EFIKASI BAKTERI ENDOFIT DAN PLANT GROWTH PROMOTING RHIZOBACTERIA DALAM MENEKAN PERKEMBANGAN PENYAKIT LAYU BAKTERI (Ralstonia solanacearum) PADA TOMAT

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "EFIKASI BAKTERI ENDOFIT DAN PLANT GROWTH PROMOTING RHIZOBACTERIA DALAM MENEKAN PERKEMBANGAN PENYAKIT LAYU BAKTERI (Ralstonia solanacearum) PADA TOMAT"

Transkripsi

1 1 EFIKASI BAKTERI ENDOFIT DAN PLANT GROWTH PROMOTING RHIZOBACTERIA DALAM MENEKAN PERKEMBANGAN PENYAKIT LAYU BAKTERI (Ralstonia solanacearum) PADA TOMAT FITRI FATMA WARDANI DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

2 2 ABSTRACT FITRI FATMA WARDANI. Efficacy of Endophytic Bacteria and Plant Growth Promoting Rhizobacteria to Supress the Development of Bacterial Wilt Disease (Ralstonia solanacearum) of Tomato). Under the direction of; ABDJAD ASIH NAWANGSIH. Tomato (Lycopersicum esculentum Mill.) is a popular vegetable in Indonesia, but the production levels are still fluctuated. One of the factors affected productivity is the incidence of bacterial wilt disease caused by Ralstonia solanacearum. Effective control to manage the disease which is environmentally friendly is the use of biocontrol agents. Application of endophytic bacterial (Staphylococcus epidermidis BC4) and Plant Growth Promoting Rizhobacteria (Pseudomonas fluorescens RH4003 and Bacillus subtilis AB89) as biocontrol of tomato bacterial wilt was expected to be an alternative tool. The objective of this study is to determine the efficacy of combination among endophytic bacteria and PGPR to suppress the development of bacterial wilt disease (R. solanacearum) and promote the growth of tomato. Depend on the growth test (growth rate and dry weight plant), the combination of bacteria that could promote the growth of tomato plant was combination of S. epidermidis BC4 75% with P.fluorescens RH %. That combination gave a better effect than the other treatments and control, but did not provide better suppression than treatment of single bacterium. Based on sinergism test, the relationship between PGPR and endophytic bacteria was an antagonistic. However, there were combination treatments which were able to suppress the disease, ie. combination of S. epidermidis BC4 50% with P. fluorescens RH % and the combination of S. epidermidis BC4 50% with B. subtilis AB89 50%. Keywords: Endophytic bacteria, PGPR, Pseudomonas fluorescens RH4003, Bacillus subtilis AB89, Staphylococcus epidermidis BC4.

3 3 ABSTRAK FITRI FATMA WARDANI. Efikasi bakteri endofit dan Plant Growth Promoting Rhizobacteria dalam menekan perkembangan penyakit layu bakteri (Ralstonia solanacearum) pada tomat. Dibimbing oleh; ABDJAD ASIH NAWANGSIH. Tomat (Lycopersicum esculentum) adalah salah satu sayuran yang sangat digemari olah banyak masyarakat karena memiliki cita rasa yang khas tetapi tingkat produksinya masih berfluktuasi. Hal ini disebabkan, antara lain adanya gangguan patogen Ralstonia solanacearum yang menyebabkan penyakit layu bakteri. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu cara yang efektif untuk mengendalikan penyakit ini. Salah satunya adalah dengan memanfaatkan bakteri endofit dan Plant Growth Promoting Rizhobacter (PGPR). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keefektifan kombinasi bakteri endofit dan PGPR dalam menekan perkembangan penyakit layu bakteri (R.solanacearum) dan meningkatkan pertumbuhan tomat sebagai alternatif pengendalian yang ramah lingkungan. Berdasarkan uji pemacuan pertumbuhan yang telah dilakukan, kombinasi bakteri yang dapat memacu pertumbuhan tanaman tomat dengan baik adalah kombinasi Staphylococcus epidermidis BC4 75% dengan Pseudomonas fluorescens RH %, karena berdasarkan parameter yang diamati (laju pertumbuhan tinggi tanaman dan bobot kering tanaman) kombinasi tersebut memberikan pengaruh yang lebih baik dibandingkan dengan perlakuan lain maupun kontrol. Sedangkan untuk uji penekan kejadian penyakit perlakuan kombinasi tidak memberikan penekanan yang lebih baik dibandingkan dengan perlakuan tunggal. Hal ini disebabkan hubungan antara PGPR dan bakteri endofit yang digunakan bersifat antagonis. Akan tetapi, dari perlakuan kombinasi yang telah diujikan, perlakuan dengan proporsi 50:50 baik antara S. epidermidis BC4 dengan P. fluorescens RH4003 maupun antara S.epidermidis dengan Bacillus subtilis AB89 merupakan perlakuan yang dapat memberikan penekanan terhadap tingkat kejadian penyakit layu bakteri pada tomat dibandingan dengan proporsi lainnya. Kata kunci: Bakteri endofit, PGPR, Pseudomas fluorescens RH4003, Bacillus subtilis AB89, Staphylococcus epidermidis BC4.

4 4 EFIKASI BAKTERI ENDOFIT DAN PLANT GROWTH PROMOTING RHIZOBACTERIA DALAM MENEKAN PERKEMBANGAN PENYAKIT LAYU BAKTERI (Ralstonia solanacearum) PADA TOMAT FITRI FATMA WARDANI A Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian di Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

5 5 Judul Skripsi Nama Mahasiswa NIM :Efikasi Bakteri Endofit dan Plant Growth Promoting Rhizobacteria dalam Menekan Perkembangan Penyakit Layu Bakteri (Ralstonia solanacearum) pada Tomat : Fitri Fatma Wardani : A Disetujui, Dosen Pembimbing Dr.Ir. Abdjad Asih Nawangsih, M.Si. NIP Diketahui, Ketua Departemen Dr.Ir. Abdjad Asih Nawangsih, M.Si. NIP Tanggal lulus:

6 6 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Pati, Jawa Tengah pada tanggal 14 April Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara pasangan Hono dan Karyatun. Ayah penulis bekerja di Departemen Pertanian Kabupaten Pati sebagai Pengamat Organisme Pengganggu Tanaman (POPT) sedangkan Ibu penulis mengurus lahan sawah dan kebun. Pendidikan formal penulis dimulai saat penulis mulai bersekolah di SDN 02 Wangunrejo pada tahun Pada tahun 2002, penulis lulus dari SDN 02 Wangunrejo dan diterima di SMPN 03 Pati. Pada tahun 2005, penulis lulus dan juga diterima di SMAN 01 Pati. Selama SMA, penulis merupakan salah satu anggota Forum Diskusi Ilmiah. Penulis juga merupakan salah satu anggota kontingen Olimpiade Biologi SMAN 01 Pati. Pada tahun 2008, penulis lulus dari SMAN 01 Pati dan diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama satu tahun penulis menempuh Tingkat Persiapan Bersama (TPB) dan kemudian pada tahun 2009, penulis menjadi mahasiswa Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian IPB. Selama di IPB penulis bergabung dengan UKM Gentra Kaheman, organisasi mahasiswa daerah Ikatan Keluarga Mahasiswa Pati (IKMP), organisasi Himpunan Mahasiswa Proteksi Tanaman (HIMASITA), dan Organic Farming Club. Penulis pernah menjadi asisten praktikum Biologi Patogen Tumbuhan, Ilmu Penyakit Tumbuhan Dasar dan Pemanfaatan dan Pengelolaan Pestisida. Pada tahun 2011 dan 2012, penulis merupakan salah satu Mahasiswa Berprestasi Departemen Proteksi Tanaman. Selain itu, penulis juga pernah mengikuti Program Kreativitas Mahasiswa (PKM). Pada tahun 2010, penulis menjadi anggota PKM-P yang berjudul Uji Pemanfaatan Bakteriofage sebagai Agens Antagonis Patogen Xanthomonas campestris Penyebab Hawar Daun Bakteri pada Padi. Pada tahun 2011, penulis menjadi ketua sekaligus anggota dari dua PKM-P yang berbeda. Penulis menjadi ketua PKM-P yang berjudul Keragaman Cendawan Endofit Padi pada berbagai Varietas dan Cara Budidaya di Daerah Jawa Barat dan Jawa Tengah dan menjadi anggota dari PKM-P yang berjudul Efikasi Bakteriofage sebagai Agens Antagonis Xanthomonas oryzae pv. oryzae Penyebab Hawar Daun Padi dengan Formulasi Liquid dan Powder.

7 7 PRAKATA Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas seluruh rahmat dan anugerah-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan tugas akhir yang berjudul Efikasi Bakteri Endofit dan Plant Growth Promoting Rhizobacteria dalam Menekan Perkembangan Penyakit Layu Bakteri (Ralstonia solanacearum) pada Tomat. Ucapan terima kasih, penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Abdjad Asih Nawangsih, M.Si selaku dosen pemimbing tugas akhir ini, Dr. Ir. Swastiko Priyambodo, M.Si. selaku dosen penguji tamu, Dr. Ir. Damayanti Buchori, M.Sc selaku dosen pembimbing akademik. Selain itu, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada orang tua penulis, Bapak Hono dan Ibu Karyatun, kakak dan adik penulis (Ika Erna Wardani, Sinta Dewi Triawardani dan Maalik), keluarga besar Sastro Ras dan Sumarto, teman-teman Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan (Novra, Riska DO, Elysa, Syaiful, Imam Khoiri, Imam Luthfi, Venny, Bu Lia, Kak Tatit, Kak Izza, Kak Vinda, Mbak Tita), teman-teman DPT 45 (Icut, Sasti, Rita, Nisa, Nuri, Dila, Nengah, Hamda, Titin, Yudia, Sylvi, Isma, dll), temanteman Pondok Nuansa Sakinah 2 Lantai 2 (Dora, Nunu, Jejes, Eya, Azizah, Aul, Dewi, Dina, Lita, Aii, Dela, Nanda) dan pihak-pihak lain yang telah berperan dalam mendukung serta membantu pelaksanaan penelitian dan penyusunan laporan tugas akhir ini yang tidak dapat penulis sebutkan. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan bagi program penelitian Hibah Bersaing Direktorat Pendidikan Tinggi atas alokasi sebagian dana untuk penelitian ini. Seperti kita ketahui bahwa tomat merupakan komotidas yang sangat diminati oleh masyarakat. Namun dalam proses budidayanya, masalah patogen, seperti R. solanacearum penyebab penyakit layu bakteri, merupakan masalah utama karena dapat mengganggu hasil panen secara signifikan. Beberapa dasawarsa terakhir, peningkatan ketahanan tanaman banyak dikembangkan setelah masalah lingkungan juga diperhatikan. Bakteri endofit dan PGPR adalah bakteri memberikan banyak manfaat pada tanaman. Selain dapat meningkatkan ketahanan tanaman terhadap penyakit, bakteri endofit dan PGPR ini dapat memacu pertumbuhan tanaman. Sifat inilah yang coba penulis teliti dalam kaitannya dengan pengendalian patogen pada tanaman tomat, yaitu R.solanacearum. Penulis berharap laporan tugas akhir ini dapat bermanfaat baik bagi penulis maupun bagi pembaca pada umumnya dan salah satu diantaranya adalah petani. Atas segala kesalahan, penulis memohon kebijaksanaan dari semua pihak untuk memaafkannya. Bogor, Agustus 2012 Penulis

8 8 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... Halaman PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang... 1 Tujuan Penelitian... 4 Manfaat Penelitian... 4 TINJAUAN PUSTAKA... 5 Tomat (Lycopersicum esculentum)... 5 Layu Bakteri (Bacterial Wilt)... 6 Pengendalian Penyakit... 9 Bakteri Endofit Plant Growth Promoting Rhizobacteria B. subtilis AB P. fluorescens RH Kombinasi Agens Biokontrol BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penyiapan Tanaman Uji Pemeliharaan dan Penyiapan Suspensi Bakteri Endofit dan PGPR.. 17 Uji Penekanan Kejadian Penyakit Uji Pemacuan Pertumbuhan Rancangan Percobaan dan Analisis Data HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Kombinasi Agens Biokontrol terhadap Kejadian Penyakit Layu Bakteri Pengaruh Kombinasi Agens Biokontrol terhadap Masa Inkubasi Penyakit Layu Bakteri Pengaruh Kombinasi Agens Biokontrol terhadap Laju Pertambahan Tinggi Tanaman Pengaruh Kombinasi Agens Biokontrol terhadap Bobot Kering Tanaman Jenis Hubungan PGPR dan Bakteri Endofit KESIMPULAN DAN SARAN DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN ix ix x

9 9 DAFTAR TABEL Halaman 1 Kode perlakuan dan proporsi suspensi bakteri dalam perlakuan pada uji penekanan penyakit Nilai AUDPC (Area Under Disease Progress Curve) pada berbagai perlakuan bakteri endofit dan PGPR Pengaruh perlakuan bakteri endofit dan PGPR terhadap masa inkubasi penyakit layu bakteri pada tanaman tomat Nilai AUHPGC (Area Under Height of Plant Growth Curve) pada berbagai perlakuan bakteri endofit dan PGPR Bobot kering tanaman tomat pada umur 6 minggu setelah tanam Keefektifan pengendalian (index penekanan penyakit), nilai Sinergy Factor (SF) dan jenis hubungan antara PGPR dan bakteri endofit dari perlakuan kombinasi berdasarkan nilai AUDPC layu bakteri DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Total produksi tomat di Indonesia tahun Gejala layu bakteri pada tanaman tomat dan gejala munculnya akar adventif (tanda panah) pada pangkal batang tanaman tomat Biakan murni dan koloni tunggal S. epidermidis BC4, B. subtilis AB89 dan P. fluorescens RH4003 pada medium NA dan King s B Biakan murni dan koloni tunggal R. solanacearum pada medium TZC, isolat yang virulenadalah isolat yang bagian tengah merah muda dikelilingi lendir berwarna putih (tanda panah) Grafik kejadian penyakit layu bakteri pada berbagai perlakuan bakteri endofit dan PGPR dari minggu ke-1 samapai minggu ke Grafik laju pertambahan tinggi tomat pada berbagai perlakuan bakteri endofit dan PGPR selama enam minggu setelah tanam... 30

10 10 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Kejadian penyakit dan nilai AUDPC tomat dengan berbagai perlakuan pada minggu ke-1 sampai minggu ke-7 setelah tanam Laju pertambahan tinggi dan nilai AUHPGC tomat dengan berbagai perlakuan pada minggu ke-0 sampai minggu ke-6 setelah tanam Hasil analisis ragam tingkat kejadian penyakit layu bakteri di rumah kaca pada minggu 1 sampai Hasil analisis ragam laju pertambahan tinggi tanaman tomat di rumah kaca pada minggu 1 sampai Hasil analisis ragam masa inkubasi penyakit layu bakteri pada tanaman tomat di rumah kaca Hasil analisis ragam nilai AUDPC tomat di rumah kaca Hasil analisi ragam bobot kering tanaman tomat pada rumah kaca Hasil analisis ragam nilai AUHPGC tomat di rumah kaca Suspensi PGPR dan bakteri endofit yang digunakan untuk aplikasi dan pengenceran suspensi PGPR dan bakteri endofit untuk aplikasi Tahapan pemeliharaan R. solanacearum Keadaan tanaman tomat di dalam rumah kaca pada saat pindah tanam dan saat berumur 11 HST Layout percobaan yang digunakan dalam penelitian Keadaan tanaman tomat saat berumur 32 HST... 48

11 PENDAHULUAN Latar Belakang Tanaman tomat (Lycopersicum esculentum Mill.) merupakan salah satu komoditas pertanian yang bernilai ekonomi tinggi dan banyak diusahakan secara komersial di Indonesia. Tomat dapat dijadikan sayuran, minuman, bahan obatobatan maupun bahan untuk komestik (Purwanto dan Tjahjono 2001). Berdasarkan BPS (2012), produksi tomat di Indonesia mulai tahun 2000 sampai 2010 relatif mengalami kenaikan karena jumlah permintaan yang semakin naik pula. Produksi yang meningkat ini didukung dengan meningkatnya luas lahan yang ditanami tomat. Akan tetapi, produksi tomat ini hanya terpusat di daerah Jawa saja sehingga apabila produksi di daerah Jawa ini mengalami gangguan maka kebutuhan tomat masyarakat Indonesia akan terganggu. Selain itu, menurut Jaya (1997) kendala dalam produksi tomat adalah kurang tersedianya tomat varietas unggul yang mempunyai produksi dan kualitas baik, lahan yang cukup, teknik budidaya yang tepat dan tahan terhadap gangguan hama dan penyakit. Salah satu kendala produksi tomat adalah penyakit layu bakteri yang disebabkan oleh Ralastonia solanacearum. R. solanacearum yang menyerang tomat merupakan ras 1 yang banyak menyerang tanaman dari famili Solanaceae. Selain menyerang tanaman dari famili Solanaceae, R. solanacearum juga dapat menyerang tanaman lain, misalnya pisang, jahe, terung, tembakau, dan kacang tanah. Berdasarkan kisaran inangnya inilah, R. solanacearum dibagi menjadi 5 ras (Alvarez et al. 2010). R. solanacearum menyebabkan tanaman tomat mengalami layu mendadak dan memproduksi akar adventif dalam jumlah yang cukup banyak (Purwanto dan Tjahjono 2001). Di daerah tropika, penyakit layu bakteri dapat menyebabkan kerugian yang cukup besar, bahkan dapat menggagalkan panen. Kerugian yang disebabkan penyakit layu bakteri tergantung pada iklim mikro, tipe tanah, teknik budidaya, varietas tanaman, dan tingkat virulensi patogen yang menyerang (Alvarez et al. 2010). Cara-cara pengendalian layu bakteri yang sering dilakukan adalah dengan menggunakan varietas tahan, kultur teknis (sanitasi dan rotasi tanaman), dan pestisida (Hartman dan Elphinstone 1994). Varietas tahan dapat mengendalikan

12 2 penyakit layu bakteri dengan baik, tetapi pengendalian ini tidak dapat digunakan secara lama. Varietas tahan akan memberikan tekanan biologi kepada patogen sehingga akan memunculkan strain-strain baru yang lebih virulen (Almoneafy et al. 2012). Cara kultur teknis dengan sanitasi dan rotasi tanaman juga merupakan cara pengendalian yang cukup efektif dan tidak menimbulkan dampak negatif pada lingkungan. Sanitasi dilakukan dengan cara membuang tanaman-tanaman yang terserang dan membersihkan sisa-sisa tanaman yang tertinggal di lahan. Hal ini akan meminimalkan tanaman tomat terinfeksi patogen karena jumlah inokulum patogen akan menjadi lebih kecil akibat sanitasi. Akan tetapi, sanitasi ini dinilai kurang efisien karena membutuhkan waktu dan tenaga yang cukup banyak. Rotasi tanaman juga dapat mengendalikan penyakit layu bakteri, akan tetapi rotasi tanaman bukan inang ini sulit untuk dilakukan karena patogen memiliki banyak ras yang dapat menginfeksi berbagai tanaman dari berbagai famili (Purwanto dan Tjahjono 2001). Pestisida merupakan alternatif pengendalian utama yang dipilih oleh petani, tapi sampai saat ini belum ada pestisida yang praktis dan efisien untuk mengendalikan penyakit layu bakteri (Hartman dan Elphinstone 1994). Pada awalnya, aplikasi pestisida akan mengurangi jumlah tanaman yang terinfeksi dan akan menguntungkan petani. Akan tetapi, aplikasi pestisida, selain memberikan dampak positif, juga memberikan ancaman terhadap kualitas lingkungan, keseimbangan ekosistem, munculnya strain baru bakteri yang lebih tahan, matinya mikroorganisme nonsasaran dan juga dapat mengancam kesehatan manusia melalui residu yang tertinggal pada buah tomatnya. Pengendalian menggunakan bahan kimia merupakan salah satu penyebab kerusakan lingkungan dan terjadinya ketahanan bakteri (EPPO 3 Mei 2011). Oleh karena itu, dibutuhkan cara pengendalian yang tepat sehingga dapat mengendalikan layu bakteri secara optimal dan efektif tanpa menyebabkan kerusakan lingkungan. Agens biokontrol adalah mahluk hidup yang berperan sebagai penekan perkembangan patogen dengan cara menghambat pertumbuhan dan perkembangan patogen tersebut. Agens biokontrol dapat menekan perkembangan patogen dengan satu atau beberapa mekanisme penghambatan. Mekanisme penghambatan yang terjadi antar agens biokontrol dengan patogen adalah

13 3 kompetisi ruang atau/dan nutrisi, antibiosis dan induksi resistensi (Lo 1998). Kemampuan suatu agens biokontrol dapat ditingkatkan dengan mengombinasikan dua atau lebih agens biokontrol (Guetsky et al. 2001, 2002). Kombinasi ini perlu diperhatikan bahwa masing-masing agens biokontrol tidak saling menghambat (Nawangsih 2006). Persyaratan agar kombinasi dua agens biokontrol atau lebih dapat bekerja secara optimal yaitu: 1) bekerja pada tempat yang berbeda misalnya pada rizosfer atau sisa-sisa bahan organik, 2) memiliki mekanisme pengendalian yang berbeda, misalnya kompetisi dan antibiosis, 3) memerlukan substrat yang berbeda, misalnya lendir tanaman untuk bakteri dan cendawan dan eksudat akar untuk bakteri kelompok pseudomonas, dan 4) kompatibel dengan lingkungan tanah serta perubahan yang terjadi karena peningkatan cara bercocok tanam (Mishra et al. 2011, Robert et al. 2005). Agens biokontrol yang dapat digunakan sebagai alternatif pengendalian dalam rangka mewujudkan sistem pertanian yang berkelanjutan adalah bakteri endofit dan PGPR (Sutariati et al. 2006, Damayanti 2010). Kedua agens biokontrol tersebut dapat dikombinasikan. Menurut Ryan et al. (2007), bakteri endofit adalah bakteri yang mengkolonisasi jaringan tanaman sehat tanpa menyebabkan penyakit pada inangnya. Keberadaannya secara alami, dapat berasosiasi dengan tanaman dalam jangka waktu yang cukup lama, akan tetapi bukan berupa organ spesifik dari tanaman. Bakteri endofit dapat dijadikan sebagai agens pengendali hayati dan dapat memacu pertumbuhan tanaman. Sampai saat ini penelitian tentang bakteri endofit telah dilakukan dengan sampai tahap in planta oleh Damayanti (2010). Berdasarkan hasil penelitian tersebut, dinyatakan bahwa bakteri endofit yang berhasil diisolasi dari batang tanaman tomat tidak memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan tanaman tomat. Bakteri endofit hanya dapat menekan kejadian penyakit layu bekteri serta tidak mampu memacu pertumbuhan tanaman tomat (Damayanti 2010). Menurut Husen (2003), Plant Growth Promoting Rhizobacteria (PGPR) adalah kelompok bakteri menguntungkan yang agresif mengkolonisasi rizosfer. PGPR ini berperan penting dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman, perlindungan hasil panen, meningkatkan kesuburan lahan, serta mempercepat pengomposan. PGPR ini berperan penting dalam meningkatkan pertumbuhan

14 4 tanaman, perlindungan hasil panen, meningkatkan kesuburan lahan, serta mempercepat pengomposan. Bakteri P.fluorescens RH4003 dan B. subtilis AB89 adalah PGPR yang telah berhasil diisolasi dari perakaran tomat. Aplikasi P. fluorescens RH4003 di rumah kaca menunjukkan bahwa isolat tersebut mampu menekan perkembangan penyakit layu bakteri. Aplikasi B. subtilis AB89 di lapangan juga mampu menekan perkembangan penyakit layu bakteri (Nawangsih 2006). Penelitian tentang kombinasi antara bakteri endofit dan PGPR telah dilakukan di lapangan sampai dengan proporsi 50:50. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Handini (2011), aplikasi kombinasi bakteri endofit dan PGPR dengan perbandingan 50% bakteri endofit dan 50% PGPR kurang efektif dalam menekan perkembangan penyakit layu bakteri di lapangan. Aplikasi gabungan antara PGPR dan bakteri endofit juga tidak mempengaruhi pertambahan tinggi tanaman dan bobot kering tanaman. Bakteri endofit S. epidermidis BC4 bersifat antagonis jika dikombinasikan dengan bakteri PGPR P. fluorescens RH4003 dan B. subtilis AB89 dalam perbandingan 50:50. Oleh karena itu, diperlukan proporsi perbandingan yang tepat agar kombinasi S. epidermidis BC4, P. fluorescens RH4003 dan B. subtilis AB89 dapat menurunkan kejadian penyakit layu bakteri dan juga dapat memacu pertumbuhan tomat. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan menguji beberapa proporsi kombinasi bakteri endofit dan PGPR dalam meningkatkan pertumbuhan tomat dan menekan perkembangan penyakit layu bakteri (R. solanacearum). Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan proporsi kombinasi bakteri endofit dan PGPR yang dapat meningkatkan pertumbuhan tomat dan menekan perkembangan penyakit layu bakteri (R. solanacearum) sehingga dapat dimanfaatkan oleh petani.

15 5 TINJAUAN PUSTAKA Tomat (Lycopersicum esculentum) Tomat adalah salah satu sayuran yang sangat dikenal masyarakat. Tomat memiliki ciri khas rasa yang unik sehingga digemari banyak orang. Cita rasa yang khas ini dapat menambah kelezatan berbagai macam masakan dan minuman. Tanaman tomat tergolong dalam tanaman semusim (berumur pendek, kurang dari 1 tahun). Penanamannya perlu ditopang dengan ajir dari turus bambu agar tidak roboh dan tumbuh secara vertikal karena tanaman tomat berbentuk perdu dengan panjang mencapai kurang lebih 2 meter (Jones 2008). Tomat memiliki akar tunggang yang tumbuh menembus ke dalam tanah dan akar serabut yang tumbuh menyebar ke samping tetapi dangkal. Berdasarkan sifat perakarannya ini, tomat akan tumbuh baik di lahan yang gembur dan porous. Batang tomat berbentuk segi empat hingga bulat, lunak tapi cukup kuat, berbulu atau berambut halus dan di antara bulu-bulu itu terdapat rambut kelenjar. Batangnya berwarna hijau, pada ruas-ruas batang mengalami penebalan dan pada ruas bagian bawah tumbuh akar-akar pendek. Daun tomat berbentuk oval, berwarna hijau dan merupakan daun majemuk ganjil yang berjumlah 5 sampai 7. Daun majemuk tumbuh berselang-seling atau tersusun spiral mengelilingi batang tanaman. Bunga tanaman tomat berukuran kecil dan berwarna kuning cerah. Bunga tomat merupakan bunga sempurna dan tumbuh dari cabang yang masih muda. Buah tomat memiliki bentuk dan ukuran yang bervariasi tergantung pada jenisnya. Buah tomat yang masih muda berwarna hijau, bila sudah matang akan berwarna merah. Tomat dapat tumbuh pada tempat dengan ketinggian 0 sampai 1250 m di atas permukaan laut, suhu optimal pada siang hari 23 0 C dan pada malam hari 17 0 C, menyukai tanah dengan derajat keasaman netral terutama yang mengandung humus, gembur, sarang dan berdrainase baik (Jones 2008). Tomat sangat bermanfaat bagi tubuh karena mengandung vitamin dan mineral yang diperlukan untuk pertumbuhan dan kesehatan. Sebagai sumber vitamin, tomat kaya akan vitamin C yang berguna untuk meningkatkan kekebalan tubuh serta mengobati berbagai penyakit, seperti sariawan. Tomat juga kaya akan vitamin A yang dapat mencegah dan mengobati xeropthalmia pada mata, zat besi

16 6 (Fe) yang bermanfaat dalam pembentukan sel darah merah, serat yang dapat membantu penyerapan makanan dalam pencernaan serta kaya akan kalium (K) yang dapat menurunkan tekanan darah tinggi (Jones 2008). Produksi total tomat (ton/tahun) Tahun Gambar 1 Total produksi tomat di Indonesia tahun Sumber: Badan Pusat Statistik ( Tanaman tomat merupakan salah satu komoditas pertanian yang bernilai ekonomi tinggi dan banyak diusahakan secara komersial di Indonesia. Sampai saat ini produksi tomat di Indonesia masih reiatif rendah yaitu 6,30 ton/ha dan pengembangannya masih terpusat di Pulau Jawa (BPS 2012). Jaya (1997) menyebutkan bahwa penyebab menurunnya produksi adalah kurang tersedianya tomat varietas unggul yang mempunyai produksi tinggi, buah berkualitas baik, lahan yang cukup, teknik budidaya yang tepat dan tahan terhadap gangguan hama dan penyakit. Layu Bakteri (Bacterial Wilt) Layu bakteri adalah penyakit yang paling merusak pada tomat. Penyakit ini tersebar luas di daerah tropis. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Purwanto dan Tjahjono (2001), gejala layu bakteri adalah tanaman muda yang terinfeksi akan segera mati, sedangkan tanaman tua menunjukkan daun layu, menguning, kerdil dan akhirnya mati (Gambar 2a). Tanaman tomat yang

17 7 terinfeksi akan membentuk akar adventif di sekitar pangkal batang (Gambar 2b). Akar adventif akan lebih banyak muncul apabila penyakit berkembang pada lingkungan yang kurang mendukung, yaitu suhu rendah, virulensi rendah, resistensi tanaman yang kurang (McCarter 2006). Jaringan pembuluh batang dan akar akan mengalami pembusukan, berwarna coklat tua sampai hitam. Akar juga akan berwarna coklat bila tanaman sudah mengalami layu permanen (McCarter 2006). Apabila bagian batang dipotong, dari jaringan pembuluh akan keluar massa bakteri seperti lendir berwarna putih susu dan lendir lebih banyak keluar bila potongan batang diletakkan di tempat lembab. Jika potongan batang sakit dimasukkan ke dalam gelas berisi air jernih, selama beberapa menit akan terlihat benang-benang putih halus yang akan putus bila gelas digoyang dan air berubah menjadi keruh. Benang putih tersebut merupakan massa bakteri yang biasa disebut dengan oose (Purwanto dan Tjahjono 2001, McCarter 2006). Oose inilah yang membedakan tanaman yang tersinfeksi layu bakteri dengan layu akibat cendawan maupun layu akibat gangguan fisiologis (McCarter 2006). Berdasarkan McCarter (2006) gejala penyakit layu bakteri diawali dengan layunya daun yang paling muda. Layu ini terjadi pada hari yang panas. Layu pada seluruh bagian tanaman akan terjadi bila keadaan lingkungan mendukung perkembangan penyakit. Layu akan terjadi lebih lama bila lingkungan kurang mendukung perkembangan patogen di dalam tanaman. Faktor utama yang mempengaruhi perkembangan penyakit layu bakteri adalah kelembaban tanah. Kelembaban tanah ini sangat berpengaruh terhadap tingkat reproduksi dan ketahanan patogen di dalam tanah. Patogen akan berkembang dengan baik pada kelembaban tanah yang tinggi. Di lapangan, kelembaban tanah ini selalu dihubungkan dengan periode musim hujan yang terjadi pada musim tanam. Periode musim hujan yang tinggi akan menyebabkan kelembaban tanah yang tinggi pula. Selain itu, penyakit akan menjadi lebih parah pada suhu C. Kerdil dapat terjadi pada beberapa tanaman, akan tetapi kerdil jarang sekali terjadi (EPPO 3 Mei 2011).

18 8 a b Gambar 2 a. Gejala layu bakteri pada tanaman tomat; b. Gejala munculnya akar adventif (tanda panah) pada pangkal batang tanaman tomat Patogen penyebab layu bakteri adalah Ralstonia solanacearum. Bakteri ini merupakan bakteri patogen tular tanah. R. solanacearum tersebar luas di daerah tropis, sub tropis, dan beberapa daerah hangat lainnya. Spesies ini juga memiliki kisaran inang luas dan dapat menginfeksi ratusan spesies pada banyak famili. Berdasarkan kisaran inangnya, R. solanacearum dikelompokkan menjadi 5 ras. Ras 1 menyerang tanaman tembakau, tomat dan famili Solanaceae lainnya, ras 2 menyerang tanaman pisang, ras 3 menyerang tanaman kentang, ras 4 menyerang tanaman jahe, dan ras 5 menyerang tanaman mulberry (Hayward dan Elphinstone 1994). R. solanacearum memiliki banyak ras sehingga pengendalian penyakit layu bakteri ini sulit dilakukan (Suryadi dan Mahmud 2002). Patogen masuk ke dalam tanaman melalui luka pada akar, luka pada batang maupun melalui stomata yang menjadi lubang masuk. Patogen kemudian menuju ke sistem pembuluh tanaman. Proses pencapaian sistem pembuluh akan menjadi lebih cepat bila suhu pada saat infeksi tinggi. Setelah mencapai sistem pembuluh kemudian patogen mengkolonisasi xilem. Pada xilem, patogen bereproduksi dengan sangat cepat sehingga memblok saluran xilem. Xilem yang terblok akan menyebabkan tanaman sulit menyalurkan air dan nutrisi sehingga

19 9 tanaman menjadi layu (EPPO 3 Mei 2011, McCarter 2006). Patogen dapat menyebar melalui air irigasi, tanah yang terinfestasi, dan sisa tanaman yang telah terinfeksi (McCarter 2006). Pengendalian Penyakit Pengendalian penyakit layu bakteri sulit untuk dilakukan terutama layu bakteri akibat infeksi R. solanacearum ras 1. Ras 1 sulit dikendalikan karena memiliki kisaran inang yang luas. Teknik pengendalian yang pernah dilakukan adalah rotasi tanaman dengan tanaman bukan inang (Hartman dan Elphinstone 1994). Di Peru, rotasi tanaman dengan jagung dapat mengurangi infeksi patogen dengan cepat. Rotasi tanaman selama 3 tahun dengan padi dapat menurunkan tingkat kejadian penyakit layu bakteri dari 85% menjadi 1.5% di China. Di Indonesia juga pernah dilakukan penelitian tentang pengendalian layu bakteri dengan rotasi tanaman bukan inang dengan menggunakan padi dan jagung selama 2 tahun. Rotasi tanaman tersebut juga dapat menurunkan tingkat kejadian penyakit layu bakteri (Hartman dan Elphinstone 1994). Rotasi tanaman memerlukan waktu yang lama meskipun dapat mengurangi tingkat kejadian penyakit. Pengendalian secara kimiawi biasanya dilakukan dengan menggunakan bakterisida. Bahan kimia komersil, misalnya, antibiotik, pupuk maupun bakterisida telah diuji akan tetapi tidak menghasilkan hasil yang memuaskan. Perlakuan tanah dengan fumigan (kloropikrin) telah diuji dan dapat mengurangi kejadian penyakit akan tetapi pengendalian ini terlalu mahal untuk dilakukan (Hartman dan Elphinstone 1994, McCarter 2006). Antibiotik juga dapat mengurangi kejadian penyakit akan tetapi antibiotik ini dapat mempengaruhi tingkat resistensi patogen sehingga hanya efektif diawal aplikasi saja. Hal ini terbukti dengan meningkatnya kejadian penyakit layu bakteri pada tomat di Mesir yang diaplikasi dengan antibiotik Streptomycin (EPPO 3 Mei 2011). Selain itu, penggunaan bahan kimia dalam pengendalian juga dapat memberikan ancaman terhadap kualitas lingkungan, menyebabkan fitotoksisitas terhadap tanaman inang, menimbulkan patogen yang mempunyai tingkat resistensi yang tinggi, dan hanya

20 10 dapat digunakan untuk mengendalikan penyakit yang berada di jaringan luar tanaman (Sige 1993). Penggunanan tanaman resisten merupakan salah satu pengendalian penyakit layu bakteri yang efektif (Hartman dan Elphinstone 1994). Akan tetapi, menurut Almoneafy et al. (2012), tingkat resistensi dari tanaman resisten tidak dapat menghasilkan hasil yang stabil dan tidak dapat bertahan lama. Selain itu, pengembangan varietas resisten juga memerlukan biaya yang mahal sehingga sulit untuk dilaksanakan (Hartmana dan Elphinstone 1994). Salah satu pengendalian yang efektif serta ramah lingkungan adalah pengendalian biologi. Pengendalian biologi adalah pengendalian dengan menggunakan agen biokontrol untuk berkompetisi dalam mengkolonisasi inang dan untuk menghasilkan antiobiotik dalam rangka menginduksi tanaman agar tumbuh dengan baik atau untuk menghambat perkembangan patogen (Hartman dan Elphinstone 1994). Menurut Sige (1993), mekanisme pengendalian biologi dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu memproduksi bahan anti mikroba (antibiosis) dan persaingan ruang dan nutrisi di tempat yang spesifik pada permukaan tanaman. Berdasarkan bahan anti mikroba yang dihasilkan, aktivitas anti mikroba dan deteksi secara in vitro, bahan anti mikroba yang dihasilkan oleh agens biokontrol dapat dibedakan menjadi tiga yaitu antibiotik, bakteriosin, dan siderofor (Sige 1993). Antibiotik merupakan senyawa organik metabolit sekunder yang dihasilkan oleh mikroba yang mempunyai berat molekul yang rendah dan bersifat toksin bagi mikroba lain (Lo 1998). Antibiotik dalam konsentrasi rendah sangat berbahaya bagi pertumbuhan dan keefektifan metabolisme patogen. Antibiotik memiliki aktivitas dengan kisaran yang lebih luas dibandingkan dengan bahan anti mikroba lain. Adanya antibiotik ini dapat dilihat pada media yang mengandung protease. Kebanyakan antibiotik resisten terhadap protease (Sige 1993). Bakteriosin merupakan substansi bakteri yang tidak bereplikasi dan dapat memberikan efek penghambatan terhadap organisme yang dekat kekerabatannya. Bakteriosin dapat membunuh sel patogen dengan cara melekat pada sel patogen. Setiap patogen hanya dapat ditempeli oleh bakteriosin yang tertentu saja karena

21 11 bakteriosin hanya dapat menempel pada sel patogen yang memiliki reseptor saja. Karena cara kerja yang spesifik inilah maka penggunaan bakteriosin ini dapat digunakan dalam pengendalian biologi (Sige 1993). Siderofor adalah senyawa yang diproduksi agens biokontrol pada lingkungan yang stress besi dan berperan sebagai agen pengkhelat ion besi yang spesifik dari lingkungan. Siderofor ini dapat menghindarkan ion besi dari patogen sehingga pertumbuhan patogen dapat terhambat (Villegas et al. 2002). Agens biokontrol dapat menghasilkan siderofor bila ditumbuhkan dalam media yang rendah besi (media King s B). Produksi siderofor dapat dilihat dengan produksi pigmen fluorescens dan demonstrasi aktivitas antagonistik terhadap bakteri lain. Sebagai bahan anti mikroba yang dapat digunakan dalam pengendalian biologi, siderofor dapat diproduksi oleh agens biokontrol dan berperan aktif pada daerah rhizosfer tanaman (Sige 1993). Pengendalian biologi telah banyak dilakukan untuk mengendalikan penyakit layu bakteri. Agens biokontrol yang biasanya digunakan antara lain adalah R.solanacearum avirulen, Pseudomonas fluorescens, dan Bacillus subtilis. R. solanacearum avirulen yang memproduksi bakteriosin dapat mengurangi kejadian penyakit layu bakteri tomat di rumah kaca (Hartman dan Elphinstone 1994). Mutan avirulen dari R. solanacearum yang mengkolonisasi akar tanaman tomat dapat mencegah kolonisasi R. solanacearum virulen (Hartman dan Elphinstone 1994). P.fluorescens dan B. subtilis juga merupakan agens antagonis yang dapat mengendalikan penyakit layu bakteri tomat dengan efektif (Trigalet et al. 1994). Bakteri Endofit Bakteri endofit adalah bakteri yang hidup di dalam jaringan tanaman (xilem dan floem), daun, akar, buah dan batang. Bakteri ini hidup di dalam tanaman dengan simbiosis yang saling menguntungkan. Bakteri endofit mendapatkan nutrisi dari hasil metabolisme tanaman dan memproteksi tanaman dari hama dan penyakit. Tanaman mendapatkan derivat nutrisi dan senyawa aktif yang diperlukan selama hidupnya. Bakteri endofit yang diperoleh dari bagian

22 12 dalam tanaman dapat menghasilkan sejumlah senyawa bioaktif spesifik yang sama dengan senyawa bioaktif tanaman (Ryan et al. 2007). Penggunaan bakteri endofit dalam pengendalian biologi lebih menguntungkan dibandingkan dengan agens biokontrol lainnya. Bakteri endofit hidup di dalam tanaman inang sehingga dapat bertahan seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan inang. Pertahanan ini dapat menghasilkan perlindungan yang berkelanjutan terhadap tanaman inang (Trigalet et al. 1994). Damayanti (2010) melakukan isolasi bakteri endofit dari tanaman tomat yang berasal dari tiga tempat yaitu Bogor, Cipanas, dan Lembang. Dari hasil isolasi diperoleh sebanyak 49 isolat, 17 diisolasi dari tanaman asal Bogor, 18 isolat dari Cipanas, dan 14 isolat dari Lembang. Masing-masing bakteri endofit memiliki karakter yang berbeda satu sama lain. Berdasarkan uji reaksi hipersensitif (HR) diketahui bahwa terdapat sejumlah bakteri endofit yang menimbulkan reaksi negatif pada uji tersebut, seperti BC4, BC10, dan BL10. Isolat dengan kode BC4 memberikan penekanan terhadap perkembangan R. solanacearum sebesar 66,67% secara in vitro. Penekanan ini merupakan penekanan yang terbaik bila dibandingkan dengan isolat bakteri lain. Berdasarkan hasil identifikasi dengan sekuen 16s rdna, isolat dengan kode BC4 memiliki kedekatan dengan bakteri Staphylococcus epidermidis (Nawangsih et al. 2011). Karakter biokimia dan fisiologi dari isolat ini yaitu: 1) karakter biokimia; memiliki reaksi positif terhadap uji katalase, strach, glukosa, manitol, laktosa, maltosa, dan salicin, 2) karakter fisiologi; gram negatif, bentuk batang, tidak berspora, non motil, dapat tumbuh dalam suhu anaerob dan anaerob fakultatif, katalase positif, oksidase positif. Karakter morfologi dari BC4 yaitu: permukaan cembung, tepian rata, bentuk bulat licin, ukuran sedang, dan ciri lain yaitu tidak lengket serta pertumbuhannya cepat pada medium King s B (Damayanti 2010). Berdasarkan uji in planta yang telah dilakukan oleh Damayanti (2010), S. epidermidis BC4 dapat menekan kejadian penyakit layu bakteri sebanyak 60% tetapi tidak dapat memacu pertumbuhan tanaman. Sedangkan, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Handini (2011) di lapangan, aplikasi tungggal S. epidermidis BC4 dapat menekan kejadian penyakit sebesar 10% dan tidak dapat memacu pertumbuhan tanaman.

23 13 Plant Growth Promoting Rhizobacteria Plant Growth Promoting Rhizobacteria (PGPR) adalah bakteri yang hidup di daerah rhizosfer tanaman dan dapat memacu pertumbuhan tanaman (Khalimi dan Wirya et al. (2010). Menurut Khalimi dan Wirya et al. (2010), mekanisme PGPR dalam memacu pertumbuhan yaitu: (a) mampu menghasilkan atau mengubah konsentrasi fitohormon asam indolasetat (IAA), asam giberalat, sitokinin, dan etilen atau prekursornya (1-aminosiklopropena; ACC diaminase) di dalam tanaman, (b) antagonisme terhadap mikroba fitopatogen melalui produksi siderofor, glukanase, kitinase, selulase, antibiotika, dan sianida, c) pelarut fosfat mineral dan nutrisi lainnya, d) mengatur produksi etilen pada perakaran, e) menurunkan ketoksinan logam berat. Keaktifan PGPR dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya yaitu: potensi kelembaban, tekanan oksigen, suhu, ph, kandungan lempung, daya larut ion, dan tahap organik tanah (Khalimi dan Wirya et al. (2010). Menurut Glick dan Pasternak (1998) keuntungan dari mekanisme PGPR dibedakan menjadi dua yaitu secara langsung dan tidak langsung. Keuntungan secara langsung pada tanaman mencakup mampu memfiksasi nitrogen dan memberikannya pada tanaman; meningkatkan ketersediaan atau menyimpan besi dan fosfor dari tanah, menyediakan mineral-mineral tersebut dalam bentuk yang dapat digunakan oleh tanaman; mensintesis enzim yang dapat mengatur tingkat hormon etilen tanaman; dan mensintesis fitohormon seperti auksin, sitokinin, atau giberelin yang memicu perkembangbiakan sel tanaman. Keuntungan PGPR secara tidak langsung terjadi ketika PGPR dapat mencegah pertumbuhan patogen dalam tanah yang dapat mengganggu pertumbuhan dan perkembangan normal tanaman. PGPR menghasilkan siderofor yang dapat menghambat pertumbuhan patogen (Glick dan Pasternak 1998). B. subtilis AB89 Isolat B. subtilis AB89 merupakan isolat bakteri koleksi Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, IPB. Isolat ini digunakan untuk menghambat perkembangan bakteri patogen R. solanacearum pada tomat. Aplikasi agens biokontrol di lapangan menunjukkan

24 14 bahwa isolat AB89 mampu menekan perkembangan penyakit layu bakteri. Bacillus subtilis AB89 positif menghasilkan siderofor setelah diinkubasi selama 3 hari (Nawangsih 2006). Menurut Nawangsih (2006) B. subtilis AB89 memiliki kelebihan dibandingkan dengan agens biokontrol lain yang digunakan dalam pengujian antara lain yaitu: menghasilkan zone hambatan dengan diameter paling besar, menghasilkan penekanan paling tinggi terhadap keparahan penyakit di lapangan meskipun kemampuan mengkolonisasi perakaran bibit lebih rendah, mampu menginduksi aktifitas peroxidase paling tinggi, serta menghasilkan siderofor dan protease. Enzim peroksidase merupakan salah satu enzim yang berperan dalam proses ketahanan tanaman terhadap patogen (Brimecombe et al dalam Nawangsih 2006). P. fluorescens RH4003 Isolat P. fluorescens RH4003 merupakan isolat PGPR yang diisolasi oleh Nawangsih (2006) dan merupakan koleksi Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, IPB. Isolat ini tidak menghasilkan zona hambatan pada media NA tetapi pada media King s B dan CPMA Ca 2+ menunjukkan adanya zona hambatan. Luas zona hambatan dipengaruhi oleh jenis media. Media King s B merupakan media yang memiliki kandungan Fe yang sangat rendah, hal tersebut sangat cocok bagi pembentukan siderofor oleh P. fluorescens. Isolat RH4003 membentuk zona hambatan pada media yang mengandung glukosa tetapi tidak pada media yang mengandung mannitol maupun dextrose. Pengujian di rumah kaca menunjukkan bahwa isolat RH4003 mampu menekan perkembangan penyakit layu bakteri, indeks penekanan oleh isolat RH4003 yaitu sebesar 62%. Karakter fisiologi isolat P. fluorescens RH4003 yaitu gram negatif, tidak membentuk spora, menghasilkan senyawa floresen pada medium King s B agar, Levan negatif, reaksi oksidase positif, Arginine dihydrolase positif, tidak menghasilkan reaksi hipersensitif pada tembakau, tidak tumbuh pada 41 0 C, tidak mencairkan gelatin, dan pertumbuhannya positif pada L-arabinosa, D-galaktosa

25 serta sorbitol. Produksi asam dari xylose positif, lactose negatif, glukosa positif, maltosa negatif, dan sukrosa positif lemah (Nawangsih 2006). 15 Kombinasi Agens Biokontrol Agens biokontrol dapat menekan perkembangan patogen dengan satu atau beberapa mekanisme penghambatan (Lo 1998). Kemampuan suatu agens biokontrol dapat ditingkatkan dengan mengombinasikan dua atau lebih agens biokontrol. Kombinasi ini perlu diperhatikan bahwa masing-masing agens biokontrol tidak saling menghambat (Nawangsih 2006). Persyaratan agar kombinasi dua agens biokontrol atau lebih dapat bekerja secara optimal yaitu: 1) bekerja pada tempat yang berbeda misalnya pada rizosfer atau sisa-sisa bahan organik, 2) memiliki mekanisme pengendalian yang berbeda, misalnya kompetisi dan antibiosis, 3) memerlukan substrat yang berbeda, misalnya lendir tanaman dan bakteri untuk cendawan dan eksudat akar untuk bakteri kelompok pseudomonas, dan 4) kompatibel dengan lingkungan tanah serta perubahan yang terjadi karena peningkatan cara bercocok tanam (Mishra et al. 2011). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Nurbaya et al. (2011), kombinasi isolat NS01+S06+G06 dapat menurunkan tingkat kejadian penyakit layu bakteri pada kentang sebesar 68% bila dibandingkan dengan kontrol. Penurunan tingkat kejadian penyakit ini karena kombinasi agens biokontrol tersebut bersifat sinergis satu sama lain. Selain dapat menurunkan tingkat kejadian penyakit perlakuan kombinasi agens biokontrol juga dapat meningkatkan tingkat produktivitas tanaman dengan menghasilkan jumlah dan berat umbi yang lebih besar bila dibandingkan dengan kontrol. Kombinasi P. fluorescens dengan Trichoderma harzianum juga pernah diaplikasikan untuk mengendalikan penyakit busuk batang pada kacang polong oleh Mishra et al. (2011). Kombinasi agens biokontrol tersebut menunjukkan bahwa aplikasi kombinasi memberikan penekanan yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan aplikasi secara tunggal. Selain itu, aplikasi kombinasi juga lebih konsisten dalam menekan perkembangan penyakit. Hal ini juga sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Guetsky et al. (2001, 2002). Aplikasi

26 16 kombinasi antara Pichia guilermondii dengan Bacillus mycoides menunjukkan penekanan terhadap Botrytis cinerea yang lebih baik dibandingkan dengan aplikasi tunggal. Kombinasi kedua agens biokontrol tersebut juga dapat mengurangi hasil pengendalian penyakit yang bervariasi. Aplikasi kombinasi juga tidak selalu menghasilkan hasil yang lebih bagus bila dibandingkan dengan aplikasi tunggal. Menurut Felde et al. (2006), aplikasi kombinasi juga dapat memberikan efek yang negatif terhadap pengendalian penyakit. Hal ini dapat terjadi karena mekanisme dari masing-masing agens biokontrol tidak secara langsung mempengaruhi metabolisme patogen tetapi juga mempengaruhi mekanisme sesama agens biokontrol. Misalnya, kombinasi Trichoderma dan Fusarium spp. yang tidak memberikan penekanan yang baik terhadap layu Fusarium pada pisang. Aplikasi kombinasi yang tidak memberikan hasil yang lebih bagus dari aplikasi tunggal dapat disiasati dengan aplikasi rotasi agens biokontrol yang dilakukan secara simultan (Janousek et al. 2009).

27 17 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan di Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor dan di Rumah Kaca, University Farm, Institut Pertanian Bogor pada bulan Oktober 2011 sampai bulan Mei Penyiapan Tanaman Uji Benih yang digunakan dalam pengujian adalah varietas Arthaloka. Varietas ini dipilih karena banyak digunakan oleh petani. Sebelum dilakukan penyemaian, dipilih terlebih dahulu benih yang sehat dan tidak memiliki cacat secara morfologi. Benih yang telah dipilih kemudian ditanam pada nampan berukuran 25 cm x 35 cm. Pada setiap nampan ditanami 15 sampai 20 benih sehingga dibutuhkan masing-masing 10 nampan untuk uji penekanan kejadian penyakit dan uji pemacuan pertumbuhan. Media tanam yang digunakan dalam persemaian adalah tanah steril dan pupuk kandang dengan perbandingan 1:1. Persemaian dilakukan selama 3 minggu dengan dilakukan penyiraman sesuai dengan kebutuhan bibit dan dilihat dari tingkat kelembaban tanah. Pemeliharaan dan Penyiapan Suspensi Bakteri Endofit dan PGPR Bakteri endofit dan PGPR yang digunakan dalam penelitian merupakan koleksi Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan, Fakultas Pertanian, IPB. Bakteri endofit yang digunakan adalah bakteri endofit dengan kode BC4 dan berdasarkan penelitian Damayanti (2010), isolat dengan kode BC4 adalah isolat yang memberikan penekanan yang paling efektif terhadap kejadian penyakit secara in vitro maupun in planta. Hasil identifikasi berdasarkan sekuen 16 rdna menunjukkan bahwa BC4 merupakan bakteri Staphylococcus epidermidis (Nawangsih et al. 2011). PGPR yang digunakan dalam penelitian adalah

28 18 Pseudomonas fluorescens RH4003 (P1) dan Bacillus subtilis AB89 (B12). PGPR tersebut merupakan hasil isolasi Nawangsih (2006) dari perakaran tomat. Peremajaan dilakukan dengan metode kuadran pada media Nutrient Agar (NA). Setalah didapatkan koloni tunggal kemudian digores secara merata pada media King s B. Peremajaan ini dilakukan secara berulang-ulang agar didapatkan isolat yang baik pada saat perlakuan dilakukan. a b c d e f Gambar 3 Biakan murni dan koloni tunggal S. epidermidis BC4 (a,b), B. subtilis AB89 (c,d), dan P. fluorescens RH4003 (e,f) pada medium NA dan King s B Media yang digunakan untuk pembuatan suspensi agens biokontrol adalah Nutrient Broth (NB). Suspensi S.epidermidis BC4, B. subtilis AB89, dan

29 19 P.fluorescens RH4003 yang digunakan untuk perlakuan memiliki kerapatan 10 9 sampai cfu/ml. Proporsi kombinasi bakteri endofit dan PGPR yang digunakan untuk penyiraman tanaman uji ada 6 yaitu 0:0, 0:100, 25:75, 50:50, 75:25, 100:0. Terdapat 2 kombinasi yaitu S. epidermidis BC4 dengan B.subtilis AB89 dan S. epidermidis BC4 dengan P. fluorescens RH4003. Pembuatan suspensi dilakukan dengan cara menyiapkan isolat bakteri pada media agar (King s B). Koloni tunggal bakteri diambil dengan menggunakan jarum ose kemudian digores secara merata pada media King s B dan diinkubasi selama 24 sampai 48 jam. Setelah koloni bakteri tumbuh, dimasukkan 5 ml air steril ke dalam media King s B dan di-scrub hingga koloni bakteri pada permukaan media lepas dan larut dalam air steril sehingga membentuk suspensi. Suspensi diambil 1 ml dan dimasukkan ke dalam 250 ml NB serta diinkubasi pada inkubator bergoyang selama 72 jam pada kecepatan 100 rpm. Suspensi yang sudah siap kemudian ditambah dengan air dengan perbandingan 1:9 sehingga untuk 250 ml suspensi bakteri ditambahkan 2250 ml air. Uji Penekanan Kejadian Penyakit Inokulum patogen yang digunakan dalam penelitian berasal dari tanah pada areal pertanaman tanaman sakit dan dari tanaman tomat yang sakit. Pengecekan tanaman sakit dilakukan dengan cara memotong bagian pangkal batang tanaman sakit kemudian direndam di dalam air. Apabila oose (massa bakteri) keluar dari pangkal batang yang dipotong maka tanaman tomat tersebut terserang oleh R. solanacearum. Oose hasil rendaman pangkal batang dapat digoreskan pada media Tetrazolium Chloride (TZC) dan setelah diinkubasi pada suhu kamar selama 48 jam, koloni tunggal bakteri akan tumbuh. Koloni bakteri yang masih memiliki tingkat virulensi yang tinggi berwarna merah muda dan dikelilingi lendir yang berwarna keputihan seperti pada Gambar 1. Perbanyakan inokulum patogen dilakukan dengan cara memotong-motong tanaman sakit kemudian ditambahkan dengan air. Penambahan air ini bertujuan agar oose yang ada di dalam tanaman tomat dapat keluar. Setelah itu ditambahkan dengan tanah steril. Tanah campuran tanaman sakit dimasukkan ke dalam pot dan

30 20 ditanami tomat. Tomat yang layu dipotong-potong, ditambah air, dan dicampur dengan tanah steril lagi dan dilakukan berulang kali hingga didapatkan tanah yang mencukupi untuk infestasi. Perbanyakan dengan cara ini dilakukan untuk menjaga tingkat virulensi R. solanacearum pada saat pengujian karena tingkat virulensi R. solanacearum cepat menurun bila tidak terdapat inang. Media tanam yang digunakan dalam uji penekanan kejadian penyakit adalah tanah steril, pupuk kandang dan tanah yang telah diinfestasi R. solanacearum. Tanah steril dan pupuk kandang dengan perbandingan 1:1 dicampur secara merata. Polybag yang digunakan dalam uji ini berukuran 30 cm X 30 cm. Isi polybag dibagi menjadi 3 bagian yaitu bagian bawah diisi dengan campuran tanah steril dan pupuk kandang, bagian tengah diisi dengan tanah yang diinfestasi R. solanacearum dan bagian atas diisi kembali dengan campuran tanah steril dan pupuk kandang. Setelah media tanam siap, bibit yang telah disiram dengan suspensi kombinasi sehari sebelum pindah tanam, ditanam pada media tersebut. Pada saat pindah tanam dilakukan pula penyiraman dengan suspensi kombinasi. Pemeliharaan dilakukan dengan menyiram tanaman 2 hari sekali dengan air. Namun, bila tanah masih lembab, maka tanaman tidak disiram. Pemeliharaan juga dilakukan dengan memasang ajir pada waktu tanaman tomat berumur 2 minggu setelah pindah tanam. Jumlah perlakuan pada uji ini adalah 10 perlakuan dengan 5 tanaman per perlakuan dan ditanam pada 3 blok yang berbeda sehingga didapatkan 50 tanaman per blok. Gambar 4 Biakan murni dan koloni tunggal R. solanacearum pada medium TZC, isolat yang virulen adalah isolat yang bagian tengah merah muda dikelilingi lendir berwarna putih (tanda panah).

31 Tanaman uji disiram dengan kombinasi PGPR dan bakteri endofit dua kali yaitu sehari sebelum pindah tanam dan dihari saat pindah tanam. Untuk penyiraman bibit sebelum maupun setelah pindah tanam diperlukan volume kombinasi 50 ml. Misal untuk proporsi kombinasi 25:75 maka disiapkan 12.5 ml bakteri endofit dan 37.5 ml PGPR. Untuk perbandingan 0:0 (kontrol) kombinasi hanya berisi 50 ml air untuk penyiraman bibit dan 50 ml air untuk penyiraman bibit setelah pindah tanam. Penyiraman suspensi bakteri sebelum pindah tanam diharapkan dapat memberi kesempatan bakteri endofit memasuki jaringan tanaman (bibit) sebelum dilakukan pindah tanam. Penyiraman saat pindah tanam dilakukan untuk menambah jumlah PGPR dan bakteri endofit dalam tanaman uji karena pada saat penyiraman sebelum pindah tanam PGPR dan bakteri endofit belum mengkolonisasi akar tanaman uji dengan baik (Nawangsih 2006). Tabel 1 Kode perlakuan dan proporsi suspensi bakteri dalam perlakuan pada uji penekanan penyakit Kode perlakuan Proporsi suspensi bakteri dalam perlakuan (%) S. epidermidis B. subtilis P. fluorescens Kontrol BC0P100 a BC25P BC50P BC75P BC100P BC0B BC25B BC50B BC75B a Kode isolat bakteri: P= Pseudomonas fluorescens RH4003, B= Bacillus subtilis AB89, BC= Staphylococcus epidermidis. Pengamatan terhadap masa inkubasi penyakit dilakukan dan dihitung mulai bibit ditanam sampai munculnya gejala pertama. Setelah itu, dilakukan pengamatan kejadian penyakit (KP) setiap minggunya. Kejadian penyakit dapat dihitung dengan rumus (Cooke 1998): 21 Keterangan: KP n N = Kejadian penyakit = jumlah tanaman yang terserang patogen = jumlah tanaman yang diamati

32 22 Setelah kejadian penyakit diketahui kemudian dihitung pula nilai AUDPC (Area Under Disease Progress Curve). AUDPC adalah total tingkat kejadian penyakit pada perlakuan dari minggu pertama pengamatan sampai minggu terakhir pengamatan. AUPDC dapat dihitung dengan rumus yang dinyatakan oleh Van der Plank (1963 dalam Cooke 1998) sebagai berikut: Keterangan: y = persentase kejadian penyakit t = hari Nilai AUDPC yang telah diketahui kemudian digunakan untuk menghitung indeks penekanan penyakit. Indeks penekenan penyakit adalah suatu angka yang dapat menyatakan tingkat keefektifan pengendalian suatu agens biokontrol terhadap patogen. Indeks penekanan penyakit dapat dihitung dengan rumus: Keterangan: DIc = AUDPC pada kontrol DIb = AUDPC pada perlakuan agens biokontrol Agens biokontrol yang digunakan dalam penelitian merupakan dua agens biokontrol yang dikokmbinasikan dengan berbagai proporsi. Untuk mengetahui tingkat sinergisme antara dua agens biokontrol tersebut digunakan rumus Abbott s (Guetsky et al. 2002), yaitu: ( ) ( ) dan ( ) ( ) Keterangan: SF a b E (exp) E (obs) = Synergy Factor = keefektifan pengendalian oleh agens biokontrol I = keefektifan pengendalian oleh agens biokontrol II = keefektifan pengendalian dugaan oleh campuran agens biokontrol = keefektifan pengendalian oleh campuran berdasarkan hasil pengamatan

33 23 Nilai SF yang telah diketahui akan dapat menunjukkan hubungan dua agens biokontrol dalam tanaman. Hubungan interaksi kedua agens biokontrol dapat ditentukan dengan ketentuan bila SF = 1 maka interaksi antar agens biokontrol bersifat additif, bila SF<1 maka interaksi antar agens biokontrol bersifat antagonis, bila SF>1 maka interaksi antar agens biokontrol bersifat sinergis (Guetsky et al. 2002). Uji Pemacuan Pertumbuhan Media tanam yang digunakan adalah tanah steril dan pupuk kandang dengan perbandingan 1:1. Setelah media tanam steril siap, media tanam dimasukkan ke dalam polybag dengan ukuran 30 cm 30 cm dan kemudian ditanami bibit tomat yang telah disiram dengan suspensi kombinasi bakteri endofit dan PGPR sehari sebelum pindah tanam. Kemudian tanaman disiram kembali dengan kombinasi yang sama saat pindah tanam. Pemeliharaan dilakukan dengan menyiram tanaman 2 hari sekali. Namun, bila tanah masih lembab, maka tanaman tidak disiram. Pemeliharaan juga dilakukan dengan memasang ajir setelah tanaman tomat berumur 2 minggu setelah pindah tanam. Terdapat 10 perlakuan pada uji ini dan jumlah tanaman yang digunakan adalah 5 tanaman per perlakuan dengan 3 blok. Sehingga terdapat 50 tanaman pada 3 blok. Perlakuan yang diberikan sama dengan perlakuan pada uji penekanan penyakit (Tabel 1). Sama halnya dengan uji penekanan kejadian penyakit, pada uji pemacuan pertumbuhan juga dilakukan penyiraman kombinasi bakteri endofit dan PGPR sebanyak dua kali. Penyiraman ini dilakukan sesuai dengan perlakuan masing-masing tanaman uji. Pengamatan terhadap vigor tanaman dilakukan dengan mengukur tinggi tanaman dan bobot kering tanaman. Pengamatan terhadap tinggi tanaman dilakukan sampai tanaman berumur 42 hst setiap dua hari sekali. Bobot kering tanaman dihitung pada saat tanaman berumur 42 hst, kemudian tanaman dijemur selama 2 minggu dan dioven selama 24 jam. Pengeringan ini dilakukan agar tanaman tomat benar-benar kering dan didapatkan bobot kering yang konstan.

34 24 Data tinggi tanaman yang diperoleh kemudian digunakan dalam penghitungan nilai Area Under Height of Plant Growth Curve (AUHPGC). AUHPGC adalah total laju pertumbuhan tanaman. Nilai AUHPGC dapat dihitung menggunakan rumus yang dinyatakan oleh Van der Plank (1963 dalam Cooke 1998) sebagai berikut: Keterangan: y = laju pertambahan tinggi tanaman t = hari Rancangan Percobaan dan Analisis Data Penelitian dilakukan dengan melakukan 2 uji yaitu uji pemacu pertumbuhan dan uji penekanan kejadian penyakit dengan rancangan percobaan yang sama yaitu Rancangan Acak Kelompok (RAK). Data yang diperoleh akan dianalisis menggunakan analisis ragam (anova) dengan menggunakan program Statistical Analysis System (SAS) versi 9.1 dan dilanjutkan dengan uji Duncan dengan taraf 5%.

35 HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Kombinasi Agens Biokontrol terhadap Kejadian Penyakit Layu Bakteri Kejadian penyakit adalah angka yang menunjukkan jumlah tanaman sakit dibandingkan dengan jumlah tanaman yang diamati dalam suatu petak lahan. Pada penelitian ini, kejadian penyakit layu bakteri diamati selama 7 minggu. Pengamatan terhadap kejadian penyakit dilakukan dua hari sekali meskipun data yang disajikan per minggu. Secara umum, tingkat kejadian penyakit layu bakteri pada penelitian ini adalah tinggi yaitu sebesar 29.78%. Hal ini terjadi karena pemeliharaan R. solanacearum yang telah dilakukan dengan benar sehingga tingkat virulensi R. solanacearum masih tinggi. Hal ini jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Handini (2011). Pada penelitian tersebut, tingkat kejadian penyakit layu bakteri yang juga dilakukan di dalam rumah kaca rendah. Pada minggu pertama terdapat empat perlakuan yang telah menunjukkan kejadian penyakit layu bakteri yaitu perlakuan BC25B75, BC75B25, BC50P50 dan BC75P25 dengan tingkat kejadian penyakit tertinggi pada perlakuan BC0P100 sebesar 13.33±11.55%. Berdasarkan analisis ragam (α=5%), antar perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap tingkat kejadian penyakit layu bakteri. Hal yang sama juga terjadi pada minggu ke-2 pengamatan. Pada minggu ke-3 pengamatan, antar perlakuan terjadi perbedaan yang nyata terhadap tingkat kejadian penyakit pada tanaman. Tingkat kejadian penyakit tertinggi terjadi pada tanaman dengan perlakuan BC25P75 yaitu sebesar 33.33±23.79% sedangkan tingkat kejadian penyakit terendah terjadi pada tanaman dengan perlakuan BC100P0 yaitu sebesar 0.00±0.00%. Pada minggu ke-4 dan ke-5 pengamatan, berdasarkan analisis ragam, antar perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap tingkat kejadian penyakit. Tingkat kejadian penyakit tertinggi sebesar 66.67±11.55% terjadi pada perlakuan BC75B25 sedangkan tingkat kejadian penyakit terendah sebesar 20.00±0.00% terjadi pada perlakuan kontrol. Hasil yang berbeda ditunjukkan pada minggu ke-6 pengamatan. Berdasarkan analisis ragam yang telah dilakukan perlakuan memberikan pengaruh yang berbeda terhadap tingkat kejadian penyakit di rumah

36 26 kaca. Tingkat kejadian penyakit tertinggi terjadi pada tanaman dengan perlakuan BC75B25 yaitu sebesar 86.67±11.55% sedangkan tingkat kejadian penyakit terendah terjadi pada tanaman dengan perlakuan BC0P100 yaitu sebesar 33.33±23.79%. Tingkat kejadian penyakit pada minggu ke-6 ini sama hasilnya dengan tingkat kejadian penyakit pada minggu ke-3. Tingkat kejadian penyakit pada minggu ke-7, sebenarnya tidak jauh berbeda dengan tingkat kejadian penyakit pada minggu ke-6. Akan tetapi, berdasarkan hasil analisis ragam, tingkat kejadian penyakit pada perlakuan BC50B50, BC100P0, BC0P100, BC25P75, BC50P50,dan kontrol adalah tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan (α=5%). 120,00 Kontrol Kejadian penyakit layu bakteri (%) 100,00 80,00 60,00 40,00 20,00 BC100P0 BC0P100 BC25P75 BC50P50 BC75P25 BC0B100 BC25B75 BC50B50 0, Interval pengamatan (Minggu Setelah Tanam=MST) BC75B25 Gambar 5 Grafik kejadian penyakit layu bakteri pada berbagai perlakuan bakteri endofit dan PGPR dari minggu ke-1 sampai minggu ke-7 Setelah pengamatan terhadap kejadian penyakit selesai dilakukan kemudian dilakukan perhitungan terhadap nilai AUDPC. Sesuai dengan tingkat kejadian penyakit, nilai AUDPC tertinggi juga terjadi pada tanaman dengan perlakuan kombinasi S. epidermidis BC4 75% dan B. subtilis AB89 25% (BC75B25). Sedangkan nilai AUDPC terendah terjadi pada tanaman dengan perlakuan P.fluorescens RH4003 yang diaplikasikan secara tunggal. Hal ini menunjukkan bahwa aplikasi P. fluorescens RH4003 secara tunggal dapat menekan tingkat kejadian penyakit layu bakteri lebih baik dibandingkan dengan perlakuan

37 kombinasi. Nilai AUDPC perlakuan P. fluorescens RH4003 secara tunggal ini juga lebih rendah dari kontrol. Berdasarkan uji lanjut Duncan (α=5%), perlakuan kombinasi antara S.epidermidis BC4 dengan B. subtilis AB89 menghasilkan tingkat kejadian penyakit yang lebih besar bila dibandingkan dengan kontrol, kecuali pada perlakuan kombinasi dengan proporsi 50:50. Hal ini menunjukkan bahwa kedua agens biokontrol yang digunakan tidak bersifat sinergis, bahkan meningkatkan tingkat kejadian penyakit. Perlakuan kombinasi antara S. epidermidis BC4 dengan P.fluorescens RH4003 juga menghasilkan tingkat kejadian penyakit yang tidak berbeda nyata. Perlakuan kombinasi antara bakteri endofit dan PGPR dengan proporsi 50:50 menghasilkan tingkat kejadian penyakit yang lebih rendah bila dibandingkan dengan kontrol. Hal ini tidak sesuai dengan penelitian Handini (2011). Pada penelitian tersebut, kombinasi agens biokontrol dengan proporsi 50:50 tidak menunjukkan tingkat kejadian penyakit yang lebih rendah bila dibandingkan dengan kontrol. Tabel 2 Nilai Area Under Disease Progress Curve (AUDPC) pada berbagai perlakuan bakteri endofit dan PGPR Perlakuan AUDPC (%hari) a Perlakuan AUDPC(%hari) Kontrol 340± ab BC100P0 280±34.64 b BC0P ± b BC0B ± ab BC25P75 340± ab BC25B75 380± ab BC50P50 300± b BC50B50 280± b BC75P25 380± ab BC75B25 560± a a Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf 5%. Handini (2011) menyatakan bahwa perlakuan kombinasi antara PGPR dan bakteri endofit maupun perlakuan tunggal PGPR dan bakteri endofit tidak dapat menghambat kejadian penyakit layu bakteri. Meskipun begitu, perlakuan tersebut tidak memberikan pengaruh yang negatif terhadap tanaman karena perkembangan dan pertumbuhan tanaman tidak terganggu. Berdasarkan hasil tersebut, terlihat bahwa pengaruh bakteri S. epidermidis BC4 dan P. fluorescens RH4003 serta B.subtilis AB89 masih belum konsisten. Untuk itu masih perlu dilakukan pengujian-pengujian lebih lanjut terutama di lapangan. 27

38 Pengaruh Kombinasi Agens Biokontrol terhadap Masa Inkubasi Penyakit Layu Bakteri Masa inkubasi penyakit adalah waktu yang dibutuhkan patogen sejak inokulasi sampai dengan timbulnya gejala layu untuk pertama kalinya pada tanaman. Menurut McCarter (2006), gejala layu akan muncul 2 sampai 5 hari setelah infeksi. Munculnya gejala layu tergantung pada kerentanan tanaman inang, suhu dan tingkat virulensi patogen. Sama halnya dengan pengamatan terhadap kejadian penyakit, pengamatan terhadap masa inkubasi penyakit juga dilakukan selama 7 minggu dan diamati setiap dua hari sekali. Pada Tabel 3 terlihat bahwa R.solanacearum pada masing-masing perlakuan memiliki masa inkubasi yang berbeda-beda. Secara umum, rata-rata masa inkubasi penyakit layu bakteri dalam rumah kaca adalah hari sampai hari setelah pindah tanam (hst). Akan tetapi, berdasarkan analisis ragam (α=5%), masa inkubasi penyakit layu bakteri tidak dipengaruhi oleh berbagai macam kombinasi PGPR dan bakteri endofit yang telah diberikan. Tabel 3 Pengaruh perlakuan bakteri endofit dan PGPR terhadap masa inkubasi penyakit layu bakteri pada tanaman tomat 28 Perlakuan Masa inkubasi (hst) b Perlakuan Masa inkubasi (hst) a a Kontrol 30.67±2.73 a BC100P ±0.66 a BC0B100 b 29.63±4.58 a BC0P ±7.78 a BC25B ±1.84 a BC25P ±5.78 a BC50B ±5.84 a BC50P ±5.92 a BC75B ±1.00 a BC75P ±2.47 a hst= hari setelah tanam. b Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf 5%. Masa inkubasi paling cepat terjadi pada tanaman dengan perlakuan kombinasi S. epidermidis 75% dengan P. fluorescens 25% (BC75P25) yaitu selama 22.67±2.47 hst sedangkan masa inkubasi terlama terjadi pada tanaman dengan perlakuan S. epidermidis secara tunggal yaitu selama 31.67±0.66 hst. Secara umum terlihat bahwa perlakuan tunggal PGPR maupun bakteri endofit menghasilkan masa inkubasi yang lebih lama dibandingkan perlakuan secara kombinasi. Hal ini memperlihatkan bahwa perlakuan tunggal lebih dapat menahan perkembangan penyakit layu bakteri dibandingkan perlakuan kombinasi.

39 29 Perlakuan kombinasi mengalami masa inkubasi yang lebih cepat karena kedua agens biokontrol yang digunakan mempunyai sifat antagonis satu sama lain. Sifat antagonis yang mungkin terjadi adalah kompetisi ruang dan nutrisi. Ruang dan nutrisi yang terbatas membuat agens biokontrol saling berkompetisi untuk mempertahankan hidupnya. Sehingga peran dalam menekan perkembangan penyakit menjadi sedikit terabaikan. Pengaruh Kombinasi Agens Biokontrol terhadap Laju Pertambahan Tinggi Tanaman Salah satu parameter uji pemacuan pertumbuhan tanaman adalah perhitungan laju pertambahan tinggi tanaman. Uji pemacuan pertumbuhan tinggi tanaman dilakukan selama 6 minggu. Pengamatan dilakukan setiap 2 hari sekali agar mendapatkan data yang lebih detail meskipun data disajikan per minggu. Pada minggu pertama, berbagai perlakuan kombinasi PGPR dan bakteri endofit memberikan pengaruh yang sama (uji Duncan 5%). Perbedaan mulai terlihat setelah tanaman berumur 2 minggu setelah tanam (MST). Pada Lampiran 2 terlihat bahwa laju pertambahan tinggi tanaman pada perlakuan BC0P100 merupakan pertumbuhan tinggi tanaman tertinggi disusul oleh perlakuan BC25P75, BC50P50, BC75P25, dan BC100P0 dengan posisi kedua. Perlakuan BC0B100 dan kontrol menempati posisi ketiga, kemudian BC25B75 dan BC50B50 pada posisi keempat dan BC75B25 posisi terakhir. Pada minggu kedua ini memang telah terlihat bahwa setiap perlakuan dapat memberikan pengaruh yang berbeda terhadap laju pertambahan tinggi tanaman tetapi perbedaan keefektifan antara bakteri yang diaplikasi secara tunggal dan bakteri yang diaplikasikan dengan kombinasi tidak dapat terlihat. Hal ini terjadi karena bakteri yang telah diaplikasikan belum mengkolonisasi tanaman dengan baik sehingga pengaruh bakteri terhadap laju pertambahan tinggi tanaman belum terlihat dengan jelas. Laju pertambahan tinggi tanaman pada minggu ketiga berbeda dengan laju pertambahan tinggi tanaman pada minggu sebelumnya. Pada minggu ketiga perlakuan BC75P25 dan BC100P0 menghasilkan laju pertambahan tinggi tanaman yang tertinggi. Akan tetapi, laju pertambahan tinggi tanaman ini sama

40 30 dengan kontrol sehingga tidak dapat dikatakan bahwa kedua perlakuan tersebut memberikan pengaruh yang baik terhadap laju pertambahan tinggi tanaman. Perlakuan yang memberikan laju pertambahan tinggi yang terendah berubah yaitu dari perlakuan BC75B25 menjadi BC50P50. Hal ini sesuai dengan penelitian Handini (2011) yang mengatakan bahwa hubungan kesinergisan antara S.epidermidis dengan P. fluorescens RH4003 adalah antagonis. Berdasarkan Handini (2011), S. epidermidis lebih baik diaplikasikan secara tunggal dibandingkan dengan aplikasi kombinasi. 24,00 Laju pertambahan tinggi tanaman (cm) 21,00 18,00 15,00 12,00 9,00 6,00 3,00 Kontrol BC0P100 BC25P75 BC50P50 BC75P25 BC100P0 BC0B100 BC25B75 BC50B50 BC75B25 0, Interval pengamatan (Minggu Setelah Tanam=MST) Gambar 6 Grafik laju pertambahan tinggi tomat pada berbagai perlakuan bakteri endofit dan PGPR selama enam minggu setelah tanam Laju pertambahan tinggi tanaman pada minggu keempat hingga minggu keenam stabil. Perlakuan BC75P25 merupakan perlakuan yang terbaik bila dibandingkan dengan perlakuan lainnya pada minggu keempat dan minggu kelima. Sedangkan pada minggu keenam, meskipun perlakuan BC75P25 masih menjadi perlakuan yang memberikan pengaruh yang paling baik terhadap laju pertambahan tinggi tanaman, perlakuan BC75P25 tidak berbeda halnya dengan perlakuan BC100P0, BC0P100, BC75B25 dan kontrol berdasarkan uji Duncan 5%. Oleh karena itu, perlakuan kombinasi antara PGPR dan bakteri endofit dapat dikatakan tidak memberikan pengaruh terhadap laju pertambahan tinggi tanaman

41 karena laju pertambahan tinggi tanaman pada perlakuan sama dengan laju pertambahan tinggi tanaman pada kontrol. Akan tetapi, berdasarkan Gambar 6 agens biokontrol yang diaplikasikan secara tunggal maupun secara kombinasi dapat memacu pertumbuhan tanaman tomat karena laju pertambahan tinggi tanaman pada semua perlakuan berada di atas kontrol. Setiap perlakuan mempunyai nilai AUHPGC yang berbeda-beda. Sama halnya dengan perlakuan yang memiliki pengaruh terbaik pada laju pertambahan tinggi tanaman, BC75P25 adalah perlakuan yang memiliki nilai AUHPGC yang paling besar yaitu ±48.87 cmhari. Berdasarkan nilai AUHPGC dan analisis ragam pada Tabel 1, hanya terdapat tiga perlakuan yang mempunyai nilai AUHPGC yang melebihi kontrol yaitu perlakuan BC0P100, BC75P25 dan BC100P0 sehingga dapat disimpulkan bahwa hanya ketiga perlakuan tersebut saja yang dapat meningkatkan laju pertambahan tinggi tanaman dengan baik. Tabel 4 Nilai Area Under Height of Plant Growth Curve (AUHPGC) pada berbagai perlakuan bakteri endofit dan PGPR Perlakuan AUHPGC (cmhari) a Perlakuan AUHPGC (cmhari) a Kontrol ±40.13 abc BC100P ±31.77 ab BC0P ±70.28 ab BC0B ±19.94 bcd BC25P ±64.88 bcd BC25B ±17.13 cd BC50P ±42.13 bcd BC50B ±50.00 bcd BC75P ± a BC75B ±67.46 d a Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf 5%. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Handini (2011), kombinasi PGPR dan bakteri endofit, baik kombinasi P. fluorescens RH4003 dengan S. epidermidis BC4 maupun kombinasi B. subtilis AB89 dengan S.epidermidis BC4, dengan proporsi 50:50, tidak dapat menekan kejadian penyakit layu bakteri dengan baik akan tetapi tidak memberikan efek yang negatif terhadap laju pertambahan tinggi tanaman. Dari penelitian ini, didapatkan hasil bahwa aplikasi agens biokontrol secara tunggal dan kombinasi dapat memacu pertumbuhan dengan baik setelah minggu ke-2 aplikasi (Gambar 6). Aplikasi secara tunggal P. fluorescens RH4003, B. subtilis 31 AB89 dan S.epidermidis BC4 telah dilakukan sebelumnya. P. fluorescens adalah bakteri yang dapat ditemukan dimana saja (ubiquitos) dan biasanya ditemukan pada

42 32 permukaan daun dan akar (Supriadi 2006). P. fluorescens dapat menghasilkan pigmen pyoverdin dan atau fenazin pada media King s B dan akan berpendar di bawah sinar near ultra violet (λnuv= 200nm). Selain itu, P. fluorescens juga dapat menekan populasi patogen dengan cara melindungi akar dari serangan patogen dengan mengkolonisasi akar, menghasilkan senyawa kimia berupa antimikroba dan antibiotik, dan melakukan kompetisi dalam penyerapan Fe 2+ (Lo 1998, Couillerot et al. 2009). Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Handini (2011), perlakuan tunggal P. fluorescens RH4003 juga dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman tomat, meskipun perlakuan kombinasi P. fluorescens RH4003 dengan isolat bakteri endofit BC10 meningkatkan pertumbuhan tanaman tomat lebih baik. B. subtilis adalah bakteri gram positif, bersifat saprofit dan dapat membentuk spora (Nihorimbere et al. 2010). Sama halnya dengan P. fluorescens, B. subtilis juga merupakan bakteri yang mengkolonisasi akar tanaman. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan Nawangsih (2006) maupun Handini (2011), B. subtilis AB89 dapat memacu pertumbuhan tanaman, bahkan dalam penelitian Handini (2011), B. subtilis AB89 dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman tomat dua kali lebih besar bila dibandingkan dengan tanaman kontrol. Aplikasi tunggal telah membuktikan bahwa PGPR dan bakteri endofit mempunyai kentungan yang dapat dimanfaatkan oleh tanaman. Hasil pada penelitian menunjukkan bahwa perlakuan kombinasi kurang memberikan hasil yang baik terhadap pertumbuhan tanaman. Hal ini dapat terjadi karena adanya kompetisi antara dua bakteri yang diaplikasikan. Kompetisi ruang dan nutrisi dapat terjadi sehingga mempengaruhi penghambatan patogen. Nutrisi yang kurang pada media tanam akan memperparah kompetisi antar dua agens biokontrol dan hal ini akan membuat patogen lebih leluasa untuk berkembang sehingga pertumbuhan tanaman akan terganggu (Nurbaya et al. 2011). Pengaruh Kombinasi Agens Biokontrol terhadap Bobot Kering Tanaman Selain laju pertambahan tinggi tanaman, bobot kering tanaman juga digunakan sebagai parameter dalam uji pemacu pertumbuhan. Tabel 5 menunjukkan bahwa setiap perlakuan memberikan pengaruh terhadap bobot

43 kering tanaman (uji Duncan 5%). Bobot kering terbesar dihasilkan oleh tanaman dengan perlakuan BC75P25 yaitu sebesar 7.87±1.57 gram/tanaman. Bobot kering tersebut lebih besar bila dibandingkan dengan bobot kering tanaman dengan perlakuan S.epidermidis BC4 dan P. fluorescens RH4003 secara tunggal. Sedangkan bobot kering terendah dihasilkan oleh tanaman dengan perlakuan BC75B25 yaitu sebesar 4.68±1.68 gram/tanaman. Bobot kering tersebut lebih rendah bila dibandingkan dengan kontrol (6.75±1.76 gram/tanaman). Menurut Handini (2011), perlakuan agens biokontrol secara tunggal dan kombinasi tidak memberikan pengaruh yang berbeda terhadap bobot kering tanaman. Tabel 5 Bobot kering tanaman tomat pada umur 6 minggu setelah tanam Perlakuan Bobot kering tanaman Bobot kering tanaman (gram/tanaman) a Perlakuan (gram/tanaman) a Kontrol 6.75±1.76 ab BC100P0 6.69±0.52 ab BC0P ±1.66 ab BC0B ±0.32 ab BC25P ±2.09 ab BC25B ±0.82 ab BC50P ±2.63 ab BC50B ±0.84 ab BC75P ±1.57 a BC75B ±1.68 b a Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf 5%. Berdasarkan hasil analisis ragam, blok memberikan pengaruh yang berbeda terhadap bobot kering tanaman (Tabel 2). Blok 1 menghasilkan bobot kering yang berbeda dibandingkan dengan blok 2 dan blok 3. Blok 1 merupakan blok yang mempunyai bobot kering tanaman yang paling kecil. Hal ini karena blok 1 berada di sebelah kiri rumah kaca. Bagian kiri rumah kaca merupakan bagian yang kurang terkena cahaya matahari sehingga etiolasi sering terjadi pada bagian ini. Etiolasi membuat tanaman menjadi lebih tinggi tetapi tidak kuat sehingga pada saat dikeringkan, bobot kering pada tanaman yang berada pada blok 1 menjadi lebih kecil. Blok pada penelitian Handini (2011) juga memberikan pengaruh yang berbeda terhadap bobot kering tanaman. Tanaman yang ditanam pada blok yang terkena sinar matahari lebih banyak memiliki bobot kering yang lebih besar bila dibandingkan dengan tanaman yang kurang terkena sinar matahari. 33

44 Jenis Hubungan PGPR dan Bakteri Endofit Pada penenlitian, PGPR dan bakteri endofit diujikan secara tunggal maupun secara kombinasi. Berdasarkan data pada Tabel 6, terlihat bahwa perlakuan tunggal S. epidermidis BC4 dan P. fluorescens RH4003 memberikan index penekanan penyakit paling baik yaitu masing-masing sebesar 41.18% dan 45.88%. Sedangkan perlakuan tunggal B.subtilis AB89 tidak dapat menekan perkembangan penyakit tetapi memperparah tingkat kejadian penyakit. Perlakuan kombinasi yang dapat memberikan penekanan terhadap perkembangan penyakit adalah perlakuan BC50B50 dan BC50P50. Kedua perlakuan tersebut dapat menekan kejadian peyakit layu bakteri masing-masing sebesar 17.65% dan 11.76%. Index penekanan penyakit ini lebih besar bila dibandingkan dengan index penekanan penyakit pada penelitian yang dilakukan oleh Handini (2011). Tabel 6 Keefektifan pengendalian (index penekanan penyakit), nilai Sinergy Factor (SF) dan jenis hubungan antara PGPR dan bakteri endofit dari perlakuan kombinasi berdasarkan nilai AUDPC Perlakuan Index penekanan b Sinergy Jenis E (obs) penyakit (%) a Factor (SF) Hubungan BC0B100 c BC100P BC0P BC25B A BC50B A BC75B A BC25P A BC50P A BC75P A a Relatif dibandingkan dengan kontrol. b Keefektifan pengendalian dugaan oleh kombinasi PGPR dan bakteri endofit. Berdasarkan penelitian Handini (2011), kombinasi S.epidermidis BC4 50% dengan B. subtilis AB89 50% dapat menekan kejadian penyakit layu bakteri sebesar 3.51% sedangkan kombinasi S.epidermidis BC4 50% dengan P.fluorescens RH % sebesar 8.68%. Perbedaan ini terjadi karena beberapa faktor lingkungan yang berbeda pada saat penelitian sedang dilakukan. Pada Tabel 5 terlihat juga bahwa perlakuan kombinasi dengan proporsi 50:50 dapat 34

45 35 menekan kejadian penyakit layu bakteri lebih baik bila dibandingkan dengan proporsi 25:75 maupun 75:25. Jenis hubungan antara agens biokontrol yang digunakan dapat diketahui dengan melakukan perhitungan berdasarkan rumus Abbott s (Guetsky et al. 2002). Berdasarkan nilai SF yang telah didapatkan hubungan baik antara S.epidermidis BC4 dengan B. subtilis AB89 maupun hubungan antara S.epidermidis BC4 dengan P. fluorescens RH4003 bersifat antagonis. Hal ini juga sama dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Handini (2011). Sifat antagonis ini dapat ditanggulangi dengan waktu aplikasi yang berbeda antara PGPR dan bakteri endofit atau yang biasa disebut dengan rotasi aplikasi agens biokontrol (Janousek et al. 2009). Bakteri endofit dapat diaplikasikan terlebih dahulu kemudian selang waktu 1 sampai 2 minggu dapat diaplikasikan PGPR. Bakteri endofit diaplikasikan terlebih dahulu karena bakteri endofit memerlukan waktu yang lebih lama untuk masuk ke dalam jaringan tanaman dan mengkolonisasi jaringan tanaman. Setelah bakteri endofit telah mengkolonisasi tanaman inang, PGPR dapat diaplikasikan. PGPR akan mengkolonisasi daerah di sekitar akar tanaman. Bakteri endofit dan PGPR yang telah mengkolonisasi bagian-bagian tertentu dari tanaman inang akan beraktivitas sendiri-sendiri dan diharapkan dapat mengurangi kompetisi antara bakteri endofit dan PGPR sehingga dapat memacu pertumbuhan tanaman dan menekan perkembangan penyakit layu bakteri.

46 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Kombinasi bakteri yang dapat memacu pertumbuhan tanaman tomat dengan baik adalah kombinasi S. epidermidis BC4 75% dengan P. fluorescens RH %. Aplikasi kombinasi tidak memberikan penekanan kejadian penyakit yang lebih baik dibandingkan dengan perlakuan tunggal karena hubungan antara PGPR dan bakteri endofit yang digunakan bersifat antagonis. Kombinasi S. epidermidis BC4 50% dengan P. fluorescens RH % dan kombinasi S. epidermidis BC4 50% dengan B. subtilis AB89 50% merupakan perlakuan yang dapat memberikan penekanan terhadap kejadian penyakit layu bakteri dibandingkan dengan perlakuan kombinasi lainnya yaitu masing-masing sebesar 11.76% dan 17.65%. Saran Untuk meningkatkan potensi agens antagonis perlu ditambah frekuensi aplikasi pada berbagai usia tanaman serta perlu dilakukan penelitian mengenai perbandingan konsentrasi yang lebih rapat antara bakteri endofit dengan PGPR yang efektif dalam memacu pertumbuhan tomat dan menekan penyakit layu bakteri. Selain itu penelitian mengenai waktu aplikasi antara bakteri endofit dan PGPR juga perlu dilakukan.

47 DAFTAR PUSTAKA [BPS] Badan Pusat Statistik Produksi Tomat pada Tahun Jakarta [ID]. Tersedia pada: go.id Almoneafy AA, Xie GL, Tian WX, Xu LH, Zhang GQ, Ibrahim M Characterization and evaluation of Bacillus isolates for their potential plant growth and biocontrol activity against tomato bacterial wilt. African Journal of Biotechnology. 11(28): DOI: /AJB Alvarez B, Biosca EG, Lopez MM On the life of Ralstonia solanacearum, a destructive bacterial plant pathogen. Dalam: Vilas AM, editor. Current Research, Technology and Education Topics in Applied Microbiology and Microbial Biotechnology. Valencia [SP]: Formatex. hlm Cooke BM Disease assessment and yield loss. Di dalam: Jones DG, editor. The Epidomiology of Plant Diseases. Ed ke-2. London [UK]: Kluwer Academic Publishers. hlm Couillerot O, Combaret CP, Mellado JC, Loccoz YM Pseudomonas fluorescens and closely-related fluorescent pseudomonads as biocontrol agents of soil-borne phytopathogens. Letters in Apllied Microbiology. 48(2009): DOI: /j X x. Damayanti I Seleksi dan karakterisasi bakteri endofit untuk menekan kejadian penyakit layu bakteri (Ralstonia solanacearum) pada tanaman tomat [skripsi]. Bogor [ID]: Departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. EPPO Quarantine Pest. [3 Mei 2011]. Data Sheet of Quarantine Pest Ralstonia solanacearum. European Union. Tersedia pada: SO_ds.pdf. Felde AZ, Pocasangre LE, Monteros CAC, Sikora RA, Rosales FE, Riveros AS Effect of combined inoculations of endophytic fungi on biocontrol of Radhopholus similis. InfoMusa. 15(1-2): Glick BR, Pasternak JJ Molecular Biotechnology Principles and Applications of Recombinant DNA. 3 rd ed. Washington DC [US]: American Society for Microbiology Press. Guetsky R, Shtienberg D, Elad Y, Fischer E, Dinoor A Combining biocontrol agents to reduce the variability of biocontrol agent. Phytopatholy. 91 (7):

48 Guetsky R, Shtienberg D, Elad Y, Fischer E, Dinoor A Improving biological control by combining biocontrol agents each with several mechanisms of disease suppression. Phytopatholy. 92 (9): Tersedia pada: Handini ZVT Keefektifan bakteri endofit dan Plant Growth Promoting Rhizobacteria dalam menekan penyakit layu bakteri (Ralstonia solanacearum) pada Tomat [skripsi]. Bogor [ID]: Departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Hartman GL, Ephinstone Advances in the control of Pseudomonas solanacearum race 1 in major food crops. Di dalam: Hayward AC, Hartman GR, editors. Bacterial Wilt: The Disease and Its Causative Agent, Pseudomonas solanacearum. Wallingford [UK]: Cab International. hlm Husen E Screening of soil bacteria for plant growth promotion activities in vitro. Indonesia Jurnal of Agriculture Science. 4(1): Tersedia pada: Janousek CN, Lorber JD, Gubler WD Combination and rotation of bacterial antagonists to control powdery mildew on pumpkin. Journal of Plant Diseases and Protection. 116(6): Jaya B Botani tanaman tomat. Dalam: Duriyat AS, Hadisoeganda WW, Permadi AH, Sinaga RM, Hilman Y, Basuki RS, Sastrosiswoyo, editor. Teknologi Produksi Tomat. Bandung [ID]: Balai Penelitian Tanaman Sayuran. hlm Jones JB Jr Tomato Plant Culture: In The Field, Green House, and Home Garden. 2 nd ed. Boca Raton: CRC Press. Khalimi K, Wirya GNAS Pemanfaatan plant growth promoting rhizobacteria untuk biostimulants dan bioprotectans. Ecotrophic 4(2): Lo CT General mechanisms of action of microbial biocontrol agents. Plant Pathology Bulletin. 7: McCarter SM Bacterial wilt. Di dalam: Jones JB, Jones JP, Stall RE, Zitter TA, editors. Compendium of Tomato Diseases. Minnesota [USA]: The American Phytopathological Society. hlm Mishra DS, Gupta AK, Prajapati CR, Singh US Combination of fungal and bacterial antagonists for management of root and stem rot disease of soybean. Pakistan Journal of Botani. 43(5): Tersedia pada: 38

49 Nawangsih AA, Damayanti I, Wiyono S, Kartika JG Selection and Characterization of endophytic bacteria as biological control agents of tomato bacteria wilt disease. Hayati. 18 (1): DOI: /hjb Nawangsih AA Seleksi dan karakterisasi bakteri biokontrol untuk mengendalikan penyakit layu bakteri (Ralstonia solanacearum) pada tomat [disertasi]. Bogor [ID]: Departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Nihorimbere V, Ongena M, Cawoy H, Brostaux Y, Kakana P, Jourdan E, Thonart P Beneficial effect of Bacillus subtilis on field-grown tomato in Burundi: reduction of local Fusarium disease and growth promotion. African Journal of Microbiology Research. 4(11): Nurbaya, Rahim MD, Kuswinanti T, Baharuddin Sinergisme antar isolat bakteri antagonis dalam mengendalikan penyakit layu bakteri (R.solanacearum) pada sistem budidaya aeroponik tanaman kentang. Seminar dan Pertemuan Tahunan XXI PEI, PFI Komda Sulawesi Selatan dan Dinas Perkebunan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan; 2011 Jun 7, Makassar. Tersedia pada: Purwanto S, Tjahjono B Pengamatan penyakit layu bakteri pada tomat di greenhouse dan pengujian agens antagonis. Prosiding Kongres Nasional XVI dan seminar Ilmiah; 2001 Agu 22-24, Bogor. Bogor [ID]: Perhimpunan Fitopatologi Indonesia. hlm Tersediapada: engamatan%20penyakit%20layu%20bakteri%20pada%20tomat%20di%20gr eellitollse.pdf?sequence=1. Roberts DP, Lohrke SM, Meyer SLF, Buyer JS, Bowers JH, Baker CJ, Li wei, Souza JT, Lewis JA, Chung S Biocontrol agents apllied individually and in combination for suppression of soilborne disease of cucumber. Crop Protection. 24(2005): DOI: /j.cropro Ryan RP, Germaine K, Franks A, Ryan DJ, Dowling DN Bacterial endophytes: recent developments and applications. FEMS Microbiology Letters. 278: 1-9. DOI: /j x. Sigee DC Bacterial Plant Pathology: Cell and Molecular Aspect. Manchester[UK]: Cambridge University Press. Supriadi Analisis risiko agens hayati untuk pengendalian patogen pada tanaman. Jurnal Litbang Pertanian. 25 (3): Suryadi Y, Machmud M Keragaman Genetik Strain Ralstonia solanacearum berdasarkan karakterisasi menggunakan teknik berbasis asam nukleat. Buletin AgroBio. 5 (2):

50 Sutariati GAK, Widodo, Sudarsono, Ilyas S Pengaruh Perlakuan Rizobakteri pemacu pertumbuhan tanaman terhadap viabilitas benih serta pertumbuhan bibit tanaman cabai [internet]. Bul Agron. 34 (1): Tersedia pada: journal.ipb.ac.id/index.php /jurnalagronomi/article/view file/1275/378. Tahat MM, Sijam K Ralstonia solanacearum: the bacteria wilt causal agent. Asian Journal of Plant Disease. 9 (7): Trigalet A, Frey P, Trigalet D Biological control of bacterial wilt caused by Pseudomonas solanacearum: state of the art and understanding. Di dalam: Hayward AC, Hartman GR, editors. Bacterial Wilt: The Disease and Its Causative Agent, Pseudomonas solanacearum. Wallingford [UK]: Cab International. hlm Villegas MED, Villa P, Frias A Evaluation of the siderophores production by Pseudomonas aeruginosa PSS. Rev Latinoam Microbiol. 44 (3-4):

51 LAMPIRAN 40

52 41 Lampiran 1 Kejadian penyakit dan nilai AUDPC tomat dengan berbagai perlakuan pada minggu ke-1 sampai minggu ke-7 setelah tanam Perlakuan Kejadian penyakit pada minggu ke-(%) AUDPC a (%hari) Kontrol 0.00± 0.00 a 6.67±11.55 a 26.67±11.55 ab 40.00±20.00 a 46.67±11.55 a 46.67±11.55 ab 60.00± 0.00 b 340± ab BC0P100 b 13.33±11.55 a 13.33±11.55 a 20.00±20.00 ab 20.00±20.00 a 20.00±20.00 a 33.33±23.79 b 40.00±20.00 b 220± b BC25P ± 0.00 a 13.33±11.55 a 33.33±23.79 a 33.33±23.79 a 53.33±41.67 a 53.33±41.67 ab 60.00±34.64 b 340± ab BC50P ±11.55 a 6.67±11.55 a 6.67±11.55 ab 13.33±11.55 a 40.00±20.00 a 46.67±23.79 ab 53.33±11.55 b 300± b BC75P ±11.55 a 13.33±11.55 a 13.33±11.55 ab 33.33±11.55 a 53.33±30.55 a 60.00±20.00 ab 66.67±23.79 ab 380±124,89 ab BC100P0 0.00± 0.00 a 0.00± 0.00 a 0.00± 0.00 b 13.33±11.55 a 26.67±11.55 a 40.00± 0.00 ab 53.33±11.55 b 280± b BC0B ± 0.00 a 0.00± 0.00 a 6.67±11.55 ab 40.00±20.00 a 53.33±23.79 a 53.33±23.79 ab 80.00±20.00 ab 400± ab BC25B ±11.55 a 6.67±11.55 a 20.00±20.00 ab 26.67±11.55 a 40.00±20.00 a 53.33±30.57 ab 73.33±30.57 ab 380± ab BC50B ± 0.00 a 6.67±11.55 a 13.33±11.55 ab 20.00±20.00 a 40.00±34.64 a 40.00±34.64 ab 53.33±23.79 b 280± b BC75B ±11.55 a 13.33±11.55 a 13.33±11.55 ab 33.33±11.55 a 66.67±11.55 a 86.67±11.55 a ± 0.00 a 560± a a AUDPC= Area Under Disease Progress Curve. b Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf 5%. Lampiran 2 Laju pertambahan tinggi dan nilai AUHGPCtomat dengan berbagai perlakuan kombinasi pada minggu ke-0 sampai minggu ke-6 setelah tanam Perlakuan Laju pertambahan tinggi tomat pada minggu ke- (cm) b AUHPGC a (cmhari) Kontrol 0±0.00 a 2.73±0.58 a 6.47±0.37 abc 13.57±1.07 a 15.00±2.48 abc 14.70±1.67 b 21.47±1.78 a ±40.13 abc BC0P100 b 0±0.00 a 3.04±0.52 a 8.20±1.39 a 13.06±1.19 ab 15.11±1.95 ab 16.88±5.52 ab 19.32±3.47 ab ±70.28 ab BC25P75 0±0.00 a 2.40±0.82 a 7.33±1.06 ab 12.50±1.42 abc 14.60±2.18 abc 14.97±2.58 b 14.57±3.77 b ±64.88 bcd BC50P50 0±0.00 a 2.80±0.56 a 6.57±0.05 ab 10.43±1.08 c 13.50±2.90 abc 13.30±3.30 b 19.20± 2.42 ab ±42.13 bcd BC75P25 0±0.00 a 1.93±0.40 a 6.93±0.22 ab 14.00±1.61 a 17.17±2.18 a 19.50±1.47 a 22.13±2.75 a ±48.87 a BC100P0 0±0.00 a 3.03±0.30 a 7.12±0.87 ab 13.51±1.08 a 15.39±0.50 ab 16.01±2.43 ab 21.30±3.89 a ±31.77 ab BC0B100 0±0.00 a 2.20±0.10 a 6.47±0.82 abc 10.70±1.30 bc 13.27±1.26 bc 15.43±1.18 ab 22.00±4.59 a ±19.94 bcd BC25B75 0±0.00 a 1.94±0.33 a 5.65±0.90 bc 11.59±2.07 abc 12.53±2.18 bc 13.59±1.13 b 18.93±3.85 ab ±17.13 cd BC50B50 0±0.00 a 2.63±0.93 a 6.10±1.37 bc 12.03±1.36 abc 14.17±1.88 abc 14.80±1.47 b 18.83±0.61 ab ±50.00 bcd BC75B25 0±0.00 a 2.12±0.82 a 4.57±1.40 c 10.76±2.64 bc 11.39±2.70 c 12.41±3.91 b 21.09±3.04 a ±67.45 d a AUHPGC= Area Under Height of Plant Growth Curve. b Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf 5%. 42

53 Lampiran 3 Hasil analisis ragam tingkat kejadian penyakit layu bakteri di rumah kaca pada minggu 1 sampai 7 Sumber DB JK KT F hit Pr > F Minggu 1 Blok Perlakuan Error/ galat Total terkoreksi Minggu 2 Blok Perlakuan Error/ galat Total terkoreksi Minggu 3 Blok Perlakuan Error/ galat Total terkoreksi Minggu 4 Blok Perlakuan Error/ galat Total terkoreksi Minggu 5 Blok Perlakuan Error/ galat Total terkoreksi Minggu 6 Blok Perlakuan Error/ galat Total terkoreksi Minggu 7 Blok Perlakuan

54 44 Error/ galat Total terkoreksi Lampiran 4 Hasil analisis ragam laju pertambahan tinggi tanaman tomat di rumah kaca pada minggu 1 sampai 6 Sumber DB JK KT F hit Pr > F Minggu 1 Blok Perlakuan Error/ galat Total terkoreksi Minggu 2 Blok Perlakuan Error/ galat Total terkoreksi Minggu 3 Blok Perlakuan Error/ galat Total terkoreksi Minggu 4 Blok Perlakuan Error/ galat Total terkoreksi Minggu 5 Blok Perlakuan Error/ galat Total terkoreksi Minggu 6 Blok Perlakuan Error/ galat

55 45 Total terkoreksi Lampiran 5 Hasil analisis ragam masa inkubasi penyakit layu bakteri pada tanaman tomat di rumah kaca Sumber DB JK KT F hit Pr > F Blok Perlakuan Error/ galat Total terkoreksi Lampiran 6 Hasil analisis ragam nilai AUDPC tomat pada rumah kaca Sumber DB JK KT F hit Pr > F Blok Perlakuan Error/ galat Total terkoreksi Lampiran 7 Hasil analisis ragam bobot kering tanaman tomat pada rumah kaca Sumber DB JK KT F hit Pr > F Blok Perlakuan Error/ galat Total terkoreksi Lampiran 8 Hasil analisis ragam nilai AUHPGC tomat pada rumah kaca Sumber DB JK KT F hit Pr > F Blok Perlakuan Error/ galat Total terkoreksi

56 46 a b c Lampiran 9 Suspensi PGPR dan bakteri endofit yang digunakan untuk aplikasi (a), pengenceran suspensi PGPR dan bakteri endofit untuk aplikasi (b dan c) a b c d e Lampiran 10 Tahapan pemeliharaan R. solanacearum, a) tanaman tomat yang terserang layu bakteri, b) pengecekan tanaman tomat yang terserang layu bakteri (oose keluar dari batang), c) tanaman tomat dipotong-potong dan ditambah air agar oose keluar, d) pencampuran potongan tanaman tomat dengan tanah steril, e) tanah yang telah terinfestasi R.solanacearum yang siap untuk digunakan dalam penelitian

57 47 a b Lampiran 11 Keadaan tanaman tomat di dalam rumah kaca pada saat pindah tanam (a) dan saat berumur 11 HST (b) BLOK 1 BLOK 2 H4 G3 F4 I6 J5 B6 C5 D13 E11 J5 C8 D8 E8 K8 H15 I5 F5 G2 H5 A3 F14 G4 H8 A6 B4 C4 D14 E14 K4 J4 D12 E5 K15 J9 I8 F7 G1 H6 A2 B7 G7 H13 A8 B15 C2 D10 E12 K5 J6 I4 E6 K14 J2 I12 F15 G9 H7 A4 B5 C3 G5 A9 B8 C7 D15 E15 K7 J7 I7 F6 E13 K2 J13 I2 F13 H3 A5 B3 C9 D11 H2 A1 B9 C11 D9 K6 J3 I3 F3 G10 K1 J14 I1 F2 G11 A7 B2 C10 D7 E9 A15 B14 C12 D6 E10 I11 F8 G8 H14 J8 BLOK 3 B13 C1 D5 E3 K9 J15 I9 F9 G12 H9 C6 D4 E2 K13 J12 I13 F12 G13 H12 A14 D2 E7 K10 J1 I10 F1 G6 H1 A10 B1 E4 J10 K12 I14 F10 G14 H10 A13 B10 C13 K11 J11 I15 F11 G15 H11 A12 B12 C14 D1 B11 A11 C15 D3 E1 Keterangan: A= Kontrol D = B25B75 G = B100B0 J = B50B50 B = Kontrol (-) E = B50B50 H = B25P75 K = B75P25 C = B0B100 F = B75B25 I = B25P75 Lampiran 12 Layout percobaan yang digunakan dalam penelitian

58 Lampiran 13 Keadaan tanaman tomat saat berumur 32 HST 48

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penyiapan Tanaman Uji Pemeliharaan dan Penyiapan Suspensi Bakteri Endofit dan PGPR

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penyiapan Tanaman Uji Pemeliharaan dan Penyiapan Suspensi Bakteri Endofit dan PGPR 17 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan di Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor dan di Rumah Kaca, University Farm,

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat Metode Penelitian Penyiapan tanaman uji

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat Metode Penelitian Penyiapan tanaman uji BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan pada bulan Juli 2010 Maret 2011. Penelitian dilakukan di Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Isolasi Bakteri Endofit Asal Bogor, Cipanas, dan Lembang Bakteri endofit yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari tiga tempat yang berbeda dalam satu propinsi Jawa Barat. Bogor,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Kombinasi Agens Biokontrol terhadap Kejadian Penyakit Layu Bakteri

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Kombinasi Agens Biokontrol terhadap Kejadian Penyakit Layu Bakteri HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Kombinasi Agens Biokontrol terhadap Kejadian Penyakit Layu Bakteri Kejadian penyakit adalah angka yang menunjukkan jumlah tanaman sakit dibandingkan dengan jumlah tanaman

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE. Metode Penelitian BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan dan Rumah Kaca University Farm, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian

Lebih terperinci

KEEFEKTIFAN BAKTERI ENDOFIT DAN PLANT GROWTH PROMOTING RHIZOBACTERIA DALAM MENEKAN PENYAKIT LAYU BAKTERI (Ralstonia solanacearum) PADA TOMAT

KEEFEKTIFAN BAKTERI ENDOFIT DAN PLANT GROWTH PROMOTING RHIZOBACTERIA DALAM MENEKAN PENYAKIT LAYU BAKTERI (Ralstonia solanacearum) PADA TOMAT KEEFEKTIFAN BAKTERI ENDOFIT DAN PLANT GROWTH PROMOTING RHIZOBACTERIA DALAM MENEKAN PENYAKIT LAYU BAKTERI (Ralstonia solanacearum) PADA TOMAT ZHENITA VINDA TRI HANDINI DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan waktu penelitian Bahan dan Alat Isolasi dan Uji Reaksi Hipersensitif Bakteri Penghasil Siderofor

BAHAN DAN METODE Tempat dan waktu penelitian Bahan dan Alat Isolasi dan Uji Reaksi Hipersensitif Bakteri Penghasil Siderofor BAHAN DAN METODE Tempat dan waktu penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, dari Oktober 2010

Lebih terperinci

BAHAN. bulan Juli diremajakan. pertumbuhan. Gambar 4

BAHAN. bulan Juli diremajakan. pertumbuhan. Gambar 4 14 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian serta di Rumah Kaca University Farm, Institut

Lebih terperinci

SELEKSI DAN KARAKTERISASI BAKTERI ENDOFIT UNTUK MENEKAN KEJADIAN PENYAKIT LAYU BAKTERI (Ralstonia solanacearum) PADA TANAMAN TOMAT IKA DAMAYANTI

SELEKSI DAN KARAKTERISASI BAKTERI ENDOFIT UNTUK MENEKAN KEJADIAN PENYAKIT LAYU BAKTERI (Ralstonia solanacearum) PADA TANAMAN TOMAT IKA DAMAYANTI SELEKSI DAN KARAKTERISASI BAKTERI ENDOFIT UNTUK MENEKAN KEJADIAN PENYAKIT LAYU BAKTERI (Ralstonia solanacearum) PADA TANAMAN TOMAT IKA DAMAYANTI DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Isolasi dan Inokulasi Penyebab Busuk Lunak Karakterisasi Bakteri Penyebab Busuk Lunak Uji Gram

HASIL DAN PEMBAHASAN Isolasi dan Inokulasi Penyebab Busuk Lunak Karakterisasi Bakteri Penyebab Busuk Lunak Uji Gram HASIL DAN PEMBAHASAN Isolasi dan Inokulasi Penyebab Busuk Lunak Isolasi daun anggrek yang bergejala busuk lunak dihasilkan 9 isolat bakteri. Hasil uji Gram menunjukkan 4 isolat termasuk bakteri Gram positif

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tabel 1 Kombinasi perlakuan yang dilakukan di lapangan

BAHAN DAN METODE. Tabel 1 Kombinasi perlakuan yang dilakukan di lapangan 13 BAHAN DAN METODE Tempat dan waktu Penelitian ini dilaksanakan di Desa Ciburuy, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor serta di Laboratorium Bakteriologi, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian,

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu 15 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan di laboratorium dan rumah kaca Hama dan Penyakit dan rumah kaca Balai penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (BALITTRO), Bogor; pada bulan Oktober

Lebih terperinci

EKSPLORASI Pseudomonad fluorescens DARI PERAKARAN GULMA PUTRI MALU (Mimosa invisa)

EKSPLORASI Pseudomonad fluorescens DARI PERAKARAN GULMA PUTRI MALU (Mimosa invisa) EKSPLORASI Pseudomonad fluorescens DARI PERAKARAN GULMA PUTRI MALU (Mimosa invisa) A. Pendahuluan Pseudomonad fluorescens merupakan anggota kelompok Pseudomonas yang terdiri atas Pseudomonas aeruginosa,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh PGPR terhadap Laju Pertambahan Tinggi Tanaman Kedelai

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh PGPR terhadap Laju Pertambahan Tinggi Tanaman Kedelai 23 HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh PGPR terhadap Laju Pertambahan Tinggi Tanaman Kedelai PGPR sebagai rizobakteria memberikan pengaruh tertentu terhadap pertumbuhan tanaman kedelai yang diujikan di rumah

Lebih terperinci

Penyakit Layu Bakteri pada Kentang

Penyakit Layu Bakteri pada Kentang Penyakit Layu Bakteri pada Kentang Penyakit layu bakteri dapat mengurangi kehilangan hasil pada tanaman kentang, terutama pada fase pembibitan. Penyakit layu bakteri disebabkan oleh bakteri Ralstonia solanacearum

Lebih terperinci

Gambar 1 Tanaman uji hasil meriklon (A) anggrek Phalaenopsis, (B) bunga Phalaenopsis yang berwarna putih

Gambar 1 Tanaman uji hasil meriklon (A) anggrek Phalaenopsis, (B) bunga Phalaenopsis yang berwarna putih BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Isolasi dan perbanyakan sumber inokulum E. carotovora dilakukan di Laboratorium Bakteriologi Departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian, Institut Pertanian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tomat (Lycopersicum esculantum Mill.) merupakan salah satu komoditas

BAB I PENDAHULUAN. Tomat (Lycopersicum esculantum Mill.) merupakan salah satu komoditas BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tomat (Lycopersicum esculantum Mill.) merupakan salah satu komoditas yang bersifat multiguna dan banyak diminati oleh masyarakat, khususnya di Indonesia, saat ini tomat

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Isolasi dan Reaksi Hipersensitif Bakteri Penghasil Siderofor Asal Cipanas dan Lembang Daerah perakaran tanaman tomat sehat diduga lebih banyak dikolonisasi oleh bakteri yang bermanfaat

Lebih terperinci

KEEFEKTIFAN BERBAGAI FOMULASI PLANT GROWTH PROMOTING RHIZOBACTERIA

KEEFEKTIFAN BERBAGAI FOMULASI PLANT GROWTH PROMOTING RHIZOBACTERIA KEEFEKTIFAN BERBAGAI FOMULASI PLANT GROWTH PROMOTING RHIZOBACTERIA (PGPR) DAN BAKTERI ENDOFIT TERHADAP PENYAKIT LAYU BAKTERI YANG DISEBABKAN OLEH Ralstonia solanacearum PADA TOMAT NOVRA ERNALIANA SINAGA

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat Metode Penelitian Pra-pengamatan atau survei

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat Metode Penelitian Pra-pengamatan atau survei BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Pusat Kajian Buah-Buahan Tropika IPB (PKBT-IPB) Pasir Kuda, Desa Ciomas, Bogor, dan Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan,

Lebih terperinci

Tabel 1 Persentase penghambatan koloni dan filtrat isolat Streptomyces terhadap pertumbuhan S. rolfsii Isolat Streptomyces spp.

Tabel 1 Persentase penghambatan koloni dan filtrat isolat Streptomyces terhadap pertumbuhan S. rolfsii Isolat Streptomyces spp. 4 Tinggi tanaman kumulatif dikonversi menjadi LADKT (luasan area di bawah kurva perkembangan tinggi tanaman) menggunakan rumus sama seperti perhitungan LADKP. KB dihitung dengan rumus (Sutopo 2002): Perhitungan

Lebih terperinci

PENGENDALIAN LAYU FUSARIUM PADA TANAMAN PISANG (Musa paradisiaca L.) SECARA KULTUR TEKNIS DAN HAYATI MIFTAHUL HUDA

PENGENDALIAN LAYU FUSARIUM PADA TANAMAN PISANG (Musa paradisiaca L.) SECARA KULTUR TEKNIS DAN HAYATI MIFTAHUL HUDA PENGENDALIAN LAYU FUSARIUM PADA TANAMAN PISANG (Musa paradisiaca L.) SECARA KULTUR TEKNIS DAN HAYATI MIFTAHUL HUDA DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010 ABSTRAK MIFTAHUL

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT PADA BUDIDAYA CABAI MERAH

IDENTIFIKASI DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT PADA BUDIDAYA CABAI MERAH IDENTIFIKASI DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT PADA BUDIDAYA CABAI MERAH Nurbaiti Pendahuluan Produktifitas cabai di Aceh masih rendah 10.3 ton/ha (BPS, 2014) apabila dibandingkan dengan potensi produksi yang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Tomat

TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Tomat 3 TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Tomat Tomat (Lycopersicum esculantum MILL.) berasal dari daerah tropis Meksiko hingga Peru. Semua varietas tomat di Eropa dan Asia pertama kali berasal dari Amerika Latin

Lebih terperinci

POTENSI BAKTERISIDA SENYAWA METABOLIT Penicillium spp. TERHADAP Ralstonia solanacearum PENYEBAB PENYAKIT LAYU BAKTERI PADA CABAI KHOIRUNNISYA

POTENSI BAKTERISIDA SENYAWA METABOLIT Penicillium spp. TERHADAP Ralstonia solanacearum PENYEBAB PENYAKIT LAYU BAKTERI PADA CABAI KHOIRUNNISYA POTENSI BAKTERISIDA SENYAWA METABOLIT Penicillium spp. TERHADAP Ralstonia solanacearum PENYEBAB PENYAKIT LAYU BAKTERI PADA CABAI KHOIRUNNISYA DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK PENYEBAB PENYAKIT LAYU BAKTERI PADA TANAMAN TEMBAKAU DI PROBOLINGGO

KARAKTERISTIK PENYEBAB PENYAKIT LAYU BAKTERI PADA TANAMAN TEMBAKAU DI PROBOLINGGO KARAKTERISTIK PENYEBAB PENYAKIT LAYU BAKTERI PADA TANAMAN TEMBAKAU DI PROBOLINGGO Pendahuluan Tembakau merupakan salah satu komoditas perkebunan yang strategis dan memiliki nilai ekonomi cukup tinggi.

Lebih terperinci

Ralstonia solanacearum

Ralstonia solanacearum NAMA : Zuah Eko Mursyid Bangun NIM : 6030066 KELAS : AET-2A Ralstonia solanacearum (Bakteri penyebab penyakit layu). Klasifikasi Kingdom : Prokaryotae Divisi : Gracilicutes Subdivisi : Proteobacteria Famili

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Teknologi pertanian, khususnya dalam pengendalian penyakit tanaman di

BAB I PENDAHULUAN. Teknologi pertanian, khususnya dalam pengendalian penyakit tanaman di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Teknologi pertanian, khususnya dalam pengendalian penyakit tanaman di Indonesia masih banyak mengandalkan penggunaan pestisida. Penggunaan pestisida yang tidak bijaksana

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Arti Penting Tanaman Tomat Penyakit Layu Bakteri pada Tomat oleh Ralstonia solanacearum

TINJAUAN PUSTAKA Arti Penting Tanaman Tomat Penyakit Layu Bakteri pada Tomat oleh Ralstonia solanacearum TINJAUAN PUSTAKA Arti Penting Tanaman Tomat Tomat (Lycopersicon esculentum Mill.) adalah komoditas hortikultura yang penting di Indonesia dan merupakan salah satu jenis sayuran yang banyak digemari orang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sebagian besar produk perkebunan utama diekspor ke negara-negara lain. Ekspor. teh dan kakao (Kementerian Pertanian, 2015).

PENDAHULUAN. Sebagian besar produk perkebunan utama diekspor ke negara-negara lain. Ekspor. teh dan kakao (Kementerian Pertanian, 2015). 12 PENDAHULUAN Latar Belakang Sub-sektor perkebunan merupakan penyumbang ekspor terbesar di sektor pertanian dengan nilai ekspor yang jauh lebih besar dibandingkan nilai impornya. Sebagian besar produk

Lebih terperinci

MENGENAL LEBIH DEKAT PENYAKIT LAYU BEKTERI Ralstonia solanacearum PADA TEMBAKAU

MENGENAL LEBIH DEKAT PENYAKIT LAYU BEKTERI Ralstonia solanacearum PADA TEMBAKAU PEMERINTAH KABUPATEN PROBOLINGGO DINAS PERKEBUNAN DAN KEHUTANAN JL. RAYA DRINGU 81 TELPON 0335-420517 PROBOLINGGO 67271 MENGENAL LEBIH DEKAT PENYAKIT LAYU BEKTERI Ralstonia solanacearum PADA TEMBAKAU Oleh

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tomat merupakan salah satu tanaman hortikultura yang penting di dunia.

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tomat merupakan salah satu tanaman hortikultura yang penting di dunia. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tomat merupakan salah satu tanaman hortikultura yang penting di dunia. Tanaman ini mempunyai daya adaptasi yang baik pada berbagai kondisi lingkungan. Luas lahan pertanaman

Lebih terperinci

PENGARUH MEDIA FORMULASI DAN JENIS KEMASAN

PENGARUH MEDIA FORMULASI DAN JENIS KEMASAN PENGARUH MEDIA FORMULASI DAN JENIS KEMASAN Bacillus subtilis UNTUK PENGENDALIAN Ralstonia solanacearum (Yabuuchi et al.) PADA TANAMAN TOMAT SECARA IN VITRO SKRIPSI Oleh Tri Vita Lestari NIM. 011510401050

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Pembiakan P. fluorescens dari Kultur Penyimpanan

BAHAN DAN METODE. Pembiakan P. fluorescens dari Kultur Penyimpanan BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor mulai bulan Februari

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE. Metode Penelitian BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Mikologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, dari bulan Februari sampai

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanaman cabai (Capsicum annuum L.) merupakan salah satu komoditas hortikultura yang banyak dibudidayakan oleh petani di Indonesia, karena memiliki harga jual yang tinggi.

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ini telah dilaksanakan di Laboratorium Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Riau, Pekanbaru yang berlangsung selama 4 bulan, dimulai dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dunia setelah padi, gandum, dan jagung (Wattimena, 2000 dalam Suwarno, 2008).

BAB I PENDAHULUAN. dunia setelah padi, gandum, dan jagung (Wattimena, 2000 dalam Suwarno, 2008). 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kentang (Solanum tuberosum L.) merupakan salah satu pangan utama dunia setelah padi, gandum, dan jagung (Wattimena, 2000 dalam Suwarno, 2008). Kentang juga merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Kedelai menjadi tanaman terpenting ketiga setelah padi dan jagung

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Kedelai menjadi tanaman terpenting ketiga setelah padi dan jagung BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kedelai (Glycine max L.) merupakan salah satu komoditas strategis di Indonesia. Kedelai menjadi tanaman terpenting ketiga setelah padi dan jagung (Danapriatna, 2007).

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Metode Penelitian Perbanyakan Propagul Agens Antagonis Perbanyakan Massal Bahan Pembawa Biopestisida

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Metode Penelitian Perbanyakan Propagul Agens Antagonis Perbanyakan Massal Bahan Pembawa Biopestisida 7 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor dan Balai Penelitian Tanaman

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan Peremajaan Aktinomiset dari Kultur Penyimpanan Perbanyakan Sclerotium rolfsii dari Kultur Penyimpanan

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan Peremajaan Aktinomiset dari Kultur Penyimpanan Perbanyakan Sclerotium rolfsii dari Kultur Penyimpanan BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB) mulai Maret 2011 sampai

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kacang Tanah Kacang tanah berasal dari Amerika Selatan, namun saat ini telah menyebar ke seluruh dunia yang beriklim tropis atau subtropis. Cina dan India merupakan penghasil

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pisang Cavendish merupakan komoditas pisang segar (edible banana) yang

I. PENDAHULUAN. Pisang Cavendish merupakan komoditas pisang segar (edible banana) yang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pisang Cavendish merupakan komoditas pisang segar (edible banana) yang mendominasi 95% perdagangan pisang di dunia dan produsen pisang Cavendish banyak berasal dari

Lebih terperinci

KEEFEKTIFAN FORMULASI BIOPESTISIDA BERBAHAN AKTIF BAKTERI ENDOFIT DAN PLANT GROWTH PROMOTING RHIZOBACTERIA

KEEFEKTIFAN FORMULASI BIOPESTISIDA BERBAHAN AKTIF BAKTERI ENDOFIT DAN PLANT GROWTH PROMOTING RHIZOBACTERIA KEEFEKTIFAN FORMULASI BIOPESTISIDA BERBAHAN AKTIF BAKTERI ENDOFIT DAN PLANT GROWTH PROMOTING RHIZOBACTERIA SETELAH PENYIMPANAN UNTUK MENGENDALIKAN LAYU BAKTERI PADA TOMAT FATHIAH ISLAM ABADAN DEPARTEMEN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Deskripsi Kacang Hijau Kacang hijau (Vigna radiata L.) merupakan salah satu komoditas tanaman kacang-kacangan yang banyak dikonsumsi rakyat Indonesia. Kacang hijau termasuk

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Tomat Layu Bakteri pada Tomat

TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Tomat Layu Bakteri pada Tomat TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Tomat Tomat termasuk tanaman perdu semusim, berbatang lemah, daun berbentuk segi tiga, bunga berwarna kuning atau hijau di waktu muda dan kuning atau merah di waktu tua, serta

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Penyakit darah (blood disease) merupakan salah satu penyakit penting pada tanaman pisang di Indonesia (Supriadi 2005). Penyakit ini pertama kali dilaporkan pada tahun 1920-an

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Bawang merah (Allium ascalonicum L.) adalah tanaman semusim yang tumbuh

I. PENDAHULUAN. Bawang merah (Allium ascalonicum L.) adalah tanaman semusim yang tumbuh 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Bawang merah (Allium ascalonicum L.) adalah tanaman semusim yang tumbuh membentuk rumpun dengan tinggi tanaman mencapai 15 40 cm. Perakarannya berupa akar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pangan, tetapi juga untuk mendukung

I. PENDAHULUAN. bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pangan, tetapi juga untuk mendukung 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kedelai [Glycine max (L.) Merril] merupakan komoditas strategis di Indonesia. Oleh karena itu, upaya untuk berswasembada kedelai tidak hanya bertujuan untuk memenuhi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kesuburan tanah menurun cepat, pencemaran air dan tanah, bahaya residu

I. PENDAHULUAN. kesuburan tanah menurun cepat, pencemaran air dan tanah, bahaya residu I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gerakan kembali ke alam (back to nature) yang dilandasi oleh kesadaran pentingnya kesehatan dan kelestarian lingkungan kini menjadi sebuah gaya hidup masyarakat dunia.

Lebih terperinci

PERLAKUAN AGEN ANTAGONIS DAN GUANO UNTUK PENGENDALIAN PENYAKIT DAN HAMA PENGGEREK BUAH TANAMAN TOMAT (Lycopersicum esculentum Mill) DI LAPANGAN

PERLAKUAN AGEN ANTAGONIS DAN GUANO UNTUK PENGENDALIAN PENYAKIT DAN HAMA PENGGEREK BUAH TANAMAN TOMAT (Lycopersicum esculentum Mill) DI LAPANGAN PERLAKUAN AGEN ANTAGONIS DAN GUANO UNTUK PENGENDALIAN PENYAKIT DAN HAMA PENGGEREK BUAH TANAMAN TOMAT (Lycopersicum esculentum Mill) DI LAPANGAN IZZATI SHABRINA DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Pengambilan sampel tanaman nanas dilakukan di lahan perkebunan PT. Great

BAHAN DAN METODE. Pengambilan sampel tanaman nanas dilakukan di lahan perkebunan PT. Great III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Pengambilan sampel tanaman nanas dilakukan di lahan perkebunan PT. Great Giant Pineapple (GGP) di Lampung Timur dan PT. Nusantara Tropical Farm, Lampung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di Indonesia, termasuk ke dalam jenis tanaman polong-polongan. Saat ini tanaman

BAB I PENDAHULUAN. di Indonesia, termasuk ke dalam jenis tanaman polong-polongan. Saat ini tanaman BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kedelai (Glycine max (L.) Merill.), merupakan salah satu sumber protein penting di Indonesia, termasuk ke dalam jenis tanaman polong-polongan. Saat ini tanaman kedelai

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Bawang Merah. yang merupakan kumpulan dari pelepah yang satu dengan yang lain. Bawang

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Bawang Merah. yang merupakan kumpulan dari pelepah yang satu dengan yang lain. Bawang II. TINJAUAN PUSTAKA A. Bawang Merah Bawang merah termasuk dalam faimili Liliaceae yang termasuk tanaman herba, tanaman semusim yang tidak berbatang, hanya mempunyai batang semu yang merupakan kumpulan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Rizobakteri Pemacu Pertumbuhan Tanaman (PGPR) Enzim ACC Deaminase dan Etilen

TINJAUAN PUSTAKA Rizobakteri Pemacu Pertumbuhan Tanaman (PGPR) Enzim ACC Deaminase dan Etilen TINJAUAN PUSTAKA Rizobakteri Pemacu Pertumbuhan Tanaman (PGPR) Rizobakteri pemacu tumbuh tanaman yang populer disebut plant growth promoting rhizobacteria (PGPR) diperkenalkan pertama kali oleh Kloepper

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Bahan Waktu dan Tempat Penelitian Rancangan Percobaan ProsedurPenelitian

BAHAN DAN METODE Bahan Waktu dan Tempat Penelitian Rancangan Percobaan ProsedurPenelitian 11 BAHAN DAN METODE Bahan Bahan tanaman yang digunakan adalah benih jagung hibrida varietas BISI 816 produksi PT. BISI International Tbk (Lampiran 1) dan benih cabai merah hibrida varietas Wibawa F1 cap

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan Penelitian Metode Penelitian Isolasi dan Identifikasi Cendawan Patogen

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan Penelitian Metode Penelitian Isolasi dan Identifikasi Cendawan Patogen 14 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Percobaan dilaksanakan dari bulan Maret sampai bulan Juli 2012 di Laboratorium Mikologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut

Lebih terperinci

serum medium koloni Corynebacterium diphtheria tampak putih keabuabuan, spesimenklinis (Joklik WK, Willett HP, Amos DB, Wilfert CM, 1988)

serum medium koloni Corynebacterium diphtheria tampak putih keabuabuan, spesimenklinis (Joklik WK, Willett HP, Amos DB, Wilfert CM, 1988) anaerobic fakultatif. Meskipun demikian, Corynebacterium diphtheria tumbuh lebih bagus dalam keadaan aerobik. Pada Loeffler coagulated serum medium koloni Corynebacterium diphtheria tampak putih keabuabuan,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 10 HASIL DAN PEMBAHASAN Survei Buah Sakit Survei dilakukan di kebun percobaan Leuwikopo, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, di lahan ini terdapat 69 tanaman pepaya. Kondisi lahan tidak terawat

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Pembiakan P. fluorescens pada Beberapa Formulasi Limbah Organik Populasi P. fluorescens pada beberapa limbah organik menunjukkan adanya peningkatan populasi. Pengaruh komposisi limbah

Lebih terperinci

FORMULASI BAKTERI PERAKARAN (PLANT GROWTH PROMOTING RHIZOBACTERIA-PGPR)

FORMULASI BAKTERI PERAKARAN (PLANT GROWTH PROMOTING RHIZOBACTERIA-PGPR) FORMULASI BAKTERI PERAKARAN (PLANT GROWTH PROMOTING RHIZOBACTERIA-PGPR) Pendahuluan Pemanfaatan bakteri perakaran atau PGPR dalam bidang perlindungan telah banyak dilaporkan pada beberapa tanaman dan dilaporkan

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan Desember 2014.

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan Desember 2014. III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan Desember 2014. Isolasi dan karakterisasi penyebab penyakit dilakukan di Laboratorium Penyakit

Lebih terperinci

TERM OF REFFERENCE (TOR) PENINGKATAN SERAPAN HARA, PENGISIAN TONGKOL, DAN PENCEGAHAN SERANGAN PENYAKIT HAWAR DAUN PADA TANAMAN JAGUNG (Zea mays)

TERM OF REFFERENCE (TOR) PENINGKATAN SERAPAN HARA, PENGISIAN TONGKOL, DAN PENCEGAHAN SERANGAN PENYAKIT HAWAR DAUN PADA TANAMAN JAGUNG (Zea mays) TERM OF REFFERENCE (TOR) PENINGKATAN SERAPAN HARA, PENGISIAN TONGKOL, DAN PENCEGAHAN SERANGAN PENYAKIT HAWAR DAUN PADA TANAMAN JAGUNG (Zea mays) 2016 PENDAHULUAN Daerah rhizosper tanaman banyak dihuni

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. Tahap Laboratorium 1. Uji Kemampuan Isolat a. Tempat dan Waktu Penelitian Uji kemampuan 40 isolat bakteri dilaksanakan di laboratorium Biologi dan Bioteknologi Tanah, Fakultas

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu . Bahan dan Alat Metode Penelitian Survei Buah Pepaya Sakit

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu . Bahan dan Alat Metode Penelitian Survei Buah Pepaya Sakit 5 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman dan Kebun Percobaan Leuwikopo, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS PEMBERIAN EM (Effective Microorganism) TERHADAP PERTUMBUHAN Anthurium plowmanii PADA MEDIA CAMPURAN PAKIS CACAH DAN ARANG SEKAM SKRIPSI

EFEKTIVITAS PEMBERIAN EM (Effective Microorganism) TERHADAP PERTUMBUHAN Anthurium plowmanii PADA MEDIA CAMPURAN PAKIS CACAH DAN ARANG SEKAM SKRIPSI EFEKTIVITAS PEMBERIAN EM (Effective Microorganism) TERHADAP PERTUMBUHAN Anthurium plowmanii PADA MEDIA CAMPURAN PAKIS CACAH DAN ARANG SEKAM SKRIPSI Usulan Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 : Pengamatan mikroskopis S. rolfsii Sumber :

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 : Pengamatan mikroskopis S. rolfsii Sumber : 4 TINJAUAN PUSTAKA Biologi Penyebab Penyakit Jamur penyebab penyakit rebah semai ini dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Kingdom Divisi Kelas Ordo Famili Genus Spesies : Fungi : Basidiomycota : Basidiomycetes

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Antraknosa merupakan salah satu penyakit tanaman yang dapat menurunkan produksi tanaman bahkan dapat mengakibatkan gagal panen. Penyakit ini menyerang hampir semua tanaman.

Lebih terperinci

Interaksi antara Bakteri Endofit dan Bakteri Perakaran Pemacu Pertumbuhan Tanaman dalam Menekan Penyakit Layu Bakteri pada Tomat

Interaksi antara Bakteri Endofit dan Bakteri Perakaran Pemacu Pertumbuhan Tanaman dalam Menekan Penyakit Layu Bakteri pada Tomat ISSN: 0215-7950 Volume 10, Nomor 5, Oktober 2014 Halaman 145 152 DOI: 10.14692/jfi.10.5.145 Interaksi antara Bakteri Endofit dan Bakteri Perakaran Pemacu Pertumbuhan Tanaman dalam Menekan Penyakit Layu

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Dalam rangka memenuhi permintaan dalam negeri dan meningkatkan devisa negara dari sektor non migas, pemerintah telah menempuh beberapa upaya diantaranya pengembangan komoditas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tomat (Lycopersicum esculentum Miil.) termasuk tanaman sayuran yang sudah

I. PENDAHULUAN. Tomat (Lycopersicum esculentum Miil.) termasuk tanaman sayuran yang sudah I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tomat (Lycopersicum esculentum Miil.) termasuk tanaman sayuran yang sudah dikenal sejak dulu. Ada beberapa jenis tomat seperti tomat biasa, tomat apel, tomat keriting,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Kondisi Umum Tanaman Phalaenopsis pada setiap botol tidak digunakan seluruhnya, hanya 3-7 tanaman (disesuaikan dengan keadaan tanaman). Hal ini disebabkan oleh pertumbuhan tanaman

Lebih terperinci

HIBAH KOMPETITIF PENELITIAN SESUAI PRIORITAS NASIONAL BATCH II

HIBAH KOMPETITIF PENELITIAN SESUAI PRIORITAS NASIONAL BATCH II HIBAH KOMPETITIF PENELITIAN SESUAI PRIORITAS NASIONAL BATCH II KAJIAN PEMBIAKAN BAKTERI KITINOLITIK Pseudomonas fluorescens dan Bacillus sp PADA LIMBAH ORGANIK DAN FORMULASINYA SEBAGAI PESTISIDA HAYATI

Lebih terperinci

Trichoderma spp. ENDOFIT AMPUH SEBAGAI AGENS PENGENDALI HAYATI (APH)

Trichoderma spp. ENDOFIT AMPUH SEBAGAI AGENS PENGENDALI HAYATI (APH) Trichoderma spp. ENDOFIT AMPUH SEBAGAI AGENS PENGENDALI HAYATI (APH) I. Latar Belakang Kebijakan penggunaan pestisida tidak selamanya menguntungkan. Hasil evaluasi memperlihatkan, timbul kerugian yang

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Karakterisasi 4.1.1. Karakterisasi Sifat Morfologi Hasil pengamatan karakterisasi morfologi dari empat isolat Pseudomonas berfluorescens yang berasal dari Desa Binuang, Desa

Lebih terperinci

SELEKSI DAN KARAKTERISASI BAKTERI ENDOFIT UNTUK MENEKAN KEJADIAN PENYAKIT LAYU BAKTERI (Ralstonia solanacearum) PADA TANAMAN TOMAT IKA DAMAYANTI

SELEKSI DAN KARAKTERISASI BAKTERI ENDOFIT UNTUK MENEKAN KEJADIAN PENYAKIT LAYU BAKTERI (Ralstonia solanacearum) PADA TANAMAN TOMAT IKA DAMAYANTI SELEKSI DAN KARAKTERISASI BAKTERI ENDOFIT UNTUK MENEKAN KEJADIAN PENYAKIT LAYU BAKTERI (Ralstonia solanacearum) PADA TANAMAN TOMAT IKA DAMAYANTI DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman bawang merah berakar serabut dengan sistem perakaran dangkal

TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman bawang merah berakar serabut dengan sistem perakaran dangkal TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Bawang Merah Tanaman bawang merah berakar serabut dengan sistem perakaran dangkal dan bercabang terpencar, pada kedalaman antara 15-20 cm di dalam tanah. Jumlah perakaran

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN PROBOLINGGO

PEMERINTAH KABUPATEN PROBOLINGGO PEMERINTAH KABUPATEN PROBOLINGGO Jalan Raya Dringu Nomor 81 Telp. (0335) 420517 Fax. (4238210) PROBOLINGGO 67271 POTENSI JAMUR ANTAGONIS Trichoderma spp PENGENDALI HAYATI PENYAKIT LANAS DI PEMBIBITAN TEMBAKAU

Lebih terperinci

I. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Politeknik Negeri Lampung, Bandar Lampung.

I. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Politeknik Negeri Lampung, Bandar Lampung. I. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Politeknik Negeri Lampung, Bandar Lampung. Waktu penelitian dilaksanakan sejak bulan Mei 2010 sampai dengan panen sekitar

Lebih terperinci

Bersama ini kami informasikan beberapa produk/teknologi unggulan kami yang layak untuk digunakan.

Bersama ini kami informasikan beberapa produk/teknologi unggulan kami yang layak untuk digunakan. Produk Kami: Teknologi Bio-Triba, Bio-Fob, & Mitol 20 Ec Bersama ini kami informasikan beberapa produk/teknologi unggulan kami yang layak untuk digunakan. A. Bio TRIBA Teknologi ini adalah hasil penemuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari daerah Brasilia (Amerika Selatan). Sejak awal abad ke-17 kacang tanah telah

BAB I PENDAHULUAN. dari daerah Brasilia (Amerika Selatan). Sejak awal abad ke-17 kacang tanah telah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanaman kacang tanah (Arachis hypogea. L) merupakan tanaman yang berasal dari daerah Brasilia (Amerika Selatan). Sejak awal abad ke-17 kacang tanah telah dibudidayakan

Lebih terperinci

KEEFEKTIFAN BIOPESTISIDA ORGANIK CAIR UNTUK MENGENDALIKAN PENYAKIT BUSUK LUNAK YANG DISEBABKAN OLEH Erwinia carotovora PADA ANGGREK Phalaenopsis sp.

KEEFEKTIFAN BIOPESTISIDA ORGANIK CAIR UNTUK MENGENDALIKAN PENYAKIT BUSUK LUNAK YANG DISEBABKAN OLEH Erwinia carotovora PADA ANGGREK Phalaenopsis sp. KEEFEKTIFAN BIOPESTISIDA ORGANIK CAIR UNTUK MENGENDALIKAN PENYAKIT BUSUK LUNAK YANG DISEBABKAN OLEH Erwinia carotovora PADA ANGGREK Phalaenopsis sp. CHAIRUL HAKIM DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 23 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Di Laboratorium 4.1.1. Karakterisasi Sifat Morfologi Bakteri Pseudomonas Berfluorescens Asal Perakaran Kelapa Sawit Pada Lahan Gambut di Medium NA Hasil pengamatan karakterisasi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. udara yang baik untuk pertumbuhan tanaman cabai adalah 25-27º C pada siang

II. TINJAUAN PUSTAKA. udara yang baik untuk pertumbuhan tanaman cabai adalah 25-27º C pada siang 10 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Umum Tanaman Cabai Tanaman cabai mempunyai daya adaptasi yang cukup luas. Tanaman ini dapat diusahakan di dataran rendah maupun dataran tinggi sampai ketinggian 1400

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Kacang Hijau

TINJAUAN PUSTAKA. A. Kacang Hijau 4 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kacang Hijau Kacang hijau termasuk dalam keluarga Leguminosae. Klasifikasi botani tanman kacang hijau sebagai berikut: Divisio : Spermatophyta Subdivisio : Angiospermae Classis

Lebih terperinci

PENGARUH KOMPOSISI MEDIA LIMBAH PLTU TERHADAP PERTUMBUHAN TANAMAN TOMAT DAN INTENSITAS SERANGAN PENYAKIT LAYU FUSARIUM

PENGARUH KOMPOSISI MEDIA LIMBAH PLTU TERHADAP PERTUMBUHAN TANAMAN TOMAT DAN INTENSITAS SERANGAN PENYAKIT LAYU FUSARIUM PENGARUH KOMPOSISI MEDIA LIMBAH PLTU TERHADAP PERTUMBUHAN TANAMAN TOMAT DAN INTENSITAS SERANGAN PENYAKIT LAYU FUSARIUM KARYA ILMIAH TERTULIS (SKRIPSI) Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat untuk Menyelesaikan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Pupuk merupakan suatu bahan yang bersifat organik ataupun anorganik, dan jika ditambahkan ke dalam tanah atau ke tanaman. Pupuk dapat memperbaiki sifat fisik, kimia, biologi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kentang (Solanum tuberosum L.) adalah tanaman pangan utama keempat dunia setelah

I. PENDAHULUAN. Kentang (Solanum tuberosum L.) adalah tanaman pangan utama keempat dunia setelah 18 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kentang (Solanum tuberosum L.) adalah tanaman pangan utama keempat dunia setelah gandum, jagung dan padi. Di Indonesia kentang merupakan komoditas hortikultura yang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Budidaya Kedelai. diberi nama nodul atau nodul akar. Nodul akar tanaman kedelai umumnya dapat

TINJAUAN PUSTAKA. A. Budidaya Kedelai. diberi nama nodul atau nodul akar. Nodul akar tanaman kedelai umumnya dapat II. TINJAUAN PUSTAKA A. Budidaya Kedelai Tanaman kedelai dapat mengikat Nitrogen di atmosfer melalui aktivitas bakteri Rhizobium japonicum. Bakteri ini terbentuk di dalam akar tanaman yang diberi nama

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. penting di antara rempah-rempah lainnya (king of spices), baik ditinjau dari segi

I. PENDAHULUAN. penting di antara rempah-rempah lainnya (king of spices), baik ditinjau dari segi I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Lada (Piper nigrum L.) merupakan salah satu jenis rempah yang paling penting di antara rempah-rempah lainnya (king of spices), baik ditinjau dari segi perannya dalam menyumbangkan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Penyakit antraknosa pada tanaman cabai disebabkan oleh tiga spesies cendawan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Penyakit antraknosa pada tanaman cabai disebabkan oleh tiga spesies cendawan 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penyakit Antraknosa Cabai Penyakit antraknosa pada tanaman cabai disebabkan oleh tiga spesies cendawan Colletotrichum yaitu C. acutatum, C. gloeosporioides, dan C. capsici (Direktorat

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bakteri Endofit Bakteri endofit adalah mikroba yang hidup di dalam jaringan membentuk koloni dalam jaringan tanaman tanpa membahayakan inangnya. Setiap tanaman tingkat tinggi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Cabai merah (Capsicum annuum L.) termasuk famili solanaceae dan

BAB I PENDAHULUAN. Cabai merah (Capsicum annuum L.) termasuk famili solanaceae dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Cabai merah (Capsicum annuum L.) termasuk famili solanaceae dan merupakan salah satu komoditas sayuran yang memiliki banyak manfaat, bernilai ekonomis tinggi dan mempunyai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan jagung yang mendapatkan prioritas dalam pengembangannya di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. dan jagung yang mendapatkan prioritas dalam pengembangannya di Indonesia 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kentang merupakan salah satu pangan utama dunia setelah padi, gandum dan jagung yang mendapatkan prioritas dalam pengembangannya di Indonesia (Wattimena, 2000 dalam

Lebih terperinci

TAHLIYATIN WARDANAH A

TAHLIYATIN WARDANAH A PEMANFAATAN BAKTERI PERAKARAN PEMACU PERTUMBUHAN TANAMAN (PLANT GROWTH- PROMOTING RHIZOBACTERIA) UNTUK MENGENDALIKAN PENYAKIT MOSAIK TEMBAKAU (TOBACCO MOSAIC VIRUS) PADA TANAMAN CABAI TAHLIYATIN WARDANAH

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Hrp -, IAA +, BPF Hrp -, IAA + + , BPF Hrp. , BPF Hrp -, IAA +, BPF + Hrp. , BPF Hrp. , BPF Hrp. Penambat Nitrogen Penambat Nitrogen

BAHAN DAN METODE. Hrp -, IAA +, BPF Hrp -, IAA + + , BPF Hrp. , BPF Hrp -, IAA +, BPF + Hrp. , BPF Hrp. , BPF Hrp. Penambat Nitrogen Penambat Nitrogen BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi, Departemen Biologi, FMIPA, IPB dan lahan pertanian Kampung Bongkor, Desa Situgede, Karang Pawitan-Wanaraja,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bunga anggrek yang unik menjadi alasan bagi para penyuka tanaman ini. Di

BAB I PENDAHULUAN. bunga anggrek yang unik menjadi alasan bagi para penyuka tanaman ini. Di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tanaman anggrek merupakan salah satu tanaman hias yang tersebar di seluruh dunia dan digemari oleh berbagai kalangan. Bentuk struktur dan warna bunga anggrek yang unik

Lebih terperinci

Lampiran 1 Pengaruh perlakuan terhadap pertambahan tinggi tanaman kedelai dan nilai AUHPGC

Lampiran 1 Pengaruh perlakuan terhadap pertambahan tinggi tanaman kedelai dan nilai AUHPGC LAMPIRAN 38 38 Lampiran 1 Pengaruh perlakuan terhadap pertambahan tinggi tanaman kedelai dan nilai AUHPGC Perlakuan Laju pertambahan tinggi (cm) kedelai pada minggu ke- a 1 2 3 4 5 6 7 AUHPGC (cmhari)

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Aplikasi Agen Antagonis terhadap Viabilitas Benih Proses perkecambahan dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal terdiri atas faktor genetik, tingkat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Botani Tanaman Caisin Caisin (Brassica chinensis L.) merupakan tanaman asli Asia. Caisin dibudidayakan di Cina Selatan dan Tengah, di negara-negara Asia Tenggara seperti Indonesia,

Lebih terperinci