IX. DAMPAK PERUBAHAN VARIABEL EKONOMI DAN TEKNIS

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "IX. DAMPAK PERUBAHAN VARIABEL EKONOMI DAN TEKNIS"

Transkripsi

1 IX. DAMPAK PERUBAHAN VARIABEL EKONOMI DAN TEKNIS 9.1. Perubahan Harga Komoditas Diskripsi pengaruh perubahan harga didasarkan pada dua skenario; yaitu yang didasarkan pada rata-rata pendugaan perubahan yang terjadi di lapang selama kurun waktu tahun 2000 hingga 2003 serta didasarkan angka hipotetis. Rata-rata perubahan harga data primer untuk komoditas kacang tanah sebesar 8%, komoditas kubis dan wortel sebesar 10% serta kentang 12%. Perubahan harga hipotetis yang diaplikasikan adalah harga komoditas kacang tanah sebesar 5% dan tiga tanaman yang lain masing-masing 10%. Perubahan harga mempengaruhi perubahan keputusan aktivitas optimal di wilayah sub-sistem hulu waduk maupun sub-sistem ekologi bendungan-waduk, dan mempengaruhi besaran harga bayangan ketebalan lapisan tanah (UCSE). Perubahan paket pola tanam optimal tidak terjadi pada fungsi lahan kebun, karena komoditas yang ditetapkan mengalami perubahan harga adalah tanaman yang membentuk paket pola tanam untuk lahan sawah dan tegal. Apabila hasil pemecahan problem optimasi dinamik Model-DTA dasar (Tabel 14) dibandingkan dengan hasil skenario (Tabel 33 hingga 35) dapat diperoleh gambaran bahwa dari satu klasifikasi fungsi dan kemiringan lahan yang sama terjadi pergeseran paket pola tanam optimal. Luas lahan yang dioptimalkan tidak menunjukkan variasi menurut periode (tahun), dan sama dengan luas lahan yang tersedia. Walaupun harga kubis mengalami penurunan sebesar 10%, namun tidak merubah keputusan aktivitas optimal pada lahan sawah; sedangkan pada fungsi lahan tegal terjadi keadaan yang sebaliknya. Pergeseran keputusan pola tanam optimal lahan tegal II pada skenario 1 a terjadi pada periode waktu yang lebih cepat daripada skenario 1 b.

2 Tabel 33. Perubahan Aktivitas Optimal (ha) di Wilayah Sub-Sub DAS Bango Karena Perubahan Harga Komoditas Tanaman Kacang Tanah Dan Sayuran Skenario 1 a Skenario 1 b Tahun Sawah I Tegal I Tegal II Sawah I Tegal I Tegal II Pd-Pd-Sy Jg-Jg-Sy Tebu Pd-Jg-Kc Tnh Tebu Pd-Pd-Sy Jg-Jg-Sy Ken-Wort Tebu Pd-Jg-Kc.Tnh Tebu Sumber: Olahan data Keterangan: Skenario 1 a : didasarkan perubahan harga data primer Skenario 1 b : didasarkan perubahan harga angka hipotetis

3 Paket pola tanam Pd Pd Sy tetap merupakan aktivitas optimal pada lahan sawah kemiringan I (0 15%) meskipun harga kubis menurun (Tabl 33 hingga 35). Kondisi yang sama juga terjadi pada lahan sawah kemiringan II ( 15%) di Sub-sub DAS Sumber Brantas (Tabel 38). Perubahan harga komoditas kubis, kentang dan wortel menyebabkan pergeseran keputusan aktivitas optimal pada lahan tegal kemiringan I. Keputusan aktivitas optimal pada model dasar dari tegal kemiringan I adalah Kentang-Wortel; sedangkan pada skenario 1 a adalah paket Jg-Jg-Sy dan tebu. Pada lahan tegal kemiringan I dengan skenario 1 a terjadi pergeseran paket pola tanam optimal pada tahun 2017; sedangkan pada skenario 1 b terjadi pergeseran dua kali yaitu pada tahun 2004 dan Dari keseluruhan Sub-sub DAS terdapat fenomena bahwa pergeseran yang terjadi pada lahan tegal kemiringan I adalah dari pola tanam dengan potensi erosi tinggi ke rendah, kecuali Sub-sub DAS Sumber Brantas. Sementara itu, pergeseran aktivitas optimal yang terjadi pada lahan tegal kemiringan II ( 15%) relatif bervariasi menurut Sub-sub DAS. Perubahan harga kacang tanah menyebabkan pergeseran aktivitas optimal pada Sub-sub DAS Bango; yakni dari Pd-Jg-Kacang tanah menjadi tebu (Tabel 33). Pada lahan tegal kemiringan II dengan skenario 1 a terjadi pergeseran pola tanam optimal mulai tahun 2006, sedangkan pada skenario 1 b terjadi lebih lambat, yakni tahun Potensi erosi pola tanam Pd-Jg-Kacang tanah (81.70 ton/ha/th) relatif lebih besar daripada tebu (16.10 ton/ha/th). Pergeseran aktivitas optimal pada lahan tegal kemiringan II yang dikarenakan perubahan harga kubis terjadi pada Sub-sub DAS Lesti dan Metro; yaitu dari paket Jg-Jg-Sy menjadi tebu (Tabel 35). Apabila ditinjau dari potensi erosi, pergeseran aktivitas optimal yang terjadi pada lahan tegal kemiringan II di wilayah Lesti dan Metro tersebut mempunyai

4 Tabel 34. Perubahan Aktivitas Optimal (ha) di Wilayah Sub-Sub DAS Sumber Brantas Karena Perubahan Harga Komoditas Tanaman Kacang Tanah Dan Sayuran Skenario 1 a Skenario 1 b Tahun Sawah I Sawah II Tegal I Tegal II Sawah I Sawah II Tegal I Tegal II Pd-Pd-Sy Pd-Pd-Sy Jg-Jg-Sy Tebu Apel Pd-Pd-Sy Pd-Pd-Sy Jg-Jg-Sy Ken-Wort Tebu Apel Sumber: Olahan data Keterangan: Skenario 1 a : didasarkan perubahan harga data primer Skenario 1 b : didasarkan perubahan harga angka hipotetis

5 kecenderungan yang berlawanan dengan kondisi yang terjadi pada lahan tegal kemiringan I. Pada lahan tegal kemiringan I terjadi pergeseran pola tanam optimal dari Padi Jg Kacang Tanah menjadi tebu, yaitu menunjukkan adanya pergeseran yang mengarah pada pola tanam erosi rendah. Pada tegal kemiringan II terjadi pergeseran dari pola tanam Jg-Jg-Sy menjadi tebu yang mencerminkan terjadi pergeseran yang menuju pada pola tanam dengan erosi tinggi. Potensi erosi paket pola tanam Jg-Jg-Sy di wilayah Lesti dan Metro masing-masing adalah 9.60 dan ton/ha/th; sedangkan pada tanaman tebu sebesar dan ton/ha/th. Dari fenomena variasi potensi erosi pola tanam yang menjadi aktivitas optimal tersebut, maka perlu dicermati beberapa variabel yang menjadi dasar keputusan pergeseran aktivitas optimal selama horizon waktu. Dengan merujuk fungsi tujuan DTA pada persamaan (6.1); keputusan pergeseran aktivitas optimal didasarkan pada manfaat bersih atau pendapatan setiap periode dari aktivitas paket pola tanam. Melalui transmisi penerimaan (manfaat kotor), perubahan harga komoditas akan mempengaruhi pendapatan. Pada harga komoditas yang konstan selama horizon waktu, dinamika penerimaan setiap periode hanya dipengaruhi oleh ketebalan lapisan tanah (soil depth atau SD). Apabila harga berubah dan biaya konstan, maka dinamika pendapatan dipengaruhi oleh SD dan perubahan harga komoditas. Penurunan pendapatan setiap periode dari paket pola tanam tanpa komoditas kacang tanah, kubis, kentang dan wortel hanya disebabkan oleh ekstrasi ketebalan lapisan tanah atau kumulatif tanah yang hilang (cummulative soil loss atau CSL). Dinamika pendapatan dalam bentuk nominal dikarenakan semakin menipisnya SD; sedangkan PV pendapatan ditentukan oleh perubahan SD dan tingkat bunga.

6 Tabel 35. Perubahan Aktivitas Optimal (ha) di Wilayah Sub-Sub DAS Metro Karena Perubahan Harga Komoditas Tanaman Kacang Tanah dan Sayuran Skenario 1 a Skenario 1 b Tahun Sawah I Sawah II Tegal I Tegal II Sawah I Sawah II Tegal I Tegal II Pd-Pd-Sy Jeruk Jg-Jg-Sy Tebu Jg-Jg-Sy Tebu Pd-Pd-Sy Jeruk Jg-Jg-Sy Tebu Jg-Jg-Sy Tebu (Ha) Sumber: Olahan data Keterangan: Skenario 1 a : didasarkan perubahan harga data primer Skenario 1 b : didasarkan perubahan harga angka hipotetis

7 Paket pola tanam Pd-Pd-Sy tetap dipertahankan sebagai aktivitas pola tanam optimal pada lahan sawah kemiringan I (1 15%) karena mempunyai pendapatan per hektar setiap periode yang relatif paling dominan diantara pola tanam yang lain (Tabel 36). Walaupun nilai nominal maupun PV pendapatan pola tanam Pd-Pd-Sy pada tahun 2017 (Rp /ha) relatif lebih kecil daripada paket Pd-Pd-Pd (Rp /ha), namun keputusan optimal tidak berubah karena pendapatan pada awal periode jauh lebih besar. Antara tahun 2017 hingga 2019 terdapat perbedaan pendapatan dari kedua paket pola tanam tersebut adalah Rp /ha hingga Rp /ha. Tabel 36. Pendapatan (ribu Rp/ha) Berbagai Paket Pola Tanam Lahan Sawah Kemiringan I Wilayah Sub-Sub DAS Bango pada Harga Skenario 1 a dan Biaya Konstan dengan Tingkat Bunga (r) 10% Tahun Pd-Pd-Pd Pd-Pd-Jg Pd-Pd-Sy Tebu Nominal PV Nominal PV Nominal PV Nominal PV Sumber: Olahan data Keterangan: PV = Present Value Pergeseran aktivitas optimal pada lahan tegal kemiringan II ( 15%) dari pola tanam Pd-Jg-Kacang Tanah menjadi paket tebu, karena (Tabel 37): (1) pada tahun 2005 hingga 2008 pendapatan tebu relatif sama dengan paket Pd- Jg-Kacang Tanah, (2) setelah tahun 2008 pendapatan tebu relatif lebih besar dan

8 konstan pada setiap periode dan (3) penurunan pendapatan antar periode dari pola tanam pengganti relatif lebih kecil. Penurunan pendapatan pola tanam Pd- Jg-Kacang Tanah dari tahun 2006 hingga 2007 sebesar Rp /ha; sedangkan pola tanam tebu sebesar Rp 550/ha. Adapun penurunan pendapatan dari tahun 2018 ke 2019 pada masing-masing pola tanam tersebut sebesar Rp /ha dan Rp 590/ha. Disparitas atau perbedaan perubahan pendapatan antar tahun dari kedua paket pola tanam tersebut relatif besar. Tabel 37. Pendapatan (ribu Rp/ha) Berbagai Paket Pola Tanam Lahan Tegal Kemiringan II Wilayah Sub-Sub DAS Bango pada Harga Skenario 1 a dan Biaya Konstan dengan Tingkat Bunga (r) 10% Tahun Pd-Jg-Kc. Tnh Tebu Nominal PV Nominal PV Sumber: Olahan data Keterangan: PV = Present Value Sebagaimana terdapat pada Tabel 14 bahwa aktivitas optimal lahan tegal kemiringan I (0 15%) pada skenario dasar adalah pola tanam Kentang-Wortel. Namun setelah terjadi penurunan harga komoditas kentang, wortel serta kubis, maka terjadi perubahan keputusan aktivitas optimal (Tabel 33-35). Paket pola tanam Kentang-Wortel dipilih sebagai aktivitas optimal pada skenario dasar karena mempunyai pendapatan yang paling dominan sepanjang horizon waktu.

9 Pada saat harga kentang dan wortel turun, pendapatan Kentang-Wortel masih tetap dominan pada beberapa periode awal horizon waktu, namun relatif lebih cepat mendatangkan pendapatan negatif (Tabel 38); sehingga terjadi pergeseran aktivitas pola tanam optimal. Tabel 38. Pendapatan (ribu Rp/ha) Berbagai Paket Pola Tanam Lahan Tegal Kemiringan I Wilayah Sub-Sub DAS Bango pada Harga Skenario 1 a dan Biaya Konstan dengan Tingkat Bunga (r) 10% Tahun Jg-Jg-Sy Pd-Jg-Kc. Tnh Kentang-Wortel Tebu Nominal PV Nominal PV Nominal PV Nominal PV Sumber: Olahan data Keterangan: PV = Present Value Pada Tabel 38 tampak bahwa pendapatan negatif paket Kentang-Wortel terjadi enam periode relatif lebih cepat daripada paket Jg-Jg-Sy. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa meskipun manfaat bersih pola tanam Jg-Jg-Sy pada awal periode relatif jauh lebih kecil daripada paket pola tanam Kentang-Wortel, namun dalam jangka panjang relatif lebih menjanjikan karena perubahan pendapatan tidak terlalu drastis. Pendapatan negatif terjadi karena penerimaan menurun, sementara biaya pada setiap periode adalah konstan. Tingkat erosi pola tanam Kentang-Wortel dan Jg-Jg-Sy relatif seimbang (Tabel 15), namun penurunan harga kentang dan wortel menyebabkan penurunan penerimaan pada paket pola tanam yang digantikan (Kentang-Wortel) relatif lebih besar daripada paket pola

10 tanam pengganti (Jg-Jg-Sy). Kondisi tersebut menunjukkan bahwa penurunan penerimaan lebih dominan dikarenakan pengaruh penurunan harga, dan SL tidak siknifikan dalam mempengaruhi perubahan produktivitas. Pergeseran aktivitas optimal dari pola tanam Jg-Jg-Sy menjadi tebu terjadi pada saat PV pendapatan paket pola tanam yang digantikan adalah negatif. Paket monokultur tebu dipilih sebagai pola tanam pengganti karena manfaat bersih yang dihasilkan pada akhir horizon waktu yang relatif paling besar. Walaupun pendapatan pola tanam Pd-Jg-Kacang Tanah pada awal horizon waktu relatif lebih besar daripada paket tebu, namun pada akhir horizon waktu terjadi kondisi yang sebaliknya. Kecenderungan meninggalkan pola tanam yang menghasilkan pendapatan negatif tersebut di atas selaras dengan hasil kajian Carson (1987) dalam Barbier (1990) tentang pengambilan keputusan di tingkat skala mikro atau rumah tangga produsen di daerah lahan kering Wilayah Malang Selatan. Disebutkan bahwa petani akan membuat keputusan rasional untuk meninggalkan usahatani jika keuntungan atau pendapatan pola tanam jagung dan ketela pohon jatuh sangat rendah. Mereka menuju ke daerah perkotaan sebagai tenaga kerja buruh. Dari berbagai kecenderungan yang terdapat pada Tabel 36 hingga 38 tersebut, dapat disarikan bahwa penentuan perubahan aktivitas optimal didasarkan pada: 1. Tingkat pendapatan per unit lahan pada awal dan setiap periode. 2. Jumlah periode (tahun) saat kondisi tingkat pendapatan bernilai negatif. 3. Pergeseran terjadi setelah manfaat bersih negatif. 4. Perubahan tingkat pendapatan per ha antar periode yang relatif kecil.

11 Pada kesempatan ini perlu disampaikan pengalaman dalam merumuskan skenario perubahan harga komoditas. Pada awalnya, skenario perubahan harga dilakukan pada keseluruhan komoditas yang membentuk paket pola tanam yang dipertimbangkan dalam model optimasi. Namun hasil yang diperoleh adalah bahwa skenario perubahan harga komoditas tidak mengubah keputusan aktivitas optimal. Kondisi tersebut seperti penjelasan Burt (1981), bahwa kenaikan yang proporsional seluruh harga dan biaya akan tidak berdampak pada alokasi optimal intertemporal dari sumberdaya lahan. Perubahan harga komoditas mempunyai pengaruh terhadap besaran harga bayangan ketebalan lapisan tanah atau UCSE (Tabel 39). Penurunan harga kubis (skenario 1) menyebabkan UCSE dari pola tanam Pd-Pd-Sy pada lahan sawah kemiringan I semakin kecil. Perbedaan proporsi perubahan harga komoditas tidak menyebabkan perbedaan UCSE pada lahan tegal kemiringan I, namun pada lahan tegal kemiringan II menyebabkan UCSE mempunyai nilai beragam. Besarnya UCSE pola tanam Jg-Jg-Sy lahan tegal kemiringan I pada skenario 1 a sama dengan skenario 1 b ; demikian juga pada pola tanam optimal tebu. Hasil pendugaan UCSE pola tanam Pd-Jg-KcTanah lahan tegal kemiringan II dari skenario 1 b tampak lebih besar daripada skenario 1 a ; namun pada pola tanam tebu tidak terjadi perbedaan.

12 Tabel 39. Pendugaan Harga Bayangan Ketebalan Lapisan Tanah Berbagai Pola Tanam Optimal Sub-Sub DAS Bango Menurut Fungsi Lahan dan Skenario Perubahan Harga Komoditas Terpilih (ribu Rp/cm/ha) Sawah I Tegal I Tegal II Tahun Dasar Skenario 1 a Skenario 1 b Dasar Skenario 1 a Skenario 1 b Dasar Skenario 1 a Skenario 1 b Pd-Pd-Sy Pd-Pd-Sy Pd-Pd-Sy Kn-Wrl Jg-Jg-Sy Tebu Jg-Jg-Sy Tebu Pg-Jg-Kc Tnh Pg-Jg-Kc Tnh Tebu Pg-Jg-Kc Tnh Tebu Sumber: Olahan data Keterangan: Skenario 1 a : didasarkan perubahan harga data primer Skenario 1 b : didasarkan perubahan harga angka hipotetis

13 Perubahan harga komoditas juga menyebabkan perbedaan perubahan UCSE ( ). Perubahan & λ 1ijk UCSE pada skenario 1 cenderung lebih besar daripada model dasar. Hal itu karena perubahan manfaaat bersih pada skenario 1 dipengaruhi oleh pengurangan SD dan harga komoditas, sedangkan pada model dasar hanya dipengaruhi oleh pengurangan SD. Sementara itu, perubahan harga komoditas tidak menyebabkan perubahan besaran biaya off-site erosi (Off-site Cost of Erosin atau OFCE) maupun volume outflow waduk (Wo l ). Pada persamaan (6.11b) dan (6.11c) tampak jelas bahwa besarnya pendugaan OFCE tidak dipengaruhi oleh harga komoditas, namun dipengaruhi oleh harga air waduk untuk berbagai kegunaan. Perubahan harga komoditas di wilayah sub-sistem hulu waduk tidak mengubah debit outflow optimal, namun hanya mempengaruhi perubahan volume stok air dan sedimen. Hal tersebut karena besarnya debit outflow hanya dipengaruhi aspek fisik sebagaimana telah diuraikan pada sub-bab 7.3. Dampak perubahan harga komoditas terhadap volume stok air dan sedimen dalam waduk melalui perubahan volume erosi potensial karena perubahan aktivitas pola tanam. Tabel 40. Perubahan Volume Optimal Waduk Sengguruh (juta m 3 ) Karena Perubahan Harga Komoditas Tanaman Kc Tanah dan Sayuran Base Skenario 1 a Skenario 1 b Tahun Vsa 1 Vss 1 Vks 1 Vsa 1 Vss 1 Vks 1 Vsa 1 Vss 1 Vks

14 Sumber: Olahan data Keterangan: Vsa 1 = volume stok air Waduk Sengguruh Vss 1 = volume stok sedimen Waduk Sengguruh Vks 1 = volume sedimen yang dikeruk Waduk Sengguruh Volume sedimen yang dikeruk dari Waduk Sengguruh (Vks 1 ) pada skenario 1 relatif lebih kecil bila dibandingkan dengan model dasar (Tabel 40); yakni berkisar antara 10 hingga 20 ribu m 3. Pada biaya pengerukan sedimen sebesar Rp /m 3, maka penurunan volume tersebut dapat menghemat biaya pengerukan antara Rp sampai dengan Rp Apabila didasarkan pada biaya kesempatan (OFCE) Waduk Sengguruh sebesar Rp /m 3 (Tabel 30), maka biaya sosial yang dapat dihemat pada setiap periode adalah berkisar antara Rp hingga Rp Perubahan pola tanam optimal di wilayah sub-sistem hulu dari skenario 1 juga berdampak pada pengisian tampungan mati Waduk Sutami (Vss 2 ) relatif lebih lambat. Pada akhir horizon waktu (tahun 2020) volume tampungan mati yang belum terisi (Sa 2 b) pada skenario 1 relatif lebih kecil daripada model dasar (Tabel 41). Perbedaan volume yang terjadi berkisar antara 0.22 hingga 0.23 juta m 3 ; atau setara dengan Rp juta hingga Rp juta bila OFCE Waduk Sutami sebesar Rp 97.90/m 3 (Tabel 31). Tabel 41. Perubahan Volume Optimal (juta m 3 ) Waduk Sutami Karena Perubahan Harga Komoditas Tanaman Kc Tanah dan Sayuran Tahun Base Skenario 1 a Skenario 1 b Vsa 2 Vss 2 Ss 2 b Vsa 2 Vss 2 Vsa 2 b Vsa 2 Vss 2 Vsa 2 b

15 Sumber: Olahan data Keterangan: Vsa 1 = volume stok air Waduk Sengguruh Vss 1 = volume stok sedimen Waduk Sengguruh Vks 1 = volume sedimen yang dikeruk Waduk Sengguruh 9.2. Perubahan Tingkat Bunga Penurunan tingkat bunga dari 10% menjadi 5% tidak mempengaruhi perubahan keputusan aktivitas optimal baik pada sub-sistem hulu waduk maupun sub-sistem ekologi bendungan-waduk. Dari perspektif ekonomi sumberdaya secara umum, tingkat bunga mempengaruhi kuantitas ekstrasi. Keputusan ekstrasi sumberdaya alam tergolong keputusan suatu transfer penggunaan dari periode waktu berikutnya ke periode sekarang yang mecerminkan karakteristik keputusan investasi, dimana tingkat bunga sangat berperan (Randall, 1981). Secara eksplisit Pearce dan Turner (1990) menjelaskan bahwa salah satu dari beberapa parameter yang mempengaruhi harga dan kuantitas optimal intertemporal adalah tingkat bunga. Perubahan tingkat bunga tidak merubah aktivitas optimal paket pola tanam dan debit outflow waduk. Perubahan tingkat bunga hanya berpengaruh pada besarnya UCSE dan OFCE sebagaimana terdapat pada Tabel 42 dan Tabel 43. Penurunan tingkat bunga dari 10% menjadi 5% menyebabkan UCSE dari skenario 2 relatif lebih besar daripada UCSE pada model dasar. Fenomena tersebut sejalan dengan hasil kajian Walker (1982) dan Van Kooten et al. (1989); diuraikan bahwa hubungan antara tingkat diskonto dan variabel waktu (t) dengan

16 besarnya UCSE menunjukkan semakin tinggi tingkat diskonto, PV UCSE per hektar semakin kecil. Pada Tabel 42 tampak bahwa besarnya UCSE pola tanam Pd-Pd-Sy pada lahan sawah kemiringan I hampir sama dengan sawah kemiringan II. Disamping itu, UCSE tertinggi terjadi pada pola tanam Kentang-Wortel lahan tegal kemiringan I dan terendah pada pola tanam apel lahan tegal kemiringan II.

17 Tabel 42. Pendugaan Harga Bayangan Ketebalan Lapisan Tanah Berbagai Pola Tanam Optimal Sub-Sub DAS Sumber Brantas Menurut Fungsi Lahan dan Skenario Perubahan Tingkat Bunga dan Pengurangan Lahan Hutan Produksi (ribu/rp/cm/ha) Sawah I Sawah II Tegal I Tegal II Tahun Dasar Skenario 2 Skenario 3 Dasar Skenario 2 Skenario 3 Dasar Skenario 2 Skenario 3 Dasar Skenario 2 Skenario 3 Pd-Pd-Sy Pd-Pd-Sy Pd-Pd-Sy Pd-Pd-Sy Pd-Pd-Sy Pd-Pd-Sy Kn-Wrl Kn-Wrl Kn-Wrl Apel Apel Apel Sumber: Olahan data Keterangan: Skenario 2: perubahan tingkat bunga (dari 10% menjadi 5%); Skenario 3: perubahan luas areal lahan hutan produksi menjadi hutan penyangga)

18 Pengaruh perubahan tingkat bunga terhadap UCSE menurut periode tampak lebih jelas disajikan secara grafik sebagaimana yang terdapat pada Gambar 14. Pada awal horizon waktu, disparitas UCSE antara skenario 2 dan model dasar relatif tinggi; selanjutnya kedua kurva hampir berhimpit pada akhir horizon waktu. Penurunan tingkat bunga menyebabkan disparitas UCSE antar skenario semakin menurun Harga bayangan Soil Depth (UCSE) (ribu Rp cm/ha) Skenario 2 (r =5%) Dasar (r =10%) Periode (Tahun) Gambar 14. Pengaruh Perubahan Tingkat Bunga terhadap Nilai Nominal Harga Bayangan Ketebalan Lapisan Tanah dari Pola Tanam Pd-Pd-Sy pada Lahan Sawah Kemiringan II Wilayah Sub-Sub DAS Sumber Brantas Sementara itu, penurunan tingkat bunga juga menyebabkan peningkatan nilai nominal maupun PV dari OFCE. Yang menarik pada Tabel 43 adalah nilai nominal OFCE pada model dasar konstan, namun pada skenario 2 nilai tersebut bervariasi. Pendugaan PV OFCE dari skenario 2 tampak semakin menurun antar waktu, dan terjadi fenomena yang berlawanan pada nilai nominalnya. Disadari bahwa peneliti belum bisa memberikan alasan mengapa hal tersebut terjadi. Dengan memetakan hasil pendugaan yang terdapat pada Tabel 43

19 didapatkan kurva biaya kesempatan air yang tertahan dalam waduk (OFCE) seperti yang terdapat pada Gambar 15. Tabel 43. Perubahan Biaya Off-Site Erosi (Rp/m 3 ) Karena Perubahan Tingkat Bunga Sengguruh Sutami Tahun Dasar Skenario 2 Dasar Skenario 2 PV Nominal PV Nominal PV Nominal PV Nominal Sumber: Olahan data Keterangan: Dasar : tingkat bunga 10% Skenario 2 : tingkat bunga 5% PV : present value Penurunan tingkat bunga menyebabkan disparitas OFCE antara skenario 2 dan model dasar semakin meningkat antar waktu (Gambar 15). Disparitas pada awal horizon waktu relatif lebih kecil daripada akhir, baik pada nilai nominal maupun nilai sekarang. Dari skenario 2 juga didapatkan fenomena bahwa perubahan tingkat bunga tidak merubah volume air yang tersimpan (Vsa) maupun volume sedimen yang tertahan (Vss) baik dalam Waduk Sengguruh (Tabel 44) maupun Waduk Sutami (Tabel 45). Disamping itu, volume sedimen yang dikeruk (Vks 1 ) juga tidak mengalami perubahan. Perubahan tingkat bunga tidak berpengaruh pada perubahan keputusan aktivitas optimal, dalam pengertian tidak terjadi perubahan

20 luas lahan dan pola tanam optimal, sehingga volume sedimen potensial yang terangkut masuk ke waduk tidak berubah Biaya off-site erosi (Rp/m 3 ) SG Dasar (r = 10%) SG Skenario 2 (r = 5%) ST Dasar (r = 10%) ST Skenario 2 (r = 5%) Periode (Tahun) Gambar 15. Pengaruh Perubahan Tingkat Bunga Terhadap Biaya Off-Site Erosi pada Waduk Sengguruh dan Sutami 9.3. Perubahan Luas Lahan Hutan Produksi Skenario aspek teknis ini dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran pengaruh pengembalian hutan dengan kemiringan 25% dari lahan untuk produksi menjadi fungsi kawasan penyangga. Pada skenario ini, lahan hutan produksi pada kemiringan I (0 15%) dan kemiringan 15 25% tetap dipertahankan sebagai lahan produksi dengan pola tanam tumpangsari tanaman pangan dan kayu-kayuan. Adapun luas areal yang dikembalikan sesuai fungsi kawasan pada Sub-sub DAS Bango seluas hektar; yaitu pada kemiringan 25-40%. Pada Sub-sub DAS Sumber Brantas dan Amprong terdapat pengembalian fungsi

21 lahan pada dua klasifikasi kemiringan, yakni kemiringan 25-40% dan 40%. Total luas pengembalian alih fungsi kawasan di Sumber Brantas dan Amprong masing-masing adalah ha dan ha; sedangkan pada Lesti dan Metro seluas ha dan 165 ha. Pengembalian fungsi kawasan tersebut pada prinsipnya tidak mengubah total ketersediaan luas lahan non-budidaya intensif, namun yang berubah adalah potensi erosi yang dihasilkan. Oleh karena itu, skenario 3 secara langsung berpengaruh pada volume sedimen yang masuk ke dalam waduk. Tingkat erosi lahan hutan dengan fungsi kawasan penyangga relatif lebih kecil daripada hutan produksi, sehingga volume sedimen yang yang dikeruk dari Waduk Sengguruh (Vks 1 ) pada skenario 3 lebih kecil daripada model dasar (Tabel 44). Dengan demikian, pengembalian fungsi kawasan penyangga mampu menghemat biaya pengerukan setiap periode sebesar Rp sebagaimana yang terjadi pada skenario 1. Tabel 44. Perubahan Volume Optimal (juta m 3 ) Waduk Sengguruh Karena Perubahan Tingkat Bunga dan Pengurangan Lahan Hutan Produksi Base Skenario 2 Skenario 3 Tahun Vsa 1 Vss 1 Vks 1 Vsa 1 Vss 1 Vks 1 Vsa 1 Vss 1 Vks

22 Sumber: Olahan data Keterangan: VSA 1 = volume stok air Waduk Sengguruh VSS 1 = volume stok sedimen Waduk Sengguruh VKS 1 = volume sedimen yang dikeruk Waduk Sengguruh Volume air yang tersimpan pada Waduk Sengguruh pada periode 2004 hingga 2007 mengalami peningkatan sebanyak 200 hingga 700 ribu m 3. Volume tersebut secara nominal sebesar Rp 21 juta hingga Rp 75 juta pada saat OFCE Waduk Sengguruh sebesar Rp /m 3. Dengan pengembalian fungsi kawasan penyangga dengan kemiringan 25% (skenario 3) dapat menambah volume air yang tertahan dalam Waduk Sengguruh sebesar 7 hingga 35 % (olahan dari Tabel 44). Tabel 45. Perubahan Volume Optimal (juta m 3 ) Waduk Sutami Karena Perubahan Tingkat Bunga dan Pengurangan Lahan Hutan Produksi Base Skenario 2 Skenario 3 Tahun VSS2 VSA2 SA2B VSS2 VSA2 VSA2B VSS2 VSA2 SA2B Sumber: Olahan data Keterangan: VSA 2 = volume stok air Waduk Sutami VSS 2 = volume tampungan mati yang telah terisi Waduk Sutami SA 2 B = volume tampungan mati yang belum terisi Waduk Sutami Dari hasil pemecahan optimasi dari skenario 3 tidak terdapat perubahan keputusan debit outflow optimal pada sub-sistem ekologi bendungan-waduk bila dibandingkan dengan model dasar. Hal itu karena luas areal dan debit inflow

23 tidak mengalami perubahan. Pada skenario 3 menjadikan volume air yang tersimpan dalam Waduk Sutami (Vsa 2 ) mengalami peningkatan dan volume sedimen yang tertahan (Vss2) menjadi lebih kecil (Tabel 45). Rata-rata tambahan volume air yang tersimpan dalam Waduk Sutami sebesar 260 ribu m 3 setiap tahun; atau setara dengan nilai nominal sebesar Rp pada saat OFCE Waduk Sutami sebesar Rp 97.90/m 3 (Tabel 31). Dengan mengurangkan antara volume air tersimpan (Vsa 2 ) optimasi dinamik skenario 3 dan model dasar didapatkan angka tambahan volume air tersimpan dengan kisaran 29 hingga 490 ribu m 3 pada setiap periode (tahun) Ikhtisar Perubahan harga komoditas tertentu (kacang tanah dan sayuran) mempengaruhi perubahan keputusan aktivitas pola tanam optimal pada subsistem hulu waduk, namun tidak menyebabkan perubahan kuantitas debit outflow optimal pada sub-sistem ekologi bendungan-waduk. Beberapa kondisi lain yang terjadi pada skenario perubahan harga bila dibandingkan dengan model dasar adalah: 1. Terjadi pergeseran (switching) paket pola tanam optimal pada lahan tegal. 2. Luas lahan yang tersedia dioptimalkan secara keseluruhan baik pada paket pola tanam yang digantikan maupun pengganti. 3. Terjadi perubahan besaran harga bayangan ketebalan lapisan tanah (UCSE), namun pada biaya off-site erosi (OFCE) tidak terjadi perubahan. 4. Terjadi perubahan volume stok air, sedimen tertahan dan sedimen yang dikeruk. Pergeseran hanya terjadi pada paket pola tanam yang dibentuk oleh komoditas yang mengalami perubahan harga dengan potensi erosi yang relatif lebih besar. Penurunan harga kubis tidak mengubah keputusan aktivitas optimal

24 pada lahan sawah; sedangkan pada fungsi lahan tegal terjadi keadaan yang sebaliknya. Melalui transmisi penerimaan (manfaat kotor), perubahan harga komoditas dan berkurangnya SD secara bersama-sama mempengaruhi perubahan pendapatan. Pada kondisi harga berubah dan biaya konstan, maka dinamika pendapatan setiap periode lebih dominan dipengaruhi oleh perubahan harga komoditas. Perubahan SD relatif kecil sehingga tidak siknifikan dalam mempengaruhi perubahan produktivitas. Beberapa kondisi yang melatarbelakangi perubahan maupun pergeseran aktivitas pola tanam optimal adalah: (1) tingkat pendapatan per unit lahan pada awal dan setiap periode, (2) jumlah periode (tahun) dengan kondisi tingkat pendapatan per unit lahan bernilai negatif, (3) pergeseran terjadi pada periode setelah tingkat pendapatan per unit lahan bernilai negatif, dan (4) perubahan tingkat pendapatan antar periode relatif kecil. Frekuensi terjadinya pergeseran paket pola tanam selama horizon waktu bervariasi menurut proporsi perubahan harga komoditas. Hasil analisis menunjukkan bahwa luas lahan optimal bergeser secara langsung atau tidak bertahap. Luas lahan pola tanam optimal pengganti pada periode (t+1) sama dengan luas keseluruhan lahan pola tanam optimal yang digantikan pada periode t. Dengan kata lain bahwa model perumusan optimasi dinamik Model-DTA belum bisa mengakomodasi fenomena perubahan luas lahan optimal secara bertahap sebagaimana kondisi riil di lapangan. Antara perubahan harga komoditas dan UCSE terdapat hubungan negatif. Perubahan UCSE antar periode pada skenario 1 (penurunan harga komoditas tertentu) relatif lebih besar daripada model dasar. Perbedaan terjadi karena perbedaan variabel yang mempengaruhi perubahan tingkat pendapatan per unit lahan. Perubahan tingkat pendapatan per unit lahan pada skenario 1 dipengaruhi oleh perubahan SD dan harga komoditas, sedangkan pada model dasar hanya dikarenakan oleh perubahan SD.

25 Keragaman perubahan besaran UCSE juga disebabkan oleh proporsi perubahan harga komoditas. Perbedaan proporsi perubahan harga menyebabkan perbedaan perubahan penerimaan, (Pc y( )/ S jk (t)), sehingga menimbulkan perbedaan terjadinya periode pergeseran (switching) pola tanam optimal. Kedua perbedaan perubahan tersebut, selanjutnya berpengaruh pada perbedaan besaran UCSE, λ 1ijk (t+1). Perubahan harga komoditas di wilayah sub-sistem hulu waduk tidak mempengaruhi debit outflow optimal maupun besaran OFCE. Perubahan harga komoditas hanya berpengaruh terhadap perubahan volume sedimen yang tertahan dan air yang tersimpan dala waduk; yakni melalui variabel tingkat erosi karena perubahan paket pola tanam. Pendugaan nilai kerugian yang ditimbulkan oleh peningkatan volume sedimen karena dampak tidak langsung dari perubahan harga komoditas dapat didekati dari biaya pengerukan sedimen dan biaya kesempatan air yang tersimpan dalam waduk. Perubahan tingkat bunga tidak mempengaruhi perubahan keputusan aktivitas optimal pada sub-sistem hulu maupun debit outflow. Kondisi tersebut berlawanan dengan fenomena secara umum; yakni tingkat bunga mempengaruhi kuantitas ekstrasi. Dalam perspektif ekonomi sumberdaya, keputusan ekstrasi sumberdaya alam tergolong keputusan suatu transfer penggunaan dari periode berikutnya ke periode sekarang yang mecerminkan karakteristik keputusan investasi, dimana tingkat bunga sangat berperan. Pada tataran teori, tingkat bunga mempengaruhi perubahan harga dan kuantitas optimal intertemporal. Disamping itu, dari hasil kajian peneliti sebelumnya diperoleh hasil bahwa semakin tinggi tingkat diskonto, PV dari UCSE per hektar semakin kecil.

26 Perbedaan fenomena dampak tersebut karena: (1) perubahan tingkat bunga pada hasil optimasi Model-DTA hanya akan merubah PV manfaat sosial bersih secara proporsional selama horizon waktu, dan (2) keputusan aktivitas optimal ditentukan oleh pendapatan setiap periode. Pada kondisi tersebut menjadikan perubahan tingkat bunga hanya berpengaruh pada perubahan UCSE (λ 1ijk (t+1)) maupun OFCE (λ 2 (t+1) dan λ 4 (t+1)); serta tidak mengubah aktivitas optimal. Perubahan UCSE terjadi pada semua jenis fungsi lahan dengan persentase yang beragam. Disparitas UCSE antara model dasar dengan skenario 2 (perubahan tingkat bunga) cenderung semakin menurun antar waktu; dan pada OFCE terjadi keadaan yang sebaliknya. Oleh karena perubahan tingkat bunga tidak berpengaruh terhadap perubahan keputusan paket pola tanam optimal, maka volume air yang tersimpan dan sedimen yang tertahan dalam waduk maupun sedimen yang dikeruk juga tidak mengalami perubahan. Pengembalian fungsi hutan klasifikasi kemiringan 25% dari lahan untuk produksi menjadi fungsi kawasan penyangga hanya bersifat fisik; sehingga dari skenario 3 hanya menyebabkan perubahan potensi erosi yang dihasilkan oleh total ketersediaan luas lahan non-budidaya yang tetap. Hal tersebut dapat dikatakan bahwa pengembalian fungsi kawasan penyangga secara langsung berpengaruh pada volume sedimen yang masuk ke dalam waduk. Dalam perumusan Model-DTA perubahan fisik tersebut terjadi pada kendala transisi kapasitas waduk. Keputusan kuantitas debit outflow optimal tidak berubah karena besarnya debit outflow hanya dipengaruhi oleh luas lahan optimal (X ijk ), sumbangan lahan terhadap inflow air waduk dan volume stok air dalam waduk (sub-bab 7.3).

27 Skenario perubahan variabel fisik tersebut tidak mengubah biaya off-site erosi, sehingga untuk valuasi dampak erosi terhadap sedimentasi waduk akibat dari perambahan hutan penyangga dapat didekati dari biaya pengerukan sedimen dan biaya kesempatan stok air yang tersimpan. Besarnya total biaya dihitung berdasarkan hasil pemecahan optimasi; yakni dengan mengalikan antara OFCE (Rp/m 3 ) dan disparitas volume sedimen yang dikeruk serta volume air tersimpan dalam waduk antara model dasar dan skenario 3 (pengembalian fungsi kawasan penyangga).

VIII. NILAI EKONOMI EROSI

VIII. NILAI EKONOMI EROSI VIII. NILAI EKONOMI EROSI Pada bab ini akan dibahas tentang pengukuran nilai ekonomi dampak erosi lahan budidaya intensif terhadap on-farm di sub-sistem hulu waduk serta eksternalitas yang terjadi pada

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Daerah Aliran Sungai (DAS) Kali Brantas mencapai km 2 dengan

I. PENDAHULUAN. Daerah Aliran Sungai (DAS) Kali Brantas mencapai km 2 dengan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Daerah Aliran Sungai (DAS) Kali Brantas mencapai 11 800 km 2 dengan curah hujan berkisar antara 1 370 hingga 2 960 mm per tahun (Nippon Koei, 1998). Secara

Lebih terperinci

TINJAUAN HIDROLOGI DAN SEDIMENTASI DAS KALI BRANTAS HULU 1

TINJAUAN HIDROLOGI DAN SEDIMENTASI DAS KALI BRANTAS HULU 1 TINJAUAN HIDROLOGI DAN SEDIMENTASI DAS KALI BRANTAS HULU 1 Perusahaan Umum (Perum) Jasa Tirta I Jl. Surabaya 2 A, Malang Indonesia 65115 Telp. 62-341-551976, Fax. 62-341-551976 http://www.jasatirta1.go.id

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian memiliki peranan strategis dalam struktur pembangunan perekonomian nasional. Selain berperan penting dalam pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat, sektor

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan yang berkelanjutan seperti yang dikehendaki oleh pemerintah

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan yang berkelanjutan seperti yang dikehendaki oleh pemerintah BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan yang berkelanjutan seperti yang dikehendaki oleh pemerintah maupun masyarakat mengandung pengertian yang mendalam, bukan hanya berarti penambahan pembangunan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. di Jawa dengan wilayah tangkapan seluas ribu kilometer persegi. Curah

I. PENDAHULUAN. di Jawa dengan wilayah tangkapan seluas ribu kilometer persegi. Curah I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Daerah aliran sungai (DAS) Citarum merupakan salah satu DAS terbesar di Jawa dengan wilayah tangkapan seluas 11.44 ribu kilometer persegi. Curah hujan tahunan 3 ribu

Lebih terperinci

commit to user BAB I PENDAHULUAN

commit to user BAB I PENDAHULUAN 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sumberdaya alam merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu ekosistem, yaitu lingkungan tempat berlangsungnya hubungan timbal balik antara makhluk hidup yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah aliran sungai (DAS) merupakan sistem yang kompleks dan terdiri dari komponen utama seperti vegetasi (hutan), tanah, air, manusia dan biota lainnya. Hutan sebagai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bertambahnya jumlah penduduk dan masuknya migrasi penduduk di suatu daerah, maka akan semakin banyak jumlah lahan yang diperlukan untuk pemenuhan kebutuhan sandang, papan

Lebih terperinci

VIII. KESIMPULAN, IMPLIKASI KEBIJAKAN, DAN SARAN UNTUK PENELITIAN LANJUTAN

VIII. KESIMPULAN, IMPLIKASI KEBIJAKAN, DAN SARAN UNTUK PENELITIAN LANJUTAN VIII. KESIMPULAN, IMPLIKASI KEBIJAKAN, DAN SARAN UNTUK PENELITIAN LANJUTAN 8.1. Kesimpulan Iuran irigasi berbasis komoditas dapat dirumuskan dengan memanfaatkan harga bayangan air irigasi. Dalam penelitian

Lebih terperinci

PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAHAN DAN AIR DI DAERAH TANGKAPAN AIR BENDUNGAN SUTAMI DAN SENGGURUH: SUATU PENDEKATAN OPTIMASI EKONOMI

PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAHAN DAN AIR DI DAERAH TANGKAPAN AIR BENDUNGAN SUTAMI DAN SENGGURUH: SUATU PENDEKATAN OPTIMASI EKONOMI PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAHAN DAN AIR DI DAERAH TANGKAPAN AIR BENDUNGAN SUTAMI DAN SENGGURUH: SUATU PENDEKATAN OPTIMASI EKONOMI DISERTASI Oleh: RINI DWIASTUTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. [3 Desember 2009] 1 Konsumsi Tempe dan Tahu akan Membuat Massa Lebih Sehat dan Kuat.

I PENDAHULUAN. [3 Desember 2009] 1 Konsumsi Tempe dan Tahu akan Membuat Massa Lebih Sehat dan Kuat. I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kedelai merupakan salah satu komoditas pangan strategis di Indonesia. Arti strategis tersebut salah satunya terlihat dari banyaknya kedelai yang diolah menjadi berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor penting dalam menunjang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor penting dalam menunjang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sektor pertanian merupakan salah satu sektor penting dalam menunjang kehidupan sosial dan ekonomi bagi masyarakat di negara Indonesia ini. Selain menyediakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lahan. Kemampuan lahan yang dikelola akan memberikan. produksi yang berbeda-beda tingkat produktivitasnya.

BAB I PENDAHULUAN. lahan. Kemampuan lahan yang dikelola akan memberikan. produksi yang berbeda-beda tingkat produktivitasnya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Faktor produksi utama dalam produksi pertanian adalah lahan. Kemampuan lahan yang dikelola akan memberikan produksi yang berbeda-beda tingkat produktivitasnya. Tanaman

Lebih terperinci

BAB III KERANGKA KONSEP PENELITIAN. peningkatan produksi pangan dan menjaga ketersediaan pangan yang cukup dan

BAB III KERANGKA KONSEP PENELITIAN. peningkatan produksi pangan dan menjaga ketersediaan pangan yang cukup dan BAB III KERANGKA KONSEP PENELITIAN Program ketahanan pangan diarahkan pada kemandirian masyarakat/petani yang berbasis sumberdaya lokal yang secara operasional dilakukan melalui program peningkatan produksi

Lebih terperinci

PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAHAN DAN AIR DI DAERAH TANGKAPAN AIR BENDUNGAN SUTAMI DAN SENGGURUH: SUATU PENDEKATAN OPTIMASI EKONOMI

PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAHAN DAN AIR DI DAERAH TANGKAPAN AIR BENDUNGAN SUTAMI DAN SENGGURUH: SUATU PENDEKATAN OPTIMASI EKONOMI PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAHAN DAN AIR DI DAERAH TANGKAPAN AIR BENDUNGAN SUTAMI DAN SENGGURUH: SUATU PENDEKATAN OPTIMASI EKONOMI DISERTASI Oleh: RINI DWIASTUTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Bila suatu saat Waduk Jatiluhur mengalami kekeringan dan tidak lagi mampu memberikan pasokan air sebagaimana biasanya, maka dampaknya tidak saja pada wilayah pantai utara (Pantura)

Lebih terperinci

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Erosi adalah suatu proses atau peristiwa hilangnya lapisan permukaan tanah atas, baik disebabkan oleh pergerakan air maupun angin (Suripin 2004). Erosi merupakan tiga proses

Lebih terperinci

30% Pertanian 0% TAHUN

30% Pertanian 0% TAHUN PERANAN SEKTOR TERHADAP PDB TOTAL I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Julukan negara agraris yang kerap kali disematkan pada Indonesia dirasa memang benar adanya. Pertanian merupakan salah satu sumber kehidupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 tentang

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 tentang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air (SDA) bertujuan mewujudkan kemanfaatan sumberdaya air yang berkelanjutan untuk sebesar-besar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Air merupakan sumber kehidupan bagi manusia. Kita tidak dapat

BAB I PENDAHULUAN. Air merupakan sumber kehidupan bagi manusia. Kita tidak dapat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan sumber kehidupan bagi manusia. Kita tidak dapat dipisahkan dari senyawa kimia ini dalam kehidupan sehari-hari. Manfaat air bagi kehidupan kita antara

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sungai dan Daerah Aliran Sungai (DAS) menjadi areal vital bagi manusia dalam memenuhi kebutuhan akan air. Pemanfaatan air sungai banyak digunakan sebagai pembangkit

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia hingga saat ini masih tergolong negara yang sedang berkembang dengan tingkat pertumbuhan penduduk yang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia hingga saat ini masih tergolong negara yang sedang berkembang dengan tingkat pertumbuhan penduduk yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia hingga saat ini masih tergolong negara yang sedang berkembang dengan tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi. Selain itu juga Indonesia merupakan negara agraris

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Meningkatnya jumlah populasi penduduk pada suatu daerah akan. memenuhi ketersediaan kebutuhan penduduk. Keterbatasan lahan dalam

BAB I PENDAHULUAN. Meningkatnya jumlah populasi penduduk pada suatu daerah akan. memenuhi ketersediaan kebutuhan penduduk. Keterbatasan lahan dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Meningkatnya jumlah populasi penduduk pada suatu daerah akan berpengaruh pada pemanfaatan sumberdaya lahan dalam jumlah besar untuk memenuhi ketersediaan kebutuhan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara maritim yang lautannya lebih luas daripada daratan. Luas lautan Indonesia 2/3 dari luas Indonesia. Daratan Indonesia subur dengan didukung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. langsung persoalan-persoalan fungsional yang berkenaan dengan tingkat regional.

BAB I PENDAHULUAN. langsung persoalan-persoalan fungsional yang berkenaan dengan tingkat regional. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perencanaan regional memiliki peran utama dalam menangani secara langsung persoalan-persoalan fungsional yang berkenaan dengan tingkat regional. Peranan perencanaan

Lebih terperinci

Prestasi Vol. 8 No. 2 - Desember 2011 ISSN KONSERVASI LAHAN UNTUK PEMBANGUNAN PERTANIAN. Oleh : Djoko Sudantoko STIE Bank BPD Jateng

Prestasi Vol. 8 No. 2 - Desember 2011 ISSN KONSERVASI LAHAN UNTUK PEMBANGUNAN PERTANIAN. Oleh : Djoko Sudantoko STIE Bank BPD Jateng KONSERVASI LAHAN UNTUK PEMBANGUNAN PERTANIAN Oleh : Djoko Sudantoko STIE Bank BPD Jateng Abstrak Sektor pertanian di Indonesia masih mempunyai peran yang penting, khususnya untuk mendukung program ketahanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian merupakan suatu proses produksi untuk menghasilkan barang

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian merupakan suatu proses produksi untuk menghasilkan barang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pertanian merupakan suatu proses produksi untuk menghasilkan barang yang dibutuhkan manusia, dengan cara budidaya usaha tani. Namun pertumbuhan manusia dan

Lebih terperinci

ANALISIS USAHATANI PADI DAN PALAWIJA PADA LAHAN KERING DI KALIMANTAN SELATAN

ANALISIS USAHATANI PADI DAN PALAWIJA PADA LAHAN KERING DI KALIMANTAN SELATAN ANALISIS USAHATANI PADI DAN PALAWIJA PADA LAHAN KERING DI KALIMANTAN SELATAN (Studi Kasus di Desa Budi Mulia, Kabupaten Tapin) Oleh : Adreng Purwoto*) Abstrak Di masa mendatang dalam upaya mencukupi kebutuhan

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1 Gambaran Umum Kabupaten Kerinci 5.1.1 Kondisi Geografis Kabupaten Kerinci terletak di sepanjang Bukit Barisan, diantaranya terdapat gunung-gunung antara lain Gunung

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN KONSERVASI LAHAN TERHADAP EROSI PARIT/JURANG (GULLY EROSION) PADA SUB DAS LESTI DI KABUPATEN MALANG

PENGEMBANGAN KONSERVASI LAHAN TERHADAP EROSI PARIT/JURANG (GULLY EROSION) PADA SUB DAS LESTI DI KABUPATEN MALANG Konservasi Lahan Sub DAS Lesti Erni Yulianti PENGEMBANGAN KONSERVASI LAHAN TERHADAP EROSI PARIT/JURANG (GULLY EROSION) PADA SUB DAS LESTI DI KABUPATEN MALANG Erni Yulianti Dosen Teknik Pengairan FTSP ITN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan dan pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan,

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan dan pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengelolaan dan pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan, karakteristik lahan dan kaidah konservasi akan mengakibatkan masalah yang serius seperti

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan dititikberatkan pada pertumbuhan sektor-sektor yang dapat memberikan kontribusi pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Tujuan pembangunan pada dasarnya mencakup beberapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. daerah bersangkutan (Soeparmoko, 2002: 45). Keberhasilan pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. daerah bersangkutan (Soeparmoko, 2002: 45). Keberhasilan pembangunan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi daerah merupakan suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakat mengelola sumberdaya-sumberdaya yang ada, dengan menjalin pola-pola kemitraan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertanian merupakan sektor yang sangat penting karena pertanian berhubungan langsung dengan ketersediaan pangan. Pangan yang dikonsumsi oleh individu terdapat komponen-komponen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Paradigma pembangunan berkelanjutan mengandung makna bahwa pengelolaan sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhan sekarang tidak boleh mengurangi kemampuan sumberdaya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan pertanian menjadi prioritas utama dalam pembangunan wilayah berorientasi agribisnis, berproduktivitas tinggi, efisien, berkerakyatan, dan berkelanjutan. Keberhasilan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi yang dominan, baik

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi yang dominan, baik BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian mempunyai peranan yang sangat penting dalam perekonomian nasional. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi yang dominan, baik secara langsung maupun

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, sumber daya alam hayati yang didominasi oleh pepohonan dalam

II. TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, sumber daya alam hayati yang didominasi oleh pepohonan dalam 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Hutan Marga dan Hutan Rakyat 1. Hutan Marga Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi

Lebih terperinci

PENGURANGAN RESIKO BANJIR IBUKOTA DENGAN PENGEMBANGAN DAM PARIT DI DAS CILIWUNG HULU

PENGURANGAN RESIKO BANJIR IBUKOTA DENGAN PENGEMBANGAN DAM PARIT DI DAS CILIWUNG HULU ISSN 197-877 Terbit sekali 2 bulan Volume Nomor. Juni 29 PENGURANGAN RESIKO BANJIR IBUKOTA DENGAN PENGEMBANGAN DAM PARIT DI DAS CILIWUNG HULU Curah hujan tinggi yang terjadi dalam waktu singkat menyebabkan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. pertanian dan peternakan untuk mendapatkan keanekaragaman dan berkelanjutan

II. TINJAUAN PUSTAKA. pertanian dan peternakan untuk mendapatkan keanekaragaman dan berkelanjutan 8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Agroforestri Agroforestri adalah sistem manajemen sumberdaya alam yang bersifat dinamik dan berbasis ekologi, dengan upaya mengintegrasikan pepohonan dalam usaha pertanian dan

Lebih terperinci

Analisis Program Rehabilitasi DTA Saguling

Analisis Program Rehabilitasi DTA Saguling Analisis Program Rehabilitasi DTA Saguling Oleh : Idung Risdiyanto Permasalahan utama DTA Waduk Saguling adalah tingkat sedimentasi, limpasan permukaan yang tinggi dan kondisi neraca air DAS yang defisit.

Lebih terperinci

II. PENGELOLAAN SUMBERDAYA DI DAERAH TANGKAPAN AIR WADUK SUTAMI-SENGGURUH

II. PENGELOLAAN SUMBERDAYA DI DAERAH TANGKAPAN AIR WADUK SUTAMI-SENGGURUH II. PENGELOLAAN SUMBERDAYA DI DAERAH TANGKAPAN AIR WADUK SUTAMI-SENGGURUH 2. 1. Letak dan Kondisi Fisik Daerah tangkapan air (DTA) Waduk Sutami dan Sengguruh merupakan bagian hulu dari Daerah Aliran Sungai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam mengatur tata air, mengurangi erosi dan banjir. Hutan mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. dalam mengatur tata air, mengurangi erosi dan banjir. Hutan mempunyai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan sebagai komunitas tumbuhan juga memiliki fungsi hidrologis dalam mengatur tata air, mengurangi erosi dan banjir. Hutan mempunyai peran yang sangat penting dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut FAO (dalam Arsyad 1989:206) mengenai pengertian lahan, Adapun pengertian dari FAO (1976) yang dikutip oleh Sitorus (1998)

BAB I PENDAHULUAN. Menurut FAO (dalam Arsyad 1989:206) mengenai pengertian lahan, Adapun pengertian dari FAO (1976) yang dikutip oleh Sitorus (1998) 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah yaitu : Menurut FAO (dalam Arsyad 1989:206) mengenai pengertian lahan, Lahan diartikan sebagai lingkungan fisik yang terdiri atas iklim, relief, tanah, air,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Berdasarkan hasil penelitian di DAS Ciliwung hulu tahun ,

HASIL DAN PEMBAHASAN. Berdasarkan hasil penelitian di DAS Ciliwung hulu tahun , HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil penelitian di DAS Ciliwung hulu tahun 1990 1996, perubahan penggunaan lahan menjadi salah satu penyebab yang meningkatkan debit puncak dari 280 m 3 /det menjadi 383

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan yang dititikberatkan pada pertumbuhan ekonomi berimplikasi pada pemusatan perhatian pembangunan pada sektor-sektor pembangunan yang dapat memberikan kontribusi pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I-1. Laporan Tugas Akhir Kinerja Pengoperasian Waduk Sempor Jawa Tengah dan Perbaikan Jaringan Irigasinya

BAB I PENDAHULUAN I-1. Laporan Tugas Akhir Kinerja Pengoperasian Waduk Sempor Jawa Tengah dan Perbaikan Jaringan Irigasinya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Waduk adalah suatu bangunan yang berfungsi untuk melestarikan sumberdaya air dengan cara menyimpan air disaat kelebihan yang biasanya terjadi disaat musim penghujan

Lebih terperinci

ANALISIS PENYERAPAN TENAGA KERJA PERDESAAN LAHAN KERING BERBASIS PERKEBUNAN

ANALISIS PENYERAPAN TENAGA KERJA PERDESAAN LAHAN KERING BERBASIS PERKEBUNAN ANALISIS PENYERAPAN TENAGA KERJA PERDESAAN LAHAN KERING BERBASIS PERKEBUNAN Adi Setiyanto PENDAHULUAN Tenaga kerja merupakan motor penggerak dalam pembangunan ekonomi. Tenaga kerja sebagai sumber daya

Lebih terperinci

Pengembangan Sistem Panen Hujan dan Aliran Permukaan untuk Mengurangi Risiko Kekeringan Mendukung Ketahanan Pangan

Pengembangan Sistem Panen Hujan dan Aliran Permukaan untuk Mengurangi Risiko Kekeringan Mendukung Ketahanan Pangan Pengembangan Sistem Panen Hujan dan Aliran Permukaan untuk Mengurangi Risiko Kekeringan Mendukung Ketahanan Pangan Nani Heryani, telp.0251-8312760, hp 08129918252, heryani_nani@yahoo.com ABSTRAK Indonesia

Lebih terperinci

KEUNGGULAN KOMPETITIF SISTEM USAHATANI TANAMAN PANGAN DI KABUPATEN SUMBA TIMUR, NTT

KEUNGGULAN KOMPETITIF SISTEM USAHATANI TANAMAN PANGAN DI KABUPATEN SUMBA TIMUR, NTT KEUNGGULAN KOMPETITIF SISTEM USAHATANI TANAMAN PANGAN DI KABUPATEN SUMBA TIMUR, NTT Rachmat Hendayana Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Jl Tentara Pelajar, 10 Bogor ABSTRAK Makalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan daerah yang berfungsi sebagai daerah resapan, daerah penyimpanan air, penampung air hujan dan pengaliran air. Yaitu daerah dimana

Lebih terperinci

Studi Optimasi Operasional Waduk Sengguruh untuk Pembangkit Listrik Tenaga Air

Studi Optimasi Operasional Waduk Sengguruh untuk Pembangkit Listrik Tenaga Air Tugas Akhir Studi Optimasi Operasional Waduk Sengguruh untuk Pembangkit Listrik Tenaga Air Oleh : Sezar Yudo Pratama 3106 100 095 JURUSAN TEKNIK SIPIL Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Irigasi pada hakekatnya merupakan upaya pemberian air pada tanaman

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Irigasi pada hakekatnya merupakan upaya pemberian air pada tanaman BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Irigasi pada hakekatnya merupakan upaya pemberian air pada tanaman sebanyak keperluan untuk tumbuh dan berkembang. Tanaman apabila kekurangan air akan menderit (stress)

Lebih terperinci

STUDI PENGARUH SEDIMENTASI KALI BRANTAS TERHADAP KAPASITAS DAN USIA RENCANA WADUK SUTAMI MALANG

STUDI PENGARUH SEDIMENTASI KALI BRANTAS TERHADAP KAPASITAS DAN USIA RENCANA WADUK SUTAMI MALANG STUDI PENGARUH SEDIMENTASI KALI BRANTAS TERHADAP KAPASITAS DAN USIA RENCANA WADUK SUTAMI MALANG Suroso, M. Ruslin Anwar dan Mohammad Candra Rahmanto Jurusan Sipil Fakultas Teknik Universitas Brawijaya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumberdaya alam seperti air, udara, lahan, minyak, ikan dan hutan merupakan sumberdaya yang esensial bagi kelangsungan hidup manusia. Hilang atau berkurangnya ketersediaan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN 7 Latar Belakang Tekanan terhadap sumberdaya hutan menyebabkan terjadinya eksploitasi yang berlebihan, sehingga sumberdaya hutan tidak mampu lagi memberikan manfaat yang optimal. Tekanan yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sektor yang mempunyai peranan yang cukup strategis dalam perekonomian

I. PENDAHULUAN. sektor yang mempunyai peranan yang cukup strategis dalam perekonomian 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu sasaran pembangunan nasional adalah pertumbuhan ekonomi dengan menitikberatkan pada sektor pertanian. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor

Lebih terperinci

STUDI KELAYAKAN USAHA PEMBUATAN BATA MERAH BERBAHAN BAKU SEDIMEN BENDUNGAN SENGGURUH

STUDI KELAYAKAN USAHA PEMBUATAN BATA MERAH BERBAHAN BAKU SEDIMEN BENDUNGAN SENGGURUH 43 Jurnal Akses Pengabdian Indonesia Vol 1 No 1: 43 54, 2016 STUDI KELAYAKAN USAHA PEMBUATAN BATA MERAH BERBAHAN BAKU SEDIMEN BENDUNGAN SENGGURUH Widowati dan Aldon Sinaga Fakultas Pertanian, Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan ekosistem di Pulau Jawa. Dieng berada di ketinggian antara 1500

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan ekosistem di Pulau Jawa. Dieng berada di ketinggian antara 1500 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan Dieng merupakan salah satu kawasan penting dalam menyangga keseimbangan ekosistem di Pulau Jawa. Dieng berada di ketinggian antara 1500 sampai dengan 2093

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Pengelolaan sumberdaya lahan menpunyai ciri-ciri yang. spesifik. Hal ini dapat terjadi karena lahan mempunyai

PENDAHULUAN. Pengelolaan sumberdaya lahan menpunyai ciri-ciri yang. spesifik. Hal ini dapat terjadi karena lahan mempunyai PENDAHULUAN Pengelolaan sumberdaya lahan menpunyai ciri-ciri yang spesifik. Hal ini dapat terjadi karena lahan mempunyai fungsi ganda dalan penanfaatannya. Lahan sebagai substrat berfungsi mendukung kehidugan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Kebutuhan akan bahan pangan terus meningkat sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk dan kebutuhan gizi masyarakat. Padi merupakan salah satu tanaman pangan utama bagi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan UU Nomor 7 Tahun 1996 tentang pangan, ketahanan pangan merupakan kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. sekarang(present value) selama horizon waktu dari tahun yang

HASIL DAN PEMBAHASAN. sekarang(present value) selama horizon waktu dari tahun yang 155 VII. HASIL DAN PEMBAHASAN 7.1 Net Social Benefit dari Fungsi Obyektif 7.1.1 Nilai Obyektif Setiap Skenario Fungsi obyektif optimal manfaat sosial bersih yang dihitung dengan nilai sekarang(present

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA PENDEKATAN TEORI

BAB II KERANGKA PENDEKATAN TEORI BAB II KERANGKA PENDEKATAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Gambaran Umum Lahan Kering Tantangan penyediaan pangan semakin hari semakin berat. Degradasi lahan dan lingkungan, baik oleh gangguan manusia maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. makin maraknya alih fungsi lahan tanaman padi ke tanaman lainnya.

BAB I PENDAHULUAN. makin maraknya alih fungsi lahan tanaman padi ke tanaman lainnya. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan sawah memiliki arti penting, yakni sebagai media aktivitas bercocok tanam guna menghasilkan bahan pangan pokok (khususnya padi) bagi kebutuhan umat manusia.

Lebih terperinci

TINGKAT PENERAPAN DIVERSIFIKASI USAHATANI DAN PENGARUHNYA TERHADAP PENDAPATAN DAN PENYERAPAN TENAGA KERJA

TINGKAT PENERAPAN DIVERSIFIKASI USAHATANI DAN PENGARUHNYA TERHADAP PENDAPATAN DAN PENYERAPAN TENAGA KERJA TINGKAT PENERAPAN DIVERSIFIKASI USAHATANI DAN PENGARUHNYA TERHADAP PENDAPATAN DAN PENYERAPAN TENAGA KERJA Oleh: Muchjidin Rachmat dan Budiman Hutabarat') Abstrak Tulisan ini ingin melihat tingkat diversifikasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. rumahtangga yang mengusahakan komoditas pertanian. Pendapatan rumahtangga

I. PENDAHULUAN. rumahtangga yang mengusahakan komoditas pertanian. Pendapatan rumahtangga I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pendapatan rumahtangga petani adalah pendapatan yang diterima oleh rumahtangga yang mengusahakan komoditas pertanian. Pendapatan rumahtangga petani dapat berasal dari

Lebih terperinci

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN 1994-2003 6.1. Hasil Validasi Kebijakan Hasil evaluasi masing-masing indikator

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tinggi secara langsung dalam pemasaran barang dan jasa, baik di pasar domestik

I. PENDAHULUAN. tinggi secara langsung dalam pemasaran barang dan jasa, baik di pasar domestik I. PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan daerah dalam era globalisasi saat ini memiliki konsekuensi seluruh daerah di wilayah nasional menghadapi tingkat persaingan yang semakin tinggi secara langsung

Lebih terperinci

MODEL USAHATANI SAYURAN DATARAN TINGGI BERBASIS KONSERVASI DI DAERAH HULU SUNGAI CIKAPUNDUNG

MODEL USAHATANI SAYURAN DATARAN TINGGI BERBASIS KONSERVASI DI DAERAH HULU SUNGAI CIKAPUNDUNG MODEL USAHATANI SAYURAN DATARAN TINGGI BERBASIS KONSERVASI DI DAERAH HULU SUNGAI CIKAPUNDUNG (Studi Kasus: Lahan Pertanian Berlereng di Hulu Sub DAS Cikapundung, Kawasan Bandung Utara) Hendi Supriyadi

Lebih terperinci

POTENSI LAHAN PERTANIAN BAGI PENGEMBANGAN PALAWIJA DI LAMPUNG

POTENSI LAHAN PERTANIAN BAGI PENGEMBANGAN PALAWIJA DI LAMPUNG POTENSI LAHAN PERTANIAN BAGI PENGEMBANGAN PALAWIJA DI LAMPUNG Oleh: Muchjidin Rachmat*) Abstrak Tulisan ini melihat potensi lahan, pengusahaan dan kendala pengembangan palawija di propinsi Lampung. Potensi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. agraris seharusnya mampu memanfaatkan sumberdaya yang melimpah dengan

I. PENDAHULUAN. agraris seharusnya mampu memanfaatkan sumberdaya yang melimpah dengan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi yang merupakan salah satu indikator keberhasilan suatu negara dapat dicapai melalui suatu sistem yang bersinergi untuk mengembangkan potensi yang dimiliki

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Barbier, E.B The Farm-Level Economics of Soil Conservation: The Uplands of Java. Land Economics, 66 (2):

DAFTAR PUSTAKA. Barbier, E.B The Farm-Level Economics of Soil Conservation: The Uplands of Java. Land Economics, 66 (2): DAFTAR PUSTAKA Anderson, J.R. and J. Thampapillai. 1990. Soil Conservation in Development Countries: Project and Policy Intervention. Working Paper Policy and Research Series No: 8. World Bank, Washington,

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN DAN KERAGAAN EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI. Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) merupakan provinsi yang mempunyai

V. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN DAN KERAGAAN EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI. Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) merupakan provinsi yang mempunyai V. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN DAN KERAGAAN EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI Keadaan Umum Wilayah Penelitian Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) merupakan provinsi yang mempunyai ratio jumlah rumahtangga petani

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. dikonsumsi di Indonesia, karena sekitar 45% konsumsi buah-buahan adalah

PENDAHULUAN. Latar Belakang. dikonsumsi di Indonesia, karena sekitar 45% konsumsi buah-buahan adalah 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pisang (Musa paradisiaca) adalah komoditas buah yang paling banyak dikonsumsi di Indonesia, karena sekitar 45% konsumsi buah-buahan adalah pisang. Buah pisang mudah didapat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kerusakan akibat erosi dalam ekosistem DAS (Widianto dkk., 2004). Kegiatan

I. PENDAHULUAN. kerusakan akibat erosi dalam ekosistem DAS (Widianto dkk., 2004). Kegiatan I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sistem penggunaan lahan dalam daerah aliran sungai (DAS), berupa aneka pepohonan dan semak sehingga membentuk tajuk berlapis. Hutan yang demikian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor penting yang patut. diperhitungkan dalam meningkatkan perekonomian Indonesia.

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor penting yang patut. diperhitungkan dalam meningkatkan perekonomian Indonesia. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Sektor pertanian merupakan salah satu sektor penting yang patut diperhitungkan dalam meningkatkan perekonomian Indonesia. Negara Indonesia yang merupakan negara

Lebih terperinci

PERMASALAHAN dan PENGEMBANGAN IRIGASI LAHAN KERING. di NUSA TENGGARA BARAT PENDAHULUAN

PERMASALAHAN dan PENGEMBANGAN IRIGASI LAHAN KERING. di NUSA TENGGARA BARAT PENDAHULUAN PERMASALAHAN dan PENGEMBANGAN IRIGASI LAHAN KERING di NUSA TENGGARA BARAT PENDAHULUAN Sebagian besar lahan di propinsi NTB berupa lahan kering 1.807.463 ha atau 84% dari luas wilayah NTB (Suwardji, 2004).

Lebih terperinci

Penggunaan Lahan Pertanian dan Arah Pengembangan ke Depan

Penggunaan Lahan Pertanian dan Arah Pengembangan ke Depan Penggunaan Lahan Pertanian dan Arah Pengembangan ke Depan Oleh: Anny Mulyani, Fahmuddin Agus, dan Subagyo Penggunaan Lahan Pertanian Dari total luas lahan Indonesia, tidak terrnasuk Maluku dan Papua (tidak

Lebih terperinci

MEMBANGUN SISTEM DAN USAHA AGRIBISNIS DI NUSA TENGGARA BARAT

MEMBANGUN SISTEM DAN USAHA AGRIBISNIS DI NUSA TENGGARA BARAT MEMBANGUN SISTEM DAN USAHA AGRIBISNIS DI NUSA TENGGARA BARAT Peranan dan kinerja agribisnis dalam pembangunan ekonomi Faktor produksi utama sektor pertanian di NTB adalah lahan pertanian. Berdasarkan hasil

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tank Model Penerapan Tank Model dilakukan berdasarkan data harian berupa data curah hujan, evapotranspirasi dan debit aliran sungai. Data-data tersebut digunakan untuk menentukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Manusia dan lingkungan memiliki hubungan yang tidak dapat terpisahkan. Manusia sangat bergantung pada lingkungan yang memberikan sumberdaya alam untuk tetap bertahan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Tingkat Produksi Kedelai Peluang peningkatan produksi kedelai di dalam negeri masih terbuka

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian masih merupakan prioritas pembangunan secara nasional maupun regional. Sektor pertanian memiliki peran penting untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tujuan pembangunan nasional adalah mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Pembangunan merupakan salah satu cara untuk mencapai keadaan tersebut,

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1. Letak dan Keadaan Geografi Daerah Penelitian Desa Perbawati merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan Sukabumi, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Batas-batas

Lebih terperinci

LAHAN PERTANIAN, TENAGA KERJA DAN SUMBER PENDAPATAN DI BEBERAPA PEDESAAN JAWA BARAT

LAHAN PERTANIAN, TENAGA KERJA DAN SUMBER PENDAPATAN DI BEBERAPA PEDESAAN JAWA BARAT LAHAN PERTANIAN, TENAGA KERJA DAN SUMBER PENDAPATAN DI BEBERAPA PEDESAAN JAWA BARAT Oleh: Memed Gunawan dan Ikin Sadikin Abstrak Belakangan ini struktur perekonomian masyarakat pedesaan Jawa Barat telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mempertahankan hidup dan kehidupannya. Undang-Undang Nomor 18 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. mempertahankan hidup dan kehidupannya. Undang-Undang Nomor 18 Tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang perlu dipenuhi dalam mempertahankan hidup dan kehidupannya. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan menyebutkan

Lebih terperinci

tersebut hanya ¼ dari luas lahan yang dimiliki Thailand yang mencapai 31,84 juta ha dengan populasi 61 juta orang.

tersebut hanya ¼ dari luas lahan yang dimiliki Thailand yang mencapai 31,84 juta ha dengan populasi 61 juta orang. ELABORASI Letak geografis yang strategis menunjukkan betapa kaya Indonesia akan sumber daya alam dengan segala flora, fauna dan potensi hidrografis dan deposit sumber alamnya yang melimpah. Sumber daya

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Industri pengolahan kayu merupakan salah satu sektor penunjang perekonomian di Provinsi Jawa Timur. Hal ini terlihat dengan nilai ekspor produk kayu dan barang dari

Lebih terperinci

Lahan rawa untuk budidaya tanaman pangan berwawasan lingkungan Sholehien

Lahan rawa untuk budidaya tanaman pangan berwawasan lingkungan Sholehien Perpustakaan Universitas Indonesia >> UI - Tesis (Membership) Lahan rawa untuk budidaya tanaman pangan berwawasan lingkungan Sholehien Deskripsi Dokumen: http://lib.ui.ac.id/opac/themes/libri2/detail.jsp?id=74226&lokasi=lokal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam pembangunan nasional, khususnya yang berhubungan dengan pengelolaan

BAB I PENDAHULUAN. dalam pembangunan nasional, khususnya yang berhubungan dengan pengelolaan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang menjadi pusat perhatian dalam pembangunan nasional, khususnya yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan

Lebih terperinci

Berdasarkan hasil penelitian dapat ditarik beberapa simpulan: 1. Dengan telah dapat dibangunnya model ASDIJ sehingga dapat menjawab

Berdasarkan hasil penelitian dapat ditarik beberapa simpulan: 1. Dengan telah dapat dibangunnya model ASDIJ sehingga dapat menjawab 178 VIII. SIMPULAN DAN SARAN 8.1 Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dapat ditarik beberapa simpulan: 1. Dengan telah dapat dibangunnya model ASDIJ sehingga dapat menjawab (1) alokasi air yang optimal

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Hutan sebagai sumberdaya alam mempunyai manfaat yang penting bagi

PENDAHULUAN. Hutan sebagai sumberdaya alam mempunyai manfaat yang penting bagi PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan sebagai sumberdaya alam mempunyai manfaat yang penting bagi kehidupan manusia baik secara ekonomi, ekologi dan sosial. Dalam Undangundang Nomor 41 Tahun 1999 disebutkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertanian merupakan sektor yang terpenting di negara kita, karena sebagian besar warga Indonesia bermatapencaharian sebagai petani, namun juga sebagian besar warga miskin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya lahan merupakan tumpuan kehidupan manusia dalam pemenuhan kebutuhan pokok pangan dan kenyamanan lingkungan. Jumlah penduduk yang terus berkembang sementara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masyarakat Indonesia. Oleh karena itu sektor pertanian di Indonesia perlu

I. PENDAHULUAN. masyarakat Indonesia. Oleh karena itu sektor pertanian di Indonesia perlu 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan sektor yang menopang kehidupan sebagian besar masyarakat Indonesia. Oleh karena itu sektor pertanian di Indonesia perlu terus dikembangkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. peranan penting dalam meningkatkan perekonomian Indonesia melalui. perannya dalam pembentukan Produk Domestic Bruto (PDB), penyerapan

I. PENDAHULUAN. peranan penting dalam meningkatkan perekonomian Indonesia melalui. perannya dalam pembentukan Produk Domestic Bruto (PDB), penyerapan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu sumber pendapatan yang memiliki peranan penting dalam meningkatkan perekonomian Indonesia melalui perannya dalam pembentukan Produk

Lebih terperinci

Hulu DAS Kaligarang (Gunung Ungaran)

Hulu DAS Kaligarang (Gunung Ungaran) LAMPIRAN GAMBAR Hulu DAS Kaligarang (Gunung Ungaran) Batas Penelitian Bendung Alun-alun Ungaran LAMPIRAN GAMBAR Batas Penelitian (Bendung Alun-alun Ungaran) Hulu DAS Kaligarang Peta DAS Kaligarang LAMPIRAN

Lebih terperinci