BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 31 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Identifikasi Tutupan Lahan di Lapangan Pengamatan tutupan lahan di lapangan dilakukan di Kecamatan Cikalong yang terdiri dari 13 desa. Titik pengamatan yang digunakan sebanyak 11 titik dengan rincian 65 titik untuk kelas hutan rakyat dan 5 titik untuk setiap kelas tutupan lahan yang lain dengan jumlah 9 kelas. Hasil pengamatan lapangan diperoleh sebanyak 1 (sepuluh) kelas tutupan lahan. Jenis tutupan lahan di lapangan disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Jenis tutupan lahan hasil pengamatan lapangan No Tutupan lahan Jumlah titik pengamatan lapangan 1. Badan air 5 Foto lapangan 2. Hutan tanaman jati 5 3. Lahan terbuka 5

2 32 Tabel 1 (lanjutan) No Obyek tutupan lahan Jumlah titik pengamatan lapangan Foto lapangan 4. Pemukiman 5 5. Hutan rakyat Kebun campuran 5 7. Pertanian lahan kering 5

3 33 Tabel 1 (lanjutan) No Obyek tutupan lahan Jumlah titik pengamatan lapangan Foto lapangan 8. Rawa semak 5 9. Sawah 5 1. Semak/belukar 5 Jumlah titik pengamatan lapangan Analisis Visual dan Analisis Digital Citra Landsat Penafsiran citra Landsat dalam penelitian ini menggunakan metode analisis visual dan analisis digital. Penggunaan kedua metode ini bertujuan untuk melihat perbedaan tingkat akurasi penafsiran citra yang dilakukan intrepeter dengan mempertimbangkan perbedaan kondisi dan kualitas hasil perekaman citra Landsat yang digunakan dalam penelitian. Citra Landsat merupakan salah satu jenis citra optik yang dipengaruhi oleh cuaca sehingga ada beberapa wilayah yang tertutup oleh

4 34 objek awan dan bayangannya sehingga sulit untuk mengidentifikasi objek yang ada di bawahnya. Pada analisis digital, citra Landsat yang dipilih adalah citra tahun 1994 dan 2. Citra yang digunakan adalah citra yang mempunyai tingkat kenampakan objek yang jelas dan tidak mengalami stripping disajikan pada Gambar 3. Proses terjadinya stripping pada citra Landsat diakibatkan karena adanya kerusakan pada sensor optik satelit tersebut sehingga menyebabkan terjadinya sejumlah garis dengan ukuran lebar beberapa piksel kehilangan datanya (DN=). (a) Keterangan: skala 1 : 11 Gambar 3 Citra Landsat tahun 1994 (a) dan 2 (b) Pada analisis visual, citra Landsat yang digunakan adalah citra tahun 25 dan 21. Pemilihan kedua citra tersebut adalah dengan melihat kualitas kedua citra yang mengalami stripping (Gambar 4). (b)

5 35 (a) Keterangan: skala 1 : 11 Gambar 4 Citra Landsat tahun 25 (a) dan 21 (b) Hasil penafsiran citra Landsat dengan metode analisis digital dapat diidentifikasi sebanyak 12 kelas tutupan lahan, yaitu: badan air, hutan tanaman, lahan terbuka, pemukiman, hutan rakyat, kebun campuran, pertanian lahan kering, rawa semak, sawah, semak/belukar, awan, dan bayangan awan. Hasil penafsiran dengan metode analisis digital dapat dilihat pada Gambar 11 dan Gambar 12. Sedangkan untuk hasil identifikasi penafsiran citra Landsat dengan menggunakan metode analisis visual diperoleh sebanyak 1 kelas dengan jenis kelas tutupan lahan yang sama dengan analisis digital tanpa terdapat kelas awan dan kelas bayangan awan. Hasil penafsiran dengan metode analisis visual dapat dilihat pada Gambar 13 dan Gambar 14. Pada citra Landsat resolusi 3 m ini, ada beberapa wilayah yang tertutup oleh objek awan dan bayangannya sehingga sulit untuk mengidentifikasi objek yang ada di bawahnya. Dalam analisis visual citra Landsat yang terdapat awan dan bayangannya. Identifikasi objek yang berada di bawahnya dilakukan dengan melihat asosiasi dari objek yang berada pada objek yang tertutup oleh awan dan bayangannya. Selain itu, teknik identifikasi yang juga dilakukan yaitu dengan mencocokkan hasil identifikasi awal dengan melakukan overlay dengan citra resolusi tinggi GeoEye secara online dengan bantuan software Google Earth dan berdasarkan data wawancara di lapangan (b)

6 36 dengan penduduk sekitar. Sedangkan dalam analisis digital, awan dan bayangannya yang terdapat pada citra digolongkan dalam kelas tutupan lahan sehingga objek yang berada dibawahnya tidak teridentifikasi sesuai dengan kenyataan di lapangan. Kelas hutan rakyat pada citra Landsat memiliki warna hijau tua hingga hijau kekuningan dengan pola yang tidak teratur dan bentuk yang berbeda-beda tergantung dari luasan hutan rakyat tersebut. Adanya perbedaan kenampakan warna hutan rakyat ini dari warna hijau tua hingga hingga kekuningan dipengaruhi oleh banyaknya spesies dan jarak tanam tanaman kayu yang dibudidayakan dalam pengelolaan hutan rakyat. Pada kenampakan warna hijau hingga hijau tua, pengelolaan hutan rakyat yang dilakukan cenderung dengan membudidayakan lebih dari satu jenis tanaman kayu seperti mahoni, sengon dan kelapa di suatu lokasi, dan jarak tanam yang digunakan cukup rapat. Sedangkan pada kenampakan warna hijau hingga hijau kekuningan (Gambar 5a), pengelolaan hutan rakyat yang dilakukan cenderung dengan membudidayakan tanaman kayu secara monokultur di suatu lokasi. Dalam penelitian ini, kelas hutan rakyat yang banyak teridentifikasi adalah hutan rakyat campuran dengan membudidayakan dua atau lebih tanaman kayu dan tanaman pertanian dengan kenampakan warna hijau hingga hijau tua (Gambar 5b). (a) (b) Keterangan: skala 1 : 5 Gambar 5 Kenampakan citra Landsat pada hutan rakyat monokultur (a) dan campuran (b) Dalam analisis visual, kenampakan hutan rakyat terkadang juga memiliki rona warna hijau kekuningan bercampur merah. Hal ini dikarenakan hutan rakyat mempunyai karakter dalam hal letak atau lokasi tempat pengelolaan yang berada di

7 37 dekat perkampungan sehingga dengan karakter citra Landsat yang memiliki resolusi spasial sebesar 3 m, untuk ketelitian hasil analisis visual perlu dilakukan pembuatan titik-titik ground check lapangan yang jumlahnya mewakili dari jumlah keseluruhan objek yang teridentifikasi hutan rakyat dan posisi titik-titik ground check lapangan yang sifatnya menyebar. (a) (b) Keterangan: skala 1 : 25 Gambar 6 Kenampakan citra Landsat pada kelas hutan tanaman (a) dan kebun campuran (b) Hutan tanaman (Gambar 6a) memiliki tampilan warna hijau bercampur warna coklat dan merah yang dipengaruhi oleh jenis tanaman yang dibudidayakan adalah tanaman Jati (Tectona grandis). Tanaman Jati hidup di daerah kering dan mempunyai tutupan daun yang tidak rapat sehingga mempengaruhi terhadap tampilan rona dan warna pada citra. Kebun campuran (Gambar 6b) mempunyai tampilan warna hijau tua dengan tekstur kasar yang dipengaruhi oleh komposisi jenis yang beragam dan menggunakan pola tanam yang rapat. Kebun campuran dan hutan rakyat umumnya sulit diidentifikasi karena beberapa hutan rakyat mempunyai karakter budidaya kayu dengan komposisi jenis yang beragam.

8 38 (a) (b) Keterangan: skala 1 : 25 Gambar 7 Kenampakan citra Landsat pada kelas lahan terbuka (a) dan pemukiman (b) Hasil analisis visual citra Landsat pada kelas pemukiman (Gambar 7b) dan lahan terbuka (Gambar 7a) umunya memiliki warna kombinasi pink, merah, dan merah tua. Pada kelas pemukiman dan lahan terbuka sulit dilakukan identifikasi karena memiliki kombinasi tampilan warna yang cukup sama. Pemukiman biasanya memiliki jaringan jalan yang tinggi sehingga jaringan jalan pada poligon pemukiman lebih rapat dan teratur dibandingkan dengan yang lainnya. (a) (b) Keterangan: skala 1 : 25 Gambar 8 Kenampakan citra Landsat pada kelas sawah berair (a) dan sawah bervegetasi (b) Pada kelas tutupan sawah cenderung lebih mudah dibedakan dengan kelas lainnya adalah pada sawah dengan fase sedang diolah dan digenangi air. Pada sawah dengan tahapan sedang diolah dan digenangi air (gambar 8a) memiliki tampilan

9 39 warna biru dengan tone gelap dan tekstur halus, sedangkan pada sawah dengan fase sawah bervegetasi (Gambar 8b) memiliki tekstur halus dengan tampilan warna hijau kecoklatan. Pada analisis visual citra landsat di kelas ini memiliki kesulitan dalam membedakan antara sawah irigasi dan sawah tadah hujan. hal ini dikarenakan adanya kesamaan elemen intrepetasi yaitu berwarna biru pada sawah di fase berair dan ditanami dan hijau kecoklatan pada fase bervegetasi. (a) (b) Keterangan: skala 1 : 25 Gambar 9 Kenampakan citra Landsat pada kelas badan air (a) dan rawa semak (b) Kelas badan air (Gambar 9a) merupakan semua kenampakan perairan, sungai, waduk, danau, kolam, dll yang tampak dalam tampilan warna citra Landsat. Badan air memiliki ciri dengan tekstur halus, berwarna biru dalam bentuk memanjang dan berliku-liku pada sungai. Kelas rawa semak dan sawah dengan fase tergenang air dan ditanami cukup sulit dibedakan karena kedua kelas mempunyai tekstur halus dan tampilan rona yang cukup sama. Kelas rawa semak (Gambar 9b) memiliki tampilan kombinasi warna biru tua dan coklat tua. Kelas ini memiliki tekstur yang lebih kasar dari pada kelas badan air. hal ini dikarenakan kondisi lapangan pada kelas rawa semak adalah genangan air yang bercampur dengan tanaman semak.

10 4 (a) (b) Keterangan: skala 1 : 25 Gambar 1 Kenampakan citra Landsat pada kelas pertanian lahan kering (a) dan semak belukar (b) Pada kelas pertanian lahan kering (Gambar 1a) memiliki tampilam kombinasi warna pink, merah, hijau, dan kuning. Kelas pertanian lahan kering dan pemukiman memiliki kesulitan dalam membedakan kedua kelas tersebut. Hal ini dikarenakan kelas pertanian lahan kering biasanya terdapat disekitar kelas pumukiman. Kelas semak belukar (gambar 1b) memiliki kombinasi tampilan warna hijau muda dan hijau tua. Adanya kombinasi warna tersebut dikarenakan beragam kombinasi jenis tanaman semak. Informasi tambahan sangat diperlukan dalam penafsiran citra khususnya pada kelas tutupan lahan yang memiliki tampilan yang sama secara visual dan sulit dibedakan. Informasi tambahan tersebut dapat berupa peta jaringan jalan, peta jaringan sungai, informasi ketinggian tempat, serta peta sebaran dan kelas umur hutan tanaman.

11 41 Gambar 11 Peta tutupan lahan Kecamatan Cikalong tahun 1994 Gambar 12 Peta tutupan lahan Kecamatan Cikalong tahun 2

12 42 Gambar 13 Peta tutupan lahan Kecamatan Cikalong tahun 25 Gambar 14 Peta tutupan lahan Kecamatan Cikalong tahun 21

13 Analisis Separabilitas Analisis separabilitas dilakukan untuk mengukur keterpisahan tiap kelas dengan melihat perbedaan digital number (DN) di setiap piksel pada masing-masing kelas tutupan lahan. Analisis ini dilakukan pada klasifikasi citra Landsat tahun 2 dan tahun Metode yang digunakan dalam analisis ini adalah metode klasifikasi terbimbing (supervised classification). Pada proses separabilitas, metode yang dipilih yaitu transformed divergence karena metode ini baik dalam mengevaluasi keterpisahan antar kelas dan memberikan estimasi yang terbaik untuk pemisahan kelas (Jaya 21). Metode ini juga dapat mengukur tingkat keterpisahan tiap kelas dengan mengukur jarak antar kelas secara statistik. Semakin besar jarak antar satu kelas dengan kelas yang lain maka kelas-kelas yang diambil cukup homogen sehingga ragamnya kecil. Kombinasi band yang dipilih dalam klasifikasi ini mengacu pada komposit warna standart Departemen Kehutanan dengan kombinasi band dengan warna berturut-turut red, green, blue. Dari tabel 12 diatas menunjukkan bahwa klasifikasi citra Landsat tahun 1994 memiliki rata-rata tingkat keterpisahan sebesar Dari 66 pasangan klasifikasi tutupan lahan yang diuji, sebanyak 4 pasang mempunyai separabilitas yang sangat baik, 19 pasang mempunyai separabilitas baik, 1 pasang mempunyai separabilitas cukup, 3 pasang mempunyai separabilitas kurang, 3 pasang mempunyai separabilitas tidak terpisahkan. Pasangan yang tidak dapat dipisahkan yaitu kelas rawa semak dengan kelas sawah dengan nilai separabilitas 195, kelas pemukiman dengan kelas hutan rakyat dengan nilai separabilitas 1584, dan kelas lahan terbuka dengan kelas hutan rakyat dengan nilai separabilitas Pada umumnya kelas yang tidak dapat dipisahkan dikarenakan adanya kesamaan penampakan visual dalam bentuk rona dan asosiasi antar objek pada setiap kelas. Pada kelas sawah yang berair dan bervegetasi, memiliki penampakan tekstur dan rona warna yang sama dengan kelas rawa semak dengan warna biru hingga biru tua dengan tekstur halus. Sedangkan pada beberapa kelas hutan rakyat yang berada di sekitar pemukiman penduduk, memilki penampakan rona warna yang sama dengan

14 44 kelas pemukiman yaitu kombinasi warna hijau muda dan merah. Hal ini dikarenakan beberapa pengelolaan hutan rakyat dilakukan dengan sistem pekarangan sehingga pada beberapa titik penampakan visual kelas hutan rakyat menyerupai kelas pemukiman. Pada kelas hutan rakyat yang telah dilakukan penebangan dan hutan rakyat yang baru dilakukan penanaman pasca tebangan (replanting) mempunyai penampakan rona warna yang menyerupai kelas lahan terbuka yaitu warna hijau muda dan merah muda (pink). Nilai separabilitas selengkapnya disajikan pada Tabel 11 untuk tahun 1994 dan Tabel 12 untuk tahun 2. Tabel 11 Matrik keterpisahan tiap kelas pada citra Landsat tahun 1994 Kelas BA SW HR AW BA RS HT PM SB KC LT PLK Klasifikasi Badan air Sawah Hutan rakyat 3 Awan Bayangan awan 1 Rawa semak Hutan tanaman Pemukiman Semak belukar Kebun campuran Lahan terbuka 99 Pertanian lahan kering Sumber : Data hasil analisis akurasi klasifikasi citra Landsat tahun 1994 Pada hasil klasifikasi citra Landsat tahun 2 menunjukkan hasil klasifikasi memiliki rata-rata tingkat keterpisahan sebesar Dari 66 pasangan klasifikasi tutupan lahan yang diuji, sebanyak 37 pasang mempunyai separabilitas yang sangat baik, 22 pasang mempunyai separabilitas baik, 1 pasang mempunyai separabilitas cukup, 4 pasang mempunyai separabilitas kurang, 2 pasang mempunyai separabilitas tidak terpisahkan. Pasangan yang tidak dapat dipisahkan yaitu kelas pertanian lahan kering dengan kelas hutan rakyat dengan nilai separabilitas Hal ini dikarenakan

15 45 adanya kesamaan rona warna kedua kelas tersebut pada kelas hutan rakyat yang dikelola dengan sistem agroforestry antara tanaman sengon dengan tanaman pertanian. Selain itu, kelas pertanian lahan kering dengan kelas hutan tanaman juga tidak dapat dipisahkan dengan nilai separabilitas Nilai ini didapatkan karena kelas hutan tanaman di lokasi penelitian dikelola dengan melakukan budidaya tanaman Jati yang memiliki penampakan visual menyerupai kelas pertanian lahan yaitu kombinasi hijau muda, kuning, dan merah muda (pink). Tabel 12 Matrik keterpisahan tiap kelas pada citra Landsat tahun 2 Kelas BA SW HR AW BA RS HT PM SB KC LT PLK Klasifikasi Badan air Sawah Hutan rakyat Awan Bayangan awan 3 Rawa semak Hutan tanaman 8 Pemukiman Semak belukar 9 Kebun campuran Lahan terbuka Pertanian lahan kering Sumber : Data hasil analisis akurasi klasifikasi citra Landsat tahun Perhitungan Uji Akurasi Hasil Klasifikasi Penghitugan uji akurasi dilakukan untuk melihat keakuratan atau ketelitian hasil dari klasifikasi objek pada citra. Dalam melakukan uji akurasi, dibutuhkan data atau referensi untuk membandingkan hasil klasifikasi yang dihasilkan. Data yang digunakan adalah data keadaan sebenarnya di lapangan dalam bentuk peta atau titiktitik ground check lapangan. Untuk menguji tingkat akurasi klasifikasi objek pada citra, idealnya data yang menjadi acuan adalah data keadaan sebenarnya di lapangan

16 46 pada tahun yang sama dengan tahun perekaman citra yang diklasifikasi. Data acuan yang digunakan untuk menguji akurasi citra pada tahun yang lampau dapat juga menggunakan data tahun ini, namun nilai hasil klasifikasi yang dihasilkan akan cenderung kurang akurat karena adanya perbedaan tahun tersebut memiliki kemungkinan terjadinya perubahan tutupan lahan sebenarnya di lapangan sehingga nilai penghitungan akurasi pembuat (producer s accuracy), akurasi pengguna (user s accuracy), akurasi umum (overall accuracy), dan akurasi kappa yang dihasilkan menjadi kurang akurat. Dalam pengujian hasil akurasi pada citra tahun perekaman tahun 1994, 2, 25, 21 dilakukan dengan menggunakan data acuan titik-titik ground check lapangan tahun 212. Hasil uji akurasi selengkapnya disajikan pada Tabel 13. Tabel 13 Matrik kesalahan hasil klasifikasi citra Landsat tahun 1994, 2, 25, dan 21 Tahun Akurasi Kappa (%) Overall (%) User (%) Producer (%) ,3 9,32 9,93 84, ,6 9,44 91,88 85, ,3 95,45 92,62 97, ,21 98,18 96,66 97,85 Sumber : Analisis akurasi citra Landsat tahun perekaman 1994, 2, 25, 21 Berdasarkan Tabel 13, pada uji akurasi citra Landsat tahun 1994, nilai akurasi pembuat (producer s accuracy) terbesar terdapat pada 3 kelas yaitu kelas badan air, awan, dan bayangan awan. Pada kelas tersebut diperoleh nilai akurasi pembuat (producer s accuracy) sebesar 1 %. Sedangkan untuk nilai yang terkecil terdapat pada kelas lahan terbuka, yaitu sebesar 33,33 %. Hal ini dikarenakan adanya piksel kelas lain yang masuk kelas lahan terbuka, yaitu 1 piksel kelas pertanian lahan kering dan 11 piksel kelas hutan tanaman. Pada klasifikasi ini juga diperoleh nilai akurasi pengguna (user s accuracy) terbesar yang terdapat pada 3 kelas, yaitu kelas awan, bayangan awan, dan rawa semak. Pada kelas tersebut diperoleh nilai akurasi pengguna (user s accuracy) sebesar 1 %. Sedangkan untuk nilai akurasi pengguna (user s accuracy) terkecil terdapat pada kelas semak belukar, yaitu sebesar 78,57 %. Hal ini dikarenakan dari total 42 piksel yang digunakan sebagai training area pada kelas semak belukar,

17 47 terdapat 2 piksel pada kelas pertanian lahan kering, 4 piksel pada kelas pemukiman, dan 3 piksel pada kelas sawah. Untuk keterangan yang lebih lengkap terdapat pada lampiran 1, sedangkan untuk melihat keakuratan dari hasil klasifikasi, diperoleh nilai overall accuracy yang diperoleh sebesar 9,32 % dengan tingkat kesalahan klasifikasi 9,68 % dan diperoleh nilai akurasi kappa sebesar 89,3 % dengan tingkat kesalahan akurasi sebesar 1,97 %. Berdasarkan Tabel 13, diperoleh nilai akurasi kappa sebesar 87,6 % pada citra tahun 2. Nilai ini dapat menunjukkkan bahwa tingginya nilai keakuratan klasifikasi yang dilakukan karena tingkat kesalahan dari klasifikasi adalah sebesar 12,4 %. Sedangkan nilai overall accuracy yang diperoleh sebesar 89,14 % dengan tingkat kesalahan klasifikasi 1,86 %. Kelas lahan terbuka mempunyai nilai akurasi pembuat (producer s accuracy) terkecil yaitu sebesar 6 %. hal ini disebabkan karena adanya sejumlah piksel dari kelas lain yang masuk ke dalam kelas lahan terbuka, yaitu 1 piksel dari kelas hutan tanaman dan 3 piksel dari kelas pertanian lahan kering. Sedangkan kelas pemukiman mempunyai nilai akurasi pembuat (producer s accuracy) terbesar yaitu sebesar 95,52 %. nilai ini menunjukkan bahwa terjadi kesalahan klasifikasi sebesar 4,48 %. Pada klasifikasi ini, nilai akurasi pengguna (user s accuracy) terbesar yang didapatkan terdapat pada kelas badan air yaitu sebesar 1 %. Sedangkan untuk nilai terkecil terdapat pada kelas pertanian lahan kering yaitu sebesar 7 %. hal ini dikarenakan adanya piksel kelas pertanian lahan kering yang masuk ke kelas lain seperti pada kelas lahan terbuka sebanyak 3 piksel, kelas semak belukar sebanyak 1 piksel, kelas hutan tanaman sebanyak 6 piksel, dan kelas hutan rakyat sebanyak 5 piksel. Untuk keterangan lebih lengkap terdapat pada lampiran 2. Pada analisis uji akurasi citra Landsat tahun 25, nilai akurasi pembuat (producer s accuracy) kelas badan air, hutan tanaman, pemukiman, kebun campuran, pertanian lahan kering, rawa semak, semak belukar adalah sebesar 1 %. Sedangkan kelas lahan terbuka memiliki nilai akurasi pembuat (producer s accuracy) paling kecil, yaitu sebesar 8 %. Dari lima titik pengamatan ground check lapangan, terdapat satu titik pengamatan yang masuk ke dalam kelas pemukiman. Kesalahan klasifikasi

18 48 juga terjadi pada kelas hutan rakyat yang memiliki nilai akurasi pembuat (producer s accuracy) sebesar 93,85 %. Dari total 65 titik pengamatan ground check lapangan, terdapat dua titik pengamatan yang masuk ke dalam kelas kebun campuran. Dalam penghitungan nilai akurasi pengguna (user s accuracy), kelas kebun campuran dan kelas semak belukar memiliki nilai terkecil, yaitu sebesar 71,43 %. Sedangkan kelas pemukiman memilki nilai akurasi pengguna (user s accuracy) sebesar 83,33 %. Adanya kesalahan klasifikasi yang terlihat nilai yang dihasilkan dari penghitungan diakibatkan oleh adanya kesamaan penampakan visual dari beberapa objek yang diamati seperti kelas pemukiman dengan kelas lahan terbuka. Sedangkan untuk kelas-kelas yang lain seperti kelas badan air, hutan tanaman, lahan terbuka, hutan rakyat, pertanian lahan kering, rawa semak, dan sawah memiliki nilai akurasi pengguna (user s accuracy) sebesar 1 %. Untuk keterangan lebih lengkap terdapat pada lampiran 3. Nilai overall accuracy yang didapatkan pada uji akurasi citra ini adalah sebesar 95,45 % dengan nilai kesalahan klasifikasi sebesar 4,15 % dan nilai akurasi kappa sebesar 93,3 % dengan nilai kesalahan klasifikasi sebesar 7,97 %. Pada citra Landsat tahun perekaman 21 diperoleh nilai akurasi kappa sebesar 97,21 %. Nilai ini dapat menunjukkkan bahwa tingginya nilai keakuratan klasifikasi yang dilakukan karena tingkat kesalahan dari klasifikasi yang dilakukan hanya sebesar 2,79 %. Nilai overall accuracy diperoleh sebesar 98,18 % dengan tingkat kesalahan klasifikasi 1,82 %. Terjadinya kesalahan klasifikasi pada citra diakibatkan oleh adanya commission error atau akurasi pengguna (user s accuracy) akibat adanya area yang diklasifikasi pada kelas yang salah dan omission error atau akurasi pembuat (producer s accuracy) akibat adanya area yang tidak diklasifikasi pada kelas yang benar. Tingginya nilai akurasi didapatkan dikarenakan hasil analisis visual yang dihasilkan dilakukan koreksi terlebih dahulu dengan bantuan software google earth pada citra GeoEye dengan tahun 21. Kelas pemukiman dan semak belukar memiliki nilai akurasi pengguna (user s accuracy) paling kecil yaitu sebesar 83,33 %. Hal ini diakibatkan karena adanya kemiripan penampakan visual antara kelas pemukiman dengan kelas lahan terbuka dan kelas hutan rakyat dengan kelas semak belukar sehingga menimbulkan kesalahan

19 49 saat melakukan analisis visual citra. Sedangkan untuk kelas yang lain memiliki nilai akurasi pengguna (user s accuracy) sebesar 1 %. Sedangkan untuk nilai akurasi pembuat (producer s accuracy), Kelas lahan terbuka memiliki nilai akurasi pembuat (producer s accuracy) paling kecil yaitu sebesar 8 %. Adanya kesalahan tersebut karena adanya kesamaan penampakan visual citra antara kelas lahan terbuka dan kelas pemukiman sehingga menyulitkan dalam melakukan analisis visual. Dari total lima titik pengamatan ground check lapangan pada kelas lahan terbuka, terdapat satu titik yang masuk kedalam kelas pemukiman. Adanya kesalahan akurasi juga terjadi pada kelas hutan rakyat. Kelas hutan rakyat mempunyai nilai akurasi pembuat (producer s accuracy) sebesar 98,46 %. Adanya kesamaan penampakan visual antara kelas hutan rakyat dan kelas semak belukar menyebabkan terjadinya kesalahan klasifikasi sebesar 1,54 %. Dari total 65 titik pengamatan ground check lapangan, ada satu titik pengamatan yang masuk dalam kelas semak belukar. Untuk nilai kelas-kelas yang lain mempunyai nilai akurasi pembuat (producer s accuracy) sebesar 1 %. Untuk keterangan lebih lengkapnya terdapat pada lampiran Analisis Perubahan Luas Hutan Rakyat Tahun Dalam analisis perubahan luas hutan rakyat, metode perbandingan citra hasil klasifikasi (post classification comparasion) digunakan untuk menganalisis areal yang berubah (changed), arel yang tetap (no change), dan areal yang tidak dapat dianalisis (no data). Areal yang berubah adalah setiap piksel pada kedua citra klasifikasi dengan lokasi yang sama tetapi memiliki perbedaan atribut klasifikasi. Areal yang tidak berubah adalah piksel dengan lokasi dan atribut klasifikasi yang sama pada kedua citra klasifikasi. Sedangkan areal yang tidak dapat dianalisis adalah areal yang tidak mempunyai informasi penutupan lahan, yaitu daerah yang tertutup awan, bayangan awan, dan null cell (Kosasih 22). Pada penelitian ini, perhitungan perubahan luas hutan rakyat didasarkan pada matrik perubahan untuk mengetahui informasi luas dan bentuk perubahan dari kelas hutan rakyat dengan kelas yang lain. Dari data hasil analisis perubahan lahan pada

20 5 tahun menunjukkan bahwa hutan rakyat terus mengalami pertumbuhan luasan dengan berbagai faktor yang mempengaruhi seperti adanya kepastian lahan, kepastian pasar, adanya kelembagaan dalam petani hutan rakyat, dll. 651,61 ha 877,4 ha 8157,41 ha 4282,45 ha Tahun 1994 Tahun 2 Tahun 25 Tahun 21 Gambar 15 Perkembangan luas hutan rakyat dari tahun Pada Gambar 15 menunjukkan bahwa periode tahun terjadi dinamika perubahan luasan hutan rakyat. Luas hutan rakyat yang pada awalnya di tahun 1994 memiliki total luasan sebesar 4282,45 ha mengalami perkembangan luasan sebesar 651,61 ha pada tahun 2. Adanya penambahan luasan sebesar 2219,16 ha diakibatkan oleh adanya alih fungsi pengelolaan lahan oleh masyarakat terutama perubahan dari kelas kebun campuran dan pertanian lahan kering. Pada periode ini, total 1355,45 ha lahan kebun campuran dan 584,81 ha kelas pertanian lahan kering berubah menjadi kelas hutan rakyat. Perubahan tutupan lahan periode selengkapnya terdapat pada Tabel 14 dan sebaran spasial tahun dapat dilihat pada Gambar 16. Pada umumnya perubahan kelas tutupan lahan menjadi kelas hutan rakyat di periode ini diakibatkan oleh adanya success story dari masyarakat sekitar dalam melakukan pengelolaan lahan dengan hutan rakyat. Pada analisis perubahan luas lahan hutan rakyat periode tahun 2-25, perkembangan luasan hutan rakyat berlangsung sangat cepat. Pada tahun 2, kelas hutan rakyat yang memiliki total luas sebesar 651,61 ha mengalami perkembangan

21 51 total luasan sebesar 877,4 ha pada tahun 25. Pertambahan luas hutan rakyat yang cukup siginifikan ini diakibatkan oleh semakin besarnya alih fungsi lahan yang dilakukan oleh masyarakat. Kelas kebun campuran dan kelas pertanian lahan kering yang mengalami perubahan luas yang cukup besar. Kelas kebun campuran mengalami perubahan luas sebesar 1565,41 ha dan kelas pertanian lahan kering mengalami perubahan luas sebesar 592,61 ha. Perubahan tutupan lahan periode 2 25 selengkapnya terdapat pada Tabel 15 dan sebaran spasial tahun 2-25 dapat dilihat pada Gambar 17. Pada periode ini akses penjualan kayu rakyat telah sangat mudah dengan semakin bertambahnya jumlah pabrik pengolahan kayu sawmill. Selain itu, masyarakat telah mengetahui keuntungan budidaya tanaman kayu yang telah dibuktikan oleh sebagian masyarakat sekitar yang melakukan alih fungsi lahan yang dimilki. Alih fungsi pengelolaan lahan terjadi tidak hanya dominan pada kelas kebun campuran, namun tersebar cukup merata pada kelas-kelas yang lain, seperti kelas pertanian lahan kering dan sawah. Adanya perubahan kelas sawah menjadi kelas hutan rakyat terjadi pada jenis sawah tadah hujan. Perubahan ini diakibatkan karena kurangnya intensitas hujan sehingga menyebabkan sawah tidak bisa ditanami padi. hal ini mengakibatkan beberapa petani lebih memilih mengelola lahannya dengan budidaya tanaman kayu fast growing dengan tanaman sengon. Pada tahun 25-21, perkembangan luasan hutan rakyat berlangsung cenderung konstan dengan hanya mengalami pertambahan luasan sebesar 8,37 ha. Perubahan tutupan lahan periode selengkapnya terdapat pada tabel 16 dan sebaran spasial tahun dapat dilihat pada Gambar 18. Pada periode ini, masyarakat telah membagi porsi penggunaan lahannya sesuai dengan yang diinginkan dengan ditanami tanaman buah-buahan, kelapa, dan sawah. Bagi masyarakat sekitar, menambah porsi penggunaan lahan untuk tanaman kayu dengan mengurangi porsi untuk ruang tumbuh tanaman kelapa ditakutkan akan mengurangi pendapatan harian mereka. hal ini dikarenakan untuk mencukupi kebutuhan seharihari, sebagian besar masyarakat mendapatkan penghasilan dari hasil sadapan sari buah kelapa yang diolah menjadi gula kelapa.

22 52 Tabel 14 Matrik perubahan lahan hasil klasifikasi citra Landsat tahun Tahun 1994 Awan Badan air Bayanga n awan Hutan rakyat Hutan tanaman Kebun campuran Tahun 2 Lahan terbuk a Pemuki man Pertania n lahan kering Rawa semak Sawah Semak belukar Total Awan 88,26-25,26 239,67 4,7 44,44,56 4,24 141,18 7,58 72,19 1,66 665,74 Badan air 33,38 11,52,1,46 -, ,28 1,94-57,41 Bayangan awan 32,46,42 47,87 189,39 17,41 44,81,6 1,76 4,91 2,3 27,42 2,32 47,66 Hutan rakyat 171,39 2,3 58,98 361,42, 167,83 515,9 1,1 5,39 163,45 16,84 115,5 2, ,45 Hutan tanaman 53,15-3,82 458,44 374,4 11,21,3 4,27 159,47 6,48 55,41 1,8 1257,38 Kebun campuran 138,23,52 49,7 1355,85 139, ,5,44 13,26 16,76 1,18 185,12 3,23 383,3 Lahan terbuka 4,48-4,56 44,3 9,38 4,9 3,26,84 51,73 1,24 3,46,97 129,13 Pemukiman 18, ,61 7,6 1,61 1,14 37,52 16,55,9 24,77 2,18 122,37 Pertanian lahan kering 24,47,9 15,98 584,81 15,47 11,4 2,85 4,49 593,35 16,5 58,35 1, ,75 Rawa semak 15,35 1,94 6, ,39 8,7,36 1,76 23,43 19,3 34,4 2,8 142,7 Sawah 155,66 4,85 64,47 483,89 143,37 227,56 2,14 5,63 348,23 64,94 864,72 34, ,97 Semak belukar 26,32-11,8 45,78 3,65 3,51-1,5 19,17 3,6 57,83 37,75 21,89 Total 761,45 21,64 316,42 651,61 158,7 2812,36 12,75 125, ,24 148,88 159,76 99, ,49

23 53 Tabel 15 Matrik perubahan lahan hasil klasifikasi citra Landsat tahun 2-25 Tahun 2 Badan air Hutan rakyat Hutan tanaman Kebun campuran Lahan terbuka Tahun 25 Pemuki Pertanian man lahan kering Rawa semak Sawah Semak belukar Awan 4,9 326,4 22,51 34,54-54,28 9,46 1,2 227,34 44,35 759,8 Badan air 11,37 2,1,42 - -,35-2,54 4,78,71 21,64 Bayangan 31,23 awan,38 151,24 3,87 9,8 1,38 13,23 3,26,59 72,61 18,59 Hutan rakyat 2,23 478,98 95,28 274,4 4,77 291,13 77,81,28 894,87 79,57 651,61 Hutan tanaman,2 371,51 389,69 49,47 4,2 2,91 19,55,62 191,9 8,25 156,13 Kebun 289, campuran, ,41 81,17 552,43 2,6 13,25 25,53,15 463,32 14,9 Lahan terbuka - 2,8 2,93,87,8 1,43 2,71,21 1,41 1,3 12,75 Pemukiman - 9,35 3,41,73,6 6,93 2,4-39,27 9,78 125,57 Pertanian lahan 1717,22 kering - 592,61 72,95 61,35 7,46 28,3 178,36,6 57,82 9,2 Rawa semak,63 33,71 3,62-1,63 1,53 2,61 27,9 58,6 1,91 148,79 Sawah 14,43 238,97 26,15 2,92,14 89,32 5,56 1,16 162,2 48,9 157,55 Semak belukar - 3,14 1,11 2,23,7,5 5,17,11 24,28 61,59 98,2 Total 64,92 877,4 73,11 16,33 21,84 853,88 332,6 34,1 3547,68 349, ,49 Total

24 54 Tabel 16 Matrik perubahan lahan hasil klasifikasi citra Landsat tahun Tahun 25 Badan air Hutan rakyat Hutan tanaman Kebun campuran Lahan terbuka Tahun 21 Pemukiman Pertanian lahan kering Rawa semak Sawah Semak belukar Badan air 69, ,94 Hutan rakyat 1, ,19 13,23 255,23,5 72,7 61,6-4,98 53,66 877,4 Hutan tanaman 28,45 71, ,1-73,38 Lahan terbuka 2,4 4,98-8,76, ,85 2,81 21,85 Pemukiman,62-2,89-839,55 8,58-2,26-853,9 Kebun campuran 349,72-67,43-29,6 4,77-5,76 9,24 16,52 Pertanian lahan kering 92,64 -,95-5,27 211,34-6,17 15,69 332,6 Rawa semak , ,1 Sawah 13,34,6,84,3 33,62 1, ,53 8, ,94 Semak belukar 91,6-2,52 1,17 6,83 3,72 3,44 4,28 272,84 385,85 Total 71,5 8157,41 72,1 869,87 1,2 987, 299,75 37, ,93 362, ,49 Total

25 55 Gambar 16 Peta perubahan tutupan lahan Kecamatan Cikalong tahun Gambar 17 Peta perubahan tutupan lahan Kecamatan Cikalong tahun 2-25

26 56 Gambar 18 Peta perubahan tutupan lahan Kecamatan Cikalong tahun Praktek Pengelolaan Hutan Rakyat Tahun Praktek pengelolaan hutan rakyat di Kecamatan Cikalong telah berlangsung sejak sekitar tahun seiring dengan adanya program sengonisasi dari pemerintah yang bertujuan untuk kegiatan rehabilitasi lahan. Pada masyarakat sekitar, budaya menanam telah ada sejak dahulu. Masyarakat sekitar telah mempunyai kearifan lokal terkait dengan pengolahan lahan untuk optimalisasi fungsi dan manfaat dari lahan tersebut. Hal ini terbukti sebelum adanya program sengonisasi, pada umumnya masyarakat sekitar telah mengolah lahannya dengan tanaman kelapa secara monokultur atau dicampur dengan tanaman buah-buahan. Pada waktu itu, Kecamatan Cikalong adalah pusat penghasil produk kelapa maupun olahannya seperti buah kelapa, kopra, dan gula kelapa di Kabupaten Tasikmalaya. hasil produksi kelapa tersebut dikirim ke daerah daerah di seluruh Tasikmalaya dan Bandung. Dengan adanya program ini, masyarakat ditawarkan untuk mengolah lahan mereka tidak hanya dengan tanaman kelapa dan tanaman buah-buahan, tetapi juga

27 57 membudidayakan tanaman sengon dengan keuntungan-keuntungan yang akan diberikan. Untuk mensukseskan program ini, pemerintah membagi-bagikan bibit sengon secara gratis ke masyarakat. Selain itu, adanya kegiatan penyuluhan secara intensif yang dilakukan oleh Petugas Penyuluh Lapangan (PPL) setempat untuk meyakin kan masyarakat agar membudidayakan sengon sekaligus memberikan arahan dan masukan dalam hal teknis penanaman, perawatan hingga pemanenan. Pada awal adanya program ini, muncul beberapa keraguan pada masyarakat akan manfaat yang bakal didapatkan dari budidaya tanaman sengon tersebut, yaitu: 1) Adanya keraguan tentang kecepatan pertumbuhan tanaman sengon. hal ini dikarenakan, pada umumnya masyarakat hanya mengetahui tanaman kayu yang ditanam Perhutani setempat seperti tanaman jati dan mahoni yang memiliki umur panen yang lama atau mempunyai pertumbuhan riap yang kecil. 2) Adanya keraguan terkait dengan adanya akses pasar untuk kayu sengon. Pada waktu itu, masyarakat hanya mengetahui kayu yang laku di pasar adalah kayu dengan sifat keras seperti kayu jati dan kayu mahoni. Pada waktu di Kecamatan Cikalong belum ada pabrik pengolahan kayu sawmill. 3) Adanya keraguan terkait dengan kondisi masyarakat yang telah memanfaatkan lahannya untuk budidaya tanaman kelapa dan tanaman buah-buahan yang memberikan keuntungan finansial yang cukup baik untuk tingkat ekonomi keluraga masyarakat sekitar. Untuk meyakinkan masyarakat terkait keraguan-keraguan tersebut, PPL setempat membuat plot contoh (demplot) pada salah satu lahan masyarakat setempat. Dalam plot contoh tersebut, ditanami tanaman sengon secara monokultur dengan jarak tanam 3 m x 3 m dengan menyesuaikan kondisi lahan dalam mengatur jarak tanam sengon, serta ada penjarangan pada umur tertentu. PPL setempat juga menjanjikan adanya akses pasar kayu sengon yang akan disediakan oleh PPL setempat Tahun Pada tahun 199-2, masyarakat mulai yakin akan keuntungan budidaya tanaman kayu dengan adanya success story budidaya tanaman kayu dari salah satu

28 58 masyarakat sekitar yang bernama H.Pupud. H. Pupud adalah masyarakat sekitar yang cukup lama merantau di daerah lain sehingga cukup mempunyai pengetahuan lebih diantara masyarakat sekitar tentang pengelolaan tanaman kayu dan peluang bisnis yang bakal didapatkan. Produksi bibit sengon dilakukan dengan membuat persemaian dari benih sengon yang didapatkan dari temannya saat merantau. Jarak tanam yang digunakan adalah 3 m x 3 m dengan adanya penjarangan pada umur tanaman 2 tahun. Adanya ketidakpastian pasar yang diragukan oleh masyarakat dapat dilakukan oleh H.Pupud dengan menjual hasil tanaman kayu tersebut ke pabrik kayu di Kota Tasikmalaya dan Tangerang. Success story ini menimbulkan pergeseran mind set dari masyarakat sekitar dari yang hanya mengolah lahannya dengan tanaman kelapa, buah-buahan, dan tanaman pertanian lahan kering seperti singkong, semangka, dll, akhirnya sebagian lahan masyarakat diolah dengan budidaya tanaman sengon atau mengolah lahan dengan melakukakan tumpang sari dengan tanaman lain. Kejadian ini menunjukkan bahwa masyarakat akan menerima dan mau mengikuti program dari pemerintah jika program tersebut telah dibuktikan keberhasilannya dari penanaman hingga penjualan produk yang dihasilkan. Dengan semakin banyaknya masyarakat yang melakukan budidaya sengon secara monokultur atau tumpang sari, mendorong lahirnya beberapa pabrik sawmill di daerah sekitar. Pembangunan pabrik sawmill dilakukan pertama kali oleh H.Pupud dan kemudian diikuti oleh masyarakat sekitar. Adanya pabrik sawmill ini dapat memudahkan masyarakat dalam menjual hasil tanaman kayu yang dibudidayakan. Kepastian pasar menjadi salah satu pertimbangan utama bagi masyarakat untuk mencoba membudidayakan sengon. Adanya kepastian akses pasar dan harga yang cukup tinggi dapat meyakinkan masyarakat akan keuntungan budidaya sengon. Ada dua sistem pengelolaan tanaman kayu yang dilakukan oleh masyarakat sekitar, yaitu sistem tumpang sari dan dan sistem monokultur. Pada umumnya masyarakat sekitar menggunakan sistem tumpang sari pada lahan yang telah ditanami tanaman kelapa dan tanaman buah - buahan. Ada dua macam sistem tumpang sari yang dilakukan, yaitu:

29 59 1) Sistem tumpang sari sengon dengan hanya menanam pada ruang-ruang kosong yang masih bisa ditanami diantara tanaman kelapa dan tanaman lain yang disajikan pada Gambar 19. Pada sistem ini, masyarakat tidak mempedulikan aturan jarak tanam yang digunakan. Hal ini mengakibatkan karena kurangnya ruang tumbuh yang cukup untuk sengon sehingga menyebabkan pertumbuhan dari tanaman sengon tidak maksimal. Dalam sistem ini, masyarakat bertujuan melakukan optimalisasi manfaat dari lahan dengan memaksimalkan ruang tanam yang ada. Gambar 19 Sistem tumpang sari dengan jarak tanam yang tidak teratur 2) Sistem tumpang sari dengan jarak tanam yang teratur. Pada sistem ini masyarakat menanam sengon di sela-sela tanaman kelapa (Gambar 2a) atau tanaman buahbuahan seperti pisang (Gambar 2b). Penggunaan sistem ini sangat menguntungkan bagi masyarakat sekitar. hal ini dikarenakan pertumbuhan sengon yang dihasilkan cukup baik karena adanya ruang tumbuh yang cukup untuk pertumbuhan dan masyarakat juga masih dapat memanfaatkan hasil dari tanaman yang lain.

30 6 (a) (b) Gambar 2 Sistem pengelolaan kombinasi sengon dan kelapa (a), sengon dan pisang (b) Masyarakat beranggapan bahwa tanaman kayu dapat digunakan sebagai investasi masa depan. Tanaman kayu juga dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan yang sifatnya mendesak seperti biaya sekolah, biaya berobat, dll. Dalam melakukan penanaman sengon, masyarakat tidak terlalu mempedulikan jarak tanam yang digunakan. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya, masyarakat memanfaatkan produksi dari tanaman kelapa seperti buah kelapa dan produk olahannya seperti kopra, dan gula kelapa. Penentuan hasil produksi yang akan dijual oleh masyarakat tergantung dari harga pasar, namun secara umum masyarakat cenderung memanfaatkan tanaman kelapa untuk disadap sari buah kelapanya yang dapat diolah menjadi gula kelapa. Waktu produksi gula kelapa tidak seperti buah kelapa dan kopra yang diproduksi satu bulan sekali, gula kelapa dapat dapat diproduksi setiap hari dengan melakukan dua kali penyadapan pagi dan sore setiap hari sehingga masyarakat dapat memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Pada sistem tanam monokultur (Gambar 21), masyarakat menanam dengan mengikuti apa yang H.Pupud lakukan dengan menggunakan jarak tanam 3 m x 3 m. hasil tanaman kayu yang didapatkan lebih bagus dari sistem tumpang sari dengan jarak tanam yang tidak teratur. Dalam sistem ini, tanaman sengon tumbuh dengan baik karena adanya ruang tumbuh yang cukup untuk pertumbuhan sengon, namun penggunaan sistem ini hanya dilakukan oleh sebagian kecil masyarakat yang mempunyai lahan yang cukup luas dan modal.

31 61 Gambar 21 Sistem monokultur sengon Tahun 2 21 Pada periode tahun ini, pertumbuhan hutan rakyat berlangsung semakin cepat dengan semakin banyaknya success story yang telah dilakukan oleh masyarakat sekitar. Masyarakat mulai meninggalkan sistem pengelolaan untuk optimalisasi lahan tanpa mempedulikan jarak tanam yang digunakan yang mengakibatkan kurang maksimalnya pertumbuhan sengon. Masyarakat mulai beralih menggunakan sistem tumpang sari dengan memadukan tanaman sengon dengan satu atau dua jenis tanaman yang lain dengan jarak tanam yang teratur. Sistem ini tumbuh dengan cepat karena melihat kondisi rata-rata luasan lahan masyarakat hanya memiliki luasan.5 ha setiap keluarga. Dengan luasan lahan tersebut dan mayoritas bermata pencaharian sebagai petani, masyarakat perlu inovasi pengelolaan yang tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, tetapi suatu inovasi pengelolaan yang juga dapat dijadikan investasi masa depan. Salah satu faktor yang paling mendasar dalam konteks perkembangan luasan hutan rakyat yang berlangsung begitu cepat terjadi di daerah ini dikarenakan adanya kepastian atau kepemilikan lahan yang sudah jelas yang dimilki oleh masyarakat dengan luasan yang bervariasi. Hal ini dapat meminimalisir terjadinya konflik lahan yang sering terjadi di masyarakat. Kepastian lahan menjadi sangat penting dilakukan terlebih dahulu sebelum melakukan investasi pengelolaan lahan terutama pengelolaan lahan dengan jenis tanaman yang mempunyai waktu panen lama seperti tanaman kayu.

32 62 Seiring dengan semakin berkembangnya luasan hutan rakyat juga diikuti oeh semakin banyaknya perusahaan pengolahan kayu sawmil di daerah sekitar (Gambar 22). Pada periode ini telah terdapat 63 pabrik pengolahan kayu yang tersebar di 13 desa Kecamatan Cikalong (BP3K 29). Dengan semakin banyaknya perusahaan sawmill menyebabkan akses pasar kayu sengon semakin mudah. Masyarakat tidak perlu takut hasil panen kayu yang dibudidayakan tidak laku pasar karena saat ini telah banyak pemborong atau tengkulak kayu yang langsung mencari petani yang membudidayakan sengon untuk membeli hasil kayu sengon yang siap panen. Gambar 22 Pabrik pengolahan kayu sawmill Sistem penjualan kayu dilakukan dengan sistem borongan yang dilakukan oleh tengkulak atau pemborong. Ada dua macam transaksi jual beli yang dilakukan, yaitu jual beli dengan sistem borongan pada pohon sebelum dilakukan penebangan dan sistem jual beli log kayu setelah dilakukan penebangan. Pada sistem jual beli borongan sering terjadi kecurangan yang dilakukan oleh pemborong saat melakukan penaksiran potensi kayu milik petani. hal ini dikarenakan kurangnya pengetahuan petani dalam melakukan penaksiran potensi kayu. Pemborong biasanya melakukan penaksiran sekecil mungkin terhadap potensi kayu yang akan dibeli. Untuk mengantisipasi hal tersebut, sebelum melakukan transaksi jual beli, petani meminta bantuan penyuluh setempat untuk menghitung terlebih dahulu potensi kayu yang akan dihasilkan. hal ini dapat meminimalisir kerugian yang didapatkan petani saat transaksi jual beli kayu. Dalam sistem jual beli log, pemborong membeli log kayu dihitung berdasarkan hasil olahan kayu Rought Sawn Timber (RST) yan bakal didapatkan dari log kayu.

33 63 hasil perhitungan satuan diameter tiap satuan log, dihitung setelah dikurangi 4 cm. Pada sistem ini, harga log / m³ harga yang ditentukan pemborong tergantung dari besar kecilnya ukuran diameter tiap satuan log. 1) Ukuran diameter 25 cm = Rp 5. / m³ 2) Ukuran diameter 25 cm = Rp 75. / m³ Rp 8. / m³ Dari sudut pandang petani sekitar, harga-harga yang ditetapkan oleh setiap pemborong cukup menggiurkan mereka untuk melakukan budidaya tanaman kayu. Tanaman kayu dijadikan petani untuk investasi masa depan yang digunakan untuk kebutuhan-kebutuhan yang sifatnya mendesak, seperti untuk biaya sekolah, biaya pengobatan, dll. Dalam kurun waktu 1 tahun terakhir, cukup banyak petani yang dapat menunaikan ibadah haji dari hasil panen pohon sengon sehingga muncul istilah Haji Sengon di kalangan masyarakat sekitar. Pada periode ini, kelompok tani lokal di daerah setempat telah membuat sub bagian kelompok tani hutan rakyat. Masyarakat sadar akan pentingya kelembagaan petani hutan rakyat untuk menunjang eksistensi dari petani hutan rakyat sebagai penunjang keberlangsungan pengelolaan hutan rakyat kedepannya. Kelembagaan ini berfungsi sebagai wadah bagi masyarakat dalam pengelolaan hutan rakyat dari kegiatan persemaian untuk produksi bibit dan penjualan kayu rakyat. Saat ini beberapa kelompok tani telah mulai membuat persemaian untuk mencukupi kebutuhan bibit di tataran kelompok masing-masing. Namun, program persemaian ini tidak berjalan cukup efektif karena terkendala adanya menejemen organisasi yang kurang bagus. Masyarakat cenderung lebih memilih membeli bibit sengon dari penjual keliling dari daerah luar seperti dari daerah Wonosobo. Adanya bibit dari daerah luar ini dikawatirkan akan dapat membawa wabah penyakit sengon dari daerah lain seperti penyakit karat tumor (Xystrovera indica). Dampak positif yang dapat dirasakan dari adanya kelembagaan ini, dapat mengurangi terjadinya kecurangan yang biasanya terjadi saat terjadi transaksi jual beli dengan pemborong atau tengkulak. Dalam hal ini, masyarakat dapat saling membantu dalam melakukan penaksiran potensi kayu yang akan dijual. Selain itu, adanya sharing informasi tentang pemeliharaan sengon dan harga terbaru (update)

34 64 kayu sengon sehingga masyarakat dapat mendapatkan semaksimal mungkin manfaat atau keuntungan dari budidaya tanaman sengon Tahun Pada periode ini terjadi penurunan perkembangan luasan hutan rakyat yang berada di sekitar pinggir pantai. hal ini dikarenakan ditemukannya kandungan tambang pasir besi, pasir cor, mangan, dan tembaga di daerah sekitar pantai sehingga menyebabkan adanya kegiatan penambangan yang dilakukan oleh perusahaan daerah maupun perusahaan swasta yang menyebabkan sebagian daerah mengalami alih fungsi lahan. Lahan yang sebelumnya dikelola untuk kebun campuran, hutan rakyat, dan sawah, saat ini dikelola untuk aktifitas tambang. Tawaran sistem ganti rugi alih fungsi lahan yang cukup besar membuat masyarakat merubah fungsi lahannya menjadi lahan tambang. Pada umumya sistem ganti rugi yang diterapkan, pihak perusahan membeli semua tegakan yang terdapat pada lahan yang akan dilakukan kegiatan tambang dengan harga yang disepakati oleh kedua pihak. Saat kegitan tambang berlangsung, perusahaan membeli tanah dari lahan tersebut yang diindikasikan mengandung bahan tambang terutama pasir besi dengan harga yang telah disepakati. Setelah kegiatan penambangan selesai, perusahaan bertanggung jawab untuk meratakan kembali tanah bekas penambangan sehingga tanah dapat kembali rata. Lahan bekas tambang tambang yang telah kembali rata, ditanami kembali dengan tanaman sengon (Gambar 23). Kondisi tanah pada lahan bekas tambang adalah tanah marginal yang mempunyai sedikit kandungan unsur hara atau keadaan tanah kurang subur sehingga menjadi cukup tepat saat masyarakat menanami lahannya dengan tanaman sengon. Sengon adalah jenis tanaman leguminoseae yang dapat melakukan fiksasi nitrogen pada tanah sehingga dapat memberikan tambahan hara tanah.

35 65 Gambar 23 Lahan bekas tambang yang ditanami sengon Pada periode ini, jenis tanaman kayu yang dibudidayakan oleh masyarakat lebih beragam. Selain tanaman sengon, masyarakat juga membudidayakan tanaman akasia (Acacia mangium). Masyarakat mendapatkan tanaman ini dari penjual keliling bibit sengon yang selama ini beroperasi di daerah sekitar. Salah satu pertimbangan masyarakat dalam membudidayakan akasia karena akasia merupakan tanaman fast growing dengan tingkat pertumbuhan yang hampir sama dengan sengon, harga bibit yang lebih murah dari sengon dan telah banyaknya pabrik sawmill yang juga mau membeli kayu akasia dari petani.

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Identifikasi Objek di Lapangan Pengamatan lapangan dilakukan di 3 (tiga) kabupaten, yaitu : Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi, dan Kabupaten Cianjur. Titik pengamatan sebanyak

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 14 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Kegiatan penelitian dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan September dengan mengambil lokasi penelitian di wilayah Kecamatan Cikalong, Tasikmalaya (Gambar

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Identifikasi Tutupan Lahan di Lapangan Berdasarkan hasil observasi lapangan yang telah dilakukan di Kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten Tapanuli Utara, dan Kabupaten

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Pengolahan Awal Citra (Pre-Image Processing) Pengolahan awal citra (Pre Image Proccesing) merupakan suatu kegiatan memperbaiki dan mengoreksi citra yang memiliki kesalahan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisis Citra 5.1.1 Kompilasi Citra Penelitian menggunakan citra Quickbird yang diunduh dari salah satu situs Internet yaitu, Wikimapia. Dalam hal ini penulis memilih mengambil

Lebih terperinci

Analisis Separabilitas Untuk mengetahui tingkat keterpisahan tiap klaster dari hasil klastering (Tabel 5) digunakan analisis separabilitas. B

Analisis Separabilitas Untuk mengetahui tingkat keterpisahan tiap klaster dari hasil klastering (Tabel 5) digunakan analisis separabilitas. B Tabel 5 Matriks Transformed Divergence (TD) 25 klaster dengan klasifikasi tidak terbimbing 35 36 4.1.2 Analisis Separabilitas Untuk mengetahui tingkat keterpisahan tiap klaster dari hasil klastering (Tabel

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Interpretasi Visual Penggunaan Lahan Melalui Citra Landsat Interpretasi visual penggunaan lahan dengan menggunakan citra Landsat kombinasi band 542 (RGB) pada daerah penelitian

Lebih terperinci

benar sebesar 30,8%, sehingga harus dilakukan kembali pengelompokkan untuk mendapatkan hasil proporsi objek tutupan lahan yang lebih baik lagi. Pada pengelompokkan keempat, didapat 7 tutupan lahan. Perkebunan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian 3.2 Lokasi Penelitian

III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian 3.2 Lokasi Penelitian III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan Februari sampai September 2011. Kegiatan penelitian ini meliputi tahap prapenelitian (persiapan, survei), Inventarisasi (pengumpulan

Lebih terperinci

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Spektral Citra yang digunakan pada penelitian ini adalah Citra ALOS AVNIR-2 yang diakuisisi pada tanggal 30 Juni 2009 seperti yang tampak pada Gambar 11. Untuk dapat

Lebih terperinci

TUGAS TERSTRUKTUR I ANALISIS LANDSKAP TERPADU

TUGAS TERSTRUKTUR I ANALISIS LANDSKAP TERPADU TUGAS TERSTRUKTUR I ANALISIS LANDSKAP TERPADU Kelas C Oleh : Ayu Sulistya Kusumaningtyas 115040201111013 Dwi Ratnasari 115040207111011 Fefri Nurlaili Agustin 115040201111105 Fitri Wahyuni 115040213111050

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Ekstraksi Citra TerraSAR-X Dual Polarization Citra RGB terbaik idealnya mampu memberikan informasi mengenai objek, daerah atau fenomena yang dikaji secara lengkap. Oleh karena

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Citra Digital Interpretasi dilakukan dengan pembuatan area contoh (training set) berdasarkan pengamatan visual terhadap karakteristik objek dari citra Landsat. Untuk

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN.. Interpretasi Visual Penggunaan Lahan Setiap obyek yang terdapat dalam citra memiliki kenampakan karakteristik yang khas sehingga obyek-obyek tersebut dapat diinterpretasi dengan

Lebih terperinci

4. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 61 4. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Identifikasi Degradasi Hutan di Lapangan 4.1.1 Identifikasi Peubah Pendugaan Degradasi di Lapangan Identifikasi degradasi hutan di lapangan menggunakan indikator

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan 15 BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Juli sampai dengan April 2011 dengan daerah penelitian di Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi, dan Kabupaten Cianjur,

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Persiapan Tahap persiapan merupakan tahapan penting dalam penelitian ini. Proses persiapan data ini berpengaruh pada hasil akhir penelitian. Persiapan yang dilakukan meliputi

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman (Tahura

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman (Tahura III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman (Tahura WAR). Berdasarkan administrasi pemerintahan Provinsi Lampung kawasan ini berada

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 11 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan yaitu bulan Juli-Agustus 2010 dengan pemilihan lokasi di Kota Denpasar. Pengolahan data dilakukan di Laboratorium

Lebih terperinci

Lampiran. Universitas Sumatera Utara

Lampiran. Universitas Sumatera Utara Lampiran Lampiran 1. Titik Posisi ground check dan data titik lapangan Tabel 1. Titik Posisi ground check No LU BT Peta Kondisi Lapangan keterangan 1 2 15'6.67" 98 53'24.24" 2 2 14'49.28" 98 53'26.28"

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Lokasi penelitian di DAS Citarum Hulu Jawa Barat dengan luasan sebesar + 230.802 ha. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni sampai dengan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 32 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Pengelolaan Hutan Rakyat di Kabupaten Sumedang Kabupaten Sumedang memiliki luas wilayah sebesar 155.871,98 ha yang terdiri dari 26 kecamatan dengan 272 desa dan 7 kelurahan.

Lebih terperinci

MATERI 4 : PENGENALAN TATAGUNALAHAN DI GOOGLE EARTH

MATERI 4 : PENGENALAN TATAGUNALAHAN DI GOOGLE EARTH MATERI 4 : PENGENALAN TATAGUNALAHAN DI GOOGLE EARTH 1. Tata Guna Lahan 2. Identifikasi Menggunakan Foto Udara/ Citra Identifikasi penggunaan lahan menggunakan foto udara/ citra dapat didefinisikan sebagai

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN IV.1. Gap Filling Citra Gap Filling citra merupakan metode yang dilakukan untuk mengisi garisgaris yang kosong pada citra Landsat TM hasil download yang mengalami SLCoff, sehingga

Lebih terperinci

BAB V HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN 5.1. Petani Hutan Rakyat 5.1.1. Karakteristik Petani Hutan Rakyat Karakteristik petani hutan rakyat merupakan suatu karakter atau ciri-ciri yang terdapat pada responden.

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 27 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Penampilan Citra Dual Polarimetry PALSAR / ALOS Penampilan citra dual polarimetry : HH dan HV level 1. 5 PALSAR/ALOS masing-masing dapat dilihat pada ENVI 4. 5 dalam bentuk

Lebih terperinci

IV. PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN

IV. PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN IV. PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN 4.1. Identifikasi Penggunaan Lahan Identifikasi penggunaan lahan di Citra Lansat dilakukan dengan membuat contoh (training area) penggunaan lahan yang mewakili tiap kelas

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Koreksi Geometrik Koreksi geometrik adalah suatu proses memproyeksikan data pada suatu bidang sehingga mempunyai proyeksi yang sama dengan proyeksi peta. Koreksi ini dilakukan untuk

Lebih terperinci

Tabel 11. Klasifikasi Penutupan Lahan Data Citra Landsat 7 ETM, Maret 2004

Tabel 11. Klasifikasi Penutupan Lahan Data Citra Landsat 7 ETM, Maret 2004 53 5.1.3 Klasifikasi Penutupan Lahan Klasifikasi data Citra Landsat dilakukan untuk pengelompokan penutupan lahan pada tahun 2004. Metode yang dipergunakan adalah klasifikasi terbimbing (Supervised Classification).

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penutupan Lahan Tahun 2009 Peta penutupan lahan dihasilkan melalui metode Maximum Likelihood dari klasifikasi terbimbing yang dilakukan dengan arahan (supervised) (Gambar 14).

Lebih terperinci

q Tujuan dari kegiatan ini diperolehnya peta penggunaan lahan yang up-to date Alat dan Bahan :

q Tujuan dari kegiatan ini diperolehnya peta penggunaan lahan yang up-to date Alat dan Bahan : MAKSUD DAN TUJUAN q Maksud dari kegiatan ini adalah memperoleh informasi yang upto date dari citra satelit untuk mendapatkan peta penggunaan lahan sedetail mungkin sebagai salah satu paramater dalam analisis

Lebih terperinci

Metode penghitungan perubahan tutupan hutan berdasarkan hasil penafsiran citra penginderaan jauh optik secara visual

Metode penghitungan perubahan tutupan hutan berdasarkan hasil penafsiran citra penginderaan jauh optik secara visual Standar Nasional Indonesia Metode penghitungan perubahan tutupan hutan berdasarkan hasil penafsiran citra penginderaan jauh optik secara visual ICS 65.020 Badan Standardisasi Nasional BSN 2014 Hak cipta

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE 10 III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat Dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di laboratorium dan di lapang. Pengolahan citra dilakukan di Bagian Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial dan penentuan

Lebih terperinci

Penggunaan data informasi penginderaan jauh terutama

Penggunaan data informasi penginderaan jauh terutama IDENTIFIKASI PENGGUNAAN LAHAN DENGAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT THEMATIC MAPPER Ipin Saripin 1 Penggunaan data informasi penginderaan jauh terutama foto udara dianggap paling baik sampai saat ini karena

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Volume Pohon pada Jarak Tanam 3 m x 3 m. Bardasarkan penelitian yang telah dilaksanakan, Pada sampel populasi untuk

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Volume Pohon pada Jarak Tanam 3 m x 3 m. Bardasarkan penelitian yang telah dilaksanakan, Pada sampel populasi untuk 34 V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil 1. Volume Pohon pada Jarak Tanam 3 m x 3 m Bardasarkan penelitian yang telah dilaksanakan, Pada sampel populasi untuk jarak tanam 3 m x 3 m terdapat 3 plot dengan jumlah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan merupakan bentang permukaan bumi yang dapat bermanfaat bagi manusia baik yang sudah dikelola maupun belum. Untuk itu peran lahan cukup penting dalam kehidupan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang.

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang. III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-Oktober 2010. Lokasi penelitian di Kota Palembang dan Laboratorium Analisis Spasial Lingkungan, Departemen Konservasi Sumberdaya

Lebih terperinci

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 5. A. IDENTIFIKASI CITRA PENGINDERAAN JAUH a. Identifikasi Fisik

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 5. A. IDENTIFIKASI CITRA PENGINDERAAN JAUH a. Identifikasi Fisik GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 12 Sesi NGAN PENGINDERAAN JAUH : 5 A. IDENTIFIKASI CITRA PENGINDERAAN JAUH a. Identifikasi Fisik 1. Hutan Hujan Tropis Rona gelap Pohon bertajuk, terdiri dari

Lebih terperinci

BAB 3 PENGOLAHAN DATA

BAB 3 PENGOLAHAN DATA BAB 3 PENGOLAHAN DATA Pada bab ini akan dijelaskan mengenai data dan langkah-langkah pengolahan datanya. Data yang digunakan meliputi karakteristik data land use dan land cover tahun 2005 dan tahun 2010.

Lebih terperinci

BAB IV KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

BAB IV KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN BAB IV KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1 Kecamatan Conggeang 4.1.1 Letak geografis dan administrasi pemerintahan Secara geografis, Kecamatan Conggeang terletak di sebelah utara Kabupaten Sumedang. Kecamatan

Lebih terperinci

Gambar 1. Lokasi Penelitian

Gambar 1. Lokasi Penelitian 11 III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian di wilayah Kecamatan Babakan Madang dan Klapanunggal. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 1. Analisis citra dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemukiman, pertanian, kehutanan, perkebunan, penggembalaan, dan

BAB I PENDAHULUAN. pemukiman, pertanian, kehutanan, perkebunan, penggembalaan, dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan penduduk di Indonesia tergolong besar. Saat ini berdasarkan survey terakhir, jumlah penduduk Indonesia adalah 230 juta lebih. Laju pertumbuhan penduduk

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR NOMOR : 53 TAHUN 2001 T E N T A N G IJIN USAHA HUTAN TANAMAN (IHT) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANJUNG JABUNG TIMUR, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI KARAKTERISTIK DAN PEMETAAN TUTUPAN LAHAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT 8 (OLI) DI KABUPATEN PESAWARAN PROVINSI LAMPUNG SITI PERMATA SARI

IDENTIFIKASI KARAKTERISTIK DAN PEMETAAN TUTUPAN LAHAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT 8 (OLI) DI KABUPATEN PESAWARAN PROVINSI LAMPUNG SITI PERMATA SARI IDENTIFIKASI KARAKTERISTIK DAN PEMETAAN TUTUPAN LAHAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT 8 (OLI) DI KABUPATEN PESAWARAN PROVINSI LAMPUNG SITI PERMATA SARI DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT

Lebih terperinci

Gambar 13. Citra ALOS AVNIR

Gambar 13. Citra ALOS AVNIR 32 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Citra ALOS AVNIR Citra yang digunakan pada penelitian ini adalah Citra ALOS AVNIR tahun 2006 seperti yang tampak pada Gambar 13. Adapun kombinasi band yang digunakan

Lebih terperinci

PENILAIAN DAN KUNCI PENGELOLAAN LAHAN BASAH:

PENILAIAN DAN KUNCI PENGELOLAAN LAHAN BASAH: PENILAIAN DAN KUNCI PENGELOLAAN LAHAN BASAH: Studi Kasus Daerah Eks PLG 1 Juta Hektar di Kalimantan B. Mulyanto, B Sumawinata, Darmawan dan Suwardi Pusat Studi Lahan Basah, Institut Pertanian Bogor Jl.

Lebih terperinci

BAB VI KELEMBAGAAN USAHA KAYU RAKYAT

BAB VI KELEMBAGAAN USAHA KAYU RAKYAT BAB VI KELEMBAGAAN USAHA KAYU RAKYAT 6.1 Kelembagaan Pengurusan Hutan Rakyat Usaha kayu rakyat tidak menjadi mata pencaharian utama karena berbagai alasan antara lain usia panen yang lama, tidak dapat

Lebih terperinci

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4.1. Latar Belakang Sebagaimana diuraikan terdahulu (Bab 1), DAS merupakan suatu ekosistem yang salah satu komponen penyusunannya adalah vegetasi terutama berupa hutan dan perkebunan

Lebih terperinci

Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Nilai Koefisien Limpasan di DAS Krueng Meureudu Provinsi Aceh

Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Nilai Koefisien Limpasan di DAS Krueng Meureudu Provinsi Aceh Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Nilai Koefisien Limpasan di DAS Krueng Meureudu Provinsi Aceh 1 Hairul Basri, 2 Syahrul, 3,4 *Rudi Fadhli 1 Jurusan Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Syiah

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli 2011 sampai dengan Januari 2012 dengan daerah penelitian di Desa Sawohan, Kecamatan Buduran, Kabupaten

Lebih terperinci

LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL

LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL Sumber Energi Resolusi (Spasial, Spektral, Radiometrik, Temporal) Wahana Metode (visual, digital, otomatisasi) Penginderaan jauh adalah ilmu pengetahuan dan

Lebih terperinci

BAB VI ANALISIS PERKEMBANGAN PRODUKSI KAYU PETANI HUTAN RAKYAT

BAB VI ANALISIS PERKEMBANGAN PRODUKSI KAYU PETANI HUTAN RAKYAT 26 BAB VI ANALISIS PERKEMBANGAN PRODUKSI KAYU PETANI HUTAN RAKYAT 6.1 Analisis Perkembangan Produksi Kayu Petani Hutan Rakyat Produksi kayu petani hutan rakyat pada penelitian ini dihitung berdasarkan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. Gambar 2. Peta Orientasi Wilayah Penelitian. Kota Yogyakarta. Kota Medan. Kota Banjarmasin

III. METODOLOGI. Gambar 2. Peta Orientasi Wilayah Penelitian. Kota Yogyakarta. Kota Medan. Kota Banjarmasin III. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan mulai dari bulan Maret sampai bulan November 2009. Objek penelitian difokuskan pada wilayah Kota Banjarmasin, Yogyakarta, dan

Lebih terperinci

untuk memenuhi kebutuhan hidup. Petani PENDAHULUAN umumnya lebih memusatkan pada Hutan rakyat merupakan hutan yang pendapatan atau faktor ekonominya

untuk memenuhi kebutuhan hidup. Petani PENDAHULUAN umumnya lebih memusatkan pada Hutan rakyat merupakan hutan yang pendapatan atau faktor ekonominya 1 PENDAHULUAN Hutan rakyat merupakan hutan yang dibangun oleh masyarakat pada lahan milik rakyat. Hutan rakyat tetap penting, karena selain secara ekologi dapat mendukung lingkungan (menahan erosi, mengurangi

Lebih terperinci

Lampiran A. Kriteria (Deskripsi) Kelas Tutupan Hutan Penggunaan Lahan

Lampiran A. Kriteria (Deskripsi) Kelas Tutupan Hutan Penggunaan Lahan Lampiran A. Kriteria (Deskripsi) Kelas Tutupan Hutan Penggunaan Lahan No. Kelas 1 Hutan lahan kering primer dataran rendah 2 Hutan lahan kering primer pegunungan rendah 3 Hutan lahan kering sekunder dataran

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb.

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb. KATA PENGANTAR Assalamu alaikum wr.wb. Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan buku Penghitungan Deforestasi Indonesia Periode Tahun 2009-2011

Lebih terperinci

Pemanfaatan Citra Aster untuk Inventarisasi Sumberdaya Laut dan Pesisir Pulau Karimunjawa dan Kemujan, Kepulauan Karimunjawa

Pemanfaatan Citra Aster untuk Inventarisasi Sumberdaya Laut dan Pesisir Pulau Karimunjawa dan Kemujan, Kepulauan Karimunjawa ISSN 0853-7291 Pemanfaatan Citra Aster untuk Inventarisasi Sumberdaya Laut dan Pesisir Pulau Karimunjawa dan Kemujan, Kepulauan Karimunjawa Petrus Soebardjo*, Baskoro Rochaddi, Sigit Purnomo Jurusan Ilmu

Lebih terperinci

MENAKSIR VOLUME POHON BERDIRI DENGAN PITA VOLUME BUDIMAN

MENAKSIR VOLUME POHON BERDIRI DENGAN PITA VOLUME BUDIMAN MENAKSIR VOLUME POHON BERDIRI DENGAN PITA VOLUME BUDIMAN Oleh Budiman Achmad Balai Penelitian Teknologi Agroforestry Ciamis HP : 081320628223 email : budah59@yahoo.com Disampaikan pada acara Gelar Teknologi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN ANALISIS

BAB IV HASIL DAN ANALISIS BAB IV HASIL DAN ANALISIS 4.1 Hasil Segmentasi Dari beberapa kombinasi scale parameter yang digunakan untuk mendapatkan segmentasi terbaik, untuk mengklasifikasikan citra pada penelitian ini hanya mengambil

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 3 dan Tabel 4.

III. BAHAN DAN METODE. Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 3 dan Tabel 4. III. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dimulai dari bulan Juni sampai dengan bulan September 2009. Lokasi Penelitian adalah di Kawasan Agropolitan Cendawasari, Desa Karacak,

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Tempat dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. Tempat dan Waktu Penelitian 23 METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini difokuskan pada lahan sagu yang ada di sekitar Danau Sentani dengan lokasi penelitian mencakup 5 distrik dan 16 kampung di Kabupaten Jayapura.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o o LU. (perhitungan luas menggunakan perangkat GIS).

TINJAUAN PUSTAKA. Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o o LU. (perhitungan luas menggunakan perangkat GIS). TINJAUAN PUSTAKA Daerah Aliran Sungai (DAS) Besitang Sekilas Tentang DAS Besitang Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o 45 04 o 22 44 LU dan 97 o 51 99 o 17 56 BT. Kawasan DAS Besitang melintasi

Lebih terperinci

MODEL REKLAMASI LAHAN KRITIS PADA AREA BEKAS PENGGALIAN BATU BATA

MODEL REKLAMASI LAHAN KRITIS PADA AREA BEKAS PENGGALIAN BATU BATA PKMM-1-6-2 MODEL REKLAMASI LAHAN KRITIS PADA AREA BEKAS PENGGALIAN BATU BATA Rahmat Hidayat, M Indriastuti, F Syafrina, SD Arismawati, Babo Sembodo Jurusan Pengelolaan Hutan dan Konservasi Sumberdaya Hutan

Lebih terperinci

V HASIL DAN PEMBAHASAN

V HASIL DAN PEMBAHASAN V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Keadaan Umum Responden Tingkat pendidikan di Desa Babakanreuma masih tergolong rendah karena dari 36 responden sebagian besar hanya menyelesaikan pendidikan sampai tingkat SD,

Lebih terperinci

RINGKASAN MATERI INTEPRETASI CITRA

RINGKASAN MATERI INTEPRETASI CITRA Lampiran 1 Ringkasan Materi RINGKASAN MATERI INTEPRETASI CITRA 1 Pengertian Intepretasi Citra Inteprtasi Citra adalah kegiatan menafsir, mengkaji, mengidentifikasi, dan mengenali objek pada citra, selanjutnya

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN DATA DAN INFORMASI TATA RUANG KABUPATEN/KOTA BERBASIS CITRA SATELIT DAN GIS PENGANTAR Pesatnya perkembangan teknologi informasi membawa perubahan yang besar di berbagai bidang termasuk bidang

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN MENGGUNAKAN LANDSAT 7 DAN LANDSAT 8 (Studi Kasus di Asosiasi Petani Hutan Rakyat Wonosobo) MUHAMMAD ROMADHON

IDENTIFIKASI PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN MENGGUNAKAN LANDSAT 7 DAN LANDSAT 8 (Studi Kasus di Asosiasi Petani Hutan Rakyat Wonosobo) MUHAMMAD ROMADHON IDENTIFIKASI PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN MENGGUNAKAN LANDSAT 7 DAN LANDSAT 8 (Studi Kasus di Asosiasi Petani Hutan Rakyat Wonosobo) MUHAMMAD ROMADHON DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT

Lebih terperinci

BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN

BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN A. Kondisi Kekinian dan Status Kawasan Gunung Pulosari Hasil analisis yang dilakukan terhadap citra Landsat 7 liputan tahun, kondisi tutupan lahan Gunung Pulosari terdiri dari

Lebih terperinci

PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH ALOS AVNIR UNTUK PEMANTAUAN LIPUTAN LAHAN KECAMATAN

PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH ALOS AVNIR UNTUK PEMANTAUAN LIPUTAN LAHAN KECAMATAN PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH ALOS AVNIR UNTUK PEMANTAUAN LIPUTAN LAHAN KECAMATAN Wiweka Peneliti Kantor Kedeputian Penginderaan Jauh LAPAN Dosen Teknik Informatika, FTMIPA, Universitas Indraprasta

Lebih terperinci

SINTESA HASIL PENELITIAN RPI AGROFORESTRI TAHUN

SINTESA HASIL PENELITIAN RPI AGROFORESTRI TAHUN SINTESA HASIL PENELITIAN RPI AGROFORESTRI TAHUN 2012-2014 TUJUAN untuk merumuskan model agroforestry yang dapat diterapkan dengan mempertimbangkan aspek budidaya, lingkungan dan sosial ekonomi SASARAN

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan di kawasan perkotaan Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Pada bulan Juni sampai dengan bulan Desember 2008. Gambar 3. Citra IKONOS Wilayah

Lebih terperinci

Analisa Perubahan Tutupan Lahan di Waduk Riam Kanan dan Sekitarnya Menggunakan Sistem Informasi Geografis(SIG) dan data citra Landsat

Analisa Perubahan Tutupan Lahan di Waduk Riam Kanan dan Sekitarnya Menggunakan Sistem Informasi Geografis(SIG) dan data citra Landsat Analisa Perubahan Tutupan Lahan di Waduk Riam Kanan dan Sekitarnya Menggunakan Sistem Informasi Geografis(SIG) dan data citra Landsat Rully Sasmitha dan Nurlina Abstrak: Telah dilakukan penelitian untuk

Lebih terperinci

Anita Dwijayanti, Teguh Hariyanto Jurusan Teknik Geomatika FTSP-ITS, Kampus ITS Sukolilo, Surabaya,

Anita Dwijayanti, Teguh Hariyanto Jurusan Teknik Geomatika FTSP-ITS, Kampus ITS Sukolilo, Surabaya, Evaluasi Tutupan Lahan Terhadap Rencana Detil Tata Ruang Kota (RDTRK) Surabaya Pada Citra Resolusi Tinggi Dengan EVALUASI TUTUPAN LAHAN PERMUKIMAN TERHADAP RENCANA DETIL TATA RUANG KOTA (RDTRK) SURABAYA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Teh merupakan salah satu komoditi subsektor perkebunan yang memiliki berbagai peranan dan manfaat. Teh dikenal memiliki kandungan katekin (antioksidan alami) yang

Lebih terperinci

BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN

BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN A. Kondisi Kekinian dan Status Kawasan Gunung Karang Citra Landsat 7 liputan tahun 2014 menunjukkan bahwa kondisi tutupan lahan Gunung Karang terdiri dari hutan, hutan tanaman

Lebih terperinci

METODOLOGI. Jawa Barat Kab. Kuningan Desa Ancaran. Gambar 2. Lokasi Penelitian

METODOLOGI. Jawa Barat Kab. Kuningan Desa Ancaran. Gambar 2. Lokasi Penelitian 12 METODOLOGI Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan pada akhir bulan Maret 2011 hingga bulan Juni 2011. Penelitian ini dilakukan di Desa Ancaran, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, yang memiliki

Lebih terperinci

BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN

BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN A. Kondisi Kekinian dan Status Kawasan Gunung Aseupan Hasil analisis yang dilakukan terhadap citra Landsat 7 liputan tahun 2014, kondisi tutupan lahan Gunung Aseupan terdiri

Lebih terperinci

BAGIAN 1-3. Dinamika Tutupan Lahan Kabupaten Bungo, Jambi. Andree Ekadinata dan Grégoire Vincent

BAGIAN 1-3. Dinamika Tutupan Lahan Kabupaten Bungo, Jambi. Andree Ekadinata dan Grégoire Vincent BAGIAN 1-3 Dinamika Tutupan Lahan Kabupaten Bungo, Jambi Andree Ekadinata dan Grégoire Vincent 54 Belajar dari Bungo Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi PENDAHULUAN Kabupaten Bungo mencakup

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya 5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penutupan Lahan dan Perubahannya Penutupan lahan menggambarkan konstruksi vegetasi dan buatan yang menutup permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.. Variasi NDVI Citra AVNIR- Citra AVNIR- yang digunakan pada penelitian ini diakuisisi pada tanggal Desember 008 dan 0 Juni 009. Pada citra AVNIR- yang diakuisisi tanggal Desember

Lebih terperinci

ANALISIS PERUBAHAN PENUTUPAN LAHAN (LAND COVER) DI TAMAN WISATA ALAM SUNGAI LIKU KABUPATEN SAMBAS TAHUN

ANALISIS PERUBAHAN PENUTUPAN LAHAN (LAND COVER) DI TAMAN WISATA ALAM SUNGAI LIKU KABUPATEN SAMBAS TAHUN ANALISIS PERUBAHAN PENUTUPAN LAHAN (LAND COVER) DI TAMAN WISATA ALAM SUNGAI LIKU KABUPATEN SAMBAS TAHUN 2013-2016 (Analysis Of Land Cover Changes At The Nature Tourism Park Of Sungai Liku In Sambas Regency

Lebih terperinci

Lokasi Penelitian Penetapan Lokasi Kajian Analisa Data

Lokasi Penelitian Penetapan Lokasi Kajian Analisa Data PENDAHULUAN Hutan produksi merupakan suatu kawasan hutan tetap yang ditetapkan pemerintah untuk mengemban fungsi pokok memproduksi hasil hutan. Pengelolaan hutan produksi tidak semata hanya untuk mencapai

Lebih terperinci

5. SIMPULAN DAN SARAN

5. SIMPULAN DAN SARAN 5. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Citra ALOS PALSAR dapat digunakan untuk membangun model pendugaan biomassa di ekosistem transisi yang telah mengalami transformasi dari hutan sekunder menjadi sistem pertanian

Lebih terperinci

INTERPRETASI CITRA IKONOS KAWASAN PESISIR PANTAI SELATAN MATA KULIAH PENGINDERAAN JAUH OLEH : BHIAN RANGGA J.R NIM : K

INTERPRETASI CITRA IKONOS KAWASAN PESISIR PANTAI SELATAN MATA KULIAH PENGINDERAAN JAUH OLEH : BHIAN RANGGA J.R NIM : K INTERPRETASI CITRA IKONOS KAWASAN PESISIR PANTAI SELATAN MATA KULIAH PENGINDERAAN JAUH OLEH : BHIAN RANGGA J.R NIM : K 5410012 PENDIDIKAN GEOGRAFI FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS

Lebih terperinci

PENINGKATAN KESEJAHTERAAN PETANI MELALUI PENGEMBANGAN AGROFORESTRY

PENINGKATAN KESEJAHTERAAN PETANI MELALUI PENGEMBANGAN AGROFORESTRY PENINGKATAN KESEJAHTERAAN PETANI MELALUI PENGEMBANGAN AGROFORESTRY BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASI KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN BALAI PENELITIAN KEHUTANAN MANADO 2016 PENDAHULUAN

Lebih terperinci

Gambar 1. Satelit Landsat

Gambar 1. Satelit Landsat 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penginderaan Jauh Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu

Lebih terperinci

LAMPIRAN 1 HASIL KEGIATAN PKPP 2012

LAMPIRAN 1 HASIL KEGIATAN PKPP 2012 LAMPIRAN 1 HASIL KEGIATAN PKPP 2012 JUDUL KEGIATAN: PENGUATAN KAPASITAS DAERAH DAN SINERGITAS PEMANFAATAN DATA INDERAJA UNTUK EKSTRAKSI INFORMASI KUALITAS DANAU BAGI KESESUAIAN BUDIDAYA PERIKANAN DARAT

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE 14 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kabupaten Bandung Barat yang merupakan kabupaten baru di Provinsi Jawa Barat hasil pemekaran dari Kabupaten Bandung. Kabupaten

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 6 3.3.5 Persamaan Hubungan RTH dengan Suhu Udara Penjelasan secara ilmiah mengenai laju pemanasan/pendinginan suhu udara akibat pengurangan atau penambahan RTH adalah mengikuti hukum pendinginan Newton,

Lebih terperinci

KAWASAN TERPADU RIMBA DI 3 KABUPATEN PRIORITAS (Kab. Kuantan Sengingi, Kab. Dharmasraya dan Kab. Tebo)

KAWASAN TERPADU RIMBA DI 3 KABUPATEN PRIORITAS (Kab. Kuantan Sengingi, Kab. Dharmasraya dan Kab. Tebo) KAWASAN TERPADU RIMBA DI 3 KABUPATEN PRIORITAS (Kab. Kuantan Sengingi, Kab. Dharmasraya dan Kab. Tebo) Oleh: IB Ketut Wedastra Sr. Officer Conservation Spatial Planning WWF Indonesia PENGINDERAAN JAUH

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Pembangunan dan pengembangan wilayah di setiap daerah merupakan kegiatan yang dilakukan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidup masyarakat di wilayah

Lebih terperinci

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian 22 METODOLOGI Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kota Sukabumi, Jawa Barat pada 7 wilayah kecamatan dengan waktu penelitian pada bulan Juni sampai November 2009. Pada lokasi penelitian

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. berlokasi di kawasan Taman Nasional Way Kambas. Taman Nasional Way

III. METODE PENELITIAN. berlokasi di kawasan Taman Nasional Way Kambas. Taman Nasional Way 13 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan dari bulan Juni sampai dengan September 2012 yang berlokasi di kawasan Taman Nasional Way Kambas. Taman Nasional Way Kambas

Lebih terperinci

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang memiliki nilai ekonomi, ekologi dan sosial yang tinggi. Hutan alam tropika

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (1989), hingga tahun 2000 diperkirakan dari 24 juta Ha lahan hijau (pertanian,

BAB I PENDAHULUAN. (1989), hingga tahun 2000 diperkirakan dari 24 juta Ha lahan hijau (pertanian, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bentuk penggunaan lahan suatu wilayah terkait dengan pertumbuhan penduduk dan aktivitasnya. Semakin meningkatnya jumlah penduduk dan semakin intensifnya aktivitas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Posisi Indonesia berada di daerah tropis mengakibatkan hampir sepanjang tahun selalu diliputi awan. Kondisi ini mempengaruhi kemampuan citra optik untuk menghasilkan

Lebih terperinci

Statistik Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah XII Tanjungpinang Tahun Halaman 34 VI. PERPETAAN HUTAN

Statistik Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah XII Tanjungpinang Tahun Halaman 34 VI. PERPETAAN HUTAN VI. PERPETAAN HUTAN Perpetaan Kehutanan adalah pengurusan segala sesuatu yang berkaitan dengan peta kehutanan yang mempunyai tujuan menyediakan data dan informasi kehutanan terutama dalam bentuk peta,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan dan pengembangan wilayah merupakan dinamika daerah menuju kemajuan yang diinginkan masyarakat. Hal tersebut merupakan konsekuensi logis dalam memajukan kondisi sosial,

Lebih terperinci

Gambar 6 Kenampakan pada citra Google Earth.

Gambar 6 Kenampakan pada citra Google Earth. menggunakan data latih kedua band citra berbasis rona (tone, sehingga didapatkan pohon keputusan untuk citra berbasis rona. Pembentukan rule kedua menggunakan data latih citra berbasis rona ditambah dengan

Lebih terperinci

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO. a. Berdasarkan Spektrum Elektromagnetik

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO. a. Berdasarkan Spektrum Elektromagnetik GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 10 Sesi NGAN PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO Citra nonfoto adalah gambaran yang dihasilkan oleh sensor nonfotografik atau sensor elektronik. Sensornya

Lebih terperinci