yang sangat cocok bagi pembentukan siderofor oleh P. fluorescens. Penambahan elemen Ca 2+ pada media CPMA ternyata dapat menginduksi pembentukan zone hambatan oleh isolat RH4003 yang semula tidak terbentuk pada media CPMA saja. Peningkatan konsentrasi senyawa antibiotik dalam medium kemungkinan merupakan akibat meningkatnya permeabilitas dinding sel yang dipengaruhi oleh Ca 2+ yang mempunyai peranan penting dalam tahap akhir dari sekresi suatu senyawa (Bernal et al. 2002). Berdasarkan hasil tersebut diketahui bahwa untuk bekerja secara optimal, suatu agens biokontrol memerlukan kandungan bahan kimia tertentu. Oleh karena itu untuk mendeteksi adanya mekanisme antibiosis pada suatu agens biokontrol perlu dilakukan pada berbagai media yang berbeda, karena suatu agens biokontrol yang tidak menghasilkan zone hambatan pada suatu media kemungkinan dapat menghasilkan zone hambatan pada media yang lain. Pada NA yang merupakan medium yang kaya nutrisi, pembentukan zone hambatan oleh agens biokontrol justru lebih rendah dibandingkan dengan pada medium King s B. Pada kondisi nutrisi yang cukup mikroorganisme tidak perlu berkompetisi dalam memperoleh unsur hara sehingga menyebabkan agens biokontrol kurang mendapat tantangan untuk memproduksi senyawa penghambat. Jenis gula yang terkandung dalam media ternyata juga berpengaruh terhadap pembentukan zone hambatan oleh bakteri tertentu. Isolat RH4003 membentuk zone hambatan pada media yang mengandung glukosa tetapi tidak pada pada media yang mengandung mannitol maupun dextrosa. Hal tersebut berbeda dengan isolat R4011 yang membentuk zone hambatan pada media yang mengandung mannitol maupun dextrose tetapi tidak pada media yang mengandung glukosa. Berdasarkan hasil penelitian terhadap mutan Bacillus sp. yang memiliki aktivitas antibiotik, Bernal et al. (2002) melaporkan bahwa mannitol merupakan sumber karbon yang lebih baik untuk produksi antibiotik dan meningkatkan penghambatan terhadap patogen (Erwinia carotovora) dua kali dibandingkan dengan medium CPG.

38 21 Penapisan agens biokontrol melalui deteksi pembentukan zone hambatan pada media agar hanya dapat digunakan untuk menseleksi agens biokontrol dengan mekanisme penghambatan secara antibiosis. Metode ini tidak dapat digunakan untuk mendeteksi agens biokontrol yang mempunyai mekanisme penghambatan berdasarkan kompetisi. Oleh karena itu keabsahan penentuan suatu agens biokontrol hanya berdasarkan uji penghambatan pada media agar saja perlu dipertanyakan. Tabel 1. Pengaruh jenis media terhadap pembentukan zone hambatan oleh agens biokontrol Agens biokontrol Diameter zone hambatan (mm) KBA *) NA YPDA CPGA CPMA CPMA-Ca 2+ Isolat RH Isolat PK Isolat R Isolat L Isolat Dr B. subtilis AB Isolat L B. subtilis AN *) KBA = King s B Agar; NA = Nutrient Agar; YPDA = Yeast Peptone Dextrose Agar; CPGA = Casamino acid Peptone Glucose Agar; CPMA = Casamino acid Peptone Mannitol Agar Pengujian pada berbagai media agar juga dapat dijadikan sebagai sumber informasi senyawa-senyawa yang dapat menginduksi produksi antibiotik oleh agens biokontrol. Pada media dapat ditambahkan berbagai senyawa dalam berbagai konsentrasi untuk melihat pengaruhnya terhadap luas zone hambatan yang terbentuk. Informasi tersebut akan sangat diperlukan pada saat aplikasi di lapangan. Penambahan senyawa-senyawa atau unsur-unsur kimia yang dapat memacu pembentukan antibiotik dari agens biokontrol di lapangan diharapkan dapat meningkatkan kemampuannya menekan patogen. Wiyono (2003) menyatakan bahwa H 3 BO 3, MnSO 4 dan ZnSO 4 dapat memacu efek penghambatan P. fluorescens B5 terhadap Pythium ultimum.

39 22 a b c d e f Gambar 3. Pembentukan zone hambatan oleh agens biokontrol pada beberapa media uji; a) B. subtilis AB89 pada media YPDA, b) B. subtilis AB89 pada media CPGA, c) B. subtilis AB89 pada media NA, d) B. subtilis AB89 pada media CPMA, e) B. subtilis AB89 pada media CPMA-Ca 2+ dan f) isolat RH4003 pada media CPMA-Ca 2+ Faktor lain yang mempengaruhi pembentukan antibiotik nampaknya berhubungan dengan berkurangnya nutrisi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan sel. Keterbatasan ini menstimulir diferensiasi yang, kaitannya dengan bakteri kelompok bacilli, berarti pembentukan endospora. Sporulasi berkaitan dengan sintesis dinding sel baru dan degradasi dinding sel pada sel induk (mother sel). Dinding sel tersebut yang berperan sebagai antibiotik mengandung D-aminoacid,

40 23 dan diduga bahwa suatu metabolisme untuk pembentukan dinding sel dapat menjadi prekursor bagi sintesis antibiotik (Bernal et al. 2002). Kemampuan penghambatan bakteri pada media cair Pengujian menggunakan media agar yang didasarkan pada adanya pembentukan zone hambatan oleh agens biokontrol akan menghilangkan peluang memperoleh agens biokontrol yang mempunyai mekanisme penghambatan melalui kompetisi nutrisi atau kompetisi ruang. Untuk itu penggunaan kultur cair dengan menumbuhkan patogen dan agens biokontrol secara bersama-sama dalam suatu media yang terbatas jumlahnya diharapkan dapat mendeteksi adanya kompetisi. Berdasarkan uji perlakuan pada media cair, pada pengamatan 1 hari dan 3 hari setelah inokulasi, populasi R. solanacearum paling rendah terjadi pada biakan yang diberi B. subtilis AB89 tetapi pada hari ke-7 setelah inokulasi isolat L32 memberikan penekanan paling tinggi. Dari data pada Gambar 4 terlihat bahwa walaupun isolat L32 tidak meng-hasilkan zone hambatan pada media agar tetapi memiliki kemampuan penekanan terhadap populasi R. solanacearum lebih tinggi dibanding isolat Dr13 yang menghasilkan zone hambatan. Populasi R. solanacearum (log cfu/ml) Rs Aq Dr 11 AN AB L 34 L 32 Kode isolat L 35 PK 11 L 6 PK 10 Dr 13 L 2 L 38 L 1 1 hari 3 hari 7 hari Gambar 4. Kemampuan penghambatan beberapa isolat agens biokontrol terhadap populasi R. solanacearum pada media cair KBB

41 24 Gambar 4 menunjukkan bahwa beberapa bakteri agens biokontrol (antara lain isolat L32 dan L34) yang tidak menghasilkan zone hambatan pada media agar ternyata dalam media cair mampu menekan populasi R. solanacearum. Walaupun penekanan yang dihasilkan oleh isolat L32 dan L34 relatif lebih rendah dibandingkan dengan yang dihasilkan oleh B. subtilis AB89 (kode isolate AB89) tetapi relatif lebih tinggi dibandingkan dengan Dr13 yang juga menghasilkan zone hambatan pada media agar. Pengujian agens biokontrol menggunakan media agar maupun cair hanya sebagai sarana seleksi awal terhadap agens biokontrol. Kedua cara tersebut belum dapat dijadikan acuan untuk menentukan keefektifan suatu agens biokontrol dalam menekan penyakit. Dalam pengujian ini agens biokontrol dan patogen dipaksa untuk berhadapan langsung. Hal tersebut kemungkinan berbeda dengan kondisi di lapangan. Di alam masing-masing mikroorganisme memiliki niche ekologi yang berbeda. Oleh karena itu masih diperlukan pengujian lanjutan menggunakan metode yang lebih mendekati kondisi alamiah yaitu pengujian di rumah kaca menggunakan tanaman atau bahkan di lapangan. Pengaruh agens biokontrol terhadap pertumbuhan kecambah tomat (uji fitotoksisitas) Salah satu syarat utama suatu bakteri untuk dijadikan agens biokontrol adalah tidak menimbulkan pengaruh negatif atau fitotoksisitas. Bakteri rizosfer yang berhasil diisolasi sebelum diuji pada media agar maupun media cair terlebih dahulu diuji kemampuannya dalam menimbulkan reaksi hipersensitif (HR) pada daun tembakau. Isolat yang menghasilkan HR positif (muncul gejala nekrotik) berarti bersifat patogenik sehingga tidak dapat dijadikan sebagai agens biokontrol. Seperti pada pengujian menggunakan media agar, pengujian sifat HR juga tidak menggambarkan pengaruh langsung terhadap tanaman tomat. Aplikasi agens biokontrol seringkali dilakukan melalui perlakuan benih dengan cara merendam benih dalam suspensi bakteri. Beberapa bakteri kemungkinan dapat menyebabkan busuk pada benih setelah perendaman. Oleh karena itu perlu dilakukan pengujian terhadap pertumbuhan kecambah dan bibit tomat.

42 25 Berdasarkan hasil pengujian, pemberian agens biokontrol melalui penyiraman kertas pertumbuhan (germination sheets) ternyata tidak menimbulkan pengaruh negatif atau fitotoksik terhadap pertumbuhan kecambah tomat (Tabel 2). Keberadaan agens biokontrol pada tempat tumbuh bahkan cenderung lebih meningkatkan pertumbuhan tanaman. Hal ini berbeda dengan pemberian agens biokontrol melalui perendaman benih (Tabel 3). Table 2. Pengaruh agens biokontrol terhadap pertumbuhan kecambah tomat melalui penyiraman media tumbuh (germination sheets) Agens Biokontrol Tinggi kecambah (mm) ± SD 5 hsp *) 10 hsp 15 hsp B. subtilis AB b **) 19.0 c 20.4 c B. subtilis AN 13.4 ab 17.5 bc 19.0 bc Isolat L ab 18.7 c 20.0 bc P. fluorescens Gi ab 18.2 bc 19.8 bc Isolat R ab 17.5 bc 19.4 bc Isolat RH ab 17.1 ab 17.9 ab Kontrol 12.4 a 15.9 a 17.0 a *) hsp = hari setelah perlakuan **) Angka pada kolom yang sama dan diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% berdasarkan uji BNT. Table 3. Pengaruh agens biokontrol terhadap pertumbuhan kecambah tomat setelah perlakuan perendaman benih (seed treatment) Agens Biokontrol 5 hsp *) Tinggi kecambah (mm) ± SD 10 hsp 15 hsp B. subtilis AB a **) 20.6 b 24.0 a B. subtilis AN 14.3 a 18.8 ab 22.1 a Isolat L a 19.5 ab 23.6 a P. fluorescens Gi a 17.5 a 21.8 a Isolat R a 17.9 a 20.9 a Isolat RH a 18.9 ab 22.5 a Kontrol 15.1 a 19.7 ab 21.4 a *) hsp = hari setelah perlakuan **) Angka pada kolom yang sama dan diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% berdasarkan uji BNT Pada awal pertumbuhan benih setelah direndam dalam suspensi agens biokontrol, isolat B. subtilis AN89 dan isolat L32 sedikit menekan pertumbuhan kecambah. Tetapi 15 hari setelah perlakuan, pertumbuhan kecambah pada benih yang direndam isolat L32 relatif lebih tinggi dibanding pada kontrol.

43 26 Perendaman benih dalam suspensi P. fluorescens Gi19 dan isolat R4011 menyebabkan pertumbuhan kecambah tomat pada pengamatan 10 hst lebih rendah dibandingkan dengan kontrol tetapi pada pengamatan 15 hst pertumbuhan kecambah pada semua perlakuan dengan agens biokontrol tidak berbeda. Kemampuan agens biokontrol dalam menekan penyakit layu bakteri tomat Untuk menguji keefektifan agens biokontrol dalam menekan penyakit layu bakteri maka agens biokontrol diberikan melalui perendaman akar bibit tomat sebelum pindah tanam. Rumah kaca. Aplikasi agens biokontrol melalui perendaman akar bibit sebelum pindah tanam ternyata mampu menekan perkembangan penyakit. Pada Gambar 5 terlihat bahwa isolat RH4003 dan L32 memberikan penekanan yang sama pada pengamatan 45 hst walaupun pada awalnya isolat RH4003 kurang mampu memberikan penekanan terhadap penyakit ini dibanding L32. Indeks penekanan oleh isolat RH4003 dan L32 nilainya sama yaitu 62%. Lapangan. Pengaruh aplikasi agens biokontrol melalui perendaman akar bibit pada plot percobaan di luar rumah kaca disajikan dalam Gambar 6. Dalam percobaan ini P. fluorescens Gi19 dan B. subtilis AB89 memberikan penekanan terhadap perkembangan penyakit yang relatif paling besar dan konsisten hingga tanaman berumur 22 hst. Isolat bakteri L32 pada perlakuan ini relatif paling kecil penekanannya dibanding isolat yang lain, tetapi pada pengamatan 22 hst penekanannya lebih besar dibandingkan dengan isolat RH4003. Indeks penekanan oleh isolat L32, B. subtilis AB89, Pf Gi19, isolat R4011 dan isolat RH4003 berturut-turut adalah: 28, 34, 24, 13 dan 30 %. Pada percobaan ini ternyata B. subtilis AB89 menghasilkan indeks penekanan paling tinggi. Index penekanan agens biokontrol di rumah kaca ternyata lebih tinggi dibandingkan di lapangan. Isolat RH4003 di rumah kaca mampu menekan keparahan penyakit hingga 62% tetapi di lapangan hanya 30%. Isolat L32 bahkan lebih rendah lagi, di rumah kaca index penekanannya mencapai 62% sedangkan di lapangan hanya 28%. Hal ini umum terjadi pada aplikasi agens biokontrol, karena di rumah kaca lingkungan tumbuh tanaman sudah diatur. Di dalam rumah

44 27 kaca suhu diusahakan stabil pada 26 o C dengan menggunakan pemanas sehingga kehidupan agens biokontrol tidak terpengaruh. Penggunaan tanah yang relatif steril menyebabkan persaingan dengan mikroorganisme lain berkurang atau tidak ada. Pertumbuhan tanaman di dalam rumah kaca juga relatif lebih baik dibandingkan di lapangan sehingga lebih tahan terhadap serangan patogen. 45 Keparahan penyakit (%) Kontrol R4011 RH4003 Gi19 L32 27 hst 34 hst 40 hst 45 hst Isolat agens biokontrol Gambar 5. Pengaruh agens biokontrol terhadap perkembangan penyakit layu bakteri di dalam rumah kaca; agens biokontrol diaplikasikan dengan perendaman akar bibit tomat dalam suspensi agens biokontrol sebelum pindah tanam Keparahan penyakit (%) hst 15 hst 17 hst 19 hst 22 hst Umur tanaman (hari setelah tanam) Kontrol RH 4003 R 4011 AB Gi 19 L32 Gambar 6. Kemampuan agens biokontrol dalam menekan penyakit layu bakteri di lapangan; aplikasi melalui perendaman akar bibit sebelum pindah tanam Di lapangan, kondisi-kondisi tersebut tidak dapat dipertahankan seperti di dalam rumah kaca. Suhu tanah di lapangan kemungkinan berubah-ubah dan mikroorganisme yang ada juga sangat bervariasi jumlah dan jenisnya. Beberapa

45 28 mikroorganisme di lapangan kemungkinan juga menjadi pesaing bagi agens biokontrol yang diaplikasikan. Kemampuan agens biokontrol mengkolonisasi perakaran tomat Patogen R.solanacearum merupakan bakteri tular tanah yang dapat menginfeksi tanaman melalui perakaran. Oleh karena itu salah satu syarat agar dapat bekerja efektif maka suatu agens biokontrol harus dapat mengkolonisasi daerah rizosfer dan rizoplane. Agens biokontrol yang mampu mengkolonisasi rizosfer maupun rizosfer dapat melakukan kontak langsung dengan patogen. Bagi agens biokontrol dengan mekanisme antibiosis maka senyawa antibiotik yang dihasilkan dapat mengenai patogen sedangkan agens biokontrol yang bersifat sebagai pesaing dapat menutup permukaan akar tempat penetrasi awal patogen. Agens biokontrol yang mampu mengkolonisasi daerah rizosfer secara lebih cepat dan lebih besar kemungkinan akan mampu bersaing dengan patogen secara lebih baik. Hasil penghitungan populasi agens biokontrol menunjukkan bahwa populasi isolat-isolat bakteri yang bersifat fluoresen baik yang diaplikasikan dengan penyiraman maupun melalui perendaman benih relatif stabil, yaitu ± 10 8 cfu/g akar. Aplikasi agens biokontrol melalui benih, menggunakan populasi awal yang relatif lebih sedikit dibanding dengan penyiraman tanah, tetapi pada hari ke- 9 setelah perlakuan ternyata populasinya hampir sama dengan populasi bakteri pada perlakuan penyiraman tanah dengan populasi awal yang lebih besar. Hal tersebut berbeda dengan isolat agens biokontrol dari kelompok Bacillus spp. Pada Gambar 7 terlihat bahwa populasi B. subtilis AB89 maupun isolat L32 mengalami penurunan dan pada hari ke-25 populasi B.subtilis AB89 hanya sekitar 10 4 cfu/g akar. Penurunan populasi B.subtilis AB89 kemungkinan ada kaitannya dengan perbedaan habitat. Isolat B. subtilis AB89 merupakan isolat yang berhasil diisolasi dari daun padi, menghasilkan antibiotik kanosamine dan zwittermycin (Furuya et al. 1997). Simon et al. (2001) menyatakan bahwa strain Bacillus pertumbuhannya relatif terbatas dibanding strain Pseudomonas dan ada faktor spesifik dari inang yang diperlukan untuk pertumbuhan Bacillus pada spermosfer tomat.

46 29 Populasi agen biokontrol (log cfu/g akar) RH 4003 R 4011 AB L 32 Gi-19 RH 4003 R 4011 AB L 32 Gi-19 9 hst 13 hst 16 hst 20 hst 25 hst 17 hst 24 hst Isolat agens biokontrol Gambar 7. Dinamika populasi agens biokontrol pada permukaan perakaran bibit tomat; aplikasi melalui perendaman benih (atas) dan penyiraman tanah (bawah). Menurut Brimecombe et al. (2001) kolonisasi akar oleh bakteri terdiri dari empat tahap, yaitu: pergerakan bakteri menuju permukaan akar tanaman secara aktif (induksi spesifik terhadap aktifitas flagella secara kemotaksis), penempelan pada akar, pelekatan (menempel lebih kuat) dan induksi ekspresi gen. Gambar 7 menunjukkan bahwa untuk isolat RH4003, R4011 dan Gi19 aplikasi agens biokontrol melalui perendaman benih maupun penyiraman tanah tidak mempengaruhi tingkat kolonisasi. Hasil ini memberikan gambaran bahwa untuk aplikasi di lapangan lebih baik dilakukan melalui perendaman benih karena lebih praktis dan efisien. Meskipun agens biokontrol yang diberikan hanya sebanyak yang dapat melekat pada benih (jumlahnya relatif lebih kecil dibandingkan dengan yang disiramkan ke dalam tanah) tetapi tingkat kolonisasi pada rhizosfer tidak banyak berbeda dibandingkan dengan tingkat kolonisasi melalui penyiraman tanah. Identifikasi dan karakterisasi agens biokontrol Berdasarkan hasil sekuensing parsial 16S rdna (Gambar 8), isolat RH4003 memiliki kesamaan 98% dengan P. fluorescens. Karakter fisiologi isolat tersebut adalah : Gram negatif, tidak membentuk spora, menghasilkan senyawa

47 30 floresen pada medium King s B agar, Levan negatif, reaksi oksidase positif, Arginine dihydrolase positif (Gambar 10), tidak menghasilkan reaksi hipersensitif pada tembakau, tidak tumbuh pada 41 o C, tidak mencairkan gelatin, dan pertumbuhannya positif pada L-arabinosa, D-galaktosa serta sorbitol. Produksi asam dari xylose positif, lactose negatif, glukosa positif, maltosa negatif dan sukrosa positif lemah. 1 ctcagncgcg ttatcggatt ctgggcgtaa gcgcgcgtag gtggtttgtt aagnntgatg tgaaancacc 71 gggctcaacc tgggaactgc attcaantct gactgactag agtatggtag agggtggtgg aatttcctgt 141 gtagcggtga aatgcgtaga tataggaagg aacaccagtg gcgaaggcga ccacctggac taatactgac 211 actgaggtgc gaaagcgtgg ggagcaaaca ggattagata ccctggtagt ccacgccgta aacgatgtca 281 actagccgtt ggaagccttg agcttttagt ggcgcagcta acgcattaag ttgaccgcct ggggagtacg 351 gccgcaaggt taaaactcaa atgaattgac gggggcccgc acaagcggtg gagcatgtgg tttaattcga 421 agcaacgcga agaaccttac caggccttga catccaatga actttccaga gatggattgg tgccttcggg 491 aacattgaga caggtgctgc atggctgtcg tcagctcgtg tcgtgagatg ttgggttaag tcccgta 1 gagctgacga cagccatgca gcacctgtct caatgttccc gannntacca atccagaaan ggaaagttca 71 ttggatgtca aggcctgnta aggttcttcg cgttgcttcg aattaaacca catgctccac cgcttgtgcg 141 ggcccccgtc aattcatttg agttttaacc ttgcggccgt actccccagg cggtcaactt aatgcgttag 211 ctgcgccact aaaagctcaa ggcttccaac ggctagttga catcgtttac ggcgtggact accagggtat 281 ctaatcctgt ttgctcccca cgctttcgca cctcagtgtc agtattagtc caggtggtcg cctccgccac 351 tggtgttcct tcctatatct acgcatttca ccgctacaca ggaaattcca ccaccctcta ccatactcta 421 gtcagtcagt tttgaatgca gttcccaggt tgagcccggg gatttcacat ccaacttaac aaaccaccta 491 cgcgcgcttt acgcccagta attccgatta acgcttgcac cctctgtatt accgcggctg ct Gambar 8. Sekuens parsial 16S rdna isolat RH4003 ( ) dengan primer 16S-2F (atas) dan primer 16S-3R (bawah) Sekuens parsial 16S rdna isolat L32 setelah dibandingkan pada data Gene Bank ternyata mempunyai kemiripan 99% dengan Bacillus cereus ATCC, B. thuringiensis atau B. anthracis. Pengujian lebih lanjut terhadap kemampuan hemolisis pada agar darah menunjukkan bahwa isolat ini menghasilkan hemolisis ß dan tidak membentuk kristal (parasporal body) seperti pada B. thuringiensis sehingga dapat dipastikan bakteri tersebut adalah B. cereus. Karakter B. cereus L32 adalah : Gram positif, motil, spora terletak di tengah, bacillary body tidak membengkak, pertumbuhan pada 45 o C negatif, dapat tumbuh pada ph 5,7 tetapi tidak dapat tumbuh pada media yang mengandung 7% NaCl, dapat tumbuh secara anaerob pada media glucose broth,

48 31 pembentukan asam dari arabinosa negatif, mannitol negatif, xylose positif, lactose negatif, glucose positif, maltose positif lemah, sucrose positif dan dapat menghidrolisa pati. 1 cnantgtgcg cgtttcggat tattgggcgt aagcgcgcgc aggtggtttc ttaantntga tgtgaaagna 71 cacggctcaa ccgtggaggg tcattggttc ctgggagact tgagtgcaga agaggaaagt ggaattccat 141 gtgtagcggt gaaatgcgta gagatatgga ggaacaccag tggcgaaggc gactttctgg tctgtaactg 211 acactgaggc gcgaaagcgt ggggagcaaa caggattaga taccctggta gtccacgccg taaacgatga 281 gtgctaagtg ttagagggtt tccgcccttt agtgctgaag ttaacgcatt aagcactccg cctggggagt 351 acggccgcaa ggctgaaact caaaggaatt gacgggggcc cgcacaagcg gtggagcatg tggtttaatt 421 cgaagcaacg cgaagaacct taccaggtct tgacatcctc tgaaaaccct agagataggg cttctccttc 491 gggagcagag tgacaggtgg tgcatggttg tcgtcagctc gtgtcgtgag atgttgggt 1 gagctgacga caccatgcac cacctgtcac tctgctcccg aaggagaagc cctatctcta gggttttcag 71 aggatgtcaa gacctggtaa ggttcttcgc gttgcttcga attaaaccac atgctccacc gcttgtgcgg 141 gcccccgtca attcctttga gtttcagcct tgcggccgta ctccccaggc ggagtgctta atgcgttaac 211 ttcagcacta aagggcggaa accctctaac acttagcact catcgtttac ggcgtggact accagggtat 281 ctaatcctgt ttgctcccca cgctttcgcg cctcagtgtc agttacagac cagaaagtcg ccttcgccac 351 tggtgttcct ccatatctct acgcatttca ccgctacaca tggaattcca ctttcctctt ctgcactcaa 421 gtctcccagt ttccaatgac cctccacggt tgagccgtgg gctttcacat cagacttaag aaaccacctg 491 cgcgcgcttt acgcccaata attccggata acgcttgcca cctacgtatt accgcg Gambar 9. Sekuens parsial 16S rdna isolat L32 ( ) dengan primer 16S- 2F (atas) dan primer 16S-3R (bawah)

49 32 a c b + d Gambar 10. Karakter P. fluorescens RH4003; a) produksi senyawa fluoresen pada medium King s B, b) hasil pewarnaan spora (negatif), c) reaksi arginin dihydrolase positif (kiri), d) bentuk koloni pada media King s B Gambar 11. Karakter B. cereus L32; Reaksi hemolisis ß pada agar darah (kiri) dan deteksi pembentukan spora melalui pewarnaan spora (kanan); spora berwarna hijau-biru, sel vegetatif berwarna merah

50 33 Gambar 12. Bentuk koloni pada medium TSA; B. cereus L32 (kiri atas dan bawah) dan B. subtilis AB89 (kanan atas dan bawah) Gambar 13. Produksi asam dari xylosa oleh agens biokontrol; 1, kontrol + vaselin, 2) kontrol vaselin, 3) P.fluorescens RH vaselin, 4) P.fluorescens RH vaselin, 5) B. cereus L32 + vaselin, 6) B. cereus L32 vaselin, 7) B. subtilis AB89 + vaselin, 8) B. subtilis AB89 vaselin.

51 34 KESIMPULAN Berdasarkan hasil pengujian pada media agar dan media cair maka agens biokontrol yang potensial ada tiga, yaitu: B. subtilis AB89, bakteri isolat RH4003 dan L32. Ketiga isolat biokontrol tersebut tidak bersifat fitotoksik terhadap benih maupun pertumbuhan kecambah serta tanaman tomat dan mampu menekan perkembangan penyakit layu bakteri baik di rumah kaca maupun di lapangan. Indeks penekanan penyakit yang disebabkan oleh isolat RH4003 dan L32 di rumah kaca relatif lebih tinggi (masing-masing sebesar 62%) dibandingkan dengan di lapangan, yaitu berturut-turut sebesar 30 dan 28%. Hingga hari ke-24 setelah diaplikasikan ke dalam tanah maupun melalui perendaman benih populasi isolat RH4003 masih relatif tinggi yaitu ± 10 8 cfu/g akar. Identifikasi berdasarkan karakter fisiologi dan sekuens sebagian 16S rdna isolat RH4003 teridentifikasi sebagai P. fluorescens RH4003 sedangkan isolat L32 teridentifikasi sebagai B. cereus L32. Berdasarkan nilai index penekanan dan kemampuan mengkolonisasi perakaran maka agens biokontrol yang lebih direkomendasikan adalah P. fluorescens RH4003 dengan perlakuan benih. DAFTAR PUSTAKA Alabouvette C, Schippers B, Lemanceau P, Bakker PAHM. Biological control of fusarium wilts: Toward development of commercial products. Di dalam: Boland GJ, Kuykendall LD. Editors. Plant-Microbe Interactions and Biological Control. New York: Marcell Dekker, Inc. Hlm Andrews JH Biological control in the phyllosphere. Annu. Rev. Phytopathol. 30: Arlat M et al Studies on the hrp pathogenicity genes from Pseudomonas solanacearum GMI1000. Dalam: Hartman GL, Hayward AC. Editors. Bacterial wilt. Proceedings of an International Symposium, Kaohsiung, Taiwan, ROC, October ACIAR Proceedings No. 45. Canberra: ACIAR. Hal Arwiyanto T, Goto M., Tsuyumu S, and Takikawa Y Biological control of bacterial wilt of tomato by an avirulent strain of Pseudomonas solanacearum isolated from Strelitzia reginae. Ann. Phytopathol. Soc. Jpn. 60:

52 Bernal G, Illanes A, Ciampi L Isolation and partial purification of a metabolite from a mutant strain of Bacillus sp. with antibiotic activity against plant pathogenic agents. Electronic Journal of Biotechnology (online). 15 April 2002, vol. 5, no. 1. [ ejbiotechnology. info /content/vol4/issue1/full/8/]. 20 Februari Brimecombe MJ, De Leij FA, and Lynch JM The effect of root exudates on rhizosphere microbial populations. Di dalam: Pinton R, Varanini Z, Nannipieri P. Editors. The rhizosphere: Biochemistry and organic substances at the soil-plant interface. New York: Marcel Dekker, Inc. Hlm Furuya N et al Antimicrobial activities of pseudomonads against plant pathogenic organisms and efficacy of Pseudomonas aeruginosa ATCC7700 against bacterial wilt of tomato. Ann. Phytopathol. Soc. Jpn. 63: Hartman GL, Wong WF, Hanudin, and Hayward AC Potential of biological and chemical control of bacterial wilt. Di dalam: Hartman GL, and Hayward AC. Editors. Bacterial wilt. Proceedings of an international symposium, Kaohsiung, Taiwan, ROC, October ACIAR Proceedings No.45. Canberra: ACIAR. Hlm Hartman GL, Elphinstone JG Advances in the control of Pseudomonas solanacearum race 1 in major food crops. Di dalam: Hayward AC, Hartman GJ. Editors. Bacterial wilt: The disease and its causative agent, Pseudomonas solanacearum. Wallingford: CAB International. Hlm Hayward AC Biology and epidemiology of bacterial wilt caused by Pseudomonas solanacearum. Annu. Rev. Phytopathol. 29: Howie WJ, and Suslow TV Role of antibiotic biosynthesis in the inhibition of Pythium ultimum in the cotton spermosphere and rhizosphere by Pseudomonas fluorescens. Molecular Plant-Microbe Interaction 4: Hsu ST, Chen CC, Liu HY, and Tzeng KC Colonization of roots and control of bacterial wilt of tomato by fluorescens pseudomonads. Di dalam: Hartman GL, Hayward AC. Editors. Bacterial wilt. Proceedings of an international symposium, Kaohsiung, Taiwan, ROC, October ACIAR ProceedingsNo.45. Canberra: ACIAR. Hlm Klement Z, Rudolph K, Sands DC Methods in Phytobacteriology, Budapest: Akademiai Kiado. 35

53 Schaad NW, Jones JB, and Chun W Laboratory guide for identification of plant pathogenic bacteria, 3 rd eds. The American Phytopathological Society, St. Paul, Minnesota, USA. Scott JW, Somodi GC, and Jones JB Testing tomato genotypes and breeding for resistance to bacterial wilt in Florida. Di dalam: GL, Hayward AC. editor. Bacterial wilt. Proceedings of an international symposium, Kaohsiung, Taiwan, ROC, October ACIAR ProceedingsNo.45. Canberra: ACIAR. Hlm Shekhawat GS, Chakrabarti SK, Kishore V, Sunaina V, and Gadewar AV Possibilities of biological management of potato bacterial wilt with strains of Bacillus sp., B. subtilis, Pseudomonas fluorescens and actinomycetes. Di dalam: Hartman GL, Hayward AC. Editors. Bacterial wilt. Proceedings of an international symposium, Kaohsiung, Taiwan, ROC, October ACIAR Proceedings No.45. Canberra: ACIAR. Hlm Thierry XJ, Wang JF Variation in genotype and aggressiveness diversity of Ralstonia solanacearum race 1 isolated from tomato in Taiwan. Phytopathology 89: Trigalet A, Frey P, Trigalet-Demery D Biological control of bacterial wilt caused by Pseudomonas solanacearum: State of art and understanding. Di dalam: Hayward AC, Hartman GJ. Editors. Bacterial wilt: The disease and its causative agent, Pseudomonas solanacearum, Wallingford: CAB International. Hlm Unterstenhofer G The basic principles of crops protection field trials. Leverhusen: Bayer Pflanzenschutz. Hlm 83. Wiyono S Optimisation of biological control of damping-off of sugar beet (Beta vulgaris L ssp. vulgaris var. altissima Doell) caused by Pythium ultimum Trow by using Pseudomonas fluorescens B5 [dissertation]. Gottingen: Faculty of Agriculture, Georg-August University Gottingen. 36

54 MEKANISME PENGHAMBATAN AGENS BIOKONTROL TERHADAP PENYAKIT LAYU BAKTERI PADA TOMAT (Mechanisms of suppression of biocontrol agents to the bacterial wilt disease of tomato) ABSTRAK Agens biokontrol dapat menghambat perkembangan penyakit maupun populasi patogen melalui beberapa cara, yaitu: produksi senyawa antibioik, persaingan ruang atau nutrisi, kompetisi pemanfaatan unsur Fe melalui produksi siderofor, induksi mekanisme resistensi atau produksi toksin dan enzim ekstraseluler. Satu agens biokontrol kemungkinan memiliki lebih dari satu mekanisme. Penelitian ini bertujuan untuk mendeteksi beberapa karakter terkait dengan mekanisme penghambatan terhadap penyakit layu bakteri. Berdasarkan hasil deteksi ternyata Pseudomonas fluorescens RH4003, Bacillus subtilis AB89 dan B. cereus L32 masing-masing memiliki dua atau tiga karakter yang berhubungan dengan mekanisme penghambatan terhadap penyakit layu bakteri. Ketiga agens biokontrol mampu menginduksi ketahanan tomat melalui peningkatan produksi enzim peroksidase pada akar. P. fluorescens RH4003, B. subtilis AB89 dan B. cereus L32 juga menghasilkan siderofor. B. subtilis AB89 dan B. cereus L32 menghasilkan enzim protease sedangkan P. fluorescens RH4003 tidak. Induksi tertinggi terhadap aktifitas peroksidase terjadi pada tanaman yang diberi B. subtilis AB89. Ketiga agens biokontrol tidak menghasilkan enzim kitinase dan HCN. Kata kunci: peroksidase, siderofor, protease ABSTRACT Biocontrol agents could suppress disease development and population of the pathogen by production of antibiotic compounds, competition of niche and nutritions, competition of iron by production of siderofor, induced mechanisms of resistance or production of toxin and extracellular enzyme. A biocontrol agent could produce one or more mechanisms. The aim of this experiment is to detect some characters of the biocontrol agents related to the mechanisms of suppression to the bacterial wilt disease. Pseudomonas fluorescens RH4003, Bacillus subtilis AB89 and B. cereus L32, each of them, was detected have two or three characters related to the mechanism of suppressions to the bacterial wilt disease. All of the biocontrol agents were able to induce the resistance of tomato by increasing the production of peroxidase in the root. P. fluorescens RH4003, B. subtilis AB89 and B. cereus L32 were also produce siderophore. B. subtilis AB89 and B. cereus L32 produced protease but P. fluorescens RH4003 did not.

55 The highest induction to the peroxidase activity was given by B. subtilis AB89. All of the biocontrol agents did not produce chitinase and HCN. Key words: peroxidase, siderophore, protease 38 PENDAHULUAN Agens biokontrol dapat menghambat perkembangan penyakit maupun populasi patogen melalui beberapa cara, yaitu: produksi senyawa antibiosis, persaingan ruang atau nutrisi, kompetisi pemanfaatan unsur Fe melalui produksi siderofor, induksi mekanisme resistensi, inaktivasi faktor perkecambahan pathogen, degradasi faktor patogenisitas seperti misalnya toksin, parasitisme yang melibatkan produksi enzim ekstraseluler pendegradasi dinding sel, misalnya: kitinase, ß-1,3 glukanase (Keel & Defago 1997). Antagonisme melalui produksi siderofor banyak diteliti pada kelompok Pseudomonas. Siderofor merupakan senyawa dengan berat molekul rendah yang memiliki kemampuan mengchelat unsur besi (Leong 1986; Crowley 2001). Siderofor yang sudah banyak diteliti dan dilaporkan adalah pyoverdin. Hasil penelitian. Mirleu et al. (2001) menyatakan bahwa nitrat reduktase dan pyoverdine terlibat dalam kebugaran tipe liar dari strain P. fluorescens C7R12. Jenis siderofor yang lain adalah pyochelin (Buysen et al. 1996). Peranan pyoverdine dan pyochelin dalam menekan Pythium splendens diuji dengan menggunakan berbagai mutan yang tidak menghasilkan siderofor dari P. aeruginosa 7NSK2 pada tomat. Produksi kedua siderofor terbukti penting untuk menjaga tingkat penekanan oleh tipe liar bakteri tersebut terhadap penyakit rebah kecambah yang disebabkan oleh Pythium (Crowley 2001). Produksi pigmen fluoresen berwarna kuning-hijau yang berfungsi sebagai siderofor oleh Pseudomonas kelompok fluoresen telah terbukti berperan dalam pengendalian berbagai penyakit tular tanah (Leong 1986; Weller 1988). Hal tersebut dibuktikan juga oleh Hsu et al. (1993) dari hasil penelitiannya bahwa apabila ditambahkan FeCl3 sebanyak 100 um atau lebih ke dalam medium King s B maka Pseudomonas kelompok fluorescens (FP) strain D-4, T-9-1, G-14 dan G-59

56 39 tidak menghasilkan pigmen lagi dan juga kehilangan kemampuan untuk menghambat R. solanacearum. Mekanisme penghambatan yang lain adalah produksi senyawa antibiosis. Whipps (2001) menyebutkan berdasarkan beberapa literatur, senyawa-senyawa yang dihasilkan oleh bakteri agens biokontrol in vitro dan in vivo adalah: ammonia, butyrolactone, 2,4-diacetylphloroglucinol, kitinase, ß-1,3 glukanase. Senyawa beracun 2,4-Diacetylphloroglucinol (Phl) memiliki peranan penting dalam menekan berbagai patogen tular tanah (Keel et al. 1992; Raaijmakers et al. 1999). Raaijmakers et al. (1999) selanjutnya menyatakan bahwa produksi Phl di rizosfer gandum sangat erat hubungannya dengan kemampuan strain yang diintroduksikan dalam mengkolonisasi perakaran. Enzim lain yang berperan dalam pengendalian penyakit adalah enzim protease ekstraseluler yang diproduksi oleh Stenotrophomonas maltophila untuk mengendalikan Pythium ultimum pada rizosfer tanaman gula bit (Dunne et al. 1997). Agens biokontrol dapat juga menghambat perkembangan penyakit secara tidak langsung melalui induksi resistensi inang. Salah satu perubahan yang dapat diamati pada tanaman yang menunjukkan reaksi induksi resistensi adalah adanya peningkatan aktivitas enzim peroksidase (M Piga et al. 1997; Chen et al. 2000). Enzim peroksidase merupakan prekursor dalam pembentukan lignin. Seringkali beberapa cara dilakukan oleh satu agens biokontrol. Sebaliknya, pada beberapa agens biokontrol cara yang berbeda atau gabungan beberapa cara terjadi dalam menekan penyakit tanaman yang berbeda (Whipps 2001). Dalam penelitian ini akan diamati kemampuan agens biokontrol dalam menghasilkan beberapa faktor penghambat yang berperan dalam penekanannya terhadap penyakit layu bakteri pada tomat. Faktor-faktor tersebut adalah : produksi enzim peroksidase, enzim kitinase, enzim protease dan produksi senyawa HCN. Penelitian ini bertujuan untuk mendeteksi beberapa karakter yang terkait dengan mekanisme penghambatan terhadap penyakit layu bakteri.

57 40 BAHAN DAN METODE Isolat bakteri biokontrol Isolat bakteri yang diuji adalah: P. fluorescens RH4003, B. subtilis AB 89 dan B. cereus L32. Untuk pemeliharaan, semua bakteri ditumbuhkan pada medium King s B Agar. Pengaruh agens biokontrol terhadap aktivitas enzim peroksidase Aktivitas peroksidase diukur berdasarkan metode pengukuran absorbansi langsung menggunakan spektrofotometer. Akar dan batang bawah sepanjang 2 cm dari satu tanaman ditimbang kemudian dihancurkan dengan mortar dalam buffer fosfat 0,01 M, ph 6,0 dengan perbandingan 1:4. Hasil hancuran disaring menggunakan kertas saring dan disentrifusi dengan kecepatan 5000 rpm selama 30 menit pada suhu 4 o C. Supernatan yang diperoleh digunakan sebagai sediaan enzim. Semua pekerjaan dilakukan pada suhu < 5 o C. Untuk pengamatan aktivitas enzim, sebanyak 0,2 ml sediaan enzim yang sudah diencerkan 1:3 dengan buffer fosfat 0,01 M, ph 6,0 dimasukkan ke dalam tabung reaksi berdiameter 1 cm yang berisi 5 ml larutan pirogalol 0,5 M dan 0,5 ml H 2 O 2 1%. Campuran dihomogenkan selama 5 10 detik dan dihitung nilai absorbansinya pada panjang gelombang 420 nm dengan interval waktu setiap 30 detik selama 150 detik. Apabila nilai absorban terlalu tinggi dapat dilakukan pengenceran terhadap sediaan enzim dengan buffer fosfat. Sebelum dilakukan penghitungan dengan rumus, nilai absorban yang diperoleh terlebih dahulu dikurangi dengan blanko. Rata-rata nilai absorban (Δ OD = b) dari satu pengamatan dicari dengan menggunakan persamaan regresi (Y=a+bx). Unit aktivitas enzim (UAE) dihitung dengan rumus: UAE = Δ OD x sediaan enzim (ml) bobot basah contol (g) Deteksi enzim kitinase yang dihasilkan oleh agens biokontrol Aktivitas kitinolitik dari agens biokontrol dideteksi menggunakan media King s B dan media minimal yang mengandung 0,2%koloidal kitin. Bakteri

58 41 agens biokontrol digoreskan pada media agar dan diinkubasikan pada suhu ruang selama empat hari. Zone bening yang terbentuk di sekeliling koloni bakteri menunjukkan adanya aktivitas kitinolitik. Pembuatan koloidal kitin dilakukan dengan cara melembabkan 15 g kitin dari Crustaceae dengan aseton, kemudian dilarutkan dalam 120 ml HCL dingin dan diaduk-aduk dalam wadah berisi es selama 45 menit. Supernatan disaring menggunakan glass wool dan hasil penyaringan diendapkan. sisa endapan dilarutkan kembali dan disaring tiga kali hingga tidak ada lagi kitin yang mengendap. Suspensi yang mengandung kitin disentrifus dengan kecepatan 4000 rpm. Supernatan hasil sentrifusi dibuang dan peletnya dicuci 3-4 kali dengan 4 l aquadest hingga mencapai ph 2. Koloidal kitin yang diperoleh disimpan dalam pendingin. Apabila akan digunakan, larutan koloidal kitin harus ditambah 1M NaOH hingga mencapai ph 6. Deteksi enzim protease yang dihasilkan oleh agens biokontrol Deteksi produksi enzim protease dilakukan dengan menumbuhkan bakteri biokontrol pada media King s B agar yang mengandung skim milk 10% dalam cawan petri. Biakan diinkubasikan pada suhu 37 o C selama 24 jam. Produksi enzim protease ditunjukkan dengan adanya zone bening di sekeliling koloni bakteri akibat hidrolisa skim milk. Produksi enzim protease untuk pengujian aktivitas protease dilakukan dengan menambahkan 1 ml suspensi agens biokontrol ( cfu/ml) ke dalam erlenmeyer yang berisi 100 ml media King B cair yang mengandung skim milk 2%. Biakan diinkubasikan dalam suhu kamar dan digoyang dengan kecepatan 150 putaran per menit. Setelah diinkubasikan selama 14 dan 24 jam (media biakan terlihat bening), suspensi biakan disentrifugasi dengan kecepatan 4000 rpm selama 15 menit pada suhu 4 o C. Filtrat hasil sentrifugasi disimpan dalam suhu 4 o C untuk selanjutnya diuji aktivitas enzimnya dan ukuran protein enzim yang aktif. Pengujian aktivitas protease dilakukan dengan metode Bergmeyer dan Grassl (1983). Sebanyak 0,05 ml sampel enzim dalam 2 mm CaCl 2 dimasukkan ke dalam tabung reaksi berdiameter 1 cm yang sudah berisi 0,01 M ph 8,0 bufer

59 42 fosfat 0,25 ml; substrat kasein 20 mmol, ph 8,0 sebanyak 0,25 ml. Sebagai blanko digunakan aquadest 0,05 ml dan untuk standar ditambahkan tirosin 0,05 ml. Campuran dikocok menggunakan vortex dan diinkubasikan pada suhu 37 o C selama 10 menit. Masing-masing tabung kemudian ditambah dengan larutan 0,1 M TCA sebanyak 0,5 ml. Pada blanko dan standar ditambahkan enzim dalam 2 mm CaCl 2 sebanyak 0,05 ml sedangkan pada tabung sampel ditambahkan 2 mm CaCl 2 0,05 ml. Campuran divortex dan diinkubasikan pada 37 o C selama 10 menit, kemudian disentrifusi pada 4000 rpm selama 10 menit. Filtrat hasil sentrifusi diambil sebanyak 0,75 ml dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang baru, kemudian ditambah dengan 0,4 M Na 2 CO 3 sebanyak 2,5 ml dan pereaksi Folin (1:2) sebanyak 0,5 ml. Campuran dikocok menggunakan vortex dan didiamkan selama lebih kurang 20 menit pada suhu 37 o C, kemudian dilakukan pembacaan absorbansi menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 578 nm. Aktivitas protease dihitung menggunakan rumus: OD sampel OD blanko faktor koreksi U/ml = x OD standar OD blanko waktu Berat molekul enzim diukur menggunakan elektroforesis dan zimogram dengan standar berat molekul dari Amersham Pharmacia (Uppsala, Swedia). Standar protein yang digunakan adalah standar protein berat molekul rendah (LMW) terdiri dari Fosforilase b (otot kelinci) 94 kda, albumin (serum bovin) 67 kda, ovalbumin (putih telur) 43 kda, karbonat anhidrase (eritrosit bovin) 30 kda, tripsin inhibitor (kedelai) 20,1 kda, dan α-laktalbumin (susu bovin) 14,4 kda. Deteksi produksi sianida oleh agens biokontrol Pembentukan senyawa sianida dideteksi menggunakan metode yang dilaporkan oleh Wei et al. (1991). Bakteri agens biokontrol ditumbuhkan pada medium tryptic soy agar (TSA) yang mengandung glisin 4,4 g/l. Potongan kertas saring steril berukuran 1 x 1 cm dicelupkan ke dalam larutan cyanide detection solution (CDS). Selanjutnya potongan kertas saring tersebut diletakkan dalam tutup cawan petri. Cawan yang sudah berisi biakan dan kertas saring kemudian diinkubasikan pada suhu ruang selama 4 hari. Produksi sianida terlihat dengan

60 43 adanya perubahan warna kertas saring dari kuning menjadi orange kecoklatan. larutan CDS dibuat dengan cara melarutkan 2 g asam pikrat dan 8 g sodium karbonat dalam 200 ml aquadest steril. Deteksi produksi siderofor oleh agens biokontrol Pembentukan siderofor oleh agens biokontrol dideteksi dengan medium Chrome Azurol S agar (CAS agar) seperti yang disebutkan oleh Gross (1990). Untuk 1 l CAS agar diperlukan 60,5 mg CAS yang dilarutkan dalam 50 ml air dan dicampur dengan 10 ml larutan zat besi (III) (1 mm FeCl 3.6H 2 O dalam 10 mm HCl). Sambil diaduk, larutan tersebut ditambahkan ke dalam HDTMA (72,9 g dalam 40 ml air). Untuk medium agar, sebanyak 100 ml larutan garam (3 g/l KH 2 PO 4 ; 5 g/l NaCl; 10 g/l NH 4 Cl; 20 mm MgSO 4 ; 1 mm CaCl 2 ) dicampur dengan 15 g agar dan 30,24 Pipes (free acid) dalam 750 ml air. NaOH sebanyak 12 g (50% w/v) ditambahkan untuk meningkatkan pka Pipes (ph6,8). Setelah sterilisasi dan suhu mencapai 50 o C, 30 ml casamino acid terdeferasi ditambahkan. Deferasi dilakukan dengan cara mengextraksi 10% (w/v) larutan casamino acid dengan 3% (w/w) 8-hydroxyquinoline dalam kloroform. Glukosa 20% sebagai sumber karbon sebanyak 10 ml ditambahkan dalam keadaan steril. Selanjutnya larutan CAS ditambahkan ke dalam medium agar secara perlahan-lahan agar tidak terbentuk gelembung udara dan dituang ke dalam cawan petri (30 ml per petri). Kultur bakteri agens biokontrol yang berumur 1-2 hari diambil menggunakan jarum ose dan digoreskan pada cawan yang berisi medium CAS agar. Cawan selanjutnya diinkubasikan pada suhu ruang selama jam. Pembentukan siderofor pada medium ditandai dengan adanya warna orange di sekeliling koloni bakteri. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh agens biokontrol terhadap aktivitas enzim peroksidase Bacillus subtilis AB89 ternyata mampu menginduksi aktivitas enzim peroksidase pada tanaman tomat lebih tinggi dibandingkan P. fluorescens RH4003 dan B. cereus L32 (Gambar 13). Aktivitas enzim peroksidase terlihat

61 44 meningkat pada pengamatan 7 hari setelah perlakuan perendaman akar dan kecenderungan agens biokontrol dalam menginduksi aktivitas enzim ini sama dengan pada pengamatan 0 hari setelah perendaman akar dalam suspensi agens biokontrol. B. cereus L32 ternyata memiliki kemampuan paling rendah dalam menginduksi aktivitas peroksidase. Pada gambar tersebut terlihat bahwa tanaman yang diberi perlakuan dengan agens biokontrol memiliki aktivitas peroksidase lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol. Hasil tersebut mirip dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Yedidia et al. (1999) pada tanaman mentimun yang diberi perlakuan dengan Trichoderma harzianum. Aktivitas peroksidase pada akar tanaman yang diberi perlakuan lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak diberi perlakuan (kontrol). Silva et al. (2004) menyatakan bahwa tingginya aktivitas peroksidase biasanya berasosiasi dengan lambatnya proses infeksi dan berhubungan dengan lignifikasi serta pembentukan hidrogen peroksida yang menghambat patogen secara langsung atau pembentukan radikal bebas yang memiliki efek anti mikroba. Enzim peroksidase merupakan salah satu enzim yang berperan dalam proses ketahanan tanaman terhadap patogen (Brimecombe et al. 2001). Peroksidase, lipoksigenase dan phenylalanin amonia lyase berhubungan dengan serangkaian ISR yang diatur oleh jasmonat dan ethylene dan diaktifkan oleh mikroorganisme saprofit termasuk rizobakteria (Loon et al. 1998). Induced Systemic Resistance (ISR) oleh isolat rizobakteria bersifat tidak spesifik (Hoffland et al. 1996; Loon et al. 1998). Sifat tidak spesifik tersebut merupakan suatu keuntungan dari ISR jika dibandingkan dengan pengendalian biologi klasik, dimana antagonis yang terpilih biasanya aktif terhadap satu atau beberapa patogen (Wei et al. 1991). Beberapa perubahan yang terjadi pada akar tanaman yang mengalami ISR menurut menurut berbagai sumber yang dikutip oleh Whipps (2001) adalah: 1) penguatan epidermis dan korteks dinding sel dan terbentuknya penghalang di sekeliling tempat infeksi yang berupa kalus, lignin dan senyawa fenol, 2) peningkatan jumlah beberapa enzim seperti kitinase, peroksidase, polyphenol oxidase dan phenylalanine ammonia lyase, 3) meningkatkan pembentukan fitoaleksin, dan 4) meningkatkan ekspresi gen-gen yang berkaitan dengan kondisi stress.

62 45 Peroksidase penting dalam pembentukan papilla terutama dalam proses lignifikasi papilla. Papilla adalah lapisan pada jaringan sel yang terdiri dari berbagai macam bahan yang terkumpul di antara membran plasma dan dinding sel. Organ ini terbentuk sebagai respon ketahanan inang terhadap gangguan pada permukaan sel seperti misalnya penetrasi oleh patogen dan kerusakan mekanis (Huang 2001). Data pada Gambar 14 menunjukkan bahwa B. subtilis AB89 mengiduksi ketahanan tanaman paling tinggi dibandingkan dengan agens biokontrol yang lain dan hal tersebut konsisten dengan hasil pengujian terhadap kemampuan agens biokontrol ini dalam menekan penyakit di lapangan (Gambar 6). Peroksidase berfungsi dalam ketahanan melalui produksi H 2 O 2 (Peng & Kuc 1992). H 2 O 2 secara langsung dapat bersifat toksik terhadap mikroorganisme dan dapat juga berperan dalam memperkuat dinding sel dengan pembentukan prekursor lignin melalui aktivitas enzim peroksidase (Hammond-Kosack & Jones 1996). Aktivitas enzim (Δ unit absorbansi.mnt -1. mg protein -1 ) W aktu pengamatan (hari setelah perlakuan) RH L32 AB K Gambar 14. Pengaruh perendaman akar tomat dengan agens biokontrol terhadap aktivitas enzim peroksidase Loon (2000) melaporkan bahwa aktivitas peroksidase maupun kandungan hidroksiprolin meningkat secara cepat dari 2 sampai 6 hari setelah inokulasi dengan P. tabacina pada tanaman yang terinduksi, sedangkan pada tanaman yang tidak terinduksi kandungan hidroksiprolinnya tetap sama selama periode

63 46 penelitian. Oleh karena hidroksiprolin nampaknya berperan sebagai bahan untuk lignifikasi oleh peroksidase dan bahan semacam lignin terakumulasi selama proses infeksi jaringan yang terinduksi, maka penguatan dinding sel pada awal proses merupakan komponen penting dalam ekspresi induksi resistensi. Aktivitas proteolitik dari agens biokontrol Berdasarkan pengujian aktivitas proteolitik pada media agar ternyata B. subtilis AB89 dan B. cereus L32 positif sedangkan P. fluorescens RH4003 negatif. Pada Gambar 15 terlihat adanya zone bening di sekeliling pertumbuhan AB 89 dan L32. Hasil pengukuran aktivitas enzim (Gambar 17) terhadap filtrat biakan B. subtilis AB89 dan B. cereus L32 menunjukkan bahwa keduanya memiliki aktivitas protease yang lebih tinggi setelah diinkubasikan selama 14 jam dibandingkan dengan 24 jam. Pada gambar tersebut terlihat bahwa B. cereus L32 memiliki aktivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan B. subtilis AB89, bahkan setelah diinkubasikan selama 24 jam aktivitas protease B. subtilis AB89 menjadi nol. Hasil zimogram (Gambar 16) terhadap protein yang belum dimurnikan menunjukkan adanya satu molekul protein yang memiliki aktivitas kaseinolitik pada B. subtilis AB89 dengan berat molekul 135 kda dan tiga molekul protein pada B. cereus L32 masing-masing dengan berat molekul 58, 74 dan 112 kda. Untuk mengetahui molekul protein yang aktif terhadap R. solanacearum perlu dilakukan pemurnian lebih lanjut terhadap masing-masing protein dan dilakukan uji penghambatan.

64 47 L32 RH4003 AB89 RH4003 Gambar 15. Aktivitas proteolitik oleh B. cereus L32 (kiri) dan B. subtilis AB89 (kanan) pada medium King s B agar yang mengandung skim milk 2%; aktivitas negatif pada P. fluorescence RH4003 (tanda panah) kd a kd a ,1 14, Gambar 16. Zimogram dari filtrat bakteri agens biokontrol tanpa pemurnian; 1) standar berat molekul rendah (LMW), 2) B. cereus L32 dan 3) B. subtilis AB89

65 48 Aktivitas protease (U/ml) AB L32 Bakteri agens biokontrol Gambar 17. Aktivitas protease oleh B. subtilis AB89 dan B. cereus L32 setelah diinkubasikan selama 14 dan 24 jam pada suhu 28 o C dalam media King s B cair; aktivitas protease diukur pada suhu 37 o C selama 10 menit Peranan enzim protease yang dihasilkan oleh agens biokontrol dalam menekan penyakit layu bakteri pada tomat belum banyak diteliti. Peranan langsung terhadap R. solanacearum kemungkinannya tidak ada karena R. solanacearum aktif di dalam pembuluh xylem sehingga enzim-enzim yang berperan dalam patogenisitas kemungkinan tidak terjangkau oleh aktifitas protease yang dihasilkan oleh kedua agens biokontrol tersebut. Enzim protease kemungkinan berperan dalam mendegradasi enzim-enzim atau protein yang berbahaya bagi kelangsungan hidup B. subtilis AB89 atau B. cereus L32 yang dihasilkan oleh mikroorganisme lain yang merupakan pesaing atau antagonis. Jadi enzim protease yang dihasilkan oleh kedua agens biokontrol ini kemungkinan berlaku sebagai alat pertahanan diri atau untuk mendegradari protein sebagai sumber nutrisi. Produksi siderofor Berdasarkan hasil deteksi ternyata P. fluorescens RH4003, B. subtilis AB89 maupun B. cereus L32 positif menghasilkan siderofor setelah diinkubasikan selama 3 hari (Gambar 18). Pada umur biakan 1 sampai 2 setelah ditumbuhkan pada media deteksi B. cereus L32 belum membentuk siderofor. Siderofor merupakan senyawa pengchelat besi yang disekresikan oleh mikroorganisme dan

66 49 tanaman kelompok rumput-rumputan (Gramineae) sebagai tanggapan terhadap kekurangan besi. Siderofor sudah banyak dipelajari nilai pentingnya dalam menekan penyakit tanaman melalui persaingan zat besi. Peningkatan jumlah organisme penghasil siderofor dalam rizosfer dihubungkan dengan meningkatnya penekanan penyakit dan dapat ditingkatkan dengan penambahan kompos (Crowley 2001). Produksi siderofor merupakan salah satu mekanisme yang dimiliki oleh agens biokontrol dalam menekan patogen. Agens biokontrol seringkali memiliki beberapa mekanisme yang berperan secara bersama-sama dalam menekan patogen. Untuk melihat mekanisme mana yang lebih berperan pada suatu agens biokontrol, Mulya et al. (1996) telah melakukan percobaan dengan P. fluorescens strain PfG32 yang diisolasi dari rizosfer bawang merah. Dari hasil penelitiannya terlihat bahwa bakteri tersebut secara aktif menekan kejadian penyakit layu bakteri pada tomat dan menghasilkan siderofor maupun antibiotik. Setelah mengisolasi beberapa mutan yang tidak menghasilkan antibiotik atau siderofor, kemampuan penghambatan layu bakteri oleh strain yang berbeda dibandingkan. Mutan yang tidak menghasilkan antibiotik tetapi menghasilkan siderofor kurang efektif dibandingkan dengan strain yang menghasilkan kedua senyawa tersebut atau yang hanya menghasilkan antibiotik saja tanpa siderofor. Siderofor yang dihasilkan oleh agens biokontrol akan efektif apabila Fe 3+ yang tersedia di dalam tanah rendah. Pada tanah dengan kandungan Fe 3+ rendah maka siderofor akan mengchelat sebagian besar Fe 3+ tersebut sehingga mikroorganisme lain yang tidak menghasilkan siderofor tidak akan mendapatkan Fe 3+. Ketersedaiaan Fe 3+ sangat dipengaruhi oleh ph tanah atau media tumbuh. Pada media yang bersifat asam kemungkinan Fe 3+ yang tersedia cukup tinggi sehingga peranan siderofor dalam menekan perkembangan organisme lain terutama patogen menjadi berkurang. Pada Gambar 18 terlihat adanya perbedaan warna maupun luas zone pembentukan siderofor antara P. fluorescens RH4003, B. subtilis AB89 dan B. cereus L32. Hal ini menunjukkan kemungkinan jenis dan jumlah siderofor yang dihasilkan berbeda. Siderofor yang dihasilkan oleh P. fluorescens umumnya adalah pyoverdin. Jenis siderofor lain adalah pyochelin dan asam salisilat yang

67 dihasilkan oleh P. earuginosa 7NSK2 (Crowley 2001). Jenis siderofor yang dihasilkan oleh kelompok B. subtilis maupun B. cereus belum pernah dilaporkan. 50 a b b c c Gambar 18. Pembentukan siderofor (warna jingga) di sekeliling koloni bakteri; a) B. cereus L32, b) B. subtilis AB89 dan c) P. fluorescens RH4003 Rachid dan Ahmed (2005) menyatakan bahwa produksi siderofor dipengaruhi oleh logam berat dan senyawa antibiotik. Pertumbuhan bakteri dan produksi siderofor dihambat oleh logam Pb, Hg dan Cd. Streptomycin yang ditambahkan ke dalam medium sukinat ternyata mengurangi produksi siderofor sedangkan penicillin meningkatkan produksi siderofor pada kondisi Fe yang berlebih. Produksi sianida dan enzim kitinase Berdasarkan hasil pengujian ternyata baik P. fluorescens RH4003, B. subtilis AB89 maupun B. cereus L32 tidak menghasilkan senyawa sianida dan kitinase. Pengetahuan tentang mekanisme penghambatan oleh agens biokontrol sangat penting dalam aplikasi. Dengan mengetahui mekanisme yang terjadi maka

BAHAN DAN METODE. Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE. Metode Penelitian BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan dan Rumah Kaca University Farm, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat Metode Penelitian Penyiapan tanaman uji

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat Metode Penelitian Penyiapan tanaman uji BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan pada bulan Juli 2010 Maret 2011. Penelitian dilakukan di Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian,

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penyiapan Tanaman Uji Pemeliharaan dan Penyiapan Suspensi Bakteri Endofit dan PGPR

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penyiapan Tanaman Uji Pemeliharaan dan Penyiapan Suspensi Bakteri Endofit dan PGPR 17 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan di Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor dan di Rumah Kaca, University Farm,

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan waktu penelitian Bahan dan Alat Isolasi dan Uji Reaksi Hipersensitif Bakteri Penghasil Siderofor

BAHAN DAN METODE Tempat dan waktu penelitian Bahan dan Alat Isolasi dan Uji Reaksi Hipersensitif Bakteri Penghasil Siderofor BAHAN DAN METODE Tempat dan waktu penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, dari Oktober 2010

Lebih terperinci

SELEKSI DAN KARAKTERISASI BAKTERI ENDOFIT UNTUK MENEKAN KEJADIAN PENYAKIT LAYU BAKTERI (Ralstonia solanacearum) PADA TANAMAN TOMAT IKA DAMAYANTI

SELEKSI DAN KARAKTERISASI BAKTERI ENDOFIT UNTUK MENEKAN KEJADIAN PENYAKIT LAYU BAKTERI (Ralstonia solanacearum) PADA TANAMAN TOMAT IKA DAMAYANTI SELEKSI DAN KARAKTERISASI BAKTERI ENDOFIT UNTUK MENEKAN KEJADIAN PENYAKIT LAYU BAKTERI (Ralstonia solanacearum) PADA TANAMAN TOMAT IKA DAMAYANTI DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT

Lebih terperinci

Gambar 1 Tanaman uji hasil meriklon (A) anggrek Phalaenopsis, (B) bunga Phalaenopsis yang berwarna putih

Gambar 1 Tanaman uji hasil meriklon (A) anggrek Phalaenopsis, (B) bunga Phalaenopsis yang berwarna putih BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Isolasi dan perbanyakan sumber inokulum E. carotovora dilakukan di Laboratorium Bakteriologi Departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian, Institut Pertanian

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Pembiakan P. fluorescens dari Kultur Penyimpanan

BAHAN DAN METODE. Pembiakan P. fluorescens dari Kultur Penyimpanan BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor mulai bulan Februari

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu 15 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan di laboratorium dan rumah kaca Hama dan Penyakit dan rumah kaca Balai penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (BALITTRO), Bogor; pada bulan Oktober

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Isolasi dan Inokulasi Penyebab Busuk Lunak Karakterisasi Bakteri Penyebab Busuk Lunak Uji Gram

HASIL DAN PEMBAHASAN Isolasi dan Inokulasi Penyebab Busuk Lunak Karakterisasi Bakteri Penyebab Busuk Lunak Uji Gram HASIL DAN PEMBAHASAN Isolasi dan Inokulasi Penyebab Busuk Lunak Isolasi daun anggrek yang bergejala busuk lunak dihasilkan 9 isolat bakteri. Hasil uji Gram menunjukkan 4 isolat termasuk bakteri Gram positif

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Isolasi Bakteri Endofit Asal Bogor, Cipanas, dan Lembang Bakteri endofit yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari tiga tempat yang berbeda dalam satu propinsi Jawa Barat. Bogor,

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tabel 1 Kombinasi perlakuan yang dilakukan di lapangan

BAHAN DAN METODE. Tabel 1 Kombinasi perlakuan yang dilakukan di lapangan 13 BAHAN DAN METODE Tempat dan waktu Penelitian ini dilaksanakan di Desa Ciburuy, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor serta di Laboratorium Bakteriologi, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Teknologi pertanian, khususnya dalam pengendalian penyakit tanaman di

BAB I PENDAHULUAN. Teknologi pertanian, khususnya dalam pengendalian penyakit tanaman di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Teknologi pertanian, khususnya dalam pengendalian penyakit tanaman di Indonesia masih banyak mengandalkan penggunaan pestisida. Penggunaan pestisida yang tidak bijaksana

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tomat merupakan salah satu tanaman hortikultura yang penting di dunia.

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tomat merupakan salah satu tanaman hortikultura yang penting di dunia. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tomat merupakan salah satu tanaman hortikultura yang penting di dunia. Tanaman ini mempunyai daya adaptasi yang baik pada berbagai kondisi lingkungan. Luas lahan pertanaman

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan Penelitian Metode Penelitian Isolasi dan Identifikasi Cendawan Patogen

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan Penelitian Metode Penelitian Isolasi dan Identifikasi Cendawan Patogen 14 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Percobaan dilaksanakan dari bulan Maret sampai bulan Juli 2012 di Laboratorium Mikologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK PENYEBAB PENYAKIT LAYU BAKTERI PADA TANAMAN TEMBAKAU DI PROBOLINGGO

KARAKTERISTIK PENYEBAB PENYAKIT LAYU BAKTERI PADA TANAMAN TEMBAKAU DI PROBOLINGGO KARAKTERISTIK PENYEBAB PENYAKIT LAYU BAKTERI PADA TANAMAN TEMBAKAU DI PROBOLINGGO Pendahuluan Tembakau merupakan salah satu komoditas perkebunan yang strategis dan memiliki nilai ekonomi cukup tinggi.

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat Metode Penelitian Pra-pengamatan atau survei

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat Metode Penelitian Pra-pengamatan atau survei BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Pusat Kajian Buah-Buahan Tropika IPB (PKBT-IPB) Pasir Kuda, Desa Ciomas, Bogor, dan Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan,

Lebih terperinci

Tabel 1 Persentase penghambatan koloni dan filtrat isolat Streptomyces terhadap pertumbuhan S. rolfsii Isolat Streptomyces spp.

Tabel 1 Persentase penghambatan koloni dan filtrat isolat Streptomyces terhadap pertumbuhan S. rolfsii Isolat Streptomyces spp. 4 Tinggi tanaman kumulatif dikonversi menjadi LADKT (luasan area di bawah kurva perkembangan tinggi tanaman) menggunakan rumus sama seperti perhitungan LADKP. KB dihitung dengan rumus (Sutopo 2002): Perhitungan

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ini telah dilaksanakan di Laboratorium Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Riau, Pekanbaru yang berlangsung selama 4 bulan, dimulai dari

Lebih terperinci

EKSPLORASI Pseudomonad fluorescens DARI PERAKARAN GULMA PUTRI MALU (Mimosa invisa)

EKSPLORASI Pseudomonad fluorescens DARI PERAKARAN GULMA PUTRI MALU (Mimosa invisa) EKSPLORASI Pseudomonad fluorescens DARI PERAKARAN GULMA PUTRI MALU (Mimosa invisa) A. Pendahuluan Pseudomonad fluorescens merupakan anggota kelompok Pseudomonas yang terdiri atas Pseudomonas aeruginosa,

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE. Metode Penelitian BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Mikologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, dari bulan Februari sampai

Lebih terperinci

PENGENDALIAN LAYU FUSARIUM PADA TANAMAN PISANG (Musa paradisiaca L.) SECARA KULTUR TEKNIS DAN HAYATI MIFTAHUL HUDA

PENGENDALIAN LAYU FUSARIUM PADA TANAMAN PISANG (Musa paradisiaca L.) SECARA KULTUR TEKNIS DAN HAYATI MIFTAHUL HUDA PENGENDALIAN LAYU FUSARIUM PADA TANAMAN PISANG (Musa paradisiaca L.) SECARA KULTUR TEKNIS DAN HAYATI MIFTAHUL HUDA DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010 ABSTRAK MIFTAHUL

Lebih terperinci

PENGARUH MEDIA FORMULASI DAN JENIS KEMASAN

PENGARUH MEDIA FORMULASI DAN JENIS KEMASAN PENGARUH MEDIA FORMULASI DAN JENIS KEMASAN Bacillus subtilis UNTUK PENGENDALIAN Ralstonia solanacearum (Yabuuchi et al.) PADA TANAMAN TOMAT SECARA IN VITRO SKRIPSI Oleh Tri Vita Lestari NIM. 011510401050

Lebih terperinci

CARA APLIKASI Trichoderma spp. UNTUK MENEKAN INFEKSI BUSUK PANGKAL BATANG (Athelia rolfsii (Curzi)) PADA BEBERAPA VARIETAS KEDELAI DI RUMAH KASSA

CARA APLIKASI Trichoderma spp. UNTUK MENEKAN INFEKSI BUSUK PANGKAL BATANG (Athelia rolfsii (Curzi)) PADA BEBERAPA VARIETAS KEDELAI DI RUMAH KASSA CARA APLIKASI Trichoderma spp. UNTUK MENEKAN INFEKSI BUSUK PANGKAL BATANG (Athelia rolfsii (Curzi)) PADA BEBERAPA VARIETAS KEDELAI DI RUMAH KASSA SKRIPSI OLEH: RAFIKA HUSNA 110301021/AGROEKOTEKNOLOGI PROGRAM

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Kombinasi Agens Biokontrol terhadap Kejadian Penyakit Layu Bakteri

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Kombinasi Agens Biokontrol terhadap Kejadian Penyakit Layu Bakteri HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Kombinasi Agens Biokontrol terhadap Kejadian Penyakit Layu Bakteri Kejadian penyakit adalah angka yang menunjukkan jumlah tanaman sakit dibandingkan dengan jumlah tanaman

Lebih terperinci

BAHAN. bulan Juli diremajakan. pertumbuhan. Gambar 4

BAHAN. bulan Juli diremajakan. pertumbuhan. Gambar 4 14 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian serta di Rumah Kaca University Farm, Institut

Lebih terperinci

BAB 5 PENEKANAN PENYAKIT IN PLANTA

BAB 5 PENEKANAN PENYAKIT IN PLANTA 65 BAB 5 PENEKANAN PENYAKIT IN PLANTA Pendahuluan Penyakit tanaman terjadi ketika tanaman yang rentan dan patogen penyebab penyakit bertemu pada lingkungan yang mendukung (Sulivan 2004). Jika salah satu

Lebih terperinci

KEEFEKTIFAN BAKTERI ENDOFIT DAN PLANT GROWTH PROMOTING RHIZOBACTERIA DALAM MENEKAN PENYAKIT LAYU BAKTERI (Ralstonia solanacearum) PADA TOMAT

KEEFEKTIFAN BAKTERI ENDOFIT DAN PLANT GROWTH PROMOTING RHIZOBACTERIA DALAM MENEKAN PENYAKIT LAYU BAKTERI (Ralstonia solanacearum) PADA TOMAT KEEFEKTIFAN BAKTERI ENDOFIT DAN PLANT GROWTH PROMOTING RHIZOBACTERIA DALAM MENEKAN PENYAKIT LAYU BAKTERI (Ralstonia solanacearum) PADA TOMAT ZHENITA VINDA TRI HANDINI DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS

Lebih terperinci

POTENSI BAKTERISIDA SENYAWA METABOLIT Penicillium spp. TERHADAP Ralstonia solanacearum PENYEBAB PENYAKIT LAYU BAKTERI PADA CABAI KHOIRUNNISYA

POTENSI BAKTERISIDA SENYAWA METABOLIT Penicillium spp. TERHADAP Ralstonia solanacearum PENYEBAB PENYAKIT LAYU BAKTERI PADA CABAI KHOIRUNNISYA POTENSI BAKTERISIDA SENYAWA METABOLIT Penicillium spp. TERHADAP Ralstonia solanacearum PENYEBAB PENYAKIT LAYU BAKTERI PADA CABAI KHOIRUNNISYA DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Metode Penelitian Penyediaan Isolat Fusarium sp. dan Bakteri Aktivator

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Metode Penelitian Penyediaan Isolat Fusarium sp. dan Bakteri Aktivator BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Mikologi, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, dan Laboratorium Mikrobiologi dan Kesehatan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sebagian besar produk perkebunan utama diekspor ke negara-negara lain. Ekspor. teh dan kakao (Kementerian Pertanian, 2015).

PENDAHULUAN. Sebagian besar produk perkebunan utama diekspor ke negara-negara lain. Ekspor. teh dan kakao (Kementerian Pertanian, 2015). 12 PENDAHULUAN Latar Belakang Sub-sektor perkebunan merupakan penyumbang ekspor terbesar di sektor pertanian dengan nilai ekspor yang jauh lebih besar dibandingkan nilai impornya. Sebagian besar produk

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Isolasi dan Reaksi Hipersensitif Bakteri Penghasil Siderofor Asal Cipanas dan Lembang Daerah perakaran tanaman tomat sehat diduga lebih banyak dikolonisasi oleh bakteri yang bermanfaat

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Pembiakan P. fluorescens pada Beberapa Formulasi Limbah Organik Populasi P. fluorescens pada beberapa limbah organik menunjukkan adanya peningkatan populasi. Pengaruh komposisi limbah

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Ditinjau dari aspek pertanaman maupun nilai produksi, cabai (Capsicum annuum L. ) merupakan salah satu komoditas hortikultura andalan di Indonesia. Tanaman cabai mempunyai luas

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Ilmu Penyakit Tumbuhan, Bidang

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Ilmu Penyakit Tumbuhan, Bidang 8 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Ilmu Penyakit Tumbuhan, Bidang Proteksi Tanaman, Jurusan Agroteknologi, Fakultas Pertanian Universitas Lampung

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Metode Penelitian Perbanyakan Propagul Agens Antagonis Perbanyakan Massal Bahan Pembawa Biopestisida

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Metode Penelitian Perbanyakan Propagul Agens Antagonis Perbanyakan Massal Bahan Pembawa Biopestisida 7 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor dan Balai Penelitian Tanaman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dunia setelah padi, gandum, dan jagung (Wattimena, 2000 dalam Suwarno, 2008).

BAB I PENDAHULUAN. dunia setelah padi, gandum, dan jagung (Wattimena, 2000 dalam Suwarno, 2008). 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kentang (Solanum tuberosum L.) merupakan salah satu pangan utama dunia setelah padi, gandum, dan jagung (Wattimena, 2000 dalam Suwarno, 2008). Kentang juga merupakan

Lebih terperinci

Ralstonia solanacearum

Ralstonia solanacearum NAMA : Zuah Eko Mursyid Bangun NIM : 6030066 KELAS : AET-2A Ralstonia solanacearum (Bakteri penyebab penyakit layu). Klasifikasi Kingdom : Prokaryotae Divisi : Gracilicutes Subdivisi : Proteobacteria Famili

Lebih terperinci

KAJIAN INTRODUKSI RHIZOBAKTERIA PSEUDOMONAD FLUORESCENS TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI CABAI DI LAPANG ABSTRAK

KAJIAN INTRODUKSI RHIZOBAKTERIA PSEUDOMONAD FLUORESCENS TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI CABAI DI LAPANG ABSTRAK KAJIAN INTRODUKSI RHIZOBAKTERIA PSEUDOMONAD FLUORESCENS TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI CABAI DI LAPANG Yenny Wuryandari, Sri Wiyatiningsih, Agus Sulistyono ABSTRAK Penggunaan rhizobakteria PGPR (Plant

Lebih terperinci

ANTAGONISME BAKTERI Pseudomonad fluorescens TERHADAP JAMUR PATOGEN Fusarium oxysporum f. sp. melonis DI RIZOSFER PERKECAMBAHAN MELON SKRIPSI

ANTAGONISME BAKTERI Pseudomonad fluorescens TERHADAP JAMUR PATOGEN Fusarium oxysporum f. sp. melonis DI RIZOSFER PERKECAMBAHAN MELON SKRIPSI ANTAGONISME BAKTERI Pseudomonad fluorescens TERHADAP JAMUR PATOGEN Fusarium oxysporum f. sp. melonis DI RIZOSFER PERKECAMBAHAN MELON SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan dalam Memperoleh

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan Peremajaan Aktinomiset dari Kultur Penyimpanan Perbanyakan Sclerotium rolfsii dari Kultur Penyimpanan

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan Peremajaan Aktinomiset dari Kultur Penyimpanan Perbanyakan Sclerotium rolfsii dari Kultur Penyimpanan BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB) mulai Maret 2011 sampai

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT PADA BUDIDAYA CABAI MERAH

IDENTIFIKASI DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT PADA BUDIDAYA CABAI MERAH IDENTIFIKASI DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT PADA BUDIDAYA CABAI MERAH Nurbaiti Pendahuluan Produktifitas cabai di Aceh masih rendah 10.3 ton/ha (BPS, 2014) apabila dibandingkan dengan potensi produksi yang

Lebih terperinci

Fusarium sp. ENDOFIT NON PATOGENIK

Fusarium sp. ENDOFIT NON PATOGENIK INDUKSI KETAHANAN KULTUR JARINGAN PISANG TERHADAP LAYU FUSARIUM MENGGUNAKAN Fusarium sp. ENDOFIT NON PATOGENIK Arif Wibowo, Aisyah Irmiyatiningsih, Suryanti, dan J. Widada Fakultas Pertanian, Universitas

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu . Bahan dan Alat Metode Penelitian Survei Buah Pepaya Sakit

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu . Bahan dan Alat Metode Penelitian Survei Buah Pepaya Sakit 5 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman dan Kebun Percobaan Leuwikopo, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Lebih terperinci

TAHLIYATIN WARDANAH A

TAHLIYATIN WARDANAH A PEMANFAATAN BAKTERI PERAKARAN PEMACU PERTUMBUHAN TANAMAN (PLANT GROWTH- PROMOTING RHIZOBACTERIA) UNTUK MENGENDALIKAN PENYAKIT MOSAIK TEMBAKAU (TOBACCO MOSAIC VIRUS) PADA TANAMAN CABAI TAHLIYATIN WARDANAH

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jumlah spesies jamur patogen tanaman telah mencapai lebih dari

BAB I PENDAHULUAN. jumlah spesies jamur patogen tanaman telah mencapai lebih dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jamur fitopatogen merupakan salah satu mikroorganisme pengganggu tanaman yang sangat merugikan petani. Kondisi tersebut disebabkkan oleh keberadaan jamur yang sangat

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Arti Penting Tanaman Tomat Penyakit Layu Bakteri pada Tomat oleh Ralstonia solanacearum

TINJAUAN PUSTAKA Arti Penting Tanaman Tomat Penyakit Layu Bakteri pada Tomat oleh Ralstonia solanacearum TINJAUAN PUSTAKA Arti Penting Tanaman Tomat Tomat (Lycopersicon esculentum Mill.) adalah komoditas hortikultura yang penting di Indonesia dan merupakan salah satu jenis sayuran yang banyak digemari orang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Penyakit Layu Fusarium Pada Pisang

TINJAUAN PUSTAKA Penyakit Layu Fusarium Pada Pisang 5 TINJAUAN PUSTAKA Penyakit Layu Fusarium Pada Pisang Fusarium oxysporum f. sp. cubense (Foc) merupakan cendawan tular tanah (soil borne), penghuni akar (root inhabitant), memiliki ras fisiologi yang berbeda,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh PGPR terhadap Laju Pertambahan Tinggi Tanaman Kedelai

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh PGPR terhadap Laju Pertambahan Tinggi Tanaman Kedelai 23 HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh PGPR terhadap Laju Pertambahan Tinggi Tanaman Kedelai PGPR sebagai rizobakteria memberikan pengaruh tertentu terhadap pertumbuhan tanaman kedelai yang diujikan di rumah

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Penyakit darah (blood disease) merupakan salah satu penyakit penting pada tanaman pisang di Indonesia (Supriadi 2005). Penyakit ini pertama kali dilaporkan pada tahun 1920-an

Lebih terperinci

PENGARUH AGENSIA HAYATI PSEUDOMONAD FLUORESEN TERHADAP PERKEMBANGAN PENYAKIT LAYU (Fusarium sp.) DAN PERTUMBUHAN TANAMAN CABAI (Capsicum Annum L.

PENGARUH AGENSIA HAYATI PSEUDOMONAD FLUORESEN TERHADAP PERKEMBANGAN PENYAKIT LAYU (Fusarium sp.) DAN PERTUMBUHAN TANAMAN CABAI (Capsicum Annum L. PENGARUH AGENSIA HAYATI PSEUDOMONAD FLUORESEN TERHADAP PERKEMBANGAN PENYAKIT LAYU (Fusarium sp.) DAN PERTUMBUHAN TANAMAN CABAI (Capsicum Annum L.) SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan dalam

Lebih terperinci

BAB 6 KOLONISASI RIZOSFER

BAB 6 KOLONISASI RIZOSFER 81 BAB 6 KOLONISASI RIZOSFER Pendahuluan Kolonisasi rhizoplane atau jaringan akar oleh mikrob dikenal sebagai kolonisasi akar, sedangkan kolonisasi mikrob di tanah sekitar perakaran yang masih terpengaruh

Lebih terperinci

FORMULASI BAKTERI PERAKARAN (PLANT GROWTH PROMOTING RHIZOBACTERIA-PGPR)

FORMULASI BAKTERI PERAKARAN (PLANT GROWTH PROMOTING RHIZOBACTERIA-PGPR) FORMULASI BAKTERI PERAKARAN (PLANT GROWTH PROMOTING RHIZOBACTERIA-PGPR) Pendahuluan Pemanfaatan bakteri perakaran atau PGPR dalam bidang perlindungan telah banyak dilaporkan pada beberapa tanaman dan dilaporkan

Lebih terperinci

KEEFEKTIFAN BIOPESTISIDA ORGANIK CAIR UNTUK MENGENDALIKAN PENYAKIT BUSUK LUNAK YANG DISEBABKAN OLEH Erwinia carotovora PADA ANGGREK Phalaenopsis sp.

KEEFEKTIFAN BIOPESTISIDA ORGANIK CAIR UNTUK MENGENDALIKAN PENYAKIT BUSUK LUNAK YANG DISEBABKAN OLEH Erwinia carotovora PADA ANGGREK Phalaenopsis sp. KEEFEKTIFAN BIOPESTISIDA ORGANIK CAIR UNTUK MENGENDALIKAN PENYAKIT BUSUK LUNAK YANG DISEBABKAN OLEH Erwinia carotovora PADA ANGGREK Phalaenopsis sp. CHAIRUL HAKIM DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

ISOLASI DAN UJI ANTAGONIS BAKTERI RESISTEN ANTIBIOTIK DARI TAMBAK UDANG TERHADAP BAKTERI PENYEBAB PENYAKIT VIBRIOSIS TESIS

ISOLASI DAN UJI ANTAGONIS BAKTERI RESISTEN ANTIBIOTIK DARI TAMBAK UDANG TERHADAP BAKTERI PENYEBAB PENYAKIT VIBRIOSIS TESIS ISOLASI DAN UJI ANTAGONIS BAKTERI RESISTEN ANTIBIOTIK DARI TAMBAK UDANG TERHADAP BAKTERI PENYEBAB PENYAKIT VIBRIOSIS TESIS Mariany Razali 087030016 Biologi / Mikrobiologi PROGRAM MAGISTER BIOLOGI FAKULTAS

Lebih terperinci

AKTIVITAS PENGHAMBATAN SENYAWA ANTIMIKROB Streptomyces spp. TERHADAP MIKROB PATOGEN TULAR TANAH SECARA IN VITRO DAN IN PLANTA NURMAYA PAPUANGAN

AKTIVITAS PENGHAMBATAN SENYAWA ANTIMIKROB Streptomyces spp. TERHADAP MIKROB PATOGEN TULAR TANAH SECARA IN VITRO DAN IN PLANTA NURMAYA PAPUANGAN AKTIVITAS PENGHAMBATAN SENYAWA ANTIMIKROB Streptomyces spp. TERHADAP MIKROB PATOGEN TULAR TANAH SECARA IN VITRO DAN IN PLANTA NURMAYA PAPUANGAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kacang Tanah Kacang tanah berasal dari Amerika Selatan, namun saat ini telah menyebar ke seluruh dunia yang beriklim tropis atau subtropis. Cina dan India merupakan penghasil

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Pengambilan sampel tanaman nanas dilakukan di lahan perkebunan PT. Great

BAHAN DAN METODE. Pengambilan sampel tanaman nanas dilakukan di lahan perkebunan PT. Great III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Pengambilan sampel tanaman nanas dilakukan di lahan perkebunan PT. Great Giant Pineapple (GGP) di Lampung Timur dan PT. Nusantara Tropical Farm, Lampung

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. berpotensi sebagai komoditas agribisnis yang dibudidayakan hampir di seluruh

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. berpotensi sebagai komoditas agribisnis yang dibudidayakan hampir di seluruh I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pisang merupakan komoditas penunjang ketahanan pangan dan juga berpotensi sebagai komoditas agribisnis yang dibudidayakan hampir di seluruh negara beriklim tropik maupun

Lebih terperinci

AKTIVITAS PENGHAMBATAN SENYAWA ANTIMIKROB Streptomyces spp. TERHADAP MIKROB PATOGEN TULAR TANAH SECARA IN VITRO DAN IN PLANTA NURMAYA PAPUANGAN

AKTIVITAS PENGHAMBATAN SENYAWA ANTIMIKROB Streptomyces spp. TERHADAP MIKROB PATOGEN TULAR TANAH SECARA IN VITRO DAN IN PLANTA NURMAYA PAPUANGAN AKTIVITAS PENGHAMBATAN SENYAWA ANTIMIKROB Streptomyces spp. TERHADAP MIKROB PATOGEN TULAR TANAH SECARA IN VITRO DAN IN PLANTA NURMAYA PAPUANGAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009

Lebih terperinci

EFIKASI BAKTERI ENDOFIT DAN PLANT GROWTH PROMOTING RHIZOBACTERIA DALAM MENEKAN PERKEMBANGAN PENYAKIT LAYU BAKTERI (Ralstonia solanacearum) PADA TOMAT

EFIKASI BAKTERI ENDOFIT DAN PLANT GROWTH PROMOTING RHIZOBACTERIA DALAM MENEKAN PERKEMBANGAN PENYAKIT LAYU BAKTERI (Ralstonia solanacearum) PADA TOMAT 1 EFIKASI BAKTERI ENDOFIT DAN PLANT GROWTH PROMOTING RHIZOBACTERIA DALAM MENEKAN PERKEMBANGAN PENYAKIT LAYU BAKTERI (Ralstonia solanacearum) PADA TOMAT FITRI FATMA WARDANI DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. Tahap Laboratorium 1. Uji Kemampuan Isolat a. Tempat dan Waktu Penelitian Uji kemampuan 40 isolat bakteri dilaksanakan di laboratorium Biologi dan Bioteknologi Tanah, Fakultas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tomat (Lycopersicum esculantum Mill.) merupakan salah satu komoditas

BAB I PENDAHULUAN. Tomat (Lycopersicum esculantum Mill.) merupakan salah satu komoditas BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tomat (Lycopersicum esculantum Mill.) merupakan salah satu komoditas yang bersifat multiguna dan banyak diminati oleh masyarakat, khususnya di Indonesia, saat ini tomat

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi Virus pada Pertanaman Mentimun

HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi Virus pada Pertanaman Mentimun 16 HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi Virus pada Pertanaman Mentimun Bogor dikenal sebagai salah satu daerah sentra pertanian khususnya tanaman hortikultura seperti buah-buahan, cabai, tomat, kacang panjang,

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan Desember 2014.

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan Desember 2014. III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan Desember 2014. Isolasi dan karakterisasi penyebab penyakit dilakukan di Laboratorium Penyakit

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Kebun Percobaan Tanaman Industri dan Penyegar

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Kebun Percobaan Tanaman Industri dan Penyegar 25 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kebun Percobaan Tanaman Industri dan Penyegar Cahaya Negeri, Abung Barat, Lampung Utara dan Laboratorium Penyakit

Lebih terperinci

DAYA TAHAN HIDUP PSEUDOMONAD

DAYA TAHAN HIDUP PSEUDOMONAD DAYA TAHAN HIDUP PSEUDOMONAD FLUORESEN DI DALAM MATRIKS ORGANIK PILEN TEMBAKAU SURVIVAL OF FLUORESCENT PSEUDOMONAD IN ORGANIC MATRIX OF COATED TOBACCO-SEED Oleh: Triwidodo Arwiyanto Fakultas Pertanian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pisang Cavendish merupakan komoditas pisang segar (edible banana) yang

I. PENDAHULUAN. Pisang Cavendish merupakan komoditas pisang segar (edible banana) yang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pisang Cavendish merupakan komoditas pisang segar (edible banana) yang mendominasi 95% perdagangan pisang di dunia dan produsen pisang Cavendish banyak berasal dari

Lebih terperinci

PERAN AGENS ANTAGONIS DAN TEKNIK BUDIDAYA DALAM PENGENDALIAN TERPADU PENYAKIT LAYU FUSARIUM PADA PISANG LANDES BRONSON SIBARANI

PERAN AGENS ANTAGONIS DAN TEKNIK BUDIDAYA DALAM PENGENDALIAN TERPADU PENYAKIT LAYU FUSARIUM PADA PISANG LANDES BRONSON SIBARANI PERAN AGENS ANTAGONIS DAN TEKNIK BUDIDAYA DALAM PENGENDALIAN TERPADU PENYAKIT LAYU FUSARIUM PADA PISANG LANDES BRONSON SIBARANI PROGRAM STUDI HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

RESPON KETAHANAN BERBAGAI VARIETAS TOMAT TERHADAP PENYAKIT LAYU BAKTERI (Ralstonia solanacearum)

RESPON KETAHANAN BERBAGAI VARIETAS TOMAT TERHADAP PENYAKIT LAYU BAKTERI (Ralstonia solanacearum) JURNAL AGROTEKNOS Juli 2012 Vol.2. No.2. hal. 63-68 ISSN: 2087-7706 RESPON KETAHANAN BERBAGAI VARIETAS TOMAT TERHADAP PENYAKIT LAYU BAKTERI (Ralstonia solanacearum) Resistance Response of Tomato Varieties

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Sampel tanah diambil dari daerah di sekitar risosfer tanaman nanas di PT. Great

III. BAHAN DAN METODE. Sampel tanah diambil dari daerah di sekitar risosfer tanaman nanas di PT. Great 9 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Sampel tanah diambil dari daerah di sekitar risosfer tanaman nanas di PT. Great Giant Pineapple (GGP) Terbanggi Besar, Lampung Tengah dan PT. Nusantara

Lebih terperinci

Pemanfaatan Teknik Kultur In Vitro Untuk Mendapatkan Tanaman Pisang Ambon Tahan Penyakit Fusarium

Pemanfaatan Teknik Kultur In Vitro Untuk Mendapatkan Tanaman Pisang Ambon Tahan Penyakit Fusarium Pemanfaatan Teknik Kultur In Vitro Untuk Mendapatkan Tanaman Pisang Ambon Tahan Penyakit Fusarium Pisang merupakan salah satu komoditas buah-buahan yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia karena

Lebih terperinci

MENGENAL LEBIH DEKAT PENYAKIT LAYU BEKTERI Ralstonia solanacearum PADA TEMBAKAU

MENGENAL LEBIH DEKAT PENYAKIT LAYU BEKTERI Ralstonia solanacearum PADA TEMBAKAU PEMERINTAH KABUPATEN PROBOLINGGO DINAS PERKEBUNAN DAN KEHUTANAN JL. RAYA DRINGU 81 TELPON 0335-420517 PROBOLINGGO 67271 MENGENAL LEBIH DEKAT PENYAKIT LAYU BEKTERI Ralstonia solanacearum PADA TEMBAKAU Oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Antraknosa merupakan salah satu penyakit tanaman yang dapat menurunkan produksi tanaman bahkan dapat mengakibatkan gagal panen. Penyakit ini menyerang hampir semua tanaman.

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Hrp -, IAA +, BPF Hrp -, IAA + + , BPF Hrp. , BPF Hrp -, IAA +, BPF + Hrp. , BPF Hrp. , BPF Hrp. Penambat Nitrogen Penambat Nitrogen

BAHAN DAN METODE. Hrp -, IAA +, BPF Hrp -, IAA + + , BPF Hrp. , BPF Hrp -, IAA +, BPF + Hrp. , BPF Hrp. , BPF Hrp. Penambat Nitrogen Penambat Nitrogen BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi, Departemen Biologi, FMIPA, IPB dan lahan pertanian Kampung Bongkor, Desa Situgede, Karang Pawitan-Wanaraja,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanaman cabai (Capsicum annuum L.) merupakan salah satu komoditas hortikultura yang banyak dibudidayakan oleh petani di Indonesia, karena memiliki harga jual yang tinggi.

Lebih terperinci

FUSI GEN KITINASE Aeromonas caviae WS7b DENGAN PROMOTOR sigb DARI Bacillus subtilis 168 DAN EKSPRESINYA PADA Escherichia coli ADE SAPUTRA

FUSI GEN KITINASE Aeromonas caviae WS7b DENGAN PROMOTOR sigb DARI Bacillus subtilis 168 DAN EKSPRESINYA PADA Escherichia coli ADE SAPUTRA FUSI GEN KITINASE Aeromonas caviae WS7b DENGAN PROMOTOR sigb DARI Bacillus subtilis 168 DAN EKSPRESINYA PADA Escherichia coli ADE SAPUTRA DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. eksplorasi dengan cara menggunakan isolasi jamur endofit dari akar kentang

BAB III METODE PENELITIAN. eksplorasi dengan cara menggunakan isolasi jamur endofit dari akar kentang BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian eksplorasi dan eksperimen. Penelitian eksplorasi dengan cara menggunakan isolasi jamur endofit dari akar kentang

Lebih terperinci

II. MATERI DAN METODE

II. MATERI DAN METODE II. MATERI DAN METODE 2.1 Materi, Lokasi, dan Waktu Penelitian 2.1.1 Materi Alat yang digunakan dalam penelitian adalah cawan petri, tabung reaksi, gelas ukur, pembakar spiritus, pipet, jarum ose, erlenmeyer,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit layu fusarium yang disebabkan oleh jamur patogen Fusarium sp.

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit layu fusarium yang disebabkan oleh jamur patogen Fusarium sp. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Penyakit layu fusarium yang disebabkan oleh jamur patogen Fusarium sp. merupakan salah satu penyakit yang sering menyerang tanaman pertanian termasuk tanaman

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Kondisi Umum Tanaman Phalaenopsis pada setiap botol tidak digunakan seluruhnya, hanya 3-7 tanaman (disesuaikan dengan keadaan tanaman). Hal ini disebabkan oleh pertumbuhan tanaman

Lebih terperinci

PEMBAHASAN UMUM Karakterisasi Genotipe Cabai

PEMBAHASAN UMUM Karakterisasi Genotipe Cabai 77 PEMBAHASAN UMUM Karakterisasi Genotipe Cabai Varietas cabai yang tahan terhadap infeksi Begomovirus, penyebab penyakit daun keriting kuning, merupakan komponen utama yang diandalkan dalam upaya pengendalian

Lebih terperinci

KINETIKA AKTIVITAS REDUKSI NITRAT BAKTERI NITRAT AMONIFIKASI DISIMILATIF DARI MUARA SUNGAI PADA KONSENTRASI OKSIGEN (O 2 ) YANG BERBEDA TETI MARDIATI

KINETIKA AKTIVITAS REDUKSI NITRAT BAKTERI NITRAT AMONIFIKASI DISIMILATIF DARI MUARA SUNGAI PADA KONSENTRASI OKSIGEN (O 2 ) YANG BERBEDA TETI MARDIATI KINETIKA AKTIVITAS REDUKSI NITRAT BAKTERI NITRAT AMONIFIKASI DISIMILATIF DARI MUARA SUNGAI PADA KONSENTRASI OKSIGEN (O 2 ) YANG BERBEDA TETI MARDIATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

Penyakit Layu Bakteri pada Kentang

Penyakit Layu Bakteri pada Kentang Penyakit Layu Bakteri pada Kentang Penyakit layu bakteri dapat mengurangi kehilangan hasil pada tanaman kentang, terutama pada fase pembibitan. Penyakit layu bakteri disebabkan oleh bakteri Ralstonia solanacearum

Lebih terperinci

UJI KOMPATIBILITAS DAN KEMAMPUAN DUA AGENSIA HAYATI PSEUDOMONAD FLOURESEN DAN ACTINOMYCETES DALAM MENGHAMBAT PERTUMBUHAN RALSTONIA SOLANACEARUM

UJI KOMPATIBILITAS DAN KEMAMPUAN DUA AGENSIA HAYATI PSEUDOMONAD FLOURESEN DAN ACTINOMYCETES DALAM MENGHAMBAT PERTUMBUHAN RALSTONIA SOLANACEARUM UJI KOMPATIBILITAS DAN KEMAMPUAN DUA AGENSIA HAYATI PSEUDOMONAD FLOURESEN DAN ACTINOMYCETES DALAM MENGHAMBAT PERTUMBUHAN RALSTONIA SOLANACEARUM SECARA IN VITRO SKRIPSI Oleh : SUPRIYONO NPM : 0625010039

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Penyakit Tumbuhan dan Kebun

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Penyakit Tumbuhan dan Kebun 17 III. BAHAN DAN MEODE 3.1 empat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Penyakit umbuhan dan ebun Percobaan di dalam kampus di Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian,

Lebih terperinci

FITOPATOLOGI. Ketua Program Studi / Koordinator Mayor: Sri Hendrastuti Hidayat. Staf Pengajar: Tujuan Pendidikan. Kompetensi Lulusan S2

FITOPATOLOGI. Ketua Program Studi / Koordinator Mayor: Sri Hendrastuti Hidayat. Staf Pengajar: Tujuan Pendidikan. Kompetensi Lulusan S2 Meraih masa depan berkualitas bersama Sekolah Pascasarjana IPB FITOPATOLOGI Ketua Program Studi / Koordinator Mayor: Staf Pengajar: Abdjad Asih Nawangsih Abdul Muin Adnan Abdul Munif Bonny Poernomo Wahyu

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan dengan ketinggian tempat + 25

BAHAN DAN METODE. Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan dengan ketinggian tempat + 25 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian, Medan dengan ketinggian tempat + 25 meter di atas permukaan laut pada bulan

Lebih terperinci

POTENSI Bacillus sp. SEBAGAI AGEN BIOKONTROL PENYAKIT LAYU BAKTERI YANG DISEBABKAN OLEH Ralstonia sp. PADA CABAI (Capsicum annuum L.

POTENSI Bacillus sp. SEBAGAI AGEN BIOKONTROL PENYAKIT LAYU BAKTERI YANG DISEBABKAN OLEH Ralstonia sp. PADA CABAI (Capsicum annuum L. POTENSI Bacillus sp. SEBAGAI AGEN BIOKONTROL PENYAKIT LAYU BAKTERI YANG DISEBABKAN OLEH Ralstonia sp. PADA CABAI (Capsicum annuum L.) Skripsi Sebagai tugas akhir untuk memenuhi syarat mencapai derajat

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian eksplorasi dan eksperimental dengan menguji isolat bakteri endofit dari akar tanaman kentang (Solanum tuberosum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Kedelai menjadi tanaman terpenting ketiga setelah padi dan jagung

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Kedelai menjadi tanaman terpenting ketiga setelah padi dan jagung BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kedelai (Glycine max L.) merupakan salah satu komoditas strategis di Indonesia. Kedelai menjadi tanaman terpenting ketiga setelah padi dan jagung (Danapriatna, 2007).

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE A.

III. BAHAN DAN METODE A. III. BAHAN DAN METODE A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Februari hingga September 2014 di Laboratorium Kimia Fakultas MIPA untuk identifikasi senyawa ekstrak, Laboratorium

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Kasa Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan dengan ketinggian tempat

BAHAN DAN METODE. Kasa Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan dengan ketinggian tempat BAHAN DAN METODE Tempat dan waktu penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Penyakit Tumbuhan dan di Rumah Kasa Fakultas Pertanian, Medan dengan ketinggian tempat + 25 m dpl pada Bulan Mei

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Mikrobiologi Tanah dan Rumah Kaca Balai Penelitian Tanaman Kacang- kacangan dan Umbiumbian

BAB III METODE PENELITIAN. Mikrobiologi Tanah dan Rumah Kaca Balai Penelitian Tanaman Kacang- kacangan dan Umbiumbian BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada tanggal 01 Februari sampai 31 Mei 2011 di Laboratorium Mikrobiologi Tanah dan Rumah Kaca Balai Penelitian Tanaman

Lebih terperinci

KEMAMPUAN PENGHAMBATAN

KEMAMPUAN PENGHAMBATAN KEMAMPUAN PENGHAMBATAN Streptomyces spp. TERHADAP MIKROBA PATOGEN TULAR TANAH PADA BEBERAPA KONDISI PERTUMBUHAN: JENIS MEDIA, WAKTU PRODUKSI, ph, DAN SUHU JUNDATUL ULYA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

Yulin Lestari 1) Rasti Saraswati 2) Chaerani 2)

Yulin Lestari 1) Rasti Saraswati 2) Chaerani 2) PENGEMBANGAN Streptomyces SEBAGAI AGEN PENGENDALI MIKROB PATOGEN TULAR TANAH Yulin Lestari 1) Rasti Saraswati 2) Chaerani 2) 1) Institut Pertanian Bogor 2) Badan Litbang Pertanian LATAR BELAKANG Implementasi

Lebih terperinci

SELEKSI DAN KARAKTERISASI BAKTERI ENDOFIT UNTUK MENEKAN KEJADIAN PENYAKIT LAYU BAKTERI (Ralstonia solanacearum) PADA TANAMAN TOMAT IKA DAMAYANTI

SELEKSI DAN KARAKTERISASI BAKTERI ENDOFIT UNTUK MENEKAN KEJADIAN PENYAKIT LAYU BAKTERI (Ralstonia solanacearum) PADA TANAMAN TOMAT IKA DAMAYANTI SELEKSI DAN KARAKTERISASI BAKTERI ENDOFIT UNTUK MENEKAN KEJADIAN PENYAKIT LAYU BAKTERI (Ralstonia solanacearum) PADA TANAMAN TOMAT IKA DAMAYANTI DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT

Lebih terperinci

LAMPIRAN. Sterilisasi alat dan bahan. Mengisolasi dan Menghitung Populasi Awal dari Bakteri yang Terkandung dalam Biofertilizer komersial

LAMPIRAN. Sterilisasi alat dan bahan. Mengisolasi dan Menghitung Populasi Awal dari Bakteri yang Terkandung dalam Biofertilizer komersial LAMPIRAN 22 LAMPIRAN Lampiran 1: Bagan Alir Cara Kerja Persiapan alat dan bahan penelitian di laboratorium Sterilisasi alat dan bahan Mengisolasi dan Menghitung Populasi Awal dari Bakteri yang Terkandung

Lebih terperinci

KAJIAN MIKROBA RIZOSFER DI KAWASAN PERTANIAN ORGANIK KEBUN PERCOBAAN CANGAR PENDAHULUAN

KAJIAN MIKROBA RIZOSFER DI KAWASAN PERTANIAN ORGANIK KEBUN PERCOBAAN CANGAR PENDAHULUAN P R O S I D I N G 51 KAJIAN MIKROBA RIZOSFER DI KAWASAN PERTANIAN ORGANIK KEBUN PERCOBAAN CANGAR Restu Rizkyta Kusuma, Luqman Qurata Aini, dan Luthfiyyah Khoirunnisaa 1) Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan,

Lebih terperinci

EFEKTIFITAS METABOLIT Trichoderma spp. UNTUK MENGENDALIKAN Ganoderma spp. SECARA In Vitro SKRIPSI OLEH : NI MAL HAMDI BM AGROEKOTEKNOLOGI

EFEKTIFITAS METABOLIT Trichoderma spp. UNTUK MENGENDALIKAN Ganoderma spp. SECARA In Vitro SKRIPSI OLEH : NI MAL HAMDI BM AGROEKOTEKNOLOGI EFEKTIFITAS METABOLIT Trichoderma spp. UNTUK MENGENDALIKAN Ganoderma spp. SECARA In Vitro SKRIPSI OLEH : NI MAL HAMDI BM 100301008 AGROEKOTEKNOLOGI PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Tomat Layu Bakteri pada Tomat

TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Tomat Layu Bakteri pada Tomat TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Tomat Tomat termasuk tanaman perdu semusim, berbatang lemah, daun berbentuk segi tiga, bunga berwarna kuning atau hijau di waktu muda dan kuning atau merah di waktu tua, serta

Lebih terperinci