AKURASI INDIKATOR KEJADIAN KEBAKARAN DAN IDENTIFIKASI LATAR BELAKANG PENYEBAB KEBAKARAN HUTAN DI KABUPATEN TEBO PROVINSI JAMBI VEZA AZTERIA P

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "AKURASI INDIKATOR KEJADIAN KEBAKARAN DAN IDENTIFIKASI LATAR BELAKANG PENYEBAB KEBAKARAN HUTAN DI KABUPATEN TEBO PROVINSI JAMBI VEZA AZTERIA P"

Transkripsi

1 AKURASI INDIKATOR KEJADIAN KEBAKARAN DAN IDENTIFIKASI LATAR BELAKANG PENYEBAB KEBAKARAN HUTAN DI KABUPATEN TEBO PROVINSI JAMBI Oleh: VEZA AZTERIA P PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013

2 PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Akurasi Indikator Kejadian Kebakaran dan Identifikasi Latar Belakang Penyebab Kebakaran Hutan di Kabupaten Tebo Provinsi Jambi adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi di manapun. Sumber informasi yang berasal dan dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir dari tesis ini. Bogor, Februari 2013 Veza Azteria P

3 ABSTRACT VEZA AZTERIA. The accuracy of fire occurrence indicator and identification of background of forest fire causes in Tebo Regency Jambi Province. Under the direction of LAILAN SYAUFINA and NINING PUSPANINGSIH Land and forest fires are the natural disasters that often occur in Indonesian regions, especially Sumatera and Kalimantan. The disasters cause deep impacts to environments and human beings, so it is necessary to conduct mitigation. The objective of the research is to measure the accuracy of hotspot and identify background of forest fires causes. The analyzes were conducted by using hotspot data, groundcheck data field, and interview data. The research consist of : GIS analysis, identification hotspot, correlation analysis, and weighting analysis. The results of the research show that the highest distribution hotspot in Tebo Regency found in dry months are July (71 point), August (130 point) and September (111 point). The highest average accuracy groundcheck to hotspot found in August of about 25,8%. Land area most commonly found hotspot is forest area that 242 hotspot point. And the main reason people burning forest is land preparation for oil palm and rubber plantations. Keyword : accuracy, forest fire, groundcheck, hotspot, Tebo Regency

4 RINGKASAN Veza azteria. Akurasi indikator kejadian kebakaran dan identifikasi latar belakang penyebab kebakaran hutan di Kabupaten Tebo Provinsi Jambi. Di bawah bimbingan LAILAN SYAUFINA dan NINING PUSPANINGSIH. Kebakaran hutan dan lahan yang sering melanda wilayah Sumatera dan Kalimantan telah menimbulkan dampak yang sedemikian serius sehingga perlu dilakukan upaya-upaya penanggulangannya. Salah satu bentuk teknologi yang dapat diaplikasikan untuk mendukung kegiatan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan adalah teknologi satelit penginderaan jauh. Hotspot merupakan suatu parameter yang digunakan dari data satelit dan diindikasikan sebagai lokasi adanya kebakaran hutan. Hotspot sudah digunakan meluas baik di Indonesia maupun negara-negara lain untuk memantau adanya kebakaran hutan dari satelit dikarenakan sensornya dapat membedakan suhu permukaan di darat maupun di laut. Data Hotspot tersedia dengan bebas dapat diakses dengan mudah dari internet. Penelitian ini menitikberatkan pada pemanfaatan data penginderaan jauh untuk mengidentifikasi daerah-daerah bekas kebakaran, yaitu menggunakan data satelit NOAA/AVHRR kemudian diakurasikan dengan groundcheck dan mengidentifikasi latar belakang penyebab terjadinya kebakaran hutan di Kabupaten Tebo Provinsi Jambi. Tujuan dari penelitian ini adalah menghitung akurasi citra hotspot untuk identifikasi kebakaran hutan, mengidentifikasi jumlah titik hotspot pada setiap kelas tutupan lahan, mengidentifikasi latar belakang penyebab kebakaran hutan. Data dan alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah data hotspot yang diperoleh dari BKSDA Provinsi Jambi, data groundcheck, hasil survey dan wawancara, data kegiatan patroli pemadaman kebakaran, data curah hujan, data kondisi umum wilayah Tebo. Sedangkan alat yang digunakan adalah GPS (Global Positioning System) tipe Garmin 76CSx, Kamera Digital, Perangkat Komputer yang dilengkapi perangkat lunak ArcView GIS ver 3.2, ArcGIS 9.3,SPSS 16.0 dan Microsoft Office. Metode yang digunakan dalam akurasi kejadian kebakaran dengan menggunakan analisis euclidean distance, yaitu menghitung akurasi jarak terdekat kejadian kebakaran dengan data hotspot. Klasifikasi tutupan lahan dilakukan dengan menggunakan metode Supervised Classification. Analisis GIS (analisis peta tematik dan analisis spasial yaitu buffering). Identifikasi jumlah titik hotspot, penghitungan jumlah titik hotspot pada tiap tutupan lahan per bulan dengan menggunakan metode countpoint. Analisis pembobotan dengan metode ranking dan survey lapang serta wawancara dilakukan dengan menggunakan metode ekspert judgement. Hasil analisis menunjukkan bahwa Sebaran hotspot yang cukup tinggi pada tahun 2011 terjadi pada bulan Juli (71 titik), Agustus (130 titik) dan September (111 titik) sedangkan pada tahun 2012 hotspot tertinggi terjadi pada bulan Januari (74 titik). Sebaran hotspot tertinggi terdapat pada Agustus tahun 2011 yaitu sejumlah 130 hotspot. Sedangkan untuk bulan Januari tahun 2011 dan Oktober tahun 2011 tidak memiliki sebaran hotspot disebabkan oleh intensitas curah hujan cukup tinggi, aktifitas yang berhubungan dengan adanya pemanfaatan

5 lahan (terutama pembersihan atau pembukaan lahan) pada bulan-bulan tersebut sudah berakhir. Tinggi dan rendahnya sebaran hotspot pada periode tahun berkorelasi dengan besarnya curah hujan. Kabupaten Tebo merupakan wilayah yang memiliki pola curah hujan ekuator yaitu distribusi hujan bulanan bimodial dua puncak musim hujan maksimum dan hampir sepanjang tahun masuk ke dalam kriteria musim hujan. Pada bulan Agustus yang terdapat jumlah hotspot tertinggi berbanding terbalik dengan jumlah curah hujannya terendah yaitu sebesar 29 mm/bln. Sedangkan untuk bulan Januari dan Oktober tahun 2011 memiliki jumlah curah hujan yang tergolong besar yaitu 313 mm/bln dan 211,4 mm/bln. Berdasarkan hasil analisis korelasi antara hotspot dan curah hujan, kedua parameter tersebut berkorelasi sangat nyata pada α = 0,01 dengan nilai koefisien korelasi yang cukup besar yaitu 0,755. Artinya, semakin tinggi curah hujan maka jumlah hotspot akan semakin sedikit begitu juga sebaliknya. Hasil groundcheck di lapangan menunjukkan bahwa jumlah hotspot di lapangan ditemukan lebih sedikit dibandingkan dari data yang diperoleh dari satelit NOAA. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya pertama pada saat groundcheck di lapangan kondisi topografi lokasi yang berbukit. Kedua banyak ditemukan lokasi bekas kebakaran yang berada di seberang sungai, sehingga tidak memungkinkan untuk mengambil titik koordinat lokasi bekas kebakaran. Ketiga, masih terdapat binatang liar seperti gajah yang berkeliaran di lokasi bekas kebakaran sehingga menghambat menuju lokasi kebakaran hutan. Berdasarkan perhitungan persentase akurasi jarak groundcheck terhadap hotspot per bulan diperoleh nilai persentase akurasi rata-rata terendah terdapat pada bulan Februari yaitu sebesar 0,25%. Sedangkan untuk akurasi rata-rata tertinggi terjadi pada bulan Agustus yaitu sebesar 25,8%. Jenis penutupan lahan memberikan kontribusi terhadap frekuensi hotspot terutama karena berkaitan dengan aktivitas konversi lahan. Area lahan yang paling banyak ditemukan titik hotspot adalah Hutan sekunder 242 titik (49,1%), Semak/belukar 116 titik (23,5%), pertanian lahan kering campur 102 titik (20,7%), tanah terbuka/lahan kosong 13 titik (2,6), hutan tanaman 5 titik (1,01%), perkebunan, air dan belukar rawa 3 titik (0,6%), Hutan primer dan pertanian lahan kering 2 titik (0,4%), transmigrasi dan permukiman 1 titik (0,2%). Namun, berdasarkan hasil survey di lapangan diperoleh bahwa penutup lahan yang paling banyak terbakar ditemukan di area perkebunan dan semak/belukar. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan pada beberapa kecamatan di lokasi penelitian, kajian ini mengidentifikasi bahwa pengggunaan api sebagai alat penyiapan lahan areal perkebunan sengaja dilakukan karena dilatarbelakangi oleh beberapa faktor utama dan faktor pendukung. Terdapat empat hal yang menjadi faktor utama yang melatarbelakangi terjadinya kebakaran hutan diantaranya yaitu biaya yang dikeluarkan murah, metode penyiapan lahan yang mudah. Menurut para ahli kebakaran hutan merupakan cara yang mudah dan murah dilakukan dibandingkan jika mereka menggunakan alat berat dalam pembersihan lahan. Hal ini disebabkan untuk memperoleh alat tersebut membutuhkan biaya yang sangat mahal. Sebagian besar responden menyatakan bahwa dengan membakar merupakan proses yang cepat dalam pembersihan lahan. Sistem penyiapan lahan dengan membakar yang dilakukan oleh sebagian besar masyarakat asli merupakan salah satu budaya turun temurun yang telah

6 diwariskan oleh nenek moyang mereka. Menurut Badan Pusat Statistik Kabupaten Tebo (2011) lapangan usaha sebagian besar penduduk kabupaten tebo adalah sektor pertanian, perkebunan terutama perkebunan sawit dan karet yaitu sebesar 77% dan sebagian kecil bermata pencaharian perikanan. Adapun faktor pendukung penyebab terjadinya kebakaran juga disebabkan oleh lima hal diantaranya adalah diperoleh dari faktor musim yang merupakan salah satu pendukung penyebab terjadinya kebakaran hutan di Kabupaten Tebo. Musim kemarau dan kekeringan yang panjang sebagai akibat dari El Nino telah melanda sebagian belahan bumi, termasuk diantaranya adalah Indonesia. El Nino yang kering menyebabkan hutan tropis mengalami kekeringan, curah hujan yang rendah menyebabkan serasah dan pohon-pohon menjadi kering sehingga menyebabkan mudahnya terjadi kebakaran hutan. Program pengembangan desa kurang terkoordinasi dengan baik antara pemangku kepentingan. Dari hasil survey lapang, kondisi hutan yang akan dibuka untuk areal perkebunan pada umumnya adalah semak belukar. Kondisi lahan dalam keadaan semak belukar lebih cepat terbakar, terutama jika terjadi pada musim kemarau. Sehingga dengan adanya kondisi seperti ini dapat menjadi faktor penyebab terjadinya kebakaran hutan. Sistem perkebunan yang dilakukan oleh masyarakat Tebo merupakan sumber mata pencaharian utama mereka untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Sebagian besar lahan tersebut diperoleh secara turun temurun, dengan luas lahan berkisar antara 1-2 Ha. Status kepemilikan lahan merupakan salah satu faktor yang menjadi latar belakang masyarakat melakukan pembakaran. Sebagian besar mereka menganggap bahwa mereka berhak melakukan apa saja dalam menggarap lahan termasuk dengan cara membakar. Pembakaran dilakukan pada tiga waktu yang berbeda yaitu siang, sore dan malam hari. Pada umumnya masyarakat Tebo mereka melakukan pembakaran dimulai pada sore hari lebih tepatnya sore menjelang malam sekitar pukul WIB. Hal ini disebabkan beberapa faktor diantaranya adalah kecepatan penjalaran dan instensitas api pada sore hari lebih rendah dibandingkan pada siang hari. Sebagian besar dari mereka lebih memilih melakukan pembakaran pada sore hari. Hal ini disebabkan pada saat ini kecepatan angin tidak terlalu tinggi, bila dibandingkan pembakaran pada malam hari. Sehingga tidak mempunyai resiko menjalar ke lahan lain. Selain itu, mereka juga menghindari adanya tim patroli hutan yang menangani perambahan hutan dan perladangan berpindah.

7 Hak cipta milik IPB, tahun 2013 Hak cipta dilindungi undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis tanpa menyebutkan sumber : a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa ijin IPB.

8 AKURASI INDIKATOR KEJADIAN KEBAKARAN DAN IDENTIFIKASI LATAR BELAKANG PENYEBAB KEBAKARAN HUTAN DI KABUPATEN TEBO PROVINSI JAMBI VEZA AZTERIA Tesis sebagai salah salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013

9 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc

10 Judul Tesis Nama Nrp : AKURASI INDIKATOR KEJADIAN KEBAKARAN DAN IDENTIFIKASI LATAR BELAKANG PENYEBAB KEBAKARAN HUTAN DI KABUPATEN TEBO PROVINSI JAMBI : Veza Azteria : P Disetujui Komisi Pembimbing Dr.Ir. Lailan Syaufina,M.Sc Ketua Dr.Ir.Nining Puspaningsih,M.Si Anggota Diketahui, Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam &Lingkungan Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Prof.Dr.Ir.Cecep Kusmana,MS Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Agr Tanggal Ujian : 27 Desember 2012 Tanggal Lulus :

11 Karya Ilmiah ini kupersembahkan teristimewa untuk Ayahanda Evarizal,S.Pd, Ibunda Emmi Lasveriza,S.Pd dan adikku Amichael Ahmad Reza yang dengan ketegarannya telah mengantarku menggapai cita-cita, memberikan doa, dan dukungan selama penulis menjalani masa studi.

12 PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Topik penelitian yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan dari bulan Maret 2012 ini adalah Akurasi Indikator Kejadian Kebakaran dan Identifikasi Latar Belakang Penyebab Kebakaran Hutan di Kabupaten Tebo Provinsi Jambi. Penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Ibu Dr.Ir.Lailan Syaufina,M.Sc dan Ibu Dr.Ir.Nining Puspaningsih,M.Si yang selalu memberikan dorongan, semangat, saran dan banyak membantu penulis dalam penyelesaian tugas akhir ini, sehingga penulis mampu menyelesaikan tugas akhir ini dengan baik. 2. Bapak Prof.Dr.Ir.Lilik Budi Prasetyo,M.Sc sebagai penguji luar komisi terima kasih atas nasehat, komentar, saran dan masukan untuk perbaikan tulisan. 3. Bapak Prof.Dr.Cecep Kusmana, MS ketua program studi PSL yang memberikan saran dan nasehat sehingga tulisan ini menjadi lebih baik. 4. Segenap dosen pengajar, asisten dan staf PSL IPB 5. BKSDA Provinsi Jambi Brigade Pengendalian Kebakaran Hutan DAOPS Tebo, atas bantuannya sehingga penulis dapat melakukan survey lapangan. 6. Pak Uus dan rekan-rekan di laboratorium Remote Sensing dan Sistem Informasi Geografis Departemen Manjemen Hutan IPB atas bantuan dan kebersamaannya. 7. Rekan-rekan PSL 2010 atas dukungannya dan semua pihak yang telah membantu yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. Mudah-mudahan tulisan ini dapat bermanfaat bagi diri penulis dan yang membaca tulisan ini. Bogor, Februari 2013 Penulis

13 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Sungai Penuh pada tanggal 29 Oktober 1987 dari Ayah Evarizal,S.Pd dan Ibu Emmi Lasveriza,S.Pd. Penulis merupakan sulung dari dua bersaudara. Setelah menyelesaikan studi di SMAN 2 Sungai Penuh pada tahun 2005, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada Jurusan Geofisika dan Meteorologi melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Pada tahun 2009 penulis menyelesaikan studi sarjana di IPB kemudian bekerja sebagai eksekutif editor jurnal agrometeorologi dan sekretariat administrasi PERHIMPI (Perhimpunan Meteorologi Pertanian Indonesia). Penulis melanjutkan studi S2 di Sekolah Pascasarjana IPB tahun 2010 pada program studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Pada tahun 2010 penulis pernah menjadi pengajar bidang fisika dan geografi SMA di PRIMAGAMA Bogor dan tahun 2011 penulis pernah mengajar sebagai dosen tidak tetap di STIKOM Binaniaga Bogor bidang Sistem Informasi Geografi dasar. Dibidang penelitian pada tahun 2011 peneliti pernah dilibatkan dalam proyek Surveyor Indonesia sebagai asisten tenaga ahli Inventory survey of pollutant sources Industrial activities, manufacturing, infrastructure and Energy Mining and Oil and Agro-Industry. Tahun 2012 penulis juga dilibatkan sebagai anggota Stock Taking Team pada proyek JICA dan BAPPENAS. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh penulis tahun 2012 dari Pemerintah Provinsi Jambi melalui Dinas Pendidikan Provinsi Jambi.

14 i DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL.. DAFTAR GAMBAR. DAFTAR LAMPIRAN. I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1.2 Perumusan Masalah 1.3 Tujuan Penelitian. 1.4 Kerangka Pemikiran 1.5 Manfaat Penelitian... II. TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Kebakaran Hutan Tipe Kebakaran Hutan. 2.3 Faktor Penyebab Kebakaran Hutan di Indonesia Faktor Alam Faktor Manusia. 2.4 Pengendalian Kebakaran Hutan 2.5 Kejadian Kebakaran Hutan Hotspot Karakteristik Data Hotspot Akurasi Data Hotspot Deteksi Hotspot Penerjemahan Hotspot dan Kejadian Kebakaran di Lapangan. 2.6 Tipe Sistem Informasi Kebakaran III. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2 Jenis dan Sumber Data. 3.3 Tahapan Penelitian Metode Pengumpulan Data Metode Analisis Data Analisis GIS Identifikasi Jumlah Titik Hotspot Analisis Pembobotan dengan Metode Ranking.. IV. KONDISI UMUM. 4.1 Letak dan Luas Wilayah. 4.2 Kondisi Iklim 4.3 Luas Kawasan Hutan 4.4 Keadaan Penduduk... V. HASIL DAN PEMBAHASAN. 5.1 Analisis Sebaran Titik Panas (Hotspot) Akurasi Hotspot Jumlah Sebaran Titik Hotspot pada Kelas Penutup Lahan.. iii iv v

15 ii VI. 5.4 Identifikasi Latar Belakang Penyebab Kebakaran Hutan Faktor Utama Faktor Pendukung SIMPULAN DAN SARAN Simpulan. 6.2 Saran DAFTAR PUSTAKA.. LAMPIRAN

16 iii DAFTAR TABEL 1. Tahapan penelitian. 2. Luas wilayah menurut kecamatan di Kabupaten Tebo tahun Luas kawasan hutan menurut fungsi hutan di Kabupaten Tebo (Ha).. 4. Kondisi iklim rata-rata bulanan tahun Korelasi antara parameter hotspot dan curah hujan 6. Jumlah titik hotspot dan groundcheck lapangan. 7. Persentase jarak titik groundcheck dan titik hotspot Kabupaten Tebo pada bulan Agustus Jumlah sebaran hotspot dan persentase pada setiap kelas penutupan lahan di Kabupaten Tebo tahun Maret Bobot relatif pada peubah faktor utama Bobot relatif pada peubah faktor pendukung Halaman

17 iv DAFTAR GAMBAR 1. Bagan alir kerangka pemikiran.. 2. Arus sistem informasi data hotspot 3. Piksel dari Citra Satelit dan hotspot yang terletak ditengahtengah piksel 4. Ilustrasi antara deteksi hotspot dan kejadian kebakaran di lapangan. 5. Lokasi penelitian.. 6. Diagram alir tahapan penelitian. 7. Sebaran hotspot bulanan Kabupaten Tebo Provinsi Jambi tahun 2011 Maret Peta sebaran hotspot tahun 2011 Maret 2012 Kabupaten Tebo 9. Hubungan antara jumlah curah hujan dan jumlah Hotspot tahun Lokasi pengambilan titik koordinat pada saat groundcheck lapangan 11. Kondisi lahan kosong yang dideteksi sebagai hotspot Persentase akurasi rata-rata titik hotspot dan groundcheck lapangan dari tahun Analisis spasial jarak titik groundcheck dan titik hotspot Kabupaten Tebo pada bulan Agustus Sebaran hotspot dan titik-titik hasil groundcheck lapangan Kabupaten Tebo bulan Agustus Area yang paling banyak ditemui titik api 16. Peta sebaran Hotspot pada penutupan lahan Kabupaten Tebo.. Halaman

18 v DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Daftar Pertanyaan (kuisioner) Analisis spasial titik groundcheck dan titik hotspot Kabupaten Tebo periode Januari Maret Persentase jarak titik groundcheck dan titik hotspot Kabupaten Tebo periode Januari 2011 Maret Sebaran hotspot dan titik-titik hasil groundcheck lapangan Kabupaten Tebo periode Januari 2011 Maret

19 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia kaya dengan sumberdaya alam terutama sumber daya hutan. Namun Sumberdaya hutan tersebut mengalami penyusutan dengan kecepatan yang sangat mengkhawatirkan. Fakta menunjukkan bahwa sumberdaya hutan berkurang dengan tingkat laju kerusakan pada periode tercatat 1,6 juta ha per tahun dan pada periode menjadi 3,8 juta ha per tahun (Rusdiyatmoko & Zubaidah 2005). Kegiatan pemanfaatan dan perlindungan hutan telah diatur pemerintah dalam berbagai peraturan perundang-undangan antara lain: UU No 32 tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No.41 tahun 1999 tentang Kehutanan dan PP No 4 tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan Lahan. Namun pada kenyataannya gangguan terhadap sumberdaya hutan dan lahan terus berlangsung. Salah satu bentuk gangguan serius yang terus terjadi adalah kejadian kebakaran. Kebakaran hutan telah melanda sebagian besar wilayah di Indonesia dengan jumlah kerugian yang sangat besar. Kebakaran terjadi disinyalir sebagai akibat adanya kegiatan pembukaan lahan, baik dalam skala kecil maupun dalam skala besar menggunakan api untuk kegiatan land clearing. Kebakaran hutan juga dipicu oleh adanya perladangan, konversi lahan untuk pertanian, perkebunan dan pembangunan hutan tanaman yang menggunakan api untuk penyiapan lahan hutan. Kebakaran hutan juga berkaitan erat dengan pertambahan jumlah penduduk dan kondisi musim kering yang berkepanjangan. Kebakaran hutan telah menjadi hal yang rutin terjadi di wilayah Sumatera dan Kalimantan terutama pada musim kering. Kebakaran besar yang terjadi pada saat fenomena El Nino-Southern Oscilation (ENSO) setiap 3-7 tahun, seperti yang terjadi pada tahun 1997, 2002, 2004, dan 2006 (Adiningsih et al dalam Suwarsono et al. 2009). Secara sosial kebakaran hutan berkaitan erat dengan sikap dan persepsi masyarakat, pengetahuan, kesadaran, dan tradisi masyarakat lokal dalam

20 2 pemanfaatan lahan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan (2006) menyatakan bahwa salah satu yang menjadi penyebab terjadinya kebakaran adalah penyiapan lahan pertanian atau bercocok tanam dengan cara membakar yang dilakukan oleh para petani atau peladang. Secara ekologis kebakaran hutan merupakan salah satu bentuk gangguan yang berdampak negatif menimbulkan kerugian pada sektor ekonomi, sektor perhubungan khususnya transportasi darat, laut dan udara, sektor kesehatan masyarakat, dan gangguan terhadap aktivitas ekonomi (Dlamini 2009). Kebakaran hutan dari aspek ekologis menyebabkan menurunnya keanekaragaman hayati, perubahan iklim mikro, dan pencemaran lingkungan. Untuk mendukung upaya pengendalian kebakaran hutan yang terjadi secara berulang perlu upaya pemanfaatan teknologi penginderaan jauh yang mampu memberikan informasi yang cepat, tepat dan akurat serta dapat melingkup areal yang luas. Upaya deteksi adanya kebakaran hutan merupakan upaya yang dilakukan untuk mendapatkan informasi dengan menggunakan penerapan teknologi sederhana hingga yang lebih canggih. Hotspot sudah digunakan meluas baik di Indonesia maupun negara-negara lain, untuk memantau adanya kebakaran hutan dari satelit karena sensor pada hotspot dapat membedakan suhu permukaan di darat maupun di laut. Data hotspot tersedia dengan bebas, dapat diakses dengan mudah dari internet. Sumber-sumber data hotspot dapat diperoleh dari beberapa situs penyedia data hotspot seperti: Lembaga Penerbangan Antariksa Nasional (LAPAN), ASMC (Asean Specialised Meteorological Centre), JICA (Japan International Corporation Agency) dan FIRMS (Fire Information for Resource Management System). Data yang berasal dari masing-masing website dapat mempunyai perbedaan dalam hal: satelit yang digunakan, jenis sensor, jam pengambilan, threshold (ambang batas suhu), dan algoritma (rumus perhitungan hotspot). Saat ini berbagai macam satelit dimanfaatkan untuk memantau kebakaran hutan. Masing-masing satelit memiliki fungsi yang spesifik dalam mengolah informasi kebakaran hutan. Penelitian ini menitikberatkan pada pemanfaatan data penginderaan jauh yaitu data hotspot dari satelit National Oceanic and Atmospheric Administration/Advance Very High Resolution Radiometer

21 3 (NOAA/AVHRR) kemudian dilakukan groundcheck di lapangan untuk akurasi indikator kejadian kebakaran hutan. 1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan sebelumnya, maka usaha yang diperlukan dalam pencegahan kebakaran hutan adalah solusi pertama dalam pengurangan kerusakan dan kerugian yang disebabkan oleh kebakaran hutan. Salah satu usaha yang dilakukan untuk melakukan pengendalian kebakaran hutan adalah melalui sistem deteksi dini. Sistem deteksi dini yang dapat digunakan antara lain dengan memanfaatkan data hotspot, untuk mengetahui lokasi terjadinya kebakaran. Terjadinya kebakaran hutan tidak hanya disebabkan karena adanya kegiatan pembukaan lahan yang dilakukan oleh masyarakat di sekitar hutan untuk perluasan areal perladangan dengan cara membakar. Disisi lain juga dilatar belakangi oleh berbagai faktor lainnya seperti peningkatan jumlah penduduk yang cukup tinggi, lapangan pekerjaan yang terbatas, tingkat pendidikan yang rendah, pendapatan yang rendah. Pemahaman mengenai perilaku kebakaran sangat diperlukan dalam rangka menyusun rencana dan usaha pengendalian kebakaran hutan. Perilaku kebakaran hutan dan lahan adalah hasil dari interaksi faktor lingkungan. Tiga unsur kebakaran yang menyusun segitiga api yaitu bahan bakar, oksigen atau udara dan sumber panas merupakan unsur yang saling terkait satu sama lain. Pelemahan dari salah satu unsur tersebut merupakan salah satu upaya mengurangi peluang terjadinya penyalaan api. Upaya pengendalian kebakaran hutan telah banyak dilakukan oleh beberapa pihak terkait, diantaranya melalui penerapan peraturan dan perundangundangan maupun pemanfaatan berbagai bentuk teknologi yaitu pemanfaatan satelit. Satelit tersebut digunakan untuk memantau lokasi terjadinya kebakaran di permukaan bumi. Data kebakaran yang sering digunakan adalah data hotspot. Permasalahn yang timbul dalam mengakses informasi dari satelit NOAA yaitu pendeteksian api resolusi satelit masih rendah (1,1 km x 1,1 km), sehingga sangat dimungkinkan keterangan lokasi akan mengalami penyimpangan sehingga

22 4 kurang akurat dalam identifikasi kebakaran hutan (Thoha 2008). Berdasarkan pemaparan diatas, maka sangat diperlukan upaya-upaya dini untuk pengendalian kebakaran hutan untuk menghindari dampak negatif yang dihasilkan, misalnya dalam bidang sosial, ekonomi, dan ekologi. Upaya pengendalian kebakaran hutan dalam menanggulangi kebakaran hutan antara lain dengan memanfaatkan data hotspot sebagai upaya informasi dini. Tidak bisa dipungkiri bahwa teknologi penginderaan jauh telah memberikan sumbangan informasi yang sangat berharga bagi kepentingan pengendalian kebakaran, khususnya informasi dini kejadian kebakaran hutan. Disamping itu, pada pelaksanaan di lapangan, keakuratan proses deteksi akan menentukan alokasi dana, kelancaran pada proses pemadaman dan kebutuhan investigasi dalam kasus pelanggaran hukum lingkungan. Informasi hotspot yang akurat diperlukan sebagai dasar dalam pengambil keputusan di lapangan, khususnya pada saat musim kemarau dimana penyebaran api semakin cepat. Pada saat ini, data yang direkam oleh AVHRR pada satelit NOAA memberikan cara untuk mendapatkan informasi kebakaran atas alasan dasar-dasar praktis, politis, ekonomis dan alamiah. Berdasarkan hal tersebut, secara rinci penelitian ini mencoba untuk menjawab permasalahan antara lain: - Apakah data hotspot dan citra landsat dapat digunakan sebagai indikator adanya kebakaran hutan - Apakah kondisi sosial masyarakat di sekitar hutan menjadi penyebab terjadinya kebakaran hutan. 1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Menghitung akurasi citra hotspot untuk identifikasi kebakaran hutan 2. Mengidentifikasi jumlah titik hotspot pada setiap kelas tutupan lahan 3. Mengidentifikasi latar belakang penyebab kebakaran hutan

23 5 1.4 Kerangka Pemikiran Kondisi hutan di Indonesia sangat rentan terhadap kebakaran, terutama disebabkan oleh berbagai aktivitas di dalam dan sekitar hutan tersebut. Sehingga diperlukan adanya usaha-usaha pra-pemadaman dalam mengatasi kebakaran hutan yang terkait langsung dengan organisasi guna menangani kondisi darurat tersebut. Walaupun telah dilakukan, namun pelaksanaannya di lapangan belum efektif dan efisien dalam mengurangi kejadian kebakaran hutan. Pembukaan lahan yang dilakukan dengan cara membakar dan tidak terkendali, dapat menurunkan kualitas kawasan hutan secara permanen. Pembukaan lahan dengan cara membakar menjadi kebiasaan masyarakat setempat, karena menjadi alternatif lain yang lebih murah dibandingkan jika menggunakan alat-alat mekanis. Deteksi kebakaran hutan yang diindikasikan dengan data hotspot dari satelit NOAA AVHRR memiliki bias yang sangat besar sehingga perlu dilakukan verifikasi lapangan untuk mendapatkan perkiraan lokasi kebakaran hutan yang lebih akurat. Pemantauan kebakaran hutan merupakan bagian yang penting dalam hal manajemen hutan dan memegang peranan terutama dalam peringatan bahaya degradasi hutan. Jika sistem deteksi dini dapat dijalankan secara efektif dan benar maka dapat membantu dalam upaya pencegahan kebakaran hutan. Keberhasilan pencegahan kebakaran hutan dapat dinilai dari penurunan kejadian kebakaran, dan adanya pengurangan dari dampak akibat kebakaran. Data dan informasi tentang penyebab kebakaran sangat berguna dalam usaha pencegahan kebakaran hutan salah satunya adalah lokasi rawan kejadian kebakaran. Sistem pemantauan dilakukan dengan berbagai metode yaitu pengukuran lapangan dan dengan memanfaatkan data citra (Rusdiyatmoko & Zubaidah 2005). Hasil pemantauan kebakaran hutan dapat dijadikan acuan perumusan kebijakan bagi pemerintah setempat dalam mengantisipasi meluasnya kebakaran yang terjadi. Dari Gambar 1 dapat dijelaskan bahwa kejadian kebakaran hutan dipengaruhi oleh faktor alam dan faktor manusia. Namun beberapa hasil penelitian menyatakan bahwa hampir 99% bahwa kebakaran disebabkan oleh

24 6 faktor manusia. Pembukaan lahan baru untuk perkebunan sawit dan kondisi lahan yang sebagian besar adalah semak belukar diduga berpengaruh terhadap kejadian kebakaran hutan. Identifikasi dan analisis dilakukan terhadap faktor-faktor penyebab tersebut, sehingga dapat ditemukan faktor-faktor mana yang paling berpengaruh terhadap kejadian kebakaran hutan. Keberhasilan pencegahan kebakaran hutan dapat dinilai dari penurunan kejadian kebakaran, dan pengurangan dampak akibat kebakaran. 1.5 Manfaat Penelitian Manfaat yang diperoleh dari akurasi kejadian kebakaran dan penemuan latar belakang penyebab terjadinya kebakaran hutan di wilayah Kabupaten Tebo Provinsi Jambi antara lain : - Sebagai masukan dalam upaya mendeteksi secara dini kebakaran dan penyusunan sistem pengendalian kebakaran di Kabupaten Tebo Provinsi Jambi - Menambah informasi sebagai bahan pertimbangan dalam menetapkan kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan hutan di Kabupaten tebo Provinsi Jambi

25 7 Faktor alam Faktor manusia Kebakaran hutan Risiko kebakaran meminimalkan Kerugian ekonomi, kerusakan ekologis dan lingkungan Tindakan pencegahan perlu Latar belakang paling berpengaruh Deteksi dini Akurasi Gambar 1 Bagan alir kerangka pemikiran

26 8 2.1 Pengertian Kebakaran Hutan BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sebagian besar orang menyatakan bahwa kebakaran hutan yang terjadi pada sekarang ini adalah kebakaran kawasan hutan yang terjadi di hutan (baik itu berupa hutan sekunder maupun hutan primer). Namun, hal yang sesungguhnya adalah pembakaran yang sengaja dilakukan baik oleh para peladang (berpindah) atau oleh pelaku bisnis kehutanan atau perkebunan. Pembakaran merupakan suatu kegiatan yang dilakukan sesuai dengan keinginan si pembakar, sehingga api diharapkan tidak menjalar bebas layaknya seperti kebakaran hutan. Namun, sayangnya luasan areal yang dibakar dengan sengaja terlalu luas dan terkadang tidak disertai dengan adanya teknik-teknik atau metoda pencegahan. Sehingga api tersebut tidak terkontrol dan meledak sehingga terjadilah kebakaran hutan yang sesungguhnya arah penjalarannya tidak dapat lagi dikontrol oleh pembakar. Menurut Sahardjo (2003) kebakaran hutan merupakan pembakaran yang penjalarannya bebas serta mengkonsumsi bahan bakar alam dari hutan seperti serasah, rumput, ranting/cabang pohon mati, snags/pohon mati yang tetap berdiri, logs, tunggak pohon, gulma, semak belukar, dedaunan dan pohon-pohon. Menurut Syaufina (2008) kebakaran hutan merupakan suatu kejadian dimana api melahap bahan bakar yang bervegetasi, yang terjadi di dalam kawasan hutan yang kemudian menjalar bebas dan tidak terkendali, sedangkan kebakaran lahan terjadi di kawasan non hutan. Kebakaran yang sering terjadi di Indonesia membakar areal hutan dan areal non hutan dalam waktu yang bersamaan, akibat adanya penjalaran api yang berasal dari kawasan hutan menuju kawasan non hutan ataupun sebaliknya. Sehingga hasilnya istilah kebakaran hutan melekat untuk kejadian kebakaran hutan di Indonesia. Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.12/Menhut-II/2009 kebakaran hutan merupakan suatu keadaan dimana hutan dilanda api sehingga mengakibatkan kerusakan hutan dan hasil hutan yang menimbulkan kerugian ekonomis atau nilai lingkungan. Penyebab utama kebakaran hutan yang

27 9 disebutkan adalah konversi ke penggunaan lahan lain (terutama pertanian), hama dan penyakit, over eksploitasi hasil hutan (kayu industri, kayu bakar), praktek pemanenan yang buruk, penggembalaan berlebih, polusi udara dan badai (FAO 2001). Kebakaran merupakan hal yang sering terjadi di Pulau Kalimantan dan Sumatra, membakar areal dengan luas terbesar pada tahun 1986, 1991, 1994 dan Kondisi tersebut diperparah oleh fenomena El Nino tahun 1997/1998, kebakaran tak terkendali telah menghancurkan areal sangat luas dari hutan hujan dan semak belukar di Indonesia. Reaksi kimia proses pembakaran dalam kebakaran hutan dapat diterangkan sebagai berikut : Proses fotosintesis : CO 2 + H 2 O + Energi Sinar Matahari --- C 6 H 12 O 6 + O 2 Proses Pembakaran dalam kebakaran hutan: C 6 H 12 O 6 + 6O 2 + Energi dari Api --- 6CO 2 + 6H 2 O + Energi Panas 2.2 Tipe Kebakaran Hutan Salah satu hal yang paling penting dalam kegiatan pemadaman kebakaran hutan adalah dengan mengenal tipe kebakaran hutan yang terjadi, karena tanpa mengetahui secara pasti teknik dan metoda, pemadaman yang akan diterapkan tidak akan berjalan sempurna. Kegiatan pemadaman pada kebakaran gambut tidak sama dengan pemadaman pada kebakaran hutan tajuk. Karena hal tersebut berdampak pada tingkat kerugian yang akan diderita terhadap pemadaman itu sendiri. Dengan diketahuinya tipe kebakaran hutan yang terjadi, sehingga lebih banyak areal yang dapat diselamatkan. Menurut Syaufina (2008) tipe kebakaran hutan dikelompokkan ke dalam tiga tipe, yaitu : 1. Kebakaran bawah tanah (ground fire) Kebakaran yang terjadi pada bawah permukaan cenderung mengkonsumsi bahan-bahan organik yang ada di bawah permukaan tanah (serasah). Bahan organik tersebut berupa bahan yang terdekomposisi. Kebakaran biasanya terjadi bersama-sama dengan kebakaran serasah. Api pada kebakaran bawah permukaan tidak menyala dan terkadang tidak berasap sehingga sulit untuk ditemui. Api

28 10 tersebut menjalar ke segala arah karena tidak terpengaruh oleh angin sehingga kebakaran ini dapat membentuk lingkaran. Dilihat dari dampaknya api ini paling merusak lingkungan. Kebakaran hutan yang terjadi di Kalimantan pada tahun 1982/1983 dan tahun 1997/1998 merupakan kebakaran hutan yang didominasi oleh kebakaran gambut (bawah). Tipe kebakaran ini didominasi oleh proses smoldering dan biasanya bertahan dalam jangka waktu yang lama dengan kecepatan penjalaran 1,5 g/m 2 /jam atau 0,025 cm/jam. 2. Kebakaran permukaan (surface fire) Api tersebut membakar serasah, tanaman bawah, semak-semak dan anakan. Tipe kebakaran di hutan dimulai dengan kebakaran permukaan, karena jumlah bahan bakar pada permukaan tanah hutan berlimpah dan didukung oleh jumlah oksigen yang lumayan besar dan juga dipengaruhi oleh angin, maka kebakaran ini menyala dan menjalar dengan cepat tetapi relatif dapat dipadamkan. Dalam penjalarannya, api dipengaruhi oleh angin permukaan sehingga dapat membakar tumbuhan yang lebih tinggi hingga tingkat pohon (crowning out). Tipe ini merupakan tipe kebakaran yang paling umum terjadi di hampir semua tegakan hutan. 3. Kebakaran Tajuk (Crown Fire) Kebakaran tajuk merupakan kebakaran yang terjadi pada tajuk pohon atau semak yang dipengaruhi oleh kebakaran permukaan yang menjalar ke tajuk pohon, tetapi juga terjadi kebakaran tajuk dahulu kemudian disusul dengan kebakaran permukaan karena api dari tajuk jatuh ke permukaan tanah. Api pada tipe ini bergerak dari tajuk pohon atau semak yang lain, paling sedikit daun-daun dari pohon atau semak habis terbakar. Kebakaran tipe ini dapat menghasilkan api loncat (spot fire), yaitu ranting atau bagian pohon yang terbakar terbawa angin dan menimbulkan kebakaran baru di tempat lain. Sumantri (2003) mengemukakan kebakaran dipengaruhi oleh 3 faktor utama, semuanya akan membantu dalam menentukan pola kebakaran. Jika kebakaran terjadi pada daerah yang relatif datar, bahan bakar relatif rapat, dan relatif tidak ada angin, maka bentuk kebakaran akan menjadi bulat, keluar dari

29 11 titik awal api. Bentuk dan pola kebakaran akan berubah jika dipengaruhi oleh faktor berikut: 1) Angin (pengaruh dominan pada kebakaran). Api akan membakar bahan bakar searah dengan arah angin. 2) Kemiringan lereng. Jika terdapat lereng maka api cenderung bergerak ke arah bukit (hanya arah angin dan bahan bakar akan merubah arah) 3) Bahan bakar (kurang efektif dijadikan patokan). Jika kebakaran bergerak melalui berbagai tipe bahan bakar, pola kebakaran akan berubah-ubah. Tipe dan susunan bahan bakar atau sedikitnya bahan bakar mungkin mengindikasikan arah dari penyebaran api. 2.3 Faktor Penyebab Kebakaran Hutan di Indonesia Faktor Alam Menurut Syaufina (2008) kebakaran hutan dan lahan yang dapat terjadi secara alami antara lain disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya petir, letusan gunung berapi, atau batu bara yang terbakar. Hal tersebut didukung oleh kondisi iklim dan jenis bahan bakar hutan yang memungkinkan untuk terbakar misalnya kelembaban yang rendah. Indonesia merupakan negara tropis yang jarang mengalami kejadian kebakaran yang disebabkan oleh faktor alam. Petir yang terjadi di Indonesia hampir tidak mungkin menyebabkan terjadinya kebakaran karena selalu bersamaan dengan terjadinya hujan. Akibatnya hasil dari percikan api dari petir tersebut mengenai bahan bakar, sehingga tidak dapat berkembang dan menjalar kebagian yang lebih luas. Batu bara yang terbakar dan tetap membara juga dapat menjadi pemicu terjadinya kebakaran. Biasanya batu bara tersebut terdeposisi di bawah permukaan tanah. Pada saat kondisi cuaca kering, akan menyebabkan terjadinya penyalaan dan dapat membakar bahan bakar yang berada di atasnya. Menurut Sahardjo (2003) belakangan ini yang semakin populer dijadikan kambing hitam sumber api adalah disebabkan oleh gesekan kayu atau ranting pada waktu terjadi tiupan angin. Namun dari hasil pengamatan di laboratorium menunjukkan bahwa hal tersebut mustahil terjadi, bahkan sulit dipercaya.

30 12 Bahan bakar hutan (Forest fuel) didefinisikan oleh FAO/IUFRO sebagai segala sesuatu bahan atau campuran yang dapat dibakar dan bahan yang dapat menyala (Chandler et al. 1983). Bahan bakar bersama cuaca dan topografi merupakan tiga faktor yang umum dalam mempengaruhi perilaku kebakaran liar. Dari ketiga faktor tersebut bentuk topografi dan kondisi cuaca adalah faktor yang sedikit sekali dapat dipengaruhi oleh manusia. Bahan bakar yang berupa biomass hidup atau mati per unit luas merupakan besarnya jumlah energi tersimpan yang menentukan karakteristik kebakaran potensial di lapangan (Whelan 1995). Susunan bahan bakar merupakan faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya kebakaran hutan. Iklim pada masing-masing wilayah geografi menentukan tipe bahan bakar dan panjangnya musim kebakaran atau waktu dalam setahun dimana sering terjadi kebakaran. Pola lamanya dan intensitas dari musim kebakaran dari suatu daerah tertentu merupakan fungsi utama dari iklim tetapi sangat dipengaruhi oleh sifat bahan bakar hutan. Pola cuaca kebakaran hutan yang bersifat tahunan, berulang maupun musiman mencerminkan bahan bakar cuaca, musim kebakaran yang parah juga dihubungkan dengan musim kering yang berskala dalam cenderung untuk terjadi dalam suatu siklus (Brown & Davis 1973). Menurut Fuller (1991) cuaca mempengaruhi bagaimana, dimana dan kapan kebakaran hutan dapat terjadi, pengendali kebakaran menyebutnya sebagai cuaca kebakaran (fire weather) yaitu sifat-sifat cuaca yang mempengaruhi terjadinya kebakaran. Seperti cuaca panas yang kering disertai dengan angin ribut, badai dan petir yang akan menyebabkan kebakaran. Perbedaan pemanasan matahari pada permukaan bumi berperan dalam variasi iklim yang memberikan kontribusi pada bahaya kebakaran. Penyinaran matahari selain memanaskan permukaan bumi juga memanaskan lapisan udara dibawahnya. Pemanasan udara menimbulkan perbedaan tekanan udara yang menyebabkan terbentuknya pola pergerakan angin sehingga angin akan bergerak dari tekanan tinggi ke tekanan rendah Faktor Manusia Lebih dari 99% penyebab kebakaran hutan dan lahan gambut adalah akibat ulah manusia, baik yang disengaja maupun tidak disengaja melakukan

31 13 pembakaran ataupun akibat kelalaian dalam menggunakan api. Hal ini didukung oleh kondisi-kondisi tertentu yang membuat rawan terjadinya kebakaran seperti gejala El-Nino, kondisi fisik hutan yang terdegradasi dan rendahnya kondisi sosial ekonomi (Tacooni 2003). Faktor sosial ekonomi dari aktivitas masyarakat di sekitar hutan berpengaruh terhadap kebakaran hutan dengan korelasi positif adalah pengeluaran rumah tangga dan kegiatan masyarakat didalam kawasan hutan. Makin tinggi jumlah pengeluaran rumah tangga akibat tidak diimbangi dengan jumlah pendapatan (defisit) ternyata peluang kebakaran hutan akan meningkat (Soewarso 2003). Keterkaitan masyarakat dengan hutan telah berlangsung cukup lama, hal ini disebabkan bahwa hutan memberikan manfaat bagi kehidupan masyarakat. Adanya hutan memberikan kesempatan pada masyarakat untuk bekerja terutama dalam hal: pembukaan lahan, penebangan kayu, pembersihan lahan sehingga upah yang mereka terima tergolong lumayan. Karena tingkat kemampuan sumberdaya hutan untuk berganti sangatlah terbatas, maka didalam pemanfaatannya juga memperhatikan batas-batas tersebut. Dengan meningkatnya jumlah penduduk, kurangnya lapangan pekerjaan dan banyaknya perusahaan maka eksploitasi sumberdaya hutan juga akan semakin besar. Bagi masyarakat yang tinggal disekitar hutan memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap hutan, kebiasaan yang dilakukan atau budaya hutan yang tumbuh dan berkembang seiring dengan tumbuhnya sistem sosial masyarakat, akan mengalami pergeseran dengan hilangnya sejumlah hasil hutan. Pembukaan hutan oleh pemegang HPH dan perusahaan perkebunan untuk pengembangan tanaman industri dan perkebunan umumnya mencakup areal yang cukup luas. Metoda pembukaan lahan dengan cara tebang habis dan pembakaran merupakan alternatif pembukaan lahan yang paling murah, mudah dan cepat. Namun metoda ini sering berakibat kebakaran tidak hanya terbatas pada areal yang disiapkan untuk pengembangan tanaman industri atau perkebunan, tetapi meluas ke hutan lindung, hutan produksi dan lahan lainnya. Penyebab struktural, umumnya berawal dari suatu konflik antara para pemilik modal industri perkayuan maupun pertambangan, dengan penduduk asli yang merasa kepemilikan tradisional (adat) mereka atas lahan, hutan dan tanah

32 14 dikuasai oleh para investor yang diberi pengesahan melalui hukum positif negara. Akibatnya kekesalan masyarakat dilampiaskan dengan melakukan pembakaran demi mempertahankan lahan yang telah mereka miliki secara turun temurun. Disini kemiskinan dan ketidakadilan menjadi pemicu kebakaran hutan dan masyarakat tidak akan mau berpartisipasi untuk memadamkannya. PFFSEA (2003) menyatakan bahwa ada berbagai aktivitas masyarakat tradisional yang menggunakan metode pembakaran dalam proses penyiapan lahannya. Seperti sistem budidaya pada sonor (padi ditanam pada lahan-lahan gambut yang kemudian sengaja dibakar pada musim kemarau). Demikian juga pembukaan lahan oleh petani hutan bertujuan untuk membuka ladang baru atau memperluas lahan dilakukan dengan sistem tebas, tebang dan membakar. Menurut Sahardjo (2003) sumber api disebabkan oleh adanya konflik sosial dan operasi pembalakan diantaranya adalah: Status kepemilikan lahan garapan Pekerja lapangan yang tidak dibayar penuh upahnya Kontraktor pelaksana memperdayai pekerja Manipulasi oleh pihak pelaksana pembangunan hutan Hubungan yang tidak harmonis antara penduduk dengan pihak perusahaan Pembukaan lahan dengan menggunakan api yang tidak terkontrol Api unggun Pembakaran sisa-sisa pohon, cabang/ranting, daun Iseng (motif tidak jelas) Puntung rokok sering dinyatakan sebagai penyebab kebakaran hutan sekaligus dijadikan sebagai alasan utama dan paling mudah dalam laporan kejadian kebakaran. Syaufina (2008) menyatakan bahwa kegiatan-kegiatan yang diidentifikasi sebagai penyebab terjadinya kebakaran hutan yaitu: - Pembakaran untuk pembukaan kebun - Loncatan api dari kebun/hutan - Orang memancing ikan atau pencari kodok - Sabotase - Membakar hutan karena ada kasus/dendam dengan perusahaan

33 15 - Membakar hutan karena jalan menuju ladang/kebun mereka rusak - Ketidaksengajaan pekerja HTI Menurut Syaufina (2008) pembakaran dengan menggunakan puntung rokok sebagai sumber panas ternyata tidak mengakibatkan gambut terbakar, bahkan pada serasah atau alang-alang yang terdapat di atasnya. Hal tersebut terjadi disebabkan panas puntung rokok tidak cukup mengakibatkan terjadinya kebakaran. 2.4 Pengendalian Kebakaran Hutan Pengendalian kebakaran hutan merupakan aktivitas yang dilakukan dalam rangka melindungi hutan dari kebakaran liar dan penggunaan api untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam pengelolaan hutan. Menurut Husaeni (2003) komponen kegiatan pengendalian hutan diantaranya adalah : a. Mencegah terjadinya kebakaran hutan b. Memadamkan kebakaran hutan dengan sesegera mungkin c. Penggunaan api dilakukan hanya untuk tujuan tertentu Agar pengendalian kebakaran hutan dapat berhasil dengan baik, maka sebelum pelaksanaannya perlu disusun suatu rencana pengendalian yang menyeluruh. Rencana tersebut merupakan dasar dalam pelaksanaan pencegahan, pemadaman dan penggunaan api di dalam hutan dan daerah disekitarnya. Adanya rencana kegiatan pengendalian kebakaran hutan merupakan suatu hal yang tidak dapat dipisahkan dari rencana pengelolaan atau managemen hutan. Deteksi kebakaran dengan menggunakan titik hotspot merupakan salah satu upaya dalam pengendalian kebakaran hutan. Deteksi kebakaran merupakan suatu kegiatan yang dilakukan untuk mengetahui adanya kebakaran dan lokasinya. Deteksi api ini merupakan salah satu bagian dari tahapan kegiatan prapemadaman kebakaran. Selain itu tahapan pra-pemadaman terdiri dari (Husaeni 2003): pembentukan organisasi, pelatihan petugas, pengadaan dan pemeliharaan peralatan, deteksi api, kerjasama dengan pihak lain, penyiapan logistik, penyiapan lapangan, penilaian bahaya kebakaran dan penyiapan komuniaksi.

34 16 Deteksi kebakaran merupakan tahapan yang penting dalam pemadaman kebakaran. Tanpa mengetahui lokasinya, kebakaran tersebut tidak bisa dipadamkan. Kemampuan organisasi untuk dapat menentukan lokasi kebakaran dengan segera dan cepat, merupakan dasar dari pemadaman yang efektif. 2.5 Kejadian Kebakaran Hutan Hotspot Untuk mendeteksi adanya suatu kejadian kebakaran hutan dapat menggunakan teknik penginderaan jauh. Satelit National Oceanic and Atmospheric Administration/Advance Very High Resolution Radiometer (NOAA AVHRR) merupakan satelit yang paling sering digunakan untuk mendeteksi kebakaran hutan. Pada satelit ini dilengkapi dengn sensor Advance Very High Resolution (AVHRR) yang melakukan perekaman setiap hari pada resolusi sedang berkisar 1 km. Hotspot merupakan titik-titik panas di permukaan bumi dimana titik tersebut merupakan indikasi adanya kebakaran hutan (Ratnasari 2000 dalam Thoha 2008). Di Indonesia terdapat tiga sumber penyedia hotspot diantara JICA (Japan International Coorperation Agency), LAPAN (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional), dan ASMC (ASEAN Specialized Meteorology Center). Perbedaan antara ketiga sumber tersebut terletak pada ambang batas (threshold) suhu terendah sehingga hasil perekaman dapat dinyatakan sebagai suatu hotspot. LAPAN menggunakan threshold sebesar K, JICA menurut FFMP tahun 2004 threshold yang digunakan K pada siang hari dan K pada malam hari yang lebih rendah dibandingkan ASMC yang menggunakan threshold sebesar K pada siang hari dan K pada malam hari Karakteristik Data Hotspot Kebakaran hutan dapat dipantau dengan menggunakan data AVHRR- NOAA (Advanced Very High Resolution Radiometer-National Oceanic and Atmospheric Administration) yaitu melalui pengamatan hotspot. Kebakaran hutan dapat dipantau melalui pengamatan hotspot yang merupakan titik panas permukaan bumi, dimana titik-titik tersebut merupakan indikasi adanya kebakaran

35 17 hutan (Thoha 2008). Suatu hotspot dikatakan sebagai kejadian kebakaran di permukaan bumi apabila terdeteksi pada koordinat yang sama selama 3 hari atau lebih secara berturut-turut (Lapan 2004 dalam Hadi 2006). Data Hotspot dari suatu citra dijadikan sebagai indikasi kebakaran hutan baik sebagai indikasi kebakaran tajuk, kebakaran permukaan maupun kebakaran bawah. Dalam penentuan luas kebakaran hutan band yang digunakan adalah band 3 dan band 4 atau band visible dan band inframerah. Menurut data LAPAN (2005) pada band 3 panjang gelombang yang digunakan adalah 3,55 3,93 mm, hal ini disebabkan karena pada band 3 wujud gelombang visible sangat sensitif terhadap emisi panas sedangkan untuk band 4 panjang gelombang yang digunakan adalah 10,3 11,3 mm. Hotspot mengindikasikan lokasi kebakaran hutan yang kemudian dapat dideteksi kedalam komputer atau peta yang akan dicetak yang setelah dicocokan dengan koordinatnya. Untuk menggambarkan titik kebakaran hutan disebut dengan firespot. Dalam memprediksi jumlah hotspot merupakan hal yang tidak mudah hal ini disebabkan karena kebakaran merupakan masalah yang sangat kompleks yang melibatkan faktor-faktor alam seperti cuaca atau iklim dan bahan bakar yang mempengaruhi sedangkan faktor manusia disebakan oleh kegiatan pemanfaatan lahan, ekonomi dan budaya bahkan kelembagaan. Data hotspot sering digunakan untuk pendeteksian kebakaran dikarenakan sensornya dapat membedakan suhu permukaan di darat maupun di laut, pengambilan data pada satelit tersebut 2 kali sehari yaitu pada waktu siang dan malam. Maka, dengan demikian data hotspot dapat digunakan untuk pendeteksian kebakaran hutan di wilayah kebakaran hutan. Data hotspot dideteksi dengan menggunakan satelit NOAA kemudian disampaikan menuju antena penerima dan menghasilkan interpretasi citra yang dapat berupa produksi peta, kemudian dilakukan akurasi data dengan melakukan pengecekan di lapangan (Gambar 2). Manfaat lain jika menggunakan data hotspot adalah selain harganya relatif murah penggunaan satelit nya pun tidak dikenai biaya apapun, namun untuk mendapatkan citra atau foto dari satelit tersebut membutuhkan hardware dan software yang dapat dikatakan mahal. Contohnya adalah satelit NOAA merupakan satelit yang menghasilkan data hotspot dapat dengan mudah diakses,

36 18 murah dan cepat dengan menggunakan internet pada berbagai informasi sebagai penyedia data hotspot Akurasi Data Hotspot Permasalahan yang ditemukan dalam pemanfaatan data hotspot diantaranya yang pertama yaitu karakteristik data. Menurut FFPMP (2004) sensor pada satelit NOAA AVHRR tidak dapat menembus awan, asap atau aerosol. Kelemahan tersebut akan merugikan jika kebakaran besar sehingga pada wilayah tersebut tertutup asap. Selain itu, khusus untuk citra NOAA resolusi yang dihasilkan masih rendah sehingga kesalahan perkiraan terhadap titik kebakaran masih cukup sering terjadi misalnya cerobong api dari suatu tambang minyak atau gas, areal tanah kosong yang relative lebih panas seringkali terdeteksi sebagai suatu hotspot. Kedua yaitu adanya perbedaan hasil data hotspot yang diakibatkan oleh belum adanya standar internasional khususnya dalam sistem pendeteksian hotspot. Ketiga yaitu sistem distribusi data yaitu kecepatan dalam pengiriman data hasil olahan sangat penting khususnya bila saat terjadinya kebakaran. Semakin cepat suatu informasi diterima maka semakin memudahkan stakeholder dalam melakukan tindakan. Keberlanjutan ketersediaan data harus ditingkatkan terutama bagi instansi pemerintah seperti Lembaga Penerbangan Antariksa Nasional (LAPAN), Badan Penerapan Pengkajian Teknologi (BPPT), Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), dan Departemen Kehutanan yang memiliki kapasitas dan kemampuan di dalam teknologi penginderaan jauh ataupun data iklim.

37 19 Gambar 2 Arus sistem informasi data hotspot (sumber : Dinas Kehutanan Provinsi Jambi (2011)) Selain itu ada juga yang dinamakan dengan false hotspot atau hotspot palsu yang terjadi akibat adanya pengaruh gelombang radio dan efek yang dinamakan dengan sun glint. Gelombang radio dapat menganggu penerimaan hotspot dan dapat muncul sebagai hotspot. Sun glint terjadi ketika satelit tersebut tegak lurus dengan sebuah permukaan yang sangat luas dan dapat memantulkan cahaya matahari misalnya pada perairan (danau, sungai), awan, gurun dan atap logam. Hampir pada setiap hotspot palsu dapat dikoreksi pada saat pemrosesan hotspot sehingga data yang diterima oleh pengguna (user) relatif bebas hotspot palsu. Namun cek lapang tetap diperlukan untuk memastikan kebenaran data hotspot Deteksi Hotspot Setiap kebakaran hutan yang terjadi tidak dapat dideteksi sebagai hotspot. Beberapa faktor yang mempengaruhi deteksi hotspot diantaranya adalah jenis kebakaran, adanya penghalang deteksi (tajuk pohon, asap, awan), waktu lintasan satelit, luas dan intensitas (besarnya) kebakaran. Ketika terjadi kebakaran hutan dibawah tajuk, dibawah permukaan (ground fire), asap tebal dan awan maka satelit tidak dapat mendeteksi karena terhalang. Selain itu, satelit melewati areal

38 20 pada waktu jam tertentu ketika terjadi kebakaran hutan sebelum dan setelah melewati satelit tersebut maka kebakaran hutan tidak akan terdeteksi oleh satelit. Kebakaran hutan yang dapat terdeteksi sebagai hotspot adalah kebakaran dengan luas dan intensitas tertentu. Meskipun yang terbakar hanya padang rumput, kebakaran tersebut dapat dideteksi sebagai hotspot. Sebaliknya cerobong api penambangan minyak dengan luasan yang tidak terlalu besar dapat terdeteksi sebagai hotspot karena suhunya sangat tinggi. Kebakaran hutan dapat dideteksi sebagai hotspot tergantung pada sudut scan satelit, bioma, posisi matahari, suhu permukaan bumi, tutupan awan, banyaknya asap dan arah angin. Maka ukuran kebakaran hutan yang dapat dideteksi sangat tergantung kepada variabel tersebut. Dalam kondisi pengamatan yang optimal (dekat nadir, asap sedikit atau tidak ada, permukaan bumi relatif homogen) kebakaran hutan dengan luas 100 m 2 dapat dideteksi. Namun dalam kondisi bebas awan, asap atau polusi (sangat jarang terjadi) kebakaran seluas 50 m 2 dapat dideteksi. Jaya (2003) menerangkan bahwa metode deteksi hotspot terbagi kedalam 3 metode yaitu : 1) Perolah Data dan Pra-Pemrosesan Proses penangkapan dan pemrosesan dari data NOAA-AVHRR dilakukan dengan menggunakan sistem penerimaan dan pengolahan data satelit yang dibuat oleh BURL (Bradford University Research Limited). Sistem tersebut terdiri dari perangkat keras dan perangkat lunak. Tahap pertama yang dilakukan adalah dengan membuat perencanaan perolehan data yaitu dengan memilih daerah mana yang akan diambil datanya, dan menentukan luas cakupan liputannya. Selanjutnya ketika pada saat perekaman datang, dilakukan proses capturing, setelah data diterima proses dilakukan dengan kalibrasi, navigasi dan overlay citra tersebut untuk memberi referensi geografis. Citra satelit digital dapat dianalogikan dengan matriks nilai-nilai kecerahan. Untuk data NOAA-AVHRR nilai-nilai kecerahan tersebut dikonversi menjadi 3 cara yaitu nilai radiasi (saluran 1,2,3,4,5) nilai albedo (saluran 1 dan 2) serta nilai suhu kecerahan (saluran 3,4 dan 5). Data tersebut kemudian mengalami proses ekstraksi informasi untuk mendapatkan koordinat hotspot.

39 21 2) Metode Sederhana Deteksi hotspot dengan metode ini, dilakukan dengan menggunakan batas nilai ambang suhu kecerahan tertentu, pada matriks citra tersebut. Dalam bentuk Logika Boolean dinyatakan dengan: If nilai citra > α Then nilai citra = hotspot Else nilai citra = bukan hotspot Dimana : nilai citra = suhu kecerahan saluran yang digunakan α = nilai ambang (310 0 K, K, K) Nilai ambang bukanlah suatu nilai yang baku, tetapi dapat diubah-ubah sesuai dengan kondisi iklim atau daerah yang dideteksi. Misalnya FFPMP-JICA menggunakan suhu K untuk nilai ambang, sedangkan untuk FFPCP-EU di Palembang menggunakan nilai K sebagai ambang batas nilai hotspot. Kelebihan dari cara ini adalah sederhana dalam cara perhitungannya, sehingga waktu pemrosesan lebih singkat. Kelemahannya tidak bisa mengeliminasi efek kilau surya. Jika teknik ambang di terapkan, maka nilai pantulan air yang tinggi masuk sebagai nilai pancaran, dalam kategori hotspot, sehingga terjadilah kesalahan deteksi titik hotspot di laut atau danau. 3) Metode Algoritma Kontekstual Metode ini dikembangkan untuk mengatasi kelemahan pada metode sederhana. Langkah pertama yang dilakukan, citra NOAA-AVHRR dipilah menjadi dua obyek yaitu air dan daratan, dengan penggunaan NDVI, kemudian yang diproses adalah bagian daratan saja. Dari obyek daratan kemudian dipilih obyek awan. Obyek daratan yang telah dipilah dari obyek awan, kemudian dideteksi obyek-obyek yang dianggap merupakan tanah kering panas. Hasil dari deteksi ini adalah hotspot yang telah tereliminasi dari obyek air, awan dan tanah kering panas. Walaupun telah dieliminasi, namun terkadang hotspot terdeteksi sebagai areal yang luas. Pada kenyataannya hal tersebut sulit sekali terjadi peristiwa kebakaran hutan dalam satu areal yang luas dan terbakar sekaligus, karena adanya kecendrungan dari kebakaran hutan adalah jika telah mencapai luasan yang cukup luas, maka bagian tengah hutan yang terbakar sudah padam.

40 22 Tujuan dari penerapan algoritme ini adalah untuk mendeteksi hotspot dalam luasan yang masuk akal, untuk dianggap sebagai kebakaran hutan Penerjemahan Hotspot dan Kejadian Kebakaran di Lapangan Setiap hotspot menunjukkan titik tengah dari piksel yang berukuran ±1 km 2 sehingga koordinat hotspot tidak selalu sama dengan koordinat kebakaran di lapangan. Sebuah hotspot tidak dapat diterjemahkan bahwa telah terjadi kebakaran seluas 1 km 2 di daerah tersebut, hotspot hanya berarti kebakaran tersebut terjadi di dalam lingkup piksel berukuran 1 km 2 tersebut. Ketika kita melakukan zoom (pembesaran) pada sebuah gambar maka kita akan melihat gambar menjadi pecah dan terdapat kotak-kotak. Kotak-kotak itulah yang dinamakan piksel. Secara sederhana piksel diartikan sebagai unit terkecil dari citra satelit/foto. Satu piksel pada citra satelit NOAA, TERRA dan AQUA setara dengan ± 1 km 2. Namun 1 piksel tidak selalu setara dengan 1 km 2, ketika berada di pinggir lintasan (scan track) maka nilai piksel dapat bernilai lebih dari 1 km 2. Ketika terjadi kebakaran hutan/lahan di dalam areal sebuah piksel dan terdeteksi sebagai hotspot maka koordinat kebakaran hutan/lahan tersebut akan ditampilkan di tengah piksel meskipun lokasi kebakaran berada di pinggir piksel. Sebagai konsekuensinya dalam tindaklanjut data hotspot kita harus menyusuri areal kurang lebih 1 km dari koordinat hotspot untuk dapat menemukan lokasi kebakaran hutan sebenarnya. Gambar 3 Piksel dari citra satelit dan hotspot yang terletak ditengah-tengah piksel

41 23 Satelit yang digunakan di dunia untuk memperoleh data hotspot pada saat ini adalah NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration), TERRA dan AQUA. Ketiga satelit tersebut dimiliki oleh Amerika Serikat. NOAA dikelola oleh United States Departemen of Commerce, sedangkan TERAA dan AQUA dikelola oleh NASA (National Aeronautics and Space Administration) Gambar 4 Ilustrasi antara deteksi hotspot dan kejadian kebakaran di lapangan Keterangan : Gambar 4A. Ketika terjadi sebuah kebakaran di pojok kiri bawah dalam lingkup salah satu piksel maka kebakaran tersebut ditampilkan sebagai suatu hotspot di tengah-tengah piksel tersebut. Gambar 4B. Ketika terjadi dua buah kebakaran didalam salah satu piksel maka kebakaran tersebut akan tetap ditampilkan sebagai salah satu hotspot yang berada di tengah-tengah piksel. Gambar 4C. Ketika terjadi 2 lokasi kebakaran, satu kebakaran terjadi didalam sebuah piksel dan kebakaran lainnya terjadi di tengah-tengah dari 4 buah piksel maka kebakaran tersebut dapat terdeteksi 4 buah hotspot. Sehingga disimpulkan bahwa jumlah hotspot tidak sama dengan jumlah titik api atau kejadian kebakaran 2.6 Tipe Sistem Informasi Kebakaran Beberapa sistem telah dikembangkan untuk memberikan sistem peringatan dini, dalam rangka pencegahan terhadap bahaya kebakaran diantaranya adalah:

42 24 a. Early Warning System Early warning system dikembangkan dengan menggunakan data cuaca harian sebagai dasar dalam menghitung indeks kekeringan. Indek kekeringan digunakan sebagai indikator dalam menghitung tingkat berkurangnya kelembaban lahan dan tanah. Indek kekeringan ini dapat dihitung dengan menggunakan rumus KBDI (Keech-Byram Drought Index). Variabel-variabel yang digunakan antara lain: a. Curah hujan tahunan rata-rata b. Suhu maksimum c. Curah hujan harian Di Indonesia khususnya Kalimantan Barat, KBDI digunakan oleh proyek IFFM-GTZ (Integrated Forest Fire Management). KBDI = (2000-KBDI*) x (0,9676xEXP(0,087xTmax+1,552)-8,229) x 0,001/ (1+10,88*EXP(-0,00175xAnn rain )) + 0,5 Dimana : KBDI = Keech-Byram Drought Index KBDI* = Keech-Byram Drought Index untuk hari sebelumnya Ann rain = Curah Hujan Tahunan (mm) Tmax = Suhu Maksimum ( 0 C) b. Fire Danger Rating System FDRS telah dibangun di Indonesia hasil kerjasama dari Canadian Forest Service-CFS dan BPPT, dengan adanya dukungan dari institusi pemerintahan yang terkait seperti Kementrian Kehutanan, Kementerian Lingkungan hidup, BMKG, LAPAN, dan beberapa perguruan tinggi seperti Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Riau (UNRI) dan Universitas Tanjungpura (UNTAN) yang telah menerima bantuan dari Canadian International development Agency (CIDA). Informasi tersebut dapat diakses di internet pada situs atau FDRS ini merupakan suatuu sistem yang digunakan untuk memonitor kebakaran hutan pada tingkat regional hingga pusat, khususnya dalam rangka upaya pencegahan dan pemadaman kebakaran. FDRS merupakan suatu early warning system yang terfokus pada adanya kemungkinan adanya titik apai atau tidak. Sistem ini dibuat atas dasar adanya indikator penyebab adanya titik api. Misalnya kelembaban bahan bakar dan

43 25 tingkat kekeringan dari bahan bakar. Sehingga hasilnya dapat menggunakan level bahaya api pada area tertentu. c. Sistem Monitoring Hotspot Metode yang digunakan untuk memonitor hotspot adalah satelit remote sensing. Data satelit dapat digunakan sebagai indikator adanya titik api, sehingga penting untuk dimelakukan analisis, pengawasan dan terkadang perlu melakukan groundcheck di lapangan untuk menentukan pencegahan dan pemadaman, khususnya pada saaat musim kering. Satelit yang sering digunakan adalah satelit NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration), dengan sensor AVHRR (Advance Very high Resolution Radiometer),yang mana sensor ini dapat membedakan suhu darat dan laut. Satelit NOAA dapat digunakan bebas, tapi untuk memperoleh gambar dari satelit diharuskan memiliki hardwere dan softwere yang mahal. Indonesia memiliki 7 stasiun satelit NOAA, termasuk milik Kementrian Kehutanan-JICA (Sipongi) dan milik LAPAN Jakarta. Sebagai monitor dari hotspot, satelit NOAA memiliki kelemahan. Pada sensor tersebut tidak dapat menembus awan, asap atau aerosol. Sensivitas sensor pada suhu bumi, ditmabah resolusi yang rendah, menyebabkan kemungkinan estimasi error. Sehingga sangat diperlukan dalam overlay hotspot data dengan peta tutupan lahan dengan menggunakan metode Geograpic Information System (GIS) dan juga mengidentifikasi dengan groundcheck di lapangan.

44 26 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Tebo Provinsi Jambi yang terletak pada titik 0º 45-2º 45 LS dan 101º 0-104º 55 BT (Gambar 5) pada bulan Maret 2012 Mei Pengolahan dan analisis data dilakukan pada bulan Juni 2012 Agustus 2012 di Laboratorium Remote Sensing dan GIS, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. 3.2 Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas data primer dan data sekunder. a. Data primer : - Data groundcheck lapangan - Hasil survey dan wawancara b. Data Sekunder - Data hotspot Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Provinsi Jambi yang diperoleh dari ASMC periode Januari tahun 2011 sampai Maret tahun 2012 pemantauan satelit (National Oceanic and Atomospheric Administration) NOAA Laporan kegiatan patroli pemadaman kebakaran Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Manggala Agni Kabupaten Tebo. - Data curah hujan rata-rata bulanan Kabupaten Tebo periode tahun 2011 sampai Maret tahun 2012 dari stasiun pengamat cuaca Badan Meteorologi dan Geofisika (BMKG) Provinsi Jambi - Kondisi umum wilayah Kabupaten Tebo dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jambi. - Peta penutupan lahan Kabupaten Tebo tahun Peta dasar administrasi Kabupaten Tebo Provinsi Jambi

45 27 c. Alat yang digunakan selama penelitian diantaranya: - GPS (Global Positioning System) tipe Garmin 76CSx - Kamera Digital - Perangkat Komputer pribadi yang dilengkapi perangkat lunak ArcView GIS ver 3.2, ArcGIS 9.3, SPSS 16.0 dan Microsoft Office Gambar 5 Lokasi Penelitian 3.3 Tahapan Penelitian Pencegahan kebakaran hutan merupakan salah satu upaya dalam pengendalian kebakaran hutan. Tindakan pengendalian bertujuan untuk mencegah

46 28 terjadinya kebakaran hutan yang telah terjadi agar tidak meluas. Output yang diharapkan dalam menganalisis akurasi kejadian kebakaran adalah lebih dari 50%. Verifikasi di lapangan bertujuan untuk mengidentifikasi apakah titik hotspot yang terdeteksi pada wilayah bersangkutan merupakan kejadian kebakaran. Hal ini disebabkan hotspot memiliki sensitivitas yang tinggi terhadap suhu, misalnya cerobong asap, tambang minyak, terkadang dapat dideteksi sebagai hotspot kebakaran (Thoha 2008). Berdasarkan hal tersebut maka kebakaran hutan yang diindikasi dengan data hotspot memiliki bias yang sangat besar, karena sensor satelit tidak dapat menembus awan sehingga dapat menghasilkan prakiraan titik kebakaran yang salah. Diagram alir penelitian secara rinci dijelaskan pada Gambar 6. Tabel 1 Tahapan penelitian Tujuan Parameter Metode analisis Sumber data Output Peta kelas - Data primer tutupan Analisis (data observasi lahan Spasial dengan lapangan, data Jumlah titik menggunakan hotspot) hot spot software - Data sekunder yang ArcGIS (Peta tutupan diperoleh lahan,peta dari data dasar citra administrasi) Mengidentifikasi jumlah titik hotspot pada setiap klasifikasi tutupan lahan Prakiraan jumlah titik hotspot di setiap tutupan lahan Menghitung akurasi citra hotspot untuk identifikasi kebakaran hutan Jumlah titik hot spot yang diperoleh dari data citra Jumlah titik hot spot dari observasi lapangan Analisis Spasial dengan menggunakan software Arc View 3.2, ArcGIS - Data primer (Data hotspot, data observasi lapangan) Estimasi akurasi citra hotspot >50% Identifikasi latar belakang penyebab kebakaran hutan Aktivitas masyarakat sekitar sebagai penyebab terjadinya kebakaran hutan Analisis Pemobobotan menggunakan metode ranking - Data Primer (Pengamatan Lapangan) - Data Sekunder (Data kecamatan setempat) Latar belakang utama terjadinya kebakaran hutan

47 Metode Pengumpulan Data Pengambilan data primer pada penelitian ini antara lain data hotspot, data groundcheck dan hasil wawancara. Untuk data hotspot menggunakan data yaitu dari tahun Pada penelitian ini digunakan perangkat lunak Arc-View 3.2 sebagaimana digunakan oleh Parwati et al. (2004) untuk pengolahan data hotspot pada proses overlay data. Data sekunder yaitu curah hujan, data kondisi umum wilayah Kabupaten Tebo dan data laporan kegiatan patroli pemadam kebakaran hutan yang digunakan sebagai data acuan dalam akurasi hotspot. Data identifikasi faktor penyebab terjadinya kebakaran hutan diperoleh dengan cara mengidentifikasi langsung ke lapangan menggunakan metode wawancara expert judgment. 3.4 Metode Analisis Data Analisis GIS Analisis pada peta tematik dilakukan dengan tahapan-tahapan sebagai berikut: 1. Analisis peta tematik Analisis ini dibuat berdasarkan dari data yang dikumpulkan dari hasil survei lapangan. Sebagai dasar pemetaan, maka peta dasar yang dipergunakan adalah peta Kabupaten Tebo yang diperoleh dari Departemen Kehutanan dalam format shp. Data dari hasil lapangan yang diperoleh dibuat dalam bentuk tabel atau data deskriptif tujuannya adalah agar prosedur aplikasi GIS dapat dijalankan maka pada data tersebut haruslah dilengkapi dengan koordinat dari lokasi dimana data tersebut diambil. 2. Analisis spasial Data hasil groundcheck lapangan dianalisis untuk mengetahui persentase akurasi dari titik hotspot. Identifikasi akurasi jarak terdekat dengan menggunakan bantuan sofwere ArcGIS yaitu melalui proses buffering pada titik groundcheck dengan menggunakan bantuan tool euclidean distance. Nilai persentase akurasi rata-rata dapat ditentukan dengan menggunakan rumus: 1000 x 100% = akurasi (%) d

48 30 Keterangan: d = Jarak groundcheck terdekat dengan titik hotspot Identifikasi Sebaran Jumlah Titik Hotspot Mengidentifikasi jumlah titik hotspot pada setiap klasifikasi tutupan lahan dilakukan dengan tahapan-tahapan sebagai berikut: - Peta landsat ETM + Kabupaten Tebo yang sebelumnya telah dilakukan analisis citra satelit kemudian di cropping dengan batas daerah penelitian kemudian di overlay sesuai dengan peta dasar Kabupaten Tebo yang telah tersedia. Selanjutnya dilakukan pengklasifikasian masing-masing tutupan lahan berdasarkan standar Departemen Kehutanan. - Analisis spasial menggunakan metode countpoint dengan bantuan ArcGIS yaitu data tutupan lahan dalam shp dan data hotspot tahun Maret 2012 dalam shp di overlay, kemudian dilakukan intersect untuk mengetahui banyaknya jumlah titik hotspot pada setiap tutupan lahan Analisis Pembobotan dengan Metode ranking Survey lapang dan wawancara dilakukan dengan menggunakan metode expert judgement. Responden terdiri dari Kepala BKSDA Kabupaten Tebo, Kepala Tim Pemadam Kebakaran Hutan, Kepala Desa, Petani, dan Masyarakat. Identifikasi penyebab kebakaran hutan dilakukan dengan menggunakan analisis pembobotan dengan metode ranking. Pemilihan metode ini dilakukan oleh single researcher dengan pertimbangan responden dapat mengisi kuisioner pada waktu senggang. Kuisioner dinilai efektif dan peneliti bisa mendapatkan tingkat respon yang tinggi bila dilakukan pada subjek dengan tingkat pendidikan yang tinggi dan minat tinggi terhadap topik penelitian yang akan diteliti. Penentuan rangking dari 1-10 pada setiap peubah terhadap kerawanan kebakaran hutan dan lahan diperoleh melalui wawancara dengan 5 ahli bidang kebakaran hutan di Kabupaten Tebo. Kuisioner dibuat berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku masyarakat dengan kebakaran hutan diduga dari parameter sosial yaitu pendidikan, pengetahuan serta persepsi masyarakat tentang hutan, pertambahan jumlah penduduk serta ketersediaan lapangan pekerjaan, tidak

49 31 terakomodasinya peran masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya hutan, pendapatan masyarakat dari hasil pertanian atau perkebunan serta sistem penyiapan lahan dan kebiasaan masyarakat dalam penggunaan api. Menentukan latar belakang dominan penyebab terjadinya kebakaran hutan di Kabupaten Tebo yaitu dengan menggunakan metode penentuan bobot. Penentuan bobot dapat dilakukan secara kualitatif maupun kuantitatif. Jaya (2006) menyatakan ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk penentuan bobot salah satunya dengan menggunakan metode ranking. Penentuan bobot secara kualitatif dilakukan berdasarkan penilaian ahli (expert judgement) yang memiliki pengalaman dan kompetensi dalam bidang kebakaran hutan. Bobot tersebut diperoleh dari hasil wawancara dimana setiap peubah dinilai berdasarkan tingkat faktor dominan yang menjadi penyebab utama kebakaran hutan. Pengaruh di representasikan dalam bentuk skor dengan tingkat nilai kardinal dimana peubah yang memiliki pengaruh paling kecil diberi skor paling rendah dan sebaliknya. Secara matematis, penentuan bobot secara kualitatif diformulasikan dengan menggunakan rumus (Jaya 2006). Wji = rjki mi rjki Keterangan : Wji = bobot dari indikator ke-i dan kriteria ke-j, r jki = ranking dari indikator ke-i, kriteria ke-j untuk ahli ke-k m dan n berturut-turut = jumlah indikator dan ahli

50 0 Data hotspot ASMC Januari 2011-Maret 2012 Data curah hujan Januari 2011-Maret2012 survey dan wawancara Interpretasi penentuan lokasi hotspot Analisis korelasi silang Identifikasi latar belakang terjadinya kebakaran hutan Lokasi hotspot Data lokasi groundcheck lapangan Analisis pembobotan dengan metode ranking Peta sebaran hotspot dan groundcheck Peta dasar Kabupaten Tebo Overlay Data tutupan lahan Peta jumlah sebaran hotspot pada setiap klasifikasi tutupan lahan dan latar belakang utama penyebab kebakaran hutan Gambar 6 Diagram alir tahapan penelitian 32 37

51 33 BAB IV KONDISI UMUM 4.1 Letak dan Luas Wilayah Kabupaten Tebo merupakan salah satu wilayah yang sering terjadi kebakaran hutan. Menurut BPS Kabupaten Tebo (2011) Luas wilayah Kabupaten Tebo adalah ha (6.461 km 2 ), yang terdiri dari 12 kecamatan yaitu Tebo Ilir, Tebo Tengah, Tengah Ilir, Sumay, Rimbo Bujang, Rimbo Ulu, Rimbo Ilir, Tebo Ulu, VII Koto, Muara Tabir, Serai serumpun, VII Koto Ilir) (Tabel 2). Kecamatan Terletak diantara LS dan diantara BT. Daerah ini beriklim tropis dimana daerah ini 84,96% terletak pada ketinggian <99 m dari permukaan laut (BPS Tebo 2011). Batas wilayah kabupaten Tebo yaitu : - Sebelah Utara berbatasan dengan Provinsi Riau - Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Bungo dan Merangin - Sebelah Barat berbatasan dengan Provinsi Sumatera Barat dan Kabupaten Bungo - Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Batanghari dan Kabupaten Tanjung Jabung Barat. Topografi Kabupaten Tebo umumnya merupakan dataran dan sedikit berbukit serta berawa dengan kemiringan yang bervariasi. Jenis tanah di Kabupaten Tebo sebagian besar adalah Podsolik Merah Kuning (PMK). Potensi sumberdaya alam tanaman pangan dan pemanfaatannya di kabupaten Tebo sebesar potensi lahan sawah sebesar ha dan potensi lahan kering sebesar ha dengan luas pemanfaatan lahan sawah sebesar ha, dengan demikian lahan yang belum dimanfaatkan lahan sawah sebesar ha (Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jambi 2011)

52 34 Tabel 2 Luas wilayah menurut Kecamatan di Kabupaten Tebo tahun 2010 Kecamatan Luas (km 2 ) Presentase (%) Tebo ilir 708,70 10,97 Tebo Tengah 983,56 15,22 Tengah Ilir 221,44 3,43 Sumay 1.268,00 19,63 Rimbo Bujang 406,92 6,30 Rimbo Ulu 295,74 4,58 Rimbo Ilir 214,34 3,32 Tebo Ulu 410,30 6,35 VII Koto 658,79 10,20 Muara Tabir 509,30 7,88 Serai Serumpun 315,70 4,89 VII Koto ilir 468,21 7,25 Kabupaten Tebo (Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Tebo 2011) 4.2 Kondisi Iklim Kabupaten Tebo termasuk daerah yang beriklim tropis yang memiliki karakteristik curah hujan sedang dan lembab sepanjang tahun. Curah hujan rata-rata adalah 163,43 mm/bulan, lama penyinaran matahari 3,83 jam/hari dan kelembaban udara rata-rata sebesar 84,33%. Sedangkan suhu udara rata-rata sekitar 26,2 0 C kecuali pada dataran tinggi di wilayah barat dengan suhu rata-rata 21,9 0 C. 4.3 Luas Kawasan Hutan Berdasarkan data BPS Provinsi Jambi Tahun 2011 sekitar 44% ( ha) luas wilayah di Kabupaten tebo adalah kawasan hutan dimana untuk kawasan hutan menurut fungsinya terdiri dari hutan pelestarian alam 5% (33.402,50 Ha), hutan produksi terbatas 1% (6.657 ha) dan hutan produksi tetap 35% ( ,8 ha). Sedangkan untuk hutan lindung yaitu sebesar 3% ( ha) sedangkan untuk kawasan hutan suaka alam yaitu sebesar 0,04% (110,5 ha) (Tabel 3).

53 35 Tabel 3 Luas kawasan hutan menurut fungsi hutan di Kabupaten Tebo (ha) Fungsi Hutan 1. Hutan Pelestarian Alam a. Taman Nasional Bukit Tiga Puluh b. Taman Nasional Bukit Dua Belas c. Hutan Suaka Alam Kebun Raya Bukit Sari 2. Hutan Lindung Bukit Limau 3. Hutan Produksi Terbatas a. Hutan Produksi Terbatas Hulu Sekalo b. Hutan Produksi Terbatas Sungai Sirih-Sirih c. Hutan Produksi Terbatas Seragam hulu 4. Hutan Produksi Tetap a. Hutan Produksi Tetap Sengkati Batanghari b. Hutan Produksi Tetap Tabir Kejasung c. Hutan Produksi Tetap Batang Tabir Jumlah Luas wilayah Kabupaten Tebo Presentase terhadap luas Kabupaten Tebo Sumber : Dinas Kehutanan Kabupaten Tebo 2010 Luas (ha) ,39% 4.4 Keadaan Penduduk Jumlah penduduk Kabupaten Tebo pada tahun 2010 sebanyak jiwa. Jumlah penduduk laki-laki sebanyak jiwa dan jumlah penduduk perempuan sebanyak jiwa. Presentase distribusi penduduk tahun 2010 menurut kecamatan adalah : - Kecamatan Tebo Ilir (8,4%) - Kecamatan Muara Tabir (5,24%) - Kecamatan Tebo Tengah (11,54%) - Kecamatan Sumay (6,46%) - Kecamatan Tengah Ilir (5,91%) - Kecamatan Rimbo Bujang (20,09%) - Kecamatan Rimbo Ulu (11,68%) - Kecamatan Rimbo Ilir (7,19%) - Kecamatan Tebo Ulu (10,52%) - Kecamatan VII Koto (6%)

54 36 - Kecamatan Serai Serumpun (2,55%) - Kecamatan VII Koto Ilir (4,43%) Rata-rata kepadatan penduduk kabupaten tebo pada tahun 2010 adalah 46 jiwa km/km 2, dimana kepadatan penduduk tertinggi berada pada Kecamatan Rimbo Bujang sebesar 147 jiwa/km 2. Sedangkan kepadatan penduduk terkecil berada pada kecamatan Sumay 14 jiwa/km 2 disusul kemudian kecamatan Serai Serumpun 24 Jiwa/km 2 dimana pada daerah tersebut sebagian besar wilayahnya adalah perkebunan dan hutan.

55 37 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisis Sebaran Titik Panas (Hotspot) Hotspot merupakan salah satu indikator adanya kejadian kebakaran hutan di suatu wilayah. Hotspot diperoleh dari hasil pengelolaan citra data NOAA yang berupa koordinat geografis dari stasiun penerima yang selanjutnya dikirimkan ke daerah. Penerima dapat memplotkan data tersebut ke peta dasar yang dimiliki. Apabila tersedia perangkat lunak sistem informasi geografis, maka plotting akan dapat dilakukan secara otomatis oleh komputer, kemudian melakukan overlay secara cepat dan interaktif. Sehingga data hotspot hasil rekaman satelit NOAA-18 yang dikeluarkan oleh beberapa penyedia data hotspot dapat diketahui pola sebarannya di Indonesia. Pada penelitian ini tingginya hotspot diasumsikan sejalan dengan banyaknya kejadian kebakaran hutan. Gambar 7 memperlihatkan pada Kabupaten Tebo, terdapat sejumlah titik hotspot pada setiap bulannya. Sebaran hotspot tersebut digambarkan perbulan agar bisa melihat kecenderungan perkembangan munculnya fenomena hotspot khususnya pada periode tahun 2011 sampai dengan Maret tahun Sebaran hotspot mulai dijumpai pada bulan Februari tahun 2011 (24 titik) sampai bulan September 2011 (111 titik) kemudian muncul lagi pada bulan November tahun 2011 (2 titik) hingga Maret tahun 2012 (24 titik). Sebaran hotspot yang tertinggi pada tahun 2011 terjadi pada bulan Juli (71 titik), Agustus (130 titik) dan September (111 titik) sedangkan pada tahun 2012 hotspot tertinggi terjadi pada bulan Januari (74 titik). Pada bulan Januari tahun 2011 dan Oktober tahun 2011 tidak terdapat sebaran hotspot sama sekali. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya adalah pada bulan tersebut intensitas curah hujan cukup tinggi, aktifitas yang berhubungan dengan adanya pemanfaatan lahan (terutama pembersihan atau pembukaan lahan) pada bulan-bulan tersebut sudah berakhir. Dari 6 kecamatan lokasi penelitian pada Kabupaten Tebo, hotspot paling banyak dijumpai pada kecamatan VII Koto (Gambar 8). Hal ini disebabkan pada wilayah tersebut masih banyak hutan produksi bekas perusahaan HPH yang sisa lahannya tersebut digunakan warga setempat untuk membuka lahan baru untuk

56 38 ditanami kelapa sawit. Kemudian pada musim kemarau mereka melakukan penyiapan lahan dengan metode pembakaran. Selain itu persebaran jenis tanah pada wilayah tersebut merupakan tanah mineral yang cenderung mudah terbakar. Luas wilayah Kabupaten Tebo menurut klasifikasi tekstur tanah yaitu 98,50% ( ha). Wilayah di Kabupaten Tebo merupakan tanah dengan tekstur yang halus 1,30% (8.400 ha) bertekstur sedang dan hanya 0,2% (1.300 ha) merupakan tanah yang bergambut. Berdasarkan persebaran jenis tanahnya di Kabupaten Tebo terdiri dari 63,90% ( ha) merupakan jenis tanah Podsolik Merah Kuning sedangkan 32,07% ( ha) adalah jenis tanah latosol, dan sisanya berupa tanah alluvial dan organosol Jumlah Hotspot Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Aug Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar Jumlah Hotspot Gambar 7 Sebaran Hotspot Bulanan Kabupaten Tebo Provinsi Jambi Tahun 2011 dan tahun 2012 Tinggi dan rendahnya sebaran hotspot pada periode Maret 2012 berkorelasi dengan besarnya curah hujan. Kabupaten Tebo merupakan wilayah yang memiliki pola curah hujan ekuator yaitu distribusi hujan bulanan bimodial dua puncak musim hujan maksimum dan hampir sepanjang tahun masuk kedalam kriteria musim hujan, biasanya terjadi pada saat ekinoks. Misalnya hujan bulanan wilayah Aceh, Padang, Solok dan Pontianak (Kadarsah 2007). Daerah Tebo memiliki pola iklim yang berbeda dengan pola iklim di pulau Jawa. Pola iklim dipulau daerah Tebo memiliki dua periode musim kemarau yaitu bulan Februari-Maret dan bulan Juli-September, sedangkan iklim di pulau Jawa hanya satu musim kemarau yaitu pada bulan Juni-September.

57 39 Wilayah Tebo merupakan daerah yang tergolong curah hujan yang tinggi. Karena wilayah Tebo berdekatan dengan wilayah sumatera bagian barat, sehingga tiap tahunnya diperkirakan wilayah ini mendapatkan curah hujan 3000 mm/th. Selain itu, wilayah ini banyak dipengaruhi oleh pengaruh topografi seperti adanya bukit barisan. Jika curah hujan tinggi maka indeks kekeringan rendah begitu pula sebaliknya. Sehingga curah hujan berpengaruh terhadap kelembaban bahan bakar tanah. Kejadian kebakaran hutan cenderung lebih banyak terjadi pada saat curah hujan terendah karena pada saat curah hujan rendah, maka kelembaban udara juga rendah (Tabel 4). Kelembaban rendah menyebabkan bahan-bahan bakar potensial lebih cepat mencapai suatu nilai ambang kelembaban dimana api akan dapat membakar bahan bakar ini (Samsuri 2008). Dalam hal ini pembakaran terjadi bukan saja di lahan yang jauh dari pemukiman melainkan pembakaran juga dilakukan disekitar perumahan penduduk. Hal ini disebabkan karena rata-rata para petani tersebut tinggal tidak jauh dari areal perladangan mereka. Tabel 4 Kondisi iklim rata-rata bulanan tahun Bulan Suhu CH RH Suhu ( 0 C) (mm) (%) Bulan ( 0 C) CH (mm) Januari 26, ,7 Januari 27,2 135,5 80 Februari 26,8 173,5 83 Februari 26,6 130,2 82 Maret 26,6 226,5 83,1 Maret 26,8 222,4 82 April 26,7 267,8 85 Mei 27,4 119,4 83 Juni 27,4 85,7 82 Juli 27,3 144,1 82 Agustus 27,4 29,5 79 September 27,5 36,3 77 Oktober 26,4 211,4 84 November 26,3 241,2 85 Desember 26,3 180,3 86 Keterangan : CH = Curah Hujan RH = Kelembaban Relatif (Sumber : Stasiun Klimatologi Provinsi Jambi Tahun ) RH (%)

58 40 40 Gambar 8 Peta sebaran hotspot tahun 2011 Maret 2012 Kabupaten Tebo

59 Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Aug Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar Hotspot CH Gambar 9 Hubungan antara jumlah curah hujan dan jumlah Hotspot tahun Hotspot tertinggi terjadi pada bulan Agustus (130 titik) yang berbanding terbalik dengan jumlah curah hujan terendah sebesar 29 mm/bulan. Sedangkan Januari 2011 dan Oktober 2011 tidak ditemukan adanya titik panas (0 titik), hal ini disebabkan curah hujan pada bulan tersebut tinggi yaitu 313 mm dan 211,4 mm/bulan (Gambar 9). Adanya peningkatan dan penurunan jumlah hotspot pada bulan-bulan tertentu sangat berkaitan dengan jumlah curah hujan. Pada saat curah hujan mengalami peningkatan maka jumlah hotspot berkurang bahkan tidak dijumpai sama sekali. Sebaliknya, pada saat curah hujan rendah atau tidak terjadi hujan maka akan ditemukan hotspot dalam jumlah tinggi seperti pada bulan Juli, Agustus dan September. Puncak kebakaran terjadi setelah selama tiga bulan kering berturut-turut sebelumnya bahan bakar mengalami pengeringan yang intensif. Untuk analisis yang lebih tajam, dengan membuktikan adanya hubungan antara hotspot dan curah hujan dapat dilakukan dengan menggunakan analisis korelasi. Analisis korelasi merupakan metode statistika yang digunakan untuk menentukan kuatnya atau derajat hubungan linier antara dua variabel atau lebih. Semakin nyata hubungan linier (garis lurus), maka akan semakin kuat atau tinggi derajat hubungan garis lurus antara kedua variabel atau lebih. Berdasarkan hasil analisis korelasi antara hotspot dan curah hujan, kedua parameter tersebut berkorelasi sangat nyata pada α = 0,01, dengan nilai koefisien korelasi yang cukup

60 42 besar yaitu 0,755 (Tabel 5). Artinya, semakin tinggi curah hujan maka jumlah hotspot akan semakin sedikit begitu juga sebaliknya. Tabel 5 Korelasi antara parameter hotspot dan curah hujan Hotspot Curah Hujan Koefisien korelasi Hotspot 1-0,755 Curah Hujan -0,755 1 Keterangan: ** Berkorelasi sangat nyata pada α = 0,01 Sumber : Data primer diolah Munculnya Hotspot yang dipengaruhi oleh besarnya curah hujan, ditunjukkan oleh penelitian Soewarso (2003) yang menyatakan bahwa rendahnya curah hujan mempengaruhi terjadinya kebakaran hutan. Hal ini disebabkan karena bahan bakar di hutan relatif lebih mudah terbakar. Sedangkan menurut Syaufina (2002), kadar air bahan bakar di lahan gambut Sungai Karang, Selangor, Malaysia berhubungan erat dengan besarnya curah hujan. Menurut hasil penelitian Prasasti (2012) menyatakan bahwa faktor iklim yang sangat menentukan terhadap proses penyalaan kebakaran hutan adalah curah hujan. Walaupun hujan bukan merupakan faktor penyebab kebakaran hutan, namun apabila akumulasi curah hujan dua bulan sebelumnya mengalami penurunan, maka dapat diprediksi terjadi adanya potensi kekeringan yang akan meningkat sehingga kondisi ini dapat meningkatkan jumlah hotspot dan luas areal yang terbakar. 5.2 Akurasi hotspot Hasil verifikasi lapangan terhadap data hotspot menunjukkan adanya perbedaan sebaran dan akurasi lokasi areal kebakaran yang terjadi dilapangan. titik hotspot yang dipilih untuk dilakukan uji akurasi adalah tahun Maret Hal ini disebabkan karena bekas kebakaran yang sudah terjadi masih bisa diidentifikasi dan diambil titik koordinatnya. Rendahnya resolusi spsial citra NOAA yaitu sekitar 1,1 km x 1,1 km merupakan kelemahan yang mendasar dari sistem pendeteksian kebakaran. Dalam luasan 1 km persegi, kita tidak dapat mengetahui dimana lokasi kejadian kebakaran secara persis. Selain itu, walaupun terdapat sejumlah titik kebakaran

61 43 dalam luasan tersebut lebih dari satu, maka luasan tersebut akan diwakilkan oleh adanya satu titik hotspot dengan lokasi yang berada tepat di tengah luasan persegi tersebut. Selain itu, ketidakakuratan titik hotspot dan hasil groundcheck di lapangan disebabkan oleh pengambilan titik koordinat yang belum tepat. Seperti pengambilan titik koordinat yang diambil didekat atau disekitar lokasi kebakaran, sehingga dalam proses overlay data terdapat lag seperti yang ditunjukkan pada gambar 10. Tabel 6 Jumlah titik hotspot dan groundcheck lapangan No Bulan Hotspot Groundcheck Hotspot Groundcheck 1 Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agus Sep Okt Nov Des Waktu lintasan satelit mempengaruhi pendeteksian kebakaran, karena terkait dengan adanya perilaku pembakaran lahan di beberapa tempat. Dengan adanya pergerakan atau penyebaran awan yang bergerak dalam hitungan menit, maka dapat mempengaruhi satelit dalam memantau hotspot. Berdasarkan tabel 6 ternyata hasil groundcheck di lapangan menunjukkan bahwa jumlah hotspot dilapangan ditemukan lebih sedikit dibandingkan dari data yang diperoleh dari satelit NOAA. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya pertama pada saat groundcheck dilapangan kondisi topografi lokasi yang berbukit. Kedua banyak ditemukan lokasi bekas kebakaran yang berada di seberang sungai, sehingga tidak memungkinkan untuk mengambil titik koordinat

62 44 lokasi bekas kebakaran. Ketiga, masih terdapat binatang liar seperti gajah yang berkeliaran di lokasi bekas kebakaran. Hasil verifikasi dilapangan terhadap data hotspot menunjukkan bahwa adanya perbedaan sebaran dan akurasi lokasi areal kebakaran yang terjadi di lapangan. Sensor AVHRR sangat sensitif terhadap suhu permukaan bumi dan resolusi spasial yang relatif rendah, menyebabkan kesalahan perkiraan titik kebakaran cukup sering terjadi. Misalnya lahan yang kosong, yaitu lahan yang sudah dibersihkan menggunakan eskavator dan telah siap untuk ditanami namun suhunya relative lebih panas dibandingkan daerah sekitar yang bervegetasi dapat dideteksi sebagai hotspot. Seperti yang terjadi di desa Babeko terletak pada LS dan BT (Gambar 11). Gambar 10 Lokasi pengambilan titik koordinat pada saat groundcheck lapangan Gambar 11 Kondisi lahan kosong yang dideteksi sebagai hotspot

63 45 Dari hasil groundcheck di lapangan pada bulan Agustus terdapat 18 titik hotspot dari 130 titik hotspot yang diperoleh dari data NOAA. Berdasarkan analisis spasial diperoleh bahwa nilai persentase akurasi rata-rata terendah terdapat pada bulan Februari 2012 yaitu sebesar 0,25% sedangkan untuk akurasi rata-rata tertinggi terjadi pada bulan Agustus 2011 yaitu sebesar 25,8% Akurasi (%) Jan feb Mar Apr Mei Jun Jul Agus Sep Okt Nov Des Gambar 12 Persentase akurasi rata-rata bulanan titik Hotspot dan groundcheck lapangan dari tahun Asumsi yang digunakan pada penelitian ini adalah jika jarak groundcheck < 1000 m maka diasumsikan bahwa akurasi data hotspot adalah 100%. Menurut Tanpipat et al.(2009) groundcheck ke lapangan perlu dilakukan untuk mengetahui ada atau tidaknya hotspot. Groundcheck dapat dilakukan dengan cara berjalan kaki menuju lokasi kebakaran, tapi akurasi hotspot bisa juga dilakukan dengan menggunakan helikopter. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Nakau et al.(2005) akurasi hotspot dilakukan dengan menggunakan pesawat rusia agency dan Japan Airlines untuk mengetahui keakuratan dari hotspot. Pada Gambar 12, bulan Januari 2011 dan Oktober 2011 tidak ditemukan adanya titik hotspot. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya adalah curah hujan yang tinggi, kebakaran permukaan kecil sehingga data tidak terekam

64 46 oleh satelit. Yang kedua kebakaran tidak tertangkap dengan jelas, disebabkan liputan awan yang tebal dan terdapat banyak asap. Dan biasanya aktivitas yang berhubungan dengan pembersihan lahan pada bulan-bulan tersebut sudah berakhir. Menurut Pradan (2009) akurasi deteksi lokasi hotspot sangat penting dalam menganalisis kerentanan kebakaran hutan. Keakuratan deteksi akan menentukan alokasi dana, kelancaran operasi pemadaman, dan kebutuhan investigasi dalam kasus pelanggaran hukum lingkungan. Informasi tersebut sangat bermanfaat dalam upaya pengendalian kebakaran hutan dan lahan, terutama dalam upaya pengendalian kebakaran hutan, terutama sebagai kegiatan peringatan dini (early warning system) dalam upaya pencegahan kebakaran hutan. Dengan diketahuinya bulan-bulan dimana hotspot banyak ditemukan, pihak pengelola hendaknya melakukan persiapan pada waktuwaktu sebelum risiko kebakaran tinggi. Misalnya, dengan melakukan kampanye pencegahan kebakaran hutan dan melakukan pelarangan pembakaran pada daerah yang rawan kebakaran seperti pada wilayah gambut (Syaufina 2008). Tabel 7 Persentase jarak titik groundcheck dan titik hotspot Kabupaten Tebo pada bulan Agustus 2011 Latitude Longitude No Titik hotspot Jarak groundcheck (m) Akurasi (%) No Titik Groundcheck

65 47 Gambar 13 Analisis spasial jarak titik groundcheck dan titik hotspot Kabupaten Tebo pada bulan Agustus

66 48 Gambar 14 Sebaran hotspot dan titik-titik hasil groundcheck lapangan Kabupaten Tebo bulan Agustus

67 Jumlah Sebaran Titik Hotspot pada Kelas Penutup Lahan Jenis penutup lahan memberikan kontribusi terhadap frekuensi hotspot terutama karena berkaitan dengan aktivitas konversi lahan. Menurut data terakhir dari Ditjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) pada tahun 2006 kejadian kebakaran hutan paling luas yaitu terjadi pada kawasan hutan produksi sebesar 1.508,34 Ha. Kejadian kebakaran hutan pada Provinsi Jambi tahun 2011 luasnya mencapai Ha, yang terdiri dari 121 Ha kawasan hutan dan 282 Ha pada kawasan lahan. Menurut Hidayat (2011) tingginya pembakaran hutan yang dilakukan oleh masyarakat Tebo disebabkan untuk industri perkebunan kelapa sawit. Hingga saat ini, sekitar Ha hutan produksi telah menjadi perkebunan sawit. Tabel 8 Jumlah sebaran hotspot dan persentase pada setiap kelas penutupan lahan di Kabupaten Tebo tahun Maret 2012 Hotspot Jumlah Persentase No Jenis Tutupan Lahan hotspot (%) 1 Hutan Primer ,4 2 Hutan Sekunder ,1 3 Perkebunan ,6 4 Pertanian Lahan Kering ,4 5 Pertanian Lahan Kering Campur ,7 6 Semak/belukar ,5 7 Tanah Terbuka/lahan kosong ,6 8 Hutan tanaman ,01 9 Air ,6 10 Transmigrasi ,2 11 Belukar Rawa ,6 12 Permukiman ,2 Total Berdasarkan hasil analisa spasial overlay dari peta penutupan lahan dan data hotspot tahun Maret 2012, diidentifikasi bahwa area yang paling banyak ditemukan titik hotspot adalah kawasan hutan sekunder yaitu berjumlah 242 titik (49,1%). Namun, Gambar 15 menunjukkan bahwa temuan titik api hasil groundcheck di lapangan berbeda dengan hasil identifikasi hotspot. Bahwa

68 50 sumber titik api paling banyak ditemukan pada area perkebunan terutama sawit, karet dan area semak/belukar. Kejadian kebakaran hutan ini pada umumnya terjadi pada kawasan hutan produksi (eks HPH) yang telah habis masa konsesinya dan tidak ada pengelolaan dan pengamanan hutan, sehingga dirambah masyarakat untuk dikuasai. Areal ini umumnya berupa areal yang tidak produktif dengan vegetasi semak/belukar, ladang dan kebun milik masyarakat. Kondisi lahan dalam keadaan semak belukar lebih cepat terbakar, terutama jika terjadi pada musim kemarau. Sehingga dengan kondisi lahan tersebut menjadi salah satu faktor penyebab munculnya titik api. Ruchiat (2001) mengemukakan dalam hasil penelitiannya bahwa, penyebab utama terjadinya kebakaran berasal dari api yang ditimbulkan dari kegiatan perladangan berpindah dan pembalakan lokal, dimana api merambat dengan sangat cepat pada kondisi lahan semak belukar. Munculnya titik api oleh beberapa pihak berpendapat disebabkan oleh adanya kegiatan pertanian, perkebunan ataupun kehutanan berskala kecil hingga besar oleh masyarakat lokal maupun oleh perusahaan. (a) Semak/belukar (b) Perkebunan sawit Gambar 15 Area yang paling banyak ditemukan titik api Aktivitas pengelolaan lahan pertanian, perkebunan serta non hutan dengan metode pembakaran menjadi penyebab terjadinya kebakaran hutan dan lahan yang diindikasikan dengan tingginya jumlah hotspot. Banyaknya titik panas yang ditemukan erat kaitannya dengan penghidupan masyarakat, bahwa semakin tinggi

69 51 jumlah penduduk di suatu daerah, maka gangguan kerusakan hutan akan semakin tinggi. Identifikasi titik hotspot dideteksi banyak ditemukan pada jenis penutupan lahan semak/belukar berjumlah 116 (23,5%), kemudian pada lahan kering campur semak sejumlah 102 (20,7%), pada wilayah dengan kondisi tanah terbuka atau lahan kosong dideteksi hotspot berjumlah 13 titik hotspot atau sekitar 2,6%. Pada wilayah hutan tanaman terutama pada wilayah bekas Hutan Tanaman Industri (HTI) titik api diperkirakan sejumlah 5 titik yaitu (1,01%). Pada jenis penutup lahan perkebunan, air dan belukar rawa jumlah hotspot yang dideteksi sebanyak 3 titik (0,6%), untuk hutan primer dan pertanian lahan kering hanya ditemukan 2 titik hotspot (0,4%). Terdeteksinya hotspot di sekitar badan air mengindikasikan terjadinya pembukaan lahan di sekitar badan air, terutama di sekitar aliran sungai. Penurunan persentase jumlah deteksi hotspot pada tanah terbuka disebabkan oleh perubahan tipe penutupan lahan dari tanah terbuka menjadi area nonhutan alam Sukmawati (2006) dalam Syaufina (2008). Jumlah hotspot terkecil ditemukan pada jenis penutupan lahan wilayah transmigrasi dan permukiman yaitu 1 titik (0,2%). Sementara hasil penelitian yang dilakukan oleh Sukmawati (2006) dalam Syaufina (2008), sebaran hotspot di Kabupaten Pontianak periode tahun dengan peta penutupan lahan tahun Kabupaten Pontianak 2004, jumlah hotspot tertinggi terjadi pada tipe penutupan lahan areal non hutan alam yaitu 55,7%. Pada tipe penutupan lahan yang berupa tanah terbuka, jumlah hotspot yang terdeteksi sebesar 20,9%. Sementara untuk tipe penggunaan lahan untuk hutan alam dan badan air, jumlah hotspot masing-masing mencakup 12,38% dan 10,5%. Faktor utama penyebab kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Barat adalah aktivitas manusia, jarak terhadap jalan, penggunaan lahan, faktor biofisik yang dipengaruhi tutupan lahan dan jumlah curah hujan, Sedangkan pembukaan lahan hutan, penyiapan lahan dan pengolahan lahan dilakukan dengan cara membakar disebabkan pembukaan lahan atau hutan dengan cara membakar lebih cepat dan murah serta tidak memerlukan tenaga yang banyak.

70 52 Syaufina (2008) menyatakan bahwa dengan melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar hanya memerlukan waktu 28 HOK (Hari Orang Kerja), sementara PLTB secara mekanis untuk hutan primer membutuhkan 80 HOK dtambah 12 jam kerja traktor dan 53 HOK ditambah 10 jam kerja traktor bagi hutan sekunder. Jumlah titik hotspot pada setiap kelas tutupan lahan disajikan pada Tabel 8.

71 Gambar 16 Peta Sebaran Hotspot Pada penutupan Lahan Kabupaten Tebo 53 53

72 Identifikasi Latar Belakang Penyebab Kebakaran Hutan Kebakaran yang disebabkan oleh faktor alam jarang terjadi atau bahkan tidak pernah terjadi di negara tropis. Pada umumnya, penyiapan lahan dilakukan dengan menggunakan api sebagai alat sederhana. Ketika api yang digunakan tanpa adanya prosedur yang baik, terjadi penyebaran yang tidak terkendali dan membakar daerah yang berdekatan dengan area yang terbakar. Kemampuan bahan bakar dari hutan dan kondisi cuaca yang kering dapat menyebarkan api secara cepat. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan pada beberapa kecamatan di lokasi penelitian, kajian ini mengidentifikasi dua alasan yang menjadi latar belakang terjadinya kebakaran hutan yaitu faktor utama dan faktor pendukung Faktor Utama Berdasarkan hasil identifikasi dengan menggunakan analisis pembobotan dengan metode rangking. Maka, terdapat empat hal yang menjadi faktor utama yang melatarbelakangi terjadinya kebakaran hutan di Kabupaten Tebo. Bobot relatif pada peubah faktor utama disajikan pada Tabel 9. Tabel 9 Bobot relatif pada peubah faktor utama Peubah Skor Jumlah Bobot Murah ,9 Mudah ,1 Cepat ,6 Budaya ,2 Kebakaran hutan yang terjadi di Kabupaten Tebo 100% dilakukan dengan sengaja sebagai alat dalam penyiapan lahan, terutama dalam pembukaan areal perkebunan sawit dan karet. Menjelang musim tanam, pola penyiapan lahan dilakukan dengan cara membakar. Penelitian yang telah dilakukan oleh Syahadat dan Sianturi (2009) di taman Nasional Gunung Ceremai (TNGC) Jawa Barat, diketahui bahwa 99%

73 55 penyebab kebakaran hutan yang terjadi disebabkan oleh ulah manusia yang sengaja membakar hutan dan lahan karena didorong oleh faktor ekonomi, sosial dan budaya masyarakat setempat. Sebagian besar teknik yang digunakan dalam penyiapan lahan dengan metoda pembakaran. Serasah, kayu, ranting dsb ditumpuk pada suatu tempat kemudian dikeringkan, setelah benar-benar kering kemudian dibakar. Walaupun teknik pembakaran tersebut dianggap tidak terlalu berbahaya, seperti teknik pembakaran cincin, pembakaran muka, dan pembakaran balik (Syaufina & Sukmana 2010). Bagaimanapun juga, ketika terjadi angin yang kencang, api dapat menyebar dengan cepat dan menjadi tidak terkendali. 1) Murah Biaya yang dikeluarkan menggunakan metode penyiapan lahan dengan cara dibakar jauh lebih murah jika menggunakan alat berat. Mangandar (2000) menyebutkan bahwa secara manual, setiap kepala keluarga mampu membuka hutan rata-rata 1 ha/tahun untuk dijadikan ladang. Menurut Syaufina & Sukmana (2010) diperlukan adanya insentif ekonomi, untuk menyurutkan niat masyarakat yang menggunakan kebakaran sebagai alat penyiapan lahan. Masyarakat tersebut akan memiliki motivasi untuk menemukan cara alternatif lain dalam proses penyiapan lahannya. Disisi lain, adanya tingkat penanaman kelapa sawit oleh masyarakat dipicu oleh nilai ekonominya yang menjanjikan sehingga dapat meningkatkan pembukaan lahan. Selain itu, tingkat kehidupan dan pendapatan masyarakat Tebo yang masih rendah, memaksa mereka untuk menggunakan teknik-teknik penyiapan lahan yang murah sudah menjadi tradisi nenek moyangnya. Namun dalam beberapa tahun terakhir ini, masyarakat tersebut bekerjasama dengan pemilik modal untuk merambah dan membakar hutan. 2) Mudah Metode tebas dan bakar oleh sebagian masyarakat dianggap sebagai cara yang mudah dalam proses penyiapan lahan. Masyarakat Kabupaten Tebo menyadari bahwa kebakaran dapat menyebabkan kerusakan terhadap lingkungan lainnya. Namun, pembakaran masih digunakan sebagai metode dalam penyiapan lahan. Hal tersebut disebabkan, pengetahuan sebagian masyarakat yang masih

74 56 terbatas dalam menyiapkan lahan dengan menggunakan alternatif-alternatif untuk penyiapan lahan tanpa bakar (Syaufina & Sukmana 2010). Berdasarkan keterangan yang dikumpulkan, masyarakat tidak membutuhkan metode yang rumit dalam menyiapkan lahan. Penebasan semak dilakukan lebih kurang 40 hari untuk luasan 1,5 hingga 2 ha, yaitu antara bulan April dan Mei. Serasah, semak dan kayu yang kering kemudian dibakar. 3) Mempercepat proses pembersihan lahan Sebagian besar responden menyatakan bahwa dengan metode pembakaran merupakan proses yang cepat dalam pembersihan lahan. Para petani setempat menganggap bahwa penyiapan lahan dengan cara dibakar menjadi lebih subur. Seperti yang dilakukan pada sistem budidaya padi sonor pada lahan-lahan gambut (PFFSEA 2003). Berdasarkan pengamatan lapang, diperkirakan lahan yang terambah lebih dari Ha dari Desa Kebung Kecamatan Tebo Ulu Kabupaten Tebo sampai Taman Nasional Bukit Tiga Puluh, yaitu perbatasan antara Jambi dan Riau. 4) Penggunaan api merupakan budaya masyarakat Sistem penyiapan lahan dengan cara dibakar dilakukan oleh sebagian besar masyarakat asli Tebo. Cara ini merupakan salah satu budaya turun temurun yang telah diwariskan oleh nenek moyang mereka. Menurut Badan Pusat Statistik Kabupaten Tebo (2011) lapangan usaha sebagian besar penduduk kabupaten tebo adalah sektor pertanian, perkebunan terutama perkebunan sawit dan karet yaitu sebesar 77% dan sebagian kecil bermata pencaharian perikanan. Hasil penelitian Faisyal (2009) yang dilakukan di Kecamatan Sembalun Kabupaten Lombok Timur mengemukakan bahwa beberapa budaya masyarakat yang berpotensi menyebabkan kebakaran hutan diantaranya adalah budaya membakar lahan sebelum pengolahan tanah, budaya berburu yang illegal dan bertentangan dengan Undang-undang kehutanan, perapian dengan menggunakan kayu bakar, kegiatan pengembalaan sapi liar yang telah dilakukan secara turun temurun.

75 Faktor Pendukung Terdapat lima hal yang menjadi faktor pendukung penyebab terjadinya kebakaran hutan di Kabupaten Tebo. Bobot relatif pada peubah faktor pendukung disajikan pada Tabel 10. Tabel 10 Bobot relatif pada peubah faktor pendukung Peubah Skor Jumlah Bobot Musim ,4 Sanksi ,9 Status kepemilikan lahan Bahan bakar , ,5 Waktu ,04 1) Musim Musim kemarau merupakan salah satu faktor pendukung penyebab terjadinya kebakaran hutan di Kabupaten Tebo. Musim kemarau dan kekeringan yang panjang sebagai akibat dari El Nino telah melanda sebagian belahan bumi, termasuk diantaranya adalah Indonesia. El Nino yang kering menyebabkan hutan tropis di Indonesia mengalami kekeringan, curah hujan yang rendah menyebabkan serasah dan pohon-pohon menjadi kering sehingga menyebabkan mudahnya terjadi kebakaran hutan. Dinas Kehutanan Provinsi Jambi (2011) menyatakan bahwa penyebab semakin banyaknya hotspot dan pemicu adanya kebakaran hutan adalah musim kemarau yang berkepanjangan. Sebaran titik panas hingga September 2012 mencapai titik, dan paling banyak ditemukan salah satunya di Kabupaten Tebo. 2) Lemahnya sanksi hukum Larangan dalam pembakaran hutan telah diatur didalam peraturan perundang-undangan, diantaranya adalah :Undang-Undang No.5 Tahun 1997, Undang-Undang No.5 Tahun 1990, Undang-Undang No.23 Tahun 1997, Undang-

76 58 Undang Kehutanan No.41 Tahun 1999, Undang-Undang-Undang No.22 Tahun 1999, Peraturan Pemerintah No.28 Tahun 1985, Peraturan Pemerintah No.62 Tahun 1998, Peraturan Pemerintah No.41 Tahun 2001 tentang pengendalian pencemaran udara, Keputusan Menteri Kehutanan Np.523/Kpts-II/1993, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Peraturan Daerah (PERDA) tiap-tiap Provinsi, Pedoman Pelaksanaan Perundangan Lainnya (Kepres, Keputusan Menteri), Pedoman Teknis (Direktur Jendral Perkebunan dan direktur Jendral Pengusahaan Hutan). Pada Undang-Undang Kehutanan ini sebenarnya telah menjelaskan mengenai larangan dalam membakar hutan, yang diatur dalam Pasal 50 ayat (3) butir d. Bahwa pembakaran hutan secara terbatas diperkenankan hanya untuk tujuan khusus atau dalam kondisi yang tidak dapat dielakkan seperti pengendalian kebakaran hutan, pembasmian hama dan penyakit, serta pembinaan habitat tumbuhan dan rawa Pada kenyataannya, pelaksanaan pembakaran secara terbatas harus mendapat izin dari pejabat yang berwenang. Sehingga disimpulkan bahwa Undang-Undang Kehutanan menyebutkan bahwa pembakaran hutan dilarang dan pemegang hak pengelolaan hutan bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran hutan di areal kerjanya. Namun, keadaan yang sebenarnya di lapangan diketahui bahwa dengan adanya Undang-Undang tersebut dapat memberi ruang gerak bagi perusahaan-perusahaan dengan memperbolehkan pembakaran sepanjang ada izin dari pejabat yang berwenang. Lebih mempermudah akses untuk membuka dan membersihkan lahan (land clearing) dengan jalan membakar hutan, melalui izin dari pejabat yang berwenang tersebut (Puspitasari 2007). Aspek penanganan hukum kebakaran hutan meliputi adanya sanksi adat, sanksi administrasi, sanksi perdata dan sanksi pidana. Menurut Mangandar (2000) salah satu motivasi bagi petani untuk mengendalikan api adalah ketakutan akan hukuman apabila api yang mereka nyalakan menjalar ke areal disekitarnya dan merusak milik orang lain. Namun karena sanksi adat tidak begitu ketat, sehingga masyarakat cenderung tidak peduli terhadap kebakaran hutan yang terjadi. Penegakan hukum yang lemah antara kurangnya keberanian warga untuk melapor dan bertindak, ketentuan hukum yang sudah jelas, tetapi tidak banyak

77 59 pihak tidak tahu atau tidak mau tahu dengan ketentuan tersebut, penegakan hukum yang tidak hanya sekedar penjatuhan sanksi, belum optimalnya koordinasi pengawasan, hukum masih kalah dengan faktor lain misalnya faktor ekonomi dan bisnis, tidak tegasnya aparat untuk bertindak, serta masih banyak celah hukum dalam peraturan perundangan yang berhubungan dengan pengelolaan lingkungan hidup. Penguatan kapasitas institusi sangat diperlukan untuk mencapai keberhasilan dalam pengelolaan kebakaran hutan. Selain itu, pengetahuan masyarakat mengenai pengelolaan kebakaran perlu diintensifkan melalui program terpadu dari berbagai institutsi. Program pengembangan desa kurang terkoordinasi dengan baik antara pemangku kepentingan. 3) Kondisi bahan bakar hutan Dari hasil survey di lapangan, kondisi hutan yang akan dibuka untuk areal perkebunan pada umumnya adalah semak belukar. Menurut Hadi (2006) bahwa kondisi lahan dalam keadaan semak belukar lebih cepat terbakar, terutama jika terjadi pada musim kemarau. Sehingga dengan adanya kondisi seperti ini dapat menjadi faktor penyebab terjadinya kebakaran hutan. Husein (2003) mengemukakan bahwa bahan bakar hutan merupakan setiap tumbuhan, baik yang masih hidup maupun yang telah mati, yang kemudian terbakar dan menjadi sumber api. Dengan kata lain, bahan bakar hutan merupakan hutan itu sendiri dan vegetas-vegetasi yang terdapat di dalam kawasan hutan, termasuk semak dan alang-alang. Semak termasuk kedalam tipe bahan bakar permukaan, yang api kebakaran akan menjalar lebih cepat jika dibandingkan dengan tipe bahan bakar yang lain, tergantung pada keadaan musimnya. Sehingga, dengan kondisi lahan yang pada umumnya adalah semak dan alang-alang menjadi salah satu faktor pendukung kebakaran hutan cepat terjadi di Kabupaten Tebo. 4) Kepemilikan Lahan Perkebunan merupakan salah satu mata pencaharian utama masyarakat Tebo untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Sebagian besar lahan tersebut diperoleh secara turun temurun, dengan luas lahan berkisar 1-2 Ha. Status

78 60 kepemilikan lahan merupakan salah satu faktor yang menjadi latar belakang masyarakat melakukan pembakaran. 5) Waktu Latar belakang yang mengakibatkan terjadinya kebakaran yaitu adanya pada peubah waktu pembakaran. Pembakaran lahan dilakukan pada tiga waktu yang berbeda yaitu siang, sore dan malam hari. Pada umumnya masyarakat Tebo, melakukan pembakaran pada sore menjelang malam sekitar pukul WIB. Hal ini disebabkan beberapa faktor diantaranya adalah kecepatan penjalaran dan instensitas api pada sore hari lebih rendah dibandingkan pada siang hari. Berdasarkan hasil penelitian Prastina (2004) kecepatan penjalaran api pada pembakaran siang hari lebih tinggi jika dibandingkan malam hari, yaitu 3,53 m/menit. Pada siang hari kecepatan angin lebih tinggi dibandingkan pada malam hari. Intensitas api pada pembakaran siang hari juga lebih tinggi dibandingkan dengan pembakaran sore ataupun malam hari. Selain itu, proses pembakaran pada siang hari berlangsung lebih cepat dibandingkan pembakaran pada sore atau malam hari. Hal ini disebabkan bahan bakar yang rendah dan kadar air bahan bakar yang rendah sehingga lahan tersebut lebih cepat terbakar. Namun sebagian besar masyarakat Tebo lebih memilih melakukan pembakaran pada sore hari. Hal ini disebabkan kecepatan angin tidak terlalu tinggi, namun kekompakan bahan bakar dan kadar air belum cukup tinggi bila dibandingkan pembakaran pada malam hari, sehingga tidak mempunyai resiko menjalar ke lahan lain. Selain itu, mereka juga menghindari adanya tim patroli hutan yang menangani perambahan hutan dan perladangan berpindah. Hal ini terkait dengan adanya peraturan pemerintah No.28 tahun 1985 tentang perlindungan hutan pasal 10 ayat 1 dan 2 yang menyatakan bahwa setiap orang dilarang membakar hutan dan mempunyai kewajiban dalam usaha pencegahan dan pemadaman kebakaran hutan. Kemudian adanya SK. Menteri Kehutanan No.195/Kpts-II/93 tentang petunjuk pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan.

79 Simpulan BAB VI SIMPULAN DAN SARAN 1. Sebaran hotspot tertinggi ditemukan pada bulan-bulan kering yaitu bulan Juli 2011 (71 titik), Agustus 2011 (130 titik) dan September 2011 (111 titik). Sedangkan pada bulan-bulan basah seperti Januari dan Oktober tidak ditemukan adanya hotspot. Tinggi dan rendahnya hotspot berkorelasi dengan besarnya curah hujan. Koefisien korelasi antara hotspot dan curah hujan cukup besar yaitu -0,755 dengan α = 0,01 2. Persentase akurasi jarak groundcheck terhadap Hotspot rata-rata terendah terdapat pada bulan Februari 2012 yaitu sebesar 0,25%. Sedangkan untuk akurasi rata-rata tertinggi terjadi pada bulan Agustus 2011 yaitu sebesar 25,8%. 3. Jenis penutupan lahan memberikan kontribusi terhadap frekuensi hotspot terutama karena berkaitan dengan aktivitas konversi lahan. Hasil identifikasi satelit NOAA, area yang paling banyak ditemukan titik hotspot adalah hutan sekunder 242 titik (49,1%), semak/belukar 116 titik (23,5%), pertanian lahan kering campuran 102 titik (20,7%), tanah terbuka/lahan kosong 13 titik (2,6), hutan tanaman 5 titik (1,01%), perkebunan, air dan belukar rawa 3 titik (0,6%), hutan primer dan pertanian lahan kering 2 titik (0,4%), transmigrasi dan permukiman 1 titik (0,2%). Namun, berdasarkan hasil survey di lapangan, area yang banyak ditemukan kejadian kebakaran adalah di wilayah perkebunan dan area semak/belukar. 4. Latar belakang terjadinya kebakaran hutan disebabkan oleh adanya dua faktor yaitu faktor utama (murah, mudah, cepat dan budaya masyarakat), faktor pendukung (musim, sanksi, status kepemilikan lahan, bahan bakar, waktu) 6.2 Saran Akurasi kejadian kebakaran menggunakan data citra satelit NOAA AVHRR tergolong sangat rendah. Kendala sulitnya menjangkau medan menyebabkan data akurasi sulit diperoleh secara lebih riil di lapangan. Perlu

80 62 dilakukan pengukuran akurasi untuk data citra satelit yang memiliki resolusi yang jauh tinggi seperti SPOT, ALOS, IKONOS dsb. Selain itu, disarankan kepada pemerintah pusat maupun daerah perlu adanya peningkatan usaha-usaha pengendalian kebakaran hutan terutama pada bulan-bulan dan daerah yang rawan terhadap kebakaran hutan. Disisi lain, perlu ditingkatkan jumlah titik groundcheck lapangan sehingga dapat meningkatkan nilai akurasi kejadian kebakaran.

81 63 DAFTAR PUSTAKA Badan Pusat Statistik Kabupaten Tebo Tebo dalam Angka. Jambi Brown AA, Davis KP Forest fire Control and Use. New York. USA. McGraw-Hill Company. Chandler CP, Cheney P, Thomas L, Trabaud, Williams D Fire in Forestry: Volume I, Forest Fire Behavior and Effects. New York. 298p. John Willey and Sons. Dinas Kehutanan Kabupaten Tebo Tebo dalam Angka BPS Jambi Dinas Kehutanan Provinsi Jambi Waspadai Musim Kemarau. Kemarau#.UJmIdGe_cwY [6 November 2012] Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jambi Kondisi Kabupaten Tebo. 20Tebo [30 Oktober 2012] Dlamini WM Characterization og the July 2007 Swaziland Fire Disaster Using Satellite Remote Sensing and GIS. Applied Geography 29 : FAO Deforestation continues at a high rate in tropical areas; FAO calls upon countries to fight forest crime and corruption. [10 Juli 2012] [FFPMP] Forest Fire Prevention and Management Project Sistem deteksi dan Peringatan Dini. [13Mei2011] Fuller M Forest Fire: An Introduction to Wildland Behavior, Management, Firefighting and Prevention. Canada. John Wiley and Sons Hadi M Pemodelan Spasial Kerawanan Kebakaran di Lahan Gambut: Studi Kasus Kabupaten Bengkalis Provinsi Riau [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Husaeni EA Manajemen Bahan Bakar. Di dalam: Suratmo FG, Husaeni EA, Jaya NS, editor, Pengetahuan Dasar Pengendalian Kebakaran Hutan. Bogor: Fakultas Kehutanan. Hlm: 219 Hidayat R Menggalang Kekuatan Dunia Selamatkan Hutan Jambi. [31 july 2012]

82 64 Jaya INS Deteksi Api. Di dalam: Suratmo FG, Husaeni EA, Jaya NS, editor, Pengetahuan Dasar Pengendalian Kebakaran Hutan. Bogor: Fakultas Kehutanan. Hlm: 249 Jaya INS Teknik-Teknik Pemodelan Spasial menggunakan Model Builder : Contoh-Contoh Kasus Tataguna Hutan, Kesesuaian Lahan dan Kerawanan Kebakaran Hutan. Laboratorium Inventarisasi Sumberdaya Hutan. Fakultas Kehutanan IPB.Bogor. Kadarsah Meteorologi dan Sains Atmosfer. Wordpress [LAPAN] Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional Penentuan Titik Panas Menurut Penggunaan Lahan di Pulau Sumatera. SIMBA-LAPAN [14Mei 2011] Mangandar Keterkaitan Sosial Masyarakat di Sekitar Hutan dengan Kebakaran Hutan (Studi Kasus di propinsi daerah Tingkat I Riau) [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Nakau K, Fukuda M, Kushida K, Hayasaka H, Kimura K, Tani H Forest Fire Detection Based on Modis Sattelite Imagery and Comparition of NOAA Sattelite Imagery with Fighters Informastion. Institute of Low Temperature Science. Hokkaido University. Parwati E, Carolita I, Effendy I Aplikasi Data Landsat dan SIG untuk Potensi Lahan Tambak di Kabupaten Banyuwangi. Jurnal Penginderaan Jauh dan Pengolahan Dalam Citra Digital 1: PFFSEA Membakar Lahan Gambut Sama Artinya dengan Membuat Polu si Asap. 3:5. Pradan B Hotspot Detection and Monitoring Using Modis and NOAA AVHRR Image for Wild Fire Emergency Preparedness. Applied Geoinformatics for Society and Environment: 1-9 Prastiana A Pengaruh Waktu Pembakaran terhadap Perilaku Api Pada Pembakaran di Areal Semak Belukar. [skripsi]. Program studi Budidaya Hutan. Fakultasn Kehutanan. IPB Puspitasari DE Aspek Hukum Penanganan Kebakaran Hutan di Indonesia. Mimbar Hukum.19:67-81 Ruchiat Y Penyebab dan Dampak Kebakaran Hutan dan Lahan (The Underlying Causes and Impact of Fire) Studi Kasus: Tumbang Titi, Kabupeten Ketapang, Kalimantan Barat. Pontianak. Bahan Makalah Lokakarya Perencanaan Proyek Community development through rehabilitation of Imperata grasslands using trees: A model approach growing Vitex Pubescens for charcoal production in Kalimantan Indonesia.

83 65 Rusdiyatmoko A dan A Zubaidah Analisis Spektral Data Modeis untuk Pemantauan Hutan/Lahan (Studi Kasus Provinsi Sumatera Selatan). Pertemuan Ilmiah Tahunan MAPIN XIV. Jakarta:LAPAN. Sahardjo Pengetahuan Dasar Kebakaran Hutan. Di dalam: Suratmo FG, Husaeni EA, Jaya NS, editor, Pengetahuan Dasar Pengendalian Kebakaran Hutan. Bogor: Fakultas Kehutanan. Hlm: 119 Samsuri Model Spasial Tingkat Kerawanan Kebakaran Hutan dan Lahan [tesis].bogor: Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Soewarso Penyusunan Pencegahan Kebakaran Hutan Rawa Gambut dengan Menggunakan Model Prediksi [disertasi] Bogor: Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor (tidak dipublikasi) Sumantri Pencegahan Kebakaran Hutan. Di dalam: Suratmo FG, Husaeni EA, Jaya NS, editor, Pengetahuan Dasar Pengendalian Kebakaran Hutan. Bogor: Fakultas Kehutanan. Hlm: 181 Suwarsono, Yulianto F, Parwati, Suprapto T Pemanfaatan Data Modis untuk Identifikasi Daerah Bekas Terbakar (Burned Area) Berdasarkan Perubahan Nilai NDVI di Provinsi Kalimantan Tengah Tahun Jurnal Penginderaan Jauh. 6:54-64 Syahadat E dan Sianturi A Kajian Faktor Sosial, Ekonomi dan Budaya Penyebab Terjadinya Kebakaran Hutan dan Lahan (Kasus di Taman Nasional Gunung ceremai). Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan. Bogor Syaufina L Kebakaran Gambut, Penyebab Utama Masalah Kabut Asap di Indonesia. Wetlands International. 10:19-20 Syaufina L The Effect of Climatic Variants on Peat Swamp Forest Condition & Peat Combustibility. Doctoral Thesis of Faculty of Forestry University Putra Malaysia.Malaysia.University Putra Malaysia (tidak publikasi) Syaufina L Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia. Bogor. Bayumedia Publishing Syaufina L, Sukmana A Tinjauan Penyebab Utama Kebakaran Hutan di Daerah tangkapan Air Danau Toba. ITTO PROJECT PD 394/06 REV.1 (F). Centre of Forest and nature Conservation Research and Development (CFNCRD) Tacconi L kebakaran Hutan di Indonesia Penyebab, Biaya dan Implikasi Kebijakan. CIFOR Tanpipat V, Honda K, Nuchaiya P Modis Hotspot Validation Over Thailand. Remote Sens:

84 66 Thoha AS Penggunaan Data Hotspot untuk Monitoring Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia. Medan:Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Whelan RJ The Ecology of Fire. New York 343p. Cambridge University Press.

85 LAMPIRAN 67

86 68 Lampiran 1. Daftar Pertanyaan (Kuisioner) Biografi a. Nama lengkap : b. Umur : c. d. e. Alamat lengkap : Suku Bangsa : Masyarakat Asli atau pendatang : Latar belakang penyiapan lahan dengan membakar: 1. Apakah bapak/ibu mengetahui tentang praktek penyiapan lahan dengan membakar? 2. Menurut bpk/ibu, kebiasaan ini sudah dilakukan sejak kapan? 3. Apakah ada aturan desa terkait ijin pembakaran dalam penyiapan lahan? 4. Apakah ada sanksi tertentu bagi pelaku pembakaran yang membiarkan api meloncat ke lahan orang lain? 5. Apakah ada waktu waktu tertentu untuk melakukan pembakaran? 6. Dalam melaksanakan pembakaran biasanya dilakukan oleh perseorangan atau bersama sama untuk satu bagian ladang/kebun? 7. Siapakah yang sering melakukan pembukaan lahan dengan membakar? 8. Menurut bpk/ibu, kebiasaan ini sudah dilakukan sejak kapan? Sistem penyiapan lahan: 1. Apakah anda pernah mendapatkan penyuluhan dari pengelola hutan atau pemerintah tentang fungsi/ manfaat hutan dan kebakaran hutan a. Sering (1 kali sebulan) b. Jarang (1 kali 3 bulan) c. Tidak pernah 2. Luas pemilikan lahan sebelum kebakaran hutan a. 0-1 ha b ha c ha 3. Kondisi lahan yang saudara kerjakan ketika melakukan penyiapan lahan a. Tumbuhan bawah/alang-alang b. Semak/belukar c. Hutan 4. Status pemilikan tanah ketika anda mulai melakukan penyiapan lahan a. Tanah warisan

87 69 b. Tanah yang diperoleh dengan jalan membeli c. Tanah garapan yang diperoleh dengasn cara merambah hutan 5. Waktu pembakaran dan pembersihan lahan (land clearing yang biasa dilakukan) a. Musim hujan b. Musim pancaroba c. Musim kemarau 6. Luas pemilikan lahan garapan setelah melakukan eksploitasi/perambahan hutan a ha b ha c ha 7. setelah terjadinya kebakaran hutan, bagaimana pengaruh terhadap lingkungan lahan saudara a. Tidak berpengaruh b. Menyebabkan luas areal perkebunan semakin bertambah luas c. Menimbulkan asap yang dapat mengganggu pandangan 8. Bagaimana cara yang biasa dilakukan oleh masyarakat ketika membersihkan lahan dengan cara membakar a. Pembakaran dilakukan sedikit demi sedikit dan api dijaga sampai malam b. Pembakaran dilakukan secara bergiliran dan api dijaga sampai padam c. Dilakukan pembakaran secara serentak dan api dibiarkan mati sendiri 9. Kenapa kebiasaan membakar selalu saudara lakukan pada musim kemarau a. Untuk mengantisipasi penanaman pada saat datangnya musim hujan b. Karena bahan bakar pada waktu musim kemarau mudah keringnya c. Agar pembersihan lahan dapat secepatnay dilakukan 10. Apakah ada sanksi yang diberikan oleh adat jika melakukan kebakaran hutan a. Ada b. Tidak 11. Apa kira-kira penyebab terjadinya kebakaran hutan a. Karena aktifitas masyarakat didalam hutan b. Akibat adanya konflik antar masyarakat dengan pihak pengusaha c. Sengaja dibakar dalam rangka penyiapan lahan untuk pertanian kebun

88 Bagaimana keadaan bahan bakar ketika hendak dilakukan pembakaran a. Ditumpuk/dikumpulkan secara global ditengah-tengah ladang b. Ditumpuk secara parsial disembarang tempat diareal perladangan c. Berserakan pada sembarang tempat diareal perladangan 13. Bagaimana perilaku para peladang selama melakukan pembakaran atau menjaga api a. Para peladang meninggkan ladang, setelah api betul-betul padam b. Para peladang meninggalkan ladang,pada saat masih ada bara api c. Para peladang meninggalkan ladang, pada saat masih ada nyala api 14. Apa motif saudara melakukan pembakaran dalam usaha tani a. Tidak pernah melakukan pembakaran b. Akibat dorongan kebutuhan/mata pencaharian utama c. Karena pembakaran merupakan cara termurah dan termudah dalam pembersihan lahan 15. Menurut saudara sejak kapan kebiasaan membakar lahan ini dimulai oleh masyarakat a. Kebiasaan turun temurun b. Ikut-ikutan c. Keinginan sendiri

89 71 Lampiran 2. Analisis spasial titik groundcheck dan titik hotspot Kabupaten Tebo periode Januari Maret

90 72 72

91 73 Lampiran 3. Persentase jarak titik groundcheck dan titik hotspot Kabupaten Tebo periode Januari 2011 Maret Februari 2011 Latitude Longitude No titik hotspot Jarak (m) Akurasi No titik groundcheck ,177% 1-1, , ,832% 2 2. Maret 2011 Latitude Longitude No titik hotspot Jarak (m) Akurasi No titik groundcheck -1, , ,293% 1 3. April 2011 Latitude Longitude No titik hotspot Jarak (m) Akurasi No titik groundcheck -1, , ,51% 1 4. Mei 2011 Latitude Longitude No titik hotspot Jarak (m) Akurasi No titik groundcheck -1, , ,169% 1-1, , ,115% 2-1, , ,992% 3-1, , ,279% 4-1, , ,087% 5-1, , ,276% 6 5. Juni 2011 Latitude Longitude No titik hotspot Jarak (m) Akurasi No titik groundcheck -1, , ,157% 1 6. Juli 2011 Latitude Longitude No titik hotspot Jarak (m) Akurasi No titik groundcheck -1, , ,965% 1-1, , ,960% 2-1, , ,843% 3-1, , ,977% 4-1, , ,938% 5-1, , ,395% 6-1, , ,868% 7-1, , ,183% 8-1, , ,201% 9-1, , ,551% 10-1, , ,987% 11

92 74-1, , , , , ,255% September 2011 Latitude Longitude No titik hotspot Jarak (m) Akurasi No titik groundchec k -1, , ,532% 1-1, , ,947% 2-1, , ,789% 3-1, , ,398% 4-1, , ,231% 5 8. November 2011 Latitude Longitude No titik hotspot Jarak (m) Akurasi No titik groundcheck -1, , ,113% Desember 2011 Latitude Longitude No titik hotspot Jarak (m) Akurasi No titik groundcheck -1, , ,193% 1-1, , ,094% 2-1, , ,045% 3-1, , ,456% 4-1, , ,571% 5-1, , ,196% 6-1, , ,961% 7-1, , ,499% 8-1, , ,443% 10-1, , ,365% 11-1, , ,808% 12-1, , ,256% 13-1, , ,198% 14-1, , ,254% Januari 2012 Latitude Longitude No titik hotspot Jarak (m) Akurasi No titik groundcheck -1, , ,789% 1-1, , ,467% 2-1, , ,552% 3-1, , ,618% 4-1, , ,649% 5-1, , ,476% 6-1, , ,239% 7-1, , ,137% 8-1, , ,519% 9-1, , ,942% 10-1, , ,534% 11

93 Februari 2012 Latitude Longitude No titik hotspot Jarak (m) Akurasi No titik groundcheck -1, , ,25% % Maret 2012 Latitude Longitude No titik hotspot Jarak (m) Akurasi No titik groundcheck -1, , ,308% 1-1, , ,664% 2-1, , ,379% 3-1, , ,440% 4-1, , ,889% 5-1, , ,512% 6-1, , ,157% 7

94 76 Lampiran 4. Sebaran hotspot dan titik-titik hasil groundcheck lapangan Kabupaten Tebo periode Januari 2011 Maret

95 77 77

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebakaran Hutan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.1 Definisi dan Tipe Kebakaran Hutan dan Lahan Kebakaran hutan adalah sebuah kejadian terbakarnya bahan bakar di hutan oleh api dan terjadi secara luas tidak

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 8 2.1 Pengertian Kebakaran Hutan BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sebagian besar orang menyatakan bahwa kebakaran hutan yang terjadi pada sekarang ini adalah kebakaran kawasan hutan yang terjadi di hutan (baik

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Lahan gambut merupakan salah satu tipe ekosistem yang memiliki kemampuan menyimpan lebih dari 30 persen karbon terestrial, memainkan peran penting dalam siklus hidrologi serta

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. non hutan atau sebaliknya. Hasilnya, istilah kebakaran hutan dan lahan menjadi. istilah yang melekat di Indonesia (Syaufina, 2008).

TINJAUAN PUSTAKA. non hutan atau sebaliknya. Hasilnya, istilah kebakaran hutan dan lahan menjadi. istilah yang melekat di Indonesia (Syaufina, 2008). 3 TINJAUAN PUSTAKA Kebakaran hutan didefenisikan sebagai suatu kejadian dimana api melalap bahan bakar bervegetasi, yang terjadi didalam kawasan hutan yang menjalar secara bebas dan tidak terkendali di

Lebih terperinci

MODEL SPASIAL TINGKAT KERAWANAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (Studi Kasus di Wilayah Propinsi Kalimantan Tengah) SAMSURI

MODEL SPASIAL TINGKAT KERAWANAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (Studi Kasus di Wilayah Propinsi Kalimantan Tengah) SAMSURI MODEL SPASIAL TINGKAT KERAWANAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (Studi Kasus di Wilayah Propinsi Kalimantan Tengah) SAMSURI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN Dengan ini saya

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Kebakaran hutan di Jambi telah menjadi suatu fenomena yang terjadi setiap tahun, baik dalam cakupan luasan yang besar maupun kecil. Kejadian kebakaran tersebut tersebar dan melanda

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 16 5.1 Hasil 5.1.1 Pola curah hujan di Riau BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Data curah hujan bulanan dari tahun 2000 sampai dengan 2009 menunjukkan bahwa curah hujan di Riau menunjukkan pola yang sama dengan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebakaran hutan dan Lahan 2.1.1 Pengertian dan Proses Terjadinya Kebakaran Hutan dan Lahan Kebakaran hutan oleh Brown dan Davis (1973) dalam Syaufina (2008) didefinisikan

Lebih terperinci

BAB VII KEBAKARAN HUTAN

BAB VII KEBAKARAN HUTAN BAB VII KEBAKARAN HUTAN Api merupakan faktor ekologi potensial yang mempengaruhi hampir seluruh ekosistem daratan, walau hanya terjadi pada frekuensi yang sangat jarang. Pengaruh api terhadap ekosistem

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kebakaran Hutan 1. Definisi dan Tipe Kebakaran Hutan dan Lahan Kebakaran hutan adalah suatu kejadian dimana api melalap bahan bakar bervegetasi yang terjadi di kawasan hutan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5. Sebaran Hotspot Tahunan BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Potensi kebakaran hutan dan lahan yang tinggi di Provinsi Riau dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: penggunaan api, iklim, dan perubahan tata guna

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan pada daerah kajian Provinsi Kalimantan Barat. Pengolahan dan analisis data dilakukan di Laboratorium Fisik Remote Sensing dan Sistem

Lebih terperinci

POTENSI KEBAKARAN HUTAN DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO BERDASARKAN CURAH HUJAN DAN SUMBER API SELVI CHELYA SUSANTY

POTENSI KEBAKARAN HUTAN DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO BERDASARKAN CURAH HUJAN DAN SUMBER API SELVI CHELYA SUSANTY POTENSI KEBAKARAN HUTAN DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO BERDASARKAN CURAH HUJAN DAN SUMBER API SELVI CHELYA SUSANTY DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 POTENSI

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI AREAL BEKAS KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (KARHUTLA, KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN)

IDENTIFIKASI AREAL BEKAS KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (KARHUTLA, KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN) IDENTIFIKASI AREAL BEKAS KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (KARHUTLA, KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN) Kebakaran hutan dan lahan gambut merupakan kebakaran permukaan dimana api membakar bahan bakar yang ada di atas

Lebih terperinci

PERUBAHAN PENUTUPAN LAHAN DI TAMAN NASIONAL KERINCI SEBLAT KABUPATEN PESISIR SELATAN PROVINSI SUMBAR HANDY RUSYDI

PERUBAHAN PENUTUPAN LAHAN DI TAMAN NASIONAL KERINCI SEBLAT KABUPATEN PESISIR SELATAN PROVINSI SUMBAR HANDY RUSYDI PERUBAHAN PENUTUPAN LAHAN DI TAMAN NASIONAL KERINCI SEBLAT KABUPATEN PESISIR SELATAN PROVINSI SUMBAR HANDY RUSYDI DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 7 HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum dan Distribusi Titik Panas (hotspot)provinsi Jambi Provinsi Jambi secara geografis terletak antara 0 o 45-2 o 45 LS dan 101 o 104 o 55 BT, terletak di tengah Pulau Sumatera

Lebih terperinci

Topik C3 Kebakaran hutan dan lahan gambut

Topik C3 Kebakaran hutan dan lahan gambut Topik C3 Kebakaran hutan dan lahan gambut 1 Ruang lingkup dari materi Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut meliputi: 1. Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia 2. Karakteristik kebakaran hutan dan lahan gambut

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebakaran Hutan 2.1.1 Pengertian dan Proses Terjadinya Kebakaran Kebakaran hutan secara umum didefinisikan sebagai kejadian alam yang bermula dari proses reaksi secara cepat

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 46 HASIL DAN PEMBAHASAN A Verifikasi Data Hotspot Verifikasi data hotspot dilakukan terhadap data hotspot Bulan Januari sampai Bulan Mei 2005 yang bersumber dari stasiun pengamat kebakaran JICA (Japan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Novita Fauzi, 2015

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Novita Fauzi, 2015 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Negara Indonesia memiliki potensi rawan akan bencana, baik bencana alam maupun bencana non-alam. Bencana dapat menimbulkan terancamnya keselamatan jiwa,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. vegetasi yang masih hidup maupun mati, serasah, humus, semak dan gulma

II. TINJAUAN PUSTAKA. vegetasi yang masih hidup maupun mati, serasah, humus, semak dan gulma II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebakaran Hutan dan Lahan Kebakaran hutan didefinisikan sebagai proses reaksi cepat oksigen dan unsur-unsur lainnya, dan ditandai dengan panas, cahaya serta biasanya menyala.

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA PROGRAM STUDI ILMU PERENCANAAN WILAYAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 19 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Kerangka Berpikir Kebakaran hutan yang sering terjadi di Indonesia berkaitan erat dengan dua faktor utama yaitu faktor alam dan faktor manusia. Kemungkinan terdapat karakteristik

Lebih terperinci

ANALISA DAERAH POTENSI BANJIR DI PULAU SUMATERA, JAWA DAN KALIMANTAN MENGGUNAKAN CITRA AVHRR/NOAA-16

ANALISA DAERAH POTENSI BANJIR DI PULAU SUMATERA, JAWA DAN KALIMANTAN MENGGUNAKAN CITRA AVHRR/NOAA-16 ANALISA DAERAH POTENSI BANJIR DI PULAU SUMATERA, JAWA DAN KALIMANTAN MENGGUNAKAN CITRA AVHRR/NOAA-16 Any Zubaidah 1, Suwarsono 1, dan Rina Purwaningsih 1 1 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebakaran hutan merupakan fenomena yang sering terjadi di Indonesia (Stolle et al, 1999) yang menjadi perhatian lokal dan global (Herawati dan Santoso, 2011). Kebakaran

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. wilayah Sumatera dan Kalimantan. Puncak jumlah hotspot dan kebakaran hutan

PENDAHULUAN. wilayah Sumatera dan Kalimantan. Puncak jumlah hotspot dan kebakaran hutan PENDAHULUAN Latar Belakang Kebakaran hutan akhir-akhir ini sering terjadi di Indonesia khususnya di wilayah Sumatera dan Kalimantan. Puncak jumlah hotspot dan kebakaran hutan dan lahan pada periode 5 tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan suatu tempat yang luas yang didalamnya terdapat berbagai macam makhluk hidup yang tinggal disana. Hutan juga merupakan suatu ekosistem yang memiliki

Lebih terperinci

ABSTRACT. Alamat Korespondensi : Telp , PENDAHULUAN

ABSTRACT. Alamat Korespondensi : Telp ,   PENDAHULUAN KAJIAN FAKTOR PENYEBAB DAN UPAYA PENGENDALIAN KEBAKARAN LAHAN GAMBUT OLEH MASYARAKAT DI DESA SALAT MAKMUR KALIMANTAN SELATAN Oleh/By FONNY RIANAWATI Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan Universitas

Lebih terperinci

PENYEBAB KEBAKARAN HUTAN DI KAWASAN HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, JAWA BARAT ALDI YUSUP

PENYEBAB KEBAKARAN HUTAN DI KAWASAN HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, JAWA BARAT ALDI YUSUP PENYEBAB KEBAKARAN HUTAN DI KAWASAN HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, JAWA BARAT ALDI YUSUP DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang rawan terjadi kekeringan setiap tahunnya. Bencana kekeringan semakin sering terjadi di berbagai daerah di Indonesia dengan pola dan

Lebih terperinci

PENGARUH PENINGKATAN JUMLAH PENDUDUK TERHADAP PERUBAHAN PEMANFAATAN RUANG DAN KENYAMANAN DI WILAYAH PENGEMBANGAN TEGALLEGA, KOTA BANDUNG

PENGARUH PENINGKATAN JUMLAH PENDUDUK TERHADAP PERUBAHAN PEMANFAATAN RUANG DAN KENYAMANAN DI WILAYAH PENGEMBANGAN TEGALLEGA, KOTA BANDUNG PENGARUH PENINGKATAN JUMLAH PENDUDUK TERHADAP PERUBAHAN PEMANFAATAN RUANG DAN KENYAMANAN DI WILAYAH PENGEMBANGAN TEGALLEGA, KOTA BANDUNG DIAR ERSTANTYO DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Dalam dekade terakhir kebakaran hutan sudah menjadi masalah global.

I. PENDAHULUAN. Dalam dekade terakhir kebakaran hutan sudah menjadi masalah global. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam dekade terakhir kebakaran hutan sudah menjadi masalah global. Hal itu terjadi karena dampak dari kebakaran hutan tersebut bukan hanya dirasakan ole11 Indonesia saja

Lebih terperinci

MODEL PENDUGA BIOMASSA MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT HARLYN HARLINDA

MODEL PENDUGA BIOMASSA MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT HARLYN HARLINDA MODEL PENDUGA BIOMASSA MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT HARLYN HARLINDA DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

ANALISIS SPASIAL SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN LAUT JAWA PADA MUSIM TIMUR DENGAN MENGGUNAKAN DATA DIGITAL SATELIT NOAA 16 -AVHRR

ANALISIS SPASIAL SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN LAUT JAWA PADA MUSIM TIMUR DENGAN MENGGUNAKAN DATA DIGITAL SATELIT NOAA 16 -AVHRR ANALISIS SPASIAL SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN LAUT JAWA PADA MUSIM TIMUR DENGAN MENGGUNAKAN DATA DIGITAL SATELIT NOAA 16 -AVHRR Oleh : MIRA YUSNIATI C06498067 SKRIPSI PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

ANALISIS POTENSI LAHAN SAWAH UNTUK PENCADANGAN KAWASAN PRODUKSI BERAS DI KABUPATEN AGAM - SUMATERA BARAT NOFARIANTY

ANALISIS POTENSI LAHAN SAWAH UNTUK PENCADANGAN KAWASAN PRODUKSI BERAS DI KABUPATEN AGAM - SUMATERA BARAT NOFARIANTY ANALISIS POTENSI LAHAN SAWAH UNTUK PENCADANGAN KAWASAN PRODUKSI BERAS DI KABUPATEN AGAM - SUMATERA BARAT NOFARIANTY SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 YANG SELALU DI HATI Yang mulia:

Lebih terperinci

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG (Studi Kasus Wilayah Seksi Bungan Kawasan Taman Nasional Betung Kerihun di Provinsi

Lebih terperinci

dampak perubahan kemampuan lahan gambut di provinsi riau

dampak perubahan kemampuan lahan gambut di provinsi riau dampak perubahan kemampuan lahan gambut di provinsi riau ABSTRAK Sejalan dengan peningkatan kebutuhan penduduk, maka kebutuhan akan perluasan lahan pertanian dan perkebunan juga meningkat. Lahan yang dulunya

Lebih terperinci

PEMETAAN DAERAH RAWAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI KABUPATEN TOBA SAMOSIR PROVINSI SUMATERA UTARA SKRIPSI

PEMETAAN DAERAH RAWAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI KABUPATEN TOBA SAMOSIR PROVINSI SUMATERA UTARA SKRIPSI PEMETAAN DAERAH RAWAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI KABUPATEN TOBA SAMOSIR PROVINSI SUMATERA UTARA SKRIPSI Oleh MAYA SARI HASIBUAN 071201044 PROGRAM STUDI MANAJEMEN HUTAN DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman (Tahura

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman (Tahura III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman (Tahura WAR). Berdasarkan administrasi pemerintahan Provinsi Lampung kawasan ini berada

Lebih terperinci

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH NOMOR 52 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PEMBUKAAN LAHAN DAN PEKARANGAN BAGI MASYARAKAT DI KALIMANTAN TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, SALINAN PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG MEKANISME PENCEGAHAN PENCEMARAN DAN/ATAU KERUSAKAN LINGKUNGAN HIDUP YANG BERKAITAN DENGAN KEBAKARAN HUTAN DAN/ATAU LAHAN MENTERI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejak tahun 1980-an para peneliti meteorologi meyakini bahwa akan terjadi beberapa penyimpangan iklim global, baik secara spasial maupun temporal. Kenaikan temperatur

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia terjadi setiap tahun dan cenderung meningkat dalam kurun waktu 20 tahun terakhir. Peningkatan kebakaran hutan dan lahan terjadi

Lebih terperinci

Pengamatan kebakaran dan penyebaran asapnya dari angkasa: Sebuah catatan kejadian kebakaran hutan/lahan di Sumatera Selatan tahun 2014

Pengamatan kebakaran dan penyebaran asapnya dari angkasa: Sebuah catatan kejadian kebakaran hutan/lahan di Sumatera Selatan tahun 2014 Pengamatan kebakaran dan penyebaran asapnya dari angkasa: Sebuah catatan kejadian kebakaran hutan/lahan di Sumatera Selatan tahun 2014 *Yenni Vetrita, Parwati Sofan, Any Zubaidah, Suwarsono, M. Rokhis

Lebih terperinci

DAMPAK PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN TERHADAP KETERSEDIAAN SUMBER DAYA AIR DI KOTA TANGERANG OLEH : DADAN SUHENDAR

DAMPAK PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN TERHADAP KETERSEDIAAN SUMBER DAYA AIR DI KOTA TANGERANG OLEH : DADAN SUHENDAR DAMPAK PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN TERHADAP KETERSEDIAAN SUMBER DAYA AIR DI KOTA TANGERANG OLEH : DADAN SUHENDAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005 ABSTRAK DADAN SUHENDAR. Dampak Perubahan

Lebih terperinci

Manfaat METODE. Lokasi dan Waktu Penelitian

Manfaat METODE. Lokasi dan Waktu Penelitian 2 Manfaat Penelitian ini diharapkan menjadi sumber data dan informasi untuk menentukan langkah-langkah perencanaan dan pengelolaan kawasan dalam hal pemanfaatan bagi masyarakat sekitar. METODE Lokasi dan

Lebih terperinci

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 5. A. IDENTIFIKASI CITRA PENGINDERAAN JAUH a. Identifikasi Fisik

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 5. A. IDENTIFIKASI CITRA PENGINDERAAN JAUH a. Identifikasi Fisik GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 12 Sesi NGAN PENGINDERAAN JAUH : 5 A. IDENTIFIKASI CITRA PENGINDERAAN JAUH a. Identifikasi Fisik 1. Hutan Hujan Tropis Rona gelap Pohon bertajuk, terdiri dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Geografi merupakan ilmu yang mempelajari gejala-gejala alamiah

BAB I PENDAHULUAN. Geografi merupakan ilmu yang mempelajari gejala-gejala alamiah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Geografi merupakan ilmu yang mempelajari gejala-gejala alamiah yang terdapat di permukaan bumi, meliputi gejala-gejala yang terdapat pada lapisan air, tanah,

Lebih terperinci

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 22 BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 3.1 Luas dan Lokasi Wilayah Merang Peat Dome Forest (MPDF) memiliki luas sekitar 150.000 ha yang terletak dalam kawasan Hutan Produksi (HP) Lalan di Kecamatan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian 3.2 Lokasi Penelitian

III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian 3.2 Lokasi Penelitian III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan Februari sampai September 2011. Kegiatan penelitian ini meliputi tahap prapenelitian (persiapan, survei), Inventarisasi (pengumpulan

Lebih terperinci

Ketika Negara Gagal Mengatasi Asap. Oleh: Adinda Tenriangke Muchtar

Ketika Negara Gagal Mengatasi Asap. Oleh: Adinda Tenriangke Muchtar Ketika Negara Gagal Mengatasi Asap Oleh: Adinda Tenriangke Muchtar Tahun 2015 menjadi tahun terburuk bagi masyarakat di Sumatera dan Kalimantan akibat semakin parahnya kebakaran lahan dan hutan. Kasus

Lebih terperinci

ANALISA DEGRADASI HUTAN MANGROVE PADA KAWASAN WISATA TELUK YOUTEFA KOTA JAYAPURA

ANALISA DEGRADASI HUTAN MANGROVE PADA KAWASAN WISATA TELUK YOUTEFA KOTA JAYAPURA ANALISA DEGRADASI HUTAN MANGROVE PADA KAWASAN WISATA TELUK YOUTEFA KOTA JAYAPURA Oleh YOHAN M G JARISETOUW FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS NEGERI PAPUA MANOKWARI 2005 ii Abstrak Yohan M G Jarisetouw. ANALISA

Lebih terperinci

(Studi kasus : Taman Nasional Lore-Lindu, Sulawesi Tengah) MOCHAMMAD TAUFIQURROCHMAN ABDUL AZIZ ZEIN

(Studi kasus : Taman Nasional Lore-Lindu, Sulawesi Tengah) MOCHAMMAD TAUFIQURROCHMAN ABDUL AZIZ ZEIN PENYERAPAN RADIASI MATAHARI OLEH KANOPI HUTAN ALAM : KORELASI ANTARA PENGUKURAN DAN INDEKS VEGETASI (Studi kasus : Taman Nasional Lore-Lindu, Sulawesi Tengah) MOCHAMMAD TAUFIQURROCHMAN ABDUL AZIZ ZEIN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumatera Utara memiliki luas total sebesar 181.860,65 Km² yang terdiri dari luas daratan sebesar 71.680,68 Km² atau 3,73 % dari luas wilayah Republik Indonesia. Secara

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

III. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan sejak Juli 2010 sampai dengan Mei 2011. Lokasi penelitian terletak di wilayah Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat. Pengolahan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil 5.1.1 Penutupan Lahan Penutupan lahan yang terdapat di Kalimantan Tengah terdiri atas 18 jenis penutupan lahan. Tabel 1 menyajikan penutupan lahan di Kalimantan Tengah.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Kebakaran Hutan

TINJAUAN PUSTAKA Kebakaran Hutan TINJAUAN PUSTAKA Kebakaran Hutan Kebakaran hutan menurut JICA (2000), didefinisikan sebagai suatu keadaan hutan yang dilanda api sehingga mengakibatkan kerusakan hutan dan hasil hutan serta menimbulkan

Lebih terperinci

ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY

ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN

ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN WULANING DIYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Citra Digital Interpretasi dilakukan dengan pembuatan area contoh (training set) berdasarkan pengamatan visual terhadap karakteristik objek dari citra Landsat. Untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Maret hingga Agustus. Kondisi ini didukung oleh suhu rata-rata 21 0 C 36 0 C dan

BAB I PENDAHULUAN. Maret hingga Agustus. Kondisi ini didukung oleh suhu rata-rata 21 0 C 36 0 C dan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Dumai merupakan salah satu dari 12 Kabupaten/Kota di Provinsi Riau. Kota Dumai sangat dipengaruhi oleh iklim laut. Musim hujan jatuh pada bulan September hingga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hortikultura,dan 12,77 juta rumah tangga dalam perkebunan. Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. hortikultura,dan 12,77 juta rumah tangga dalam perkebunan. Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Indonesia merupakan Negara agraris yang amat subur sehingga tidak dapat dipungkiri lagi sebagian besar penduduknya bergerak dalam sektor agraris. Data dalam Badan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Berdasarkan UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pasal 6 ayat (1), disebutkan bahwa Penataan Ruang di selenggarakan dengan memperhatikan kondisi fisik wilayah

Lebih terperinci

VARIASI SPASIAL DAN TEMPORAL HUJAN KONVEKTIF DI PULAU JAWA BERDASARKAN CITRA SATELIT GMS-6 (MTSAT-1R) YETTI KUSUMAYANTI

VARIASI SPASIAL DAN TEMPORAL HUJAN KONVEKTIF DI PULAU JAWA BERDASARKAN CITRA SATELIT GMS-6 (MTSAT-1R) YETTI KUSUMAYANTI VARIASI SPASIAL DAN TEMPORAL HUJAN KONVEKTIF DI PULAU JAWA BERDASARKAN CITRA SATELIT GMS-6 (MTSAT-1R) YETTI KUSUMAYANTI DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seiring dengan perkembangan teknologi dan peningkatan kebutuhan hidup manusia, tidak dapat dipungkiri bahwa tekanan terhadap perubahan lingkungan juga akan meningkat

Lebih terperinci

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN PERTEMUAN 10 SUMBERDAYA LAHAN Sumberdaya Lahan Lahan dapat didefinisikan sebagai suatu ruang di permukaan bumi yang secara alamiah dibatasi oleh sifat-sifat fisik serta bentuk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Perilaku Kebakaran Perilaku kebakaran dapat didefenisikan sebagai cara dimana api di alam berkembang, bagaimana bahan bakar terbakar, perkembangan nyala api dan penyebaran api dan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Hutan merupakan sumber daya alam yang menyimpan berbagai

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Hutan merupakan sumber daya alam yang menyimpan berbagai BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan sumber daya alam yang menyimpan berbagai potensi yang kini gangguannya semakin meluas. Kebakaran hutan merupakan salah satu bentuk gangguannya. Dampak

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemampuan hutan dan ekosistem didalamnya sebagai penyimpan karbon dalam bentuk biomassa di atas tanah dan di bawah tanah mempunyai peranan penting untuk menjaga keseimbangan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak pada pertemuan 3 (tiga) lempeng tektonik besar yaitu lempeng Indo-Australia, Eurasia dan Pasifik. Pada daerah pertemuan

Lebih terperinci

Indonesia

Indonesia I. PENDAHULUAN 1.1. LatarBelakang Hutan merupakan salah satu sumber daya alam yang vital, serba guna dan bermanfaat bagi manusia. Fungsi hutan ada dua yaitu fungsi langsung yang dapat dinilai dengan uang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat merupakan lingkungan tempat tumbuhan atau satwa dapat hidup dan berkembang biak secara alami. Kondisi kualitas dan kuantitas habitat akan menentukan komposisi,

Lebih terperinci

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

PEMETAAN POHON PLUS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT DENGAN TEKNOLOGI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS. Oleh MENDUT NURNINGSIH E

PEMETAAN POHON PLUS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT DENGAN TEKNOLOGI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS. Oleh MENDUT NURNINGSIH E PEMETAAN POHON PLUS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT DENGAN TEKNOLOGI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS Oleh MENDUT NURNINGSIH E01400022 DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Lokasi dan Kesampaian Daerah Lokasi CV. Jayabaya Batu Persada secara administratif terletak pada koordinat 106 O 0 51,73 BT dan -6 O 45 57,74 LS di Desa Sukatani Malingping Utara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Setiap sumberdaya alam memiliki fungsi penting terhadap lingkungan. Sumberdaya alam berupa vegetasi pada suatu ekosistem hutan mangrove dapat berfungsi dalam menstabilkan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebakaran Hutan 2.1.1. Definisi Kebakaran Hutan Kebakaran hutan merupakan kejadian alam yang bermula dari proses reaksi secara cepat antara oksigen, sumber penyulutan, dan bahan

Lebih terperinci

Gambar 1.1 Siklus Hidrologi (Kurkura, 2011)

Gambar 1.1 Siklus Hidrologi (Kurkura, 2011) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Air merupakan kebutuhan yang mutlak bagi setiap makhluk hidup di permukaan bumi. Seiring dengan pertambahan penduduk kebutuhan air pun meningkat. Namun, sekarang

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb.

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb. KATA PENGANTAR Assalamu alaikum wr.wb. Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan buku Penghitungan Deforestasi Indonesia Periode Tahun 2009-2011

Lebih terperinci

BAB III. Penelitian inii dilakukan. dan Danau. bagi. Peta TANPA SKALA

BAB III. Penelitian inii dilakukan. dan Danau. bagi. Peta TANPA SKALA 14 BAB III METODOLOGI 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian inii dilakukan di Sentul City yang terletak di Kecamatan Babakan Madang dan Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat (Gambar

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Letak dan Luas. Komponen fisik

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Letak dan Luas. Komponen fisik KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN Letak dan Luas Daerah penelitian mencakup wilayah Sub DAS Kapuas Tengah yang terletak antara 1º10 LU 0 o 35 LS dan 109 o 45 111 o 11 BT, dengan luas daerah sekitar 1 640

Lebih terperinci

PEMETAAN DAERAH RAWAN KEBAKARAN PADA LAHAN BASAH DIKECAMATAN GAMBUT PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

PEMETAAN DAERAH RAWAN KEBAKARAN PADA LAHAN BASAH DIKECAMATAN GAMBUT PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PEMETAAN DAERAH RAWAN KEBAKARAN PADA LAHAN BASAH DIKECAMATAN GAMBUT PROVINSI KALIMANTAN SELATAN Fonny Rianawati, Mufidah Asyári, Fatriani dan Asysyifa Fakultas Kehutanan Universitas Lambung Mangkurat Jln.

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 9. Peta Orientasi Wilayah Kecamatan Beji, Kota Depok

METODE PENELITIAN. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 9. Peta Orientasi Wilayah Kecamatan Beji, Kota Depok III. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kecamatan Beji sebagai pusat Kota Depok, Jawa Barat yang berbatasan langsung dengan Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Provinsi Riau dengan luas 94.560 km persegi merupakan Provinsi terluas di pulau Sumatra. Dari proporsi potensi lahan kering di provinsi ini dengan luas sebesar 9.260.421

Lebih terperinci

ANALISIS TUTUPAN LAHAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT HAYCKAL RIZKI H.

ANALISIS TUTUPAN LAHAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT HAYCKAL RIZKI H. ANALISIS TUTUPAN LAHAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT HAYCKAL RIZKI H. DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan seluruh satuan lahan yang menunjang kelompok vegetasi yang didominasi oleh pohon segala ukuran, dieksploitasi maupun tidak, dapat menghasilkan kayu

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang.

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang. III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-Oktober 2010. Lokasi penelitian di Kota Palembang dan Laboratorium Analisis Spasial Lingkungan, Departemen Konservasi Sumberdaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Indonesia dikenal sebagai sebuah negara kepulauan. Secara geografis letak Indonesia terletak pada 06 04' 30"LU - 11 00' 36"LS, yang dikelilingi oleh lautan, sehingga

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masyarakat Kota Bandar Lampung dan Kabupaten Pesawaran. Selain itu taman

I. PENDAHULUAN. masyarakat Kota Bandar Lampung dan Kabupaten Pesawaran. Selain itu taman I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman merupakan wilayah sistem penyangga kehidupan terutama dalam pengaturan tata air, menjaga kesuburan tanah, mencegah erosi, menjaga keseimbangan

Lebih terperinci

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi 3.2 Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain alat tulis dan kamera digital. Dalam pengolahan data menggunakan software AutoCAD, Adobe Photoshop, dan ArcView 3.2 serta menggunakan hardware

Lebih terperinci

DISTRIBUSI HUTAN ALAM DAN LAJU PERUBAHANNYA MENURUT KABUPATEN DI INDONESIA LUKMANUL HAKIM E

DISTRIBUSI HUTAN ALAM DAN LAJU PERUBAHANNYA MENURUT KABUPATEN DI INDONESIA LUKMANUL HAKIM E DISTRIBUSI HUTAN ALAM DAN LAJU PERUBAHANNYA MENURUT KABUPATEN DI INDONESIA LUKMANUL HAKIM E14101043 DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 RINGKASAN LUKMANUL HAKIM.

Lebih terperinci

ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN

ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Analisis

Lebih terperinci

Pendugaan Emisi CO 2 sebagai Gas Rumah Kaca akibat Kebakaran Hutan dan Lahan pada Berbagai Tipe Penutupan Lahan di Kalimantan Tengah, Tahun

Pendugaan Emisi CO 2 sebagai Gas Rumah Kaca akibat Kebakaran Hutan dan Lahan pada Berbagai Tipe Penutupan Lahan di Kalimantan Tengah, Tahun JURNAL Vol. 03 Desember SILVIKULTUR 2012 TROPIKA Pendugaan Emisi Gas CO 2 143 Vol. 03 No. 03 Desember 2012, Hal. 143 148 ISSN: 2086-8227 Pendugaan Emisi CO 2 sebagai Gas Rumah Kaca akibat Kebakaran Hutan

Lebih terperinci

MITIGASI BENCANA ALAM I. Tujuan Pembelajaran

MITIGASI BENCANA ALAM I. Tujuan Pembelajaran K-13 Kelas X Geografi MITIGASI BENCANA ALAM I Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan mempunyai kemampuan sebagai berikut. 1. Memahami pengertian mitigasi. 2. Memahami adaptasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dewasa ini perkembangan fisik penggunaan lahan terutama di daerah perkotaan relatif cepat dibandingkan dengan daerah perdesaan. Maksud perkembangan fisik adalah penggunaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejadian kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Barat telah dikenal sejak tahun 1997 dan merupakan bencana nasional yang terjadi setiap tahun hingga

Lebih terperinci

STRATEGI PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN.. Anjarlea Mukti Sabrina Jurusan Syariah, Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Ngawi

STRATEGI PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN.. Anjarlea Mukti Sabrina Jurusan Syariah, Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Ngawi STRATEGI PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN.. Anjarlea Mukti Sabrina Jurusan Syariah, Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Ngawi ABSTRAK Tulisan ini bertujuan untuk mengangkat permasalahan

Lebih terperinci

KAJIAN PEMANFAATAN LAHAN PADA DAERAH RAWAN LONGSOR DI KECAMATAN TIKALA KOTA MANADO

KAJIAN PEMANFAATAN LAHAN PADA DAERAH RAWAN LONGSOR DI KECAMATAN TIKALA KOTA MANADO Sabua Vol.6, No.2: 215-222, Agustus 2014 ISSN 2085-7020 HASIL PENELITIAN KAJIAN PEMANFAATAN LAHAN PADA DAERAH RAWAN LONGSOR DI KECAMATAN TIKALA KOTA MANADO Arifin Kamil 1, Hanny Poli, 2 & Hendriek H. Karongkong

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE 33 BAB III BAHAN DAN METODE 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Studi ini dilakukan di Kota Padang Panjang, Sumatera Barat. Secara administrasi pemerintahan Kota Padang Panjang terletak di Provinsi Sumatera

Lebih terperinci