ANALISIS D AN PEMBAH AS AN Keragaan Ekonomi Strata Agroforestri Desa Sumberejo Tanpa Internalisasi

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ANALISIS D AN PEMBAH AS AN Keragaan Ekonomi Strata Agroforestri Desa Sumberejo Tanpa Internalisasi"

Transkripsi

1 114 VI. ANALISIS D AN PEMBAH AS AN 6.1. Keragaan Ekonomi Strata Agroforestri Desa Sumberejo Tanpa Internalisasi Terdapat beberapa temuan penting pada analisa keragaan ekonomi agroforestri sebagai berikut : 1. Pendapatan bersih usaha agroforestri strata 1 tanpa internalisasi menunjukkan, bahwa tanpa pendapatan off farm, dan pada jeda waktu menunggu hasil dari tanaman tahunan, tidak cukup untuk menutup pengeluaran rumah tangga. Pendapatan bersih rumah tangga agroforestri strata 1 berda di bawah garis kemiskinan dengan ketiadaan modal untuk investasi, sehingga secara keekonomian sulit mengharapkan petani untuk melakukan konservasi untuk kesinambungan agroforestri.. 2. Pendapatan bersih agroforestri dengan luas 1 ha (strata 2 dan 3) kontribusi pendapatan didominasi pendapatan on farm, ketergantungan pada pendapatan off farm makin kecil. Besarnya kontribusi pendapatan on farm, bahkan mampu menutup total pengeluaran rumah tangga tanpa mengandalkan penerimaan off farm. 3. Keragaan ekonomi strata 2 (rata-rata 1,60 ha) dan strata 3 (rata-rata 2,59 ha) pada tahun 2010, menunjukkan jauh di atas garis kemiskinan, namun tanpa pendapatan off farm, kelebihan pendapatan strata 2 dan 3 setelah digunakan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga akan hanya berlebih sekitar Rp. 6 juta per tahun pada rata-rata luas 1,60 ha, dan Rp.22 juta per tahun pada rata-rata luas 2,59 ha. Hal ini mengindikasikan, bahwa walaupun kondisinya layak usaha, namun terjadi ketidak cukupan modal investasi, karena untuk mengembangkan usaha agroforestri dibutuhkan Rp 2

2 115 juta untuk biaya persiapan dan Rp 8 juta per ha untuk operasional penanaman, pemeliharaan hanya untuk tanaman tahunan. Sedangkan petani juga membutuhkan modal budidaya palawija selama 3 tahun, sebelum tajuk tanaman tahunan menutup. 6.2 Nilai Ekonomi Jasa Air dan Jasa Karbon Agroforestri Serta Harga Bayangan Valuasi Ekonomi Jasa Air Agroforestri a. Identifikasi supply air dan pengguna serta proporsi per penggunaan Identifikasi dan pengukuran debit pada 13 sumber air agroforestri, menghasilkan total supply agroforestri desa Sumberejo adalah m 3 pertahun. Sedangkan identifikasi pengguna terbagi kedalam klasifikasi untuk penggunaan yang sudah komersil (k) dan belum komersil (nk) atau nilai potensial (potential value). Sedangkan prosentase porsi pemanfaatan dari total supply ditetapkan dalam nomenklatur a%. Penggunaan per tahun yang sudah komersil terdiri dari: 1) PAM Desa TirtoKencono sebesar m 3 (a:0,70%); 2) PDAM Tirtasari, Baturetno sebesar m Penggunaan pertahun yang belum komersil terdiri dari: 3 (a: 38,12%). 1) Masyarakat dalam Desa non komersil (nk) sebesar m 3 (a:38,06 %); 2) Pengairan sawah di dalam Desa seluas 22 ha (2 x 4 ton/ tahun: m 3 (a:4,25%) 3) Pengairan sawah di luar Desa, di Desa Saradan dan Temon seluas 209 ha (2 x 6 ton/ tahun:sebesar m b. Valuasi nilai ekonomi jasa air penggunaan sudah komersil 1) PAM Desa Tirto Kencono 3 per tahun (a: 18,86%). Pemanfaatan jasa air agroforestri dengan memanfaatkan telah tersedianya

3 116 jaringan pipa distribusi yang dibangun melalui proyek PAMSIRA Kimpraswil yang selanjutnya menjadi investasi Badan Pengelola Prasarana Desa Sumberejo, dan distribusi komersil dilakukan melalui pembentukan Perusahaan Air Minum Tirto Kencono untuk distribusi air minum dengan tarif Rp.2500 per m 3. Dari wawancara dan pengumpulan data di kantor PAM tersebut didapatkan volume distribusi air per tahun dengan rata-rata pemakaian 10 m 3 per keluarga per bulan, juga keterangan menurut kalkulasi pihak PAM tarif tersebut seharusnya direvisi menjadi Rp.3100 per m 3, sesuai dengan kenyataan biaya operasional. Nilai penggunaan jasa air komersil PAM Desa Tirto Kencono menggunakan metode biaya penuh dan prinsip umum biaya air, (Rogers, et al, 2000), dengan hasil yang dapat dilihat pada tabel 14. Kemudian menurut prosedur metoda yang digunakan matriks dikonversi ke dalam bentuk: Biaya penuh BJD air PAM Tirta Kencono (Rp.) yang dapat dilihat pada gambar 16. Dari hasil perhitungan dan pendekatan-pendekatan yang digunakan diperoleh biaya air secara penuh, sebesar Rp /tahun. Nilai tersebut menggambarkan Nilai Guna Lestari dari m 3 (a: 0,70%) air agroforestri yang telah menginternalisasikan eksternalitas di dalamnya sehingga mencerminkan nilai manfaat yang lestari dari hulu sampai hilir. Selanjutnya biaya penuh ini dapat dijadikan dasar perhitungan tarif Biaya Sumberdaya air PAM Tirto Kencono sehingga dapat diperoleh besar tarif normal yang ideal pada kondisi produksi saat ini, yaitu: Rp per m3. Nilai lingkungan (tarif normaltarif berlaku/rp.2500) adalah Rp /m3. 2) PDAM Tirta Sari Baturetno Pada saat penelitian diketahui sedang terjadi proses re-negosiasi nilai provisi antara pihak desa dan PDAM Tirta Sari Baturetno, namun posisi tawar

4 117 Desa lebih lemah, karena adanya asimetri informasi perihal volume penggunaan air dan besar dugaan nilai ekonomi air sesungguhnya. Sementara pihak PDAM tidak transparan mengenai proporsi komponen air agroforestri dalam proses produksi, PDAM malah mengeluhkan pihaknya saat itu sedang mengalami kerugian. Posisi yang kurang menguntungkan tersebut, membuat pihak Desa merubah pola negosiasi menjadi ancaman akan memutus supply air. Terkait salah satu tujuan penelitian ini adalah mendapatkan nilai ekonomi air agroforestri, kejadian tersebut mengindikasikan, bahwa telah ada kejelasan property right dan pihak pemanfaat air agroforestri. Konflik terkait besaran nilai provisi menjelaskan secara ekonomi, bahwa nilai imbal jasa wajib dipersepsikan oleh pemanfaat sebagai biaya pelayanan pada petani dan sebagai insentif pemenuhan kewajiban memelihara atau meningkatakan pelayanan berupa keberadaan agroforestri dan tersedianya air secara berkesinambungan. Selanjutnya metode biaya penuh air diaplikasikan untuk penghitungan nilai guna lestari air agroforestri komersil distribusi air oleh PDAM Tirtasari. Hasil perhitungan volume air yang digunakan untuk supply ke PDAM Tirtasari per tahun adalah m 3 dengan porsi penggunaan (a): 38,12%. Sedangkan perhitungan didapatkan nilai biaya penuh Rp /tahun, nilai tersebut menggambarkan Nilai Guna Lestari air agroforestry yang telah menginternalisasikan eksternalitas di dalamnya sehingga mencerminkan nilai manfaat yang lestari dari hulu sampai hilir. Lebih lanjut diperoleh besar tarif normal yang ideal pada kondisi produksi saat ini, yaitu:rp /m3.nilai provisi PDAM Tirtasari lingkungan Rp. 2, untuk penggunaan m 3 per tahun atau Rp.2 per m 3 /tahun, sehingga nilai lingkungannya adalah (Tarif

5 118 normal-nilai provisi) Rp73.134/m3. c. Penggunaan air non komersil (potential value) 1) Penggunaan lngsung dari sumber Masyarakat dalam Desa Dari penggunaan air rumah tangga langsung dari sumber sebesar m 3 a: 38,06 % dan biaya investasi Rp , didapatkan nilai air Rp per m3 per tahun atau tarif normal/nilai lingkungan Rp / m 3. 2) Penggunaan untuk pengairan sawah di dalam Desa Perhitungan nilai ekonomi air untuk pengairan sawah seluas 22 ha (2 x 4 ton/ tahun: a: 4,25%, dan biaya investasi Rp per m3 pertahun diperoleh tarif normal/nilai lingkungan Rp / m 3) Pengairan sawah di luar Desa, di Desa Saradan dan Temon Perhitungan nilai ekonomi air untuk pengairan sawah seluas 209 ha (2 x 6 ton/tahun: a: 18,86% dan biaya investasi Rp per m 3 per tahun, diperoleh tarif normal Rp / m Dari penjumlahan harga bayangan /tarif normal per penggunaan didapatkan total nilai ekonomi air agroforestri adalah Rp Rp Rp Rp Rp = Rp / m Dengan demikian atau total nilai ekonomi air agroforestri desa Sumberejo dengan luas 293,46 ha, adalah Rp ,- per tahun. Selanjutnya nilai ekonomi air akan diinternalisasikan ke dalam penghitungan analisa kelayakan finansial per strata, dengan nilai masing-masing pertahun: a) Strata 1: Rp ; b) Strata 2: Rp ; dan c) Strata 3: Rp Valuasi Jasa Karbon Agroforestri Untuk mendapatkan volume stock karbon tegakan agroforestry, digunakan penafsiran landsat ETM pada titik lokasi Desa Sumberejo. Dari hasil penafsiran 3 3 (rata-rata Rp /m3). 3

6 119 didapatkan: Tabel 19. Lokasi Agroforestri Hasil Penafsiran Luas, Volume dan Karbon Agroforestri Desa Sumberejo Luas (ha) Total m3 dan Rataan Volume Kayu m3/ha Biomassa (tb) Stok karbon (t CO 2 ) Desa Sumberejo 293, ,42 14, ,20 8, ,73 29,20 Sumber: Data primer, 2011 Stok karbon 8.569,73 t CO 2 atau rata-rata 29,20 t CO 2 per ha, sejalan dengan referensi dan masih masuk selang hasil carbon agroforestri, yaitu 32,7 tco2 per ha (Boer, 2004 dan Basuki, 2008, dan Litbang kehutanan, 2010). Menghitung nilai stok karbon agroforestri dimulai dengan menghitung biaya abatasi dengan cara: Biaya oportunitas.(biaya reboisasi agroforestri) Rp Biaya transaksi 39,2% (Ginoga dan Lugina, 2007) Rp Biaya Abatasi Rp Penghitungan nilai jasa serap karbon agroforestri bersih (NC) selama proyek 20 tahun, dilakukan menggunakan formula (dengan asumsi riap volume dan riap tebang tahunan tetap): NC = Riap serap karbon Riap emisi karbon dari penebangan. Penghitungan harga bayangan: Biaya Abatasi /Volume tc) 2 Nilai ekonomi jasa karbon agroforestri desa Sumberejo dalam Tabel 20, selanjutnya digunakan dalam analisa kelayakan finansial, dengan nilai pada masing-masing strata per tahun (kurs Rp.9000/US$), adalah: a) Strata 1: Rp ; b) Strata 2: Rp ; dan c) Strata 3: Rp

7 120 Tabel 20. Penghitungan Nilai Karbon Agroforestri Desa Sumberejo No. Uraian Volume (m3) tco2 Harga (US$/tCO2) 1. Stock karbon 4.208, , Nilai ekonomi stock karbon Riap agroforestri selama per tahun Riap volume Jati:4,3 m3/ha/tahun Mahoni: 8,1 m3/ha/tahun Luas jati dan mahoni masingmasing 146,73 ha 1.819, , Riap tebangan per tahun Rata-rata penebangan 14% dari riap volume 257,52 528, Nilai serap karbon bersih per tahun 1561, , Nilai serap karbon bersih 20 tahun , Analisis Finansial Kelayakan Usaha Agroforestri tanpa dan dengan Internalisasi Nilai Jasa Karbon dan Jasa Air berikut: Selanjutnya dari pengolahan dan analisa data didapatkan hasil sebagai tabel 21. Analisa Finansial Kelayakan Usaha Agroforestri tanpa dan dengan Internalisasi Jasa (masa 20 tahun, bunga 12%) Stra ta Tanpa Internalisasi Internalisasi jasa air Internalisasi Jasa karbon NPV (Juta, Rp) BCR IRR (%) NPV (Juta, Rp) BCR IRR (%) NPV (Juta, Rp) BCR IRR (%) Internalisasi jasa air dan karbon NPV (Juta, Rp) BCR IRR (%) S1 33,82 1, ,92 6, ,00 6, ,02 9,72 26 S2 141,33 5, , , ,54 14,80 32 S3 190,22 5, ,78 11, ,2 12, ,78 15,3 35 Perhitungan di atas adalah penilaian kelayakan finansial pada usaha agroforestri yang berbasis lahan. Berdasarkan kriteria kelayakan, yaitu NPV positif, BCR > 1 dan IRR > tingkat bunga, maka dari hasil analisa didapatkan: 1. Keragaan ekonomi usaha agroforestri tanpa internalisasi dengan rancangan

8 121 usaha 20 tahun pada tingkat bunga 12%, menunjukkan kelayakan finansial pada ketiga kriteria kelayakan, yaitu Strata 1 NPV sebesar 13%; Strata 2 sebesar 16%; dan Strata 3 sebesar 19%. Nilai BCR 1,48 pada strata 1 menunjukkan bila petani akan mengembangkan usaha agroforestri secara intensif pada strata tersebut, masih memerlukan bantuan permodalan, karena kelebihan dari pendapatan bersih usaha sebagian besar terserap untuk menutup kebutuhan rumah tangga. 2. Besarnya nilai BCR keragaan ekonomi tanpa internalisasi pada strata 2 dan 3, adalah karena tingginya harga kayu, terutama periode 10 tahun terakhir. 3. Internalisasi eksternalitas jasa air, jasa karbon, dan jasa air dan jasa karbon secara bersama-sama pada semua strata berhasil menghasilkan meningkatkan pendapatan usaha yang nyata, yaitu: Internalisasi eksternalitas jasa air meningkatkan parameter kelayakan dari metode NVP, BCR, dan IRR, yaitu Strata 1 (< 1 ha); keragaan tanpa internalisasi sebesar NVP: Rp.33,82 juta, BCR: 1,48, dan IRR: 13% dengan internalisasi jasa air, menjadi NPV: Rp.296,92 juta per tahun, BCR: 6,02, dan IRR: 24%. Sedangkan internalisasi jasa karbon berhasil meningkatkan NPV menjadi Rp.301 juta, BCR:6,64, dan IRR: 25%. Dengan kedua jasa NPV menjadi Rp.399,02 juta, BCR: 9,72, dan IRR: 26%. Kecenderungan yang sama terjadi pada strata 2 dan 3 dengan proporsi yang lebih besar. 4. Dengan demikian internalisasi eksternalitas jasa air, jasa karbon baik secara sendiri-sendiri ataupun bersama, terbukti berhasil meningkatkan kelayakan finansial pada semua strata. Hal ini membuktikan kebenaran hipotesis penelitian yang mengaplikasikan konsep keuntungan agroforestri dari satu input dihasilkan banyak output dan aplikasi dari konsep total nilai ekonomi pada agroforestri.

9 Hasil analisa juga mengindikasikan, bahwa dari keragaan ekonomi strata 1, menunjukkan perlunya insentif pada tahap awal, agar mampu mengembangkan agroforestrinya dengan tetap mempertahankan kelayakan usahanya. 6. Keragaan ekonomi strata 2 dan 3 menunjukkan, bahwa luas lahan > 1 ha mengindikasikan peningkatan kontribusi pendapatan dari keuntungan usaha pada rumah tangga dan ekonomi pedesaan memiliki prospek yang baik untuk pengembangan agroforestri baik dalam memproduksi barang maupun jasa secara berkesinambungan. 7. Kemampuan usaha agroforestri untuk masa 20 tahun setelah internalisasi eksternalitas jasa dalam pengembalian modal pada tingkat bunga antara 20 30%, akan menjadi argumen penting untuk menjadikan agroforestri sebagai program unggulan untuk merehabilitasi lahan kritis berbasis pedesaan. 6.4 Analisis Kesinambungan Agroforestri Berangkat dari prinsip kelestarian stock dan flow tanaman tahunan serta pertimbangan ketersediaan ruang tumbuh tanaman musiman, maka disusun pola kelola lestari masing-masing strata luas agroforestri dengan acuan : 1. Stock tanaman tahunan dengan jarak tanam 3 x 3 m atau jumlah tanaman 1111 pohon per hektar, dan 2. Skenario flow penjarangan I diadakan penebangan 30 % dari tanaman umur 5 tahun dan diikuti penanaman kembali, Penjarangan II penebangan 20 % dari tanaman umur 10 tahun dan diikuti penanaman kembali, dan penjarangan III penebangan 10 % dari tanaman 15 umur diikuti penanaman kembali, serta pemanenan 70 % tanaman umur 20 tahun diikuti penanaman kembali.

10 123 Adapun hasil penyusunan pola kelola lestari untuk strata 1 dengan luas rata-rata 0,60 hektar adalah sebagaimana tabel 22 berikut : Tabel 22. Skenario pola kelola lestari agroforestri strata 1 selama 20 Tahun Uraian Th 1 Th 5 Th 10 Th 15 Th.20 Komposisi umur tanaman tahunan 0 th : th : 200 ph 5 th : 467 ph Tanam 667 Penj tebang dan tanam 200 kembali 0 th : 93 5 th : 200 ph 10 th : 373 ph 0 th : 37 ph 5 th : 93 ph 10 th : 200 ph 15 th : 336 ph 0 th : 210 ph 5 th : 37 ph 10 th : 93 ph 15 th : 200 ph 20 th : 126 ph Penj tebang dan tanam 93 kembali Penj tebang dan tanam 37 kembali Panen 126 tebang dan tanam 210 kembali jumlah tanaman lesta ri Tabel 22 di atas diturunkan dalam bentuk Gambar 18 berikut : Gambar 18. Pola Kelola Lestari/Berkesinambungan Agroforestri Strata 1 Selama 20 Tahun

11 124 Dari tabel 22 dan gambar 18. di atas, dengan jarak tanam 3 x 3 m, stock tanaman lestari untuk strata 1 adalah 667 pohon, pemeliharaan tahun I, II, dan III memastikan jumlah pohon tetap sama hingga penjarangan pertama dan dengan penanaman kembali sejumlah pohon yang ditebang pada tahun V, akan terdapat 2 kelas umur tanaman, pada tahun X akan terdapat 3 kelas umur, pada tahun XV terdapat 4 kelas umur, dan pada tahun XX akan terdapat 5 kelas umur. Untuk periode penjarangan selanjutnya, petani melakukan budidaya palawija bersamaan dengan mengontrol tanaman tahunan, dan setiap paska penjarangan sampai tahun XX akan didapatkan 5 kelas umur tanaman.. Dengan demikian implikasi skenario pola kelola lestari dengan keragaman komposisi kelas umur tanaman pada strata 1 dapat terjamin konsistensinya. Penyusunan skenario pola kelola lestari pada strata 2 dengan luas ratarata luas lahan usaha 1,60 hektar dengan basis jarak tanam 3 x 3 m, menunjukkan hasil sebagai berikut : Tabel 23. Skenario pola kelola lestari agroforestri strata 2 selama 20 Tahun Uraian Th 1 Th 5 Th 10 Th 15 Th.20 Komposisi umur tanaman tahunan 0 th : 533 ph 0 th : 1778 ph 5 th:1244 ph Tanam Penj tebang dan tanam 533 kembali 0 th : 249 ph 5 th : 533 ph 10 th : 995 ph 0 th : 100 ph 5 th : 249 ph 10 th : 533 ph 15 th : 896 ph Penj tebang dan tanam 249 kembali Penj tebang dan tanam 100 kembali Panen 236 tebang dan tanam kembali Jumlah tanaman lesta ri th : 660 ph 5 th : 100 ph 10 th : 249 ph 15 th : 533 ph 20 th : 236 ph 660

12 125 Gambar 19. Pola Kelola Lestari/Berkesinambungan Agroforestri Strata 2 Selama 20 Tahun Dari tabel 23 dan gambar 19 di atas, dengan jarak tanam 3 x 3 m, stock tanaman lestari untuk strata 2 adalah 1778 pohon, pemeliharaan tahun I, II, dan III memastikan jumlah pohon tetap sama hingga penjarangan pertama dan dengan penanaman kembali sejumlah pohon yang ditebang pada tahun V, akan terdapat 2 kelas umur tanaman, pada tahun X akan terdapat 3 kelas umur, pada tahun XV terdapat 4 kelas umur, dan pada tahun XX akan terdapat 5 kelas umur. Untuk periode penjarangan selanjutnya, petani melakukan budidaya palawija bersamaan dengan mengontrol tanaman tahunan, dan setiap paska penjarangan sampai tahun XX akan didapatkan 5 kelas umur tanaman.. Dengan demikian implikasi skenario pola kelola lestari dengan keragaman komposisi kelas umur tanaman pada strata 2 dapat terjamin konsistensinya. Penyusunan skenario pola kelola lestari pada strata 3 dengan luas ratarata luas lahan usaha 2,59 hektar dengan basis jarak tanam 3 x 3 m, menunjukkan hasil sebagai berikut :

13 126 Tabel 24. Skenario Pola Kelola Lestari Agroforestri Strata 3 Selama 20 Tahun Uraian Th 1 Th 5 Th 10 Th 15 Th.20 Komposisi umur tanaman tahunan 0 th : 2877 ph Tanam th : 863 ph 5 th : 2014 ph Sisa Penjarangan th : 403 ph 5 th : 863 ph 10 th : 1611 h 0 th : 161 ph 5 th : 403 ph 10 th : 863 ph 15 th: 1450 ph 0 th : 1036 ph 5 th : 161 ph 10 th : 403 ph 15 th : 863 ph 20 th : 414 ph tebang dan tanam 863 kembali Sisa Penjarangan tebang dan tanam 403 kembali Sisa Penjarangan tebang dan tanam 161 kembali Sisa Panen tebang dan tanam kembali Jumlah tanaman lesta ri Dari Tabel 24 di atas diturunkan dalam bentuk Gambar 20 berikut : Gambar 20. Skenario Pola Kelola Lestari/Berkesinambungan Strata 3 Selama 20 Tahun Dari tabel 24 dan gambar 20 di atas, dengan jarak tanam 3 x 3 m, stock tanaman lestari untuk strata 3 adalah 1778 pohon, pemeliharaan tahun I, II, dan III memastikan jumlah pohon tetap sama hingga penjarangan pertama dan

14 127 dengan penanaman kembali sejumlah pohon yang ditebang pada tahun V, akan terdapat 2 kelas umur tanaman, pada tahun X akan terdapat 3 kelas umur, pada tahun XV terdapat 4 kelas umur, dan pada tahun XX akan terdapat 5 kelas umur. Untuk periode penjarangan selanjutnya, petani melakukan budidaya palawija bersamaan dengan mengontrol tanaman tahunan, dan setiap paska penjarangan sampai tahun XX akan didapatkan 4 kelas umur tanaman.. Dengan demikian implikasi skenario pola kelola lestari dengan keragaman komposisi kelas umur tanaman pada strata 3 dapat terjamin konsistensinya. 6.5 Instrumen Kebijakan Keuangan (Insentif) Untuk Jasa Karbon Dan Jasa Air Agroforestri Referensi menunjukkan, ketika subsidi berorientasi input (produksi) didasarkan pada paradigma, bahwa keberadaan hutan/agroforestri menjadi syarat keberadaan berkembangnya manfaat sosial ekonomi dan ekologi agroforestri yang akan meningkatkan distribusi kepemilikan lahan dan stabilitas ekonomi pedesaan. Namun pengalaman setelah 10 tahun pendekatan tersebut digunakan dalam bentuk kredit di Indonesia dan subsidi di Negara-negara Eropa Barat, menunjukkan tujuan tersebut tidak tercapai. Di Indonesia alokasi kredit hutan milik yang beroientasi input, ternyata hanya menguntungkan oknum mitra yang berperan sebagai free rider dengan memanfaatkan kondisi asimetri informasi, untuk mengalihkan kredit pada lahan miliknya dengan alasan mitra adalah penjamin dan penanggung kredit macet. Sedangkan petani mendapat bantuan hanya dalam bentuk input pupuk dan bibit yang belum tentu sesuai dengan kebutuhan nyata, sehingga tetap terpelihara dalam kemiskinan, karena keterbatasan luas lahan dan ketiadaan modal usaha. Sedangkan di Negara Eropa Barat pengembangan manfaat selain kayu

15 128 tidak atau tidak cukup direspon mekanisme pasar, sehingga subsidi orientasi dianggap penghamburan pajak masyarakat dengan return yang tidak seimbang dari hutan milik. Saat ini di Eropa dengan dipelopori oleh Belanda, dilakukan perubahan instrument kebijakan input menjadi kebijakan berorientasi output. Didapatkan perubahan orientasi subsidi dari input ke output terbukti lebih mendukung kejelasan property right hutan milik, sehingga menjamin distribusi alokasi subsidi lebih efisien dan tepat sasaran. Agroforestri desa Sumberejo dan agroforestri umumnya di hulu DAS Kabupaten Wonogiri, dibangun secara swadaya di atas tanah dengan entitas berupa hak kepemilikan yang jelas, sementara kebutuhan petani adalah bagaimana nilai ekonomi jasa air dan karbon dapat ditransfer menjadi sumber peningkatan pendapatan yang menjadi insentif untuk mempertahankan keberadaan dan kesinambungan usaha agroforestri. Kenyataan bahwa agroforestri dibangun secara swadaya, maka untuk usaha di lahan dengan luas < 1 ha, instrument kebijakan finansial kombinasi subsidi berorientasi input dan berbasis output, yaitu mampu mentransfer eksternalitas menjadi penambah pendapatan dan atau mengurangi beban biaya rumah tangga, sehingga mampu mengurangi ketergantungan rumah tangga dari pendapatan off farm serta menurunkan biaya rumah tangga dari peningkatan akses terhadap pelayanan kesehatan dan pendidikan akan lebih rasional dalam mendukung kesinambungan agroforestri, bila dibandingkan dengan subsidi yang berorientasi input. Terkait sumber pendanaannya intrumen kebijakan keuangan diarahkan pada prinsip Government Pay Principle, sebagaimana klustering subsidi dan bantuan program pemerintah yang sedang berjalan dan User Pay Principle, yaitu dengan partisipasi masyarakat dan program bentuk tanggung jawab swasta

16 129 (Corporate Social Responsibility) terkait pelestarian lingkungan hidup dan pencegahan bencana alam.. Implikasi subsidi berorientasi output memiliki 2 sisi, yaitu dari sisi pemanfaat atau pemerintah subsidi merupakan penambah pendapatan petani yang terkait usaha agroforestrinya dan menjadi insentif yang mendorong petani untuk mempertahankan keberadaan dan mengembangkankan usaha agroforestri. Sedangkan dari sisi petani sebagai produsen keberadaan subsidi menjadi tuntutan untuk bagaimana memelihara, mengamankan keberadaan agroforestri yang dimilikinya dengan mengelolanya secara lebih intensif. Merujuk pada ragam tipe imbal jasa Gouyon (2004), agar alokasi subsidi/imbal jasa langsung terdistribusi pada entitas yang jelas dan kondisi usaha yang relevan, sehingga mendorong petani untuk mau dan mampu mengembangkan dan meningkatkan kontribusi agroforestri pada rumah tangga dan berdampak pada pada pertumbuhan ekonomi Desa. Tipe imbal jasa tidak selalu dalam bentuk bantuan langsung tunai yang berdasarkan pengalaman rawan dari paraktek korupsi. Ragam tipe subsidi meliputi: a) Subsidi ramah-lingkungan, termasuk tarif pajak yang lebih rendah pada lahan dimana konservasi agroforestri dilaksanakan. b) Skema sertifikasi, tergantung pada pilihan konsumen dalam menyediakan peningkatan pangsa pasar dan/ atau harga premi untuk produk-produk agroforestri yang dihasilkan dengan cara yang meminimasi lahan kritis atau pembangunan rendah karbon. Lembaga-lembaga publik dapat menyediakan sumber keuangan bagi pemangku lahan melalui skema keuangan mikro untuk mendukung kegiatankegiatan rehabilitasi seperti komersialisasi hasil hutan non-kayu.

17 130 Skema transfer pembayaran memberikan kompensasi yang spesifik, bersyarat baik untuk melakukan tindakan tertentu misalnya, rehabilitasi lahan kritis yang menggunakan kombinasi pohon-pohon hutan seperti agroforestri. Dengan memperhatikan karakteristik pedesaan di Indonesia, maka bentuk insentif yang dapat diterapkan adalah: 1. Insentif untuk pengelola agroforestri untuk menerapkan silvilkultur intensif 2. Insentif untuk kegiatan agroforestri di lahan terdegradasi 3. Peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pengurangan lahan kritis 4. Pembayaran jasa lingkungan Implikasi instrument kebijakan finansial akan efektif bila mengacu pada skenario pemberian subsidi dan kredit yang tidak terlepas dari pola budidaya agroforestri, yaitu berbasis tata waktu budidaya dan evaluasi komitmen petani dalam memenuhi kewajibannya mempertahankan dan mengembangkan agroforestri. Alokasi dana secara transparan, sesuai dengan besaran nilai ekonomi konservasi jasa air dan jasa karbon agroforestri desa Sumberejo per tahun sebagai pagu maksimum, sektor pertanian dan kehutanan secara bersama-sama menyalurkan insentif subsidi dan kredit sesuai dengan kebutuhan nyata. Adapun alokasi waktu tanpa besaran subsidi adalah sebagai berikut: 1. Tahun ke 0 atau t -1 dan t1 t3, subsidi pada strata 1 (luas < 1 ha), diarahkan pada subsidi on farm. Bentuk subsidi pengembangan jasa konservasi sebagai bantuan tahap awal bibit, berupa biaya pupuk, biaya pengolahan lahan, biaya tanam, biaya pemeliharaan tahun I III. Strategi ini dilakukan, karena petani belum mampu membiayai investasi di awal. 2. Subsidi berupa social security dan pelatihan diversifikasi usaha yang relevan pada strata 1 dan 2 (< 2ha) diberikan pada t4, t9, t14 dan t19, saat petani menunggu penjarangan dan panen tanaman tahunan. Strategi ini diharapkan

18 131 dapat mengurangi urbanisasi dan petani dapat lebih intensif menjaga agroforestri. 3. Kredit bunga lunak dan bergulir dialokasikan pada strata 3 (luas 2 ha) mulai tahun keempat, dengan asumsi tanaman agroforestri mulai berfungsi menghasilkan jasa air dan jasa karbon secara effektif. Grass period diberikan untuk 3 kali masa penjarangan (t14), sedangkan kredit jatuh tempo tahun kedua puluh (t20). 4. Subsidi program prasarana sarana desa, seperti pembangunan sekolah dan sarana kesehatan disalurkan pada t4 t5, t9 t10 dan t14 t15, yang merupakan periode evaluasi komitmen petani. Diharapkan bantuan program dapat didesain dengan masyarakat desa sebagai pelaksananya Instrumen kebijakan keuangan didasarkan keunggulan dan peran strategis agroforestri dalam mengurangi kemiskinan di pedesaan dan konservasi tanah air di daerah hulu DAS melalui rehabilitasi lahan kritis. Argumen ketiadaan modal pada usaha agroforestri dengan luas < 1 ha, serta ketidak cukupan modal pada usaha agroforestri dalam upaya pengembangan, sementara ketiadaan respon pasar terhadap public service yang dihasilkan agroforestri menjadi masalah kelembagaan dalam pencapaian tujuan bersama pemerintah dan petani yang memerlukan intervensi kebijakan affirmatif dari pemerintah. Pengalaman ketidak berhasilan insentif pengembangan hutan rakyat dengan skim kredit dengan kemitraan di masa lalu menjadi pembelajaran agar insentif lebih difokuskan pada pihak-pihak yang secara nyata menginisiasi kelanjutan rehabilitasi lahan kritis yang dipicu oleh program pemerintah.. Diperlukan insentif yang bersifat edukatif bukan sekedar sincerity, karena hal ini secara psikologis akan meningkatkan martabat petani dan keterbukaannya dalam menerima desain skim insentif yang berkesesuaian

19 132 dengan kebutuhan peningkatan usaha dan kesejahteraannya secara berkesinambungan. Narasi alokasi waktu insentif di atas untuk kasus agroforestri desa Sumberejo dapat dilihat pada tabel 25 berikut ini :. tabel 25. Desain Alokasi Distribusi Waktu Insentif Agroforestri Desa Sumberejo Tahun ke 0 I II III IV V VI VII VIII IX PENANAMAN 1 Persemaian dan Pembibitan 2 Persiapan Lahan (Ha) 3 Penanaman tanaman tahunan dilaksanakan pada tahun I dan palaw ija selama tahun I, II, III; PEM ELIHA RAAN 1 Pembersihan/pendangiran dan pemupukan Tanaman Tahunan dilakukan bersamaan dengan tanaman semusim pada Tahun I, I, dan III PENJARA NGAN dan PENANAMAN KEMBALI : 3.Penebangan untuk perbaikan mutu tanaman tahunan dan memberi ruang tumbuh tanaman semusim dilaksanakan pada tahun V, X, dan XV 4.Diikuti penanaman kembali tanaman tahunan pada tahun VI danpenanaman tanaman semusim tahun VI, VII, VIII, tahun XI, XII, XIII, dan tahun XVI, XVII, XVIII Tahun ke X XI XII XIII XIV XV XVI XVII XVIII XIX XX PEM ANENA N Subsidi investasi (t -1): Bantuan bibit, biaya olah lahan, kompensasi upaya konservasi Subsidi/Kredit investasi penanaman pertanian(t1-t3), penanaman tanaman tahunan (t1) dan pemeliharaan (t1-t3), pemeliharaan lanjutan/perlindungan(t4, t6-t9,t11-t14,& t16-t20) Subsidi social security saat terjadi penurunan sampai dengan tidak adanya pendapatan dari on farm (asumsi tidak ada penanaman selain palawija dan hasil hutan bukan kayu). Alternatif 2 untuk alokasi waktu dan besaran insentif dilakukan dengan pentahapan: 1) Perhitungan balance aliran kas usaha on farm per strata untuk masa 20 tahun; 2) Perhitungan balance aliran kas off farm rumah tangga; 3) Komparasi hasil 1) dan 2) untuk mendapatkan balance aliran kas rumah tangga petani, dan 4) hasil 3) Dengan basis kriteria alokasi kredit menjadikan pendapatan rumah tangga minimal 25% di atas garis kemiskinan didapatkan

20 133 kebutuhan dan alokasi waktu insentif setiap strata. Adapun alokasi insentif per strata sesuai dengan perhitungan kebutuhan nyata investasi dan posisi pendapatan 25 % di atas garis kemiskinan, adalah : 1) Skenario skim insentif strata 1 : Pada saat tidak ada pendapatan dari panen kayu, strata 1 sama sekali tidak mempunyai kemampuan modal untuk investasi, karena pendapatan on farm dan off farm tidak mampu menutup pengeluaran rumah tangga. Oleh karena itu mutlak diperlukan dukungan insentif berupa subsidi yang besarnya semakin menurun setiap tahun. Subsidi ditujukan untuk dukungan modal investasi dan untuk meningkatkan pendapatan petani 25 % di atas garis kemiskinan (mengentaskannya dari kemiskinan). Jumlah dukungan insentif per tahun jauh di bawah return dari kontribusi nilai ekonomi jasa air agroforestri dan jasa karbon agroforestri strata 1 Rp , dan Rp per tahun. Tabel 30 Model Alokasi Waktu dan Besar Insentif Strata 1 Tahun ke Nilai kebutuhan dukungan insentif per rumah tangga petani (Juta, Rp) per tahun Balance pendapatan rumah tangga petani Sesudah Investasi 25 % > GK Total kebutuhan dukungan insentif per tahun 0 (t 1) (13,07) 11,575 24,65 1 (1,67) 11,575 13,25 2 (1,67) 11,575 13,25 3 (1,67) 11,575 13,25 4 (10,07) 11,575 21,65 6 (1,59) 11,575 13,17 7 (1,59) 11,575 13,17 8 (1,59) 11,575 13,17 9 (1,87) 11,575 13,45 11 (1,59) 11,575 13,17 12 (1,59) 11,575 13,17 13 (1,59) 11,575 13,17 14 (1,47) 11,575 13,05 16 (1,28) 11,575 12,86 17 (1,28) 11,575 12,86 18 (1,28) 11,575 12,86 19 (1,47) 11,575 12,86 Jumlah total kebutuhan insentif (46,34) 196, ,12 Keterangan : rincian perhitungan terlampir

21 134 Alokasi insentif pada strata 1 tidak dibutuhkan pada tahun ke 5, 10, 15 dan 20, karena terdapat penerimaan dari penjualan penjarangan dan pemanen tanaman tahunan. Pendapatan bersih rumah tangga petani pada saat tersebut berada jauh di atas garis kemiskinan yang dapat ditabung untuk tambahan investasi diversifikasi kegiatan usaha di dalam desa yang akan meminimalisir ketergantungan pada pendapatan off farm. Keberadaan tabungan (saving) akan meningkatkan kemampuan konsumsi dan diversifikasi usaha (investmen) yang menambah lapangan pekerjaan di dalam desa, Hal-hal tersebut akan menungurangi pengangguran dan urbanisasi penduduk desa keperkotaan, dan meningkatkan kontribusi agroforestri pada pertumbuhan ekonomi desa. Gambar 22 Model Alokasi Waktu dan Besaran Insentif Strata 1 (Luas < 1 ha) 2) Skenario skim insentif strata 2 (rata-rata luas 1,60 ha) Model alokasi waktu dan besaran biaya insentif strata 2, menunjukkan tidak dibutuhkannya dukungan insentif pada tahun ke 5, 10, 15 dan 20, karena terdapat penerimaan dari penjualan penjarangan dan pemanen tanaman tahunan. Pendapatan bersih rumah tangga petani pada saat tersebut berada jauh di atas garis kemiskinan yang dapat ditabung untuk tambahan investasi diversifikasi kegiatan usaha di dalam desa yang akan meminimalisir ketergantungan pada pendapatan off farm. Keberadaan tabungan (saving) akan

22 135 meningkatkan kemampuan konsumsi dan diversifikasi usaha (investmen) yang menambah lapangan pekerjaan di dalam desa, Hal-hal tersebut akan menungurangi pengangguran dan urbanisasi (buruh) penduduk desa keperkotaan serta meningkatkan kontribusi agroforestri pada pertumbuhan ekonomi desa. Hasil pertanian dan peternakan strata 2 (1 - < 2 ha) berhasil menutup pengeluaran rumah tangga, namun menunjukkan ketidak cukupan modal investasi khususnya pada tahun ke 0 (t-1), tahun ke 4, 9, 14, 16,17, 18, dan ke 19, namun penerimaan yang besar dari hasil penjualan kayu tiga kali penjarangan membuat petani mempunyai kemampuan pengembalian skim kredit tanpa bunga masa 20 tahun dengan grass period 15 tahun (sesudah penjarangan ketiga) Tabel 31 Model Alokasi Waktu dan Besar Insentif Strata 2 Tahun ke Nilai kebutuhan dukungan insentif per rumah tangga petani (Juta, Rp) per tahun Balance pendapatan rumah tangga petani Sesudah Investasi 25 % > GK Total kebutuhan insentif per tahun 0 (t 1) (19,21) 11,575 30, ,32 11,575 8, ,32 11,575 8, ,32 11,575 8,255 4 (4,76) 11,575 16, ,70 11,575 9, ,70 11,575 9, ,70 11,575 9,871 9 (4,76) 11,575 16, ,41 11,575 13, ,41 11,575 13, ,41 11,575 13,17 14 (4,76) 11,575 16, (0,62) 11,575 12, (0,62) 11,575 12, (0,62) 11,575 12, (4,76) 11,575 16,340 Jumlah total kebutuhan insentif (25,8) 196, ,705

23 136 Pada strata 2 dengan lahan yang lebih luas daripada strata 1 dibutuhkandukungan insentif yang lebih besar di awal investasi. Namun pendapatan rumah tangga tanpa internalisasi sesudah investasi selama masa 20 tahun sebesar Rp.154,510,000, atau rata-rata Rp 15,451,000 per tahun maka dukungan pada skim kredit tanpa bunga untuk modal investasi awal dan subsidi yang ditujukan pada pengentasan kemiskinan rumah tangga petani (25 % > dari garis kemiskinan terutama pada tahun-tahun dimana penerimaan bersih rumah tangga opetani < dari garis kemiskinan. Sama halnya dengan strata 1, return kontribusi jasa air agroforestri Rp , dan jasa karbon Rp yang dihasilkan dari hasil pembangunan agroforestri strata 2 per tahun jauh di atas kebutuhan dukungan insentif. Return tersebut akan jauh lebih besar apabila aspek manfaat jasa tata air agroforestri di hulu DAS diperluas, sehingga sangatlah layak pemerintah memberikan dukungan insentif baik skim subsidi atau pun kredit pada agroforestri strata 2. Gambar 23 Model Alokasi Waktu dan Besaran Insentif Strata 2 ( Luas 1 - < 2 ha) 3) Skenario skim insentif strata 3 (rata-rata luas 2,59 ha)

24 137 Strata 3 memperagakan, bahwa secara ekonomi usaha agroforestri pada luas lahan 2 ha nyata berbeda dengan usaha pada lahan dengan luas < 2 ha. Lebih kurang 50 % Investasi yang jauh lebih besar dibandingkan strata 1 dan 2,di awal pada tahun 0 (t-1), karena luas rata-rata strata 3 adalah 2,59 ha, ternyata dapat kembali pada tahun ke 3 dari hasil penerimaan pertanian dan peternakan. Penerimaan tahunan rumah tangga menunjukkan minus hanya pada tahun ke 4, 9, 14 dan ke 19, dimana hal tersebut dikarenakan belum adanya panen kayu dan tidak dilakukan penanaman/panen palawija pada tahun-tahun tersebut, sedangkan penerimaan dari palwija mulai menurun 20 % setiap setelah dilakukan penjarangan. Tabel 32. Model Alokasi Waktu dan Besar Insentif Strata 3 Tahun ke Nilai kebutuhan dukungan insentif per rumah tangga petani (Juta, Rp) Balance pendapatan 25 % > Total rumah tangga petani Sesudah Investasi GK 0 (t 1) (34,205) 11,575 45,78 1 5,945 11,575 5,63 2 5,945 11,575 5,63 3 5,945 11,575 5,63 4 (2,720) 11,575 14,30 6 4,112 11,575 7,36 7 4,112 11,575 7,36 8 4,112 11,575 7,36 9 (2,720) 11,575 14, ,86 11,575 8, ,86 11,575 8, ,86 11,575 8,75 14 (2,720) 11,575 14, , ,575 9, , ,575 9, , ,575 9,86 19 (2,720) 11,575 14,30 Jumlah total kebutuhan insentif (2,981) 196, ,88 Penerimaan bersih dari hasil penjarangan di tahun ke 5, 10, dan 15 serta

25 138 panen, selama masa 20 tahun berjumlah Rp. 369,180,000 atau rata-rata Rp.36,918,000 per tahun, sehingga apabila ditambah dengan pendapatan bersih dari palawija dan peternakan dan dikurangi pendapatan minus rumah tangga seluruhnya berjumlah Rp.423,957,000 atau Rp.42,395,7000 pertahun. Nilai usaha agroforestri strata 3 tanpa internalisasi tersebut lebih dari cukup untuk jaminan pembayaran angsuran skim kredit lunak insentif yang bergulir dari program pemerintah. Skim kredit tanpa bunga dapat dipertimbangkan apabila dikaitkan dengan nilai ekonomi jasa air Rp , dan nilai ekonomi jasa karbon Rp per tahun dari strata 3. Gambar 24.. Model alokasi waktu dan besaran insenti strata 3 (luas 2 ha) Dukungan kebijakan lainnya adalah fasilitasi valuasi ekonomi jasa air dan jasa karbon agroforestri, serta menginisiasi pengembangan pasar karbon sukarela (voluntary market) di dalam negeri untuk pengurangan emisi karbon dari agroforestri. Pengalaman di Brasil dan Filipina, serta Vietnam menunjukkan monitoring karbon pada agroforestri dengan luas sempit secara periodik, lebih efisien dilakukan masing-masing pemilik lahan berbarengan dengan intensifikasi kelola agroforestrinya. Kesinambungan usaha agroforestri secara teknis sangat ditentukan dari

26 139 intensitas penanaman dan atau penyulaman tanaman pada ruang lahan kosong, sehingga penjarangan yang dilakukan, sehingga setiap saat tanaman tahunan akan mempunyai komposisi umur yang beragam dan bertingkat. Hal ini akan sangat penting, karena pengusahaan agroforestri pada lahan sempit, tidak seperti halnya pengusahaan dalam skala luas (corporate management), dimana pembagian menjadi blok tanaman tahunan yang membuat pemanenan dapat diatur untuk mempertahankan kelestarian hutan.

KERANGKA PIKIR PENELITIAN DAN HIPOTESIS. Referensi menunjukkan, bahwa keberadaan agroforestri mempunyai peran

KERANGKA PIKIR PENELITIAN DAN HIPOTESIS. Referensi menunjukkan, bahwa keberadaan agroforestri mempunyai peran 69 III. KERANGKA PIKIR PENELITIAN DAN HIPOTESIS 3.1 Kerangka Pikir Penelitian Referensi menunjukkan, bahwa keberadaan agroforestri mempunyai peran dan berkontribusi penting sebagai sumber nafkah utama

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Lokasi penelitian disertasi ditentukan secara purposive di Unit

METODE PENELITIAN. Lokasi penelitian disertasi ditentukan secara purposive di Unit 76 IV. METODE PENELITIAN 4.1 Kriteria Lokasi Penelitian Lokasi penelitian disertasi ditentukan secara purposive di Unit Manajemen Agroforestri Agroforestri yang telah bersertifikasi PHBML dari Lembaga

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Peran dan fungsi jasa lingkungan ekosistem hutan makin menonjol dalam menopang kehidupan untuk keseluruhan aspek ekologis, ekonomi dan sosial. Meningkatnya perhatian terhadap

Lebih terperinci

Kebijakan Fiskal Sektor Kehutanan

Kebijakan Fiskal Sektor Kehutanan Kebijakan Fiskal Sektor Kehutanan Prof. Dr. Singgih Riphat Badan Kebijakan Fiskal Departemen Keuangan PENYUMBANG EMISI CO 2 TERBESAR DI DUNIA Indonesia menempati urutan ke 16 dari 25 negara penyumbang

Lebih terperinci

KESIMPULAN DAN SARAN

KESIMPULAN DAN SARAN 369 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Selama tahun 1990-2009 terjadi pengurangan luas hutan SWP DAS Arau sebesar 1.320 ha, mengakibatkan kecenderungan peningkatan debit maksimum, penurunan debit minimum

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 10 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Desa Wangunjaya Kecamatan Cugenang Kabupaten Cianjur Provinsi Jawa Barat. Penelitian ini dilakukan selama satu

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sungai dan Daerah Aliran Sungai (DAS) menjadi areal vital bagi manusia dalam memenuhi kebutuhan akan air. Pemanfaatan air sungai banyak digunakan sebagai pembangkit

Lebih terperinci

III. RUMUSAN, BAHAN PERTIMBANGAN DAN ADVOKASI ARAH KEBIJAKAN PERTANIAN 3.3. PEMANTAPAN KETAHANAN PANGAN : ALTERNATIF PEMIKIRAN

III. RUMUSAN, BAHAN PERTIMBANGAN DAN ADVOKASI ARAH KEBIJAKAN PERTANIAN 3.3. PEMANTAPAN KETAHANAN PANGAN : ALTERNATIF PEMIKIRAN III. RUMUSAN, BAHAN PERTIMBANGAN DAN ADVOKASI ARAH KEBIJAKAN PERTANIAN Pada tahun 2009, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian melakukan kegiatan analisis dan kajian secara spesifik tentang

Lebih terperinci

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN 1994-2003 6.1. Hasil Validasi Kebijakan Hasil evaluasi masing-masing indikator

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan pertumbuhan ekonomi nasional tekanan terhadap sumber daya hutan semakin

BAB I PENDAHULUAN. dan pertumbuhan ekonomi nasional tekanan terhadap sumber daya hutan semakin BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan di Indonesia mempunyai peranan baik ditinjau dari aspek ekonomi, sosial budaya, maupun secara ekologis. Sejalan dengan pertambahan penduduk dan pertumbuhan ekonomi

Lebih terperinci

IX. KESIMPULAN DAN SARAN. yang sangat strategis bagi pembangunan yang berkelanjutkan di Provinsi

IX. KESIMPULAN DAN SARAN. yang sangat strategis bagi pembangunan yang berkelanjutkan di Provinsi 136 IX. KESIMPULAN DAN SARAN 9.1. Kesimpulan Pengembangan kawasan Taman Nasional Gunung Leuser memiliki peran yang sangat strategis bagi pembangunan yang berkelanjutkan di Provinsi Sumatera Utara dan NAD

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan lingkungan. Fungsi hutan terkait dengan lingkungan, sosial budaya

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan lingkungan. Fungsi hutan terkait dengan lingkungan, sosial budaya 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan sumberdaya alam yang sangat penting dalam menjaga keseimbangan lingkungan. Fungsi hutan terkait dengan lingkungan, sosial budaya dan ekonomi. Fungsi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. kehidupan mulai dari tanaman keras, non kayu, satwa, buah-buahan, satuan budi

TINJAUAN PUSTAKA. kehidupan mulai dari tanaman keras, non kayu, satwa, buah-buahan, satuan budi TINJAUAN PUSTAKA Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Hutan rakyat adalah hutan yang pengelolaannya dilaksanakan oleh organisasi masyarakat baik pada lahan individu, komunal (bersama), lahan adat, maupun

Lebih terperinci

kepemilikan lahan. Status lahan tidak jelas yang ditunjukkan oleh tidak adanya dokumen

kepemilikan lahan. Status lahan tidak jelas yang ditunjukkan oleh tidak adanya dokumen Lampiran 1 Verifikasi Kelayakan Hutan Rakyat Kampung Calobak Berdasarkan Skema II PHBML-LEI Jalur C NO. INDIKATOR FAKTA LAPANGAN NILAI (Skala Intensitas) KELESTARIAN FUNGSI PRODUKSI 1. Kelestarian Sumberdaya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. terpadu dan melanggar kaidah pelestarian lahan dan lingkungan. Eksploitasi lahan

I. PENDAHULUAN. terpadu dan melanggar kaidah pelestarian lahan dan lingkungan. Eksploitasi lahan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Laju peningkatan produktivitas tanaman padi di Indonesia akhir-akhir ini cenderung melandai, ditandai salah satunya dengan menurunnya produksi padi sekitar 0.06 persen

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. manusia. Kegiatan usaha ini harus diiringi oleh perhatian terhadap keseimbangan

TINJAUAN PUSTAKA. manusia. Kegiatan usaha ini harus diiringi oleh perhatian terhadap keseimbangan II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Usaha Peternakan Sapi Perah Peternakan didefinisikan sebagai usaha dalam memanfaatkan kekayaan alam berupa ternak, dengan cara produksi untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bawah tanah. Definisi hutan menurut Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang

BAB I PENDAHULUAN. bawah tanah. Definisi hutan menurut Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan sumber daya alam yang menyimpan kekayaan keanekaragaman hayati dan sumber daya alam lain yang terdapat di atas maupun di bawah tanah. Definisi hutan

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN DAN IMPLIKASI. 6.1 Kesimpulan. sektor kehutanan yang relatif besar. Simulasi model menunjukkan bahwa perubahan

BAB VI KESIMPULAN DAN IMPLIKASI. 6.1 Kesimpulan. sektor kehutanan yang relatif besar. Simulasi model menunjukkan bahwa perubahan BAB VI KESIMPULAN DAN IMPLIKASI 6.1 Kesimpulan Perubahan iklim diperkirakan memberikan dampak pada perekonomian dan sektor kehutanan yang relatif besar. Simulasi model menunjukkan bahwa perubahan iklim

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kamus Lengkap Ekonomi Collins (1997) dalam Manaf (2000),

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kamus Lengkap Ekonomi Collins (1997) dalam Manaf (2000), II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Teori 2.1.1. Subsidi Menurut Kamus Lengkap Ekonomi Collins (1997) dalam Manaf (2000), subsidi adalah cadangan keuangan dan sumber-sumber daya lainnya untuk mendukung

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertanian dan sektor-sektor yang terkait dengan sektor agribisnis

I. PENDAHULUAN. Pertanian dan sektor-sektor yang terkait dengan sektor agribisnis I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertanian dan sektor-sektor yang terkait dengan sektor agribisnis merupakan sektor yang paling penting di hampir semua negara berkembang. Sektor pertanian ternyata dapat

Lebih terperinci

KETAHANAN PANGAN: KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL

KETAHANAN PANGAN: KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL KETAHANAN PANGAN: KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL UU NO 7 TH 1996: Pangan = Makanan Dan Minuman Dari Hasil Pertanian, Ternak, Ikan, sbg produk primer atau olahan Ketersediaan Pangan Nasional (2003)=

Lebih terperinci

Konsep Imbal Jasa Lingkungan Dalam Penyelenggaraan Konservasi Tanah dan Air Oleh: Khopiatuziadah *

Konsep Imbal Jasa Lingkungan Dalam Penyelenggaraan Konservasi Tanah dan Air Oleh: Khopiatuziadah * Konsep Imbal Jasa Lingkungan Dalam Penyelenggaraan Konservasi Tanah dan Air Oleh: Khopiatuziadah * Pada akhir masa sidang III lalu, Rapat Paripurna DPR mengesahkan salah satu RUU usul inisatif DPR mengenai

Lebih terperinci

Pembangunan Bambu di Kabupaten Bangli

Pembangunan Bambu di Kabupaten Bangli BAB V Pembangunan di Kabupaten Bangli Oleh: Dinas Pertanian, Perkebunan dan Perhutanan Kabupaten Bangli. Dewasa ini, permintaan kayu semakin meningkat, sementara kemampuan produksi kayu dari kawasan hutan

Lebih terperinci

REVITALISASI KEHUTANAN

REVITALISASI KEHUTANAN REVITALISASI KEHUTANAN I. PENDAHULUAN 1. Berdasarkan Peraturan Presiden (PERPRES) Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional Tahun 2004-2009 ditegaskan bahwa RPJM merupakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (DJR/DR) dan Provisi Sumberdaya Hutan (PSDH/IHH). Penerimaan ini

I. PENDAHULUAN. (DJR/DR) dan Provisi Sumberdaya Hutan (PSDH/IHH). Penerimaan ini 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam tiga dasawarsa terakhir sektor kehutanan memberikan kontribusi penting bagi perekonomian Indonesia. Selama periode tahun 1980-2005 penerimaan dari sektor kehutanan

Lebih terperinci

V HASIL DAN PEMBAHASAN

V HASIL DAN PEMBAHASAN V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Keadaan Umum Responden Tingkat pendidikan di Desa Babakanreuma masih tergolong rendah karena dari 36 responden sebagian besar hanya menyelesaikan pendidikan sampai tingkat SD,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara maritim yang lautannya lebih luas daripada daratan. Luas lautan Indonesia 2/3 dari luas Indonesia. Daratan Indonesia subur dengan didukung

Lebih terperinci

Memperhatikan pokok-pokok dalam pengelolaan (pengurusan) hutan tersebut, maka telah ditetapkan Visi dan Misi Pembangunan Kehutanan Sumatera Selatan.

Memperhatikan pokok-pokok dalam pengelolaan (pengurusan) hutan tersebut, maka telah ditetapkan Visi dan Misi Pembangunan Kehutanan Sumatera Selatan. BAB II. PERENCANAAN KINERJA A. Rencana Strategis Organisasi Penyelenggaraan pembangunan kehutanan di Sumatera Selatan telah mengalami perubahan paradigma, yaitu dari pengelolaan yang berorientasi pada

Lebih terperinci

BAB II. PERENCANAAN KINERJA

BAB II. PERENCANAAN KINERJA BAB II. PERENCANAAN KINERJA A. Rencana Strategis Organisasi Penyelenggaraan pembangunan kehutanan di Sumatera Selatan telah mengalami perubahan paradigma, yaitu dari pengelolaan yang berorientasi pada

Lebih terperinci

POTENSI DAN KELEMBAGAAN HUTAN RAKYAT Oleh: Billy Hindra 1)

POTENSI DAN KELEMBAGAAN HUTAN RAKYAT Oleh: Billy Hindra 1) POTENSI DAN KELEMBAGAAN HUTAN RAKYAT Oleh: Billy Hindra 1) I. PENDAHULUAN Sumberdaya hutan di Indonesia seluas 120 juta hektar mempunyai keanekaragaman hayati yang sangat tinggi sehingga hutan kita tidak

Lebih terperinci

IV. METODOLOGI. merupakan salah satu daerah pertanian produktif di Kabupaten Majalengka.

IV. METODOLOGI. merupakan salah satu daerah pertanian produktif di Kabupaten Majalengka. IV. METODOLOGI 4.1. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Sukahaji, Kabupaten Majalengka. Pemilihan lokasi ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa Kecamatan Sukahaji merupakan salah satu

Lebih terperinci

V. DESKRIPSI RUMAHTANGGA PETANI TANAMAN PANGAN. Pada bagian ini akan disajikan secara singkat deskripsi statistik kondisi

V. DESKRIPSI RUMAHTANGGA PETANI TANAMAN PANGAN. Pada bagian ini akan disajikan secara singkat deskripsi statistik kondisi 153 V. DESKRIPSI RUMAHTANGGA PETANI TANAMAN PANGAN Pada bagian ini akan disajikan secara singkat deskripsi statistik kondisi rumahtangga pertanian yang menjadi objek penelitian ini. Variabel-variabel yang

Lebih terperinci

PENINGKATAN KESEJAHTERAAN PETANI MELALUI PENGEMBANGAN AGROFORESTRY

PENINGKATAN KESEJAHTERAAN PETANI MELALUI PENGEMBANGAN AGROFORESTRY PENINGKATAN KESEJAHTERAAN PETANI MELALUI PENGEMBANGAN AGROFORESTRY BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASI KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN BALAI PENELITIAN KEHUTANAN MANADO 2016 PENDAHULUAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan yang paling mendasar bagi sumberdaya manusia suatu bangsa. Untuk mencapai ketahanan pangan diperlukan ketersediaan pangan dalam jumlah dan kualitas

Lebih terperinci

REVITALISASI PERTANIAN

REVITALISASI PERTANIAN REVITALISASI PERTANIAN Pendahuluan 1. Revitalisasi pertanian dan pedesaan, merupakan salah satu strategi yang dipilih oleh Kabinet Indonesia Bersatu dalam upayanya mewujudkan pembangunan masyarakat Indonesia,

Lebih terperinci

PROSIDING Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan 2006 : POTENSI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA DAN PERMASALAHANNYA Oleh : Sukadaryati 1) ABSTRAK

PROSIDING Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan 2006 : POTENSI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA DAN PERMASALAHANNYA Oleh : Sukadaryati 1) ABSTRAK POTENSI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA DAN PERMASALAHANNYA Oleh : Sukadaryati 1) ABSTRAK Hutan rakyat sudah lama ada dan terus berkembang di masyarakat. Manfaat yang diperoleh dari hutan rakyat sangat dirasakan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. berinteraksi dalam satu sistem (pohon, tanaman dan atau ternak) membuat

II. TINJAUAN PUSTAKA. berinteraksi dalam satu sistem (pohon, tanaman dan atau ternak) membuat 8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Agroforestri Sistem agroforestri memiliki karakter yang berbeda dan unik dibandingkan sistem pertanian monokultur. Adanya beberapa komponen berbeda yang saling berinteraksi dalam

Lebih terperinci

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

VI. KESIMPULAN DAN SARAN 105 VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6. 1. Kesimpulan Penelitian ini memfokuskan kepada upaya untuk memahami persepsi dan strategi petani di dalam menjalankan usaha tanaman kayu rakyat. Pemahaman terhadap aspek-aspek

Lebih terperinci

REFORMA AGRARIA SEBAGAI BAGIAN INTEGRAL DARI REVITALISASI PERTANIAN DAN PEMBANGUNAN EKONOMI PEDESAAN

REFORMA AGRARIA SEBAGAI BAGIAN INTEGRAL DARI REVITALISASI PERTANIAN DAN PEMBANGUNAN EKONOMI PEDESAAN REFORMA AGRARIA SEBAGAI BAGIAN INTEGRAL DARI REVITALISASI PERTANIAN DAN PEMBANGUNAN EKONOMI PEDESAAN Krisis ekonomi yang sampai saat ini dampaknya masih terasa sebenarnya mengandung hikmah yang harus sangat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan ekosistem dan keanekaragaman hayati. Dengan kata lain manfaat

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan ekosistem dan keanekaragaman hayati. Dengan kata lain manfaat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan memiliki peranan penting bagi kehidupan manusia, baik yang berupa manfaat ekonomi secara langsung maupun fungsinya dalam menjaga daya dukung lingkungan. Hutan

Lebih terperinci

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

VI. KESIMPULAN DAN SARAN VI. KESIMPULAN DAN SARAN A. Rangkuman (Sintesa) Temuan KBU merupakan kawasan lindung yang sangat dekat dengan pusat kegiatan ekonomi dan pusat pengembangan wilayah yakni Kota Bandung. Sebagai bagian dari

Lebih terperinci

VII. ANALISIS DAYA SAING USAHATANI JAGUNG

VII. ANALISIS DAYA SAING USAHATANI JAGUNG VII. ANALISIS DAYA SAING USAHATANI JAGUNG 7.1. Profitabilitas Privat dan Sosial Analisis finansial dan ekonomi usahatani jagung memberikan gambaran umum dan sederhana mengenai tingkat kelayakan usahatani

Lebih terperinci

AGROFORESTRY : SISTEM PENGGUNAAN LAHAN YANG MAMPU MENINGKATKAN PENDAPATAN MASYARAKAT DAN MENJAGA KEBERLANJUTAN

AGROFORESTRY : SISTEM PENGGUNAAN LAHAN YANG MAMPU MENINGKATKAN PENDAPATAN MASYARAKAT DAN MENJAGA KEBERLANJUTAN AGROFORESTRY : SISTEM PENGGUNAAN LAHAN YANG MAMPU MENINGKATKAN PENDAPATAN MASYARAKAT DAN MENJAGA KEBERLANJUTAN Noviana Khususiyah, Subekti Rahayu, dan S. Suyanto World Agroforestry Centre (ICRAF) Southeast

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengelolaan sumberdaya hutan pada masa lalu banyak menimbulkan kerugian baik secara sosial, ekonomi, dan ekologi. Laju angka kerusakan hutan tropis Indonesia pada

Lebih terperinci

PERHUTANAN SOSIAL DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT YANG EFEKTIF

PERHUTANAN SOSIAL DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT YANG EFEKTIF Peran Penting Masyarakat dalam Tata Kelola Hutan dan REDD+ 3 Contoh lain di Bantaeng, dimana untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemandirian, pemerintah kabupaten memberikan modal dan aset kepada desa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. lain-lain merupakan sumber daya yang penting dalam menopang hidup manusia.

I. PENDAHULUAN. lain-lain merupakan sumber daya yang penting dalam menopang hidup manusia. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kaya akan sumber daya alam baik sumber daya alam terbaharukan maupun tidak. Udara, lahan, air, minyak bumi, hutan dan lain-lain merupakan sumber

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian merupakan salah satu tindakan yang mendukung untuk

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian merupakan salah satu tindakan yang mendukung untuk 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan pertanian merupakan salah satu tindakan yang mendukung untuk menopang perekonomian nasional. Pembangunan pertanian yang baik untuk Negara Indonesia adalah

Lebih terperinci

Peranan Pertanian di Dalam Pembangunan Ekonomi. Perekonomian Indonesia

Peranan Pertanian di Dalam Pembangunan Ekonomi. Perekonomian Indonesia Peranan Pertanian di Dalam Pembangunan Ekonomi Perekonomian Indonesia Peran Pertanian pada pembangunan: Kontribusi Sektor Pertanian: Sektor Pertanian dalam Pembangunan Ekonomi Pemasok bahan pangan Fungsi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Hutan sebagai sumberdaya alam mempunyai manfaat yang penting bagi

PENDAHULUAN. Hutan sebagai sumberdaya alam mempunyai manfaat yang penting bagi PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan sebagai sumberdaya alam mempunyai manfaat yang penting bagi kehidupan manusia baik secara ekonomi, ekologi dan sosial. Dalam Undangundang Nomor 41 Tahun 1999 disebutkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang harus dilindungi keberadaannya. Selain sebagai gudang penyimpan

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang harus dilindungi keberadaannya. Selain sebagai gudang penyimpan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang sangat bermanfaat bagi manusia. Hutan merupakan ekosistem yang menjadi penyangga kehidupan manusia yang harus dilindungi

Lebih terperinci

VI. PERSEPSI TERHADAP PROGRAM PEMBAYARAN JASA LINGKUNGAN. 6.1 Mekanisme Pembayaran Jasa Lingkungan

VI. PERSEPSI TERHADAP PROGRAM PEMBAYARAN JASA LINGKUNGAN. 6.1 Mekanisme Pembayaran Jasa Lingkungan VI. PERSEPSI TERHADAP PROGRAM PEMBAYARAN JASA LINGKUNGAN 6.1 Mekanisme Pembayaran Jasa Lingkungan Berdasrkan Tim Studi PES RMI (2007) program Pembayaran Jasa Lingkungan (PJL) DAS Brantas melibatkan beberapa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Jawa Barat. Daerah Irigasi Jatiluhur dibangun oleh Pemerintah Republik

I. PENDAHULUAN. Jawa Barat. Daerah Irigasi Jatiluhur dibangun oleh Pemerintah Republik 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah Irigasi Jatiluhur terletak di Daerah Aliran Sungai Citarum Provinsi Jawa Barat. Daerah Irigasi Jatiluhur dibangun oleh Pemerintah Republik Indonesia pada tahun

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Pustaka Studi kelayakan yang juga sering disebut dengan feasibility study merupakan bahan pertimbangan dalam mengambil suatu keputusan, apakah menerima atau menolak

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian memiliki peran yang strategis dalam perekonomian

I PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian memiliki peran yang strategis dalam perekonomian I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan pertanian memiliki peran yang strategis dalam perekonomian nasional. Peran strategis pertanian tersebut digambarkan melalui kontribusi yang nyata melalui pembentukan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertanian merupakan sektor yang sangat penting karena pertanian berhubungan langsung dengan ketersediaan pangan. Pangan yang dikonsumsi oleh individu terdapat komponen-komponen

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Tanaman Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) dalam Hutan Tanaman adalah izin usaha yang diberikan untuk memanfaatkan hasil hutan berupa kayu dalam Hutan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. berbasis tebu merupakan salah satu sumber pendapatan bagi sekitar 900 ribu

I. PENDAHULUAN. berbasis tebu merupakan salah satu sumber pendapatan bagi sekitar 900 ribu I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gula merupakan salah satu komoditas yang mempunyai posisi strategis dalam perekonomian Indonesia. Pada tahun 2000 sampai tahun 2005 industri gula berbasis tebu merupakan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat dalam pembangunan dapat diartikan sebagai keikutsertaan masyarakat

TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat dalam pembangunan dapat diartikan sebagai keikutsertaan masyarakat TINJAUAN PUSTAKA Partisipasi Masyarakat Partisipasi adalah turut berperan sertanya seseorang atau masyarakat mulai dari perencanaan sampai dengan laporan di dalam suatu kegiatan. Partisipasi masyarakat

Lebih terperinci

BAB VI KELEMBAGAAN USAHA KAYU RAKYAT

BAB VI KELEMBAGAAN USAHA KAYU RAKYAT BAB VI KELEMBAGAAN USAHA KAYU RAKYAT 6.1 Kelembagaan Pengurusan Hutan Rakyat Usaha kayu rakyat tidak menjadi mata pencaharian utama karena berbagai alasan antara lain usia panen yang lama, tidak dapat

Lebih terperinci

ANALISIS FINANSIAL USAHA PUPUK ORGANIK KELOMPOK TANI DI KABUPATEN BANTUL I. PENDAHULUAN

ANALISIS FINANSIAL USAHA PUPUK ORGANIK KELOMPOK TANI DI KABUPATEN BANTUL I. PENDAHULUAN ANALISIS FINANSIAL USAHA PUPUK ORGANIK KELOMPOK TANI DI KABUPATEN BANTUL A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN Sektor pertanian merupakan sektor yang mempunyai peranan strategis dalam struktur pembangunan perekonomian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Karet di Indonesia merupakan salah satu komoditas penting perkebunan. selain kelapa sawit, kopi dan kakao. Karet ikut berperan dalam

I. PENDAHULUAN. Karet di Indonesia merupakan salah satu komoditas penting perkebunan. selain kelapa sawit, kopi dan kakao. Karet ikut berperan dalam 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Karet di Indonesia merupakan salah satu komoditas penting perkebunan selain kelapa sawit, kopi dan kakao. Karet ikut berperan dalam menyumbangkan pendapatan

Lebih terperinci

Pusat Penelitian Perubahan Iklim dan Kebijakan

Pusat Penelitian Perubahan Iklim dan Kebijakan ANALISIS SOSIAL BUDAYA REDD+ 2011 Penyusunan Kriteria Indikator Pemilihan Lokasi dan Strategi Keberhasilan Implementasi REDD dari Perspektif Struktur Sosial Budaya Tim Peneliti PUSPIJAK Pusat Penelitian

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Studi Kelayakan Proyek Proyek adalah suatu keseluruhan aktivitas yang menggunakan sumber-sumber untuk mendapatkan kemanfaatan (benefit),

Lebih terperinci

ANALISA EKONOMI PEMBANGUNAN KEHUTANAN: Aplikasi MUTAN

ANALISA EKONOMI PEMBANGUNAN KEHUTANAN: Aplikasi MUTAN ANALISA EKONOMI PEMBANGUNAN KEHUTANAN: Aplikasi MUTAN DEDEN DJAENUDIN Pusat Litbang Perubahan Iklim dan Kebijakan Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Email: dendja07@yahoo.com.au Latar

Lebih terperinci

Kepastian Pembiayaan dalam keberhasilan implementasi REDD+ di Indonesia

Kepastian Pembiayaan dalam keberhasilan implementasi REDD+ di Indonesia ISSN : 2085-787X Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SOSIAL, EKONOMI, KEBIJAKAN DAN PERUBAHAN IKLIM Jl. Gunung Batu No.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya hutan tropis untuk kepentingan pertanian terkait dengan upayaupaya

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya hutan tropis untuk kepentingan pertanian terkait dengan upayaupaya I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berkurangnya hutan tropis untuk kepentingan pertanian terkait dengan upayaupaya masyarakat sekitar hutan untuk memenuhi kebutuhan pangan. Khusus di Propinsi Lampung, pembukaan

Lebih terperinci

III KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis Kerangka pemikiran teoritis dilandasi oleh teori-teori mengenai konsep marketable dan marketed surplus, serta faktor-faktor yang memepengaruhinya.

Lebih terperinci

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gambaran Program Pembiayaan Pertanian

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gambaran Program Pembiayaan Pertanian II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gambaran Program Pembiayaan Pertanian Dalam upaya pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sektor pertanian telah dilaksanakan banyak program pembiayaan pertanian.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1. Tinjauan Pustaka Tanaman kopi rakyat sebagian besar merupakan tanaman tua, tanaman semaian dari bibit tanaman lokal

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini

I. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam menilai keberhasilan pembangunan dan upaya memperkuat daya saing ekonomi daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini dikarenakan

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 6.1 Kesimpulan Kabupaten karawang sebagai lumbung padi mempunyai peran penting dalam menjaga swasembada beras nasional tentunya demi menjaga swasembada beras nasional

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bertambahnya jumlah penduduk dan masuknya migrasi penduduk di suatu daerah, maka akan semakin banyak jumlah lahan yang diperlukan untuk pemenuhan kebutuhan sandang, papan

Lebih terperinci

IX. DAMPAK PERUBAHAN VARIABEL EKONOMI DAN TEKNIS

IX. DAMPAK PERUBAHAN VARIABEL EKONOMI DAN TEKNIS IX. DAMPAK PERUBAHAN VARIABEL EKONOMI DAN TEKNIS 9.1. Perubahan Harga Komoditas Diskripsi pengaruh perubahan harga didasarkan pada dua skenario; yaitu yang didasarkan pada rata-rata pendugaan perubahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Paradigma pembangunan berkelanjutan mengandung makna bahwa pengelolaan sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhan sekarang tidak boleh mengurangi kemampuan sumberdaya

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Perubahan iklim merupakan fenomena global meningkatnya konsentrasi

BAB I. PENDAHULUAN. Perubahan iklim merupakan fenomena global meningkatnya konsentrasi 1 BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perubahan iklim merupakan fenomena global meningkatnya konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) di atmosfer akibat berbagai aktivitas manusia di permukaan bumi, seperti

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Undang-Undang RI No. 41 tahun 1999, hutan rakyat adalah hutan yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Undang-Undang RI No. 41 tahun 1999, hutan rakyat adalah hutan yang 4 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Hutan Rakyat Dalam Undang-Undang RI No. 41 tahun 1999, hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh diatas tanah yang dibebani hak milik (Departeman Kehutanan dan Perkebunan, 1999).

Lebih terperinci

IX. KESIMPULAN DAN SARAN. petani cukup tinggi, dimana sebagian besar alokasi pengeluaran. dipergunakan untuk membiayai konsumsi pangan.

IX. KESIMPULAN DAN SARAN. petani cukup tinggi, dimana sebagian besar alokasi pengeluaran. dipergunakan untuk membiayai konsumsi pangan. IX. KESIMPULAN DAN SARAN 9.1. Kesimpulan 1. Penggunaan tenaga kerja bagi suami dialokasikan utamanya pada kegiatan usahatani, sedangkan istri dan anak lebih banyak bekerja pada usaha di luar usahataninya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.I Latar Belakang. Pertambahan penduduk merupakan faktor utama pendorong bagi upaya

BAB I PENDAHULUAN. I.I Latar Belakang. Pertambahan penduduk merupakan faktor utama pendorong bagi upaya BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Pertambahan penduduk merupakan faktor utama pendorong bagi upaya pemanfaatan sumber daya alam khususnya hutan, disamping intensitas teknologi yang digunakan. Kehutanan

Lebih terperinci

II. KERANGKA PEMIKIRAN

II. KERANGKA PEMIKIRAN II. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis Kerangka pemikiran teoritis merupakan kumpulan teori yang digunakan dalam penelitian. Teori-teori ini berkaitan erat dengan permasalahan yang ada

Lebih terperinci

V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE

V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE Berdasarkan tinjauan pustaka yang bersumber dari CIFOR dan LEI, maka yang termasuk dalam indikator-indikator ekosistem hutan mangrove berkelanjutan dilihat

Lebih terperinci

Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan

Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan ISSN : 2085-787X Volume 5 No. 2 Tahun 2011 Transfer Fiskal antara Pemerintah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Potensi sumber daya alam Indonesia sangat melimpah, antara lain potensi

BAB I PENDAHULUAN. Potensi sumber daya alam Indonesia sangat melimpah, antara lain potensi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi sumber daya alam Indonesia sangat melimpah, antara lain potensi sumber daya alam dari kehutanan. Hasil hutan dapat dimanfaatkan sebesarbesarnya untuk kemakmuran

Lebih terperinci

RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) DIREKTORAT PEMBIAYAAN PERTANIAN TA. 2014

RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) DIREKTORAT PEMBIAYAAN PERTANIAN TA. 2014 RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) DIREKTORAT PEMBIAYAAN PERTANIAN TA. 2014 DIREKTORAT JENDERAL PRASARANA DAN SARANA PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2013 DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... ii BAB

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hutan Rakyat 2.1.1 Definisi hutan rakyat Definisi Hutan rakyat dapat berbeda-beda tergantung batasan yang diberikan. Hutan rakyat menurut Undang-undang No. 41 tahun 1999

Lebih terperinci

Pelayanan Terbaik Menuju Hutan Lestari untuk Kemakmuran Rakyat.

Pelayanan Terbaik Menuju Hutan Lestari untuk Kemakmuran Rakyat. BAB IV VISI, MISI, TUJUAN, SASARAN STRATEGIS DAN KEBIJAKAN 4.1. Visi dan Misi Visi Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Tengah adalah Pelayanan Terbaik Menuju Hutan Lestari untuk Kemakmuran Rakyat. Pelayanan

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN 26 III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Teoritis Penelitian 3.1.1 Model Ekonomi Rumahtangga Pertanian Pada umumnya rumahtangga pertanian di pedesaan mempunyai ciri semi komersial karena penguasaan skala

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 18 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan sebagai modal pembanguan nasional memiliki manfaat yang nyata bagi kehidupan dan penghidupan bangsa Indonesia, baik manfaat ekologi, sosial budaya maupun ekonomi,

Lebih terperinci

III KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Teori Manfaat dan Biaya Dalam menganalisa suatu usaha, tujuan analisa harus disertai dengan definisi-definisi mengenai biaya-biaya dan manfaat-manfaat.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pangan dan rempah yang beraneka ragam. Berbagai jenis tanaman pangan yaitu

I. PENDAHULUAN. pangan dan rempah yang beraneka ragam. Berbagai jenis tanaman pangan yaitu I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai negara agraris yang kaya dengan ketersediaan pangan dan rempah yang beraneka ragam. Berbagai jenis tanaman pangan yaitu padi-padian, umbi-umbian,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan sebagai modal dasar pembangunan perlu dipertahankan keberadaannya dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan dan kesejahteraan masyarakat. Luas kawasan hutan

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2008 KONSORSIUM PENELITIAN: KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PETANI PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2008 KONSORSIUM PENELITIAN: KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PETANI PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2008 KONSORSIUM PENELITIAN: KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PETANI PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM KARAKTERISTIK DAN ARAH PERUBAHAN KONSUMSI DAN PENGELUARAN RUMAH TANGGA Oleh : Harianto

Lebih terperinci

Penelitian ini dilaksanakan di agroforestri Desa Sumberejo yang masuk. dalam Sub DAS Temon, DAS Solo, sedangkan secara administratif masuk ke

Penelitian ini dilaksanakan di agroforestri Desa Sumberejo yang masuk. dalam Sub DAS Temon, DAS Solo, sedangkan secara administratif masuk ke 95 V. DESKRIPSI DAN KONDISI LOKASI PENELITIAN 5.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di agroforestri Desa Sumberejo yang masuk dalam Sub DAS Temon, DAS Solo, sedangkan secara administratif

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Analisis Situasi

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Analisis Situasi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Analisis Situasi Pertumbuhan dan perkembangan sektor usaha perkebunan di Indonesia dimotori oleh usaha perkebunan rakyat, perkebunan besar milik pemerintah dan milik swasta. Di Kabupaten

Lebih terperinci

Bab I. Pendahuluan. memberikan bantuan permodalan dengan menyalurkan kredit pertanian. Studi ini

Bab I. Pendahuluan. memberikan bantuan permodalan dengan menyalurkan kredit pertanian. Studi ini Bab I Pendahuluan Di setiap negara manapun masalah ketahanan pangan merupakan suatu hal yang sangat penting. Begitu juga di Indonesia, terutama dengan hal yang menyangkut padi sebagai makanan pokok mayoritas

Lebih terperinci

VII. ANALISIS ASPEK FINANSIAL

VII. ANALISIS ASPEK FINANSIAL VII. ANALISIS ASPEK FINANSIAL Analisis aspek finansial digunakan untuk menganalisis kelayakan suatu proyek atau usaha dari segi keuangan. Analisis aspek finansial dapat memberikan perhitungan secara kuantatif

Lebih terperinci

- 2 - II. PASAL DEMI PASAL. Pasal 1 Cukup jelas.

- 2 - II. PASAL DEMI PASAL. Pasal 1 Cukup jelas. - 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG TATA KELOLA PRODUK-PRODUK UNGGULAN PERTANIAN DAN PERIKANAN DI JAWA TIMUR I. UMUM Wilayah Provinsi Jawa Timur yang luasnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. telah dibuka maka investasi harus terus dilanjutkan sampai kebun selesai

BAB I PENDAHULUAN. telah dibuka maka investasi harus terus dilanjutkan sampai kebun selesai BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bisnis perkebunan kelapa sawit merupakan salah satu bisnis yang dinilai prospektif saat ini. Karakteristik investasi dibidang perkebunan kelapa sawit teramat berbeda

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. percepatan terwujudnya peningkatan kesejahteraan seluruh rakyat (Bappenas,

I. PENDAHULUAN. percepatan terwujudnya peningkatan kesejahteraan seluruh rakyat (Bappenas, I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tujuan utama kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal adalah percepatan terwujudnya peningkatan kesejahteraan seluruh rakyat (Bappenas, 2007). Untuk mewujudkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dekade ini termasuk di Indonesia. Berdasar Undang-undang Nomor 18 tahun 2012

BAB I PENDAHULUAN. dekade ini termasuk di Indonesia. Berdasar Undang-undang Nomor 18 tahun 2012 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ketahanan pangan (food security) telah menjadi isu global selama dua dekade ini termasuk di Indonesia. Berdasar Undang-undang Nomor 18 tahun 2012 tentang Pangan disebutkan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Tanaman kehutanan adalah tanaman yang tumbuh di hutan yang berumur

III. METODE PENELITIAN. Tanaman kehutanan adalah tanaman yang tumbuh di hutan yang berumur 47 III. METODE PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Definisi Operasional Konsep dasar dan definisi operasional mencakup pengertian yang digunakan untuk mendapatkan dan menganalisis data sesuai dengan tujuan

Lebih terperinci