BAB VII DIFERENSIASI SOSIAL MASYARAKAT AGRARIS

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB VII DIFERENSIASI SOSIAL MASYARAKAT AGRARIS"

Transkripsi

1 BAB VII DIFERENSIASI SOSIAL MASYARAKAT AGRARIS 7.1. Bertambahnya Lapisan Petani serta Meningkatnya Pemilik Sempit dan Tunakisma Sebagaimana dikemukakan Sanderson (2003), masyarakat agraris adalah masyarakat yang menyandarkan hidupnya pada pertanian, baik sebagai pemilik lahan maupun bukan pemilik lahan (tunakisma). Sumberdaya agraria (lahan) digunakan secara berkesinambungan (periode kosong penggunaan lahan sangat pendek atau bahkan tidak ada lagi). Oleh sebab itu, gambaran struktur sosial masyarakat agraris yang merujuk pada peta hubungan sosial di kalangan anggota masyarakat agraris akan bertumpu pada posisi para petani dalam penguasaan sumberdaya agraria, baik melalui mekanisme penguasaan tetap (pemilikan) maupun penguasaan sementara (seperti bagi hasil). Kemudian diferensiasi sosial masyarakat agraris merujuk pada keberadaan kelompok-kelompok dalam masyarakat yang posisinya dalam penguasaan sumberdaya agraria tidak sama. Setelah berakhirnya struktur agraria yang dibangun melalui penguasaan kolektif, ternyata struktur agraria yang dibangun melalui penguasaan perorangan tidak lagi terbuka sebagaimana periode sebelumnya. Pada periode struktur agraria berbentuk penguasaan kolektif semua warga komunitas memperoleh akses yang sama untuk dapat mengusahakan sumberdaya agraria. Sebaliknya, pada periode dimana struktur agraria sudah berbentuk penguasaan perorangan tidak semua warga komunitas dapat dengan mudah memperoleh akses untuk menguasai sumberdaya agraria. Pada periode ini seorang warga yang akan menguasai tanah harus memenuhi persyaratan atau kemampuan tertentu. Bahkan pada periode ini muncul tatanan pemilikan tetap dan pemilikan sementara. Tatanan pemilikan tetap digunakan untuk menunjuk pada hubungan sosial penguasaan sumberdaya agraria yang memberikan akses kepada seorang petani untuk dapat menguasai sumberdaya agraria secara permanen. Sementara itu, tatanan penguasaan sementara digunakan untuk menunjuk pada hubungan sosial penguasaan sumberdaya agraria yang memberikan akses seorang petani untuk menguasai sumberdaya agraria dalam kurun waktu sementara karena sumberdaya tersebut milik petani lain. 163

2 Dengan demikian, nampak bahwa pada periode penguasaan perorangan ini ketidaksamaan akses di antara warga komunitas dalam penguasaan sumberdaya agraria mulai muncul dan cenderung meningkat. Oleh sebab itu, bagi komunitas petani yang sumber kehidupannya berbasis pada sumberdaya agraria, maka munculnya transformasi struktur agraria tersebut akan memberi jalan pada proses berlangsungnya diferensiasi sosial masyarakat agraris, sehingga masyarakat agraris dari yang sebelumnya egaliter (merata) menjadi terdifrensiasi. Berbasis hubungan sosial dalam penguasaan sumberdaya agraria (penguasaan tetap dan penguasaan sementara), hasil sensus terhadap seluruh rumahtangga petani di empat komunitas petani kasus menunjukkan bahwa struktur sosial masyarakat agraris komunitas petani kakao yang muncul saat ini terdiferensiasi dalam banyak lapisan 101. Sebagian dari lapisan tersebut dibangun dengan status tunggal (status dimaksud merupakan basis dasar pelapisan masyarakat), sedangkan sebagian lapisan lainnya dibangun dengan status majemuk atau kombinasi. Secara lebih rinci, berbagai lapisan masyarakat agraris yang muncul dalam komunitas petani kasus adalah: 1. Petani Pemilik. Para petani pada lapisan ini menguasai sumberdaya agraria hanya melalui pola pemilikan tetap (baik petani pemilik yang lahannya diusahakan sendiri dan/atau petani pemilik yang lahannya diusahakan oleh orang lain), 2. Petani Pemilik + Penggarap. Para petani pada lapisan ini menguasai sumberdaya agraria tidak hanya melalui pola pemilikan tetap tetapi juga melalui pemilikan sementara (dengan cara mengusahakan lahan milik petani lain melalui sistem bagi hasil, sewa, atau gadai) 3. Petani Pemilik + Penggarap + Buruh Tani. Para petani pada lapisan ini selain menguasai sumberdaya agraria melalui pemilikan tetap dan pemilikan sementara (dengan cara mengusahakan lahan milik petani lain melalui sistem bagi hasil, sewa, atau gadai) juga dengan cara menjadi buruh tani 101 Somadisastra (1977) mengemukakan bahwa berdasarkan penguasaan lahan, para petani di Aceh terbagi dalam tiga golongan, yaitu : golongan pemilik tanah (ureueng po tanah), golongan penggarap (ureueng mawah), dan buruh tani yang kemunculannya paling belakangan 164

3 4. Petani Pemilik + Buruh Tani. Para petani pada lapisan ini menguasai sumberdaya agraria melalui pola pemilikan tetap. Selain itu, untuk menambah penghasilan keluarganya, mereka juga menjalankan peranan sebagai seorang buruh tani Petani Penggarap. Para petani pada lapisan ini menguasai sumberdaya agraria hanya melalui pola pemilikan sementara (dengan cara mengusahakan lahan milik petani lain, umumnya melalui sistem bagi hasil). Ditinjau dari sisi pemilikan, lapisan petani penggarap termasuk tunakisma, tetapi kategori tunakisma petani penggarap menjadi tidak mutlak karena ditinjau dari sisi penggarapan sumberdaya agraria mereka termasuk petani penguasa tanah (efektif) 6. Petani Penggarap + Buruh Tani. Para petani pada lapisan ini menguasai sumberdaya agraria melalui pola pemilikan sementara (dengan cara mengusahakan lahan milik petani lain melalui sistem bagi hasil, sewa, atau gadai). Selain itu, untuk menambah penghasilan keluarga, mereka juga menjalankan peranan sebagai buruh tani. Sebagai mana lapisan petani penggarap, lapisan ini termasuk tunakisma tetapi tidak mutlak. 7. Buruh Tani. Para petani pada lapisan ini benar-benar tidak menguasai sumberdaya agraria, sehingga dapat dikategorikan sebagai tunakisma mutlak. Walaupun demikian, mereka masih memperoleh manfaat dari sumberdaya agraria dengan cara menjadi buruh tani. Pada umumnya buruh tani di desa lokasi penelitian juga menjadi buruh kegiatan non pertanian dan/atau mencari hasil hutan (terutama pada saat peluang berburuh tani tidak ada). Ketujuh lapisan masyarakat tersebut muncul di seluruh desa kasus, kecuali lapisan petani penggarap tunggal tidak muncul di desa Ulee Gunong. Hal ini terjadi karena komunitas petani di Desa Ulee Gunong merupakan sebuah komunitas petani yang sumberdaya agrarianya hanya diusahakan untuk tanaman perkebunan (kakao dan/atau kopi). Selain itu, banyak kebun kakao dan/atau kopi yang 102 Sebenarnya petani yang merangkap sebagai buruh tani sudah ditemukan Geertz dalam studi lapang yang dilakukan awal tahun 50 an (Geertz, 1976). Para buruh tebu di Jawa saat itu juga merupakan petani pemilik sehingga selain mereka sebagai petani rumahtangga yang berorientasi komunitas juga buruh upahan. 165

4 kondisinya kurang baik, sehingga produktivitas tanamannya sangat rendah. Oleh sebab itu, para petani penggarap kebun kakao harus menambah penghasilan-nya dengan cara menjadi buruh. Namun demikian, distribusi rumahtangga berdasarkan lapisan-lapisan tersebut berbeda antara satu komunitas petani kasus dengan komunitas petani kasus lainnya (Gambar 7.1.). 100% 80% 60% 40% 20% BT penggarap+bt penggarap pemilik+bt pemilik+penggarap+bt pemilik+penggarap pemilik 0% Tondo Jono Ulee Cot Gambar 7.1. Struktur Sosial Masyarakat Agraris di Empat Desa Kasus, (Sumber data : Sensus Rumahtangga Melalui Diskusi dengan Informan Kunci) Munculnya tujuh lapisan masyarakat agraris di empat komunitas petani kasus menunjukkan bahwa pelapisan yang terjadi pada masyarakat agraris berbasis kombinasi usahatani padi sawah dan kakao lebih beragam dan lebih rumit dibandingkan dengan hasil temuan di sepuluh Desa padi sawah di Pulau Jawa pada Tahun 1979 dan Tahun 1981/1982. Dalam tulisan Wiradi (1984) Penduduk pedesaan di sepuluh Desa di Pulau Jawa dikelompokkan menjadi: 1) Pemilik penggarap murni : petani yang hanya menggarap tanahnya sendiri, 2) Penyewa dan Penyakap Murni : petani yang tidak memiliki tanah tetapi mempunyai tanah garapan melalui sewa dan/atau bagi hasil (tunakisma, tetapi penguasa tanah efektif), 3) Pemilik Penyewa dan/atau Pemilik Penyakap : petani yang selain menggarap tanahnya sendiri juga menggarap tanah milik orang lain, 4) Pemilik Bukan Penggarap, 5) Tunakisma mutlak : tidak memiliki tanah dan tidak mempunyai tanah garapan (umumnya buruh tani dan sebagian lainnya bukan petani). 166

5 Struktur sosial masyarakat agraris sebagaimana tertera pada Gambar 7.1. juga menunjukkan bahwa bentuk struktur sosial masyarakat agraris yang muncul merupakan struktur yang semakin terstratifikasi atau melipatnya sub-kelas komunitas petani menjadi banyak lapisan. Selain itu, realitas di lapangan menunjukkan bahwa dalam menjalankan pola hubungan sosial produksi sumberdaya agraria banyak rumahtangga petani yang melakukannya tidak secara ekslusif (hanya menjalankan satu pola hubungan sosial) tetapi mereka menjalankan beberapa pola hubungan sosial. Hal ini terjadi karena banyak petani pemilik yang luas sumberdaya agrarianya relatif sempit, apalagi pada pemilikan sumberdaya agraria produktif (lahan yang berproduksi). Nampaknya, pemilikan tetap yang luasnya relatif sempit menyebabkan penghasilan petani dari sumberdaya agraria yang menjadi miliknya tidak dapat mencukupi kebutuhan hidup keluarga mereka. Oleh sebab itu, untuk memperbesar akses dalam penguasaan sumberdaya agraria, para petani tidak membatasi diri hanya pada pola penguasaan tetap tetapi mereka memperluasnya dengan menjalankan pola pemilikan sementara. Secara keseluruhan, hasil sensus di empat komunitas petani kasus menunjukkan bahwa proporsi lapisan petani yang memiliki status sebagai petani pemilik (tunggal + kombinasi) masih merupakan bagian terbesar dari komunitas petani (dominan). Walaupun demikian, petani tunakisma (petani penggarap, buruh tani, dan penggarap + buruh tani) sudah muncul di semua komunitas petani kasus. Akan tetapi umumnya proporsi mereka masih merupakan bagian terkecil dari komunitas petani, kecuali di Desa Jono Oge dimana proporsi tunakisma sudah mencapai 34,2 %, dan sebagian besar (27,3 %) merupakan tunakisma mutlak. Bila lapisan-lapisan petani tersebut dibandingkan di antara desa kasus, nampak bahwa proporsi petani pemilik (tunggal + kombinasi) paling tinggi terjadi pada komunitas di Desa Ulee Gunong (93,2 %), kemudian disusul di Desa Tondo (81 %) dan di Desa Cot Baroh/Tunong (78,2 %), sedangkan proporsi petani pemilik paling rendah terjadi pada komunitas di Desa Jono Oge, yaitu hanya 65,8 % (Tabel 7.1.). 167

6 Tabel 7.1 Distribusi Rumahtangga Petani Berdasarkan Status Penguasaan Sumberdaya Agraria, 2007 Status dalam Penguasaan Sumberdaya Agraria Tondo Jono Oge Ulee Gunong Cot Baroh N % N % N % N % 1. Pemilik Pemilik+penggarap Pemilik+penggarap+BT Pemilik+BT Penggarap Penggarap+BT BT (Buruh Tani) Total A. Total Pemilik , , , ,2 B. Total Tunakisma 52 19, ,2 26 6, ,8 Tunakisma Tidak Mutlak (Penggarap) 20 7,3 13 6,9 1 0, ,4 Tunakisma Mutlak (Buruh Tani) Sumber data : Sensus Rumahtangga Melalui Diskusi dengan Informan Kunci Selain telah munculnya lapisan petani tunakisma, ternyata proporsi petani pemilik yang memiliki status hanya sebagai petani pemilik (status tunggal) umumnya sudah menjadi bagian kecil dari komunitas (tidak dominan lagi), kecuali di Desa Tondo. Data pada Tabel 7.1 menunjukkan bahwa di desa Tondo proporsi lapisan petani pemilik tunggal masih 57,5 %, sedangkan di desa Cot Baroh/Tunong, Jono Oge, dan Ule Gunong masing-masing hanya 37,2 %, 36,4 %, dan 34,1 %. Sementara itu, status petani pemilik lainnya merupakan status kombinasi (campuran dari 2-3 status), yaitu : 1) lapisan pemilik + penggarap, 2) lapisan pemilik + buruh tani, dan 3) lapisan pemilik + penggarap + buruh tani. Lebih lanjut, lapisan petani yang memiliki status penggarap (tunggal + kombinasi) sangat menonjol terjadi di desa-desa yang memiliki usahatani padi sawah, seperti di Desa Cot Baroh/Tunong (52,4 %), Desa Jono Oge (32,0 %), dan Desa Tondo (17,9 %). Di Desa Ulee Gunong, desa yang tidak memiliki sumberdaya agraria sawah, proporsi lapisan petani dengan status penggarap (tunggal + 168

7 kombinasi) hanya 5,6 %. Adapun lapisan petani dengan status buruh tani (tunggal dan kombinasi) paling banyak terjadi di Desa Ulee Gunong (62,2 %), kemudian disusul di Desa Jono Oge (34,8 %), Desa Tondo (26,7 %), dan Desa Cot Baroh/Tunong (16,9 %). Di Desa Ulee Gunong NAD status buruh tani sangat tinggi karena pada beberapa tahun terakhir banyak petani yang menjadi buruh pada proyek rehabilitasi pasca tsunami dan/atau pasca konflik. Kemudian, hasil peneltian juga menunjukkan bahwa petani pemilik yang luas sumberdaya agrarianya kurang dari dua hektar umumnya masih cukup besar, bahkan di sebagian besar komunitas petani kasus masih merupakan bagian terbesar. Realitas ini terjadi pada pemilikan sumberdaya agraria total 103. Bahkan pada pemilikan sumberdaya agraria produktif 104 realitas tersebut nampak lebih menonjol. Data pada Tabel 7.2. menunjukkan bahwa proporsi petani pemilik yang luas sumberdaya agraria totalnya kurang dari dua hektar masih cukup besar, bahkan di desa Tondo dan di Desa Ulee Gunong merupakan bagian terbesar dari komunitas petani (masing-masing 58,8 % dan 73,9 %). Kemudian data pada Tabel 7.3. menunjukkan bahwa proporsi petani pemilik yang luas sumberdaya agraria produktifnya kurang dari 2 hektar lebih besar dari pada proporsi petani pemilik yang luas sumberdaya agraria totalnya kurang dari dua hektar. Bahkan di Desa Tondo, Desa Cot Baroh/Tunong, dan Desa Ulee Gunong proporsi petani dimaksud masing-masing 60,6 %, 68,9 % dan 79,8 %. 103 Sumberdaya agraria yang berproduksi ditambah dengan sumberdaya agraria yang tidak berproduksi baik karena masih berupa lahan kosong atau karena tanamannya rusak 104 Hanya sumberdaya agraria yang sedang dikelola dan menghasilkan produk (sedang berproduksi) 169

8 Tabel 7.2. Distribusi Rumah Tangga Petani Berdasarkan Luas Pemilikan Sumberdaya Agraria Total, 2007 Luas Pemilikan Jono Oge Tondo Cot Baroh/ Tunong Ulee Gunong Total N % N % N % N % N % , ,4 10 5,5 16 5, ,0 > 0 - < 0,5 3 1,6 15 5,5 10 5,5 2 0,7 30 3,3 O,5 - < , ,5 11 6, , ,8 1 - < , , , , ,7 2 - < , , , , ,4 3 - < ,0 20 7,3 13 7,1 12 4,4 60 6,6 >/ ,9 16 5,8 10 5,5 5 1,8 57 6,2 Total , , , , ,0 0 - < , , , , ,1 > 0 - < , , , , ,8 Rata-rata 1,288 2,168 1,697 1,373 Tertinggi (ha) ,8 13,5 74 Sumber data : Sensus Rumahtangga Melalui Diskusi dengan Informan Kunci Tabel 7.3. Distribusi Rumahtangga Petani Berdasarkan Luas Pemilikan Sumberdaya Agraria Produktif, 2007 Luas Pemilikan Jono Oge Tondo Cot Baroh/ Tunong Ulee Gunong Total N % N % N % N % N % , , , , ,5 < 0,5 5 2,7 17 6, ,0 7 2,6 51 5,6 O,5 - < , , , , ,4 1 - < , , , , ,6 2 - < , ,9 10 5,5 10 3,7 78 8,5 3 - < ,5 14 5,1 5 2,7 2 0,7 35 3,8 >/ ,1 13 4,7 1 0,5 2 0,7 33 3,6 Total , , , , ,0 0- < , , , , ,5 > 0 - < , , , , ,6 Rata-rata 1,069 1,813 1,697 1,373 Tertinggi (ha) Sumber data : Sensus Rumahtangga Melalui Diskusi dengan Informan Kunci 170

9 Data-data pada Tabel 7.3. dan Tabel 7.4. juga menunjukkan bahwa di desadesa kasus belum terjadi pemusatan sumberdaya agraria yang sangat nyata. Meskipun di semua desa kasus terdapat sejumlah petani yang oleh masyarakat sudah dikategorikan sebagai petani luas yang kaya tetapi luas lahan yang mereka miliki umumnya hanya sekitar 10 ha. Petani pemilik sangat luas hanya muncul di Desa Jono Oge yang beretnis Bugis dan petani tersebut merupakan keturunan perintis pertama. Adapun luas sumberdaya agraria (lahan) yang dimilikinya mencapai 74 ha, tetapi lahan tersebut tersebar pada 21 plot (bidang) dan sebagian besar (49,5 ha) berada di luar desa. Walaupun luas lahan milik petani tersebut sangat luas, tetapi seluruh lahan padi sawah dan kebun kakao diusahakan dengan pola bagi hasil 105. Hanya kebun kelapa dan cengkeh yang diusahakan sendiri oleh petani pemilik luas kaya dengan menggunakan buruh upahan, dan untuk mengawasi buruh upahan yang bekerja kadang-kadang petani pemilik luas kaya tersebut menggunakan mandor tidak tetap 106. Hasil sensus rumahtangga petani di empat desa kasus menunjukkan bahwa rata-rata luas pemilikan sumberdaya agraria di antara lapisan petani tidak sama. Rata-rata luas pemilikan sumberdaya agraria paling besar terjadi pada lapisan petani pemilik dengan status tunggal sebagai petani pemilik, sedangkan ratarata luas pemilikan sumberdaya agraria paling kecil terjadi pada lapisan petani dengan komplek, yaitu pemilik + buruh tani (Tabel 7.4.). Realitas tersebut muncul baik pada pemilikan sumberdaya agraria total maupun pada pemilikan sumberdaya agraria produktif. 105 Seluruh sumberdaya agraria padi sawah milik petani sangat kaya dalam komunitas petani di Desa Jono Oge (18 ha) dikelola oleh para petani penggarap bagi hasil (oleh 18 petani penggarap bagi hasil). Demikian halnya kebun coklat yang luasnya 10 ha dikelola petani bagi hasil (oleh 5 petani penggarap bagi hasil). Sementara itu, seluruh kebun cengkeh (8 ha) dan kebun kelapa (25,5 ha) tidak digarapkan tetapi dikelola sendiri karena tidak perlu perawatan yang intensif sepanjang tahun. 106 Dalam hal ini, mandor digunakan untuk mengawasi panen hasil. Adapun biaya mandor cengkeh adalah Rp. 100,-/liter sedangkan biaya mandor kelapa Rp ,-/satu kali penen sebanyak 3,000 pohon 171

10 Tabel 7.4. Rata-rata Luas Pemilikan Sumberdaya Agraria Total dan Sumberdaya Agraria Produktif, 2007 Status Pemilikan Sumberdaya Agraria Total Sumberdaya Agraria Produktif Pemilik 2,268 * 1,740* pemilik + penggarap 2,062 1,452 pemilik + penggarap + BT 2,152 1,474 pemilik + BT 1,474 0,888 Keterangan : * berbeda pada taraf nyata 20 % dengan uji LSD Sumber data : Diolah dari Data Sensus Rumahtangga Hasil Diskusi dengan Informan Kunci Walaupun demikian, bila mengacu pada hasil uji statistik (uji beda nyata/uji LSD dengan selang kepercayaan 20 %) sebagaimana tertera pada lampiran 7.1. nampaknya rata-rata luas pemilikan yang dianggap berbeda nyata hanya terjadi antara lapisan petani dengan status tunggal petani pemilik dengan lapisan petani dengan status kompleks petani pemilik + buruh tani. Realitas ini terjadi baik pada rata-rata luas pemilikan sumberdaya agraria total maupun pada rata-rata luas pemilikan sumberdaya agraria produktif Arah Perubahan Struktur Sosial Masyarakat Agraris : Jalan Bercabang Menuju Struktur Terstratifikasi atau Terpolarisasi Sebelumnya, pada periode dimana sumberdaya agraria masih dikuasaai secara kolektif oleh komunitas petani, semua warga komunitas mempunyai akses yang sama untuk menguasai (dalam hal ini mengusahakan) sumberdaya agraria sebagai sumber utama pemenuhan kebutuhan hidup mereka. Oleh sebab itu, pada periode tersebut dapat diduga bahwa struktur sosial masyarakat agraris relatif merata karena dibentuk oleh struktur penguasaan sumberdaya agraria yang terbuka atau memberikan akses yang sama kepada semua lapisan warga komunitas 107. Kalaupun terdapat perbedaan lebih banyak terkait dengan perbedaan 107 Dalam sistem pemilikan kolektif yang diatur dalam ketentuan hukum adat, setiap anggota masyarakat mempunyai hak membuka tanah untuk dijadikan tanah pesawahan, ladang dan tempat tinggal. (Humairah Sabri dan Aminuddin, 1992). 172

11 kemauan di antara warga komunitas petani untuk mengusahakan sumberdaya agraria yang tersedia. Kemudian setelah hampir seluruh sumberdaya agraria dalam komunitas petani dikuasai secara individual, sebagaimana yang terjadi saat ini di semua komunitas petani kasus, ternyata bentuk struktur sosial masyarakat agraris yang muncul merupakan sebuah struktur yang terstratifikasi 108 atas banyak lapisan petani. Lapisan yang membentuk struktur tersebut dijalin oleh status yang lebih kompleks, karena selain dijalin melalui tatanan pemilikan tetap juga melalui dijalin melalui tatanan pemilikan sementara. Oleh sebab itu, lapisan-lapisan yang membentuk struktur tersebut cukup banyak, mulai dari petani pemilik luas yang sebagian sumberdaya agraria miliknya diusahakan petani lain, petani pemilik sedang yang sumberdaya agraria miliknya hanya diusahakan sendiri (keluarga inti), petani pemilik sempit yang selain mengusahakan sendiri lahan miliknya juga harus merangkap sebagai penggarap dan/atau buruh tani, serta para penggarap dan buruh tani yang tidak memiliki sumberdaya agraria. Bentuk struktur sosial masyarakat agraris yang terstratifikasi tersebut, meskipun dibangun melalui berbagai mekanisme/proses penguasaan sumberdaya agraria atau pola hubungan sosial dalam penguasaan sumberdaya agraria secara perorangan atau individual, tetapi mereka diikat oleh landasan moral tradisional. Walaupun mekanisme-mekanisme yang memberi jalan pada pembentukan struktur sosial masyarakat agraris yang terstratifikasi masih dominan, tetapi pada saat ini dalam komunitas petani di empat kasus juga sedang berjalan beberapa mekanisme/proses penguasaan sumberdaya agraria atau pola hubungan sosial penguasaan sumberdaya agraria individual yang cenderung mendorong/ memfasilitasi terjadinya bentuk struktur sosial masyarakat agraris yang semakin terpolarisasi 109 (Tabel 7.5.). Dalam proses ini landasan moral tradisional mulai digantikan oleh hubungan pasar yang tidak lagi bersifat pribadi. 108 Sebagai proses perkembangan ketidaksamaan yang melipatgandakan sub-kelas petani di dalam suatu rangkaian spektrum dari buruh tani tunakisma sampai ke pemilik luas yang tidak mengusahakan sendiri tanahnya 109 Sebagai proses perkembangan ketidaksamaan yang mengkutubkan masyarakat tani menjadi (hanya) dua lapisan, yakni petani luas komersial yang kaya dan lapisan buruh tani tunakisma yang miskin. 173

12 Tabel 7.5. Kaitan antara Pola Hubungan Sosial Penguasaan Sumberdaya Agraria dengan Arah Perubahan Struktur Sosial Masyarakat Agraris, Pemanfaatan Sumberdaya Agraria Pola Hubungan Sosial Penguasaan Sumberdaya Agraria Status Ekonomi Penggarap Mekanisme Perubahan Struktur Masyarakat Tahap Pembangunan Kebun/Sawah Padi-Sawah Bagi Waktu Tanam Sedang Polarisasi Kakao Bagi Kebun Miskin - Sedang Stratifikasi Bagi Tanaman Miskin Sedang Polarisasi Tahap Pengelolaan Kebun/Sawah Padi-Sawah Bagi 2 atau Bagi 3 Sedang Polarisasi Kakao Bagi 2 atau Bagi 3 Miskin Sedang Stratifikasi Kopi Bagi 2 atau Bagi 3 Miskin Sedang Stratifikasi Kelapa Sewa Kaya Polarisasi Cengkeh Buruh Upahan Miskin Polarisasi Semua Tanaman Gadai Kaya Polarisasi Sumber data : Wawancara dengan Informan Kunci Beberapa mekanisme penguasaan sumberdaya agraria yang mendorong perubahan struktur sosial masyarakat agraris menuju bentuk yang terstratifikasi adalah : pola bagi kebun (pada tahap pembangunan kebun) dan pola bagi hasil untuk kebun (baik kebun kakao maupun kebun kopi). Selain itu, pola pewarisan yang membagikan sumberdaya agraria (lahan) milik orang tua kepada semua anaknya (umumnya dalam jumlah yang sama) juga cenderung mendorong bentuk struktur agraria yang semakin terstratifikasi. Sementara itu, beberapa mekanisme penguasaan sumberdaya agraria yang mendorong perubahan struktur sosial masyarakat agraris menuju bentuk yang semakin terpolarisasi adalah : pola bagi tanaman (pada tahap pembangunan kebun), bagi waktu panen (pada saat pencetakan sawah), pola bagi hasil sumberdaya agraria sawah, sistem sewa sumberdaya agraria sawah dan kebun 174

13 (terutama pada sumberdaya agraria kebun kelapa), dan sistem gadai. Demikian halnya menguatnya mekanisme transfer sumberdaya agraria melalui transaksi jual - beli 110, semakin rendahnya kemampuan petani miskin untuk memiliki sumberdaya agraria dan/atau membangun sumberdaya agraria, semakin luasnya penggunaan buruh upahan mendorong perubahan struktur sosial masyarakat agraris menuju bentuk yang semakin terpolarisasi. Pola bagi tanaman pada tahap pembangunan kebun, penyewaan (terutama kelapa) dan gadai sumberdaya agraria pada tahap pengelolaan usahatani, serta transaksi jual-beli sumberdaya agraria maupun jual beli tanaman 111 seluruhnya cenderung mendorong struktur sosial masyarakat agraris menuju bentuk yang semakin terpolarisasi. Hal ini terjadi karena pemilik sumberdaya agraria pada pola bagi tanaman (kebun) dan pola bagi waktu panen (sawah) serta petani yang menjadi pembeli, penyewa, dan penggadai sumberdaya agraria (lahan) umumnya para petani yang termasuk dalam lapisan petani kaya. Berbagai mekanisme dimaksud lebih lanjut akan mengakumulasikan sumberdaya agraria pada kelompok minoritas lapisan petani kaya. Sebaliknya, para petani yang menjadi penggarap dalam pola bagi tanaman serta para petani yang menyewakan, menggadaikan, dan menjual sumberdaya agraria (kebun maupun sawah) umumnya merupakan para petani yang berada pada lapisan petani sedang dan/atau petani miskin, sehingga luas sumberdaya agraria milik mereka semakin sempit atau bahkan menjadi petani tak bertanah. Semakin banyaknya kebutuhan petani yang harus dipenuhi dengan uang tunai memperbesar proses pelepasan hak pemilikan tetap para petani miskin melalui transaksi jual/beli dan/atau melalui pelepasan hak pemilikan sementara (sewa dan gadai). Demikian halnya, pola bagi hasil pada pengelolaan padi sawah yang berjalan saat ini mendorong terbentuknya struktur sosial masyarakat agraris 110 Sebagaimana ditemukan Billah (1984) pengalaman di pedesaan Jawa Tengah menunjukkan bahwa mekanisme jual beli sumberdaya agraria memberi jalan bagi berlangsungnya pemusatan pemilikan tanah di satu pihak, sebaliknya di pihak lain jumlah orang yang tidak memiliki tanah akan terus bertambah. Sementara itu, pewarisan sumberdaya agraria yang secara adat hidup subur akan memberi jalan bagi berlangsungnya fragmentasi pemilikan sumberdaya agraria menjadi luasan-luasan yang semakin sempit. 111 Penjualan tanaman seringkali dilakukan para petani pembagi hasil tanaman kepada petani pemilik tanah yang menjadi parner kerjasamanya. Di Cot Baroh/Tunong NAD harga kebun kakao dengan benih unggul berumur 2 tahun yang lokasinya sekitar 5 km dari desa mempunyai harga sekitar 30 ribu/pohon. 175

14 menuju bentuk yang semakin terpolarisasi. Hal ini terjadi karena dengan semakin intensifnya teknologi yang diterapkan pada pengelolaan usahatani tersebut, maka semakin besar modal finasial yang diperlukan sehingga para petani yang menduduki posisi sebagai penggarap bukan lagi lapisan petani miskin tetapi lapisan petani menengah (sedang) yang mempunyai modal finansial atau yang dipercaya pemilik modal finasial untuk diberikan pinjaman. Tabel 7.6. Modal Finansial Untuk Membangun Kebun (1 Ha) pada Lahan Hutan di Desa Cot Baroh/Tunong Dan Ulee Gunong, 2007 Aktivitas Volume Harga Jumlah Keterangan Satuan Tebang (sewa chainsaw) 4 hari ,- Sewa alat/jasa Merintis 15 hari , ,- Dilakukan sendiri Membersihkan dan bakar 15 hari , ,- Dilakukan sendiri Menggali lubang buah 1.000, ,- Sendiri/Buruh Upahan Menanam btg 1.000, ,- Dilakukan sendiri Bibit btg 1.500, ,- Sendiri/Beli Ongkos bawa bibit , ,- Sendiri/Buruh Upahan Jumlah ,- Sumber data : Wawancara dengan Informan Kunci Hal lain yang membuat penguasaan sumberdaya agraria mendorong terjadinya polarisasi struktur sosial masyarakat agraris adalah semakin rendahnya akses petani miskin terhadap cadangan sumberdaya agraria baru (lahan hutan). Hal ini terjadi karena beberapa hal berikut : 1) letak sumberdaya agraria baru (lahan kosong) semakin jauh dari pemukiman petani, 2) persediaan cadangan sumber-daya agraria semakin terbatas sehingga terjadi persaingan dalam mendapatkannya, 3) program pemerintah bias kepada petani lapisan kaya dan atau lapisan petani sedang, dan 4) biaya pembangunan kebun semakin mahal. Bila seluruh input produksi dibeli (termasuk bibit) maka modal finansial yang diperlukan petani untuk membangun kebun tahun pertama sebesar Rp (Tabel 7.6.). Akan tetapi, bila petani sudah mempunyai penghasilan untuk biaya hidup selama membangun kebun dan sebagian pekerjaan dilakukan oleh anggota keluarganya, maka jumlah modal finansial yang mereka perlukan pada tahun pertama pembangunan kebun kakao hanya setengahnya (Rp ,-) 176

15 Dengan berlakunya pemilikan individual yang diperkuat status hukum formal (surat keterangan yang dikeluarkan pemerintahan desa), maka semakin banyak orang kaya yang menguasai lahan untuk investasi masa depan tetapi mereka seringkali tidak langsung mengusahakannya. Ketentuan aturan lama (aturan adat) maupun aturan baru (UU Pokok Agraria) yang menetapkan bahwa lahan kosong yang dalam kurun waktu tertentu (tiga tahun) tidak diusahakan dapat diusahakan petani lain ternyata dalam implementasinya di lapangan tidak lagi diterapkan secara sunguh-sungguh. Bersamaan dengan itu, program pemerintah dalam pembangunan kebun baru sengaja atau tidak sengaja umumnya tidak memberikan prioritas kepada para petani tak berlahan atau petani berlahan sempit. Realitas ini lebih menonjol terjadi di desa-desa kasus di Sulawesi Tengah. Selain itu, realitas dimaksud terutama berkaitan dengan beberapa praktek berikut : Para elit lokal cenderung memilih peserta program pembangunan kebun yang mempunyai hubungan sosial dekat (umumnya yang memiliki hubungan kerabat dan/atau kolega), Syarat peserta program masih diskriminatif, misalnya para petani harus memiliki sertifikat lahan. Padahal pembuatan sertifikat lahan memerlukan biaya yang cukup besar, sehingga hal tersebut umumnya hanya dapat dipenuhi oleh para petani yang tergolong petani kaya, Lahan semakin jauh dari pemukiman sehingga bila petani miskin (umumnya penggarap dan/atau buruh tani) ikut sebagai peserta program pembangunan kebun, maka mereka tidak dapat bekerja untuk mendapatkan penghasilan yang diperlukan guna memenuhi biaya hidup keluarganya. Oleh sebab itu, banyak petani miskin yang tidak mau ikut menjadi peserta program tersebut. Meskipun realitas struktur sosial masyarakat agraris saat ini masih cenderung berada dalam bentuk yang terstratifikasi, tetapi dengan menggunakan alat analisa (statistik) gini ratio dapat ditunjukkan bahwa ketimpangan dalam pemilikan sumberdaya agraria di dalam komunitas petani kasus sudah mulai nampak (Tabel 7.7). Realitas ketimpangan pemilikan sumberdaya agraria tersebut umumnya semakin besar bila analisa gini ratio dilakukan pada pemilikan 177

16 sumberdaya agraria produktif, yaitu sumberdaya agraria yang sudah menghasilkan (berproduksi). Tingginya angka ketimpangan penguasaan sumberdaya agraria berlangsung sejalan dengan adanya proses-proses penguasaan sumberdaya agraria yang memberi jalan pada struktur sosial masyarakat agraris yang terpolarisasi. Tabel 7.7. Analisa Gini Ratio Terhadap Luas Pemilikan Sumberdaya Agraria, Desa Tondo Jono Oge Cot Baroh Ulee Gunong Sumberdaya Agraria Total Sumberdaya Agraria Produktif 0,44 0,59 M T 0,69 0,71 T T 0,57 0,42 T M 0,32 0,55 R T Keterangan : Nilai Gini Ratio < 0,4 = R = Ketimpangan Rendah, 0,4 0,5 = M = Ketimpangan Moderat, dan > 0,5 = T= Ketimpangan Tinggi Sumber data: Diolah dari Data Sensus Rumahtangga Melalui Diskusi dengan Informan Kunci Dalam hal pemilikan sumberdaya agraria total, ketimpangan yang termasuk kategori tinggi terjadi pada komunitas petani di Desa Jono Oge dan pada komunitas di Desa Cot Baroh. Bahkan ketimpangan paling tinggi terjadi pada komunitas petani di Desa Jono Oge yang berlatarbelakang etnis pendatang Bugis. Pada komunitas petani di Desa Tondo ketimpangan pemilikan sumberdaya agraria total masih termasuk kategori moderat dan pada komunitas petani di Desa Ulee Gunong ketimpangan pemilikan sumberdaya agraria total masih termasuk dalam kategori rendah. Lebih lanjut bila analisa gini ratio dilakukan hanya terhadap sumberdaya agraria produktif, ternyata ketimpangan pemilikan sumberdaya agraria pada komunitas petani di Desa Jono Oge, di Desa Tondo, dan di Desa Ulee Gunong lebih tinggi dibanding ketimpangan pada pemilikan sumberdaya agraria total, dan 178

17 kategori ketimpangan penguasaan sumberdaya agraria di ketiga desa dimaksud berada dalam kategori ketimpangan tinggi. Realitas tersebut terjadi karena banyak petani pemilik kebun yang tanamannya sudah rusak sehingga kebun tersebut tidak lagi berproduksi. Sementara itu, pada komunitas petani di Desa Cot Baroh/ Tunong, ketimpangan pemilikan sumberdaya agraria produktif lebih rendah dibanding ketimpangan pemilikan sumberdaya agraria total. Realitas tersebut muncul karena di desa Cot Baroh/Tunong luas sumberdaya agraria kebun kakao yang baru dibangun (belum produktif) cukup besar tetapi distribusinya relatif kurang merata sehingga berperan kuat dalam meningkatkan ketimpangan pemilikan sumberdaya agraria dalam komunitas petani tersebut Peranan Program Pemerintah dan Lembaga Lokal dalam Diferensiasi Sosial Masyarakat Agraris Peranan Program Pemerintah dalam Diferensiasi Sosial Masyarakat Agraris Program-program pembangunan perkebunan kakao yang dilaksanakan di Indonesia, termasuk di kedua propinsi lokasi penelitian (Sulawesi Tengah dan Nangroe Aceh Darussalam), merupakan program yang pelaksanaanya dimasukkan ke dalam komunitas petani dan ditujukan seluruhnya untuk anggota komunitas petani. Oleh sebab itu, penentuan peserta program selain dipengaruhi pihak luar juga sangat diwarnai oleh kekuatan-kekuatan yang ada pada tingkat komunitas petani. Kebijakan yang diacu oleh komunitas petani akan menentukan apakah kesempatan menjadi peserta pembangunan kebun akan terdistribusi secara merata atau tidak. Akan tetapi, pada umumnya fasilitasi program pemerintah sangat kecil dibanding kebutuhan masyarakat, sehingga jumlah warga komunitas yang dapat difasilitasi hanya sekitar 20 % - 30 %. Selain itu, besar fasilitasi umumnya hanya cukup untuk membangun kebun dengan luas lahan per petani yang relatif sempit. Di pihak lain, data statistik perkebunan yang dikeluarkan Direktorat Jenderal Perkebunan pada Tahun 2004 menunjukkan bahwa tingkat kemandirian masyarakat dalam membangun kebun kakao sangat tinggi. Hal ini terjadi baik di Propinsi Sulawesi Tengah maupun di Propinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD). Di kedua propinsi tersebut, sebagian besar kebun kakao dibangun para petani tanpa fasilitasi program pemerintah. Bahkan di Propinsi Sulawesi Tengah, yang 179

18 kondisi keamanannya sangat kondusif, nampak bahwa pembangunan kebun kakao yang sepenuhnya merupakan hasil swadaya masyarakat berlangsung sangat pesat, meskipun fasilitasi program pemerintah di wilayah tersebut sangat sedikit. Oleh sebab itu, pada tahun 1999 kebun kakao di Propinsi Sulawesi Tengah yang dibangun oleh para petani secara swadaya (tanpa fasilitasi pihak lain, terutama pemerintah) mencapai 97 % dari total perkebunan kakao rakyat yang ada di propinsi tersebut (Gambar 7.2.). Meskipun perkembangannya tidak sepesat sebagaimana terjadi di Propinsi Sulawesi Tengah, di Propinsi Nangroe Aceh Darussalam pun pada tahun 1999 pengembangan kebun kakao yang dibangun oleh para petani secara swadaya mencapai 96 % dari total perkebunan kakao rakyat yang ada di propinsi tersebut (Gambar 7.3.). Namun demikian, di kedua propinsi tersebut kondisi kebun yang dibangun masyarakat secara swadaya umumnya kurang baik, sehingga produktivitasnya jauh lebih rendah dibanding kebun yang dibangun dengan fasilitasi program pemerintah. 80,000 70,000 60,000 50,000 40,000 30,000 20,000 10, Berbantuan sw adaya murni Total Gambar 7.2. Perkembangan Perkebunan Kakao Rakyat di Sulawesi Tengah Berdasarkan Pola Pengembangan (ha) (Sumber Data : Statistik Perkebunan (Ditjenbun, 2004)) 180

19 80,000 70,000 60,000 50,000 40,000 30,000 20,000 10, Berbantuan sw adaya murni Total Gambar 7.3. Perkembangan Perkebunan Kakao Rakyat di Nangroe Aceh Darussalam Berdasarkan Pola Pengembangan (ha), 2007 (Sumber Data : Statistik Perkebunan (Ditjenbun, 2004)) Tidak berbeda dengan gambaran makro diatas, hasil pengamatan di dalam komunitas petani kasus menunjukkan hal yang sama, dimana sebagian besar kebun kakao dibangun dengan upaya swadaya petani (tanpa bantuan/fasilitasi pihak luar desa). Di tiga desa kasus yang pernah dan/atau sedang ada program pemerintah pun proporsi kebun kakao yang dibangun melalui fasilitasi program pemerintah hanya sekitar 20 %, sedangkan sebagian besar kebun kakao lainnya dibangun secara swadaya, baik oleh petani yang pernah menjadi peserta program pemerintah maupun petani lainnya yang tidak pernah menjadi peserta program pemerintah. Misalnya pada program pembangunan kebun baru di Desa Cot Baroh/Tunong, jumlah warga komunitas yang menjadi peserta program hanya 57 petani atau hanya 28 % dari seluruh warga komunitas. Selain itu, luas lahan sebagian besar petani yang mendapat fasilitas program pembangunan kebun hanya setengah hektar (Tabel 7.8.). 181

20 Tabel 7.8. Distribusi Luas Lahan Peserta Program Pembangunan Kebun Baru di Desa Cot Baroh/Tunong, 2007 Luas Kebun (ha) Jumlah Peserta N % Jumlah Luas Kebun (ha) Jumlah Sumber data: Diolah dari Data Kelompok Tani Sebenarnya di desa Ulee Gunong, pernah ada bantuan pemerintah tetapi bukan untuk pengembangan tanaman kakao. Pada awal tahun 80 an para petani di desa ini pernah menerima bantuan bibit kopi sebanyak 800 pohon per petani. Jika dihitung berdasarkan kebutuhan tanaman kopi untuk luasan lahan 1 ha, maka jumlah bantuan bibit tersebut dapat memenuhi kebutuhan 0.5 ha lahan. Bibit tersebut diberikan oleh pemerintah melalui Dinas Perkebunan Tingkat II Kabupaten Pidie. Akan tetapi, akibat kematian pada saat penanaman serta adanya serangan hama penyakit, tanaman kopi yang bibitnya berasal dari bantuan tersebut hampir tidak ada lagi. Meskipun nama program yang pernah/sedang ada di lokasi desa penelitian berbeda (Tabel 7.9.), tetapi pola fasilitasi yang diberikan pemerintah di ketiga desa kasus realtif sama. Seacara substansial, kedua program tersebut, baik P2WK (Pengembangan Perkebunan di Wilayah Khusus) yang dilaksanakan di Desa Jono Oge dan Desa Tondo maupun Perluasan Kebun di Desa Cot Baroh/Tunong merupakan Program Berbantuan Parsial. Dalam program tersebut pemerintah atau pihak luar lainnya memberikan bantuan bahan tanam dan input produksi lain (pupuk, obat-obatan) serta sebagian biaya tenaga kerja untuk memenuhi kebutuhan pemeliharaan tanaman sampai dengan umur tanaman satu tahun di lapangan (Tabel 7.10.). Setelah itu, seluruh biaya untuk memelihara tanaman sampai tanaman tersebut menghasilkan menjadi tanggungan petani. 182

21 Tabel 7.9. Fasilitasi Pemerintah Melalui Program Pengembangan Perkebunan, 2007 Desa Desa Tondo Desa Jono Oge Desa Cot Baroh/ Tunong Desa Ulee Gunong Ada Program Program Pengembangan Perkebunan Berbantuan/Parsial/P2WK (Biaya APBN, 1990) Berbantuan/Parsial/P2WK (Biaya APBN, 1990) Sumber Informasi : Diolah dari berbagai sumber Penghijauan Kehutanan Petani Mendapat Bibit Kakao Tidak Unggul (APBD Tingkat II, 2000) Proyek Pengembangan Perkebunan Rakyat (APBD Tingkat II, 2004) Berbantuan/Parsial/Perluasan Kebun (Biaya Grant ADB, 2006) Tabel Intervensi Pemerintah dalam Pola Berbantuan/Parsial, 2007 Intervensi Pemerintah Penyediaan Lahan Penyediaan Input Lain Pengolahan dan Pemasaran Berbantuan/Parsial Sepenuhnya inisiatif dan kemampuan petani secara individual/kelompok (peranan elit lokal tingkat desa dalam pengaturan pemilihan lahan dan petani peserta sangat besar) Pemerintah menyediakan input untuk penanaman dan pemeliharaan selama 1 tahun. Selanjutnya, penyediaan input tergantung inisiatif dan kemampuan petani Sepenuhnya inisiatif dan kemampuan petani Sumber Informasi : Diolah dari berbagai sumber Swadaya Tidak Ada Program Swadaya Murni Murni Sepenuhnya inisiatif dan kemampuan petani secara individual/kelompok (peranan elit lokal tingkat desa dalam pengaturan pemilihan lahan dan petani peserta tidak terlalu besar) Sepenuhnya inisiatif dan kemampuan petani Sepenuhnya inisiatif dan kemampuan petani 183

22 Bagi para petani peserta, adanya program-program tersebut telah memberikan manfaat meningkatkan kemampuan mereka dalam penguasaan input produksi dan keterampilan baru, sehingga mereka dapat memperluas kebun miliknya. Sementara itu, bagi anggota komunitas petani yang tidak menjadi peserta program, adanya program-program tersebut juga telah memberikan manfaat paling tidak dalam 3 (tiga) hal berikut : 1) meningkatkan keterampilan dengan cara belajar langsung (meniru) dari petani peserta, 2) mendapatkan kebun contoh sehingga keberhasilan kebun contoh dapat mendorong minat petani lain untuk melakukan hal yang sama sebagaimana dilakukan petani peserta program, 3) menjadi sumber bahan tanam bagi kebun/petani lain sehingga mereka dapt membangun sendiri kebun miliknya. Umumnya biji kakao yang diperlukan sebagai bahan tanam dapat diminta dari kebun produksi petani lain. Kesempatan tersebut dapat mengurangi kesenjangan yang terjadi antara petani peserta yang difasilitasi program pemerintah dengan petani lain yang tidak difasilitasi program tersebut. Tabel Petani Peserta Proyek (ADB) Pengembangan Kebun Kakao di Desa Cot Baroh/Tunong, 2007 Kriteria N Peserta Proyek Status Penguasaan Lahan % dari Peserta % dari n Pemilik ,0 23,5 Pemilik + Penggarap ,0 22,6 Pemilik + Penggarap + BT ,0 18,2 Pemilik + BT ,5 27,3 Penggarap ,0 18,8 BT 8 1 2,5 12,5 Total (N) ,0 21,9 Tingkat Kesejahteraan Petani Miskin ,5 22,0 Sedang ,5 17,3 Kaya ,0 50,0 Total (N) ,0 21,9 Sumber data : Sensus Rumahtangga Melalui Diskusi dengan Informan Kunci 184

23 Sebagaimana terjadi di desa Cot Baroh/Tunong, meskipun para petani pemilik (luas) masih mendapat kesempatan lebih besar untuk menjadi peserta program pembangunan kakao yang difasilitasi program pemerintah tetapi para petani tanpa lahan atau tunakisma (penggarap dan buruh tani) serta para petani yang memiliki lahan sempit tidak ditinggalkan (Tabel 7.11.). Data pada Tabel menunjukkan bahwa proporsi para petani miskin yang ikut serta dalam program pemerintah masih merupakan bagian terbesar. Kondisi ini jauh lebih baik dibanding program-program pemerintah yang hanya memberikan kesempatan kepada perusahaan besar untuk mengambil lahan di desa dan menjadikan masyarakat desa hanya sebagai buruh tani Peranan Lembaga Lokal dalam Diferensiasi Sosial Masyarakat Agraris Di semua komunitas petani kasus terdapat beragam kelembagaan lokal yang secara langsung berperan dalam proses distribusi penguasaan sumberdaya agraria, dan lebih lanjut proses tersebut akan mempengaruhi proses diferensiasi sosial masyarakat agraris (Tabel 7.12). Peranan kelembagaan lokal tersebut dapat terjadi sejak tahap pencarian sumberdaya agraria yang cocok untuk pembangunan kebun, distribusi sumberdaya agraria di antara anggota komunitas, proses pembangunan kebun/pencetakan sawah, sampai tahap pengusahaan/pengelolaan kebun/sawah 112. Akan tetapi, akhir-akhir ini peranan kelembagaan lokal pada seluruh tahapan tersebut semakin berkurang, terutama sejak diberlakukannya Undang Undang Pemerintahan Desa Nomor 5 Tahun Sejak saat itu, peranan Kepala Desa semakin menggantikan peranan para pemimpin lokal. 112 Sebagaimana dikemukakan Humairah Sabri dan Aminuddin (1992), di Sulawesi Tengah, di masa lalu, Izin membuka tanah diperoleh dari Kepala Adat sebagai penguasa tanah (bukan pemilik tanah). Dalam hal memperoleh hak milik atas tanah melalui cara membuka tanah, maka Ketua Adat berperan dalam mengawal implementasi ketentuan hukum adat yang menetapkan syarat berikut : harus memperoleh izin dari ketua adat, tanah/hutan yang dibuka harus diolah/digarap secara terus menerus, mereka yang membuka tanah harus menanami tanaman keras/tanaman tahunan, tanah/hutan yang dibuka belum pernah ditandai orang lain, dan tanah yang dibuka harus diberi tanda (patok) untuk menunjukkan batas dan luasnya tanah. Bilamana patok dan tanaman diatasnya hilang maka pemilik tanah dapat kehilangan hak atas tanahnya. Demikian halnya bila tanah tersebut ditelantarkan selama 5 tahun maka hak pemilikannya gugur dan dapat diganti petani lain. Dalam hukum adat ini masih dimungkinkan adanya tanaman yang menumpang di atas tanah orang lain (Pada suku Kaili di Donggala disebut tana niinda ). 185

24 Tabel Kelembagaan Lokal yang Berkaitan dengan Penguasaan Sumberdaya Agraria, Desa Sulawesi Tengah Kebun Kelembagaan Lokal Sawah Desa Tondo Ketua Adat Ketua Adat Desa Jono Oge Ketua Adat Ketua Adat, Ketua Kelompok Tani Nangroe Aceh Darussalam Desa Cot Baroh/ Tunong Desa Ulee Gunong Peutua Senuebok Imum Mukim Peutua Seneubok Imum Mukim Sumber Informasi : Diskusi dengan Informan Kunci - Kejruen Blang Menurunnya peran Ketua Adat yang digantikan Kepala Desa 113 dalam pengaturan penguasaan sumberdaya agraria sangat menonjol dalam komunitas petani kasus di Sulawesi Tengah (Desa Jono Oge dan Desa Tondo). Bahkan di kedua komunitas tersebut, pengaturan distribusi penguasaan sumberdaya agraria (lahan) sudah sepenuhnya berada di tangan Kepala Desa yang didukung perangkat pemerintah di atasnya 114. Sebenarnya, di Desa Tondo maupun Desa Jono Oge masih terdapat seseorang yang dipilih langsung masya-rakat sebagai Ketua Adat tetapi posisi ketua adat berada dibawah kepala desa (walaupun tidak termasuk perangkat desa). Pada saat penelitian berlangsung, peranan Ketua Adat lebih banyak berlangsung pada kegiatan upacara adat (seperti perkawinan) serta penyelesaiaan konflik rumahtangga (konflik suami istri). Pada aktivitas usaha pertanian kadang-kadang Ketua Adat diminta peranannya dalam hal-hal berikut : proses pewarisan lahan, penyelesaian sengketa lahan, dan penyelesaian sengketa antara 113 Fenomena tersebut sama dengan yang dikemukakan Adimiharja (1999) bawa setelah adanya UU No 5 Tahun 1979 tentang pemerintahan desa, peranan ketua adat digantikan oleh kepala desa. Keadaan tersebut menyebabkan disfungsinya pemerintahan adat dan kemudian menyebabkan split personality di kalangan masyarakat 114 Permintaan izin kepada Kepala Desa untuk lahan yang luasnya hanya dua ha, bila luas lahan yang diminta lebih dari 2 ha 5 ha permintaan izin harus diajukan kepada Camat, dan bila lebih dari lima ha permintaan idzin harus diajukan kepada Bupati 186

25 pemilik ternak dan pemilik kebun/sawah (bila terdapat ternak yang merusak kebun/sawah). Namun demikian, pada saat ini untuk hal-hal tersebut pun masyarakat lebih banyak meminta fasilitasi/mediasi dari Kepala Desa. Kemudian, dalam menjalankan koordinasi pengelolaan usahatani sawah (pembersihan saluran air, penetapan waktu tanam), di Desa Jono Oge lebih banyak dilakukan oleh ketua kelompok tani. Berbeda dengan di Sulawesi Tengah, dalam komunitas petani kasus di Nangroe Aceh Darussalam (Desa Ulee Gunong dan Desa Cot Baroh/Tunong) peranan Kepala Desa yang dijalankan oleh seorang Keucik 115. masih relatif berimbang dengan peranan pemimpin lokal lainnya seperti Peteua Seneubok dan Imum Mukim. Permintaan idzin melalui Keucik hanya dominan manakala pembangunan kebun difasilitasi oleh program pemerintah, sedangkan peranan Peutua Seneubok akan dominan pada saat penguasaan lahan ditempuh melalui mekanisme ganti rugi atas lahan petani lain (anggota seneubok) atau pembukaan lahan baru sekitar lahan yang sudah dibuka kelompok yang dipimpin Peutua Seneubok. Kemudian, peranan Imam Mukim akan dominan bilamana pembukaan lahan baru berada pada wilayah beberapa desa. Dalam proses pembangunan kebun, kelembagaan lokal Seneubok yang diketuai oleh Peutua Seneubok tidak hanya berperan dalam mendistribusikan lahan tetapi juga dalam melakukan koordinasi kegiatan yang mengupayakan agar lahan tersebut dapat diusahakan secara produktif. Dalam hal ini, Peutua Seneubok akan melakukan koordinasi aktivitas teknis (pencarian dan pembukaan lahan, pemagaran, penetapan musim tanam yang tepat) maupun aktivitas upacara adat (kenduri). Akan tetapi, peranan Peutua Seneubok umumnya sangat berkurang setelah kebun menghasilkan karena kegiatan yang perlu dilakukan bersama (di antara petani) tidak ada lagi. Pada saat itu, peranan Peutua Seneubok hanya memimpin upacara adat (kenduri) yang dilakukan sekali/tahun. Pada kegiatan pembangunan kebun yang mendapat fasilitasi pemerintah, nama Peutua Seneubok 115 Keuchik adalah Kepala Gampong (setara Kepala Desa) yang dipilih secara langsung oleh masyarakat untuk masa jabatan enam tahun. Ketua Mukim adalah seorang pemimpin yang berperan sebagai koordinator beberapa desa. Peutua Seneubok adalah orang yang ditunjuk anggotanya dalam memimpin pembukaan hutan dan/atau pembangunan kebun. 187

26 akan berubah menjadi Ketua Kelompok Tani, tetapi umumnya diperankan oleh orang yang sama. Dalam proses penyiapan lahan untuk tanaman perkebunan, Peutua Seneubok bersama dengan beberapa petani lain akan mencari lokasi yang dianggap baik. Lahan yang dipilih pertama adalah yang memiliki kriteria berikut : Diutamakan tanah bekas orang tua menanam padi ladang karena orang tua mereka hidup sebagai peladang berpindah (dengan siklus tiga tahun). Lahan yang dibuka bukan tempat yang terlalu miring tetapi agak miring dan menghadap ke timur (menghadap matahari terbit). Bila tanah tersebut terlalu miring musim buahnya lebih pendek Setelah itu, Peutua Seneubok beserta para petani perintis lainnya mengumpulkan sekitar 10 orang petani yang berminat membuka kebun. Pembukan kebun diawali dengan kenduri yang oleh penduduk lokal disebut kenduri Peusejuk Parang. Dalam kenduri disediakan nasi ketan, kelapa pakai gula (buluka). Tujuan utama melaksanakan kenduri adalah memohon doa bersama supaya dalam melaksanakan usahatani terhindar dari berbagai gangguan, termasuk gangguan hama dan penyakit tanaman. Dalam kenduri buka kebun biasanya dibacakan doa sebagai berikut : Weh kamou menjak minta rezeki bek na soe ganggu-ganggu, mudah-mudahan kamou nayre bermudah rezeki pemberi le Allah yang artinya Kalau kamu mengharapkan rezeki janganlah mengganggu kami, mudah-mudahan kamu mendapat rezeki dari Allah. Pembangunan kebun pada umumnya dilakukan secara berkelompok (dalam waktu bersamaan) tetapi sebagian besar pekerjaan dilakukan oleh masing-masing keluarga inti. Hanya pekerjaan tertentu yang dikerjakan secara tolong menolong (pertukaran tenaga) misalnya menebang kayu besar dan menggali lubang (untuk tanam coklat). Pembukaan kebun secara berkelompok menjadi pilihan petani mengingat : di hutan masih banyak binatang buas, jika terjadi kecelakaan ada yang menolong, mengawasi/menengok kebun secara bergantian, membuat pagar bersama lebih murah, ada saksi kepemilikan kebun Sementara itu, dalam usaha pertanian padi sawah, kelembagaan lokal yang berperanan adalah Kejruen Blang yang diketuai oleh Peutua Kejruen Blang. 188

BAB X KESIMPULAN DAN IMPLIKASI

BAB X KESIMPULAN DAN IMPLIKASI BAB X KESIMPULAN DAN IMPLIKASI 10.1. Kesimpulan Dalam cakupan masa kontemporer, menguatnya pengaruh kapitalisme terhadap komunitas petani di empat lokasi penelitian dimulai sejak terjadinya perubahan praktek

Lebih terperinci

ABSTRACT. Key words : agricultural production system, agrarian structure, social structure, peasant community, cocoa ABSTRAK

ABSTRACT. Key words : agricultural production system, agrarian structure, social structure, peasant community, cocoa ABSTRAK TRANSFORMASI SISTEM PRODUKSI PERTANIAN DAN STRUKTUR AGRARIA SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP DIFERENSIASI SOSIAL DALAM KOMUNITAS PETANI (Studi Kasus Pada Empat Komunitas Petani Kakao di Provinsi Sulawesi Tengah

Lebih terperinci

BAB V PERKEMBANGAN SISTEM PERTANIAN DI EMPAT KOMUNITAS PETANI KASUS

BAB V PERKEMBANGAN SISTEM PERTANIAN DI EMPAT KOMUNITAS PETANI KASUS BAB V PERKEMBANGAN SISTEM PERTANIAN DI EMPAT KOMUNITAS PETANI KASUS 5.1. Perkembangan Pertanian Menetap Padi Sawah dan Tanaman Perkebunan di Empat Komunitas Petani Kasus Di semua desa kasus, baik di Sulawesi

Lebih terperinci

Reforma Agraria Di Bidang Pertanian : Studi Kasus Perubahan Struktur Agraria dan Diferensiasi Kesejahteraan Komunitas Pekebun di Lebak, Banten 1

Reforma Agraria Di Bidang Pertanian : Studi Kasus Perubahan Struktur Agraria dan Diferensiasi Kesejahteraan Komunitas Pekebun di Lebak, Banten 1 ISSN : 1978-4333, Vol. 03, No. 01 1 Reforma Agraria Di Bidang Pertanian : Studi Kasus Perubahan Struktur Agraria dan Diferensiasi Kesejahteraan Komunitas Pekebun di Lebak, Banten 1 Martua Sihaloho, Heru

Lebih terperinci

STRUKTUR DAN DISTRIBUSI PENDAPATAN DI PEDESAAN SUMATERA BARAT

STRUKTUR DAN DISTRIBUSI PENDAPATAN DI PEDESAAN SUMATERA BARAT STRUKTUR DAN DISTRIBUSI PENDAPATAN DI PEDESAAN SUMATERA BARAT Oleh: Mewa Arifin dan Yuni Marisa') Abstrak Membicarakan masalah kemiskinan, baik langsung maupun tidak langsung, berarti membicarakan distribusi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menyebabkan terjadinya perubahan struktur penguasaan lahan pertanian, pola

I. PENDAHULUAN. menyebabkan terjadinya perubahan struktur penguasaan lahan pertanian, pola 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Proses pelaksanaan pembangunan, dalam jangka menengah dan panjang menyebabkan terjadinya perubahan struktur penguasaan lahan pertanian, pola hubungan kerja dan stuktur

Lebih terperinci

U. Fadjar 1), M.T.F Sitorus 2), A.H. Dharmawan 2), dan S.M.P. Tjondronegoro 3) Ringkasan

U. Fadjar 1), M.T.F Sitorus 2), A.H. Dharmawan 2), dan S.M.P. Tjondronegoro 3) Ringkasan Pelita Bentuk Perkebunan struktur sosial 2008, komunitas 24 (3), 219 petani 240dan implikasinya terhadap diferensiasi kesejahteraan. Studi kasus pada komunitas petani kakao di sulawesi tengah dan nangroe

Lebih terperinci

BAB VI HUBUNGAN FAKTOR-FAKTOR PENGUASAAN LAHAN TERHADAP TINGKAT PENGUASAAN LAHAN

BAB VI HUBUNGAN FAKTOR-FAKTOR PENGUASAAN LAHAN TERHADAP TINGKAT PENGUASAAN LAHAN 51 BAB VI HUBUNGAN FAKTOR-FAKTOR PENGUASAAN LAHAN TERHADAP TINGKAT PENGUASAAN LAHAN 6.1 Keragaman Penguasaan Lahan Penguasaan lahan menunjukkan istilah yang perlu diberi batasan yaitu penguasaan dan tanah.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkebunan kakao di Indonesia telah menjadi tumpuan masyarakat yang tinggal di pedesaan dalam memenuhi kelangsungan hidup (survival) dan membuat kehidupan yang lebih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang artinya bahwa pertanian memegang peranan penting dari keseluruhan perekonomian nasional. Hal ini dapat ditunjukkan dari banyaknya

Lebih terperinci

RINGKASAN. sistem kekerabatan dan segala aspek yang berkenaan dengan relasi gender dalam. pemilikan dan penguasaan sumberdaya agraria.

RINGKASAN. sistem kekerabatan dan segala aspek yang berkenaan dengan relasi gender dalam. pemilikan dan penguasaan sumberdaya agraria. RINGKASAN FEBRI SASTIVIANI PUTRI CANTIKA. RELASI GENDER DALAM PEMILIKAN DAN PENGUASAAN SUMBERDAYA AGRARIA. Kasus pada Rumahtangga Petani Desa Cipeuteuy, Kecamatan Kabandungan, Kabupaten Sukabumi, Propinsi

Lebih terperinci

RELASI GENDER DALAM PEMILIKAN DAN PENGUASAAN SUMBERDAYA AGRARIA

RELASI GENDER DALAM PEMILIKAN DAN PENGUASAAN SUMBERDAYA AGRARIA RELASI GENDER DALAM PEMILIKAN DAN PENGUASAAN SUMBERDAYA AGRARIA (Kasus pada Rumahtangga Petani Desa Cipeuteuy Kecamatan Kabandungan Kabupaten Sukabumi Propinsi Jawa Barat) Oleh FEBRI SATIVIANI PUTRI CANTIKA

Lebih terperinci

DISTRIBUSI PEMILIKAN DAN PENGUSAHAAN TANAH DI SUMATERA BARAT *

DISTRIBUSI PEMILIKAN DAN PENGUSAHAAN TANAH DI SUMATERA BARAT * DISTRIBUSI PEMILIKAN DAN PENGUSAHAAN TANAH DI SUMATERA BARAT * Oleh : Aladin Nasution DISTRIBUSI PEMILIKAN TANAH PERTANIAN Pemilikan tanah mempunyai arti penting bagi masyarakat pedesaan karena merupakan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Bagi negara-negara yang sedang berkembang, termasuk Indonesia, pembangunan pertanian pada abad ke-21 selain bertujuan untuk mengembangkan sistem pertanian yang berkelanjutan

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2008 KONSORSIUM PENELITIAN: KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PETANI PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2008 KONSORSIUM PENELITIAN: KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PETANI PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2008 KONSORSIUM PENELITIAN: KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PETANI PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM ARAH PERUBAHAN PENGUASAAN LAHAN DAN TENAGA KERJA PERTANIAN Oleh : Sri H. Susilowati

Lebih terperinci

Ringkasan. 1. Pendahuluan. Undang Fadjar 2, M.T. Felix Sitorus 3, Arya Hadi Dharmawan 4, S.M.P. Tjondronegoro 5

Ringkasan. 1. Pendahuluan. Undang Fadjar 2, M.T. Felix Sitorus 3, Arya Hadi Dharmawan 4, S.M.P. Tjondronegoro 5 ISSN : 1978-4333, Vol. 02, No. 02 1 Perubahan Sistem Pertanian dan Munculnya Strategi Amphibian dalam Praktek Moda Produksi 1 (Studi Kasus pada Empat Komunitas Petani Kakao di Propinsi Sulawesi Tengah

Lebih terperinci

BAB V POLA PENGUASAAN LAHAN DAN FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENGUASAAN LAHAN

BAB V POLA PENGUASAAN LAHAN DAN FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENGUASAAN LAHAN 39 BAB V POLA PENGUASAAN LAHAN DAN FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENGUASAAN LAHAN 5.1 Penguasaan Lahan Pertanian Lahan pertanian memiliki manfaat yang cukup besar dilihat dari segi ekonomi, sosial dan lingkungan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penguasaan dan Pengusahaan Lahan Pola Penguasaan Tanah dan Reforma Agraria

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penguasaan dan Pengusahaan Lahan Pola Penguasaan Tanah dan Reforma Agraria II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penguasaan dan Pengusahaan Lahan Menurut Wiradi (2008) dalam tulisannya tentang Pola Penguasaan Tanah dan Reforma Agraria, istilah land tenure dan land tenancy sebenarnya merupakan

Lebih terperinci

V. DESKRIPSI RUMAHTANGGA PETANI TANAMAN PANGAN. Pada bagian ini akan disajikan secara singkat deskripsi statistik kondisi

V. DESKRIPSI RUMAHTANGGA PETANI TANAMAN PANGAN. Pada bagian ini akan disajikan secara singkat deskripsi statistik kondisi 153 V. DESKRIPSI RUMAHTANGGA PETANI TANAMAN PANGAN Pada bagian ini akan disajikan secara singkat deskripsi statistik kondisi rumahtangga pertanian yang menjadi objek penelitian ini. Variabel-variabel yang

Lebih terperinci

BAB II PENDEKATAN TEORITIS

BAB II PENDEKATAN TEORITIS 6 BAB II 2.1 Tinjauan Pustaka PENDEKATAN TEORITIS 2.1.1 Konsep Perkebunan Perkebunan adalah salah satu subsektor pertanian non pangan yang tidak asing di Indonesia. Pengertian perkebunan 2 dalam Undang-undang

Lebih terperinci

BAB V STRUKTUR PENGUASAAN TANAH LOKAL

BAB V STRUKTUR PENGUASAAN TANAH LOKAL 38 BAB V STRUKTUR PENGUASAAN TANAH LOKAL 5.1 Pola Pemilikan Lahan Lahan merupakan faktor utama bagi masyarakat pedesaan terutama yang menggantungkan hidupnya dari bidang pertanian. Pada masyarakat pedesaan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian memiliki peranan strategis dalam struktur pembangunan perekonomian nasional. Selain berperan penting dalam pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat, sektor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mendukung statusnya sebagai negara agraris, dengan sebagian besar masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. mendukung statusnya sebagai negara agraris, dengan sebagian besar masyarakat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia adalah negara yang memiliki potensi alam melimpah ruah yang mendukung statusnya sebagai negara agraris, dengan sebagian besar masyarakat bermukim di pedesaan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian memegang peranan penting dalam perekonomian Indonesia karena merupakan tumpuan hidup sebagian besar penduduk Indonesia. Lebih dari setengah angkatan kerja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Meskipun Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi pertanian yang

BAB I PENDAHULUAN. Meskipun Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi pertanian yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Meskipun Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi pertanian yang sangat tinggi, namun belum banyak upaya yang dilakukan untuk mengidentifikasi keberhasilan agribisnis

Lebih terperinci

TRANSFORMASI STRUKTUR AGRARIA DAN DIFERENSIASI SOSIAL PADA KOMUNITAS PETANI

TRANSFORMASI STRUKTUR AGRARIA DAN DIFERENSIASI SOSIAL PADA KOMUNITAS PETANI TRANSFORMASI STRUKTUR AGRARIA DAN DIFERENSIASI SOSIAL PADA KOMUNITAS PETANI (Studi Kasus Pada Empat Komunitas Petani Kakao di Propinsi Sulawesi Tengah dan Nangroe Aceh Darussalam) UNDANG FADJAR SEKOLAH

Lebih terperinci

AGROFORESTRY : SISTEM PENGGUNAAN LAHAN YANG MAMPU MENINGKATKAN PENDAPATAN MASYARAKAT DAN MENJAGA KEBERLANJUTAN

AGROFORESTRY : SISTEM PENGGUNAAN LAHAN YANG MAMPU MENINGKATKAN PENDAPATAN MASYARAKAT DAN MENJAGA KEBERLANJUTAN AGROFORESTRY : SISTEM PENGGUNAAN LAHAN YANG MAMPU MENINGKATKAN PENDAPATAN MASYARAKAT DAN MENJAGA KEBERLANJUTAN Noviana Khususiyah, Subekti Rahayu, dan S. Suyanto World Agroforestry Centre (ICRAF) Southeast

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PANEL PETANI NASIONAL (PATANAS)

LAPORAN AKHIR PANEL PETANI NASIONAL (PATANAS) LAPORAN AKHIR PANEL PETANI NASIONAL (PATANAS) Oleh: A. Rozany Nurmanaf Adimesra Djulin Herman Supriadi Sugiarto Supadi Nur Khoiriyah Agustin Julia Forcina Sinuraya Gelar Satya Budhi PUSAT PENELITIAN DAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Rakyat dan Pengelolaannya Hutan rakyat adalah suatu lapangan yang berada di luar kawasan hutan negara yang bertumbuhan pohon-pohonan sedemikian rupa sehingga secara keseluruhan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS. ilmu tersendiri yang mempunyai manfaat yang besar dan berarti dalam proses

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS. ilmu tersendiri yang mempunyai manfaat yang besar dan berarti dalam proses BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Teori Pembangunan Pertanian Dalam memacu pertumbuhan ekonomi sektor pertanian disebutkan sebagai prasyarat bagi pengembangan dan pertumbuhan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Program transmigrasi di usianya kurang lebih lima puluh tahun memberikan catatan tersendiri perihal keberhasilan dan kegagalannya. Tak dapat dipungkiri bahwa keberhasilan program

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2008 SINTESIS KONSORSIUM PENELITIAN: KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PETANI PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2008 SINTESIS KONSORSIUM PENELITIAN: KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PETANI PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2008 SINTESIS KONSORSIUM PENELITIAN: KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PETANI PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM Oleh : Sumaryanto PUSAT ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Salah satu isu yang muncul menjelang berakhirnya abad ke-20 adalah persoalan gender. Isu tentang gender ini telah menjadi bahasan yang memasuki setiap analisis sosial. Gender

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan jasa menjadi kompetitif, baik untuk memenuhi kebutuhan pasar nasional. kerja bagi rakyatnya secara adil dan berkesinambungan.

I. PENDAHULUAN. dan jasa menjadi kompetitif, baik untuk memenuhi kebutuhan pasar nasional. kerja bagi rakyatnya secara adil dan berkesinambungan. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada masa globalisasi, persaingan antarbangsa semakin ketat. Hanya bangsa yang mampu mengembangkan daya sainglah yang bisa maju dan bertahan. Produksi yang tinggi harus

Lebih terperinci

III KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Konsep Ekonomi 3.1.1. Fungsi Produksi Dalam proses produksi terkandung hubungan antara tingkat penggunaan faktor-faktor produksi dengan produk atau hasil yang akan diperoleh.

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN DAN KERAGAAN EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI. Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) merupakan provinsi yang mempunyai

V. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN DAN KERAGAAN EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI. Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) merupakan provinsi yang mempunyai V. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN DAN KERAGAAN EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI Keadaan Umum Wilayah Penelitian Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) merupakan provinsi yang mempunyai ratio jumlah rumahtangga petani

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, sumber daya alam hayati yang didominasi oleh pepohonan dalam

II. TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, sumber daya alam hayati yang didominasi oleh pepohonan dalam 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Hutan Marga dan Hutan Rakyat 1. Hutan Marga Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. makin maraknya alih fungsi lahan tanaman padi ke tanaman lainnya.

BAB I PENDAHULUAN. makin maraknya alih fungsi lahan tanaman padi ke tanaman lainnya. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan sawah memiliki arti penting, yakni sebagai media aktivitas bercocok tanam guna menghasilkan bahan pangan pokok (khususnya padi) bagi kebutuhan umat manusia.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hutan Rakyat 2.1.1. Pengertian Dalam UU No. 41 tahun 1999, hutan rakyat merupakan jenis hutan yang dikelompokkan ke dalam hutan hak. Hutan hak merupakan hutan yang berada di

Lebih terperinci

Alang-alang dan Manusia

Alang-alang dan Manusia Alang-alang dan Manusia Bab 1 Alang-alang dan Manusia 1.1 Mengapa padang alang-alang perlu direhabilitasi? Alasan yang paling bisa diterima untuk merehabilitasi padang alang-alang adalah agar lahan secara

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka Alih fungsi atau konversi lahan secara umum menyangkut transformasi dalam pengalokasian sumberdaya lahan dari satu penggunaan ke penggunaan lainnya. Alih fungsi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. lebih dari dua pertiga penduduk Propinsi Lampung diserap oleh sektor

I. PENDAHULUAN. lebih dari dua pertiga penduduk Propinsi Lampung diserap oleh sektor I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu sektor andalan perekonomian di Propinsi Lampung adalah pertanian. Kontribusi sektor pertanian terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Propinsi Lampung

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. rumahtangga yang mengusahakan komoditas pertanian. Pendapatan rumahtangga

I. PENDAHULUAN. rumahtangga yang mengusahakan komoditas pertanian. Pendapatan rumahtangga I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pendapatan rumahtangga petani adalah pendapatan yang diterima oleh rumahtangga yang mengusahakan komoditas pertanian. Pendapatan rumahtangga petani dapat berasal dari

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN. usahatani, pendapatan usahatani, dan rasio penerimaan dan biaya (R-C rasio).

III. KERANGKA PEMIKIRAN. usahatani, pendapatan usahatani, dan rasio penerimaan dan biaya (R-C rasio). III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis Kerangka pemikiran teoritis penelitian ini meliputi konsep usahatani, biaya usahatani, pendapatan usahatani, dan rasio penerimaan dan biaya (R-C

Lebih terperinci

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang kaya akan hasil pertanian, kehutanan, perkebunan, peternakan, dan perikanan yang artinya masyarakat banyak yang bermata pencaharian

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM 5.1. Wilayah dan Topografi 5.2. Jumlah Kepala Keluarga (KK) Tani dan Status Penguasaan Lahan di Kelurahan Situmekar

V. GAMBARAN UMUM 5.1. Wilayah dan Topografi 5.2. Jumlah Kepala Keluarga (KK) Tani dan Status Penguasaan Lahan di Kelurahan Situmekar V. GAMBARAN UMUM 5.1. Wilayah dan Topografi Kota Sukabumi terletak pada bagian selatan tengah Jawa Barat pada koordinat 106 0 45 50 Bujur Timur dan 106 0 45 10 Bujur Timur, 6 0 49 29 Lintang Selatan dan

Lebih terperinci

POLICY BRIEF DINAMIKA SOSIAL EKONOMI PERDESAAN DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM

POLICY BRIEF DINAMIKA SOSIAL EKONOMI PERDESAAN DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM POLICY BRIEF DINAMIKA SOSIAL EKONOMI PERDESAAN DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM 2007-2015 Pendahuluan 1. Target utama Kementerian Pertanian adalah mencapai swasembada

Lebih terperinci

KETERKAITAN JENIS SUMBERDAYA LAHAN DENGAN BESAR DAN JENIS PENGELUARAN RUMAH TANGGA DI PEDESAAN LAMPUNG

KETERKAITAN JENIS SUMBERDAYA LAHAN DENGAN BESAR DAN JENIS PENGELUARAN RUMAH TANGGA DI PEDESAAN LAMPUNG KETERKAITAN JENIS SUMBERDAYA LAHAN DENGAN BESAR DAN JENIS PENGELUARAN RUMAH TANGGA DI PEDESAAN LAMPUNG Aladin Nasution*) Abstrak Secara umum tingkat pendapatan dapat mempengaruhi pola konsumsi suatu rumah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Salah satu sasaran pembangunan nasional adalah pertumbuhan ekonomi dengan

I. PENDAHULUAN. Salah satu sasaran pembangunan nasional adalah pertumbuhan ekonomi dengan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu sasaran pembangunan nasional adalah pertumbuhan ekonomi dengan menitikberatkan pada sektor pertanian. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang mempunyai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. melalui perluasan areal menghadapi tantangan besar pada masa akan datang.

I. PENDAHULUAN. melalui perluasan areal menghadapi tantangan besar pada masa akan datang. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Upaya peningkatan produksi tanaman pangan khususnya pada lahan sawah melalui perluasan areal menghadapi tantangan besar pada masa akan datang. Pertambahan jumlah penduduk

Lebih terperinci

Bab I. Pendahuluan. memberikan bantuan permodalan dengan menyalurkan kredit pertanian. Studi ini

Bab I. Pendahuluan. memberikan bantuan permodalan dengan menyalurkan kredit pertanian. Studi ini Bab I Pendahuluan Di setiap negara manapun masalah ketahanan pangan merupakan suatu hal yang sangat penting. Begitu juga di Indonesia, terutama dengan hal yang menyangkut padi sebagai makanan pokok mayoritas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Untuk tingkat produktivitas rata-rata kopi Indonesia saat ini sebesar 792 kg/ha

I. PENDAHULUAN. Untuk tingkat produktivitas rata-rata kopi Indonesia saat ini sebesar 792 kg/ha I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kopi merupakan salah satu komoditas perkebunan tradisional yang mempunyai peran penting dalam perekonomian Indonesia. Peran tersebut antara lain adalah sebagai sumber

Lebih terperinci

1 Universitas Indonesia

1 Universitas Indonesia BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan yang dilaksanakan di Indonesia hingga saat ini belum mampu mensejahterakan seluruh masyarakat Indonesia. Sebagian besar masyarakat masih belum merasakan

Lebih terperinci

SISTEM KELEMBAGAAN HUBUIUGAN KERJA PERTANIAN PAD1 SAWAH DAN PERKEMBANGANNYA DIPEDESAAN KABUPATEN LUMAJANG PROPlNSl JAWA TlMUR

SISTEM KELEMBAGAAN HUBUIUGAN KERJA PERTANIAN PAD1 SAWAH DAN PERKEMBANGANNYA DIPEDESAAN KABUPATEN LUMAJANG PROPlNSl JAWA TlMUR SISTEM KELEMBAGAAN HUBUIUGAN KERJA PERTANIAN PAD1 SAWAH DAN PERKEMBANGANNYA DIPEDESAAN KABUPATEN LUMAJANG PROPlNSl JAWA TlMUR (Kasus Satu Desa ) Oleh MARYUNAIII NRP: 82087 FAKULTAS PASCASARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Teori Usahatani Menurut Soeharjo dan Patong (1973), usahatani adalah proses pengorganisasian faktor-faktor produksi yaitu alam, tenaga kerja, modal dan pengelolaan yang diusahakan

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR Latar Belakang. asasi manusia, sebagaimana tersebut dalam pasal 27 UUD 1945 maupun dalam

BAB I PENGANTAR Latar Belakang. asasi manusia, sebagaimana tersebut dalam pasal 27 UUD 1945 maupun dalam 1 BAB I PENGANTAR 1.1. Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan dasar utama bagi manusia yang harus dipenuhi setiap saat. Hak untuk memperoleh pangan merupakan salah satu hak asasi manusia, sebagaimana

Lebih terperinci

3. Berbagai Pergeseran Pekerjaan Pertanyaan Diskusi

3. Berbagai Pergeseran Pekerjaan Pertanyaan Diskusi SOSIOLOGI PERTANIAN: Pasca Revolusi Hijau di Pedesaan Jawa Timur Lambang Triyono Lab. Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya Email : dl@ub.ac.id Tujuan Pembelajaran

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2006 ANALISIS SISTEM PERBENIHAN KOMODITAS PANGAN DAN PERKEBUNAN UTAMA

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2006 ANALISIS SISTEM PERBENIHAN KOMODITAS PANGAN DAN PERKEBUNAN UTAMA LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2006 ANALISIS SISTEM PERBENIHAN KOMODITAS PANGAN DAN PERKEBUNAN UTAMA Oleh : Bambang Sayaka I Ketut Kariyasa Waluyo Yuni Marisa Tjetjep Nurasa PUSAT ANALISIS SOSIAL EKONOMI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. titik berat pada sektor pertanian. Dalam struktur perekonomian nasional sektor

I. PENDAHULUAN. titik berat pada sektor pertanian. Dalam struktur perekonomian nasional sektor 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sasaran pembangunan nasional diantaranya adalah pertumbuhan ekonomi dengan titik berat pada sektor pertanian. Dalam struktur perekonomian nasional sektor pertanian memiliki

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia hingga saat ini masih tergolong negara yang sedang berkembang dengan tingkat pertumbuhan penduduk yang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia hingga saat ini masih tergolong negara yang sedang berkembang dengan tingkat pertumbuhan penduduk yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia hingga saat ini masih tergolong negara yang sedang berkembang dengan tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi. Selain itu juga Indonesia merupakan negara agraris

Lebih terperinci

BAB VII FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN TINGKAT KEINOVATIFAN PETANI DAN LAJU ADOPSI INOVASI

BAB VII FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN TINGKAT KEINOVATIFAN PETANI DAN LAJU ADOPSI INOVASI BAB VII FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN TINGKAT KEINOVATIFAN PETANI DAN LAJU ADOPSI INOVASI Sebagaimana telah dikemukakan di depan, fokus studi difusi ini adalah pada inovasi budidaya SRI yang diintroduksikan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal memiliki potensi sumberdaya alam yang tinggi dan hal itu telah diakui oleh negara-negara lain di dunia, terutama tentang potensi keanekaragaman hayati

Lebih terperinci

PROPOSAL POTENSI, Tim Peneliti:

PROPOSAL POTENSI, Tim Peneliti: PROPOSAL PENELITIAN TA. 2015 POTENSI, KENDALA DAN PELUANG PENINGKATAN PRODUKSI PADI PADA LAHAN BUKAN SAWAH Tim Peneliti: Bambang Irawan PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Salah satu tujuan pembangunan pertanian di Indonesia adalah

I. PENDAHULUAN. Salah satu tujuan pembangunan pertanian di Indonesia adalah 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Salah satu tujuan pembangunan pertanian di Indonesia adalah pengembangan hortikultura untuk meningkatkan pendapatan petani kecil. Petani kecil yang dimaksud dalam pengembangan

Lebih terperinci

Bab I PENDAHULUAN. memegang peranan penting dari keseluruhan perekonomian nasional.kondisi ini

Bab I PENDAHULUAN. memegang peranan penting dari keseluruhan perekonomian nasional.kondisi ini Bab I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sampai saat ini Indonesia masih merupakan negara petanian, artinya petanian memegang peranan penting dari keseluruhan perekonomian nasional.kondisi ini dapat dibuktikan

Lebih terperinci

Bab IV Alih Fungsi Lahan Pertanian dan Pengaruhnya Terhadap Ketahanan Pangan

Bab IV Alih Fungsi Lahan Pertanian dan Pengaruhnya Terhadap Ketahanan Pangan 122 Bab IV Alih Fungsi Lahan Pertanian dan Pengaruhnya Terhadap Ketahanan Pangan IV.1 Kondisi/Status Luas Lahan Sawah dan Perubahannya Lahan pertanian secara umum terdiri atas lahan kering (non sawah)

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR STUDI PROSPEK DAN KENDALA PENERAPAN REFORMA AGRARIA DI SEKTOR PERTANIAN

LAPORAN AKHIR STUDI PROSPEK DAN KENDALA PENERAPAN REFORMA AGRARIA DI SEKTOR PERTANIAN LAPORAN AKHIR STUDI PROSPEK DAN KENDALA PENERAPAN REFORMA AGRARIA DI SEKTOR PERTANIAN Oleh: Henny Mayrowani Tri Pranadji Sumaryanto Adang Agustian Syahyuti Roosgandha Elizabeth PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN

Lebih terperinci

PERANAN SEKTOR PERTANIAN KHUSUSNYA JAGUNG TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN JENEPONTO Oleh : Muhammad Anshar

PERANAN SEKTOR PERTANIAN KHUSUSNYA JAGUNG TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN JENEPONTO Oleh : Muhammad Anshar PERANAN SEKTOR PERTANIAN KHUSUSNYA JAGUNG TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN JENEPONTO Oleh : Muhammad Anshar Jurusan Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Sains dan Teknologi ABSTRAK Penelitian

Lebih terperinci

III KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Konsep Usahatani Ilmu usahatani pada dasarnya memperhatikan cara-cara petani memperoleh dan memadukan sumberdaya (lahan, kerja, modal, waktu,

Lebih terperinci

Prosiding Pekan Serealia Nasional, 2010 ISBN :

Prosiding Pekan Serealia Nasional, 2010 ISBN : Usaha tani Padi dan Jagung Manis pada Lahan Tadah Hujan untuk Mendukung Ketahanan Pangan di Kalimantan Selatan ( Kasus di Kec. Landasan Ulin Kotamadya Banjarbaru ) Rismarini Zuraida Balai Pengkajian Teknologi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan rejim ekonomi politik di Indonesia yang terjadi satu dasawarsa terakhir dalam beberapa hal masih menyisakan beberapa permasalahan mendasar di negeri ini.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian telah terbukti memiliki peranan penting bagi pembangunan perekonomian suatu bangsa. Hal ini didasarkan pada kontribusi sektor pertanian yang berperan

Lebih terperinci

BAB VIII PENUTUP. Penelitian dengan tema kebijakan hutan rakyat dan dinamika sosial

BAB VIII PENUTUP. Penelitian dengan tema kebijakan hutan rakyat dan dinamika sosial BAB VIII PENUTUP Penelitian dengan tema kebijakan hutan rakyat dan dinamika sosial ekonomi masyarakat di Kabupaten Banyumas ini mengambil tiga fokus kajian yakni ekonomi politik kebijakan hutan rakyat,

Lebih terperinci

VII. KERAGAAN DAN POLA DISTRIBUSI PENGUASAAN LAHAN

VII. KERAGAAN DAN POLA DISTRIBUSI PENGUASAAN LAHAN VII. KERAGAAN DAN POLA DISTRIBUSI PENGUASAAN LAHAN Pola penguasaan lahan pertanian menggambarkan keadaan pemilikan dan pengusahaan faktor produksi utama dalam produksi pertanian. Keadaan pemilikan lahan

Lebih terperinci

VII ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI PADI SEHAT

VII ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI PADI SEHAT VII ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI PADI SEHAT 7.1. Penerimaan Usahatani Padi Sehat Penerimaan usahatani padi sehat terdiri dari penerimaan tunai dan penerimaan diperhitungkan. Penerimaan tunai adalah penerimaan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang mayoritas penduduknya sebagian besar adalah petani. Sektor pertanian adalah salah satu pilar dalam pembangunan nasional Indonesia. Dengan

Lebih terperinci

PROSPEK PENGEMBANGAN UBIKAYU DALAM KAITANNYA DENGAN USAHA PENINGKATAN PENDAPATAN PETANI TRANSMIGRASI DI DAERAH JAMBI

PROSPEK PENGEMBANGAN UBIKAYU DALAM KAITANNYA DENGAN USAHA PENINGKATAN PENDAPATAN PETANI TRANSMIGRASI DI DAERAH JAMBI PROSPEK PENGEMBANGAN UBIKAYU DALAM KAITANNYA DENGAN USAHA PENINGKATAN PENDAPATAN PETANI TRANSMIGRASI DI DAERAH JAMBI Oleh: Aladin Nasution*) - Abstrak Pada dasarnya pembangunan pertanian di daerah transmigrasi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. berinteraksi dalam satu sistem (pohon, tanaman dan atau ternak) membuat

II. TINJAUAN PUSTAKA. berinteraksi dalam satu sistem (pohon, tanaman dan atau ternak) membuat 8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Agroforestri Sistem agroforestri memiliki karakter yang berbeda dan unik dibandingkan sistem pertanian monokultur. Adanya beberapa komponen berbeda yang saling berinteraksi dalam

Lebih terperinci

ANALISIS USAHATANI DAN KESEJAHTERAAN PETANI PADI, JAGUNG DAN KEDELE

ANALISIS USAHATANI DAN KESEJAHTERAAN PETANI PADI, JAGUNG DAN KEDELE ANALISIS USAHATANI DAN KESEJAHTERAAN PETANI PADI, JAGUNG DAN KEDELE Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Kementerian Pertanian Februari 2011 ANALISIS USAHATANI DAN KESEJAHTERAAN PETANI PADI, JAGUNG

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN 20 BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Kepemilikan dan penguasaan lahan. Sumaryanto dan Rusastra (2000) menyatakan bahwa dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bermatapencaharian sebagai petani. Kondisi geografis negara Indonesia terletak di

BAB I PENDAHULUAN. bermatapencaharian sebagai petani. Kondisi geografis negara Indonesia terletak di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang mayoritas penduduknya bermatapencaharian sebagai petani. Kondisi geografis negara Indonesia terletak di wilayah tropis, dengan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. meramu bahan-bahan kimia (anorganik) berkadar hara tinggi. Misalnya, pupuk urea

TINJAUAN PUSTAKA. meramu bahan-bahan kimia (anorganik) berkadar hara tinggi. Misalnya, pupuk urea TINJAUAN PUSTAKA Pupuk Anorganik Pupuk anorganik adalah pupuk yang dibuat oleh pabrik-pabrik pupuk dengan meramu bahan-bahan kimia (anorganik) berkadar hara tinggi. Misalnya, pupuk urea berkadar N 45-46

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK RESPONDEN. wilayah kilometerpersegi. Wilayah ini berbatasan langsung dengan

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK RESPONDEN. wilayah kilometerpersegi. Wilayah ini berbatasan langsung dengan V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK RESPONDEN 5.1. Lokasi dan Topografi Kabupaten Donggala memiliki 21 kecamatan dan 278 desa, dengan luas wilayah 10 471.71 kilometerpersegi. Wilayah ini

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sub sektor perkebunan sebagai bag ian dari. pengolahan ekonomi potensial menjadi kekuatan ekonomi nyata.

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sub sektor perkebunan sebagai bag ian dari. pengolahan ekonomi potensial menjadi kekuatan ekonomi nyata. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan sub sektor perkebunan sebagai bag ian dari pembangunan ekonomi nasional pada hakekatnya merupakan suatu pengolahan ekonomi potensial menjadi kekuatan ekonomi

Lebih terperinci

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Kesimpulan Akhir tahun 70-an dan awal 80-an, Pemerintahan Orde Baru menggalakkan program transmigrasi dari Pulau Jawa ke luar Pulau Jawa, seperti Sulawesi, Kalimantan,

Lebih terperinci

DISTRIBUSI PEMILIKAN DAN PENGUSAHAAN LAHAN PERTANIAN DI SULAWESI SELATAN*

DISTRIBUSI PEMILIKAN DAN PENGUSAHAAN LAHAN PERTANIAN DI SULAWESI SELATAN* DISTRIBUSI PEMILIKAN DAN PENGUSAHAAN LAHAN PERTANIAN DI SULAWESI SELATAN* Oleh : Chaerul Saleh DISTRIBUSI PEMILIKAN DAN PENGUSAHAAN LAHAN PERTANIAN Dalam pemilikan lahan pertanian memperlihatkan kecenderungan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang agraris artinya pertanian memegang peranan

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang agraris artinya pertanian memegang peranan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang agraris artinya pertanian memegang peranan penting dari keseluruhan perekonomian nasional. Hal ini dikarenakan sebagian besar penduduk

Lebih terperinci

LAHAN PERTANIAN, TENAGA KERJA DAN SUMBER PENDAPATAN DI BEBERAPA PEDESAAN JAWA BARAT

LAHAN PERTANIAN, TENAGA KERJA DAN SUMBER PENDAPATAN DI BEBERAPA PEDESAAN JAWA BARAT LAHAN PERTANIAN, TENAGA KERJA DAN SUMBER PENDAPATAN DI BEBERAPA PEDESAAN JAWA BARAT Oleh: Memed Gunawan dan Ikin Sadikin Abstrak Belakangan ini struktur perekonomian masyarakat pedesaan Jawa Barat telah

Lebih terperinci

III KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis Pembiayaan dalam dunia usaha sangat dibutuhkan dalam mendukung keberlangsungan suatu usaha yang dijalankan. Dari suatu usaha yang memerlukan pembiayaan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. bahan pangan utama berupa beras. Selain itu, lahan sawah juga memiliki

I. PENDAHULUAN. bahan pangan utama berupa beras. Selain itu, lahan sawah juga memiliki 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lahan sawah memiliki manfaat sebagai media budidaya yang menghasilkan bahan pangan utama berupa beras. Selain itu, lahan sawah juga memiliki manfaat bersifat fungsional

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN A.

BAB I. PENDAHULUAN A. BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan pemanfaatan lahan antara masyarakat adat dan pemerintah merupakan hal yang tidak dapat dihindari. Salah satu kasus yang terjadi yakni penolakan Rancangan

Lebih terperinci

BPS PROVINSI SULAWESI SELATAN

BPS PROVINSI SULAWESI SELATAN BPS PROVINSI SULAWESI SELATAN No. 72/12/73/Th. II, 23 Desember 2014 STRUKTUR ONGKOS USAHA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT, KARET, DAN TEBU TAHUN 2014 DI PROVINSI SULAWESI SELATAN RATA-RATA JUMLAH BIAYA USAHA PERKEBUNAN

Lebih terperinci

3. Penutup Pertanyaan Diskusi

3. Penutup Pertanyaan Diskusi SOSIOLOGI PERTANIAN: Pemilikan Tanah dan Diferensiasi Masyarakat Desa Hiroyoshi Kano Lab. Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya Email : dl@ub.ac.id Tujuan Pembelajaran

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 32 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Pengelolaan Hutan Rakyat di Kabupaten Sumedang Kabupaten Sumedang memiliki luas wilayah sebesar 155.871,98 ha yang terdiri dari 26 kecamatan dengan 272 desa dan 7 kelurahan.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 kiranya dapat

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 kiranya dapat I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 kiranya dapat menjadi suatu koreksi akan strategi pembangunan yang selama ini dilaksanakan. Krisis tersebut ternyata

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. pertanian. Kenyataan yang terjadi bahwa sebagian besar penggunaan lahan di. menyangkut kesejahteraan bangsa (Dillon, 2004).

PENDAHULUAN. pertanian. Kenyataan yang terjadi bahwa sebagian besar penggunaan lahan di. menyangkut kesejahteraan bangsa (Dillon, 2004). PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara berkembang dengan sektor pertanian sebagai sumber mata pencaharian dari mayoritas penduduknya. Dengan demikian, sebagian besar penduduknya

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. pertanian yang dimaksud adalah pertanian rakyat, perkebunan, kehutanan, perkebunan, kehutanan, peternakan dan perikanan.

I PENDAHULUAN. pertanian yang dimaksud adalah pertanian rakyat, perkebunan, kehutanan, perkebunan, kehutanan, peternakan dan perikanan. I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penduduk Indonesia yang tinggal di pedesaan, dalam memenuhi kebutuhan ekonomi keluarganya sebagian besar bergantung pada sektor pertanian. Sektor pertanian yang

Lebih terperinci

DEFINISI OPERASIONAL

DEFINISI OPERASIONAL 18 DEFINISI OPERASIONAL Definisi operasional untuk masing-masing variabel sebagai berikut: 1. Tingkat pendidikan yaitu pendidikan formal terakhir yang ditempuh oleh responden pada saat penelitian berlangsung.

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur Provinsi Kalimantan Timur terletak pada 113 0 44-119 0 00 BT dan 4 0 24 LU-2 0 25 LS. Kalimantan Timur merupakan

Lebih terperinci

III KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis Kerangka pemikiran teoritis dilandasi oleh teori-teori mengenai konsep marketable dan marketed surplus, serta faktor-faktor yang memepengaruhinya.

Lebih terperinci