PERHUTANAN SOSIAL DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT YANG EFEKTIF

Transkripsi

1

2

3 Peran Penting Masyarakat dalam Tata Kelola Hutan dan REDD+ 3 Contoh lain di Bantaeng, dimana untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemandirian, pemerintah kabupaten memberikan modal dan aset kepada desa untuk menjalankan Badan Usaha Milik Desa (BUMDES), tetapi kurang memberi informasi bagaimana modal dan aset bisa dimanfaatkan secara efektif. Meskipun ada berbagai usaha untuk menyebarluaskan informasi tentang peluang, persyaratan dan peraturan tentang HKm terkait erat dengan hutan negara, usaha ini seringkali dilakukan dalam bentuk 'sosialisasi'. Dalam kegiatan 'sosialisasi' ini biasanya pejabat atau staf pemerintah memberikan informasi tanpa memastikan apakah orang benar-benar paham. Selain dirancang untuk pemberdayaan masyarakat, HKm atau HD juga dianggap sebagai alat untuk menyelesaikan konflik tenurial hutan. Pengalaman di Bantaeng, HD dipersengketakan oleh dua desa yaitu desa Bontolojong dan Labbo, dimana desa Labbo mendapatkan izin HD yang ternyata separuh dari kawasan tersebut masuk ke dalam wilayah desa Bontolojong. Hal tersebut tersebut terjadi mungkin karena tidak ada cukup usaha untuk membangun kelembagaan dan memastikan Free Prior Informed Concern (FPIC), maupun tidak memadainya upaya klarifikasi batas wilayah hutan dan proses menyelesaikan pengukuhan secara formal. Selain itu, pemberdayaan masyarakat dalam perhutanan sosial selama ini ditargetkan berdasarkan pada luasan perijinan areal kerja untuk masyarakat dalam skema HD, HKm, HTR, Kemitraan yang tidak diimbangi dengan kebijakan percepatan ketersediaan sumberdaya di tingkat daerah. Kualitas dan kuantitas sumberdaya manusia di daerah tidak disiapkan dengan cepat, sehingga menjadi lemah dalam melakukan fasilitasi dalam memberdayakan kelompok masyarakat dalam memenuhi target perluasan perijinan. Tak jarang target penetapan areal kerja perhutanan sosial dipengaruhi oleh kepentingan politik lokal. Seperti di Lampung, menjelang Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA), penetapan areal kerja HKm dan HD berkembang dengan pesat, hingga sekarang menyisakan persoalan yang belum selesai, karena ketidaksesuaian antara areal yang ditetapkan dengan ketersediaan sumberdaya daerah dalam menjalankan mandat paska penetapan areal kerja. Maka pada target Perhutanan Sosial (PS) saat ini pun, semestinya dipertimbangkan juga kesiapan dan persiapan Pemerintah Daerah (Pemda). PERHUTANAN SOSIAL DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT YANG EFEKTIF Secara teoritis, setelah mendapatkan izin pengelolaan, sebuah kelompok bisa memutuskan bagaimana mereka mengelola sumber daya hutan dan mengusulkan rencana kerjanya. Namun pada prakteknya, seringkali perencanaan tersebut hanya menjadi pelengkap administratif belaka. Tak jarang rencana pengelolaan yang diajukan masyarakat kemudian ditolak karena tidak mengikuti format yang diminta maupun tanpa alasan yang jelas. Begitu juga tak ada pendampingan dari pemerintah daerah untuk memperbaiki dokumen perencanaan masyarakat. Kurangnya komitmen pemerintah daerah tersebut, menyebabkan banyak HKm berhenti pada titik ini. Bahkan kalaupun disetujui, perencanaan tersebut bisa saja tidak ditindaklanjuti karena tidak ada kaitannya dengan praktek yang terjadi di lapangan. Di Bulukumba, dan Bantaeng misalnya, kebanyakan kelompok tidak mengelola hutan secara kolektif, namun secara mandiri atau keluarga. Ketika HD/HKm diadopsi sebagai sebuah solusi konflik, orang melihatnya sebagai sebuah izin untuk melanjutkan praktek pengelolaan lahan tradisional mereka. Di Borong Rappoa, HKm bagi masyarakat adalah melanjutkan menanam kopi. Meskipun biasanya kopi ditanam di sistem wanatani yang ramah lingkungan, hal itu tidak bisa diterima untuk kawasan hutan negara. Di sisi lain, pemerintah daerah membolehkan praktek ini sebab jauh lebih baik dibandingkan dikonversi menjadi lahan untuk jagung atau sayuran. Agar HKm menjadi bagian dari tata kelola lokal, ada tiga faktor yang perlu ditekankan. Pertama, memenuhi uji 'clean and clear'. Status dari hutan harus diverifikasi, batas-batas ditetapkan dan lembaga dibentuk dan diberikan informasi secara baik dan memadai. Kedua, fasilitasi setelah tahap pemberian izin perlu dilakukan oleh fasilitator yang handal dengan kemampuan teknis di bidang pengelolaan hutan, terutama pengelolaan dalam skala kecil dan meningkatkan kapasitas teknis dalam bidang pembibitan, pengelolaan sistem/ pohon dan pemasaran. Dan, yang terakhir adalah perlu adanya kebebasan dari masyarakat setempat untuk memutuskan tentang bagaimana mengelola hutan dalam parameter tertentu yang disusun oleh pemerintah, misalnya memastikan konservasi tanah dan air tanpa perlu memberikan resep tentang bagaimana hal itu harus dilakukan. FKKM ARAHAN KEBIJAKAN

4 FKKM Praktek pengelolaan hutan oleh masyarakat yang baik, selayaknya diapresiasi pemerintah dengan memfasilitasi pemberdayaan dan dukungan kebijakan. Karenanya pemberian ijin HKm dan HTR, akses kelola melalui HD dan Kemitraan Kehutanan, serta pengakuan hak Hutan Adat, juga selayaknya menjadi penghargaan bagi masyarakat, yang telah terbukti mampu mengelola hutan secara lestari. Selain kepastian hak bagi masyarakat mengelola hutan, kemudahan dalam memperoleh perijinan atau hak kelola juga seharusnya diberikan oleh pemerintah. Dengan kepastian hak mengelola hutan, masyarakat akan dapat mendukung pelaksanaan tata kelola kehutanan yang baik. Kepastian hak pengelolaan hutan bagi masyarakat juga akan memberikan keamanan masyarakat dalam mengakses sumberdaya hutan dalam kerangka peningkatan kesejahteraan. Sumberdaya hutan berupa kayu dan hasil hutan non kayu terbukti mampu berkontribusi dalam peningkatan ekonomi keluarga yang tinggal di dalam dan sekitar hutan. Jasa ekosistem hutan pun telah dihargai sebagai komoditi yang dapat mendatangkan manfaat bagi masyarakat pengelola hutan secara langsung. Pembayaran jasa lingkungan dari air juga telah dilakukan di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Kelompok masyarakat pengelola HKm mendapatkan Sebagai salah satu mekanisme pengurangan emisi GRK dengan cara memberikan imbal jasa, REDD+ diharapkan mengurangi laju kerusakan hutan dan penurunan daya dukung lahan sekaligus mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Imbal jasa menjadi harapan para pihak yang merasa telah melakukan pencegahan deforestasi dan degradasi lahan, termasuk masyarakat pengelola HKm, HD, HTR, Kemitraan Kehutanan, Hutan Rakyat, maupun Hutan Adat. Rumitnya mekanisme yang belum disepakati di tingkat global dan berbagai persyaratannya, menjadikan REDD+ masih sekedar mimpi bagi masyarakat sekitar hutan untuk mendapatkan kompensasi tersebut. Dalam prakteknya, ruang lingkup REDD+ seperti mengurangi konversi lahan hutan, perbaikan pengelolaan hutan, menjaga cadangan karbon melalui konservasi, mengelola hutan secara lestari dan meningkatkan cadangan karbon melalui rehabilitasi telah dilakukan oleh masyarakat di banyak tempat. Selain Jember dan Laman Satong, masyarakat di sekitar Tahura Wan Abdul Rachman dan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan di Lampung telah ikut berperan. Menjaga cadangan karbon melalui konservasi telah MEKANISME MEMBAGI MANFAAT HUTAN REDD+ imbal jasa dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) atas upayanya menjaga hutan. Kelestarian hutan di ekosistem hulu yang dijaga kelompok HKm mendukung ketersediaan air bagi para pelanggan PDAM. Inisiasi serupa juga sedang dibangun di Bantaeng, antara pengelola Hutan Desa dengan PDAM setempat. Fungsi hutan sebagai penyerap dan penyimpan karbon, berperan besar dalam penurunan Gas Rumah Kaca (GRK). Pembayaran atas jasa menjaga ekosistem hutan inilah yang didorong menjadi skema Reducing Emission from Deforestation and Degradation (REDD+). Upaya mengurangi laju kerusakan hutan dan penurunan daya dukung lahan dapat diberikan imbal jasa melalui mekanisme tertentu yang disepakati dalam tingkat global. Di tingkat lapangan, pengelola Hutan Desa Laman Satong telah mendapatkan imbal jasa atas upayanya menjaga hutan. Imbal jasa tersebut dihitung berdasar cadangan karbon yang mampu mereka jaga. Tak cuma itu, pengelola Hutan Desa Laman Satong bahkan telah memiliki aturan pembagian imbal jasa tersebut yang diperkuat dengan Peraturan Desa (Perdes). Inisiasi serupa selayaknya direplikasi ke tempat lain. Dukungan fasilitasi serta kebijakan oleh pemerintah dengan kekuatan sendiri maupun kerjasama internasional. DALAM PEMAHAMAN MASYARAKAT ARAHAN KEBIJAKAN dilakukan oleh masyarakat di Lampung. Pengelola Hutan Desa di Bantaeng dan Merangin juga telah melakukan perbaikan pengelolaan hutan di desanya. Masyarakat di Berau juga telah berupaya menjaga terjadinya konversi lahan hutan di wilayahnya. Mekanisme global membutuhkan negosiasi yang panjang untuk menghasilkan kesepakatan diantara negara-negara di dunia. Akan tetapi mekanisme di tingkat lokal atau nasional dapat diciptakan dengan kebijakan atau perundangan. kebijakan atau perundangan bisa disepakati oleh pemerintah dan para pemangku kepentingan di tingkat lokal atau nasional. Lingkup kegiatan REDD+ sudah selayaknya dipandang sebagai instrumen untuk memberikan penghargaan, untuk pihak-pihak yang mendukung terciptanya kelestarian hutan Indonesia. REDD+ sudah selayaknya dijadikan landasan dalam menciptakan kebijakan pendukung tata kelola kehutanan yang lebih adil dan lestari. Kebijakan kehutanan serta tata kuasa dan kelola lahan/agraria sudah selayaknya dibenahi. Agar keadilan sosial dan kelestarian sumberdaya alam dapat diwujudkan. Peran Penting Masyarakat dalam Tata Kelola Hutan dan REDD+ 4

5 Peran Penting Masyarakat dalam Tata Kelola Hutan dan REDD+ 5 Indonesia sebagai salah satu negara pemilik hutan terluas di dunia sekaligus negara kepulauan sangat berkepentingan dalam isu perubahan iklim. Dengan posisinya yang berada diantara 2 benua dan 2 samudera, Indonesia akan mendapatkan dampak yang berpengaruh nyata dari adanya perubahan iklim. Wilayah-wilayah kepulauan seperti Lombok, Sumbawa, Sumba, Maluku Utara dan pulau-pulau kecil lainnya adalah wilayah paling rentan dalam isu perubahan iklim ini. Maraknya keberadaaan dan beroperasinya ijinijin pertambangan, perkebunan maupun kehutanan skala besar di pulau-pulau kecil di Maluku Utara dan Nusa Tenggara Barat menjadikan kehidupan masyarakat semakin terancam. Kelangkaan air menjadi dampak yang harus masyarakat terima ketika musim kemarau tiba, selain suhu yang semakin panas. Banjir, longsor, serta pencemaran menjadi bencana yang harus lebih sering mereka terima, selain abrasi pantai yang mengikis pulau tempat tinggalnya. Keberadaan ijin kelola dan eksploitasi skala besar juga berpotensi menimbulkan konflik karena seringkali tumpang tindih dengan hak ulayat masyarakat adat setempat. Penataan ulang ijin kuasa dan kelola sumberdaya alam serta pengakuan hak masyarakat mutlak diperlukan. Pengembangan konsep pembangunan perlu disesuaikan dengan daya dukung pulau-pulau tersebut. Pemerintah Provinsi (Pemprov) Nusa Tenggara Barat yang menyadari kerentanan wilayahnya yang terdiri dari INDONESIA DAN KERENTANAN IKLIM pulau-pulau kecil mengembangkan konsep green island sebagai bentuk adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Skema Hutan Kemasyarakatan didorong di provinsi ini untuk mendukung konsep dan upaya adaptasi mitigasi perubahan iklim, selain memberikan akses masyarakat dalam pengelolaan hutan yang lebih adil dan berkelanjutan. Skema Payment for Environmental Services (PES) juga dikembangkan melalui kerjasama Kabupaten Lombok Barat dan Kota Mataram. Konsepsi green island perlu dikembangkan lebih lanjut dengan merumuskan indikator sehingga konsep tersebut dapat diimpelemantasikan dengan baik sesuai tujuannya. Fungsi hutan sebagai penyerap dan penyimpan karbon, berperan besar dalam penurunan GRK. Pembayaran atas jasa menjaga ekosistem hutan inilah yang didorong menjadi skema REDD+. Upaya mengurangi laju kerusakan hutan dan penurunan daya dukung lahan dapat diberikan imbal jasa, melalui mekanisme tertentu yang disepakati dalam tingkat global. Di tingkat lapangan, pengelola Hutan Desa Laman Satong telah mendapatkan imbal jasa atas upayanya menjaga hutan. Imbal jasa tersebut, dihitung berdasar cadangan karbon yang mampu mereka jaga. Tak cuma itu, pengelola Hutan Desa Laman Satong bahkan telah memiliki aturan pembagian imbal jasa tersebut yang diperkuat dengan Perdes Inisiasi serupa selayaknya direplikasi ke tempat lain. Dukungan fasilitasi serta kebijakan oleh pemerintah dengan kekuatan sendiri maupun kerjasama internasional. REKOMENDASI KEBIJAKAN 1. Arahan kebijakan tata ruang kepulauan harus memperhatian daya dukung ekosistem dan hak masyarakat serta upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim 2. Target 12,7 juta hektar Hutan dikelola Rakyat harus didukung kebijakan yang responsif dengan situasi lapangan, sederhana dan dapat menyelesaikan konflik tenurial 3. Kebijakan akses dan pengelolaan di hutan konservasi oleh masyarakat harus dipastikan untuk melindungi hak-hak masyarakat dan meningkatkan perannya dalam mitigasi perubahan iklim di kawasan konservasi 4. Kebijakan pembayaran jasa lingkungan harus dikembangkan sebagai mekanisme pendanaan pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan sekaligus insentif bagi pihak-pihak yang berperan aktif dalam pengelolaan lingkungan yang lestari 5. REDD+ selayaknya tidak dipandang sebagai mekanisme global semata, tetapi juga mendorong mekanisme lokal untuk memperbaiki tata kelola hutan Indonesia FKKM ARAHAN KEBIJAKAN

6